You are on page 1of 19

c c


 
cc     


Tujuan yang ingin dicapai bab ini, pertama ingin menunjukkan bahwa teori
hukum itu tidak tunggal dan tidak hanya terwakili oleh teori hukum murni seperti dianut
kuat dalam pendidikan hukum dewasa ini, kedua kita dapat memetik manfaat dari teori-
teori tersebut dalam melakukan refleksi terhadap hukum sebagai lembaga manusia,
ketiga membantu proses pembentukan cara berpikir konseptual dan metodis. Teori
hukum yang muncul dari abad ke abad dan dari generasi ke generasi, tidak hanya
memperlihatkan warna kosmologi dan semangat zamannya, tetapi juga memunculkan
pergeseran cara pandang sesuai dengan peralihan zaman. Teori hukum, tumbuh dalam
tradisi barat dan berpengaruh besar pada pandangan modern mengenai hukum. Teori
hukum mencerminkan warna kosmologi dan semangat zamannya.



Teori hukum pada zaman ini diwarnai cakrawala religiusitas, baik yang
bersumber pada mitis maupun yang bersumber pada religi Y . Alam sepenuhnya
dikuasai oleh kekuatan mitis, dan hidup manusia sepenuhnya tergantung pada nasib.
Kosmologi serba mitis berganti kosmologi religi Y , yang merujuk pada
pencerahan  dan  yang merujuk pada penataan tertib
  secara
rasional. Karena
  merupakan wujud , maka dalam
  dimungkinkan
tercipta keteraturan atau hokum.  merupakan akal dewa-dewi yang mencerahkan
dan menuntun manusia pada pengenalan akan yang ³benar´, ³baik´ dan ³patut´.


 !
Teori para filsuf Ionia tentang hukum mencerminkan kosmologi di atas. Pertama,
hukum merupakan tatanan yang dikuasai logika kekuatan, karena memang berasal dan
diperuntukkan bagi manusi-manusia yang siap bersaing dalam kancah kekejaman dan
nasib. Kedua, tidak ada perbedaan antara aturan alam dan aturan buatan manusia.
Hukum kodrat yeng paling operasional dalam alam adalah ³hukum survival´. Untuk filsuf
Ionia, hukum tidak lebih dan tidak kurang adalah persoalan mengenai bagaimana
manusia bisa ada, dan tetap ada (survive). Hukum adalah ³rumus-rumus´untuk tetap
survive. Apa yang ditampilkan dalam filsuf Ionia itu adalah teori yang mencerminkan
strategi tertib hidup dari manusia-manusia yang langsung berhubungan dengan daya-
daya alam yang serba rahasia, suatu dunia yang diwarnai ketegangan antara manusia
dan daya kekuatan alam. Jadi, teori filsuf Ionia mengenai hukum sebagai kekuatan,
benar-benar merupakan ³tertib hidup´dari manusia zaman itu yang memilih adaptasi
terhadap alam.
Disinilah hukum survive berlaku, yakni ada atau lenyap. Terjadilah seleksi alam.
Siapa kuat dan cerdik, ia survive. Dan siapa yang mampu survive, ia berkesempatan
menjadi sumber hukum. Logislah, bila dalam konteks ini hukum menjadi ³rumus-rumus´
orang kuat untuk tetap survive. Ya, hukum menjadi tatanan kekuatan (orang kuat) untuk
tetap survive. Tesis filsuf Ionia mengenai survive sebagai intisari ³aturan alam´ juga
mendapat apresiasi yang amat tinggi etikawati abad ke-20, Ayn Rand. Semua
filsafatnya adalah : ³Egoisme yang tidak malu-malu´. Terhadap nasib dan kepentingan
sesama, prinsipnya angkat bahu. Anda bebas, saya bebas. Siapa cerdik dan pandai,
dia menang. Bagi Rand, apa yang ada (what is), itulah yang menentukan apa yang
seharusnya (what ought). Mengorbankan diri sendiri adalah tindakan yang tidak etis.
Mengorbankan diri sendiri berarti menjadikan diri sendiri sebagai alat belaka demi nilai
lain yang tidak rasional.
Rand mengagungkan tiga nilai yang dianggap paling utama. Nilai pertama
adalah akal, sebab akal dianggap sebagai satu-satunya alat terbaik yang dimiliki
manusia untuk ada dan survive. Nilai yang kedua adalah tujuan yang jelas dan
gamblang yaitu untuk ada dan survive. Dan yang ketiga adalah harga diri atau rasa
percaya diri, yaitu keyakinan dan kepastian pada diri sendiri bahwa saya mampu untuk
berfikir dan pantas untuk tetap hidup.
Ada sisi positif dari cara berpikir mereka pertama pentingnya pemahaman yang
komrehensif tentang manusia yang justru menjadi titik tolak teorisasi tentang hukum,
kedua teorisasi tentang hukum tidak lepas dari konsepsi kita tentang manusia.
Konsepsi tentang ontologi manusia akan menentukan tanggapan kita tentang hukum,
ketiga dari cara analisis filsuf Ionia kita berkesempatan mengkaji hukum dalam konteks
yang lebih luas, tidak hanya bertumpu pada rumusan-rumusan hitam-putih aturan,
apalagi hanya sibuk mengecek legal-tidak legalnya sebuah aturan, dan keempat,
konteks dunia dan manusia mitis dalam teori para filsuf Ionia, bisa menggugah kita
untuk melaksanakan semacam studi perbandingan dengan konteks masyarakat
tradisional yang terdapat dibelahan dunia dewasa ini, kelima pada tingkat lebih praktis
dari kerangka analisis teori kekuatan itu, kita memperoleh pesan kuat bahwa untuk
membangun kehidupan yang adil dan damai dibutuhkan adanya tatanan nilai sebagai
bingkai kehidupan.
"# #

!
Dengan berlatar belakang konsepsi religi   tentang manusia, barisan filsuf
ini tidak lagi memandang kekuatan setelanjang barisan filsuf Ionia. Dunia materi bukan
lagi segala-galanya ada unsur yang lebih utama, yakni manusia yang memiliki logos.
Teori kaum sofis menunjukkan hukum bukanlah unit yang tertutup lepas dari sistem
sosial yang lebih besar. Teori kaum sofis, ³Hukum merupakan aturan yang
mencerahkan´, tidak bisa dimengerti dengan baik tanpa dengan baik tanpa dikaitkan
dengan religi olympus Yunani yang memunculkan ide-ide tentang logos, nomos serta
polis. Teori kaum sofis memberi pesan yang cukup jelas, hukum yang baik
membutuhkan basis idealisme sebagai rujukan bagi muatan dan sisanya. Bagi kaum
sofis, idealisme itu adalah logos.
"#"$
%
Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan
kehidupan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum
bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat, bukan pula
aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri. Hukum sejatinya adalah tatanan objektif
untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum. Kontrak sosial yang dimaksud Socrates
adalah kesediaan menjadi warga polis. Polis merupakan lembaga logos, atau yang
lebih tepat sebagai wujud logos, karena logos merupakan representasi dewa-dewi yang
mencerahkanan sekaligus memberi petunjuk tentang jalan hidup yang baik, maka
setiap orang yang menjadi warga polis (sebagai lembaga logos) terbeban secara moral
untuk tunduk pada polis.
Eudaimonia (kesempurnaan jiwa) menjadi inti filsafat kebijaksanaan Socrates,
yaitu pertama peningkatan jiwa, kepedulian terhadap kebijaksanaaan dan kebenaran
merupakan keutamaan tertinggi, dan kedua filsafat adalah kebajikan. Kebajikan adalah
pengetahuan. Bagi Socrates karena kabajikan adalah pengetahuan dan untuk
mengetahui kebajikan adalah dengan melakukannya, maka kekeliruan hanya datang
dari kegagalan untuk mengetahui apa yang baik. Teori Socrates menampilkan teori
³teori hidup´ yang lain lagi. ³Jalan kebijaksanaan´ dijadikan tatanan tertib hidup
manusia. Ada tiga alas an yang dapat dikemukakan, yaitu pertama Socrates memberi
tempat yang utama pada kehadiran manusia sebagai oknum moral, kedua Socrates
ingin melepaskan diri sekaligus menghentikan pengaruh dua generasi filsuf
sebelumnya, ketiga Socrates hendak melembagakan pedoman moral objektif dalam
hidup bersama seturut keturunan logos.
"#
&
'
Plato mengaitkan kebijaksanaan dengan tipe ideal negara polis dibawah
pimpinan kaum aristokrat. Dasar perbedaan tersebut terletak pada perbedaan asumsi
tentang peluang kesempurnaan pada manusia. Menurut Palto, pengungkapan kebaikan
hanya diterima oleh kaum aristokrat. Secara lebih riil, Plato merumuskan teorinya
tentang hukum, yaitu (i) hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia
fenomena yang penuh situasi ketidakadilan, (ii) aturan-aturan hukum harus dihimpun
dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum, (iii) setiap UU harus didahului
preambule tentang motif dan tujuan UU tersebut, dan (iv) tugas hukum adalah
membimbing para warga (lewat UU) pada suatu prinsip yang saleh dan sempurna,
serta (v) orang yang melanggar UU harus dihukum.
Tesis Plato tentang kaum arif bijaksana yang dapat diandalkan sebagai mitra
bestari dalam menghadirkan keadilan, mungkin menjadinpeluang eksplanasi yang
menarik bagi kajian hukum. Teori Plato seolah memberi himbauan pada penstudi agar
faktor manusia (aparat hukum) menjadi bagian integral dalam studi hukum. Eksplanasi
teoritis yang dijadikan hasil kajian dariu faktor aparat itu tidak hanya bermanfaat secara
praktis dalam rangka penegakan hukum, tetapi juga memberi bobot ilmiah pada kajian
hukum.
(
 
Aristoteles mengaitkan teorinya tentang hukum dengan perasaan sosial-etis.
Perasaan sosial-etis terdapat dalam konteks individu sebagai warga negara ( ). Inti
manusia moral yang rasional, menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran
sebagai keutamaan hidup. Akal memiliki dua fungsi, yakni fungsi teoritis dan fungsi
praktis. Moral menurut Aristoteles memandu manusia untuk memilih jalan tengah antara
dua ekstrim yang berlawanan termasuk dalam menentukan keadilan.
Singkatnya, keadilan kolektif bertugas membangun kembali kesetaraan.
Keadilan kolektif merupakan standar umum untuk memperbaiki setiap akibat dari
perbuatan, tanpa memandang siapa pelakunya. Selain mengandalkan aturan, untuk
meraih keadilan perlu cara yang lebih bijak, yaitu rasio praktis. Aturan hukum tetap
pentig, tapi bukan ukuran terakhir. Masalah penerapan hukum sangat kompleks
melibatkan akal, rasa dan moral, tidak sekedar menegakkan aturan-aturan.
&
)#&*&
)%
Bagi Epicurus bahwa manusia pada dasarnya individualistis. Cara berfikir
Epicurus ini harus dipahami etika Epicuranisme-nya. Bagi Epicuranisme, tujuan
kehidupan adalah kebahagiaan. Dari Epicuranisme itulah Epicuruis membangun
teorinya tentang hukum. Hukum menurut Epicurus, mesti dipandang sebagai tatanan
untuk melindungi kepentingan-kepentingan perorangan.
Dalam tipe yang menekankan faktor komunal, maka kelompok adalah segala-
galanya. Sementara dalam tipe yang menempat faktor kelompok dan individu sama
penting, menampilkan warna yang berbeda. Sedangkan tipe terakhir (yang tidak
menekankan baik faktor kelompok maupun faktor individu), kita bisa temukan dalam
kelompok-kelompok hippie. Nilai-nilai yang terpenting dalam tipe ini adalah :
kesungguhan, otensitas pribadi dan kejujuran pada diri sendiri. Perteori, struktur suatu
masyarakat menentukan prioritas nilai-nilai yang dianut warganya. Orientasi nilai
seseorang ditentukan oleh tipe masyarakat dimanapun ia hidup.

+ "&'#,
Abad pertengahan merupakan suatu era dimana pemikiran serba Ilahiah yang
begitu dominan. Rezim Ilahi dilibatkan (secara langsung) dalam pengelolaan dunia.
Tuhan dengan sekalian kehendak dan firman-Nya, menuntun hidup manusia pada
pengenalan akan Alkhalik yang menjadi sumber hidup serentak sumber hukum.
&) 
 #
Teorinya St. Agustinus mengenai hukum yaitu ia melihat tatanan hukum sebagai
sesuatu yang didominasi oleh tujuan perdamaian serta adanya pemilahan, pemilahan
tersebut ternyata membawa dampak dalam pembentukan hukum, yaitu (i) hukum yang
mengatur soal keduniawian (kenegaraan), (ii) hukum yang mengatur soal keagamaan
(kerohanian). Sebagai tokoh agama, Agustinus menempatkan hukum Ilahi (   )
sebagai ciri dari hukum positif. Jika hukum positif (    ) melanggar aturan
Ilahi itu, maka ia akan kehilangan kualitas hukumnya.
Sumbangan Agustinus pada ekspansi dibidang hukum, yaitu pertama lewat
konsep ³pengenalan akan Tuhan´ sebagai prasyarat keadilan, Agustinus secara implisit
memberi sinyal betapa penting peran etis iman terhadap berseminya keadilan dalam
hukum, dan kedua dengan inspirasi teori Agustinus kita dapat melakukan kajian secara
empiris tentang banyak hal, dan ketiga konsep Agustinus tentang    dan  
  yang dapat berfungsi mengkondisikan lahirnya kedamaian dan keadilan, seolah
mengingatkan kita tentang pentingnya modal sosial dalam kehidupan hukum.
c#,
, -
Thomas Aquinas mendasarkan teorinya tentang hukum dalam konteks moral
agama Kristen. Hukum diperlukan untuk menegakkan moral di dunia. Menurut
konfigurasi tata hukum dimulai dari: (i)     : hukum dan kehendak Tuhan, (ii)
   : prinsip umum hukum alam, (iii).     : hukum Tuhan yang dalam
Kitab Suci, (iv).   : hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam.
Hukum pada dasarnya merupakan cerminan tatanan Ilahi. Legislasi hanya memiliki
fungsi untuk mengklarifikasi dan menjelaskan tatanan Ilahi itu. Dalam ajaran
Aquinas, akal berada diatas kehendak, baginya, akal itu mencerahkan, sedangkan
kehendak cenderung naruliah. Tentang keadilan, Aquinas membedakan tiga kategori:
(I)       (keadilan distributif), (ii)      (keadilan komunikatif
atau tukar meukar), (iii)       (keadilan hukum). Menaati hukum menurut
Aquinas bermakna sama dengan bersikap baik dalam segala hal. Jadi perilaku hukum
pararel dengan perilaku moral. Lewat doktrinnya tentang hukum alam, Aquinas
memperingatkan bahwa cara yang demikian justru dapat mereduksi hakikat hukum itu
sendiri. Dengan berpegang pada prinsip diatas, aparat penegak hukum berpeluang
melakukan penegakan hukum secara progresif.

%
Teori hukum zaman modern menempatkan ³manusia duniawi´ yang otonom
sebagai titik tolak teori. Hukum tidak lagi terutama dilihat dalam bayang-bayang alam
dan agama, tetapi sebagai tatanan manusia yang berkaitan dengan pengalamanya
sebagai manusia duniawi.
','#c&
.c&
Bagi Bodin, kekuasaan raja dalah kekuasaan tertinggi atas warga dan rakyat.
Raja sendiri tidak terikat oleh hukum, sebab jika raja berada dibawah hukum maka itu
berarti menghancurkan makna dasar kedaulatan. Bodin dikenal sebagai penganut
doktrin kedaulatan negara. Bagi Bodin, hukum adalah penjelmaan kehendak negara.
Bodin tidak tampak sebagai penganut otoritarianisme. Realisasi hukum menurut Bodin
bisa terjadi didalam maupun diluar pengadilan.


,""
Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu.
Hobbes juga melihat hukum alam sebagai tatanan perilaku yang terdiri dari aturan-
aturan bijak. Bagi Hobbes, kekuasaan tidak kurang dari sarana yang ada sekarang
untuk mendapat kebaikan yang nyata dikemudian hari. Hobbes merumuskan kualifikasi
mutu yang harus dimiliki oleh hakim yaitu: pertama harus memiliki pemahaman yang
benar mengenai hukum alam sebagai keadilan, kedua tidak mengejar kekayaan, ketiga
dalam menjatuhkan vonis, harus mampu mebebaskan diri dari segala ketakutan,
kemarahan, kebencian dan hasrat, dan keempat harus memiliki kesabaran untuk
mendengarkan, harus tekun dalam mendengarkan dan harus memiliki ingatan yang
kuat, menggali dan menerapkan apa yang telah ia dengar dan saksikan.

&
#
Bagi Grotius hukum sangat dibutuhkan agar setiap orang dapat kembali kepada
kodratnya sebagai ³manusia sosial´ yang berbudi. Prinsip-prinsip agar ³individu sosial´
yang berbudi agar tetap tegak: (1) milik orang lain harus dihormati, (2) kesetiaan pada
janji, dan (3) harus ada ganti rugi untuk tiap kerugian yang diderita, serta (4) harus ada
hukuman bagi setiap pelanggaran. Keempat prinsip tersebut merupakan inti hukum
alam versi Grotius.

/ !
#
Kosmologi era Aufklarung diwarnai ³kekuasaan´ akal atau rasio manusia.
Menurut era ini manusia adalah individu yang rasional, bebas dan otonom. Disini
muncul teori tentang hukum sebagai tatanan perlindungan hak-hak dasar manusia.
'&#
&
., %
Bagi Locke adalah orang-orang yang tertib dan menghargai kebebasan, hak
hidup, dan kepemilikan harta sebagai hak bawaan sebagai manusia. Menurut Locke
rakyat sendirilah yang harus menjadi pembuat hukum, lewat lembaga legislatif, rakyat
berhak menentukan warna dan isi sebuah aturan, hak rakyat menyusun undang-
undang bersifat primer, asli dan tidak bisa dicabut. Locke menempatkan kekuasaan
legislasi sebagai inti dalam kehidupan politik. Menurut Locke kekuasaan pengadilan
maupun hukum kebiasaan harus berada di bawah kekuasaan legislasi. Kekuasaan
yang harus dihormati oleh badan legislasi adalah hukum alam dan nalar, karena hukum
alam dan nalar itu merupakan landasan cita hukum untuk membuat aturan hukum
positif. Terjadi adanya pergeseran cara pandang tentang hak-hak dasar, hak-hak
tersebut tidak lagi dilihat hanya sebagai kewajiban yang harus dihormati oleh penguasa,
tetapi juga dipandang sebagai hak yang mutlak dimiliki rakyat.
'& '


Menurut Kant tiap-tiap individu cenderung memperjuangkan kemerdekaan yang
dimilikinya. Karena hukum harus berpedoman pada dua prinsip kategoris dimaksud,
maka Kant memasukkan hukum dalam bidang ³akal praktis´. Hukum merupakan bidang
sollen, bukan bidang sein. Akal murni merupakan media untuk melihat ³yang ada´ (sein)
yakni alam, fakta dan semua yang dapat direkam oleh indera. Sedangkan akal praktis
merupakan media untuk menangkap bidang ³harus´ (sollen), yakni norma-norma.
Aturan hukum sebagai norma hukum positif, bukanlah bidang keharusan yang otonom.
Ia merupakan lembaga keharusan yang heteronom.

,
01!!
Teori dari Cristian Wolff bahwa hukum alam, seperti juga hukum lainnya berbasis
kewajiban. Menurut Wolff ada tiga eselon norma yang menjadi pedoman norma hokum,
yaitu pertama norma ³tingkat rendah´ (mengatur hubungan manusia dengan benda).
Prinsip dasar dalam norma ini adalah : Jangan merugikan orang lain (   
   ), kedua norma ³tingkat menengah´ (mengatur hubungan antar-orang). Prinsip
utama disini ialah Berikan setiap orang menurut haknya (      ), dan
ketiga norma ³tingkat tinggi´ (mengatur hubungan manusia dengan Tuhan). Disini
berlaku hak dan kewajiban orang untuk berbakti kepada Tuhan (ius pictatis atau ius
internum). Prinsip dasar dalam bidang ini ialah bertingkah laku secara luhur dan
terhormat (     ).
& ## 
 -
Montesquieu berusaha menemukan apa sebabnya suatu negara memiliki
seperangkat hukum atau struktur sosial dan publik tertentu. Menurutnya, ada dua faktor
utama yang membentuk watak suatu masyarakat, yaitu (1) faktor fisik (iklim yang
menghasilkan akibat-akibat fisiologi mental tertentu), dan (2) faktor moral, menurut
Montesquieu seorang legislator yang baik, bisa membatasi pengaruh faktor fisik sekecil
mungkin dan bahkan bisa membatasi akibat-akibat karena iklim tertentu. Menurut
Montesquieu, faktor iklim dan lingkungan tidak saja berpengaruh pada watak manusia,
tetapi juga pada sifat dan bentuk kegiatan, cara hidup bermasyarakat, dan lembaga-
lembaga sosial. Montesquieu juga menghubungkan kondisi daratan dengan bentuk
pemerintahan. Daratan yang luas cenderung menghasilkan pemerintahan yang
despotik, sementara penduduk yang berada di daerah kepulauan, lebih menginginkan
kebebasan dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di daerah daratan.
Menurut Montesquieu perdamaian merupakan hukum kodrat yang pertama,
sedangkan hukum kodrat yang kedua adalah mencari nafkah. Teori Montesquieu
tentang hukum adalah soal jenis-jenis hukum. Menurutnya, manusia mempunyai
hukumnya sendiri, pertama hukum alam yang jelas tidak dapat diubah dan
dipertentangkan, kedua hukum agama yang berasal dari Tuhan, dan yang ketiga
hukum moral dari ahli filsafat dimana hukum ini dapat dibuat dan diubah, serta keempat
hukum politik dan sipil, hukum (hak-hak) politik berkaitan dengan struktur konstitusional,
hubungan dari yang memerintah dengan yang diperintah, dan gabungan dari kekuatan,
keunggulan, dan kekuasaan, sedangkan hukum (hak) sipil merupakan hubungan
keinginan-keinginan individu. Menurut Montesquieu kekuasaan negara tidak boleh
tersentralisasi dan dimonopoli oleh seorang penguasa atau lembaga politik tertentu,
kekuasaan negara perlu dibagi-bagi (pemisahan kekuasaan negara) yang dikenal
dengan sebutan  
  , pada dasarnya  
   adalah pengawasan
(     ) dari suatu cabang pada cabang yang lain. Perwujudan dari
konsep Trias Politica Montesquieu adalah pembagian kekuasaan negara ke dalam
fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

,& 

Rousseau melihat keberadaan sejati manusia sebagai oknum yang memiliki
otonomi etis. Menurut Rousseau suatu norma hukum memiliki nilai kewajiban dan
absah mengikat, bukan melulu karena diciptakan dengan partisipasi bebas dari
manusia yang tunduk padanya.

&, ##))
 *&
Menurut Hume manusia tidaklah ditentukan oleh hasrat, bukan oleh rasio.
Menurut Hume, segala sesuatu yang memberi kebahagiaan bagi masyarakat, akan
dengan sendirinya disambut dengan aprobasi (penerimaan baik). Jadi dapat
disimpulak, hukum bagi Hume merupakan alat pencapaian cita-cita social. Cara yang
dimaksud Hume adalah melalui prinsip-prinsip hukum alam, yakni keterjaminan
kepemilikan, tidak menguasai barang secara berlebihan, perolehannya harus dilakukan
secara halal, pemindahannya harus berdasarkan kesepakatan dan berusaha setia pada
janji.
'2#
",#
.2c,
Menurut Bentham yang cocok digunakan untuk kepentingan individu adalah apa
yang cenderung untuk memperbanyak kebahagiaan. Dengan kata lain, hukum harus
berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Bagi Bentham ilmu hukum merupakan
ilmu perilaku, meski demikian Bentham menolak asumsi tentang kebajikan dan
kemanusiaan yang dimotivasi oleh simpati. Menurut Bentham tiap manusia sibuk
dengan kepentingannya sendiri. Hukum haruslah mampu menyokong penghidupan
materi yang cukup pada tiap individu, mendorong persamaan, memelihara keamanan,
dan meraih hak milik. Doktrin Bentham tentang manusia sebenarnya sudah kita
temukan pada pemikiran Hume sebelumnya bahwa tindakan manusia terkait dengan
hasrat.
Pertentangan antara kepentingan sendiri dengan kepentingan bersama,
dilakukan Mill dengan mengadu domba naluri intelektual dan naluri non-intelektual
dalam diri manusia. Oleh karena itu, hukum sebagai salah satu unsur susunan dasar
masyarakat, harus berdasarkan sedemikian rupa berdasarkan dua prinsip. Pertama,
menetapkan kebebasan yang sama bagi setiap orang untuk mendapat akses pada
kekayaan, pendapatan, makanan dan kebebasan. Kedua, prinsip perbedaan dan
prinsip persamaan atau kesempatan. Menurut Rawls, prinsip yang pertama harus
berlaku terlebih dahulu sebelum prinsip yang kedua.

3 "&(4
Situasi zaman abad ke-19 ditandai oleh beberapa kecenderungan utama, yaitu
terjadinya revolusi sosial ekonomi, terutama akibat revolui industry dan munculnya
penolakan terhadap rasionalisme universal abad sebelumnya yang dianggap
cenderung mengabaikan ciri khas suatu masyarakat atau bangsa. Ketiga, hampir
bersamaan dengan historisme, muncul pada pemikiran evolusionisme yang berusaha
melacak perkembangan kebudayaan manusia dari tradisional ke modern.

)##c)2

 5
Menurut Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu.
Faktanya hukum melayani kepentingan ³orang berpunya´. Karl Marx berupaya
menganalisis proses-proses ekonomi dalam intern kapitalis sebagai kompleks krisis
yang akan menghancurkan sistem kapitalis itu sendiri yang kemudian akan melahirkan
masyarakat sosialis. Menurut Marx, sejarah manusia merupakan sejarah dari
pertentangan kelas. Dizaman feodal, terjadi pertentangan antara kelas bangsawan
dengan kelas petani. Dizaman perbudakan, muncul pertentangan antara pemilik budak
dengan budaknya. Sedangkan dizaman kapitalisme, kelas pemilik modal melawan
buruhnya. Pertentangan kelas itu baru berhenti pada saat terciptanya masyarakat
komunis, dimana kelas buruh berkuasa. Semua orang adalah buruh sekaligus majikan.
Hasilnya, tidak ada pertentangan kelas di masyarakat.
.62
*#2
Menurut Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau
karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari   . Oleh karena itu
³hukum adat´ yang tumbuh dan berkembang dalam rahim   , harus dipandang
sebagai hukum kehidupan yang sejati. Dalam tesis Savigny, hukum itu sejak awal
sejarah melekat ciri nasional. Seperti halnya bahasa, adat istiadat dan konstitusi, ia
khas bagi rakyat. Fenomena hukum tidak berdiri sendiri ia disatukan dalam watak
rakyat berkat adanya kesatuan pendirian dari rakyat itu sendiri. Roh dari hukum itu
adalah   .
Teori Savigny ini dapat dilihat sebagai serangan terhadap dua kekuatan yang
berkuasa pada zaman itu, yakni: (i) rasionalisme dari abad ke-18 dengan
kepercayaannya pada kekuasaan dan akal dan prinsip-prinsip absolut yang universal
yang membuahkan teori-teori hukum nasionalistik tanpa memandang fakta historis
lokal, ciri khas nasional, serta kondisi-kondisi sosial setempat, (ii) kepercayaan dan
semangat revolusi prancis yang cenderung anti tradisi, serta telampau mengandalkan
kekuatan akal dan kehendak manusia dalam mengkonstruksi gejala-gejala hidup di
bawah pesan-pesan kosmopolitannya.
 #
)#
.,#
Menurut Jhering negara, masyarakat, maupun individu memiliki tujuan yang
sama, yakni memburu manfaat, dalam memburu manfaat itu seorang individu
menempatkan ³cinta diri´ sebagai batu penjuru. Bagi Jhering hukum harus berfungsi
ganda, di satu sisi bertugas menjamin kebebasan individu untuk meraih tujuan dirinya,
yakni mengejar kemanfaatan dan menghindari kerugian, di pihak lain hukum memikul
tugas untuk mengorganisir tujuan dan kepentingan individu agar terkait serasi dengan
kepentingan orang lain. Jhering menempatkan perdagangan, masyarakat, dan negara
sebagai instansi penyatu kepentingan yang dapat diandalkan membawa keadilan dan
kedamaian. Tekanan Jhering pada kepentingan sebagai sesuatu yang menentukan
dalam hukum, khususnya kepentingan masyarakat menghantarkan pada
Interessenjurisprudenz, kepentingan masyarakatlah yang menjadi inti hukum. Menurut
Jhering ada empat kepentingan, baik yang bersifat egoistis (pahala dan manfaat)
maupun yang bersifat moral (kewajiban dan cinta), dan hukum bertugas menata secara
imbang dan serasi antar kepentingan-kepentingan tersebut. Jhering menyimpulkan
bahwa ahli hukum yang terpuji bukanlah mereka yang pintar dalam teknik hukum, tetapi
yang dianggap ahli hukum sejati adalah mereka yang mengerti dan memahami apa
yang merupakan kepentingan masyarakat.
'& &)
2 
Maine, dalam teorinya ›   !   " Teori evolusi ini
dihasilhan dari studi perbandingan yang dilakuakannya pada masyarakat Asia.
Darisana, ia temukan dua tipe masyarakat, yakni: (i) # #   (Cina dan India), (ii)

    #   (Eropa). Dalam masyarakat yang statis, hukum bertugas


meneguhkan hubungan antar status. Sebaliknya, pada mayarakat yang progresif,
hukum berfungsi sebagai media kontrak antar prestasi. Teori Maine tidak terlepas dari
telaah studi perbandingan mengenai perkembangan sistem hukum yang bervariasi di
berbagai belahan dunia.
 
 ,
Durkheim menempatkan hukum sebagai moral social. Menurut Durkheim hukum
sebagai unit yang empiris dari solidaritas sosial, dalam ekspresi solidaritas sosial yang
berkembang dalam suatu masyarakat, hukum adalah cerminan solidaritas. Bagi
Durkheim sistem pembagian kerja dalam suatu masyarakat menentukan tipe solidaritas
sosial yang terbangun dalam masyarakat tersebut, dalam masyarakat yang belum
mengenal pembagian kerja yang beragam, maka terbangun solidaritas yang mekanis,
sedangkan dalam masyarakat yang telah mengenal diferensiasi kerja cenderung
melahirkan solidaritas yang organis.

 
Bagi Austin, tata hukum itu nyata dan berlaku bukan karena mempunyai dasar
dalam kehidupan sosial, bukan pula karena cermin keadilan dan , tetapi karena
hukum itu mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang. John Austin
sebagai          $nya, menjadi penganut utama aturan positivisme
yuridis. Austin bertolak pada kenyataan bahwa terdapat suatu kekuaaan yang
memberikan perintah-perintah, dan ada orang yang pada umumnya menaati perintah-
perintah tersebut. Untuk dapat disebut hukum, kata Austin harus memiliki unsur-unsur:
(1) adanya seorang penguasa (   ), (2) suatu perintah (), (3)
kewajiban untuk menaati (), dan (4) sanksi bagi mereka yang tidak taat (# ).
Austin menggantikan ideal keadilan yang secara tradisional dipandang sebagai pokok
utama segala hukum dengan perintah seorang yang berkuasa. Aturan yang tidak
mengandung keutamaan, tidak layak disebut hukum. Ia lebih tepat dipaksa disebut
paksa yang dilegalkan.
&  '!
c#
Menurut Bierling hukum itu, ide umum tata hukum positif itulah inti dari teori dari
ajaran hukum. Ajaran hukum umum mencari ide-ide hukum yang berlaku dimana-mana
karenanya dianggap universal dan tetap. Tapi ide-ide itu bukan diambil dari isi atau
materi hukum positif, tetapi dari aspek formal yuridisnya. Alasannya sederhana. Materi
hukum selain cenderung tidak tetap dan berubah-ubah juga karena ia berasal dari
sumber-sumber non yuridis.

* "&
(+7
Meluasnya struktur-struktur sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang
meminggirkan dan menindas kelompok-kelompok periferi, dan kuatnya peran negara
dan hukum (negara hukum) dalam segala aspek kehidupan sosial.
 (

 !! 8
Ciri khas pemikir Neo-Kantian adalah, mencari suatu pengertian transedental
tentang hukum, yaitu sifat normatifnya. Neo-kantian merupakan reaksi terhadap
positivisme. Neo-kantian menolak tredo positivisme yang terlampau empiristis. Neo
kantian sendiri, terbagi dalam dua varian. Pertama, aliran Marburg yang memberi
perhatian pada penalaran logis (menurut logika ilmu alam) dalam teorisasinya. Kedua,
aliran Baden yang cenderung memberi perhatian pada nilai-nilai, dan atas refleksi
tentang ilmu-ilmu kultural.
!9

,&:&
&!
Mengenai teorinya tentang kemauan, Stammler beranjak dari asumsi ³tindakan
bertujuan´. Katanya : ³orang mau berbuat sesuatu, pasti untuk mengejar suatu tujuan´.
Jadi tujuan menentukan perbuatan. Bagi Stammler, perbuatan merupakan ³materi dari
kemauan´, sedangkan tujuan adalah ³bentuk´. Dalam teori Stammler, jelas kiranya
bahwa hidup bersama yang teratur, menghendaki adanya hukum sebagai penjamin
keteraturan. Kehendak akan hukum itulah yang oleh Stammler disebut ³kehendak
yuridis´. Hukum merupakan kehendak yuridis manusia. Kehendak itu memicu
kesadaran bersama (bukan orang perorang) suatu masyarakat manusia untuk
membentuk peraturan-peraturan hokum. Kata Stammler tanpa hubungan-hubungan
yuridis yang mengikat semua tiap orang, maka kehidupan akan cenderung ditentukan
mau dan caranya orang per orang. Kehidupan seperti ini, lambat laun akan mengarah
kepada kekacauan sehingga manciderai cita-cita kehidupan berama, yakni hidup damai
dan teratur.
!&


Kelsen membedakan antara bidang ³ada´ (# ) dan bidang ³harus´ (# )
sebagai dua unsur dari pengetahuan manusia. Bidang #  berhubungan dengan alam
dan fakta (yang seluruhnya dikuasai oleh sebab akibat), sedangkan bidang #  justru
berkaitan dengan kehidupan manusia (yang dikuasai kebebasan dan tanggungjawab).
Tapi untuk mewujudkan hidup bersama yang tertib perlu pedoman-pedoman objektif
yang harus dipatuhi bersama pula, pedoman inilah yang disebut hukum. Dengan kata
lain, jika hukum telah menentukan pola perilaku tertentu, maka tiap orang seharusnya
berperilaku sesuai pola yang ditentukan, singkatnya orang harus menyesuaikan diri
dengan apa yang telah ditentukan (di sinilah letak sifat normatif dari hukum). Kata
Kelsen sumber semua itu adalah dari a (norma dasar), a
menyerupai sebuah pengandaian tentang ³tatanan´ yang hendak diwujudkan dalam
hidup bersama. Menurut Kelsen cara mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal
adalah mengeceknya melalui logika #! , dan a menjadi batu uji utama.
!9

&
*&"%,
Bagi Radbruch kebudayaan itu adalah nilai-nilai manusia. Baik pengetahuan,
seni, moralitas maupun hukum adalah bagian dari kebudayaan. Menurut Radbruch
gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bisa formal. Sebaliknya, ia terarah pada
    yakni keadilan. Tuntutan akan keadilan dan kepastian menurut Radbruch
merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Sedangkan finalitas mengandung
unsur raltivitas karena tujuan keadilan untuk menumbuhkan nilai kebaikan bagi
manusia, lebih sebagai suatu nilai etis dalam hukum. Radbruch mengakui adanya
hukum alam yang mengatasi hukum positif, yaitu: (i) setiap individu harus diperlakukan
menurut keadilan didepan pengadilan, (ii) pengakuan dan penghormatan terhadap hak-
hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar, dan (iii) harus ada keseimbangan antara
pelanggaran dan hukuman.
c  
"('*
%&
 51"
Weber membuat deskripsi-deskripsi analitis tentang tahap-tahap perkembangan
hukum. Weber menggunakan ukuran ³tingkat rasionalitas´ dan ³model kekuasaaan´
untuk mengkonstruksi teorinya tentang hukum. Ada tiga tingkat rasionalitas, yaitu
substantif-irasional, subtantif dengan sedikit kandungan rasional, dan rasional penuh.
Weber menggunakan tipe otorites sebagai basis teorinya mengenai hokum. Menurut
Weber, hukum barat yang berkembang sejauh ini adalah hukum yang paling rasional
ditangani oleh ahli-ahlinya yang profesional dibidang kehakiman dan kepengacaraan.

2
  #
Dugit menempatkan solidaritas sosial sebagai dasar konstruksi teori tentang
hukum. Solidaritas sosial itu, membangkitkan dua rasa, yaitu rasa keharusan social,
dan rasa keadilan. Dari dua keharusan itulah hukum lahir, menurut Duguit kekuasaan
dalam negara sebenarnya tidak lain daripada suatu alat yang diciptakan individu-
individu atau kelompok-kelompok tertentu untuk mempertahankan supremasinya
kepada orang lain. ³hukum karya sosial´ menurut Dugit (harus) bersifat objektif. Dugit
merumuskan ketentuan tentang ³solidaritas´ dalam bentuk perintah-perintah, yaitu (i)
hormati tiap perbuatan kehendak individu yang ditentukan oleh tujuan solidaritas social,
(ii) setiap individu harus menjauhkan diri dari tiap perbuatan yang tujuannya
bertentangan dengan solidaritas social, dan (iii) jangan berbuat sesuatu untuk
mengurangi solidaritas sosial (yang terbangun lewat pembagian kerja).
 :#&)
#,%,
Menurut Ehrlich masyarakat adalah ide umum yang dapat dignakan untuk
menandakan sebuah hubungan sosial, yakni keluarga, desa, lembaga sosial, negara,
bangsa, sistem ekonomi dunia dan lain sebagainya. Hukum adalah ³hukum social´ yang
lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari.
Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif.
$
,&#
Geiger membedakan dua macam norma, yaitu ³norma yang sebenarnya´, dan
norma ³yang tidak sebenarnya´. Menurut Geiger, realitas suatu norma (³norma yang
sebenarnya´) terletak dalam kenyataan bahwa norma itu terjelma dalam tingkah laku
anggota-anggota masyarakat, dan (pasti) tiap orang akan bersaksi bila norma itu
dilanggar. Hukum harus dipandang sebagai kenyataan-kenyataan sosial yang dinamis
juga. Sebagai seorang positivis yang rekatuf radikal, Geiger cenderung menyangkal
peran modal dalam hukum. Hiduo bersama dalam masyarakat modern menurut Geiger,
makin kurang dilandasi pertimbangan-pertimbangan moral.
''#
 %
Teori Hauriou berporos pada peran institusi untuk meneguhkan niat orang
menaati hukum. Hauriou memulai uraiannya dari gambaran tentang manusia. Menurut
Hauriou, hidup bersama manusia dimulai dengan organisasi-organisasi bebas, itu
terjadi melalui seorang yang kuat yang merebut kekuasaan. Kekuasaan itu
digunakannya untuk menciptakan damai dan untuk memelihara kepentingan-
kepentingan bersama.

2! 
#*%,
Teori Gurvitch ialah kenyataan normatif. Menurut Gurvitch sejumlah orang baru
mencapai kelompok yang riil bila mereka mengalami kelompoknya sebagai suatu ³kita´.
³Aku´ dan ³engkau´ menjadi bersatu sebagai ³kita´. Kenyataan normatif yaitu
perwujudan keadilan dalam realitas empiris, merupakan dasar material hubungan-
hubungan sosial antara manusia. Hubungan antara ³hukum sosial asli´ dan masyarakat
merupakan hubungan saling membangun. Dapat disimpulkan bahwa hidup bersama
dan ³hukum sosial asli´ saling melahirkan dan saling memenuhi. Hukum sosial adalah
hukum pemerintah lokal, hukum serikat-serikat ekonomis, hukum kelompok-kelompok
sosial dan lain sebagainya. Dengan konstatasi, Gurvitch hendak mengatakan prioritas
hukum harus diberikan kepada hukum dan masyarakat yang bukan negara.
 #
%'
Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem, dalam sistem
sosial yang lebih besar. Disamping hukum, terdapat sistem lain yang memiliki logika
dan fungsi yang berbeda-beda. Sub sistem yang dimaksud adalah budaya, politik dan
ekonomi. Politik bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan, sistem tersebut
selain sebagai realitas yang melekat pada masyarakat juga serentak merupakan
tantangan yang harus dihadapi tiap unit kehidupan sosial.

"#
)#
%'&
Bagi Pound hukum tidak boleh mengawang dalam konsep-konsep logis analitis
maupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuris yang terlampau ekslusif.
Pound mengajukan tiga kategori kelompok kepentinga, yaitu kepentingan umum, sosial
dan kepentingan pribadi. Kepentingan yang terdiri dari kepentingan umum terbagi atas
dua, yaitu: (i) kepentingan-kepentingan negara sebagai badan hukum dalam
mempertahankan kepribadian dan hakikatnya, (ii) kepentingan-kepentingan negara
sebagai penjaga kepentingan-kepentingan sosial.
Fokus utama pound dengan konsep #   %    adalah   &
   dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang
diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat kearah yang lebih maju. Bagi pound,
antara hukum dan masyarakat terdapat hubungan dan fungsional. Hukum sebagai
sarana #  %   , bermakna penggunaan hukumsecara sadar untuk mencapai
tertib ataua keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan
perubahan yang diinginkan.
0  
"
Realisme hukum sendiri bercabang dua, yakni realisme hukum Amerika dan
realisme hukum Skandinavia. Realisme hukum Amerika menempatkan empiris dalam
sentuhan pragmatis. Realisme hukum Skandinavia menempatkan empirisme dalam
sentuhan psikologi.
'
*
Oliver Holmes dan Jerome Frank hukum yang termuat dalam aturan-aturan
hanya suatu generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes seorang
pelaksana hukum sesungguhnya menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis.
Aturan-aturan hukum dimata Holmes, hanya menjadi salah satu factor yang patut
dipertimbangkan dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, soal kemanfaatan dan
keutamaan kepentingan social, misalnya menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam
mengambil keputusan ³yang berisi´. Dalam legalisme, hakim hanya menjadi corong = "
Hakim hanya bias menerapkan UU secara mekanis. Egalisme, menyebabkan aturan
jadi ³berhala´ kehidupan jadi kaku, kenyataan yang kaya nuansa dilihat pakai
³kacamata kuda´, kebenaran dan keadilan hanya menjadi persoalan legal-tidak legal.
Kearifan dan akal sehat terdorong kebelakang. Itulah legalisme.
1$";
 !
Ross menempatkan hukum dalam kerangka fisio-fisis. Menurut Ross semua
gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala
psiko-fisis. Menurut Ross, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada
hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya. Menurut Ross, timbulnya hukum
sebagai aturan yang bersifat wajib dapat diterangkan menurut empat tahap, yaitu (i)
tahap pertama adalah adanya paksaan actual, (ii) tahap kedua dimulai, bila orang-
orang mulai takut akan paksaan, (iii) tahap yang ketiga adalah situasi dimana orang-
orang sudah mulai menjadi biasa dengan cara hidup yang sedemikian, dan alam
kelamaan mulai memandang cara hidup itu sebagai sesuatu yang seharusnya, (iv)
tahap yang terakhir adalah situasi hidup bersama dimana norma-norma kelakuan
ditentukan oleh instansi-instansi yang berwibawa.
 &
"( 5

)##c
! ,&!
Menurut Dahrendorf, adanya pertentangan soal legitimasi hubungan-hubungan
kekuasaan antar kelas. Terdapat tiga unsur utama yang menentukan strata social
dalam suatu masyarakat, yakni dimensi, prestise, privilese dan dimensi kekuasaan.
Tekanan yang diberikan oleh fungsional dan konflik mengenai stratifikasi social
memperlihatkan perbedaan yang cukup mencolok. Pokok pikiran teori fungsional
mengenai struktur social, yaitu (1) stratifikasi adalah struktur social yang memiliki nilai-
nilai dan tradisi bersama yang digunakan sebagai dasar untuk integrasi dan stabilitas
nasional, (2) penyebaran kekuasaan, privile dan prestise dalam masyarakat pada
dasarnya bersifat adil merupakan keharusan dan berguna bagi kesejahteraan individu
di satu pihak dan bagi masyarakat di lain pihak, (3) penggunaan kekuasaan untuk
mempertahankan sistem privilese yang ada dalam masyarakat minimal, (4) institusi-
institusi yang ada dalam masyarakat mengandung nilai-nilai consensus dan
melaksanakan kebijaksanaan yang mengandung kebaikan bersama, dan (5)
penghargaan yang tidak merata untuk posisi-posisi masyarakat membantu
mempertahankan dan meningkatkan kepentingan lapisan atas, serta (6) posisi-posisi
individu dalam masyarakat pada dasarnya memberikan kesempatan yang sama dalam
mecapai motivasi, latihan dan saluran-saluran perkembangan bagi mereka.

)#
 
  #,2
Bagi FLT hukum merupakan tatanannya kaum adam yang meminggirkan kaum
hawa. Sifat hukum yang bias itu, berdimensi structural. Menurut FLT mayoritas tatanan
hukum dibangun atas pandangan dunia yang bias itu. FLT berupaya melawan realitas
yang tidak adil ini. Pada aras pengajaran FLT memperkenalkan ³pendekatan hukum
berperspektif perempuan´. Pada prakteknya FLT ³mengkomunikasikan´ hasil
telaahannya dalam upaya mengoreksi keadaan dan menemukan cara terbaik untuk
melakukan reformasi bangunan hukum secara keseluruhan.
 &
"
Eksistensialisme bertolak dari eksistensi manusia sebagai kenyataan dasar dari
semua pikiran. Munculnya eksistensialisme merupakan reaksi terhadap rasionalisme
! "
1$&&
1 ,!
Teori Maihofer tentang hukum bertitik tolak dari kegandaan ontologi manusia
yakni sebagai individu eksistensial dan sebagai pribadi warga social. Keberadaan
manusia akan hidup masyarakat menghasilkan hukum alam institusional yang meliputi
semua peraturan tentang fungsi orang dalam masyarakat. Maihofer mengaku sebagai
seorang penganut eksistensialisme Heidegger. Bagi Heidegger manusia merupakan
 "  Menurut Maihofer, ia dapat menyetujui jalan pikiran ini seandainya tidak
terdapat faktor lain dalam kehidupan manusia daripada keterbatasan individualnya.
Pada dasarnya, demikian Maihofer, tiap orang selalu insyaf bahwa orang lain berada
sebagai pribadi, sebagai orang-orang yang memiliki pusat hidup sendiri. Sebagai
eksistensi yang hidup bersama, manusia memerlukan Negara dan hukum.
 &
"   "&(+7
Norma-norma hukum harus dijaga sedemikian rupa agar tetap mencerminkan
prinsip-prinsip etika, humanisasi hidup dan keadilan. Hukum yang konkret ini adalah
hukum yang sesuai dengan situasi hidup yang sebenarnya, entah relasi hidup antara
orang entah situasi konkret individual warga negaranya.

2!
&
1   2)
Menurut Luypen tata hukum belum tentu dapat disebut hukum, sebab bias
terjadi, terdapat tata hukum yang tidak mewajibkan, yakni kalau tata hukum itu tidak
menurut norma-norma keadilan. Menurut Luypen, isi norma-norma itu sendiri bersifat
kontekstual menurut ruang dan waktu, wujudnya adalah rasa keadilan, ya rasa
perikemanusiaan. Relativitas isi hukum dengan apa yang ia sebut ³lima sumber
sejarah´, yaitu (1) kenyataan bahwa realitas sosial bermacam-macam dan berubah-
ubah, (2) adanya aneka ragam rintangan yang dalam tiap situasi harus diatasi untuk
memenuhi syarat-syarat nilai dalam situasi demikian, (3) pelajaran yang diperoleh dari
pengalaman praktis mengenai pemenuhan sarana untuk mewujudkan suatu nilai dalam
suatu situasi konkrit, (4) adanya pembentukan prioritas terkait dengan tingkatan urgensi
dari kebutuhan sosial yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa histories kontemporer,
dan (5) keanekaragaman nilai yang beberapa diantaranya berhubungan dengan
kebutuhan manusia universal, sedangkan bagian yang lain melekat pada kondisi-
kondisi sejarah yang khas yang menimbulkan norma-norma khusus bagi tiap
masyarakat dan tiap situasi.
'!

 %2
Francois Geny menganggap hukum analitis sebagai corong aturan belaka
ditampilak sebagai dunia penuh kreativitas oleh Geny. Menurut Geny   '  (
#  !  yang bertopang pada tiga prinsip, yaitu (1) otonomi kemauan, (2)
kepentingan umum, dan (3) keseimbangan kepentingan, dari metode inilah Geny lalu
membangun teori tentang metode penafsiran hukum. Geny menempatkan penafsiran
hukum dalam kerangka pandangan yang menyeluruh tentang hukum. Prinsip-prinsip
hukum alam (yang sebagian telah terserap dalam # ) menurut Geny harus
menjadi dasar hukum positif. Prinsip-prinsip hukum alam memang hanya berfungsi
sebagai pedoman bagi (materi/isi) undang-undang.

<& )!
(=%
Nonet-Selznick mengajukan model hukum responsif. Perubahan sosial dan
keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsive. Nonet dan
Salznicklewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons
terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Hukum represif lebih
mengarah pada pelayanan kekuasaan dan menafikan aspirasi publik. Ini jelas terlihat
dalam ciri utamanya: (i) kekuasaan politik mengatasi institusi hukum sehingga
kekuasaan Negara menjadi dasar legitimasi hukum, (ii) penyelenggaraan hukum
dijalankan menurut perspektif penguasa dan pejabat, (iii) peraturan-peraturan yang
diskriminatif, (iv) alasan pembuatannya bersifat ad-hoc sesuai keinginan arbiter
penguasa, (v) kesempatan bertindak bersifat serba meresap sesuai kesempatan, (vi)
pemaksaan serba mencukupi tanpa batas yang jelas, (vii) moralitas yang dituntut dari
masyarakat adalah pengendalian diri, (viii) kepatuhan masyarakat harus tanpa syarat
dan ketidakpatuhan dihukum sebagai kejahatan, (ix) partisipasi masyarakat diizinkan
lewat penundukan diri sedangkan kritik dipahami sebagai pembangkangan.
Hukum responsif merupakan sebuah tatanan atau sistem yang inklusif, dalam
arti mengaitkan diri dengan sub-sistem sosial non-hukum, tak terkecuali dengan
kekuasaan. Hukum responsif menurut Nonet-Selznick merupakan suatu upaya dalam
menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial.
'#!
$),$
Teori hukum progresif, tidak terlepas dari gagasan prof Satjipto Raharjo.
Menurutnya, pemikiran hukum kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk
manusia. Dengan filosofi tersebut maka manusia menjadi penentu dari titik orientasi
hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum
itu bukanlah merupakan isntitusi yang lepas dari kepentingan manusia. Peraturan yang
buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk
menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat
melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan.
Menurut Rahardjo, bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi
bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada diluar dirinya. Dan menurut
Rahardjo, antara hukum progresif dengan legal realizm juga memiliki kemiripan logika,
yaitu dalam hal hukum tidak dilihat dari kacamata logika internal hukum itu sendiri.
Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia atau
rakyat sebagai titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan pada persoalan-
persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia.
Karakter hukum progresif yang menghendaki kehadiran hukum dikaitkan dengan
pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya, menyebabkan hukum progresif juga dekat
dengan        dari Rouscou pound. Progresif juga memiliki kedekatan ide
dengan teori-teori hukum alam, yaitu kepedulian pada apa yang oleh Hans Kelsen
disebut     " Teori-teori hukum alam sejak Socrates hingga Francois Geny,
tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam
mengutamakan   !)  "
Pada dasarnya, diskresi ditempuh karena dirasakan sarana hukum kurang efektif
dan terbatas sifatnya dalam mencapai tujuan hukum dan social. Menghadapi kondisi
transisional dimana persoalan saling berhimpitan, serba darurat, dan penuh komplikasi,
maka aparat penegak hukum dituntut melakukan langkah-langkah terobosan dalam
melakukan penegakan, tidak sekedar menerapkan peraturan yang hitam putih.

You might also like