You are on page 1of 31

HASIL STUDI ASPEK HUKUM

KASUS PENCEMARAN/PERUSAKAN TELUK BUYAT

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah


Tim Peer Review penanganan kasus Teluk Buyat mengadakan persidangan tanggal 23 –25
Agustus 2004 di Cikampek dan merumuskan beberapa telaah diantaranya telaah aspek hukum.
Hasil rumusan Tim Peer Review dipresentasikan pada pertemuan antara Tim Pengarah, Tim
Teknis, dan Tim Peer Review pada tanggal 31 Agustus 2001 di Jakarta,. Hasil telaah Tim Peer
Review menyimpulkan adanya beberapa permasalahan hukum terkait kasus Buyat:

• Bahwa ditinjau dari peraturan perundangan yang ada, terdapat indikasi bahwa PT
NMR melanggar peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pembuangan limbah B3 (PP. No. 18/1999 jo PP No. 85/1999).
• Bahwa PT NMR sejak tahun 1996 telah membuang tailing yang merupakan limbah
B3 secara illegal, karena dilakukan tanpa memperoleh Izin dari Menteri KLH/kepala
BAPEDAL, apabila ditinjau dari aspek hukum, surat Menteri Lingkungan Hidup
Nomor B-1456/Bapedal/07/2000 bukan merupakan izin sementara
• Bahwa terdapat indikasi bahwa PT NMR melanggar ketentuan yang telah
ditetapkan, oleh karena berdasarkan Laporan Pelaksanaan RKL/RPL Triwulan I –
Triwulan IV Tahun 1999, kualitas tailing, kualitas air tanah, kualitas air permukaan di
dalam dan di luar lokasi tambang, kualitas air laut maupun kualitas udara di atas
baku mutu yang dibolehkan.

Berdasarkan hasil tersebut, Tim Peer Review memberi rekomendasi kepada Tim Teknis
Penanganan Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Teluk Buyat Ratatotok Minahasa Selatan
yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup No. 97
tahun 2004. Rekomendasi yang diberikan oleh Tim Peer Review kepada Tim Teknis tersebut
adalah pelaksanaan kajian terhadap seluruh dokumen PT NMR yang berkaitan dengan
pemenuhan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Disamping itu, Tim Peer Review juga merekomendasikan agar dilakukan proses penegakan
hukum.

I.2. Tujuan Kajian


Sesuai dengan hasil telaah dan rekomendasi tim Peer Review serta dengan merujuk kepada
TOR Pembentukan Tim Independen Penanganan Kasus Teluk Buyat, maka tim tekhnis bidang
penegakan hukum telah melakukan rangkaian kajian dalam kerangka untuk :
1. Mengidentifikasi pelanggaran peraturan yang terjadi dalam kasus Buyat;
2. Menganalisis bahan hukum dalam kerangka penegakan hukum;
3. Memberikan masukan terhadap kebijakan pasca tambang dan pembuangan tailing ke
laut.

I.3. Ruang Lingkup Kajian


Melakukan Studi dan evaluasi dokumen-dokumen dan peraturan perundangan lingkungan
hidup dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan operasional
pertambangan PT. NMR.

1
I.4. Metode Kajian
Studi aspek hukum ini dilakukan dengan pendekatan studi dogmatik, dengan cara melakukan
identifikasi, analisisis dan klarifikasi terhadap dokumen-dokumen pemerintah, perusahaan, dan
peraturan-peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan pertambangan PT
Newmont Minahasa Raya sejak tahun 1986 sampai dengan 2004. Disamping itu juga dilakukan
klarifikasi terhadap wakil instansi yang bersangkutan untuk mendapatkan gambaran aktual
kasus. Hal-hal penting yang jadi tekanan utama studi adalah perizinan dan pengelolaan
lingkungan, pembuangan tailing kelaut dan penutupan tambang.

Dalam studi ini, peristiwa konkrit yang berupa terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan Teluk Buyat yang diduga telah dilakukan oleh PT NMR dengan dukungan bukti yang
cukup dikonfrontasikan dan dikonstruksikan kedalam peraturan perundang-undangan untuk
menemukan peristiwa hukum dalam kerangka penyusunan pendapat hukum atas kasus
pencemaran/perusakan lingkungan Teluk Buyat ini.

I.5 Bahan Hukum


I.5.1.Peraturan Perundang-undangan :
a. Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
b. Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
c. Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Pertambangan Umum;
d. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B-3 ;
e. Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B-3;
f. Peraturan Pemerintah No.19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Laut;
g. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan;
h. KepMen PE Nomor 620.K/008/M.PE/1994
i. KepMen PE Nomor 1211.K/0088/M.PE/1995
j. Keputusan Ketua Komisi AMDAL Pusat DPE Nomor 02.K/702/KAP/1994

I.5.2. Dokumen – dokumen dan Surat :


a. Dokumen Kontrak Karya Antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT Newmont
Minahasa Raya
b. Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL ) PT. NMR;
c. Dokumen RKL/RPL PT. NMR;
d. Perjanjian Kontrak Karya antara PT.NMR dengan Pemerintah RI No. B-
43/Pres/11/1986 tanggal 6 Nopember 1986;
e. Dokumen Ecological Risk Assesment (ERA) yang disusun oleh PT.NMR (pra penilaian
komisi penilai );
f. Dokumen Berita Acara rapat hasil penilaian ERA;
g. Dokumen Berita Acara Hasil Pertemuan Bapedal, Departemen Pertambangan dan
Energi, Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan tentang Pengelolaan Limbah
Tailing PT NMR, 11 April 2000;
h. Dokumen Hasil tim Peer Review
i. Evaluasi Laporan Pelaksanaan RKL/RPL PT NMR tahun 2001-2004 (Unit Detoksifikasi)
j. Surat PT. NMR No. 121/IV/RN/NMR/2000 tanggal 17 April 2000;
k. Surat Menteri LH/ Kepala Bapedal No. B-1456/BAPEDAL/07/2000 tanggal 11 Juli 2000;
l. Surat PT NMR No. 038/III/rn-ki/NMR/01 tanggal 16 April 2001
m. Surat Bapedal kepada Dirjen Pertambangan Umum Departemen ESDM No. B-
2227/4/10/2000 tentang Pembuangan Tailing PT NMR;
n. Surat-surat, dan dokumen lain yang terkait dengan permasalahan
pencemaran/perusakan teluk Buyat;

2
o. Laporan Penelitian Penanganan Dugaan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan
Lingkungan Hidup di Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan Ratatotok Timur
Kabupaten Minahasa Selatan Propinsi Sulawesi Utara oleh Tim Terpadu (2004).

3
II. KAJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kajian Peraturan Perundang-Undangan

a. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

1. Bahwa pada tahun 1997, diterbitkan UU No. 23 tahun 1997 mengenai Pengelolaan
Lingkungan Hidup sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diikuti dengan penerbitan peraturan pelaksanaan
yang antara lain berupa PP No. 18 tahun 1999 jo. PP No. 85 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).;

2. Bahwa dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


ditentukan dan diatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan limbah B3 sebagai berikut :

a. Pasal 20 ayat 1 “Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan
pembuangan limbah ke media lingkungan hidup”

b. Pasal 20 ayat 4 “ Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang
ditetapkan oleh Menteri”.

c. Pasal 20 ayat 5 “Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundang-undangan”.

d. Pasal 15 ayat (1) “Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan
dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib
memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup”.

e. Pasal 18 ayat (1) “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak
besar dan dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis
damapk lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan,

f. Pasal 18 ayat (2) “Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) diberikan pejabat yang berwenang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”

g. Pasal 6 ayat (2) “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai
pengelolaan lingkungan hidup”.

h. Pasal 45 “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan
oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga”.

i. Pasal 46 ayat (1) :”Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini
dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan
tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap

4
badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut
maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau
terhadap kedua-duanya”
.
j. Pasal 46 ayat (2) “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini,
dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan
kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana
dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah
atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang
tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain,
melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama”.
k. Pasal 46 ayat (3) “Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan
surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka,
atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap”.
l. Pasal 46 ayat (4) “Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili
oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus
menghadap sendiri di pengadilan”.
m. Pasal 47 UU No. 23 tahun 1997 :”Selain ketentuan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini,
terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan
tata tertib berupa :
(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
(3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
(4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga)
tahun”

b. UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing

Pasal 8 ayat (1) “Penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada
suatu kerjasama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

c. PP No. 27 Tahun 1997 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Pasal 7 ayat (1) “analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang
harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang”

Pasal 7 ayat (2)” Permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh pemrakarsa kepada pejabat yang berwenang
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib melampirkan

5
keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) yang diberikan oleh instansi yang bertanggung
jawab”.

d. Peraturan Perundang-Undangan tentang Pengelolaan Limbah B3

Bahwa dalam PP No. 19 tahun 1994 jo PP No. 12 tahun 1995 ditentukan dan diatur
ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan limbah B3 antara lain :

Pasal 6 ayat (1) “ Penghasil limbah B3 wajib melakukan pengolahan limbah B3”

Pasal 21 ayat 1 butir (a) ” Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan
pengumpulan dan/atau pengolahan limbah B3 wajib memiliki izin dari Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkunganr”.

Bahwa kemudian PP No. 19 tahun 1994 jo PP No. 12 tahun 1995 digantikan dengan
dalam PP No. 18 tahun 1999 jo PP No. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3
diatur dan ditentukan hal-hal sebagai berikut:

Pasal 9 ayat (1) “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah B3
wajib melakukan reduksi limbah B3, mengolah limbah B3 dan/atau menimbun limbah
B3”

Pasal 40 ayat (1) huruf (a) “Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan
penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan
limbah B3 wajib memilki izin operasi dari Kepala istansi yang bertanggung jawab”.

e. Peraturan Perundang-Undangan tentang Perusakan dan/atau Pencemaran Laut

Bahwa dalam PP No. 19 tahun 1999 tentang Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
ditentukan hal-hal sebagai berikut :

Pasal 1 angka 10 tentang Ketentuan Umum “Pembuangan (dumping) adalah


pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan atau kegiatan dan atau benda
lain yang tidak terpakai atau kadaluarsa ke laut”.
Pasal 18 ayat (1) ”Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
yang dilakukan, melakukan dumping ke laut wajib mendapat izin Menteri”.
Pasal 18 ayat (2) “ Tata cara dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

6
III. FAKTA – FAKTA

III.1. Kontrak Karya

• Bahwa PT. NMR melakukan kegiatan usaha berdasarkan Kontrak Karya antara
Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Menteri Pertambangan dan
Energi Republik Indonesia dengan PT Newmont Minahasa Raya sesuai dengan Surat
Persetujuan Presiden Republik Indonesia Nomor : B-43/Pres/11/1986 tanggal 6
Nopember 1986;
• Bahwa dalam perjanjian kontrak karya ditentukan bahwa : (1) Perusahaan, sesuai
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan Lingkungan Hidup dan suaka alam
yang berlaku di Indonesia, harus melakukan kegiatannya sedemikian rupa untuk
mengendalikan pemborosan atau kehilangan sumber daya alam, melindungi sumber
daya alam terhadap kerusakan yang tidak perlu dan mencegah pencemaran dan
pengotoran lingkungan; (2) Perusahaan harus memasukkan ke dalam studi kelayakan
setiap operasi pertambangannya suatu studi Analisa Dampak Lingkungan untuk
menganalisa pengaruh yang mungkin timbul akibat operasinya terhadap tanah, air,
udara, sumber daya biologis, dan pemukiman penduduk. (lihat psl 26 Kontrak Karya );
• Bahwa Pemerintah melalui Menteri dapat menyatakan kepada perusahaan keberatan-
keberatan tertentu sehubungan dengan rencana-rencana dan rancangan-rancangan
perusahaan, dan pemerintah berhak untuk menangguhkan persetujuannya atas
rencana-rencana dan rancangan-rancangan yang berhubungan dengan konstruksi,
operasi, perluasan, modifikasi, dan penggantian fasilitas-fasilitas perusahaan yang
tidak serasi dan tidak wajar yang dapat merusak lingkungan hidup atau membatasi
potensi pengembangannya lebih lanjut atau sangat mengganggu stabilitas sosial politik
di daerah. Persetujuan Pemerintah tersebut tidak akan ditahan atau ditangguhkan
secara tidak wajar; dan apabila dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah diserahkannya
rencana-rencana dan rancangan-rancangan itu Pemerintah tidak menyatakan
keberatannya, maka rencana-rencana dan rancangan-rancangan dimaksud dianggap
telah disetujui (lihat Psl.16 ayat (2) Kontrak Karya).

III.2. AMDAL

• Bahwa dalam ketentuan pasal 26 Perjanjian Kontrak Karya ditentukan bahwa


Perusahaan harus menyusun studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
• Bahwa dokumen ANDAL PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) telah disetujui oleh
Komisi Amdal Pusat Departemen ESDM berdasarkan Surat Menteri Pertambangan
No.4791/0115/SJ.T/1994 tanggal 17 November 1994;

• Bahwa dengan diterbitkannnya UU No.23 tahun 1997 beserta peraturan pelaksanaan


tentang AMDAL, Menteri Pertambangan dan Energi telah memberikan persetujuan revisi
AMDAL kepada PT NMR melalui surat Nomor 2049/28/SJN.T/99 tanggal 11 Juni 1999;

• Bahwa dalam dokumen Amdal disebutkan bahwa pembuangan limbah batuan yang
berbentuk lumpur ke dalam laut dengan menggunakan istilah Submarine Tailing
Disposal/Submarine Tailing Placement (pembuangan tailing ke dasar laut/penempatan
tailing di bawah laut disingkat STD/STP) dilakukan pada kedalaman 82 m di bawah
lapisan Thermocline

7
• Bahwa detoksifikasi limbah dilakukan untuk menghilangkan Arsen dan Antimon,
menggunakan ion-ion Feri yang dipasok sebagai Feri Klorida atau Feri Sulfat, yang
bergabung dengan Arsen dalam larutan membentuk Feri Arsenate1

• Bahwa dalam dokumen AMDAL disebutkan tailing yang merupakan limbah dari hasil
pengolahan bijih emas, mengandung beberapa bahan kimia yang tergolong sebagai
logam berat seperti: Merkuri (Hg), Besi (Fe), Tembaga (Cu), Perak (Ag), Timbal (Pb),
Arsen (As), (Sb) serta senyawa sianida (CN) 2.

• Bahwa dalam dokumen Amdal disebutkan bahwa tata cara penanganan limbah B3
akan mengikuti PP No. 19 tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah B3. Pada tahun
1995, terjadi amandemen terhadap beberapa ketentuan pada PP No. 19 tahun 1994
melalui PP No. 12 tahun 1995

III.3. Pengelolaan Limbah B3 dan Dumping/Pembuangan Tailing ke Laut

Periode 1996-1999

• Bahwa pada tahun 1994 berlaku PP No. 19 tahun 1994 mengenai Pengelolaan Limbah
B3 yang kemudian mengalami perubahan melalui PP No.12 tahun 1995
• Bahwa PT NMR membuang tailing ke laut sejak tahun 1996 hingga tahun 2004
• Bahwa limbah dari hasil pengolahan bijih emas yang dihasilkan oleh PT. NMR,
mengandung beberapa bahan kimia yang tercantum dalam lampiran PP No. 19 tahun
1994 jo PP No. 12 tahun 1995 dan juga sesuai dengan daftar limbah B3 dari kegiatan
pertambangan.
• Bahwa pada tahun 1997 berlaku UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang menggantikan UU. No. 4 tahun 1982 tentang Pokok-pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup
• Bahwa UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam pasal 49
ayat (1) menyatakan bahwa “ Selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak diundangkannya
Undang-Undang ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin, wajib
menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Undang-undang ini”.
• Bahwa pada tahun 1999 berlaku PP No. 18 tahun 1999 Jo PP No. 85 tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah B3 yang menggantikan PP No. 19 tahun 1994 Jo. PP No.
12 tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3.

Periode 1999- 2004

• Bahwa tanggal 17 April 2000 PT NMR mengirim surat No. 121/IV/RN/NMR/20003 yang
ditandatangani oleh Richard B Ness, Presiden Direktur PT NMR kepada Soni Keraf,
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal yang berisi pengajuan izin untuk
penempatan tailing di bawah laut sesuai dengan ketentuan PP No. 19 tahun 1999.
• Bahwa tanggal 11 Juli 2000 Menteri Negara Lingkungan Hidup, Sonny Keraf,
menerbitkan Surat B-1456/BAPEDAL/07/2000 yang merupakan tanggapan atas surat
PT. NMR No. 121/IV/RN/NMR/2000 tanggal 17 April 2000. Dalam surat tersebut diatas,
diatur secara lengkap ketentuan- ketentuan sebagai berikut :

1
Dokumen ANDAL, halaman 3-37, terlampir
2
Dokumen ANDAL, halaman 3-38 sampai dengan halaman 3-43, terlampir
3
Surat terlampir

8
• Sehubungan dengan surat Saudara Nomor 121/IV/RM/NRM/2000 tanggal 17 April
2000 perihal Pembuangan Tailing ke Teluk Buyat, maka bersama ini disampaikan
bahwa Saudara diperkenankan untuk membuang limbah tailing ke Teluk Buyat
dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Limbah tailing yang dibuang PT NMR ke Teluk Buyat dengan debit
5000 m3 per hari dan harus memenuhi baku mutu sebagai berikut :
Parameter Konsentrasi (mg/l)
PH 6-9
As (III) 0,5
CN WAD 0,5
CN Free 0,5
Hg 0,008
Cu 1,0
Fe 3,0

2. PT NMR harus melakukan Studi Ecological Risk Assessment (ERA)


untuk pembuangan tailing ke Teluk Buyat yang melibatkan instansi
terkait antara lain: Kantor Meneg LH/Bapedal, Dep Pertambangan
dan Energi, Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sulawesi Utara, Bupati
Minahasa, Bupati Boloang Mangondow, Kanwil DPE Propinsi
Sulawesi Utara, LSM, Perguruan Tinggi, dan Tokoh Masyarakat
setempat.

3. Studi Ecological Risk Assessment tersebut harus dapat diselesaikan


oleh PT NMR dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
dikeluarkannya surat ini.

4. Melaporkan hasil studi ERA secara periodik (minimum sekali dalam


sebulan) kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal
dengan tembusan Menteri Pertambangan dan Energi, Gubernur
Kepala Daerah Propinsi Sulawesi Utara dan Instansi lainnya

5. Ketentuan lebih lanjut tentang baku mutu dan pembuangan limbah


tailing ke Teluk Buyat oleh PT NMR akan ditetapkan berdasarkan
hasil Risk Assessment pada butir 3.

1. Bahwa PT NMR telah menyusun Studi Ecological Risk Assessment (ERA) dan
diserahkan kepada Bapedal pada tanggal 15 Januari 2001. Penyerahan hasil ERA ini
dilakukan kurang lebih dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah disampaikannya
surat oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup, Sonny Keraf, menerbitkan Surat B-
1456/BAPEDAL/07/2000. Kemudian terjadi surat menyurat antara PT NMR dan Bapedal
secara kontinyu mengenai pembahasan ERA.

3. Bahwa kronologis mengenai pembahasan ERA adalah sebagai berikut:

• Bahwa tanggal 15 Januari 2001, PT NMR mengirim surat No.


015/I/ENV/01 kepada Bapedal perihal Dokumen ERA. Surat berisi
tindak lanjut pembahasan ERA tanggal 15 Januari 2001 dan
pengiriman 7 buah salinan dokumen ERA, TOR dan lampiran

9
Notulensi berisi Kesepakatan hasil Pembahasan studi ERA yang
ditandatangani oleh Dra Masnellyarti (BAPEDAL) dan Kadar Wiryanto
(PT NMR) 4
• Bahwa tanggal 30 Januari 2001, PT NMR mengirim surat No.
007A/I/ki/NMR/2001 kepada Bapedal perihal penundaan pertemuan
yang dijadualkan tanggal 1 Februari menjadi bulan Maret 20015
• Bahwa tanggal 21 Februari 2001, PT NMR mengirim surat No.
018A/II/rn-ki/NMR/2001 kepada Deputi Bidang Pengendalian
Pencemaran Lingkungan BAPEDAL, perihal presentasi dokumen ERA.
Surat berisi pemberitahuan PT NMR mengenai penundaan presentasi
ERA menjadi tanggal 30 Maret 2001 dikarenakan pimpinan tim kajian
ERA dan konsultan PT NMR tidak bisa hadir6
• Bahwa tanggal 23 Februari 2001, PT NMR mengirim surat No.
019A/II/rn-ki/NMR/ 2001 kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum dan
Manajemen Lingkungan BAPEDAL, perihal presentasi dokumen
ERA.Surat berisi pemberitahuan bahwa PT NMR belum dapat
mempresentasikan dokumen ERA.7
• Bahwa tanggal 22 Maret 2001, BAPEDAL mengirim surat No. B-
714/IV/03/2001 kepada Presiden Direktur PT NMR perihal tanggapan
atas studi ERA. Surat berisi tanggapan BAPEDAL atas studi ERA dan
notulensi. (Isi notulensi: tanggapan dari 9 instansi dan para ahli
terhadap ERA PT NMR, kesepakatan PT NMR akan memastikan
tanggal pertemuan dengan BAPEDAL dan PT NMR akan memberikan
jawaban/tanggapan kepada BAPEDAL) 8
• Bahwa tanggal 28 Maret 2001, BAPEDAL mengirim surat No. B-
751/IV/03/2001 kepada Tim Studi ERA PT NMR. Perihal pembahasan
studi ERA PT NMR untuk tanggal 29-30 Maret 20019
• Bahwa tanggal 30 Maret 2001 terdapat notulensi hasil rapat studi ERA
PT NMR tanggal 29-30 Maret 2001, yang ditandatangani oleh Johny P.
Kusumo (Bapedal) dan Khrisna Ismaputra (PT NMR).10 .
• Bahwa tanggal 4 April 2001, BAPEDAL mengirim surat No. B-818/
II/04/2001 Kepada Presiden Direktur PT NMR. Perihal penyampaian
Laporan rapat studi ERA yang dilaksanakan pada 29 –30 Maret 200111
• Bahwa tanggal 16 April 2001, PT NMR mengirim surat No. 038/III/rn-
ki/NMR/01 kepada Kepada Deputi pengendalian Pencemaran
Lingkungan. Perihal rapat studi ERA. Surat berisi : Pertama, PT NMR
bahwa akan memberikan jawaban tertulis yang disampaikan pada saat
pembahasan studi ERA. Kedua, pandangan PT NMR atas laporan
rapat ERA PT NMR, dimana PT NMR menangkap bahwa BAPEDAL
meminta PT NMR mengulang kembali proses ERA, dan PT NMR
tidak keberatan menambah joint sampling. Selanjutnya, PT NMR akan
memenuhi kesepakatan yang dicantumkan dalam notulensi rapat

4
Surat dan notulensi terlampir
5
Surat terlampir
6
Surat terlampir
7
Surat terlampir
8
Surat terlampir
9
Surat terlampir
10
Surat terlampir
11
Surat terlampir

10
tanggal 29 – 30 Maret 2001. Didalam surat tersebut PT NMR
berharap memperoleh izin permanen dengan segera, karena
keterlambatan yang terjadi akan sangat mempengaruhi PT NMR
12
dalam beroperasi dan berinvestasi .
• Bahwa tanggal 4 Mei 2001, PT NMR mengirim surat No.
190/V/RN/NMR/2001 kepada Kepada Deputi Bidang Pengendalian
Pencemaran Lingkungan. Perihal hasil analisis statistik dan rencana
pertemuan ERA 13
• Bahwa tanggal 9 Mei 2001, BAPEDAL mengirim surat No. B-
1123/IV/05/2001 kepada Presiden Direktur PT NMR. Perihal
Pertemuan lanjutan hasil studi ERA Surat berisi undangan untuk
mengadakan pertemuan tangal 16 Mei 2001 dengan acara evaluasi
studi ERA PT NMR 14
• Bahwa tanggal 10 Mei 2001, PT NMR mengirim surat No. 195/V/rn-
kw/NMR/01 kepada Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan.
Perihal pertemuan lanjutan hasil studi ERA. Surat berisi penyampaian
alasan PT NMR yang tidak dapat memenuhi permintaan BAPEDAL
untuk melakukan evaluasi lanjutan studi ERA tanggal 16 Mei 2001.15
• Bahwa tanggal 8 Juni 2001, BAPEDAL mengirim surat No. B-
1397/IV/06/2001 kepada Presiden Direktur PT NMR perihal tindak
lanjut studi ERA. Surat berisi undangan pertemuan tanggal 21 Juni
2001 dengan agenda pembahasan tindak lanjut studi ERA berkaitan
dengan penentuan parameter, waktu, tempat dan metodologi
pengambilan sample.16
• Bahwa tanggal 21 – 22 Juni 2001 terdapat Berita Acara Pembahasan
Joint Sampling Studi ERA ditandatangani oleh Kadar Wiryanto (PT
NMR) dan Sudarsono SH (BAPEDAL)17
• Bahwa tanggal 13 Juli 2001, BAPEDAL mengirim surat No. B-
1706/IV/07/2001 perihal persiapan joint sampling studi ERA PT NMR
tanggal 17 Juli 200118
• Bahwa tanggal 26 Juli 2001, BAPEDAL mengirim surat No. B-
1839/IV/07/2001 kepada PT NMR, perihal joint sampling yang akan
dilaksanakan pada 30 Juli 2001 dengan agenda: pembahasan SOP,
peralatan/bahan untuk sampling dan analisa, OA/OC, jadual kegiatan,
personalia19 .
• Bahwa tanggal 10 September 2001, PT NMR mengirim surat No.
061/IX/ki/NMR/2001 kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum
Lingkungan. Perihal survei bathymetri. Surat berisi tindak lanjut
rencana survei bathymetri yang telah disepakati tanggal 2 Juli 2001
dan 30 Juli 2001 dan pemberitahuan penundaan survei akibat
ketidaksiapan peralatan20.

12
Surat dan jawaban terlampir
13
Surat terlampir
14
Surat terlampir
15
Surat terlampir
16
Surat terlampir
17
Berita Acara Pembahasan Joint Sampling terlampir
18
Surat terlampir
19
Surat terlampir
20
Surat terlampir

11
• Bahwa tanggal 27 September 2001 BAPEDAL mengirim surat No.
2556/IV/09/2001 kepada Presiden Direktur PT NMR perihal survei
bathymetri. Surat berisi bahwa pelaksanaan survei hendaknya
mengacu pada kesepakatan yang telah dicapai tim teknis BAPEDAL
dan PT NMR, dan hendaknya PT NMR melibatkan beberapa
stakeholder yang telah disepakati.
• Bahwa tanggal 3 Oktober 2001, PT NMR mengirim surat No.
064/X/kw/NMR/2001 kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum
Lingkungan. Perihal penundaan survei bathymetri. Surat berisi
penundaan pelaksanaan survei karena konsultan PT NMR mengalami
travel warning.21
• Bahwa tanggal 7 November 2001, PT NMR mengirim surat No.
068/XI/kw/NMR/2001 kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum
Lingkungan. Perihal survei bathymetri. Surat berisi perencanaan
kembali pelaksanaan survei Bathymetri. Survei akan dilaksanakan
tanggal 21 November 2001 sampai dengan selesai 22
• Bahwa tanggal 20 November 2001, BAPEDALmengirim surat No. B-
3219/IV/11/2001yang ditandantangani oleh Deputi Bidang Penaatan
Hukum Lingkungan, Masnellyarti Hilman, kepada Presiden Direktur
PT NMR. Perihal survei bathymetri. Surat berisi informasi
ketidakikutsertaan BAPEDAL dalam survei karena pelaksanaan
survei pada bulan November dirasakan tidak tepat sebab tujuan
survei bathymetri terkait dengan pengambilan data fisika, kimia dan
biologi laut yang mewakili Musim Timur (Juni s/d Agustus) dan
pakar Bathymetri yang seharusnya ikut berhalangan hadir.
Pembahasan rencana selanjutnya mengenai survei Bathymetri dan
joint sampling akan dibicarakan dengan Menteri Negara Lingkungan
Hidup dan PT NMR pada tanggal 21 November 200123.
• Bahwa tanggal 21 November 2001, PT NMR mengirim surat No.
069/XI/kw/NMR/2001 kepada Kepada Deputi Bidang Penaatan
Hukum Lingkungan. Perihal survei bathymetri. Surat berisi PT NMR
akan melaksanakan survei tanpa BAPEDAL, serta menyampaikan
hasil survei sesegera mungkin kepada Bapedal. Kemudian
mengharapkan pembicaraan lebih lanjut mengenai hal tersebut
dengan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal24.

III. 4. Hasil-hasil Penelitian Tim Teknis

• Bahwa konsentrasi Arsen, Merkuri, dan Sianida terlarut dalam air laut teluk Buyat lebih
tinggi bila dibandingkan sedimen teluk Totok dan Titik Kontrol. Arsen total dan Merkuri
total dari semua hasil penelitian menunjukan trend meningkat bila dibandingkan dengan
hasil Amdal 1994. (data laporan tim tekhnis).

21
Surat terlampir
22
Surat terlampir
23
Surat terlampir
24
Surat terlampir

12
• Bahwa dari konsentrasi Arsen dan Merkuri terlihat bahwa sedimen di lokasi penempatan
tailing termasuk polluted sediment, sesuai dengan ASEAN Marine Water Quality
Criteria, 2004.

• Berdasarkan rona awal Amdal diketahui kandungan Arsen tidak terdeteksi pada sumur
penduduk desa Buyat. Dari 6 (enam) contoh air sumur penduduk, kadar Arsen yang
berasal dari 4 (empat) sumur penduduk di desa Buyat diatas baku mutu yang
dipersyaratkan dalam PERMENKES No. 907/MENKES/SK/VII/2002. (data tim tekhnis)

• Bahwa pada tahun 2000 sampai Desember 2003, air minum yang dikonsumsi oleh
masyarakat pantai Buyat disuplai oleh PT.NMR melalui truk tangki. Dari informasi
diketahui bahwa sumber air minum berasal dari sumur bor desa Ratatotok (WB2, WB7,
dan WB8). Dari data sumur bor yang diambil dari desa Ratatotok menunjukan bahwa air
telah melampaui baku mutu Arsen menurut PERMENKES No.
907/MENKES/SK/VII/2002. (lihat data laporan tim teknis)

• Bahwa berdasarkan index keragaman plankton dan bentos ditemukan Indeks diversitas
fitoplankton (I.D Simpson) di daerah penimbunan tailing stasiun A,B,C, E di Teluk Buyat
diperoleh nilai sebesar 0,061 – 0,493, artinya telah mengalami perturbasi (gangguan).
Indeks diversitas pada benthos (I.D Shannon & Wienner) di daerah penimbunan tailing
stasiun A,B,C,D, E di Teluk Buyat diperoleh nilai sebesar 0.683 – 1.099 yang
menyatakan adanya pencemaran berat.

• Indeks diversitas fitoplankton (I.D Simpson) di daerah penimbunan tailing stasiun A,B,C,
E di Teluk Buyat diperoleh nilai sebesar 0,061 – 0,493, artinya telah mengalami
perturbasi (gangguan).

• Bahwa kadar arsen total rata-rata pada ikan (1,37 mg/kg) sudah melampaui baku mutu
kadar total arsen yang ditetapkan oleh Dirjen POM sebesar 1 mg/kg.

Hasil-hasil penelitian tim tekhnis yang meliputi penelitian batimetri, kualitas air, sedimen,
plankton, benthos dan ikan secara lengkap dapat dilihat pada Laporan Penelitian Penanganan
Dugaan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan
Desa Ratatotok Kecamatan Ratatatoto Timur Kabupaten Minahasa Selatan Propinsi Sumatera
Selatan (dalam laporan ini disebut sebagai Laporan Penelitian Tim Tekhnis)

13
IV. ANALISIS HUKUM

IV. 1.AMDAL

Bahwa dengan terbitnya Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, maka berdasarkan ketentuan peralihan UU No. 23 tahun 1997, setiap pelaku usaha
harus menyesuaikan dengan ketentuan yang ada didalam UU No. 23 tahun 1997;
1. Bahwa dalam UU No. 23 tahun 1997 ditentukan bahwa setiap rencana usaha dan/atau
kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (lihat pasal 18
ayat (1) )
2. Bahwa untuk melaksanakan dan mengatur lebih lanjut tentang analisis mengenai
dampak lingkungan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun
1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang merupakan pengganti atas
Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993;
3. Bahwa dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999, ditentukan bahwa dokumen
AMDAL terdiri dari dokumen KA, ANDAL serta dokumen RKL/RPL merupakan dokumen
studi kelayakan lingkungan. Dokumen ANDAL merupakan suatu dokumen hasil kajian
ilmiah tentang dampak lingkungan, sedangkan dokumen RKL/RPL merupakan dokumen
yang akan menjadi prasyarat atas putusan kelayakan lingkungan yang akan menjadi
syarat atas izin yang akan dikeluarkan oleh instansi yang berwenang mengeluarkan izin
usaha (lihat pasal 2 ayat (1) jo pasal 7 jo pasal 17)
4. Bahwa sebagai institusi yang diberi kewenangan untuk menerbitkan kelayakan
lingkungan dan ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, maka Menteri Lingkungan
Hidup/ Kepala Bapedal diberikan kewenangan untuk melakukan evaluasi dan monitoring
atas penaatan RKL/RPL (pasal 22 UU No. 23 tahun 1997 jo psl 32 PP No. 27 tahun
1999). Hasil evaluasi dan pengawasan penaatan RKL/RPL tersebut disampaikan
kepada instansi sektoral yang berwenang menerbitkan izin sebagai bahan bagi
pengawasan dan tindakan administrasi terhadap pemegang izin (Lihat PP No. 27 tahun
1999 pasal 23 ayat (2) point c ).
5. Bahwa berdasarkan hasil Evaluasi Laporan Pelaksanaan RKL/RPL yang dilakukan oleh
MenLH, ditemukan fakta beberapa pelanggaran mengenai syarat mutu limbah yang
boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup berdasarkan ketentuan surat Menteri
LH No. B-1456/BAPEDAL/07/2000 , yaitu:
• Evaluasi RKL-RPL, Triwulan III/2000, triwulan I, III dan IV/2001. Berdasarkan
Analisa RKL/RPL (sumber KLH, 200425) terjadi pelanggaran pada
pengelolaan tailing (unit detoksifikasi, parameter Hg, CN WAD, CU, Fe, As
pada elemen ranutan tailing) dan kualitas udara.

• Evaluasi RKL – RPL, Triwulan I/ 2002. Berdasarkan Analisa RKL/RPL


(sumber KLH, 2004) terjadi pelanggaran pada pengelolaan tailing (unit
detoksifikasi, parameter Hg, CN WAD, CU, Fe, As pada elemen ranutan
tailing) dan kualitas udara.

• Mengenai detoksifikasi, tailing Newmont sebelum dibuang ke laut (setelah


detoksifikasi) mengandung logam berat (As, Fe, Cu dan CN) diatas standar
yang diizinkan sesuai surat Menteri LH No. B-1456/BAPEDAL/07/2000

25
Evaluasi Laporan RKL/RPL, KLH, terlampir.

14
6. Bahwa pada tanggal 22 Maret 2002, Kementerian LH dalam suratnya No. B-533/Dep.IV
LH/3/200226 tentang Hasil Evaluasi Laporan Periodik Pelaksanaan RKl/RPL berisi
Rekomendasi atas hasil evaluasi terhadap laporan pelaksanaan RKL/RPL PT NMR
Triwulan I tahun 1999 sampai Triwulan IV 2001 sebagai berikut:
• Data yang disampaikan seharusnya menggunakan angka yang pasti
(tidak menggunakan besaran)
• Penting diperhatikan kualitas air tanah pada sumur penduduk mengingat
hasil analisa parameter warna total hardness, CL total, NH3, As, Mn, dan
total coliform telah melebihi baku mutu lingkungan (BML) yang telah
ditetapkan, khususnya pada lokasi B09
• Penting diperhatikan kualitas air tanah mengingat hasil analisa parameter
kekeruhan, warna, kesadahan total, Fe total, Cl total, Mn, total coliform
dan e coli telah melebihi BML khususnya lokasi SP 01, SP 02, WB 07
• Penting diperhatikan detoxification performance mengingat hasil analisa
parameter As 3+, Fe, CN Free, Hg, Cu, dan pH telah melebihi BML.
• Penting diperhatikan kualitas air permukaan di lokasi tambang mengingat
parameter pH TSS, Hg, Ba, Total coliform dan e coli telah melebihi BML
khususnya SW 9, SW 10, SW 12 dan SP 6.
• Penting diperhatikan kualitas air permukaan mengingat pH, total
hardness, Hg, As, Mn, total coliform, dan e coli telah melebihi BML
khususnya SW 17, SW 19.
• Penting diperhatikan kualitas air laut mengingat parameter As dan As
total telah melebihi BML khususnya As total di lokasi B pada kedalaman
62 m.
• Penting diperhatikan kualitas udara mengingat parameter CO, SO2, NH3,
H2S, dan debu telah melebihi BML khususnya lokasi SW 9, SW 10, SW
12 dan SP.

Bahwa berdasarkan hasil evaluasi atas RKL/RPL yang telah disampaikan oleh
Kementerian LH sebagaimana tersebut diatas dapat disimpulkan telah terjadi
pelanggaran atas ketentuan RKL/RPL yang dapat dipergunakan sebagai dasar
bagi upaya penegakan hukum.

7. Bahwa dalam dokumen Amdal disebutkan sistem pembuangan tailing ke bawah laut
akan mencakup pembuangan lumpur pekat dengan kandungan bahan padat antara
45% sampai 55% yang dilepas di dekat dasar laut pada kedalaman 82 m, sejauh 900
meter dari pantai. Sistem ini dirancang untuk menjamin bahwa padatan tailing
mengendap di dasar laut dekat mulut pipa pembuangan. Adanya “Thermocline” yang
bervariasi kedalamannya antara lain 50 m sampai 80 m akan mencegah padatan tailing
memasuki kolom yang lebih tinggi27.
8. Bahwa berdasarkan penelitian tim teknis pada kedalaman 82 m tidak ditemukan lapisan
Thermocline. Posisi anus pipa pembuangan tailing pada kedalaman 82 m merupakan

26
Surat terlampir
27
Dokumen ANDAL, halaman 6-26

15
posisi di atas lapisan Thermocline dan telah terjadi gangguan dan pencemaran pada
daerah euphotik.
9. Bahwa pada pertemuan antara Bapedal dengan PT NMR tanggal 27 s/d 30 Maret 2000,
telah diketahui bahwa penempatan tailing pada kedalaman –82 m tersebut kurang tepat.
Hal ini dikarenakan modeling penempatan tailing yang dilakukan oleh PT NMR hanyalah
dengan data satu musim saja dan perlu diketahui bahwa Indonesia mempunyai musim
barat dan musim timur. Pihak konsultan PT NMR yang mengerjakan modeling
penempatan tailing ini menyarankan untuk melaksanakan kembali modeling setahun
setelah pembuangan tailing dilakukan, tetapi PT NMR tidak melaksanakannya28.

• Bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa PT


NMR telah memberikan informasi yang tidak benar mengenai Thermocline.

• Bahwa penentuan letak Thermocline didasarkan pada asumsi-asumsi


modelling yang tidak valid seperti yang telah disebutkan pada dokumen
AMDAL.

• Bahwa walaupun PT NMR telah mengetahui atau setidaknya patut


mengetahui bahwa penentuan titik Thermocline tidak valid, akan tetapi
ternyata PT NMR tidak memiliki itikad baik untuk melakukan modelling
ulang.

• Bahwa kealpaan tidak validnya penentuan titik Thermocline dan tidak


dilakukannya modelling ulang merupakan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 42 (1)
dan ayat (2)

• Bahwa pemberian informasi yang salah yang kemudian mengakibatkan


terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dapat dikategorikan
sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 43
ayat (2) dan ayat (3) UU No. 23 tahun 199729.

IV.2. Pengelolaan Limbah B3 dan Dumping/Pembuangan Tailing ke Laut

1. Bahwa berdasarkan ketentuan UU No. 23 tahun 1997 pasal 20 bahwa setiap orang
dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan kecuali dengan izin.
Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin berada pada Menteri
Lingkungan Hidup.

28
Surat BAPEDAL kepada Direktur Jendral Pertambangan Umum Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral No. B-
2227/IV/10/2000, terlampir
29
Pasal 43 ayat (2) UU No. 23 tahun 1997 :”Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat(1), barangsiapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau
merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal
mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain”.
Pasal 43 ayat (3) UU No. 23 tahun 1997 :”Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan)
tahun dan denda paling banyak Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah)”.

16
2. Melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup, melanggar ketentuan UU
No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 20 ayat (1).

3. Bahwa dalam dokumen ANDAL disebutkan tailing yang merupakan limbah dari hasil
pengolahan bijih emas, mengandung beberapa bahan kimia yang tergolong sebagai
logam berat seperti: Merkuri (Hg), Besi (Fe), Tembaga (Cu), Perak (Ag), Timbal (Pb),
Arsen (As), (Sb) serta senyawa sianida (CN) 30.

4. Bahwa dalam dokumen ANDAL disebutkan bahwa tata cara penanganan limbah B3
akan mengikuti PP No. 19 tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah B3. Pada tahun
1995, terjadi amandemen terhadap beberapa ketentuan pada PP No. 19 tahun 1994
melalui PP No. 12 tahun 1995.

5. Bahwa limbah dari hasil pengolahan bijih emas yang dihasilkan oleh PT NMR,
mengandung beberapa bahan kimia yang menurut PP No. 19 tahun 1994 jo. PP No. 12
tahun 1995 tergolong sebagai limbah B3.

6. Bahwa berdasarkan pasal 21 butir (a) PP No. 19 tahun 1994 jo PP No. 12 tahun 1995
setiap badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan dan/atau pengolahan
limbah B3 wajib memiliki izin dari Kepala BAPEDAL.

7. Bahwa dalam PP No. 19 tahun 1999 pasal 18 ayat (1) ditentukan bahwa setiap orang
atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan dumping ke laut
wajib mendapat izin Menteri Lingkungan Hidup.

8. Bahwa pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan PP No. 18 tahun 1999 jo PP No. 85
tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 yang menggantikan PP No. No.19 tahun
1999 jo PP No. 12 tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3.

9. Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (1), PP No. 18 tahun 1999 jo. PP no. 85 tahun 1999
ditentukan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah B3 wajib
melakukan reduksi limbah B3, mengolah limbah B3 dan/atau menimbun limbah B3”

10. Bahwa berdasarkan Pasal 40 ayat (1) huruf a, PP No. 18 tahun 1999 Jo. PP No. 85
tahun 1999 ditentukan bahwa setiap badan usaha yang melakukan kegiatan
penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengelolaan, dan/atau penimbunan limbah
B3 wajib memilki izin operasi dari Kepala istansi yang bertanggung jawab”

11. Bahwa pada tanggal 17 April 2000, PT NMR mengirimkan surat No.
121/IV/RN/NMR/2000 kepada Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BAPEDAL yang berisi
pengajuan permohonan izin untuk penempatan tailing di bawah laut PT NMR sesuai
dengan ketentuan PP No. 19 tahun 1999.

30
ANDAL halaman 3-38 sampai dengan halaman 3-43

17
12. Bahwa Menteri Lingkungan Hidup memberikan surat jawaban dalam surat
No.1456/BAPEDAL/07/2000 tertanggal 11 Juli 2000 yang pada intinya berisi tentang
petunjuk untuk dapat memperoleh izin (lihat point III.3)

13. Bahwa salah satu persyaratan penting yang dipersyaratkan oleh Menteri Lingkungan
untuk dapat menerbitkan izin penempatan tailing yang diajukan oleh PT NMR adalah
ketentuan yang mengharuskan PT NMR menyusun ERA/Ecological Risk Asessment.

14. Bahwa berdasarkan hasil Evaluasi Laporan Pelaksanaan RKL/RPL yang dilakukan oleh
MenLH, ditemukan fakta beberapa pelanggaran mengenai syarat mutu limbah yang
boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup berdasarkan ketentuan surat Menteri
LH No. B-1456/BAPEDAL/07/2000.

15. Bahwa berdasarkan uraian fakta-fakta hukum sebagaimana termuat dalam uraian
III.3 pada intinya dapat disimpulkan bahwa:
a. Bahwa memang benar PT NMR pernah mengajukan dokumen ERA,
kemudian hal ini langsung ditanggapi oleh BAPEDAL (dapat dilihat melalui
surat-menyurat point III.3) ditindaklanjuti dengan pertemuan-pertemuan.
Hal ini menunjukan bahwa pemerintah telah menanggapi usulan ERA yang
disampaikan oleh PT. NMR.
b. Berdasarkan surat-surat yang ada diketahui bahwa beberapa kali PT.NMR
meminta kepada LH untuk menunda rapat pembahasan ERA serta survei
bathymetri karena alasan tertentu.
c. Bahwa ada kesepakatan antara MenLH dan PT NMR untuk melakukan joint
sampling akan tetapi pada kenyataannya joint sampling ini tidak pernah
terlaksana (selengkapnya lihat pada point III.3).
d. Surat terakhir yang disampaikan oleh PT. NMR menanggapi surat No. B-
3219/IV/11/2001, tanggal 20 November 2001, menyatakan bahwa PT. NMR
akan melakukan survei bathymetri tanpa melibatkan Bapedal dan akan
menyerahkan hasil survei tersebut sesegera mungkin. Sejak surat itu
hingga sekarang PT. NMR tidak pernah memberikan laporan kepada
Bapedal/KLH tentang pelaksanaan survei tersebut.

16. Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa salah satu syarat untuk
mendapatkan izin pembuangan tailing dalam hal ini adalah dokumen ERA tidak
dapat terpenuhi. Sehingga dengan demikian izin pembuangan tailing tidak pernah
diterbitkan oleh MenLH.

17. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa PT NMR
telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yakni:

a. Berdasarkan telaah dokumen tidak ditemukan izin pengolahan limbah B3


sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) butir (a) PP No. 19 tahun 1994
Jo. PP No. 12 tahun 1995 dari Kepala BAPEDAL kepada PT NMR
b. Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan
limbah ke media lingkungan hidup, melanggar ketentuan pasal 20 ayat (1)
UU No. 23 tahun 1997

18
c. Berdasarkan telaah dokumen tidak ditemukan izin pengolahan limbah B3
sesuai dengan ketentuan Pasal 40 ayat (1) huruf (a) PP No. 18 tahun 1999
Jo. PP No. 85 tahun 1999
d. Tidak dilakukannya kewajiban pengolahan limbah B3 dengan baik sesuai
dengan Pasal 9 ayat (1) PP No. 18 tahun 1999 jo PP No. 85 tahun 1999. Hasil
Evaluasi Laporan Pelaksanaan RKL/RPL yang dilakukan oleh MenLH,
ditemukan fakta beberapa pelanggaran mengenai syarat mutu limbah yang
boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup berdasarkan ketentuan
surat Menteri LH No. B-1456/BAPEDAL/07/2000 (Limbah tidak tereduksi
dengan baik/hasil detoksifikasi melebihi baku mutu)
e. Melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup tanpa suatu
keputusan izin, melanggar Pasal 20 ayat (1) UU No. 23 tahun 1997
f. Melakukan dumping ke laut tanpa izin, melanggar ketentuan Pasal 18 ayat
(1) PP No. 19 tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan
Perusakan Laut.

18. Bahwa dengan demikian pembuangan tailing tersebut merupakan perbuatan


pembuangan limbah B3 tanpa izin yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 43 ayat (1) dan pasal 44 ayat (1)
UU No. 23 tahun 1997.

19
V. PENDAPAT HUKUM

V.1. Pelanggaran Izin


V.1.a. Informasi AMDAL

• Bahwa berdasarkan hasil evaluasi atas RKL/RPL yang telah disampaikan oleh
Kementerian LH sebagaimana tersebut diatas dapat disimpulkan telah terjadi
pelanggaran atas ketentuan RKL/RPL yang secara hukum dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran atas syarat izin dan dapat dipergunakan sebagai dasar bagi instansi
pemberi izin untuk menerapkan sanksi administrasi.

• Bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa PT NMR telah
memberikan informasi yang tidak benar mengenai Thermocline.

• Bahwa penentuan letak Thermocline didasarkan pada asumsi-asumsi modelling yang


tidak valid seperti yang telah disebutkan pada dokumen AMDAL.

• Bahwa walaupun PT NMR telah mengetahui atau setidaknya patut mengetahui bahwa
penentuan titik Thermocline tidak valid, akan tetapi ternyata PT NMR tidak memiliki
itikad baik untuk melakukan modelling ulang.

• Bahwa kealpaan tidak validnya penentuan titik Thermocline dan tidak dilakukannya
modelling ulang merupakan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana
diatur dan diancam dalam pasal 42 (1) dan ayat (2) UU No. 23 tahun 1997

• Bahwa pemberian informasi yang salah yang kemudian mengakibatkan terjadinya


pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dapat dikategorikan sebagai perbuatan
pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 43 ayat (2) dan ayat (3) UU No.
23 tahun 199731.

V.1.b. Pengelolaan B3 dan Pembuangan/Dumping Tailing ke Laut

• Bahwa PT.NMR melakukan dumping tailing yang telah dilakukan sejak tahun 1996
tanpa memiliki izin

• Bahwa terhadap tindakan yang dilakukan oleh PT. NMR yang telah melakukan dumping
tailing sejak 1999 hingga 2004 tanpa memiliki izin adalah melanggar Pasal 20 ayat (1)
UU No. 23 tahun 1997

31
Pasal 43 ayat (2) UU No. 23 tahun 1997 :”Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat(1), barangsiapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau
merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal
mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain”.
Pasal 43 ayat (3) UU No. 23 tahun 1997 :”Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan)
tahun dan denda paling banyak Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah)”.

20
• Bahwa terhadap tindakan yang dilakukan oleh PT. NMR yang telah melakukan dumping
tailing ke laut sejak 1999 hingga 2004 tanpa memiliki izin adalah melanggar Pasal 9 ayat
(1) PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Laut.

• Bahwa Surat yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup No. B-


1456/BAPEDAL/07/2000 bukan merupakan izin.

• Bahwa dengan demikian pembuangan tailing tersebut merupakan perbuatan


pembuangan limbah B3 tanpa izin yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 43 ayat (1) dan pasal 44 ayat (1) UU No.
23 tahun 1997.

• Bahwa terhadap tindakan yang dilakukan oleh PT. NMR yang telah membuang limbah
B3 ke laut sejak 1999 hingga 2004 tanpa memiliki izin adalah melanggar PP No. 19
Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Laut.

• Berdasarkan Evaluasi Laporan Pelaksanaan RKL/RPL yang dilakukan oleh MenLH


limbah B3 PT NMR tidak tereduksi dengan baik (hasil detoksifikasi melebihi baku mutu),
hal ini melanggar Pasal 9 ayat (1) PP No. 18 tahun 1999 Jo. PP No. 85 tahun 1999

• Berdasarkan telaah dokumen tidak ditemukan izin pengolahan limbah B3 sesuai dengan
ketentuan Pasal 40 ayat (1) huruf (a) PP No. 18 tahun 1999 Jo. PP No. 85 tahun 1999

V.2. Klausul Kontrak Karya

• Bahwa berdasarkan bukti surat menyurat yang dilakukan antara MenLH dengan PT.
NMR setelah dikeluarkannya Surat MenLH No. B-1456/BAPEDAL/07/2000 yang
merupakan tanggapan atas surat PT. NMR No. 121/IV/RN/NMR/2000 tanggal 3217 April
2000, dari proses surat-menyurat dapat disimpulkan bahwa Pemerintah, dalam hal ini
MenLH, telah menyatakan keberatannya terhadap rencana dan rancangan yang
dilakukan oleh PT NMR (belum menyetujui rancangan ERA PT NMR). Hal ini dipertegas
dengan surat PT NMR tanggal 16 April 2001 dimana PT NMR menangkap bahwa
BAPEDAL meminta PT NMR mengulang kembali proses ERA. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pemerintah tidak melanggar ketentuan pasal 16 ayat (2) Kontrak
Karya.

V.3. Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan

• Bahwa berdasarkan temuan Tim Teknis Penanganan Pencemaran dan Perusakan Lingkungan
Teluk Buyat Ratatotok Minahasa Selatan yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan
SK Menteri Lingkungan Hidup No. 97 tahun 2004, diperoleh temuan-temuan sebagai berikut:

• Bahwa berdasarkan hasil Evaluasi Laporan Pelaksanaan RKL/RPL yang dilakukan oleh
MenLH, kadar logam berat setelah proses detoksifikasi yang dilakukan oleh PT. NMR
masih berada diatas standar yang ditentukan di dalam surat Menteri LH No. B-
1456/BAPEDAL/07/2000.

32
Dokumen terlampir

21
• Bahwa konsentrasi Arsen, Merkuri, dan Sianida terlarut dalam sedimen teluk Buyat
lebih tinggi bila dibandingkan sedimen teluk Totok dan Titik Kontrol. Arsen total dan
Merkuri total dari semua hasil penelitian menunjukan trend meningkat bila dibandingkan
dengan hasil Amdal 1994. (data laporan tim tekhnis).

• Bahwa dari konsentrasi Arsen dan Merkuri terlihat bahwa sedimen di lokasi penempatan
tailing termasuk polluted sediment, sesuai dengan ASEAN Marine Water Quality
Criteria, 2004.

• Berdasarkan rona awal Amdal diketahui kandungan Arsen tidak terdeteksi pada sumur
penduduk desa Buyat. Dari 6 (enam) contoh air sumur penduduk, kadar Arsen yang
berasal dari 4 (empat) sumur penduduk di desa Buyat diatas baku mutu yang
dipersyaratkan dalam PERMENKES No. 907/MENKES/SK/VII/2002. (lihat laporan tim
teknis)

• Bahwa pada tahun 2000 sampai Desember 2003, air minum yang dikonsumsi oleh
masyarakat pantai Buyat disuplai oleh PT.NMR melalui truk tangki. Dari informasi
diketahui bahwa sumber air minum berasal dari sumur bor desa Ratatotok (WB2, WB7,
dan WB8). Dari data sumur bor yang diambil dari desa Ratatotok menunjukan bahwa air
telah melampaui baku mutu Arsen menurut PERMENKES No.
907/MENKES/SK/VII/2002. (lihat laporan tim teknis)

• Bahwa berdasarkan index keragaman plankton dan bentos ditemukan Indeks diversitas
fitoplankton (I.D Simpson) di daerah penimbunan tailing stasiun A,B,C, E di Teluk Buyat
diperoleh nilai sebesar 0,061 – 0,493, artinya telah mengalami perturbasi (gangguan).
Indeks diversitas pada benthos (I.D Shannon & Wienner) di daerah penimbunan tailing
stasiun A,B,C,D, E di Teluk Buyat diperoleh nilai sebesar 0.683 – 1.099 yang
menyatakan adanya pencemaran berat.

• Indeks diversitas fitoplankton (I.D Simpson) di daerah penimbunan tailing stasiun A,B,C,
E di Teluk Buyat diperoleh nilai sebesar 0,061 – 0,493, artinya telah mengalami
perturbasi (gangguan).

• Bahwa kadar arsen total rata-rata pada ikan (1,37 mg/kg) sudah melampaui baku mutu
kadar total arsen yang ditetapkan oleh Dirjen POM sebesar 1 mg/kg.

• Bahwa asupan Hg harian penduduk dewasa Desa Buyat Pante sebanyak 82,82 % dari
TDI (Tolerable Daily Intake)/60 kg, sedangkan untuk anak-anak berbobot badan 15 kg
adalah 80,98 % dari TDI/15 kg telah mendekati batas TDI (mengacu pada standar US
EPA)

• Dengan konsumsi ikan 0,45 kg per hari telah melampaui standar WHO yaitu 2 mg/kg
dengan makan ikan sebanyak 250 gr/minggu.

• Bahwa dari perhitungan Daily Intake (DI) didapatkan nilai Hazard Index (HI) melebihi 1,
artinya termasuk dalam kategori mempunyai resiko tinggi terhadap kesehatan manusia.
(mengacu pada standar US EPA).

• Bahwa berdasarkan literatur (Morton Lippmann.2000, Environmental Toxicants 2nd Ed,


Human Exposures and Their Health Effects) Arsenic dapat masuk ke dalam tubuh

22
manusia secara umum melalui makanan dan minuman baik dalam bentuk organik
maupun inorganik. Gejala akibat keracunan Arsenic akan mengakibatkan antara lain
hyperkeratosis, epithelima, and several cancer.

• Bahwa dari fakta-fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan
kualitas air sumur gali, air suplai,air sumur bor, sedimen, bentos, plankton,
phitoplankton, dan ikan mendekati dan melebihi baku mutu yang ditetapkan. Kondisi ini
telah menimbulkan dampak terhadap kualitas lingkungan serta kesehatan manusia.

• Bahwa hal tersebut di atas merupakan akibat dari suatu perbuatan perbuatan pidana
yang perlu pembuktian akibatnya. Pembuktian pencemaran dan kerusakan dapat
membandingkan dengan standar dan/atau referensi dan/atau pendapat ahli. Perbuatan
ini diatur dan diancam dalam pasal 41 jo pasal 42 jo pasal 43 UU No. 23 tahun 1997

V.4. Tindak Pidana Korporasi

• Bahwa Undang Undang Np.23 tahun 1997 memberikan pengaturan tentang Tindak
Pidana Korporasi sebagaimana diatur dan diancam dalam ketentuan pasal 46 UU No.23
tahun 1997.

• Bahwa berdasarkan doktrin ilmu pengetahuan dan yurisprudensi yang ada, suatu tindak
pidana dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana korporasi jika memenuhi syarat utama
yakni (a) Power dan (b) Acceptance dan (c) perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka
mencapai tujuan perusahaan;

• Bahwa berdasarkan uraian sebelumnya telah dapat dibuktikan secara nyata bahwa
pembuangan limbah tailing kedalam teluk Buyat adalah merupakan tindakan yang
dirancang, direncanakan sejak dalam studi kelayakan sebagaimana termuat dalam
dokumen AMDAL , dikehendaki, didalam kendali manajemen perusahaan dan dalam
kerangka untuk mencapai kepentingan perusahaan ;

• Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka tindakan yang telah dilakukan
oleh PT. NMR dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 45 jo pasal 46 ayat (1) UU
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan.

23
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1.Tentang AMDAL
Bahwa berdasarkan hasil evaluasi atas RKL/RPL yang telah disampaikan oleh
Kementerian LH sebagaimana tersebut diatas dapat disimpulkan telah terjadi
pelanggaran atas ketentuan RKL/RPL yang secara hukum dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran atas syarat izin dan dapat dipergunakan sebagai dasar bagi
instansi pemberi izin untuk menerapkan sanksi administrasi.

VI.1.1. Thermocline
a. Bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa PT NMR telah
memberikan informasi yang tidak benar mengenai Thermocline.
b. Bahwa penentuan letak Thermocline didasarkan pada asumsi-asumsi modelling
yang tidak valid seperti yang telah disebutkan pada dokumen AMDAL.
c. Bahwa walaupun PT NMR telah mengetahui atau setidaknya patut mengetahui
bahwa penentuan titik Thermocline tidak valid, akan tetapi ternyata PT NMR tidak
memiliki itikad baik untuk melakukan modelling ulang.
d. Bahwa kealpaan tidak validnya penentuan titik Thermocline dan tidak dilakukannya
modelling ulang merupakan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 42 (1) dan ayat (2)
e. Bahwa pemberian informasi yang salah yang kemudian mengakibatkan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dapat dikategorikan sebagai perbuatan
pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 43 ayat (2) dan ayat (3) UU
No. 23 tahun 1997.

VI.2.Pengelolaan Limbah B3 dan Dumping/Pembuangan Tailing ke Laut


a. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa PT NMR telah
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yakni:
• Tidak dilakukannya kewajiban pengelolaan limbah B3 dengan baik sesuai
dengan Pasal 9 ayat (1) PP No. 18 tahun 1999 jo PP No. 85 tahun 1999.
• Berdasarkan telaah dokumen tidak ditemukan adanya izin pengolahan limbah B3
sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (1) huruf (a) PP No. 18 tahun 1999 jo PP No. 85
tahun 1999
• Melakukan dumping ke laut tanpa izin, melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1)
PP No. 19 tahun 1999 dan Pasal 20 ayat (1) UU No. 23 tahun 1997
b. Bahwa dumping/pembuangan tailing yang telah dilakukan merupakan perbuatan
pembuangan limbah B3 tanpa izin yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 43 ayat (1) jo pasal 44 ayat (1) UU No. 23
tahun 1997.

VI.3. Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan


Bahwa terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan merupakan akibat dari
suatu perbuatan perbuatan pidana yang perlu pembuktian akibatnya. Pembuktian
pencemaran dan kerusakan dapat membandingkan dengan standar dan/atau referensi
dan/atau pendapat ahli. Perbuatan ini diatur dan diancam dalam pasal 41 jo pasal 42
UU No. 23 tahun 1997

24
VI.4.Tindak Pidana Korporasi
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka tindakan yang telah dilakukan oleh
PT. NMR dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 45 jo pasal 46 ayat (1) UU No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

25
VI.5. Saran

1. Mengingat adanya pelanggaran delik formil maupun delik materiil perlu ditindak
lanjuti dengan tindakan penegakan hukum pidana sesuai dengan UU No.23 Tahun
1997

2. Menyarankan kepada Pemerintah untuk menerapkan izin Lingkungan terpadu dan


pengintegrasian izin teknis/ sektor dengn izin lingkungan hidup. Upaya ini harus
diikuti dengan pengaturan koordinasi yang tegas antara kedua jenis izin tersebut
ditingkat instansi terkait, termasuk pada kewenangan dan mandat hukumnya33.

3. Dalam kerangka penerapan prinsip kehatia-hatian (Precautionary principle34) maka


menyarankan kepada Pemerintah untuk melarang pemakaian metode
Pembuangan Tailing kelaut (STD/STP). Dan segera melengkapi peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup khususnya
mengenai baku mutu logam berat di sedimen, udara, ikan dan tubuh manusia.

4. Menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan amandemen Dokumen


Penutupan tambang PT NMR untuk memberikan jaminan dilakukannya pemantauan
selama 30 tahun (berdasarkan PP No. 18 tahun 1999 jo PP No. 85 tahun 1999)di
lokasi pertambangan dan buangan limbah PT NMR.

5. Menyarankan kepada Pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya dalam


pengawasan dan pembinaan serta meningkatkan dana pemantauan dan
pengawasan.

6. Disarankan juga kepada Pemerintah untuk mempublikasikan hasil laporan ini


kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat menerima informasi yang benar
tentang kasus ini, juga disarankan agar Pemerintah kepada PT.NMR menarik semua
iklan di semua media cetak dan elektronik yang menyesatkan tentang kondisi
kualitas lingkungan di teluk Buyat.

Penutup

Data yang dimiliki tim teknis penegakan hukum untuk dianalisa masih sangat terbatas.
Beberapa dokumen belum didapat oleh tim teknis diantaranya: dokumen ESDM, data
berkaitan dengan tata ruang (untuk mensinkronkan apakah penempatan tailing mentaati
kaidah tata ruang, yaitu penempatan dan pemanfaatan sesuai dengan fungsi dan
peruntukkannya), dokumentasi surat PT NMR.

Jakarta, 8 November 2004

Tim Tekhnis

Lampiran I

33
Penjelasan penerapan izin lingkungan terpadu lihat pada lampiran
34
Penjelasan penerapan Precautionary Principle lihat pada lampiran

26
SUMBANGSIH UNTUK PERBAIKAN KEDEPAN

1. Penerapan Precautionary Principle (Prinsip Kehati-hatian)

1. Bahwa berdasarkan Deklarasi Rio 1992, telah tercapai kesepakatan global untuk
mengembangkan dan menegakkan hukum lingkungan berdasarkan prinsip
Precautionary Principle (Prinsip Kehati-hatian) sebagaimana termuat dalam prinsip
15 Deklarasi Rio 1992;

2. Bahwa Precautionary Principle (Prinsip Kehati-hatian) disini yang dimaksud adalah


merujuk kepada Prinsip 15 Deklarasi Rio 1992 yaitu “ ..tidak adanya kepastian
ilmiah, tidak adanya atau kurang memadainya informasi ilmiah, tidak boleh
digunakan (sebagai alasan) untuk menunda atau menghambat langkah preventif
yang tepat untuk mencegah kerusakan lingkungan..”

3. Bahwa akibatnya saat Metode pembuangan limbah ini (STD) di terapkan, peraturan
lingkungan hidup di Indonesia tidak mampu mengcover dampak karena belum
mengatur hal tersebut. Belajar dari kasus Buyat, ada kebutuhan mengenai baku
mutu kandungan logam berat pada tubuh manusia, ikan, sedimen dan udara.

4. Bahwa dilain pihak Pembuangan Tailing ke laut adalah Metode yang masih
kontroversial didunia karena dianggap tidak aman. Salah satu forum ilmiah
internasional yang mendiskusikan hal tersebut adalah Konferensi Internasional
Pembuangan Tailing ke laut, tanggal 23 – 30 April 2001 di Manado, Indonesia.

5. Bahwa salah satu kesimpulan penting pada Konferensi yang dihadiri 15 negara ini
adalah bahwa STD merusak ekosistem perairan yang rawan dan mengakibatkan
dampak serius bagi kehidupan sosdial, ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat
pesisir. Perhatian secara khusus terhadap STD juga diberikan oleh Kajian Industri
Ekstraktif Bank Dunia (WB -EIR) yang dilakukan sejak tahun 2002 – 2004. Bagian
184 laporan ini menyatakan :

“Of special concern is the use of submarine tailings disposal (STD) by mining
companies. The debate over the use of this technology is very controversial.
Because of the potential risks of this technology on marine biodiversity, the EIR
suggest that the WBG follows the precautionary principle and refrain from
financing mining projects that propose to use this technology for the time
being. The impacts of STD use need to be scientifically reviewed to understand risks
further. Only when these are satisfactorily understood, and truly informed decisions
can be made, should a decision be made concerning WBG involvement in STD
projects.” (184)

6. Bahwa Metode STD juga sudah dilarang penerapannya dinegara-negara maju


seperti Amerika Serikat, Canada dan Australia. Di Amerika Serikat Secara otomatis
pembuangan tailing ke laut dilarang melalui “Clean Water Act” 1977. Secara
otomatis dilarang melalui “Undang-Undang Perikanan” tahun 1977 yang salah satu
bagiannya menyatakan bahwa ambang batas padatan dalam air adalah 50 mg/liter,
artinya tailing tidak mungkin dibuang ke kewasan perairan

7. Bahwa berdasarkan fakta sebagaimana tersebut diatas, maka dalam kontek


penegakan prinsip Precautionary Principle (Prinsip Kehati-hatian) , indikasi telah

27
terjadinya bahaya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan yang diakibatkan
oleh pembuangan limbah tailing sebagaimana telah diuraikan diatas sudah
merupakan faktas hukum yang lebih dari cukup bagi penegak hukum untuk
melakukan pencegahan bagi terjadinya pencemaran/perusakan lingkungan melalui
perangkat penegakan hukum lingkungan;

8. Bahwa rekomendasi yang terakhir dalam hal ini adalah perlunya Peraturan
pelarangan Pembuangan Tailing kelaut atau Submarine Tailing Disposal (STD)/ STP
di Indonesia.

9. Bahwa penerapan prinsip ini telah diterima dalam praktek hukum di Indonesia yakni
dalam putusan PN Bandung No.49/Pdt.G/2003/PN.BDG dalam kasus tanah longsor
Mandalawangi.

2. Pengembangan Izin Terintegrasi

1. Bahwa perizinan merupakan perangkat penting dalam penegakan hukum. Namun,


apabila rejim perizinan tidak terintegrasi dan terkoordinasi, maka besar kemungkinan
perangkat perizinan sulit berfungsi sebagai alat pengendalian/pengawasan.

2. Bahwa langkah pengintegrasian yang paling strategis adalah mengintegrasikan izin-


izin lingkungan yang ada seperti izin Ordonansi Gangguan (HO), izin pembuangan
limbah cair, izin penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau
penimbunan limbah B3, izin pengangkutan limbah B3, izin pemanfaatan limbah B3,
dan izin dumping.

3. Bahwa pengintegrasian izin-izin yang ada menjadi Izin Lingkungan Terpadu


merupakan langkah penting untuk mencegah ketidakpraktisan dan mempermudah
pengawasan, serta memberikan kepastian hukum tentang institusi yang memiliki
kewenangan dalam pengambilan titik veto dalam proses perizinan.

4. Bahwa pengintegrasian yang kedua adalah pengintegrasian izin teknis/sektor


dengan izin lingkungan hidup, dalam hal ini izin yang dikeluarkan oleh Mentamben
dan MenLH. Izin sektor disarankan berubah fungsinya menjadi persetujuan,
sehingga memberikan peluang bagi izin lingkungan menjadi satu-satunya perangkat
izin sebagai alat pengendalian/pengawasan terhadap regulated community. Apabila
pengintegrasian antara izin teknis dengan izin lingkungan hidup tidak dapat
dilakukan, minimal koordinasi antara kedua izin tersebut perlu secara tegas diatur.

5. Bahwa sistem perizinan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari
sistem pengawasan dan penegakan hukum administrasi. Selama ini pengawasan
pelaksanaan izin tidak menyatu dengan pemberian izin, baik karena tiadanya
keterkaitan antara kewenangan dalam pengawasan pelaksanaan izin dengan
kewenanganan pemberian sanksi atas pelanggaran izin, maupun karena kurangnya
kehendak dari intansi pemebri izin untuk melakukan pengawasan izin dengan alasan
keterbatasan kapasitas tenaga pengawasan izin. Disinilah perlunya pengaturan
koordinasi yang tegas antara kedua jenis izin tersebut, termasuk pada kewenangan
dan mandat hukumnya.

28
3. Amandemen Dokumen Penutupan Tambang

• Bahwa UU No 11 tahun 1967 tentang Pertambangan Umum Pasal 30 disebutkan


Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan,
pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah
sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya
bagi masyarakat sekitarnya

• Bahwa tim tekhnis mendukung sepenuhnya rekomendasi yang diberikan oleh Tim Peer
Review dalam kaitan dengan amandemen terhadap dokumen tutup tambang yang
mewajibkan PT NMR untuk melakukan pemantauan selama 30 tahun terhitung sejak
ditutupnya tambang;
• Bahwa Tim Tekhnis merekomendasikan kepada Penyidik untuk memasukkan kewajiban
pemantauan lingkungan selama 30 tahun sebagaimana tersebut diatas kedalam bagian
dari tindakan tata tertib sebagaimana diatur dan diancam dalam ketentuan pasal 47
Undang-Undang No. 23 tahun 1997;
• Bahwa belum ada aturan Khusus tentang Penutupan tambang, sehingga penting
pemerintah segera menyusun Peraturan mengenai penutupan tambang dengan
melibatkan berbagai pihak dan mempertimbangkan kondisi aktual pada lokasi-lokasi
pertambangan yang sudah tutup dan ditingggalkan.

4. Perbandingan Kajian Peraturan Perundang-undangan di USA :

A. Clean Water Act, 1972

• Section 403 yang juga diatur di peraturan federal sebagai pasal 33 U.S.C. secs.1251
mengatur bahwa:
“Setiap pembuangan limbah dari sumber tertentu ( a point of source) ke perairan AS,
atau lautan yang dilakukan tampa izin adalah illegal”.

CWA menjelaskan ‘any discharge of pollutant’ sebagai ‘any addition of any pollutant
to navigable waters from any point of source, (or) …any addition of any pollutant to
the waters of the contiguous zone or the ocean from any point of source other than
vessel or other floating craft’. Navigable waters dijelaskan sebagai perairan di wilayah
AS termasuk teritorial laut. Sedangkan Ocean didefinisikan sebagai ‘any portion of high
seas beyond the contiguous zone’. (33 U.S.C. sec. 1362 (10).

• Berkaitan dengan sumber asal limbah CWA mendefinisikan point of source sebagai ‘
any discernible, confined and discrete conveyance, including but not limited to any pipe,
ditch, channel, tunnel, conduit, well, discrete fissure, container, rolling stock,
concentration animal feeding operation, or vessel or other floating craft, from which
pollutants are or may be discharged.

• Under CWA section 402, any discharge of a pollutant from a point source (e.g., a
municipal or industrial facility) to the navigable waters of the United States or beyond
must obtain a National Pollutant Discharge Elimination System (NPDES) permit,

29
which requires compliance with technology-and water quality-based treatment
standards.

• Two sections of the CWA deal specifically with discharges to marine and ocean waters.
Under CWA section 403, any discharge to the territorial seas or beyond also must
comply with the Ocean Discharge Criteria established under CWA section 403. These
criteria specifically address impacts for such discharge on marine resources. The
NPDES program is administered by the United State Environmental Protection Agency
(EPA) and Authorized States, tribes, and territories. Under Section 403 (a), EPA or an
authorized Stated may not issued a permit for a discharge into ocean waters
unless the discharge complies with the guidelines

• An NPDES permit allows a facility to discharge a specific amount of a pollutant into a


receiving water body under certain conditions.

• CWA section 301 (h), added to the CWA in 1977, provide for a publicly owned treatment
works (POTWs) that discharge to marine waters to apply for a waiver of the Act’s
secondary treatment requirements, provided they can show compliance with stringent
criteria intended to assure their discharge will not adversely affect the marine
environment

B. Alien Tort Claims Act

Hukum Federal Amerika memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menangani kasus
tertentu. Menurut Alien Tort Claims Act (ATCA), artikel 28 U.C.S. sec. 135035, Kongres AS
memberikan kewenangan kepada pengadilan federal untuk menyidangkan “setiap gugatan
yang dilakukan oleh orang asing (alien) khusus Kerugian (tort) yang dilakukan yang
bertentangan dengan hukum internasional dan Perjanjian di Amerika”. Jadi setiap orang (tidak
harus warga Negara Amerika) bila telah mengalami kerugian (tort) yang bertentangan dengan
hukum internasional dan perjanjian di AS, maka ia mempunyai hak untuk mengajukan gugatan
di pengadilan federal AS. UU ini memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia di
dalam pengadilan AS. Dampak terhadap kesehatan yang secara langsung menimbulkan
ancaman terhadap keselamatan jiwa manusia (the right to life) yang ditimbulkan akibat kegiatan
tailing dapat dijadikan dasar diajukannya gugatan ini. UU ini telah dipakai dalam kasus Unocal
di Birma.

C. Foreign Corrupt Practices Act

Secara umum Foreign Corrupt Practices Act melarang perusahaan Amerika untuk melakukan
pembayaran yang tidak resmi (corrupt payment) kepada petugas dari luar negeri untuk
kepentingan melakukan dan menjaga bisnisnya. UU ini juga melarang pembayaran yang tidak
resmi (corrupt payment) melalui intermediary (pihak ketiga) dimana diketahui bahwa sejumlah
atau sebagian dana akan secara langsung maupun tidak langsung akan diterima oleh pejabat di
tempat bisnis dilaksanakan. Sanksi yang diberikan dapat berupa sanksi pidana, perdata,
tindakan pemerintah lainnya berupa larangan melakukan kegiatan bisnis dengan pemerintah.
Sanksi lain juga berupa gugatan yang dilakukan oleh pihak lain karena merasa dirugikan akibat
tindakan tersebut. (private cause of action). Kementerian Kehakiman AS saat ini sedang

35
Aliens Tort Claim Act (ATCA), pasal 28, “The district court shall have original jurisdiction of any civil action by
an alien for a tort only, committed in violation of the law of the nations or a treaty of the United states.”

30
melakukan investigasi terhadap tindakan korupsi yang dilakukan oleh perusahaan Amerika
yang melakukan kegiatan tambang di Peru.

Jakarta, 8 November 2004

Tim Tekhnis

31

You might also like