You are on page 1of 2

DEWI SRI - SANG PELINDUNG

Berlain dengan jaman dahulu, di jaman sekarang orang melakukan penyemprotan dengan
berbagai macam racun anti hama dengan tujuan membunuh atau melindungi tanaman padi dari
berbagai serangan hama seperti wereng, keong mas ataupun tikus. Dengan demikian ketika
panen kelak, hasil yang diperoleh melimpah ruah.
Tidaklah demikian di jaman baheula, melindungi padi cukup dengan pertolongan Dewi Sri,
asal saja yang punya sawah berpandai-pandai dengan sang dewi.
Menurut kepercayaan orang Minangkabau dulu, yakni sebelum agama Islam menyebar masuk
ke daerah ini, konon kabarnya setiap petak sawah dilindungi oleh Dewi yang bernama Saniang
Sari atau yang disebut juga Silan Sari, Sang Hyang Sri atau pun Dewi Sri.
Sampai sekarang pun kepercayaan mengenai Dewi Sri ini belum hilang benar, bahkan di
beberapa tempat atau desa (nagari) masih dipercayai orang.
Kata sahibul hikayat pula, Dewi itu bersemayam di serumpun padi yang dinamakan Induk
Padi. Induk Padi itulah yang melindungi sekalian padi di sebuah petak atau piring sawah.
Bagaimana caranya orang jaman dulu memilih padi untuk dijadikan benih yang akan
disemaikan, ikutilah cerita di bawah ini.
Jika malam telah larut, telah sunyi senyap dalam kampung, maka diambillah padi yang akan
dijadikan benih, lalu dimasukkan ke dalam sukatan bambu (takaran dari bambu) tanpa
memarasnya. Ketika memasukkan padi ke dalam sukatan, diucapkan mantra sebagai berikut:
“Kalau untung badan, setangkai jadi sesukat, serumpun jadi seketiding, akan dimakan anak
dan buah, akan dimakan orang semenda, untuk berlarak dan berlereng, akan menjamu isi
nagari”.
Kemudian padi itu dikekarkan di atas sehelai tikar lalu disembur dengan air sitawar sidingin.
Padi yang paling bagus, itulah yang dijadikan induk padi.
Pagi keesokan hari, pergilah sang petani itu ke sawah menyemaikan padi tsb, namun
sebelumnya diambil segenggam untuk dimakan ayam sambil membaca mantra:
“Kuurr … ayam, sebanyak padi dimakan ayam, lebih banyak lagi hendaknya padiku”.
Sampai di sawah atau di persemaian, terlebih dahulu ditanam serumpun untuk dijadikan
junjungan benih. Di sekeliling junjungan padi inilah disebarkan induk padi yang telah dipilih
malam sebelumnya. Sedangkan perempuan yang menebarkan benih itu mengorak sanggul

1
menggeraikan rambutnya, untuk menghormati induk padi tsb. Usai itu pulanglah ia, lalu mandi
berlimau atau bersiram air jeruk purut.

Pada waktu bertanam, yaitu memindahkan benih padi dari persemaian ke sawah, induk padi
itu disembur terlebih dahulu dengan air sirih sebagai tangkal agar jangan terkejut dan dibacakan
pula mantra:
“Saniang Sari janganlah terkejut karena orang melintas, jangan terkejut karena guruh dan
petir. Kalau hujan pencuci muka, kalau panas bawalah gelak, setangkai jadikan sesukat,
serumpun jadikan seketiding”.
Jika padi telah masak, maka pergilah orang menjemput “padi yang tujuh semenda” namanya,
yaitu induk padi tersebut. Induk padi ini baru boleh diambil, setelah padi yang lain selesai
disabit.
Mengambil induk padi dilakukan oleh para menantu muda yang berpakaian indah-indah dan
dilindungi pula dengan sebatang payung. Kemudian induk padi yang sudah diambil itu
dimasukkan ke dalam sebuah kambut berterawang, lalu diantarkan pulang yakni ke lumbung.
Kambut berterawang tadi disambut pula oleh seorang perempuan muda yang juga berpakaian
indah dan meletakkannya di tengah-tengah lumbung. Sementara itu asap kemenyan mengepul-
ngepul pula melingkungi induk padi tersebut.
Di tengah sawah, yaitu di tempat padi yang baru disabit dilunggukkan, diletakkan sebuah
piring lengkap dengan aneka santapan lezat yang diperuntukkan untuk Sang Dewi Saniang Sari.
Mengirik padi, yakni menginjak-injak batang padi agar padi terlepas dari tangkainya,
dilakukan bersama-sama di tengah sawah. Sekalian itu dilangsungkan dengan acara makan
minum bersama pula, lengkap dengan serunai dan gedang, tari dan pencak, nyanyi dan dendang,
tanda bergembira karena jerih payah berhasil baik.
Demikian konon ceritanya.-

Disadur dari: Berita Koto Gadang Th. IX – 1934.

You might also like