You are on page 1of 22

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA

1. Pendahuluan
Matematika itu sulit! Begitu kesan pertama yang beredar di antara sebagaian besar
siswa dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kesan ini diyakini sebagai salah satu
penyebab kurang berminatnya sebagian besar untuk belajar matematika. Kesan-kesan
terhadap pelajaran matematika yang mereka alami selama belajar di sekolah adalah:
a. Menakutkan;
b. Sulit, abstrak, dan tak bermakna;
c. Membuat siswa stress;
d. Materi terlalu banyak;
e. Penuh dengan rumus-rumus;
f. Gurunya pada umumnya galak-galak;
g. Serius dan manusiawi;
Hal ini disebabkan oleh sistem pembelajaran yang hanya mengutamakan materi dari
pada kejelasan siwa terhadap materi yang diajarkan oleh guru, yang terpenting di sini
adalah materi selesai, entah siswa itu memahami ataupun tidak itu urusan belakangan.
Guru cenderung mentransfer pengetahuan yang dimilki ke pikiran anak dan anak
menerimanya secara pasif dan tidak kritis. Selain itu sistem pengajaran dahulu kurang
memberikan kebebasan terhadap siswa untuk berpikir kreatif dalam menyaleseaikan soal
atau masalah. Hal ini terlihat bila guru memberikan soal maka jawabannya pasti sama
seperti yang diajarkan guru dan siswa tidak mencoba cara lain sehingga bila diberi soal
yang sidikit berbeda atau aplikasi siswa akan mengalami kesulitan.
Masalah ini yang mengakibatkan matematika dipandang sebagai pelajaran yang
monoton, membosankan, dan tidak menarik sama sekali, sehingga jarang dari siswa yang
menyenangi mata pelajaran ini. Faktor-faktor tersebut yang mengakibatkan rendahnya
atau buruknya nilai siswa Indonesia dalam pelajaran matematika. Bertolak dari itu untuk
memperbaiki mutu pendidikan matematika Indonesia salah satu cara yang digunakan oleh
para matematikawan adalah menerapkan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI) khususnya dimulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD).
Pendekatan PMRI ini didasarkan pada realita dan lingkungan kehidupan yang ada di
sekitar siswa. Dengan demikian, penerapan PMRI diharapkan mempermudah siswa
dalam memahami dan mempelajari matematika, sehingga matematika menjadi
pelarajaran yang menyenangkan, tidak membosankan, menarik, dan diminati oleh siswa

2. Pengertian PMRI
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat dipisahkan
dari institude Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah
Utrecht University Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya yaitu
Profesor Hans Freudenthal (1905-1990), seorang penulis, pendidik dan
matematikawan berkebangsaan Jerman-Belanda.
Sejak tahun 1971, Institut ini mengembangkan suatu pendekatan teoritis
terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics
Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana
siswa belajar matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan (Hadi, 2005).
Realistik Mathematics education, yang diterjemahkan sebagai pendidikan
matematika realistik adalah sebuah pendekatan belajar matematika dari Frudenthal
Institute, Utrecht University di negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada
anggapan Hans Frudenthal (1905-1990) bahwa matematika adalah kegiatanmanusia.
Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika
dari guru ke siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep
matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Di sini matematika dilihat
sebagai kegiatan manusia yang bermula dari pemecahan masalah. Karena itu, siswa
tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Proses
penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia
nyata. Disini dunia nyata diartikan segala sesuatu yang berada di luar matematika,
seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun
dapat dianggap sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal
pembelajran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih penting dari pada
hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istilah matematisasi, yaitu
proses mematikakan dunia nyata. Proses ini digambarkan oleh de Lange sebagai
lingkaran yang tak berujung. Selanjutnya, oleh Treffers matematisasi dibedakan
menjadi dua yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertical. Kedua proses ini
digambarkan oleh Gravenmeijer sebagai proses penemuan kembali .
Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian soal-soal konstektual dari
dunia nyata. Dalam matematika horizontal siswa mencoba menyelesaikan soal-soal
dari dunia nyata dengan cara mereka sendiri, dan menggunakan bahasa dan simbol
mereka sendiri. Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep
matematika dalam matematisasi vertikal, siswa mencoba menyusun prosedur umum
yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung tanpa
bantuan konteks. Dalam istilah Freudenthal matematisasi horizontal berarti bergerak
dari dunia nyata ke dalam dunia simbol, sedangkan matematisasi vertikal berarti
bergerak dalam dunia simbol itu sendiri. Dengan kata lain, menghasilkan konsep,
prinsip atau model matematika dari masalah kontektual sehari-hari termasuk
matematisasi horizontal, sedangkan menghasilkan konsep, prinsip, atau model atau
matematika dari matematika sendiri termasuk matematisasi vertikal.

3. Teori Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)


Teori PMRI sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti
kontruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat
CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivisme maupun CTL mewakili teori belajar
secara umum. PMRI merupakan suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus
untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep pendidikan matematika
realistik sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di
Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa
tentang matematika dan mengembangkan daya nalar (Hadi, 2004). Paradigma baru dalam
pembelajaran sekarang ini khususnya PMRI menekankan terhadap proses pembelajaran
dimana aktivitas siswa dalam mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan
yang dia perlukan benar-benar menjadi pengalaman belajar tersendiri bagi setiap
individu.

4. Kelebihan pembelajaran Matematika dengan Menggunakan pendekatan PMRI


a. Pelajaran matematika dengan pendekatan PMRI sangat komprehensif.
Artinya penyajian materi pelajaran selalu dihubungkan dengan materi lain.
Ketika siswa mengerjakan suatu soal, dia selalu berpikir tentang kaitan suatu soal
dengan soal yang sudah pernah dia selesaikan, atau antara suatu materi baru dengan
materi lama yan pernah dia pelajari. Dengan demikian, siswqa ynag sudah dapat
mengerjakan suatu soal sebelumnya, besar kemungkinannya dapat mengerjakan soal
yang sedang dihadapinya.
b. Pelajaran matematika dengan pendekatan PMRI bersifat integral.
Artinya, pelajaran matematika dapat dihubungkan langsung dengan pelajaran
lain.
c. Pelajaran matematika dengan pendekatan PMRI menuntut logika atau
penalaran yang sah.
Artinya, siswa yang berpikir dengan nalar yang tertata dalam matematika,
pada pelajaran lainpun proses penalarannya juga bagus. Sebaliknya, siswa yang pada
pelajaran matematika berpikir dengan penalaran yang tidak tertata atau ngawur pada
pelajaran lainpun cara berpikir atau penalarannya sama.
d. Pelajaran matematika dengan pendekatan PMRI menggunakan berpikir tingkat
tinggi.
Ada orangtua yang mengatakan bahwa anak yang dapat mengikuti
pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI daya tangkapnya tinggi.
Maksudnya, cara anak mengungkapkan maksudnya mudah ditangkap dan jelas.
e. Pembelajaran dengan pendekatan PMRI banyak member kesempatan kepada
anak untuk berbicara, mengungkapkan ide maupun gagasan, berkomunikasi
dengan yang lain untuk membuat kesepakatan dan hal itu merupakan langkah-
langkah yang baik untuk mengembangkan bahasa anak.
Jadi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI ternyata benar-benar
membawa pengaruh besar dalam pengembangan pemahaman matematika dala diri
anak pada umumnya.

5. Tantangan PMRI
Ada beberapa tangtangan dalam pelaksanaan PMRI dalam pembelajaran. Antara lain:
a. Bagi guru
Ada kecenderungan bagi guru untuk mengajar dengan cara menyenangkan.
Anak diterangkan saja sulit menerimanya. Apa lagi jika guru tidak menerangkan atau
tidak mengajari. Kebiasaan cara guru mengajar inilah yang sulit diubah.
Membangkitkan kreatifitas anak ternyata sulit sekali, akhirnya guru tidak sabar.
Kebuntuan ini yang menyebabkan guru kembali mengajar dengan cara menerangkan.
Evaluasi belajar yang dilakukan guru selama ini adalah hasil, bukan proses. Maka
guru juga mengalami kesulitan dalam melaksanakan evaluasi. Oleh karena itu
tantangan bagi guru ini, mampukah guru mengubah cara mengajar kearah PMRI,
tanpa ditunggui atau dimonitor?
b. Bagi siswa
Siswa yang mengalami lambat belajar sulit bergaul dalam menyelesaikan
masalah. Sudah didorong-dorong namun anak masih juga sulit berkreatif. Sementara
anak yang sudah merasa bisa ada yang sudah bosan dengan pelajaran yang sudah
diberikan.
Seandainya nanti pemerintah tidak menerima pilot proyek yang sangat baik ini
dan pada akhirnya proyek PMRI berhenti maka seolah-olh uji coba PMRI tidak
berhasil dan sia-sia. Sehingga upaya perubahan tidak berjalan. Akhirnya kembali ke
cara lama dan PMRI hanya sebagai pesan dan kesan yang ada di benak guru.

6. Karakteristik PMRI
De Lange mengungkapkan bahwa teori PMRI terdiri dari 5 (lima) karakteristik
(Zulkardi, 1999) yaitu ;
a. Penggunaan konteks nyata (real context) sebagai starting point dalam pembelajaran
untuk dieksplorasi.
b. Penggunaan model-model.
c. Penggunaan hasil belajar siswa dan kontruksi.
d. Interaksi dalam proses belajar atau interaktivitas.
e. Keterkaitan (connection) dalam berbagai bagian dari materi pelajaran

Beberapa karakteristik pendekatan matematika realistik menurut Suryanto (2007)


adalah sebagai berikut:
a. Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual problems) digunakan untuk
memperkenalkan ide dan konsep matematika kepada siswa.
b. Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model matematika melalui
pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru atau temannya.
c. Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap masalah yang mereka
temukan (yang biasanya ada yang berbeda, baik cara menemukannya maupun
hasilnya).
d. Siswa merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan dan apa yang
telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun hasil diskusi.
e. Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang memang ada
hubungannya.
f. Siswa diajak mengembangkan, memperluas, atau meningkatkan hasil-hasil dari
pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang lebih rumit.
g. Matematika dianggap sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi atau hasil yang siap
pakai. Mempelajari matematika sebagai kegiatan paling cocok dilakukan melalui
learning by doing (belajar dengan mengerjakan).

Beberapa hal yang perlu dicatat dari karakteristik pendekatan matematika realistik
di atas adalah bahwa pembelajaran matematika realistik
a. termasuk “cara belajar siswa aktif” karena pembelajaran matematika dilakukan
melalui ”belajar dengan mengerjakan;.”
b. termasuk pembelajaran yang berpusat pada siswa karena mereka memecahkan
masalah dari dunia mereka sesuai dengan potensi mereka, sedangkan guru hanya
berperan sebagai fasilitator;
c. termasuk pembelajaran dengan penemuan terbimbing karena siswa dikondisikan
untuk menemukan atau menemukan kembali konsep dan prinsip matematika;
d. termasuk pembelajaran kontekstual karena titik awal pembelajaran matematika
adalah masalah kontekstual, yaitu masalah yang diambil dari dunia siswa;
e. Termasuk pembelajaran konstruktivisme karena siswa diarahkan untuk menemukan
sendiri pengetahuan matematika merka dengan memecahkan masalah dengan diskusi.

7. Asesemen Dalam Pembelajaran PMRI


Asesmen otentik adalah asesmen yang dilakukan menggunakan beragam sumber,
pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari pembelajaran. Aseamen otentik biasanya mengcek pengetahuan dan keterampilan
siswa pada saat itu. Keterampilan dan disposisi yang diharapkan dari kegiatan
pembelajaran. Beragam bentuk yang menunjukkan bukti dari kegiatan belajar dihimpun
dalam kurun waktu tertentu dan dalam konteks yang beragam pula.
Walaupun konteks dalam asesmen berada di luar kelas dan dan hanya mengecek
aspek-aspek tetentu dan sesaat, tugas yang diberikan menggunakan integrasi dan aplikasi
dari pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. Bukti dari contoh-contoh yang
dikumpulkan harus menunjukkan informasi yang cukup menggambarkan tingkah laku
dan tingkat berpikir siswa. Dengan demikian melalui informasi ini guru dapat
menentukan bantuan atau arahan yang diberikankepada siswa dan tindakan lanjutan apa
yang perlu dilakukan dalampembelajaran.
a. Tingkatan asesmen dan taraf berpikr
Jika kita perhatikan tujuan diberikannya matematika di sekolah maka akan
muncul berbagai tingkatan berbeda dari alat asesmen yang dikembangkan.
Berdasarkan kategorisasi dari de Lange tedapat tingkatan berbeda yakni: tingkat
rendah, tingkat menengah, dan tingkat tinggi didasarkan pada tujuan yang ingin
dicapai. Karena asesmen bertujuan untuk merefleksikan hasil belajar, maka kategori
ini dapat digunakan baik untuk tujuan-tujuan yang berkenaan dengan pindidikan
mateamtika sacara umum maupun untuk kepentingan asesmen.
a) Asesmen tingkat rendah
Tingkat ini mencakup pengetahuan tentang objek, definisi, keterampilan
teknik serta algoritma standar. Beberapa contoh sederhana misalnya berkenaan
dengan: penjumlahan pecahan, penyelesaian persamaan linier dengan stu variabel,
pengkuran sudut dengan busur deraja, dan menghitung rata-rata dari sejumlah data
yang diberikan.
b) Asesmen tingkat menengah
Tingkat ini ditandai dengan adanya tuntutan bagi siswa untuk mapu
manghubungkan dua atau lebih konsep maupun prosedur. Soal-soal pada tingkat ini
misalnya dapat memuat hal-hal berikut:
- Keterkaitan antar konsep;
- Integrasi antar konsep
- Pemecahan masalah
Selain itu masalah pada tingkatan ini seringkali memuat suatu tuntutan untuk
menggunakan berbagai strategi berbeda dalam penyelesaian soal-soal yang diberikan.
c) Asesmen tingkat tinggi
Soal pada tingkat ini memuat suatu tututan yang cukup kompleks seperti
berpikir matematikdan penalaran, kemampuan komunikasi, sikap kritis, kreatif,
kemampuan intepretasi, refleksi, generilasasi dan matematisasi. Komponen utama
dari tingkat ini adalah kemapuan siswa untuk mengkonstruksi sendiri tuntutan tugas
yang diinginkan.
Terlebih dahulu akan dibicarakan tiga tingkatan berpikir matematik. Berpikir
taraf I dapat dinilai melalui pertanyaan yang difokuakan pada kalkulasi,
menyelesaikan persamaan, mengemukakan fakta berdasarkan ingatan, atau
pernyataan benar atau salah. Taraf berpikir ini berkaitan dengan asesmen tingkat
rendah dari de Lange. Bentuk dari pertanyaan taraf I berupa pilihan ganda, isian
singkat, dan biasanya tidak dikaitkan terhadap situasi nyata ataupun situassi hayal.
Pada berpikir taraf II, jawaban siswa memerlukan analisis lebih sulit, sebab
pertanyaan biasanya memerlukan informasi yang terintegrasi, dikaitkan atau antara
atau antar bidang matematika, atau menyelesaikan msalah yang tidak rutin. Soal
seperti ini sulit dirancang dan sulit juga dijawab siswa. Pertanyaan untuk taraf
berpikir ini berkaitan dan sejajar dengan asesmen tingkat menengah dari de Lange.
Taraf II ini lebih tepat disajikan dalam suatu konteks nyata atuapun imajinatif dan
harus melibatkann siswa dalam mengambil keputusan matematik. Melalui
permasalahn seperti ini, guru harus memahami cara dan strategi setiap siswa.
Penalaran setiap siswa dan langkah mereka dalam menjawab permasalahan akan
menunjukkan perbedaan berpikir secara kualitatif.
Pada taraf tinggi, siswa dituntutmematematisasi situasi, yaitu dapat memahami
dan merumuskan matematika yang implicit dalam situasi dan menggunakannya untuk
menyelesaikan permasalahan, mengembangkanmodel permasalahan, mengembangkan
strategi, dan menggunakan argumen untuk generalisasi. Tipe permasalahan ini
biasanyaterbuka. Ada yang lebih dari satu jawaban benar, sepanjang didukung
argumen yang sahih. Taraf berpikir ini berkaitan dan sejajar dengan asesmen tingkat
tinggi dari de Lange. Mengingat sifat dari asesmen berpikir taraf III sperti di atas
maka permasalahan lebih tepat dalam bentuk konteks nyata atau imajinatif dan
memungkinkan siswa menemukan strategi dan argumen masing-masing siswa.
b. Teknik-teknik dalam asesmen otentik
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melengkapi informasi mengenai
kemampuan, disposisi, kesenangan, dan ketertarikan siswa dalam belajar matematika.
- Observasi
Pengamatan langsung mengenai tingkah laku siswa dalam kegiatan
pembelajaran sangat penting dalam melengkapi data asesmen. Walaupun secra
alami kita sering melakukannya, namun mengobservasi melalui perencanaan yang
matang dapat membantu meningkatkan keterampilan mengobservasi. Misalnya,
akan sangat bermanfaat pada kegiatan pembelajaran besok. Bagaimana Tono
bekerja dan sampai pada suatu jawaban? Siswa mana ynag belum paham? Apakah
Joni mendengarkan temannya berargumentasi? Apakah Doni berpartisipasi aktif
dalam kelompok? Bagaimana upaya Toto untuk sampai pada jawaban?
Dari kegiatan observasi semcam ini guru dapat memperoleh gambaran
mengenai sikap dan disposisi terhadap matematika. Pda saatnya nanti informasi
seperti ini diperlukan untuk mendorong siswa bekerja atas kelebihan-kelebihan
yang dimiliknya dan mencoba dan juga menyadari akan kelemahannya. Catatan
obeservasi guru berguna bukan saja sebagai catatn harian tapi juga ubtuk
keperluan asesmen dan perencanaan pembelajaran dalam menentukan tindakan
yang dilakukan segera ketika menyajikan konsep baru.
- Bertanya
Bertanya merupakan pelengkap dari observasi. Misalnya, ketika seorang
siswa menunjukkan dengan kalkulaktor bahwa 1/9 adalah sama dengan 0,11111,
guru dapat menggunakan teknik bertanya yang abik sehingga siswa dapat
menyimpulkan sendiri bahwa 1/9 adalah 0,11111.
Jika seorang siswa menghadapi suatu kesulitan padahal ia diketahui
termasuk yang percaya diri dan memiliki kemampuan dalam matematika, maka
guru dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi siswa itu menggunakan
pertanyaan. Pertanyaan langsung seperti “apa yang kamu pahami?”, tampaknya
tidak akan banyak membantu, namun serentetan pertanyaan yang sifatnya
menggiring siwa utntuk mengemukakan argumentasi dan permasalahan akan lebih
membantu dalam menentukan jenis kesulitan yang dialaminya.
- Wawancara
Wawancara adalh kombinasi dari bertanya dan observasi, biasanya dilakuka
dengan seorang siswa di suatu tempat yang tenang. Cara yang handal untuk
mempelajari bagaimana seorang siswa berpikir. Faktor kunci dalam melakukan
wawancara adalah melaporkan sesuatu yang diketahui guru mengenai siswa,
menerima jawaban siswa tanpa mengakiminya, dan mendorongnya untuk
berbicara dan berargumentasi.
- Tugas
Informasi tingkat pemahaman siswa tentang matematika dapat dilihat dari
tugas yang diselesaikannya. Karena itu tugas tertentu dapat dirancang
pentahapannya mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks.
- Asesmen diri
Tidak mustahil bagi siswa merupakan penilai terbaik untuk pekerjaan dan
perasaannya sendiri. Bila siswa belajar menilai sendiri pekerjaannya ia akan
merasa bertanggung jawab atas kegiatan belajarnya. Bisa dimulai dari dengan
memeriksa apakah pekerjaannya benar atau salah, menganalisis strategi yang
dilakukan siswa lain, dan melihat cara mana yang paling sesuai dengan
pemikirannya.
- Contoh pekerjaan siswa
Yang termasuk pekerjaan siswa diantaranya tuga tertulis, proyek, atau
produk yang dibuat siswa yang dapat dikumpulkan dan dievaluasi. Yang penting
yang dapat dilihat dari pekerjaan siswa ini adalah apa dan sejauh mana
mempelajari matematika.
- Jurnal
Kemampuan komunikasi matematika secara lisan merupaka kompetensi
yang penting. Cara sederhana memulai melatih siswa terampil bekomunikasi
adalah dengan menyuruh siswa menulis apa yang mereka pahami dan yang tidak
dipahami, perasaan mereka mengenai kegiatan yang telah dilaksanakan, dan apa
yang telah dipelajari, apa yang mereka sukai dari matematika.
- Tes
Mulai tes kita dapat memperoleh informasi petunjuk mengenai pembelajran
yang telah dan yang harus dilakukan selanjutnya, bukan sekedar menentukan skor.
Sayangnya tes kurang member kesempatan kepada siswa untuk berpikir mengapa
suatu prosedur dapat diterapkan dan bagaimana mereka memecahkan masalah,
jika hasil tes lebih dipentingkan dari pada bagaimana cara mengerjakannya.
- Portofolio
Portofolio merupakan kumpulan pekerjaan yang telah dilakukan oleh siswa.
Di dalamnya bisa termasuk tugas. Proyek, jurnal hasil tes, laporan, catatn guru,
dan sebagainya. Portofolio merupakan sumber informasi yang lengkap bagi guru
mengenai prestasi yang telah dicapai siswa. Selain itu portofolio memiliki nilai
tambah untuk siswa dalam menilai diri. Oleh karena itu sangat penting agar siswa
menuliskan tanggal dalam setiap isian portofolio. Ini berguna agar mereka dapat
melihat perkembangan yang terjadi pada dirinya dalam kurun waktu tertentu.
Portofolio juga membantu siswa dalam melihat dan menjelaskan kembali tugas
yang pernah dikerjakannya dan membuat refleksi dari pekerjaan itu.
8. Aspek-aspek Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi
aspek-aspek berikut (Hadi, 2005) :
a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai
dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam
pembelajaran secara bermakna.
b. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai dalam pelajaran tersebut.
c. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal
terdapat persoalan/ masalah yang diajukan.
d. Pengajaran berlangsung secara interaktif : siswa menjelaskan dan memberikan alasan
terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain),
setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif
penyelesaian yang lain dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh
atau terhadap hasil pelajaran.
9. Konsepsi Tentang Siswa
Dalam pendekatan matematika realistic, siswa dipandang sebagai individu (subjek)
yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksinya dengan
lingkungan. Selanjutnya dala pendekatan ini diyakini pula bahwa siswa memiliki potensi
untuk mengembangkan sendiri pengetahuannya, dan bila diberi kesempatan mereka dapat
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman mereka
Hadi (2005) menyatakan bahwa PMRI mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai
berikut :
a. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang
mempengaruhi belajar selanjutnya.
b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan untuk dirinya
sendiri
c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan,
kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.
d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari
seperangkat ragam pengalaman.
e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan
mengerjakan matematika.

10.Peran Guru

Pemikiran dan konsepsi di atas menggeser peran guru dalam kelas. Kalau dalam
pendekatan tradisional guru dianggap sebagai pemegang otoritas yang mencoba
memindahkan pengetahuannya kepada siswa, maka dalam pendekatan matematika
realistik ini guru dipandang sebagai fasilitator, moderator, dan evaluator yang
menciptakan situasi dan menyediakan kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali
ide dan konsep matematika dengan cara mereka sendiri. Oleh karena itu, guru harus
mampu menciptakan dan mengembangkan pengalaman belajar yang mendorong siswa
untuk memiliki aktivitas baik untuk dirinya sendiri maupun bersama siswa lain
(interaktivitas). Akibatnya guru tidak boleh hanya terpaku pada materi dalam kurikulum
dan buku teks, tetapi harus terus menerus memutakhirkan materi dengan masalah-
masalah baru dan menantang. Jadi, peran guru dalam pendekatan matematika realistik
dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Guru harus berperan sebagai fasilitator belajar;
b. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
c. Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberi sumbangan pada
proses belajarnya;
d. Guru harus secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan masalah-masalah dari
dunia nyata; dan
e. Guru harus secara aktif mengaitkan kurikulum matematika dengan dunia nyata, baik
fisik maupun sosial.

11. Karakteristik PMRI


Sebelum kita mengimplementasikan pendekatan matematika realistik, marilah kita
terlebih dahulu melihat kembali karakteristik pendekatan ini. Di sini kita akan
menggunakan 5 (lima) karakteristik utama pendekatan matematika realistik sebagai
pedoman dalam merancang pembelajaran matematika. Kelima karakteristik itu adalah
sebagai berikut:
1) Pembelajaran harus dimulai dari masalah kontekstual yang diambil dari dunia nyata.
Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata bagi
siswa agar mereka dapat langsung terlibat dalam situasi yang sesuai dengan
pengalaman mereka.
2) Dunia abstak dan nyata harus dijembatani oleh model.
Model harus sesuai dengan tingkat abstraksi yang harus dipelajari siswa. Di
sini model dapat berupa keadaan atau situasi nyata dalam kehidupan siswa, seperti
cerita-cerita lokal atau bangunan-bangunan yang ada di tempat tinggal siswa. Model
dapat pula berupa alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang juga ada di sekitar
siswa.
3) Siswa dapat menggunakan strategi, bahasa, atau simbol mereka sendiri dalam proses
mematematikakan dunia mereka.
Artinya, siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka
dalam menyelesaikan masalah nyata yang diberikan oleh guru.
4) Proses pembelajaran harus interaktif.
Interaksi baik antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa
merupakan elemen yang penting dalam pembelajaran matematika. Di sini siswa
dapat berdiskusi dan bekerjasama dengan siswa lain, bertanya dan menanggapi
pertanyaan, serta mengevaluasi pekerjaan mereka.

5) Hubungan di antara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan
dengan masalah dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling kait
mengait dalam penyelesaian masalah.
Sekarang mari kita membahas karakteristik di atas untuk melihat bagaimana
seharusnya pembelajaran matematika dirancang. Pertama, pembelajaran matematika
harus realistik. Dalam bahasa Belanda kata realiseren berarti membayangkan. Jadi,
pembelajaran matematika realistik dapat diartikan sebagai pembelajaran matematika
yang dapat dibayangkan oleh siswa. Karena itu, pembelajaran matematika harus
dimulai dengan masalah yang diambil dari dunia nyata supaya siswa dapat
membayangkannya. Masalah yang dipilih harus disesuaikan dengan konteks
kehidupan siswa. Artinya, masalah yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa.
Contoh, dalam konteks makanan khas suatu daerah, rica-rica hanya cocok digunakan
di Sulawesi Selatan, tetapi tidak cocok untuk digunakan di Kalimantan selatan. Dalam
konteks bangunan untuk pembelajaran bentuk-bentuk geometri, misalnya, Jembatan
Barito tidak cocok untuk digunakan di Papua, karena siswa tidak dapat
membayangkan bangunan-bangunan tersebut. Ini adalah karanteristik kedua.
Selanjutnya, dalam pembelajaran matematika realistik siswa diberi sebuah masalah
dari dunia nyata dan diberi waktu untuk berusaha menyelesaikan masalah tersebut
dengan cara dan bahasa serta simbol mereka sendiri. Misalnya, pada awal
pembelajaran guru bercerita bahwa dia memiliki dua potong pizza dan akan membagi
kedua potong pizza itu kepada tiga orang anaknya. Kemudian guru itu bertanya
kepada siswa bagaimana cara memotong pizza tersebut supaya ketiga anaknya
mendapat bagian yang sama banyak. Selanjutnya siswa diberi waktu untuk
menyelesaikan masalah itu dengan cara mereka sendiri, seperti membuat gambar atau
mencari sesuatu yang menyerupai pizza. Tentu saja pembelajaran ini akan lebih
menarik bila guru tadi benar-benar membawa dua potong pizza ke dalam kelas.
Karakteristik selanjutnya adalah sifat interaktif. Setelah diberi kesempatan
menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri, siswa diminta menceritakan cara
yang digunakannya untuk menyelesaikan masalah tersebut kepada teman-teman
sekelasnya. Siswa lain diminta memberi tanggapan mengenai cara yang disajikan
temannya. Dengan cara seperti ini siswa dapat berinteraksi dengan sesamanya,
bertukar informasi dan pengalaman, serta berlatih mengkomunikasikan hasil kerjanya
kepada orang lain. Akhirnya, siswa dibimbing untuk menemukan aturan umum untuk
menyelesaikan masalah sejenis. Di sinilah siswa dapat melihat hubungan matematika
dengan kehidupan sehari-hari atau dengan pelajaran lain. Inilah yang membuat
pembelajaran matematika lebih bermakna.

12.Implementasi Pendidikan Matematika Realistik Indonesia


a. Prinsip-prinsip Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
Van den Huivel-Panhuizen dalam bukunya “Mathematics Education in the
Netherland A Guide Tour” (Marpaung, 2004) menyebutkan prinsip-prinsip PMRI
yaitu
1. PrinsipAktivitas
Prinsip ini menyatakan bahwa aktivitas matematika paling banyak dipelajari
dengan melakukannya sendiri.
2. Prinsip Realitas
Prinsip ini menyatakan bahwa pembelajaran matematika dimulai dari masalah-
masalah dunia nyata yang dekat dengan pengalaman siswa (masalah yang realitas
bagi siswa).
3. Prinsip Perjenjangan
Prinsip ini menyatakan bahwa pemahaman siswa terhadap matematika melalui
berbagai jenjang; dari menemukan (to invent), penyelesaian masalah kontekstual
secara informal ke skematisasi, ke perolehan insign dan selanjutnya ke
penyelesaian secara formal.
4. Prinsip Jalinan
Prinsip ini menyatakan bahwa materi matematika di sekolah sebaiknya tidak
dipecah-pecah menjadi aspek-aspek (learning strands) yang diajarkan terpisah-
pisah.
5. Prinsip Interaksi
Prinsip ini menyatakan bahwa belajar matematika dapat dipandang sebagai
aktivitas sosial selain sebagai aktivitas individu.
6. Prinsip Bimbingan
Prinsip ini menyatakan bahwa dalam menemukan kembali (reinvent)
matematika siswa perlu mendapat bimbingan.

b. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia


Secara umum, langkah-langkah pembelajaran matematika realistik dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1) Persiapan
Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar memahami
masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akanditempuh
siswa dalam menyelesaikannya;
2) Pembukaan
Pada bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang
dipakai dan diperkenalkan kepada msalah dari dunia nyata. Kemudian siswa
diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri;
3) Proses pembelajaran
Siwa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai
dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara
kelompok. Kemudian setiap siwa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
di depan siswa atau kelompok lain dan siswa tau kelompok lain memberi
tanggapan. Guru mengamati jalannya diskusi kelas.
4) Penutup
Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas,
siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran
siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal.

Sekarang marilah kita perhatikan contoh bagaimana langkah-langkah ini


diterapkan dalam sebuah pembelajaran matematika. Misalnya, topik yang akan
diajarkan adalah bilangan pecahan. Salah satu kompetensi yang akan dicapai dalam
topik ini adalah ”menjelaskan arti pecahan dan membandingkannya.” Kita dapat
menggunakan kue yang berbentuk bulat dan tipis, seperti serabi, atau kertas berbentuk
lingkaran yang sama besar.
1) Persiapan
Sebagai persiapan, guru mempelajari terlebih dahulu arti pecahan dan cara
mengurutkannya. Setelah menetapkan masalah kontekstual yang akan dipakai
untuk memulai pembelajaran, guru menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.
Di sini kita akan menggunakan masalah membagi kue serabi, sehingga guru harus
menyediakan beberapa lembar kertas berbentuk lingkaran yang sama besar
sebagai model kue serabi. Selanjutnya guru menyiapkan skenario pembelajaran
yang akan digunakan di kelas. Berbagai strategi yang mungkin akan ditempuh
siswa dalam kegiatan pembelajaran sebaiknya sudah diantisipasi pada langkah ini,
sehingga guru bisa mengendalikan proses pembelajaran di kelas.
2) Pembukaan
Pada awal pembelajaran, guru menceritakan kepada siswa bahwa seorang ibu
ingin membagi 3 potong kue serabi kepada 4 orang anaknya sedemikian rupa
sehingga setiap anak mendapat bagian yang sama. Setelah itu, guru
mengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok dengan anggota masing-
masing 4 orang. Setiap kelompok diberi 3 lembar kertas berbentuk lingkaran yang
sama besar sebagai model kue serabi dan sebuah gunting, lalu diminta membagi 3
lembar kertas berbentuk lingkaran itu di antara mereka sehingga setiap anggota
menerima bagian yang sama besar. Guru memberi waktu kepada setiap kelompok
untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri. Setelah waktu
yang diberikan habis, setiap kelompok diberi kesempatan untuk menyajikan cara
yang mereka tempuh untuk menyelesaikan masalah, sedangkan kelompok lain
memberi kritik dan saran. Kemudian siswa dikelompokkan menjadi kelompok
dengan anggota masing-masing 5 orang dan diminta membagi 3 lembar kertas
berbentuk lingkaran menjadi lima bagian yang sama seperti sebelumnya. Lalu
siswa diminta membandingkan potongan mana yang lebih besar (3 lembar kertas
berbentuk lingkaran dipotong 4 atau dipotong 5).
3) Proses pembelajaran
Pada saat pembelajaran berlangsung guru hanya memperhatikan kegiatan
setiap kelompok membagi ”kue” yang diberikan dan memberi bantuan jika
diperlukan. Kemudian guru memberi kesempatan kepada wakil setiap kelompok
untuk menyajikan cara mereka membagi ”kue” dan kelompok lain memberi kritik
dan saran. Selain itu, siswa juga diminta mendiskusikan potongan mana yang
lebih besar (”kue” yang dibagi 4 atau yang dibagi 5). Guru mengarahkan siswa
dalam diskusi kelas untuk membuat kesimpulan bersama tentang arti bilangan
pecahan dan cara mengurutkannya.

4) Penutup
Sebagai penutup, siswa diminta mengerjakan soal dan diberi pekerjaan rumah
yang berkaitan dengan materi perbandingan pecahan. Pada akhir pelajaran guru
mengajak siswa bersama-sama menyimpulkan apa yang sudah mereka kerjakan
dan pelajari saat itu.

c. Peranan alat peraga dalam PMRI


Tidak sedikit guru beranggapan bahwa pola pikir siswa terutama siswa
sekolah dasar sama dengan pola pikir guru sehingga banyak guru menganggap bahwa
apa yang dijelaskannya di depan kelas dapat dipahami dengan baik oleh siswa.
Anggapan ini sebenarnya menyesatkan. Sesuai dengan teori belajar Bruner,
pembelajaran matematika di sekolah dasar terutama di kelas bawah sangat
memerlukan benda kongkrit yang dapat diamati dan dipegang langsung oleh siswa
ketika melakukan aktivitas belajar. Karena itu, peranan alat peraga dalam
pembelajaran matematika realistik tidak boleh dilupakan. Dalam hal ini alat peraga
dapat menjembatani konsep abstrak matematika dengan dunia nyata. Di samping itu,
alat peraga juga dapat membantu siswa menemukan strategi pemecahan masalah. Dari
penggunaan alat peraga ini siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya,
memahami masalah, dan menemukan strategi pemecahan masalah.
Namun, salah satu permasalahan yang muncul dalam uji coba dan
implementasi pendidikan matematika realistic Indonesia adalah keterbatasan alat
peraga. Beberapa guru mengeluhkan sulitnya mengembangkan sebagai penunjang
mengembangkan alat peraga yang murah tetapi sangat kuat secara pedagogis. Dr.
Yansen Marpaung mengatakan bahwa guru dan pengembang PMRI harus siap
menjadi pemulung atau pengumpul barang-barang bekas. Pada kenyataannya, sebagai
mana telah ditunjukkan oleh Frans Moerlands dan Yansen Marpaung, alat peraga
untuk PMRI dapat menggunakan bahan-bahan yang murah bahkan bisa diperoleh dari
lingkungan sekitar kita. Di bawah ini contoh alat peraga murah (low cost materials)
yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan
matematika realistic.
1) Kartu bilangan
Salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh siswa kelas satu SD
adalah mengenal dan menggunakan bilangan dalam pemecahan masalah. Hasil
belajar diperlihatkan oleh kemampuan siswa menghitung dan mengurutkan
banyak benda. Kemampuan tersebut antara lain diperlihatkan oleh kemampuan
siswa membilang dan menghitung secara urut, menyebutkan banyak benda,
membandingkan dua kumpulan benda melalui istilah lebih banyak, lebih sedikit,
atau sama banyak, mengurutkan bilangan dari yang terkecil hingga terbesar dan
membilang loncat(loncat 2,10, atau lainnya).
Berikut ini diberikan contoh bagaimana mengembangkan kemampuan
tersebut dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan kartu bilangan.
Kartu bilangan terbuat dari bahan karton dan spidol. Dengan membuat kartu-kartu
sederhana yang bisa”didudukkan” guru dapat mengembangkan pembelajaran yang
interaktif. Bahan ini selain murah juga sangat fleksibel, dan mudah dipindah-
pindah.
Pertama-tama guru mengambil kartu bilangan 1 dan 20, dan meletakkan
kedua kartu tersebut pada kedua ujung papan tulis, sehingga terdapat ruang cukup
diantara kedua kartu tersebut untuk meletakkan kartu-kartu bilangan yang lain.
Kemudian, guru mengambil kartu bilangan 2 , dan menanyakan kepada seluruh
siswa apakah ada yang mau maju ke depan untuk meletakkan kartu tersebut di
papan tulis. Seorang siswa maju, dan meletakkannya tepat di sebelah kanan kartu
bilangan 1. Selanjutnya secara acak diambil kartu bilangan yang lain dan meminta
siswa meletakkannya di papan tulis.
Setelah semua kartu bilangan tersususn di papan tulisdengan urutan yang
benar guru mengembangkan strategi yang lain. Kartu-kartu bilangan dibalik,
hanya tersisa beberapa kartu pada posisi semula. Tugas siswa selanjutnya adalah
menebak bilangan pada kartu yang ditunjuk.
Pembelajaran matematika dengan kartu bilangan ini telah mendorong interaktifitas
di kelas, dan siswa terlibat dalam pembelajaran secara bermakna. Kedua hal itu
merupakan prinsip penting dalam PMRI.
2) Manik-manik
Pada pokok bahasan tentang geometri dan pengukuran siswa diharapkan
memiliki kompetensi dalam melakukan pengukuran untuk memecahkam masalah
sehari-hari. Salah satu hasil belajar yang diharapkan adalah membandingkan
pengukuran panjang dan berat. Sebelum siswa mengenal pengukuran dengan
satuan baku, seperti sentimeter, meter dan seterusnya (untuk panjang), dan gram,
kilogram dan seterusnya (untuk pengukuran berat), siswa diperkenalkan dengan
konsep pengukuran dengan satuan tak baku. Memperkenalkan konsep pengukuran
tak baku dapat menggunakan alat sederhana berupa rantai manik-manik.
Dengan menggunakan benang dan sejumlah manik-manik berbagai warna,
pertama-tama para siswa secara berkelompok diminta membuat rantai manik-
manik. Pola yang dibuat bebas sesuai kreatifitas siswa. Beberapa kelompok
mungkn membuat rantai dengan pola dua-dua, lima-lima, dan sepuluh-sepuluh.
Dengan menggunakan rantai yang mereka buat sendiri, siswa mencoba mengukur
anggota tubuh mereka, seperti pergelangan tangan, leher, dada, kepala, dan
sebagainya.
Menurut Moerlands (2003), menggunakan alat peraga ini sangat ideal jika
siswa bekerja berpasangan karena anak-anak dapat saling membantu satu sama
lain dalam melakukan pengukuran. Kemudian siswa dapat bekerja sama dan
berdiskusi tentang alat yang mereka gunakan. Mereka mungkin berdebat dan
mengemukakan gagasan sehingga terjadi interaksi.
Moerlands berpendapat bekerja dengan untaian manik-manik harus disertai
LKS, karena menuliskan hasil pengukuran merupakan aspek penting dalam
kegiatan ini. Selain itu dengan adalanya LKS siswa merasa mempunyai kewajiban
untuk melengkapi LKS mereka, sekaligus mereka dapat melakukan penilaian
terhadap hasil perhitungan yang telah dilakukan, misalnya dada siapa yang paling
lebar, leher siapa yang lebih panjang antara dua orang siswa.
Setelah mengukur anggota tubuh, siswa dapat melanjutkan bekerja
mngukur benda-benda yang mereka miliki seperti tempat pensil, buku, meja, kursi
dan sebagainya.
Pada saat kegiatan berlangsung, guru sama sekali tidak mengajar atau
memberikan komentar, melulu hanya melakukan observasi, berkeliling dan
mencatat hal-hal menarik yang dilakukan siswa sebagai bahan refleksi di akhir
pelajaran. Tetapi anak mendapatkan strateginya sendiri dalam membilang dan
mengukur menggunakan manik-manik. Hasil lain yang diperoleh siswa adalah
membilang kelipatan (anak menyebutnya sebagai bilangan loncatan), pengukuran
panjang, lebar, dinyatakan dengan manik-manik, perkalian, penjumlahan,
pengurangan dan perbandingan.
Berdasarkan pengalaman, sebelum tahap formal pengukuran menggunakan
manik-manik ini memerlukan waktu kurang lebih 20 jam (3-4 kali pertemuan).
Dalam pembelajaran ini, beberapa materi diberikan dalam satu pembelajaran,
tidak seprti pembelajaran biasa (konvensional) setiap sub pokok bahasan
diberikan satu persatu yang memerlukan waktu lebih banyak. Sebaliknya dengan
cara pembelajaran dengan menggunakan pengukuran dengan manik-manik (bisa
juga dengan benda lain) tidak banyak menyita waktu.
3) Kaos kaki
Di dalam buku pelajaran matematika SD kita sering menemukan soal
penjumlahan dan pengurangan seperti

23 - … = 12 … - 14 = 37

78 - … = 26 … - 24 = 65

67 - … = 34 … - 52 =14

76 - … = 26 … - 23 = 56
Bagi siswa kelas 2 SD melengkapi kalimat matematika sebagai mana soal-
soal di atas bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak siswa yang mengalami
kesulitan. Berdasarkan persoalan tersebut Frans Moerlands dan Annie Makkink
membuat pembelajaran yang menarik dengan menggunakan kaos kaki sebagai
media. Mereka menyebut peljaran ini dengan “The Chalk Frog”(Katak Pemakan
kapur).
Permainan tersebut bertujuan membantu siswa memahami operasi hitung
untuk melengkapi kalimat terbuka (mengisi titik-titik) dengan bilangan yang
benar. Guru memulai pelajaran dengan menuliskan beberapa soal di papan tulis.
Soal-soal operasi hitung biasa. Sebagian besar siswa tidak mengalami kesulitan
menjawab soal-soal tersebut, sehinggga dalam waktu singkat semua soal terjawab.
Katak Pemakan Kapur, sesuai dengan namanya suka memakan tulisan yang
ada di papan tulis. Tujuan permainan ini adalah memberikan pemahaman konkret
kepada siswa tentang arti kalimat terbuka (operasi hitung). Pada operasi hitung 23
- … =12, siswa-siswa melihat bilangan (23 dan 12) dan simbol(-) tetapi tidak
berati kalimat terbuka tersebut selalu dapat diselesaikan dengan bilangan dan
operasi hitung itu (23 – 12=11). Salah satu unsur penting dalam PMRI adalah
membuat matematika bermakna bagi siswa. Dengan permainan tersebut, anak-
anak akan melihat makna operasi hitung tersebut.
Kaos kaki bekas yang disulap menjadi katak ternyata efektif menjadi media
untuk permainan “katak pemakan kapur”. Bagi anak-anak, operasi hitung (kalimat
terbuka) yang sebelumnya terlihat sulit, setelah permainan ini menjadi jelas. Jadi,
dengan alat yang sederhana tetapi dengan pengaturan suasana yang menarik,
anak-anak merasakan pelajaran matematika lebih menarik sehingga lebih mudah
dipahami.

Selain contoh-contoh tersebut, alat peraga untuk pembelajaran matematika dapat


diperoleh dari barang-barang bekas dan benda-benda yang ada di sekitar kita seperti
biji-bijian, kerikil, kancing baju, korek api, kotak kue, dan gelang karet. Jadi, alat
peraga banyak tersedia disekitar kita dan murah, akan tetapi dibutuhkan kejelian
melihatnya. Salah satu kriteria alat peraga yang baik ialah bahwa alat itu fleksibel,
dalam arti dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan mudah atau murah
mendapatkannya.
Untuk mengatasi keterbatasan alat peraga dalam PMRI, Heri Supriyana
memberikan tips melalui pembelajaran terpadu dengan mata pelajaran lain, seperti
kerajinan tangan dan ketrampilan (KTK). Guru dapat mengadakan kegiatan mata
pelajaran KTK yang menghasilkan barang-barang jadi yang dapat digunakan sebagai
emdia belajar bagi siswa dalam belajara matematika. Menurutnya anak-anak akan
merasa senang belajar amtematika dan sekaligus merasa dihargai karena hasil
karyanya dapat digunakan.

You might also like