Professional Documents
Culture Documents
1. Pendahuluan
Matematika itu sulit! Begitu kesan pertama yang beredar di antara sebagaian besar
siswa dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kesan ini diyakini sebagai salah satu
penyebab kurang berminatnya sebagian besar untuk belajar matematika. Kesan-kesan
terhadap pelajaran matematika yang mereka alami selama belajar di sekolah adalah:
a. Menakutkan;
b. Sulit, abstrak, dan tak bermakna;
c. Membuat siswa stress;
d. Materi terlalu banyak;
e. Penuh dengan rumus-rumus;
f. Gurunya pada umumnya galak-galak;
g. Serius dan manusiawi;
Hal ini disebabkan oleh sistem pembelajaran yang hanya mengutamakan materi dari
pada kejelasan siwa terhadap materi yang diajarkan oleh guru, yang terpenting di sini
adalah materi selesai, entah siswa itu memahami ataupun tidak itu urusan belakangan.
Guru cenderung mentransfer pengetahuan yang dimilki ke pikiran anak dan anak
menerimanya secara pasif dan tidak kritis. Selain itu sistem pengajaran dahulu kurang
memberikan kebebasan terhadap siswa untuk berpikir kreatif dalam menyaleseaikan soal
atau masalah. Hal ini terlihat bila guru memberikan soal maka jawabannya pasti sama
seperti yang diajarkan guru dan siswa tidak mencoba cara lain sehingga bila diberi soal
yang sidikit berbeda atau aplikasi siswa akan mengalami kesulitan.
Masalah ini yang mengakibatkan matematika dipandang sebagai pelajaran yang
monoton, membosankan, dan tidak menarik sama sekali, sehingga jarang dari siswa yang
menyenangi mata pelajaran ini. Faktor-faktor tersebut yang mengakibatkan rendahnya
atau buruknya nilai siswa Indonesia dalam pelajaran matematika. Bertolak dari itu untuk
memperbaiki mutu pendidikan matematika Indonesia salah satu cara yang digunakan oleh
para matematikawan adalah menerapkan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI) khususnya dimulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD).
Pendekatan PMRI ini didasarkan pada realita dan lingkungan kehidupan yang ada di
sekitar siswa. Dengan demikian, penerapan PMRI diharapkan mempermudah siswa
dalam memahami dan mempelajari matematika, sehingga matematika menjadi
pelarajaran yang menyenangkan, tidak membosankan, menarik, dan diminati oleh siswa
2. Pengertian PMRI
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat dipisahkan
dari institude Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah
Utrecht University Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya yaitu
Profesor Hans Freudenthal (1905-1990), seorang penulis, pendidik dan
matematikawan berkebangsaan Jerman-Belanda.
Sejak tahun 1971, Institut ini mengembangkan suatu pendekatan teoritis
terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics
Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana
siswa belajar matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan (Hadi, 2005).
Realistik Mathematics education, yang diterjemahkan sebagai pendidikan
matematika realistik adalah sebuah pendekatan belajar matematika dari Frudenthal
Institute, Utrecht University di negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada
anggapan Hans Frudenthal (1905-1990) bahwa matematika adalah kegiatanmanusia.
Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika
dari guru ke siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep
matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Di sini matematika dilihat
sebagai kegiatan manusia yang bermula dari pemecahan masalah. Karena itu, siswa
tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Proses
penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia
nyata. Disini dunia nyata diartikan segala sesuatu yang berada di luar matematika,
seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun
dapat dianggap sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal
pembelajran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih penting dari pada
hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istilah matematisasi, yaitu
proses mematikakan dunia nyata. Proses ini digambarkan oleh de Lange sebagai
lingkaran yang tak berujung. Selanjutnya, oleh Treffers matematisasi dibedakan
menjadi dua yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertical. Kedua proses ini
digambarkan oleh Gravenmeijer sebagai proses penemuan kembali .
Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian soal-soal konstektual dari
dunia nyata. Dalam matematika horizontal siswa mencoba menyelesaikan soal-soal
dari dunia nyata dengan cara mereka sendiri, dan menggunakan bahasa dan simbol
mereka sendiri. Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep
matematika dalam matematisasi vertikal, siswa mencoba menyusun prosedur umum
yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung tanpa
bantuan konteks. Dalam istilah Freudenthal matematisasi horizontal berarti bergerak
dari dunia nyata ke dalam dunia simbol, sedangkan matematisasi vertikal berarti
bergerak dalam dunia simbol itu sendiri. Dengan kata lain, menghasilkan konsep,
prinsip atau model matematika dari masalah kontektual sehari-hari termasuk
matematisasi horizontal, sedangkan menghasilkan konsep, prinsip, atau model atau
matematika dari matematika sendiri termasuk matematisasi vertikal.
5. Tantangan PMRI
Ada beberapa tangtangan dalam pelaksanaan PMRI dalam pembelajaran. Antara lain:
a. Bagi guru
Ada kecenderungan bagi guru untuk mengajar dengan cara menyenangkan.
Anak diterangkan saja sulit menerimanya. Apa lagi jika guru tidak menerangkan atau
tidak mengajari. Kebiasaan cara guru mengajar inilah yang sulit diubah.
Membangkitkan kreatifitas anak ternyata sulit sekali, akhirnya guru tidak sabar.
Kebuntuan ini yang menyebabkan guru kembali mengajar dengan cara menerangkan.
Evaluasi belajar yang dilakukan guru selama ini adalah hasil, bukan proses. Maka
guru juga mengalami kesulitan dalam melaksanakan evaluasi. Oleh karena itu
tantangan bagi guru ini, mampukah guru mengubah cara mengajar kearah PMRI,
tanpa ditunggui atau dimonitor?
b. Bagi siswa
Siswa yang mengalami lambat belajar sulit bergaul dalam menyelesaikan
masalah. Sudah didorong-dorong namun anak masih juga sulit berkreatif. Sementara
anak yang sudah merasa bisa ada yang sudah bosan dengan pelajaran yang sudah
diberikan.
Seandainya nanti pemerintah tidak menerima pilot proyek yang sangat baik ini
dan pada akhirnya proyek PMRI berhenti maka seolah-olh uji coba PMRI tidak
berhasil dan sia-sia. Sehingga upaya perubahan tidak berjalan. Akhirnya kembali ke
cara lama dan PMRI hanya sebagai pesan dan kesan yang ada di benak guru.
6. Karakteristik PMRI
De Lange mengungkapkan bahwa teori PMRI terdiri dari 5 (lima) karakteristik
(Zulkardi, 1999) yaitu ;
a. Penggunaan konteks nyata (real context) sebagai starting point dalam pembelajaran
untuk dieksplorasi.
b. Penggunaan model-model.
c. Penggunaan hasil belajar siswa dan kontruksi.
d. Interaksi dalam proses belajar atau interaktivitas.
e. Keterkaitan (connection) dalam berbagai bagian dari materi pelajaran
Beberapa hal yang perlu dicatat dari karakteristik pendekatan matematika realistik
di atas adalah bahwa pembelajaran matematika realistik
a. termasuk “cara belajar siswa aktif” karena pembelajaran matematika dilakukan
melalui ”belajar dengan mengerjakan;.”
b. termasuk pembelajaran yang berpusat pada siswa karena mereka memecahkan
masalah dari dunia mereka sesuai dengan potensi mereka, sedangkan guru hanya
berperan sebagai fasilitator;
c. termasuk pembelajaran dengan penemuan terbimbing karena siswa dikondisikan
untuk menemukan atau menemukan kembali konsep dan prinsip matematika;
d. termasuk pembelajaran kontekstual karena titik awal pembelajaran matematika
adalah masalah kontekstual, yaitu masalah yang diambil dari dunia siswa;
e. Termasuk pembelajaran konstruktivisme karena siswa diarahkan untuk menemukan
sendiri pengetahuan matematika merka dengan memecahkan masalah dengan diskusi.
10.Peran Guru
Pemikiran dan konsepsi di atas menggeser peran guru dalam kelas. Kalau dalam
pendekatan tradisional guru dianggap sebagai pemegang otoritas yang mencoba
memindahkan pengetahuannya kepada siswa, maka dalam pendekatan matematika
realistik ini guru dipandang sebagai fasilitator, moderator, dan evaluator yang
menciptakan situasi dan menyediakan kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali
ide dan konsep matematika dengan cara mereka sendiri. Oleh karena itu, guru harus
mampu menciptakan dan mengembangkan pengalaman belajar yang mendorong siswa
untuk memiliki aktivitas baik untuk dirinya sendiri maupun bersama siswa lain
(interaktivitas). Akibatnya guru tidak boleh hanya terpaku pada materi dalam kurikulum
dan buku teks, tetapi harus terus menerus memutakhirkan materi dengan masalah-
masalah baru dan menantang. Jadi, peran guru dalam pendekatan matematika realistik
dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Guru harus berperan sebagai fasilitator belajar;
b. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
c. Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberi sumbangan pada
proses belajarnya;
d. Guru harus secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan masalah-masalah dari
dunia nyata; dan
e. Guru harus secara aktif mengaitkan kurikulum matematika dengan dunia nyata, baik
fisik maupun sosial.
5) Hubungan di antara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan
dengan masalah dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling kait
mengait dalam penyelesaian masalah.
Sekarang mari kita membahas karakteristik di atas untuk melihat bagaimana
seharusnya pembelajaran matematika dirancang. Pertama, pembelajaran matematika
harus realistik. Dalam bahasa Belanda kata realiseren berarti membayangkan. Jadi,
pembelajaran matematika realistik dapat diartikan sebagai pembelajaran matematika
yang dapat dibayangkan oleh siswa. Karena itu, pembelajaran matematika harus
dimulai dengan masalah yang diambil dari dunia nyata supaya siswa dapat
membayangkannya. Masalah yang dipilih harus disesuaikan dengan konteks
kehidupan siswa. Artinya, masalah yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa.
Contoh, dalam konteks makanan khas suatu daerah, rica-rica hanya cocok digunakan
di Sulawesi Selatan, tetapi tidak cocok untuk digunakan di Kalimantan selatan. Dalam
konteks bangunan untuk pembelajaran bentuk-bentuk geometri, misalnya, Jembatan
Barito tidak cocok untuk digunakan di Papua, karena siswa tidak dapat
membayangkan bangunan-bangunan tersebut. Ini adalah karanteristik kedua.
Selanjutnya, dalam pembelajaran matematika realistik siswa diberi sebuah masalah
dari dunia nyata dan diberi waktu untuk berusaha menyelesaikan masalah tersebut
dengan cara dan bahasa serta simbol mereka sendiri. Misalnya, pada awal
pembelajaran guru bercerita bahwa dia memiliki dua potong pizza dan akan membagi
kedua potong pizza itu kepada tiga orang anaknya. Kemudian guru itu bertanya
kepada siswa bagaimana cara memotong pizza tersebut supaya ketiga anaknya
mendapat bagian yang sama banyak. Selanjutnya siswa diberi waktu untuk
menyelesaikan masalah itu dengan cara mereka sendiri, seperti membuat gambar atau
mencari sesuatu yang menyerupai pizza. Tentu saja pembelajaran ini akan lebih
menarik bila guru tadi benar-benar membawa dua potong pizza ke dalam kelas.
Karakteristik selanjutnya adalah sifat interaktif. Setelah diberi kesempatan
menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri, siswa diminta menceritakan cara
yang digunakannya untuk menyelesaikan masalah tersebut kepada teman-teman
sekelasnya. Siswa lain diminta memberi tanggapan mengenai cara yang disajikan
temannya. Dengan cara seperti ini siswa dapat berinteraksi dengan sesamanya,
bertukar informasi dan pengalaman, serta berlatih mengkomunikasikan hasil kerjanya
kepada orang lain. Akhirnya, siswa dibimbing untuk menemukan aturan umum untuk
menyelesaikan masalah sejenis. Di sinilah siswa dapat melihat hubungan matematika
dengan kehidupan sehari-hari atau dengan pelajaran lain. Inilah yang membuat
pembelajaran matematika lebih bermakna.
4) Penutup
Sebagai penutup, siswa diminta mengerjakan soal dan diberi pekerjaan rumah
yang berkaitan dengan materi perbandingan pecahan. Pada akhir pelajaran guru
mengajak siswa bersama-sama menyimpulkan apa yang sudah mereka kerjakan
dan pelajari saat itu.
23 - … = 12 … - 14 = 37
78 - … = 26 … - 24 = 65
67 - … = 34 … - 52 =14
76 - … = 26 … - 23 = 56
Bagi siswa kelas 2 SD melengkapi kalimat matematika sebagai mana soal-
soal di atas bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak siswa yang mengalami
kesulitan. Berdasarkan persoalan tersebut Frans Moerlands dan Annie Makkink
membuat pembelajaran yang menarik dengan menggunakan kaos kaki sebagai
media. Mereka menyebut peljaran ini dengan “The Chalk Frog”(Katak Pemakan
kapur).
Permainan tersebut bertujuan membantu siswa memahami operasi hitung
untuk melengkapi kalimat terbuka (mengisi titik-titik) dengan bilangan yang
benar. Guru memulai pelajaran dengan menuliskan beberapa soal di papan tulis.
Soal-soal operasi hitung biasa. Sebagian besar siswa tidak mengalami kesulitan
menjawab soal-soal tersebut, sehinggga dalam waktu singkat semua soal terjawab.
Katak Pemakan Kapur, sesuai dengan namanya suka memakan tulisan yang
ada di papan tulis. Tujuan permainan ini adalah memberikan pemahaman konkret
kepada siswa tentang arti kalimat terbuka (operasi hitung). Pada operasi hitung 23
- … =12, siswa-siswa melihat bilangan (23 dan 12) dan simbol(-) tetapi tidak
berati kalimat terbuka tersebut selalu dapat diselesaikan dengan bilangan dan
operasi hitung itu (23 – 12=11). Salah satu unsur penting dalam PMRI adalah
membuat matematika bermakna bagi siswa. Dengan permainan tersebut, anak-
anak akan melihat makna operasi hitung tersebut.
Kaos kaki bekas yang disulap menjadi katak ternyata efektif menjadi media
untuk permainan “katak pemakan kapur”. Bagi anak-anak, operasi hitung (kalimat
terbuka) yang sebelumnya terlihat sulit, setelah permainan ini menjadi jelas. Jadi,
dengan alat yang sederhana tetapi dengan pengaturan suasana yang menarik,
anak-anak merasakan pelajaran matematika lebih menarik sehingga lebih mudah
dipahami.