Professional Documents
Culture Documents
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, masyarakat diartikan sebagai pergaulan hidup manusia (himpunan
orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan tertentu). 1 Sedangkan modern
diartikan yang terbaru, secara terbaru, mutakhir.2 Jadi secara harfiah masyarakat modern berarti
suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu
yang bersifat mutakhir.
Alfin Toffler membagi masyarakat menjadi tiga bagian, yaitu masyarakat pertanian
(agricultural society), masyarakat industri (industrial society), dan masyarakat informasi
(informatical society).ciri-ciri ketiga masyarakat tersebut sebagai berikut.
Masyarakat pertanian mendasarkan ekonominya pada tanah atau sumber lain. Teknologi
yang mereka gunakan adalah teknologi kecil seperti pompa penyemprot hama, racun tikus dan
sebagainya. Informasi yang mereka gunakan adalah media tradisional, dari mulut ke mulut,
bersifat lokal dan terpusat pada salah seorang yang dianggap tokoh. Dari segi lingkungan sosial
mereka menganut sistem keluarga batih, yaitu keluarga yang didasarkan pada ikatan darah dan
keturunan serta menetap pada suatu lokasi tertentu dan tidak berpindah-pindah. Dari segi
kejiwaan mereka selalu komitmen dengan lingkungan dan suasana masa lalu, banyak
menggunakan kekuatan yang bersifat irrasional seperti dukun, ahli nujum dan orang yang
dianggap sakti lainnya.
1
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1991), cet.XXI, hlm.636.
2
Ibid., hlm.635.
3
Deliar Noer, Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1987), hlm.24.
Masyarakat industri memiliki modal dasar yaitu peralatan produksi, mesin-mesin
pengolah bahan mentah menjadi barang atau makanan yang siap konsumsi, teknologi yang
digunakan ialah teknologi tinggi, yang hemat tenaga kerja, berskala besar dan bekerja secara
efektif dan efisien. Teknologi yang mereka gunakan yaitu media cetak atau tulisan yang dapat
disimpan oleh siapa saja., bersifat nasional dan terus berkembang. Keluarga yang mereka anut
yaitu keluarga inti, yakni orang tua, suami isteri, dan anak. Secara kejiwaan manusia pada era
industri yang diperlukan adalah manusia yang cerdas, berilmu pengetahuan, menguasai
teknologi, dan memandang bahwa segala sesuatu hanya terjadi jika mengikuti hukum alam.
Masyarakat informasi, dari segi teknologi, ekonomi dan informasi lebih bersifat pasti.
Dari segi ekonomi mulai bergeser dari mengukur kekayaan dengan pemilikan sumber daya alam
sebagai yang terdapat pada masyarakat pertanian, atau pada alat produksi sebagai yang terdapat
pada masyarakat industri, bergeser pada mengukur kekayaan pada pemilikan informasi. Dari segi
teknologi, komputer mulai mengambil alih berbagai profesi pada zaman industri.
Terjadinya perubahan masyarakat dari yang bercorak agrikultural dan industri menjadi
masyarakat yang bercorak informasi secara teoritis disebabkan oleh banyak faktor. Astrid S.
Susanto, antara lain menjelaskan hal ini dengan mengatakan, bahwa sebab-sebab dari timbulnya
perubahan masyarakat adalah banyak, yaitu antara lain karena majunya ilmu pengetahuan,
mental manusia, teknik dan penggunaanya dalam masyarakat, komunikasi dan transportasi,
urbanisasi, perubahan-perubahan pertambahan harapan dan tuntutan manusia (the rising
demand). Semuanya ini mempunyai pengaruh bersama dan mempunyai akibat bersama dalam
masyarakat, yaitu perubahan di dalam masyarakat secara mengagetkan, dan inilah yang
kemudian menimbulkan perubahan masyarakat.4 Itulah model perkembangan masyarakat yang
akan dan sedang kita jalani saat ini.
4
Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Bandung: Bina Cipta, 1979), cet.II, hlm.178.
B. Problematika Masyarakat Modern
“Revolusi Teknologi” dengan meningkatkan kontrol kita pada materi, ruang dan waktu,
menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, pola pikir dan sistem rujukan. Dalam kaitan ini
terdapat tiga keadaan dalam mensikapi revolusi industri, yaitu kelompok yang optimis, pesimis
dan pertengahan antara keduanya. Bagi kelompok yang optimis kehadiran revolusi teknologi
justru menguntungkan, seperti yang diperlihatkan Ziauddin Sardar. Menurutnya revolusi
informasi yang kini sedang dijajakan sebagai suatu rahmat besar bagi umat manusia. Penjajanya
yang agresif di televisi, surat-surat kabar dan majalah-majalah yang mewah begitu menarik. Pada
lingkungan-lingkuingan yang terpelajar, yatu di dalam jurnal-jurnal penelitian dan buku-buku
akademis, disebutkan bahwa revolusi informasi akan menyebabkan timbulnya desentralisasi, dan
karena itu akan menyebabkan timbulnya masyarakat yang lebih demokratis−telah meningkatkan
keragaman budaya melalui penyediaan informasi yang menyeluruh yang sesuai dengan
keragaman selera dan kemampuan ekonomi, memberi orang kesempatan untuk mengembangkan
kecakapan-kecakapan baru, meningkatkan produksi dan dengan demikian menciptakan
kemakmuran untuk semua lapisan masyarakat.5
Teknologi juga berbahaya jika berada di tangan orang yang secara mental dan keyakinan
keagamaan belum siap. Penggunaan teknologi kontrasepsi misalnya dapat menyebabkan orang
dengan mudah dapat melakukan hubungan seksual tanpa harus takut hamil atau berdosa. Di
bidang rekayasa genetika, melalui apa yang disebut bayi tabung, dapat mendorong manusia
memproduksi manusia untuk dijualbelikan sebagaimana buah-buahan, atau binatang. Di bidang
persenjataan menyebabkan orang berbisnis dalam persenjataan, dan untuk melancarkan bisnis ini
maka diciptakan situasi yang terus menerus konflik dan mencekam, yang pada akhirnya
memerlukan pembelian senjata untuk memperthankan daya dan kelangsungan hidupnya.
Keadaan ini terus berlanjut hingga dunia tak pernah aman.
Banyak negara yang sudah memiliki senjata-senjata biokimia yang dahsyat seperti virus
yang dapat mengubah kota ramai menjadi kumpulan bangkai, atau spesies baru yang dapat
menghancurkan ribuan hektar padi dalam sehari. Untuk menaklukkan suatu negara atau kota,
5
Ibid., hlm.44.
cukuplah orang memasukkan 500 gram LSD 25 dalam pusat air minum, dan seluruh penduduk
menjadi gila.6
Di bidang teknologi komunikasi seperti komputer, faximile, internet, dan sebagainya juga
akan membuka peluang bagi orang untuk lebih meningkatkan aktivitas jahatnya dalam bentuk
yang lebih canggih. Jaringan-jaringan peredaran obat-obat terlarang, tukar-menukar informasi,
penyaluran data film yang berbau pornografi dan sebagainya akan semakin intensif
pelaksanaannya.
Setelah mengajukan sejumlah kekhawatiran dari dampak teknologi ini, maka kaum yang
pesimistis ini mengajukan pertanyaan: Bolehkah ilmu pengetahuan dan teknologi yang netral
etika itu terus dikembangkan? Bukankah sebaiknya dibatasi penggunaannya? Dan kapankah
datangnya saat dimana manusia itu siap menerima kehaditan iptek?
Sementara pertanyaan tersebut7 belum terjawab, muncul pula persoalan baru. Saat ini
para ilmuwan sosial telah mencapai pula teknik-teknik pengendalian manusia melalui teori-teori
motivasi, proses persuasi dan ketaksadaran manusia. Pengetahuan mereka telah dimanfaatkan
oleh produsen untuk menyeret jutaan manusia kepada pola konsumtif yang irasional, kepada apa
yang disebut oleh Reinhold Neibuhr sebagai perbudakan proses produksi.
Sementara itu bagi kelompok yang mengambil sikap antara optimis dan pesimis
mengatakan, bahwa iptek itu positif atau membahayakan, inflasi dan pertumbuhan, tergantung
pada cara orang mengelolanya, tanpa harus ditangguhkan, dan demi kepentingan kerja sama dan
perdamaian. Sosiolog Perancis Jacques Ellul mengatakan bahwa kemajuan dalam bidang iptek
akan memberi pengaruh sebagai berikut:
1. Semua kemajuan teknologi menuntut pengorbanan, yakni dari sisi teknologi memberi
nilai tambah, tapi pada sisi lain dapat mengurangi.
2. Nilai-nilai manusia yang tradisional, misalnya harus dikorbankan demi efisiensi.
3. Semua kemajuan teknologi lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang
pemecahannya.
4. Efek negatif teknologi tidak dapat dipisahkan dari efek positifnya. Teknologi tidak
pernah netral. Efek negatif dan positif terjadi serentak dan tidak terpisahkan.
5. Semua penemuan teknologi mempunyai efek yang tidak terduga.
6
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991), cet.IV, hlm.157.
7
Ibid., hlm.157.
1. Disintegrasi Ilmu Pengetahuan
Kehidupan modern antara lain ditandai dengan spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan.
masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigmanya sendiri-sendiri dalam memecahkan
masalah yang dihadapi. Kalau semuanya berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tali pengikat dan
petunjuk jalan yang menguasai semuanya, yang terjadi adalah kian jauhnya manusia dari
pengetahuan (kearifan) akan kesatuan alam. Penggalian disiplin di atas bisa jadi malah
mendatangkan benturan-benturan antara yang satu dan yang lain, karena mereka telah menjerat
dirinya pada rasionalitas teknologis secara absolut, netral nilai keagamaan tapi sarat nafsu
penaklukan.
Karena kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya
kering nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak itu, maka manusianya menjadi pribadi yang
terpecah kehidupan manusia modern diatur menurut ilmu yang eksak dan kering.akibatnya kini
telah menggelinding proses hilangnya kekayaan rohaniah, karena dibiarkannya ilmu-ilmu positif
(ilmu yang hanya mengandalkan fakta-fakta empirik, obyektif, rasional, dan terbatas) dan ilmu-
ilmu sosial. Kita sama sekali tidak meremehkan atau tidak menghargai jasa yang diberikan ilmu
pengetahuan eksak dan sosial, tetapi, yang kita inginankan agar ilmu-ilmu tersebut
diintergerasikan antara satu dan yang lainnya melalui tali pengikat, yaitu ajaran agama dari
Tuhan, sehingga seluruh ilmu itu diarahkan pada tujuan memuliakan manusia, mengabdikan
dirinya pada Tuhan, berakhlak mulia dan seterusnya.
3. Penyalahgunaan Iptek
Sebagai akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari iakatan spiritual,
maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya sebagaimana disebutkan di
atas. Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk tujuan penjajahan suatu bangsa atas
bangsa lain, subversi dan lain sebagainya. Kemampuan di bidang rekayasa genetika diarahkan
untuk tujuan jual-beli manusia
4. Pendangkalan Iman
Akibat lain dari pola pikiran keilmuan tersebut di atas, khususnya ilmu yang hanya
bersifat empirik menyebabkan manusia dangkal imannya. Ia tidak tersentuh informasi yang
diberikan wahyu, bahkan informasi yang diberikan wahyu itu menjadi bahan tertawaan dan
dianggap tidak ilmiah dan kampungan.
Semangat persaudaraan dan rasa saling gotong royong yang didasarkan iman sudah tidak
nampak lagi, karena imannya sudah dangkal. Pola hubungan satu dan lainnya ditentukan oleh
seberapa jauh dapat memberikan keuntungan yang bersifat material. Demikian juga
penghormatan yang diberikan atas orang lain banyak diukur oleh sejauh mana orang tersebut
dapat memberikan manfaat secara material. Akibatnya ia menempatkan pertimbangan material
diatas pertimbangan akal sehat, hati nurani, kemanusiaan dan imannya.
Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup materialistik, maka
manusia dengan mudah dapat menggunakan prinsip menghalalkan segala cara dalam mencapai
tujuan. Jika hal ini terjadi maka terjadilah kerusakan akhlak dalam segala bidang, baik ekonomi,
politik, sosial, dan lain sebagainya.
Terdapat sejumlah orang yanmg terjerumus atau salah memilih jalan kehidupan. Masa
mudanya dihabiskan untuk memperturutkan hawa nafsu dan segala daya dan cara telah
ditempuhnya. Namun ada suatu saat dimana ia sudah tua renta, fisiknya sudah tidak berdaya,
tenaganya sudah tidak mendukung dan berbagai kegiatan sudah tidak dapat ia lakukan. Manusia
yang demikian ini merasa kehilangan harga diri dan masa depannya, kemana ia harus berjalan, ia
tidak tahu. Mereka perlu bantuan dari kekuatan yang berada diluar dirinya, yaitu bantuan Tuhan.
Banyak cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah tersebut, dan salah satu
cara yang hampir disepakati para ahli ialah dengan mengembangkan kehidupan yang beraklak
dan bertasawuf. Menurut Husein Nahr, paham sufisme mulai mendapat tempat di kalangan orang
masyarakat termasuk kalangan barat, karena mereka mulai merasakan kekeringan batin. Mereka
mulai mencari-cari dimana sufisme yang dapat menjawab sejumlah masalah tersebut di atas.
Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari
dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di hadirat-Nya.
Upaya ini antara lain dilakukan dengan kontemplasi, melepaskan diri dari jeratan dunia yang
senantiasa berubah dan bersifat sementara. Sifat dan pandangan sifistik ini sangat diperlukan
oleh masyarakat modern yang mengalami jiwa yang terpecah, asalkan pandangan terhadap
tujuan hidup tasawuf tidak dilakukan secara ekslusif dan individual, melaikan berdaya implikatif
dalam meresponi berbagai masalah yang dihadapi.
Dengan adanya bantuan tasawuf ini maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan
bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Hubungan ilmu dan ketuhanan
yang diajarkan agama jelas sekali. Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan
arah yang dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkuingannya, dan agama menyesuaikan
dengan jati dirinya. Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana” dan agama
menjawab pertanyaan yang diawali dengan “mengapa”. Ilmu tidak jarang mengeluarkan pikiran
pemiliknya, sedangkan agama menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.9
Selanjutnya sikap frustasi bahkan hilang ingatan alias gila dapat diatasi dengan sikap
ridla yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap segala keputusan
Tuhan. Ia menyadari bahwa Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu adalah Tuhan. Sikap yang
demikian itu diperlukan untuk mengatasi frustasi dan sebagainya.
Sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat
diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau diperbudak
atau terperangkap oleh pengaruh duniawi. Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan berani
menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam
tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranyapun harus ditempuh dengan cara yang disukai
Tuhan.
Demikian juga ajaran uzlah, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkap tipu daya
keduniaan, dapat pula digunakan untuk membekali manusia modern agar tidak menjadi sekruft
dari mesin kehidupan, yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa kemana. Konsep ini berusaha
membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya. Ini tidak
8
Husein Nashr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (terj.) Abdul Hadi W.M., dari judul asli, Living Sufisme, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1985), cet.I, hlm.181; Lihat pula, Ideals and Realities of Islam, hlm.121.
9
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), cet.III, hlm.376-377.
berarti seseorang harus menjadi pertapa. Ia tetap terlihat dalam berbagai kehidupan itu, tetapi ia
tetap mengendalikan aktivitasnya sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya larut
dalam pengaruh keduniaan.
Terakhir problema masyarakat modern di atas adalah manusia yang kehilangan masa
depannya, merasa kesunyian dan kehampaan jiwa di tengah-tengah derunya laju kehidupan.
Untuk ini ajaran akhlak tasawuf yang berkenaan dengan ibadah, zikir, taubat dan berdo’a
menjadi penting, sehingga ia tetap mempunyai harapan, yaitu bahagia hidup di akhirat nanti.
Bagi orang-orang yang sudah lanjut usia yang dahulu banyak menyimpang hidupnya, akan terus
dibayangi perasaan dosa, jika tidak segera bertaubat. Tasawuf akhlak memberi kesempatan bagi
penyelamatan manusia yang demikian. Itu penting dilakukan agar ia tidak terperangkap ke dalam
praktek kehidupan spiritual yang menyesatkan, sebagaimana yang akhir-akhir ini banyak
berkembang di masyarakat.
Itulah sumbangan positif yang dapat digali dan dikembangkan dari ajaran tasawuf
akhlak. Untuk itu, dalam mengatasi problematika masyarakat modern saat ini, akhlak tasawuf
harus dijadikan alternatif terpenting. Ajaran akhlak tasawuf perlu disuntikkan ke dalam seluruh
konsep kehidupan. Ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, polotik, kebudayaan dan lain sebagainya
perlu dilandasi ajaran akhlak tasawuf. Inilah harapan kita.
10
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interprestasi unutk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), cet.I, hlm.159.
11
Jalaluddin Rahmat, op. cit., hlm.158.