You are on page 1of 24

Periodonsia

Univ. Sam Ratulangi

BAB 8
PERIODONTITIS MARGINALIS

Periodontitis secara umum diartikan sebagai inflamasi yang


melibatkan struktur periodontal pendukung. Terlibatnya struktur
periodontal pendukung oleh inflamasi bisa akibat: 1) kelanjutan
inflamasi dari gingivitis kronis yang tidak dirawat atau tidak tuntas
perawatannya, atau 2) penjalaran inflamasi dari pulpa gigi melalui
foramen apikalis ke ruang ligament periodontal di bagian apical.
Untuk membedakan kedua bentuk periodontitis tersebut,
digunakan terminology yang berbeda yaitu: 1) periodontitis marginalis,
yaitu periodontitis yang merupakan kelanjutan gingivitis, dan 2)
periodontitis apikalis, yaitu periodontitis yang diakibatkan penjalaran
inflamasi dari pulpa gigi melalui foramen apikalis.
Pada pertama dari Bab ini akan dibahas mengenai ciri-ciri klinis
periodontitis marginalis, sedangkan pada bagian kedua akan dibahas
tipe-tipe periodontitis marginalis.

CIRI-CIRI KLINIS PERIODONTITIS MARGINALIS


Meskipun periodontitis marginalis dapat diklasifikasikan lagi atas
beberapa tipe periodontits, namun secara umum ada ciri-ciri klinis
yang biasa menyertai gingivitis kronis juga dijumpai pada kasus-kasus
periodontitis marginalis. Ciri-ciri klinis (selain ciri-ciri klinis gingivita
kronis) yang dijumpai pada kasus periodontitis marginalis adalah: 1)
saku periodontal atau poket periodontal, 2) abses periodontal, 3)
kehilangan tulang dan pola perusakan tulang, 4) trauma karena
okulasi, 5) migrasi gigi patologis, 6) mobilitas gigi, dan 7) resesi
gingival.

SAKU PERIODONTAL
Secara umum dengan istilah saku (pocket) diartikan sebagai
sulkus gingival yang bertambah dalam secara patologis. Bertambahnya
kedalaman sulkus gingival yang normal bisa disebabkan oleh: (1)
bergeraknya tepi gingival kea rah koronal akibat adanya pertambahan
besar gingival; (2) bergeraknya perletakan epitel penyatu ke arah
apical; atau (3) kombinasi antara keduanya. Saku yang terbentuk
semata-mata karena bergeraknya tepi gingival ke arah koronal tanpa
disertai perubahan perletakan epitel penyatu dinamakan sebagai saku
gusi atau saku relative atau saku semu (gingival pocket/relative
pocket/false pocket). Sebaliknya saku yang terbentuk karena telah
bergeraknya perlekatan epitel penyatu ke apital, dengan atau tanpa
bergeraknya tepi gingival ke koronal, dinamakan sebagai saku
periodontal atau saku absolute atau saku sebenarnya (periodontal
pocket/absolute pocket/true pocket).

1
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

Gambar 1. Mekanisme pembentukan saku, dimana pendalaman sulkus


gingival (gambar kiri) menjadi saku (gambar kanan) terjadi
dalam dua arah (tanda panah).

Klasifikasi saku
Klasifikasi berdasarkan lokasi dasar saku.- Saku
periodontal dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi dasar sakunya
atas: (1) saku supraboni atau saku suprakrestal atau saku supra-
alveolar (suprabony pocket/supracrestal pocket/supra-alveolar pocket),
yaitu tipe saku periodontal dimana dasar sakunya berada koronal dari
tulang alveolar; dan (2) saku infaboni atau saku intrabony
pocket/subcrestal pocket/intra-alveolar pocket), yaitu tipe saku dimana
dasar sakunya berada apikal dari level tulang alveolar yang
berbatasan; dengan kata lain dinding lateral saku berada antara
permukaan gigi dengan tulang alveolar.

2
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

Gambar 2. Tipe-tipe saku. (A), Saku gusi; belum ada kerusakan pada
jaringan periodontal pendukung. (B) Saku supraboni; dasar saku
berada koronal dari level tulang alveolar; kehilangan tulang horizontal.
(C) Saku infraboni; dasar saku berada apikal dari level tulang alveolar;
kehilangan tulang vertical/angular.

Gambar 3. Klasifikasi saku berdasarkan sisi/permukaan gigi yang


terlibat. (A) Saku simple. (B) Saku gabungan. (C) Saku kompleks.

Klasifikasi berdasarkan permukaan gigi yang terlibat.-


Berdasarkan permukaan gigi yang terlibat, saku periodontal dibedakan
atas: (1) Saku simple (simple pocket), dimana saku hanya melibatkan
satu sisi/permukaan dari gigi; (2) saku gabungan (compound pocket),
dimana saku melibatkan lebih dari satu sisi/permukaan dari gigi; dan
(3) saku kompleks (complex pocket), dimana sakunya berjalan
melingkar dari dasar saku ke arah muaranya dengan melibatkan
beberapa sisi/permukaan dan dasar saku dengan muara saku berada
pada sisi/permukaan yang berlainan.
Saku periodontal bisa melibatkan satu, dua, atau lebih
sisi/permukaan gigi. Kedalaman maupun tipe saku pada masing-
masing sisi permukaan gigi bisa berbeda, demikian pula antara dua sisi
aproksimal yang berbatasan.

Gambaran klinis
Satu-satunya cara yang paling akurat untuk menetapkan lokasi
saku periodontal dan menentukan perluasannya adalah dengan jalan
probing (pemeriksaan dengan menggunakan alat prob periodontal)
secara hati-hati pada setiap permukaan gigi dimulai dari tipe gingival
ke arah apikal. Mengenai tehnik probing ini akan dikemukakan secara
lebih rinci pada waktu membahas pemeriksaan periodontal.
Meskipun demikian ada beberapa ciri-ciri klinis maupun simtom
yang dapat dijadikan pedoman guna mencurigai keberadaan saku
periodontal.

Ciri-ciri klinis.- Ciri-ciri klinis yang bisa menyertai saku


periodontal adalah: 1) gingival bebas menebal dan berwarna merah
kebiru-biruan; 2) adanya zona vertikal berwarna merah kebiru-biruan

3
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

mulai dari tepi gingival ke mukosa alveolar; 3) pendarahan gingival


dan/atau supurasi (penanahan); 4) gigi menjadi mobil; 5) terjadinya
diastema yang sebelumnya tidak ada.

Simtom.- Simtom yang menyertai pembentukan saku


periodontal bisa berupa: 1) nyeri sakit yang terlokalisir pada daerah
saku; 2) nyeri sakit yang terasa di dalam tulang. Namun perlu diingat
bahwa nyeri sakit yang demikian tidak terjadi pada setiap kasus,
setidak-tidaknya belum terjadi pada stadium awal pembentukan saku.

Patogenesis
Saku periodontal adalah disebabkan oleh mikroorganisme dan
produknya, yang menimbulkan perubahan patologis pada jaringan
yang menjurus ke pendalaman sulkus gingival. Bila hanya didasarkan
pada kedalamannya saja, kadang-kadang sukar untuk membedakan
antara sulkus gingival normal yang dalam dengan saku periodontal
yang dangkal. Pada keadaan yang demikian, perubahan patologis pada
gingivalah yang dijadikan pedoman untuk membedakan antara
keduanya.
Pembentukan saku diawali oleh perubahan inflamatori yang
diakibatkan oleh plak bakteri pada dinding jaringan ikat sulkus
gingival. Cairan dan sel-sel eksudat inflamasi menyebabkan
degenerasinya jaringan ikat disekitarnya, termasuk serabut gingival.
Tepat dibawah epitel penyatu terjadi perusakan terhadap
serabut kolagen, dan daerah tersebut akan diinfiltrasi oleh sel-sel dan
eksudat inflamasi. Di bawah daerah tersebut dijumpai daerah dengan
perusakan sebagian dan lebih ke bawah lagi daerah dengan perlekatan
jaringan ikat yang normal.
Ada dua hipotesa yang dikemukakan berkaitan dengan
mekanisme penghancuran kolagen tersebut: 1) kolagenase dan ensim
lisosomal lainnya yang diproduksi lekosit polimorfonukleus dan
makrofag menghancurkan kolagen; dan 2) fibroblast memfagositosa
serabut kolagen dengan jalan menjulurkan processus sitoplasmiknya
ke pertemuan ligament periodontal-sementum, dan dengan jalan
meresorbsi fibril kolagen yang melekat serta fibril yang berada pada
matriks sementum.
Sebagai akibat dari penghancuran dan hilangnya kolagen,
bagian apical dari epitel penyatu berproliferasi sepanjang permukaan
akar gigi, dengan menjulurkan penonjolan-penonjolan yang mirip jari-
jari (finger-like projections) dengan ketebalam dua atau tiga sel.
Bagian koronal dari epitel penyatu lepas dari permukaan akar
begitu bagian apikalnya migrasi atau berproliferasi. Sebagai akibat
inflamasi, lekosit polimorfonukleus (LPN) yang menginvasi tepi koronal
dari epitel penyatu bertambah jumlahnya. LPN tersebut tidak berikatan
satu sama lainnya maupun ke sel-sel epitel yang tersisa. Apabila
jumlah relatif LPN telah mencapai 60% atau lebih volume epitel
penyatu, epitel penyatu akan kehilangan daya ikatnya dan terlepas
dari permukaan gigi. Dengan demikian, dasar sulkus bergerak ke
apical, dan epitel sulkular akan menempati bagian dinding sulkus (atau
saku) yang bertambah dalam secara perlahan-lahan.
Dengan berlanjutnya inflamasi, besar gingival bertambah
sehingga Krista tepi gingival bergerak kearah koronal. Migrasi epitel

4
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

penyatu sepanjang permukaan akar gigi terus berlanjut dan epitel


penyatu lepas dari permukaan gigi. Lekosit dan eksudat inflamasi dari
jaringan ikat yang terinflamasi menginfiltrasi dinding epitel saku,
dengan akibat terjadinya degenerasi dan nekrose.
Satu hal yang menarik adalah bahwa epitel penyatu yang dapat
proliferasi atau migrasi sepanjang permukaan akar gigi adalah epitel
penyatu yang sel-selnya masih hidup. Dengan demikian diasumsikan
bahwa perubahan degeneratif yang terlihat pada dasar saku terjadi
setelah epitel penyatu migrasi ke arah apikal.
Peralihan dari sulkus gingival menjadi saku periodontal
menciptakan suatu daerah dimana penyingkiran plak menjadi sukar
atau bahkan tidak mungkin. Keadaan ini menimbulkan suatu lingkaran
setan yang memperparah keadaan.
Dengan asumsi diatas, maka sebenarnya dasar pemikiran bagi
pengurangan kedalaman saku pada perawatan periodontal adalah
didasarkan kepada kebutuhan untuk menyingkirkan daerah
penumpukan plak.

Histopatologi
Sebagai kelanjutan perubahan histopatologis berkaitan dengan
ketiga tahapan gingivitis yang telah dikemukakan pada pembahasan
mengenai pathogenesis gingivitis, pada waktu pembentukan saku
terjadi pula perubahan histopatologis lainnya.
Dinding jaringan lunak saku periodontal.- Jaringan ikat
dinding jaringan lunak saku adalah oedematous dan diinfiltrasi oleh
sel-sel plasma (sekitar 80%) dan limfosit, serta sejumlah kecil lekosit
polimorfonukleus. Pembuluh darah bertambah jumlahnya, mengalami
dilatasi dan penuh berisi darah. Jaringan ikatnya mengalami
degenerasi dengan derajat yang bervariasi. Sering dijumpai satu atau
beberapa focus nekrosis. Selain perubahan eksudatif dan
degenerative, pada jaringan ikat terjadi poliferasi sel endotel dengan
pembentukan kapiler baru, fibroblast dan serabut kolagen.
Epitel penyatu pada dasar saku biasanya lebih pendek
dibandingkan dengan epitel penyatu pada dasar sulkus. Meskipun ada
variasi dalam hal panjang, lebar, dan kondisi sel-sel epitel, biasanya
panjang epitel penyatu dalam arah koronal-apikal berkurang sampai
hanya sepanjang 50-100 μm. Sel-sel tersebut bisa dalam kondisi
normal tetapi bisa juga mengalami degenerasi dari yang ringan sampai
parah.
Perubahan degeneratif paling parah pada saku periodontal
terjadi sepanjang dinding lateral. Epitel dinding lateral saku mengalami
perubahan proliferatif dan degeneratif yang menyolok. Dari dinding
lateral saku akan menjulur sel-sel epitel sampai ke jaringan ikat yang
berdekatan yang terinflamasi, bahkan sering sampai apikal dari epitel
penyatu. Sel-sel epitel yang menjulur tersebut, demikian juga epitel
lateral lainnya, diinfiltrasi oleh lekosit dan eksudat yang berasal dari
jaringan ikat yang terinflamasi. Sel-sel tersebut akan mengalami
degenerasi vakuolar dan pecah sehingga terbentuk vesikel. Apabila
degenerasi dan nekrosis epitel bertambah hebat maka dinding lateral
saku akan mengalami ulserasi, dengan akibat tersingkapnya jaringan

5
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

ikat terinflamasi yang berada dibawahnya, dan pernanahan. Pada


beberapa kasus terjadi inflamasi akut bertumpang tindih dengan
inflamasi kronis yang telah ada sebelumnya.
Keparahan perubahan degenerative tidak selamanya berkaitan
dengan kedalaman saku. Ulserasi pada dinding lateral suku bisa terjadi
pada saku periodontal yang dangkal, sebaliknya pada saku periodontal
yang dalam tidak jarang ditemukan epitel dinding lateralnya masih
relatif utuh dan hanya mengalami degenerasi ringan.
Epitel pada Krista gingival dari saku periodontal biasanya tetap
utuh dan menebal, dengan rete-peg yang menyolok.
Pengamatan lebih lanjut dengan menggunakan mikroskop
electron skening menunjukkan adanya tujuh daerah yang berbeda
pada dinding lunak saku periodontal, yaitu: 1) Daerah yang relative
tenang. 2) Daerah penumpukan bakteri; bakterinya yang terutama
adalah kokus, bakteri batang, dan bakteri berfilamen, dengan sedikit
spirokheta. 3) Daerah kemunculan lekosit, dimana lekosit muncul
melalui lubang pada ruang interseluler. 4) Daerah interaksi lekosit-
bakteri. 5) Daerah deskuamasi epitel. 6) Daerah ulserasi, dimana
jaringan ikat menjadi tersingkap. 7) Daerah haemorhagik/pendarahan.
Saku periodontal sebagai lesi penyembuhan.- Sebagai lesi
inflamasi kronis maka pada saku periodontal senantiasa berlangsung
proses perbaikan. Kondisi dari dinding jaringan lunak saku periodontal
(misalnya warna, konsistensi dan tekstur permukaan) adalah
dipengaruhi oleh keseimbangan perubahan destruktif dengan
perubahan reparative/konstruktif yang terjadi. Apabila sel dan eksudat
inflamasi (perubahan destruktif) yang dominan, maka dinding saku
berwarna merah kebiru-biruan, lunak, licin dan berkilat, dan mudah
tercabik, yang dinamakan sebagai dinding saku oedematous.
Sebaliknya bila yang dominan adalah sel-sel dan serabut jaringan ikat
(perubahan konstruktif), maka dinding sakunya padat dan berwarna
merah jambu, dan dinamakan sebagai dinding saku yang fibrotik.
Adanya dinding saku yang oedematous dan dinding saku yang fibrotik
bukanlah menggambarkan dua jenis penyakit yang berbeda,
melainkan hanya masalah perubahan mana yang dominan terjadi.
Adanya dinding saku yang fibrotik bisa menyebabkan kesalahan
penafsiran akan proses yang terjadi sepanjang permukaan dalam.
Pada beberapa kasus inflamasi dan ulserasi pada bagian dalam saku
didindingi oleh jaringan fibrous pada permukaan luar. Dari luar tampak
bahwa sakunya berwarna merah jambu dan fibrotik, sedangkan
disebelah dalam sebenarnya terjadi proses destruktif.
Kandungan saku periodontal.- Saku periodontal mengandung
debris yang terdiri dari mikroorganisme dan produknya (ensim,
endotoksin, dan produk metabolik lainnya), cairan sulkular, sisa
makanan, musin dari saliva, sel-sel epitel yang deskuamasi, dan
lekosit. Dari permukaan gigi biasanya menjulur kalkulus yang dibalut
oleh plak.
Apabila dijumpai eksudat purulen (bernanah) maka eksudatnya
terdiri dari lekosit yang hidup, degenerasi atau mati; serum; dan
sejumlah kecil fibrin. Adanya supurasi bukanlah berarti penyakit
periodontalnya semakin parah. Keberadaan pus atau mudahnya pus
keluar dari saku hanyalah pencerminan proses inflamasi yang terjadi
pada dinding lunak saku. Keberadaan pus tidak ada kaitannya dengan

6
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

kedalaman saku maupun keparahan perusakan yang terjadi pada


jaringan periodontal pendukung. Pus bisa terjadi pada saku yang
dangkal, sebaliknya pus bisa tidak terjadi setempat atau terlokaliser,
akan terjadi pembentukan abses periodontal.
Permukaan akar gigi yang menjadi dinding saku periodontal.-
Permukaan akar gigi yang mendindingi saku sering mengalami
perubahan yang berakibat memperparah inflamasi pada periodonsium,
menimbulkan nyeri sakit, dan mempersulit perawatan. Perubahan pada
sementum akar gigi tersebut mencakup: perubahan structural,
perubahan kimiawi, dan perubahan sitotoksik.
1. Perubahan structural.- Akibat pembentukan saku
periodontal, pada sementum bisa dijumpai perubahan berikut: 1)
Pembentukan granul-granul patologis. Granul-granul tersebut adalah
merupakan daerah yang tadinya berisi kolagen sebelum mengalami
degenerasi, atau berisi fibril kolagen yang tidak mengalami
mineralisasi. 2) Daerah dengan mineralisasi yang meningkat.
Peningkatan mineralisasi ini adalah disebabkan oleh interaksi antara
mineral dengan komponen organik pada sementum yang terpapar oleh
saliva. 3) Daerah demineralisasi. Akibat terpaparnya sementum
terhadap cairan oral dan plak bakteri terjadi proteolisis sisa serabut
Sharpey yang masih tertanam dalam sementum. Hal ini akan
menyebabkan sementum menjadi lunak dan mengalami frakmentasi
dan terbentuk karies.
2. Perubahan kimiawi.- Kandungan mineral dari sementum
yang terlibat meningkat, misalnya kalsium, magnesium, posfor, dan
fluor. Sementum yang terpapar dapat mengabsorbsi kalsium, posfor,
dan fluor dari lingkungan sekitar, sehingga bisa terbentuk lapisan yang
sangat terklasifikasi yang resisten terhadap pembentukan karies.
Namun kemampuan sementum mengabsorbsi substansi dari
lingkungan sekitar bisa berakibat buruk apabila yang diabsorbsi adalah
substansi yang toksik.
3. Perubahan sitotoksik.- Bakteri ternyata bisa penetrasi
sampai ke batas sementum-dentin. Selain bakteri, produk bakteri
seperti endotoksin bisa pula dijumpai masuk ke sementum. Terjadinya
perubahan sitotoksik ini merupakan salah satu alas an bagi
dilakukannya penyerutan akar dan penyiapan permukaan akar pada
waktu perawatan periodontal.
Pada pengamatan dengan menggunakan mikroskop electron
skening, terlihat adanya beberapa zona pada sementum akar di daerah
dasar saku, yaitu: 1) Sementum yang dibalut kalkulus, dimana ketiga
bentuk perubahan yang dikemukakan di atas dijumpai. 2) Plak yang
melekat, yang membalut kalkulus, dan meluas 100-500 μm apikal dari
kalkulus. 3) Daerah plak yang tidak melekat yang berada di sekeliling
plak yang melekat dan meluas sampai ke apikalnya. 4) Daerah dimana
epitel penyatu melekat ke gigi. Pada sulkus normal daerah ini berada
sekitar 500 μm dari dasar sulkus, tetapi pada saku periodontal
berkurang menjadi sekitar 100 μm dari dasar saku. 5) Daerah serabut
jaringan ikat yang mengalami perusakan sebagian, yang berada apikal
dari epitel penyatu. Daerah 3, 4, dan 5 termasuk daerah yang
dinamakan daerah bebas plak.
Perubahan pulpa berkaitan dengan saku periodontal

7
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

Penyebaran inflamasi dari saku periodontal bisa menyebabkan


perubahan patologis pada pulpa. Perubahan tersebut pada akhirnya
menyebabkan timbulnya simtom nyeri sakit, atau mempengaruhi
respon pulpa terhadap prosedur restoratif.
Terlibatnya pulpa oleh inflamasi yang berasal dari penyakit
periodontal bisa melalui fomanen apikalis atau melalui kanal lateralis
akar gigi. Pada keadaan yang demikia, pada pulpa terjadi perubahan
inflamatori dan atrofi.
Hubungan antara kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang
dengan kedalaman saku
Pembentukan saku menyebabkan kehilangan perlekatan dan
tersingkapnya permukaan akar gigi. Biasanya, tetapi tidak selamanya,
kehilangan perlekatan mempunyai korelasi dengan kedalaman saku.
Hal ini disebabkan derajat kehilangan perlekatan (atau resesi yang
diakibatkan) tergantung pada lokasi dari dasar saku periodontal pada
permukaan akar, sementara kedalaman saku adalah jarak antara dasar
saku dengan Krista tepi gingival. Beberapa saku dengan kedalaman
yang sama bisa disertai kehilangan perlekatan yang berbeda (Gambar
4), dan beberapa saku dengan kedalaman yang berbeda bisa disertai
kehilangan perlekatan yang sama (Gambar 5).

Biasanya, tetapi tidak selamanya, keparahan kehilangan tulang


umumnya berkorelasi dengan kedalaman saku. Kehilangan tulang
yang parah bisa terjadi pada saku yang dangkal, sebaliknya kehilangan
tulang yang sedikit bisa terjadi pada saku yang dalam.
Hubungan antara saku periodontal dengan tulang alveolar
Pada saku infraboni dasar saku berada apikal dari level tulang
alveolar, dan dinding saku berada antara akar gigi dengan tulang. Saku
infraboni paling sering terbentuk pada sisi interproksimal, tetapi dapat
juga terbentuk pada sisi vestibular dan oral. Sering sekali saku
periodontal meluas dari satu sisi dimana saku berasal ke satu atau
lebih sisi lainnya. Sebaliknya dasar saku saku supraboni berada koronal
dari Krista tulang alveolar.

Gambar 5. Hubungan antara kedalaman saku dengan resesi.


Kedalaman saku berbeda, tetapi jarak antara dasar saku dengan batas
sementum enamel tetap sama.

8
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

Perubahan inflamatori, proliferative dan degeneratif pada saku


infraboni dan saku supraboni adalah sama, dan keduanya menjurus
pada perusakan jaringan periodontal pendukung.

Perbedaan antara saku infraboni dengan saku supraboni.-


Perbedaan utama antara saku infraboni dengan saku supraboni adalah
dalam hal: 1) hubungan antara dinding jaringan lunak saku terhadap
tulang alveolar, 2) pola destruksi tulangnya, dan 3) arah serabut
transeptal.
Pada saku supraboni Krista tulang alveolar dan jaringan fibrous
yang melekat padanya secara bertahap posisinya semakin ke apikal
dari batas sementum enamel, tetapi morfologi dan arsitekturnya tetap
seperti biasa. Sebaliknya pada saku infraboni morfologi krista tulang
alveolar berubah secara total (selanjutnya lihat Tabel 1). Gambaran
morfologis saku infraboni penting artinya karena memodifikasi tehnik
perawatan yang akan dilakukan.
Tabel 1. Perbedaan gambaran antara saku supraboni dengan saku
infraboni.
Saku supraboni Saku infraboni

1. Dasar saku berada koronal 1. Dasar saku berada apikal


dari level tulang dari krista tulang alveolar,
2. Pola destruksi tulang sehingga tulang
alveolar dibawah saku berdampingan degan
adalah horizontal. dinding jaringan lunak (lihat
3. Pada sisi interproksimal, gambar 2).
serabut transeptal yang 2. Pola destruksi tulangnya
mengalami perbaikan adalah vertikal/angular.
selama perkembangan 3. Pada sisi interproksimal,
penyakit tersusun serabut interseptal tersusun
horizontal pada ruang oblik dan bukannya
antara dasar saku dengan horizontal. Serabut tersebut
tulang alveolar. meluas dari sementum
4. Pada sisi vestibular dan dibawah dasar saku
oral, serabut ligament sepanjang tulang alveolar
periodontal dibawah saku menuju sementum dari gigi
merentang antara gigi tetangga.
dengan tulang alveolar 4. Pada sisi vestibular dan
seperti keadaan normal oral, rentangan serabut
(horizontal dan oblik). ligament periodontal
mengikuti pola angular dari
tulang alveolar dibawahnya.
Serabut tersebut dari
sementum dibawah dasar
saku merentang sepanjang
tulang alveolar, melintasi
krista tulang alveolar, dan
akhirnya menyatu dengan

9
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

periosteum sebelah luar.

ABSES PERIODONTAL
Abses periodontal adalah inflamasi dengan purulen yang
terlokaliser pada jaringan periodontal. Abses ini dinamakan juga
sebagai abses lateral atau abses parietal.

Pembentukan abses periodontal.- Pembentukan abses


periodontal bisa terjadi dengan cara:
1. Perluasan inflamasi dari saku periodontal ke jaringan
periodontal pendukung dan lokalisasi proses inflamatori
supuratif sepanjang sisi lateral akar gigi.
2. Perluasan inflamasi dari permukaan dalam saku periodontal
ke arah lateral ke jaringan ikat dinding saku. Pembentukan
abses terjadi apabila drainase ke rongga saku terhambat.
3. Pada saku yang berjalan melingkar sepanjang akar gigi (saku
kompleks) abses periodontal bisa terjadi apabila sakunya
tersumbat sehingga dasar saku yang berada jauh kehilangan
hubungan dengan muara saku.
4. Penyingkiran kalkulus yang tidak tuntas sewaktu perawatan
periodontal. Pada keadaan yang demikian, dinding gingival
akan menyusut yang menyebabkan tersumbatnya muara
saku, dan abses periodontal terbentuk pada saku yang
tersumbat.
5. Abses periodontal bisa terjadi pada keadaan tanpa penyakit
periodontal, yaitu akibat trauma atau perforasi akar gigi yang
menjadi dinding lateral saku pada waktu perawatan
endodonti.

Abses periodontal dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya


atas: 1) Abses pada jaringan periodontal pendukung sepanjang sisi
lateral akar gigi. Pada keadaan seperti ini biasanya sinus di dalam
tulang alveolar yang meluas ke arah lateral dari abses ke permukaan
luar. 2) Abses pada dinding jaringan lunak dari saku periodontal yang
dalam.
Ciri-ciri klinis dan simtom.- Abses periodontal bisa terjadi
dalam bentuk akut atau kronis.
Abses periodontal akut.- Abses periodontal akut terlihat
berupa penonjolan ovoid pada gingival pada sisi lateral akar gigi
(Gambar 6). Gingiva oedematous, merah dengan permukaan yang licin
dan berkilat. Bentuk dan konsistensi daerah penonjolan adalah
bervariasi, bisa seperti kubah dengan konsistensi yang padat, atau
meruncing dan lunak. Pada kebanyakan kasus, bila ditekan dengan jari
pus akan keluar dari tepi gingival. Abses periodontal kronis disertai
oleh simtom seperti: nyeri sakit berdenyut dan menyebar, gingival
terasa nyeri bila disentuh, gigi sensitif bila diperkusi, mobiliti gigi, dan
limfadenitis. Meskipun jarang, bisa pula disertai demam, leukositosis
dan malaise. Tidak jarang pasien mengeluhkan simtom seperti abses
periodontal akut, meskipun secara klinis maupun radiografis belum
terlihat perubahan yang nyata.

10
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

Abses periodontal kronis.- Pada abses periodontal kronis biasanya


dijumpai sinus (fistel) yang bermuara ke mukosa gingival setentang
dengan akar gigi. Muara sinusnya biasanya berupa penonjolan halus
yang sukar terlihat (Gambar 7). Apabila diperiksa dengan prob terasa
adanya saluran yang dalam ke arah periodonsium. Muara sinus
tersebut sering pula ditutupi oleh masa jaringan granulasi berbentuk
manik-manik kecil berwarna merah jambu. Abses periodontal kronis
biasanya asimtomatis (tanpa simtom), namun bisa juga disertai
simtom berupa nyeri sakit yang samar-samar, gigi terasa memanjang,
dan adanya keinginan untuk mengasah-asahkan gigi. Abses kronis ini
bisa mengalami eksaserbasi akut.
Histopatologi.- Gambaran histopatologis abses periodontal
menunjukkan gambaran penumpukan lekosit polimorfonukleus yang
hidup dan mati terlokaliser di dalam dinding saku periodontal. Lekosit
yang mati melepas ensim yang memakan sel-sel dan struktur jaringan
lainnya, membentuk produk cair yang dinamakan pus yang merupakan
bagian tengah dari abses. Gambaran inflamatori akut berada sekeliling
daerah purulen, dan pada epitel pelapisnya terlihat oedema
intraseluler dan ekstraseluler, dan invasi lekosit.
Abses akut yang terlokalisir kemudian berkembang menjadi
abses kronis apabila kandungan purulennya mengalir melalui fistula
menuju ke permukaan gingival sebelah luar atau ke saku periodontal.
Pada abses periodontal bakteri bisa invasi kedalam abses.
Organisme yang invasi terdiri atas kokus gram negative, diplokokus,
fusiformis, dan spirokheta. Disamping itu dijumpai juga fungi yang
diduga sebagai penginvasi oportunistik. Mikroorganisme yang
mengkoloni abses periodontal terutama adalah bakteri batang
anaerobik gram negatif.
KEHILANGAN TULANG DAN POLA PERUSAKAN TULANG
Perusakan pada tulang alveolar yang diakibatkan penyakit
periodontal merupakan keadaan yang membahayakan bagi gigi; yang
akhirnya dapat menyebabkan hilangnya gigi.
Tinggi tulang alveolar yang normal dipelihara oleh suatu
keseimbangan antara pembentukan tulang dengan resorpsi tulang,
keseimbangan mana berada dibawah pengaruh lokal maupun sistemik.
Apabila resorpsi melebihi pembentukan, tinggi tulang akan berkurang.
Perusakan tulang pada penyakit periodontal adalah disebabkan
oleh faktor lokal. Faktor lokal tersebut dibedakan atas dua kelompok:
1) faktor lokal yang menyebabkan inflamasi, dan 2) faktor lokal yang
menyebabkan trauma karena oklusi. Inflamasi dan trauma, secara
sendiri-sendiri atau secara bersama-sama, menjadi penyebab
perusakan tulang pada penyakit periodontal, dan menentukan
keparahan serta polanya. Kehilangan tulang yang disebabkan oleh
perluasan inflamasi menyebabkan pengurangan tinggi tulang,
sementara traum karena oklusi menyebabkan kehilangan tulang lateral
dari permukaan akar.
Level tulang yang ada merupakan akibat dari proses yang telah
terjadi sebelumnya, sedangkan perubahan pada jaringan lunak dari
dinding saku mencerminkan kondisi inflamatori yang terjadi saat
sekarang. Oleh sebab itu, keparahan kehilangan tulang tidak harus
berkorelasi dengan kedalaman saku, keparahan ulserasi pada dinding
saku, atau keberadaan pus.

11
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

Perusakan tulang disebabkan oleh penjalaran inflamasi


gingival
Penjalaran inflamasi kronis dari gingival ke tulang alveolar
merupakan penyebab paling sering dari perusakan tulang pada
penyakit periodontal. Menjalarnya inflamasi dari gingival ke jaringa
periodontal pendukung menandai peralihan gingivitis menjadi
periodontis marginalis. Periodontis marginalis selalu didahului oleh
gingivitis, tetapi tidak semua kasus gingivitis kronis menjadi
periodontis marginalis.
Perusakan tulang pada penyakit periodontal bukanlah proses
nekrosis tulang. Perusakan tulang melibatkan aktivitas sel-sel yang
hidup sepanjang tulang alveolar yang hidup (bukan nekrosis). Nekrosis
dan pus bila terjadi pada penyakit periodontal hanyalah melibatkan
dinding jaringan lunak saku periodontal, dan bukan di sepanjang tepi
tulang alveolar yang mengalami resorbsi.
Dihipotesakan berperannya dua tipe sel dalam proses resorpsi
tulang alveolar, yaitu: 1) osteoklas, yang berperan menyingkirkan
bagian mineral dari tulang, dan 2) sel mononukleus, yang berperan
dalam degradasi matriks organic. Kedua tipe sel tersebut ditemukan
pada permukaan tulang alveolar yang mengalami resorpsi.
Radius aksi perusakan.- Dihipotesakan oleh beberapa pakar
bahwa faktor-faktor lokal penyebab resorpsi tulang harus berada dekat
ke permukaan tulang untuk dapat beraksi menyebabkan resorpsi
tulang. Plak bakteri dapat memicu resorpsi tulang apabila berada
dalam jarak antara 1,5-2,5 mm dari tulang alveolar; apabila plak
bakteri berada lebih dari 2,5 mm dari tulang alveolar efek
peresorpsinya tidak berperan. Cacat angular interproksimal hanya bisa
terjadi apabila ruang interproksimalnya lebih lebar dari 2,5 mm;
apabila ruang interproksimal lebih sempit maka tulang/septum
interdental akan teresorpsi secara keseluruhan. Cacat besar yang lebih
dari 2,5 mm dari permukaan gigi (seperti yang terlihat pada
periodontis juvenile lokalisata, periodontitis berkembang cepat, dan
sindroma Papillon-Lefevre) kemungkinan disebabkan oleh keberadaan
bakteri yang invasi ke jaringan periodonsium.

Laju kehilangan tulang.- Laju kehilangan tulang pada


permukaan vestibular adalah berkisar 0,2 mm per tahun, sedangkan
pada permukaan interproksimal berkisar 0,3 mm per tahun.
Berdasarkan laju kehilangan tulangnya individu dapat dibedakan atas
tiga kelompok: 1) individu degan perkembangan penyakit periodontal
yang cepat, ditandai dengan kehilangan perlekatan sebesar 0,1-1,0
mm per tahun (8% individu); 2) individu dengan perkembangan
penyakit periodontal yang sedang, ditandai dengan kehilangan
perlekatan sebesar 0,05-0,5 mm per tahun (81% individu); dan 3)
individu denga perkembangan penyakit periodontal yang minimal atau
tidak ada, ditandai dengan kehilangan perlekatan sebesar 0,05-0,09
mm per tahun (11% individu).
Periode perusakan.- Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
perusakan periodontal berlangsung secara episodik, denga periode
tenang/inaktif dan periode aktif berlangsung secara bergantian.

12
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

Mekanisme perusakan tulang.- Hausmann telah


mengemukakan lima mekanisme bagaimana produk plak bakteri dapat
menyebabkan kehilangan tulang pada penyakit periodontal:
1. Aksi langsung dari produk plak terhadap sel-sel progenitor
tulang menginduksi diferensiasi sel-sel progenitor tersebut
menjadi osteoklas.
2. Produk plak beraksi secara langsung terhadap tulang, dan
merusaknya melalui mekanisme nonseluler.
3. Produk plak menstimulasi sel-sel gingival, sehingga sel-sel
giginya tersebut melepas mediator, yang pada akhirnya
menginduksi sel-sel progenitor tulang berdiferensiasi menjadi
osteoklas.
4. Produk plak menyebabkan sel-sel gingival melepas ajen atau
substansi yang dapat bertindak sebagai ko-faktor pada
resorpsi tulang.
5. Produk plak menyebabkan sel-sel gingival melepaskan ajen
yang merusak tulang dengan jalan aksi kimiawi secara
langsung, tanpa keterlibatan osteoklas.
Ajen farmakologis dan resorpsi tulang.- Beberapa ajen lokal
yang terbukti berkemampuan menginduksi resorpsi tulang secara in
vitro bisa berperan dalam penyakit periodontal. Termasuk disini
adalah: 1) prostaglandin dan prekursonya, yang dijumpai pada
inflamasi; 2) osteoclast-activating factor (faktor pengaktif osteoklas),
yang juga dijumpai pada inflamasi; dan 3) endotoksin yang diproduksi
oleh bakteri. Endotoksin yang berasal dari organism Bacteroides asam
lipoteihoit berperan dengan cara yang sama.
Prostaglansin adalah kelompok lemah yang secara alamiah ada
dan berpartisipasi dalam proses inflamasi serta mempunyai efek
seperti hormone. Bila disuntikkan secara intradermal, substansi ini
menyebabkan perubahan vascular seperti yang terjadi pada inflamasi.
Apabila diinjeksikan ke atas permukaan tulang, substansi ini
menginduksi resorpsi tulang tanpa keberadaan sel-sel inflamasi dan
dengan hanya sedikit osteoklas multinukleus.
Pembentukan prostaglandin dari asam lemak prekursornya,
misalnya asam arahidonat, dikontrol oleh siklooksigenase (sintesa
prostaglandin), yang akan mengkonversi asam lemak precursor
prostaglandin menjadi endoperoksidase siklik (cyclic endoperoxidases).
Resorpsi tulang bisa pula diinduksi oleh kultur lekosit yang
distimulasi antigen yang berasal dari plak dental. Dihipotesakan bahwa
limfosit memproduksi osteoclast-activating factor yang menginduksi
pembentukan dan aktivitas osteoklas.
Ensim proteolitik yang diproduksi pada waktu berkembangnya
penyakit periodontal atau yang diproduksi oleh bakteri bisa pula
berperan pada resorpsi tulang. Kolagenase dijumpai pada
periodonsium normal dan meningkat jumlahnya pada gingival yang
terinflamasi; kolagenase juga diproduksi oleh bakteri. Aktivitas
kolagenolisis terjadi pada tulang yang teresobsi secara in vitro, namun
kandungan kolagen tidak berkorelasi dengan keparahan kehilangan
tulang. Hialuronidase yang diproduksi oleh bakteri oral bisa pula
mempengaruhi proses resorpsi tulang dengan jalan menguraikan
substansi dasar matriks tulang.

13
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

Pembentukan tulang pada penyakit periodontal.- Pada


daerah yang berbatasan langsung dengan sisi dimana berlangsung
resorpsi tulang yang aktif bisa dijumpai pembentukan tulang. Demikian
juga sepanjang permukaan trabekula tak jauh dari daerah yang
terinflamasi berlangsung pembentukan tulang sebagai usaha untuk
memperkuat tulang yang masih ada; pembentukan tulang untuk
memperkuat diri ini dinamakan sebagai buttressing bone formation.
Respon tulang alveolar terhadap inflamasi mencakup
pembentukan tulang dan resorpsi tulang, dengan demikian berarti
bahwa penyakit periodontal bukanlah semata-mata proses destruktif
tetapi sebagai akibat lebih dominannya resorpsi tulang dibanding
dengan pembentukan tulang. Pembentukan tulang baru menghambat
kehilangan tulang, bahkan menggantikan sebagian tulang yang dirusak
oleh inflamasi.
Adanya pembentukan tulang sebagai respon terhadap inflamasi,
bahkan pada penyakit periodontal yang aktif, mempengaruhi hasil
perawatan periodontal. Tujuan utama perawatan periodontal adalah
menyingkirkan inflamasi, yang dengan sendirinya akan menyingkirkan
pemicu resorpsi tulang. Dengan tersingkirnya pemicu resorpsi tulang
tersebut akan dimungkinkan dominannya proses konstruktif/reparatif
dibandingkan proses destruktif.
Perusakan tulang disebabkan trauma karena oklusi
Penyebab lain dari perusakan tulang secara lokal adalah trauma
karena oklusi. Trauma karena oklusi dapat menyebabkan kehilangan
tulang tanpa atau dengan keberadaan inflamasi.
Trauma tanpa keberadaan inflamasi.- Tanpa adanya
inflamasi, perubahan yang disebabkan trauma karena oklusi bervariasi
mulai dari meningkatnya kompresi/himpitan dan tarikan (tension) pada
ligament periodontal dan peningkatan osteoklasis tulang alveolar
sampai ke nekrosis ligament periodontal dan resorpsi tulang dan
substansi gigi. Perubahan tersebut adalah reversible; artinya dapat
mengalami perbaikan apabila tekanan yang berlebihan dapat
dihilangkan. Namun demikian, trauma karena oklusi yang menetap
mengakibatkan pelebaran berbentuk cerobong asap (membesar
kearah atas) pada bagian ligament periodontal yang dekat ke krista
tulang alveolar, disertai resorpsi tulang alveolar yang berbatasan.
Perubahan yang dapat menyebabkan krista tulang alveolar berbentuk
angular, adalah merupakan adaptasi dari jaringan periodontal yang
bertujuan menyiapkan bantalan bagi tekanan oklusal yang meningkat.
Namun sebaliknya, perubahan pada bentuk tulang yang terjadi justru
memperlemah dukungan gigi dan menyebabkan timbulnya mobilitas
gigi (kegoyangan gigi).

Trauma berkombinasi dengan inflamasi.- Apabila


berkombinasi dengan inflamasi, trauma karena oklusi memperparah
perusakan tulang yang disebabkan inflamasi dan menyebabkan pola
tulang yang angular.

Faktor-faktor yang menentukan morfologi tulang alveolar pada


penyakit periodontal
Morfologi tulang alveolar pada penyakit periodontal dipengaruhi
oleh beberapa faktor berikut:

14
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

1. Variasi normal tulang alveolar.-


2. Eksostosis.-
3. Trauma karena oklusi.-
4. Pembentukan tulang penopang.-
5. Impaksi makanan.-
6. Periodontis juvenile.-

Pola kerusakan tulang pada penyakit periodontal


Disamping mengurangi tinggi tulang, penyakit periodontal
mengubah pula gambaran morfologis tulang alveolar. Agar dapat
menegakkan diagnosis secara tepat dan melakukan perawatan secara
efektif, diperlukan pemahaman tentang keberadaan dan pathogenesis
perubahan morfologis tulang alveolar tersebut.

Kehilangan tulang horizontal.- Pola kerusakan tulang ini


adalah pola yang paling banyak terjadi pada penyakit periodontal.
Tinggi tulang berkurang, namun tepi tulang tetap tegakluarus terhadap
permukaan gigi. Septum interdental dan plat tulang sebelah vestibular
dan oral teresorpsi, tetapi belum tentu sama banyaknya pada setiap
sisi gigi.

Cacat tulang.- Penyakit periodontal bisa mengakibatkan


beberapa tipe cacat tulang (bone deformities/osseous defects).
Keberadaannya dapat diduga denga melihat gambaran radiografi,
tetapi untuk kepastian keberadaannya dan untuk menentukan
dimensinya perlu dilakukan probing secara seksama, bahkan
pembukaan daerah tulang secara bedah.

Cacat tulang vertical atau angular.- Cacat tulang


vertical/angular adalah cacat tulang yang terjadi dalam arah
miring/oblik, menimbulkan daerah seperti sumur pada tulang sekeliling
akar gigi dengan dasar dari cacat berada apikal dari tulang sekitarnya.
Pada kebanyakan kasus, cacat tulang angular menyertai saku
infraboni. Pada saku infraboni cacat tulangnya selalu berupa cacat
tulang angular.
Cacat angular diklasifikasikan berdasarkan jumlah dinding
tulangnya. Cacat angular bisa memiliki, satu, dua, atau tiga dinding
(lihat Gambar 10). Jumlah dinding pada bagian oklusalnya. Cacat yang
demikian dinamakan cacat tulang kombinasi.
Cacat vertical pada septum interdental biasanya terdeteksi
dengan foto ronsen, meskipun kadang-kadang bisa terhalang oleh
adanya plat tulang yang tebal. Cacat angular bisa juga terjadi pada
permukaan vestibular dan oral, tetapi cacat yang demikian tidak
terdeteksi dengan foto ronsen. Satu-satunya cara yang paling tepat
untuk menentukan keberadaan dan kofigurasi cacat angular adalah
pembukaan daerah cacat tulang dengan prosedur bedah.
Cacat vertikal meningkat sejalan dengan pertambahan usia.
Hampir 60% individu dengan cacat angular pada daerah interdental
adalah berupa cacat tunggal. Cacat vertikal yang paling sering
terdeteksi pada foto ronsen adalah cacat pada permukaan distal gigi
molar.

15
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

Cacat vertikal berdinding tiga dinamakan juga sebagai cacat


intraboni (intrabony defect). Cacat ini paling sering terjadi pada
permukaan mesial gigi molar kedua dan molar ketiga maksila dan
mandibula. Cacat vertikal berdinding satu dinamakan juga
hemiseptum.
Krater tulang.- Krater tulang (osseous craters) adalah
cekungan pada krista tulang interdental yang diapit oleh dinding
vestibular dan dinding oral (Gambar 11). Frekuensi krater tulang
adalah 32, 5% dari seluruh cacat tulang (sekitar sepertiga), dan 62%
dari cacat tulang mandibula (sekitar duapertiga). Krate tulang lebih
sering dijumpai di regio posterior, yaitu sekitar dua kali lebih sering
ibandingkan di regio anterior. Tinggi krista sebelah vestibular dan oral
dri krater tulang pada 85% kasus adalah sama tingginya. Pada 15%
kasus sisanya, tinggi krista pada salah satu sisi lebih tinggi dari pada
sisi lainnya.
Ada beberapa alasan megenai tingginya frekuensi krater
interdental. 1) Daerah interdental adalah tempat penumpukan plak
yang sulit untuk dibersihkan. 2) Bentuk septum interdental dalam arah
vestibular-oral pada molar mandibula yang normalnya datar atau
cekung mempermudah pembentukan krater. 3) Pembuluh darah dari
gingiva yang berjalan menuju ke bagian tengah krista memberi
kemungkinan bagi penjalaran inflamasi.
Kontur tulang bulbous.- Cacat ini merupakan pembesaran
tulang disebabkan oleh eksostosis, adaptasi terhadap fungsi oklusal
yang meningkat, atau pembentukan tulang penopang. Cacat ini lebh
sering ditemukan pada maksila dibandingkan pada mandibula.

Arsitektur terbalik.- Arsitektur terbalik (reversed architecture)


terjadi oleh karena kehilangan tulang interdental, termasuk plat tulang
sebelah vestibular dan oral, tapa disertai kehilangan tulang radikular
(tulang setentang akar gigi) yang setara.

Lesi furkasi.- Lesi furkasi atau keterlibatan furkasi (furcation


involvement) adalah keterlibatan bifurkasi atau trifurkasi gigi berakar
banyak oleh penyakit periodontal. Gigi yang paling sering terlibat
adalah molar pertama mandibula, sebaliknya premolar maksila paling
jarang terlibat. Jumlah lesi furkasi meningkat selain untuk
bertambahnya usia.
Lesi furkasi diklasifikasikan berdasarkan jumlah perusakan
jaringa yang terjadi atas empat derajat, yaitu: 1) Derajat I; disini
kehilangan tulang baru pada taraf awal. 2) Derajat II; tulang
interradikular suah hilang sebagian. 3) Derajat III; kehilangan tulang
interradikuler yang banyak dan bia daerah furkasi diprobing dari sisi
verstibular sudah bisa mencapai ke sisi oral atau sebaliknya, tetapi
furkasi masih gditutupi oleh gingi. 4) Derajat IV; seperti derajat III
hanya furasi sudah tertangkap.
Beberapa faktor etiologi yang spesifik telah dikaitkan dengan
terjadinya lesi furkasi. 1) Oklusi yang traumatik. Faktor ini diduga
berperan sebagai faktorpendorong pada lesi furkasi yang disertai
cacaat tulang besar atau akar saja. 2) Proyeksi enamel (enamel
projections) ke daerah furkasi. Frekuensi anomali ini adalah sekitar
13% dari gigi berakar banyak. Dekatnya daerah furkasi ke batas

16
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

sementum-enael terjadi pada sekitar 75% kasus dengan lesi furkasi. 3)


Kanal aksesori (accessory canals) yang memungkinakn penjalaran
inflamasi dari pulpa ke daerah furkasi. Keterlibatan faktor ini perlu
diperhitungkan apabila pada kasus lesi furkasi tinggi tulang mesial dan
distal dari gigi yang terlibat masih normal. Frekuensi kanal aksesori
yang menghubungkan dasar ruang pulpa dengan daerah furkasi
adalah 36% pada molar pertama maksila, 12% pada molar kedua
maksila, 32% pada molar pertama mandibula, dan 24% pada motor
kedua mandibula.

TRAUMA KARENA OKLUSI


Dengan terminologi trauma karena oklusi (trauma from
occlusion) dimaksudkan cedera (injury) yang terjadi pada jaringan
periodonsium akibat tekanan oklusal yang diterima periodonsium telah
melampaui kemampuan adaptasinya. Dengan demikian istilah trauma
karena oklusi adalah menggambarkan cedera atau kerusakan yang
terjadi pda periokondisium, bukan tekanan oklusalnya. Oklusi yang
tekanannya telah menimbulkan cedera tersebut dinamakan oklusi
yang traumatik (traumatic occlusion).
Berdasarkan durasinya trauma karena oklusi bisa dibebaskan
atas 1) trauma dari ooklusi akut, dimana perubahan tekanan okluslnya
terjadi secara tbatibu, misalnya karena tergigit benda keras 2) trauma
karena oklusi kronis, dimana perubahan tekanan oklusalnya terjadi
secara bertahap pelan-pelan, misalnya karena keausan gigi atau
migrasinya gigi.
Bila ditinjau dari sebab timbulnya, trauma karena oklusi bisa
disebabkan oleh perubahan pada tekanan okkusalnya pada tekanan
oklusalnya, dan/atau berkurangnya kemampuan periodonisium dalam
menerima tekanan oklusal. Berdasarkan hal tersebut trauma karena
oklusi dapat pula dibedakan atas: 1) trauma akarena oklusi partner,
eimana penyebabnya yang mengganjal; 2) trauma karena oklusi
sekunder, dimana penyebabnya adalah berkurangnya kemampu
periodonisium mengadaptasi tekanan oklusal yang dideritanya.
Trauma karena oklusi yang merpuakan ciri klinis periodontitis
marginalis adalah traum karena oklusi sekunder. Menurunnya
kemampuan periodonsium dalam menerima tekanan oklusal (yang
pada kasus ini tidak harus berubah) adalah disebabkan kehilangan
tulang yang diakibatkan leh eriodontitis marginalis. Periodonsium
menjadi rentan terhadap cedera, dan tekanan oklusal yang tadinya
dapat dtolerir dengan baik sekarang menjadi traumatik.
Pengaruh trauma karena oklusi terhadap perkembangan
periodontitis marginalis.- Iritan lokal yang memicu gingivitis dan
saku periodontal mempengaruhi gingival, tetapi trauma karena oklusi
yang terjadi pada jaringan periodontal pendukung tidak mempengaruhi
gingival. Gingiva tidak terpengaruhi trauma karena oklusi disebabkan
pasok darahnya mencukupi, meskipun pembuluh darah pada ligament
periodontal terganggu karena tekanan oklusal yang meningkat.
Beberapa teori mengenai interaksi trauma dengan inflamasi
telah dikemukakan:
1. Trauma karena oklusi bisa mengubah jalur penjalaran inflamasi
gingival ke jaringan periodontal pendukung. Inflamasi akan lebih
dulu menjalar ke ligamen periodontal dan bukannya ke tulang

17
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

alveolar. Akibatnya kehilangan tulangnya angular dan sakunya


menjadi saku infraboni.
2. Daerah resorpsi akar yang diinduksi traum ayang tidak dibalut
perlekatan gingivitas karena telah migrasi ke apikal akan
menjaid lingkungan yang menguntungkan bagi pembentukan
dan perlekatan plak dan kalkulus, sehingga akan menjurus ke
terjadinya lesi yang lebih parah.
3. Plak supragingival bisa menjadi plak subgingival pabali gigi
menjadi miring (tilting) karena digerakkan secara ortodontik
atau migrasi ke daerah edentulous, dengan akibat perubahan
suku supraboni menjadi suku infraboni.

Ciri-ciri trauma karena oklusi sekunder.- Trauma karena oklusi


sekunder ditandai dari ciri-ciri berikut: 1) mobiliti gigi yang
berlebihan, yang dikategorikan sebagai mobility dinamis, terutama
pada gigi yang pada foto ronsen menunjukkan adanya pelebaran
ruang ligament periodontal; 2) cacat tulangnya lebih sering angular;
3) sakunya lebih sering saku infraboni; dan 4) migrasi patologis,
terutama pada gigi anterior.
MIGRASI GIGI PATOLOGIS
Migrasi ggi patologis atau wandering adalah berpindahnya
posisi gigi akibat terganggunya keseimbangan antar faktor-faktor
yang memelihara posisi gigi yang fisiologis oleh penyakit
periodontal. Keadaan ini relatif sehingga terjadi dan bisa
merupakan tanda dini dari penyakit, atau bisa terjadi setelah
penyakit berkembang lebih lanjut.
Migrasi patologis lebih sering terjadi pada regio anterior,
meskipun bisa juga melibatkan gigi posterior. Gigi yang terlibat bisa
bergerak ke segala arah, dan migrasi biasanya disertai mobiliti dan
rotasi. Migrasi patologis ke arah oklusi atau insisal dinamakan
ekstrusi. Penting sekali untuk mendeteksi wandering pada stadium
dini dan mencegah akibat lebih lanjut dengan jalan menyingkirkan
faktor-faktor penyebabnya. Pada stadium yang paling dini dari
migrasi patologis kehilangan tulang telah terjadi.
Patogenesis
Ada dua faktor utama yang berperan dalam memelihara
posisi normal gigi yaitu: 1) kesehatan tinggi yang normal ari
periodonsium, dua 2) tekanan yang mengenai gigi, yang mencakup
tekanan oklusal, tekanan bibir, pipi, dan lidah.
Faktor-faktor penting karena berkaitan dengan oklusal
adalah: 1) morfologi gigi dan inklinasi tonjol gigi; 2) keberadaan gigi
yang komplit; 3) tendensi fisiologis migrasinya gigi ke mesial; 4)
bentuk dan lokasi kontak proksimal; dan 5) atrisi pada permukaan
proksimal, insisal dan oklusal. Perubahan pada salah satu atau
beberapa faktor tersebut akan memicu sekuens perubahan yang
saling terkait pada satu atau sekelompok gigi dengan akibat
terjadinya migrasi patologis. Dengan demikian, migrasi patologis
terajadi kondisi yang melemahkan dukungan periodontal, dan/atau
peningkatan atau modifikasi tekanan yang mengenai gigi.
Tidak digantinya gigi yang hilang.-
Tidak digantinya gigi molar pertama.- Perubahan yang
timbul akibat tidak digantinya molar pertama yang hilang adalah

18
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

khas. Pada kasus yang ekstrim akibat tidak diganti gigi molar
pertama mandibula yang dicabut bisa terjadinya.
1. Molar kedua dan ketiga miring (tilting), dengan akibat
berkurangnya dimensi vertikal.
2. Premolar bergerak ke distal, dan insisivus mandibula miring
dan ekstrusi ke lingkual. Premolar mandibula karena drifting
ke mesial kehilangan ke tinggi. Premoolar mandibula karena
drifting ke mesial kehilangan hubungan interkuspalnya
dengan gigi maksila sehingga miring ke distal.
3. Bertambah besarnya overbite anterior. Insisivus mandibula
berkontak dengan insisivus maksila dekat ke gingiva atau
mencederai giginya.
4. Insisivus maksila terdorong ke labial dan lateral.
5. Gigi anterior ekstrusi karena kontak insisal telah hilang.
6. Terbentuknya diastema pada daerah anterior.
Penyebab lain.- Penyebab lain dari berubahnya tekanan
yang mengenai gigi adala: 1) Trauma karena oklusi, baik secara
sendirian maupun kombinasi dengan inflamasi, bisa menyebabkan
perubahan posisi gigi. Arah pergeseran gigi tergantung pada
tekanan oklusalnya. 2) Tekanan dari lidah bisa menyebabkan
drifting pada keadaan tidak adanya penaykit periodontal, atau turut
berperan dalam menyebabkan migrasi patologis pada gigi yang
melemah dukungan periodontalnya. 3) Tekanan dari jaringan
granulasi pada saku periodontal.
MOBILITI GIGI
Yang dimaksud dengan mobiliti gigi adalah goyangnya gigi.
Karena gigi yang tertanam didalam soket gigi bukanlah tertanam kaku
sebagaimana layaknya tiang yang disemenkan, maka harus dibedakan
dua jenis mobiliti: mobiliti fisiologis dan mobiliti patologis.

Mobiliti fisiologis
Mobiliti gigi bukanlah semata-mata pertanda penyakit
periodontal. Pada gigi yang normal pun dijumpai mobiliti yang
fisiologis, yang bervariasi berdasarkan tipe gigi dan paruh waktu hari.
Mobiliti fisiologis lebih besar pada waktu bangun tidur di pagi hari,
untuk selanjutnya akan berkurang. Meningkatnya mobiliti di pagi hari
adalah karena gigi sedikit ekstrusi karena di waktu tidur tidak
berkontak dengan angagonisnya.
Mobiliti gigi terjadi dalam dua tahap: 1) Tahap inisial atau
intrasoket, pada tahap mana gigi bergerak sebatas ligamen
periodontal. Hal ini berkaitan dengan distorsi viskoelastik ligamen
periodontal dan redistribusi cairan, kandungan interbundel, dan
serabut ligamen periodontal. Pergerakan inisial ini terjadi dengan
tekanan sekitar 100 lb dan pergerakannya sejauh 0,05-0.10 mm (50-
100 μm). 2) Tahap sekunder, yang terjadi secara bertahap.
Mobiliti patologis
Mobiliti yang melebihi rentangan mobiliti yang normal
dinamakan mobiliti abnormal atau mobiliti patologis. Kategori patologis
disini adalah karena mobilitinya melampaui mobilit yang normal;
periodonsiumnya sendiri pada saat pemeriksaan tidak harus
menunjukkan tanda-tanda berpenyakit.

19
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

Meningkatnya mobilitas gigi bisa disebabkan salah satu atau


lebih faktor berikut:
1. Hilangnya dukungan terhadap gigi karena kehilangan tulang.
2. Trauma karena oklusi.
3. Penjalaran inflamasi dari gingiva atau dari periapikal ke ligamen
periodontal.
4. Bedah periodontal.
5. Kehamilan, menstruasi dan kontrasepsi hormonal.
6. Proses patologis pada rahang yang merusak tulang alveolar
dan/atau akar gigi.
RESESI GINGIVA
Resesi gingiva (gingival recession) adalah tersingkapnya
akar gigi akibat bergesernya posisi gingiva ke apikal.
Posisi nyata dan posisi semu dari gingival.-
Resesi tampak dan resesi tersembunyi.- Resensi gingiva
dapat dibedakan atas: 1) Resesi tampak (visible recession), yaitu resesi
yang telrihat secara klinis; dan 2) Resesi tersembunyi (hidden
recession), yaitu resesi yang tidak terlihat karena masih didindingi oleh
gingiva dan hanya terukur dengan bantuan alat prob yang diselipkan
ke dalam saku/sulkus sampai ke epitel penyatu.

Gambar 15. Posisi gingiva: posisi nyata dan posisi semu.

Dengan istilah resesi dimaksudkan adalah lokasi dari gingiva,


dan bukan kondisi gingivanya. Gingiva yang resesi sering dalam
keadaan terinflamasi, tetapi bisa pula ditemukana resesi dengan
gingiva yang sehat. Dengan demikian, berdasarkan proses terjadinya
resesi gingiva dapat dibedakan atas: 1) Resesi akibat penyakit gingiva
dan periodontal; dan 2) Resesi akibat iritasi mekanis pada
periodonsium yang sehat.
Ciri-ciri klinis
Resesi gingiva akibat periodonsium yang terinflamasi.-
Ciri-ciri klinis dari resei yang diakibatkan oleh periodonsium yang
terinflamasi adalah:
1. Krista gingival bebas berada apikal dari batas sementum-
enamel.
2. Gingiva bisa merah atau merah muda dan lunak atau kaku
tergantung perubahan patologis yang terjadi.

20
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

3. Gingiva tipis, getas dengan gingival cekat yang minimal atau


tidak ada sama sekali.
4. Gigi yang terlibat adalah gigi dengan pembentukan saku
periodontal, yang kedalamannya bisa tidak berbeda dari sulkus
normal.
Resesi gingiva akibat iritasi mekanis. Ciri-ciri klinis dari resensi
non-inflamatori yang diakibatkan oleh iritasi mekanis adalah:
1. Biasanya tanpa tanda-tanda inflamasi gingiva.
2. Resesi bisa setempat pada gigi yang labioversi, tetapi bisa juga
menyeluruh pada hapir semua gigi.
Klasifikasi
Saliva dan Atkins telah mengemukakan klasifikasi resesi gingiva
yang paling sederhana berdasarkan morfologinya, dimana resesi
dibedakan atas:
1. Resesi yang dangkal-sempit
2. Resesi yang dangkal-lebar
3. Resesi yang dalam-sempit
4. Resesi yang dalam-lebar
Etiologi
Beberapa faktor telah diduga sebagai etiologi resesi gingiva,
sementara beberapa faktor lainnya diduga beperan dalam
mempengaruhi kerentanan bagi terjadinya resesi gingiva.
Faktor-faktor yang bisa berperan sebagai etiologi resesi
gingival.-
1. Inflamasi gingiva.-
2. Friksi sikat gigi.-
3. Friksi dari jaringan lunak.-
4. Perlekatan frena atau otot.-
Faktor yang mempengaruhi kerentanan terjadinya resesi
gingival.-
1. Posisi gigi.-
2. Morfologi akar gigi.-
3. Zona gingiva cekat yang inadekuat.-
4. Tekanan oklusal yang berlebihan.-
Masalah yang ditimbulkan
1. Masalah estetis.-
2. Karies gigi.-
3. Hipersensitivitas dentin.-
4. Simtom pulpa.-
5. Penumpukan plak, makanan, dan bakteri.-

AKTIVITAS PENYAKIT PERIODONTAL


TIPE-TIPE PERIODONTITIS MARGINALIS
PERIODONTITIS KRONIS
Periodontitis kronis (chronic periodontitis) yang dulunya dikenal
dengan nama periodontitis dewasa (adult periodontitis) atau
periodontitis berkembang lambat (slowly progressing periodontitis)
adalah tipe periodotitis yang paling sering ditemukan.

Gambaran klinis
Karakteristik umum.- 1) adanya penmpukan plak supra dan
sibgingiva, yang biasanya disertai dengan pembentukan kalkulus, 2)

21
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

tanda-tanda inflamasi gingiva, 3) pembentukan saku periodontal, yang


apabila terjadi resesi gingiva bersamaan dengan kehilangan perlekatan
maka saku periodontalnya tetap dangkal, 4) kehilangan perlekatan, 5)
kehilangan perlekatan, dan 6) dan kadang-kadang disertai pernanahan
Faktor-faktor resiko bagi terjadinya periodontitis kronis
Riwayat periodontitis sebelumnya.-
Faktor-faktor lokal.-
Faktor-faktor sistemik.-
Faktor-faktor lingkungan dan kebiasaan.-

PERIODONTITIS AGRESIF
Periodontitis agresif (aggressive periodontitis) mencakup tiga
penyakit yang dulu dikategorikan sebagai “periodontitis bermula dini”
(early-onset periodontitis/EOP), yaitu: 1) periodontitis agresif lokalisata
(localized aggressive periodontitis) yang dulu dinamakan “periodontitis
juvenil lokalisata” (localized juvenile periodontitis/LJP), 2) periodontitis
agresif generalisata yang mencakup penyakit yang dulu dinamakan (1)
“periodontitis juvenil generalisata” (generalized juvenile
periodontitis/GJP), dan (b) “periodontitis berkembang cepat” (rapidly
progressive periodontitis/RPP).

PERIODONTITIS AGRESIF LOKALISATA


Karakteristik klinis
Beberapa alasan telah dikemukakan mengenai terlokalisernya
perusakan periodontal pada gigi tertentu, yaitu:
1. Setelah mengkoloni daerah subgingiva gigi permanen yang
pertama kali erupsi (molar pertama dan insisivus), bakgteri
Actinobaccillus actinomycetemcomitans akan menghindari dari
respon pejamu dengan berbagai mekanisme, termasuk:
memproduksi faktor penghambat khemotaksis lekosit
polimorfonukleus, endotoksin, kolagenase, leukotoksin dan
faktor-faktor lain yang memungkinkan bakteri invasi dan
merusakan jaringan periodonsium.
2. Berkembangnya bateri antagonistis terhadap A.
Actinomycetemcomitans sehingga mengurangi perusakan yang
diakibatkan lesi dan mengurangi sisi yang dikolonisasi.
3. A. actinomycetemcomitans kehilangan kemampuannya
memproduksi leukotoksin tanpa diketahui penyebabnya.
4. Kemungkinan bahwa gangguan pembentukan sementum
bertanggun gjawab terhadap terlokalisernya lesi.
Distribusi berdasarkan usia dan kelamin
Periodontitis agresif lokalisata melibatkan baik laki-laki maupun
perempuan, dan paling sering dijumpai antara usia uber sampai usia
20 tahun.

PERIODONTITIS AGRESIF GENERALISATA


Karakteristik klinis
Periodontitis agresif generalisata (PAG) biasanya mengenai
individu berusia dibawah 30 tahun, meskipun bisa juga ditemukan
pada individu yang lebih tua. Pada penderita PAG ditemukan respons
antibodi yang lemah terhadap bakteri patogen yang ada.

22
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

Ada dua bentuk respons jaringan gingiva pada kasus PAG: 1)


Gingiva terinflamasi akut yang parah, sering proliferasi, ulserasi dan
berwarna merah terang. Pedarahan gingiva bisa terjadi spontan atau
dengan stimulasi ringan. Pernanahan juga sering ditemukan. Respons
yang demikian ini terjadi pada stadium destruksi dimana sedang
berlangsung kehilangan perlekatan dan tulang. 2) Gingiva berwarna
pink, bebas dari inflamasi, kadang-kadang stippling tetap terlihat,
meskipun bisa juga hilang.

Temuan radiografis
Gambaran radiografis pada kasus PAG bervariasi dari kehilangan
tulang yang parah pada beberapa gigi sampai kehilangan tulang yang
melibatkan sebagian besar gigi geligi.

Prevalensi dan distribusi berdasarkan usia dan kelamin


Di Amerika Serikat PAG dijumpai pada 0,13% remaja berusia 14-
17 tahun. Secara umum orang berkulit hitam lebih beresiko menderita
GAP dibanding orang kulit putih, dan remaja laki-laki lebih beresiko
dibanding remaja perempuan.

Faktor-faktor resiko bagi terjadinya periodontitis agresif


Faktor-faktor mikrobiologis.-
Faktor-faktor imunologis.-
Faktor-faktor genetik.-
Faktor-faktor lingkungan.-

PERIODONTITIS SEBAGAI MANIFESTASI PENYAKIT SISTEMIK


Beberapa kelainan hematologis dan genetik telah dikaitkan
dengan terjadinya periodontitis pada penderita kelainan tersebut.
Manifestasi klinis dari kenayakan kelainan atau gangguan tersebut
terjadi pada usia muda sehingga bisa disalah interpretasikan dengan
periodontitis agresif yang disertai kehilangan perlekatan yang cepat
dan berpotensi mengalami kehilangan gigi.
Terminologi “Periodontitits sebagai manifestasi penyakit
sistemik” adalah diagnosis yang digunakan pada kasus dimana kondisi
sistemik merupakan faktor predisposisi utama sedangkan faktor lokal
seperti penumpukan plak tidak begitu banyak. Apabila pada kasusunya
destruksi periodontal yang terjadi nyata-antara akibat faktor-faktor
lokal namun keadaannya diperparah oleh keberadaan kondisi sistemik
seperti diabetes mellitus, maka diagnosis yang ditegakkan
“periodontitis kronis yang dimodifikasi oleh kondisi sistemik”.
Beberapa faktor sistemik yang bisa menimbulkan “periodontitis
sebagai manifestasi penyakit sistemik” adalah:

Sindroma Papillon-Lefevre.- Sindroma ini punya ciri khas


berupa lesi hiperkeratosisi pada kulit, perusakan periodonsium yang
hebat, dan pada beberapa kasus kalsifikasi dura. Perobahan pada kulit
dan periodonsium biasanya terjadi bersama-sama sebelum usia 4
tahun. Lesi kulit terdiri dari hiperkeratosis, ihtiosis (ichthyosis) pada
daerah terlokaliser pada telapak tangan, telapak kaki, lutut, dan siku.
Sidroma Down.- Sindroma Down (mongolism, trisomy 21)
adalah penyakit kongenital yang disebabkan oleh ketidak normalan

23
Periodonsia
Univ. Sam Ratulangi

kromosom, yang ditandai dengan defisiensi mental dan hambatan


dalam pertumbuhan. Prevalensi penyakit periodontal pada sindroma
Down adalah tinggi (terjadi pada hampir 100% pasien yang berusia
kurang dari 30 tahun). Meskipun plak, kalkulus, dan iritan lokal
dijumpai dan higiena oral buruk, keparahan perusakan periodontal
melampaui perusakan yang seharusnya disebabkan oleh iritan lokal
saja.
Ada dua faktor yang diduga menjadi penyebab tingginya
prevalensi dan bertambahnya keparahan perusakan periodontal
berkaitan dengan sindroma Down, yaitu: (1) menurunnya perlawanan
terhadap infeksi karena sirkulasi yang kurang baik, terutama pada
daerah terminal dari vaskularisasi, seperti pada gingiva; dan (2) cacat
dalam hal pematangan sel-T dan khemataksis lekosit polimorfonukleus.
Meningkatnya proporsi Prevotella melaninogenica telah dilaporkan
pada rongga mulut anak-anak yang menderita sindroma Down.
Neutropenia.- Lesi periodontal destruktif yang menyeluruh dilaporkan
terjadi pada anak-anak penderita neutropenia.
Sindroma Chediak-Higashi.- Sindroma ini jarang ditemukan.
Netrofil penderita sindroma ini mengalami cacat struktural dengan
terbentuknya granul raksasa yang dinamakan megabodies. Cacat
fungsional netrofilnya mencakup melemahnya khemotaksis,
degranulasi, dan aktivitas mikrobanya. Manifestasi oranlnya mencakup
periodontitis yang parah dan berkembang cepat.
Hipoposfatasia.- Penyakit ini adalah penyakit skeletal yang
jarang, ditandai dengan riketsia (rickets), pembentukan tulang cranial
yang tidak sempurna, kraneostenosis, dan tanggalnya gigi desidui
secara prematur, terutama gigi insisivus. Pada penderita ditemukan
level posfatase alkalin yang rendah dalam serum, dan ditemukannya
posfoetanolamin dalam serum dan urin.
Gigi tanggal tanpa adanya tanda-tanda inflamasi gingiva dan
menurunnya pembentukan sementum. Pada pasien dengan kelainan
abnormalitas tulang yang minimal, kehilangan gigi desidui yang
prematur bisa merupakan satu-satunya simtom hipopiosfatasi. Pada
remaja, penyakit ini mirip periodontitis juvenil.
Leukemia akut dan subakut.- Timbulnya penyakit ini pada
anak-anak bisa disertai oleh perubahan periodontal yang parah.
Defisiensi adhesi lekosit.- Kasusu defisiensi adhesi lekosit
(leukocyte adhesion deficiensy/LAD) adalah jarang dan timbul pada
masa atau segera setelah erupsinya gigi desidui. Pada pasien
ditemukan inflamasi yang sangat parah disertai proliferasi jaringan
gingiva dan perusakan tulang yang cepat. Cacat yang menyolok pda
netrofil dan monosit darah perifer dan tidak adanya netrofil pada
jaringan gingiva telah dijumpai pada pasien dengan defisiensi adhesi
lekosit; pasien yang demikian sering pula mengalami infeksi saluran
pernafasan dan kadang-kadang otitis media. Semua gigi desidui
terlibat, tetapi gigi permanen bisa tidak terlibat.

24

You might also like