You are on page 1of 79

ISSN 1412-9183

Volume 2 Nomor 2, Oktober 2003

JURNAL ILMIAH

LINGUA

PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

SEKOLAH TINGGI BAHASA ASING LIA JAKARTA

Penasihat

Sudibyo Siyam, M.A.

Penanggung Jawab

Dr. Ekayani R.M.L. Tobing

Penyunting Penyelia

Sri Suryanti, M.A.

Penyunting Pelaksana
Dewi A.Yudhasari, M.Hum.

Dwi Astuti Retno L., M.Hum.

Ismarita Ramayanti, S.Pd.

Vera Syamsi, M.Hum.

Penyunting Tamu/Penelaah Ahli

Dr. Tommy Christomy

Dr. Agus Aris Munandar

Sekretaris

Agus Wahyudin, S.Pd.

Tata Usaha

Tety Kurniati

Alamat Redaksi

Jalan Pengadegan Timur Raya No. 3

Pancoran, Jakarta 12770

Telepon (021) 79181051, Faksimile (021) 79181048

E-mail: jurnal_lingua@stba.lia.ac.id

 
 

ISSN 1412-9183

Volume 2 Nomor 2, Oktober 2003

JURNAL ILMIAH

LINGUA

DAFTAR ISI

Jendela                                                                       i

Matsuri : Implementasi Sikap dan Perilaku Orang Jepang         72—


79

dalam Kehidupan Spiritual

Dewi Ariantini Yudhasari

Penelitian Sastra: Lahan Yang Luas Dan Berlimpah                80—93

Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra


Maman S. Mahayana

Penelitian Di Bidang Penerjemahan                                 94—111

Benny  Hoed

Analisis Komponen: Sebuah Ancangan Struktural               112—123

Dalam Semantik

Katubi

Kata Dan Kalimat Dalam Karangan Ilmiah                          124—143

Agus Wahyudin

Indeks

Pedoman Penulisan Jurnal Ilmiah LINGUA

                  

Pada terbitan kali ini jurnal LINGUA mempersembahkan lima artikel dari para
dosen.  Yang pertama membahas tentang orang Jepang yang tetap mempertahankan
budaya mereka dengan merayakan hari-hari besar.  Mereka percaya akan nilai-nilai
spiritual yang terkandung dalam setiap ritual yang ada. Artikel kedua membahas
pengenalan dan manfaat kesusastraan, serta lahan penelitian yang dapat digarap baik
melalui sistem makro dimana kritikus sastra merupakan bagian dari ekstrinsik karya itu
maupun sistem mikro dimana teks sastra merupakan bagian intrinsik karya sastra.
Hal-hal yang barkaitan dengan penerjemahan dapat dibaca di artikel ketiga.  Di
situ penulis menekankan bahwa sebuah penerjemahan dilakukan ‘untuk apa’ dan ‘untuk
siapa’ dengan tidak melupakan konteks dan budaya dari teks sumber dan teks sasaran. 
Kajian semantik dapat kita lihat pada artikel keempat dimana penulis memaparkan
semantik struktural sebuah kata berdasarkan analisis komponen. Jurnal ini ditutup dengan
sebuah tinjauan tentang kata dan kalimat dalam karya ilmiah.

Semoga tulisan yang ditayangkan pada jurnal kali ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

  Redaksi

KATA DAN KALIMAT DALAM KARANGAN ILMIAH

Agus Wahyudin

Staf Pengajar Bahasa Indonesia STBA LIA Jakarta

 
Abstrak
Setiap kata bentukan dalam bahasa Indonesia pada dasarnya mempunyai pola
tersendiri dan sudah terbakukan. Kata bentukan tersebut dapat berupa afiksasi,
reduplikasi, dan komposisi. Afiksasi mempersoalkan proses penambahan afiks, infiks,
dan sufiks. Reduplikasi membicarakan masalah pengulangan kata atau unsur kata.
Komposisi membahas penggabungan dua kata atau lebih. Pola kata dalam bahasa
Indonesia pada umumnya terbentuk secara teratur dan rapi. Begitu juga dalam kalimat
bahasa Indonesia. Kalimat yang terpola dan baku merupakan suatu keharusan terlebih-
lebih dalam karya ilmiah. Hal itu boleh jadi jika syarat-syarat kalimat efektif,
diantaranya, seperti kesepadanan struktur, keparalelan, dan pemfokusan makna dapat
dipenuhi.

Kata Kunci: kata, kalimat, karya ilmiah

Abstract
Basically, any formulations in Indonesian have certain fixed patterns. Those
formulations can be in the form of affixes, reduplications, and compositions. Affixations
deal with addition of prefixes, infixes, and suffixes. Reduplication talks about the
repetition of the words or part of the words. Compotition discusses the combination of
two or more words. In general, Indonesian word patterns are formed in a certain fixed
order. This also happens to Indonesian sentences. It is considered a must for words to
follow certain fixed patterns, especially for scientific works. Effective sentences can be
archieved if the requirement of the sentence such as word equivalence, parallelism and
focused meaning can fulfilled.

Keywords: word, sentence, scientific works

1. Pengantar

          Sebagian orang sering mengatakan bahwa bahasa Indonesia tidak perlu dipelajari.
Tidak berguna belajar bahasa itu karena sejak dilahirkan sudah belajar bahasa Indonesia.
Belajar bahasa Indonesia menghambur-hamburkan waktu dan uang saja. Bahkan, sering
orang beranggapan mempelajari bahasa Indonesia adalah pekerjaan yang sia-sia karena
sudah merasa mampu berkomunikasi dengan lawan bicara tanpa harus mempelajari
bermacam-macam kaidah atau ketentuan seperti ejaan, kata, atau kalimat.  

            Kenyataan di atas menunjukkan bahwa keberadaan bahasa Indonesia di


masyarakatnya sendiri kurang diakui. Kekurangsimpatikan seperti ini kadang-kadang
muncul dalam masyarakat karena mereka tidak memiliki sifat positif, kalau tidak mau
dikatakan  tidak peduli terhadap bahasa Indonesia. Hal ini biasanya ditandai dengan tidak
adanya kesetian berbahasa, hilangnya kebanggaan berbahasa, dan tidak munculnya
kesadaran akan norma berbahasa (Arifin dan Amran Tasai, 2000:1). Sikap-sikap seperti
ini ternyata tidak hanya terbatas pada individu, tetapi terjadi pada beberapa lembaga
pendidikan di Indonesia.  Di antara lembaga-lembaga itu tidak lagi memasukkan
pelajaran atau mata kuliah bahasa Indonesia sebagai suatu kajian di dalam kurikulum.
Adanya keengganan itu mengakibatkan kesulitan dalam meningkatan kegairahan
berbahasa Indonesia para siswa atau mahasiswa. Apabila keadaan seperti ini dibiarkan
berlanjut, tidak menutup kemungkinan bahasa Indonesia--perlahan tetapi pasti--akan
lenyap dari bumi pertiwi.

            Saatnya kita sebagai bagian masyarakat Indonesia harus memikirkan bagaimana
agar bahasa Indonesia menjadi bahasa tuan rumah di negerinya sendiri.
Menumbuhkembangkan bahasa Indonesia harus kita mulai dari diri sendiri. Keteraturan
dan ketaatasasan berbahasa Indonesia selayaknya diketahui dan sekaligus dipakai dalam
berbahasa, baik lisan maupun tertulis, terlebih-lebih dalam karangan ilmiah. Dengan cara
seperti ini diharapkan bahasa Indonesia dapat tumbuh dengan baik menjadi bahasa di
rumahnya sendiri.

Persoalan berikutnya adalah bagaimanakah agar teratur dan taat asas dalam
berbahasa Indonesia. Uraian ini membahas masalah kata, khususnya pembentukan kata
dan kalimat, dalam karangan ilmiah bahasa Indonesia. 

            Tulisan ini bertujuan agar pengguna bahasa Indonesia mengetahui bahwa ketika
berbahasa perlu adanya paradigma atau norma bahasa. Hal ini patut diketahui sebab
orang yang taat kaidah dan terampil berbahasa menunjukkan keintelektualan dalam
berbicara dan berpikir.

2. Pembentukan Kata

      Yang dimaksud dengan pembentukan kata adalah proses terjadinya kata jadian dari
kata dasar ditambah unsur-unsur yang bersifat morfemis. Kata bentukan itu dapat berupa
kata afiksasi, reduplikasi, dan komposisi.  

2.1 Afiksasi

            Proses atau hasil penambahan afiks, seperti prefiks atau awalan, infiks atau
sisipan, sufiks atau akhiran, dan konfiks atau penggabungan antara prefiks dan sufiks
disebut afiksasi. Afiksasi dalam bahasa Indonesia terbentuk mengikuti pola yang rapi.
Bentukan-bentukan itu menujukkan pertalian antara yang satu dengan yang lain secara
teratur. Dengan kata lain, kata yang mengalami afiksasi mempunyai relasi makna yang
konsisten. Verba yang berawalan meng- dapat dibentuk menjadi kata nomina yang
bermakna umum ‘proses’ yang berimbuhan peng-an, dan dapat dibentuk menjadi nomina
yang bermakna umum ‘hasil’ yang berimbulan -an (Arifin, E. Zainal dan Amran Tasai,
2000) Berikut contoh bentuk afiksasi yang mempunyai kekonsitenan makna.

rakit                    merakit                      perakit              perakitan                      rakitan 

terbit                   menerbitkan              penerbit            penerbitan                  terbitan

telaah                  menelaah               penelaah           penelaahan                   telaahan

gali                      menggali                penggali            penggalian                   galian

hapus                  menghapus            penghapus           penghapusan                hapusan

ringkas                meringkas              peringkas             peringkasan                 ringkasan

capai                   mencapai               pencapai              pencapaian                capaian

layan                   melayani                pelayan                pelayanan                   layanan

putus                   memutuskan              pemutus          pemutusan                   putusan


simpul                  menyimpulkan         penyimpul        penyimpulan             simpulan

ubah                    mengubah                  pengubah        pengubahan                 ubahan

ajar                     mengajar                   pengajar           pengajaran                 ajaran

pimpin                 memimpin               pemimpin          pemimpinan               pimpinan

bangun                membangun               pembangun      pembangunan            bangunan

bina                     membina                pembina              pembinaan                    binaan

  

      Selain itu, pembentukan kata berikut mengikuti pola tersendiri.

tani                  bertani                          petani                           pertanian

tinju                  bertinju                         petinju                          pertinjuan

silat                 bersilat                         pesilat                           persilatan

mukim              bermukim                     pemukim                      permukiman

gulat                 bergulat                        pegulat                         pergulatan        

        Kelompok kata di bawah ini mengikuti cara lain.

Satu                bersatu             mempersatukan            pemersatu                    


persatuan

Solek               bersolek           mempersolek                pemersolek                  


persolekan

Oleh                 beroleh             memperoleh                  pemeroleh                   


perolehan

 
2.2 Reduplikasi

            Reduplikasi adalah proses perulangan kata atau unsur kata, baik secara
keseluruhan atau sebagaian. Perulangan ini terdiri atas reduplikasi fonologis, gramatikal,
dan idiomatis.

            Pengulangan unsur fonem dan suku kata atau bagian kata merupakan reduplikasi
fonologis. Dalam bahasa Indonesia bentuk cincin, gigi, pipi merupakan reduplikasi
fonologis karena yang diulang adalah bagian yang inheren dalam kata itu sendiri….
(Harimurti, 1985: 22). 

            Pengulangan gramatikal meliputi reduplikasi morfologis dan sintaksis.


Reduplikasi morfologis adalah pengulangan morfem, baik bebas maupun terikat, yang
menghasilkan kata. Bentuk-bentuk seperti berikut merupakan contoh-contoh reduplikasi
morfologis.

rumah-rumah                                               sayur-mayur         

bersih-bersih                                                kerlap-kerlip

tali-temali                                                     sorak-sorai

turun-temurun                                              cerai-berai

gilang-gemilang                                            tetamu

gunung-gemunung                                        lelaki

bolak-balik                                                  leluhur

hingar-bingar                                                pukul-memukul

huru-hara                                                     tembak-menembak

lauk-pauk
Reduplikasi sintaksis adalah pengulangan morfem karena tuntutan kaidah sintaksis,
seperti contoh kalimat berikut.

1)      Panas-panas anak itu masih tetap bermain juga.

Walaupun panas anak itu masih tetap bermain juga.

2)      Jika ada kekeliruan, kami-kami yang disalahkan.

      Jika ada kekeliruran, selalu kami yang disalahkan.

      Di samping bentuk reduplikasi gramatikal terdapat redupliklikasi idiomatis. Bentuk


reduplikasi ini tidak dapat dijabarkan maknanya dari makna yang diulang, seperti contoh
kalimat berikut.

3)      Mata-mata Korea Utara tertangkap di Korea Selatan. 

Pengintai Korea Utara tertangkap di Korea Selatan.

4)      Kuda-kuda pesilat itu kurang bagus sehingga mudah dikalahkan lawan.

Sikap siaga pesilat itu kurang bagus sehingga mudah dikalahkan lawan.

              Selanjutnya, reduplikasi dalam bahasa Indonesia dapat menyatakan (a)
kejamakan, (b) kemiripan, dan (c) penonjolan. Pada umumnya arti yang mempunyai
jamak dinyatakan dengan reduplikasi. seperti contoh kalimat berikut.

5)      Siswa-siswa LBPP LIA cabang Pengadegan sedang libur.

Akan tetapi, tidak semua arti jamak atau lebih dari satu dinyatakan dengan reduplikasi.
Contoh berikut  menunjukkan pernyataan tersebut.

6)      Karyawan Yayasan LIA setiap 17 Agustus selalu melakukan upacara di halaman
LBPP LIA    Pengadegan.

7)      Ketika mempertahankan Yogjakarta, banyak prajurit kita yang gugur dan terluka.
Kata karyawan pada kalimat (3) dan prajurit pada kalimat (4) tidak mempunyai lagi
makna tunggal, tetapi mengacu ke jamak atau jumlah yang lebih dari satu.

            Arti reduplikasi dapat menyatakan kemiripan, yaitu makna yang mengacu kepada
kemiripan baik rupa atau cara. Contoh berikut menunjukkan pernyataan tersebut.

8)      Wajah gadis itu seperti nenek-nenek padadal usianya baru dua puluh tahun.

9)      Bersikaplah seperti orang Indonesia, jangan kebarat-baratan.

Selain itu, arti reduplikasi juga dapat mengandung makna penonjolan atau penegasan.
Perhatikanlah contoh barikut.

10)  Kamu jangan melalukan hal itu sebab kalau salah  kami-kami juga yang ditegur.

2.3 Komposisi 

            Kompositum atau bentuk majemuk adalah penggabungan dua bentuk kata atau
lebih. Bentuk ini terdiri atas verba majemuk dan verba nominal. Verba majemuk adalah
deret dua kata atau lebih menghasilkan makna yang masih dapat diruntut dari makna
komponennya yang tergabung (Moeliono, 2001: 22). Kata terjun dan kata payung dapat
digabungkan menjadi terjung payung. Makna perpaduan ini masih dapat ditelusuri dari
makna kata terjun dan kata payung, yaitu melakukan terjun dari udara dengan memakai
semacam payung. Hasil perpanduan dua verba seperti ini dinamakan verba majemuk.
Penanda lain verba majemuk adalah urutannya tetap dan tidak dapat dipertukarkan
tempatnya. Contoh berikut dapat dilihat di bawah ini.

1)      terjun payung tidak dapat menjadi payung terjun

2)      siap tempur tidak dapat menjadi tempur siap

3)      tatap muka tidak dapt menjadi muka tatap


Verba nominal pada dasarnya mempunyai ciri yang sama dengan verba majemuk. Suami-
istri merupakan verba nominal karena maknanya masih dapat diuraikan dari makna kata
suami dan istri. Hal ini sangat jelas berbeda dengan idiom. Idiom juga terbentuk melalui
proses penggabungan beberapa kata. Perbedaan antara verba majemuk dan nomina
majemuk dengan idiom terdapat pada penulusuran makna kata yang membentuknya. Jika
makna verbal majemuk dan nominal majemuk masing dapat diuraikan, makna idiom
tidak dapat diuraikan secara langsung dari masing-masing makna yang tergabung. Kata
naik dapat digabungkan dengan darah sehingga terbentuk naik darah. Perpaduan dua
kata ini menimbulkan makna baru dan tidak ada hubungannya dengan darah yang naik.

            Berdasarkan panjang-pendeknya, verba majemuk dan verba nominal berbeda
dengan idiom. Perpaduan bentuk majemuk pada umumnya terdiri atas dua kata. Tatap
muka, bunuh diri, dan maju mundur merupakan contoh verba majemuk dan uang
pangkal, anak cucu, dan cetak coba merupakan contoh verba nominal. Akan tetapi,
perpaduan pada bentuk idiom dapat terdiri dari dua kata atau lebih. Kata bertepuk
sebelah tangan, bermain api, dan memancing  di air keruh adalah bentuk-bentuk idiom.

            Selain bentuk-bentuk di atas, satu hal lagi yang termasuk bentuk majemuk adalah
adjektiva majemuk. Ada dua bentuk adjektiva majemuk. Pertama, adjektiva yang
merupakan gabungan morfem terikat dengan morfem bebas. Berikut adalah contoh-
contohnya.

antarbangsa                                     pascajual

antiperang                                        paranormal

ektrakurikuler                                  semipermanen

inkonstitusional                                 subbagian

interlokal                                          transkontinental

mahakuasa                                       tunakarya
multinasional                                    ultranasionalis

nirgelar                                            ultramodern

nirlaba

Kedua, adjektiva yang merupakan gabungan dua atau lebih morfem bebas. Berikut adalah
contoh-contohnya.

     berat sebelah             kotor mulut                hangat-hangat kuku

     besar mulut                kuat iman                   hitam-hitam gula jawa

     cacat badan               lepas landas               jinak-jinak merpati

     cepat lidah                 lintas budaya              malu-malu kucing

     gatal mulut    mabuk asmara                       tua-tua kelapa

     gila pangkat               mahal senyum            tua-tua keladi

     hampa tangan            panjang tangan

     haus darah                 pendek akal

     iba hati                       ringan kaki

     iri hati                        tahan banting

3. Kalimat dalam Karya Ilmiah

            Kalimat dalam ragam tulis baku harus memiliki minimal subjek dan predikat. Jika
syarat ini tidak terpenuhi, susunan kata itu bukanlah kalimat tetapi merupakan frasa.
Sebagai satuan bahasa yang relatif dapat berdiri sendiri, kalimat ditandai oleh huruf
kapital pada bagian awal dan tanda titik, tanda seru, serta tanda tanya pada bagian akhir.
Selain itu, di dalam kalimat—yang unsur-unsurnya berupa kata—terdapat tanda-tanda
baca dan spasi.

            Paragraf dan wacana yang merupakan satuan lebih besar daripada kalimat akan
terbentuk secara utuh apabila kalimat-kalimat yang mendasarinya itu terpola berdasarkan
kaidah bahasa yang benar. Dalam hal ini yang dapat dijadikan patokan adalah kalimat
efektif, yaitu kalimat yang—apabila disampaikan—mudah dimengeri, jelas, dan lengkap
sehingga pesan yang dimaksud oleh penulis/pembicara relatif sama dengan pesan yang
diterima oleh pembaca/pendengar.

            Beberapa ciri kalimat efektif di antaranya kesepadanan struktur, keparalelan, dan
pemfokusan makna.

3.1 Kesepadana Struktur

            Yang dimaksud dengan kesepadanan ialah keseimbangan antara pikiran (gagasan)
dan struktur bahasa yang dipakai. Kesepadanan ini diperlihatkan oleh kesatuan gagasan
yang kompak dan kepaduan pikiran yang baik (Arifin dan Amran Tasai, 2000:90).

     Ciri-ciri yang dimiliki kesepadanan adalah sebagai berikut.

3.1.1  Subjek Tidak Didahului Kata Depan

Subjek yang didahului kata depan akan menghilangkan kejelasan kalimat. Secara
gramatikal hal ini tidak memungkinkan terjadinya satuan fungsi secara utuh. Artinya,
kalimat itu mungkin terdiri atas predikat dan keterangan, tanpa adanya subjek atau subjek
dan keterangan, tanpa predikat.. Para linguis sepakat bahwa sebuah kalimat akan
mempunyai arti gramatikal jika minimal memiliki subjek dan predikat. Kejelasan kalimat
dapat dilakukan dengan cara menghindarkan kata depan sebelum subjek atau predikat,
seperti kata untuk, bagi, tentang, dengan, kepada, pada,  di/dalam, dari, dan sebagai,
seperti contoh-contoh kalimat berikut.

(1)          Untuk peraturan kampus STBA LIA Jakarta perlu ditegakkan agar ketertiban
tetap terjaga.

(2)          Bagi karyawan yang tidak masuk kerja sebanyak 20% per tahun tidak akan
mendapatkan tunjangan hari raya.

(3)          Tentang korban bencana alam Gunung Papandayan itu sudah ditangani
Pemerintah Daerah Kabupaten Garut dan Provinsi Jawa Barat.

(4)          Dengan penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan bermotor sangat
dianjurkan karena tidak terlalu banyak mencemari udara.

(5)          Kepada para mahasiswa dilarang memakai sandal di ruang kelas dan di
lingkungan kampus STBA LIA Jakarta.

(6)          Pada Festival Kebudayaan Jepang STBA LIA Jakarta tahun 2002
menampilakan seni origami dan taiko.

(7)          Mengenai hal itu sudah kami bicarakan dengan pimpinan.

(8)          Di dalam diskusi itu membicarakan masalah tata cara penulisan skirpsi.

(9)          Dari peristiwa pengeboman di Bali mendapat perhatian dari berbagai pihak

(10)      Sebagai orang beriman harus menjalankan perintah dan larangan  Allah.

(11)   Bapak Sudibyo sebagai Ketua STBA LIA Jakarta periode tahun  2002—2006.

Kalimat-kalimat di atas mempunyai kata depan yang mendahului subjek (kalimat 1—10)
dan predikat (kalimat 11).
Kalimat-kalimat tersebut dapat diperbaiki dengan menghilangkat kata-kata depan yang
berada di depan subjek dan predikat. Perbaikan kalimat-kalimat di atas adalah sebagai 
berikut.

(12) Peraturan kampus STBA LIA Jakarta perlu ditegakkan agar ketertiban tetap
terjaga.

(13) Karyawan yang tidak hadir sebanyak 20% per tahun tidak akan mendapatkan
tunjangan   hari raya.

(14) Korban bencana alam Gunung Papandayan itu sudah ditangani Pemerintah
Daerah Kabupaten Garut dan Provinsi Jawa Barat.

(15)     Penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan bermotor sangat dianjurkan
karena tidak terlalu banyak mencemari udara.

        (16) Para mahasiswa dilarang memakai sandal di ruang kelas dan di lingkungan
kampus    STBA LIA Jakarta.

(17)     Festival Kebudayaan Jepang STBA LIA Jakarta tahun 2002 menampilakan
seni    origami dan taiko.

(18)     Hal itu sudah kami bicarakan dengan pimpinan.

(19)     Diskusi itu membicarakan masalah tata cara penulisan skirpsi.

(20)     Peristiwa pengeboman Bali mendapat perhatian berbagai pihak

(21)     Orang beriman harus menjalankan perintah dan larangan Allah.

      (22) Bapak Sudibyo Ketua STBA LIA Jakarta periode tahun 2002—2006.

Kata depan diperbolehkankan mengawali kalimat asalkan berfungsi sebagai keterangan.


Beberapa contoh dapat dilihat di bawah ini.
(23)     Mengenai kriteria pembimbing skripsi, Ketua STBA LIA Jakarta sudah
mengeluarkan surat putusan.

(24)   Sebagai bahan pertimbangan Bapak, bersama ini saya lampirkan ijazah terakhir
dan daftar riwayat hidup.

(25)  Dalam diskusi itu dibicarakan masalah tata cara penulisan ilmiah.

3.1.1  Tidak Terdapat Subjek yang Ganda

Kalimat yang bersubjek ganda menunjukkan kekuranghati-hatian penulis. Ini terjadi


karena gagasan yang ada pada pikiran penulis tidak sejalan dengan kalimat yang
dituliskannya. Apabila ditampilkan, kalimat tersebut akan membingungkan pembaca. Di
bawah ini contoh-contoh kalimat yang dimaksud.

(1)    Saya melihat anak itu bingung.

(2)    Penyusunan laporan itu saya dibantu oleh para dosen.

(3)    Soal itu saya kurang jelas.

Contoh-contoh di atas tidak jelas sehingga sangat mengganggu kelancaran


berkomunikasi. Jika kalimat-kalimat itu dianalisis akan tampak dua subjek. Para linguis
sepakat bahwa cara mencari subjek sebuah kalimat adalah dengan cara bertanya melalui
predikat dengan pertanyaan siapa yang atau apa yang ditambah predikat. Dengan
demikian, pertanyaan yang muncul pada kalimat (1) adalah siapa yang bingung.
Jawabannya adalah boleh jadi saya atau anak itu. Agar menjadi jelas, kalimat itu dapat
diperbaiki dengan dua cara.
(4)    Jika yang dimaksudkan saya yang bingung, perbaikannya adalah dua varian
berikut.

a.       Saya bingung melihat anak itu.

b.      Bingung saya melihat anak itu.

(5)    Jika yang dimaksudkan si anak yang bingung, perbaikannya adalah dua varian
berikut.

a.       Anak itu saya lihat (sedang) bingung.

b.      Saya melihat anak itu (sedang) kebingungan.

Pertanyaan pada kalimat (2) adalah apa atau siapa yang dibantu. Jawabannya adalah
boleh jadi penyusunan laporan itu atau saya. Kalimat itu dapat diperbaiki dengan dua
cara pula. Jika yang dimaksudkan saya yang dibantu, perbaikannya mejadi adalah
sebagai berikut.

(6)    Dalam menyusun laporan itu, saya dibantu oleh para dosen.

Jika yang dimaksudkan penyusunan laporan itu, perbaikannya adalah sebagai berikut.

(7)  Penyusunan laporan itu dibantu oleh para dosen.

Pertanyaan pada kalimat (3) adalah apa dan siapa yang kurang jelas. Jawabannya adalah
boleh jadi soal itu atau saya. Kalimat itu dapat diperbaiki juga dengan dua cara.

Jika yang dimaksudkan saya yang kurang jelas, perbaikannya adalah sebagai berikut.

(8)   Saya kurang jelas mengenai soal itu.

Jika yang dimaksudkan soal itu yang kurang jelas, perbaikannya adalah sebagai berikut.

(9) Bagi saya soal itu kurang jelas.


 

3.1.2        Ungkapan Penghubung Intrakalimat Tidak Dipakai pada Kalimat Tunggal

            Banyak penulis beranggapan bahwa ungkapan penghubung intrakalimat seperti


kata sedangkan dan sehingga dapat dipakai pada posisi awal kalimat tunggal. Padahal hal
itu tidak diperbolehkan dalam kaidah bahasa Indonesia. Posisi ungkapan penghubung
yang terdapat pada awal kalimat hanya dapat diduduki oleh ungkapan penghubung
antarkalimat. Perhatikanlah contoh berikut.

(1)   Saya membeli motor Honda Supra. Sedangkan kakak membeli motor Kymko.

(2)   Iqbal bangun terlambat. Sehingga dia tidak dapat mengikuti pelajaran pertama.

            Perbaikan kalimat-kalimat itu dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, ubahlah
kalimat itu menjadi kalimat majemuk. Kedua, gantilah ungkapan penghubung
intrakalimat menjadi ungkapan penghubung antarkalimat. Perhatikanlah perbaikan
kalimat berikut.

(3)   Saya membeli motor Honda Supra, sedangkan kakak membeli motor Kymko.

(4)   Iqbal bangun terlambat sehingga dia tidak dapat mengikuti pelajaran pertama.

(5)   Saya membeli motor Honda Supra. Akan tetapi, kakak membeli motor Kymko.

(6)   Iqbal bangun terlambat. Dengan demikian, dia tidak dapat mengikuti pelajaran
pertama.

3.1.3 Predikat Kalimat Tidak Didahului Kata yang

            Kata yang berfungsi untuk menerangkan sesuatu benda, baik subjek maupun
objek. Apabila kata yang terdapat di depan predikat, kalimat tersebut berarti tidak
memiliki predikat, seperti  contoh kalimat berikut.
(1)   STBA LIA Jakarta yang terletak di belakang Kecamatan Pancoran.

(2)   Bayi sehat yang mendapat hadiah perlengkapan mandi.

            Kedua kalimat itu dapat diperbaiki dengan menghilangkan kata yang di depan
predikat. Ubahannya adalah sebagai berikut.

(3)   STBA LIA Jakarta terletak di belakang Kecamatan Pancoran.

(4)   Bayi sehat mendapat hadiah perlengkapan mandi.

3.2  Keparalelan

            Kalimat efektif mengharuskan adanya keparalelan bentuk dan makna. Unsur-
unsur yang ada dalam kalimat itu, susunan kata atau frasa, harus sejajar pola dan
derajatnya.

3.2.1 Keparalelan bentuk

            Keparalelan bentuk yaitu penggunaan unsur-unsur atau bentuk yang sama dalam
kalimat. Jika unsur pertama menggunakan bentuk verba meng-, unsur berikutnya juga
harus menggunakan bentuk verba meng-. Demikian pula, jika unsur pertama
menggunakan bentuk nomina ke-an atau pe-an, berikutnya juga harus menggunakan
bentuk nomina ke-an atau pe-an. Berikut ini contoh kalimat.

(1)   Aktivitas di Pesantren Alhusna pada Ramadhan tahun ini di antaranya membaca
buku-buku umum berbahasa Inggris, pengkajian Alquran dan Hadis, serta shalat
tarawih dikukan bersama.

(2)   Pembangunan sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat


memerlukan kecerdasan, harus ulet, dan aparat pelakunya harus sabar.
(3)   Kegiatan di perpustakaan meliputi pembelian buku, membuat katalog, dan buku-
buku diberi label.

               Kalimat-kalimat di atas akan menjadi efektif jika diperbaiki sebagai berikut.

(4)      Aktivitas di Pesantren Alhusna pada Ramadhan tahun ini di antaranya


membaca buku-buku umum berbahasa Inggris, mengkaji Quran dan Hadis, serta
melakukan shalat tarawih bersama.

(5)      Pembangunan sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat


memerlukan kecerdasan, keuletan, dan kesabaran aparat para pelakunya.

(6)      Kegiatan di perpustakaan meliputi pembelian buku, pembuatan katalog, dan


pelabelan buku.

 3.2.2 Keparalelan Makna

            Keparalelan makna yaitu penataan antara gagasan dengan apa yang tertulis
terjalin secara cermat. Kecermatan ini ditentukan oleh relasi makna kata di dalam
kalimat. Perhatikanlah contoh berikut ini.

(1)         Saya tidak memperhatikan dan mempunyai kepentingan terhadap masalah ini.

(2)         Selain pelajar SMU, Panitia juga memberikan kesempatan kepada para
mahasiswa.

            Kalimat-kalimat di atas menunjukkan makna yang tidak paralel. Pada kalimat (1)
tidak menegaskan apakah menegasikan atau memositipkan. Jika demikian adanya, 
bentuk penanda kalimat majemuk perjumlahan itu harus sama, negatif dengan negatif
atau positif dengan positif.

Berikut perbaikan kalimat (1).

(1a) Saya tidak memperhatikan dan tidak mempunyai kepentingan terhadap masalah
ini.

(1b) Saya memperhatian dan mempunyai kepentingan terhadap masalah ini.

            Begitu pula kesalahan terjadi pada kalimat (2). Kalimat ini seolah-olah ada dua
pelaku perbuatan, yaitu pelajar SMU dan panitia yang memberikan kesempatan kepada
para mahasiswa. Jika diuraikan kalimat  itu akan seperti contoh berikut. 

(2a) Selain pelajar SMU memberikan kesempatan kepada para mahasiswa, panitia juga
memberikan kesempatan kepada para mahasiswa.

Berikut perbaikan kalimat (2).

(2c) Selain kepada pelajar SMU, panitia juga memberikan kesempatan kepada para
mahasiswa.

3.3   Pemfokusan

            Yang dimaksud dengan pemfokusan adalah pemusatan perhatian pada bagian
kalimat tertentu (Alwi, 2001: 40). Pemfokusan ini dapat dilakukan dengan cara
pengedepanan ide pokok kalimat, pengulangan kata (repetisi), dan penekanan atau
penegasan seperti contoh berikut.

(1)   Pulau Sipadan-Ligitan seharusnya masuk wilayah Republik Indonesia.


   (2) Pandai berbicara, pandai bergaul, dan pandai membujuk adalah modal utama
seorang pialang.

(2)   Saudaralah yang bertanggung jawab.

            Pada kalimat (1) terlihat bahwa pemfokusan terdapat pada bagian awal kalimat.
Ide pokok yang dikedepankan pada kalimat tersebut ada pada subjeknya, yaitu pulau
Sipadan-Ligitan. Jika bagian awal  diubah, ide pokok kalimat itu juga akan menjadi lain
seperti contoh berikut.

(1a) Seharusnya pulau Sipadan-Ligitan masuk wilayah Republik Indonesia.

            Pada kalimat (2) terdapat pengulangan kata pandai. Apabila dilihat berdasarkan
jumlah kata pandai yang muncul dalam kalimat tersebut boleh jadi dianggap tidak
efektif. Sementara itu, kalimat efektif menghendaki adanya penghematan kata.
Persoalannya bukan pada masalah kemubaziran kata, tetapi lebih menekankan pada
penegasan pernyataan. Jika kemunculan kata pandai itu hanya sekali tentu akan terasa
lain kesannya seperti contoh berikut.

   (2a) Pandai berbicara, bergaul, dan membujuk adalah modal utama seorang pialang.

Simpulan

            Memandang bahwa bahasa Indonesia tidak perlu dipelajari adalah jelas sikap
yang salah. Kesalahan ini boleh jadi berawal ketika rasa positif terhadap bahasa itu tidak
dimiliki oleh seseorang. Akibat yang timbul adalah seseorang tidak lagi bangga terhadap
bahasa Indonesia. Penggunan bahasa Indonesia secara tidak beraturan pun tidak lagi
menjadi persoalan. Kaidah dan norma bahasa bukan hal yang harus dipahami. Persoalan
apakan itu menyimpang dari aturan tidak  merupakan tindakan yang harus diperbaiki. Itu
semua akibat adanya sikap tidak acuh dan tidak positif terhadap bahasa Indonesia.
       Harus disadari bahwa setiap bahasa dipastikan memiliki aturan, kaidah dan norma.
Sama halnya dalam bahasa Indonesia, semua itu ada aturan mainnya. Persoalannya
memang kadang-kadang orang sering tidak sadar bahwa ketika berbahasa ada koridor-
koridor tertentu yang harus dipatuhi, terlebih-lebih dalam karya ilmiah.

       Setiap tulisan ilmiah apakah itu berbertuk skripsi, thesis, disertasi, atau sejenisnya
memiliki terikatan norma bahasa yang baku. Setiap kalimat yang muncul harus jelas
makna dan acuannya, tidak boleh ada makna ambigu. Jika ada makna membias, dapat
dipastikan kalimat akan menjadi rancu. Dengan kata lain, kalimat itu tidak jelas
sasarannya. Kejelasan makna akan diperoleh apabila kalimat tersebut efektif.

PENELITIAN DI BIDANG PENERJEMAHAN*

Benny  Hoed

Guru Besar Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia; Ketua
Umum Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI)

Abstrak
Penerjemahan adalah suatu upaya mengungkapkan kembali pesan dari suatu bahasa ke
dalam bahasa yang lain. Pada dasarnya di dalam penerjemahan tidak ada yang benar atau
salah secara mutlak. Hal ini tergantung untuk apa dan untuk tujuan siapa penerjemahan
itu dibuat. Di dalam penerjemahan teks sasaran (TSa) isinya harus sama dengan teks
sumber (TSu) atau boleh jadi bentuknya berbeda, tetapi maknanya serupa. Dengan
demikian, makna atau pesan yang dimaksud dalam bahasa sumber (BSu) dapat dipahami
atau mempunyai nilai yang sama dengan bahasa sasaran (BSa). Dalam teori
penerjemahan ada dua jenis kajian, yaitu (1) yang bertujuan membantu penerjemah dalam
melaksanakan pekerjaannya dan (2) yang bertujuan mengembangkan teori penerjemahan
sebagai landasan kajian, bukan sekedar hubungan antarbahasa, melainkan hubungan antar
budaya. Di antara kedua tujuan ini timbul jenis kajian yang mempunyai fungsi ganda:
teori dan kritik terjemahan.
 

Kata Kunci: Penerjemahan, Bahasa Sasaran, Bahasa Sumber

Abstract
A translation is a transfer of massage from one language to another. There’s no right or
wrong in one’s translation. It depends on whose the readers are and the purpose of the
translation. A translator may change the forms used in the target language as long as the
massage is still the same. Therefore, the meaning in the source language will still be
achieved through the target language. There are two analyses used in the theory of
translation, they are: (1) one meant to help a translator do his job and (2) one meant to
develop analyse both the theory of translation in the two languages (Source and Target
Language) and the different cultural background. There are two functions in these two
analyses: the theory of translation and the critics of translation.

Keywords: Translation, Target Language, Source Language

_____________

*Makalah untuk Lokakarya Penelitian PPM STBA LIA, Wisma Karya Sartika, Cipanas.

Jawa Barat. 3 Juni 2003.

      Penerjemahan adalah upaya mengalihkan pesan dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Oleh karena itu, kita tidak dapat melihat penerjemahan sebagai sekedar upaya
menggantikan teks dalam satu bahasa ke dalam teks 1  bahasa lain. Nida dan Taber (1974:
12) mengemukakan bahwa penerjemahan “consists in reproducing in the receptor
language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms of
meaning and secondly in terms of style”. Jadi, intinya penerjemahan adalah suatu upaya
mengungkapkan kembali pesan dan suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Kata-kata
receptor language memperlihatkan bahwa penerjemahan merupakan kegiatan
komunikasi. Oleh karenanya, konsep benar-salah (correctness) dalam penerjemahan,
menurut mereka (opcit. : 1) didasari oleh “untuk siapa” penerjemahan itu dibuat. Dengan
demikian, tidak ada terjemahan yang benar atau salah secara mutlak. Bahkan saya dapat
menambahkan bahwa benar-salah dalam penerjemahan juga tergantung pada “untuk
tujuan apa” penerjemahan itu dilakukan.

      Dalam kaitan ini, ada yang melihat penerjemahan sebagai suatu bentuk khusus
komunikasi. Hatim dan Mason (1997: 1) mendefinisikan penerjemahan sebagai “an act
of communication which attempts to relay, across cultural and linguistic boundaries,
another act of communication (which may have been intended for different pruposes and
different readers/hearers). Penerjemah dalam hal ini adalah penerima (pesan) dalam
bahasa asli (disebut bahasa sumber, disingkat BSu) dan kemudian, pada saat
menerjemahkan ia bertindak juga sebagai pengirim (pesan) dalam bahasa terjemahan
(disebut bahasa sasaran, disingkat BSa).

______________

1
Yang dimaksud dengan teks di sini adalah produk kebahasaan tertulis atau pun lisan

            Bila yang diupayakan oleh seorang penerjemah adalah pengungkapan kembali
pesan BSU dalam BSa, maka secara tekstual teks sasaran (TSa) harus sepadan (isinya)
dengan teks sumber (TSu)’. Dalam teori penerjemahan, dua teks (TSu dan TSa) yang
sepadan adalah dua teks yang isinya dipahami secara serupa oleh penerima (pembaca
atau pendengar) masing-masing dalam BSu dan BSa. Oleh karena itu, Nida dan Taber
(1974: 173) mengemukakan bahwa secara tekstual terjemahan (TSa) yang benar adalah
yang merupakan “dynamic equivalence” dan TSu, yakni yang bentuknya mungkin
berbeda, tetapi “makna”nya serupa, yakni yang oleh penerima TSa dipahami serupa
seperti TSu dipahami oleh penerimanya dalam BSu. Jadi, sepadan bukan sama,
melainkan mengandung “nilai” yang sama.

Orientasi dalam Penerjemahan


            Apa yang dikemukakan di atas belum menjelaskan secara tuntas masalah dasar
dalam penerjemahan. Newmark (1988: 4) mengemukakan betapa sebuah terjemahan
melibatkan TSu dan TSa pada dua kutub yang berlawanan. Di satu pihak TSu
dipengaruhi oleh empat faktor, yakni pemroduksi teks (tertulis atau lisan), norma dalam
BSu, kebudayaan BSu, dan format TSu. Di pihak lain, Tsa juga dipengaruhi oleh empat
faktor, yakni sidang pembaca atau pendengar TSa, norma dalam BSa, kebudayaan BSu,
dan format TSa. Semua itu akan mempengaruhi hasil penerjemahan. Di samping itu,
masih ada dua faktor lagi yang mempengaruhi proses penerjemahan, yakni latar belakang
pemikiran penerjemah dan pemahaman tentang hal yang dibicarakan dalam TSu yang
mungkin berbeda atau tidak ada dalam BSa. Jadi sebuah teks atau ujaran ditentukan
pemahamannya oleh konteksnya, baik di pihak BSu maupun BSa. Inilah yang oleh
Newmark disebut sebagal “the dynamics of translation”.

Konteks juga menyangkut tujuan penerjemahan. Faktor ini mempengaruhi metode


yang dipilih oleh penerjemah (Newmark 1988: 45). Yang dimaksud dengan metode
adalah cara yang dipilih penerjemah sesuai dengan apakah lebih dekat dengan BSu atau
BSa. Ada dua kutub yang saling menarik, yakni BSu dan BSa.

            Metode yang berorientasi kepada BSu adalah metode “penerjemahan semantik”,
yakni yang mementingkan pengalihan makna pada tataran terendah (misalnya kata atau
ungkapan). Dalam metode ini ungkapan idiomatik tidak dicarikan padanannya, tetapi
dialihbahasakan saja meskipun idiom semacam itu tidak terdapat dalam BSa. Misalnya,

(1)  “Nobody is gonna buy that idea” diterjemahkan dengan

            (la)”Tak seorangpun akan membeli gagasan itu”

Dalam hal tertentu, ini dapat juga disebut sebagai “penerjemahan setia” terutama apabila
terjemahan itu berbunyi,

      (1b) “Tidak satu orangpun akan membeli gagasan itu”


yang terasa lebih “kaku” dan “asing” daripada yang pertama. Dalam pada itu, apabila
penerjemahan lebih berorientasi kapada BSa, maka disebut metode “penerjemahan
komunikatif’. Di sini, yang penting adalah agar pesan dipahami dalam konteks BSa.
Kalimat Inggris di atas akan diterjemahkan menjadi:

             (1c) “Tak seorangpun mau menerima gagasan itu”

yang lebih menekankan pada keberterimaan dalam BSa.2

______________

2
Sebenarnya Newmark berbicara tentang delapan metode dasar dalam  penerjemahan (Newmark 1988:45-
48). Di samping dua metode yang dibicarakan di atas, tiga di antaranya lebih dekat lagi orientasinya kepada
BSu (penerjemahan kata-demi-kata, harfiah, dan setia) dan tiga lagi lebih dekat lagi kepada BSa (saduran
atau adaptasi, penerjemahan bebas, dan penerjemahan idiomatik). Namun. tidak relevan untuk dibicarakan
di sini. Yang penting kita pahami bahwa bahwa tidak ada hanya satu metode dan bahwa metode-metode itu
dibedakan berdasarkan orientasinya ke BSu ata BSa, dan dipilih berdasarkan tujuan tertentu.

            Melihat adanya dua orientasi yang berbeda (BSu dan BSa), maka kita pun dapat
melihat tujuan penerjemahan dan perspektif yang lebih luas. Venuti (1995; 17-28)
berbicara mengenai “foreignizing translation” (yang berorientasi kepada BSu) dan
“domesticating translation” (yang berorientasi kepada BSa)3. Dalam hal yang pertama,
penerjemah sepenuhnya berada di bawah kendali penulis TSu, sehingga penerjemah
menjadi tidak terlihat (invisible). Di sini yang menonjol adalah penulis teks yang
diterjemahkan dan yang hadir di hadapan pembaca adalah suatu aspek kebudayaan
“asing” yang diungkapkan dalam bahasa sang pembaca. Dalam hal kedua, penerjemah
menentukan apa yang diperlukan agar terjemahannya tidak dirasakan sebagai karya
“asing” bagi pembacanya (dalam hal ini penerjemah menjadi lebih terlihat karena
karyanya dianggap sebagai “turunan”  bahkan semacam “adaptasi”). Foreignization dan
domestication dapat dikatakan merupakan semacam cara pandang dalam penerjemahan.
Ini bergantung pada tujuan menerjemahkan. Hasil penerjemahan berdasarkan tujuan
diakui sebagai terjemahan. Bahkan apabila menjadi dasar dalam pembentukan kebijakan
dalam hal penerjemahan teks-teks bermuatan budaya, bisa disebut ideologi.
 

______________

3
“I want to suggest that in so far as foreignizing translation seeks to restrain the ethnocentric violence of
translation, it is highly desirable today, a strategic cultural invention in the current state of world affairs,
pitched against the hegemonic English-language nations and the unequal cultural exchanges in which they
engage their global exchanges.” (Venuti 1995: 20). Nida dan Taber (1974) dalam seluruh bukunya tentang
penerjemahan Kitab Injil mendorong penerjemah melakukan domesticating translation meskipun Ia tidak
secara eksplisit menggunakan istilah yang- digunakan Venuli itu. Namun, kita sudah dapat menangkap
pada halaman pertama bukunya bahwa “correctness must be determined by the extent to which the average
reader for which a translation is intended will likely to understand it correctly. “Jadi, kata kunci path
mereka menjadi “Anything that can be said in one language can be said in another, unless the form is an
essential element of the message” dan “equivalence rather than identity”. Bagi Nida dan Taber (1964: 12)
penerjemahan adalah upaya “pengungkapan kembali pesan dan suatu bahasa ke bahasa yang lain” dan
bukan sekadar pengalihbahasaan.

Kecenderungan ini dikenal dengan nama “skopos”. Salah satu contoh yang terbaru adalah
“Diskusi Panel Penerjemahan Cerita Anak-Anak” yang diselenggarakan oleh Himpunan
Penerjemah Indonesia (HPI) di Jakarta (24 Mei 2003).  Ada dua pembicara dalam panel
tersebut, yaitu Listiana Srisanti4  dan Murti Bunanta5. Keduanya mempunyai minat besar
pada cerita anak-anak, yang pertama dalam penerjemahan, sedangkan yang kedua dalam
penelitian tentang cerita anak-anak termasuk penerjemahannya. Salah satu topik
pembicaraan yang menarik dikemukakan oleh Srisanti, yakni tentang sebutan Mr., Mrs.,
Mom, Dad, dan sebagainya yang ber”warna” asing. Kata-kata itu tidak diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan alasan sapaan-sapaan seperti itu “tidak lagi asing bagi
pembaca Indonesia”.

             Demikian pula kata sandwich, tidak dialihkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
alasan yang sama (Srisanti 2003: 5). Dalam penerjemahan buku Harry Potter, Srisanti
cenderung menerjemahkan secara setia (bukan harfiah) dan semantik, misalnya pepper-
up (merica─ mujarab), remember all (bolaingatsemua), Nearly─headless Nick (Nick
si kepala─nyaris─putus), cheering charms (jampi jenaka), dan Kwikspel — A
Correspondence for Beginners (Mantra Kilat  Kursus Sihir Tertulis untuk Pemula).
Srisanti dalam penjelasan selanjutnya mengemukakan bahwa kebudayaan asing yang
disajikan dalam buku cerita Harry Potter sengaja diperlihatkan agar dikenal oleh anak-
anak kita, yakni agar anak-anak kita mempunyai pengetahuan tentang kebudayaan lain.
Ini adalah suatu konsep penerjemahan foreignization atau transferensi, yang ingin
menerjemahkan dengan mengalihkan nilai-nilai budaya bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran.  Tentu saja tidak berarti

______________
4
  Listiana Srisanti adalah penerjernah dan editor buku anak pada penerbit PT Grarnedia. 5Dr Murti Bunanta
adalah Ketua Kelompok Pencita Bacaan Anak (KPBA) dan spesialis sastra anak.

Srisanti tidak berusaha agar terjemahannya enak dibaca. Justru ia  menginginkan agar
terjemahannya itu “enak dibaca”. Ia mengemukakan bahwa untuk menjadi penerjemah
buku anak yang baik harus memenuhi tiga syarat, yakni “bisa bercerita, menguasai
bahasa Inggris (atau bahasa asing lain buku yang akan diterjemahkan) dengan baik,
menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar.” (Srisanti 2003: 1). Di dalam diskusi
terungkap antara lain pendapat Murti Bunanta yang mengatakan bahwa seharusnya kata-
kata asing termasuk kata-kata sapaan seperti Mr., Mrs., Uncle, Aunt, dan sebagainya itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar keseluruhan terjemahan hadir sebagai
bagian dari bahasa Indonesia. Di sini kita dapat melihat suatu contoh kecenderungan
domestication yang dianut oleh Bunanta. Tentu domestication yang Iebih tinggi kadarnya
adalah pada saduran cerita binatang (fabel) di mana tokoh-tokoh hewan asing dan
lingkungan alamnya diganti dengan tokoh hewan dan alam yang ada dalam bahasa
sasaran. Misalnya, rubah yang di dalam kebudayaan Eropa dikenal sebagai binatang yang
licik diganti dengan kancil. Namun, perlu dicatat bahwa kelicikan rubah (culas, penipu,
kejam) tidak sama dengan kelicikan kancil (cerdik, menipu karena mempertahankan diri
terhadap binatang yang lebih besar). Jenis flora pun digantikan dengan tetumbuhan yang
ada di Indonesia seperti cabai dan mentimun. Begitu pula jenis makanan, seperti keju
yang di pegang burung gagak dengan paruhnya (di Eropa) diganti dengan dendeng.

             Mana yang benar dan kedua kecenderungan ideologis tersebut di atas tidaklah
dapat dinyatakan secara mutlak. Keduanya mempunyai fungsi dalam kehidupan budaya
suatu masyarakat. Apalagi masyarakat kita termasuk masyarakat yang terbuka untuk
memperoleh informasi tentang kebudayaan mana pun. Tentu saja─dalam hal buku
anak─masih diperdebatkan dampaknya terhadap pendidikan anak-anak. ini tidak hanya
menyangkut pemilihan salah satu dan dua konsep tersebut di atas, tetapi terutama dalam
pemilihan (isi) buku ceritanya.

Konteks dalam Penerjemahan

             Newmark (1988:20) mengemukakan bahwa kerangka acuan bagi proses
penerjemahan bertolak dan masalah kebahasaan dan budaya yang ditanggulangi dengan
melibatkan faktor konteks yang akhirnya diikuti dengan pemilihan prosedur
penerjemahan. Kerangka acuan itu yang digunakan sebagai dasar berpikir dalam proses
penerjemahan, dapat digambarkan sebagai berikut ini.

Masalah antar bahasa/antarbudaya  Faktor konteks  Prosedur

            Dari kerangka acuan tersebut di atas terlihat bahwa faktor konteks merupakan
jalan ke luar dan masalah yang timbul akibat perbedaan antara dua bahasa yang terlibat
dalam proses penerjemahan. Artinya bahwa unsur BSa yang merupakan padanan bagi
unsur BSu bisa ditemukan melalui konteks. Jadi, yang dicari bukanlah makna formal,
tetapi makna kontekstual. Perhatikan contoh berikut ini.

            (2) Someone is looking for you.

                        (2a) Ada yang mencarimu.

            

            Kata someone menurut konteksnya lebih tepat diterjemahkan dengan ada
(padanan kontekstual) bukan dengan seseorang (padanan formal), contoh lain adalah
seperti berikut ini.

(3) By the will of God (dalam konteks terjadinya suatu kerusakan yang    tidak
dapat diganti oleh asuransi).

            (3a) Di luar kemampuan manusia.


Jadi, terjemahan by the will of God dalam konteks peraturan asuransi tidak diterjemahkan
dengan atas kehendak Tuhan, tetapi dengan di luar kemampuan manusia. Di sinilah
konteks dapat memecahkan masalah perbedaan antar bahasa untuk menemukan padanan
yang tepat, yakni berterima bagi pembaca dalam BSa. Bagaimana penerjemahan itu harus
dilakukan, disebut prosedur.6

Penerjemahan Berdasarkan Wacana

            Penekanan pada konteks berkembang menjadi penekanan pada wacana


(discourse-based translation). Dengan demikian, kita kembali kepada konsep “dinamika
penerjemahan” (the dynamics of translation) seperti dikemukakan Newmark dan sudah
dikutip di atas. Ada sepuluh faktor yang mempengaruhi pemaknaan teks yang hams
diperhatikan dalam penerjemahan. Jadi, harus dipahami bahwa wacana lebih luas
daripada teks. Secara sederhana dapat dikatakan bahwadalam kaitan dengan
penerjemahanwacana adalah teks dengan seluruh faktor yang mempengamhi
pemaknaannya, baik sebagai TSu maupun TSa. Wacana adalah teks dengan selumh
konteks dan situasi yang melingkunginya. Oleh karena itu, konsep penerjemahan
berdasar makna (meaning-based translation) (cf. Larson 1984) harus diperluas kerangka
acuannya. Upaya itu sudah dilakukan oleh Nord (1991) dan    kemudian Jabr (2001)
mengemukakan bahwa dalam hal penerjemahan berdasar wacana ada dua model, yakni
model Newmark (1988) dan model Hatim dan Mason (1990). Model Newmark, didasari
oleh ciri-ciri khas yang mecolok dalam sebuah teks, antara lain, koherensi, kohesi, tema,
rema, enumerasi, oposisi, kelewahan, konjungsi, substitusi, komparasi, negasi inisial,
tanda baca, dan retorika. Newmark juga meminta penerjemah memparhatikan nada,
maksud, jenis (fungsi teks), laras, dan fitur-fitur pragmatik dalam sebuah teks. Dalam
pada itu, Hatim dan Mason memandang penerjemahan sebagai penciptaan dan oleh

______________

6
Tidak akan dibicarakan di sini. Lihat antara lain Newmark (1988) pada Bab 5 dan Bab 8.
diperluas lagi oleh Hatim dan Mason (1990) dan oleh Hatim dan Mason (1997).

karena itu, setiap bagian teks yang diterjemahkan harus dilihat pemrosesan teks (baru)
sebagai bagian dan fungsi retorik yang berada pada tataran yang lebih tinggi. Oleh karena
itu, bagi mereka penerjemahan merupakan sesuatu yang dinamis. Maksudnya adalah
bahwa penerjemahan merupakan suatu jenis komunikasi yang khusus, seperti yang
dicerminkan dalam definisinya tentang penerjemahan yang sudah dikutip di atas.

      Jadi, bagaimana terjemahan (padanan) kata-kata asing berikut diperoleh, sangat
ditentukan oleh tempatnya dalam wacana. Perhatikan contoh berikut ini.

(4) Lost and Found (tempat kita dapat menanyakan dan mungkin memperoleh  
kembali barang yang hilang misalnya—di suatu taman rekreasi.)

(4a) Barang Hilang.

(4b) Barang Ditemukan.

Dua dan sekian banyak kemungkinan terjemahan di atas hanya dapat dipahami dalam
rangka wacana papan pemberitahuan di suatu tempat rekreasi. Contoh lain ialah

(5)   Right lane must turn right (petunjuk di jalan raya di Amerika Serikat yang lalu
lintasnya di sebelah kanan)

(5a) Belok kanan langsung.

Terjemahan (5a) merupakan analogi dan Belok kiri langsung yang terdapat dalam
petunjuk di jalan di Indonesia yang lalu-lintasnya di sebelah kiri. Sekali lagi, pemahanan
teks (5) dan (5a) hanya dapat dilakukan dalam rangka wacana sistem lalu-lintas.

Selanjutnya dapat ditambahkan bahwa dalam proses penerjemahan harus


memperhatikan kaitan intertekstual yang terdapat antara teks tersebut dan teksteks lain,
baik dalam TSu maupun nantinya yang mungkin terjadi dalam TSa.

Semiotik dan Penerjemahan


Beranjak dari konsep penenjemahan berdasar wacana, kita dapat berlanjut pada
konsep penerjemahan berdasar semiotik. Intinya adalah bahwa dalam setiap teks selalu
ada unsur teks yang tidak sekadar kita lihat sebagai bagian teks dengan segala konteks
dan situasi yang melingkunginya, tetapi juga sebagai tanda yang dimaknai oleh penulis
dan pembaca (pendengar) TSu dan calon pembaca (pendengar) TSa. Pembicaraan tentang
pendekatan semiotik dapat ditemukan dalam Hewson dan Martin (1991) di mana ia
berbicara tentang “language-culture” (disingkat LC) dan bukan sekadar “language”
(Hewson dan Martin 199 1:8-13). Dengan demikian, penerjemahan dilakukan dalam
rangka sistem budaya tempat teks yang bersangkutan terdapat. Ini berarti, teori
penerjemahan akan membicarakan proses signifikasi dan komunikasi yang merupakan
konsep dasar dalam semiotik, di samping konsep pengungkapan kebahasaan (linguistic
expression). Oleh karena itu, dalam teori ini dibicarakan apa yang disebut “ideological
representation” dalam penerjemahan.

 Marilah kita perhatikan contoh berikut ini:

(6)  Good morning, Sir (di desa di Inggris)

(6a) Mau kemana, Pak?

(6b) Ke kantor, Pak?

(6c) Selamat pagi, Tuan.

Pemilihan satu di antara tiga kemungkinan terjemahan di atas tergantung dan situasi
(baca: wacana “salam”) pertemuan antara dua orang itu di desa. Kalau situasinya
disesuaikan dengan situasi di desa Indonesia, maka yang dipilih (6a) dan (6b), karena di
desa “Selamat pagi” hampir tidak dikenal dalam wacana “salam”. Akan tetapi (6c) dapat
dipilih untuk tetap mempertahankan situasi “asli “nya (di desa di Inggris). Pertanyaan
kita: apa yang dapat membuat kita memilih (6a) dan (6b) di satu pihak atau (6c) di pihak
lain? Wacana saja tidak cukup sebagai dasar. Di sini semiotik dapat berperan, yakni
digunakannya konsep “representasi”: salah satu ujaran itu mewakili budaya apa? Juga
kita dapat menggunakan konsep “tanda sebagai konvensi” (dalam semiotik Peirce disebut
symbol (lambang): salah satu ujaran itu merupakan lambang dalam konvensi apa? Kita
dapat mengatakan bahwa (6a) dan (6b) mewakili kebudayaan desa di Indonesia,
sedangkan (6c) mewakili kebudayaan BSu (desa di Inggris). Setiap ujaran terjemahan itu
juga dapat dilihat sebagai lambang yang bermakna “sapaan hormat antara dua orang yang
saling mengenal tetapi tidak terlalu akrab”. Ujaran (6a) dan (6b) berlaku sebagai lambang
di desa Indonesia, sedangkan (6c) di Inggris.7 Pendekatan semiotik ini bisa berguna untuk
memecahkan masalah penerjemahan teks yang sarat dengan faktor kebudayaan.

Penelitian di Bidang Penerjemahan

       Tujuan Kajian dan Dua Jenis Teori

            Para pakar pada dasarnya sepakat untuk mengatakan bahwa ada dua dua jenis
teori penerjemahan. Yang pertama adalah yang bertujuan membantu penerjemah
melakukan tugasnya (translator-based theories), sedangkan yang kedua adalah yang
bertujuan membuat analisis dan deskripsi teoretis atas hasil penerjemahan (text-based
atau research-based theories).

______________

7
Situasi di Indonesia yang dikemukakan di atas tidak tepat benar karena dalam kenyataan sangat
tergantung dan daerahnya. Namun, prinsip dasarnya dapat kita katakana bahwa di banyak desa kita sapaan
“salam” Selamat pagi sangat jarang digunakan.

Berdasarkan pembedaan itu, kita dapat membedakan penelitian untuk mengembangkan


teori guna membantu pekerjaan penerjemah dengan penelitian untuk melakukan analisis
dan deskripsi yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori. Di antara kedua jenis
penelitian itu, ada satu jenis penelitian lagi yang bertujuan mengulas atau melakukan
kritik atas suatu terjemahan (translation criticism). Ini merupakan gabungan antara
analisis, deskripsi, dan evaluasi. Dalam hal melakukan evaluasi, pengkritik harus melihat
dari segi penerjemah (mengapa penerjemah memilih suatu padanan) dan dari segi
pengkritik sendiri (setuju atau tidak setuju dengan pilihan penerjemah apa dasarnya).
Newmark (1988: 184-192) mengemukakan bahwa kritik terjemahan merupakan
“jembatan” (link) antara teori dan praktik penerjemahan.

Secara garis besar penelitian dibidang penerjemahan dapat ditujukan ke dua arah
yang berbeda, yakni (1) untuk menghasilkan teori dan metode serta prosedur guna
membantu penerjemah dalam melakukan pekerjaannya, dan (2) mengembangkan
metodologi penerjemahan dan tenik analisis guna (a) mengembangkan teori
penerjemahan dan (b) melakukan kritik atau ulasan atas terjemahan.

       Strategi dalam Penerjemahan

            Meskipun Catford (1965: 20) menggambarkan penerjemahan sebagai kegiatan


satu arah (uni-directional), pada hakikatnya proses penerjemahan selalu dibayangi oleh
daya tarik-menarik antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Ivir (19?) menggambarkan
kajian penerjemahan sebagai kajian atas parole (bahasa dalam praktik) yang berbeda
dengan kajian kontrastif yang terfokus pada langue (sistem bahasa).

            Akibat dan adanya dua kutub yang saling menarik itu, penerjemah selalu
dihadapkan dengan masalah strategi penerjemahan. Newmark telah menggambarkan
strategi penerjemahan yang beronientasi kepada TSu (semantik) dan yang berorientasi
pada TSa (komunikatif). Dalam kaitan ini, kita dapat mengutip konsep strategi yang
dikemukakan oleh Nord (1991:72-73) yang membedakan documentary translation
dengan instrumental translation. Yang pertama adalah terjemahan sebagai upaya
mengungkapkan kembali isi sebuah teks dalam bahasa sasaran tanpa tujuan lain bagi
kelompok sasaran terjemahan kecuali hanya mengetahui apa pesan yang terkandung
dalam teks sumber, sedangkan yang kedua adalah upaya mengungkapkan kembali pesan
dari teks sumber dengan tujuan khusus yang berkaitan dengan kemungkinan dampaknya
dalam kelompok sasaran terjemahan. Kehadiran karaktenistik bahasa sumber sangat
dominan, ini sejajar dengan apa yang dikemukakan Newmark 1988: 46)     sebagai
penenjemahan semantic, dan Venuti (1995: 17-28) sebagai foreignizing translation.
Dalam upaya penerjemahan jenis instrumental itu, kita dapat memasukkan strategi
penerjemahan komunikatif (Newmark 1988: 47) dan Venuti (1995: 17-28) sebagai
domesticating translation.

     Jadi, penelitian di bidang penerjemahan pada masa kini tidak lagi sekedar
membandingkan kata atau kalimat dalam TSu dan TSa, tetapi terfokus pada strategi
penerjemahan, yakni konsep apa yang digunakan untuk melakukan penerjemahan. Dalam
setiap upaya penerjemahan selalu terlibat dua bahasa yang berbeda, yang telah kita kenal
sebagai BSu dan BSa. Perbedaan ini berimplikasi bahwa ada teks asli (teks sumber) yang
kemudian—sebagai akibat dan kegiatan penenjemahan—menghasilkan teks tenjemahan
(teks sasaran). Yang menarik adalah bahwa teks sasanan hanya ada jika ada tindakan
penerjemahan. Dalam teori-teori yang terdahulu, TSa dianggap sebagai sekadar turunan
(derivat) TSu. Dalam teori-teori yang mutakhir — terutama dengan adanya konsep
“skopos”8 — Tsa, meskipun “lahir” dan penerjemahan, dapat

dipandang sebagai mempunyai peran yang mandiri dan dinamis dilingkungan penerima
dalam Bsa. Pandangan ini melahirkan adanya strategi dalam penerjemahan karena
penerjemahan bukan sekadar alih bahasa, tetapi pengungkapan kembali pesan yang
dilakukan berdasarkan suatustrategi tertentu berdasarkan peranan teks terjemahan.dalam
masyarakat BSa.9

Apa yang dikemukakan di atas dapat digambarkan dengan bagan berikut.

_______________________________________________________________

Bagan 1: Strategi

                 BSu/TSu                          penerjemahan                   BSa/TSa

STRATEGI
orientasi kegiatan penerjemahan]

“documentary translation”                                     “instrumental translation”

       “foreignization”                                                         “domestication”

_______________________________________________________________

_____________________________________

8
“Skopos (Greek: ‘pupose’, ‘goal ‘), is an appropriate name for a theory which focuses on such aspects of
translation process as interactional dynamics and pragmatic purpose. The theory holds that the way the
target text eventually shapes up is determined to a great extent by the function. or ‘skopos’. intended for it
by the target context. (....) (Hatim, 2001: 74).

9
Harian Kompas yang terbit Sabtu, 24 Mei 2003, memuat karangan dan ulasan tentang situasi
penerjemahan di Indonesia. Harian tersebut mengajukan pertanyaan yang bersifat strategis, yakni bahwa
kini Indonesia dibanjiri dengan buku terjemahan, tetapi mutunya tidak semua baik. “Siapa yang
bertanggung jawab?” tanya Kompas. Bagaimana dampak suatu karya terjemahan dalam suatu masyarakat
sasaran merupakan hal yang banyak diteliti orang pada akhir-akhir ini.

Perincian Fokus dan Kelompok Topik Penelitian

            Fokus yang lebih terperinci bagi kajian atas terjemahan dapat dibagi dua, yakni
satu yang berorientasi pada proses dan satu lagi pada produk penerjemahan. Yang
berorientasi pada proses lebih banyak melihat pada proses kegiatan penerjemahan,
termasuk apa yang terjadi saat penerjemah melakukan pekerjaannya. Dalam kaitan ini
segi ingatan (memory) merupakan faktor yang mendapat perhatian juga yang berorientasi
pada produk lebih banyak melihat teks (sumber dan terutama sasaran) sebagai objek
kajian (cf. Bell 1991). Di dalam kerangka ini objek penelitiannya dapat terfokus pada
penerjemahan dan segi komunikasi, semiotik, dan pragmatik.

      Bertolak dan perincian fokus tersebut di atas, kita dapat memperinci fokus
penelitian berdasarkan kelompok topik berikut ini.

_______________________________________________________________
Bagan 2: Rincian Fokus Penelitian

RINCIAN FOKUS

kelompok topik penelitian

segi proses penerjemahan

segi proses penerjemahan

segi komunikasi

segi semiotic

segi pragmatic

_______________________________________________________________

Dua Jenis Teori dan Tiga Jenis Kajian

            Akhirnya, perlu diingatkan kembali bahwa ada dua jenis kajian yang dilandasi
oleh dua jenis teori yang berbeda, yakni (1) yang bertujuan membantu penerjemah dalam
melaksanakan pekerjaannya dan (2) yang bertujuan mengembangkan teori penerjemahan
sebagai landasan kajian, bukan sekadar hubungan antarbahasa, melainkan terutama
hubungan antarbudaya. Di antara kedua terjemahan, yang dipandang sebagai “jembatan”
antara teori dan praktik penerjemahan. Perhatikan bagan berikut.

_______________________________________________________________

Bagan 3: Tujuan Kajian

            TUJUAN KAJIAN


Orientasi pengembangan teori

“translator-based theories”                                            “research-based theories”

                                                            “translation critism”

Penutup

            Demikianlah beberapa pemikiran mengenai penelitian di bidang penerjemahan.


Penelitian di bidang penerjemahan, seperti dikemukakan oleh Catford (1965:20),
termasuk cabang penelitian linguistic bandingan (comparative linguistics). Namun,
Penelitian jenis ini mempunyai sifat khusus, yakni cara pandangnya bersifat satu arah
(uni-directional). Peneliti memandang objeknya sebagai suatu proses dan/atau hasil
penerjemahan yang melibatkan bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dari sini kita melihat
adanya gerakan tarik-menarik antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, yang kemudian
melahirkan strategi penerjemahan. Strategi ini secara umum, mencakupi upaya
foreignization atau domestication. Karena itulah Ivir (19?) mengemukakan bahwa kajian
penerjemahan adalah kajian atas parole yang berbeda dengan kajian kontrastif yang
fokus utamanya adalah langue. Penelitian tentang penerjemahan adalah mengenai bahasa
dalam praktik (language in use) yang tidak harus selalu bermuara pada pemerian system
bahasa. Tentu saja penelitian penerjemahan dapat membantu kajian kontrasif, yang
fokusnya adalah membandingkan secara timbal balik dua sistem bahasa. Inilah dasar bagi
penelitian di bidang penerjemahan. Perlu dicatat bahwa tulisan ini masih merupakan
upaya awal yang masih memerlukan penyempurnaan.

Jakarta, 27 Mei 2003

 
DAFTAR PUSTAKA
Bell, R.T. 1991. Translation and Translating. London/New York: Longman

Hatim, B. 2001. Teaching and Researching Translation.  London/New York: Longman

Hatim, B. dan I. Mason. 1997. The Translator as Communicator. London/New York:


Routledge.

Hewson, L. dan J. Martin. 1991. Redefining Translation. The Variational Approach.


London/New York: Routledge.

Ivir, V. 1979. The Communicative Model of Translation in Relation to Contrastive


Analysis.  Zagreb: Institute of Linguistics, Zagreb University (Preprint).

Jabr, A-F. M. 2001. “Arab Translator’s Problems at the Discourse Level” dalam Babel.
International Journal of Translation. Vol. 47, no.4.

Larson, M.L. 1984. Meaning-Based Translation. A Guide to Cross-language


Equivalence. Lanham, Maryland: University Press of America.

Newmark, P. 1988. A Textbook of translation.  London/New


York/Toronto/Sydney/Tokyo: Prentice Hall.

Nida, E.A. dan Ch. R. Taber. 1974 (1969). The Theory and Practice of Translation.
Helps for Translators. Den Haag: Brill.

Nord, Chr. 1991. Text Analysis in Translation. Amsterdam/Atlanta, GA: Rodopi.

 
Venuti, L. The Translator’s Invisibility. A History of Translation. London/New York:
Routledge.

Matsuri : Implementasi Sikap dan Perilaku Orang Jepang

dalam Kehidupan Spiritual

Dewi Ariantini Yudhasari


Staf  Pengajar Bahasa Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA Jakarta

Abstrak

Orang Jepang hingga dewasa ini masih terus mempertahankan matsuri sebagai suatu
kegiatan spiritual dalam menyeimbangkan kehidupan duniawi dan kehidupan akhiratnya.
Hati dan pikiran orang Jepang menyatu dalam sikap dan perilaku yang
diimplementasikan dalam gerak matsuri. Sepanjang orang Jepang masih ada di dunia,
matsuri akan terus eksis sebagai bagian dari kehidupan spiritual orang Jepang.

Kata Kunci : matsuri, ritual, spiritual

Abstract

      ;      All this present time, the Japanese still keep their spritual ritual that is called matsuri as
an effort to keep their life nowadays balance and the life after. This writing tells about
kinds of matsuri which is held based on seasons, the elements of a matsuri and the
attitude and behaviour of the Japanese toward it.

Keywords:  matsuri, ritual, spritual


 
Pendahuluan
            Jika kita bertanya pada orang Jepang, apakah mereka memiliki agama. Sering  
dijumpai bahwa mereka agak sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Namun, jika kita
perhatikan sikap dan perilaku orang Jepang dalam fenomena kehidupan sehari-hari
seperti dalam upacara pemujaan leluhur atau perayaan-perayaan yang berhubungan
dengan pemujaan terhadap alam dan perayaan yang bertujuan untuk memanjatkan rasa
syukur, maka kita akan mendapatkan kesan bahwa orang Jepang mempercayai atau
meyakini adanya sesuatu.

            Kepercayaan atau keyakinan orang Jepang tersebut diimplementasikan dalam


sikap dan tingkah laku dalam suatu kegiatan yang disebut dengan matsuri. Matsuri
disebut juga girei atau gyoji yang mengandung arti ritual atau upacara. Matsuri itu sendiri
mengandung dua makna. Makna pertama yaitu untuk mendoakan arwah para leluhur
yang telah meninggal dunia dengan melakukan berbagai persembahan atau upacara, dan
makna kedua mengacu pada suatu perayaan oleh kelompok masyarakat yang bertujuan
untuk memperingati atau merayakan rasa syukur pada dewa atas dilimpahkannya
kemakmuran dan keselamatan. Matsuri juga merupakan upacara untuk memohon pada
dewa agar dilimpahkan keselamatan bagi penduduk setempat. (Yanagita, 1987: 42 ).

            Yanagita Kunio dalam bukunya Nihon no Matsuri mengatakan bahwa matsuri
adalah bagian dari budaya spiritual orang Jepang, banyak mengambil bentuk dari upacara
yang berkenaan dengan kepercayaan yang diyakini. (Yanagita, 1987: 42 ). Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa matsuri pada hakekatnya adalah merupakan suatu
kegiatan ritual atau upacara yang diyakini atau dipercayai dalam konteks pemujaan
leluhur, pemujaan terhadap alam semesta dan perayaan untuk memohon dan
memanjatkan rasa syukur atas kemakmuran dan keselamatan pada yang diyakini.     
            Tata cara pelaksanaan matsuri sudah ada sejak zaman kuno di Jepang.
Pelaksanaannya dahulu dilakukan secara sederhana dalam lingkup keluarga atau desa.
Matsuri yang dilakukan di dalam lingkup keluarga dipimpin oleh seorang kepala
keluarga. Matsuri ini biasanya dilakukan untuk menghormati para leluhur dan memohon
keselamatan pada dewa yang mereka yakini, sedangkan matsuri dalam kelompok desa
dipimpin oleh seorang pemimpin kuil (toya) yang dihormati di desa itu dengan tujuan
untuk memohon keselamatan pada yang diyakini. Matsuri ini dapat pula berupa upacara
memanjatkan rasa syukur atas berhasilnya panen pada tahun itu.

            Pada akhir zaman Meiji, fungsi matsuri yang tadinya hanya terbatas pada
pemujaan leluhur di lingkup keluarga, bergeser menjadi suatu kegiatan kelompok
masyarakat desa yang berfungsi sebagai wadah tempat berkumpul untuk merayakan,
memperingati, atau mengucapkan rasa syukur. Hal ini merupakan salah satu bentuk
implikasi dari kegiatan masturi yang berfungsi mengikat rasa solidaritas sosial di antara
kelompok masyarakat setempat. (Yanagita, 1987 : 44).

 
Jenis Matsuri Berdasarkan Musim
            Penyelenggaraan matsuri sangat erat kaitannya dengan musim dalam satu
tahunnya. Pada musim semi, matsuri biasanya diselenggarakan sehubungan dengan
dimulainnya masa bercocok tanam. Matsuri yang diadakan pada musim panas biasanya
bertujuan unk memohon kepada dewa agar dewa melindungi tanaman padi mereka dari
bencana alam maupun hama penyakit, sedangkan matsuri yang diadakan pada musim
gugur merupakan ungkapan rasa syukur pada dewa atas hasil panen yang mereka peroleh
pada tahun itu. Sementara itu, pada musim dingin matsuri diadakan dengan tujuan
memohon agar para dewa memberikan panen yang berlimpah pada tahun mendatang.
Menurut Yanagita Kunio di Jepang terdapat 50.000 jenis perayaan matsuri yang
dianggap penting dalam setahun. (Yanagita, 1987: 44). Dari jumlah tersebut matsuri
digolongkan dalam tiga jenis, yaitu tsukagirei, nenchugyoji dan ninigirei.

            Tsukagirei adalah matsuri yang dilakukan dalam lingkaran hidup orang Jepang
atau disebut juga ritus lingkaran hidup. Contohnya obi iwai yaitu matsuri yang pertama
kali dilakukan oleh orang Jepang ketika seseorang masih menjadi janin pada usia lima
bulan di dalam kandungan. Ketika janin lahir ada upacara yang disebut dengan oshichiya
yaitu upacara pemberian nama bagi bayi yang lahir. Kemudian ada upacara omiyamairi,
yaitu upacara membawa bayi yang baru lahir setelah berusia 31 atau 32 hari ke kuil
Shinto. Setelah bayi beranjak besar atau anak-anak ada upacara shi chi go san, yaitu
upacara pada umur tertentu seperti umur tiga dan lima tahun bagi anak laki-laki dan umur
tiga dan tujuh tahun bagi anak perempuan. Mereka pergi ke kuil untuk memohon
keselamatan. Pada usia dua puluh tahun bagi mereka yang beranjak remaja diadakan
upacara seijin shiki, yaitu upacara dimana seseorang dianggap mulai dewasa. Selanjutnya
ada upacara pernikahan, kematian, serta upacara pemujaan bagi para leluhur yang telah
meninggal dunia.

            Nenchugyoji adalah matsuri yang dilakukan secara periodik  dan waktunya sudah
ditetapkan di dalam setahunnya menurut penanggalan Jepang. Istilah nenchugyoji ini
muncul pertama kali pada zaman Heian (7941185), dan mendapat pengaruh dari Cina
yang mengandung arti penanggalan yang dipakai dilingkungan kerajaan. Pelaksanaan
nenchugyoji dilakukan secara berkala. Upacara-upacara yang tergolong dalam
nenchugyoji  dilakukan secara nasional di daerah-daerah, contohnya  Gion matsuri yang
diadakan di Kyoto pada musim panas. Upacara obon adalah merupakan bagian dari acara
nenchugoji yang dilakukan secara periodik, dan jatuh pada tanggal 1316 Juli atau
Agustus setiap tahunnya. Obon juga dapat dikategorikan tsukagirei, karena upacara ini
selalu dilakukan dalam lingkaran hidup orang Jepang. Matsuri lainnya yang termasuk
dalam nenchugyoji antara lain hina matsuri yaitu matsuri yang dilakukan untuk anak
perempuan dan kodomo no hi untuk anak laki-laki. Kedua matsuri itu bertujuan untuk
memohon berkat dan keselamatan bagi pertumbuhan anak-anak.
            Ninigirei adalah matsuri yang dilakukan oleh orang Jepang secara aksidental.
Matsuri ini tidak berada dalam lingkaran hidup orang Jepang dan tidak semua orang
Jepang melakukannya, contohnya kenchiku girei, yaitu rangkain upacara yang dilakukan
ketika seseorang ingin membangun rumah. Upacara ini mempunyai urutan seperti
jichisan yaitu upacara sebelum rumah berdiri. Kemudian tate mae diselenggarakan pada
saat pemasangan kerangka rumah, dan diakhiri dengan upacara yautsuri, yaitu upacara
pindah ke rumah baru. Jenis matsuri yang termasuk dalam ninigirei lainnya adalah
upacara memohon agar lulus ujian masuk universitas dan lain-lain.

Unsur-Unsur Dalam Penyelenggaraan Matsuri 

            Penyelenggaraan upacara matsuri pada mulanya tidak dilakukan di jinja atau kuil
Shinto melainkan dilakukan di tempat yang diyakini sebagai tempat turunnya para dewa.
Tempat-tempat itu biasanya berupa pohon-pohon yang tinggi, batu karang, dan tempat
yang tinggi seperti gunung. Untuk menandai tempat-tempat itu, biasanya ditandai dengan
tali jerami yang dilingkarkan pada pohon atau batu yang digantungi kertas-kertas suci
(shimenawa). Shimenawa diyakini memiliki kekuatan untuk mengusir segala pengaruh
jahat. Oleh penduduk setempat, di tempat-tempat seperti itu diberikan sesaji. Lama
kelamaan tempat itu menjadi tempat yang sering didatangi oleh masyarakat. Akhirnya, di
tempat itulah didirikan jinja atau kuil Shinto.

            Dalam pelaksanaan penyelenggaraan matsuri, orang Jepang meyakini bahwa
waktu yang terbaik untuk menyelenggarakan matsuri adalah mulai pukul enam sore
(yumike) dan berakhir pada pukul enam pagi (asamike). Jika matsuri diadakan di dalam
ruangan, di halaman luar akan dinyalakan lampu dan api unggun untuk mengundang para
dewa. Mereka percaya bahwa lampu atau lentera memudahkan dewa mencari jalan
menuju tempat diadakannya matsuri.

            Satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam penyelenggaraan matsuri adalah sao o
tateru, yaitu pencanangan tiang kayu atau bambu. Pencanangan tiang kayu atau bambu
ini diyakini bahwa dewa akan turun dari tempat yang tinggi melalui tiang itu. Oleh sebab
itu, tempat pencanangan tiang itu dilakukan di tempat yang memiliki ketinggian seperti
bukit atau gunung-gunung. Tiang itu diberi kain yang bertuliskan nama dewa dan diberi
lampu dengan maksud agar dewa tahu bahwa itu adalah jalan turunnya para dewa.

Sikap dan Perilaku Orang Jepang Dalam


Penyelenggaraan Matsuri
            Di dalam pelaksanan matsuri ada aturan-aturan tertentu yang diyakini dan
dipercayai sebagai norma, sikap atau kewajiban yang harus dipenuhi bagi mereka yang
akan melakukannya. Misalnya, pada penyelenggaraan matsuri yang dipimpin oleh
seorang toya, ada beberapa kewajiban dan persyaratan yang harus dijalankannya sebelum
memimpin upacara tersebut.

            Adapun persyaratannya antara lain, toya haruslah seorang yang bersih secara
lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah, ia dipandang berasal dari keluarga yang punya
reputasi dan nama yang bersih, dan dari batiniah, ia juga harus berhati dan berpikiran
bersih. Sebelum upacara matsuri dilakukan, rumah tempat tinggalnya dibersihkan. Ia
tidak diperkenankan untuk berkunjung ke rumah orang lain, serta tidak boleh menerima
makanan dan minuman dari tempat lain. Ada beberapa pantangan makanan yang tidak
boleh ia makan, seperti daging. Kemudian ia harus berjaga di setiap malam beberapa hari
sebelum matsuri dilakukan.

            Kewajiban yang ia lakukan dalam rangka pelaksaan matsuri itu adalah
menyalakan api dan menyebar garam ke sekeliling tempat upacara sebagai bentuk
pensucian tempat upacara. Agama Shinto sangat memperhatikan penggunaan api karena
bagi mereka api merupakan simbol penyucian. Jika ia merasakan kotor, ia harus
membersihkan diri dengan air.
            Selain membersihkan diri, sajian-sajian untuk para dewa juga dipersiapkan. Sajian
itu terdiri dari dua jenis, yaitu mike dan miki. Mike adalah makanan yang diolah dari
gandum atau besar seperti omochi, makanan dari laut, sayur-sayuran dan buah-buahan,
sedangkan miki adalah minuman yang terdiri dari maca-macam sake misalnya shiroki
(sake putih), kuroki (sake hitam), dan amazake (sake manis).

            Pertunjukan lainnya yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat  adalah


pertunjukkan tarian yang disebut dengan kagura. Tarian kagura ini merupakan tarian dan
nyanyian yang digunakan unutk memuja para dewa.  Setiap daerah di Jepang memiliki
tarian ini walaupun bentuknya berbeda antara daerah satu dengan lainnya.

            Sikap dan perilaku orang Jepang dalam pelaksanaan matsuri mencerminkan hati
dan pikiran mereka akan pentingnya kehidupan spiritual. Implementasi sikap dan
perilaku mereka menunjukkan bahwa mereka meyakini dan mempercayai akan adanya
kekuatan diluar kekuatan manusia. Cermin sikap tersebut menyatu dalam gerak dan
perilaku mereka dalam pelaksanaan matsuri sebagai upacara ritual. Hati dan pikiran
mereka menyatu dalam gerak matsuri yang setiap tahun dirayakan dan diyakini sebagai
wadah dan kegiatan dalam menyembah para leluhur dan memanjatkan doa agar bencana
dan kesusahan tidak melanda. Selain itu matsuri juga merupakan perwujudan rasa syukur
atas keselamatan dan kemakmuran atas panen yang melimpah pada tahun itu.

            Keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan spiritual orang Jepang
menyatu dalam gerak matsuri. Sikap dan perilaku mereka terhadap adanya sesuatu yang
diyakini menunjukkan bahwa mereka mempunyai apa yang disebut dengan kepercayaan
atau keyakinan.

Simpulan
            Matsuri mempunyai makna sebagai suatu kegiatan yang sifatnya ritual dalam
memanjatkan doa bagi para leluhur. Matsuri juga merupakan kegiatan yang berfungsi
sebagai kegiatan sosial dalam mengikat solidaritas di antara masyarakat penduduk
setempat dalam memanjatkan doa dan mewujudkan rasa syukur atas limpahan kemurahan
atas panen padi pada tahun itu dan sebagai ucapan rasa syukur atas keselamatan dan
kemakmuran.

            Hati dan pikiran orang Jepang menyatu dalam sikap dan perilaku yang
diimplementasikan dalam gerak matsuri. Selain berfungsi untuk sebagai keyakinan atau
kepercayaan, matsuri dewasa ini juga berfungsi sebagai wadah tempat berkumpulnya
penduduk setempat menggalang solidaritas dalam pelaksanaan matsuri di wilayahnya.
Matsuri diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu tsukagirei, nechugyoji dan ninigirei.
Dalam penyelenggaraan matsuri dibutuhkan beberapa persyaratan bagi orang yang akan
memimpin upacara tersebut. Selain itu, terdapat banyak persyaratan agar dapat menjadi
pemimpin dalam penyelenggaraan matsuri.

            Orang Jepang hingga dewasa ini masih terus mempertahankan matsuri sebagai
kegiatan spiritual dalam menyeimbangkan kehidupan duniawi dan kehidupan akhiratnya.
Sepanjang orang Jepang masih ada di dunia, matsuri akan terus eksis sebagai bagian dari
kehidupan spiritual orang Jepang.

 
 
DAFTAR PUSTAKA
 

Hori, Ichiro, 民間信仰 、岩波書店、1951.


 

________, 日本文化提要、日本文化研究所編集局、1977.

 
________, 日本の民俗宗教、弘文堂、1979.

Yanagita, Kunio , 日本の祭, 角川書店、1987.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan (Editor). 2001. Kalimat. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional.

Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai. 2000. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta:
Akademika Pressindo.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa


Indonesia: Sintaksis. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

 
_______. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

_______. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Finoza, Lamuddin. 2002. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia.

M. Moeliono, Anton. 2001. Bentuk dan Pilihan Kata. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional. Sugono, Dendy. 1994. Berbahasa Indonesia dengan Benar.
Jakarta: Puspa Swara.

ANALISIS KOMPONEN: SEBUAH ANCANGAN STRUKTURAL

 DALAM SEMANTIK

Katubi

Staf Pengajar Jurusan Bahasa Inggris STBA LIA Jakarta

 
Abstrak
Munculnya berbagai pandangan yang berupaya untuk mengkaji hubungan bahasa dengan
dunia diluar bahasa, membuat penulis mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan kajian
makna terutama yang menyangkut teori struktural leksikal. Dua permasalahan yang dikaji
yaitu bagaimana semantic struktural dapat mengungkap relasi makna dan apakah jaringan
dari relasi makna tersebut terdapat dalam sistem bahasa atau apakah kognitif
strukturalnya ada dalam benak penutur. Untuk menjawab permasalah tersebut, analisis
yang digunakan adalah analisis komponen. Analisis ini bukan hanya dapat memberikan
struktur semantik kosa kata dari berbagai bahasa dengan sistem matis, tetapi juga
merupakan salah satu cara untuk menformalisasi relasi makna yang mengikat satu leksem
dengan leksem lain. Berdasarkan analisis  tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen
makna dianggap sebagai dasar penanda semantis yang secara umum terdapat pada sistem
bahasa. Komponen makna tersebut pada gilirannya tidak sekedar menetapkan aktualitas
leksen, namun juga menunjukkan potensialitasnya dalam pemakaian.

Kata Kunci: Analisis Komponen, Semantik Struktural, Relasi Makna, Komponen Makna

Abstract

Due to many attempted views to study the relationship between language and the world
outside a language, the writer decided to study further substances that are related to
semantics study particularly those based on lexical structural theory. Two problems that
were studied are how a structural semantics can disclose the meaning relation and
whether the network of that relation is in the language system or whether its cognitive
structure is already in the mind of the speaker.  To answer those questions, componential
analysis was applied. This analysis did not only describe the semantics structure of
vocabulary  from various language systematically but it is also a method to formalize
semantic meanings that bind one lexeme to another lexeme. The conclusion is that the
componential meaning is believed to be the basic semantic marker that generally exists
within a language system. The componential meaning does not merely state the actuality
of a lexeme but it shows its potentiality towards its use.

Keywords: Componential Analysis, Structural Semantics, Relation of Meaning,


Component of Meaning

Pengantar
Berbagai pandangan bermunculan sehubungan dengan upaya untuk menjelaskan
hubungan bahasa dengan dunia di luar bahasa. Setidaknya, hingga kini ada tiga
pandangan utama yang berpengaruh terhadap teori semantik, yaitu pandangan realisme,
pandangan nominalisme, dan pandangan konseptualisme. Berdasarkan hal itu,
bermunculan pula berbagai teori kajian makna, antara lain kajian makna menurut teori
referensial, kajian makna menurut teori struktural, kajian makna menurut teori ideasional,
dan kajian makna menurut teori behavioral.
Dari berbagai kajian itu, kajian yang dipilih dalam tulisan ini berkaitan dengan
kajian makna menurut teori struktural, terutama menyangkut konsep struktur leksikal.
Lyons menyatakan bahwa di dalam suatu sistem bahasa, makna kata tidak dapat
didefinisikan secara terpisah dari kata lain, yang secara semantis memiliki keterkaitan.
Struktur leksikal dari suatu bahasa dapat dianggap sebagai suatu jaringan dari relasi
makna.

Pandangan di atas berkaitan erat dengan strukturalisme dalam linguistik.


Strukturalisme memiliki prinsip bahwa bahasa  merupakan sistem terpadu, di dalamnya
terdapat subsistem  tata bahasa, leksikon, serta fonologi yang saling terkait. Dengan
mengutip pendangan Saussure mengenai keterikatan langue dan parole, Lyons (1995: 20;
104) mengukuhkan prinsip strukturalisme, terutama dalam bidang semantik. Lyons
memaparkan bahwa pada awalnya strukturalisme di Amerika diwarnai oleh
Bloomfieldianisme yang cenderung memperhatikan struktur gramatikal bahasa. Akan
tetapi, dengan munculnya tata bahasa generatif dari Chomsky (seperti dikutip Lyons
1995: 105), strukturalisme Amerika mulai menyadari betapa pentingnya struktur
semantik dalam suatu sistem bahasa.

Masalah dan batasannya

Sehubungan dengan uraian di atas, muncul masalah yang dapat dijabarkan dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut. Pertama, bagaimana semantik struktural dapat
mengungkap relasi makna? Kedua, sebenarnya jaringan dari relasi makna tersebut
terdapat dalam sistem bahasa atau secara kognitif strukturnya itu ada dalam benak para
penutur? Tampaknya, kedua masalah itu dapat terjawab melalui satu bahasan analisis
komponen, yang dalam tulisan ini lebih banyak mengacu kepada tulisan Lyons, terlepas
dari kelebihan dan kekurangan teori tersebut. Apalagi, kini teori analisis komponen ini
banyak mendapat serangan dari para penganut teori prototip. Namun, tulisan ini tidak
membahas pertentangan yang muncul di antara kedua penganut teori tersebut.

 
Bahasan
Menurut Lyons (1977; 1995), analisis komponen dapat memberikan struktur
semantik kosakata dari berbagai bahasa dengan sistematis. Analisis komponen juga
merupakan salah satu cara untuk memformalisasi relasi makna yang mengikat satu
leksem dengan leksem lain.

Sebagai suatu komposisi, makna leksem dapat diuraikan ke dalam unsur makna
pembentuknya. Sebagai contoh, leksem bahasa Inggris man, memiliki makna man yang
terbentuk atas relasi komponen makna MALE, ADULT, dan HUMAN. Oleh sebab itu,
analisis komponen dapat disebut sebagai dekomposisi leksikal (penguraian komposisi
makna). Lyons menyebut hal itu sebagai metode analisis.

Makna leksem merupakan produk dari komponen pembentuk maknanya. Produk


tersebut dapat berupa konjungsi antar komponen makna. Konjungsi tersebut dapat
dicermati melalui set-theory. Dalam set-theory, makna man merupakan interseksi
konjungsi dari komponen MALE (M), ADULT (A), dan HUMAN (H): seperti tampak pada
diagram berikut.

M
 

 
 

Sebagai suatu produk, makna leksem merupakan suatu fungsi komposisional dari 
komponen maknanya. Sehubungan dengan hal itu, nilai makna man ditentukan oleh nilai
komponennya serta bagaimana komponen tersebut digabung. Konjungsi interseksi
merupakan salah satu bentuk relasi komponen.

Di samping itu, relasi komponen juga ditentukan oleh disjungsi serta


direksionalitas komponen. Misalnya, dalam bahasa Inggris makna brother-in-law bukan
sekadar konjungsi komponen MALE, SPOUSE, dan SIBLING. Disjungsi serta
direksionalitas komponen sangat menentukan makna. Makna dari brother-in-law dapat
dipilah dalam direksionalitas komponen sebagai berikut: MALE & (SPOUSE-OF-
SIBLING-OF (x, y)) v MALE & (SIBLING-OF-SPOUSE-OF (x,y)). Komponen tersebut
menunjukkan relasi PASANGAN LAKI-LAKI DARI SAUDARA KANDUNG (x, y)
atau SAUDARA KANDUNG LAKI-LAKI DARI PASANGAN (x, y). Disjungsi dan
direksionalitas tersebut tidak dapat disampaikan seperti SPOUSE OF (MALE-OF-
SIBLING (x, y)), yakni PASANGAN DARI SAUDARA KANDUNG LAKI-LAKI (x,
y), yang maknanya menjadi sister-in-law.

Direksionalitas relasi komponen makna mempunyai struktur sintaktik internal


yang sangat menentukan hubungan antarmaujud yang ada di dalamnya. Hubungan
antarmaujud dalam komponen makna dapat dinyatakan dalam bentuk variabel. Makna
kill memiliki struktur internal yang menyangkut maujud yang bervariabel x dan y dalam
direksionalitas makna “x  causes y to die”. Contoh tersebut secara analisis komponen
dapat dinyatakan kill = (x, (y) DIE) CAUSE.
Masih  berkaitan dengan pentingnya direksionalitas komponen, McCawley
(sebagaimana dikutip Lyons 1977: 321) menyatakan bahwa leksem verba seperti kill
dapat dianalisis komponen maknanya, yakni CAUSE, BECOME, NOT, dan ALIVE.
Unsur-unsur tersebut harus dipadukan sesuai dengan hierarki direksionalitasnya menjadi
(CAUSE (BECOME (NOT(ALIVE)))). Kombinasi unsur yang berbeda dapat melahirkan
makna yang berbeda. Bahkan, perbedaan itu dalam bahasa Inggris dapat dileksikalisasi.
(NOT(ALIVE)) dileksikalisasi ke dead dan (BECOME(NOT(ALIVE))) menjadi die.
Semua itu maknanya berbeda dari makna leksem kill.

Sepaham dengan Geckeler, seorang strukturalis Eropa, Lyons (1977: 326)


berpendapat bahwa sebenarnya analisis komponen merupakan perluasan dari teori medan
makna. Asumsi pertama teori strukturalis Eropa tersebut ialah subset dari keseluruhan
leksem dapat membentuk  medan serta mengikat relasi makna antara satu unsur dengan
yang lain. Relasi makna merupakan faktor terpenting dalam medan makna, bukan
komponen makna. Asumsi berikut ialah yang berkenaan dengan  analisis komponen
sebagai sarana menyatakan relasi makna. Dengan mengacu kepada Greimas, Pottier,
Prieto, dan Coseriu, Lyons (1977: 318) menunjukkan bahwa analisis komponen dalam
medan makna diterapkan oleh strukturalis Eropa. Sementara itu, di Amerika sebagaimana
mengacu kepada Goodenough, Lounsbury, Wallace dan Atkins, Lyons menunjukkan
bahwa analisis tersebut diterapkan pada antropologi untuk meneliti kekerabatan. Baru
kemudian diintegrasikan dengan analisis sintaksis dan semantik oleh Lamb, Nida, serta
Kats dan Fodor.

Berdasar keterkaitan antara teori medan makna dan analisis komponen, ada satu
aspek yang dapat ditarik oleh Lyons, yaitu semi dan klasemi. Coseriu (dalam Coseriu &
Geckeler 1974: 149) sebagaimana dikutip Lyons (1977: 326) mendefinisikan semi
sebagai fitur makna distingtif minimal yang berkaitan dengan acuan,  seperti kursi dan
sofa memiliki semi yang berbeda karena acuannya berbeda. Klasemi adalah komponen
makna yang umum terdapat pada semua leksem dan merupakan penanda semantis yang
tidak berkaitan dengan acuan, tetapi berkaitan erat dengan sistem bahasa. Contoh klasemi
ialah ANIMATE, INANIMATE, MALE, FEMALE, dan sebagainya.
Sehubungan dengan konsep Kats dan Fodor tentang marker dan distinguisher,
Lyons mengaitkan klasemi sebagai marker (penanda semantis) dan semi sebagai
distinguisher (pembeda). Klasemi sering digramatikalisasi serta dileksikalisasi.
Contohnya ialah dalam bahasa Inggris The man is pregnant adalah anomali secara
semantis sebab penanda semantis dari man dan pregnant tidak menunjukkan sudut
pandang makna yang sistematis. Yang pregnant seharusnya memiliki penanda semantis
FEMALE, bukan MALE seperti pada makna man.

Hubungan sistematisitas antara semi dan klasemi tersebut telah ditengarai oleh
Kats (sebagaimana dikutip Lyons 1977: 328). Pertama, perbedaan dan persamaan antara
leksem yang berada pada tataran klasemi (marker) lebih mudah diidentifikasi dibanding
yang ada pada tataran semi. Perbedaan dan persamaan tersebut tidak begitu bergantung
pada acuan konteks bahasa dan budaya seperti pada semi (distinguisher). Kedua,
perbedaan dan persamaan yang berdasar klasemi dapat digramatikalisasi dan
dileksikalisasi sehingga memiliki relevansi sintaktis. Ketiga, perbedaan dan persamaan
tersebut tidak  terbatas pada beberapa leksem, namun menyangkut seluruh kata. Kriteria
ini sangat diragukan. Ketiga kriteria tersebut tidak harus terpenuhi semuanya dalam
komponen makna dari suatu sistem bahasa. Komponen MALE, dalam bahasa Turki,
misalnya, terdapat pada seluruh satuan bahasa (memenuhi kriteria pertama), tetapi secara
sintaktis tidak relevan sebab tidak ada pronomina yang membedakan gender (tidak
memenuhi kriteria kedua).

Analisis komponen tersebut memang diwarnai oleh konsep atomis. Prinsip atomis
tersebut menekankan gagasan  bahwa komponen makna dari suatu leksem merupakan
unsur yang paling dasar, yang mengacu kepada hubungan antara bahasa dengan dunia
luar. Unsur tersebut dianggap bersifat universal. Unsur tersebut bukan hal yang terpisah-
pisah, melainkan suatu jaringan relasi. Karena itu, takpelak makna suatu leksem
merupakan produk seperangkat konsep yang bersifat atomis. Leksem, menurut Weinreich
(sebagaimana dikutip Lyons 1977: 321) memiliki struktur internal. Konsep tersebut
berkaitan erat dengan pandangan strukturalisme.
Sehubungan dengan konsep dasar dan universal di atas, yang menjadi
permasalahan lanjutannya ialah sesuatu yang dianggap dasar dan universal itu. Apakah
komponen yang dianggap dasar itu sudah tidak dapat lagi diperinci menjadi dasar lagi?
Apakah yang dianggap universal itu memang betul-betul universal? Di manakah letak
keuniversalannya?

Berkaitan dengan hal itu, Lyons mengungkapkan bahwa secara empiris komponen
makna yang secara umum dianggap dasar belum tentu bersifat dasar pada kognisi penutur
bahasa. Komponen ADULT, dalam bahasa Inggris misalnya, dapat menjadi unsur dalam
proposisi ‘that boy/girl is now an adult” untuk mengacu kepada man dan woman.
Proposisi tersebut berterima. Akan tetapi, proposisi “that child is now an adult” tidak
berterima untuk mengacu kepada boy dan girl. Jelas bahwa komponen ADULT, dalam
bahasa Inggris, memiliki spesifikasi yang lebih terperinci, yang sangat bergantung pada
pemikiran penutur bahasa Inggris.

Hal tersebut juga tampak pada spesifikasi komponen makna yang berdimensi
kelamin, yakni MALE dan FEMALE. Konsep ketiadaan unsur MALE, dalam bahasa
Inggris, sering diterapkan pada woman dan girl. Sangat jarang man dan boy ditandai
dengan ketiadaan unsur FEMALE  karena man dan boy taktermarkahi. Pada pihak lain,
kedua unsur MALE dan FEMALE dapat digunakan, baik sebagai pembentuk makna boy
dan ram serta girl dan ewe. Boy dan ram dapat dikatakan memiliki unsur MALE, atau
tidak berunsur FEMALE. Demikian juga, girl dan ewe dapat dianggap berunsur FEMALE
atau tidak berunsur MALE. Tidak demikian halnya dengan makna horse dan child.
Keduanya dianggap tidak mengacu kepada komponen MALE dan FEMALE atau
dianggap netral sehingga komponen dimensi kelaminnya adalah zero-valued. Hal itu
berlainan dengan makna house. House oleh penutur bahasa Inggris dianggap tidak
memiliki spesifikasi komponen MALE maupun FEMALE sehingga sebagai non-valued.

Penerapan komponen dasar itu memang bersifat arbitrer serta sangat bergantung
pada penutur maupun konteks budaya. Dalam ujaran bahasa Indonesia, makna kata
mewarisi dapat saja mempunyai komponen MALE atau FEMALE atau bahkan tidak
memiliki komponen yang berdimensi kelamin. Di ranah Minang, makna tersebut
merupakan produk dari FEMALE sebagai salah satu komponennya karena hal itu ada
hubungannya dengan budaya maternalistik. Leksem kawin, dalam budaya Indonesia,
memiliki komponen makna MALE. Karena itu, ujaran Ani mengawini Tono tidak
berterima dalam bahasa Indonesia, setidaknya untuk sebagian besar masyarakat penutur
asli bahasa Indonesia.

Bagaimana halnya dengan keuniversalan komponen makna? Terdapat suatu


pandangan substantif bahwa seperangkat komponen yang baku secara universal akan
dileksikalisasi dalam semua bahasa. Akan tetapi, kenyataannya tidak begitu. Komponen
MALE dan FEMALE dalam bahasa Indonesia tidak secara keseluruhan dileksikalisasi.
Makna kakak dan adik tidak mengacu kepada komponen MALE dan FEMALE walaupun
secara dasar kedua makna tersebut mengacu kepada maujud di luar bahasa yang pasti
merupakan sosok yang berkelamin laki-laki maupun perempuan. 

Selanjutnya, ada suatu pandangan universalisme yang menyatakan bahwa makna


semua leksem dari suatu bahasa akan terserap secara keseluruhan ke dalam komponen
makna yang homogen. Katz tidak setuju dengan pandangan itu. Dia menyatakan bahwa
komponen makna yang ada dalam bahasa itu diambil dari pengetahuan bawaan (inate)
yang sudah ada pada penutur (mengutip Chomsky). Lyons juga menandaskan bahwa
yang dianggap universal itu belum tentu universal dalam kognisi penutur. Contoh, makna
mother oleh seorang penutur bahasa Inggris tidak hanya dikonsepsikan memiliki
komponen WOMAN, tetapi mungkin juga AMBITION, dan LONG HAIR. Hal itu sangat
bergantung pada persepsi serta pengetahuan bawaan penutur tersebut.

Meskipun begitu, patut diakui bahwa analisis komponen telah menghasilkan


penelitian semantik yang berharga. Berdasar asumsi terhadap keuniversalan komponen
makna, motivasi teoretis dari analisis komponen cukup jelas. Secara teoretis analisis
komponen dapat membekali para ahli bahasa dengan sarana yang sistematis dan
ekonomis untuk merepresentasikan relasi makna yang menghubungkan satu leksem
dengan leksem lain dalam suatu sistem bahasa.
Selaras dengan hal itu, Lyons menawarkan sudut pandang lain untuk mengatasi
kekurangan analisis komponen yang bersifat teoretis serta empiris. Sudut pandang
tersebut berkaitan dengan  suatu analisis yang merumuskan makna prototipikal. Makna
prototipikal ialah makna nuklir (inti) yang mirip, yang dimiliki oleh semua leksem.
Makna tersebut mengacu kepada kemiripan objek yang sering dijumpai, sifat yang
menonjol dari objek, serta persamaan kategori dengan objek lain (Rosch 1978). Sebagai
contoh, cupid sering dihubungkan dengan boy. Makna boy mempunyai komponen inti
HUMAN. Kategori ini juga digunakan sebagai komponen makna (yang sifatnya noninti)
dari cupid karena cupid sering dijumpai mempunyai relasi  dengan masyarakat manusia.

Kecuali itu, perikutan (entailment) dapat merupakan pilihan analisis dalam relasi
makna. Perikutan merupakan hubungan antara proposisi satu dengan yang lain.
Hubungan itu menyangkut masalah proposisi yang “benar” ataupun “salah” dalam
possible world (dunia kemungkinan). Contohnya ialah Napoleon was defeated at
Waterloo mempunyai proposisi yang benar dalam dunia kemungkinan secara analitis dan
logis bila ditinjau dari komponen semantis intrabahasa. Akan tetapi, secara sintetis,
proposisi tersebut belum tentu “benar” atau “salah” dalam dunia kemungkinan sebab
proposisinya bergantung pada unsur luar bahasa, atau pada apa dan siapa yang diacu oleh
‘Napoleon’.

Terdapat alternatif lain yang erat kaitannya dengan perikutan, yakni meaning-
postulates (postulat makna). Hubungan keduanya lebih bersifat analitis. Postulat makna
adalah bentuk perikutan analitis terhadap leksem secara hierarkis. Perikutan disimbolkan
(---- ). Sebagai contoh, bachelor ---- unmarried lebih analitis dibanding dengan
bachelor -- adult dan bachelor ---- man karena lebih sulit untuk menyatakan
ketidaksahihan bachelor ---- unmarried tanpa lebih dahulu mengubah makna
bachelor maupun unmarried. Postulat makna juga dapat memerikan hubungan makna
dalam hiponim asimetri seperti dog ---- animal, tetapi belum tentu animal -- dog,
hiponim simetri seperti puppy ---- baby dog. Postulat makna dapat pula meliputi
hubungan inkompabilitas red -- blue atau yellow, komplementer seperti unmarried
----- married, serta konversi seperti kill (x, y) --- “be killed (y, x), dan  sebagainya.
Jelaslah bahwa postulat makna tidak menekankan konsep komponen makna yang
universal, namun mencoba untuk mengurai komponen makna yang berupa prototipe.
Postulat makna merupakan alternatif analisis yang lebih menguntungkan dari analisis
komponen.

Simpulan
Berdasar berbagai sudut pandang di atas, dapat disimpulkan bahwa paling tidak
dari analisis komponen, secara teoretis dapat ditengarai komponen makna. Komponen
makna tersebut dianggap sebagai dasar penanda semantis yang secara umum terdapat
pada sistem bahasa. Komponen makna tersebut pada gilirannya tidak sekadar
menetapkan aktualitas leksem, namun potensialitasnya dalam pemakaian. Sebagai
contoh, dalam bahasa Indonesia makna kata Anda yang memiliki salah satu komponen,
yakni NETRAL telah menempatkan leksem “Anda” secara potensial untuk mengacu
kepada maujud dari segala lapisan orang kedua tunggal maupun jamak. Potensialitas
leksem tersebut baru diaktualisasikan secara proporsional sesuai dengan komponen
NETRAL-nya mulai dekade terakhir ini. Hal tersebut dapat terlihat dalam wawancara
antara pembawa acara  yang menyebut menteri dengan kata Anda dan hal itu kini
dianggap wajar saja.

Potensialitas komponen makna bagaimana pun juga sangat esensial terhadap


produktivitas pemakaian leksem. Sebenarnya, terbuka luas kajian komponen makna dari
berbagai leksem bahasa Indonesia yang dapat mengangkat potensialitas leksem ke tataran
produktivitasnya dalam sistem struktur bahasa Indonesia yang holistis. Sebagaimana
ditegaskan Tampubolon (1988: 20), konsep produktivitas ini penting sekali dalam teori
linguistik, khususnya dalam analisis semantik.

 
 
DAFTAR PUSTAKA
 

Lyons, John. 1977. Semantics: Volume 1. Cambridge: Cambridge University Press.

Lyons, John. 1995. Linguistic Semantics: An Introduction. Cambridge: Cambridge


University Press.

Rosch, Elenor. 1978. “Human Categgorization”. Dalam Advances in Cross-Culture


Psychology. Vol. 1 (ed. Warren). London: London Academic Press. Hlm. 1—71.

Tampubolon, D.P. 1988. “Semantik sebagai Titik Tolak Analisis Linguistik”. Dalam
PELLBA I. (Ed. Dardjowijojo). Jakarta: Lembaga Bahasa Atma Jaya.

PENELITIAN SASTRA: LAHAN YANG LUAS DAN BERLIMPAHð

Maman S. Mahayana

Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Abstrak

Berbicara tentang sastra sepertinya tidak pernah berhenti selama manusia itu sendiri ada.
Oleh karena itu, penelitian sastra sangat dimungkinkan karena banyak objek sastra yang
dapat dijadikan bahan kajian. Diantara objek penelitian itu adalah rentang pembagian
waktu, ragam bahasa, teks sastra, perkembangan sastra, dan kritik sastra. Dua sistem
besar yang dapat dilakukan dalam penelitian sastra, yaitu sistem mikro dan sistem makro.
Pada sistem mikro, teks sastra merupakan pusat perhatian dan sekaligus menjadi bagian
instrinsik karya sastra, sedangkan pada sistem makro, pengarang atau sastrawan, penerbit,
pembaca, dan kritikus sastra merupakan bagian ekstrinsik karya itu.

 
Kata Kunci: intrinsik, ekstrinsik, sastra

Abstract

Literature covers a very wide range of human life. There are so many texts that can be
explored and consequently researches on this would never exhaustive. A researcher can
approach a certain text by using many different tools include in the intrinsic and extrinsic
elements of literature. This writing introduces those issues and tries to give an elaboration
on things to pay attension to in doing a research in literature.
Keywords: intrinsic, extrinsic, literature

            Lahan atau objek kajian dalam penelitian kesusastraan sesungguhnya begitu
berlimpah. Barangkali juga, selama manusia memerlukan sastra, selama itu pula terbuka
peluang bagi siapa pun untuk melakukan penelitian terhadap berbagai aspek yang
berkaitan dengan keberadaan sastra. Keadaan tersebut tentu saja dimungkinkan oleh
banyak faktor. Beberapa di antaranya, dapatlah disebutkan berikut ini.

            Pertama, penelitian sastra meliputi cakupan yang begitu luas. Dilihat dari rentang
pembagian batas waktunya, penelitian sastra dapat mencakupi penelitian terhadap sastra
tradisionalsastra lisan dan naskah-naskah lama— maupun sastra modern.

            Kedua, penelitian sastra berhadapan dengan sejumlah karya berlimpah. Dilihat
dari ragamnya, penelitian sastra dapat dilakukan terhadap ragam puisi, prosa─novel dan
cerpen—, drama, dan esai kritik.

            Ketiga, penelitian sastra berurusan dengan berbagai masalah yang tidak pernah
selesai, mengingat sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi.
Dilihat dari objek kajiannya, penelitian sastra dapat menumpukan diri pada masalah teks
sastra yang sejak zaman entah kapan selalu lahir dan terus lahir, tanpa pernah mati.
Kalaupun nyaris mati, ia justru dihidupkan oleh penelitian itu sendiri.

            Keempat, penelitian sastra dapat dilakukan dengan kesengajaan memasalahkan


apa pun yang berhubungan dengan perjalanan dan perkembangan sastra. Dilihat dari
kelahiran dan perjalanannya, penelitian sastra dapat mengkhususkan diri pada sebuah
karya atau sejumlah karya yang dilahirkan dalam kurun waktu tertentu. Peneliti boleh
memusatkan perhatiannya hanya pada satu karya, tetapi boleh juga menempatkannya
dalam rentang waktu sejarah perjalanannya. Dalam hal itu, peneliti menempatkan salah
satu karya sastra dalam konteks sejarahnya. 

            Kelima, penelitian sastra dapat dilakukan dengan menempatkan teks dalam
konteksnya. Dilihat dari sistem sastra, penelitian sastra dapat berorientasi pada
keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, teks sastra sebagai produk budaya,
penerbit─termasuk media massa─sebagai pihak atau lembaga yang memungkinkan karya
itu lahir dan menyebar, pembaca sebagai penikmat dan pemberi makna, serta pembaca
kritis atau kritikus sebagai pihak yang dianggap mempunyai pengetahuan dan kompetensi
dalam bidang sastra dengan berbagai aspeknya.

            Tentu saja kita masih dapat menderetkan faktor lain lebih panjang. Dalam hal ini,
keseluruhan penelitian itu tercakup dalam apa yang disebut ilmu sastra atau dalam istilah
teknisnya disebut kritik sastra (criticism). Istilah lain yang digunakan dalam pengertian
itu adalah telaah sastra, kajian sastra, atau penelitian sastra.

            Langkah apa saja yang perlu dilakukan ketika seseorang hendak meneliti salah
satu aspek kesusastraan yang begitu berlimpah itu. Bagaimana pula kita dapat dengan
mudah memilih dan menentukan objek penelitian sastra yang hendak kita lakukan. Lalu,
apanya yang akan kita teliti mengingat dunia sastra dengan berbagai masalahnya itu,
sungguh begitu luas dan berlimpah.

Penelitian sastra secara akademis termasuk ke dalam kegiatan ilmiah. Di sana ada
sejumlah syarat dan prosedur yang terpaksa mesti kita ikuti. Kegiatan ilmiah
mensyaratkan pemanfaatkan kerangka teoretis, metodologi, dan perangkat lain yang
sering menjadi semacam kaidah dalam sebuah kegiatan ilmiah. Dalam hal ini, tentu saja
kita perlu memilih, menggunakan dan mengoperasionalisasikan salah satu (atau salah
dua) pendekatan—dari sejumlah pendekatan yang ada—yang dapat kita pandang tepat
dan pas sebagai alat analisisnya. Sejumlah hal itulah yang─barangkali—membuat
kita─belum apa-apa—sudah cenderung berkutat dengan teori dan metodologi, tanpa
merasa perlu bersentuhan dengan karyanya sendiri yang justru hendak dijadikan objek
atau bahan penelitiannya. Kecenderungan itu pula yang membawa dunia akademis
terkesan sebagai pihak yang begitu konservatif terhadap teori dan metodologi, tetapi acap
kali atau bahkan cenderung mengabaikan keberadaan karya sastranya itu sendiri. Itulah
salah satu problem penelitian sastra di lingkungan dunia akademi.

Sebelum kita memasuki pembicaraan mengenai langkah-langkah apa saja yang


mesti dilakukan kalangan akademis dalam melakukan, menumbuhkan, mengembangkan,
dan menggairahkan penelitian sastra, eloklah kita mencermati dahulu bagan berikut ini.

MASYARAKAT PENDUKUNG KESUSASTRAAN

 
UNIVERSE
 

SASTRAWAN

TEKS

PEMBACA

KRITIKUS
PENERBIT

           

Berdasarkan bagan tersebut di atas, Ronald Tanaka membagi penelitian sastra atas dua
sistem besar, yaitu sistem makro dan sistem mikro. Meskipun konsep ini sejalan dengan
gagasan Rene Wellek dan Austin Warren mengenai apa yang disebutnya sebagai
pendekatan esktrinsik dan pendekatan intrinsik, gagasan Tanaka, khasnya mengenai
sistem makro, meliputi penelitian yang jauh lebih luas. Dalam hal ini, Tanaka mencoba
memasalahkan keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, peranan penerbit yang
ditempatkannya dalam kerangka sistem produksi dan reproduksi, pembaca sebagai
pemberi makna, dan kritikus yang terkadang ikut mempengaruhi citra pengarang. Untuk
memberi gambaran lebih  jauh, mari kita periksa duduk persoalannya.

 
Sistem Pengarang

            Pengarang dalam sistem sastra makro ditempatkan tidak lebih penting dari
pembaca. Harus diakui, bahwa lahir dan hidupnya dunia kesusastraan dimungkinkan oleh
keberadaan pengarang. Jadi, meskipun pengarang yang memungkinkan lahirnya karya
sastra, dalam konteks sistem sastra, ia diperlakukan sama pentingnya dengan pihak-pihak
lain yang berperan dalam menghidupkan keberadaan dunia sastra. Pengarang sebagai
kreator, penghasil karya sastra, di zaman modern ini, harus mendasari kemampuannya
tidak lagi ada bakat alam, talenta, melainkan juga pada intelektualitas. Seorang pengarang
modern, mutlak harus mempunyai kemampuan menciptakan sebuah dunia; dunia yang
dibangunnya lewat bahasa. Kemampuan ini tentu akan berkutat pada dunia yang itu-itu
saja, jika ia juga tidak meluaskan cakrawala pengetahuannya. Dengan demikian, seorang
pengarang modern dituntut mempunyai pengetahuan yang luas, agar ia terus berkarya dan
tidak kehabisan bahan.

            Persoalan itu, dalam sistem pengarang, akan membawa seorang peneliti
menelusuri lebih jauh pada latar belakang pendidikan pengarang, kultur yang telah
melahirkan dan membesarkannya, lingkungan masyarakat, profesi kepengarangannya,
ideologi yang dianut, dan masalah patronase (pengayoman). Jika hendak mempersempit
masalahnya dan menghubungkannya dengan karya sastra (teks) yang dihasilkannya, kita
dapat melakukan penelitian mengenai (a) pengarang dan karya-karyanya dengan fokus
pada salah satu karyanya, (b) latar belakang pendidikan pengarang dan hubungannya
dengan teks yang dihasilkannya, (c) kecenderungan pengarang tertentu─atau sejumlah
pengarang—dalam satu komunitas sosial, (d) kecenderungan pengarang tertentu dalam
hubungannya dengan kultur masyarakat yang telah melahirkan dan membesarkannya, (e)
kepengarangan sebagai sebuah profesi, (f) masalah ideologi pengarang dalam kaitannya
dengan teks yang dihasilkannya, dan (g) teks dalam hubungannya dengan sistem
pengayoman.

            Sesungguhnya, penelitian mengenai persoalan tersebut di atas, termasuk ke dalam


tema-tema umum yang masih mungkin dikerucutkan lebih tajam lagi. Gambaran tersebut
sekadar hendak menegaskan, bahwa dari satu aspek saja─sistem pengarang—kita dapat
melakukan berbagai macam penelitian sastra. 

Sistem Penerbit

            Dalam sastra modern, penerbit adalah pihak atau lembaga yang memungkinkan
terjadinya produksi dan reproduksi karya sastra. Dalam pengertian ini, di dalamnya
termasuk media massa (majalah dan surat kabar) yang juga berperan sama. Dalam
hubungannya dengan teks sastra, penerbit dan media massa sering kali terikat oleh
kepentingan-kepentingan tertentu (ideologi, ekonomi). Oleh karena itu, di dalam proses
penerbitan atau publikasi sebuah karya sastra, tidak terhindarkan adanya pihak lain yang
terlibat dalam proses produksi atau reproduksi karya. Dalam hubungan itulah,
keterlibatan pihak-pihak itu sering kali ikut mempengaruhi struktur formal karya.

            Hal lain yang berkaitan dengan sistem penerbit menyangkut persoalan distribusi
dan penyebaran karya. Penerbit besar atau media massa nasional yang punya jaringan
luas dalam soal distribusi akan lain pengaruhnya dibandingkan dengan penerbit swadaya
atau media massa lokal. Dalam hal ini, tentu saja tugas peneliti menjadi sangat penting
dalam usaha membuat pemetaan konstelasi kesusastraan sebuah komunitas.

            Penelitian lain yang dapat dilakukan berkaitan dengan sistem penerbit, berurusan
dengan (a) ideologi dan kepentingan penerbit, (b) peranan dan pengaruh penerbit
terhadap struktur formal karya sastra, (c) sistem pengayoman yang dilakukan penerbit,
(d) faktor sosial-politik-ekonomi yang mempengaruhi penerbit, (e) jaringan distribusi,
dan (f) sasaran pembaca.

            Dalam hubungan itu, keberadaan dan peranan penerbit dan media massa penting
artinya dalam penelitian sastra, baik yang bersifat sinkronis maupun diakronis.

 
Sistem Pembaca

Dalam sistem sastra makro tidak dibedakan antara penikmat atau pembaca biasa,
pembaca ahli, dan pembaca kritis atau kritikus (: peneliti). Ronald Tanaka menempatkan
pembaca ahli dan pembaca kritis atau kritikus ini dalam sistem kritik. Meski demikian,
keberadaan pembaca dalam sistem ini tetap dianggap penting karena, dalam banyak hal,
pembaca sering kali ikut mempengaruhi situasi dan kondisi kehidupan kesusastraan. Jadi,
keberadaan pembaca tidak dapat diabaikan begitu saja. Mereka tak jarang, justru menjadi
bahan pertimbangan pengarang dan penerbit. Dengan demikian, karya sastra yang ditulis
dengan sasaran pembaca tertentu, tidak hanya memaksa dan menyeret pengarang untuk
mempertimbangkan masalah di luar teks, tetapi juga memaksa penerbit melakukan
semacam kompromi khasnya dengan pengarang. Akibat kompromi itulah, pengarang
sering berada dalam posisi yang tidak menguntungkan sehingga terpaksa memperbaiki
bahkan mengubah teks sejalan dengan keinginan penerbit yang berorientasi pada (selera)
pembaca. Karya sastra populer─yang menekankan pada pemanjaan selera pembaca—dan
sastra propagandayang berorientasi pada tujuan mempengaruhi ideologi pembaca—
misalnya, merupakan contoh kasus ini.

Penelitian yang dapat dilakukan berkaitan dengan sistem pembaca ini, beberapa di
antaranya, menyangkut (a) latar belakang dan kultur pembaca, (b) usia dan jenis kelamin
pembaca, (c) pendidikan dan ideologi pembaca, (d) pemaknaan sebuah teks yang
ditentukan oleh penguasaan (i) konvensi bahasa, (ii) konvensi budaya, (iii) konvensi
sastra, dan (e) penerimaan pembaca terhadap sebuah teks (resepsi sastra) dalam kurun
waktu yang sezaman (sinkronis) dan dalam rentang waktu tertentu (diakronis).

Sistem Kritik

            Praktik kritik sastra yang membicarakan sebuah karya, penelitian serius terhadap
karya sastra, seperti makalah ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, atau esai dan resensi buku
sastra yang dimuat media massa, merupakan salah satu bahan penelitian yang termasuk
ke dalam sistem kritik. Karya-karya itu merupakan pandangan kritikus atau pembaca ahli.
Di Indonesia para penulis kritik ini datang dari latar belakang pendidikan yang heterogen.
Siapa pun yang merasa mempunyai kemampuan untuk menulis kritik dan tulisan-tulisan
kritiknya telah banyak dipublikasikan, sering kali ditempatkan dalam posisi sebagai
kritikus. Masyarakat pendukung kesusastraan itu sendiri cenderung tidak memasalahkan
latar belakang pendidikan penulis kritik. Oleh karena itu, kritik sastra di Indonesia dapat
dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu kritik akademis dan kritik umum.

Dalam kritik sastra akademis yang sering juga disebut kritik ilmiah, penekanan
pada apresiasi mesti didukung oleh alasan yang dapat  dipertanggungjawabkan. Oleh
karena itu, objektivitas  atas nilai yang dikemukakan, menjadi landasan. Artinya, ia mesti
dapat diterima berdasarkan ketentuan ilmiah; persyaratan atau teori tertentu yang di dunia
akademis, mutlak perlu karena tuntutannya memang demikian.  Sementara itu, dalam
kritik umum, ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam dunia ilmiah, mungkin saja tidak
dianggap penting. Oleh karena itu, kerangka teoretis dan metodologi yang di dalam kritik
akademis sangat penting, dalam kritik umum justru sering diabaikan. Hampir semua
media massa (majalah dan surat kabar) lebih menyukai memuat kritik umum daripada
kritik akademis. Masalahnya, kritik umum ditulis dalam bahasa yang sangat cair yang
memungkinkan dapat dipahami oleh berbagai macam kalangan masyarakat.

Penelitian sastra yang berkaitan dengan sistem kritik ini, menyangkut beberapa
hal (a) jenis media yang memuat tulisan kritik, (b) latar belakang pendidikan kritikus, (c)
profesi penulis kritik, (d) ideologi yang dianut, (e) model penilaian yang digunakan, yaitu
(i) penilaian absolut, (ii) relatif, (iii) perspektif.

            Selain sistem sastra makro, Ronald Tanaka membicarakan juga ihwal sistem
sastra mikro yang dalam istilah Rene Wellek dan Austin Warren disebut pendekatan
intrinsik. Dalam sistem ini, teks sastra menjadi pusat perhatian. Teks diperlakukan tidak
lagi terikat pada pengarangnya, mengingat teks dianggap otonom, unik, dan berbeda, baik
dengan teks sastra yang lain maupun teks nonsastra. Secara ekstrem, pandangan ini
membawa pada anggapan bahwa teks sastra hadir ke hadapan pembaca dalam keadaan
yang sudah lengkap. Oleh karena itu, di sana tak ada lagi hubungannya dengan
pengarang. “Pengarang telah mati!” begitu Roland Barthes, tokoh penting strukturalisme
menegaskan pendiriannya.

Pandangan Tanaka tidak seekstrem itu. Dalam hal ini, teks diperlakukan sebagai
jembatan yang menghubungkan pengarang dengan pembaca. Ia masih memberi peluang
adanya keterkaitan antara teks dan konteksnya. Teks sastra boleh saja dikaitkan dengan
pengarang, sejarah, sosio-budaya, filsafat, dan unsur ekstrinsik lainnya.

            Demikianlah, sesungguhnya begitu berlimpah objek penelitian sastra yang dapat
di lakukan. Penelitian terhadap sejumlah unsur intrinsik sebuah karya sastra yang selama
ini banyak dilakukan kalangan akademiskhasnya skripsi—misalnya, merupakan salah
satu contoh, betapa tak terhitung banyaknya penelitian mengenai itu. Jadi, sungguh ironis
rasanya jika kaum akademis sendiri, kehilangan gairah untuk melakukan penelitian
sejenis atau penelitian lain yang belum banyak digarap orang.

            Di luar hal itu, masih ada pula kemungkinan penelitian dengan membandingkan
satu karya sastra dengan karya sastra lain atau dengan karya nonsastra (intertekstualitas).
Mungkin saja karya sastra dibandingkan dengan sejarah, filsafat, sosiologi, psikologi atau
bahkan antropologi. Model ini dapat pula dilakukan dengan membandingkan satu karya
dari satu negara dengan karya lain dari negara yang berbeda atau satu karya yang berasal
dari kultur etnik tertentu dengan kultur etnik lain (studi sastra bandingan).

Sejumlah Kendala

Jika berbagai kemungkinan penelitian sastra terbuka luas dan lempang serta 
objek-objek penelitian sastra begitu berlimpahnya, pertanyaannya kini: Mengapa seperti
telah disinggung—kaum akademis seperti kehilangan gairah untuk melakukan penelitian?
Kendala apa saja yang menyebabkan masalah itu seperti penyakit kronis yang tak dapat
disembuhkan. Bahwa kaum akademis menyadari adanya penyakit kronis itu, mengapakah
penyakit itu dibiarkan hidup dan terus-menerus menggerayangi kegiatan kesehariannya.
 

Marilah kita coba membuat anatomi!

          Pertama, terjebak rutinitas. Kecenderungan kaum akademis tidak (sempat)


melakukan penelitian karena mereka menikmati betul hidup dalam lingkaran rutinitas.
Masalah pengajaran dan kegiatan administratifdi lingkungan kampus—sering kali
menjadi kambing hitam. Pertanyaannya kini: tidak adakah waktu untuk membaca sesuatu
(: buku) baru atau karya sastra terbitan baru? Jika masih sempat melakukan itu, tulislah!
Tulisan inilah yang kelak dapat menjadi salah satu cikal-bakal objek penelitian.

            Kedua, sergapan ketakutan. Dalam banyak kasus, ada kesan bahwa kaum
akademis ini hidup dalam sergapan ketakutan berbuat salah jika hendak melakukan
penelitian. Inilah bahaya yang sebenarnya ditanamkan sendiri. Penelitian sastra
sesungguhnya tidak berurusan dengan persoalan benar—salah. Dalam penelitian
kualitatif, argumen menjadi sesuatu yang penting. Terterima atau tidak argumen itu, itu
soal lain. Jadi, tumpahkan saja gagasan itu, baik atau buruk, itu persoalan nanti.

            Ketiga, mengajar seperti kaset yang dapat diputar berulang-ulang. Benar atau
tidak asumsi ini, suka atau tidak terhadap anggapan ini, kenyataannya tidak sedikit kaum
akademis yang mengajar dengan pola seperti kaset. Dari semester ke semester, ia terus-
menerus mengulang hal yang itu-itu saja, tanpa ada usaha untuk melakukan inovasi.
Revisi silabus dan satuan acara perkuliahan dalam setiap dua atau tiga tahun, sebenarnya
dimaksudkan agar pola pengajaran tidak seperti kaset. Di samping itu, materi kuliah yang
dipersiapkan, sering hanya ditulis pokok-pokoknya saja, tanpa berusaha menyusunnya
kembali sebagai sebuah tulisan yang utuh. Menyusun kembali pokok-pokok kuliah itu
sebenarnya dapat menjadi bahan ajar yang penting yang mungkin suatu saat dapat
menjadi sebuah diktat, atau bahkan buku teks yang dapat juga dipelajari masyarakat luas.

            Keempat, penelitian sekadar mengejar kum. Satu bahaya lain datang ketika kaum
akademis melakukan penelitian sekadar mengejar kum sebagai usaha untuk naik pangkat
atau golongan. Cara amatiran model ini tentu saja sangat berbahaya, karena lambat laun,
tidak mustahil bakal membunuh profesionalitas. Maka, bekerjalah secara profesional,
sesuai dengan profesi dan kewajiban untuk melakukan penelitian.

            Kelima, penghargaan tak manusiawi dan tak berbudaya. Karya-karya penelitian di
dunia akademi, sering kali tidak mendapat penghargaan yang sewajarnya. Bahkan, tidak
jarang pula sama sekali tidak dihargai, untuk tidak mengatakan tidak manusiawi dan
tidak berbudaya. Institusi mestinya memberi penghargaan yang lebih beradab, baik
penghargaan yang berupa materi mapun nonmateri.

            Keenam, pudarnya tradisi diskusi. Salah satu cara yang memungkinkan
tumbuhnya kegairahan melakukan penelitian, kiranya dapat dimulai dengan menciptakan
tradisi berdiskusi. Jurusan atau fakultas dapat memfasilitasinya atas nama seminar kecil.
Jika tradisi ini rutin dilaksanakan dalam setiap semester dan dalam satu tahun diangkat ke
dalam forum yang lebih luas berupa seminar, sangat mungkin kegiatan diskusi dan
seminar menjadi sebuah kegiatan rutin. Kondisi ini pada gilirannya akan menumbuhkan
kegairahan melakukan penelitian. Jika hasil seminar itu dikumpulkan kembali dan coba
dipublikasikan dalam bentuk buku, dalam setiap tahun akan terbit sebuah buku yang
berisi tulisan-tulisan para pengajar itu.

            Ketujuh, menikmati otoritas sebagai jago kandang. Bahaya lain yang secara laten
datang dan memudarkan kegairahan melakukan penelitian adalah adanya sikap merasa
besar di lingkungan sendiri. Oleh karena itu, kebiasaan mengirimkan makalah dalam
seminar yang diselenggarakan di luar institusinya, seyogianya menjadi sasaran berikutnya
jika tradisi diskusi dan seminar di lingkungan sendiri telah berjalan jadi kegiatan rutin

            Kedelapan, keengganan menulis resensi atau esai untuk media massa. Salah satu
kewajiban kaum akademi adalah membaca buku. Jika yang dibacanya itu buku baru,
informasi tentang buku itu sering kali disampaikan hanya kepada mahasiswanya sendiri.
Padahal, jika buku baru itu dibuat resensinya atau esai mengenai buku itu dan dicoba
dipublikasikan di media massa, pengaruh informasi itu jauh lebih luas dan berwibawa.
Jika resensi atau esai itu dikembangkan lebih luas dengan membandingkannya dengan
buku lain dan sekaligus mencoba menggunakan kerangka teori dan metodologi, ia telah
masuk kategori karya penelitian. Sayangnya, kaum akademi kurang menyadari
pentingnya resensi atau esai ini sebagai salah satu usaha membuat tradisi penelitian.

            Itulah beberapa kendala yang sering menghantui kaum akademis kita. Masalahnya
kini terpulang pada diri masing-masing. Jika kita menyadari betapa kegiatan penelitian
itu sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan profesional kita, lakukanlah. Niscaya,
kita akan merasakan sendiri bahwa sesungguhnya, penelitian itu memang asyik dan
mengasyikkan. Percayalah, hasil penelitian kita itu, sangat mungkin suatu saat kelak,
justru bakal ikut membesarkan kita sendiri. Apa pun hasilnya, itu soal lain. Sebaliknya,
jika Anda masih juga enggan melakukan penelitian, dalam kesempatan ini, saya hanya
dapat berdoa “Kembalilah ke jalan yang benar!”

Mklh/lokakarya/stba-lia/3—4 Juni 2003 

 
 

DAFTAR PUSTAKA

Bradbury, Malcolm. 1972. The Social Context of Modern English Literature. London:
Compton Printing Ltd.

Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah, Fungsi dan Struktur.
Jakarta: Pusat Bahasa.

Luxemburg, Jan van., dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta:
Gramedia.

_____________________. 1992. Tentang Sastra. Terj. Achadiati Ikram. Jakarta:


Intermasa.

Mahayana, Maman S. 2001. Akar Melayu. Magelang: Indonesia Tera.

Storey, Jhon (Ed.). 1996. Cultural Theory and Popular Culture: A Reader. New York:
Harvester Wheatsheaf.

Tanaka, Ronald. 1976. System Models for Literary  Macro-theory. Lisse: Peter de Rider
Press.

 
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta.
Jakarta: Gramedia.

ð Makalah Lokakarya “Penelitian itu Asyik” diselenggarakan Sekolah Tinggi Bahasa


Asing LIA Jakarta, di Wisma Karya Sartika, Cipanas, Puncak, 3—4 Juni 2003.

Indeks
   
   
Analisis Komponen 112, 114, 116, 117 Penerjemahan 94, 95, 96, 97, 98
Bahasa Sasaran 94, 95, 99, 100 Politeness Strategy 43,50
Bahasa Sumber 94 Pragmatic Transfer 43,44,50
Cultural 53, 54 Relasi Makna 112, 116, 126
Discourse Completion 43, 45 Ritual 72, 73, 78
Intellectual Capital 57, 58, 59, 60 Penelitian Sastra 81, 82, 86, 88
Intrinsik 80, 83 Semantic Formula 43,46
Kalimat 124, 125, 129, 132, 133 Sosiologi Sastra 14, 15
Komponen Makna 114, 115, 116, 117 Spritual 72, 73, 78, 79
Matsuri 72, 73, 74, 75, 76, 77 Wanita Jepang 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7
Modernisasi 1, 3, 4, 6, 7, 8 Young Learners 70, 71
   

You might also like