You are on page 1of 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemerataan pembangunan di segala bidang merupakan salah satu

pembangunan nasional yang dikumandangkan untuk menyediakan sarana dan

prasarana pembangunan kepada masyarakat. Pembangunan-pembangunan tersebut

terlaksana melalui perencanaan-perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah dengan

memanfaatkan ruang atau lokasi atau tempat dimana, bangunan yang akan disediakan

dapat memberikan nilai guna kepada masyarakat pengguna.

Tata ruang dalam konteks global dianggap sebagai tindakan-tindakan

manajerial untuk mewujudkan nilai dari ruang tersebut dalam pemanfaatannya. Tata

ruang lebih kongrit dikatakan dengan pemanfaatan lokasi-lokasi strategi untuk tujuan

pembangunan. Tata ruang dalam bidang olah raga hingga saat ini dihadapkan dengan

perencanaan-perencanaan yang matang untuk menyediakan ruang yang sesuai untuk

menunjang kegiatan olah raga.

Penggunaan lokasi lapangan golf dalam perencanaan dan pengembangan

menjadi lapangan olah raga untuk meningkatkan prestasi olah raga. Lapangan golf

yang ada di Kecamatan Baruga merupakan salah satu sarana olah raga yang

digunakan oleh masyarakat untuk bermain golf. Namun dalam perkembangannya

lapangan ini membutuhkan adanya penataan ruang yang memungkinkan untuk

meningkatkan adanya minat masyarakat dalam bermain golf. Saat ini lapangan golf
2

tersebut dilengkapi 18 hall dan 19 grin, serta irigasi, yang dibangun untuk mengaliri

air yang tergenang pada lapangan tersebut. Kontruksi lapangan golf masih bersifat

alami dan pada bagian-bagian tertentu telah dikemas menjadi tempat hal, gring dan

terminal. Dengan konstruk yang terbatas, dan tuntutan adalah peningkatan prestasi

olah raga, khususnya olah raga golf. Selama ini kegiatan olah raga golf hanya

digunakan oleh kalangan elit pejabat yang mengisi waktu istirahatnya, tetapi tidak

sebagai atlit golf.

Upaya pemerintah untuk melakukan perencanaan dan pengembangan tata

ruang lapangan golf menjadi bagian penting dalam rangka meningkatkan prestasi olah

raga golf. Upaya tersebut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah daerah untuk

menyalurkan

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang tentang pentingnya

kebijakan pemerintah untuk merencanakan pembangunan taman dalam kota di Kota

Raha, maka dalam penelitian ini disusun rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kebijakan perencanaan taman dalam kota di Kota Raha ?

2. Faktor-faktor apakah yang menghambat perencanaan pembangunan taman

dalam kota di Kota Raha ?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini sebagaimana rumusan

masalah penelitian adalah :


3

1. Untuk menganalisis kebijakan perencanaan pembangunan taman dalam kota

di Kota Raha

2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang menghambat perencanaan

pembangunan taman dalam kota di Kota Raha.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini diharapkan dapat :

a. Secara praktis, bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat

menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Muna dalam menetapkan

kebijakan yang mendukung perencanaan pembangunan taman dalam kota di Kota

Raha.

b. Secara Akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat

menguatkan aspek teoritis yang dapat menambah dan mengembangkan khasana

ilmu pengetahuan. Serta sebagai referensi bagi penelitian lain yang ingin

mengkaji lebih lanjut mengenai kebijakan perencanaan pembangunan taman

dalam kota di Kota Raha.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Penataan Ruang

Dalam rangka pengendalian pembangunan kawasan perkotaan tersebut, acuan

yang digunakan adalah penataan ruang. Ginanjar Kartasasmita (1997:2)

mengemukakan bahwa penataan ruang merupakan upaya perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dikarenakan jiwa dari

penataan ruang adalah kemitraan dan peranserta aktif masyarakat, maka diperlukan

suatu kerangka peraturan yang sifatnya tidak semata-mata membatasi dan mengatur

ruang gerak dan kegiatan masyarakat, akan tetapi juga memberi dorongan dan

peluang agar masyarakat berpartisipasi pula dalam kegiatan penataan ruang. Untuk

itu telah keluar PP Nomor 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban,

Serta Bentuk Dan Tata Cara Partisipasi Masyarakat Dalam Penataan Ruang. Khusus
5

untuk kawasan perkotaan diperlukan penataan ruang kawasan perkotaan yang

memuat konsepsi, kebijaksanaan, proses dan prosedur serta mekanisme serta petunjuk

yang jelas, serta mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan dari pihak-pihak

yang terkait, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta berbagai kalangan yang

ada di masyarakat. Masyarakat harus tergerak untuk menaati dan melaksanakannya

karena pengaturan ruang tersebut pada hakekatnya menguntungkan masyarakat.

Sjarifuddin Akil (2003:3) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip dalam

manajemen ruang publik termasuk penyediaan taman kota sebagai jalur hijau adalah

sebagai berikut :

1. Keterlibatan masyarakat, baik dalam hal pengelolaan dan pemeliharaan ruang

publik, dimana masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas

ruang publik, namun juga sekaligus memiliki kewajiban untuk memeliharanya.

Didalam Undang-Undang No.24/1992 tentang Penataan Ruang, pasal 5,

disebutkan bahwa: (a) setiap orang berkewajiban berperan serta dalam

memelihara kualitas ruang dan (b) setiap orang berkewajiban menaati rencana

tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan keterlibatan masyarakat, terutama dalam

pemeliharaan dan pengelolaan, maka jaminan keberlanjutan fungsi dari ruang

publik tersebut akan dapat lebih besar. Dalam konteks ini, masyarakat seyogyanya

dipandang sebagai elemen vital, yakni sebagai elemen yang paling memahami

hal-hal yang menjadi kebutuhannya sehingga ruang publik tercipta sesuai dengan

kebutuhan komunitasnya. Pada gilirannya hal ini akan mendorong tumbuhnya

rasa memiliki pada ruang publik tersebut.


6

2. Kemitraan dengan dunia usaha. Walapun pemerintah memiliki tanggung

jawab untuk menjamin tersedianya ruang publik, namun demikian penyediaannya

dapat diserahkan kepada dunia usaha. Dalam konteks ini pemerintah dapat

bertindak sebagai “fasilitator dan regulator” melalui berbagai perangkat

pengaturannya dan sekaligus sebagai pengawas yang menjamin penyediaan jalur

hijau pada ruang publik sesuai dengan kebutuhan warga kota.

3. Penegakan hukum (law enforcement) tanpa pandang bulu agar pelanggaran

pemanfaatan fasilitas umum tidak menjadi hal biasa sebagaimana dapat dijumpai

di berbagai tempat di Jakarta. Instrumen yang dapat digunakan sebagai landasan

penegakan hukum, disamping Rencana Tata Ruang Kota, adalah peraturan

mintakat (zoning regulations) yang juga ditetapkan melalui Perda. Instrumen ini

memungkinkan adanya peran yang kuat dari para ahli perencanaan kota,

arsitektur-landskap, lingkungan, dan sosial-budaya, untuk bersama-sama duduk

dalam Komisi Perencanaan Kota (Planning Commission) yang terus memantau

penyelenggaraan pengaturan zoning, khususnya zoning yang ditetapkan sebagai

ruang-ruang publik.

4. Penerapan instrumen insentif-disinsentif melalui mekanisme DAU yang mana

Pemerintah Pusat dapat mendorong Pemerintah Daerah untuk secara pro-aktif

mengembangkan dan mengelola ruang publik (termasuk prasarana dan sarana)

dengan kondisi dan kualitas yang memenuhi aspek-aspek yang telah dikemukakan

di atas. Instrumen ini pun diharapkan dapat mendorong Pemerintah Daerah untuk

menjamin adanya pemihakan yang tegas terhadap kelompok masyarakat


7

menengah ke bawah agar dapat memiliki akses dan alternatif (choice) yang sama

dengan kelompok lainnya.

5. Terpadu, terkoordinasi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Prinsip

tersebut dimaksudkan agar tercipta suatu keterpaduan antar sektor dan antar

wilayah dan tekoordinasinya program-program pembangunan yang berkelanjutan

dan berwawasan lingkungan.

6. Penataan taman kota dalam ruang publik tidak hanya terbatas secara

administratif namun juga termasuk pada kawasan (fungsional).

7. Penataan ruang publik juga disesuaikan dengan perkembangan ekonomi

wilayah tersebut.

8. Dukungan terhadap penyediaan taman kota yang terkait dengan penataan

ruang publik seperti pedoman lokasi dan penyediaan jalur hijau, pedoman

pelibatan masyarakat dalam membangun taman kota dalam ruang publik dan

Usulan SNI yang terkait dengan penyediaan jalur hijau di dalam kota.

Sjarifuddin Akil (2003:4) mengemukakan bahwa dalam upaya untuk

menjadikan suatu kota yang tertata dengan baik, bersih dan berwawasan lingkungan

memerlukan suatu penataan ruang kota yang sesuai dengan karakteristik dari kota

itu sendiri. Untuk menjadikan kota sesuai dengan yang diharapkan maka dalam

setiap pusat permukiman kota dapat menyusun Rencana Tata Ruang Kota agar dalam

pemanfaatan lahan untuk berbagai kebutuhan dapat diatur dalam rencana tata ruang

kota. Sebagai salah satu contoh dalam Rencana Tata Ruang Kota juga memuat

tentang pemanfaatan ruang untuk Taman Hijau Kota/jalur hijau yang secara jelas

diatur dalam Peraturan Daerah dari masing–masing Pemerintah Daerah Kota.


8

Pemanfaatkan ruang di daerah permukiman tetap harus memperhatikan dasar-

dasar mengenai manajemen ruang publik agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi

konflik antar pelaku pembangunan, antar masyarakat maupun dengan swasta.

Berdasarkan pada pemahaman tentang ruang publik dan fungsinya, kami memandang

beberapa aspek dasar yang seyogyanya dapat dipenuhi oleh suatu ruang

publik.adalah :

1. Aksesibel tanpa terkecuali (accessible for all) dimaksudkan bahwa

ruang publik termasuk ruang untuk olah raga seyogyanya dapat dimanfaatkan

oleh seluruh warga kota yang membutuhkan dan mudah dijangkau. Dengan

demikian, beberapa fenomena seperti penguasaan (private ownership) seperti

pemanfaatan ruang terbuka hijau atau lapangan olah raga untuk kegiatan sektor

informal yang dapat menghalangi warga kota untuk memanfaatkan ruang tersebut

sebagai tempat berolah raga yang merupakan kebutuhan manusia untuk kesehatan

jasmani.

2. Universalitas dimaksudkan bahwa penyediaan ruang publik seyogyanya

dapat mempertimbangkan berbagai kelas dan status kebutuhan masyarakat yang

mencerminkan pemenuhan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat baik kelas atas

sampai bawah, dari yang normal sampai yang menyandang cacat, dari anak-anak

sampai dewasa dan orang tua serta dari pria atau wanita. Lebih jauh, ruang publik

merupakan sarana kekuatan relasi sosial masyarakat yang karakternya dapat

dilihat seperti mengizinkan berbagai kumpulan/grup penduduk berada di

dalamnya, serta menghargai kelas-kelas masyarakat, perbedaan etnis, gender, dan

perbedaan umur. Walaupun secara umum, ruang ini bisa diakses semua manusia,
9

namun harus tetap mengikuti norma untuk tidak merugikan kepentingan umum di

dalamnya. Walaupun terlihat adanya fenomena menjamurnya pembangunan “pola

kontainer” (container development) yaitu bangunan yang mampu menampung

berbagai aktivitas sosial ekonomi secara sekaligus melalui misalnya Senayan

Plaza, Taman Ria Senayan, convention hall di Senayan menggantikan open space

yang ada yang sebetulnya dapat dimanfaatkan untuk prasarana olah raga ,

cenderung hanya dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas

dibandingkan dengan kelompok menengah bawah.

3. Keberlanjutan fungsi (functionability) dimaksudkan bahwa ruang publik untuk

berbagai kegiatan termasuk untuk olah raga seyogyanya dapat dijamin terus

berfungsi sebagaimana yang diharapkan, tidak hanya secara fisik namun yang

jauh lebih penting adalah aspek fungsinya itu sendiri. Banyak fenomena di Jakarta

dimana ruang publik dalam wujud taman kota misalnya secara fisik tersedia,

namun masyarakat tidak dapat memanfaatkannya dengan baik dan leluasa, baik

itu karena alasan keamanan (safety reason) maupun kenyamanan, misalnya

karena menjadi tempat berkumpulnya para pelaku kriminal dan prostitusi.

4. Kesesuaian fungsi dimaksudkan bahwa ruang publik harus dijamin dapat

dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya

bahwa wujud ruang publik dapat berbentuk shopping mall, ruang terbuka

hijau/taman, fasilitas umum/sosial, pedestrian, dan lain sebagainya. Namun

demikian, dapat kita lihat secara kasat mata, terutama setelah krisis ekonomi

banyak ruang publik tersebut telah beralih fungsi. Sebagai contoh, pedestrian

dimanfaatkan untuk pedagang kaki lima, badan jalan dimanfaatkan untuk tempat
10

parkir, dan lain sebagainya. Bahkan beberapa waktu yang lalu sempat muncul

kebijakan pengelola Gelora Senayan untuk menutup akses publik sementara

waktu dalam upaya mengembalikan fungsi kawasan tersebut karena sempat

dijejaki/dipenuhi oleh kegiatan pedagang kaki lima.

5. Dapat dioptimalkan sebagai bagian dari income/generate perkotaan.

Dengan mengoptimalkan ruang publik untuk berbagai kegiatan, diharapkan dapat

medorong aktivitas kegiatan ekonomi yang merupakan sumbangan pendapat bagi

daerah atau kawasan yang secara langsung akan meningkatkan perkembangan

perkotaan.

Berdasarkan UU No.24/1992, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada

dimensi perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk dimensi

pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang

dibedakan atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi, Kabupaten dan Kota,

serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci ; pemanfaatan ruang merupakan wujud

operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian

pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap

pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTR-nya. Selanjutnya, tata ruang

sendiri merupakan wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang,

baik yang direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan

keterkaitan pemanfaatan ruang.

Kawasan perkotaan dapat diartikan sebagai kawasan yang mempunyai

kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat

permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,


11

pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Sjarifuddin Akil (2003:5) mengemukakan

bahwa pengelolaan kawasan perkotaan (urban management) adalah kegiatan yang

mencakup perencanaan, pengaturan, pengorganisasian, pembangunan, pengoperasian,

termasuk pemeliharaan, pengendalian dan pembinaan dalam upaya memaksimalkan

efisiensi dan keterjangkauan pelayanan perkotaan bagi masyarakat. Didalam rencana

tata ruang kawasan perkotaan sendiri, diatur alokasi pemanfaatan ruang untuk

berbagai penggunaan (perumahan, perkantoran, perdagangan, ruang terbuka hijau,

industri, sempadan sungai, dsb) berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan,

keserasian, keterbukaan (transparansi) dan efisiensi, agar tercipta kualitas

permukiman yang layak huni (livable environment) dan berkelanjutan. Rencana tata

ruang merupakan landasan pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Dian Rukmana (2002) mengemukakan bahwa

penurunan kualitas lingkungan menyebabkan kawasan perkotaan berada dalam

kondisi yang mencemaskan sehingga mengancam keberlanjutan pembangunan kota-

kota tersebut. Hal ini disebabkan oleh visi pembangunan kota yang tidak jelas dan

cenderung untuk memenuhi tujuan berjangka pendek saja dan mengabaikan

pencapaian tujuan jangka panjang (development sustainability). Kasus banjir pada

sejumlah kota-kota penting di Indonesia pada awal tahun 2002 silam, yang kemudian

diikuti dengan kelangkaan air bersih dan kekeringan saat ini merupakan hal yang

menjadi ancaman serius bagi kawasan perkotaan pada masa mendatang. Sementara

itu Penelitian yang dilakukan Komaruddin (2002) menyimpulkan bahwa

penyimpangan terhadap rencana tata ruang kawasan perkotaan yang telah

mengakibatkan terjadinya kerusakan atau bencana lingkungan disebabkan adanya


12

faktor-faktor yang pada dasarnya bertitiktolak dari lemahnya urban governance.

Adapun faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :

(a) Lemahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya penataan ruang,

(b) Lemahnya kemampuan pengawasan dan pengendalian pembangunan, baik oleh

Pemerintah maupun oleh masyarakat,

(c) Lemahnya penegakan hukum, serta

(d) belum terciptanya semangat dan mekanisme kerjasama lintas wilayah dalam

pembangunan yang sinergis – Pada kasus banjir di Jabodetabek awal tahun 2002

misalnya, perubahan guna lahan yang masif pada daerah hulu – yang tidak sesuai

dengan peruntukannya – mengakibatkan dampak yang serius pada daerah hilir

2.2. Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah penggerak seluruh kehidupan bersama, seluruh

organisasi, biak pemerintahan, bisnis, maupun nirlaba, disetiap negara. Keunggulan

suatu negara ditentukan oleh kebijakan publik yang unggul Thomas R. Dye (1992:4)

mendefinisikan kebijakan publik sebagai segala sesuai yang dikerjakan pemerintah,

mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama

tampil berbeda. Riant Nugroho D. (2004:4) mendefinisikan kebijakan publik sebagai

suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu

dan praktek-praktek tertentu. Carl L Friedrick dalam Riant Nugroho, D (2004:5)

mengartikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan

seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan

ancaman dan peluang yang ada dimana kebijakan yang diusulkan tertentu ditujukan
13

untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rang

mencapai tujuan tertentu.

Kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan

oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern

adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh

negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak.

Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan

publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain

menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai

kepentingan serta mencapai amanat konstitusi. (William Dunn, 2003:5)

Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan

pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup juga

aspek anggaran dan struktur pelaksana. Joko Widodo (2007:1) Siklus kebijakan

publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan,

dan evaluasi kebijakan.

Achmady Z.A (1994:38) mengemukakan bahwa keterlibatan publik dalam

setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara

kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang

menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan

prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh terhadap isi

kebijakan publik yang akan dilahirkan. Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah

publik mengawasi penyimpangan pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme

kontrol publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu
14

kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan. Kebijakan publik menunjuk

pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat

demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan

keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan

sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-

undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; kedua,

kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga,

diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik

mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan

atau tidak. Dalam masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa

semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat

demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik

dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik. Kemampuan para

pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung

keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para

pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa

dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa

memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan

yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha

mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya.

dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat dipahami dengan cara memilah

dua konsepsi besarnya yakni kebijakan dan publik. terminologi kebijakan dapat

diartikan sebagai pilihan tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. artinya
15

kebijakan merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik dari

pilihan-pilihan yang ada. dalam konteks makro hal ini kemudian diangkat dalam porsi

pengambilan keputusan. Charles Lindblom dalam Bhatta Gambhir (1996:68)

menyatakan bahwa kebijakan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan. Karena

pada hakikatnya sama-sama memilih diantara opsi yang tersedia. Darwin (1995:5)

terminologi publik memperlihatkan keluasan yang luar biasa untuk didefinisikan.

akan tetapi dalam hal ini setidaknya kita bisa mengatakan bahwa publik berkaitan erat

dengan state, market dan civil society. merekalah yang kemudian menjadi aktor

dalam arena publik. sehingga publik dapat dipahami sebagai sebuah ruang dimensi

yang menampakan interaksi antar ketiga aktor tersebut.

Riant Nugroho, D (2004:118) mengemukkan bahwa dalam pelaksanaannya,

kebijakan publik harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan

petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi

masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang

menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa

mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini

akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai

penerima layanan. William Dunn (2003:86) memfokuskan politik pada kebijakan

publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan

analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan

pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup

kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel

bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.
16

2.3. Konsep Pembangunan

Dalam pengertian sehari-hari yang sederhana, dapatlah disebutkan bahwa

pembangunan merupakan usaha yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk

meningkatkan taraf hidup mereka. (Lange dalam Zulkarimen Nasution, 2004:27)

Namun untuk suatu pembahasan yang berlatar belakang ilmiah, tentu harus

diusahakan suatu pengertian yang kurang lebih menggambarkan apa yang dimaksud

sebagai pembangunan seperti modernisasi, perubahan sosial, industrialisasi,

westernisasi, pertumbuhan (growth) dan evolusi sosio kultural. Frey dalam

Zulkarimen Nasution (2004:28) mengemukakan bahwa pembangunan adalah

pertumbuhan (growth) terasa terlalu luas sedangkan industrialisasi terlalu sempit,

sementara westernisasi berwawasan sempit dan meragukan. Roger dalam Zalkarimen

Nasution (2004:28) mengemukakan bahwa pembangunan merupakan proses yang

terjadi pada level atau tingkatan sistem sosial,sedangkan modernisasi menunjuk pada

proses yang terjadi pada level individu.

Pembangunan adalah perubahan menuju pola-pola masyarakat yang

memungkinkan realisasi yang baik dari nilai-nilai kemanusiaan, yang memungkinkan

suatu masyarakat mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap lingkungannya dan

terhadap tujuan politiknya dan yang memungkinkan warganya mempunyai kontrol

yang lebih terhadap diri mereka senidir (Inayatullah dalam Nasution, 1996:37).

Rogers dan Shoemaker (Nasution, 1996:38) memberikan batasan

pembangunan adalah suatu jenis perubahan sosial dimana ide-ide baru diperkenalkan

kepada suatu sistem sosial untuk menghasilkan pendapatan perkapita dan tingkat

kehidupan yang lebih tinggi melalui metode produksi yang lebih modern dan
17

organisasi sosial yang lebih baik. Pembangunan adal;ah modernisasi pada tingkat

sosial.

Tehranian (1997:17) mengartikan istilah kemajuan (progress), pembangunan

(development) dan modernisasi sebagai suatu fenomena historis yang sama, yaitu

transisi dari masyarakat yang agraris menjadi masyarakat yang industrial.

Tujuan umum (goals) pembangunan adalah proyeksi, terjauh dari harapan-

harapan dan ide-ide manusia komponen-komponen dari yang terbaik yang mungkin

atau masyarakat idela terbaik yang dapat dibayangkan. Tujuan khusus (objective)

pembangunan adalah biasanya dipilih sebagai tingkat pencapaian sasaran dari suatu

program tertentu (Suld dan Tyson dalam Nasution, 2004:30) Selain pembangunan itu

mempunyai tujuan, juga mempunyai target. Target pembangunan diwujudkan dalam

tujuan-tujuan yang diteruskan secara konkrit, dipertimbangkan rasional dan dapat

direalisasikan sebatas teknologi dan sumber-sumber yang tersedia, yang ditegakan

sebagai aspirasi antara situasi yang ada dengan tujuan akhir pembangunan.

2.4. Konsep Perencanaan Pembangunan

Jan Tinbergen (1997:33 memberikan istilah development sebagai suatu

kerangka berpikir yang konseptual atau conceptual framework untuk menyebut

perubahan individual, institusional, nasional dan internasional, dan juga untuk

menyebut kemajuan atau progress merupakan fenomena development yang menjadi

pertumbuhan modernisasi, perubahan demokrasi, produktivitas, industrialisasi dan

sejumlah perubahan historis

Zulkarimen Nasution (2004:27) Pembangunan adalah perubahan menunju

pola-pola masyarakat yang memungkinkan realisasi yang lebih baik dari nilai-nilai
18

kemanusiaan yang memungkinkan suatu masyarakat mempunyai kontrol yang lebih

besar terhadap lingkungannya dan terhadap tujuan politiknya, dan yang

memungkinkan warganya memperoleh kontrol yang lebih terhadap diri mereka.

Penyelenggara dalam proses perencanaan haruslah melibatkan masyarakat

untuk menentukan hal -hal yang tersebut diatas. Kesepakatan yang dibuat antara

penyelenggara bersama dengan masyarakat tersebut akan dituangkan dalam sebuah

dokumen yang disebut piagam warga. Piagam Warga ini akan menjadi sebuah

tonggak dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Piagam warga memberikan

jaminan atas hak-hak masyarakat untuk memperoleh layanan sesuai dengan

kesepakatan bersama antara penyelenggara dan masyarakat sebagai penerima. Di

pihak lain, piagam warga juga memberikan jaminan kepada hak yang harus diterima

penyelenggara atas pelayanan publik yang diberikannya. Mekanisme pengawasan

dalam pelayanan publik selanjutnya akan mulai dari dari titik ini (Robins, 2000:192)

Bedi Arjun (1999:13) mendefinisikan perencanaan sebagai tahap penyusunan

kegiatan-kegiatan berdasarkan hasil identifikasi terhadap masalah-masalah yang

diperoleh secara langsung dilapangan. Perencanaan juga diartikan secara luas oleh

para ahli untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang definisi dari perencanaan .

Islamy (2000:102) mengemukakan bahwa perencanaan adalah bagian dari tujuan

yang akan dicapai melalui proses penyusunan langkah kerja yang berorientasi pada

bidang-bidang masalah yang dihadapi.

Suwignjo (1996:13) mengemukakan bahwa perencanaan adalah proses

pemikiran dan penentuan secara matang mengenai hal-hal yang akan dikerjakan pada
19

masa yang akan datang. Tjokroamidjojo (1997:63) mengemukakan bahwa

perencanaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Rencana di waktu perang

b. Perencanaan anti siklus

c. Perencanaan perspektif

d. Perencanaan proyek demi proyek

e. Perencanaan investor sektor publik

f. Perencanaan komprehensif sektor publik

g. Perencanaan regional secara fisik

h. Perencanaan pembangunan

Perencanaan fisik merupakan suatu perencanaan yang mengusahakan

kemanfaatan fungsional secara optimum dari tata ruang atau tata tanah seperti

perencanaan kota, perencanaan wilayah, dan perencanaan daerah transmigrasi atau

daerah pemukiman baru.

Tjokroamidjojo (1997:66) mengemukakan bahwa perencanaan pembangunan

mempunyai ciri-ciri yang antara lain :

1. Usaha untuk mencapai perkembangan sosial ekonomi yang tetap

2. Usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita

3. Usaha untuk mengadakan perubahan struktur ekonomi

4. Usaha untuk memperluas kesempatan kerja

5. Usaha untuk melakukan pemerataan pembangunan

6. Usaha untuk melakukan pembinaan lembaga-lembaga ekonomi

masyarakat
20

Arthur Lewis dalam Tjokroamidjojo (1997:73) mengemukakan bahwa

perencanaan adalah proses kegiatan usaha yang terus menerus dan menyeluruh dari

penyusunan suatu rencana, penyusunan program kegiatan, pelaksanaan serta

pengawasan dan evaluasi pelaksanaannya. Tahap-tahap dalam proses perencanaan

pembangunan antara lain :

a. Penyusun rencana

Penyusun rencana terdiri dari unsur-unsur :

1) Tinjauan keadaan sebelum memulai rencana untuk

mengidentifikasi masalah-masalah pokok yang dihadapi

2) Perkiraan keadaan masa yang akan dilalui rencana

3) Penetapan tujuan rencana

4) Identifikasi kebijaksanaan dan kegiatan usaha yang perlu

dilakukan dalam rencana

5) Proses pengambilan keputusan

b. Penyusunan program rencana

Dalam tahap ini dilakukan perumusan yang lebih terperinci mengenai tujuan

atau sasaran dalam jangka waktu tertentu, suatu perincian jadwal kegiatan, jumlah

dan kadwal pembiayaan serta penentuan lembaga atau kerja sama antar lembaga yang

akan melakukan program-program pembangunan

2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Pembangunan

Menurut Anderson dalam Winarno (2002) kebijakan atau policy dipergunakan

untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat suatu kelompok,

maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan
21

tertentu. Batasan lain yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye (1992:85) bahwa “

public policy is whatever government choose to do or not to do”. Seorang pakar ilmu

politik lain, Richard Rose (1995:14) menyarankan bahwa kebijakan hendaknya

dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta

konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu

keputusan tersendiri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah terkonsentrasi pada

otoritas pemerintah, kondisi perekonomian, politik dan administrasi pemerintahan.

William N. Dunn (2003:64) mengemukakan bahwa otoritas pemerintah menjamin

terlaksananya pengambilan keputusan-keputusan yang dilakukan untuk menunjang

kegiatan perekonomian dan administrasi pemerintahan. Sementara itu Bhatta

Gambhir (1996:55) mengemukakan bahwa kebijakan pembangunan dipengaruhi oleh

prinsip-prinsip pemerintah yang baik (good governance). Prinsip-prinsip tersebut

meliputi :

a) Partisipasi (Participation)

Sebuah kebijakan pemerintah yang partisipatif dapat melibatkan unsur-unsur yang

berperan penting dalam pemerintahan seperti unsur legislasi, masyarakat dan unsur

swasta.

b) Akuntabilitas (Accountability)

Sebuah kebijakan pemerintah yang akuntabilitas dapat dipetanggungjawabkan

kepada publik dan menjamin stabilitas pemerintahan dan tetap dipercaya.

c) Transparansi (Transparancy)
22

Sebuah kebijakan pemerintah yang transparansi dapat mencerminkan keutuhan

bangsa dan pemerintahan yang terbuka untuk diketahui masyarakat.

d) Daya Tanggap (Responsivenness)

Sebuah kebijakan pemerintah yang memiliki daya tanggap dapat menanggapi

berbagai keinginan dan keluhan masyarakat.

e) Berorientasi Pada Konsensus (Consensus Orientation)

Sebuah kebijakan pemerintah yang berorientasi pada konsensus dapat

memecahkan berbagai masalah dalam pemerintahan dan memberikan pelayanan

kepada masyarakat.

f) Keadilan (Equity)

Sebuah kebijakan pemerintah yang adil dapat menyelenggarakan pemerintahan

secara adil dan memberikan keadilan kepada masyarakat

g) Keefektifan dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)

Sebuah kebijakan pemerintah yang efektif dan efisien dapat mencermati kondisi

pemerintahan dan memberikan perubahan-perubahan dalam waktu yang singkat

untuk mendukung pelaksanaan pembangunan.

h) Visi Strategis (Strategis Vision)

Sebuah kebijakan pemerintah yang memiliki visi strategis, dapat membuat

perubahan secara strategis dalam pemerintahan. Berkaitan dengan faktor-faktor

tersebut, maka kebijakan pemerintah merupakan suatu keputusan yang menjadi

landasan hukum bagi pemerintah dalam melakukan pemerintahan


23

Program pembangunan harus melalui proses strategic penetapan bukan hanya

isinya (keputusan mengenai persoalan apa) namun juga prosesnya (bagaimana cara

mencapai tujuan kebijakan tersebut. Dengan kata lain disamping itu perlu dirumuskan

strategi program pembangunan juga terpenting adalah bagaimana

mengimplementasikannya.

Henri Nicolas (1997:7) mengemukakan studi pembangunan kebijakan publik

yang berkaitan dengan implementasi program pembangunan semakin mendapat

perhatian bukan saja di negara-negara maju tapi juga di negara-negara berkembang.

Meskipun demikian harus diakui bahwa di negara berkembang (dunia ketiga) saat ini

masih kurang yang memberikan perhatian serius terhadap hubungan antara ciri

kebijaksanaan, program dengan implementasinya atau studi yang mencoba

mengkorelasikan antara variabel implementasi dengan ciri rezim politik dimana

program pembangunan tersebut diimplementasikan.

Studi tentang implementasi kebijakan pembangunan dalam penelitian Wahab

(2000) menyaknikan kebijakan pembangunan sebagai usaha untuk memahami apa

yang senyatanya terjadi sesudah program diberlakukan atau dirumuskan. Dengan kata

lain yakni sebagai peristiwa dan kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan

kebijaksanaan, baik yang menyangkut usaha untuk melaksanakan program

pembangunan. Dalam konteks ini dapatlah dikatakan bahwa fungsi implementasi

yakni untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan atau

sasaran-sasaran negara diwujudkan sebagai hasil akhir suatu kegiatan yang

dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh sebab itu fungsi implementasi terdiri dari cara-

cara atau saran-saran tertentu yang dirancang secara khusus serta diarahkan menuju
24

tercapainya tujuan yang dan sasaran-sasaran yang dikehendaki. Wahab (2000)

melihat bahwa implementasi kebijakan pembangunan merupakan sandungan terberat

dan serius bagi efektivitas kebijaksanaan pembangunan dibanding sosial ekonomi.

Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam konteks ini pemerintahan boleh jadi mempunyai

sejumlah atau berbagai kebijaksanaan dalam bentuk program pembangunan yang

layak, misalnya hal yang bersentuhan dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan

keadilan pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan dan lain-lain. Tetapi sangat

disayangkan dalam menterjemahkan suatu kebijakan dalam bentuk program atau

proyek dalam tahap implementasi terkadang dihadapkan pada berbagai kendala.

Berbagai kendala tersebut antara lain, beberapa kebijakan hanya bersifat

statemen atau pernyataan simbolik, tanpa didukung political will dalam bentuk

undang-undang sehingga output yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang

direncanakan.

Riggs (1996:42) menyebutkan bahwa disamping disebabkan langkahnya

sumber-sumber kebijaksanaan dirumuskan secara sembrono dan berlawasan dari

kelompok sasaran boleh jadi merupakan penyebab dari semuanya yang disebabkan

oleh kelemahan administrasi yang telah menghambat bahkan sering menyebabkan

tidak tercapainya tujuan pembangunan ekonomi.

Lebih lanjut Riggs (1996:58) dalam analisisnya juga menyatakan bahwa

umunya di negara-negara baru berkembang khususnya di negara tradisional atau

dalam istilah Riggs “masyarakat prismatis” pelaksanaan pemerintahan mengalami

berbagai permasalahan seperti birokrasi tempaknya membuat aturan sendiri untuk

mempertahankan keberadaannya, senioritas, hubungan patron aturan jabatan ketat,


25

kerja sambilan, korupsi semuanya merupakan pertanda bahwa tekanan utama kaum

administrator tidak ditujukan untuk meningkatkan hasil kerjanya. Hubungan antara

keluarga dan kolega yang dominan.

Suatu hal yang menjadi hambatan dalam proses perencanaan yakni terkadang

para administrator dan para pejabat politik yang ada di daerah ada keengganan untuk

mengumpulkan data dan informasi yang terkait untuk kepentingan dalam

perencanaan dan implementasi kebijakan. Hal merupakan persoalan yang terus

diupayakan untuk mendapat perhatian di daerah.

Implementasi kebijakan dalam kaitannya sebagai suatu konsep atau gagasan

sangat ditentukan oleh ketajaman analisis yang didukung validasi data dan informasi.

Meskipun juga tidak dapat dipisahkan kualitas analisis ini tidak ada artinya bila

kebijakan yang diselenggarakan dalam lingkungan yang tidak kondusif. Konsep-

konsep dalam bentuk perencanaan akan sia-sia bila para pelaku kebijakan yang terkait

tidak menyadari arti pentingnya kebijakan tersebut. Dan tidak bersedia

mengalokasikan sumber daya dan biaya yang diperlukan untuk itu.

Fadillah (2001) dengan tegas mengatakan bahwa implementasi kebijakan

adalah suatu yang paling penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan

kebijakan.kebijakan-kebijakan akan berupa impian atu rencana yang bagus, yang

tersimpan rapi dalam arsip jika tidak diimplementasikan. Hal ini merupakan kondisi

ideal yang harus dipenuhi dalam mengimplementasikan suatu kebijakan.

Suatu kebijakan akan berjalan secara sistematik dan efektif manakala

terpenuhi beberapa hal, antara lain :


26

1. Para stakeholders yang terkait dalam proses kebijakan menyadari bahwa

pemerintah adalah organisasi untuk mencapai tujuan kolektif yang memiliki

otoritas penuh untuk menentukan kebijakan publik. Legistimasi keputusan-

keputusan yang diambil pemerintah akan begitu kuat jika pemerintah tidak

(terbiasa) menyalahgunakan kewenangan dan dengan demikian maka

masyarakat akan yakin bahwa pemerintah pemerintah akan melakukan sesuatu

yang baik untuk dirinya.

2. Pemerintah diyakini masyarakat memiliki kompetensi sehingga kebijakan-

kebijakan yang ditetapkan bisa diwujudkan. Pemerintah tidak hanya tahun apa

yang harus diputuskan, namun juga tahu bagaimana merealisasikan. Kontrol

terhadap dana dan berbagai sumber-sumber yang dilakukan pemerintah, serta

pembukuan berbagai prosedur dan tata kelembagaan yang dilakukan

memungkinkan pemerintah tampil sebagai pengelola proses kebijakan yang

kompeten.

3. Pemerintah diyakini oleh berbagai kelompok masyarakat setempat sebagai

organisasi politik yang sifatnya netral, tidak memihak golongan atau

kelompok tertentu. Jika masyarakat setempat tidak mencapai kenetralan

pemerintah, maka kebijakan yang dirumuskan akan direspon sebagai strategi

penindasan atau marginalisasi kelompok non pemerintah.

Miles dan Snow dalam Salusu (1998:118) melihat suksesnya implementasi

suatu kebijakan dapat dilihat dari perspektif lain dengan mengukur tingkat

kesesuaiannya dengan peraturan peundang-undangan dan petunjuk khusus dari para

birokrat. Dengan demikian lebih lanjut Salusu (1998:119) menyatakan bahwa


27

kesesuaian implementasi stratejik dengan peraturan perundang-undangan juga

mengandung makna kesesuaiannya dengan keinginan birokrasi

Grindle (1994:68) mengemukakan bahwa keberhasilan atau kegagalan implementasi

dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata dalam meneruskan atau

mengoperasionalkan berbagai program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya

keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur

atau membandingkan antara hasil akhir dari berbagai program tersebut dengan

berbagai tujuan kebijaksanaan. Untuk lebih mempermudah memahami proses

implementasi kebijaksanaan beserta cera mengevaluasi, maka Grindle

mengembangkan teori-teorinya dalam suatu gambar atau diagram implementasi

kebijakan yang dapat dipahami dengan jelas.

Dengan memahami konsep yang telah dikembangkan Grindle, maka secara

jelas dapat dilihat bahwa proses implementasi kebijaksanaan hanya dapat dimulai

apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula sifatnya umum diuraikan dan

dirinci dalam bentuk program-program. Selanjutnya program-program tersebut

dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan dan disertai berbagai macam saran dari sejumlah

dana atau biaya yang telah dialokasikan. Selanjutnya diterjemahkan ke dalam

kegiatan yang lebih operasional untuk mewujudkan berbagai tujuan dan sasaran-

sasaran yang telah ditetapkan atau direncanakan sebelumnya.

Pemahaman yang terkait dengan implementasi kebijaksanaan yang telah

diuraikan di atas, dipertegas oleh pendapat Grindle (1994:72) mengemukakan bahwa

kebijaksanaan negara tanpa syarat –syarat sebagaimana yang telah diuraikan Grindle,

maka kebijaksanaan negara seperti; kesehatan masyarakat, perumahan rakyat,


28

pendidikan atau pembangunan pedesaan boleh dikatakan hanya retorika politik dan

slogan politik.

Secara teoritis pada tahap implementasi ini proses perumusan kebijaksanaan,

dan berbagai program kemudian diaktifkan. Tetapi dalam tatanan operasional atau

praktek, perbedaan antara tahap perumusan kebijaksanaan dan tahap implementasi

sebenarnya sulit dipertahankan karena umpan balik dari prosedur implementasi

mungkin menyebabkan diperlukannya berbagai peruahan tertentu.

Perubahan-perubahan ini dapat terjadi pada tujuan-tujuan dan ara

kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Atau berbagai aturan atau pedoman yang sudah

disepakati atau dirumuskan ternyata perlu ditinjau kembali sehingga penyebab

peninjauan ulang terhadap pembuatan kebijaksanaan pada sisi implementasinya.

Dipahami pula bahwa proses implementasi negara yang satu dengan negara yang lain

akan berbeda, hal ini sangat terkait dengan sistem politik yang berlaku dalam suatu

negara.

Islamy (2000:105) melihat bahwa suatu kebijaksanaan negara akan menjadi

efektif apabila dilaksanakan dengan mempunyai dampak positif bagi anggoat

masyarakat. Atau dengan kata lain tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi

anggota masyarakat itu berkesesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah

dan negara. Oleh karena itu jika anggota masyarakat tidak bertindak atau berbuat

sesuai dengan keinginan atau harapan pemerintah, maka kebijaksanaan negara mejadi

tidak efektif.

Berdasarkan beberapa hal tersebut, lebih lanjut Islamy (2000:107)

menyimplkan bahwa semua kebijaksanaan negara, apapun bentuknya dimaksudkan


29

untuk mempengaruhi dan mengontrol perbuatan manusia sesuai dengan aturan-aturan

atau tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga dengan jelas

dapat kita lihat bagaimana legistimasi yang dimiliki oleh pemerintah dalam

pembuatan kebijakan.

2.6. Kerangka Pikir

Penataan ruang kota di Kota Raha merupakan bagian dari rencana

pembangunan yang meliputi penyediaan fasilitas kepentingan umum yang menjadi

kebutuhan publik. Penyediaan kebutuhan-kebutuhan publik dalam tata ruang kota

akan mendukung aktivitas publik yang memungkinkan terselenggara pemerintahan

dan perekonomian yang baik. Penataan ruang kota meliputi menyediakan taman

hijau kota, penyediaan sarana dan prasarana taman kota serta pembangunan jalur

hijau kota sebagai bagian dari rencana pembangunan kota Raha untuk mewujudkan

kota yang bersih dan hijau.

Pembangunan tata ruang kota membutuhkan kerja sama pemerintah,

masyarakat dan pihak swasta yang mendukung proses perencanaan pembangunan tata

ruang kota. Implementasi pembangunan tata ruang kota diatur dengan kebijakan

pemerintah baik untuk pengalokasian anggaran pembangunan, rencana kerja, wilayah

sasaran pembangunan dan kebijakan pengawasan serta kebijakan evaluasi terhadap

pembangunan yang direncanakan di Kota Raha.

Perencanaan pembangunan taman kota diatur dengan kebijakan pemerintah

daerah dan partisipasi masyarakat serta pihak swasta, serta mengatasi faktor-faktor

yang mempengaruhi perencanaan pembangunan taman kota di Kota Raha Sehingga


30

tujuan yang direncanakan dapat diwujukan dan menjadikan Kota Raha sebagai kota

hijau.

Sehubungan dengan penelitian tentang kebijakan perencanaan pembangunan

taman kota di Kota Raha, maka alat analisis yang digunakan adalah deskriptif

kualitatif untuk menganalisis kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap perencanaan

pembangunan taman kota dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

perencanaan pembangunan taman kota di Kota Raha. Dengan demikian akan

diperoleh kebijakan tata ruang yang dapat mendukung penyediaan taman di kota

Raha.

SKEMA KERANGKA PIKIR

Perencanaan Pembangunan
Taman Kota di Kota Raha

Rencana Pembangunan KEBIJAKAN PEMERINTAH


(Partispasi Stakeholder)
1. Penyediaan Taman Hijau
Kota
2. Penyediaan Sarana dan
Prasaran Taman Kota
3. Pembangunan jalur hijau
kota
31

KEBIJAKAN PERENCANAAN Faktor-Faktor Yang


PEMBANGUNAN TAMAN DI Mempengaruhi Kebijakan
KOTA Perencanaan
Pembangunan Taman Kota

PEMBANGUNAN TAMAN KOTA


DI KOTA RAHA

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kebijakan. Alasan penggunaan

metode kebijakan adalah untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala sosial yang

mendasar sehingga temuannya dapat direkomendasikan kepada pembuat keputusan

untuk bertindak secara praktis dalam perencanaan pembangunan (Sugiyono, 2006).

3.2. Variabel Penelitian, Definisi Operasional Dan Operasional Variabel

1. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini meliputi :


32

a. Variabel bebas adalah perencanaan pembangunan taman kota

di Kota Raha.

b. Variabel terikat adalah kebijakan pemerintah dalam mengatur

rencana pembangunan taman kota di Kota Raha

2. Definisi Operasional

a. Tata ruang adalah wilayah dalam lingkup terbatas yang membutuhkan proses

penataan.

b. Kebijakan adalah keputusan-keputusan yang dilakukan pemerintah untuk

menjalankan pemerintahannya.

c. Taman kota adalah wilaya dalam kota yang disediakan untuk membangun

taman hijau

2. Operasional Variabel

Operasional variabel dapat disajikan sebagai berikut :

Variabel Sub Variabel Indikator


Perencanaan Penyediaan taman hijau kota 1. Rencana pembangunan
Pembangunan (X1) taman (X1.1)
(X) 2. Pelaksanaan pembangunan
taman hijau (X1.2)
3. Evaluasi (X1.3)
Penyediaan sarana dan 1. Tujuan (X2.1)
prasarana taman kota (X2) 2. Sasaran (X2.2)
3. Strategi (X2.3)
Pembangunan jalur hijau 1. Tujuan (X2.1)
kota (X3) 2. Sasaran (X2.2)
3. Strategi (X2.3)
33

Kebijakan Kebijakan pemerintah (Y1) 1. Kebijakan Perencanaan


Pembangunan program pembangunan (Y1.1)
(Y) 2. Kebijakan program
pembangunan (Y1.2)
3. Evaluasi kebijakan
program pembangunan (Y1.3)

Variabel dalam penelitian ini dioperasionalkan melalui :

a. Perencanaan pembangunan taman kota merupakan upaya untuk menyediakan

taman hijau kota. Variabel ini dioperasionalkan sebagai berikut :

1) Penyediaan taman hijau kota adalah upaya untuk menyediakan kawasan

hijau di Kota Raha

2) Penyediaan sarana dan prasarana taman kota adalah upaya untuk tempat

(lokasi) hijau yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana untuk

kepentingan umum.

3) Pembangunan jalur hijau adalah upaya untuk menanam pohon disepanjang

jalan utama kota Raha.

b. Kebijakan pembangunan adalah keputusan-keputusan pemerintah terhadap

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan di Kota Raha. Variabel

ini dioperasionalkan sebagai berikut :

1) Kebijakan perencanaan program pembangunan yaitu keputusan-keputusan

yang ditetapkan untuk merencanakan pembangunan taman kota di Kota

Raha.

2) Kebijakan program pembangunan adalah keputusan-keputusan pemerintah

untuk melaksanakan program pembangunan taman kota


34

3) Evaluasi kebijakan pembangunan adalah upaya untuk mengevaluasi

keputusan-keputusan yang ditetapkan dalam melaksanakan pembangunan

taman kota.

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan perencanaan

pembangunan taman kota di Kota Raha dioperasionalkan melalui indikator :

faktor pendukung dan faktor penghambat.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data, sebagai

berikut :

1. Interview, yaitu teknik yang digunakan untuk memperoleh keterangan atau

informasi dari sumber data melalui wawancara berstruktur dan bebas secara

mendalam guna melengkapi data yang telah terkumpul

2. Telaah dokumentasi, yaitu teknik yang dipergunakan untuk memperoleh data

melalui kajian sumber pustaka, dokumen, peraturan-peraturan, undang-undang

dan keputusan-keputusan serta literatur.

3.4. Analisis Data

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan dari penelitian yang telah

diterangkan sebelumnya, maka analisis data yang digunakan adalah deskriptif

kualitatif.

Analisis deskriptif kualitatif meggunakan tabel frekuensi maupun tanpa tabel

frekuensi. Jika frekuensi dinyatakan dalam tabel persentase terhadap total frekuensi

maka tabel tersebut dinamakan tabel frekuensi rekatif (Sugiyono,2006).


35

3.5. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam wilayah Kota Raha Kabupaten Muna

sebagai lokasi pelaksanaan penelitian. Adapun waktu penelitian yang direncanakan

yaitu pada bulan Februari - April 2008

DAFTAR PUSTAKA

Achmady Z. A 1994, Kebijakan Publik dan Pembangunan, IKIP, Malang

Bhatta Gambhir, 1996, Capacity Building at the Local Level for Effective
Governance, Empowerment without Capasity is Meaningless, Manila
University, Philippiness.

Bedi Arjun, 1999, Komunikasi Pembangunan, Rineka Cipta, Jakarta.

Darwin 1995, Peluang Kawasan Kemitraan dan Pembangunan Desa, Bina Rena
Pariwara, Jakarta
36

Dian Rukmana, 2002, Kualitas Kawasan Perkotaan, Penelitian, www.google.com

Fadillah, 2001, Perencanaan Pembangunan, Bina Aksara, Jakarta

Ginandjar Kartasasimita 1997, Aspek Strategis Penataan Ruang Kawasan Perkotaan,


Makalah, www.ginandjar.com

Grindle Dunm, 1994, Management of Manpower Development and Organizational


Behaviour, New York, Mc Graw-Hill.

Henri Nicolas, 1997, Administrasi dan Masalah-Masalah Kenegaraan, Rajawali


Press, Jakarta

Islamy, M. Irfan, 1994, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara dan


Prakteknya di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta.

Jan Tinbergen, 1997, Rencana Pembangunan, Universitas Indonesia Press, Jakarta

Joko Widodo, 2007, Analisis Kebijakan Publik, Bayumedia Publishing, Malang.

Komaruddin, 2002, Rencana Tata Ruang Kota, Penelitian, www.google.com

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan


Kewajiban Serta bentuk dan Tata Cara Partisipasi Masyarakat Dalam
Penataan Ruang, Menteri Pekerjaan Umum RI, Jakarta

Riant D. Nugroho, 2006, Kebijakan Publik, Formulasi Implementasi dan Evaluasi,


Elex Media Komputerindo, Jakarta.

Richard Rose, 1995, Participation and Empowerman, New York, Mc Graw-Hill

Riggs Fred. W 1996, Ecologi Of Public Administration, Bombay, Aia Publishing.

Robins 2000, Public Policy and Public Administration, Social Forces, New York

Sjarifuddin Akil, 2003, Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Perkotaan, Direktorat


Jenderal Pemukiman dan Prasarana Wilayah RI, Jakarta

Solusu, 1998 Pengambilan Keputusan Stratejik Untuk Organisasi Publik dan


Organisasi Non Profit, Gramedia, Jakarta

Sugiyono, 2006, Metode Penelitian, Alfabeta, Bandung

Suwignjo, 1996 Administrasi Pembangunan, Liberty, Yogyakarta

Tehranian, 1997, Paradigma Pembangunan dan Kebijakan Publik di Indonesia,


Makalah, www.yahoo.com
37

Thomas R. Dye, 1992, Governance Development and Administrastion, London,


MacMillan Press.

Tjokroamidjojo Bintoro, 1997, Good Governance, Paradigma Baru Manajemen


Pembangunan, Rajawali Press, Jakarta

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, Kementrian


Pekerjaan Umum RI, Jakarta

Wahab, 2000 Kebijakan Pembangunan Perkotaan, Penelitian, www.google.com

Winarno Budi, 2002, Toeri dan Proses Kebijakan Publik, Media Presindo,
Yogyakarta

William Dunn, 2003, Kebijakan Publik, Gajah Mada University, Yogyakarta

Zulkarimen Nasution, 2004, Komunikasi Pembangunan, Pengantar Teori dan


Penerapannya. Rajawali Press, Jakarta

You might also like