You are on page 1of 12

A.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia tercatat bahwa untuk
mendapatkan kebenaran, baik kebenaran yang berasal dari luar maupun dari
dalam dirinya, manusia senantiasa mempergunakan seluruh keberadaannya secara
utuh dan menyeluruh. Dengan cara seperti itu telah memungkinkan dihasilkannya
berbagai macam metode sebagai suatu sarana atau instrumen bagi manusia dalam
mendapatkan kebenaran yang objektif.
Secara epistemologis, Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat
dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh
setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca
indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif,
metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis. Epistemologi dari
bahasa Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah
cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi).
Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa
khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan
atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Berkebalikan dengan penalaran
deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memiliki
konsep yang canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan
lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteksi ini,
teori bukanlah syarat mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan
memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat melakukan generalisasi.
Penalaran deduktif adalah suatu prosedur yang berpangkal pada suatu
peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir
pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.
Sedangkan penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa

1
khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan
atau pengetahuan baru yang bersifat umum.
Namun demikian apabila dengan cermat kita memperhatikan dan
memahami kedua jenis metode penalaran ini, deduktif dan induktif, keduanya
tidak terlepas dari berbagai kritik. Hal ini menunjukkan bahwa baik penalaran
deduktif maupun induktif mengandung titik-titik lemah yang dapat kita anggap
sebagai keterbatasan dari keduanya.

2. Permasalahan
Berdasarkan Latar belakang di atas maka beberapa masalah yang ingin
dibahas di sini yaitu:
a. Apa kaitan antara induktivisme dan problema induksi terhadap Ilmu
Filsafat?
b. Kenapa ada ketergantungan observasi pada teori dalam filsafat ilmu.

3. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui apa
yang sebenarnya aliran induktivisme, problema induksi dan Kenapa ada
ketergantungan observasi pada teori dalam filsafat.

2
B. PEMBAHASAN

1. Induktivisme Dan Problematika Induksi


a. Francis Bacon dan Induktivisme
Bacon adalah seorang filosof yang berpengaruh pada zamannya. Menurut
para ilmuan, Bacon dianggap sebagai perintis perkembangan yang cukup besar
pada abad ke 17. Rintisannya terkait dengan keinginan Bacon untuk
meninggalkan ilmu pengetahuan lama dan mengusahakan ilmu yang baru.
Menurut pemikirannya, ilmu pengetahuan lama tidak sanggup memberikan
kemajuan, tidak dapat memberikan hasil-hasil yang bermanfaat serta tidak dapat
melahirkan hal-hal baru yang berfaedah bagi kehidupan umat manusia.
Bacon berpendapat bahwa orang Yunani terlalu terpesona dengan masalah
etis, orang Romawi dengan soal hukum, dan orang pada Abad Pertengahan
dengan teologi. Menurut anggapan Bacon, mereka semua tidak memusatkan diri
pada ilmu pengetahuan. Misalnya saja pada Abad Pertengahan, ilmu diperlakukan
sebagai abdi setia teologi. Perlakuan itu dianggapnya keliru, karena melalui ilmu
itulah, manusia akan dapat memperlihatkan kemampuan kodratinya. Atas dasar
pemikiran tersebut, Bacon menyatakan “Knowledge is Power” (pengetahuan
adalah kuasa). Menurut pemahaman Bacon, pengetahuan inderawi tidak dapat
menguasai segalanya, namun pengetahuan inderawi bersifat fungsional, dapat
dipergunakan untuk memajukan kehidupan manusia. Sedangkan “kuasa”
dipahaminya sebagai kuasa atas alam (natura non nisi parendo vincitur artinya
alam hanya dapat ditaklukkan dengan mematuhinya). Maksud Bacon, bahwa alam
hanya bisa dikuasai oleh pikiran kalau pikiran dapat mematuhinya dengan cara
memahami hukum-hukumnya, mempelajari sifat universalnya dan
perkecualiannya. Dengan menaklukkan alam, Bacon sangat percaya umat manusia
dapat sejahtera melalui ilmu pengetahuannya.
Berdasarkan pemikirannya tersebut, Bacon merumuskan dasar-dasar
berpikir induktif modern. Menurutnya, metode induksi yang tepat adalah induksi
yang bertitik pangkal pada pemeriksaan yang diteliti dan telaten mengenai data-

3
data partikular, yang pada tahap selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju
penafsiran terhadap alam (interpretatio natura). Untuk mencari dan menemukan
kebenaran dengan metode induksi, Bacon mengemukakan ada dua cara yang
harus dilakukan, yaitu:
1) Rasio yang digunakan harus mengacu pada pengamatan inderawi yang
partikular, kemudian mengungkapnya secara umum.
2) Rasio yang berpangkal pada pengamatan inderawi yang partikular
digunakan untuk merumuskan ungkapan umum yang terdekat dan masih
dalam jangkauan pengamatan itu sendiri, kemudian secara bertahap
mengungkap yang lebih umum di luar pengamatan.

Untuk menghindari penggunaan metode induksi yang keliru, Bacon


menyarankan agar menghindari empat macam idola atau rintangan dalam berpikir,
yaitu:
1) Idola tribus (bangsa) yaitu prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas
keajekan tatanan alamiah sehingga seringkali orang tidak mampu
memandang alam secara obyektif. Idola ini menawan pikiran orang
banyak, sehingga menjadi prasangka yang kolektif.
2) Idola cave (cave/specus = gua), maksudnya pengalaman dan minat pribadi
kita sendiri mengarahkan cara kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif
dikaburkan.
3) Idola fora (forum = pasar) adalah yang paling berbahaya. Acuannya adalah
pendapat orang yang diterimanya begitu saja sehingga mengarahkan
keyakinan dan penilaiannya yang tidak teruji.
4) Idola theatra (theatra = panggung). Dengan konsep ini, sistem filsafat
tradisional adalah kenyataan subyektif dari para filosofnya. Sistem ini
dipentaskan, lalu tamat seperti sebuah teater.

Apabila seorang ilmuan sudah luput dari semua idola itu, mereka sudah
mampu melakukan penafsiran atas alam melalui induksi secara tepat. Induksi
tidak boleh berhenti pada taraf laporan semata, karena ciri khas induksi ialah

4
menemukan dasar inti (formale) yang melampaui data-data partikular, berapapun
besar jumlahnya. Dalam hal ini, pertama yang perlu dikumpulkan data heterogen
tentang sesuatu hal. Kemudian urutannya akan nampak dengan jelas, yang paling
awal adalah peristiwa konkrit partikular yang sebenarnya terjadi (menyangkut
proses atau kausa efisien), kemudian suatu hal yang lebih umum sifatnya
(menyangkut skema, atau kausa materialnya), baru akan ditemukan dasar inti.
Dalam hal dasar inti ini, pertama-tama ditemukan dasar inti yang masih bersifat
partikular, yang keabsahannya perlu diperiksa secara deduksi. Jika yang ini sudah
cukup handal, barulah boleh terus maju menemukan dasar inti yang semakin
umum dan luas. Bagi Bacon, begitulah langkah-langkah induksi yang tepat.
Berdasarkan uraian di atas, Bacon memberikan ketegasan bahwa induksi
adalah menarik kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat
khusus. Induksi bukanlah penjumlahan belaka dari data-data khusus. Jika hal
tersebut dilakukan, induksi itulah yang dianggap menyesatkan, sebab hanyalah
generalisasi yang gegabah. Agar induksi mencapai kesimpulan obyektif yang
bersih dari idola-idola, diperlukan “contoh-contoh negatif”.

b. Konstruksi Induktivisme Bacon

Bacon adalah seorang filosof yang sangat mencolok minatnya pada ilmu
pengetahuan. Bahkan dia dianggap sebagai perintis filsafat ilmu pengetahuan.
Ungkapan Bacon yang terkenal adalah “Knowledge is Power” (pengetahuan
adalah kuasa). Dia sangat berkeyakinan bahwa pengetahuan adalah sumber
kemenangan dan kemakmuran manusia di dunia ini. Dengan pengetahuan,
manusia dapat menciptakan Mesiu untuk memperoleh kemenangan dalam perang.
Dengan pengetahuan, manusia juga dapat membuat Kompas yang bisa digunakan
sebagai penunjuk arah dalam mengarungi lautan atau membuat Mesin Cetak
untuk mempercepat penyebaran ilmu pengetahuan.
Melihat urgensinya ilmu pengetahuan, makanya manusia harus dapat
menguasainya. Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, seseorang harus
mengetahui terlebih dahulu hakikat dari pengetahuan itu sendiri. Menurut Bacon,
hakikat pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang

5
melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta. Persentuhan ini biasanya disebut
pengalaman. Bacon berpendapat, pengalaman dari hasil pengamatan yang bersifat
partikular akan menemukan pengetahuan yang benar, dan oleh karena itu ia yakin
bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan sejati.

2. Problem Induksi
Keterbatasan induktivisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan
melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya.
Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968) dalam
Suriasumantri (1994) terdiri atas tiga bagian.
a. Pengalaman yang merupakan dasar utama induktivisme seringkali
tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif. Pengalaman
ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja.
Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan
penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa
konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk
dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan
yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa
hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.
b. Dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia
sangat bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan induktivisme
yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera
manusia memiliki keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan
pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan
menyesatkan. Misalnya saja bagaimana tongkat lurus yang terendam di
dalam air akan kelihatan bengkok.
c. Dalam induktivisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh
bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi
sengaja dikembangkan dalam induktivisme dan empirisme untuk
memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah.

6
Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus
diuji terlebih dahulu.
Dalam Chalmer (1983), dinyatakan bahwa argumen-argumen induktif
tidak merupakan argumen yang valid secara logis. Bisa terjadi penyimpulan
argumen yang salah, walaupun premisnya benar. Misalnya, setelah dilakukan
observasi terhadap sejumlah besar gagak pada variasi kondisi yang luas, ternyata
didapat fakta gagak berwarna hitam. Maka dapat disimpulkan semua gagak adalah
hitam. Ini adalah penyimpulan induktif yang valid dan sempurna. Namun disini
tidak ada jaminan logis bahwa gagak yang diobservasi bisa saja ada yang coklat
atau merah jambu. Kalau hal ini terbukti, maka kesimpulan semua gagak hitam
adalah salah.
Penalaran induktif yang digunakan pada empirisme dan induktivisme
bukan merupakan prediksi yang benar-benar akurat. Induktif bisa dihasilkan
karena pengulangan-pengulangan secara terus menerus. Tetapi berapa pun
banyaknya observasi/pengamatan, tetap saja generalisasi yang didapat sukar
dibuktikan atau salah. Misalkan seekor ayam diberi makan oleh pemiliknya
sedemikian sehingga ayam tersebut setiap kali pemiliknya mendekat selalu tahu
bahwa saat itulah ia akan disuguhi makanan yang akan mengenyangkan dirinya.
Dengan demikian ayam (secara instingtif atau behavioristis) memiliki
pengetahuan atas suguhan makanan yang akan dimakan lewat kasus pembiasaan
yang diulang ulang. Ayam sampai pada kesimpulan bahwa majikan datang sama
dengan makanan datang. Ini merupakan kesimpulan umumnya. Namun suatu
ketika majikan datang dan sang ayampun mendekat. Bukan makanan yang di
dapat oleh sang ayam tapi tebasan pisau yang meneteskan darah dilehernya.
Majikan datang sama dengan maut. Dengan demikian kesimpulan umum bahwa
majikan datang sama dengan makanan menjadi sebuah pengetahuan yang salah
dan menjerumuskan sang ayam itu sendiri.
Tidak beda dengan hal ini adalah kepercayaan kita atas terbitnya matahari
dari timur. Karena setiap hari matahari selalu saja terbit dari timur (walaupun
mengalami pergeseran sedikit kearah utara atau selatan), hal ini tidaklah
menjadikan kesimpulan bahwa matahari selalu terbit dari timur merupakan sebuah

7
kebenaran mutlak. Tidak menutup kemungkinan suatu saat matahari bisa terbit
dari barat, utara atau selatan. Dari sini tampak bahwa pengetahuan ilmiah
bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan tetapi pengetahuan yang
probabel/berpeluang benar.
Disini terdapat satu bukti rasional bahwa penalaran induktif bisa jadi
menghasilkan kesimpulan yang berbahaya dan salah kaprah. Pengetahuan kita
yang bersumber dari penalaran atau pemikiran induktif bisa jadi salah. Bukan
makanan yang datang melainkan kematian. Demikianlah seperti contoh sang
ayam.
Menurut pandangan Hume, penalaran induksi sering pula dikaitkan
dengan sebuah korelasi atau hubungan baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap dua buah kejadian yang berbeda. Hasil-hasil kesimpulan secara
induksi juga dikaitkan dengan kausalitas sebuah kejadian. Karena sedemikian
sering kejadian A diikuti oleh kejadian B, maka diambil kesimpulan bahwa
kejadian A merupakan penyebab kejadian B. Hutan yang gundul menyebabkan
banjir.
Meskipun metode penalaran induktif bisa saja menghasilkan kesimpulan
yang salah, namun setidaknya kesimpulan yang diperoleh itu beralasan. Sehingga
kita tidak dapat mengatakan induksi sebagai suatu kesalahan karena untuk
melakukan perkiraan atau asumsi dengan induksi adalah valid. Memang benar
kita tidak dapat memastikan bahwa suatu teori/hipotesa melaui induksi itu benar,
namun kita dapat memastikan bahwa teori/hipotesa itu belum salah. Inilah
landasan berpikir saintifik. Selama masih belum ditemukan keaslahan
teori/hipotesa itu, maka teori/hipotesa itu akan selalu dianggap benar. Dengan
demikian induksi memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.

3. Ketergantungan Observasi pada Teori


Induktivisme bagian dari empirisme yang sangat menghargai pengamatan
empiris. Induktivisme naif berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari
observasi dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun
pengetahuan ilmiah diatasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari

8
keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Demikian pula
cara kita mengenal hukum-hukum alam pada kegiatan sehari-hari, yaitu dengan
cara induksi. Contohnya, sejak kecil kita memperhatikan bahwa matahari terbit di
timur. Hari berikutnya, masih demikian. Hari berikutnya, masih juga demikian.
Sampai hari ini, matahari masih juga terbit di timur. Kenyataan seperti itu
merupakan fakta khusus. Berdasarkan pengalaman ini, maka kita menyimpulkan
bahwa “setiap hari matahari terbit ditimur”. Perhatikan cara pengambilan
kesimpulan ini. Fakta-fakta khusus melahirkan sebuah kesimpulan umum. Ini
adalah penarikan kesimpulan secara induktif. Apakah dapat dipastikan bahwa
esok matahari juga terbit di timur? Tidak. Kita hanya dapat menganggap bahwa
sangat besar kemungkinannya esok hari matahari terbit lagi di timur. Hal ini
sesuai dengan sifat induksi yang spekulatif.
Pemikiran empirisme lahir sebagai suatu sanggahan terhadap aliran filsafat
rasionalisme yang mengutamakan akal sebagai sumber pengetahuan. Untuk lebih
memahami filsafat empirisme kita perlu terlebih dahulu melihat dua ciri
pendekatan empirisme, yaitu: pendekatan makna dan pendekatan pengetahuan.
Pendekatan makna menekankan pada pengalaman; sedangkan, pendekatan
pengetahuan menekankan pada kebenaran yang diperoleh melalui pengamatan
(observasi), atau yang diberi istilah dengan kebenaran a posteriori.
Para tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka
tidak puas dengan cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh
aliran rasionalisme. Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran sangat
menjunjung tinggi penalaran atau yang disebut dengan cara berpikir deduksi,
yaitu pembuktian dengan menggunakan logika. Sebaliknya, bagi John Locke,
berpikir deduksi relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan
pengalaman indera dalam pengembangan pengetahuan. Locke sangat menentang
pendapat mazhab rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan seseorang
sudah dibawa sejak lahir. Menurut Locke, pikiran manusia ketika lahir hanyalah
berupa suatu lembaran bersih (tabula rasa), yang padanya pengetahuan dapat
ditulis melalui pengalaman-pengalaman inderawi (McCleary, 1998). Lebih lanjut
ia berpendapat bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal

9
dari pengamatan atau refleksi. Inilah tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis
inilah, Locke mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan
perkembangan pikiran manusia (Brower dan Heryadi, 1986).
Tidak ada kesimpulan yang memiliki nilai kebenaran yang pasti. Yang ada
hanyalah kesimpulan dengan probabilitas benar atau peluang kebenaran. Menurut
Chalmer (1983), kondisi yang harus dipenuhi agar generalisasi atau kesimpulan
dianggap benar dan sah oleh induktivis disebutkan sebagai berikut : makin besar
jumlah observasi yang membentuk dasar induksi, makin besar variasi kondisi
dimana observasi dilakukan, dan keterangan observasi yang sudah diterima tidak
boleh bertentangan dengan hukum universal yang menjadi simpulannya. Namun
kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas (Chalmers, 1983).
Kebenaran yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan,
dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang
menunjukkan pengingkaran pada teori.
Ada dua asumsi penting dalam pandangan induktivisme naif tentang
observasi, yaitu:
a. Ilmu bertolak dari observasi.
b. Observasi menghasilkan landasan yang kukuh dan dari situ
pengetahuan dapat ditarik.
Pengamatan ilmiah harus memiliki organ indera dan instrumen yang benar
dan baik. Dua hal yang ditekankan pada observasi melalui penglihatan menurut
induktivis, yaitu pengamat dapat menangkap langsung sifat dari dunia luar selama
sifat itu terekam oleh otaknya dari tindakan melihat. Yang kedua, dua pengamat
normal memandang objek yang sama dari tempat yang sama akan melihat hal
yang sama pula.
Namun ternyata, kenyataannya tidak demikian. Pengalaman dua pengamat
ketika memandang satu objek yang sama dari tempat yang sama dalam keadaan
fisik yang sama tidak harus mendapatkan pengalaman visual yang sama, walau
hakikat gambar yang diterima retina mata sama.
Contoh praktek dalam ilmu mengilustrasikan hal yang sama yaitu apa
yang terlihat adalah pengalaman subyektif, tidak ditentukan oleh retina saja, tetapi

10
juga pada pengalaman, pengetahuan dan harapan secara psikologi dari pengamat.
Seperti pada membaca gambar hasil sinar X yang hanya bisa dilakukan oleh
seseorang yang memiliki pengetahuan dari pendidikan dan latihan dibidangnya.
Untuk memantapkan validitas suatu keterangan observasi memerlukan
pertolongan teori. Makin mantap validitasnya, makin ekstensif pengetahuan teori
yang digunakan. Hal ini jelas berlawanan dengan apa yang kita harapkan dari
induktivis, yakni untuk mengukuhkan keterangan observasi, perlu keterangan
observasi yang terjamin dan mungkin hukum-hukum dapat ditarik secara induksi
dari situ, bukan pada teori. Demikian juga saat melakukan suatu eksperimen,
kadang kita memerlukan atau dipancing teori yang didapat dari penelitian.
Ketergantungan observasi pada teori yang telah dibicarakan ini, menyudutkan
para induktivis naif. Namun para induktivis modern mulai mau memodifikasi
pandangannya. Jangkauan observasi empiris manusia yang terbatas sifatnya,
membuat observasi perlu diperkuat, dilengkapi dan ditunjang dengan penggunaan
sarana yang baik, pengandaian teoritis dan kemampuan merumuskan hasil
observasi secara logis rasional. Oleh karena itu, kedua metode penalaran deduktif
dan induktif, yang seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan
terpisah, tetapi dalam prakteknya, keduanya berangkat dari teori atau berangkat
dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita
berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara
fakta maka kita sedang mengandaikan teori. Dengan demikian, untuk
mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan
secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu wujud
penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum
logika.

11
C. PENUTUP

Kesimpulan
Induktivisme tidak dimaksudkan untuk menimbulkan keraguan tentang
peranan induksi dalam pembentukan pengetahuan melalui metode ilmiah. Kritik
ini haruslah dipandang sebagai acuan dalam mencari solusi alternatif mengatasi
kelemahan-kelemahan dalam induksi. Penggunaan pancaindera yang memiliki
keterbatasan harus dibantu dengan teknologi yang sempurna untuk
menyempurnakan pengamatan. Metode-metode eksperimen yang dijalankan harus
ditetapkan secara benar sehingga bias karena keterbatasan pengamatan manusia
dapat diminimalisasikan.
Pengalaman-pengalaman yang dibangun sebagai dasar kebenaran juga
harus didukung dengan teori-teori yang relevan. Bergantung pada pengalaman
pribadi saja bisa menimbulkan subyektivitas yang tinggi. Oleh sebab itu kajian
terhadap pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada sebelumnya harus dilakukan
sehingga kebenaran yang ingin didapatkan memiliki sifat obyektivitas yang tinggi.
Pengetahuan tidak semata-mata mulai dari pengalaman saja, tetapi ia harus
menjelaskan dirinya dengan pengalaman-pengalaman itu.
Kritik terhadap induksi perlu juga dipahami sebagai kritik terhadap ilmu
pengetahuan. Dengan adanya keterbatasan dalam induksi sebagai salah satu
prosedur dari metode ilmiah, memberi gambaran kepada kita bahwa kebenaran
dalam ilmu pengetahuan bukanlah satu-satunya kebenaran yang ada. Tetapi
sebagai ilmuwan, kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa di luar ilmu
pengetahuan masih terdapat kebenaran lain. Dengan demikian, kebenaran ilmu
pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri, tetapi didalam membangun keharmonisan
dan keseimbangan hidup, kebenaran ilmu pengetahuan perlu berdampingan
dengan kebenaran-kebenaran dari pengetahuan lain, seperti seni, etika dan agama.
Pengetahuan-pengetahuan lain di luar ilmu pengetahuan ilmiah perlu dipahami
pula dengan baik oleh para ilmuwan agar dapat menciptakan atau menghasilkan
nuansa yang lebih dinamis pada pengetahuan ilmiah.

12

You might also like