You are on page 1of 208

JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN Tahun 18, Nomor 2, Desember 2008

Pandangan Para Mufassir terhadap Poligami dalam Konteks Kesetaraan Gender


Laily Maziyah, dkk
Eksplorasi Kinerja Undang-undang RI no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Pengembangan Strategi Sosialisasi dan
Edukasinya di Kota dan Kabupaten Malang
Siti Malikhah Towaf
Implementasi Corporate Social Responbility sebagai Upaya Mengatasi Konflik
Saluran Udara Ekstra Tinggi (SUTET) (Studi Kasus pada PLN Kota Malang)
Puji Handayati, dkk
Analisis Pengaruh Kompensasi terhadap Motivasi dan Kinerja (Studi Kasus
Dosen Ekonomi pada Perguruan Tinggi Swasta)
Heri Sudarsono
Pengembangan Bahan Ajar dan Lembar Kegiatan Siswa Matapelajaran PKn
dengan Pendekatan Deep Dialoque/Critical Thinking untuk Meningkatkan
Kemampuan Berdialogh dan Berpikir Kritis Siswa SMA di Jawa Timur
Sri Untari, dkk.
Kajian Dampak Implementasi Modul Physics by Inquiry terhadap Pola
Pertumbuhan Penguasaan Konsep Fisika pada Model Pembelajaran Investigasi
Kelompok para Calon Guru Universitas Negeri Malang
Eddy Supramono
Skipping sebagai Strategi Pemrosesan Kosakata dalam Membaca Pemahaman
oleh Pembelajar Bahasa Inggris
Kusumarasdyati
Pengembangan Model Pendidikan Pencegahan Perceraian bagi Pasangan Suami
Istri (Pasutri) Muslim
Ahmad Munjin Nasih

Penerapan Metode Pembelajaran Berbasis Proyek untuk Meningkatkan Kualitas


Pembelajaran Praktik Industri pada Prodi S-1 PTB
Pribadi, dkk
Terakreditasi sebagai jurnal ilmiah nasional berdasarkan Surat Keputusan Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi nomor III/DIKTI/KEP/1998 tanggal 8 April 1998; nomor
395/DIKTI/KEP/2000 tanggal 27 November 2000; dan nomor 49/DIKTI/KEP/2003
tanggal 9 Desember 2003 tentang Hasil Akreditasi Jurnal Ilmiah
Pandangan Para Mufassir terhadap Poligami
dalam Konteks Kesetaraan Gender

Laili Maziyah
Syafaat

Abstract: The mufassirs have a notion that polygamy is mubah


(permitted). It is required for husband that performs polygamy to
do justice in giving charity toward all of his wives and justice in
giving sex turning and accompany to his wives. However, no
required to do justice in love because it includes heart zone and
applied by Rasulullah. The result showed that five forms of gender
inequality toward women (marginalization,violence, subordination,
stereotype, and double burden), not found generally in "five
books", even such mufassirs are likely more moderate than other
interpreters, by giving rigid conditions to conduct the polygamy.
The reseacher chooses it to unveil pictures about concept,
condition, rules of polygamy, and aspects of gender equality in
their works. However, Ar-Razi opinion tends to perform stereotype
of women because he gives not binding of polygamy conditions
and permit husband to get married more than four or no limitation
number of wives in polygamy.
Key words: mufassir, poligami concept, gender

Kontroversi seputar poligami menyembur lagi ke permukaan setelah da‘I


kondang KH. Abdullah Gimnastiar (Aa‘Gym) secara mengejutkan
melakukan poligami bulan Nopember 2006, kemudian diikuti oleh
anggota DPR Zaenal Maarif dari Partai Bintang Reformasi (FBR) secara
terang-terangan di hadapan media (Kompas, 18/1/07). Fakta tersebut tak
hanya mengundang gejolak tapi juga membuat bombardir kiriman SMS
ke ponsel Presiden.

Laily Maziyah dan Syafaat adalah dosen Jurusan Sastra Arab FS Universitas Negeri
Malang
Presiden Yudhoyono kemudian secara khusus memanggil Menneg
Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Sekretaris Kabinet Sudi
Silalahi, dan Dirjen Binmas Islam Nazzarudin Umar meminta revisi agar
cakupan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 (yang sudah
direvisi menjadi PP Nomor 45 tahun 1990 tentang poligami) diperluas
tidak hanya berlaku bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) tetapi juga pada
pejabat negara dan pejabat pemerintah (Iman, 2006).
Poligami merupakan salah satu bentuk perkawinan yang seorang
laki-laki menikahi lebih dari satu istri. Menurut Mulia (2004:44-45),
poligami sudah ada jauh sebelum Islam datang. Mahmud Syaltut (w.
1963), ulama besar asal Mesir, secara tegas menolak poligami sebagai
bagian dari ajaran Islam, dan juga menolak bahwa poligami ditetapkan
oleh syari‘ah.
Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat manusia di
berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami.
Poligami dipraktekkan secara luas di kalangan masyarakat Yunani,
Persia, dan Mesir kuno. Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam,
masyarakatnya telah mempraktekkan poligami, malahan poligami yang
tak terbatas. Sejumlah riwayat menceriterakan bahwa rata-rata pemimpin
suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku
mempunyai istri sampai ratusan.
Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa setelah turun ayat yang
membatasi jumlah istri hanya empat orang, yakni QS Al-Nisa‘: [4]:3.
Nabi segera memerintahkan semua laki-laki yang memiliki istri lebih
dari empat agar menceraikan istri-istrinya sehingga setiap suami
maksimal hanya boleh punya empat istri (Ibn Surah, tt:445). Karena itu,
A1-Aqqad (1962:107) ulama asal Mesir, menyimpulkan bahwa Islam
tidak mengajarkan poligami, tidak juga memandang positif, apalagi
mewajibkan, Islam hanya membolehkan dengan syarat yang sangat ketat.
Sangat disesalkan bahwa dalam prakteknya di masyarakat, mayoritas
umat Islam hanya terpaku pada kebolehan poligami, tetapi mengabaikan
sama sekali syarat yang ketat bagi kebolehannya itu. Perkembangan
poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan masyarakat
terhadap kaum perempuan. Pada masa ketika masyarakat memandang
kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami menjadi subur,
sebaliknya pada masa masyarakat memandang kedudukan dan derajat
perempuan terhormat, poligami pun berkurang. Jadi, perkembangan
poligami mengalami pasang surut mengikuti tinggi-rendahnya
kedudukan dan derajat perempuan di mata masyarakat (Abu Zayd,
2003).
Ketika Islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta
dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung soal poligami
diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan
petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang dilakukan Nabi,
menurut Mulia (2004:46-47) berkaitan dengan dua hal. Pertama,
membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Sejumlah riwayat
memaparkan pembatasan poligami tersebut di antaranya riwayat dan
Naufal ibn Muawiyah. Ia berkata: Ketika aku masuk Islam, aku memiliki
lima orang istri. Rasulullah berkata: Ceraikanlah yang.satu dan
pertahankan yang empat. Pada riwayat lain Qais ibn Tsabit berkata:
Ketika masuk Islam aku punya delapan istri. Aku menyampaikan hal itu
kepada Rasul dan beliau berkata: pilih dari mereka empat orang.
Riwayat serupa dari Ghailan ibn Salamah Al-Tsaqafi menjelaskan bahwa
dirinya punya sepuluh orang istri, lalu Rasul bersabda: “pilih empat
orang dan ceraikan yang lainnya.”
Kedua, menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus
mampu berlaku adil. Persyaratan yang ditetapkan bagi kebolehan
poligami itu sangat berat, dan hampir dapat dipastikan tidak ada yang
mampu memenuhinya. Artinya, Islam memperketat syarat poligami
sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-mena
terhadap istri mereka seperti sediakala. Dengan demikian, terlihat bahwa
praktek poligami di masa Islam sangat berbeda dengan praktek poligami
sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal. Pertama, pada
bilangan istri, dan tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya
empat. Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki masa itu
sudah terbiasa dengan banyak istri, lalu mereka disuruh memilih empat
saja dan menceraikan selebihnya. Kedua, pada syarat poligami, yaitu
harus mampu berlaku adil. Sebelumnya, poligami itu tidak megenal
syarat apa pun, termasuk syarat kesetaraan. Akibatnya, poligami banyak
membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena
para suami yang berpoligami tidak terikat pada keharusan berlaku adil,
sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan
nafsunya.
Dalam realiatas, poligami berimplikasi pada maraknya berbagai
bentuk kekerasan terhadap perempuan. Laporan Rifka Annisa (2001:5-
8), sebuah institusi yang peduli pada kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan, menjelaskan bahwa selama tahun 2001 mencatat sebanyak
234 kasus kekerasan terhadap istri. Data-data mengenai status korban
mengungkapkan 5,1% poligami secara rahasia, 2,5% dipoligami resmi,
36,3% korban selingkuh, 2,5% ditinggal suami, 4,2% dicerai, 0,4%
sebagai istri kedua, dan 0,4% lainnya sebagai teman kencan. Jenis
kekerasan yang dilaporkan meliputi kekerasan ekonomi sebanyak 29,4%;
kekerasan fisik 18,9%; kekerasan seksual 5,6%; dan kekerasan psikis
46,1%.
Menurut Subhan (2004), di antara aktor penyebab kesenjangan
gender yaitu penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau
cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial dan
kurang kholistik. Jadi, untuk meminimalisasi ketidaksetaraan gender
yang muncul akibat pemahaman yang keliru terhadap poligami,
diperlukan reinterpretasi ajaran agama secara komprehensif, kontekstual,
dan holistik. Namun, sebelum tahap reinterpretasi teks agama dilakukan,
penelaahan buku-buku tafsir mutlak dilakukan.
Oleh karena itu, penelitian terhadap sejumlah kitab tafsir klasik
atas ayat-ayat poligami dalam al-Qur‘an yang berkaitan dengan
kesetaraan gender sangat penting dilakukan sebagai langkah awal untuk
memformulasi pemahaman yang baru dan benar. Dengan melakukan
kajian yang mendalam atas sejumlah karya mufassir terkenal akan
diperoleh gambaran mengenai penafsirannya tentang konsep, syarat,
hukum poligami, juga bentuk-bentuk ketidaksetaraan gender dalam
karya mereka. Melalui pendekatan holistik, yaitu linguistis dan
sosiologis sekaligus, dalam kerangka pelacakan pada asal-muasal produk
pemikiran mengenai poligami dan kesetaraan gender, kusutnya benang
permasalahan tersebut akan dapat dikaji secara jernih. Adapun rumusan
masalah yang diangkat adalah (a) bagaimana latarbelakang para penafsir
dan corak tafsir masing-masing; (b) Bagaimana pandangan para mufassir
terhadap konsep (definisi, syarat-syarat dan hukum) poligami; dan (c)
bagaimana pandangan para mufassir terhadap poligami dalam konteks
kesetaraan gender?
METODE
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh paparan yang jelas dan
rinci mengenai pandangan mufasir tentang poligami. Untuk mencapai
tujuan penelitian secara komprehensif, peneliti menggunakan pendekatan
kualitatif.. Sedangkan jenis penelitian ini adalah deskriptif, yaitu
pemerian secara sistematis dan faktual terhadap pandangan dan
penafsiran para mufassir terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang memuat
tentang relasi gender.
Data dalam penelitian ini berupa tulisan atau manuskrip yang
merupakan karya dari para mufassir Al-Qur‘an, sedangkan sumber
datanya terdiri dan lima kitab tafsir, yakni (1) Al Tafsir Al Kabir karya
Fakhruddin Ar Razi, , (2) Jami‟ul Bayan „an Ta‟wil Ayil Qur'an karya
At-Thabari, (3), Al-Mishbah karya M. Quraish Syihab (4). Tafsir Al-
Quran al-Adhim karya Ibn Katsir (5) Tanwir al-Miqbas min tafsir Ibn
Abbas karya Ibnu Abbas.
Oleh karena penelitian ini menganalisis pandangan mufassir
tentang ayat-ayat poligami dan munasabah (korelasi)-nya dalam al-
Qur'an, maka ada tujuh ayat yang akan diteliti, yaitu: (1) An-Nisa‘ ayat
1, (2) An-Nisa‘ ayat 2, (3) An-Nisa‘ ayat 3, (4) An-Nisa‘ ayat 127, (5)
An-Nisa‘ ayat 128, (6) An-Nisa‘ ayat 129, (7) An-Nisa‘ ayat 130.
Untuk lebih mendapatkan gambaran yang operasional dalam
penelitian ini, berikut paparan Tabel 1 variabel dan sub variabel:

Tabel 1 Paparan Data Variabel dan Sub-Variabel

No Variabel Sub-Variabel
 Konsep poligami
1 Poligami  Syarat-syarat berpoligami
 Hukum poligami
 Tidak ada unsur marginalisasi terhadap perempuan
2  Tidak ada unsur streotifisasi terhadap perempuan
Kesetaraan
 Tidak ada unsur kekerasan terhadap perempuan
Gender
 Tidak ada unsur subordinasi terhadap perempuan
 Tidak ada unsur pembebanan ganda terhadap perempuan
BAHASAN
Setelah dilakukan identifikasi data tentang corak penafsiran
masing-masing mufassir, pandangan para mufassir tentang konsep
(definisi, hukum, syarat) poligami dalam tafsir Ar-Razi, Ath-Thabari, Al-
Mishbah, Ibn Katsir dan tafsir Ibn Abbas dan pandangan mereka tentang
poligami dalam konteks kesetaraan gender, maka dalam bab ini akan
dipaparkan pembahasan atau diskusi hasil, yang merupakan sintesa
antara temuan dan teori.

Corak Tafsir para Mufassir


Setidaknya ada empat metode/corak tafsir yang digunakan telah
para mufassir dalam menjelaskan maksud dan makna yang terkandung di
dalam Al-Qur'an, yakni metode tahlili, metode maudu‗i, metode ijmali,
dan metode muqaran (Umar, 1999:188-189).
Metode tahlili adalah metode penafsiran Al-Quran yang
munculnya secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur‘an, sesuai dengan urutan bahkan
yang terdapal dalam mushaf Utsmani (Al-Almai, 1984:48). Mushaf
Utsmani adalah salah satu versi mushaf yang disusun oleh Utsman bin
Affan saat ia menjadi khalifah. Mushaf ini dibuat untuk tujuan
menyeragamkan bacaan umat Islam. dan untuk tujuan itu ia telah
―meminggirkan‖ mushaf versi lainnya. Namun demikian. mushaf itu
masih saja ada, dan di dalam dijumpai sejumlah perbedaan, tidak saja
bacaannya melainkan juga kosakatanya, dengan apa yang ditemui dalam
mushaf Utsmani tadi.
Adapun metode maudu‘i adalah metode yang oleh Shihab
(1993:114). didefinisikan sebagai tafsir yang menetapkan suatu topik
tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dan
beberapa surah, yang berbicara tentang topik tersebut untuk kemudian
dikaitkan satu dengan yang lainnya. sehingga pada akhirnya diambil
kesimpulan secara menyeluruh tentang masalah tersebut menurut
pandangan Al-Qur'an.
Metode tafsir ijmali adalah metode yang menafsirkan ayat-ayat al-
Qur'an dengan mengemukakan makna global. Pembahasan metode ini
mengikuti urutan kronologis susunan ayat-ayat A1-Qur‘an, mengkaji
asbabun nuzulnya. dan berusaha menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan
ayat-ayat lainnya (Al-Rahman, 1986:549). Sedangkan metode tafsir
muqaran ialah suatu metode tafsir yang berupaya memberikan makna
satu ayat dengan ayat lain, makna suatu ayat dengan hadis, dan antara
satu penafsiran dengan penafsiran lainnya dalam suatu ayat (Umar,
1999:200).
Dari kelima jenis tafsir yang dianalisis, empat diantaranya
menggunakan corak tafsir tahlili dan sisanya menggunakan corak tafsir
ijmali. Empat tafsir yang menggunakan corak tahlili, yaitu: tafsir ath-
Thabari, Ar-Razi, Al-Mishbah, dan Ibn Katsir. Tafsir-tafsir tersebut
digolongkan ke dalam corak tahlili karena setiap kata, kalimat, ayat
dikupas dengan gamblangnya dari beberapa sudut pandang. Mulai dari
sudut pandang bahasa, sejarah, filsafat dll. Sementara dalam tafsir Ibn
Abbas digunakan corak/metode ijmali. Yakni, lebih menekankan pada
aspek bahasa dan keagamaan.

Konsep Poligami dalam Pandangan para Mufassir


Menikah merupakan sunnah Rasulullah saw yang sangat
dianjurkan. Kepada mereka yang belum menikah Rasulullah sangat
menganjurkan untuk tidak menunda-nunda pernikahan, bahkan
menyegerakannya. Pada saat yang sama Islam juga menetapkan aturan
syar‟i yang jelas tentang pernikahan, mulai dari kesiapan pribadi,
sebelum, saat, dan setelah pernikahan. Semua ada aturan mainnya,
sehingga diharapkan setiap muslim yang menikah mampu menjalani
rumah tangganya dengan baik dan bahagia.
Dalam beberapa kasus ada sebagian orang Islam yang menikah
tidak hanya dengan satu perempuan, akan tetapi lebih dari satu.
Pernikahan inilah yang dalam bahasa agama disebut dengan ta‟addud az
zawjah atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan poligami. Biasanya,
bagi mereka yang memilih pernikahan cara ini beragumentasi bahwa
apapun yang dilakukan oleh Rasul termasuk dalam hal berumah tangga,
maka sepatutnya bisa ditiru. Karena Rasul melakukan poligami, maka
umatnya yang siap memilih jalan itu sebaiknya juga melakukan
poligami. Namun apabila dipresentasi, jumlah orang yang memilih
berpoligami sangat jauh lebih sedikit dari yang tidak berpoligami.
Menurut Ibn Katsir poligami adalah sesuatu yang diperbolehkan
dalam agama dan berlaku hanya dalam kondisi-kondisi tertentu. Sebab
ada dalil yang menujukkan hal itu, yakni surat An Nisa' ayat 3 dan
contoh dari rasulullah SAW. Meskipun redaksi dalam Al-Quran terkait
dengan poligami adalah Fankihu, yakni dalam bentuk fi‟il amr (kata
perintah), akan tetapi kata ini bermakna ibahah (kebolehan) dan bukan
perintah yang harus dilaksanakan, sebagaimana perintah sholat, puasa
dan zakat. Perintah poligami, menurut Wahbah, tak ubahnya perintah
makan dan minum seperti yang dimuat juga dalam Al-Qur‘an kuluu
wasyrabu. Disamping makna ibahah, makna lain yang bisa diambil dari
bentuk amar kata fankihu adalah kewajiban. Artinya adalah kewajiban
melakukan pembatasan. Makna ini diambil, terkait dengan adanya
potongan ayat setelahnya yang menyebutkan jumlah dua, tiga atau
empat.
Namun demikin, hukum asal berpoligami adalah kebolehan
(jawaz) bisa saja berubah menjadi haram manakala seseorang tidak bisa
memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk itu.

Pandangan Para Mufassir dalam Konteks Kesetaraan Gender


Menurut analisis gender, ketidaksetaraan gender bisa diidentifikasi
melalui berbagai manifestasi ketidaksetaraan, yakni: marginalisasi
(proses pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak penting),
pelabelan negatif (stereotype), kekerasan (violence), dan beban kerja
ganda (double burden). Inilah kriteria yang menjadi acuan kaum feminis
dalam melihat secara kritis setiap aturan sosial tentang relasi laki-laki
dengan perempuan, termasuk yang lahir dari doktrin agama.
Bentuk ketidaksetaraan gender berupa marginalisasi ini tidak ada,
bahkan ditentang oleh Shihab (2000:567) dalam tafsirnya. Hal ini
tampak sekali dalam penafsiran beliau khususnya mengenai surat
An‘Nisa‘ ayat 3 dan 4. Dalam menafsirkan lafadz yang terdapat dalam
ayat 3 yang artinya; ―Lalu jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil,
maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada berbuat yang tidak aniaya‖.
Adil yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah berbuat adil kepada istri
khususnya dalam hal harta, nafkah yang berupa sandang, pangan, papan
dan juga perlakuan. Inilah yang disyaratkan oleh Islam kepada seorang
suami dan harus dijalankannya untuk memenuhi hak istri.
Dalam Islam proses kewajiban suami untuk memberikan nafkah
telah dimulai dari awal proses pernikahan, yaitu pemberian maskawin
(mahar) sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nisa‘ ayat 4. Ibn
Katsir (1999: 2/207) menafsirkan ayat tersebut, bahwa pemberian
maskawin (mahar) oleh suami kepada istrinya dengan senang hati
sebagai bukti atas cinta kasih antara keduanya dan bukti kemuliaan
perempuan dimata Islam.
Maskawin (mahar) merupakan suatu yang diwajibkan oleh suami
terhadap dirinya, lihat Q.S Al-Baqarah ayat 236. Ini untuk menjelaskan
bahwa maskawin (mahar) adalah kewajiban suami yang harus diberikan
kepada istri, tetapi hal tersebut hendaknya diberikan dengan tulus dari
lubuk hati sang suami, karena dia sendiri -bukan orang lain- yang
mewajibkan atas dirinya (Shihab: 2000:328).
Dalam menafsirkan lanjutan ayat 4 tersebut, Ath-Thabari (1954:
7/530) menegaskan bahwa maskawin (mahar) itu adalah kewajiban yang
harus dibayar suami kepada istri dan bahwa maskawin (mahar) itu adalah
hak istri secara penuh. Dia bebas menggunakannya dan bebas pula
memberi seluruhnya atau sebagian darinya kepada siapapun, termasuk
kepada suaminya.
Pandangan subordinasi dalam pandangan para mufassir
bertentangan dengan apa yang disyariatkan oleh agama Islam. Oleh
karena itu, wajarlah jika dalam tafsirnya, Ar-Razi (1993: 3/246) juga
menolak pandangan subordinasi ini. Hal tersebut tampak jelas tatkala
beliau menjelaskan tafsir ayat 1 surat An-Nisa; Keberadaan umat
manusia berasal dari nafsin wahidah yang oleh mayoritas ulama
memahaminya dalam arti Adam a.s. dan ada juga yang memahaminya
dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita. Ulama kontemporer banyak
yang memahami dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita, sehingga
ayat ini sama dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13
(Shihab, 2000:313).
Sisi lain, subordinasi tampak ketika Ar-Razi, membolehkan
seorang suami menikahi istri yang tak terbatas jumlahnya bahkan
melebihi jumlah istri rasulullah. Sementara Ath-Thabari dan Ibn Katsir
cenderung memberikan persyaratan yang mudah bagi suami, yaitu
membolehkan melakukan poligami tanpa harus memperhatikan unsur
kesetaraan lahir. Meskipun pendapat terakhir tersebut mensubordinasi
wanita namun terlihat lebih moderat karena tetap membatasi jumlah istri
sampai empat.
Sedangkan Kekerasan (violence) dalam rumah tangga (KDRT)
merupakan hal yang sangat ditentang dalam Islam. Bahkan Islam
memerintahkan kepada para suami untuk mempergauli dan memperlaku-
kan istrinya dengan baik, sebagaimana firman-Nya: ― Wa‟aasyiru hunna
bil ma‟ruf”. Dalam kaitannya dengan penegasan bahwa KDRT ini tidak
sesuai dengan ajaran Islam, maka kita lihat penafsiran Ath-Thabari
terhadap ayat 128-130 surat An-Nisa tatkala ada perselisihan antara
suami dan istri, yang antara lain dapat diselesaikan dengan tiga cara; (1)
perdamaian yang sebenar-benarnya (ayat 128), (2) tidak boleh
membiarkan istri terkatung-katung (ayat 129), dan (3) bercerai secara
baik (ayat 130).
Bentuk pembebanan kerja ganda tidak akan ditemui dalam
masyarakat yang menjalankan tuntunan Islam secara benar, akan tetapi
akan banyak muncul pada masyarakat yang hanya beorientasi pada
duniawi dan materi. Islam memberikan tuntunan secara umum;
―Kullukum raa‟in wakullukum masuulun „an ra‟iyyatihi‖, sehingga
suami dan istri punya kewajiban dan haknya masing-masing yang harus
dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di
akhirat (Shihab, 2000: 328).
Bahkan kalau Islam dianggap memberikan kewajiban kepada istri
lebih berat (mendapat beban kerja ganda) itu merupakan anggapan yang
salah. Hal ini bisa kita lihat contohnya pada ayat surat An-Nisa‘ ayat 4
bahwa proses kewajiban suami untuk memberikan nafkah telah dimulai
dari awal proses pernikahan, yaitu pemberian maskawin (mahar). Ibn
Katsir (tt:2/207) menafsirkan ayat tersebut, bahwa pemberian maskawin
(mahar) oleh suami kepada istrinya dengan senang hati sebagai bukti atas
cinta kasih antara keduanya dan bukti kemuliaan perempuan di mata
Islam.

SIMPULAN
Dari kelima mufassir yang diteliti, terdapat dua corak penafsiran,
yaitu (1) tafsir tahlili, (2) tafsir ijmali. Ibn Abbas masuk kelompok 2,
sedangkan mufassir yang lain (Ath-Thabari, Ar-Razi, Ibn Katsir dan
Quraish Shihab) masuk kelompok 1.
Secara konsep, semua mufassir tidak berbeda mengenai definisi
poligami(ta'addud az-zawjah), yakni pernikahan satu suami dengan dua,
tiga atau empat istri, dan dalam Islam ia merupakan sesuatu yang
diperbolehkan. Hanya saja, Quraish Shihab memberikan batasan bahwa
poligami berlaku hanya dalam kondisi-kondisi tertentu. Adapun syarat-
syarat disepakati adalah (a) memiliki kemampuan memberi nafkah; (b)
memiliki kayakinan bisa berbuat adil dalam memberi nafkah lahir dan
adil memberikan nafkah bathin; dan (c) dilandasi kemaslahatan bersama.
Terkait dengan hukum poligami, mayoritas menghukumi mubah. Jumlah
maksimal istri empat orang dalam satu waktu. Hanya Ar-Razi saja yang
membolehkan poligami melebihi 4 atau 9, bahkan jumlahnya tidak
terbatas.
Dari lima bentuk ketidaksetaraan gender terhadap wanita
(marginalisasi, kekerasan, subordinasi, streotipisasi, pembebanan ganda),
terdapat dua bentuk, yaitu subordinasi dan streotipisasi. Hal itu tampak
dalam penafsiran Ar-Razi. Ia berani melangkah lebih jauh melampaui
hadis Nabi, yakni dengan tidak membatasi jumlah istri dan menggunakan
persyaratan sangat longgar yang merugikan kaum perempuan.
DAFTAR RUJUKAN

Abu Zayd, Nashr Hamid. 2003. Dekonstruksi Jender (Terj.). Yogyakarta:


IAIN Sunan Kalijaga
Afthon. 2007. Tafsir al-mishbah pesan dan kesan dan keserasian Al-
Quran diakses dari situs: http://afthon.multiply.com/reviews/item/
1 tanggal 25 Oktober 2008
Ainin, Moh. 2002. Pertanyaan dalam Terjemahan Al-Quran: Suatu
Kajian Pragmatik. Disertasi tidak dipublikasikan.
Al-‘Aqqad, Abbas Mahmud. 1962. Al-Mar‟ah fi al-Qur‟an. Kairo: Dar
al-Hilal
Al-Alma‘I, Zahir Ibn ‗Awad. 1984. Dirasat fi al-Tafsir al-Maudu‟i li al-
Qur‟an al-Karim. Riyadh: Markaz al-Bahs al-ilmi wa ihya‘ al-
turats al-Islami
Al-Jawi, M Shiddiq. 2007. Mendudukan Poligami dalam Islam :
Tinjauan Historis, Politis, dan Normatif. Artikel diambil dari situs
http://www.khilafah1924.org diakses tanggal 4 Nopember 2007
Al-Nawawi, Muhammad Ibn Umar. tt. Uqud Al-Lujain fi Bayan Huquq
al-Jauzain. Surabaya: Percetakan An-nabhan
Al-Qathan, Manna‘. 1973. Mabahits fi „Ulum al-Qur„an. Mansyurat al
‗Ashr al-Hadis
Al-Rahman, Fuad Abd. 1986. Ittijah al-Tafsir fi al- Qarn al Rabi‟ al-
„Asyr. Riyadh: Markaz al-Bahs al-ilmi wa ihya‘ al-turats al-Islami
Al-Shadr, Muhammad Baqir. tt. Al-Madrasah al-Qur„aniyyah al-Tafsir
al-Maudu„I wa al-Tafsir al-Tajzi„I fi al-Qur„an al-Karim. Beirut:
Dar al-Ta‘aruf li al-Mathba‘ah
Amin, Qasim. 1970. Tahrir Al-Mar‟ah, Kairo: Dar A1-Ma‘arif
Annisa, Rifka. 2001. Laporan Data Kasus Tahun 2001. Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga
Ar-Razi, Fakhruddin. 1993At-Tafsir al-Kabir, At-Tijariyah: Beirut,
Ath-Thabari, Muhammad Ibn Jarir. 1954. Jami'ul Bayan fi Tafsir al-
Quran. Al-Halaby: Mesir..
Ghazali, Mohd Rumaizuddin. 2005. Tokoh Islam Kontemporer, Artikel
dikutip dari situs http://www.abim.org.my
Ibn Katsir. Tt. Tafsir Al-Quran al-Adhim. Sulayman Mar'i: Singapura.
Ibn Surah, Abu Isa Muhammad Ibn Isa. tt. Al-jami‟ al-Sahih Juz 3.
Beirut: Dar el-Fikr
Iman, Nofie. 2006. Aa‟ Gym, Poligami, dan Islam. Artikel dari situs:
http://nofieiman-.com2006/12/aa-gym-poligami-dan-islam/
Diakses tanggal 18 Februari 2007.
Iyazi, Sayyid Muhammad Ali. 2004. Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa
Manhajuhum. Artikel dikutip dari situs www.psq.or.id/tafsir
detail.asp, diakses tanggal 1 April 2007.
Koran Kompas, edisi Kamis 18 Januari 2007, Aa Gym: Saya Tidak
Kecewa
Mulia, Siti Musdah. 2004. Islam Menggugat Poligami. Jakarta:
Gramedia Pustaka utama
Nor Ichwan, Mohammad. 2008. Biografi Quraish Shihab. Artikel
diakses dari situs http://ichwanzt.blogspot.com/2008/06 tanggal
25 Oktober 2008
Qasim, Al-Ibnu. 2007. Imam Fakhruddin Ar-Razi. Artikel diakses dari
situs http://almudarris.multiply.com 2006 tanggal 25 Oktober 2008
Rasyid Ridha, Muhammad. 1990. Tafsir al-Manar. Kairo: Al-Manar
Jilid IV
Sabiq, Sayyid. 1985. Fiqh as-Sunnah. Dikutip dari situs
http://members.tripod.com) diakses tanggal 4 Nopember 2007
Sari, Mayang. 1997. Analisis Jender dan Tranformasi Sosial (Resensi
Buku). dalam Jurnal Perempuan. Edisi 2
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Penerbit Mizan:
Bandung. 2000.
Shihab, Quraish. 1992. Penetapan Hukum Islam Secara Tekstual dan
Kontekstual: Tinjauan Mufassir, dalam Dialog, No. 35 Th XVI,
Februari
Subhan, Zaitunah. 2003. Peningkatan Kesetaraan dan Kesetaraan
Jender dalam membangun Good Governance. Artikel diakses dari
situs: http://www.duniaesai-.com/gender/gender2.htm, tanggal 15
Februari 2007.
Sugiri, Acep. 2004. Mencari Teori Kesetaraan: Analisis Jender Vs Teori
Hukum Islam. Artikel diakses dari situs:
Http//situs.kesrepro.info/gendervaw/agu/-2004/gendervaw01.htm.
tanggal 15 Februari 2007.
Syahrur, Muhammad. 1992. Al-Kitab wa al-Qur'an. Damaskus:
Penerbit Ahali
Tanpa Pengarang. 2007. Ibnu Katsir, Sosok Mufassir Sejati. Artikel
diakses dari situs http://nothingman2run.wordpress.com/ tanggal
25 Oktober 2008
Tanpa Penulis. 2007. Biografi Syeikh Ath-Thabari. http://www.alsofwah.
or.id/
Tim Wikipedia Indonesia. 2007. Abdullah bin Abbas. Artikel diakses
dari situs http://id.wikipedia.org/wiki/ tanggal 25 Oktober 2008
Tohe, Ahmad, dkk. 2000. Relasi Jender dalam al-Qur'an Menurut
Pandangan Para Mufassir, Laporan penelitian dana DIK 2000.
Malang: LEMLIT Universitas Negeri Malang
Umar, Nasaruddin. 1999. Metode Penelitian Berprespektif Jender
tentang Literatur Islam, dalam Jurnal A1-Jami‘ah. No. 64.
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Wahbah, Az-Zuhaili. 1990. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Beirut: Dar
el-Fikr
Wahbah, Az-Zuhaili. 1999. At-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa asy-
Syari'ah wa al-Manhaj. Beirut: Dar el-Fikr
Eksplorasi Kinerja Undang-undang RI no 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dan Pengembangan
Strategi Sosialisasi dan Edukasinya di Kota
dan Kabupaten Malang

Siti Malikhah Towaf

Abstrak: Undang-undang Republik Indonesia no 23 th 2004


tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU
KDRT) disahkan dan diundangkan pada 22 September 2004,
diharapkan bisa berperan sebagai usaha preventif maupun kuratif
bagi kasus-kasus KDRT. Namun upaya komunikasi, informasi,
edukasi dan sosialisasi undang-undang tersebut masih minim,
bahkan ditingkat aparat penegak hukum belum termotivasi untuk
memahami substansi penting dari UU PKDRT. Apalagi aparat di
tingkat grass roosts dan masyarakat banyak yang belum tahu
substansi UU PKDRT. Penelitian 3 tahap dilakukan dengan fokus
peran lembaga dan kasus-kasus KDRT yang muncul dan
bagaimana penylesaiannya di tiap lembaga, faktor pendukung dan
penghambatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengadilan
agama menangani kasus secara perdata, BP-4 lebih berperan
sebagai lembaga konseling sebelum kasus masuk di PA dan Unit
PPA Kepolisian dalam lembaga andalan penegak UU PKDRT.
Namun hukuman yang diputuskan PN untuk pelaku masih belum
mencerminkan rasa keadilan. Diperlukan sosialisasi untuk aparat
terkait maupun edukasi untuk masyarakat.
Kata-kata kunci: Undang-undang, KDRT, strategi, sosialisasi,
edukasi

Siti Malikhah Towaf adalah dosen Jurusan Sejarah FS Universitas Negeri Malang
Menurut Fakih (1996) kekerasan adalah serangan atau invasi
terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Jika terjadi
kekerasan dalam keluarga maka akan muncul ancaman bagi keutuhan
keluarga dan kesejahteraan anggota-anggotanya. Sebagai individu
maupun anggota masyarakat, manusia mempunyai potensi untuk
melakukan kekerasan; ketika letupan psikologis tidak terkendali dan
meluap keluar dalam bentuk kekerasan atau tindakan agresif yaitu
tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik
orang lain. Kekerasan dan tindakan agresif biasanya berlanjut; jika
terjadi dalam dalam keluarga maka ada kecenderungan anggota keluarga
yang lain, anak-anak yang menyaksikan akan menjadi generasi penerus
kekerasan jika mereka berkeluarga kelak.
Ketika budaya masyarakat cenderung patriarkhis maka budaya
tersebut juga akan mewarnai kehidupan keluarga dalam bentuk
hubungan asimetri, hirarkis, vertikal antara laki-laki dan perempuan
sebagai suami-isteri maupun anggota keluarga. Dalam pola relasi
vertikal, atas dan bawah, dimana lapisan atas mempunyai kesempatan
―melakukan segala sesuatu‖ untuk menentukan dan mengatur kelompok
manusia yang berada di lapisan bawah, akibatnya lapisan bawah
tergantung pada lapisan atas, karena kesempatan mengambil keputusan
berada pada lapisan atas (Astuti, 2002:24). Pola hubungan asimetris ini
melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan gender seperti marginalisasi,
subordinasi, stereotipi/pelabelan negatif sampai berbagai bentuk
kekerasan dalam keluarga yang disebut juga gender related violence.
Perubahan sosial dan ketimpangan struktur sosial telah
memunculkan kesenjangan sosial, sekelompok kecil anggota masyarakat
berada pada level "menengah keatas" diuntungkan oleh struktur sosial itu
dan sebagian besar anggota masyarakat lainnya "harus bertahan' dalam
situasi kemiskinan (Katjasungkana, 2003:5). Kehidupan yang semakin
berat menimbulkan berbagai krisis dalam masyarakat. Kemiskinan,
pengangguran memicu berbagai kriminalitas. Kehidupan keluarga
banyak yang masih jauh dari sejahtera baik lahir maupun batin.
Perempuan dianggap lebih lemah, tidak mampu berperan sebagaimana
laki-laki, sehingga ditempatkan dalam posisi subordinate/pelengkap
(Fakih, 2003). Krisis rumah tangga, gampang memicu pertengkaran,
penganiayaan bahkan pembunuhan. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) semakin meningkat, pada umumnya korban adalah
perempuan dan anak-anak biasanya tidak tahu harus berbuat apa (UU RI
no.23,PKDRT, 2004:1 & UURI no.23, Perlindungan anak, 2002).
Catatan tahunan 2007 Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap
perempuan menunjukkan kenaikan jumlah kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan (KTP): tahun 2001 ada 3,165,2A02 ada 5.163, tahun 2003
ada 7.787,2004 ada 14.020,2005 ada 20,391, 2006 ada 22.513. Dari segi
bentuk kekerasan. dari 7.659 kasus. 3.099 kekerasan ekonomi, 1. 801
kekerasan fisik, 872 kekerasan seksual dan 590 kekerasan psikis
(Wartawan kompas, 2007). Dari data-data tersebut lalu muncul
pertanyaan krusial yang sering beredar di kalangan teoritisi feminis
(Lengerman & Brantley, 2007:405); apa yang terjadi pada perempuan?
Mengapa semuanya itu terjadi? dan bagaimana kita dapat mengubah dan
memperbaiki dunia sosial untuk membuatnya menjadi tempat yang lebih
adil bagi perempuan dan semua orang?
Undang-undang adalah kebijakan publik yang berfungsi untuk
mengubah masyarakat/social engineering. Undang-undang Republik
lndonesia no 23 th 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT) diundangkan pada 22 September 2004, diharapkan
bisa berperan preventif maupun kuratif bagi kasus-kasus KDRT; namun
upaya sosialisasi & edukasi undang-undang tersebut masih minim.
Aparat terkait kurang faham, tidak tahu bahwa penelantaran ekonomi
termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga (Wartawan Kompas,
2007), apalagi aparat di tingkat grass roots seperti aparat kepala desa dan
stafnya, hasil penelitian ini mendukung hal tersebut.
Penelitian tahap I/2008 fokus pada eksplorasi kinerja kebijakan;
mencermati kinerja lembaga yang menangani kasus konflik keluarga,
kasus-kasus yang terjadi dan penyelesaiannya serta factor pendukung
dan penghambatnya. Hasil penelitian akan bermanfaat bagi kepentingan
teoritis keilmuan di bidang Sosiologi, psikologi, kebijakan public dan
pelaksanaan Undang-undang. Hasil penelitian ini juga memiliki manfaat
praktis, yaitu berbagai kantor pemerintah lokasi penelitian, lembaga
pengabdian kepada masyarakat di perguruan tinggi, dan masyarakat.
Kepala unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Malang
sangat mengharapkan ada program sosialisasi kepada para Lurah/Camat
di wilayahnya, karena mereka terutama lurah adalah ujung tombak untuk
menangani kasus-kasus KDRT (Towaf, 2005). Harapan tersebut akan
terpenuhi pada penelitian tahap II/2009 fokus pada pengembangan
strategi sosialisasi UU PKDRT kepada aparat terkait, terutama pada
tingkat lurah dan bisa juga nantinya kepada aparat yang lain. Penelitian
Tahap III fokus pada pengembangan strategi edukasi untuk berbagai
kelompok masyarakat, sehingga wawasan mereka bertambah dan
mengetahui apa yang harus dilakukan jika kasus KDRT terjadi di
wilayahnya. Mereka adalah ujung tombak untuk optimalisasi kinerja UU
PKDRT.

METODE
Rancangan dan Pendekatan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah penelitian kebijakan (Dunn, 200)
dan pengembangan yang menggabungan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang dilakukan dengan mengumpulkan
data statistik tentang kasus-kasus KDRT dan faktor penyebabnya.
Perolehan data kuantitatif dapat memberi landasan (Branen, 1997:43)
atau base line data bagi pendalaman kasus.
Pendekatan kualitatif multikasus dan multiksitus (Yin, 2004 &
Sevilla, 1993:73) digunakan untuk menggali data secara lebih mendalam
terhadap kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dan faktor-faktor
penyebabnya di setiap lokasi penelitian terkait dengan peran perempuan
dan wawasan kesetaraan gender dalam keluarga. Kompleksitas dan
permasalahan kehidupan keluarga terutama perempuan dalam konteks
apapun cukup besar dan memerlukan berbagai pendekatan dalam
penelitian kualitatif (Denzin, NK & Lincoln, 1994:163). Pendekatan
kualitatif juga digunakan untuk eksplorasi (Creswell, 1994:21)
kebutuhan terhadap strategi sosialisasi dan edukasi undang-undang
PKDRT, bagi aparat sasaran maupun berbagai kelompok masyarakat.
Dalam penelitian ini penggabungan pendekatan kuantitatif bersifat
komplementer/untuk melengkapi pendekatan kualitatif yang lebih
dominan (Branen, 1997:22; Creswell,1994:173--190).
Ruang Lingkup Khusus untuk Tahun I/2008 Eksplorasi Kinerja UU PKDRT

Luaran/output Sumber data Metode/Teknik


Profil dan peran lembaga Lokasi, dok. Aparat Observasi, kaj dok,wawancara
Kasus- kasus KDRT dokumen,aparat kajian dokumen, wawancara
Faktor penyebab dokumen, aparat kajian dokumen, wawancara
Penyelesaian kasus KDRT dokumen, aparat kajian dokumen, wawancara
korban, tersangka kajian dokumen, wawancara
Pendukung, penghambat lokasi, aparat observasi, wawancara, diskusi

Lokasi Penelitian dan Kehadiran Peneliti


Ruang lingkup Lokasi penelitian adalah Kota dan Kabupaten
Malang; khususnya Kantor Pengadilan Agama (PA) Kota dan Kabupaten
Malang, Kantor Badan Penasehatan, Pembinaan, Pelestarian Perkawinan
(BP-4) Departemen Agama, dan unit Perlindungan Perempuan dan Anak
Kepolisian Resor Kota dan Kabupaten Malang. Sesuai dengan rancangan
penelitian kualitatif multikasus dan multisitus maka penelitian mendalam
dilakukan terhadap setiap lokasi (Sevilla, 1993.73; Bell, 1992:6). Tim
peneliti mengunjungi 6 lokasi tersebut dan mengumpulkan data untuk
menjawab semua pertanyaan penelitian yang ditetapkan. Sebagai upaya
melacak kasus yang diberkas P21 dan diajukan untuk diadili, peneliti
juga mendatangi kantor Pengadilan Negeri Kota dan Kabupaten Malang
sebagai lokasi pelengkap.
Kehadiran peneliti di lokasi penelitian dilakukan baik untuk
pengumpulan data yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Setelah
anjangsana pertama untuk perkenalan dan menyampaikan maksud
kedatangan, dilakukan kunjungan berikutnya dalam rangka pengumpulan
data kuantitatif. Disamping itu dilakukan juga observasi dan wawancara
informal untuk mengawali pengumpuian data kualitatif (Glesne &
Peshkin, 1992). Kunjungan ke lokasi penelitian dilakukan beberapa kali
sesuai dengan pengumpulan data yang dibutuhkan. Demikian juga
peneliti berperan sebagai instrumen pengumpul data dan analisis data
penelitian.
Sumber Data dan Informan Kunci
1. Lokasi penelitian yaitu 6 kantor: Pengadilan Agama kota dan
Kabupaten, BP-4 Depag Kota dan Kabupaten, unit PPA Kepolisian
Kota dan Kabupaten ditambah Pengadilan Negeri Kota dan
Kabupaten Malang.
2. Dokumen tentang berbagai kasus KDRT, UU PKDRT no 23 tahun
2004 dan berbagai aturan/dokumen mendukungnya dari berbagai
kantor terkait, literature ataupun hasil penelitian terkait kasus-kasus
KDRT, serta buku Undang-undang tentang KDRT
3. Pejabat dan staf terkait dari kantor Pengadilan Agama di Kota dan
Kabupaten Malang.
4. Pejabat dan staf terkait dari kantor BP-4 Depag. Kota dan Kabupaten
Malang.
5. Pejabat dan staf terkait dari kantor unit PPA Polres Kota dan
Kabupaten Malang.

Teknik Pengumpulan Data


1. Telaah buku/literatur yang berkaitan kajian sosiologi tentang
kekerasan dan kekerasan dalam rumah tangga, ketimpangan gender
yang bisa memicu munculnya kasus KDRT, Gender dalam
perspektif Islam, dokumen UU PKDRT, sebagai langkah awal
pemantapan landasan teoritis dan operasionalisasi penelitian (Bell,
1992:53--58).
2. Telaah dokumen dilakukan untuk memperoleh informasi tentang
profil lokasi, kasus-kasus KDRT dan penyelesaiannya, dilakukan
needs assessment awal untuk pengembangan strategi sosialisasi dan
edukasi untuk aparat dan masyarakat (Pratt, 1980:52).
3. Observasi dilakukan di 6 lokasi untuk memperoleh gambaran
prosedur penanganan kasus-kasus keluarga dan khususnya kasus
KDRT di masing-masing lokasi, segala aktifitas dan orang-orang
yang terlibat dalam kegiatan tersebut, bagaimana perasaan tersangka
maupun korban, dan bagaimana penyelesaian kasus-kasus tersebut
(Sevilla, 1993:85).
4. Wawancara informal dan mendalam dilakukan kepada informan
kunci yang dijaring dengan menggunakan tehnik purposive, digali
informasi tentang kinerja kebijakan, kasus apa yang terjadi, faktor-
faktor penyebab terjadinya kasus dan bagaimana UU PKDRT
difungsikan untuk mengatasinya, apa pendukung dan penghambat-
nya, bagaimana kebutuhan terhadap strategi sosialisasi dan edukasi
agar UU PKDRT lebih difahami (Moleong, 1990:135--152).

Analisis Data
1. Data dari telaah literature dan dokumen dianalisis secara induktif-
komparatif dihasilkan komponen-komponen untuk menjawab
pertanyaan penelitian (Miles & Hubberman, 1984, Muhajir, 1996).
2. Wawancara informal dilakukan berkaitan dengan upaya menjaring
data tentang faktor-faktor penyebab kasus KDRT, kinerja/
implementasi UU PKDRT, faktor penghambat, pendukungnya,
kebutuhan terhadap strategi sosialisasi dan edukasi. Data tersebut
dianalisis secara deskriptif komparatif/dibandingkan dikelompokkan
menurut variasi jawaban kemudian dibuat rangkuman (Gibbon &
Morris, 1987:17--24).
3. Data dari observasi dianalisis secara diskriptif dan berfungsi sebagai
sumber informasi tentang profil kelembagaan, sarana dan
prasarananya dalam menangani kasus-kasus KDRT (Sevilla,
1993:85, Moleong, 1990).

Keabsahan Data
1. Keabsahan data kuantitatif yang dijaga dengan kecermatan peng-
hitungan kasus KDRT yang terjadi di setiap lokasi, pengelompokan
kasus yang relevan.
2. Keabsahan data kualitatif dilakukan dengan proses trianggulasi
antara data yang dijaring lewat telaah literatur, dokumen dengan data
yang diperoleh lewat wawancara informal maupun lewat diskusi.
3. Kecukupan referensi dapat digunakan untuk membandingkan data
yang diperoleh dengan berbagai kritik tertulis yang terkumpul,
sehingga peneliti bisa memperoleh gambaran yang lebih mantap
tentang perolehan data penelitian.
4. Selain itu juga dilakukan review dengan teman sejawat yaitu antara
peneliti dengan tehnisi yang terlibat dalam proses pengumpulan data
dalam rangka mencermati keabsahan data (Moleong, 1990:I70--187;
Denzin, 1994:241).

HASIL
Profil & Peran Kelembagaan
Lembaga yang terkait UU PKDRT adalah Pengadilan Agama,
yang menangani kasus dan konflik yang terjadi dalam keluarga dengan
muatan berbagai bentuk kekerasan ada di dalamnya. Ribuan kasus
ditangani oleh PA Kabupaten Malang dan ratusan kasus ditangani oleh
PA Kota Malang setiap tahun, namun kasus-kasus tersebut ditangani
secara perdata dengan penyelesaian cerai/rujuk. Hal tersebut terjadi
karena secara kelembagaan PA masih sebagai pengadilan perdata. Ada
kemungkinan di masa depan PA juga berfungsi sebagai Pengadilan
Pidana, namun sekarang masih pada tataran wacana di tingkat pusat
(wawancara Ketua PA Kota 26/9/08).
Peran kelembagaan PA sebagai pengadilan perdata telah
berdampak pada lemahnya perhatian aparat PA terhadap UU PKDRT
karena dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari mereka tidak
menggunakannya sebagai landasan kerja (wawancara dg staf dan hakim
PA 22/7/08). Oleh karena itu peran PA dalam penanganan kasus KDRT
masih dalam lingkup perdata yang berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
(Dok PA, wawancara staf & ketua pengadilan). Disini jelas bahwa
kinerja lembaga sangat dibatasi oleh status lembaga sebagai pengadilan
perdata yang tidak akan membawa kasus sampai ke perkara pidana,
seberat apapun kasus KDRT yang ditangani.
Jumlah kasus yang ditangani PA Kota Malang tahun 2006 s/d
Agustus 2008 adalah 2789 kasus. Sementara itu jumlah kasus yang di
tangani PA Kabupaten jauh lebih banyak lagi yaitu pada tahun ada 7192
kasus, yang paling dominan adalah kasus kekerasan psikis dan ekonomi.
Pengadilan Agama merinci factor penyebab mencapai 14 kategori
seperti: krisis moral, tidak ada tanggung jawab, penelantaran ekonomi,
penganiayaan berat, kekejaman mental, pologami tak sehat dll, yang
sering penyebab konflik dalam rumah tangga bersifat multifactor.
Penyelesaian akhir kebanyakan adalah perceraian dan hanya sedikit
kasus yang berakhir rujuk. Rincian jumlah kasus dipaparkan pada Tabel
1.

Tabel 1 Kasus KDRT di Pengadilan Agama Kota dan Kabupaten Malang

Pengadilan Agama Kota Pengadilan Agama Kabupaten


Unsur KDRT 2005 2006 2007 2008 2005 2006 2007 2008
Kekerasan fisik - 17 9 31 8 16 15 55
Kekerasan psikis - 326 618 267 1472 1436 1448 865
Kekerasan seksual - 15 21 49 65 158 231 147
Kekerasan ekonomi - 430 449 497 2423 2316 2438 1594
Jumlah - 788 1097 844 3960 3926 4132 2664
Sumber Dokumen di PA Kota dan Kabupaten Malang

Lembaga lain yang terkait dengan kinerja/implementasi UU


PKDRT yang menjadi lokasi penelitian, adalah Badan Penasehatan,
Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Departeman Agama, lebih
berperan dalam memberi kosultasi/kepenasehatan terhadap kliennya.
Telah terjadi perubahan paradigma BP-4 yang tercermin dari
kepanjangan akronim BP-4, semula sebagai singkatan Badan Penasehat-
an Perkawinan dan Perselisihan Perceraian menjadi Badan Penasehatan,
pembinaan dan Pelestarian Perkawinan; BP-4 tidak berpihak kepada
perceraian tetapi berpihak pada pelestarian perkawinan. Landasan
kerjanya juga senada dengan PA yaitu ajaran agama Islam dan hukum
Islam. Staf BP-4 juga menyatakan bahwa tidak ada sosialisasi langsung
tentang UU PKDRT terhadap mereka, mereka mengetahui UU PKDRT
justru dari interaksi dengan orang lain termasuk peneliti. Mereka hanya
sekali tempo menggunakan informasi dari UU PKDRT untuk
kepentingan konseling dengan klien yang mereka tangani. Kasus-kasus
yang ditangani banyak yang berlanjut ke Pengadilan Agama menuju
perceraian. Oleh karena itu peran BP-4 hanya pada tahap konseling,
tidak pernah sampai ke implementasi UU PKDRT sebagai instrument
pidana bagi pelaku KDRT.
Kasus-kasus yang ditangani BP-4 Kota pada 3 tahun terakhir
berjumlah 183 dengan Di BP-4 Kabupaten Malang ada 43 kasus. Jumlah
kasus di kabupaten relative justru lebih sedikit karena BP-4 Kabupaten
lebih memprioritaskan PNS yang sudah membawa surat pengantar dari
Badan Pengawas Pemerintah Daerah. Sementara BP-4 Kota Malang
menerima semua klien yang datang tanpa membedakan PNS atau bukan.
Faktor penyebab konflik rumah tangga antara lain: ketidak cocokan,
masalah ekonomi, perselingkuhan. Untuk kasus-kasus berat yang tidak
bisa didamaikan dirujuk ke Pengadilan agama menuju perceraian.
Rincian kasus disajikan di Table 2.

Tabel 2 Kasus KDRT di BP-4 Kota dan Kabupaten Malang

BP-4 Kota BP-4 Kabupaten


Unsur KDRT 2005 2006 2007 2008 2005 2006 2007 2008
Kekerasan fisik 2 8 12 5 - 4 2 -
Kekerasan psikis 23 22 30 23 - 5 10 3
Kekerasan seksual 1 4 7 10 - 5 8 5
Kekerasan Ekonomi 7 22 13 27 - 1 - -
Jumlah 33 56 62 65 - 15 20 8
Sumber Dokumen di BP-4 Departemen Agama Kota dan Kabupaten Malang.

Melacak Kinerja/Implementasi UU PKDRT oleh Unit PPA Kepolisian


Lembaga yang tanggap paling awal dengan diundangkannya UU
PKDRT adalah kepolisian karena disebut secara eksplisit oleh UU
PKDRT, dikembangkan RPK (Ruang Pelayanan Khusus) menjadi Unit
Perlindungan Perempuan dan Anak. Unit PPA sekarang menjadi tempat
pengaduan masyarakat yang mengalami kasus KDRT. Oleh karena itu
secara kelembagaan unit PPA adalah andalan utama dalam
kinerja/implementasi UU PKDRT. Pada awalnya unit PPA ibarat lone
ranger yang berjuang sendiri untuk kinerja/implementasi UU PKDRT;
kemudian mulai ada kerja sama dengan lembaga terkait seperti Bagian
Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten
Malang, Rumah sakit, Dinas sosial dan LSM. Unit PPA Kabupaten
Malang lebih beruntung, karena sudah ada kerjasama yang baik dengan
Rumah Sakit Kanjuruhan yang membuka Pusat Pelayanan Terpadu
(PPT) sejak tahun 2005 untuk memberi pengobatan dan rawat inap gratis
selama 3 hari bagi korban KDRT.
Jumlah kasus yang ditangani selama 4 tahun terakhir adalah 285
kasus di unit PPA Kota Malang;. Sementara itu di PPA Kabupaten
Malang selama 4 tahun terakhir ada 502 kasus. Rincian kasus disajikan
pada Tabel 3.

Tabel 3 Kasus KDRT di PPA Kepolisian Resort Kota dan Kabupaten Malang
PPA Kota Malang PPA Kabupaten Malang
Unsur KDRT 2005 2006 2007 2008 2005 2006 2007 2008
Kekerasan fisik 17 51 60 60 19 53 87 32
Kekerasan psikis 3 1 16 16 19 9 22 25
Kekerasan seksual 4 17 15 15 51 26 65 18
Kekerasan ekonomi - 2 2 2 6 10 36 34
Jumlah 24 71 93 97 85 98 210 109
Sumber Dokumen di Unit PPA Polres Kota dan Kabupaten Malang

Kasus-kasus KDRT tersebut muncul dengan berbagai penyebab


kecemburuan, perselingkuhan, ketidak puasan, keterlibatan fihak ketiga,
penelantaran ekonomi, perzinaan, perkosaan, persetubuhan dengan anak,
adik ipar sendiri ataupun dengan remaja tidak berdaya (kasus
perstubuhan dengan remaja cacat bisu-tuli). Dll. Dari sekian banyak
kasus yang dominan di Unit PPA Kota maupun Kabupaten adalah
kekerasan fisik dan seksual.
Hak-hak korban dan bentuk pemenuhannya: (1) Perlindungan:
korban diberi perlindungan keamanan 1x24 jam di Polres Kota Malang,
mendapat perlindungan hukum dari yang berwewenang dan pelayanan
kesehatan. Layanan kesehatan ini belum dipenuhi secara optimal, untuk
sementara korban di PPA Kota Malang dirujuk ke RSSA Malang,
diberikan pelayanan medis gratis; tetapi untuk rawat inap dan visum
dokter dalam kasus tertentu belum bisa digratiskan oleh pihak rumah
sakit. Sementara itu di PPA Kabupaten Malang telah punya kerja sama
yang baik dengan PPT Rumah Sakit Kanjuruhan yang menggratiskan
visum dan rawat inap bagi korban KDRT selama 3 hari; (2) Kerahasiaan
Korban, dijamin dan sudah dipenuhi, namun kadang-kadang bisa
muncul/termuat di koran karena kegigihan/kecerobohan wartawan; (3)
Pendampingan, korban dirujuk ke Women Crisis Center yang ada di
Malang seperti WCC Dian Mutiara, Titian Hati. Jika perlu didampingi
oleh penasehat hukum; dan (4) Bimbingan Rohani, lebih banyak
konseling psikologis belum mengarah pada bimbingan keagamaan.
Kewajiban pemerintah terutama lembaga Unit PPA, yang
disediakan bagi msayarakat yang tertimpa kasus KDRT adalah: (1)
Ruang layanan yang cukup mamadai; (2) Ketersediaan aparat, sosial,
kesehatan, ataupun rohani samapai saat ini mencukupi sesuai dengan
kebutuhan; (3) Sistem mekanisme layanan (kerjasama) yang mudah di
akses korban yaitu dengan Women Crisis Center, unit PPA, ada harapan
nantinya diwujudkan Pusat Pelayanan terpadu (PP) namun belum
maksimal; (4) Mekanisme Layanan Standar Kepolisian Unit PPA seperti
yang sudah dijelaskan diatas; dan (5) Perlindungan (pendamping, saksi,
keluarga, teman korban), biasanya pendamping korban dari keluarga atau
WCC yang dirujuk (di rujuk PPA). Saksi pendamping biasanya
mendapat perlindungan dari kepolisian.
Peran Masyarakat, siapa mereka dan bagaimana peran mereka,
termasuk kesadaran hukum masyarakat dalam: (1) Mencegah tindak
pidana, di lingkungan tempat tinggal misalnya tetangga, Ketua RT dan
Ketua RW, dengan cara sosialisasi di lingkungan masyarakat. Peran
masyarakat masih kurang, Kesadaran hukum masyarakat masih rendah,
Pemahaman tentang Undang-Undang masih sangat lemah. Demikian
juga aparat di tingkat grass roots seperti Lurah dan perangkat desa
banyak yang tidak tahu undang-undang PKDRT dan prosedur pelaporan
ketika terjadi kasus di wilayahnya; (2) Memberi perlindungan, belum
dapat maksimum karena hanya sebatas memberi nasehat dan melerai
agar tidak terjadi kekerasan lebih parah. Perlindungan masih dilakukan
oleh petugas kepolisian, dari masyarakat masih kurang; (3) Memberi
pertolongan darurat: yang paling awal adalah orang-orang di lingkungan
terdekat terjadinya kasus-kasus; dan (4) Membantu proses penetapan
perlindungan sudah menjadi bagian dari proses penanganan kasus KDRT
hanya saja dalam hal perlindungan peran PPA masih kurang.
Perlindungan yang dilakukan oleh unit PPA Kepolisian Kota
maupun Kabupaten Malang dengan prosedur: (1) Dalam waktu 1x24 jam
sejak laporan, paling lama 7 hari korban memperoleh perlindungan
keamanan oleh PPA; (2) Dalam wktu 1x24 jam perlindungan perlu minta
surat penetapan perlindungan pengadilan; (3) Kerjasama polisi dengan
berbagai fihak untuk perlindungan, Kerjasama dengan WCC dari
psikolog dari UIN Malang; (4) Dalam menjelaskan hak-hak korban,
identitas petugas, penyelidikan: penyidik atau petugas PPA yang
menjelaskan kepada korban; (5) Pemeriksaan kesehatan, visum ke RSSA
Malang atau Rumah Sakit Kanjuruhan; (6) Pekerja sosial dan layanan
konseling, tempat tinggal alternative: kerja sama WCC Dian Mutiara dan
Titian Hati, Rumah aman belum ada, sementara dicari rumah kos yang
aman, yang sering terjadi korban dititipkan ke kerabat yang dipercaya
untuk menjaga jarak dari pelaku/tersangka; (7) Layanan pendamping
untuk penyidikan dan penuntutan belum ada. Layanan advocate di PPA
Kota Malang, untuk penyidikan, penuntutan pemeriksaan persidangan,
ada 1 orang; (8) Laporan oleh korban, atau korban memberi kuasa orang
lain/kepolisian, dalam 7 hari ketua pengadilan wajib mengeluarkan surat
penetapan perlindungan,belum pernah terjadi; (9) Permohonan
perlindungan bisa tertulis/lesan; paling lama perlindungan 1 tahun bisa
diperpanjang sesuai kebutuhan juga belum pernah terjadi; (10) Dalam
waktu 1x24 jam, penangkapan pelaku dapat dilakukan tanpa surat
perintah jika sudah diyakini sebagai pelaku, tidak ada penangguhan
penahanan. Bila ternyata korban mencabut laporan, masalah selesai
secara kekeluargaan maka penahanan ditangguhkan; dan (11)
Pelanggaran terhadap perintah perlindungan oleh pelaku belum pernah
terjadi.
Pemulihan korban: jika kasus KDRT: (1) Fisik yang menangani
adalah RSSA atau di PPT Rumak sakit Kanjuruhan, yang dilakukan
secara terpadu oleh kepolisian dan Dinas Kesehatan; (2) Jika kasus
KDRT Psikis yang menangani adalah staf unit PPA, jika kasus berat
kerja sama staf PPA dengan Psikolog dan Rumah Sakit Jiwa secara
terpadu; (3) Untuk kasus seksual maka penanganannya adalah kerjasama
staf unit PPA dengan RSSA; dan (4) Untuk kasus bidang ekonomi ada
kasus, pemulihan korban agak sulit ditangani karena menyangkut
kemampuan ekonomi keluarga yang mengalami kasus KDRT. Untuk
kasus penelantaran, pemulihan korban dilakukan secara terpadu oleh staf
PPA dan Dinas Sosial.
Ketentuan pidana menurut UU PKDRT: (1) Fisik, dengan
tuntutan hukuman maksimum: 5th/dan denda 15jt, luka berat = 10th/dan
denda 30jt, mati = 15th/dan denda 45jt, ringan = 4bl/dan denda 5jt; (2)
Psikis, dengan tuntutan maksimum 3th/atau denda 9jt, ringan= tuntutan
4bl/dan denda 3jt; (3) Seksual, dengan tuntutan 12th/dan denda 56jt,
memaksa orang dalam rumah tangga melakukan hubungan seksual
dituntut hukuman 15 th/dan denda 4--15jt, jika korban mengalami
gangguan fisik dan kejiwaan, keguguran dan rusak alat reproduksi
pelaku dituntut 5--20th/dan denda 25-100jt; dan (4) Penelantaran: pelaku
dituntut hukuman 3th/15jt. Penelantaran bisa juga pengabaian kewajiban
ataupun menciptakan ketergantungan ekonomi pada pelaku. Bagaimana-
kah ketentuan tersebut dalam praktek?
Lembaga lain sebagai partner Unit PPA dalam penegakan hukum
dan implementasi UU PKDRT adalah Kejaksaan dan Pengadilan Negeri.
Namun dari informasi yang diperoleh, staf kejaksaan sendiri belum
sensitive terhadap UU PKDRT, demikian juga Pengadilan Negeri dalam
mengadili kasus KDRT masih mengacu pada KUHP. Hal tersebut
sejalan dengan sejalan dengan temuan para aktifis hukum bahwa untuk
menegakkan hukum yang berperspektif perempuan kesulitan awal adalah
pada sumber daya manusia. Di berbagai tingkat, para penegak hukum
yang berperspektif perempuan masih kurang. Aparat Polisi, Jaksa
Penuntut Umum dan Hakim dalam menangani kasus, disamping bersikap
positif, masih banyak juga sikap-sikap negatifnya (Irianto & Nurcahyo,
2006: 211--223).
Untuk Penyelesaian kasus-kasus KDRT, Pengadilan Negeri yang
menetapkan hukuman berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Sampai saat ini diantara kasus KDRT yang ditangani unit PPA
Polresta Malang, ada 9 kasus (tahun 2007) dan 2 kasus (tahun 2008)
yang masuk kategori P21 dan diberkas ke Kejaksaan, diadili di
Pengadilan Negeri. Ada 5 kasus yang telah diputus dengan variasi
hukuman: 2 bulan 15 hari, 4 bulan, 5 bulan 7 dan 1 kasus perkosaan yang
diputus hukuman 7 tahun. Kasus yang muncul pada tahun 2008 masih
dalam proses pengadilan (Dokumen Pengadilan Negeri Kota Malang).
Di Kabupaten Malang, tahun 2006 ada 8 kasus yang telah diputus
hukumannya oleh Pengadilan Negeri. Dari kasus-kasus tersebut ada 1
kasus dengan terdakwa WY dengan modus memperkosa korban berulang
kali dituntut hukuman 5 tahun dan diputus hukuman 4 tahun, 1 kasus
dengan terdakwa SS dengan modus menusuk korban sehingga luka berat
dituntut hukuman 2 tahun 6 bulan dan diputus hukuman 2 tahun. Adapun
6 kasus lainnya dengan modus berbagai kekerasan fisik dituntut
hukuman bervariasi antara 4 bulan sampai 10 bulan yeng kemudian
diputus hukuman 2 bulan 15 hari sampai 9 bulan.
Tahun 2007 ada 8 kasus yang sudah diputus hukumannya dengan
modus operandi berbagai bentuk kekerasan fisik; tuntutan hukuman 4
bulan s/d 1 tahun 6 bulan, dan akhirnya kasus-kasus tersebut diputus
hukuman terendah 3 bulan 13 hari dan tertinggi hanya satu kasus diputus
hukuman 1 tahun 6 bulan sebagaimana tuntutannya. Pada tahun 2008 s/d
bulan Juni ada 6 kasus dengan modus berbagai bentuk kekerasan fisik
yang cukup parah dengan tuntutan hukuman 3--5 bulan dan diputus
hukuman antara 2 bulan 4 hari s/d 4 bulan. Ada 1 kasus dengan modus
perkosaan dituntut 5 tahun yang kemudian diputus 3 tahun 6 bulan.
Dari penyelesaian kasus yang masuk kategori P21 dan diproses di
Pengadilan Negeri memperoleh putusan yang bervariasi, kasus yang
dijatuhi hukuman dalam hitungan tahun adalah kasus perkosaan.
Sedangkan kasus dalam berbagai bentuk kekerasan fisik hanya diputus
hukuman dalam hitungan bulan saja. Ketika hal ini di cross cek ke staf
kepolisian unit PPA Kabupaten Malang muncul komentar bahwa putusan
tersebut sungguh mengusik rasa keadilan, tidak sepadan dengan proses
pemberkasan yang memerlukan kerja keras menyiapkan perlengkapan
yang terdiri dari 25 s/d 30 an surat-surat; tetapi hukuman yang dijatuhkan
gletek saja dalam hitungan bulan.
Dari Ketua unit PPA Kota Malang muncul komentar bahwa proses
pengadilan memang ada unsur legal reasoning yang menjadi
pertimbangan pemutusan hukuman; tetapi yang jelas memang kasus-
kasus KDRT setelah masuk di Pengadilan Negeri diadili dengan KUHP.
Nah, jika kasus-kasus diberkas oleh kepolisian dengan UU PKDRT
tetapi dalam proses di Pengadilan Negeri lebih berdasarkan KUHP lalu
untuk apa UU PKDRT? Untuk menjawabnya diperlukan penelitian lebih
lanjut. Dari penelitian ini diperoleh kesan bahwa selama 3-4 tahun
kinerja/implementasi UU PKDRT yang diundangkan pada tahun 2004
itu masih dalam tahap pengenalan, belum sepenuhnya dipakai sebagai
landasan penyelesaian kasus hukum. Dapat diaktakan jika para penegak
hukum sendiri masih belum sensitive dengan peradilan yang berkeadilan
gender dan masih dalam proses mengenal dan memahami UU PKDRT.
Menurut UU PKDRT tindak pidana KDRT adalah delik aduan,
hanya pasal 44 ayat 4 dan pasal 45 ayat 2, selebihnya bukan delik aduan.
Ketentuan lain (1) Penyidikan, penuntutan, pemeriksaan mengikuti
ketentuan hukum secara pidana yang berlaku; kendala yang dihadapi
adalah saksi KDRT biasanya 1orang sedangkan di KUHP, alat bukti sah
jika ada 2 saksi, jadi jaksa minta saksi lagi, kurangnya peran serta
masyarakat dan lembaga yang terkait, serta kurangnya sarana dan
prasarana du unit PPA. Apakah seorang saksi korban cukup untuk
menyatakan bersalah jika disertai bukti lain; Belum, jika tersangka tidak
mengaku maka diperlukan saksi ke-2. (2) UU PKDRT berlaku sejak 22
September 2004, penanganan kasus secara pidana merujuk KUHP,
KUHAP seperti sebelum ada UU PKDRT. Dalam hal ini pihak unit
PPA menyayangkan terjadinya kasus penganiayaan berat yang layak
diproes di Pengadilan Negeri, tapi dicabut oleh fihak pelapor. Untuk
kasus penganiayaan berat, sebagai kasus kriminal sangat disayangkan
jika ditangani berdasarkan delik aduan. Muncul wacana yang
menyatakan bahwa delik aduan pada UU PKDRT pantas direvisi
(Wawancara staf Pengadilan Negeri, 4/9/08).
Berbagai penyebab munculnya kasus KDRT di lembaga lokasi
penelitian tersebut sejalan dengan analisis KDRT sebagai fenomena
sosiologis dan psikologis. Kekerasan adalah wujud perilaku agresif yang
pemicunya bisa bersifat eksternal maupun internal. Faktor eksternal
seperti kondisi geografis, kemiskinan, lingkungan social, kesejangan
generasibahkan anonimitas dlam masyarakat perkotaan. Sementara
faktor internal bisa amarah, rasa tidak suka, merasa dihina, diancam, atau
frustasi karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan dsb
(Rahayu, 2002) Ada saatnya penyebab perilaku yang bersifat internal
dengan eksternal bergabung, maka semakin kuat saja dorongan untuk
munculnya tindak kekerasan.

BAHASAN
Faktor Pendukung dan Penghambat
Pengadilan Agama Kota maupun Kabupaten Malang memiliki
gedung, sarana, peralatan dan ketenagaan yang memadai. Hanya saja
kantor PA Kota Malang merupakan bangunan yang sudah lama, Kepala
PA yang baru merasa sudah saatnya kantor PA Kota Malang direnovasi,
dibangun ruang tambahan yang lebih luas untuk kepentingan
peningkatan kinerja, termasuk perlunya membangun Musolla yang lebih
layak, dan memadai. Faktor penghambat utama bagi Pengadilan Agama
(PA) dalam optimalisasi kinerja/implementasi UU PKDRT adalah status
kelembagaan sebagai lembaga pengadilan perdata, Penyelesaian kasus-
kasus yang ditangani hanya diputus cerai atau damai, tidak sampai ke
putusan pidana. Sepanjang informasi yang diperoleh peneliti, tidak ada
sosialisasi tentang UU PKDRT ke aparat PA karena rujukan kerja
mereka bukan itu. Oleh karena itu aparat PA kurang termotivasi untuk
mempelajari UU PKDRT.
Secara kelembagaan di PA sudah mulai muncul wacana di tingkat
pusat untuk memfungsikan PA tidak hanya sebagai pengadilan perdata
tetapi juga sebagai pengadilan pidana di masa mendatang (wawancara
Ketua PA, 26/9/08) namun belum ada persiapan kelembagaan maupun
ketenagaan dan perangkat hukum pidana dalam keluarga. (wawancara
Pansek PA/16/9/08). Oleh karena itu masih perlu jalan panjang jika
bangsa ini memerlukan PA untuk ikut serta menerapkan UU PKDRT;
tidak hanya soal kelembagaan dan pemahaman aparat terhadap undang-
undang tetapi juga perlunya budaya peradilan yang berperspektif
perempuan dan sensitive gender (Irianto & Nurcahyo, 2006).
Faktor Pendukung di BP-4 Departemen Agama Kota maupun
Kabupaten Malang adalah tersedianya kantor yang memadai, ada ruang
khusus untuk kepenasehatan, ruang pimpinan dan staf administrasi,
ketenagaan dan peralatan kantor termasuk computer yang siap
digunakan. Dalam proses kepenasehatan BP-4 melibatkan para volunteer
yang terdiri dari ulama, mubaligh, psikiater, psikolog, konselor atau BP;
bahkan ketua BP-4 bersedia melakukan konsultasi di ruang kerja.
Kasus yang dibawa ke BP-4 Kota berasal dari masyarakat umum baik
PNS atau non PNS, Tetapi BP-4 Kabupaten khusus melayani PNS yang
sudah diberi pengatar oleh Badan Pengawas Pemerintah Daerah.
Layanan kepenasehatan dilakukan setiap hari pada jam kerja Senin
sampai Jumat jam 08.00 sampai dengan 15.00. Penanganan kasus sudah
dilakukan dengan baik, hasil observasi peneliti juga menunjukkan bahwa
Ketua BP-4 dan staf cukup welcome terhadap klien, tetapi ruang
konseling jarang digunakan, klien tampaknya lebih senang konsultasi
langsung di ruang ketua BP-4 (wawancara staf BP-4 Depag 22/7/08).
Faktor Penghambat kinerja BP-4 Departemen Agama Kota
maupun Kabupaten Malang adalah klien yang datang pada umumnya
sudah parah kasusnya, sehingga sulit diarahkan ke rujuk atau damai,
kasus sudah berat sehingga tujuannya ke perceraian. Kasus pada
umumnya disebabkan faktor utama ekonomi dan perbedaan latar
belakang keluarga selanjutnya terkait dengan penyebab lainnya seperti
kekerasan psikis, fisik dan seksual, ruang kepenasehatan kurang
digunakan langsung kemeja kerja ketua. Dalam implementasi UU
PKDRT, BP-4 lebih tepat berperan sebagai jalur sosialisasi keberadaan
UU PKDRT kepada klien yang datang konsultasi, ataupun edukasi
kepada muda-mudi calon pengantin sebagai upaya preventif agar mereka
tidak terjerumus menjadi pelaku/korban KDRT, BP-4 secara rutin
menyelenggarakan ―Suscatin‖ kepanjangan dari kursus calon pengantin,
mempunyai desa binaan sebagai desa keluarga sakinah.
Faktor pendukung di unit PPA Kepolisian Resor Kota maupun
Kabupaten Malang adalah adanya kantor unit tersendiri walaupun tidak
luas tetapi cukup fungsional untuk menjalankan aktifitas unit PPA.
Disamping itu unit PPA juga didukung oleh tenaga professional dan
berdedikasi terhadap tugasnya, sejumlah 8 orang staf dan 1 orang ketua
unit. Mereka memperoleh kesempatan refreshing/professional workshop
secara bergilir 2 kali setahun. Penampilan para petugas di Unit PPA juga
berbeda dari polisi pada umumnya, semua staf yang berjenis kelamin
perempuan bekerja dengan berbagai pakaian seragam non kedinasan
sehingga penampilan ramah dan segar tidak menakutkan klien.
Dalam Faktor penghambat kinerja Unit PPA; Unit PPA
Kabupaten Malang lebih beruntung karena didukung oleh PPT (Pusat
Pelayanan Terpadu) di RS Kanjuruhan, sementara PPA Kota yang
mengirim korban ke RSSA masih banyak kendala karena belum
terbentuk PPT (Pusat Pelajanan Terpadu) disitu. Kerja sama dengan
instansi terkait untuk membantu menangani kasus secara terpadu sangat
diperlukan. Belum ada shelter atau tempat penampungan sementara
untuk korban yang menunggu kasus disidik atau diselesaikan dan korban
belum berani pulang ke rumah; diperlukan juga tenaga ahli untuk kasus-
kasus khusus, diperlukan semacam rumah singgah, rumah inap korban
KDRT.
Sosialisasi UU KDRT secara insidental dilakukan oleh Kepala
Unit PPA Polres Kota maupun Kabupaten Malang lembaga, komunitas
yang memerlukan: Panti Asuhan, Sekolah-Sekolah, Komunitas Anak
Jalanan, PJ TKI dsb. Kanit PPA Kabupaten merasakan perlunya
sosialisasi UU PKDRT di tingkat aparat desa seperti lurah dan jajaran
aparat desa; karena merkalah ujung tombak yang mengawal
implementasi UU PKDRT. Jika ada kasus di daerah mereka, mereka
mestinya tahu bagaimana mengurusnya dan kemana melaporkannya.
Istilah KDRT memang sudah mulai populer di masyarakat terutama
lewat TV, tetapi substansi UU PKDRT baik aparat maupun msayarakat
di tingkat grass roots tidak tahu, kekerasan apa saja yang diancam
hukuman pada umumnya mereka mengira hanya kekerasan fisik yang
korbannya babak belur, atau kekerasan seksual. Sementara kekerasan
psikis dan ekonomi sering dianggap bukan kekerasan. Oleh karena itu
yang paling dominan dilaporkan ke unit PPA adalah kekerasan fisik,
kalau ada kekerasan ekonomi dilaporkan adalah juga karena disertai
kekerasan fisik.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
1. Di Pengadilan Agama baik Kota maupun Kabupaten, hampir semua
kasus yang masuk jumlahnya mencapai ratusan sampai ribuan setiap
tahun ada unsur KDRT, namun ditangani secara perdata. Faktor
penyebab bersifat psikis dan ekonomi paling dominan; penyelesaian
berlandaskan hukum perdata dengan putusan cerai dan hanya
sebagian kecil saja dengan putusan damai/rujuk.
2. Di Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP-
4) Departemen Agama Kota maupun Kabupaten, kasus yang masuk
cukup bervariasi dari segi factor penyebabnya; penanganan bersifat
konseling psikologis dengan pendekatan agama. Setiap client diberi
kesempatan konsultasi 3 kali, penyelesaian damai banyak terjadi dan
jika tidak bisa berdamai lagi diberi pengantar untuk di proses di
Pengadilan Agama
3. Di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kota dan
Kabupaten Malang adalah lembaga andalan dalam kinerja/
implementtasi UU PKDRT. Lembaga ini menangani kasus KDRT
yang sangat bervariasi faktor penyebabnya, yang paling dominan
faktor kekerasan fisik dan ekonomi yang kemudian memicu faktor
lainnya penanganan bersifat konseling masih sangat ditonjolkan
ditambah dengan penyadaran hukum dengan penahanan dan
hukuman kepada tersangka jika tidak mengubah perilakunya.
4. Di unit PPA banyak kasus yang kemudian dicabut/berdamai, atau
dicabut kemudian memproses perceraian. Ada beberapa kasus
dimana tersangka menghilang dan masuk DPO (Daftar Pencarian
Orang/buron). Ada kasus berat yang bisa masuk kasus criminal tetapi
dicabut oleh pihak pelapor, untuk kasus seperti ini delik aduan di UU
PKDRT dirasa tidak pas digunakan.
5. Ada beberapa kasus yang masuk kategori P21 yang diberkas untuk
dilimpahkan ke kejaksaan dan Pengadilan Negeri dan tersangka
benar-benar dijatuhi hukuman. Namun hukuman yang dijatuhkan
dengan berdasarkan KUHP dianggap terlalu ringan dan kurang
menimbulkan efek jera pada pelaku, mengusik rasa keadilan.
6. Keberadaan UU PKDRT adalah merupakan faktor pendukung paling
awal untuk menangani kasus-kasus KDRT, 9 orang tenaga/aparat
termasuk kepala unit PPA adalah orang-orang professional dan
berdedikasi dalam bidangnya, mereka secara bergilir memperoleh
penyegaran 2 X setahun untuk peningkatan profesionalismenya.
7. Faktor penghambat yang dirasakan oleh unit PPA adalah belum ada
perhatian dari dinas instansi terkait seperti Biro Pemberdayaan
Perempuan, Dinas Sosial Pemkot dan Pemkab Malang. Belum ada
unit palayanan terpadu dan shelter, ruang konseling masih campur
dengan ruang tamu, bantuan ahli untuk kasus-kasus khusus.
8. Dalam hal sosialisasi kepada aparat, fihak Polres Kota pernah
sosialisasi UU PKDRT kepada kepolisian Arhanud dan Brimob.
Sedangkan Polreskab pernah juga mengadakan penyuluhan
incidental ke kecamatan, kelurahan dan sekolah-sekolah namun
masih sangat jarang, terbentur keterbatasan dana dan belum adanya
strategi/paket untuk sosialisasi/penyuluhan khusus tentang UU
PKDRT.

Saran
1. Kehadiran peraturan maupun perundang-undangan adalah
merupakan upaya mengubah kehidupan masyarakat/sosial
engeenering ke arah kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu
perlu disertai dengan pemembangunan sistem, lembaga dan
penyiapkan suamber daya manusia sebagai pelaksananya.
2. Dalam kinerja/implementasi UU PKDRT, Mahkamah Agung perlu
juga memikirkan proses sosialisasi ke aparat penegak hukum seperti
tidak hanya Polisi tapi juga Jaksa dan Hakim sehingga mereka
memahami ruh UU PKDRT dan bisa melaksanakan pengadilan
berkeadilan gender, dengan hukuman yang memiliki kekuatan
melindungi korban dan membuat jera pelaku.
3. Perlu ada upaya peningkatan peran kelembagaan PA supaya tidak
berhenti pada proses perdata. Jika ada kasus yang pantas masuk ke
ranah pidana maka dimungkinkan adanya jalur untuk melanjutkan
kasus tersebut ke pengadilan pidana. Ide tentang perlunya
membangun sistim pengadilan pidana terpadu layak memperoleh
perhatian.
4. Peran BP-4 juga sangat strategis sebagai lembaga kepenasehatan/
konseling perkawinan yang langsung didatangi masyarakat dari
berbagai lapisan. Lembaga ini bisa menjadi salah satu jalur
sosialisasi UU PKDRT kepada masyarakat.
5. Pihak Kepolisian yang merupakan pelaksana UU PKDRT utama
perlu memperoleh perhatian dan dukungan dari berbagai fihak terkait
seperti Biro PP Pemda, DinasSosial, LSM yang memperhatikan
kasus kekerasan dan Rumah Sakit agar ada kerja sama, tersedia
PPT(Pusat Pelayanan Terpadu) dan shelter bagi korban KDRT.
6. Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan perlu ikut serta
mendorong kinerja/implementasi dengan mengembangkan
strategi/paket sosialisasi UU PKDRT untuk Aparat di tingkat Grass
Roots dengan prioritas para lurah dan staf di tingkat desa yang
merupakan ujung tombak pengawal aturan. Mereka harus faham
substansi pokok, menghayati pesan UU PKDRT dan prosedur
pelaporan kasus ke aparat penegak hukum. Mereka adalah jujukan
korban untuk mengadu jika terjadi kasus di wilayahnya. Demikian
juga diperlukan strategi/paket edukasi untuk berbagai kelompok
masyarakat seperti guru, siswa/remaja,
DAFTAR RUJUKAN

Astuti, Puji. 2002. Kemandirian dan Kekerasan Terhadap Isteri. Bulletin


Psikologi tahun X Nomor 2 Desember 2002. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
Branen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatf dan
Kuantitatif.Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Bria, Benyamin, Y. 2003. Kekerasan terhadap Perempuan dan
Bagaimana Menyikapinya. Denpasar: Yayasan Pustaka Nusantara.
Creswell, John W.1994. Research Design, Qualitatif & Quantitatif
Approach. Califomia. Sage Publication.
Denzin, Noerman K. & Lincoln, Yvonna S. 1994. Handbook of
Qualttatif Research. London: London Publication.
Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi
kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Fakih, Mansour. 2000. Kekerasan Gender dalam pembangunan.
Kekerasan dalam perspektif Pesantren. Jakarta: Gramedia.
Glesne & Peskhin. 1992. Becoming Qualitatif Researcher. White Plains,
New York: Longman Publishing Group.
Hartiningsih, Maria. 2007. Kekerasan Terhadap Perempuan, Jaminan
Keadilan Melalui Sistim Peradilan Pidana Terpadu. Harian
Kompas, Selasa, 20 Maret, hal. 35.
Hoesien, Abdul Aziz. 2001. Himpunan Yurisprudensi Tindak Kekerasan
Terhadap Perempuan dan Anak. Jakarta: Kantor Menteri Negara
pemberdayaan Perempuan.
Irianto, Sulistyowati & Luhulima, Achie S. 2004. Kisah Perjalanan
Panjang Konvensi Wanita. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Irianto, Sulistyowati & Nurtjahyo, Lidwina Inge. Perempuan di
Persidangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Yin, Robert K. 2004. Studi Kasus, Desain dan Metode. Jakarta:
Rajagrafirndo Persada.
Katjasungkana, Soka Handinah. 2003. Pelatihan Dasar Penanganan
Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Surabaya:
Samitra Abhaya-Kelompok Perempuan Pro Demokrasi.
Katjasungkana, Soka Handinah. 2004. Kita Bisa Mendampingi Korban
Kekerasan. Surabaya: Samitra Abhaya-Kelompok Perempuan Pro
Demokrasi
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI. 2000. Rencana
Induk P embangunan Nasional Pemberdayaan P erempuan 2000--
2004. Swabaya: Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretarian
Daerah Propinsi Jawa Timur.
Lengerman, Patricia Madoo & Brantley, Jill Niebruge. 2007. Teori
Feminis Modern. Dalam Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Kencana Prenada media Group..
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Moleong, lexi. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatf. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Muhajir, Noeng. 1996. Metode Penelitian Kualitatf Yogyakarta: Rake
Sarasin.
Miles, MB & Hubberman, AM.1984 . Qualitatif Data Analysis.
California: Sage Publication Inc.
Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-undang No 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Jakarta. Sinar Grafika.
Pratt, David. 1980. Curriculum Design and Developnrent. New York
Harcourt B.J.
Rahayu, Iin Tri. 2004. Kekerasan dan Agresifitas. Jurnal Psiko-Islamika,
Volume 1/no 2/ Juli 2004, hal 167--175.
Ritzer, George & Goodman, Douglas J. 2007. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta; Prenada Media Group.
Seccombe, K & Warner RL. 2004. Marriage and Families. Relationship
in Social Context. California: Wadsworth/Thomson Learning.
Towaf, Siti Malikhah.2004. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Adalah Tugas Kita Semua. Makalah seminar di Dharma
Wanita Kabupaten Gresik.
Williams, BK &Sawyer SC & Wahlstrom, CM. 2006. Marriages,
Families & Intimate Relationships. A Practical Introduction.
Boston: Pearson Education.
Zuhriah, Erfaniah. 2004. Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jurnal Psiko-
Islamika, Volume 1/no 2/ Juli 2004, hal 177--187.
Implementasi Corporate Social Responbility
sebagai Upaya Mengatasi Konflik Saluran Udara
Ekstra Tinggi (SUTET) (Studi Kasus pada PLN
Kota Malang)

Puji Handayati
Tri Laksiani

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Untuk


mengetahui penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada
PT. PLN (Persero) dalam mengatasi masalah Saluran Udara
Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) dan (2) Untuk mengetahui bentuk
Corporate Social Responsibility (CSR) yang dapat mengatasi
konflik Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET).
Berdaasarkan jenis data dan analisis yang digunakan, jenis
penulisan ini adalah penulisan deskriptif, dimana menurut Saifudin
Azwar (1998:7) penelitian deskriptif adalah penelitian yang
menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik
mengenai populasi atau bidang tertentu. Penulisan ini berusaha
menggambarkan situasi dan kejadian tentang Saluran Udara
Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET). Data yang dikumpulkan bersifat
deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji
hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi. Data
yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Dalam menjalankan
operasinya sebagai penyedia jasa ketenagalistrikan, PT. PLN harus
memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan seperti yang
terjadi pada konflik SUTET. Sehingga setiap keputusan yang
diambil dan tindakan yang dilaksanakan harus mempunyai
tanggung jawab sosial.
Kata-kata kunci: saluran udara ekstra tinggi (SUTET), PLN

Puji Handayati adalah dosen Jurusan Manajemen dan Tri Laksiani adalah dosen
Jurusan Akuntansi FE Universitas Negeri Malang
Pembangunan ekonomi yang tumbuh dengan cepat menuntut PT.
PLN (Perusahaan Listrik Negara) Persero untuk menyediakan tenaga
listrik dalam berbagai kebutuhan industri, ekonomi, perdagangan,
pemerintahan dan masyarakat luas. Listrik berperan besar atas kemajuan
di berbagai bidang dalam kehidupan. Selain itu, listrik merupakan salah
satu infrastruktur yang penting dalam upaya meningkatkan kualitas
hidup atau kesejahteraan manusia, serta sebagai pendorong berbagai
kegiatan ekonomi. Namun listrik juga dapat menimbulkan masalah jika
dalam penggunaannya tidak tepat.
Aliran tegangan tinggi sangat berbahaya bagi masyarakat, bahkan
mengakibatkan kematian bagi orang yang menyentuhnya secara
langsung. Berbagai penelitian membuktikan adanya hubungan antara
listrik tegangan tinggi dengan penyakti kanker dan leukimia pada anak-
anak bjkan orang dewasa. Pernyataan ini didukung oleh berbagai
penelitian antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Nancy Wertheimer
dan Ed Leeper (1979) membuktikan bahwa anak-anak di denver,
Colorado mengalami kemungkinan terserang penyakit leukimia dua atau
tiga kali dibandingkan orang dewasa. Selain itu juga dapat menimbulkan
penyakit tumor susunan saraf jika masyarakat tinggal di dekat jaringan
tinggi tersebut. Sejak penelitian di Denver ini para peneliti lainnya mulai
tertarik, termasuk peneliti di luar AS, seperti Swedia, Inggris, Denmark,
Finlandia, Perancis, Kanada. Penelitian tersebut juga membuktikan
bahwa orang yang tinggal dibawah tegangan tinggi bisa terkena kanker
otak dan berkaitan dengan penurunan gairah seksual. (www.hamline.edu.
Diakses pada 6 Februari 2006)
Demikian pula dalam studi tahun 1996 yang dilakukan tim
fisikawan Universitas Bristol, Inggris mendukung pendapat, bahwa
gelombang elektromagnetik dari listrik tegangan tinggi dapat
menimbulkan kanker. Bahkan ilmuwan dari ITB juga mengungkapkan
medan listrik dapat menimbulkan stres. Hal ini karena kabel bertegangan
tinggi bisa menarik partikel gas radon yang tidak berbau dan tidak
berwarna di sekitarnya yang kemudian meluruhkannya. Sebagian
partikel luruhan bersifat karsinogenik dan oleh medan listrik
dikonsentrasikan pada bagian tubuh tertentu, kemudian
mentransformasikan sel-sel tubuh yang ditempati menjadi sel kanker
(www.hamline.edu. Diakses tanggal 6 Februari 2006)
Di Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa selama lima
dasawarsa terakhir melaporkan adanya beberapa gangguan kesehatan
akibat paparan medan elektromagnetik dan medan magnet secara terus-
menerus dalam jangka panjang. Baik melalui transmisi, distribusi listrik
tegangan tinggi, atau peralatan bertenagalistrik. Gangguan kesehatan itu
terutama menyerang anak-anak antara lain leukimia (kanker darah).
Sebuah riset di Washington AS tahun 1950-1982 melaporkan adanya
kematian 486 ribu pekerja teknisi listrik, operator radio dan telegraf,
pekerja di peleburan alumunium, dan operator proyektor bioskop
meninggal akibat leukimiaa dan limfoma non Hodgkins. Penelitian lain
di Inggris dan New South Wales pada 1970-1972 mencatat kematian
para pekerja operator telegram dan ahli teknik yang disebabkan oleh
leukimia mieloid akut. Tahun 1973, ditemukan angka risiko leukimia
pada pekerja kelistrikan meningkatkan dua kali lipat. Pada awal tahun
1980-an dari Selandia Baru dilaporkan ada 546 kasus leukimia pada para
perakit alat-alat listrik serta pekerja yang memperbaiki radio dan televisi.
Sementara di Swedia, ditemukakan adanya risiko kanker pada 463 kasus
pekerja gardu listrik dan 263 kasus pada pekerja pemasangan kabel
transmisi. (www.republika.com. Diakses 7 Februari 2006)
Berdasarkan hasil penelitian Dr. Dr. Anies, M.Kes. PKK, pada
penduduk di bawah saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500
kV di Kab. Pekalongan, Kab. Pemalang, dan Kab. Tegal (2004),
menyimpulkan bahwa medan elektromagnetik yang berasal dari SUTET
500 kV berisiko menimbulkan gangguan kesehatan pada penduduk, yaitu
sekumpulan gejala hipersensitivitas yang dikenal dengan electrical
sensitivity berupa keluhan sakit kepala (headache), pening (dizzines), dan
keletihan menahun (chronic fatigue syndrome). Menurut Prof. Untung,
dalam penelitian yang dilakukan oleh Kasnodiharjo dan Soesanto,
peneliti dari Depkes RI di SUTET Cibinong dan Bekasi, berhasil
membedakan kelompok penduduk yang beresiko terpapar dan tidak
terpapar berdasarkan jarak tempat tinggal dengan jarak listrik terpasang.
Hasilnya, radius 500 meter diperkirakan masih memiliki risiko terpapar.
Hasil penemuan Anies menyimpulkan bahwa ketiga gejala tersebut dapat
dialami sekaligus oleh seseorang, sehingga penemuan baru ini
diwacanakan sebagai Trias Aniesa (www.pikiranrakyat.com diakses
pada 26 Desember)
Menurut WHO, potensi gangguan kesehatan yang timbul akibat
SUTET 500 kV, dapat terjadi pada sistem: (1) darah, (2) reproduksi, (3)
syaraf, (4) kardiovaskuler, (5) endokrin, (6) psikologis, dan (7)
hipersensitivitas. Menurut Rea, Bergdahl dan Grant, tanda dan gejala lain
yang dapat dijumpai adalah jantung berdebar-debar, gangguan tidur,
gangguan konsentrasi, rasa mual dan gangguan pencernaan lain yang
tidak jelas penyebabnya, telinga berdenging, muka terbakar, kulit
meruam, kejang otot, kebingungan, serta gangguan kejiwaan berupa
depresi. (www.pikiranrakyat.com diakses pada 26 Desember)
Sebuah riset dilakukan selama 10 tahun terakhir oleh Tim Bagian
Biologi FKUI, berhasil membuktikan korelasi antara listrik dan beberapa
penyakit. Tim yang diketuai oleh Guru Besar Bidang Biologi Reproduksi
FKUI, Prof. Dr. dr. Oentoeng Soeradi, berhasil menemukan bahwa
medan elektomagnetik yang ditimbulkan dari saluran kabel dan gardu
listrik tegangan tinggi dan alat-alat listrik di rumah bisa berisiko terhadap
kesehatan manusia. Ini timbul akibat rusak atau kacaunya kerja jaringan
endokrin (hormonal) tubuh karena adanya aliran listrik
tersebut.(www.republika.com. Diakses pada 6 Februari 2006)
Tetapi dalam bebarapa penelitian lain mengungkapkan bahwa
radiasi elektromagnetik tidak mempunyai korelasi dengan kesehatan. Hal
ini didukung dengan berbagai penelitian antara lain penelitian yang
dilakukan oleh Dr. Anies Universitas Diponegoro (1993), dari hasil
pengukuran ternyata kuat medan listrik dan kuat medan magnet dari
SUTET masih jauh di bawah ambang batas rekomendasi WHO/IRPA
sehingga dalam batas tertentu, SUTET tidak akan menimbulkan masalah
kesehatan. Namun kekhawatiran masyarakat merupakan hal yang wajar
dan sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif SUTET terhadap
kesehatan masyarakat, perlu dilakukan penyuluhan yang efektif kepada
masyarakat umum.
Berdasarkan Diktat Diklat yang dikarang oleh kumpulan pengajar
Jasdik PLN Pusat tahun 2004, menyebutkan bahwa penelitian sosiologi
yang dilakukan oleh Kasnodiharjo dan Soesanto (1995) serta
Ganihartono (1995), berusaha melihat keadaan hubungan sosial ekonomi
dan gangguan SUTET yang dikeluhkan seperti yang diberitakan di media
massa, yaitu kasus yang terjadi di daerah Cibinong dan Bekasi, Jawa
Barat, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara keterpaparan
penduduk yang ada di sekitar maupun yang berada di bawah jaringan
SUTET dengan penyakit yang dilaporkan atau tingkat kesehatan
masyarakat. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Budi
Haryanto SKM, Msc. Balitbang Depkes RI (1995-1996), menunjukkan
tidak ada korelasi antara gangguan kesehatan seperti sakit kepala,
kelelahan, pusing, keguguran, susah tidur, bradycardia, tachycardia,
indikasi tumor dan leukimia terhadap pajanan medan listrik dan medan
magnet.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ir. Syarifudin
Mahmudsyah M.Eng dari Fakultas Elektro ITS mengenai dampak medan
elektromagnetik akibat pemakaian tenaga listrik SUTET 500 kV di
daerah Singosari, Gresik serta Dharmahusada Indah Surabaya, diperoleh
data bahwa kuat medan listrik dan kuat medan magnet masih jauh di
bawah level toleransi berdasarkan standar IRPA dan INRC. Masalah
yang dihadapi penduduk lebih mengaraah kepada masalah psikologis dan
tuntutan mendapatkan ganti rugi. (Jasdik PLN Pusat: 2004)
Melihat adanya dampak dari aktivitas produksi perusahaan
(corporation) yang besar pada masyarakat, memunculkan pertanyaan
mengenai tanggungjawab perusahaan atas lingkungan dan masyarakat
sekitar. Oleh karena itu muncul pula kesadaran untuk mengurangi
dampak negatif tersebut.
Di sini terbukti sebuah korporasi atau perusahaan mempunyai
tanggungjawab sosial terhadap stakeholder dan lingkungannya. Dr.
David C. Korten, melukiskan bahwa dunia bisnis selama setengah abad
terakhir telah menjadi institusi paling berkuasa, sehingga harus
memperhatikan tanggungjawab untuk kepentingan bersama. Setiap
keputusan yang akan diambil, tindakan yang dilakukan harus mengacu
dalam rangka keeangka tanggungjawab tersebut. Selain itu, masyarakat
menginginkan produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi
dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak
asasi manusia (HAM). Hal ini menimbulkan kesadaran tentang
pentingnya menerapkan tanggungjawab sosial terhadap stakeholder.
Karena setiap tindakan yang diambil korporasi membawa dampak yang
nyata terhadap kualitas kehidupan manusia baik terhadap individu,
masyarakat, dan seluruh kehidupan. (www.swa.co.id. Diakses pada 26
Desember 2006)
Dari fenomena inilah muncul tanggungjawab sosial perusahaan
atau Corporate Social Responsibility (CSR). CSR muncul akibat tekanan
dan desakan berbagai organisasi semacam LSM karena terjadinya
malpraktik di dunia bisnis. Gagasan CSR menekankan bahwa
tanggungjawab perusahaan bukan lagi sekadar kegiatan ekonomi
(menciptakan profit demi kelangsungan usaha), melainkan juga
tanggungjawab sosial dan lingkungan. Pada dasarnya PT.PLN (Persero)
sudah menerapkan CSR, namun dalam perkembangannya masih juga
terdapat konflik seperti yang telah dipaparkan di atas.

1. Definisi Corporate Social Responsibility (CSR)


Sebagai sebuah konsep, Corporate Social Responsibility (CSR)
mempunyai definisi dalam beberapa versi karena implementasi yang
dilakukan oleh perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya
berbeda-beda.
Menurut versi Bank Dunia dalam SWA edisi 26/XX/19 Desember-
11 Januari 2006 definisi Corporate Social Responsibility (CSR) adalah:
―CSR is the commitment of business to contribute to sustainable economic
development working with employees and their representatives, the local
community and society at large to improve quality of life, in ways that are
both good for business and good for development‖.

CSR adalah komitmen bisnis sebagai kontribusi untuk


keberlanjutan perkembangan ekonomi yang bekerja sama dengan
pekerja, perwakilan mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk
memperbaiki kualitas hidup, dimana keduanya baik untuk bisnis maupun
pengembangan. Menurut Bank Dunia, tanggung jawab sosial perusahaan
terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu: perlindungan lingkungan,
jaminan kerja, hak asasi manusia, interaksi dan keterlibatan perusahaan
dengan masyarakat, standart usaha, pasar, pengembangan ekonomi dan
badan usaha, perlindungan kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan,
bantuan bencana kemanusiaan.
Menurut World Council for Sustainable Development definisi
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen berkelanjutan
dari bisnis untuk berperilaku dan berkontribusi bagi pembangunan
ekonomi, sekaligus meningkatkan kualitas hidup karyawannya, serta
masyarakat lokal ataupun masyarakat luas. Pemikiran ini didasarkan
bahwa perusahaan tidak hanya berkewajiban ekonomis dan legal
(shareholders), tapi juga pada pihak lain yang berkepentingan
(stakeholders), yang jangkauannya melebihi kewajiban di atas.
Sedangkan menurut versi Uni Eropa Corporate Social
Responsibility (CSR) adalah:
―CSR is concept whereby companies intregate social and environmental
concerns in their business operations and in their interaction with their
stakeholders on a voluntary basis‖

CSR merupakann konsep di mana perusahaan mengintegrasikan


masyarakat dan lingkungan dalam kegiatan bisnis dan interaksi mereka,
dengan para stakeholder dengan dasar sukarela. Dan menurut Tony
Djogo (2005), CSR adalah pengambilan keputusan yang dikaitkan
dengan nilai-nilai etika, memenuhi kaidah-kaidah dan keputusan hukum
dan menghargai manusia, masyarakat danlingkungan. (www.fajaronline.
co.id. Diakses pada 29 Januari 2006).
Trinidad and Tobacco Bureau of Standard (TTBS) menyimpulkan
bahwa CSR terkait dengan nilai dan standar yang dilakukan berkenaan
dengan beroperasinya sebuah korporat, maka CSR diartikan sebagai
komitmen usaha untuk bertindak etis, beroperasi secara legal dan
berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan
peningkatan kualitas hidup karyawan, komunitas lokal dan masyarakat
secara lebih luas (www.fajaronline.co.id Diakses pada 29 Januari 2006).
Dari berbagai definisi di atas, sejauh ini definisi yang banyak
digunakan adalah pemikiran Elkington tentang triple bottom line.
Menurut Elkington (1997) dalam SWA edisi 26/XX/19 Desember – 11
Januari 2006, CSR adalah adanya segitiga dalam kehidupan stakeholders
yang mesti diperhatikan korporasi di tengah usahanya mencari
keuntungan, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial, yang kemudian
diilustrasikan dalam bentuk segitiga.
Gambar 1 Segitiga Dalam Kehidupan Stakeholders
Social

Lingkungan Ekonomi

Sumber: Majalah SWA Edisi 29/XXI/19 Desember 2005 – 11 Januari 2006

2. Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai Kebijakan Perusahaan


Keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan
perusahaan itu sendiri di sebuah kawasan, dengan jalan membangun
kerjasama antar stakeholders yang difasilitasi perusahaan tersebut dan
menyusun program-program pengembangan masyarakat yang ada di
sekitarnya, atas kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan
lingkungannya, komunitas dan stakeholders yang terkait, baik lokal,
nasional, maupun global.
Hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de
Jeneiro Brazilia (1992), menyetujui adanya perubahan pembangunan,
dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan
yang berkelanjutan (sustainable development). Ada lima elemen
sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah; (1)
ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4)
terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan
pemerintah), dan (5) mempunyai nilai keuntungan (www.fajaronline.
com. Diakses pada 25 Januari 2006).
Menurut Chrysanti Hasibuan Sedyono (2004), model CSR
membagi kewajiban perusahaan menjadi empat jenis tanggungjawab
atau yang dikenal dengan model empat sisi, yaitu adanya empat
tanggungjawab perusahaan yang bersifat ekonomis, artinya memperoleh
laba bagi pemegang sahamnya; legal, mematuhi peraturan dan hukum
(berhubungan dengan lingkungan, dan sebagainya). Selain kewajiban
ekonomis dan legal, ada kewajiban-kewajiban lain terhadap
stakeholders di luar pemegang saham, yaitu ethical dimana perusahaan
harus memnuhi kaidah-kaidah normatif. Seperti berlaku fair, transparan,
tidak membeda-bedakan ras dan gender, dan tidak korupsi. Model
tanggung jawab selanjutnya bersifat discretionary, yaitu tanggung jawab
yang sebenarnya tidak harus dilakukan, tetapi atas kemauan sendiri
misalnya pemberian beasiswaa.
Sehubungan dengan praktik CSR, menurut Rudi Fajar (2005)
pengusaha dapat dikelompokkan menjadi empat, diantaranya: kelompok
hitam, merah, biru dan hijau. Kelompok hitam adalah pengusaha yang
tidak melakukan praktik CSR sama sekali, yaitu pengusaha yang
menjalankan bisnis hanya untuk kepentingan sendiri. Kelompok ini sama
sekali tidak peduli pada aspek lingkungan dan sosial di sekelilingnya
dalam menjalankan usaha, bahkan tidak memperhatikan kesejahteraan
karyawannya.
Kelompok merah adalah pengusaha yang mulai melaksanakan
praktik CSR, tetapi memandangnya hanya sebagai komponen biaya yang
akan mengurangi keuntungan. Aspek lingkungan dan sosial mulai
dipertimbangkan, tetapi dengan terpaksa, dan biasanya dilakukan setelah
mendapat tekanan dari pihak lain, seperti masyarakat atau lembaga
swadaya masyarakat. Kelompok ini umumnya berasal dari kelompok
satu (kelompok hitam) yang mendapat tekanan dari stakeholders-nya,
kemudian dengan terpaksa memperhatikan isu lingkungan dan sosial,
termasuk kesejahteraan karyawan. CSR jenis ini kurang berdampak pada
pembentukan image positif perusahaan karena masyarakat melihat
kelompok ini memerlukan tekanan sebelum melakukan praktik CSR.
Kelompok ketiga adalah pengusaha yang menganggap praktik
CSR akan memberi dampak positif (return) terhadap usahanya, dan
menilai CSR sebagai investasi, bukan biaya. Oleh karena itu, kelompok
ini secara sukarela dan sungguh-sungguh melaksanakan praktik CSR dan
yakin investasi sosial ini akan memperlancar operasional usaha.
Perusahaan akan mendapatkan image positif karena masyarakat menilai
pengusaha tersebut membantu dengan sungguh-sungguh. Seperti halnya
investasi, kelompok ini menganggap praktik CSR sebagai investasi
sosial jangka panjang.
Kelompok keempat, kelompok hijau, merupakan kelompok yang
sungguh-sungguh dan sukarela melaksanakan praktik CSR. Pengusaha
ini menempatkan CSR sebagai nilai inti dan menganggap sebagai suatu
keharusan, bahkan kebutuhan, dan menjadikannya sebagai modal sosial
(ekuitas). Oleh karena itu, pengusaha ini yakin bahwa tanpa
melaksanakan CSR, tidak memiliki modal yang harus dimiliki dalam
menjalankan usahanya. Pengusaha tersebut sangat memperhatikan aspek
lingkungan, sosial dan kesejahteraan karyawannya serta melaksanakan
prinsip transparansi dan akuntabilitas. Kelompok ini juga memasukan
CSR sebagai bagian yang terintegrasi ke dalam bisnis atas dasar
kepercayaan bahwa suatu usaha harus mempertimbangkan aspek
lingkungan dan sosial, yaitu kepercayaan bahwa ada nilai tukar (trade-
off) atas triple bottom line (aspek ekonomi, lingkungan dan sosial).
Sebagai hasilnya, kelompok ini tidak saja mendapatkan image positif,
tetapi juga kepercayaan dari masyarakat yang selalu siap mendukung
keberlanjutan usaha kelompok ini.
Hamann dan Acutt (2003), menelaah ada dua motivasi utama yang
mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR. Pertama, akomodasi,
yaitu kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik, superficial, dan
parsial. CSR dilakukan untuk memberi kesan korporasi yang peduli
terhadap kepentingan sosial. Realisasi CSR yang bersifat akomodatif
tidak melibatkan perubahan mendasar dalam kebijakan bisnis korporasi
sesungguhnya. Kedua, legitimasi, yaitu motivasi yang bertujuan untuk
mempengaruhi wacana. (www.tempo.com Diakses pada 29 januari
2006).
Menurut Teguh S. Pambudi (2005) dalam SWA edisi 26/XXI/19
Desember – 11 Januari 2006, dari hasil survey yang dilakukan oleh
majalah SWA dalam CSR Award 2005, perusahaan-perusahaan di
Indonesia banyak yang sudah menerapkan Corporate Social
Responsibility (CSR), karena 80% perusahaan menganggap CSR penting
bagi perusahaan. Selainitu, 48,89% responden memasukkan unsur-unsur
CSR kemudian menjadikan CSR sebagai bagian dari visi dan misi
perusahaan.
Selain menjadikan CSR sebagai visi dan misi, perusahaan juga
menjadikannya sebagai strategi bisnis. Ada beberapa alasan perusahaan
menjalankan CSR, yaitu sebagai wujud tanggung jawab sosial
perusahaan, agar perusahaan dapat terus beroperasi, nilai tambah bagi
stakeholders, strategi perusahaan, tumbuh dan berkembang bersam
masyarakat, implementasi nilai-nilai perusahaan serta karena alasan
kewajiban.
Menurut Darwina (2005), dalam SWA edisi 26/XXI/19 Desember
– 11 Januari 2006, ada beberapa cara perusahaan dalam memandang
aktivitas CSR antara lain: pertama, sebagai strategi perusahaan yang
pada akhirnya dapat mendatangkan keuntungan. Kedua, sebagai
compliance atau kewajiban karena akan ada hukum yang memaksa
untuk menerapkan konsep CSR tersebut. Ketiga, sebagai beyond
compliance yaitu perusahaan merasa sebagai sebagian dari komunitas
yang secara sadar dianggap sebagai sesuatu yang penting.
Sedangkan menurut Teguh S. Pambudi (2005), cara perusahaan
memandang CSR ada tujuh yaitu: pertama, sebagai kewajiban dan
tanggung jawab perusahaan; kedua, agar perusahaan dapat terus
beroperasi; ketiga, implementasi nilai-nilai perusahaan; keempat,
meningkatkan citra perusahaan; kelima, kegiatan kepedulian perusahaan
terhadap masyarakat; keenam, program untuk menjadikan masyarakat
lebih mandiri; dan terakhir, hubungan yang harmonis antara perusahaan
dengan lingkungan.
Pandangan lain tentang CSR oleh Prince of Wales International
Business Forum yang dipromosikan oleh IBL (Indonesia Business Links)
dalam SWA edisi26/XXI/19 Desember – 11 Januari 2006 lewat pilar
antara lain:
a. Building Human Capital, yaitu menyangkut kemampuan perusahaan
untuk memiliki dukungann sumber daya manusia yang handal
(internal) dab eksternal (masyarakat sekitar).
b. Strengthening economies, yaitu memberdayakan ekonomi
komunitas.
c. Assessing social cohession, yaitu perusahaan menjaga keharmonisan
dengan masyarakat sekitar agar tidak menimbulkan konflik.
d. Encouraging good governance, artinya perusahaann dijalankann
dalam tata pamong yang baik.
e. Protecting the environment, artinya perusahaan harus menjaga
kelestarian lingkungan.

3. Program yang Dijalankan Perusahaan dalam Corporate Social


Responsibility (CSR)
Menurut Teguh S. Pambudi (2005), program-program CSR yang
dijalankan perusahaan meliputi bidang sosial, lingkungan, dan ekonomi.
Program-program bidang sosial antara lain: pelayanan dan kampanye
kesehatan, beasiswa pendidikan, pembangunan dan renovasi sarana
sekolah, sumbangan sosial untuk bencana alam, sekolah binaan serta
pendidikan dan pelatihan teknologi informasi.
Program-program CSR yang dijalankan perusahaan dalam bidang
ekonomi antara lain: pemebrdayaan dan pembinaan UKM dan
pengusaha, kemitraan dalam penyediaan kebutuhan dan bahan baku
produksi, kredit pembiayaan dan bantuan modal untuk pengembangan
usaha, pengembangan agrobisnis, serta pemberdayaan dan
pengembangan tenaga kerja lokal. Sedangkan program CSR dalam
bidang lingkungan adalah pembinaan dan kampanye lingkungan hidup,
pengelolaan fisik agar lebih asri, pengelolaan limbah, pembangunan
sarana air bersih, penanaman pohon atau penghijauan dan pertanian
anorganik. Program-program CSR ini biasanya dijalankan dalam waktu
yang berbeda-beda sesuai dengan perusahaann masing-masing: kurang
dari 1 tahun, 1-2 tahun, 3--5 tahun, 6-7 tahun, 8--10 tahun serta lebih
daari 11 tahun.
Menurut Gurvy Kavei dalam SWA edisi 26/XXI/19 Desember –
11 Januari 2006, CSR dipraktekkan dalam tiga wilayah atau area antara
lain: di tempat kerja, seperti aspek keselamatan kerja, pengembangan
skill karyawan dan kepemilikan saham. Di komunitas, antara lain dengan
memberikan beasiswa dan pemberdayaan ekonomi terhadap lingkungan,
antara lain pelestarian lingkungan dan pross produksi yang ramah
lingkungan.
Pelaksanaan proram-program CSR dapat dilakukan perusahaan
dengan cara bekerja sama dengan pihak lain, yayasan yang bekerjasama
dengan pihak ketiga, yayasan milik perusahaan, pihak ketiga dan
dilakukan oleh perusahaan itu sendiri.

4. Stakeholders
Dalam prinsip responsibility, penekanan yang signifikan
diberikan pada kepentingan stakeholders perusahaan. Di sini perusahaan
diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholders, menciptakan nilai
tambah (value added) dari produk, dan memelihara kesinambungan nilai
tambah yang diciptakannya. Menurut Sita Soepomo (2004), stakeholders
perusahaan dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah karyawan,
konsumen, pemasok, masyarakat, lingkungan sekitar, dan pemerintah
sebagai regulator. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi
dihadapkan pada tanggung jawab yang berpedoman pada single bottom
line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam
kondisi keuangannya (financial) saja. Tetapi tanggung jawab perusahaan
harus berpedoman pada triple bottom lines. Di sini bottom lines selain
finansial adalah soal dan lingkungan.
Menurut J. Sudarsono (2002), lingkungan yang berpengaruh
langsung terhadap perusahaan adalah pihak yang berkepentingan
(stakeholders) dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Eksternal stakeholder
Pihak yang berkepentingan eksternal antara lain:
a) Pelanggan, menukarkan sumber daya dengan barang atau jasa
yang dihasilkan oleh dunia usaha, pelanggan bisa perorangan
maupun lembaga.
b) Pemasok, dengan adanya faktor-faktor produksi memungkinkan
dunia usaha melakukan kegiatan produksi.
c) Pemerintah, bertindak untuk membantu dan melindungi industri
dengan peraturan dan undang-undang.
d) Kelompok khusus, misalnya pecinta alam yang peduli terhadap
kelestarian alam dan lingkungan.
e) Lembaga konsumen, dengan memperhatikan dan membela hak
konsumen, contoh: lembaga perlindungan konsumen.
f) Serikat pekerja, berkenaan dengan penentuan upah kondisi kerja
dan sebagainya.
g) Lembaga keuangan, misalnya, bank, lembaga sewa guna yang
dapat membantu dalam pemenuhan modal.
2. Internal stakeholder
Pihak yang berkepentingan internal atau stakeholder, terdiri dari:
a) Karyawan, dengan keterampilan dan pendidikan yang memadai
akan sangat membantu dunia usaha dalam menjalankan
usahanya.
b) Pemegang saham dan dewan direksi, struktur yang mengatur
perusahaan publik yang memungkinkan pemegang saham untuk
mempengaruhi suatu perusahaan dengan menggunakan hak
suara.

Gambar 2 Model Stakeholder dalam Sebuah Perusahaan

Pelanggan Manajemen Komunitas Lokal

Perusahaan

Pemasok Karyawan Konsumen

Sumber : Pengantar Ekonomi Perusahaan (2002)

5. Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET)


Pembangunan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET)
didasarkan pada Pasal 8 UU No. 20/2002 yang disebutkan bahwa usaha
ketenagalistrikan terdiri dari dua kelompok. Pertama, usaha penyediaan
tenaga listrik yang meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi,
penjualan, agen penjualan, pengelola pasar dan pengelola sistem. Kedua,
usaha penunjang tenaga listrik yang mencakup jasa penunjang dan
industri penunjang. Jasa penunjang antara lain berupa konsultasi,
pembangunan, pemasangan, pengujian, pengoperasian, dan
pemeliharaan instalasi, serta jasa terkait lainnya. Industri penunjangnya
terdiri atas industri peralatan dan industri pemanfaatan tenaga listrik
Menurut Rancangan Undang-Undang Tentang Ketenagalistrikan,
Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) adalah transmisi
tenaga listrik yang menggunakan konduktor di udara bertegangan
nominal 275 kV dan 500 kV yang selanjutnya disebut SUTET.
Sedangkan transmisi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari
suatu pembangkitan ke suatu sistem distribusi atau kepada konsumen,
atau penyaluran tenaga listrik antar sistem. Konduktor adalah pilihan
kawat yang dipergunakan untuk menyalurkan energi listrik.
Secara teoritis, elektron yang membawa arus listrik pada jaringan
tegangan tinggi akan bergerak lebih cepat bila perbedaan tegangannya
makin tinggi. Elektron yang membawa arus listrik pada jaringan
interkoneksi dan juga pada jaringan transmisi, akan menyebabkan
timbulnya medan magnet maupun medan listrik. Elektron bebas yang
terdapat dalam udara dim sekitar jaringan tegangan tinggi, akan
terpengaruh oleh adanya medan magnet dan medan listrik,sehingga
gerakannya akan makin cepat dan hal ini dapat menyebabkan timbulnya
ionisasi di udara.
Ionisasi terjadi karena elektron sebagai partikel yang bermuatan
negatif dalam gerakannya bertumbukan dengan molekul-molekul udara
sehingga timbul ionisasi berupa ion-ion dan elektron baru. Proses ini
akan terus berjalan selama ada arus pada jaringan tegangan tinggi yang
mengakibatkan ion dan elektron menjadi berlipat ganda terlebih lagi bila
gradien tegangannya cukup tinggi.
Udara yang lembab karena adanya pohon di bawah jaringan
tegangan tinggi akan lebih mempercepat terbentuknya pelipatan ion dan
elektron yang disebut dengan avalanche. Akibat ion yang
menggandakan diri dan elektron ini (peristiwa avalanche) akan
menimbulkan korona berupa percikan busur cahaya yang disertai pula
dengan suara mendesis dan bau khusus yang disebut dengan bau ozone.
Peristiwa avalanche dan timbulnya korona akibat adanya medan magnet
dan medan listrik pada jaringan tegangan tinggi inilah yang sering
disamakan dengan radiasi gelombang elektromagnet atau radiasi
tegangan tinggi.
Gambar 3 Grafik Perkembangan Daya Listrik

Grafik

14

12

10

8
GigaWatt

0
1958/69 1973/74 1978/79 1983/84 1988/89 1993/94

Tahun

Series1

Amerika Serikat sebagai negara industri yang banyak


menggunakan jaringan tegangan tinggi, telah menetapkan batas aman
sebesar 0,2 mikro Weber/m2. Sedangkan Rusia menetapkan batas aman
radiasi tegangan tinggi dengan faktor 1000 lebih rendah dari yang telah
ditetapkan Amerika Serikat. Adanya perbedaan penetapan batas aman ini
disebabkan oleh penelitian mengenai dampak radiasi tegangan tinggi
terhadap manusia masih belum selesai dan terus dilakukan.
6. Bahaya Listrik pada Tegangan Ekstra Tinggi
Bahaya listrik pada tegangan ekstra tinggi yang paling dominan
adalah gradien tegangan ekstra tinggi itu sendiri terhadap makhluk hidup
maupun terhadap benda-benda lain yang berada pada daerah sekitarnya.
Sebagai contoh Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) dimana
saluran tenaga listrik yang menggunakan kawat telanjang (penghantar)
di udara bertegangan di atas 245 kV sesuai dengan standart di bidang
ketenagalistrikan.
Ruang bebas adalah ruang di sekeliling penghantar (kawat listrik)
SUTET yang besarnya tergantung besarnya tegangan, tekanan angin dan
suhu penghantar. Ruang tersebut harus dibebaskan dari orang, makhluk
hidup lain maupun benda apapun demi keselamatan orang, makhluk dan
benda lain tersebut demikian pula keamanann dari SUTET itu sendiri.
Ruang aman adalah ruang yang berada di luar ruang bebas yang
tanahnya masih dapat dimanfaatkan.
Faktor-faktor yang menentukan Ruang Bebas dan Ruang Aman
adalah tegangan, kekuatan angin dan suhu di sekitar penghantar antara
lain: (1)Tegangan, makin besar tegangan yang bekerja pada penghantar
makin besar jarak bebas minimum (clearance) yaitu jarak terpendek
antara kawat penghantar dan benda atau kegiatan lainnya sesuai dengan
yang tertera pada table; (2) Angin, makin besar tekanan angin, makin
besar ayunan kawat penghantar ke kiri atau ke kanan; dan (3) Suhu
kawat penghantar, makin besar suhu yang mempengaruhi kawat
penghantar makin mengendor kawat penghantar tersebut, sehingga
andongannya menjadi lebih besar, hal ini sudah diperhitungkan pada saat
mendesaian SUTET tersebut. Kenaikan suhu tersebut disebabkan oleh
suhu keliling dan suhu yang diakibatkan oleh besarnya arus yang
mengalir pada kawat penghantar.

METODE
Berdasarkan jenis data dan analisis yang digunakan, jenis
penulisan ini adalah penulisan deskriptif, dimana menurut Saifudin
Azwar (1998:7), penelitian deskriptif adalah penelitian yang
menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik
mengnai populasi atau bidang tertentu. Penulisan ini berusaha
menggambarkan situasi dan kejadian tentang Saluran Udara Tegangan
Ekstra Tinggi (SUTET). Data yang dikumpulkan bersifat deskriptif
sehingga tiddak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis,
membuat prediksi maupun mempelajari implikasi. Penulisan ini
dimaksud untuk mendeskripsikan mengenai penerapan CSR dalam
mengatasi konflik SUTET.
Penulisan ini menggunakan data kualitatif, yaitu data yang
dinyatakan dalam bentuk kalimat atau pernyataan berupa data primer
dan data sekunder. Data primer yaitu data yang dikumpulkan sendiri
oleh perorangan atau langsung melalui objeknya (Supranto, 1997:6).
Dalam penulisan ini data primer diperoleh dari Kepala PLN Kota
Malang, Kepala Kelurahan Purwodadi, dan warga yang tinggal di sekitar
SUTET di Kelurahan Purwodadi. Sedangkan data sekunder atau data
pendukung yaitu, data yang diperoleh dalam bentuk sudah jadi, berupa
publikasi (Supranto,1997:6). Data tersebut berupa informasi dari studi
pustaka berupa majalah, koran, buku-buku dan hasil penelitian yang
mendukung, serta artikel atau tulisan yang diakses dari internet. Data-
data yang dihimpun merupakan data yang berhubungan dengan berbagai
hal mengenai Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) dan
Corporate Social Responsibility (CSR).
Berdasarkan tujuan untuk memperoleh data yang dibutuhkan
dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode:
1. Dokumentasi
Yaitu membaca laporan penelitian-penelitian sebelumnya serta
artikel yang diakses dari internet. Pada metode ini peneliti hanya
memindahkan data yang relevan daaari sumber informasi atau
dokumen yang diperlukan.
2. Wawancara
Menurut Nazir (199:234) adalah memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab dan bertatap muka antara
pewawancara dengan responden. Wawancara dilakukan dengan
Kepala PLN Kota Malang, Kepala Kelurahan Purwodadi, serta
warga Kelurahan Purwodadi.
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Menurut Subagyo
(1997:106) analisis kualitatif adalah analisis yang dilakukan terhadap
data yang berupa informasi, uraian dalam bentuk bahasa prosa kemudian
dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapatkan kejelasan terhadap
suatu kebenaran sehingga memperoleh gambaran baru. Analisis ini
bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian
berdasarkan data dari kelompok subjek yang diteliti.

HASIL
Gambaran Umum Perkembangan PT. PLN Persero
Listrik telah menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam
memenuhi kebutuhan primer, yakni sandang, pangan, dan pagan. Listrik
berperan besar atas kemajuan di berbagai bidang. Listrik merupakan salah
satu infrastruktur yang menjadi tumpuan dalam upaya meningkatkan
kualitas hidup atau kesejahteraan manusia, serta sebagai pendorong
dalam berbagai kegiatan ekonomi.
Sejak tahun 1945 jasa ketenagalistrikan di Indonesia ditangani oleh
negara, dan pada 27 Oktober 1945 dibentuk Jawatan Listrik dan Gas.
Kemudian pada I Januari 1961 dikembangkan menjadi BPU Perusahaan
Listrik Negara (PLN) dan 28 Desember 1964 dibentuk PLN dan Perusahaan
Gas Nasional (PGN). Tahun 1972 PLN berstatus sebagai perusahaan umurn
(Perum) dan pada Juni 1994 berubah lagi menjadi perusahaan perseroan
(Persero) sampai sekarang, dengan konsekuensi berorientasi pada profit
meskipun tidak bisa lepas dan tugas negara sebagai penyedia jasa layanan
listrik bagi masyarakat. Namun pada tahun 1992 pihak swasta mulai
diperbolehkan turut serta dalam bisnis penyediaan listrik sehingga
monopoli PLN dalam bisnis tersebut berkurang. Sehingga beban Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut untuk menjangkau seluruh
wilayah Indonesia menjadi berkurang.
Tujuan pemerintah melakukan restrukturisasi sekaligus liberalisasi
ketenagalistrikan dilatarbelakangi oleh adanya pemikiran bahwa penye-
diaan listrik nasional harus diselenggarakan secara efisien melalui
transparansi dan kompetisi dalam iklim usaha yang sehat dengan cara
memberikan peluang yang sama kepada para pelaku usaha ketenaga-
listrikan. Terbukti dengan disahkannnya UU No 20 tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan yang salah satu tujuannya adalah agar listrik lebih
cepat menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada PT. PLN (Persero) dalam
Mengatasi Konflik SUTET
PT. PLN (Persero) mempunyai tanggung jawab yang tidak mudah
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yaitu dalam hal penyediaan
tenaga listrik di berbagai kebutuhan industri, ekonomi, perdagangan,
pemerintahan dan masyarakat luas. Listrik berperan besar atas kemajuan di
berbagai bidang dalam kehidupan dan merupakan salah satu infrastruktur
yang penting dalarn upaya meningkatkan kualitas hidup atau kesejahteraan
manusia, serta sebagai pendorong berbagai kegiatan ekonomi. Setiap
kegiatan maupun program yang dijalankan oleh PLN harus mempunyai
tanggung jawab kepada stakeholders, yaitu seluruh pihak yang
berkepentingan di dalamnya, sebagai dampak karena sudah memanfaatkan
sumberdaya. Sehingga CSR diperlukan agar kegiatan operasional PLN
dapat berjalan dengan baik.
Bentuk-bentuk CSR yang diterapkan oleh PT. PLN (Persero) selama
ini meliputi bidang sosial, lingkungan dan ekonomi. Bidang sosial antara
lain dengan memberikan asuransi kebakaran, pemberian beasiswa bagi
putra-putri karyawan dalam lingkup internal PLN dan pemberian dana
tali asih. Dalam bidang ekonomi yaitu melakukan penghematan biaya
operasional sehingga meringankan beban masyarakat karena tidak perlu
membayar listrik dengan harga tinggi dengan meningkatkan kemampuan
pembangkit-pembangkit energi terbaru yang ada, membangun pembangkit
energi terbaru berdasarkan hasil-hasil studi kelayakan yang sudah ada,
membuat peta potensi energi terbarukan yang memiliki potensi untuk
dikembangkan secara komersial, melakukan studi-studi kelayakan
tentang aspek teknis dan ekonomis energi terbarukan untuk menggantikan
bahan bakar minyak, dan program pencarian sumber-sumber pendanaan.
Memberikan pinjaman dana dari koperasi. Dalam bidang lingkungan
seperti perbaikan sarana ibadah dan sekolah.
Program PT. PLN (Persero) didasarkan pada Pasal 8 UU No
20/2002 yang disebutkan bahwa usaha ketenagalistrikan terdiri dari dua
kelompok. Pertama, usaha penyediaan tenaga listrik yang meliputi
pembangkitan, transmisi, distribusi, penjualan, agen penjualan,
pengelola pasar, dan pengelola sistem. Kedua, usaha penunjang tenaga
listrik yang mencakup jasa penunjang dan industri penunjang. Jasa
penunjang antara lain berupa konsultasi, pembangunan, pemasangan,
pengujian, pengoperasian, dan pemeliharaan instalasi, serta jasa
terkait lainnya. lndustri penunjangnya terdiri atas industri peralatan dan
industri pemanfaatan tenaga listrik. Untuk memenuhi penyediaan
tenaga listrik agar distribusi listrik tersebut dapat met jangkau seluruh
masyarakat maka diperlukan suatu interkoneksi yang disebut Saluran
Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET).
Kegiatan di sektor ketenagalistrikan sangat berkaitan dengan
masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Selama in] keberadaan industri
ketenagalistrikan telah memberikan dampak yang positif bagi para
stakeholders, baik masyarakat lokal, pemerintah daerah maupun bagi
kepentingan nasional secara keseluruhan. Namun demikian dalam
pelaksanaannya, kendala dalam berbagai bentuk selalu dihadapi. Kendala
dan hambatan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat
menimbulkan terjadinya konflik terutama dengan masyarakat lokal.
Kesadaran kolektif yang terbangun karena tinggi dan bebasnya arus
infomasi selama ini telah menimbulkan berbagai permasalahan di
sektor ketenagalistrikan. Di samping itu, isu-isu mengenai lingkungan
hidup, demokratisasi, dan hak asasi manusia juga sangat berpengaruh
terhadap sektor ketenagalistrikan.
Sebagai contoh salah satu konflik yang ditimbulkan akibat SUTET
adalah saat ini lahan yang tersedia semakin sempit akibat pesatnya
perkembangan di segala bidang. Begitu juga pertumbuhan penduduk
yang cukup besar, sehingga jalur yang dilalui SUTET kemungkinan
tidak dapat menghindari clan terpaksa harus melewati daerah dengan
keadaan tertentu, seperti daerah pemukiman yang tepat. DI sisi lain, juga
timbul permasalahan antara lain dalam hal kesehatan maupun
ekonomi.
Dalam hal kesehatan misalnya, terdapat isu beredar yang
menyebutkan bahwa radiasi elektromagnetik yang ditimbulkan oleh
SUTET dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, leukimia,
kemandulan, penurunan kekebalan tubuh, lambatnya pertumbuhan, juga
kelainan otak dan resiko serangan jantung. Selain itu juga tidak adanya
sosialisasi tentang dampak negatif yang mungkin timbul di kemudian
hari. Laporan Dewan Perlindungan Radiasi Nasional AS, Oktober 1995
menyebutkan bahwa paparan medan elektromagnetik yang sedikitpun pada
tubuh manusia dapat menimbulkan gangguan dalam jangka panjang.
(www.hamline.edu. Diakses pada 6 Februari 2006).
Setelah peneliti melakukan observasi di salah satu kelurahan,
yaitu Kelurahan Purwodadi, Kecamatan Blimbing, Kota Malang (2006)
menunjukkan bahwa pengaruh radiasi elektromagnetik dapat dirasakan
dalam jangka panjang. Hal ini dikarenakan sejak SUTET tersebut
dibangun sampai masyarakat tinggal di daerah tersebut selama 20--30
tahun belum memberikan efek yang benar-benar berarti.
Tidak adanya sosialisasi mengenai dampak negatif SUTET
juga mendorong timbulnya konflik. Konflik akibat SUTET dalam hal
ekonomi adalah banyaknva masyarakat yang menuntut ganti rugi atas tanah
yang dirasakan kurang, karena tanah milik warga yang dilalui jaringan
SUTET mempunyai nilai jual yang rendah dan dianggap berbahaya
akibat adanya radiasi elektromagnetik yang ditimbulkan oleh SUTET.
Konflik akibat SUTET tersebut sudah terjadi di berbagai daerah,
misalnya ketika permukiman warga Kabupaten Gresik, Jatim, dibangun
saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) 500 KV tahun 1995.
Banyak keluarga memilih tidur di bawah tenda sebagai pernyataan
protes, bahkan mereka mengirimkan surat kepada badan kesehatan
dunia WHO, badan dana anak-anak UNICEF serta Komnas HAM.
Bahkan di beberapa daerah telah terjadi aksi mogok makan dan jahit
mulut sebagai aksi menuntut ganti rugi yang menurut masyarakat
dirasakan kurang.
Konflik lain yaitu terjadi pada 20 Januari 2006 yang baru lalu
sekitar 200 warga Kampung Nagrak Desa Nanjung Mekar Kec.
Rancaekek Kab. Bandung melakukan aksi pembakaran ban di bawah
tower SUTET dan membongkar sebuah besi penyangga tower yang
berkekuatan 500 kV, perusakan menara SUTET oleh korban lainnya
sebelumnya terjadi di Desa Cisaat Kec. Waled Kab. Cirebon. Apa yang
dilakukan masyarakat itu sebagai wujud kekecewaan atas sikap PT.
PLN (Persero) yang tidak mau bekerjasama saat pembangunan SUTET
dan kurang mengkomunikasikan proyek tersebut kepada masyarakat.
(Pikiran Rakyat, 21/1/06). Di desa Waringin Jaya, Kec.Bojonggede Kab.
Bogor, masyarakat berusaha menggergaji dan menggali menara listrik
yang melintasi pemukiman mereka. Bahkan masyarakat mengatakan
berbagai penderitaan akibat SUTET, yaitu telah ada yang meninggal
dunia ketika hujan turun tepat di bawah tiang listrik. (Pikiran Rakyat,
22/1/06).
Konflik-konflik tersebut di atas akan sangat merugikan kedua
belah pihak baik masyarakat maupun PLN. Karena masyarakat yang
mencoba melakukan perusakan tower SUTET bisa dijerat Undang-
Undang (UU) No. 15 Tahun 2003, pelaksanaan UU No. I tahun 2002
tentang Terorisme. Selain itu juga bisa dijerat Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 408 dan pasal 406, dengan ancaman
hukuman penjara masing-masing empat tahun penjara dan dua tahun
delapan bulan. Karena perbuatan itu termasuk kategori membahayakan
obyek vital dan strategis milik negara dengan ancaman pidana hukuman
seumur hidup atau pidana mati. Selain itu perusakan instalasi SUTET
termasuk tindakan sabotase negara. Karena, bila tower SUTET 500 k\
sampai roboh atau rusak, akan terjadi pemadaman listrik yang meluas di
wilayah Jawa-Bali, akibatnya akan melumpuhkan perekonomian dan
menimbulkan kerawanan sosial dan keamanan. Hal ini tidak hanya
merugikan PLN yaitu berkurangnya profit karena jika terjadi pemadaman
total maka akan menghambat segala aktivitas yang mengakibatkan
kerugian bagi masyarakat sendiri. Di samping itu juga terdapat dampak
buruk jika SUTET tidak dibangun antara lain: daya dari pembangkit non
BBM yang akan dibangun tidak tersalurkan, keandalan sistem
menurun (kemungkinan blackout sangat besar), daya listrik yang
disalurkan terbatas, penambahan pelanggan baru sulit dipenuhi,
permintaan tambah daya konsumen sulit dipenuhi, rawan terhadap
pemadaman, dan pertumbuhan sentra industri terhambat yang akan
berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dari berbagai masalah yang timbul seperti di atas dapat dikatakan
bahwa akar permasalahan hanya dua yaitu tuntutan ganti rugi yang
kurang dan masalah kesehatan. Hal ini terjadi karena ada perbedaan dasar
hukum yang dijadikan pedoman antara masyarakat dengan PLN.
Masyarakat korban SUTET menuntut ganti rugi dengan mengacu pada UU
No, 151985 tentang Ketenagalistrikan yaitu pasal 12, sementara pemerintah
berpedoman pada Permentamben No OI.P/47/MPE/1992 dan Kepmentamben
975.K/47/MPE/1999 yang mengatur tata cara mengenai ganti rugi dan
kompensasi tersebut. Ganti rugi dan kompensasi yang diatur
Kepmen lebih rendah dari yang diatur UU No. 151/1985.
Pada tahun 1992 dikeluarkan Peraturan Menteri Pertambangan
dan Energi No.OI.P/47/MPE/1992 tentang Ruang Bebas bagi
Penyaluran Tenaga Listrik. Peraturan ini menyatakan bahwa
pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan tidak diwajibkan untuk
memberikan ganti rugi selama bangunan atau benda apa pun tidak
termasuk ke dalam ruang bebas atau dengan kata lain bangunan benda
berada di ruang aman. Pada tahun 1999 Permentamben
No.01.P/47/MPE/1992 diubah oleh Keputusan Menteri Pertambangan
dan Energi No-975 K/47/MPE/1999. Baik Permentamben tahun 1992
maupun Kepmentamben tahun 1999 isinya adalah bertentangan
dengan Pasal 12 UU No. 15 Th 1985, karena hanya memberi ganti
rugi dan membebaskan tanah, bangunan dan tumbuh-tumbuhan di atas
tapak penyangga SUTET.
Peristiwa di atas menuntut PT. PLN (Persero) untuk mengambil
langkah penyelesaian sebagai wujud dari tanggung jawab sosial
perusahaan atau CSR. Terkait dengan ganti rugi dan kompensasi,
PLN telah melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan
pemerintah dan selalu mengutamakan kepentingan dan keinginan
masyarakat. Langkah-langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan
persoalan tersebut adalah dengan membentuk joint team yang terdiri
dari pemerintah, PLN dan elemen masyarakat. Tim ini terdiri dari
Kantor Menko Polhukam, Depdagri, Depkeu, Depkes, Depkum dan
HAM, Kantor Menneg BUMN, Depkominfo, Kantor Menneg LH,
Mabes Polri, BPN, Kejaksaan Agung, Departemen ESDM dan PT
PLN (Persero). Tim inilah yang ditugaskan untuk menyelesaikan
persoalan yang terjadi di lapangan melalui dialog intensif,
penyuluhan dan upaya-upaya lainnya. Apabila dalam kasus SUTET
tidak diajukan judicial review, para korban tetap dapat mengajukan
tuntutan atas dasar wanprestasi, karena PT. PLN telah membuat dan
menandatangani surat jaminan, yang nada pokoknya berisi, apabila
dikemudian hari terjadi kecelakaan yang sesuai hasil penelitian
disebabkan oleh keberadaan SUTET 500 kV, baik karena kelalaian
atau kesalahan PT. PLN maka PT. PLN akan bertanggung jawab
atas kesalahan tersebut. Tanggung jawab tersebut adalah terhadap
kesehatan manusia dan atau meninggal dunia serta atas kerusakan
rumah dan atau barang-barang elektronik atau alat-alat rumah
tangga lainnya.
Sebagai niat baik dan peduli terhadap lingkungan yang terkena
proyek untuk publik ini, PT. PLN (Persero) sudah memberikan
semacam dana tali asih dan pinjaman dana dari koperasi kepada
masyarakat yang tempat tinggalnya dilalui jaringan SUTET. Hal ini
ditujukan agar masyarakat mampu meningkatkan kualitas hidupnya.
Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang lain
adalah dilakukan pengukuran berkala, dan pemberian penyuluhan
tentang aturan jarak aman kepada masyarakat. Penyuluhan MI
bertujuan memberikan pengertian yang benar tentang pengaruh medan
listrik dan medan magnet sehingga masyarakat yang bermukim di
sekitar sarana transmisi ini memiliki persepsi yang benar dan rasa aman
tinggal di sekitarnya. Penyuluhan ini biasanya diberikan PT. PLN pada
saat awal pengoperasian SUTET, tetapi penyuluhan ini juga dapat
diberikan pada kesempatan lain jika masyarakat membutuhkanya.
Selain itu dengan adanya peraturan Menteri Pertambangan dan Energi
tentang ruang bebas untuk SUTET tahun 1992 pihak PT. PLN
meninggikan bentangan kabel listrik. jika sebelumnya dengan
bentangan di menara setinggi 8,5 meter harus membebaskan tanah
di bawah kabel listrik, maka dengan meninggikan sampai 22,5 meter
SUTET, maka ruang setinggi 14 meter di atas tanah dianggap
aman.
Selain itu, upaya untuk meminimalkan dampak negatif radiasi
elektromagnetik ini yaitu dari penelitian yang telah dilakukan, kuat
medan Iistrik di bawah SUTET di luar rumah lebih tinggi dibandingkan
di dalam rumah. (www.republika.com. Diakses pada 28 lanuari
2006) Oleh karena itu, PLN menganjurkan pada masyarakat agar
mengusahakan rumah berlangit-langit (plafon), dan lebih baik jika
menanam pohon sebanyak mungkin di sekitar rumah, terutama pada
lahan-lahan yang kosong. Dan jika tidak ada kepentingan tidak
dianjurkan berada di luar rumah di bawah SUTET pada malam hari
karena pada saat itu arus yang mengalir pada kawat penghantar
SUTET lebih tinggi daripada siang hari.
PT. PLN (Persero) sendiri telah membuat pagar pembatas
untuk menjaga ruang bebas dan jarak aman serta secara periodik
melakukan pengukuran kuat medan listrik dengan menggunakan alat
Elektromagnetic Field Meter. Menurut WHO (World Health
Organization) ambang batas kekuatan medan listrik dan medan magnet
yang tidak membahayakan tubuh manusia sebesar 5 kV/m untuk medan
listrik dan 0,1 m Tesla untuk medan magnet.
Namun dari berbagai bentuk CSR yang sudah diterapkan untuk
mengatasi masalah SUTET, masih belum dapat menyelesaikan secara
tuntas konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PT. PLN
(Persero). Untuk itu, berbagai penelitian dan jalan keluar untuk
mengatasi konflik SUTET ini sangat diperlukan.

BAHASAN
CSR menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan lagi
sekedar kegiatan ekonomi, _yaitu menciptakan profit demi kelangsungan
usaha, tetapi juga tanggung jawab sosial dan lingkungan. Alasannya,
jika menggantungkan pada finansial saja, tidak menjamin perusahaan
akan berkembang secara berkelanjutan. Hal ini dikarenakan perusahaan
yang hanya mementingkan keuntungan finansial dan mengabaikan
tanggung jawab sosial dan lingkungan, tidak hanya mendapat tentangan
dari masyarakat sekitar, tetapi juga tekanan dari LSM.
Dalam pembangunan sarana ketenagalistrikan, akan mempunyai
dampak positif maupun negatif seperti yang telah dijelaskan dalam poin
di atas. Dampak positif tersebut antara lain dapat meningkatkan
kualitas hidup atau kesejahteraan manusia, serta sebagai pendorong
berbagai kegiatan ekonomi. Sedangkan dampak negatifnya adalah
adanya bahaya kesehatan oleh radiasi elektromagnetik.
Untuk mengatasi dampak negatif tersebut apa yang sudah
diterapkan PT. PLN merupakan bukti bahwa PT. PLN memiliki
tanggung jawab sosial atau CSR, namun bentuk CSR tersebut ternyata
belum memberikan dampak yang nyata karena masih banyak terjadi
konflik di berbagai daerah.
Dari berbagai konflik yang timbul akibat keberadaan SUTET
dapat dikatakan bahwa akar permasalahannya yaitu tuntutan ganti rugi
yang dirasakan masih kurang oleh masyarakat dan adanya ancaman
bahaya kesehatan. Untuk konflik SUTET terutama yang menyangkut
masalah ganti rugi sebaiknya pihak pemerintah mengeluarkan suatu
dasar hukum yang sama dan jelas sehingga tidak menimbulkan konflik
dan tidak akan merugikan kedua belah pihak yaitu masyarakat dan
PT. PLN. Karena selama ini dasar hukum pemberian ganti rugi
yang menjadi pedoman masyarakat dan PT. PLN tidak sama, sehingga
tidak ada kesepakatan antara kedua pihak, dan masing-masing
mempunyai pandangan sendiri. Masyarakat korban SUTET menuntut
ganti rugi dengan mengacu pada UU No.15/1985 tentang
Ketenagalistrikan yaitu pasal 12, sementara pemerintah berpedoman
pada Permentamben No Ol.P/47/MPE/1992 dan Kepmentamben
975.K147/MPE/1999 yang mengatur tata cara mengenai ganti rugi
dan kompensasi tersebut. Ganti rugi dan kompensasi yang diatur
Kepmen lebih rendah dari yang diatur UU No. 151/1985. Pada
kenyataannya, jumlah ganti rugi dari kedua dasar hukum ini berbeda
yaitu dasar yang dijadikan patokan oleh PT. PLN yaitu Permentamben
No O1.P/47/MPE/1992 lebih rendah dari jumlah ganti rugi yang
tertuang dalam UU No. 15 Tahun 1985. Untuk itu, sangat diperlukan
kesamaan dasar hukum sehingga akan memiliki persamaan pandangan
antara masyarakat dan PT. PLN (Persero).
Masalah utama dalam konflik SUTET yaitu selain kurangnya
ganti rugi yang diberikan yaitu berkaitan dengan masalah kesehatan.
Selama ini masyarakat yang areal pekarangan dan sawahnya telah
dibangun tower dan akan dilalui jaringan, sejauh ini belum memperoleh
sosialisasi secara transparan tentang kemungkinan dampak buruk yang
terjadi akibat pembangunan SUTET. Hal ini menyebabkan masyarakat
menjadi kurang tahu atau bahkan tidak tahu sama sekali tentang
dampak negatif dan bahaya yang ditimbulkan akibat pembangunan
proyek SUTET. Namun, jika pihak PLN memberikan sosialisasi secara
transparan dan menyeluruh, maka suatu saat terjadi masalah maupun
konflik, masyarakat akan berusaha mencari solusi bersama-sama
dengan pihak PT. PLN. Oleh karena itu, manajemen PT. PLN (Persero)
sangat perlu untuk segera memberikan informasi yang sebenar-
benarnya, atas potensi dampak yang mungkin muncul dari proyek
tersebut. Sehingga nantinya tidak akan terjadi masalah di kemudian
hari pada saat proyek SUTET tersebut mulai dikerjakan.
Untuk memenuhi tuntutan masyarakat sebagai Wujud tanggung
jawab perusahaan dalam hal kesehatan, PT. PLN (Persero) dapat
menerapkan salah satu bentuk CSR misalnya berupa jaminan
kesehatan. Jaminan kesehatan ini diberikan kepada masyarakat yang
tinggal di sekitar area yang dilalui jaringan SUTET, yaitu masyarakat
yang sakit dan diduga disebabkan karena radiasi elektramagnetik.
Dalarn hal ini PT. PLN (Persero) harus menetapkan batasan-batasan
yang jelas misalnya PLN hanya akan memberikan jaminan kesehatan
tersebut jika masyarakat yang sakit tersebut benar-benar disebabkan
oleh radiasi elektromagnetik yang menurut berbagai penelitian antara
lain menurut WHO, misalnya penyakit yang menyerang 1) darah, (2)
reproduksi, (3) syaraf, (4) kurdiovaskuler, (5) endokrin, (6) psiko-
logis, dan (7) hipersensitivitas dengan gejala jantung berdebar-debar,
gangguan tidur, gangguan konsentrasi, rasa mual, dan gangguan
pencernaan lain yang tidak jelas penyebabnya. telinga berdenging,
muka terbakar, kulit meruam, kejang otot, kebingungan, serta gangguan
kejiwaan berupa depresi. Atau menurut hasil penelitian Dr. dr. Anies.
M.Kes. PKK yang menyimpulkan bahwa medan elektromagnetik yang
berasal dari SUTET 500 kV berisiko menimbulkan gangguan
kesehatan pada penduduk, yaitu sekumpulan gejala hipersensitivitas
yang dikenal dengan electrical sensitivity berupa keluhan sakit kepala
(headache), pening (dizziness), dan keletihan menahun (chronic
fatigue syndrome). (www.pikiranrakyat .com Diakses pada 26
Desember 2006). Sehingga jika suatu saat ada masyarakat yang
mempunyai penyakit atau gejala di atas harus mendapat jaminan
kesehatan walaupun mungkin penyakit tersebut bukan karena radiasi
elektromagnetik.
Selain itu penyuluhan dan sosialisasi mengenai jarak aman
kepada masyarakat harus selalu diberikan, misalnya untuk jaringan
tegangan menengah dan rendah (JTM/JTR) di daerah tersebut dapat
digunakan rumus sederhana, yaitu I kV = 1 cm. Artinya jika
tegangan di kawat jaringan sebesar 20 kV maka jarak amanya
adalah 20 cm atau 0,2 m. Untuk transmisi SUTET aturan jarak
aman vertical (C) adalah untuk tegangan 70 kV adalah 4,5 m. untuk
150 kV adalah 5,5 m, untuk 275 kV adalah 7,5 m dan untuk 500 kV
adalah 9,5 m. Sedangkan jarak aman horizontal dari as/sumbu
menara (D) adalah untuk tegangan 70 kV adalah 7 m, untuk 150 kV
adalah 10 m, untuk 275 kV adalah 13 m dan 500 kV adalah 17 m
(www.pln.co.id Diakses pada 7 Februari 2006).
Kegiatan yang dilaksanakan oleh PT. PLN (Persero) pada
umumnya masih bersifat hibah dan bukan merupakan program
rutin, misalnya pemberian kredit dan pemberian dana tali asih. Jika hal
tersebut sudah dilakukan secara rutin dan menjadi salah satu program
aktivitas PT. PLN, maka ini akan dapat melibatkan hubungan kemitraan
antara pihak PT. PLN dengan masyarakat. Untuk itu tanggung jawab
sosial perusahaan diperlukan agar menciptakan keseimbangan dan
keberlanjutan hidup dan jalinan kemitraan timbal balik antara
perusahaan dan stakeholders. Disini PLN menjadikan masyarakat
sebagai mitra, sehingga PLN mempunyai program kegiatan dalam upaya
pemberdayaan untuk mendukung kesejahteraan dan kemandirian
masyarakat secara berkelanjutan. Sehingga antara masyarakat dan PLN
terjalin hubungan yang baik dan saling mendukung selama kegiatan
tersebut tidak menimbulkan masalah dan dampak negatif. Kemitraan ini
bisa tercipta antara lain melalui program yang berupa ekonomi kerakyatan
yaitu, PLN menjadi mitra masyarakat dalam hal pemberian hibah untuk
kredit usaha.
Bentuk-bentuk CSR tersebut dl atas mungkin tidak sepenuhnya
dapat mengatasi masalah, namun paling tidak dapat mengurangi adanya
konflik SUTET. Agar program-program CSR seperti di atas dapat
berjalan dengan lancar, maka sangat diperlukan hubungan maupun
kerjasama yang baik antara PT. PLN (Persero), masyarakat, dan
Pemerintah, serta seluruh stakeholdernya.
Aktivitas CSR yang dilakukan oleh PT. PLN Persero tidak
hanya memberikan manfaat bagi masyarakat, tetapi juga pihak PLN itu
sendiri. Manfaat yang diperoleh masyarakat dengan dilaksankannya
program CSR oleh PLN misalnya, dapat mengembangkan usaha mereka
melalui hibah untuk kredit usaha, adanya jaminan kesehatan, dan
masyarakat mendapatkan ganti rugi serta kompensasi atas tanah milik
mereka sesuai dengan kesepakatan.Selain itu, aktivitas masyarakat juga
tidak akan terganggu karena adanya pemadaman total akibat perusakan
tower SUTET. Bagi PT. PLN Persero sendiri, kegiatan operasional
perusahaan tidak akan terhambat dan selalu mendapat dukungan dari
masyarakat, dan akhirnva tercipta hubungan yang baik antara masyarakat
dengan pihak PLN. Di sisi lain, image perusahaan dalam pandangan
masyarakat akan tetap baik dan selalu mendapatkan respon yang positi£
Dari manfaat yang dapat diperoleh di atas, semoga dapat dijadikan
bahan pertimbangan bagi PT. PLN (Persero) untuk menetapkan CSR
dalam kegiatan operasionalnya dan tentunya menjadikan PLN ke arah
yang lebih baik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Akhir-akhir ini banyak perusahaan yang makin sadar akan
pentingnya praktik Corporate Social Responsibility (CSR), ataupun
mengikuti langkah-Iangkah serupa termasuk perusahaan BUMN seperti
PT. PLN (Persero). Hal Ini tentu memerlukan hubungan kerjasama yang
baik antara pemerintah, masyarakat dan para pelaku bisnis sendiri.
Misalnya, pemerintah memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang
menerapkan program CSR secara serius. Demikian pula Bapepam
mewajibkan laporan CSR bag) perusahaan yang akan masuk bursa
ataupun yang kini sudah tercatat di bursa, serta langkah-langkah
lain yang relevan. Dan masyarakat mendukung program CSR yang
diterapkan perusahaan tersebut.
Dalam menjalankan operasinya sebagai penyedia jasa
ketenagalistrikan, PT. PLN harus memperhatikan tanggung jawab
sosial perusahaan seperti yang terjadi pada konflik SUTET.
Sehingga setiap keputusan yang diambil dan tindakan yang
dilaksanakan harus mempunyai tanggung jawab sosial.

Saran
Agar program CSR dapat berjalan dengan baik, maka dapat
disarankan (1) Untuk pemerintah sebaiknya memberikan peraturan
hukum yang secara tegas dan khusus mengatur tentang tanggung
jawab sosial perusahaan; (2) Program diarahkan pada masyarakat
yang membutuhkan dan diprioritaskan pada kebutuhan pokok
masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup; (3) Program dilaksana-
kan dengan menyediakan tenaga ahli pendamping; dan (4) Dilakukan
evaluasi dan pelaporan, apakah program tersebut berjalan sesuai
tujuan.
DAFTAR RUJUKAN

Abdul Rosyid Idris, Corporate Social Responsibility (CSR) sebuah


gagasan dan implementasi. www.fajaronline.co.id. Diakses 29
Januari 2006
Anonim. Kekuatan Ide-ide Bisnis Mujarab. www.swa.co.id. Diakses 30
Desember 2005.
----------. Tanggung Jawab Sosial Bukan Beban Bagi Perusahaan.
www.kompas.co,id. Diakses 18 Desember 2005.
----------. Pemerintah Bentuk Tim Tangani SUTET. www.pikiran
rakyat.com. Diakses 26 Desember 2005.
----------. Tower SUTET Dirusak. www.pikiran rakyat.com. Diakses 26
Desember 2005.
----------. Awas Listrik Munculkan Penyakit. www.republika.com.
Diakses 7 Februari 2006.
-----------. Proyek Jaringan SUTET PLN (1). www.suara merdeka.com.
Diakses 7 Februari 2006
Azwar, Saifudin,1999. Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Arikunto,Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan
Praktek. PT.Rineka Cipta, Jakarta
Djatmiko,Harmanto Edy. Saatnya Menabur. www.swa.co.id. Diakses 26
Desember 2005.
Djoko,Tony. Tanggungjawab Sosial Perusahaan (CSR).
www.pertamina.com. Diakses 18 Desember 2005.
Hasibuan, Sedyono Chrisanti. Sekali lagi CSR. Majalah SWA
23/XIX/10/ November 2003.
Sugiyono, 1999. Metode Penelitian Bisnis. CV.Alfabeta.Bandung.
Wiryosimin, Suwarno. 1995. Mengenal Asas Proteksi Radiasi. ITB
Bandung
Analisis Pengaruh Kompensasi terhadap
Motivasi dan Kinerja (Studi Kasus Dosen
Ekonomi pada Perguruan Tinggi Swasta)

Heri Sudarsono

Abstract: The aims of this research are: (a) Describe financial and
non financial compensation, intrinsic motivation and lecture
performance; (b) Analyze the effect of financial compensation and
intrinsic motivation to lecturer performance; (c) Analyze the effect
of non financial compensation on intrinsic motivation; (d) Analyze
the effect of non financial compensation and motivation to lecture
performance. Based on description and path analysis, it shows that
financial compensation and intrinsic motivation was in good
condition and affecting lecture performance. Financial
compensation as salary, incentive, and wage and intrinsic
motivation as achievement knowledgement, the job it self, and
responsibility has direct and indirect effect on independent
variable, so the main model proposed could be decided as final
model in path analysis.
Key words: compensation, motivation, performance

Unsur manusia memegang peranan yang penting karena manusia


menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi, strategi
maupun langkah kegiatan operasional suatu kegiatan. Manusia juga
merupakan mahluk yang mempunyai pikiran, perasaan, kebutuhan dan
harapan yang memerlukan perhatian tersendiri karena akan
mempengaruhi prestasi, dedikasi dan loyalitasnya terhadap organisasi
(Hasibuan, 1990:222). Menurut hierarki kebutuhan Maslow (Robins,
1996:1990) manusia mempunyai kebutuhan bertingkat yang mencakup
faal, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.

Heri Sudarsono adalah dosen Jurusan Manajemen FE Universitas Teknologi Surabaya


Untuk memenuhi aneka ragam kebutuhan tersebut, hal yang dapat
dilakukan adalah dengan menjadi anggota organisasi. Tumbuh dan
berkembangnya organisasi tergantung pada sumber daya manusia,
sehingga manusia merupakan asset yang harus ditingkatkan efisiensi dan
produktivitasnya. Untuk mencapai hal itu organisasi harus mampu
menciptakan situasi dan kondisi yang mendorong dan memungkinkan
pegawai mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki
secara optimal. Salah satu upaya yang ditempuh organisasi untuk
menciptakan situasi tersebut yakni dengan memberikan kompensasi yang
memuaskan karyawan. Menurut Handoko, cara meningkatkan prestasi,
motivasi dan kepuasan kerja adalah dengan memberikan kompensasi
(1993:156). Oleh karena itu aspek pembinaan manusia dan motivasi
kerja merupakan fokus utama perhatian organisasi, motivasi yang tinggi
akan berdampak pada kinerja peningkatan produktivitas dan efisiensi.
Berdasar tri dharma perguruan tinggi, disamping sebagai pengajar,
dosen juga berfungsi sebagai peneliti dan pengabdi. Hal ini menunjukkan
bahwa disamping mengajar, prestasi dosen juga ditentukan oleh
frekuensinya dalam menyajikan makalah seminar, penulisan artikel
ilmiah dan penyusunan buku. Dosen juga dituntut untuk memililiki
kemampuan berfikir logis, kritis, menguasai prinsip penelitian serta
mampu melaksanakan dan mengkomunikasikan hasil penelitian. Dalam
konteks perguruan tinggi, keberadaan dosen menjadi factor yang sangat
penting dalam kelangsungan kegiatan akademik, penelitian dan
pengabdian pada masyarakat. Persoalan yang sering mencuat bahwa
secara umum kinerja dosen perguruan tinggi swasta (PTS) disinyalir
menghasilkan kinerja yang masih dibawah dosen perguruan tinggi negeri
(PTN). Oleh karena itu maka kajian tentang kinerja dosen PTS,
utamanya dosen ekonomi menjadi menarik untuk dilakukan.
Selanjutnya gaji merupakan salah satu faktor insentif yang sangat
penting bagi dosen. Pola penggajian secara proporsional dengan
memberikan insentif pada tenaga dosen yang kinerjanya melebihi
standart yang ditetapkan oleh organisasi merupakan salah satu metode
untuk meningkatkan motivasi berprestasi. Dengan pemberian insentif
yang layak akan meningkatkan motivasi kerja dosen, yang pada akhirnya
akan meningkatkan kinerja organisasi secara umum.
Berdasarkan latar belakang maka tujuan penelitian ini adalah: (a)
Mendeskripsikan kompensasi financial dan finansial, motivasi intrinsik
dan kinerja dosen ekonomi pada PTS; (b) Mengkaji pengaruh
kompensasi finansial terhadap motivasi intrinsic; (c) Menganalisis
pengaruh kompensasi finansial dan motivasi intrinsic terhadap kinerja
dosen; (d) Mengetahui pengaruh kompensasi non finansial terhadap
motivasi intrinsic; (e) Mengetahui pengaruh kompensasi non finansial
dan motivasi intrinsic terhadap kinerja dosen.
Mondy and Noe (1993:20) yang menjadi dasar penelitian ini dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kompensasi finansial dan kompensasi
non-finansial. Kompensasi finansial terdiri dari kompensasi finansial
langsung dan tidak langsung. Kompensasi finansial langsung terdiri dari
gaji, upah, bonus dan komisi, tidak langsung atau tunjangan meliputi
semua imbalan finansial yang tidak tercakup dalam kompensasi finansial
langsung. Kompensasi non-finansial adalah kompensasi yang diterima
atas dasar pekerjaan itu sendiri, seperti tanggung jawab, peluang
pengakuan, peluang promosi, lingkungan psikologis atau fisik.
Davis &Werther (1996:381) menyebutkan ada beberapa tujuan
dari pemberian kompensasi, diantaranya: (a) Mendapatkan personal yang
kualified; (b) Mempertahankan karyawan yang ada; (c) Menunjukkan
adanya keadilan baik internal equity maupun external equity; (d)
Memberi rewards terhadap perilaku yang sesuai dengan organisasi; (e)
Mengontrol dana; (f) Menyesuaikan dengan regulasi upah yang ada; (g)
Memotivasi karyawan; dan (h) Mengurangi Labor Turnover karyawan.
Selanjutnya Simamora (1997), menyebutkan bahwa terminologi
atau pembagian dari kompensasi terbagi dalam bentuk kompensasi
langsung dan kompensasi tidak langsung. Kompensasi finansial langsung
terdiri dari bayaran yang diperoleh dalam bentuk gaji, upah, bonus dan
komisi. Kompensasi finansial tidak langsung, yang disebut juga
tunjangan meliputi semua imbalan finansial yang tidak tercakup dalam
kompensasi langsung.
Pemberian kompensasi yang tepat dan efektif dalam organisasi
harus memenuhi syarat adil dan layak pada karyawan. Agar pemberian
kompensasi efektif, organisasi perlu memperhatikan prinsip berikut
(Wayne F. Cascio, 1991:185): (a) Prinsip kewajaran, artinya pemberian
kompensasi dengan memperhatikan perbandingan antara jumlah gaji
tertinggi dan terendah, biaya hidup, dan sebagainya; (b) Prinsip keadilan,
artinya dalam pemberian kompensasi harus terdapat unsur keadilan baik
dalam kaitannya dengan waktu kerja maupun prestasi kerja; (c) Prinsip
keamanan, artinya pemberian kompensasi memperhatikan hal yang tidak
berkaitan langsung dengan pekerjaan atau jabatan; (d) Prinsip kejelasan,
dalam pemberian kompensasi mudah dihitung atau mudah dimengerti
oleh karyawan; (e) Prinsip Pengendalian biaya, artinya pemberian
kompensasi harus dihindarkan dari unsur pemborosan organisasi; (f)
Prinsip perangsang, artinya pemberian kompensasi harus mampu
meransang karyawan untuk memberikan sumbangan yang maksimal atau
konstribusi pada organisasi; (g) Prinsip keseimbangan, artinya pemberian
kompensasi harus mempertimbangkan keseimbangan antara kompensasi
yang diberikan karena kaitannya dengan pekerjaan atau jabatan, dengan
yang tidak terkait dengan pekerjaan atau jabatan; dan (h) Prinsip
kesepakatan, artinya dalam pemberian kompensasi hendaknya
merupakan hasil atau kesepakatan bersama antara karyawan dengan
pihak manajemen dalam organisasi.
Motivasi merupakan keadaan dalam pribadi seseorang yang
mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan tertentu guna
mencapai tujuan (Handoko, 1993: 252). Siagian (1995) menjelaskan
motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seorang anggota
organisasi mau dan rela untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang
menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya. Robbins
(1996) menyebutkan bahwa motivasi merupakan kesediaan untuk
mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi kearah tujuan organisasi yang
dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan individual, atau dengan kata lain motivasi adalah akibat dari
interaksi antara situasi dan kondisi yang ada. Sedangkan Widjaja
(1986:12) berpendapat bahwa motivasi adalah kekuatan baik dari dalam
maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan
tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasar beberapa definisi
motivasi dapat dilihat adanya tiga unsur kunci, yakni: upaya, tujuan
organisasi dan kebutuhan.
Terdapat beberapa teori motivasi yang menunjuk pada kebutuhan
yang memuaskan dan mendorong semangat bekerja seseorang sebagai
berikut. Teori Maslow mengemukakan bahwa manusia dimotivasi oleh
keinginan untuk memuaskan sejumlah kebutuhan yang ada. Teori ini
mendasarkan konsep hierarki kebutuhan pada dua prinsip, yakni
kebutuhan manusia dapat disusun dalam hierarki 5 kebutuhan, dari
kebutuhan yang terendah sampai kebutuhan tertinggi, dan kebutuhan
yang telah terpuaskan akan berhenti menjadi motivator utama dari
pelaku. Adapun tingkatan kebutuhan tersebut sebagai berikut:
1. Kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan
manusia yang paling dasar merupakan kebutuhan untuk dapat hidup
seperti makan, minum, perumahan, tidur, seks, dan sebagainya.
2. Kebutuhan rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman dalam
melaksanakan suatu pekerjaan dan merupakan harapan mendapat
perlindungan terhadap bahaya, ancaman, perampasan dan atau juga
proteksi terhadap harta kekayaan, kedudukan dan sebagainya.
3. Kebutuhan sosial. Kebutuhan terhadap hubungan lingkungan sosial
atau bersosialisasi. Kebutuhan ini meliputi penerimaan oleh teman
sekerja, kebutuhan akan cinta kasih, rasa memiliki, dan berhubungan
dengan lingkungan.
4. Kebutuhan penghargaan. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan
keinginan untuk dihormati, dihargai atas prestasinya, pengakuan atas
kemampuan dan keahliannya, kebebasan, kemerdekaan, kebutuhan
akan status, appresiasi.
5. Kebutuhan aktualisasi diri. Aktualisasi diri berkaitan dengan
pengembangan akan potensi yang sesungguhnya dari seseorang.
Kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi
yang dimiliki oleh seseorang. Kebutuhan akan aktualisasi diri
dengan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang
dimiliki oleh seseorang.
Menurut Herzberg (dalam Dressler, 1992:334), tiap orang
menginginkan dua macam kebutuhan, yakni motivasional dan higieni.
Pertama, faktor motivator yang juga disebut satisfier yang berkenaan
dengan isi pekerjaan dan faktor ini sebagai sumber kepuasan kerja yang
dapat memotivasi seseorang pada pekerjaan mereka. Menurut Sukanto
dan Handoko (1992:271), faktor motivasional disebut juga faktor
intrinsik yang meliputi kondisi intrinsik dan kepuasan pekerjaan.
Serangkaian faktor ini meliputi: (a) pengakuan prestasi; (b) penghargaan;
(c) pekerjaan itu sendiri; (d) tanggung jawab; dan (e) kemajuan. Faktor
motivasi kerja intrinsik inilah yang menjadi penekanan peneliti.
Kedua, faktor higienis yang juga disebut dissatisfier yang
berhubungan dengan hakekat manusia untuk memperoleh ketentraman
lahiriah. Hilangnya faktor pemeliharaan ini akan meningkatkan
ketidakpuasan dan tingkat absensi serta labor turnover yang tinggi.
Faktor ini juga disebut faktor ekstrinsik yang mempengaruhi
ketidakpuasan kerja. Perbaikan faktor higienis akan mencegah,
mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan kerja, tetapi tidak akan
menimbulkan dorongan dan kepuasan kerja. Handoko (1992:270)
menyebutkan bahwa faktor higienis sendiri tidak menimbulkan motivasi
tetapi diperlukan agar motivasi dapat berfungsi atau dengan kata lain
berfungsi sebagai landasan motivasi. Faktor higienis meliputi kebijakan,
administrasi, pengawasan, gaji, hubungan antar rekan dan kondisi kerja.
Kinerja diartikan sebagai hasil usaha seseorang yang dicapai
dengan kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu. Prestasi kerja
merupakan hasil keterkaitan antara usaha, kemampuan dan persepsi
tugas (Byars dalam Suharsimi, 1995:29). Seymour (dalam Swasto, 1996)
mengemukakan bahwa kinerja merupakan pelaksanaan tugas yang telah
diselesaikan seorang dalam kurun waktu tertentu dan dapat diukur. Dari
pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kinerja
adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk
pekerjaan yang bersangkutan. Artinya apabila perilaku seseorang
memberikan hasil pekerjaan yang sesuai dengan standar atau kriteria
yang dibakukan organisasi, maka kinerjanya tergolong baik, dan jika
sebaliknya berarti kinerjanya buruk. Atau dengan kata lain, penetapan
standar diperlukan untuk mengetahui apakah kinerja karyawan sesuai
dengan sasaran yang diharapkan, sekaligus juga melihat besarnya
penyimpangan dengan cara membandingkan antara hasil pekerjaan
secara aktual dengan hasil yang diharapkan.
Menurut Davis & Werther (1996:344), sistem penilaian kerja yang
efektif memiliki beberapa elemen kunci:
Appraisal approaches must identify performance-related standart,
measure those criterias, and then gives feedback to employees and
the Human Resources Departement. If performance standart or
measures are not job-related, the evaluation can lead to
inaccurate or biased results, harming the manager‟s relationship
with their employees.
Jadi sistem penilaian yang efektif harus mengidentifikasikan kinerja
yang sesuai dengan standar, mengukur kriteria-kriteria yang harus diukur
dan selanjutnya memberi feedback kapada pegawai/karyawan dan bagian
personalia.
Analisa tentang kinerja karyawan menurut Gomes (1995)
senantiasa berkaitan erat dengan dua faktor utama: a) kesediaan atau
motivasi seseorang untuk bekerja yang menimbulkan usaha karyawan; b)
kemampuan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan. Dengan kata lain,
kinerja merupakan fungsi interaksi antara motivasi kerja dengan
kemampuan, dan dapat dituliskan sebagai berikut: p = f ( m x a ), dimana
p = performance, m = motivasi, dan a = ability.
Swasto (1996) mengemukakan bahwa prestasi kerja individu
merupakan perpaduan antara motivasi yang ada pada diri seseorang,
kemampuannya dalam melaksanakan suatu pekerjaan serta peralatan atau
teknologi yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.
Dalam pendidikan tinggi atau perguruan tinggi, bentuk penilaian prestasi
kerja atau kinerja terangkum dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan, dimana daftar tersebut memuat 10 indikator yang ada.
Indikator-indikator tersebut meliputi: kesetiaan, prestasi kerja, tanggung
jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa, dan kepemimpinan.
Berdasarkan beberapa definisi di disimpulkan bahwa ukuran
kinerja dosen dalam penelitian ini adalah tingkat kinerja dosen dalam
menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya yang menyangkut tri
dharma perguruan tinggi yakni dharma pendidikan dan pengajaran,
dharma penelitian dan dharma pengabdian pada masyarakat. Sesuai
dengan Keputusan Menpan No. 13/MENPAN/1988 tentang Perincian
Kegiatan dan Angka Kredit Jabatan Tenaga Pengajar Perguruan Tinggi.
Berdasarkan model kajian penelitian tersebut, dapat diturunkan
menjadi model hipotesis pada Gambar 1, model hipotesis dapat
diuraikan hipotesis berikut: (1) Diduga ada pengaruh antara kompensasi
financial terhadap motivasi intrinsic; (2) Diduga ada pengaruh antara
kompensasi financial dan motivasi intrinsic terhadap tingkat kinerja
dosen; (3) Diduga ada pengaruh antara kompensasi non finansial
terhadap motivasi intrinsic; dan (4) Diduga ada pengaruh antara
kompensasi non financial dan motivasi intrinsic terhadap tingkat kinerja
dosen.
P41

Kompensasi Finansial
(X1)

Motivasi Intrinsik P43 Tingkat Kinerja


P31
(X3) Dosen (X4)
Kompensasi Non
Finansial (X2)
P32

P42

Gambar 1 Model Hipotesis Penelitian

METODE
Teknik yang digunakan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan
dalam penelitian dilakukan dengan berbagai cara:
1. Kuesioner. Dilakukan dengan memberi daftar pertanyaan pada dosen
yang menjadi sampel penelitian, untuk mendapatkan data primer
serta memperoleh informasi tertulis dari responden sebagai obyek
penelitian. Tujuan utama dari pemberian kuesioner adalah: (a)
memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian, (b)
memperoleh informasi dengan reliabilitas dan validitas setinggi
mungkin (Singarimbun, 1995).
2. Wawancara. Cara memperoleh data dengan jalan mengadakan tanya
jawab langsung dengan pihak yang berkepentingan dengan harapan
memperoleh informasi yang dibutuhkan. Informasi yang diperoleh
memperjelas atau mendukung jawaban yang disampaikan melalui
kuesioner.
3. Dokumentasi. Penulis memperoleh informasi melalui dokumen dari
masing-masing PTS seperti program dan struktur kompensasi,
jumlah dosen, dan sebagainya.
Instrumen dikatakan valid bila mampu mengukur apa yang
seharusnya diukur dan mampu mengungkap data dari variabel yang
diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan
sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran
tentang variabel yang dimaksud. Uji validitas dalam penelitian ini yakni
menggunakan analisis yang menghitung koefisien korelasi antara skor
item dengan skor totalnya, dengan taraf signifikansi 5% dan dengan
bantuan program komputer SPSS for Windows.
Uji reliabilitas dalam penelitian ini, menggunakan bantuan
program komputer SPSS. Kriteria pengujian yang digunakan apabila
reliabilitas suatu instrumen yang memiliki koefisien reliabilitas 0,5 atau
lebih, maka dapat dikatakan sebagai pengumpul data yang handal.
(1) Metode analisis statistik deskriptif yang digunakan untuk
menggambarkan keadaan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
dosen.
(2) Metode analisis statistik inferensial yang digunakan untuk melihat
pengaruh diantara variabel-variabelnya. Untuk menganalisis data dan
menguji hipotesis, peneliti menggunakan taraf signifikansi 5 persen.
Analisis dilakukan secara kualitatif untuk menjelaskan dan
mendeskripsikan hubungan data yang diperoleh dengan landasan teori
yang dipakai melalui uraian sistematis. Selanjutnya untuk analisis
statistik inferensial dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan Path
Analysis dengan terlebih dahulu diadakan analisis faktor untuk tiap
variabel.
Untuk memperolah nilai koefisien yang tidak bias dan efisien
dari persamaan estimasi menggunakan OLS, maka pelaksanaannya harus
memenuhi beberapa asumsi klasik (Gujarati, 1991:172). Karena itu
dalam penelitian ini akan dilakukan beberapa uji asumsi klasik
diantaranya sebagai berikut: a) Asumsi normalitas, rata-rata sama dengan
nol, E(e) = 0, artinya asumsi menginginkan model yang dipakai dapat
secara tepat menggambarkan rata-rata variabel terikat dalam observasi;
b) Asumsi homokedastisitas, artinya adanya heterokedastisitas akan
bertentangan dengan salah satu asumsi peneliti yaitu bahwa variabel
residual harus sama untuk semua pengamatan; c) Uji linieritas, Uji ini
untuk mengetahui apakah model yang dipakai linier atau tidak, dan
dilakukan dengan melihat standardized scatterplot, dimana asumsi ini
terpenuhi jika plot antara nilai residual dengan nilai prediksi tidak
membentuk suatu pola tertentu.
HASIL
1. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Validitas merupakan unsur penting bagi suatu instrumen karena uji
ini menunjukkan sejauh mana ketepatan dan kecermatan instrument
dalam melaksanakan fungsinya. Menurut Sugiyono (1994) hasil
penelitian valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul
dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Valid
tidaknya suatu item instrumen dapat diketahui dengan membandingkan
antara indeks korelasi produk moment Pearson pada level signifikansi 5
persen dengan nilai kritisnya. Instrumen dikatakan valid apabila
memiliki koefisien diatas 0,3 (Sugiono, 1998). Selanjutnya hasil uji
validitas instrumen penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan
hasil uji reliabilitas dengan Alpha Cronbach dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Rekapitilasi Hasil Uji Reliabilitas

No Variabel Alpha Simpulan


1 XI. Kompensasi Finansial 0,7114 Reliabel
2 X2. Kompensai Non Finansial 0,7151 Reliabel
3 X3. Motivasi intrinsik 0,7350 Reliabel
4 X4. Tingkat Kinerja Dosen 0,8093 Reliabel

Sumber: Hasil Penelitian, Diolah, 2007

2. Pengujian Asumsi Klasik


Uji Asumsi Normalitas
Distribusi normal dalam statistik inferensial sangatlah penting,
oleh karena itu perlu diadakan uji asumsi yaitu menguji residual untuk
mengetahui apakah data berasal dari distribusi normal atau tidak. Uji
yang dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square terhadap nilai
standar residual hasil persamaan regresi. Bila probabilitas basil uji Chi
Square lebih kecil dari 0,05 (5 persen) maka distribusinya normal dan
apabila sebaliknya maka terdistribusi tidak normal. Hasil pengujian
menunjukkan nilai chi Square sebesar 78,1231; dan 68,0000 dengan nilai
probabilitas sebesar 0,0000; dan 0,0000. Jadi semua nilai residual data
terdistribusi secara normal (Tabel 3).

Tabel 2 Rekapitulasi hasil Uji validitas


Koefisien Proba-
Variabel Item Simpulan
Korelasi bilitas
X1. Kompensasi finansial X1. 1 0,515 0,002 Valid
X1.2 0,720 0,000 Valid
X1.3 0,495 0,003 Valid
X 1.4 0,689 0,000 Valid
X1.5 0,720 0,000 Valid
X1.6 0,313 0,046 Valid
X1.7 0,689 0,000 Valid
X1.8 0,600 0,000 Valid
X2. Kompensasi Non Finansial X2.1 0,501 0,002 Valid
X2.2 0,651 0,000 valid
X2.3 0,767 0,000 Valid
X2.4 0,353 0,028 Valid
X2.5 0,455 0,006 Valid
X2.6 0,456 0,006 Valid
X2.7 0,563 0,001 Valid
X2.8 0,455 0,006 Valid
X2.9 0,644 0,000 Valid
X2.10 0,560 0,001 Valid
X3. Motivasi intrinsik X3.1 0,481 0,004 Valid
X3.2 0,387 0,017 Valid
X3.3 0,612 0,000 Valid
X3.4 0,619 0,000 Valid
X3.5 0,434 0,008 Valid
X3.6 0,662 0,000 Valid
X3.7 0,685 0,000 Valid
X3.8 0,542 0;001 Valid
X3.9 ),662 0,000 Valid
X4. Tingkat Kinerja Dosen Y.l 0,643 0,000 Valid
Y.2 0,543 0,001 Valid
Y.3 0,471 0,004 Valid
Y.4 0,487 0,003 Valid
Y.5 0,455 0,006 Valid
Y.6 0,666 0,000 Valid
Y.7 0,407 0,013 Valid
Y.8 0,492 U,003 Valid
Y.9 0,696 0,000 Valid
Y.10 0,787 0,000 Valid
Y.11 0,576 0,000 Valid
Y.12 0,594 0,000 Valid

Sumber : Hasil Penelitian, Diolah, 2007


Tabel 3 Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas

Variabel Nilai Chi Square Signifikansi (P) Simpulan


X1,X2 terhadap X3 72,7385 0,0000 Normal
Xl, X2, X3
62,8308 0,0000 Normal
terhadapX4
Sumber : Hasil penelitian, diolah, 2007

Uji Asumsi Heterokedastisitas


Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah diantara variabel
bebas terjadi hubungan atau tidak. Pengujian regresi memenuhi syarat
jika diantara variabel bebas tidak terjadi heteroskedastisitas.
Heteroskedastisitas diuji dengan menggunakan uji koefisiensi korelasi
Rank Spearman yaitu mengkorelasikan antara absolut residual hasil
regresi dengan semua variabel bebas. Hasil uji dapat di lihat pada Tabel
4. Berdasarkan data dari rekapitulasi tersebut di atas menunjukkan
bahwa semua variabel mempunyai nilai signifikansi di atas taraf
kepercayaan 5 persen, sehingga variabel bebas tidak menyebabkan
terjadinya heterokedastisitas. Kesimpulan yang didapat adalah terjadinya
homoskedastisitas sehingga pengujian hipotesis dapat dilanjutkan.

Tabel 4 Rekapitulasi Hasil Uji Heteroskedastisitas

Koef.
Variabel bebas Probabilitas Simpulan
Korelasi

XI: Kompensasi Finansial 0,434 0,366 ' Homoskedasttsitas

X2: Kompensasi Non Finansial 0,178 0,078 Homoskedastisitas

XI: Kompensasi Finansial 0,0787 0,267 Homoskedastisitas


X2: Kompensasi Non Finansial 0,0842 0,252 Homoskedastisitas
X3 : Motivasi Intrinsik 0,0536 0,336 Homoskedastisitas

Sumber : Hasil Penelitian, Diolah, 2007


Uji Linieritas
Pengujian ini dilakukanuntuk mengetahui model yang dibuktikan
linier atau tidak, dan dilakukan dengan melihat Standardized Scatterplot.
Asumsi ini akan terpenuhi jika plot antara nilai residual dengan nilai
prediksi tidak membentuk pola tertentu (acak). Ternyata hasil penelitian
tidak menunjukkan adanya plot tertentu sehingga uji ini terpenuhi.

3. Deskripsi Variabel yang Mempengaruhi Kinerja Dosen


Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui sejauh mana
distribusi frekuensi responden berdasarkan kuesioner yang telah
disebarkan kepada 65 responden yakni para dosen tetap di tiga perguruan
tinggi swasta di Kediri. Sesuai dengan model analisis dalam penelitian
ini, variabel dalam penelitian ini meliputi kompensasi finansial (XI) dan
kompensasi non finansial (X2), dimana saling berkorelasi, motivasi
intrinsik (X3) serta tingkat kinerja dosen (X4) Selanjutnya akan
diuraikan masing-masing variabel tersebut.

a. Deskripsi Kompensasi Finansial


Untuk melihat distribusi frekuensi jawaban responden dari item
yang disampaikan pada 65 orang respoden, maka pertanyaan dibagi
menjadi tiga bagian, bagian 1 terdiri dari item (Xl.l dan X1.2), bagian 2
terdiri dari item (X1.3 sampai X1.6), bagian 3 meliputi item (X1.7
sampai X1.8), yang secara detail dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Kompensasi Finansial

Jawaban Responden
No. Item Pertanyaan 1 2 3 4
f % f % f % f %

1 Kesesuaian tentang sistem 0,00 6,15 40 61,54 21 32,31


pemberian gaji
Kesesuaian tentang besarnya 0,00 5 7,69 53 81,54 10,77
2
gaji yang diterima
Kesesuaian tentang sistem 0,00 6 15 45 69,23 16 24,62
3
pemberian honor

4 Kesesuaian tentang besarnya 1,54 10,77 45 69,23 12 18,46


honor
Kesesuaian tentang macam 0,00 12,31 47 72,31 10 15,38
5
insentif yang diberikan
Kesesuaian tentang 0,00 10 15,38 43 66,15 12 18,46
6 besarnya insentif yang
diberikan
Kesesuaian tentang besarnya 0 00 10,77 49 75,38 9 3,85
7 tunjangan

Kesesuaian tentang macam 0,00 10,77 50 76 92 12,31


8
tunjangan

b. Deskripsi Kompensasi Non-Finansial


Untuk mengetahui distribusi frekuensi jawaban 65 responden
variabel ini, maka item pertanyaan dikelompokkan dalam tiga bagian,
bagian pertama meliputi item (X2.1, X2.2 dan X2.3); bagian kedua
meliputi item (X2.4, X2.5, dan X2.6); bagian ketiga meliputi item (X2.7,
X2.8, X2.9, X2.100, selanjutnya dapat dilihat Tabel 6.

c. Deskripsi Motivasi Intrinsik


Untuk mengetahui distribusi jawaban terhadap 65 responden, maka
item pertanyaan dibagi menjadi empat bagian seperti dapat dilihat pada
Tabel 7.

4. Deskripsi Kinerja Dosen


Untuk mengetahui distribusi frekuensi jawaban terhadap 6>
responden, maka item pertanyaan dikelompokkan dalam tiga bagian
yakni bagian pertama untuk item pertanyaan X4.1 sampai X4.6, bagian
kedua untuk item X4.7 sampai X4.9 dan bagian ketiga untuk item
pertanyaan X4.10 sampai X4.12. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 8.

Tabel 6 Distribusi Kompensasi Non Finansial

Jawaban Responden
No. Item Pertanyaan 1 2 3 4
f % f % f % f %
Keadilan dalam promosi
1 0 0,00 3 4,62 40 61 54 22 33,85
Pernyataan tentang
2 kesempatan promosi 2 3,08 3 4,62 44 67,68 16 24,62

Sistem kenaikan pangkat


3 0 0,00 8 12,31 46 70,77 11 16,92
Kesempatan mengikuti
4 diklat 0 0,00 4 6,15 50 76,92 11 16,92

Dorongan studi lanjut


5 0 0,00 9 13,85 45 69,23 11 16,92
Frekuensi mengikuti diklat
6 8 12,32 27 41,54 25 38,46 5 7,69
Dukungan atasan
7 2 3,08 6 9,22 41 63,08 16 24,62
Dukungan rekan kerja
8 6 9,23 25 38,46 26 40,00 8 12,31
Suasana kerja yang
9 mendukung 0 0,00 17 26,15 39 60,00 9 13,85

10 Fasilitas kerja yang diterima 1 1,54 12 18,46 40 61,54 12 18,46


Tabel 7 Distribusi Frekuensi Motivasi Instrinsik
Jawaban Responden

No. Item Pertanyaan 1 2 3 4


f % f % f % f %

1 Pengakuan prestasi dan atasan 0 0,00 7 10,77 46 70,77 12 18,46


Prestasi menjadi dorongan
2 Utama 0 0,00 15 23,08 38 58,46 12 18,46

3 Penghargaan yang diterima 0 0,00 8 23,08 45 69,23 12 18,46


Keadilan pemberian
4 penghargaan 0 0,00 7 10,77 44 67,69 14 21,54

5 Kesesuaian pekerjaan 0 0,00 6 9,23 45 69,23 14 21,54


Beban mengajar yang diterima
6 1 1,54 5 7,69 44 67,69 15 23,08

7 Senang terhadap pekerjaan 0 0,00 6 9,22 35 53,85 24 36,92

8 Pemberian tanggung jawab 0 0,00 2 3,08 47 72,31 16 24,62

9 Sikap terhadap tanggungjawab 0 0,00 7 10,77 46 70,77 12 18,46

Tabel 8 Distribusi Frekuensi Kinerja Dosen

Jawaban Responden
No. Item Pertanyaan 1 2 3 4
f % f % f % f %
Keinginan memperoleh Ijazah
1 sampai stratum tertinggi 0 0,00 12 18,46 37 56,92 16 24,62

2 Memberi kuliah 0 0,00 7 10,77 39 60 00 19 29,23


Menyelenggarakan pendidikan
3 di lab. 0 0,00 6 9,23 45 69,23 14 21,54
Membimbing seminar
4 mahasiswa 0 0,00 6 9,23 47 72,32 12 18,46

5 Membimbing kuliah kerja nyata 0 0,00 4 6,15 45 69,23 16 24,62


6 Membuat diktat, modul 0 0,00 8 12 31 40 61,54 17 26 15
Tabel 8 (Lanjutan)
Jawaban Responden
No. Item Pertanyaan 1 2 3 4
f % f % f % f %
7 Menulis karya ilmiah 0 0 00 6 9,22 42 64,62 17 26 15
8 Menyajikan karya ilmiah 0 0,00 3 4,62 48 73,85 14 21,54
Menampilkan karya ilmiah
9 tidak dipublikasikan 1 1 54 9 13,85 41 63,08 14 21,54

Memberi penyuluhan
10 masyarakat 0 0,00 13 20,00 33 50,77 19 29,23

Memberi pelayanan yang


11 menunjang pemerintah 0 0 00 17 26,15 40 61,54 8 12,31

12 Membuat karya pengabdian 1 1,54 10 15,38 42 64 62 12 18,46

5. Hasil Analisis Jalur


Menggunakan pengujian analisis jalur (path analysis), dilakukan
pengujian hipotesis yang telah diajukan sebelumnya. Pengujian analisis
jalur dilakukan melalui penyaringan statistik dengan menggunakan
koefisien arah beta untuk regresi berdasarkan data dalam bentuk skor
baku karena dapat dibuktikan. Jika beta signifikan, maka signifikan pula
koefisien jalurnya. Sebelum analisa jalur, perlu dilakukan analisa faktor
yang digunakan untuk mencari faktor yang menentukan masing-masing
variable bebas. Juga dilihat interkorelasi antara variabel penelitian yakni
kompensasi finansial, kompensasi non finansial, motivasi intrinsik dan
tingkat kinerja dosen. Hasil perhitungan regresi antar factor dan
identifikasi jalur pada tiap tahap dapat dijelaskan berikut:

a. Tahap 1 Uji Jalur P31


Pada dasarnya uji analisis jalur ini, di mana variabel kompensasi
intrinsic ke varibel motivasi intrinsic disebut jalur dengan nilai beta
sebesar 0,548876 dan signifikansi t = 0,0000. Artinya bahwa variabel
kompensasi finansial mempunyai pengaruh langsung secara signifikan
terhadap variabel motivasi intrinsic. Jika variabel kompensasi intrinsic
dinaikkan satu poin, maka variabel motivasi intrinsic akan naik sebesar
0,548876.

b. Tahap 2 Uji Jalur P41


Dalam uji jalur ini, di mana jalur variabel kompensasi financial ke
variabel Tingkat kinerja dosen disebut jalur P41 dengan nilai beta
sebesar 0,354285 dengan signifikansi t sebesar 0,0005. Artinya variabel
kompensasi financial mempunyai pengaruh langsung secara signifikan
terhadap variabel tingkat kinerja dosen. Jika variabel kompensasi
financial dinaikkan satu poin, maka variabel tingkat kinerja dosen akan
naik sebesar 0, 354285.

c. Tahap 3 Uji Jalur P32


Dalam uji jalur full merupakan jalur faktor dari variabel
kompensasi non finansial ke faktor variabel motivasi intrinsik,
didapatkan nilai beta 0,398286 dan signifikansi t 0,0010. Artinya
variabel kompensasi non finansial mempunyai pengaruh terhadap
variabel intrinsik, jika variabel kompensasi non finansial dinaikkan satu
poin, maka varibel motivasi intrinsik akan naik sebesar 0,398286 dengan
signifikansi t sebesar 0,0010.

d. Tahap 4 Uji Jalur P42


Uji ini merupakan uji jalur faktor variabel kompensasi non
finansial ke faktor variabel tingkat kinerja dosen, didapatkan nilai beta
sebesar 0,232731 dengan signifikansi t sebesar 0,0142. Artinya variabel
kompensasi non finansial mempunyai pengaruh terhadap tingkat kinerja
dosen, jika variabel kompensasi non finansial dinaikkan satu poin, maka
variabel tingkat kinerja dosen akan naik sebesar 0,2;2731.

e. Tahap 5 Uji Jalur P43


Uji ini merupakan i0i jalur faktor variabel motivasi intrinsik ke
variabel tingkat kinerja dosen, didapatkan nilai beta 0,520431 dengan
signifikansi t sebesar 0,0005. Artinya variabel motivasi intrinsik
berpengaruh terhadap variabel tingkat kinerja dosen. Apabila variabel
motivasi intinsik dinaikkan satu poin, maka variabel tingkat kinerja
dosen akan naik sebesar 0,520431.

BAHASAN
Pada prinsipnya dalam menjawab hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini dilakukan melalui analisa jalur. Selanjutnya hasil analisa
untuk masing-masing hipotesis dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Rekapitulasi Hasil Analisis Jalur

Variabel terikat Variabel bebas beta Sig. t R Square


Motivasi Intrinsik Kompensasi finansial (X1) 0,548876 0,0000 0,30127
(X3)
Kompensasi non finansial (X2) 0,398286 0,0010 0,15863
Kinerja dosen (X4) Kompensasi Finansial (X1) 0,354285 0,0005 0,59877
Motivasi lntrinsik (X3) 0,520431 0,0000 0,59877
Kompensasi non Finansial (X2) 0,23731 0,0142 0,55664

Hipotesis 1: Diduga ada pengaruh kompensasi finansial terhadap


motivasi intrinsik
Hasil analisa data menunjukkan bahwa hipotesis dinyatakan
diterima. Mengacu pada tabel di atas, variabel kompensasi finansial
terhadap variabel motivasi intrinsik dosen didapatkan koefisien korelasi
sebesar 0,54888 yang berarti terdapat hubungan yang kuat. Nilai R2
sebesar 0,30 127 dengan signifikansi F 0,0000, artinya terdapat
kontribusi 30,13 persen variabel kompensasi finansial terhadap motivasi
intrinsik.
Hipotesis 2: Diduga ada pengaruh Kompensasi Finansial dan
Motivasi Intrinsik Terhadap Kinerja Dosen
Hasil uji regresi berganda menunjukkan bahwa hipotesis 2
diterima. Hal ini dibuktikan variabel Kompensasi finansial dan motivasi
intrinsik mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap tingkat kinerja
dosen. Ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,77380 dengan
signifikansi F sebesar 0,0000, yang berarti terdapat hubungan yang kuat.
Nilai R2 sebesar 0,59877 dapat dikatakan kompensasi finansial dan
variabel motivasi intrinsik berpengaruh terhadap tingkat kinerja dosen,
pengaruh kompensasi finansial dan motivasi Intrinsik sebesar 59,88
persen.
Hipotesis 3: Diduga ada pengaruh Kompensasi non finansial
terhadap movitasi instrinsik.
Hasil regresi menunjukkan bahwa hipotesis ketiga dapat diterima.
Hal ini disebabkan variabel kompensasi non finansial mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap variabel motivasi intrinsik dosen yang
ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,39829 dengan
signifikansi t sebesar 0,0010. Nilai R2 sebesar 0,15863, artinya terdapat
kontribusi sebesar 15,87 persen dan kompensasi finansial terhadap
variabel motivasi intrinsik.
Hipotesis 4: D duga ada pengaruh Kompensasi non finansial dan
motivasi intrinsik terhadap kinerja dosen.
Hasil uji regresi berganda menunjukkan bahwa hipotesis 4
diterima. Hal ini menunjukkan bahwa variabel kompensasi non finansial
dan variabel motivasi intrinsik berpengaruh signifikan terhadap variabel
tingkat kinerja dosen yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi
sebesar 0,74608 dengan signifikansi F sebesar 0,0000. R2 sebesar
0,55664 artinya terdapat kontribusi pengaruh sebesar 55,67 persen dari
kompensasi non finansial dan motivasi instrinsik terhadap kinerja dosen.
Berdasarkan hasil analisis dapat dibangun model empiris pada
Gambar 2.

P41 sig t 0,0005, beta = 0,354285

Kompensasi
Finansial (X1) P31 sig t 0,0000, beta = 0,548876

P43 sig t 0,000 Kinerja


Motivasi
Intrinsik (X3) Beta = 0,520431 Dosen (X4)

P32 sig t 0,0010, beta = 0,39829


Kompensasi
Non Finansial (X1) P42 sig t 0,0142, beta = 0,232731
Gambar 2 Model Hasil Pengujian Hipotesis

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
1. Hipotesis pertama, kompensasi finansial berpengaruh terhadap
motivasi intrinsik dosen tetap fakultas ekonomi pada perguruan
tinggi swasta dapat diterima secara statistik. Kompensasi finansial
yang terdiri dari gaji, honor dan insentif secara parsial mempunyai
pengaruh sebesar 0,30127 atau 30,13 persen terhadap motivasi
intrinsik.
2. Hipotesis kedua, kompensasi finansial dan motivasi intrinsik
berpengaruh terhadap tingkat kinerja dosen dapat dibuktikan secara
statistik. Ini menunjukkan bahwa kompensasi finansial yang terdiri
dari gaji, insentif, dan honor serta motivasi intrinsik yang terdiri dari
pengakuan prestasi, pekerjaan itu sendiri, dan tanggungjawab
berpengaruh terhadap tingkat kinerja dosen.
3. Hipotesis ketiga, kompensasi non finansial berpengaruh terhadap
motivasi intrinsic dapat diterima secara statistic, ditunjukkan oleh
nilai F hitung 11,87801.
4. Hipotesis keempat, kompensasi non finansial dan variabel intrinsik
mempengaruhi kinerja dosen tetap fakultas ekonomi pada PTS di
Kediri dapat diterima. Kompensasi non finansial dan variabel
motivasi intrinsik mempunyai pengaruh yang signifikan sebesar
55,67 persen terhadap variabel tingkat kinerja dosen tetap fakultas
ekonomi pada perguruan tinggi swasta di Kediri, sisanya 44,33
persen dipengaruhi oleh variabel lainnya diluar model.

Saran
Berdasar pada hasil kajian diatas sangat jelas bahwa variabel
kompensasi baik variabel kompensasi finansial maupun variabel
kompensasi non finansial sangat erat hubungannya dengan motivasi
intrinsik dosen. PTS seyogjanya memperhatikan variabel kompensasi ini
guna meningkatkan motivasi intrinsik dosen. Selanjutnya motivasi
intrinsik tersebut akan berdampak langsung pada kinerja dosen. Baik
buruknya kinerja dosen akan sangat dipengaruhi oleh motivasi intrinsik
dosen. Perguruan tinggi harus memperhatikan bagaimana meningkatkan
movitasi intrinsik dosen tersebut. Dengan meningkatnya motivasi
intrinsik diharapkan kinerja dosen akan bertambah baik pula dalam
rangka pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi.
DAFTAR RUJUKAN

Cascio, W.F, 1989. Managing Human Resources : Productivity, Quality


of Work Life, Profits. Second Edition, Mc Graw-Hill, Inc.
Cushway, B., 1992. Human resources Management, The Association for
Management Education and Development, London.
Davis, Keith & Werther, 1996. Human Resources and Personnel
Management, Mc Grw Hill, USA.
Gomes, 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia, ANDI Offset,
Yogyakarta.
Handoko, Hani, 1993. Manajemen Personalia dan Sumber Daya
Manusia, BPFE Yogyakarta, Yogyakarta.
Hasibuan, M., 1990. Manajemen Sumber Daya Manusia, Haji
Masagung, Jakarta.
Mondy, Wayne & Noe, Robert, 1994. Human Resources Management,
Allyn & Bacon, New York.
Robbins, S.P, 1996. Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi dan
Aplikasi, Jilid I, P.T. Prehalindo, Jakarta.
Siagian, Sondang, 1988. Organisasi Kepemimpinan dan Perilaku
Administrasi, Cetakan kelima, Massagung, Jakarta.
Simmamora, Henry, 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi 2,
BP STIE YKPN, Yogyakarta.
Suharsimi, A, 1995. Prosedur Penelitian : Suatu pendekatan Praktek,
Edisi Revisi II, Pt Rineka Cipta, Jakarta.
Swasto, 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia, Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya Malang.
Widjaja, 1986. Peranan Motivasi dalam Kepemimpinan, Pressindo,
Jakarta.
Pengembangan Bahan Ajar dan Lembar
Kegiatan Siswa Matapelajaran PKn dengan
Pendekatan Deep Dialoque/Critical Thinking
untuk Meningkatkan Kemampuan Berdialog
dan Berpikir Kritis Siswa SMA di Jawa Timur

Sri Untari
Suparlan Al Hakim
Ktut Diara Astawa
Nur Wahyu Rochmadi

Abstract: This research aimed to developing book and the sheet


activity of student Civics with Deep Dialogue/Critical Thinking
Approach. The Subyects of this research were 20 teachers of
Civics in senior hight school and 20 Experts. The research was
desained as research and development by Borg & Gall (1982).The
data was collected by questionnaires, documentation, and were
analyzed by discriptive statistic. The result of this research was
model with Deep Dialogue/Critical Thinking Approach which is
pleased to be able to increase dialogue and critical thinking skill
Key words: Bahan Ajar, Lembar Kegiatan siswa, PKn,
Pendekatan Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT),

Substansi pesan pembelajaran (bahan ajar) selama ini, belum mampu


memfasilitasi peserta didik dalam mengembangkan kemampuan dialog
mendalam dan berpikir kritis. Fenomena yang nampak, pesan
pembelajaran masih bersifat informatif, dan terbatas pada pengembangan
pengetahuan (kognitif).

Sri Untari, Suparlan Al Hakim, Ktut Diara Astawa, dan Nur Wahyu Rochmadi adalah
dosen Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FIP Universitas Negeri
Malang
Selain itu, proses pendidikan yang berlangsung selama ini diduga
belum berhasil meningkatkan kemampuan berdialog, berpikir kritis,
empati dan mengurangi prasangka siswa. Hal ini dikarenakan hanya
terbatas upaya meningkatkan pengetahuan siswa, tanpa ada tindak lanjut
dalam bentuk perilaku. Bahkan diduga telah menghasilkan hal yang
sebaliknya, yaitu rasa egoisme kelompok yang tinggi, kesenjangan
sosial, dan rendahnya empati dan tingginya prasangka terhadap orang
lain, sehingga menyebabkan rendahnya kesadaran siswa untuk
menyelesaikan masalah melalui dialog dan beripikir kritis.
Secara programatik, pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya
ditekankan pada pembentukan kepribadian manusia, yaitu siswa yang
memiliki kesadaran dalam melaksanakan hak dan kewajiban, terutama
kesadaran wawasan kebangsaan dan pertahanan keamanan nasional
masyarakat Indonesia (Dikti, 2000).
Untuk mencapai misi tersebut, praktik pembelajaran seharusnya
dikemas dengan menggunakan pendekatan dialog mendalam dan berpikir
kritis (deep dialogue/critical thinking), baik yang ditampakkan dalam
proses pembelajaran maupun kemasan materi dalam bentuk bahan ajar
dan lembar kegiatan siswa.
Deep dialogue (dialog mendalam), dapat diartikan bahwa percakapan
antara orang-orang tadi (dialog) harus diwujudkan dalam hubungan yang
interpersonal, saling keterbukaan, jujur dan mengandalkan kebaikan
(GDI, 2001). Sedangkan ciritical thinking (berpikir kritis) adalah
kegiatan berpikir yang dilakukan dengan mengoperasikan potensi
intelektual untuk menganalisis, membuat pertimbangan dan mengambil
keputusan secara tepat dan melaksanakannya secara benar.
Dalam tataran praksis, kajian deep dialogue/critical thinking
sebagai paradigma pengembangan pendidikan berlaku prinsip Unity in
policy and deversity in implementation. Justru kenyataan ini sebagai
kelebihan lain dari penerapan deep dialogue/critical thinking.
Agar deep dialogue/critical thinking dapat diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam pembelajaran PPKn perlu
diperhatikan kaidah-kaidah DD/CT. Dalam kaitan itu Untari (2002)
mengidentifikasikan sebagai berikut:
Pertama, keterbukaan, langkah awal untuk melakukan dialog
mendalam dan berpikir kritis individu harus membuka diri terhadap
mitra dialog, karena sifat terbuka dalam diri akan membuka peluang
untuk belajar, mengubah dan mengembangkan persepsi. Pemahaman
realitas dan bertindak secara tepat merupakan hasil berpikir kritis.
Dengan demikian ketika masuk dalam dialog, kita dapat belajar, berubah
dan berkembang dalam rangka meningkatkan berpikir kritis. Dialog
sebagai suatu kegiatan memiliki dua sisi yakni dalam masyarakat (intern)
dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya (antar). Hal ini
dilakukan mengingat bahwa dialog pada hakekatnya bertujuan untuk
saling berbicara, belajar dan mengubah diri masing-masing pihak yang
berdialog, sehingga perubahan yang terjadi pada masing-masing pihak
merupakan hasil berpikir kritisnya sendiri (self-critical thinking).
Kedua, kejujuran, bersikap jujur dan penuh kepercayaan
diperlukan dalam deep dialogue/critical thinking, sebab dialog hanya
akan bermanfaat manakala pihak-pihak yang melakukan bersikap jujur
dan tulus.Artinya masing-masing mengemukakan tujuan, harapan,
kesulitan dan cara mengatasinya melalui berpikir kritis secara apa
adanya, serta saling percaya diantara mereka. Dengan demikian
kejujuran merupakan prasyarat terjadinya dialog atau dengan kata lain
tidak ada kepercayaan berarti tidak ada dialog.
Ketiga, kerjasama. Untuk menanamkan kepercayaan pribadi,
langkah awal adalah mencari kesamaan dengan cara bekerjasama dengan
orang lain, selanjutnya memilih pokok-pokok permasalahan yang
memungkinkan memberi satu dasar berpijak yang sama. Selanjutnya
melangkah pada permasalahan umum yang dapat dihadapi bersama atau
mencari solusinya. Hal ini penting karena kemampuan untuk
menyelesaikan permasalahan secara bersama atau dengan bekerjasama
akan menghasilkan pemecahan yang menguntungkan pihak-pihak yang
bermasalah (win-win solution).
Keempat, menunjung nilai-nilai moral, deep dialogue/critical
thinking terjadi manakala masing-masing pihak yang berdialog
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etis atau santun, saling menghargai,
demokratis yakni dengan memperlakukan mitra dialog sedemikian rupa
sehingga berketetapan hati untuk berdialog. Artinya kita paling
mengetahui apa yang kita ketahui, dan mitra dialog kita paling mengerti
apa yang mereka ketahui. Di samping itu masing-masing saling
mempelajari, untuk memperluas wawasan bersama, untuk memperdalam,
mengubah dan memodifikasi pemahaman mereka.
Kelima, saling mengakui keunggulan, deep dialogue/critical
thinking akan terjadi manakala masing-masing pihak menghadirkan hati.
Dalam berdialog harus menghadirkan hati dan tidak hanya fisik. Dengan
menghadirkan hati, masing-masing pihak yang berdialog dapat memberi
respon kepada mitra dialog secara baik, dan menghindarkan menjadi
penceramah, pengkotbah atau yang mendominasi proses dialog, seolah
kita yang memiliki kelebihan daripada mitra dialog kita. Oleh karenanya
saling mengakui keunggulan masing-masing akan diperoleh pemahaman
bersama secara baik
Keenam, membangun empati. Jangan menilai sebelum meneliti,
merupakan ungkapan yang tepat dalam membangun deep
dialogue/critical thinking. Kita jauhkan prasangka, bandingkan secara
adil dalam berdialog sedapat mungkin kita tidak menduga-duga tentang
hal yang disetujui dan hal yang akan ditentang. Membangun empati
dalam dialog mendalam pihak-pihak yang berdialog dapat menyetujui
dengan tetap menjaga integritas diri mitra dialog, masyarakat dan
tradisinya.
Ausubel (dalam Irawan,1996) dalam teori belajar bermakna
(meaningful teaching theory) mengemukakan bahwa kebermaknaan
penyajian dan pentingnya pengaturan kemajuan belajar (advance
organizer) dimana bahan harus dirancang baik agar menarik minat siswa.
Untuk itu bahan harus: (1) bermakna secara potensial; (2) bertujuan
untuk melaksanakan belajar secara bermakna, sehingga siswa memiliki
kesiapan dan minat untuk belajar. Oleh karena itu Rianto (2000)
berpendapat dalam pandangan teori belajar humanistik, belajar
menekankan pada isi dan proses yang berorientasi pada peserta didik
sebagai subyek belajar. Untuk itu guru dituntut memiliki kualifikasi baik
sebagai inovator sekaligus developer pembelajaran yang dilakukan
dengan pembaharuan pembelajarannya maupun melakukan adopsi kritis
terhadap inovasi pendidikan (Rogers.1995) dan guru perlu menguasai
ketrampilan dasar mengajar (Wardani dala Endang Danial,2002); (Raka
Joni,1981); (Frazee&Rudnitski,1995).
Global Dialogue Institut merumuskan sebuah pendekatan
pembelajaran yang dipandang cocok untuk PKn yakni Pendekatan Deep
Dialogue/Critical thinking (DD/CT) yang mengandung prinsip:
komunikasi multi arah, pengenalan diri sendiri untuk mengenal dunia
orang lain, saling memberi yang terbaik, menjalin hubungan
kesederajatan, saling memberadabkan (civilizing) dan memberdayakan
(empowering), keterbukaan dan kejujuran serta empatisitas yang tinggi (
Al Hakim, 2002). Swidler menekankan bahwa DD/CT lebih merupakan
cara berpikir baru (new way of thinking). DD/CT mengandung nilai
demokratis dan etis sehingga beraitan dengan tujuan pendidikan kewar-
ganegaraan di Indonesia, terutama dalam pendidikan anak seutuhnya
(PAS), sehingga akan menunjang pembentukan warga negara yang baik,
bertanggung jawab, demokratis, cerdas dan religius.
Berdasarkan latar belakang di atas tujuan penelitian ini adalah (1)
menemukan kelebihan dan kelemahan bahan ajar dan lembar kegiatan
siswa mata pelajaran PKn yang berbasis DD/CT; (2) tersusunannya
bahan ajar dan lembar kegiatan siswa mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan dengan pendekatan DD/CT yang berterima baik secara
teoritis maupun praktis bagi siswa SMA di Jawa Timur

METODE
Subyek penelitian ini adalah praktisi (guru PKn di SMA Jawa
Timur) sejumlah 10 orang dan pakar PKn berjumlah 10 orang. Lokasi
penelitian ini adalah Kota Malang. Rancangan kuantitatif dipergunakan
untuk menjelaskan bahan ajar dan LKS Matapelajaran PKn berbasis
Deep Dialogue/Critical Thinking untuk siswa SMA .
Instrumen yang digunakan dalam penelitian tahap pertama ini
adalah kuesioner, dokumentasi, pedoman wawancara. Kuesioner dan
wawancara dipergunakan untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan
bahan ajar dan lembar kegiatan siswa dalam mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking .
Teknik analisis statistik deskriptif (rerata, mode, dan persentase)
untuk data-data yang diambil dengan kuesioner. Analisis domain untuk
data yang diambil dengan analisis dokumen, dan wawancara.
Penelitian Pengembangan pada tahap kedua adalah bagaimana
menyusun bahan ajar dan lembar kegiatan siswa dalam mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking
bagi siswa SMA yang bisa berterima secara teoritis maupun praktis.
Dengan rancangan penelitian pengembangan. Produknya berupa model
bahan ajar dan lembar kegiatan siswa dalam mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking bagi siswa
SMA yang berterima secara teoritis maupun praktis.
Penelitian dimulai dengan memadukan hasil penelitian tahap
pertama dengan dengan kajian teori untuk menghasilkan bahan ajar dan
lembar kegiatan siswa dalam mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking bagi siswa
SMA
Pengembangan bahan ajar perlu dilakukan secara sistematik
berdasarkan langkah-langkah yang saling terkait untuk menghasilkan
bahan ajar yang bermanfaat. Guru seringkali mengabaikan prosedur
pengembangan bahan ajar yang sistematik ini karena berasumsi, jika
sudah dibuat dengan baik sesuai dengan materi yang akan diajarkan,
maka bahan ajar dapat digunakan dengan efektif dalam proses
pembelajaran. Padahal ada beberapa langkah yang harus dilakukan guru
sebelum sampai pada kesimpulan bahawa bahan ajar sudah
dikembangkan dengan baik, serta bahan ajar yang digunakan memang
baik. Paling tidak ada lima langkah utama dalam prosedur
pengembangan bahan ajar yang baik, sebagai berikut

Analisis Perancangan Pengembangan Evaluasi Revisi

HASIL
1. Karakteristik Bahan Ajar PKn Berbasis DD/CT Menurut Pakar dan
Praktisi
Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara yang dilakukan
dengan para pakar dan praktisi diketahui sebagai berikut.

a. Struktur Bahan ajar Mata Pelajaran PKn Berbasis DD/CT


Berdasarkan struktur bahan ajar, buku mata pelajaran PKn berbasis
DD/CT yang digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah menurut
pakar dan guru dikategorikan seperti dalam Tabel 1.
Tabel 1 Struktur Bahan Ajar Matapelajaran PKn Berbasis DD/CT

No Struktur Buku Teks Jumlah %


1. Sistematis semua mengacu pada standar isi 21 53
2. Sistematis sebagian mengacu pada standar isi 15 37
3. Sistematis tidak mengacu pada standar isi 4 10
4. Tidak sistematis dan tidak mengacu pada standar isi 0 0
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa struktur bahan ajar PKn


berbsis DD/CT yang digunakan sebagai bahan ajar dalam proses
pembelajaran, menurut pakar dan praktisi 53% menyatakan sistematis
dan semua mengacu pada satandar isi, sedangkan 37% pakar dan praktisi
menyatakan sistematis dan sebagian mengacu pada standar isi.dan 10%
menyatakan sistematis tetapi tidak mengacu pada standar isi.
Ditinjau dari Paparan materi bahan ajar PKn Berbasis DD/CT
menurut guru dan pakar dikategorikan seperti dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Paparan Materi Bahan Ajar Matapelajaran PKn Berbasis DD/CT

No Paparan Materi Buku Teks Mata Pelajaran PKn Jumlah %


1. Semua runtut dengan kompetensi dasar pada standar isi 35 87,5%
2. Sebagian runtut dengan kompetensi dasar dalam standar isi 4 10%
3. Runtut namun tidak sesuai dengan kompetensi dasar dalam 1 2,5%
standar isi
4. Tidak runtut dan tidak sesuai dengan kompetensi dasar 0
dalam standar isi
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa paparan materi bahan ajar


dan LKS mata pelajaran PKn berbasis DD/CT, sebanyak 87,5% pakar
dan praktisi/guru menyatakan semua runtut dengan kompetensi dasar
pada standar isi, 10% pakar dan praktisi /guru menyatakan sebagian
runtut dengan kompetensi dasar dalam standar isi, dan 2,5% pakar dan
praktisi/guru menyatakan runtut namun tidak sesuai dengan kompetensi
dasar dalam standar isi
Ditinjau dari keluasan (scope) materi bahan ajar dan lembar
kegiatan siswa mata pelajaran PKn berbasis DD/CT dikategorikan
seperti dalam Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Keluasan Materi Bahan Ajar Mata Pelajaran PKn berbasis DD/CT

No Keluasan (scope) Materi Jumlah %


1. Sangat luas 10 25%
2. Luas 18 45%
3. Cukup luas 12 30%
4. Sempit 0
5. Sangat sempit 0
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa keluasan (scope) materi


bahan ajar matapelajaran PKn berbasis DD/CT, sebanyak 25%
menyatakan sangat luas, sebanyak 45% menyatakan luas, dan 30%
menyatakan cukup luas.
Ditinjau dari tingkat kesulitan materi bahan ajar mata pelajaran
pkn berbasis DD/CT yang dipergunakan sebagai sumber bahan ajar
dalam proses pembelajaran di sekolah dikategorikan seperti dalam Tabel
4 berikut.

Tabel 4 Tingkat Kesulitan Bahan Ajar Matapelajaran PKn Berbasis DD/CT

No Tingkat Kesulitan Materi Buku Teks PKn Jumlah %


1. Sangat sulit dipahami 0
2. Sulit dipahami 1 2,5%
3. Cukup sulit dipahami 2 5%
4. Mudah dipahami 20 50%
5. Sangat mudah dipahami 17 42,5%
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa tingkat kesulitan materi


bahan ajar mata pelajaran PKn berbasis DD/CT, 42,5% menyatakan
sangat mudah dipahami, 20% menyatakan mudah dipahami, 5%
menyatakan cukup sulit dipahami, dan 2,5% menyatakan sulit dipahami.
.
Ditinjau dari tingkat keterbacaan (bahasa) yang digunakan dalam
materi bahan ajar mata pelajaran pkn berbasis DD/CT dikategorikan
seperti dalam tabel 5 berikut:

Tabel 5 Tingkat Keterbacaan (Bahasa) Bahan Ajar Matapelajaran PKn Berbasis


DD/CT

No Tingkat Keterbacaan (Bahasa) Jumlah %


1. Bahasa terlalu tinggi untuk siswa jenjang SMA 2 5%
2. Bahasa sangat sesuai untuk siswa jenjang SMA 3 7,5%
3. Bahasa sesuai untuk siswa jenjang SMA 25 62,5%
4. Bahasa kurang sesuai untuk siswa jenjang SMA 9 22,5%
5. Bahasa tidak sesuai untuk siswa jenjang SMA 1 2,5%
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa tingkat keterbacaan (bahasa)


materi bahan ajar mata pelajaran pkn berbasis DD/CT, 5% pakar dan
praktisi menyatakan bahasa terlalu tinggi untuk siswa SMA, 7,5%
menyatakan bahasa sangat sesuai untuk siswa SMA, 62,5% menyatakan
bahasa sesuai,22,5% bahasa kurang sesuai dan 2,5% menyatakan bahasa
bahan ajar mata pelajaran pkn berbasis DD/CT tidak sesuai untuk siswa
jenjang SMA
Ditinjau dari paparan awal materi bahan ajar mata pelajaran pkn
berbasis DD/CT apakah dimulai dengan pemaparan cerita atau syair
lagu atau puisi atau peristiwa yang relevan dengan substansi materi
pokok, menurut guru dapat dikategorikan dalam Tabel 6 seperti berikut.

Tabel 6 Paparan Awal Bahan Ajar Matapelajaran PKn Berbasis DD/CT


No Paparan Awal Buku Teks PKn menggunakan Jumlah %
Cerita, Lagus, Puisi atau Peristiwa yang Relevan
dengan Materi Pokok
1. Selalu 1 2,5%
2. Sering 12 30%
3. Kadang-kadang 23 57,5%
4. Tidak ada 4 10%
5. Lain-lain 0
Jumlah 40 100%
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa paparan awal materi bahan
ajar mata pelajaran pkn berbasis DD/CT, apakah dimulai dengan
pemaparan cerita atau syair lagu atau puisi atau peristiwa yang relevan
dengan substansi materi pokok, 2,5% pakar dan praktisi menyatakan
tidak ada, 57,5% menyatakan kadang-kadang, 30% menyatakan sering,
dan 2,5% menyatakan selalu.Ditinjau dari apakah materi Awal bahan
ajar mata pelajaran PKn berbasis DD/CT memaparkan ilustrasi berupa
gambar, contoh realitas kehidupan, kalimat naratif, menurut guru dapat
dikategorikan dalam Tabel 7 seperti berikut.

Tabel 7 Paparan Ilustrasi dalam Awal Bahan Ajar Matapelajaran PKn Berbasis
DD/CT
No Materi bahan ajar PKn Berbasis DD/CT Jumlah %
memaparkan ilustrasi berupa gambar, contoh
realitas kehidupan, kalimat naratif
1. Selalu 22 55%
2. Sering 13 32,5%
3. Kadang-kadang 5 12,5%
4. Tidak ada 0
5. Lain-lain 0
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa bahan ajar mata pelajaran


PKn berbasis DD/CT apakah memaparkan ilustrasi berupa gambar,
contoh realitas kehidupan, atau kalimat naratif, sebanyak 55%
menyatakan selalu, 32,5% menyatakan sering, kadang-kadang, 12,5% .
Ditinjau dari apakah materi bahan ajar mata pelajaran PKn
berbasis DD/CT memfasilitasi siswa untuk berdialog secara mendalam,
menurut guru dikategorikan dalam Tabel 8 sebagai berikut.

Tabel 8 Materi Bahan Ajar PKn Memfasilitasi Siswa Berdialog Mendalam


No Materi Bahan Ajar PKn Memfasilitasi Siswa Jumlah %
Berdialog Mendalam
1. Selalu 12 20%
2. Sering 23 30%
3. Kadang-kadang 5 50%
4. Tidak ada 0
5. Lain-lain 0
Jumlah 10 100%
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa materi bahan ajaran mata
pelajaran PKn berbasis DD/CT apakah memfasilitasi siswa untuk
berdialog mendalam, sebanyak 50% guru menyatakan kadang-kadang,
30% guru menyatakan sering, dan 20% guru menyatakan selalu.
Ditinjau dari apakah materi bahan ajar mata pelajaran PKn
berbasis DD/CT memfasilitasi siswa untuk berpikir kritis menurut guru
dapat dikategorikan dalam Tabel 9 sebagai berikut.

Tabel 9 Materi Bahan Ahar PKn Berbasis DD/CT Memfasilitasi Siswa Berpikir
Kritis
No Materi Bahan Ajar Memfasilitasi Siswa Berpikir Kritis Jumlah %
1. Selalu 23 57,5%
2. Sering 12 30%
3. Kadang-kadang 5 12,5%
4. Tidak ada 0 -
5. Lain-lain 0 -
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa materi bahan ajar mata


pelajaran PKn berbasis DD/CT memfasilitasi siswa untuk berpikir kritis,
sebanyak 57,5% responden menyatakan selalu, 30% menyatakan selalu,
dan 12,5% menyatakan kadang-kadang.

2. Karakteristik Lembar Kegiatan Siswa (LKS) Matapelajaran PKn


Berbasis DD/CT Menurut Pakar dan Praktisi
Berdasarkan hasil kuesioner yang diberikan responden penelitian
ini diketahui bahwa lembar kegiatan siswa (LKS) PKn Berbasis DD/CT
dalam proses pembelajaran menurut pakar dan praktisi dapat
dikategorikan dalam tabel 10 sebagai berikut.

Tabel 10 Keberadaan LKS Berbasis DD/CT dalam Proses Pembelajaran PKn


No Keberadaan LKS Jumlah %
1. Sangat perlu 20 50%
2. Perlu 11 27,5%
3. Kurang perlu 3 7,5%
4. Tidak perlu 6 15%
5. Lain-lain 0 -
Jumlah 40 100%
Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa keberadaan LKS dalam
setiap materi bahan ajar mata pelajaran PKn berbasis DD/CT dalam
proses pembelajaran di sekolah, 50% menyatakan sangat perlu, 27,5%
menyatakan perlu, 7,5% menyatakan kurang perlu, dan 15% menyatakan
tidak perlu.
Lembar kegiatan siswa (LKS) PKn berbasis DD/CT yang
dipergunakan dalam proses pembelajaran mata pelajaran PKn menurut
pakar dan praktisi terkait dengan bahan ajar PKn berbasis DD/CTi,
seperti dalam Tabel 11 berikut.

Tabel 11 LKS Terkait dengan Bahan Ajar PKn

No Kaitan LKS dan Bahan Ajar Jumlah %


1. LKS dan Bahan Ajar merupakan satu kesatuan 10 25%
2. LKS dan Bahan Ajar dibuat secara terpisah 6 15%
3. LKS dimuat setelah materi/topic 2 5%
4. LKS diletakkan setelah seluruh materi/topik 22 55%
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa hubungan lembar kegiatan


siswa (LKS) yang dipergunakan dalam setiap materi pembelajaran PKn
di sekolah dengan bahan ajar, 25% menyatakan LKS dan Bahan Ajar
merupakan satu kesatuan, 15% menyatakan LKS dan Bahan Ajar dibuat
terpisah, 5% menyatakan LKS dibuat setelah topik, 55% menyatakan
LKS diletakkan setelah seluruh materi.
Karakteristik LKS Berbasis DD/CT ditinjau dari struktur LKS PKn
yang dipergunakan dapat dikategorikan dalam Tabel 12 sebagai berikut:

Tabel 12 Struktur LKS PKn Berbasis DD/CT

No Struktur LKS PKn Jumlah %


1. Sistematis semua mengacu pada standar isi 37 92,5%
2. Sistematis sebagian mengacu pada standar isi 2 5%
3. Sistematis tidak mengacu pada standar isi 0
4. Tidak sistematis dan tidak mengacu pada standar isi 0
5. Lain-lain 1 2,5%
Jumlah 40 100%
Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa struktur lembar kegiatan
siswa (LKS) berbasis DD/CT, sebanyak 92,5% menyatakan sistematis
semua mengacu pada standar isi, 5% menyatakan sistematis sebagian
mengacu pada standar isi, dan 2,5% menyatakan lain-lain.
Ditinjau dari sisi pemaparan LKS matapelajaran PKn berbasis
DD/CT menurut pakar dan praktisi dapat dikategorikan dalam Tabel 13
sebagai berikut.

Tabel 13 Paparan LKS PKn Berbasis DD/CT

No Paparan LKS Jumlah %


1. Runtut dengan kompetensi dasar pada standar isi 36 90%
2. Runtut sebagian dengan kompetensi dasar pada 0
standar isi
3. Runtut namun tidak sesuai dengan kompetensi dasar 4 10%
pada standar isi
4. Tidak runtut dengan kompetensi dasar pada kurikulum 0
5. Lain-lain 0
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa pemaparan lembar kegiatan


siswa (LKS) berbasis DD/CT pada mata pelajaran PKn, 90%
menyatakan runtut dengan kompetensi dasar pada standar isi, dan 10%
menyatakan runtut namun tidak sesuai dengan kompetensi dasar pada
standar isi. Ditinjau dari keluasan (scope) LKS materi bahan ajar mata
pelajaran PKn berbasis DD/CT menurut pakar dan praktisi dikategorikan
dalam Tabel 14 sebagai berikut:

Tabel 14 Keluasan Materi LKS

No Keluasan (scope) Materi LKS Jumlah %


1. Sangat luas 0
2. Luas 13 32,5%
3. Cukup luas 25 62,5%
4. Sempit 2 5%
5. Sangat sempit 0
Jumlah 40 100%
Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa keluasan (scope) materi
lembar kegiatan siswa (LKS) berbasis DD/CT, sebanyak 32,5%
menyatakan luas, 62,5% menyatakan cukup luas, dan 5% menyatakan
sempit.
Ditinjau dari tingkat kesulitan materi LKS mata pelajaran PKn
berbasis DD/CT menurut pakar dan praktisi dikategorikan dalam tabel 14
sebagai berikut:

Tabel 15 Tingkat Kesulitan Materi LKS

No Tingkat Kesulitan Materi LKS Jumlah %


1. Sangat sulit dipahami 0
2. Sulit dipahami 1 2,5%
3. Cukup sulit dipahami 15 37,5%
4. Mudah dipahami 24 60%
5. Sangat mudah dipahami 0
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa tingkat kesulitan materi


LKS mata pelajaran PKn berbasis DD/CT, sebanyak 2,5% menyatakan
sulit dipahami, 37,5% menyatakan cukup sulit dipahami, dan 60%
menyatakan mudah dipahami.
Ditinjau dari tingkat keterbacaan (bahasa yang digunakan) LKS
mata pelajaran PKn berbasis DD/CT menurut pakar dan praktisi
dikategorikan dalam Tabel 16 sebagai berikut.

Tabel 16 Tingkat Keterbacaan Materi LKS

No Tingkat Keterbacaan Materi LKS Jumlah %


1. Bahasa terlalu tinggi untuk siswa jenjang SMA 0
2. Bahasa nampak tinggi untuk siswa jenjang SMA 1 2,5%
3. Bahasa cukup untuk siswa jenjang SMA 39 97,5%
4. Bahasa kurang sesuai untuk siswa jenjang SMA 0
5. Bahasa tidak sesuai untuk siswa jenjang SMA 0
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 16 diketahui bahwa tingkat keterbacaan materi


LKS mata pelajaran PKn berbasis DD/CT, sebanyak 97,5% responden
menyatakan bahasa cukup untuk siswa jenjang SMA, dan 2,5%
menyatakan bahasa nampak tinggi untuk siswa jenjang SMA.
Ditinjau dari pola pemaparan awal sajian LKS mata pelajaran PKn
yang dipergunakan dalam proses pembelajaran dapat dikategorikan
dalam tabel 17 sebagai berikut.

Tabel 17 Paparan Awal LKS

No Paparan Awal LKS Jumlah %


1. Cerita 10 25%
2. Syair lagu nasional atau local 2 5%
3. Puisi, syair lagu daerah (lokal) 1 2,5%
4. Peristiwa kehidupan yang relevan dengan materi pokok 26 65%
5. Lain-lain 1 2,5%
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 17 diketahui bahwa paparan awal sajian LKS


mata pelajaran PKn yang dipergunakan, 25.% responden menyatakan
memuat cerita 5% menyatakan memuat syair lagu, 2,5% memuat pusi,
65% memuat peristiwa kehidupan yang relevan dengan materi pokok,
2,5% menyatakan lain-lain,
Ditinjau dari ilustrasi dalam LKS mata pelajaran PKn berbasis
DD/CT menurut responden dapat dikategorikan dalam Tabel 18 sebagai
berikut.

Tabel 18 Ilustrasi dalam LKS

No Ilustrasi dalam LKS Jumlah %


1. Gambar 2 4%
2. Contoh realitas kehidupan 25 56%
3. Bagan dan grafik 3 6%
4. Kalimat naratif (uraian) 10 22%
5. Lain-lain 5 12%
Jumlah 45 100%

Berdasarkan Tabel 18 diketahui bahwa ilustrasi dalam LKS PKn


berbasis DD/CT, 4% menyatakan memuat gambar, 56% memuat contoh
realitas kehidupan, 6% menyatakan memuat bagan, 22% menyatakan
memuat kalimat narasi, dan 12% menyatakan memuat lain-lain.
Ditinjau dari pertanyaan dan tugas dalam LKS mata pelajaran PKn
berbasis DD/CT apakah memfasilitasi siswa untuk berdialog secara
mendalam, menurut guru dapat dikategorikan sebagai berikut.

Tabel 19 Pertanyaan dan Tugas LKS


No Pertanyaan dan Tugas LKS Memfasilitasi Siswa Jumlah %
Berdialog Mendalam
1. Sangat menfasilitasi 21 52,5%
2. Cukup Memfasilitasi 12 30%
3. Kurang memfasilitasi 5 12,5%
4. Tidak memfasilitasi 2 5%
5. Lain-lain - -
Jumlah 40 100%

Berdasarkan Tabel 19 diketahui bahwa menurut responden


pertanyaan dan tugas dalam LKS mata pelajaran PKn berbasis DD/CT
memfasilitasi terjadinya dialog mendalam diantara siswa, sebanyak
52,5% guru menjawab sangat menfasilitasi, 30% menyatakan cukup
memfasilitasikadang-kadang, 12,5% menjawab kurang, 5% menjawab
tidak memfasilitasi
Ditinjau dari apakah pertanyaan dan tugas dalam LKS mata
pelajaran PKn berbasis DD/CT memfasilitasi siswa untuk berpikir kritis
menurut responden dapat dikategorikan sebagai berikut.

Tabel 20 Pertanyaan dan Tugas LKS


No Pertanyaan dan tugas dalam LKS PKn Memfasilitasi Jumlah %
Siswa untuk Berpikir Kritis
1. Sangat menfasilitasi 28 70%
2. Cukup Memfasilitasi 10 25%
3. Kurang memfasilitasi 1 2,5%
4. Tidak memfasilitasi 1 2,5%
5. Lain-lain - -
Jumlah 40 100%
Berdasarkan Tabel 20 diketahui bahwa menurut responden
pertanyaan dan tugas dalam LKS mata pelajaran PKn berbasis DD/CT
memfasilitasi siswa untuk berpikir kritis, sebanyak 70% menjawab
sangat memfasilitasi, 25% menjawab cukup memfasilitasi, 2,5%
menjawab kurang memfasilitasi, 2,5% menjawab tidak memfasilitasi

3. Kelebihan dan Kekurangan Bahan Ajar dan Lembar Kegiatan Siswa


Matapelajaran PKn Berbasis DD/CT
Berdasarkan hasil wawancara dengan praktisi dan pakar dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Kelebihan Bahan Ajar dan LKS PKn Berbasis DD/CT
1. Kecermatan Isi
Berdasarkan hasil penelitian bahwa bahan ajar dan LKS PKn
berbasis DD/CT memiliki kecermatan isi atau kebenaran isi berdasarkan.
Dapat dilihat dari Tabel sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat
atau bangsa, hal ini sangat erat kaitannya dengan Pendidikan Kewarga-
negaraan pada dasarnya menekankan pada pembentukan kepribadian
manusia, yaitu siswa yang memiliki kesadaran dalam melaksanakan hak
dan kewajiban, terutama kesadaran wawasan kebangsaan dan pertahanan
keamanan nasional masyarakat Indonesia.
Validitas isi telah menunjukkan bahwa isi bahan ajar tidak
dikembangkan secara asal-asalan. Isi bahan ajar dikembangkan berdasar-
kan konsep dan teori yang berlaku dalam bidang ilmu serta sesuai
dengan kemutakhiran perkembangan bidang ilmu dan hasil penelitian
empiris yang dilakukan dalam bidang ilmu tersebut. Dengan demikian isi
bahan ajar dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, benar dari segi
keilmuan.
Dalam LKS telah terdapat kaitan bahan ajar dengan lingkungan
sekitarnya serta wawasan budaya, sehingga memberi peluang siswa
untuk dapat mengkaji dulu kemungkinan dan ketersediaan bahan di
lingkungan sekitar dan budaya lokal yang dapat digunakan untuk
menjadi bahan ajar bagi suatu topik tertentu dari bidang suatu ilmu.
Keselerasan isi bahan ajar dan LKS berbasis DD/CT telah
menunjukkan kesesuaian isi bahan ajar dengan sistem nilai dan falsafah
hidup yang berlaku dalam negara dan masyarakat. Bahkan bahan ajar
menjadi sarana untuk penyampaian sistem nilai tersebut dan
pembelajaran merupakan upaya pelestarian sistem nilai tersebut.
Kelemahan dalam isi kurang mendukung siswa dalam mengaitkan
dengan landasan teori dan konsep yang berlaku dalam bidang ilmu.
kurang mengaitkan dengan hasil penelitian empiris sehingga akan
menghasilkan suatu paduan dari teori dan konsep yang sahih tetapi
relevan dengan lingkungan dan budaya lokal.
Kelemahan lain bahan ajar kurang mengangkat atau mengakomo-
dasi sistem nilai masyarakat secara umum

2. Ketepatan Cakupan
Berdasarkan hasil penelitian cakupan (skope) berhubungan dengan
isi bahan ajar dari sisi keluasan dan kedalaman isi atau materi serta
keutuhan konsep berdasarkan bidang ilmu dari bahan ajar dan LKS PKn
berbasis DD/CT telah memadai.
Pengembangan bahan ajar sesuai dengan materi pokok dan
komponennya berdasarkan pada materi yang telah ditentukan dalam
standar isi atau topik di Sekolah Menengah Atas. Dalam hal ini, keluasan
maupun kedalamannya akan berbeda, sehingga bahan ajarnya pun
memiliki keluasan dan kedalaman yang berbeda.

3. Ketercernaan Bahan Ajar


Bahan ajar berbasis DD/CT dilihat dari tingkat ketercernaan
artinya bahan ajar dapat dipahami dan isinya dapat dimengerti oleh siswa
dengan mudah. Ada enam hal yang mendukung tingkat ketercernaan
bahan ajar, sebagai berikut, yang menurut pakar dan praktisi.
1) Paparan yang Logis
Bahan ajar berbasis DD/CT telah dipaparkan secara logis,
misalnya mulai dari yang umum ke yang khusus atau sebaliknya
(deduktif atau induktif), dari yang mudah ke yang sukar, atau dari fakta
ke konsep.hal ini dilihat dari pengorganisasi bahan ajar itu sendiri yang
bertanya tentang apa sampai bertanya mengapa.
Dengan demikian, siswa diharapkan dengan mudah mengikuti
pemaparan, dan dapat segera mengkaitkan pemaparan tersebut dengan
informasi sebelumnya yang sudah dimilikinya. Bahan ajar berbasis
DD/CT yang dipaparkan secara logis akan memudahkan siswa. Logika
penyajian ini merupakan alat bantu yang menjelaskan hubungan antar
topik atau konsep dalam bahan ajar. Dengan demikian, informasi yang
diterima oleh siswa akan saling terkait, dan bahkan dapat dikaitkan
dengan informasi yang sudah dimiliki sebelumnya, tidak terkotak-kotak
satu sama lain. Logika pemaparan ini dapat diperkenalkan kepada siswa
untuk mengembangkan pola pikir atau penalaran yang sistematis.

2) Penyajian Materi yang Runtut


Bahan ajar Pkn berbasis DD/CT disajikan secara sistematis, tidak
meloncat-loncat. Keterkaitan antar materi/topik dijelaskan dengan
cermat, kemudian setiap topik disajikan secara sistematis dengan strategi
penyajian uraian, contoh dan latihan, atau contoh, latihan, penyajian
uraian, atau penyajian uraian, latihan. Urutan strategi penyajian dapat
berubah-ubah sehingga tidak membosankan, namun setiap bagian perlu
diberi penjelasan yang memadai sehingga tidak membingungkan siswa.
Keruntutan penyajian isi bahan ajar mempermudah siswa dalam belajar,
dan juga menuntun siswa untuk terbiasa berpikir runtut.

3) Perjelas dengan Contoh dan Ilustrasi yang Memudahkan Pemahaman


Untuk menyajikan suatu topik dan memaparkan suatu materi
pokok diperlukan contoh dan ilustrasi yang dapat membantu dan
mempermudah pemahaman siswa. Dalam penyajian topik atau konsep
yang bersifat abstrak, contoh dan ilustrasi memiliki peran yang sangat
penting. Misalnya, dalam menjelaskan Hak asasi manusia dalam mata
pelajaran PKn di SMA, guru tidak dapat hanya mengandalkan deskripsi
verbal secara lisan maupun tertulis. Untuk menjelaskan konsep tersebut
diperlukan alat peraga yang dapat menggambarkan pelaksanaan dan
pengadilan HAM internasional. Guru dapat mencari kasus di koran, atau
dari internet, dilengkapi dengan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang
berbentuk tertulis. Melalui guntingan koran tersebut, siswa akan dapat
berdialog sesuai petunjuk dalam LKS, untuk memngetahui pengadialan
HAM internasional.
Contoh dan ilustrasi dapat dikembangkan dalam beragam bentuk,
tercetak-narasi sebagai bagian dari penyajian isi bahan ajar dalam materi
pokok yang berbentuk cetak, poster, kartu-kartu (flipchart), atau dalam
bentuk noncetak, seperti video, audio, simulasi berbantuan atau juga
dalam bentuk realita, model, atau bahan sesungguhnya untuk didemons-
trasikan kepada siswa. Prinsip utama dalam pemilihan contoh dan
ilustrasi adalah ketepatan contoh dan ilustrasi untuk memperjelas teori
atau konsep yang dijelaskan (bukan malah membuat siswa semakin
bingung), serta menarik dan bermanfaat bagi siswa. Dalam beberapa
kasus, diperlukan juga contoh dan ilustrasi yang paling mutakhir,
sehingga perlu mencarinya dan sumber-sumber mutakhir seperti majalah,
Koran, ataupun dari situs-situs di internet.

4) Alat Bantu yang Memudahkan


Bahan ajar perlu memiliki alat bantu yang dapat mempermudah
siswa dalam mempelajari bahan ajar tersebut, yang dikenal dengan nama
Mnemonic Devices (alat Bantu mengingat atau belajar).
Dalam bahan ajar cetak, alat bantu dapat berupa rangkuman untuk
setiap bab, penomoran, judul bab yang jelas, serta tanda-tanda khusus,
misalnya tanda tanya yang menandakan pertanyaan. Dalam bahan ajar
non-cetak, alat bantu juga dapat berupa rangkuman, petunjuk belajar bagi
siswa, serta tanda-tanda khusus yang diberlakukan serta dapat membantu
siswa, misalnya nada suara yang berbeda dalam kaset audio, atau caption
dalam program video. Dalam menggunakan alat bantu bahan ajar harus
konsistensi, artinya alat bantu yang simbol atau bentuknya sama harus
digunakan dengan arti yang sama di semua isi bahan ajar untuk mata
pelajaran tertentu. Jadi, alat bantu yang simbolnya atau bentuknya sama
hendaknya tidak digunakan untuk arti yang berbeda-beda dalam satu
bahan ajar yang sama. Misalnya, gambar ―orang sedang berpikir‖
digunakan untuk arti ―uji kompetensi‖ yang harus dikerjakan oleh siswa
secara tertulis. Hendaknya gambar yang sama jangan digunakan untuk
arti yang lain.

5) Format yang Tertib dan Konsisten


Bahan ajar perlu memelihara ketertiban dan konsistensi agar
mudah dikenali, diingat, dan dipelajari oleh siswa. Contoh, jika guru
menggunakan kertas kuning untuk lembar kerja siswa, maka seterusnya
gunakanlah warna kertas kuning untuk LKS, jangan gunakan warna
kuning untuk komponen lain dalam bahan ajar. Dengan demikian, setiap
kali siswa melihat warna kertas kuning, maka siswa akan menandai
sebagai LKS.
Dalam bahan ajar cetak, konsistensi istilah sangat diperlukan
sehingga siswa tidak menggunakan berbagai istilah secara rancu. Dalam
bahan ajar audio, intonasi suara dapat digunakan sebagai tanda atau
format untuk berhenti, mengulang, atau meneruskan pembelajaran.
Dalam bahan ajar video, clip video yang berupa grafik, atau penyajian
langsung dapat digunakan sebagai tanda dari rangkuman, tanda perintah
berhenti, mengulang, atau meneruskan pembelajaran. Dalam hal ini,
siswa diharapkan kreatif untuk menciptakan tanda-tanda dan formal
khusus yang digunakan secara konsisten untuk mempermudah siswa
belajar.

6) Relevansi dan Manfaat Bahan Ajar


Bahan ajar perlu ada penjelasan tentang manfaat dan kegunaan
bahan ajar dalam mata pelajaran. Bahan ajar dapat berperan sebagai
bahan utama yang akan digunakan dalam pembelajaran di kelas, atau
sebagai alat bantu siswa secara mandiri di rumah (buku kerja, paket kerja
mandiri), atau juga sebagai alat bantu siswa belajar dalam kelompok.
Peran ini perlu dijelaskan kepada siswa dengan cermat, sehingga siswa
dapat menggunakan bahan ajar dengan jelas.
Bahan ajar juga perlu menjelaskan keterkaitan antara topik yang
dibahas dalam bahan ajar dengan topik-topik dalam mata pelajaran
lainnya. Dengan demikian, siswa dapat melihat keterkaitan topik bahan
ajar dengan topik lain, dan tidak terkesan bahwa masing-masing topik
adalah berdiri sendiri-sendiri.

4. Penggunaan Bahasa
Penggunaan bahasa menjadi salah satu faktor yang penting.
Penggunaan bahasa, yang meliputi pemilihan ragam bahasa, pemilihan
kata, penggunaan kalimat efektif, dan penyusunan paragraph yang
bermakna, sangat berpengaruh terhadap manfaat bahan ajar. Walaupun
isi bahan ajar sudah cermat, menggunakan format yang konsisten, serta
dikemas dengan menarik, namun jika bahasa yang digunakan tidak
dimengerti oleh siswa, maka bahan ajar tidak akan bermakna apa-apa.
Penggunaan bahasa menjadi faktor penting, bukan hanya dalam
pengembangan bahan ajar cetak seperti buku kerja siswa, lembar kerja
siswa, tetapi juga dalam pengembangan bahan ajar noncetak, seperti
kaset audio, video, bahan ajar berbasiskan komputer, dan lain-lain.
Bahan ajar yang baik diharapkan dapat memotivasi siswa untuk
membaca, mengerjakan tugas-tugasnya, serta menimbulkan rasa ingin
tahu siswa untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut tentang topik yang
dipelajarinya. Dengan demikian, ragam bahasa yang digunakan dalam
bahan ajar biasanya ragam bahasa nonformal atau bahasa komunikatif
yang lugas dan luwes. Dalam bahasa komunikatif, pembaca diajak untuk
berdialog secara intelektual melalui sapaan, pertanyaan, ajakan, dan
penjelasan, seolah-olah dialog dengan orang kedua itu benar-benar
terjadi. Penggunaan bahasa komunikatif akan membuat siswa merasa
seolah-olah berinteraksi (pseudo-interaction) dengan gurunya sendiri
melalui tulisan-tulisan yang disampaikan dalam bahan ajar.
Ragam bahasa komunikatif sebaiknya digunakan dalam penulisan
atau pengembangan bahan ajar sangat dipengaruhi oleh pemilihan kata
serta penggunaan kalimat yang efektif. Walaupun ragam bahasa
komunikatif yang digunakan, hendaknya kaidah bahasa yang baik dan
benar tidak ditinggalkan atau dilanggar. Hal ini sangat perlu sebagai
salah satu persyaratan dari keterbacaan bahan ajar yang ditulis atau
dikembangkan.
Kata yang dipilih hendaknya jenis kata yang singkat dan lugas,
bukan kata atau istilah yang asing atau tidak banyak dikenal siswa. Jika
diperlukan pengenalan istilah teknis yang berlaku dalam bidang ilmu
tertentu, maka istilah tersebut perlu diberi batasan yang jelas. Senarai
(daftar kata sukar) dapat membantu memberikan batasan istilah-istilah
teknis. Selain itu, siswa dapat diberi kesempatan untuk menjelaskan
sendiri arti kata-kata tersebut melalui pertanyaan-pertanyaan yang
disiapkan dalam bahan ajar.
Penggunaan kalimat efektif menekankan perlunya penyampaian
informasi dilakukan melalui kalimat positif dan aktif, dan sedapat
mungkin menghindarkan penggunaan kalimat negatif dan pasif. Kalimat
positif dan aktif dipercaya dapat menimbulkan motivasi siswa untuk
melakukan tugas-tugas yang ditetapkan dalam bahan ajar, dan lebih
mudah dimengerti. Sementara itu penggunaan kalimat negatif dan pasif,
kadangkala dapat membingungkan siswa. Di samping itu, kalimat dalam
bahan ajar hendaknya kalimat sederhana, singkat, jelas dan hanya
memiliki makna tunggal untuk setiap kalimat. Kalimat majemuk
kadangkala dapat membingungkan, sehingga perlu di rinci melalui
kalimat-kalimat singkat berikutnya.
Selanjutnya, penyusunan paragraph mempersyaratkan adanya
gagasan utama untuk setiap paragraf, serta keterpaduan, keruntutan dan
koherensi antar kalimat dalam sebuah paragraf. Gagasan utama, yang
berbentuk kalimat topik, dapat ditempatkan di bagian awal maupun akhir
paragraf. Gagasan utama dikembangkan atau dijabarkan lebih lanjut
dalam rangkaian kalimat yang berhubungan satu sama lain secara
terpadu (kohesif) dan kompak atau runtut (koheren). Panjang pendek
sebuah paragraf tergantung pada kemampuan penulis dan kebutuhannya.
Keruntutan dan kekompakan hubungan antar kalimat dalam sebuah
paragraf (koherensi) sangat penting untuk membuat suatu paragraf
menjadi bermakna. Pada gilirannya, kalimat yang runtut dan kompak
akan memudahkan siswa memahami ide/konsep yang disajikan dalam
paragraf tersebut.
5. Perwajahan/Pengemasan
Perwajahan dan atau pengemasan berperan dalam perancangan
atau penataan letak informasi dalam satu halaman cetak, serta
pengemasan dalam paket bahan ajar multimedia. Penataan letak
informasi untuk satu halaman cetak dalam bahan ajar hendaknya
mempertimbangkan beberapa hal berikut:
1) Narasi atau teks yang terlalu padat dalam satu halaman membuat
siswa lelah membacanya.
2) Bagian kosong (white space) dari satu halaman sangat diperlukan
untuk mendorong siswa mencoret-coret bagian kosong tersebut
dengan rangkuman atau catatan yang dibuat siswa sendiri. Sediakan
bagian kosong secara konsisten dalam halaman-halaman bahan ajar.
3) Padukan grafik, poin, dan kalimat-kalimat pendek, tetapi jangan terus
menerus sehingga menjadi membosankan.
4) Gunakan sistem paragraf yang tidak rata pada pinggir kanan, karena
paragraf seperti itu lebih mudah dibaca.
5) Gunakan grafik atau gambar hanya untuk tujuan tertentu, jangan
gunakan grafik atau gambar jika tidak bermakna.
6) Gunakan sistem penomoran yang benar dan konsisten untuk seluruh
bagian bahan ajar.
7) Gunakan dan variasikan jenis dan ukuran huruf untuk menarik
perhatian, tetapi jangan terlalu banyak sehingga membingungkan.
 Perwajahan dan pengemasan bahan ajar juga meliputi penyediaan
alat bantu belajar dalam bahan ajar, sehingga bahan ajar dapat
dipelajari siswa secara mandiri (sendiri, atau dengan teman-teman
dalam kelompok).

6. Ilustrasi
Penggunaan ilustrasi dalam bahan ajar memiliki ragam manfaat,
antara lain membuat bahan ajar menjadi lebih menarik melalui variasi
penampilan. Ilustrasi dapat dibuat sendiri oleh pengembang bahan ajar,
jika mempunyai keterampilan menggambar yang baik. Namun, ilustrasi
juga dapat dibuatkan oleh perancang grafis atau pelukis, yang
menerjemahkan gambar-gambar yang diinginkan ke dalam ilustrasi yang
baik dan tepat. Selain itu, ilustrasi juga dapat diambil dari sumber
langsung (misalnya foto), sumber atau buku lain (misalnya majalah atau
ensiklopedia). Jika ilustrasi diperoleh dari sumber atau buku lain, penulis
berkewajiban memberi penjelasan tentang hal itu dalam bahan ajar yang
ditulis.
Ilustrasi digunakan untuk memperjelas pesan atau informasi yang
disampaikan. Selain itu, ilustrasi dimaksudkan untuk memberi variasi
bahan ajar sehingga bahan ajar menjadi menarik, memotivasi,
komunikatif, membantu retensi dan pemahaman siswa terhadap isi
pesan.
Ilustrasi yang biasa digunakan dalam bahan ajar, antara lain daftar
atau tabel, diagram, grafik, kartun, foto, gambar, sketsa, simbol, dan
skema.

7. Kelengkapan Komponen
Idealnya, bahan ajar merupakan paket multikomponen dalam
bentuk multimedia. Paket tersebut mempunyai sistematika penyampaian
dan urutan materi yang baik, meliputi penyampaian tujuan belajar,
memberi bimbingan tentang strategi belajar, menyediakan latihan yang
cukup banyak, memberi saran-saran untuk belajar kepada siswa
(pertanyaan kunci, soal, tugas, kegiatan), serta memberikan soal-soal
untuk dikerjakan sendiri oleh siswa sebagai cara untuk mengukur
kemampuan diri sendiri dan umpan baliknya. Paket bahan ajar dapat
bersifat lengkap dalam satu paket, atau dapat juga dilengkapi dengan
sumber informasi lain (dari internet, atau buku lain), panduan
belajar/siswa, serta panduan guru.
Paket bahan ajar memiliki tiga komponen inti, yaitu komponen
utama, komponen pelengkap, dan komponen evaluasi hasil belajar.
Komponen utama berisi informasi atau topik utama yang ingin
disampaikan kepada siswa, atau harus dikuasai siswa. Kebanyakan,
bahan ajar utama berbentuk bahan ajar cetak, misalnya buku teks, buku
pelajaran, modul, dan buku materi pokok yang bersifat moduler
Bahan ajar utama akan menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa
jika dilengkapi dengan komponen pelengkap. Komponen pelengkap ini
dapat berupa informasi/topik tambahan yang terintegrasi dengan bahan
ajar utama, atau informasi/topik pengayaan wawasan siswa.
Komponen pelengkap biasanya terdiri dari bahan pendukung cetak
(materi pengayaan, bacaan, jadwal, silabus, peta materi, kliping kasus),
bahan pendukung noncetak (perluasan wawasan materi dalam media
noncetak, peta materi dalam bentuk program komputer, video, kaset, web
suplemen, simulasi komputer, kit), panduan siswa (peta materi, petunjuk
belajar, latihan dan tugas, tips, kata-kata sukar, pemilahan materi),
panduan guru (peta materi, petunjuk bagi guru, konsep inti topik atau
pokok bahasan, latihan dan tugas, rangkuman materi) dan lain-lain yang
diperlukan siswa untuk mempelajari suatu topik, yang disajikan melalui
beragam media, secara moduler Komponen evaluasi hasil belajar terdiri
dari perangkat soal/butir tes. Komponen evaluasi hasil belajar ini
nantinya akan terpisahkan
Beberapa usulan siswa agar buku PKn dan LKS yang digunakan
dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk berdialog dan berpikir
kritis adalah sebagai berikut:
a. Bahan Ajar PKn
1. Pemaparan materi hendaknya ringkas agar mudah difahami
2. Buku penunjang harus rinci dan lengkap
3. Materi terlalu banyak, perlu ada ringkasan materi
4. Dalam buku memuat uraian yang lengkap tentang realitas
kehidupan
5. Sebaiknya materi buku dibuat lebih menarik dan ditambah
gambar-gambar berwarna sehingga menarik untuk belajar
6. Dalam pemaparan materi beri contoh-contoh konkrit yang
menarik
7. Buku hendaknya lebih banyak memuat cerita dan pertanyaan
logis
8. Menyusun buku dengan bahasa yang menarik, mudah difahami
dan mengajak siswa berpikir
9. Guru kalau menerangkan PKn hendaknya mengajak siswa
berpikir
10. Guru PKn kurang menarik dalam menyampaikan materi.

b. Lembar Kerja Siswa (LKS)


1. Soal-soal jangan di luar materi
2. Waktu mengerjakan tugas dan soal-soal kurang
3. Tugas-tugas yang diberikan harus ada hubungannya dengan
praktik kehidupan sehari-hari
4. Menambah soal-soal latihan yang merangsang berpikir murni
siswa
5. Penyajian LKS sebaiknya lebih menarik untuk siswa dalam
berdialog dan berpikir
6. Memberi tugas lapangan agar siswa semangat belajar
7. LKS sebaiknya ada tugas untuk wawancara terhadap suatu
lembaga
Beberapa usulan pakar dan praktisi agar buku PKn dan LKS yang
digunakan dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk berdialog dan
berpikir kritis adalah sebagai berikut:

c. Bahan Ajar PPKn


1. Pemaparan materi hendaknya ringkas agar mudah difahami
2. Buku penunjang harus rinci dan lengkap
3. Materi terlalu banyak, perlu ada ringkasan materi
4. Dalam buku memuat uraian yang lengkap tentang realitas
kehidupan
5. Sebaiknya materi buku dibuat lebih menarik dan ditambah
gambar-gambar berwarna sehingga menarik untuk belajar
6. Dalam pemaparan materi beri contoh-contoh konkrit yang
menarik
7. Buku hendaknya lebih banyak memuat cerita dan pertanyaan
logis
8. Menyusun buku dengan bahasa yang menarik, mudah difahami
dan mengajak siswa berpikir
9. Guru kalau menerangkan PKn hendaknya mengajak siswa
berpikir
10. Guru PKn kurang menarik dalam menyampaikan materi.

d. Lembar Kerja Siswa (LKS)


1. Soal-soal jangan di luar materi
2. Waktu mengerjakan tugas dan soal-soal kurang
3. Tugas-tugas yang diberikan harus ada hubungannya dengan
praktik kehidupan sehari-hari
4. Menambah soal-soal latihan yang merangsang berpikir murni
siswa
5. Penyajian LKS sebaiknya lebih menarik untuk siswa dalam
berdialog dan berpikir
6. Memberi tugas lapangan agar siswa semangat belajar
7. LKS sebaiknya ada tugas untuk wawancara terhadap suatu
lembaga

BAHASAN
1. Karakteristik Bahan Ajar Mata Pelajaran Pkn berbasis DD/CT
Hasil penelitian ditemukan bahwa bahan ajar berbasis DD/CT
menjadi salah satu alternatif pilihan guru dalam pembelajaran PKn yang
memberikan kesempatan lebih banyak pada siswa untuk berdialog
dengan teman, dengan guru, dengan orang tua, dengan masyrakat
disekitarnya. Disamping itu bahan ajar berbasis DD/CT dipandang akan
mampu merangsang siswa untuk berpikir kritis.
Tuntutan pendidikan dewasa ini yang memberikan otonomi pada
sekolah dan guru dalam menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk menyusun bahan
ajar yang tepat, sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar dan
kemampuan siswanya. Dengan demikian kedepan guru dituntut dapat
menyusun bahan ajar mata pelajaran yang diampunya.
Struktur bahan ajar dan LKS matapelajaran PKn berbasis DD/CT ,
secara umum memiliki struktur yang mengacu pada kompetensi dasar
dan indikator sebagaimana yang terdapat dalam standar isi. Hal ini
dimaksudkan untuk dapat dipergunakan oleh guru dan siswa sesuai
dengan jenjang kelasnya.
Semboyan bahwa ―buku adalah salah satu sumber ilmu‖, ―buku
adalah jendela informasi dunia‖, ―buku adalah guru yang baik tanpa tatap
muka‖, buku adalah media komunikasi tentang IPTEK, seni dan agama
serta ide-ide‖ (Pusbuk, 2003). Semboyan tersebut mengisyaratkan betapa
pentingnya buku pelajaran. Karena buku pelajaran merupakan sumber
belajar dan media yang sangat penting untuk mendukung tercapainya
kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran.
Buku pelajaran PKn berbasis DD/CT dapat secara efektif
menunjang pencapaian kompetensi pembelajaran PKn dibuat sedemikian
rupa untuk memenuhi standar . Aspek penting yang diperhatikan adalah
materi, penyajian, bahasa dan keterbacaan, serta grafika. Davis (1955)
dalam Puskur (2003) menyatakan bahwa buku pelajaran yang baik berisi
materi yang sesuai dengan kurikulum, disusun oleh penulis yang
kompeten, disesuaikan dengan usia dan kematangan siswa,
memerhatikan ilustrasi dan format.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas dan hasil penelitian
, maka dapat dikemukakan bahwa bahan ajar dan LKS mata pelajaran
PKn berbasis DD/CT untu SMA: (1) aspek materi pelajaran . yakni
materi pokok yang disajikan dalam buku pelajaran PKn umumnya adalah
(a) relevansi: bahwa isi materi bahan ajar sesuai dengan standar isi. Ini
berarti untuk dipergunakan dengan dalam rangka implementasi
kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dapat dipergunakan,
karena isi materi relevan dengan standar isi yang dikembangkan dalam
KTSP; (b) kecukupan: muatan materi bahan ajar telah memadai untuk
mencapai kompetensi, hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan ajar
berbasis DD/CT cukup memiliki kecukupan; dan (c) keakuratan: bahwa
isi materi yang disajikan harus benar secara keilmuan, mutahir atau
sesuai dengan perkembangan yang terbaru, bermanfaat bagi kehidupan
dan pengemasan materi sesuai dengan hakekat PKn. Dengan kriteria ini
maka hasil penelitian menunjukkan bahwa keakurasian materi bahan ajar
PKn berbasis DD/CT tercapai ini tebukti banyak pendapat yang
menyatakan materi yang disajikan sebagai sesuai dengan kompetensi
dasar. Kalau dengan KTSP terdapat cukup tepat dengan kompetensi
dasar tentunya dalam pemanfaatannya perlu penyesuaian dengan
KTSPnya (2) Aspek penyajian. Aspek penyajian bahan ajar PKn berbasis
DD/CT dapat dijabarkan sebagai berikut (a) kelengkapan sajian.
Berdasarkan analisis bahan ajar berbasis DD/CT telah cukup lengkap
dalam sajian, di dalamnya memuat kompetensi dasar, materi pokok, dan
tugas-tugas pengembangan; (b) sistematika sajian. Bahan ajar PKn
berbasis DD/CT, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan cukup
sistematis; (c) kesesuaian sajian dengan tuntutan pembelajaran yang
berpusat pada siswa. Hasil penelitian dan analisis bahan ajar berbasis
DD/CT menunjukkan bahwa bahan ajar PKn, materi luas hal ini
dikemukakan baik oleh guru sebagai praktis maupun pakar. Dengan
sajian materi yang luas cukup memberi peluang kepada siswa untuk
mengembangkan pola pikirnya untuk berpikir kritis.Sehingga bahan ajar
PKn berbasis DD/CT ini sesuai dengan tuntutan pembelajaran yang
berpusat pada siswa student centered; dan (d) cara penyajian. Hasil
penelitian juga menunjukkan cara penyajian yang dikemas dalam bahan
ajar Pknberbasis DD/CT relative kontekstual, yakni sebagaimana bahan
ajar atau buku yang memberi nuasa berdialog siswa. (3) Aspek bahasa
dan keterbacaan. Bahasa disini berarti dalam penyajian bahan tepat
dalam penggunaan kosakata, kalimat, paragraf dan wacana. Hasil
penelitian menunjukkan bahan ajar PKn berbasis DD/CT terdapat
wacana yang membuka wawasan siswa tentang materi yang akan
dipelajari, meskipun secara umum bahan ajar PKn berbasis DD/CT telah
menggunakan kaidah bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Keterbacaan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa bahasa yang
dipergunakan cukup dipahami siswa SMA. (4) Aspek grafika. Yakni
yang berkaitan dengan ukuran bahan, jenis kertas, cetakan, ukuran huruf,
warna dan ilustrasi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata bahan
ajar yang dipergunakan dalam hal ukuran cukup bagus, jenis kertas
menunjukkan beberapa menggunakan kertas putih, sedangkan beberapa
menggunakan kertas yang agak buram, cetakan dan ukura huruf bagus,
hanya ilustrasi kurang, terdapat buku yang contoh yang diangkat kurang
kontekstual artinya beberapa gambar yang disajikan tidak dipahami oleh
siswa karena dari negara lain. Secara umum bahan ajar PKn berbasis
DD/CT masih kering ilustrasi yang merangsang siswa untuk
membicarakan dengan orang lain dan memikirkan lebih kritis.

2. Karakteristik Lembar Kegiatan Siswa (LKS) Mata Pelajaran PKn yang


Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking
Hasil wawancara dengan beberapa guru, misalnya Bu Yayuk dari
SMA di Magetan menyatakan LKS berbasis DD/CT ini saya kita
lumayan merangsang siswa untuk berpikir dan berdiskusi, namun
menurut saya perlu pedoman yang jelas bagaimana dan dimana
jawaban harus dibuat sedangkan Pak Wayan mengemukakan bahan ajar
dan LKS berbasis DD/CT,sudah match jadi materi yang ada di bahan
ajar sama dengan yang di LKS.
Struktur lembar kegiatan siswa (LKS) yang dipergunakan dalam
proses pembelajaran mata pelajaran PKn di sekolah, sebagian besar
responden menyatakan runtut dengan kompetensi dasar dalam standar
isi, meskipun demikian banyak menyatakan bahwa struktur LKS
matapelajaran PKn runtut namun tidak sesuai dengan kompetensi dasar
pada standar isi. Lainnya mengatakan paparan LKS mata pelajaran PKn
berbasis DD/CT runtut sebagian dengan kompetensi dasar pada standar
isi, dan tidak runtut dengan kompetensi dasar pada standar isi,
menyatakan runtut namun tidak sesuai dengan kompetensi dasar pada
satandar isi
Tingkat keterbacaan materi LKS mata pelajaran PKn berbasis
DD/CT, sebagian besar responden menyatakan bahasa cukup untuk
siswa jenjang SMA, dan sedikit yang menyatakan bahasa nampak tinggi
untuk siswa jenjang SMA. Dengan demikian dari segi bahasa, LKS PKn
berbasis DD/CT tidak sulit bagi siswa SMA, namun tingkat kesulitan
materi LKS mata pelajaran PKn berbasis DD/CT yang dipergunakan
dalam proses pembelajaran PKn , banyak responden menyatakan cukup
sulit dipahami, sebagian responden menyatakan mudah dipahami, dan
hanya sedikit menyatakan sulit dipahami. Sedangkan tingkat kesulitan
materi LKS mata pelajaran PKn berbasis DD/CT menyatakan cukup sulit
dipahami, sebagaian kecil siswa menyatakan mudah dipahami, sulit
dipahami, sangat sulit dipahami, dan siswa menyatakan sangat mudah
dipahami. Kondisi ini disebabkan LKS berisi rangkuman materi dan
soal-soal yang harus dikerjakan secara individual oleh siswa. Sehingga
beberapa siswa menyatakan‖ bahwa LKS berbasis DD/CT ini
mengasikkan karena dapat dikerjakan sendiri ‖

3. Kelebihan Bahan Ajar dan LKS PKn Berbasis DD/CT


1) Kecermatan Isi
Berdasarkan hasil penelitian bahwa bahan ajar dan LKS PKn
berbasis DD/CT memiliki kecermatan isi atau kebenaran isi berdasarkan
sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat atau bangsa, hal ini
sangat erat kaitannya dengan Pendidikan Kewarganegaraan pada
dasarnya menekankan pada pembentukan kepribadian manusia, yaitu
siswa yang memiliki kesadaran dalam melaksanakan hak dan kewajiban,
terutama kesadaran wawasan kebangsaan dan pertahanan keamanan
nasional masyarakat Indonesia sebagaimana
Validitas isi telah menunjukkan bahwa isi bahan ajar berbasis
DD/CT tidak dikembangkan secara asal-asalan. Isi bahan ajar
dikembangkan berdasarkan konsep dan teori yang berlaku dalam bidang
ilmu serta sesuai dengan kemutakhiran perkembangan bidang ilmu dan
hasil penelitian empiris yang dilakukan dalam bidang ilmu tersebut.
Dengan demikian isi bahan ajar dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah, benar dari segi keilmuan.
Dalam LKS telah terdapat kaitan bahan ajar dengan lingkungan
sekitarnya serta wawasan budaya, sehingga memberi peluang siswa
untuk dapat mengkaji dulu kemungkinan dan ketersediaan bahan di
lingkungan sekitar dan budaya lokal yang dapat digunakan untuk
menjadi bahan ajar bagi suatu topik tertentu dari bidang suatu ilmu.
Keselerasan isi bahan ajar dan LKS berbasis DD/CT telah
menunjukkan kesesuaian isi bahan ajar dengan sistem nilai dan falsafah
hidup yang berlaku dalam negara dan masyarakat. Bahkan bahan ajar
menjadi sarana untuk penyampaian sistem nilai tersebut dan
pembelajaran merupakan upaya pelestarian sistem nilai tersebut.
Kelemahan dalam isi kurang mendukung siswa dalam mengaitkan
dengan landasan teori dan konsep yang berlaku dalam bidang ilmu.
kurang mengaitkan dengan hasil penelitian empiris sehingga akan
menghasilkan suatu paduan dari teori dan konsep yang sahih tetapi
relevan dengan lingkungan dan budaya lokal. Kelemahan lain bahan ajar
kurang mengangkat atau mengakomodasi sistem nilai masyarakat secara
umum

2. Ketepatan Cakupan
Berdasarkan hasil penelitian cakupan (skope) berhubungan dengan
isi bahan ajar dari sisi keluasan dan kedalaman isi atau materi serta
keutuhan konsep berdasarkan bidang ilmu dari bahan ajar dan LKS PKn
berbasis DD/CT telah memadai.
Keluasan dan kedalaman isi bahan ajar sangat berhubungan
dengan keutuhan konsep berdasarkan bidang ilmu. Dalam hal ini
seberapa banyak atau luas suatu topik yang akan disajikan? Seberapa
dalam suatu topik yang perlu dibahas? Bagaimana keutuhan konsep yang
disajikan? Banyak pertimbangan yang perlu diperhatikan. dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, antara lain yang paling utama
adalah kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran. Setiap guru pasti
mempunyai tujuan pembelajaran yang dijabarkan dari kompetensi dasar
dan indikator. Lihatlah tujuan tersebut, kemudian berlandaskan pada
tujuan tersebut dapat menentukan seberapa luas, dalam, dan utuh topik
yang akan disajikan kepada siswa. Kemudian kembangkanlah bahan ajar
– materi pokok dan komponennya berdasarkan pada materi yang telah
ditentukan tersebut. Tentunya, tujuan pembelajaran atau topik tertentu di
sekolah Lanjutan Tingkat Pertama akan berbeda dengan tujuan
pembelajaran atau topik yang sama di Sekolah Menengah Atas. Dalam
hal ini, keluasan maupun kedalamannya akan berbeda, sehingga bahan
ajarnya pun memiliki keluasan dan kedalaman yang berbeda.

3. Ketercernaan Bahan Ajar


Bahan ajar berbasis DD/CT dilihat dari tingkat ketercernaan
artinya bahan ajar dapat dipahami dan isinya dapat dimengerti oleh siswa
dengan mudah. Ada enam hal yang mendukung tingkat ketercernaan
bahan ajar, sebagai berikut.

1) Paparan yang logis


Bahan ajar berbasis DD/CT telah dipaparkan secara logis,
misalnya mulai dari yang umum ke yang khusus atau sebaliknya
(deduktif atau induktif), dari yang mudah ke yang sukar, atau dari fakta
ke konsep. Dengan demikian, siswa dengan mudah mengikuti
pemaparan, dan dapat segera mengkaitkan pemaparan tersebut dengan
informasi sebelumnya yang sudah dimilikinya. Bahan ajar yang
dipaparkan secara tidak logis akan menyulitkan siswa.
Dalam Bahan ajar PKn berbasis DD/CT penyajian ini merupakan
alat bantu yang menjelaskan hubungan antar topik atau konsep.. Dengan
demikian, informasi yang diterima oleh siswa akan saling terkait, dan
bahkan dapat dikaitkan dengan informasi yang sudah dimiliki
sebelumnya, tidak terkotak-kotak satu sama lain.
Kelemahan dari pemaparan bahan ajar berbasis DD/CT ini karena
keruntutannya dapat menyebabkan siswa kurang dapat mengembangkan
pola pikir atau penalaran yang sistematis.

2) Penyajian Materi yang Runtut


Bahan ajar PKn berbasis DD/CT telah disajikan secara sistematis,
tidak meloncat-loncat. Keterkaitan antar materi/topik dijelaskan dengan
cermat, kemudian setiap topik disajikan secara sistematis dengan strategi
penyajian uraian, contoh dan latihan, atau contoh, latihan, penyajian
uraian, atau penyajian uraian, latihan.
Kelemahannya belum banyak contoh-contoh dan latihan yang
kontestual, yang mendorong siswa mencari sumber lain, sekaligus
merangsang untuk berdialog mendalam.

3) Contoh dan Ilustrasi yang Memudahkan Pemahaman


Untuk menyajikan suatu topik dan memaparkan suatu materi
pokok dalam bahan ajar PKn berbasis DD/CT diperlukan contoh dan
ilustrasi yang dapat membantu dan mempermudah pemahaman siswa.
Tampaknya belum banyak contoh-contoh yang mempermudah siswa
lebih memahami bahan ajar. Padahal dalam penyajian topik atau konsep
yang bersifat abstrak, contoh dan ilustrasi memiliki peran yang sangat
penting. Misalnya, dalam menjelaskan Pancasila sebagai kepribadian
bangsa Indonesia, bahan ajar tidak dapat hanya mengandalkan deskripsi
verbal secara lisan maupun tertulis.
Contoh dan ilustrasi yang dikembangkan dalam bahan ajar
berbasis DD/CT dalam penyajian isi bahan ajar belum bervariatif
mestinya bisa poster, kartu-kartu (flipchart), atau dalam bentuk noncetak,
seperti video, audio, simulasi berbantuan atau juga dalam bentuk realita,
model, atau bahan sesungguhnya untuk didemonstrasikan kepada siswa.
Prinsip utama dalam pemilihan contoh dan ilustrasi adalah ketepatan
contoh dan ilustrasi untuk memperjelas teori atau konsep yang dijelaskan
(bukan malah membuat siswa semakin bingung), serta menarik dan
bermanfaat bagi siswa. Dalam beberapa kasus, diperlukan juga contoh
dan ilustrasi yang paling mutakhir, sehingga perlu mencarinya dan
sumber-sumber mutakhir seperti majalah, Koran, ataupun dari situs-situs
di internet.

4) Alat Bantu yang Memudahkan


Bahan ajar perlu memiliki alat bantu yang dapat mempermudah
siswa dalam mempelajari bahan ajar tersebut, yang dikenal dengan nama
Mnemonic Devices (alat Bantu mengingat atau belajar).
Dalam bahan ajar PKn berbasis DD/CT telah dibuat dengan cetak,
alat bantu dapat berupa rangkuman untuk setiap bab, penomoran, judul
bab yang jelas, serta tanda-tanda khusus, misalnya tanda tanya yang
menandakan pertanyaan, kotak bahan dialog. Dalam menggunakan alat
bantu bahan ajar Pkn berbasis DD/CT belum konsistensi, artinya alat
bantu yang simbol atau bentuknya sama harus digunakan dengan arti
yang sama di semua isi bahan ajar untuk mata pelajaran tertentu. Jadi,
alat bantu yang simbolnya atau bentuknya sama hendaknya tidak
digunakan untuk arti yang berbeda-beda dalam satu bahan ajar yang
sama. Misalnya, gambar ―orang sedang berdemontrasi‖ digunakan untuk
arti ―rapat‖ . Hendaknya gambar yang sama jangan digunakan untuk arti
yang lain.

5) Format yang Tertib dan Konsisten


Bahan ajar PKn berbasis DD/CT memiliki format yang
memelihara ketertiban dan konsistensi agar mudah dikenali, diingat, dan
dipelajari oleh siswa. Dalam bahan ajar Pkn DD/CT sebagai bahan cetak,
konsistensi yang dipelihatra adalah mengenai istilah dengan harapan
siswa tidak menggunakan berbagai istilah secara rancu.. Dalam hal ini,
siswa diharapkan kreatif untuk menciptakan tanda-tanda dan formal
khusus yang digunakan secara konsisten untuk mempermudah siswa
belajar.
6) Relevansi dan Manfaat Bahan Ajar
Bahan ajar PKn berbasis DD/CT terdapat penjelasan tentang
manfaat dan kegunaan bahan ajar dalam mata pelajaran. Bahan ajar PKn
dapat berperan sebagai bahan utama yang akan digunakan dalam
pembelajaran di kelas, atau sebagai alat bantu siswa secara mandiri di
rumah (buku kerja, paket kerja mandiri), atau juga sebagai alat bantu
siswa belajar dalam kelompok. Peran ini telah dijelaskan dalam bahan
ajar PKn tersebut dijelaskan kepada siswa dengan cermat, sehingga
siswa dapat menggunakan bahan ajar dengan jelas.
Kelemahan bahan ajar Pkn berbasis DD/CT ini belum
menjelaskan keterkaitan antara topik yang dibahas dalam bahan ajar
dengan topik-topik dalam mata pelajaran lainnya. Dengan demikian,
siswa kurang dapat melihat keterkaitan topik bahan ajar dengan topik
lain, dan terkesan bahwa masing-masing topik adalah berdiri sendiri-
sendiri.

4. Penggunaan Bahasa
Penggunaan bahasa menjadi salah satu faktor yang penting.
Penggunaan bahasa, yang meliputi pemilihan ragam bahasa, pemilihan
kata, penggunaan kalimat efektif, dan penyusunan paragraph yang
bermakna, sangat berpengaruh terhadap manfaat bahan ajar. Bahan Ajar
PKn Berbasis DD/CT cukup memadai dalam penggunaan bahasa yang
dimengerti oleh siswa, agar bahan ajar bermakna bagi siswa. Pengguna-
an bahasa menjadi faktor penting, bukan hanya dalam pengembangan
bahan ajar cetak seperti buku kerja siswa, lembar kerja siswa, tetapi juga
dalam pengembangan bahan ajar noncetak, seperti kaset audio, video,
bahan ajar berbasiskan komputer, dan lain-lain.
Bahan ajar yang baik diharapkan dapat memotivasi siswa untuk
membaca, mengerjakan tugas-tugasnya, serta menimbulkan rasa ingin
tahu siswa untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut tentang topik yang
dipelajarinya. Dengan demikian, ragam bahasa yang digunakan dalam
bahan ajar biasanya ragam bahasa nonformal atau bahasa komunikatif
yang lugas dan luwes. Dalam bahasa komunikatif, pembaca diajak untuk
berdialog secara intelektual melalui sapaan, pertanyaan, ajakan, dan
penjelasan, seolah-olah dialog dengan orang kedua itu benar-benar
terjadi. Penggunaan bahasa komunikatif akan membuat siswa merasa
seolah-olah berinteraksi (pseudo-interaction) dengan gurunya sendiri
melalui tulisan-tulisan yang disampaikan dalam bahan ajar.
Ragam bahasa komunikatif sebaiknya digunakan dalam penulisan
atau pengembangan bahan ajar sangat dipengaruhi oleh pemilihan kata
serta penggunaan kalimat yang efektif. Walaupun ragam bahasa
komunikatif yang digunakan, hendaknya kaidah bahasa yang baik dan
benar tidak ditinggalkan atau dilanggar. Hal ini sangat perlu sebagai
salah satu persyaratan dari keterbacaan bahan ajar yang ditulis atau
dikembangkan.
Kata yang dipilih hendaknya jenis kata yang singkat dan lugas,
bukan kata atau istilah yang asing atau tidak banyak dikenal siswa. Jika
diperlukan pengenalan istilah teknis yang berlaku dalam bidang ilmu
tertentu, maka istilah tersebut perlu diberi batasan yang jelas. Senarai
(daftar kata sukar) dapat membantu memberikan batasan istilah-istilah
teknis. Selain itu, siswa dapat diberi kesempatan untuk menjelaskan
sendiri arti kata-kata tersebut melalui pertanyaan-pertanyaan yang
disiapkan dalam bahan ajar.
Penggunaan kalimat efektif menekankan perlunya penyampaian
informasi dilakukan melalui kalimat positif dan aktif, dan sedapat
mungkin menghindarkan penggunaan kalimat negatif dan pasif. Kalimat
positif dan aktif dipercaya dapat menimbulkan motivasi siswa untuk
melakukan tugas-tugas yang ditetapkan dalam bahan ajar, dan lebih
mudah dimengerti. Sementara itu penggunaan kalimat negatif dan pasif,
kadangkala dapat membingungkan siswa. Di samping itu, kalimat dalam
bahan ajar hendaknya kalimat sederhana, singkat, jelas dan hanya
memiliki makna tunggal untuk setiap kalimat. Kalimat majemuk
kadangkala dapat membingungkan, sehingga perlu di rinci melalui
kalimat-kalimat singkat berikutnya.
Selanjutnya, penyusunan paragraph mempersyaratkan adanya
gagasan utama untuk setiap paragraf, serta keterpaduan, keruntutan dan
koherensi antar kalimat dalam sebuah paragraf. Gagasan utama, yang
berbentuk kalimat topik, dapat ditempatkan di bagian awal maupun akhir
paragraf. Gagasan utama dikembangkan atau dijabarkan lebih lanjut
dalam rangkaian kalimat yang berhubungan satu sama lain secara
terpadu (kohesif) dan kompak atau runtut (koheren). Panjang pendek
sebuah paragraf tergantung pada kemampuan penulis dan kebutuhannya.
Keruntutan dan kekompakan hubungan antar kalimat dalam sebuah
paragraf (koherensi) sangat penting untuk membuat suatu paragraf
menjadi bermakna. Pada gilirannya, kalimat yang runtut dan kompak
akan memudahkan siswa memahami ide/konsep yang disajikan dalam
paragraf tersebut.

5. Perwajahan/Pengemasan
Dalam Hal perwajahan dan atau pengemasan bahan ajar PKn
berbasis DD/CT masih banyak kelemahan terutama dalam perancangan
atau penataan letak informasi dalam satu halaman cetak,. Penataan letak
informasi untuk satu halaman cetak dalam bahan ajar hendaknya
mempertimbangkan beberapa hal berikut:
1) Narasi atau teks yang terlalu padat dalam satu halaman membuat
siswa lelah membacanya.
2) Bagian kosong (white space) dari satu halaman sangat diperlukan
untuk mendorong siswa mencoret-coret bagian kosong tersebut
dengan rangkuman atau catatan yang dibuat siswa sendiri. Sediakan
bagian kosong secara konsisten dalam halaman-halaman bahan ajar.
3) Padukan grafik, poin, dan kalimat-kalimat pendek, tetapi jangan terus
menerus sehingga menjadi membosankan.
4) Gunakan sistem paragraf yang tidak rata pada pinggir kanan, karena
paragraf seperti itu lebih mudah dibaca.
5) Gunakan grafik atau gambar hanya untuk tujuan tertentu, jangan
gunakan grafik atau gambar jika tidak bermakna.
6) Gunakan sistem penomoran yang benar dan konsisten untuk seluruh
bagian bahan ajar.
7) Gunakan dan variasikan jenis dan ukuran huruf untuk menarik
perhatian, tetapi jangan terlalu banyak sehingga membingungkan.
 Perwajahan dan pengemasan bahan ajar juga meliputi penyediaan
alat bantu belajar dalam bahan ajar, sehingga bahan ajar dapat
dipelajari siswa secara mandiri (sendiri, atau dengan teman-teman
dalam kelompok).
6. Ilustrasi
Penggunaan ilustrasi dalam bahan ajar PKn berbasis DD/CT
memiliki ragam manfaat, antara lain membuat bahan ajar menjadi lebih
menarik melalui variasi penampilan. Ilustrasi dapat dibuat sendiri oleh
pengembang bahan ajar, jika mempunyai keterampilan menggambar
yang baik. Namun, ilustrasi juga dapat dibuatkan oleh perancang grafis
atau pelukis, yang menerjemahkan gambar-gambar yang diinginkan ke
dalam ilustrasi yang baik dan tepat. Selain itu, ilustrasi juga dapat
diambil dari sumber langsung (misalnya foto), sumber atau buku lain
(misalnya majalah atau ensiklopedia). Kelemahan dalam bahan ajar ini
ilustrasi diperoleh dari sumber atau buku lain, penulis belum memberi
penjelasan tentang hal itu dalam bahan ajar yang ditulis.
Ilustrasi digunakan untuk memperjelas pesan atau informasi yang
disampaikan. Selain itu, ilustrasi dimaksudkan untuk memberi variasi
bahan ajar sehingga bahan ajar menjadi menarik, memotivasi,
komunikatif, membantu retensi dan pemahaman siswa terhadap isi
pesan.
Ilustrasi yang biasa digunakan dalam bahan ajar, antara lain daftar
atau tabel, diagram, grafik, kartun, foto, gambar, sketsa, simbol, dan
skema.Dalam bahan ajar PKn berbasis DD/CT ilustrasinya kurang
bervariasi.

7. Kelengkapan Komponen
Bahan ajar dan LKS berbasis DD/CT cukup memiliki kelengkapan
komponen, yakni informasi , pelengkap dan evaluasi
Idealnya, bahan ajar merupakan paket multikomponen dalam
bentuk multimedia. Paket tersebut mempunyai sistematika penyampaian
dan urutan materi yang baik, meliputi penyampaian tujuan belajar,
memberi bimbingan tentang strategi belajar, menyediakan latihan yang
cukup banyak, memberi saran-saran untuk belajar kepada siswa
(pertanyaan kunci, soal, tugas, kegiatan), serta memberikan soal-soal
untuk dikerjakan sendiri oleh siswa sebagai cara untuk mengukur
kemampuan diri sendiri dan umpan baliknya. Paket bahan ajar dapat
bersifat lengkap dalam satu paket, atau dapat juga dilengkapi dengan
sumber informasi lain (dari internet, atau buku lain), panduan
belajar/siswa, serta panduan guru.
Paket bahan ajar memiliki tiga komponen inti, yaitu komponen
utama, komponen pelengkap, dan komponen evaluasi hasil belajar.
Komponen utama berisi informasi atau topik utama yang ingin
disampaikan kepada siswa, atau harus dikuasai siswa. Kebanyakan,
bahan ajar utama berbentuk bahan ajar cetak, misalnya buku teks, buku
pelajaran, modul, dan buku materi pokok yang bersifat moduler
Bahan ajar utama akan menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa
jika dilengkapi dengan komponen pelengkap. Komponen pelengkap ini
dapat berupa informasi/topik tambahan yang terintegrasi dengan bahan
ajar utama, atau informasi/topik pengayaan wawasan siswa.
Komponen pelengkap biasanya terdiri dari bahan pendukung cetak
(materi pengayaan, bacaan, jadwal, silabus, peta materi, kliping kasus),
bahan pendukung noncetak (perluasan wawasan materi dalam media
noncetak, peta materi dalam bentuk program komputer, video, kaset, web
suplemen, simulasi komputer, kit), panduan siswa (peta materi, petunjuk
belajar, latihan dan tugas, tips, kata-kata sukar, pemilahan materi),
panduan guru (peta materi, petunjuk bagi guru, konsep inti topik atau
pokok bahasan, latihan dan tugas, rangkuman materi) dan lain-lain yang
diperlukan siswa untuk mempelajari suatu topik, yang disajikan melalui
beragam media, secara moduler Komponen evaluasi hasil belajar terdiri
dari perangkat soal/butir tes. Komponen evaluasi hasil belajar ini
nantinya akan terpisahkan
Beberapa usulan siswa agar buku PKn dan LKS berbasis DD/CT
ini dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk berdialog dan berpikir
kritis adalah sebagai berikut:
1. Bahan Ajar PPKn
 Pemaparan materi hendaknya ringkas agar mudah difahami
 Buku penunjang harus rinci dan lengkap
 Materi terlalu banyak, perlu ada ringkasan materi
 Dalam buku memuat uraian yang lengkap tentang realitas
kehidupan
 Sebaiknya materi buku dibuat lebih menarik dan ditambah
gambar-gambar berwarna sehingga menarik untuk belajar
 Dalam pemaparan materi beri contoh-contoh konkrit yang menarik
 Buku hendaknya lebih banyak memuat cerita dan pertanyaan logis
 Menyusun buku dengan bahasa yang menarik, mudah difahami
dan mengajak siswa berpikir
 Guru kalau menerangkan PKn hendaknya mengajak siswa berpikir
 Guru PKn kurang menarik dalam menyampaikan materi.

2. Lembar Kerja Siswa (LKS)


 Soal-soal jangan di luar materi
 Waktu mengerjakan tugas dan soal-soal kurang
 Tugas-tugas yang diberikan harus ada hubungannya dengan
praktik kehidupan sehari-hari
 Menambah soal-soal latihan yang merangsang berpikir murni
siswa
 Penyajian LKS sebaiknya lebih menarik untuk siswa dalam
berdialog dan berpikir
 Memberi tugas lapangan agar siswa semangat belajar
 LKS sebaiknya ada tugas untuk wawancara terhadap suatu
lembaga

4. Model Bahan Ajar dan Lembar Kegitan Siswa Matapelajaran PKn


dengan Pendekatan Deep Dialogue/Critical Thinking
Model bahan ajar dan lembar kegiatan siswa matapelajaran PKn
dengan Pendekatan Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT)
merupakan model bahan ajar dan lembar kegiatan siswa matapelajaran
PKn yang membantu guru untuk menjadikan bahan ajar dan lembar
kegiatan siswa matapelajaran PKn bermakna bagi siswa. Dalam
pendekatan ini bahan ajar dan lembar kegiatan siswa matapelajaran
PKnsedapat mungkin mengurangi pengajaran yang terpusat pada guru
(teacher centered) dan sebanyak mungkin pengajaran yang terpusat pada
siswa (Student centered), namun demikian guru harus tetap memantau
dan mengarahkan untuk mencapai kompetensi. Dengan landasan filosofi
konstruktivisme, DD/CT "dicita-citakan" menjadi sebuah pendekatan
bahan ajar dan lembar kegiatan siswa matapelajaran PKn alternatif,
dimana melalui DD/CT diharapkan siswa belajar melalui "mengalami,
merasakan, medialogkan" bukan hanya "menghafalkan".Hal ini sesuai
dengan pandangan Gross ( 2000) bahwa dengan mengalami sendiri,
merasakan, mendialogkan dengan orang lain, maka pengetahuan dan
pemahaman siswa akan sesuatu yang baru akan mengendap dalam
pikiran siswa dalam jangka panjang yang pada akhirnya dapat
dipergunakan untuk bekal siswa dalam memecahkan persoalan yang
dihadapinya, dan mengembangkan kecakapan hidupnya.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan
DD/CT di kelas cukup mudah, apabila guru telah memahami kaidah-
kaidahnya sebagai berikut:
1. Perubahan pandangan guru bahwa pemberdayaan siswa dalam bahan
ajar dan lembar kegiatan siswa matapelajaran PKndengan memberi
kesempatan pada siswa, untuk mengamati, menganalisis,
mendialogkan dan akhirnya mekonstruksikan pengetahuan dan
pengalaman serta ketrampilan baru.
2. Untuk menjabarkan topik sebaiknya dilaksanakan dengan kegiatan
menggali dan menemukan sendiri
3. Berdayakan siswa untuk berani mengemukakan pendapat dan
bertanya secara terbuka
4. Ciptakan suasana dialog mendalam ' antar siswa" dan "antara siswa-
guru" oleh karenanya upayakan untuk selalu belajar dalam kelompok
5. Pergunakan berbagai media dan sumber belajar untuk memperluas
wawasan
6. Berilah siswa kesempatan untuk melakukan refleksi sebelum
pelajaran berakhir
7. Penilaian hendaknya tidak hanya berdasarkan tes
Lima komponen yang terdapat dalam model bahan ajar dan lembar
kegiatan siswa matapelajaran PKndengan pendekatan DD/CT yakni
hening, membangun komunitas, kegiatan inti dengan strategi penemuan
konsep (Concept Attainment) dan Cooperative Learning, refleksi dan
evaluasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan di bab
sebelumnya, maka dapat dikemukakan bahwa model bahan ajar dan
lembar kegiatan siswa matapelajaran PKndengan DD/CT memiliki
beberapa keunggulan seperti bahan ajar dan lembar kegiatan siswa
matapelajaran PKn diawali dan diakhiri dengan "hening". Hal ini selain
dapat menciptakan situasi tenang sebelum perkuliahan, selain itu juga
dapat menghadirkan hati dan pikiran siswa-guru pada bahan ajar dan
lembar kegiatan siswa matapelajaran PKnsaat itu. Sebagaimana
dikemukakan oleh Swidler (2000) yang menekankan pentingnya hening
dalam segala aktifitas, karena menurutnya dengan hening seseorang telah
menjalin interaksi intern yakni dengan dirinya maupun ekstern yakni
dengan Tuhan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa hening membawa
manusia pada pengendapan hati dan pikiran, sehingga memudahkan
proses dialog mendalam.
Kebiasaan selalu berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan
termasuk kegiatan belajar mengajar, secara langsung telah membimbing
dan mengajarkan mahasiswa menjadi insan religius, sehingga akan
mendukung upaya pendidikan anak seutuhnya (PAS) yang pada
gilirannya akan sangat mendukung upaya mewujudkan manusia
Indonesia Seutuhnya (MIS). Kegiatan membangun komunitas juga
merupakan sesuatu yang sangat penting bagi masyarakat majemuk oleh
karena itu apabila dalam pembelajaran telah dibangun keterikatan
terhadap komunitas kecil (kelas), maka pada skala makro sikap dan
perilaku toleransi, menghargai perbedaan, terbuka terhadap kritik, berani
tampil beda, dan sikap terpuji lainnya akan dapat mengantarkan siswa
menjadi warga negara demokratis.
Demikian juga kegiatan penemuan konsep dan cooperative
learning, telah dapat menciptakan kebersamaan, dan dialog mendalam
tentang segala hal baru yang diterima mahasiswa, kegiatan ini juga
merangsang daya kritis siswa dalam menangkap permasalahan, mencari
solusi permasalahan dengan caranya sendiri dan bantuan orang lain, dan
mengambil keputusan yang tepat dan bermanfaat bagi diri dan
lingkungannya. Kegiatan refleksi juga merupakan sesuatu yang dapat
dipandang keunggulan pendekatan DD/CT, karena dapat sebagai sarana
saling introspeksi baik dosen mapun mahasiswa, juga ungkapan bebas
dari pandangan, usul terbaiknya demi kebaikan bersama. Refleksi
memiliki fungsi mendidik pada siswa untuk menyukai belajar dari
pengalaman yang telah dilaluinya. Ini sejalan dengan pendapat Gross
(2000) bahwa dengan refleksi terjadi proses penajaman pengalaman yang
peroleh dan mereproduksi ketika menyampaikan secara lesan.
Idealnya penilaian hasil belajar siswa harus dapat dilakukan
dengan banyak cara,meskipun dilapangan masih ditemukan banyak
kesulitan untuk melaksanakannya terutama untuk penilaian dimensi
nilai-nilai kewarganegaraan (civics Volues). Ini menjadi tatantangan bagi
pengembangan pembelajaran dengan DD/CT untuk mengembangkan
model penilaian yang dapat membantu guru lebih obyektif memberi
penilaian akan hasil belajar siswanya.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Bahan ajar dan LKS PKn dengan pendekatan DD/CT adalah model
bahan ajar dan LKS dengan lima komponen utama yakni hening (doa),
membangun komunitas, paparan materi pokok, refleksi dan doa.
Bahan ajar dan LKS PKn dengan DD/CT dibuat dipandang mampu
meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa, model ini dapat
mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif, karena bahan ajar ini
memberi peluang dan kesempatan lebih banyak kepada siswa untuk
ambil bagian dalam proses pembelajaran, mulai dari hening sampai
evaluasi. Interaksi belajar-mengajar juga semakin meluas tidak hanya
satu arah yakni guru-siswa, namun multi arah,bahkan kalau perlu dengan
nara sumber yang berada di luar lingkungan sekolahnya. Dengan model
bahan ajar dan LKS bernuansa DD/CT diharapkan prestasi siswa juga
semakin meningkat.

Saran
Bahan Ajar dan LKS Mata pelajaran PKn Berbasis DD/CT ini
perlu sempurnakan dengan cara mengimplementasikannya ke sekolah-
sekolah yang lebih beragam, utamanya implementasi pembelajaran
inovatif dengan menggunakan sarana bahan ajar dan LKS Berbasis
DD/CT ini.
Pembelajaran berbasis DD/CT terus melakukan penelitian lanjutan,
serta memuat hasil penelitian dalam jurnal-jurnal baik yang nasional
maupun internasional
Idealnya penilaian hasil belajar siswa harus dapat dilakukan
dengan banyak cara,meskipun dilapangan masih ditemukan banyak
kesulitan untuk melaksanakannya terutama untuk penilaian dimensi
nilai-nilai kewarganegaraan (civics Volues). Ini menjadi tantangan bagi
pengembangan pembelajaran dengan DD/CT untuk mengembangkan
model penilaian yang dapat membantu guru lebih obyektif memberi
penilaian akan hasil belajar siswanya.
DAFTAR RUJUKAN

Al Hakim, Suparlan dan Milan Rianto, 2002, Strategi Pembelajaran


Berdasarkan Pendekatan Deep Dialogue/Critical thinking,
Malang, PPPG PMP-IPS
Danial, E. Ar, 2002, Penulisan Karya Ilmiah, Jakarta, Direktorat SLTP,
Dirjen Dikdasmen
Depdiknas, 2000, Model Pengintegrasian Budi Pekerti ke dalam PPKn
untuk Guru SLTP, Jakarta, Dirjendikdasmen
Depdiknas, 2000, Kompetensi guru, Jakarta, PUSKUR-Dirjendikdasmen
Frazee, B.M. & Rudnitski, 1995, Integreted Teaching Methods: theory,
Classroom Applications, and Field-based Connection, New York.
Del mar Publishers.
GDI, 2001, Deep Dialogue and Critical Thinking as Instructional
Approach. Bahan pelatihan Pendidikan Anak seutuhnya (PAS)
kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Global dialogue Institute
dan UNICEF, Dilaksanakan di Malang tanggal 1--11 Juli 2001
Gross, Steven.J, 2000, Curricullun in Turbelence Era, Philadelphia
University Press,
Sri Suntari dan Sri Untari .2000. Pendekatan Deep Dialogue/Critical
Thinking dalam Pendidikan Indonesia, Malang. Diknas, PPPg
PMP-IPS
Sri Untari, 2002. Pembelajaran Kewarganegaraan dengan Pendekatan
Deep Dialogue/Critical Thinking Menyongsong KBK. Makalah
pelatihan guru PPKn MA se kabupaten Pasuruan.
Surakhmad,W. 1979. Metode Pengajaran Nasional. Jakarta, Jembatan
Swidler,L and paul Mojzes.2000. The Study of Religion in an Age Global
Dialogue. Philadelphia. Temple University Press
Kajian Dampak Implementasi Modul Physics
by Inquiry terhadap Pola Pertumbuhan
Penguasaan Konsep Fisika pada Model
Pembelajaran Investigasi Kelompok para
Calon Guru Universitas Negeri Malang

Eddy Supramono

Abstrac: The quality of physics conception domination is very


determined by study process which is done by students. According
to the observation of study process of fundamental physics and
interviewing with some students, it indicates that the students
difficulty is located in the way of comprehending and mastering
The fundamental physics lecture concepts. Students obtain the
concepts in the form of clarification and information from lecturer
and then ones will be applied to some problems. The Concepts
acquirement is not constitute to the understanding of erudite
process which ought to student experience. Some Various study
strategy have been strived to increase student concept domination.
One of the strategy is decanted in the module of Physics by
Inquiry. The Module applies study strategy; integrating erudite
process and physics concept, giving opportunity for students for
fundamental physics concept mastering through laboratory
activities.
Key words: Modul Physics by Inquiry, Penguasaan Konsep
Fisika, Model Pembelajaran Investigasi Kelompok

Mata Kuliah Fisika Dasar merupakan salah satu mata kuliah yang
termasuk pada rumpun Mata kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK)
yang diwajibkan bagi mahasiswa tahun pertama di FMIPA Universitas
Negeri Malang.
Eddy Supramono adalah dosen Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang
Berdasarkan kurikulum di Jurusan Fisika FMIPA Universitas
Negeri Malang, mata kuliah ini memiliki bobot 6 SKS yang terbagi
dalam mata kuliah Fisika Dasar I (3 SKS) pada semester I dan Fisika
Dasar II pada semester II (3 SKS). Mata kuliah ini secara langsung
didukung oleh mata kuliah praktikum Fisika Dasar I pada semester I (1
SKS) dan praktikum Fisika Dasar II (1 SKS) pada semester II.
Kualitas penguasaan konsep Fisika sangat ditentukan oleh proses
pembelajaran yang dialami mahasiswa. Berdasarkan pengamatan pada
proses pembelajaran Fisika Dasar dan wawancara dengan mahasiswa
menunjukkan bahwa kesulitan mahasiswa terletak dalam cara memahami
dan cara menguasai konsep-konsep yang ada dalam mata kuliah Fisika
Dasar. Mahasiswa memperoleh konsep dalam bentuk informasi dan
penjelasan dari dosen yang kemudian diterapkan dalam bentuk latihan
soal. Perolehan konsep tersebut tidak didasari pemahaman proses ilmiah
yang seharusnya dialami mahasiswa..
Berbagai strategi pembelajaran telah diupayakan untuk
meningkatkan penguasaan konsep mahasiswa. Salah satu strategi
pembelajaran tersebut diantaranya tertuang dalam modul Physics by
Inquiry. Modul ini menggunakan strategi pembelajaran yang
mengintegrasikan proses ilmiah dan konsep Fisika yang memberikan
kesempatan pada mahasiswa untuk menguasai konsep Fisika Dasar
melalui kegiatan laboratorium. Strategi pembelajaran yang digunakan
dalam modul Physics by Inquiry ini didasarkan pada kurikulum berbasis
laboratorium. Modul ini pertama kali dikembangkan oleh The Physics
Education Group di the University of Washington, dan diberikan pada
kelas kecil dengan jumlah mahasiswa per kelas 20 orang mahasiswa.
Hasilnya menunjukkan peningkatan penguasaan konsep Fisika yang
cukup signifikan serta mahasiswa memperoleh pengalaman langsung
tentang proses ilmiah.
Penelitian ini berorientasi pada Teori Kognitif Sosial. Melalui
pembentukan kelompok-kelompok dengan pola tertentu, yaitu pola
tutorial sebaya, kooperatif dan kolaborasi teman sebaya akan
tercipta interaksi sosial di antara siswa dengan pola tertentu pula,
sehuigga struktur kognitif siswa akan tumbuh dan berkembang dengan
kecenderungan-kecenderungan tertentu pula. Dengan demikian,
penelitian ini akan menghasilkan teori yang lebih rinci dalam cakupan
Teori Kognitif Sosial.
Untuk lebih tegasnya berdasarkan latar belakang di atas, masalah pelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Adakah pengaruh dampak dari Implementasi Physics by Inquiry
Model Pembelajaran Investigasi Kelompok terhadap Pola Pertum-
buhan Penguasaan Konsep Fisika Dasar para calon Guru Universitas
Negeri Malang?
b. Bagaimanakah interaksi dari dampak Implementasi Physics by Inquiry
Model Pembelajaran Investigasi kelompok yang dirancang dengan
pola tutorial sebaya, kooperatif dan kolaborasi teman sebaya pada
Calon Guru Universitas Negeri Malang?

METODE
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil jenis penelitian Quasy
Experimentation (semi eksperimen) dengan mengambil model Randomized
Control-Group Pretest-Paster - Design (Caenphell dan Stanley, 1968),
yang diperluas dengan melibatkan lebih dari satu variable O1, O2, O3,
O4 dan O5 adalah pengukuran pertumbuhan konsep Fisika dengan periode dua
mingguan, disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Rancangan Penelitian

GI O1 XI O2 X1 O3 XI O4 XI O5

G2 O1 X2 O2 X2 O3 X2 O4 X2 O5

G3 O1 X3 O2 X3 O3 X3 O4 X3 O5

G4 O1 X4 O2 X4 O3 X4 O4 X4 O5

Keterangan:
G1 = kelompok pertama X1 = perlakuan tutorial
G2 = kelompok kedua X2 = perlakuan kooperatif
G3 = kelompok ketiga X3 = perlakuan kolaboratif
G4 = kelompok keempat X4 = perlakuan acak
Data tentang pertumbuhan penguasaan konsep Fisika Dasar I
mahasiswa dijaring lewat hasil tes dengan menggunakan instrumen
prestasi, selengkapnya dapat diperiksa pada Lampiran-5, sedangkan data
tentang pengamatan interaksi mahasiswa dikumpulkan melalui instrumen
pengamatan interaksi dalam kelompok.
Data tentang pertumbuhan penguasaan konsep Fisika mahasiswa
dianalisis dengan regresi (Kleinbaum dan Kupper, 1984) dengan
menggunakan program SPSS Release-10 for windows. Analisis regresi
ini dimaksudkan untuk tujuan peramalan, dimana dalam model tersebut
ada sebuah variabel dependen, yaitu penguasaan konsep Fisika dan
variabel independen, yaitu waktu yang digunakan belajar. Dalam hal ini
ingin diselidiki apakah pertumbuhan penguasaan konsep Fisika Dasar I
mahasiswa tergantung atau tidak dengan banyaknya waktu yang
digunakan dalam penyampaian materi. Artinya, apakah penguasaan
konsep Fisika mahasiswa bertambah baik atau sebaliknya setelah mereka
menerima materi Fisika Dasar I pada model pembelajaran investigasi
kelompok dengan mengimplementasikan modul Physics by Inquiry.
Untuk melihat dampak yang muncul selama mahasiswa para calon
guru bekerja dengan model investigasi kelompok, data interaksi antar
mahasiswa akan dianalisis secara deskriptif yang meliputi keterampilan
kelompok dasar, intermediate dan lanjut untuk masing-masing pola,
yaitu tutorial sebaya, kooperatif dan kolaborasi.
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa baru jurusan
Fisika Universitas Negeri Malang yang terdiri dari 6 kelas, sedang
sebagai sampelnya digunakan sebanyak 4 kelas secara purposif dengan
pertimbangan bahwa kesulitan teknis pelaksanaan selama eksperimen
dapat dihindarkan.yang dipilih secara purposif dengan pertimbangan
tertentu dimana masing-masing kelas terdiri atas 25--30 mahasiswa.
Selanjutnya, sampel sebanyak 4 kelas di atas akan diambil 3
kelas sebagai kelas eksperimen, satu kelas sebagai kelas kontrol.
Analisis butir soal dilakukan dengan mengambil sekor pretes dari 2
kelas sampel penelitian. Instrumen kegiatan akan dikembangkan dengan
mengadopsi Modul Physics by Inquiry untuk materi Fisika Dasar I.
Sedangkan, pola pengelompokkan belajar mahasiswa untuk kelas
eksperimen akan dibentuk mengikuti aturan pengelompokkan secara pola
tutorial, pola kooperatif dan pola kolaboratif sebaya. Kelas kontrol akan
dikelompokkan secara acak dengan berpedoman dari absensi kelas.
Instrumen perlakuan dikembangkan dengan mengikuti pola pem-
belajaran kelompok. Dengan demikian, proses pembelajaran mengikuti
alur yang sama, kecuali pola pembentukan kelompoknya., sedangkan
instrumen kegiatan yang dikembangkan terdiri atas:
a. Instrumen pengamatan interaksi mahasiswa dalam kelompok
b. Instrumen pengukuran penguasan konsep Fisika yang berupa tes
dikembangkan berdasar materi Fisika Dasar I
c. Lembar Kerja Mahasiswa pada kegiatan praktikum dengan mengim-
plementasikan Modul Physics by Inquiry
Hasil uji coba instrumen penguasaan konsep Fisika menunjuk-
kan bahwa validitas telah memenuhi syarat instrumen yang cukup baik.
Dari 20 butir soal sebanyak 1 soal gugur. Dengan demikian tes
penguasaan konsep Fisika yang digunakan sebanyak 19 butir soal.
Reliabilitas tes tersebut ternyata cukup baik dengan koefisien
reliabilitas sebesar 0.57.

HASIL
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa untuk mengetahui apakah
penguasaan konsep Fisika mahasiswa bertambah baik atau sebaliknya
setelah mereka menerima materi Fisika Dasar I pada model pembelajaran
investigasi kelompok dengan mengimplementasikan modul Physics by
Inquiry, pertama kali yang dikerjakan adalah:

1. Uji Kesamaan Kemampuan Awal mahasiswa


Data yang digunakan untuk menguji kesamaan kemampuan awal
ini adalah hasil tes awal atau pretes dari masing-masing kelompok.
Analis yang digunakan adalah Anova dengan mengggunakan program
SPSS Release-10 for Windows dengan terlebih dahulu dilakukan uji
prasyarat analis, yaitu uji normalitas dan homogenitas varians dan
hasilnya seperti pada Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4 berikut.
Tabel 2 Uji Normalitas Data

Tes ts of Nor m ality


a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
ACAK .170 25 .060 .937 25 .178
TUTORIAL .196 25 .014 .925 25 .079
KOOPERAT .165 25 .079 .954 25 .381
KOLABORA .161 25 .095 .938 25 .190
a. Lillief ors Signif icance Correc tion

Tabel 3 Uji Homogenitas Varians

Tes t of Homogene ity of Variance s

PRETES
Levene
Statistic df 1 df 2 Sig.
.093 3 102 .964

Tabel 4 Uji Kesamaan Kemampuan Awal

ANOVA

PRETES
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Betw een Groups 149.059 3 49.686 .477 .699
Within Groups 10614.157 102 104.060
Total 10763.216 105

Dari Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4 terbukti bahwa sebaran data


kemampuan awal keempat kelompok data adalah normal karena harga
Sig. terbaca >0.05, yaitu pola acak, sig. 0.176; pola tutorial dengan sig.
0.079; pola kooperatif, sig. 0.381 dan pola kolaborasi dengan harga
sig.0.190 dan persyaratan homogen variannya juga terpenuhi (sign.
0.964>0.05).. Dengan demikian langkah selanjutnya adalah uji kesamaan
kemampuan awal masing-masing kelompok data dengan statistik Anova.
Hasil uji terlihat pada Tabel 4 yang menunjukkan bahwa kemampuan
awal keempat kelompok tidak berbeda atau sama. Kenyataan ini terbaca
bahwa harga Sig. sebesar 0.699 pada taraf signifikansi 5%. Pada bagian
Post Hoc Tests untuk menu Multiple Comparisons harga Turkey HSD
dan Bonferroni, terbaca harga sign. untuk factor 1, 2, 3, dan 4 atau factor
pola acak, tutorial, kooperatif dan kolaborasi adalah lebih besar dari
0.05, kenyataan ini bermakna bahwa keempat kelompok mempunyai
harga pretes yang sama atau tidak berbeda pada taraf signifikansi 5%.
Selanjutnya akan dilakukan uji beda postes dari masing-masing
kelompok.

2. Uji Beda Postes Antar Kelompok


Oleh karena keempat kelompok, hasil pretesnya menunjukkan
tidak berbeda pada taraf signifikansi 5% atau sama, maka langkah
selanjutnya adalah menguji hasil postes masing-masing kelompok
dengan statistik Anova.Uji prasyarat analis menunjukkan bahwa keempat
kelompok berdistribusi normal, terbaca pada Tabel 5, sedangkan uji
prasyarat homogenitas data dapat dibaca pada Tabel 6. Hasil
menunjukkan bahwa kempat kelompok data adalah homogen. Dengan
demikian uji beda postes dari keempat kelompok dapat dilakukan. Hasil
analisis menunjukkan bahwa harga Sign. yang muncul adalah sebesar
0.000, kenyataan ini terbaca pada Tabel 7. Harga ini adalah lebih kecil
dari 0.05 artinya bahwa kempat harga postes dari masing-masing
kelompok berbeda secara meyakinkan pada taraf signifikansi 5%.

Tabel 5 Uji Normalitas Kelompok Data


Tes ts of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
ACAK .105 25 .200* .971 25 .665
TUTOR .191 25 .019 .943 25 .243
KOOPER .208 25 .007 .931 25 .104
KOLABO .142 25 .200* .955 25 .394
*. This is a low er bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
Tabel 6 Uji Homogenitas Varians

Tes t of Homogene ity of Variance s

POSTES
Levene
Statistic df 1 df 2 Sig.
1.120 3 102 .345

Tabel 7 Uji Beda Postes

ANOVA

POSTES
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Betw een Groups 3438.592 3 1146.197 10.224 .000
Within Groups 11434.934 102 112.107
Total 14873.526 105

Kenyataan ini bermakna bahwa keempat kelompok memang


mempunyai harga postes yang berbeda secara meyakinkan pada taraf
signifikansi 5%. Bila diperhatikan harga mean postes yang paling tinggi
ada pada kelompok kolaborasi, artinya bahwa kalau akan membentuk
kelompok belajar mahasiswa, maka akan tepat bila kelompok tersebut
dibentuk dengan mengikuti aturan pola kolaborasi, daripada kooperatif,
atau tutorial apalagi belajar kelompok dengan pola acak.

3. Pertumbuhan Penguasaaan Konsep Fisika Dasar I Mahasiswa


Setelah tahap-tahap di atas dilakukan dan hasilnya telah jelas,
selanjutnya dilakukan uji beda pertumbuhan penguasaan konsep Fisika
Dasar I. Untuk keperluan uji ini, data-data yang diperlukan adalah sekor
pretes dan postes masing-masing kelompok. Sebelumnya, dilakukan
terlebih dulu uji prasyarat analisis yaitu uji normalitas dan uji
homogenitas varians masing-masing kelompok data dan hasilnya seperti
ditunjukkan pada Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 berikut.
Tabel 8 Uji Normalitas Kelompok Data

Tes ts of Norm ality


a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
ACAK .228 25 .002 .918 25 .051
TUTOR .123 25 .200* .954 25 .382
KOOPER .145 25 .185 .949 25 .316
KOLABO .129 25 .200* .962 25 .473
*. This is a low er bound of the true signif icance.
a. Lillief ors Signif icance Correction

Tabel 9 Uji Homogenitas Varians

Tes t of Homogene ity of Variance s

PRTBH
Levene
Statistic df 1 df 2 Sig.
.746 3 102 .527

Tabel 10 Uji Beda Pertumbuhan Penguasaan Konsep Fisika

ANOVA

PRTBH
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Betw een Groups 48.495 3 16.165 8.410 .000
Within Groups 196.044 102 1.922
Total 244.538 105

Hasil uji yang ditunjukkan pada Tabel 8 menghasilkan bahwa data


pertumbuhan masing-masing kelompok adalah normal dan uji
homogenitas varians pada Tabel 9 menunjukkan bahwa keempat
kelompok data adalah berasal dari varians yang sama. Dengan demikian,
uji beda pertumbuhan dapat dilakukan yaitu dengan statistik Anova dan
hasilnya dapat diperiksa pada Tabel 10 di atas yang terbaca bahwa harga
sign. sebesar 0.000. Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan keempat
pola kelompok adalah berbeda secara signifikans pada taraf signifikansi
5%. Pada bagian Post Hoc Tests pada Multiple Comparisons
memperkuat pernyataan di atas. Tampak bahwa antara kelas kontrol
dengan kelas eksperimen secara keseluruhan berbeda secara signifikans,
yang ditandai dengan tanda *, namun pertumbuhan untuk masing-masing
pola terhadap pola lain pada kelas eksperimen nampaknya tidak ada
perbedaan. Hal ini karena harga sign antara tutorial dengan kooperatif
sebesar 0.999 dan sebesar 0.865 dengan kolaborasi. Sedangkan, bila
kooperatif dibandingkan dengan kolaborasi mendapatkan harga sign.
0.916. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa walaupun
pertumbuhan untuk masing-masing pola berbeda tetapi mean dari
masing-masing pola hampir sama, sehingga setelah dilakukan Post Hoc
Tests nampak bahwa perbedaan pertumbuhan penguasaan tersebut akan
nyata bila kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol, tetapi
tidak ada perbedaan untuk masing-masing pola kelompok.

4. Pola Pertumbuhan Penguasaan Konsep


Di bagian atas telah dihasilkan perhitungan statistik tentang
pertumbuhan penguasaan konsep Fisika pada masing-masing pola.
Masalahnya sekarang adalah bagaimanakah bentuk pola pertumbuhan
tersebut untuk masing-masing pola? Untuk menjawab pertanyaan ini
langkah-langkah yang dilakukan adalah:
 Uji prasyarat analisis, yaitu uji normalitas dan homogenitas pretes dan
postes yang hhasilnya telah memnuhi persyaratan.
 Dengan menggunakan program SPSS pada statistik regresi dengan
mengambil menu Curve Fit, data pretes, tes-1, tes-2, tes-3 dan postes
(dilakukan setiap 2 minggu) diolah. Hasil olahan menunjukkan
gambaran-gambaran pola pertumbuhan yang terjadi untuk masing-
masing pola kelompok yang dibentuk.
Hasil analisis dapat ditunjukkan seperti berikut. Pola acak, harga F
untuk Method.. Linier sebesar 0.24726, sedangkan method Quadrati F =
1.26153, method.. Compound, Growth dan Exponent sebesar 0.12672
seperti disajikan pada Tabel 11 di bawah, maka dapat disimpulkan
bahwa penguasaaan konsep Fisika mahasiswa untuk pola kelompok acak
tidak linier terhadap waktu yang digunakan, tetapi cenderung kearah pola
Quadrati.

Tabel 11 Curve Fit Pola Pertumbuhan Acak

Analysis of Variance
Method.. Harga F
Linier 0.12672
Logarith 0.64375
Quadrati 1.26153
Compound 0.12672
Growth 0.12672
Exponent 0.12672

Pola tutorial sebaya, harga F untuk Method.. Linier sebesar


44.40123 yang mana harga ini masih lebih kecil dari Method
Compound, Growth dan Exponent, yaitu 45.02156 dengan beda sebesar
0.62033, sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan penguasaan
konsep pola tutorial adalah linier namun lebih mendekati kearah
eksponensial disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Curve Fit Pola Pertumbuhan Tutorial Sebaya

Analysis of Variance
Method Harga F
Linier 44.40123
Logarith 37.71022
Quadrati 22.05305
Compound 45.02156
Growth 45.02156
Exponent 45.02156

Pola kooperatif, harga F untuk method. Linier sebesar 25.12268,


Qudrati 14.16240, sedangkan Metod Compound, Growth, dan Exponent
sebesar 25.36603 (Tabel 13), sehingga dapat disimpulkan bahwa per-
tumbuhan penguasaan konsep Fisika kelompok kooperatif adalah linier
cenderung kearah Metod Compound, Growth dan Exponent Metod.

Tabel 13 Curve Fit Pola Pertumbuhan Kooperatif

Analysis of Variance
Method Harga F
Linier 25.12268
Logarith 18.81884
Quadrati 14.16240
Compound 25.36603
Growth 25.36603
Exponent 25.36603

Compound, Growth dan Exponent. Pola Kolaborasi, harga F untuk


Method Linier sebesar 39.92937, sedangkan Metod Compound, Growth
dan Exponent harga F-nya sebesar 39.92697 (Tabel 14). Kedua harga
di atas perbedaannya cukup kecil, namun secara uji statistik dengan taraf
signifikans 5%, perbedaaan tersebut adalah nyata.
Pola Kolaborasi, harga F untuk Method.. Linier sebesar 39.92937,
sedangkan Metod Compound, Growth, dan Exponent harga F-nya
sebesar 39.92697 (Tabel 15). Kedua harga di atas perbedaannya cukup
kecil, namun secara uji statistik dengan taraf signifikans 5%, perbedaaan
tersebut adalah nyata.

Tabel-15 Curve Fit Pola Pertumbuhan Kolaborasi

Analysis of Variance
Method.. Harga F
Linier 39.92937
Logarith 30.86311
Quadrati 20.92887
Compound 39.92697
Growth 39.92697
Exponent 39.92697
Dengan demikian pola kolaborasi pertumbuhan penguasaan
konsepnya lebih kearah linier dibandingkan dengan Metod.. Compound,
Growth dan Exponent dengan beda yang cukup kecil yaitu sebesar
0.002.

Hasil Pengamatan Interaksi


Di atas telah dipaparkan hasil penguasaan konsep pada masing-
masing pola kelompok belajar, yaitu kelompok acak, tutorial sebaya,
kooperatif dan kolaborasi. Bagaimana halnya sekarang dengan hasil
pengamatan interaksinya?
1. Pola Tutorial Sebaya
a. Keterampilan Kelompok Dasar: Tutor berperanan aktif dalam
mengawali pengambilan kesepakatan (83.33%), namun setiap
keputusan yang diambil kelompok selalu berdasar keputusan
kelompok (66.67%) artinya sifat individu tidak muncul. Disini
tampak peranan tutor yang cukup dominan (50%) yaitu megajak
anggota kelompok untuk berpartisipasi. (83.33%)
b. Keterampilan Kelompok Intermediate: Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa 83.33% akan mendengarkan secara
seksama pendapat dari anggota kelompok, artinya ada kesadaran
bahwa pendapat orang lain mungkin akan berguna bagi dirinya
sehingga perlu untuk dicermati, sehingga kebenaran suatu
jawaban atau pernyataan diambil setelah melalui diskusi
(66.67%).
c. Keterampilan Kelompok Lanjut: Bahwa kebenaran suatu
jawaban atau pernyataan diambil setelah melalui diskusi seperti
ditunjukkan di atas, pada akhirnya tutorlah yang berusaha untuk
memperdalam permasalahan sehingga memperoleh jawaban akhir
yang dianggap benar (83.33%) dan terakhir tutor menunjukkan
bukti pada anggota kelompok disertai alasan-alasannya
(83.33%).
2. Pola Kooperatif
a. Keterampilan Kelompok Dasar: Mahasiswa yang berprestasi
tinggi dominan untuk mengawali pengambilan kesepakatan
(50%), namun tidak menyumbangkan banyak pemikiran dalam
memecahkan masalah (16.67%), bersuara pelan dalam menge-
mukakan pendapat (33.33%) dan justru anggota kelompoknya
yang mengajak mengemukakan pendapat (50%), namun dia tetap
mengarahkan kerja kelompoknya (50%).
b. Keterampilan Kelompok Intermediate: Menunjukkan pengharga-
an dan empati pada penampilan anggota ditunjukkan oleh anggota
yang berprestasi rendah (33.33%), sedangkan anggota berprestasi
tinggi dan sedang justru lebih rendah (16.67%). Jadi, nampak
disini bahwa anggota yang merasa berprestasi tinggi merasa tidak
begitu memerlukan akan pendapat anggota yang berprestasi
rendah
c. Keterampilan Kelompok Lanjut: Memperdalam permasalahan
dalam upaya memperoleh jawaban yang benar rupanya masih
dikendalikan oleh anggota yang berkemampuan tinggi (66.67%),
namun dia tidak berusaha menunjukkan bukti dan alasannya
mengapa jawaban bisa demikian justru yang berkemampuan
sedang (83.33%) yang lebih dominan. Masalahnya adalah apakah
penjelasan ini benar atau salah, itulah pertanyaannya. Namun
demikian setiap anggota bersedia berkompromi untuk mencapai
jawaban akhir. Poin inilah yang utama dan penting dilakukan oleh
separoh dari kelompok yang melakukan kegiatan (50%).

3. Pola Kolaborasi
a. Keterampilan Kelompok Dasar: Mengawali pengambilan
kesepakatan muncul dari anggota dengan predikat berprestasi
tinggi (42.86%). Untuk menyumbangkan pemikiran rupanya
diprakarsai oleh setiap anggota kelompok (28.57%), kecuali yang
berprestasi rendah (14.29%). Anggota dengan prestasi paling
tinggi nampaknya memegang kendali saat diskusi kelompok.
Kelompok ini mengarahkan bagaimana kelompok harus bekerja
(66.67%). Inilah yang penting karena dengan demikian yang
merasa punya prestasi rendah akan menjadi terhimbas untuk
belajar.
b. Keterampilan Kelompok Intermediate: Yang menarik pada
tingkat keterampilan ini adalah bahwa dalam mengambil
kesimpulan tugas-tugas kelompok, hampir semua kelompok baik
yang anggotanya berprestasi tinggi ataupun kelompok yang
berprestasi pada urutan yang lebih rendah semua memegang
kendali pengambilan keputusan. Hal ini tampak dari hasil urutan
pengamatan interaksinya yaitu sebesar 28.57%, 28.57%, 14.29%
dan 28.57%, Hasil ini sama saat kelompok merinci tugas dan
jawaban.
c. Keterampilan Kelompok Lanjut: pada poin untuk merinci tugas
dan jawaban hampir semua kelompok anggotanya aktif me-
lakukan ini yang hasil pengamatannya adalah 28.57%, 28.57%,
14.29% dan 28.57% tetapi untuk memperdalam permasalahan
anggota kelompok yang berprestasi paling tinggi yang lebih
berperanan (42.86%), demikian juga saat menunjukkan bukti atau
memberi alasan terhadap jawaban yang dikemukakannya
((42.86%). Dalam menentukan prioritas dalam memecahkan
masalah, anggota yang berprestasi tinggi kembali memegang
kendali, yaitu sebesar 57.14%

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil kajian disertai dengan analisis statistik dari
data-data yang didapatkan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Pola pertumbuhan penguasaan konsep Fisika Dasar I mahasiswa
FMIPA UM untuk masing-masing pola pengelompokkan
menunjukkan pola yang berbeda-beda. Untuk pola acak cenderung
kearah pola quadrati, pola tutorial sebaya mahasiswa cenderung
kearah pola Compound, Growth dan Exponent, sedangkan yang
mengikuti pola linier adalah pola kolaborasi.
2. Hasil pengamatan interaksi antar anggota kelompok belajar
menunjukkan bahwa semakin tinggi kebersamaan dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi, maka akan membuat
semakin baik pola pertumbuhan penguasaan konsep mereka.

Saran
Dari kesimpulan yang didapatkan seperti diungkap di atas, dapat
disarankan hal-hal sebagai berikut.
1. Mencermati hasil perhitungan statistik yang telah dilakukan, bahwa
pola kolaborasi ternyata mampu membuat pertumbuhan penguasaan
konsep Fisika Dasar I mahasiswa FMIPA Universitas Negeri Malang
linier terhadap waktu yang digunakan belajar, maka disarankan
kepada siapapun sekiranya akan membentuk kelompok belajar
seyogyanya membentuk kelompok belajar dengan pola kolaborasi.
2. Hasil pengamatan interaksi antar anggota kelompok menunjukkan
bahwa kebersamaan untuk mau bekerja bersama-sama, berdiskusi,
saling menghargai pendapat orang lain merupakan faktor penting
untuk diperhatikan karena erat kaitannya dengan hasil yang
didapatkan nantinya, utamanya prestasi belajar mereka. Inilah hal
utama untuk itu ditekankan sebelum kelompok terbentuk.
DAFTAR RUJUKAN

Dahar, R. W. 1986. Interaksi Belajar Mengajar IPA. Buku Materi Pokok


4 Universitas Terbuka. Penerbit Karunika. Jakarta
McDermott, L.C. 1990. A Perspective on Teacher Preparation in
Physics and Other Sciences: The Need for Special Science Course
for Teacher. American Journal of Physics. 58 (8).
McDermott, L. C., Shafferi, P. S., & Rosenquist, M.L. 1996. Physics by
Inquiry: An Introduction to Physics and the Physical Sciences.
John Wiley & Sons, Inc. New York
McDermott, L. C., Shafferi, P. S., & Constantinou, C. P.. 2000.
Preparing Teachers to Teach Physics and Physical Science by
Inquiry. Physics Education. 35(6).
Marzano, R. J., Pickering, D., & McTighe, J.. 1993. Assessing Student
Outcome: Performance Assessment Using the Dimensions of
Learning Model. ASCD Publications. Virginia.
National Research Council. 1996. National Science Education Standard.
National Academy Press. Washington DC.
Rohandi, R. 2001. Menuju Kebiasaan Bertanya dalam Pembelajaran
Sains di Sekolah Dasar. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sund, R. B. & Trowbridge, L. W 1973. Teaching Science by Inquiry in
the Secondary School. Second Edition. A Bell & Howell
Company. Columbus, Ohio.
Trowbridge, L. W., Bybee, R. W. & Sund, R. B.1981. Becoming a
Secondary School Science Teacher. Third Edition. A Bell &
Howell Company. Columbus, Ohio
Skipping sebagai Strategi Pemrosesan
Kosakata dalam Membaca Pemahaman oleh
Pembelajar Bahasa Inggris

Kusumarasdyati

Abstract: Proficient readers usually skip unknown words that they


encounter in a reading text. This study attempts to examine the use
of skipping as a lexical processing strategy in reading
comprehension and explore the reasons for utilizing this strategy.
The findings reveal that most proficient readers do skip unknown
words, and there are five reasons underlying the application of this
strategy. Some recommendations are made based on these
findings.
Key words: reading, vocabulary, strategy, skipping, unknown
words

Dalam membaca pemahaman, pembelajar Bahasa Inggris sebagai bahasa


asing acapkali menemui kata-kata yang tidak mereka ketahui maknanya.
Untuk mengatasi masalah kosakata seperti ini, mereka menerapkan
berbagai macam strategi pemrosesan kata (lexical processing strategies),
misalnya melihat kamus untuk mencari makna kata tersebut. Selain
penggunaan kamus, ada beberapa strategi pemrosesan kata lain yang
dapat diterapkan oleh para pembelajar bahasa Inggris, dan strategi-
strategi tersebut telah disusun menjadi taksonomi oleh beberapa pakar.
Richek, List dan Lerner (1983), misalnya, mengusulkan taksonomi yang
terdiri dari dua strategi saja, yaitu analisis terhadap struktur kata dan
penggunaan konteks untuk menebak makna kata. Namun taksonomi
yang disusun oleh Robinson (1977) terdiri dari tiga strategi, yaitu
membaca secara ekstensif (wide reading), menggunakan kamus, dan
menebak makna kata berdasarkan konteks.
Kusumarasdyati adalah dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FBS Universitas
Negeri Surabaya
Fraser (1999) juga membagi strategi pemrosesan kata menjadi tiga:
infer (menebak makna kata), consult (melihat makna kata di kamus) dan
ignore atau skipping (mengabaikan makna kata). Dari beberapa
taksonomi di atas, nampak bahwa klasifikasi strategi yang paling
lengkap disusun oleh Fraser (1999). Dua strategi yang diusulkan oleh
Richek et al dapat dimasukkan ke dalam kategori infer, sedangkan wide
reading yang dikemukakan oleh Robinson sebenarnya tidak dapat
dikategorikan sebagai strategi tersendiri karena pembelajar biasanya
menebak makna kata atau menggunakan kamus ketika sedang membaca
secara ekstensif. Karena itu penelitian ini berpijak pada taksonomi
strategi pemrosesan kata yang disusun oleh Fraser.
Selain lebih lengkap dibandingkan dengan yang lain, taksonomi
Fraser juga memiliki kelebihan lain, yaitu mengakui ignore sebagai salah
satu strategi. Selama ini banyak peneliti dan pengajar bahasa yang
menganggap bahwa menebak makna kata atau melihat kamus saja yang
bisa dikategorikan sebagai strategi, dan menurut mereka apabila kedua
strategi ini gagal dalam membantu pembelajar untuk menemukan makna
kata maka kata tersebut ‗cukup‘ dilewati saja. Mereka tidak menyadari
bahwa melewati kata yang tidak ditemukan maknanya sebenarnya juga
merupakan strategi atau teknik yang dilakukan oleh pembelajar dalam
menghadapi kata-kata sulit. Karena anggapan yang kurang tepat seperti
ini, strategi berupa melewati kata-kata sulit-atau skipping unknown
words-tidak terlalu diperhatikan oleh para peneliti dan pengajar bahasa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini mencoba untuk
mendalami skipping sebagai salah satu strategi pemrosesan kata yang
digunakan oleh pembelajar bahasa.
Skipping dalam membaca pemahaman sebenarnya telah diketahui
oleh para pakar sejak dekade 1970-an. Penelitian mengenai gerakan mata
(eye movement) menemukan bahwa mata tidak bergerak secara kontinyu
dari satu kata ke kata berikutnya ketika membaca, melainkan berhenti
sebentar pada suatu titik dalam teks kemudian melompat dengan cepat ke
titik yang lain dalam teks yang sama (Rayner dan McConkie, 1976;
Rayner dan Pollatsek, 1989; Reichele et al, 1998). Proses berhentinya
mata pada suatu titik disebut fixation, sedangkan proses melompatnya
pandangan ke titik lain disebut saccade. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa pembelajar mengumpulkan informasi lebih banyak mengenai teks
pada tahap fixation di suatu kata, dan amat sedikit informasi yang
diperoleh pada tahap saccade karena pembelajar melewati beberapa kata
begitu saja selama pandangan melompat dari satu titik ke titik lain. Kalau
pun ada kata yang terbaca, pembelajar biasanya tidak memberikan
perhatian yang terlalu banyak pada kata tersebut (Reichele et al, 1998).
Hasil pengamatan terhadap gerakan mata di atas memberikan bukti
yang kuat bahwa pembelajar memang melakukan skipping atau melewati
beberapa kata ketika membaca suatu teks. Selain bukti dari sudut fisik
pembelajar, bukti lain diberikan oleh penelitian mengenai penggunaan
strategi dari sudut psikolinguistik. Penelitian Hosenfeld (1976),
misalnya, menunjukkan bahwa pembelajar yang kemampuan
membacanya baik biasanya melewati kata-kata yang tak diketahui
maknanya karena kata-kata tersebut dipandang tidak terlalu penting
untuk memahami makna keseluruhan bacaan. Selain itu, Hosenfeld juga
menemukan bahwa kata-kata yang dianggap penting pun terkadang
dilewati saja oleh para pembelajar karena gagal mendapatkan makna
yang sesuai setelah mencoba beberapa kali untuk melihat kamus atau
menebak dari konteks. Hal ini sejalan dengan temuan dari penelitian
Paribakht dan Wesche (1999), yang menunjukkan bahwa para subjek
penelitiannya mengabaikan sekitar separuh dari kata-kata sulit yang
mereka temukan dalam bacaan karena mereka menganggap kata-kata
tersebut tidak memberikan kontribusi yang signifikan untuk pemahaman
keseluruhan bacaan. Hasil penelitian kuantitatif Fraser (1999)
mendukung temuan di atas, hanya saja data numerik yang dihasilkan
agak berbeda. Menurut Fraser, pembelajar melewati 24% kata yang tidak
mereka ketahui maknanya. Jumlah ini lebih rendah daripada pemakaian
strategi menebak makna kata (44%) dan melihat kamus (29%). Sekitar
62% dari penggunaan strategi melewati kata ini merupakan strategi
tunggal (tanpa didahului atau diikuti oleh menebak atau melihat kamus),
sedangkan 35% merupakan strategi yang digunakan setelah gagal
menebak makna kata.
Meskipun hasil penelitian di atas memberikan bukti empiris akan
adanya strategi skipping dalam menghadapi kata-kata sulit di bacaan,
hingga saat ini tidak banyak yang meneliti secara mendalam mengapa
pembelajar melewati begitu saja kata-kata sulit dalam teks yang mereka
baca. Hosenfeld (1976) serta Paribakht dan Wesche (1999) menemukan
bahwa alasan skipping adalah anggapan pembelajar bahwa kata-kata sulit
tersebut tidak penting untuk pemahaman bacaan keseluruhan. Pressley
dan Afflerbach (1995) menyatakan bahwa pembelajar melewati kata sulit
karena gagal menebak maknanya dari konteks, selain alasan yang disebut
di atas. Penelitian-penelitian mereka tidak secara khusus mendalami
strategi skipping, sehingga perlu diteliti lebih jauh apakah hanya kedua
alasan itu yang memicu terjadinya skipping. Maka dari itu, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui alasan pembelajar bahasa Inggris yang
kemampuan membacanya baik melewati kata-kata yang tidak mereka
ketahui maknanya dalam membaca pemahaman.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mendukung
pandangan yang menyatakan bahwa membaca pemahaman berlangsung
secara top-down (pembelajar menggunakan pengetahuan yang telah dia
miliki untuk memahami bacaan) dan bukannya secara bottom-up
(pembaca memproses setiap kata satu persatu kemudian menggabungkan
semua kata tersebut untuk memahami bacaan secara keseluruhan). Selain
itu, penelitian ini juga memberikan manfaat praktis bagi para pengajar
bahasa Inggris karena hasilnya dapat memberikan gambaran mengenai
penggunaan strategi skipping yang efektif oleh para pembelajar yang
kemampuan membacanya baik. Dengan demikian, pengajar dapat
membimbing pembelajar yang kemampuan membacanya sedang atau
kurang dengan jalan meminta mereka untuk menerapkan strategi yang
digunakan oleh pembaca yang lebih baik kemampuannya.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang
bertujuan untuk menjelaskan secara mendalam alasan mengapa para
pembaca yang kemampuannya baik mengabaikan kata-kata sulit yang
mereka temui dalam bacaan berbahasa Inggris. Data kualitatif diambil
dari 8 mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Universitas Negeri Surabaya
(Unesa) yang terpilih menjadi subjek penelitian dengan memakai metode
purposive sampling dari populasi sejumlah 74 mahasiswa. Sampel ini
diambil dari populasi berdasarkan kriteria berupa kemampuan membaca
pemahaman yang baik. Untuk mengetahui kemampuan tersebut,
diberikan tes membaca pemahaman DIALANG (dapat diunduh dari
http://www.dialang.org) yang telah menjadi standardized test kepada
semua anggota populasi, sehingga diperoleh skor yang merefleksikan
kemampuan membaca mereka. Selanjutnya, skor ini diurutkan dari
tertinggi hingga terendah dan disusun menjadi persentil. Mahasiswa yang
menduduki persentil paling atas dipilih menjadi sampel penelitian.
Proses seleksi ini dapat dijelaskan di Gambar 1.

Gambar 1 Cara seleksi sampel menggunakan persentil

10% 10%

Skor Skor
tertinggi terendah
(sampel)

Persentil teratas terdiri dari 10% dari mahasiswa yang mendapat


skor tertinggi dalam tes membaca pemahaman DIALANG. Telah
disebutkan sebelumnya bahwa populasi terdiri dari 74 mahasiswa,
namun persentil teratas dibulatkan menjadi 8 (dari 7,4) sehingga didapat
sampel sejumlah 8 mahasiswa. Kedelapan mahasiswa ini diasumsikan
memiliki kemampuan membaca pemahaman yang baik karena skor
tinggi yang mereka capai.
Untuk mendapatkan data dari subjek penelitian ini, diperlukan
empat instrumen penelitian: tes membaca pemahaman DIALANG,
concurrent verbal protocols, wawancara retrospektif, dan observasi.
Instrumen pertama (tes membaca pemahaman) tidak dibahas secara rinci
di sini karena hanya digunakan untuk memilih sampel dari populasi.
Informasi lebih jauh mengenai tes ini dapat diperoleh dari laman
(website) yang disebut di atas. Instrumen kedua adalah concurrent verbal
protocols, yaitu proses berpikir yang diucapkan dengan suara keras.
Dalam menggunakan instrumen ini, peneliti memberikan dua teks
(masing-masing terdiri dari 812 dan 344 kata) kepada para mahasiswa
untuk dibaca dengan keras, dan selama membaca mereka diminta untuk
mengucapkan kata-kata sulit yang mereka temui dan strategi mereka
dalam mengatasi kata-kata sulit tersebut. Dengan kata lain, apa pun yang
mereka pikirkan selama membaca harus mereka ucapkan dengan suara
keras sehingga dapat diketahui secara persis proses berpikir mereka
ketika mereka mengatasi kata-kata sulit. Ucapan mereka direkam dalam
kaset oleh peneliti, kemudian ditulis transkripnya dengan menggunakan
notasi seperti yang terdapat di Tabel 1.

Tabel 1 Notasi untuk transkrip hasil concurrent verbal protocols

Format Deskripsi
Huruf biasa Kata-kata yang diucapkan oleh subjek penelitian
[Cetak miring, di dalam Kata-kata dari bacaan yang dibaca dengan keras oleh
kurung] subjek penelitian
[Cetak tebal, di dalam Kata-kata dari kamus yang dibaca dengan keras oleh
kurung] subjek penelitian
Garis bawah Kata-kata sulit yang tidak diketahui maknanya
(0.0) Panjangnya jeda dalam menit dan detik

Instrumen ketiga adalah wawancara retrospektif, di mana peneliti


mewawancarai mahasiswa mengenai hal-hal yang perlu diklarifikasi dari
hasil concurrent verbal protocols setelah mahasiswa selesai membaca
dua teks. Wawancara yang semi terstruktur ini berpegang kepada dua
pertanyaan dasar, yaitu: (1) Apakah anda mengetahui makna kata ini?,
dan (2) Apabila anda tidak mengetahui maknanya, mengapa anda lewati
kata ini sewaktu membaca tadi? Pertanyaan tambahan dapat diajukan
sesuai kebutuhan. Seperti instrumen kedua, semua wawancara dengan
subjek penelitian direkam dalam kaset dan dibuat transkripnya.
Instrumen yang keempat adalah observasi, di mana peneliti
mengamati segala perilaku mahasiswa selama membaca dua teks dan
mencatat hal-hal yang relevan dengan strategi skipping. Ketika
mahasiswa membaca teks, peneliti memegang teks yang sama dan telah
dibubuhi tanda pada beberapa kata yang diprediksi sulit bagi mahasiswa.
Misalnya, di teks terdapat kalimat berikut: ―I had discovered its peace
and tranquility when tramping about at a loose end the previous
summer.‖ Kata-kata tranquility, tramping dan loose diperkirakan tidak
diketahui maknanya oleh mahasiswa, karena itu peneliti memberi setrip
pendek di bawah kata-kata tersebut. Apabila mahasiswa mencoba
menebak makna tranquility ketika membaca teks dan tidak menebak atau
melihat kamus ketika membaca tramping dan loose, maka peneliti
memberi tanda sebagai berikut di teks yang dia pegang: ―I had
discovered its peace and tranquility when tramping about at a loose end
the previous summer.‖ Garis bawah di keseluruhan kata menandakan
bahwa mahasiswa mencoba mencari makna tranquility, tetapi
nampaknya melewati kata tramping dan loose karena keduanya masih
ditandai setrip pendek. Kata-kata yang ditandai setrip pendek ini akan
ditanyakan dalam wawancara retrospektif setelah proses membaca
selesai, seperti yang telah dijelaskan dalam bahasan mengenai instrumen
ketiga di atas.
Data yang diperoleh dari concurrent verbal protocols akan
dianalisis terlebih dahulu dengan cara coding, atau memasukkan ujaran
mahasiswa selama membaca ke kategori yang sesuai: menebak makna
kata (guessing), melihat kamus (consulting), atau melewati kata-kata
sulit (skipping). Hanya data yang masuk kategori terakhir ini lah yang
dianalisis lebih lanjut. Hasil coding ini akan ditriangulasikan dengan
hasil observasi. Dalam arti, ujaran yang dikategorikan skipping
seharusnya cocok dengan hasil observasi, yaitu kata-kata yang diberi
setrip pendek di bawahnya. Setelah didapat daftar kata-kata yang
dilewati oleh setiap mahasiswa, dicari alasan-alasannya dari hasil
wawancara, sehingga didapat analisis yang lengkap mengenai kata yang
dilewati beserta alasan melakukan skipping.

HASIL
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa yang
kemampuan membacanya tergolong baik melewati kata-kata sulit yang
ditemui dalam bacaan, sehingga penelitian ini mendukung temuan
Hosenfeld (1976) yang telah dibahas di atas. Dari 8 mahasiswa yang
menjadi subjek penelitian ini, tujuh diantaranya melewati begitu saja
kata-kata yang tidak mereka ketahui maknanya. Hanya satu mahasiswa
(Catrin) tidak pernah mengabaikan kata-kata sulit dan cenderung melihat
kamus untuk mencari makna kata-kata tersebut. Data selengkapnya
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah Kata-kata yang Sulit dan Dilewati oleh Mahasiswa

Nama mahasiswa* Σ kata sulit Σ kata dilewati


Selena 45 25
Rita 35 2
Homer 54 27
Melisa 57 35
Andra 37 25
Yulia 52 43
Catrin 96 0
Didin 49 18
* Nama samaran

Ada sebagian mahasiswa yang mengabaikan hanya 2 kata yang


tidak diketahui maknanya, tetapi ada juga yang melewati hingga 43 kata.
Jumlah yang bervariasi ini tentunya dilatarbelakangi oleh alasan-alasan
yang berbeda pula.
Para mahasiswa yang mengabaikan kata tersebut berpendapat
mereka masih bisa memahami apa yang disampaikan di dalam teks
walaupun mereka tidak mengetahui makna kata-kata yang dilewati,
misalnya seperti yang dijelaskan oleh Andra (A) dalam wawancara
retrospektif dengan peneliti (P).

P : Ada beberapa tadi yang anda tidak tahu artinya tapi anda tetap baca.
A : He eh.
P : Yang anda tidak tahu artinya, anda tadi merasa, ―Saya tidak tahu
artinya tapi saya lewati aja‖?
A : Ada yang merasa terus ditebak-tebak. Sentencenya nyambung,
ngerti maksudnya, ya udah diambil. Nggak memperdulikan. Jadi
yang penting kata kunci dari sentence itu udah dapet.
P : Jadi yang anda cari itu, kalo itu kata kunci?
A : Ya. Jadi selama kata itu nggak penting saya nggak mau. Biarpun itu
katanya susah, kalo bukan key of the sentence, saya nggak mau
nyari.
Pembaca yang baik memiliki kemampuan untuk memilah mana
kata-kata kunci (keywords) yang penting untuk pemahaman bacaan
secara keseluruhan dan mana kata-kata yang kurang penting. Apabila
kata-kata sulit dipandang kurang penting, maka pembaca akan
menerapkan strategi skipping agar dia dapat membaca secara lebih
efisien dan tidak terhambat oleh kata-kata sulit tersebut.
Walaupun kata-kata yang tidak dipandang penting pada umumnya
diabaikan, ada juga mahasiswa yang mengabaikan kata-kata sulit yang
sebetulnya dianggap penting. Contoh konkrit dapat dilihat dalam ujaran
Yulia ketika membaca teks dalam concurrent verbal protocols.
Yulia: [I would see him waiting for the whirring (0.1) whirring (0.1) whirring of
wings, violin in hand. Several times now…]

Ketika Yulia membaca kalimat di atas, sebenarnya perhatiannya


tertuju pada kata whirring yang tidak dia ketahui maknanya dan dia
melakukan upaya untuk mengetahui makna kata tersebut, seperti yang
ditunjukkan oleh pengucapaan kata ini berulang-ulang dengan jeda 1
detik. Hal ini dikonfirmasi dalam wawancara retrospektif yang dilakukan
setelah verbal protocols di atas. Hasil wawancara menunjukkan bahwa
Yulia memang tidak mengetahui makna whirring dan bermaksud untuk
menebaknya berdasarkan konteks. Dia membaca kalimat selanjutnya
(Several times now…dst.) untuk mengetahui dalam konteks apa kata
whirring digunakan, namun karena kapasitas memori jangka pendek
(short-term memory) Yulia yang amat terbatas maka kata tersebut
terlupakan ketika membaca kalimat selanjutnya. Kata whirring masuk ke
dalam memori jangka pendeknya tetapi tidak disimpan terlalu lama dan
kemudian hilang, sehingga dia tidak melanjutkan upaya untuk
menemukan maknanya dan mengabaikan kata tersebut hingga proses
membaca teks berakhir.
Salah satu mahasiswa yang melakukan strategi guessing diikuti
skipping adalah Andra.
Andra: […but the publishers did not hear his uprush of wings. Uprush of wing.]
What is that? Uprush of wing. An idiom? Uprush of wing (0.1) mungkin musik
yang aneh, maybe. (0.4) Ah lewat. [The child came to live…]

Dalam verbalisasi di atas terlihat jalan pikiran Andra ketika


menemukan kata uprush yang tidak dia ketahui maknanya. Pada awalnya
dia berusaha mengidentifikasi apakah frasa uprush of wings adalah
sebuah idiom, kemudian lebih jauh dia mencoba untuk menebak makna
frasa tersebut sebagai ‗musik yang aneh.‘ Namun nampak jelas bahwa
dia tidak yakin akan akurasi makna yang dia tebak, seperti yang
ditunjukkan pada kata mungkin dan maybe. Setelah empat detik berlalu,
dia memutuskan untuk melewati saja frasa ini, seperti yang dia nyatakan
secara eksplisit dengan ucapan ah lewat.
Temuan ini merupakan alasan keempat yang menyebabkan
terjadinya skipping. Didin, misalnya, memutuskan untuk mengabaikan
saja kata yang sama, yaitu uprush, setelah beberapa kali mencari
maknanya di kamus namun tidak berhasil.
Didin: [Long ago, she confided, her brother had tried to get his strange music
down on paper, but the publishers did not hear his uprush of wings.] Uprush (0.5)
uprush (0.23) uprush (0.6) uprush (0.20) uprush uprush (0.5). [The child came to
live…]

Ketika Didin menemukan kata sulit, yaitu uprush, dia meraih


kamus saku elektroniknya dan berusaha mencari makna kata ini selama 5
detik, namun di kamus tersebut tidak tercantum entri uprush. Kemudian
dia beralih ke kamus bilingual Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia dan
mencari selama 23 detik, tetapi di kamus tersebut juga tidak terdapat
entri uprush. Hal yang sama juga terjadi ketika dia menggunakan kamus
monolingual selama 6 dan 20 detik. Karena ketiga kamus yang dia
gunakan tidak memuat kata uprush sebagai salah satu entrinya, dia gagal
mendapatkan maknanya dan memutuskan untuk melewati kata ini dan
meneruskan membaca kalimat-kalimat berikutnya.
Sebagai contoh, Andra melakukan miscue ketika membaca teks
dan ini terlacak dari wawancara retrospektif yang dilakukan peneliti
dengannya.

P : ‗Confided‘ artinya?
A : Oh, ‗confided,‘ tak pikir ‗convinced.‘
P : Anda salah baca?
A : Ya, salah baca tadi, tak kira ‗convinced.‘

Dalam wawancara di atas, peneliti menunjuk kata confided di teks


dan meminta Andra untuk menyebutkan maknanya, karena dia melewati
kata tersebut ketika membaca teks sebelum wawancara dilakukan. Saat
mendengar peneliti menyebut kata confided, Andra baru menyadari
bahwa dia telah salah membaca kata tersebut sebagai convinced. Karena
dia mengetahui makna kata convinced, dia tidak terlalu memperhatikan
kata confided dan mengasumsikan bahwa kata tersebut dikenalnya
dengan baik. Kasus miscue atau salah baca seperti ini menunjukkan
bahwa pembaca ternyata tidak memberikan perhatian dalam kadar yang
sama ke setiap kata di dalam suatu teks. Dia mungkin memberikan
perhatian yang lebih banyak pada kata-kata kunci dan beberapa kata-kata
sulit, namun kata-kata yang dia anggap familiar (dikenal dengan baik
maknanya) hanya dibaca sekilas saja dan dia merasa masih bisa
memahami teks secara keseluruhan dengan baik. Kasus ini mendukung
hasil penelitian mengenai gerakan mata atau eye movement (Rayner dan
McConkie, 1976; Rayner dan Pollatsek, 1989; Reichele et al, 1998) yang
telah dijelaskan sebelumnya dengan hasil berupa fase fixation dan
saccade. Dengan demikian, penelitian dari sudut psikolinguistik ini
melengkapi hasil penelitian dari sudut fisik (gerakan mata) yang telah
dilakukan untuk mengetahui proses yang terjadi selama membaca
pemahaman.

BAHASAN
Penelitian yang mendalam terhadap strategi dalam menghadapi
kata-kata sulit menghasilkan temuan berupa lima alasan yang mendasari
skipping dalam membaca pemahaman. (1) Alasan pertama adalah kata-
kata yang dilewati tersebut memiliki kontribusi yang amat kecil terhadap
makna keseluruhan teks; (2) Alasan kedua, pada awalnya mereka
mengidentifikasi suatu kata sulit sebagai kata yang penting untuk
pemahaman bacaan dan berupaya untuk mencari maknanya, akan tetapi
kata tersebut terlupakan oleh mereka ketika mereka membaca kalimat
berikutnya. Hal ini yang menjadi alasan kedua mengapa mereka
menerapkan strategi skipping; (3) Alasan ketiga, untuk skipping adalah
pemakaian strategi menebak yang gagal. Pada awalnya mahasiswa
berusaha untuk mengetahui makna kata dengan cara menebaknya dari
konteks, tetapi nampaknya mereka tidak berhasil mengira-ngira makna
yang tepat untuk kata tersebut. Akhirnya mereka menyerah dan
memutuskan untuk melewati saja kata itu; (4) Alasan keempat, tidak
hanya kegagalan dalam menebak kata, tidak berhasilnya upaya mereka
untuk mencari makna kata di kamus dapat memicu terjadinya skipping
selama proses membaca pemahaman berlangsung; dan (5) Alasan
kelima, untuk skipping adalah miscue. Istilah miscue dipakai untuk
pertama kalinya oleh Goodman (1996) untuk menyebut kesilapan yang
dibuat oleh pembaca ketika sedang memahami suatu teks.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Dari penjelasan di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut. Para
pembelajar bahasa Inggris yang kemampuan membacanya tergolong baik
pada umumnya melakukan strategi skipping atau mengabaikan kata-kata
sulit yang mereka temui dalam suatu teks, dan ini konsisten dengan hasil
penelitian sebelumnya. Jumlah kata yang mereka abaikan beragam, ada
yang amat sedikit, namun ada juga yang cukup banyak. Alasan yang
mendasari penggunaan strategi skipping ini juga bermacam-macam, dan
penelitian ini berhasil mengeksplorasi lima alasan. Alasan tersebut
meliputi: (1) kata tersebut tidak terlalu penting untuk memahami makna
teks secara keseluruhan, (2) kata tersebut penting, tetapi pembelajar lupa
mencari artinya karena keterbatasan kapasitas memori jangka pendek, (3)
kata tersebut sudah diupayakan untuk ditebak maknanya, namun gagal,
(4) kata tersebut sudah diupayakan untuk dicari maknanya di kamus,
namun gagal, dan (5) miscue atau salah baca, dan diasumsikan kata
tersebut diketahui maknanya padahal tidak. Alasan pertama dan ketiga
mendukung temuan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
sedangkan tiga alasan lainnya merupakan temuan orisinil dari penelitian
ini.

Saran
Berdasarkan simpulan yang diuraikan di atas, peneliti memberikan
saran-saran sebagai berikut kepada para pengajar bahasa Inggris dalam
mengajarkan membaca pemahaman. Pertama, pembelajar dengan
kemampuan membaca pemahaman yang baik hendaknya dianjurkan
untuk menerapkan strategi skipping terhadap beberapa kata sulit yang
mereka temui dalam teks, karena mencari makna setiap kata yang tidak
diketahui kemungkinan akan: (1) memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk membaca pemahaman; (2) menghambat proses
membaca pemahaman; dan (3) menurunkan motivasi untuk membaca
lebih jauh. Kedua, pembelajar hendaknya diajarkan untuk memilah kata-
kata sulit yang perlu dicari maknanya dan yang dilewati begitu saja. Dari
lima alasan yang telah disebutkan sebelumnya, hendaknya pengajar
dapat memetik manfaatnya dengan memberikan pengetahuan yang cukup
kepada pembelajar agar dapat memilih kata mana yang dilewati dengan
alasan yang sesuai. Skipping nampaknya merupakan suatu strategi yang
tak dapat dipisahkan dari proses membaca pemahaman, sehingga
skipping akan membuat proses tersebut lebih maksimal apabila
dilakukan dengan alasan yang tepat.
Bagi para peneliti yang berkecimpung di bidang membaca
pemahaman dan pengajarannya, perlu diadakan investigasi lebih lanjut
mengenai strategi skipping. Penelitian ini hanya menggunakan
mahasiswa yang memiliki kemampuan membaca pemahaman yang baik
sebagai subjeknya, karena itu perlu diteliti: (1) apakah mahasiswa
dengan kemampuan membaca pemahaman yang kurang juga
menerapkan strategi skipping dan (2) apabila memang menerapkannya,
apakah memiliki alasan yang sama dengan mahasiswa yang baik
kemampuan membacanya. Perbedaan kemampuan ini diperkirakan akan
menghasilkan temuan yang berbeda pula, namun untuk lebih jelasnya
diperlukan bukti empiris dari penelitian. Selain itu, subjek penelitian ini
adalah pembelajar yang kemampuan membaca pemahamannya berada di
tingkat menengah (intermediate), karena itu perlu dilakukan penelitian
terhadap pembaca pada tingkat dasar (elementary) dan lanjut (advanced)
untuk mengetahui apakah penerapan strategi skipping memang berbeda
karena tingkat membaca pemahamannya berlainan.
DAFTAR RUJUKAN

Fraser, C. A. 1999. Lexical Processing Strategy Use and Vocabulary


Learning through Reading. Studies in Second Language
Acquisition, 21(2), 225--241.
Goodman, K. 1996. On Reading. Ontario: Scholastic.
Hosenfeld, C. 1976. A Preliminary Investigation of the Reading
Strategies of Successful and Nonsuccessful Second Language
Learners. System, 5(2), 110--213.
Paribakht, T. S., & Wesche, M. B. 1999. Reading and "Incidental" L2
Vocabulary Acquisition: An Introspective Study of Lexical
Inferencing. Studies in Second Language Acquisition, 21(2), 195--
224.
Pressley, M., & Afflerbach, P. 1995. Verbal Protocols of Reading: the
Nature of Constructively Responsive Reading. Hillsdale: Lawrence
Erlbaum Associates.
Rayner, K., & McConkie, G. W. 1976. What Guides a Reader's Eye
Movements. Vision Res, 16(8), 829-837.
Rayner, K., & Pollatsek, A. 1989. The Psychology of Reading. Hillsdale:
Erlbaum.
Reichele, E. D., Pollatsek, A., Fisher, D. L., & Rayner, K. 1998. Toward
a Model of Eye Movement Control in Reading. Psychological
Review, 105(1), 125--157.
Robinson, H. A. 1977. Teaching Reading and Study Strategies: The
Content Areas. Boston: Allyn and Bacon.
Pengembangan Model Pendidikan Pencegahan
Perceraian bagi Pasangan Suami Istri (Pasutri)
Muslim

Ahmad Munjin Nasih

Abstrak: Perceraian bagi setiap pasangan suami istri adalah


sesuatu yang paling tidak diinginkan. Namun dalam realisasi di
lapangan masih sering saja dijumpai ada pasangan yang
memutuskan untuk bercerai, meskipun rumah tangga yang mereka
bina telah berusia lebih dari 20 atau 30 tahun. "Luka" akibat
perceraian tidak dipungkiri akan mewarnai perjalanan kehidupan
mereka dan keluarganya setelah bercerai. Dan anak adalah korban
terbesar dari perceraian yang dilakukan oleh ibu dan bapaknya.
Perceraian sebenarnya dapat dihindari apabila suami atau istri mau
mengkompromikan segala kepentingan yang mereka miliki untuk
kepentingan bersama yang lebih besar, yakni keluarga harmonis.
Kata-kata kunci: Pengembangan Model Pendidikan, Perceraian
Suami Istri Muslim

Belakangan ini, kasus perceraian seakan merupakan tren yang sangat


menyita perhatian publik. Hal ini bisa dilihat dari seringnya masalah
tersebut menjadi berita hangat di media masa, baik lokal maupun
nasional. Tampaknya masalah ini bukan hanya terjadi pada keluarga dari
kelas tertentu, namun juga menimpa keluarga dari semua kelas sosial.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Kota Malang
angka perceraian dari tahun ke tahun meningkat. Ironisnya, kasus
perceraian yang terjadi karena inisiatif pihak istri (gugat cerai)
jumlahnya lebih besar daripada perceraian karena inisiatif pihak suami
(talak) lihat pada Tabel 1.

Ahmad Munjin Nasih adalah dosen Jurusan Sastra Arab FS Universitas Negeri Malang
Tabel 1 Angka Talak dan Gugat Cerai di Kota Malang

No Tahun Talak Gugat Cerai Jumlah


1. 2002 335 627 962
2. 2003 358 664 1022
3. 2004 371 733 1104
4. 2005 434 796 1230
5. 2006 408 764 1172

Sumber: Pengadilan Agama Kota Malang

Bahkan tren naiknya jumlah gugat cerai daripada talak ternyata


tidak berubah sampai bulan Januari 2007 lihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Angka Talak dan Gugat Cerai bulan Januari 2007 di Kota Malang

Bulan/Tahun Talak Gugat Cerai Jumlah


Januari/2007 46 79 125

Sumber: Pengadilan Agama Kota Malang

Kondisi yang terjadi di Kota Malang tidak menutup kemungkinan


terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Kenyataan ini tentu sangat
memprihatinkan, sebab bagaimanapun juga, terjadinya perceraian itu
menunjukkan bahwa pasangan suami-istri yang telah mengikat janji
membangun keluarga, telah gagal mencapai cita-cita yang mereka
dambakan ketika mengawali membangun rumah tangga.
Kalau pasangan yang bercerai tersebut belum dikaruniai anak
barangkali dapat dikatakan bahwa hanya pasangan tersebut sajalah yang
terkena dampak negatif dari perceraian itu. Tentu saja hal ini sama sekali
tidak dimaksudkan untuk membenarkan perceraian tersebut. Akan tetapi,
jika pasangan-pasangan yang bercerai tersebut sudah dikaruniai anak
sebagai buah pernikahan mereka, perceraian yang demikian hampir bisa
dipastikan meninggalkan kesan negatif terhadap anak, bahkan mungkin
akan membuat anak trauma terhadap institusi keluarga. Trauma yang
demikian, bisa jadi, tidak hanya mengena pada anak dari pasangan yang
bersangkutan tetapi bisa meluas kepada anak secara umum. Jika ini
terjadi tentu akan semakin mengkhawatirkan.
Oleh karena itu, pencegahan terhadap terjadinya perceraian
menjadi sangat penting untuk dilakukan. Salah satu upaya yang bisa
dilakukan adalah dengan memberikan penyadaran kepada semua pihak
terutama pasangan suami istri akan pentingnya menjaga rumah tangga
dari perceraian. Dengan langkah ini diharapkan pasangan tersebut akan
menjadikan keluarganya sebagai keluarga yang sakinah (harmonis)
melalui pendidikan pencegahan perceraian bagi pasangan suami istri.
Namun, model pendidikan seperti apa yang sesuai dengan tujuan ini
belum berhasil dibangun. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
pengembangan untuk mewujudkannya.
Namun demikian, penelitian ini hanya terbatas pada keluarga-
keluarga muslim. Pembatasan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
mayoritas penduduk Malang Raya secara khusus dan Indonesia secara
umum memeluk agama Islam. Sehingga diasumsikan jumlah perceraian
terbanyak dialami oleh pemeluk agama Islam.
Selaras dengan uraian di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui data tentang faktor-
faktor penyebab terjadinya perceraian; (2) mengetahui kebutuhan dan
persepsi pasangan suami istri yang telah bercerai terhadap bangunan
keluarga sakinah; (3) mengetahui langkah-langkah yang selama ini telah
ditempuh oleh suami dan istri dalam mempertahankan keutuhan rumah
tangga; dan (4) mengetahui dampak yang terjadi pada anak-anak korban
perceraian.

METODE
Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
rancangan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan
rancangan studi kasus. Rancangan studi kasus dapat digunakan untuk
pengembangan teori yang diangkat dari sebuah latar penelitian (Bogdan
& Biklen, 1998). Rancangan ini diharapkan dapat menghasilkan teori
dengan generalisasi lebih luas dan lebih umum penerapannya untuk
kasus pencegahan perceraian. Dalam penelitian studi kasus ini digunakan
rancangan studi kasus observasional (Yin, 1999) Rancangan metode
tersebut digunakan untuk menelaah sebuah fenomena dalam sebuah
organisasi tertentu. Dalam pelaksanaannya dilakukan beberapa kali
pengumpulan data dan hasilnya dianalisis sehingga tersusun teori
sementara.
Sementara itu lokasi penelitian ini adalah wilayah Malang Raya,
yaitu Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Adapun subyek
penelitian ini adalah suami, istri yang sedang dalam proses perceraian
dan sudah bercerai, serta anak-anak korban perceraian di Malang Raya.
Data subjek penelitian akan diperoleh dari Pengadilan Agama Kota
Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu yang tercatat dalam kurun
waktu dua tahun terakhir. Subjek penelitian sekaligus akan dijadikan
informan penelitian dengan kesempatan yang sama.
Dalam penelitian ini, akan dikumpulkan informasi berupa kata-
kata, situasi setting dan beberapa dokumen yang berhubungan dengan
fokus penelitian. Kata-kata dimaksud adalah berasal dari para informan.
Informasi tersebut akan digali melalui wawancara bebas. Di samping itu
juga akan diambil data berupa situasi setting penelitian serta kegiatan-
kegiatan yang berkaitan dengan fokus penelitian. Untuk menjaring data
tersebut akan dilakukan pengamatan.
Adapun teknik penjaringan informasi yang digunakan adalah
teknik bola salju (snowball). Dalam penelitian kualitatif teknik untuk
memperoleh data di lapangan dilakukan dengan tiga cara, yaitu: teknik
wawancara terfokus, FGD, observasi dan dokumentasi (Marshall, 1989).
Hal ini diterapkan untuk mendapatkan data yang memadai dan sesuai
dengan fukos penelitian dan tujuan penelitian.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap.
Pada tahap pertama peneliti melakukan penjajakan ke lokasi dalam
rangka memperoleh gambaran secara umum tentang situs yang akan
diteliti. Tahap berikutnya adalah melakukan eksplorasi, dimana dalam
tahap ini peneliti mengumpulkan data secara lebih mendalam dan terarah
dengan fokus penelitian, serta berusaha mencari sumber-sumber data
atau informan yang kompeten dan memiliki pengetahuan, pemahaman
serta kepedulian yang tinggi terhadap pemasalahan yang sedang diteliti.
Dalam setiap kali melakukan pengumpulan data, baik
menggunakan teknik wawancara mendalam maupun dengan teknik
observasi, digunakan beberapa alat. Dalam setiap kesempatan mengada-
kan wawancara mendalam digunakan buku catatan. Di samping itu
apabila yang diwawancarai banyak maka digunakan alat perekam. Kedua
alat tersebut digunakan untuk mencatat dan merekam jawaban-jawaban
informan yang selanjutnya ditulis ulang ke dalam format transkrip
wawancara dengan menyertakan koding yang terdiri dari tanggal, tempat
dan inisial informan. Sedangkan untuk kegiatan observasi, selain format
lapangan juga akan digunakan alat dokumentasi yang berfungsi untuk
mendokumentasikan perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa penting
yang muncul selama pelaksanaan observasi.
Selanjutnya dalam setiap melakukan observasi digunakan format catatan
lapangan. Untuk menganalisis data, peneliti menganalisis data dengan
empat langkah yaitu: (1) Reduksi Data, (2) Penyajian Data (Display), (3)
Penentuan Temuan Penelitian, dan (4) Penarikan Kesimpulan
Pertama, semua data hasil wawancara terbuka dengan semua
subjek penelitian, dipilah dan digolongkan sesuai tema-tema dalam fokus
penelitian. Pemilahan data ini juga bertujuan untuk membuang data yang
tidak diperlukan karena searah dengan tujuan penelitian. Dalam proses
reduksi data, peneliti juga mencari istilah-istilah kunci yang menjadi data
inti. Data inti yang ditemukan dimasukkan format model analisis data
etnografi yang dikembangkan oleh Spradley (1980). Peneliti mengikuti
saran Spradley untuk menggunakan model analisis domain dan analisis
komponensial.
Kedua, data yang telah dikelompokkan, kemudian dirangkai secara
sistematis sesuai dengan susunan tema fokus dan disajikan sebagai
paparan data. Dalam paparan data, peneliti memberikan catatan reflektif
yang sesuai dengan isi data, tanpa mengurangi esensi data tersebut.
Ketiga, peneliti merumuskan temuan penelitian dari data yang
dianggap bersifat spesifik setelah melalui analisis etnografi. Dalam
penelitian ini pengecekan keabsahan temuan dilakukan dengan tiga cara,
yaitu: (1) kredibilitas, dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi
baik triangulasi teknik data maupun triangulasi informan; (2) depen-
dabilitas, dilakukan dengan meminta bantuan para ahli dan berbagai
pihak yang memahami penelitian ini; dan (3) konfirmabilitas, dilakukan
dengan cara melakukan pemeriksaan ulang terhadap data yang diperoleh
dengan meminta konfirmasi lebih lanjut kepada para informan dan para
ahli terkait, yakni ahli pendidikan, psikolog, ulama, dan hakim agama..
Keempat, kegiatan ini merupakan akhir dalam proses penelitian.
Kesimpulan dirangkum dari proses analisis data. Kesimpulan penelitian
sebelumnya dirumuskan dalam temuan penelitian. Temuan penelitian,
pada hakikatnya adalah kesimpulan yang diperoleh peneliti.

HASIL
Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian
Hukum alam mengatakan bahwa tidak ada asap bila tidak ada api.
Begitupun sebuah perceraian, ia tidak akan terjadi begitu saja tanpa
diawali oleh berbagai persoalan yang melatarbelakanginya.
Hampir bisa dipastikan seseorang yang memasuki dunia rumah
tangga berharap bisa menjadikan rumah tangganya sebagai tempat
memadu kasih yang sangat membahagiakan antara suami, istri dan anak-
anak. Namun, fakta seringkali berkata lain, idealitas yang dimiliki harus
berhadapan dengan fakta yang sangat tidak diharapkan. Berbagai
persoalan selalu mengiringi perjalanan rumah tangga, dan apabila hal
tidak bisa dimenej dengan baik bukan mustahil semuanya berujung pada
perceraian.
Para responden menyatakan bahwa penyebab perceraian yang
paling menonjol adalah masalah ekonomi, ini dapat dimaklumi karena
pemenuhan kebutuhan keluarga terkait dengan kedudukan suami sebagai
penanggung jawab keluarga. Dalam Islam, suami dilebihkan dari isteri-
isterinya karena kelebihan yang diberikan Allah kepadanya (al-
Nisa‟;34) karena kelebihan itu suami mempunyai kewajiban
menyejahterakan kehidupan keluarga, mencukupi kebutuhan mereka
dengan memberikan nafkah yang layak, halal dan dibenarkan oleh agama
dan negara. Suami berkewajiban memenuhinya dalam batas kewajaran,
tanpa berlebih-lebihan atau kekurangan. Suami berkewajiban memberi
belanja yang cukup dan tidak mempersempit nafkah keluarganya, ini
yang mendatangkan ketenangan isteri dalam menjalani hidup
berkeluarga. Terlebih jika diingat bahwa anjuran untuk menikah bagi
seorang laki-laki adalah ketika dia sudah mempunyai kemampuan (al-
ba‟ah) untuk memenuhi kebutuhan keluarganya baik lahir maupun batin,
jika ini tidak terpenuhi Islam menganjurkan agar dia menundanya
dengan melakukan pengendalian diri antara lain dengan berpuasa. Hidup
berkekurangan bisa membawa keluarga ke gerbang kehancuran
sebagaimana sabda Rasulullah SAW ―kaada al-faqru an yakuuna
kufran”, lebih-lebih jika pasangan suami isteri tidak tabah
menghadapinya, mereka tidak sabar dalam menerima kekurangan yang
ada. Ketidaksabaran ini yang sering membawa suami isteri pada
perceraian, di sini pentingnya suami memenuhi kebutuhan keluarga
sebab dengan terpenuhinya kebutuhan, isteri dapat menjalani kehidupan
keluarga dengan baik, ― . . . dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara-cara yang baik‖ (Al-Baqa
rah; 228).
Pada suami melekat kedudukan sebagai pelindung keluarga
(qawwamuuna ala an-nisa‟) karena itu kesetiaan isteri tetap terjaga
manakala suami dapat memerankan dirinya sesuai dengan
kedudukannya. Hilangnya status qawwamuuna ala an-nisa‟ dari suami
memaksa isteri bekerja, dengan itu dia dapat memenuhi kebutuhan
keluarga dan merasa dapat hidup mandiri tanpa bantuan suami, bahkan
karena itu kesetiaannya pada suami hilang dan menggugatnya untuk
menceraikannya seperti pada kasus ibu IT dan ibu UL.
Keinginan untuk lepas dari ikatan perkawinan dengan suami makin
menguat ketika menemukan suami sudah tidak lagi jujur dalam
memegang janjinya, suami bermain api di belakang isteri dengan
berselingkuh bersama wanita lain. Hadirnya pihak ketiga ini menjadi
sebab terjadinya perceraian. Permainan api ini melukai hati isteri dan
mengecewakannya sehingga isteri terdorong melakukan gugatan cerai
karena dia melihat hilangnya kejujuran suami pada janji setianya yang
diikrarkan pada waktu menikah, kenyataan ini dapat dilihat pada kasus
ibu IT dan ibu UL. Rapuhnya perkawinan yang berakhir dengan cerai
karena hadirnya pihak ketiga tidak saja dialami oleh suami tetapi terjadi
pula pada isteri sehingga suami terpaksa menceraikannya, seperti yang
terjadi pada ibunda DM, ibunya tergoda oleh laki-laki lain karena dia
melihatnya lebih keren dari pada suaminya, terlebih jika laki-laki itu
berharta. Isteri melihat laki-laki itu dapat memenuhi kebahagiaan yang
diimpikannya karena dia dipandang ―lebih‖ dari pada suaminya karena
itu isteri rela menggugat agar suaminya menceraikannya, seperti kasus
ibunda DM ini. Godaan ini sangat mempengaruhi langgengnya
perkawinan sehingga agama Islam meminta setiap suami atau isteri
untuk menahan pandangannya dan menutup mata serta memelihara
kemaluannya (An-Nur; 30-31).
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman “Hendaklah me reka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian
itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Me-ngetahui apa
yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan me meli-hara
kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya. . . “

Akibat lain dari hadirnya pihak ketiga ini adalah hilangnya kasih
sayang antara suami isteri, kekerasan pisik dan psikis dapat terjadi
karenanya. Kekerasan pisik bisa berupa pemukulan, dilempar dengan
kursi, diseret-seret, sampai pada ancaman pembunuhan seperti terlihat
dalam kasus yang dialami oleh ibu UL dan ibu TS. Tak jarang kekerasan
psikis mengiringi perlakuan kasar suami pada isteri nya, penistaan, kata-
kata kotor dan penisbatan kepada pezina diterima oleh isteri sebagaimana
dalam kasus ibu IT. Bagi seorang isteri penistaan ini lebih menyakit kan
dari pada tindak kekerasan pisik, karena sakitnya terasa lebih dalam dan
lama di hati. Dalam kondisi seperti ini suami tidak lagi memegang
prinsip mu‟asyarah bil ma‟ruf yang dapat melanggengkan kehidupan
rumah tangga.
Beberapa faktor penyebab gugatan cerai di atas adalah imbas dari
tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga. Penistaan suami karena
kemiskinannya, perselingkuhan dan kekerasan tidak akan terjadi jika
masing-masing suami isteri taat asas pada janji mereka. Isteri akan sabar
dan rela mendampingi suami meski dalam kondisi ekonomi yang kurang
jika suami benar-benar bertindak dan bersikap dengan elegan, sementara
isteri teguh berimannya dan setia memegang janji tidak akan berpaling
kepada orang lain yang mungkin hadir setelah mereka menikah.
Kekerasan dapat dihindari manakala suami dapat bersabar diri atas ke-
khilafan dan kekurangan isteri dalam melayaninya.
Masih ada jalan untuk menghindari perceraian yang tidak
diharapkan oleh siapapun, agama bahkan melarangnya kalau tidak
terpaksa benar.

Persepsi terhadap Keluarga Sakinah


Perceraian bukanlah keinginan dasar para isteri, meski mereka
menjalani hidup yang sulit mereka rela menerimanya selama suami yang
mendampinginya dapat mengayomi mereka sebagai kepala rumah tangga
yang dapat memberikan perlindungan (al-wilayah), bimbingan (ar-
ri‟ayah) dan mencukupi (al-kifayah) kebutuhan mereka, sebagaimana
yang diungkapkan olah ibu IT, ibu UL, dan ibu TS. Bahkan anggota
keluarga yang lain, anak-anak misalnya, mendambakan hal itu seperti
harapan yang diungkapkan oleh DM, baginya laki-laki yang ideal adalah
bapaknya dia mengidolakan bapaknya sebagai suami yang baik. Di
bawah suami yang seperti itu cita-cita keluarga sakinah dapat terwujud,
keluarga yang di pimpin oleh suami bertanggung jawab, saling mengerti,
dan berwibawa.
Kewibawaan suami diapresiasi oleh isteri manakala suami
mempunyai al-ba‟ah (kemampuan) sebagaimana dituntun oleh agama
yaitu kemampuan lahiriah batiniah, sebagaimana disebutkan dalam hadis
riwayat Bukhari Muslim dari Abdullah bin Mas‘ud. Di sini perlunya
suami isteri se-kufu, yaitu keseimbangan antara keduanya baik dalam hal
agama maupun status sosial, misalnya; pekerjaan, kecantikan,
pendidikan dan keturunan.
Kufu ini menumbuhkan kebanggaan isteri untuk berjalan bersama
suaminya, seperti yang terjadi pada ibu IT. Perbedaan pendidikan yang
jauh antara isteri dengan suami misalnya menjadi masalah yang susah
ditoleransi dalam menjemba tani perbedaan pendidikan antara isteri
dengan suami agar tidak menjadi potensi konflik, apalagi jika isteri
berasal dari keluarga yang mempunyai cetak biru bahwa pendidikan
sangat penting, karena nilai-nilai yang dianut keluarga di mana se-
seorang dibesarkan secara tidak sadar akan diserap (absorbs) dalam
dirinya. Suami tidak dapat nyambung bila diajak ngobrol dan sering
minder. Ini yang terjadi pada ibu IT sehingga tidak dapat menemukan
keluarga sakinah. Ketika terjadi konflik yang keluar dari suami adalah
ucapan-ucapan yang tidak layak, kotor dan menista, konflik antara suami
isteri tidak dapat menemukan titik kesamaan karena tidak se-kufu.
Suami yang tidak mempunyai pekerjaan (menganggur) bisa
menjauhkan tercapainya cita-cita keluarga sakinah, dia akan
menggerogoti isterinya apalagi jika isteri telah mapan. Ketergantungan
suami kepada isteri menyebabkan pincang nya status dan fungsi suami
sebagai seseorang yang harus mencukupi (al-kifayah) keluarganya.
Kasus ibu UL adalah contohnya, juga kasus ibu IT.
Karena ketergantungan itu pula yang mendorong suami tidak bisa
fair (jujur) kepada isteri. Ibu UL dan ibu IT mengalami hal ini padahal
mereka mengharapkan suaminya bisa menjadi teman hidup yang
menyenangkan, saling membutuhkan, saling respek, dan membuatnya
aman serta nyaman. Suaminya bisa menjadi belahan jiwanya (soulmate)
tempat mencurahkan segala rasa dan cinta sepenuh hati.
Hal lain yang menarik untuk diperhatikan bahwa sebesar apapun
cinta isteri kepada suaminya, dia diharapkan tetap memainkan
peranannya sebagai pendamping suami yang berfungsi sebagai perawat
dan pemelihara (al-hafidzat) bagi suaminya bukan sebagai penjaga
baginya. Isteri yang terlalu mengatur (too care) suaminya ternyata tidak
disukai suami seperti kasus LQ. Bagaimanapun suami adalah
penanggung jawab keluarga, manakala isteri mengambil peranannya
terlalu banyak maka cita-cita keluarga sakinah tidak dapat terwujud.
Meskipun suami dan isteri telah bercerai namun cita-cita dan
keinginan untuk membangun keluarga sakinah tetap tertanam dalam hati
masing-masing. Manakala masing-masing suami dan isteri dapat
memerankan dirinya dengan melaksanakan kewajiban dan haknya maka
perceraian tidak perlu terjadi, perceraian baru terjadi jika suami isteri
sebagai pasangan hidup tidak memenuhi kriteria yang diharapkan.
Perceraian bisa pula terjadi karena kurangnya pemahaman pasangan
suami isteri tentang makna perkawinan dan upaya yang harus dilakukan
untuk membangun keluarga sakinah.

Langkah-langkah Mempertahankan Keutuhan Rumah Tangga


Secara umum setiap pasangan suami istri (pasutri) di Malang
menyadari betapa pentingnya menjaga keutuhan rumah tangga. Hal ini
bisa dilihat betapa pasutri selalu berusaha mempertahanhan rumah
tangganya dengan berbagai cara yang mereka anggap efektif agar
perselisihan dan pertengkaran yang terjadi di antara pasutri tidak
berujung kepada perceraian. Berkonsultasi kepada pihak di luar anggota
keluarga inti (suami, istri dan anak) adalah cara yang paling umum.
Adakalanya kepada orang tua, mertua, saudara, teman bahkan ke
lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengatasi
persoaln perceraian, seperti BP4 dan KUA. Namun demikian ada juga
pasutri yang tidak melibatkan pihak di luar keluarga inti, mereka
berusaha menyelesaikan sendiri persoalan rumah tangganya tanpa
melibatkan pihak lain. Hasilnya, sebagian berhasil tidak meneruskan ke
tingkat perceraian dan sebagian lagi justru gagal.
Dari paparan data sebelumnya dapat diketahui bahwa langkah-
langkah yang ditempuh oleh pasutri di Malang dalam memproses
perceraian sangat beragam. Sebagian diantara mereka bisa melibatkan
pihak keluarga masing-masing secara penuh, sebagian lagi hanya
melibatkan salah satu keluarga saja. Ada juga yang berkonsultasi ke
KUA. Namun dari responden yang dihubungi hampir tidak ada yang
melibatkan lembaga BP4 yang sengaja dibentuk oleh pemerintah untuk
memberikan solusi terhadap pasutri yang sedang mengalami problem
keluarga.

1. Keterlibatan Keluarga
Sudah menjadi kelaziman bahwa anggota keluarga adalah bagian
tak terpisahkan dari sepasang suami istri. Keluargalah yang biasa
memberikan suport kepada pasutri apabila mengalami problem keluarga
yang sulit diatasi.
Dalam konteks perceraian, keterlibatan keluarga pun tidak bisa
dihindari. Mereka selalu terlibat dalam hal ini. Namun, keterlibatan
mereka dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni keluarga yang secara
penuh dilibatkan dan sebagian lagi tidak penuh.
Pasutri yang melibatkan pihak keluarga secara penuh biasanya
adalah pasutri yang memulai proses pernikahan dengan cara yang wajar
dan mendapatkan restu dari keluarga kedua belah pihak. Hal ini sangat
wajar, sebab pihak keluarga merasa dilibatkan dalam proses perkawinan,
sehingga mereka juga merasa perlu membantu pasutri yang sedang
mempunyai persoalan rumah tangga dan membutuhkan bantuan
penyelesaian. Sementara itu dari pihak pasutri sendiri juga tidak merasa
sungkan dan terbebani jika meminta bantuan kepada keluarga, sebab
perkawinan mereka juga atas restu keluarga. Meskipun demikian pihak
keluarga biasanya juga mengetahui kapan mereka bisa terlibat dan kapan
tidak. Tidak semua persoalan harus diselesaikan oleh pihak keluarga.
Karena bagimanpun pasutri adalah pihak-pihak yang paling mengetahui
persoalan yang dialami, keberadaan keuarga tak lebih hanya sekedar
membantu memecahkan persoalan yang dialami. Bantuan penyelesaian
persoalan adalah sesuatu yang penting, mengingat ketika pasutri
mengalami pertengkaran, yang mengemuka adalah aspek emosi,
sehingga aspek nalar tidak bisa berfungsi secara maksimal.
Berbeda dengan pelibatan sebelumnya, sebagian pasutri tidak
memanfaatkan peran senioritas keluarga. Banyak faktor yang menjadi
penyebab mereka melakukan ha lni. Adapun faktor yang mngemuka
adalah tidak direstuinya hubungan perkawinan mereka oleh kedua belah
pihak, kalaupun direstui hal itu disebabkan adanya ‖kecelakaan‖
sebelumnya dari pihak istri.
Pasutri yang menempuh langkah ini biasanya didasari oleh
perasaan minder dan takut. Ketakutan terutama diarahkan kepada orang
tua dan mertua, karena proses pernikahan yang mereka jalani pada
awalnya tidak ‖direstui‖ oleh orang tua, baik keduanya atau salah
satunya. Pasutri ini merasa bahwa mereka telah berbuat tidak baik
kepada orang tua dan pihak keuarga. Karena pertimbangan inilah mereka
lebih memilih menyelesaikan persoalan keluarganya tanpa campur
tangan keluarga terlebih dahulu. Apabila mereka telah merasa tidak
mampu barulah melibatkan orang tua atau mertua.

2. Keterlibatan BP4
BP4 adalah lembaga resmi pemerintah yang didirikan untuk
membantu pasutri dalam menemukan solusi atas persoalan rumah tangga
yang dialaminya. Tujuannya jelas, agar pasutri tidak sampai masuk
dalam kubang perceraian. Idealisme lembaga ini ternyata bertepuk
sebelah tangan, banyak pasutri yang sedang mengalami persoalan rumah
tangga tidak memanfaatkan lembaga ini untuk menyelesaikan
persoalannnya.
Tidak termanfaatkannya BP4 oleh pasutri, menurut para
responden karena mereka tidak banyak mengenal keberadaan lembaga
ini termasuk peran dan fungsinya. Bahkan ada pasutri di Malang Raya
yang tidak mengerti tentang BP4 sama sekali. Akibatnya masyarakat
tidak memanfaatkan lembaga ini sebagai media penyelesaian problem
keluarga yang mereka hadapi. Ketidaktahuan masyarakat tentang BP4 ini
bisa jadi karena minimnya sosialiasi yang dilakukan oleh pihak-pihak
terkait kepada masyarakat.
Sebenarnya secara kelembagaan, secara formal BP4 memiliki
struktur mulai dari pusat sampai tingkat desa. Namun eksistensi BP4 bisa
dibilang wujuduhu ka‟adimihi (adanya seperti tidak adanya). BP4 yang
ada di setiap level, hampir dipastikan tidak dikunjungi masyarakat,
kecuali pasutri yang berstatus PNS. Sebab, bagi pasutri PNS
rekomendasi BP4 akan sangat berarti bagi kelangsungan proses
perceraian di pengadilan agama. Tanpa rekomendasi dari BP4
pengadilan tidak akan meneruskan sidang perceraian mereka. Selain
pasutri PNS, masyarakat secara umum lebih suka menyelesaikan
problem keluarganya tanpa melibatkan BP4, mereka langsung
menyelesaikannya di pengadilan. Dan kalau sudah di pengadilan agama,
biasanya sudah pasti cerai.
Posisi BP4 yang demikian, khususunya yang ada di kecamatan,
tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Undang-undang nomor 7 tahun
1989 tentang peradilan agama, dimana peranan KUA dibatasi pada
persolan nikah dan ruju‘. Namun, pada saat yang sama, pemerintah tetap
memposisikan BP4 masih terikat kuat dengan struktur KUA di
kecamatan. Ketua KUA di semua tempat adalah kepala BP4 itu sendiri.
Ketika aturan tersebut diberlakukan, maka bisa dipastikan BP4 tidak
memiliki peranan lagi, demikian sebagaimana dituturkan oleh salah satu
pejabat PA dan kepala KUA di Malang.
Prosedur perceraian yang diterapkan oleh pengadilan agama
terhadap pasutri PNS, dimana mereka harus mendapatkan rekomendasi
BP4 terlebih dahulu, setidaknya bisa meredam gejolak mereka untuk
meneruskan perceraiannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan salah satu
kepala KUA di Kab Malang bahwa sebagian PNS yang berkonsultasi ke
BP4 ada yang kembali rukun, namun ada juga yang tetap bercerai.
Melihat eksistensi BP4 yang demikian, maka pemerintah dalam hal
ini Departemen Agama dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
sudah selayaknya duduk bersama merumuskan kembali posisi BP4.
Sebab apabila BP4 dibiarkan tanpa tugas dan kewenangan yang jelas,
maka persoalan perceraian yang menimpa banyak umat Islam akan
meningkat. Dan yang demikian pada gilirannya akan memacu
peningkatan angka perceraian di masyarakat.
BAHASAN
Secara taksonomis, dampak perceraian yang tampak pada anak-
anak dalam kasus di Malang Raya umumnya lebih banyak berupa
dampak psikologis dibandingkan dampak gangguan fisiologis. Dampak
psikologis diantaranya adalah muncul sikap negatif, perilaku agresif,
penurunan prestasi belajar, perilaku regresi dan obsesif, suka berbohong
dan perilaku proyeksi, rasionalisasi hingga murung dan withdrawal
(menarik diri). Sedangkan dampak fisiologis yang muncul berupa anak
menjadi sakit dan anak yang berusia remaja cenderung akan mencoba
merokok.
Kehangatan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang sangat
diharapkan oleh anak dari keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Perceraian dalam keluarga membuat anak kebilangan harapan dalam
memperoleh kebahagiaan padahal secara teoritis dan realitas, di tengah
keluarga, seorang anak idealnya memperoleh kehangatan cinta,
bimbingan dan perlindungan. Perceraian secara tiba-tiba mencerabut
kebutuhan anak tersebut.
Pada keluarga yang telah pecah akibat perceraian, interaksi yang
dapat menimbulkan pengalaman afektif dalam kehidupan anak juga
terkurangi. Seharusnya anak dapat memahami sikap simpati, kasih
sayang, solidaritas, loyalitas, namun perceraian—terutama yang disertai
kekerasan—malah mengajarkan sikap antipati, curiga, kecewa, tidak
loyal dan acuh. Keluarga yang telah bercerai berpotensi membentuk
pribadi bermasalah karena lingkungan inilah yang pertama kali dihadapi
oleh sang anak. Bermula dari keluarga, seorang anak belajar beradaptasi
dengan lingkungan sosialnya. Mereka juga belajar mengenal norma-
norma dan aturan-aturan hidup, serta nilai-nilai budaya. Perceraian dapat
menghambat proses belajar tersebut.
Apabila keluarga menjadi berantakan disebabkan perceraian, atau
salah satu dari pasangan tersebut (baca orang tua anak-anak) ―kabur‖.
Maka akan muncul serentetan masalah baru bagi anak-anak mereka.
Pertikaian antara ayah dan ibunya ketika kondisi ―retak‖ hingga proses
perceraian dapat mengacaukan kondisi emosi anak. Orang tua yang
sedang kalut dan marah pada pasangannya sering kali menampakkan
perilaku tidak dewasa dan emosional. Perilaku tersebut akan menjadi
model bagi anak. Kondisi ini menimpa AZ dan Wim dan S yang
mengalami masalah emosional setelah proses perceraian orang tuanya
yang disertai kekerasan.
Lebih lanjut, Kasus PR menunjukkan bahwa kehadiran orang tua
dalam perkembangan kepribadian anak sangat penting. PR telah
merasakan pahitnya kehilangan fungsi ibu dan ia mengalami deprivasi
maternal atau kehilangan bimbingan ibu. Akibatnya PR merasa tidak
pernah belajar menjadi figur perempuan sebenarnya. Semua kasus diatas
bahkan dapat dikatakan mengalami deprivasi parental atau kehilangan
fungsi pengasuhan, meskipun S dan AZ diasuh oleh si ibu.
Bagi PR yang menjadi saksi pecahnya harmoni keluarga, dia juga
merasa tidak aman secara emosional (emotional insecurity), kehilangan
figur model perilaku. Sementara AZ mungkin merasa kehilangan
kepercayaan diri dalam pergaulan sosial sebagai akibat perasaan malu
karena memiliki keluarga yang tidak utuh. Di samping karena AZ juga
menjadi saksi pertikaian orang tuanya yang pebuh dengan kekerasan
sehingga dia mengimitasi peristiwa itu lalu mentrasfernya dalam
hubungan dengan teman-temannya. Dikhawatirkan, anak-anak seperti
AZ. Win dan S akan mengalami gangguan perkambangan intelektual,
perkembangan sosio-emosional, bahkan spiritual, semuanya akan
nampak dari perilaku anak ketika beranjak remaja dan dewasa apabila
tanpa bimbingan dari salah satu dari orang tua atau pengganti orang
tuanya (Nawawi: 1998). PR dan saudara-saudaranya masih beruntung
karena figur sang ayah dan keluarganya yang lain memberikan
penguatan sehingga dampak psikologis akibat perceraian kedua orang
tuanya tidak terlalu berat dirasakan PR.
Angka perceraian yang cenderung meningkat di Malang Raya
khususnya tahun 2000-an membuat kasus perceraian yang dulu
merupakan kejadian luar biasa, sekarang merupakan hal yang biasa.
Anak-anak dari korban perceraian semakin banyak dan, dan sebagian
besar perceraian dewasa ini melibatkan keluarga yang mempunyai anak.
Mungkin perkiraan bahwa perceraian dapat mempengaruhi 15 persen
anak-anak yang lahir di tahun 1955 di Inggris dan Amerika, telah terjadi
pula di Malang Raya. Dewasa ini, prosentase perceraian dengan gugat
cerai berlipat ganda. Perceraian yang terjadi melibatkan anak-anak
dibawah usia 18 tahun.
Kasus S menunjukkan bahwa anak anak yang berupaya dengan
keyakinannya ingin menyelamatkan perkawinan orang tuanya meskipun
usahanya menjadi sia-sia. Kasus S memberikan gambaran bahwa S
berpotensi menjadi kurang matang (Immature) akibat kerinduan pada
sosok ayah. Sementara itu, AZ menjadi berperilaku terpusat pada diri
sendiri (egosentris) dan menghawatirkan karena sering kasar dan agresif
pada teman-teman sebayanya.
PR lebih bisa memahami kasus orang tuanya karena dia
mengetahui kejadian itu setelah beranjak dewasa. PR lebih mampu
memahami bahwa perceraian orang tuanya dan tahu asal muasal
penyebab perceraian tersebut..
Anak-anak korban perceraian baik AZ dan S kemungkinan akan
berkembang memiliki cara pandang yang selektif pada orang lain sebagai
bagian dari kepribadiannya. Dia belajar mengenai sosok-sosok pribadi
dengan ciri-ciri yang terkesan negatif dalam benaknya untuk ditolak dan
tidak dapat di percaya. R dalam hal telah menempatkan ibunya sebagai
orang yang kurang dapat dipercaya. Ia mempersepsi sang ibu sebagai
orang yang tidak tanggap atau menimbulkan frustasi karena tidak
bersikap kasih. Kondisi ini sesuai dengan analisa Sears (1988).

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan paparan data pada bab sebelumnya dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Perceraian yang terjadi diantara pasutri muslim di Malang Raya
disebabkan oleh beberapa faktor; diantaranya (1) ketidakberdayaan
suami dalam membahagiakan isteri; (2) hadirnya orang ketiga; (3)
kekerasan dalam rumah tangga; (4) perbedaan keyakinan; (5)
ketimpangan pola pikir; dan (6) tidak saling percaya.
2. Persepsi pasutri Muslim di Malang Raya tentang keluarga sakinah
sangat beragam. Sebagian diantara mereka dapat memahami kosep
keluarga sakinah sama seperti yang dimaksud oleh agama, sebagian
lagi hanya memahaminya sebatas aspek lahiriyah, bahkan ada yang
tidak mengenal konsep keluarga sakinah.
3. Dalam menyelesaikan problem rumah tangga yang menjurus ke arah
perceraian, sebagian pasutri Muslim di Malang Raya melibatkan
keluarga (orang tua, kakak, atau yang dituakan) sejak awal untuk
membantu mencari solusi yang terbaik. Sebagian lagi hanya
melibatkan pihak keluarga pada saat mereka tidak mampu lagi
mengatasinya. Pasutri yang meibatkan keluarga sejak awal biasanya
adalah pasutri yang mendapatkan restu dari keluarga untuk
membentuk rumah tangga. Sebaliknya yang tidak melibatkan
keluarga sejak awal, biasanya pasutri yang proses pembentukan
rumah tangganya tidak mendapat restu dari keluarga. Selain kedua
model tersebut, pasutri di Malang Raya yang sedang bermasalah
hampir seluruhnya tidak memanfaatkan keberadaan BP4 sebagai
lembaga yang dibentuk pemerintah untuk membantu mencarikan
solusi atas persoalan rumah tangga. Kecuali pasutri PNS, ada
keharusan bagi mereka untuk berkonsultasi kepada BP4 kabupaten
terlebih dahulu jika ingin memproses ke arah perceraian. Sebab
pihak Pengadilan Agama tidak akan memproses, jika tidak ada
rekomendasi dari BP4.
4. Secara taksonomis, dampak perceraian yang tampak pada anak-anak
dalam kasus di Malang Raya umumnya lebih banyak berupa dampak
psikologis dibandingkan dampak gangguan fisiologis. Dampak
psikologis diantaranya adalah muncul sikap negatif, perilaku agresif,
penurunan prestasi belajar, perilaku regresi dan obsesif, suka
berbohong dan perilaku proyeksi, rasionalisasi hingga murung dan
withdrawal (menarik diri). Sedangkan dampak fisiologis yang
muncul berupa anak menjadi sakit dan anak yang berusia remaja
cenderung akan mencoba merokok. Selain dampak yang negatif,
bagi sebagian kecil diantara anak-anak korban perceraian, khususnya
mereka yang mendapatkan bimbingan yang memadai, merasakan
dampak positif. Mereka menjadi lebih selektif dalam memutuskan
masalah masa depan, selain itu mereka juga lebih bijak

Saran
Setelah diketahui beberapa kesimpulan di atas, saran yang dapat
dikemukakan adalah:
1. Penelitian ini akan membawa manfaat yang lebih besar jika
ditindaklanjuti dengan penelitian lanjutan yang diarahkan kepada
pembuatan model pencegahan perceraian bagi pasutri muslim yang
diwujudkan dalam penerbitan buku saku pencegahan perceraian
2. Pihak universitas bekerja sama dengan pihak-pihak terkait
hendaknya melakukan kajian secara komprehensif mengenai
persoalan perceraian dan langkah-langkah kongkrit untuk
mengatasinya, baik secara akademis, sosiologis, agamis, maupun
administratif.
3. Pihak-pihak yang terkait dalam pemerintah sudah saatnya meninjau
kembali beberapa peraturan yang tidak memberikan peluang kepada
BP4 mengembangkan diri dan ikut andil dalam mencegah terjadinya
perceraian di masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN

Al Qur‘an dan Terjemahannya. 1995. Mujamma‟ Al Malik Fahd Li


Thinba‟at Al Mushh-haf. Medinah Munawwarah.
Al Khasyt, Muhamad Usman. 1999. Sulitnya Berumah Tangga; Upaya
Mengatasinya Menurut Qur‘an Hadits dan Ilmu pengetahuan.
Jakarta. GIP.
Bogdan, R. C. dan Biklen, S. K. 1998. Qualitative Research In
Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn
and Bacon.
Imam Muslim. T.th. Shahih Muslim. Beirut. Darul Fikr.
Maraghi, Ahmad Musthafa.1980. Tafsir Al Maraghi. Beirut. Darul Fikr
Penerapan Metode Pembelajaran Berbasis
Proyek untuk Meningkatkan Kualitas
Pembelajaran Praktik Industri
pada Prodi S-1 PTB

Pribadi
Wasis

Abstract: This Research aim to to ( a) Improve student learning


outcomes in Industrial practical subject at Departement of
Building Education through Implementation of Project Based`
Learning and (b) Improve quality of instruction process in
Industrial practical subject at Departement of Building Education
through Implementation of Project Based Learning. This Research
is conducted in Departement of Building Education FT UM. This
Research use of class action research (CAR), having the
collaaborative character. Based on the data obtained through
observation and questionaires, the CAR was succesfull in (a)
Improve student learning outcomes in Industrial practical subject
at Departement of Building Education and (b) Improve quality of
instruction process in Industrial practical subject

Key words: Project Based Learning, industrial practical, building


education.

Pengamat pendidikan dan dunia industri mensinyalir bahwa kualitas


lulusan perguruan tinggi di Indonesia secara umum masih rendah. Hal ini
nampak dari, sikap sebagian besar lulusan perguruan tinggi kita yang
masih mengharapkan bekerja di instansi pemerintah dan tidak mampu
menciptakan lapangan kerja, minimal untuk dirinya sendiri. Hal ini
merupakan salah satu indikator proses pembelajarandi perguruan tinggi
masih belum optimal.
Pribadi dan Wasis adalah dosen Jurusan Teknik Sipil FT Universitas Negeri Malang
Pada pihak lain model pembelajaran di perguruan tinggi yang
masih mengacu pada prinsip behavioristik yang lebih menekankan
bagaimana pengajar merubah sikap, kemampuan dan keterampilan
mahasiswa, mengakibatkan banyak mahasiswa yang merasa terpaksa
dalam menjalani proses pembelajaran (Suhartadi, 2001). Hal tersebut,
akan berakibat pada rendahnya gairah belajar mahasiswa.
Kasus yang demikian dijumpai pula pada mahasiswa Program
Studi S-1 Teknik Bangunan (PTB) Fakultas Teknik (FT) Universitas
Negeri Malang (UM). Kegiatan pembelajaran yang selama ini dilakukan
masih banyak mengalami kekurangan-kekurangan dan masih perlu
dilakukan pembenahan-pembenahan. Misalnya, pada pembelajaran
bidang studi teknik, pemahaman terhadap konsep-konsep maupun teori-
teori teknik tidak cukup dilatih dengan pemberian soal-soal saja. Namun
lebih dari itu, untuk memahami konsep-konsep teknik yang bersifat
rumit dan abstrak diperlukan tugas-tugas yang bersifat lebih komplek.
Guna mencapai tujuan tersebut pada program S-1 Pendidikan Teknik
Bangunan FT UM, setiap mahasiswa harus menempuh matakuliah
Praktik Industri (PI) sebagai persyaratan untuk lulus. PI merupakan
matakuliah yang bertujuan untuk membekali mahasiswa agar memiliki
kemampuan komprehensip dalam memecahkan masalah yang yang
terjadi di lapangan. Matakuliah PI boleh diambil mahasiswa bila sudah
menyelesaikan kumulatif 90 sks atau telah menempuh 80% matakuliah
keteknikan. Dengan demikian mahasiswa yang boleh mengambil PI
adalah mahasiswa di atas semester 6. Dalam pelaksanaannya PI
dilakukan dengan cara praktik langsung di lapangan pada proyek
konstruksi yang sedang berjalan. Dalam kegiatan praktik ini diharapkan
mahasiswa mampu memahami prosedur kerja, menganalisis masalah dan
mampu memberi solusi terhadap masalah yang terjadi di lapangan..
Metode penyelesaian PI yang selama ini dilakukan dengan 10%
kuliah tatap muka di kelas dan 80% melalui kerja praktik pada industri
jasa konstruksi. Pada kuliah tatap muka di kelas yang dilakukan pada
minggu pertama dan kedua awal semester hanya terkait dengan masalah
wawasan PI dan mekanisme pelaksanaan PI di lapangan. Setelah itu
mahasiswa, diberi kebebasan untuk mengerjakan tugasnya ke lapangan
serta diberi jadwal tertentu untuk berkonsultasi dengan dua orang dosen
pembimbing yang telah ditentukan. Di lapangan mahasiswa diharapkan
dapat belajar dengan pelaksana, mandor dan tukang tentang masalah-
masalah konstruksi bangunan. Dalam pelaksanaan pendidikan pada
program S-1 PTB FT UM, ternyata penyelesaian PI menjadi kendala
utama kelulusan mahasiswa. Berdasarkan data yang ada pada jurusan
ternyata mahasiswa yang mampu menyelesaikan PI tepat waktu adalah
(l) angkatan 2001 dari sebanyak 24 orang hanya 9 orang mahasiswa,
angkatan 2002 dari sebanyak 35 orang hanya 10 orang mahasiswa dan
angkatan 2003 dari sebanyak 36 orang hanya 11 orang mahasiswa. Dari
mahasiswa yang berhasil menyelesaikan PI tersebut tidak ada (0%)
mahasiswa yang mampu meraih nilia A, 20% mahasiswa mendapat nilai
B dan 80% mahasiswa mendapat nilai C. Dari data-data tersebut nampak
bahwa hampir sebagian besar mahasiswa, mengalami masalah dalam
penyelesaian tugas PI.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tim pembimbing PI dan juga
pengamatan tim peneliti, ternyata keterlambatan mahasiswa dalam
menyelesaikan PI disebabkan kurangnya kemandirian dalam
mengerjakan tugas-tugas yang ada. Kurangnya kemandirian mahasiswa
dapat dilihat dari beberapa indikator seperti (l) tidak menepati jadwal
konsultasi yang telah ditentukan; (2) tidak mampu menyelesaikan tugas
yang telah ditargetkan; (3) malas atau tidak mau mencari buku rujukan
yang disarankan dosen; dan (4) sering mengupahkan atau menyuruh
mahasiswa lain untuk mengerjakan tugasnya, sehingga waktu konsultasi
dengan dosen, ternyata tidak mengerti akan tugas-tugas yang dikerjakan.
Di samping itu, sistem pembelajaran PI dengan memberi
kebebasan waktu pada mahasiswa untuk berkonsultasi pada dosen
pembimbing ternyata menjadi masalah tersendiri. Mahasiswa yang
memprogram PI tidak teratur memanfaatkan waktunya untuk
berkonsultasi sesuai jadwal yang ditetapkan. Pada awal-awal semester
hanya sekitar 15% mahasiswa yang memanfaatkan waktunya untuk
berkonsultasi dengan dosen pembimbing, dan sebaliknya pada akhir
semester di mana jadwal pengerjaan PI harus berakhir, hampir semua
mahasiswa berbondong-bondong berkonsultasi. Akibatnya hampir 90%
mahasiswa tidak mampu menyelesaikan PI dengan tepat. Pada pihak
lain, nampaknya dosen pembimbing juga jarang memperhatikan kegiatan
penyelesaian PI mahasiswa. Dosen pembimbing beranggapan bahwa
―kalau mahasiswa konsultasi ya dilayani, kalau tidak datang untuk
berkonsultasi ya terserah mahasiswa‖. Dalam hal ini tidak ada kontrol
terstruktur dari dosen pembimbing pada mahasiswa yang memprogram
PI. Kondisi dosen yang demikian, juga merupakan salah satu masalah
yang mengakibatkan efektifitas pengerjaan PI rendah.
Melihat sistem pembelajaran matakuliah PI yang demikian, maka
harus ada upaya-upaya sistematis untuk memperbaikinya. Sudah menjadi
kewajiban dosen untuk meningkatkan perannya sebagai fasilitator,
motivator dan insprirator, sehingga mahasiswa memiliki kemandirian
dalam menyelesaikan PI yang memang cukup berat. Sebagai fasilitator
pengajar harus dapat memberi berbagai kemudahan, petunjuk, bantuan,
dorongan pada mahasiswa dalam penyelesaian PI. Memberi petunjuk
dalam penyelesaian PI atau mengarahkan bagaimana agar mahasiswa
dapat menyelesaikan tugas dengan mudah dan sekaligus memberi
dorongan-dorongan yang diperlukan. Sebagai inspirator pengajar harus
dapat memberikan semangat, tanpa memandang taraf kemampuan
intelektual mahasiswa, sehingga kemandirian mahasiswa dalam
menyelesaikan PI tumbuh.
Melihat permasalahan dalam pembelajaran PI tersebut, maka
upaya yang dianggap sesuai untuk penyelesaikan permasalahan
pembelajaran tersebut adalah melalui penerapan pembelajaran berbasis
proyek (project based learning). Melalui pembelajaran berbasis proyek
akan mampu mendorong mahasiswa untuk melakukan invesitigasi
pemecahan masalah terhadap tugas-tugas yang bermakna, mendorong
mahasiswa bekerja secara mandiri, dan hasilnya membentuk suatu
produk nyata. Di samping itu dosen pembimbing PI, dengan penerapan
pembelajaran berbasis proyek akan dapat berperan sebagai fasilitator,
motivator dan inspirator, sehingga mampu meningkatkan kualitas
pembelajaran secara signifikan.
Berpijak pada latar belakang masalah di atas, maka cara yang
dianggap paling baik untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan
penerapan metode Pembelajaran Berbasis Proyek. Metode Pembelajaran
Berbasis Proyek dipilih untuk memecahkan masalah ini karena sesuai
dengan konteks dan tujuan dari matakuliah PI, yaitu melibatkan
tantangan-tantangan kehidupan nyata, yang berfokus pada pertanyaan
atau masalah nyata serta pemecahannya berpotensi untuk diterapkan di
lapangan yang sesungguhnya. Di samping itu metode Pembelajaran
Berbasis Proyek memiliki beberapa keunggulan seperti (1) mampu
meningkatkan motivasi mahasiswa; (2) meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah; (3) meningkatkan sikap kerjasama; dan (4)
meningkatkan keterampilan mengelola sumber (Moursund (1997).
Adanya keunggulan-keunggulan metode Pembelajaran Berbasis Proyek
tersebut dianggap tepat untuk memecahkan masalah pembelajaranpada
matakuliah PI.
Pembelajaran Berbasis Proyek adalah sebuah model pembelajaran
yang inovatif, dan lebih menekankan belajar kontekstual melalui
kegiatan-kegiatan yang komplek. (CORD, 2001; Thomas, Mergendoller,
& Michaelson, 1999; Moss, Van-Duze, Carol, 1998). Fokus
pembelajaran terletak pada prinsip-prinsip dan konsep-konsep inti dari
suatu displin ilmu, melibatkan mahasiswa dalam investigasi pemecahan
masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi
kesempatan mahasiswa bekerja secara otonom dalam mengkonstruksi
pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya untuk
menghasilkan produk nyata (Thomas, 2000). Pembelajaran berbasis
proyek memiliki potensi yang amat besar untuk memberi pengalaman
belajar yang lebih menarik dan bermakna bagi mahasiswa (Gaer, 1998).
Secara umum karakteristik project based learning mencakup isi,
aktivitas, kondisi dan hasil. Secara operasional hal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut: Karakteristik isi: memuat ide-ide seperti (l)
masalah disajikan dalam bentuk keutuhan kompleksitas; (2) mahasiswa
menemukan hubungan anta ride secara indispliner; (3) mahasiswa
berjuang dengan ambiguitas; dan (4) pertanyaan dunia nyata dan menarik
perhatian mahasiswa. Karakteristik aktivitas. Memuat ide-ide investigatif
seperti (l) mahasiswa melakukan investigasi selama periode tertentu; (2)
mahasiswa dihadapkan pada suatu kesulitan, pencarian sumber dan
pemecahan masalah dalam merespon tantangan secara keseluruhan; (3)
mahasiswa membuat hubungan/keterkaitan antar ide-ide dan
memperoleh ketrampilan baru seperti melakukan kerja pada tugas-tuga
yang berbeda; (4) mahasiswa menggunakan perlengkapan.alat
otentik/sesungguhnya (misalnya, teknologi/sumber-sumber nyata); dan
(5) mahasiswa melakukan umpan balik (refleksi) tentang nilai idenya
dari ahli lain/melalui tes realistik
Kondisi, dukungan terhadap otonomi mahasiswa seperti (l)
mahasiswa mengambil bagian dalam masyarakat inkuiri dan meneruskan
latihan kerjanya di dalam konterk social; (2) mahasiswa diminta
memperagakan tingkah laku manajemen waktu dan tugasnya baik secara
individu maupun kelompok; (3) mahasiswa mengarahkan kerjanya
sendiri dan melakukan kontrol belajarnya; dan (4) mahasiswa melakukan
simulasi kerja profesional dari seorang sarjana, peneliti, engineer dan
praktisi-praktisin lainnya.
Hasil, produk nyata seperti: (l) mahasiswa menghasilkan produk
intelektual yang kompleks yang menunjukkan hasil belajarnya (misalnya
model, benda nyata, laporan dan sejenisnya); (2) mahasiswa terlibat
dalam melakukan self assessment; (3) mahasiswa bertanggung jawab
terhadap pilihannya tentang bagaimana akan mendemonstrasikan
kompetensi mereka; dan (4) mahasiswa memperagakan kompetensi
nyata mereka seperti: keterampilan sosial, keterampilan manajemen,
ketrampilan teknik dan sebagainya. Sebagai sebuah model pembelajaran,
Pembelajaran Berbasis Proyek mempunyai beberapa prinsip, yaitu (1)
centrality; (2) driving question; (3) contructive investigation; (4)
autonomy; dan (5) realism (Thomas, 2000).
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas
penelitian ini bertujuan untuk (1) Meningkatkan hasil belajar mahasiswa
dalam matakuliah Praktik Industri pada program studi S-1 PTB FT UM
melalui penerapan metode Pembelajaran Berbasis Proyek dan (2)
Meningkatkan kualitas proses pembelajaran mahasiswa dalam
matakuliah Praktik Industri pada program studi S-1 PTB FT UM melalui
penerapan metode Pembelajaran Berbasis Proyek

METODE
Penelitian ini dilakukan di Program Studi S-1 Teknik Bangunan
FT UM. Waktu pelaksanaan penelitian ini direncanakan dilaksanakan
mulai bulan Pebruari 2008 sampai dengan bulan November 2008. Subjek
penelitian ini melibatkan 2 orang dosen, disamping itu dilibatkan 15
mahasiswa semester 7 dan 8 prodi S-1 PTB FT UM yang memprogram
matakuliah PI. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian
tindakan kelas (classroom action research) yang bersifat kolaboratif.
Artinya penelitian ini melibatkan tim pengajar sebagai anggota peneliti,
yang dari awal sampai akhir kegiatan terlibat langsung sebagai peneliti
pelaksana. Penelitian ini berpedoman pada model yang dikembangkan
Kemmis dan McTaggart (Dalam Hopkins, 1992) merupakan alur
pelaksanaan tindakan dan berlangsung dalam siklus-siklus yang terdiri
atas rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi.
Hasil refleksi pada siklus ini digunakan sebagai dasar pelaksanaan siklus
berikutnya.
Berbeda dari interpretasi data hasil tiap observasi yang dijadikan
bahan diskusi balikan sebagai tindak lanjut dari suatu observasi, analisis
data dalam rangka refleksi setelah implementasi suatu paket tindakan
perbaikan mencakup proses dan dampak seperangkat tindakan perbaikan
dalam sesuatu siklus penelitian tindakan kelas sebagai keseluruhan
(PGSM, 1999). Dalam hubungan ini, analisis data adalah proses
menyeleksi, menyederhanakan, memfokuskan, mengabstraksikan, meng-
organisasikan data secara sistematis dan rasional untuk menampilkan
bahan-bahan yang dapat digunakan untuk menyusun jawaban terhadap
penelitian tindakan kelas.
Analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu reduksi data,
paparan data, dan penyimpulan (PGSM, 1999). Reduksi data adalah
proses penyederhanaan yang dilakukan melalui seleksi, pemfokusan, dan
pengabstraksian data mentah menjadi informasi yang bermakna. Paparan
data adalah proses penampilan data secara lebih sederhana dalam bentuk
paparan naratif, representatif tabular termasuk dalam format matriks,
representatif grafis, dan sebagainya. Sedangkan penyimpulannya adalah
proses pengambilan intisari dari sajian data yang telah terorganisir
tersebut dalam bentuk pernyataan kalimat dan atau formula yang singkat
dan padat tetapi mengandung pengertian luas (PGSM).

HASIL
Siklus 1
a. Perencanaan
Sebagai langkah awal kegiatan tim Peneliti melakukan
bekerjasama dengan tim pengajar Praktik Industri. Hal ini dilakukan
dalam rangka menciptakan suatu iklim yang baik antara peneliti dengan
pengajar dan mahasiswa. Kegiatan pertama dalam siklus I ini adalah
dilakukan perencanaan pembelajaran Praktik Industri dengan
menggunakan metode Pembelajaran Berbasis Proyek. Tahap perencana-
an ini meliputi kegiatan sebagai berikut:
1. Pembuatan rancangan operasional metode Pembelajaran Berbasis
Proyek yang meliputi:
Authenticity: terkait dengan kebermaknaan tugas bagi
mahasiswa; tingkat kesulitan tugas dan kemampuan mahasiswa
dan produk yang akan dihasilkan dari proyek akhir tersebut
Academic Rigor: terkait dengan ilmu-ilmu yang terkait dan
digunakan dalam penyelesaian proyek; metode ilmiah yang
digunakan memecahkan masalah dan. analisis dari berbagai
aspek dalam pemecahan masalah
Applied Learning: yang terkait dengan konteks permasalahan;
kerja tim dan penggunakan teknologi yang tepat (l) pembuatan
tim work untuk menyelesaikan tugas-tugas, (2) analisi teknik-
teknik yang digunakan untuk memecahkan masalah, (3)
pengembangkan organisasi kerja.
Active Exploration: yang terkait dengan efektifitas penggunaan
waktu; penggunaan prosedur penelitian dengan berbagai metode,
sumber dan media, dan melakukan presentasi ilmiah
Adult Relationship: yang terkait dengan kersempatan belajar dan
bekerja dengan akhli dari luar; bekerja/berdiskuasi dengan
seorang teman; penilaian hasil kerja mahasiswa oleh orang luar
Assessment: yaitu terkait dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian mandiri terhadap unjuk kerjanya; keterlibatan pihak
luar untuk pengembangkan standar kerja dan penilaian
reguler/teratur terhadap unjuk kerja mahasiswa.
2. Pembuatan pedoman petunjuk praktik industri, dan bentuk Buku
pegangan mahasiswa dan pedoman pembimbingan dosen.

b. Tindakan
Pada tahap ini diawali dengan pertemuan dengan dosen
pembimbing dan mahasiswa yang menjadi subyek penelitian ini.
Kegiatan pertemuan awal ini dilakukan dengan tahap kegiatan sebagai
berikut:
1. Penjelasan oleh ketua tim pengajar tentang tujuan umum dan khusus
matakuliah Praktik Industri; materi atau topik-topik Praktik Industri,
waktu penyelesaian dan persyaratan-persyaratan lainnya sesuai buku
pegangan mahasiswa. Tahap ini berlangsung selama 30 menit
2. Penjelasan penyelesaian Praktik Industri dengan menggunakan
metode proyek yang meliputi tahap-tahap prosedur Metode Proyek.
Tahap ini berlangsung selama 30 menit
3. Setelah selesai penjelasan tersebut dilakukan tanya jawab dengan
mahasiswa dan dosen pembimbing.
4. Penentuan topik tugas Praktik Industri,
Setelah diadakan forum tanya jawab kemudian mahasiswa diberi
kesempatan untuk mengembangkan topik Praktik Industri
5. Penentuan jadual pembimbingan.
Berdasarkan diskusi antara tim pembimbing dan mahasiswa
disepakati bahwa jadual pembimbingan terstruktur dilakukan 2 kali
dalam seminggu.

c. Observasi dan Interpretasi


Selama kegiatan pembimbingan berlangsung tim peneliti
melakukan observasi dan hasil obsevasi dicatat dalam lembar observasi
yang telah disediakan. Pada tahap ini peneliti membuat catatan lapangan
yang berfokus pada (1) penyelesaian Praktik Industri dengan mengguna-
kan metode pembelajaran berbasis proyek dan (2) pengembangkan topik
Praktik Industri. Pada tahap ini peneliti mengevaluasi efektifitas pembe-
rian tindakan untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran penyelesaian
Praktik Industri.

d. Refleksi
Berdasarkan tahap tindakan yang telah dilakukan diperoleh
gambaran bahwa 90% mahasiswa telah memahami konsep-konsep dasar
metode proyek yang akan digunakan dalam menyelesaikan tugas Praktik
Industri. Demikian pula mahasiswa telah mampu mengembangkan topik-
topik yang dijadikan kajian Praktik Industri. Dengan demikian
mahasiswa telah siap untuk melakukan kerja praktik industri di lapangan.
Siklus 2
a. Perencanaan
Berdasarkan temuan pada siklus 1 diketahui bahwa sebagian besar
(90)% mahasiswa telah memahami konsep-konsep dasar metode
Pembelajaran Berbasis Proyek. Maka dalam perencanaan siklus 2
dilakukan langkah-langkah perencanaan yang terkait dengan:
1. Menentukan lokasi tempat praktik industri bagi masing-masing
kelompok mahasiswa.
2. Pengembangan pokok bahasan praktik industri (pengerjaan pondasi
bangunan)
3. Pengembangan tahap-tahap kegiatan praktik
4. Pengembangan pedoman pembimbingan di lapangan
5. Pengembangan pedoman kegiatan pembimbingan di kampus

b. Tindakan
Pada tahap ini mahasiswa mulai praktik ke proyek bangunan yang
telah ditentukan. Kegiatan praktik ini dilakukan mahasiswa sesuai
dengan pedoman petunjuk praktik. Kegiatan praktik ini dilakukan
mahasiswa dilakukan selama 3 minggu, dimana dalam satu minggu
mahasiswa 3 hari berada di lokasi proyek.
Dalam satu minggu dosen pembimbing 1 kali melakukan peng-
amatan dan pembimbingan di lokasi proyek, dan 2 kali pembimbingan di
kampus. Pembimbingan difokuskan pada pembahasan topik tugas
Praktik Industri yang terkait dengan (l) kemanfaat tugas dari segi praktis
dan kelimuan; (2) pembuatan jadual kerja sesuai dengan sub-sub topik
yang dibahas; dan (3) pembahasan hasil dari tugas Praktik Industri. Pem-
bimbingan di kampus, diawali presentasi mahasiswa tentang topik-topik
bahasan, kemudian dilakukan diskusi dengan tim pembimbing.

c. Observasi dan Interpretasi


Selama kegiatan pembimbingan baik di lapangan maupun di
kampus berlangsung tim peneliti melakukan observasi terhadap kegiatan
pembelajaran. Pada tahap ini peneliti membuat catatan lapangan yang
berfokus pada pemahaman mahasiswa terhadap (l) kemanfaat tugas dari
segi praktis dan kelimuan, (2) pembuatan jadual kerja sesuai dengan sub-
sub topik yang dibahas, dan (3) pembahasan hasil dari tugas Praktik
Industri. Demikian pula pada tahap ini peneliti mulai mengevaluasi
efektifitas pemberian tindakan untuk meningkatkan efektifitas
pembelajaran praktik.

d. Refleksi
Dari hasil observasi dan interpretasi dapat disimpulkan bahwa baru
60 % mahasiswa mampu menunjukkan kinerja dalam karakteristik
aktivitas, kondisi dan hasil dengan kualifikasi baik/sangat baik.
Demikian pula baru 65% tahap-tahap prinsip pelaksanaan dan desain
perancangan pembelajaran berbasis proyek dapat dilaksanakan oleh
dosen dengan baik/sangat baik. Kelemahan mendasar yang masih
dilakukan mahasiswa dalam tahap ini adalah masih belum mampu
menerapkan (1) Applied Learning: yang terkait pembentukan tim work
dan aktivitas kerja kelompok untuk menyelesaikan tugas-tugas; (2)
Active Exploration: yang terkait dengan penggunaan prosedur penelitian
dengan berbagai metode dalam menganalisis kegiatan lapangan; dan (3)
Adult Relationship: yang terkait dengan kersempatan belajar dan bekerja
dengan para manajer proyek dan pelaksanaan lapangan. Oleh karena itu
pada siklus berikutnya hal tersebut perlu dikembangkan dan diperbaiki.
Untuk itu sebelum praktik ke lapangan mahasiswa harus di beri
pembekalan (penjelasan) kembali tentang karakteristik dan prosedur
pembelajaran berbasis proyek.

Siklus 3
a. Perencanaan
Sesuai hasil refleksi pada siklus 2 maka pada siklus 3 pada siklus
ini akan lebih difokuskan pada pengembangan dan perbaikan pada
komponen (1) Applied Learning; (2) Active Exploration; dan (3) Adult
Relationship. Dengan demikian perencanaan pada siklus ini dilakukan
dengan:
1. Penentuan pokok bahasan praktik yaitu pekerjaan kolom dan balok
bangunan
2. Pengembangan komponen (1) Applied Learning, (2) Active
Exploration: dan (3) Adult Relationship dalam penyelesaian tugas-
tugas PI
3. Pengembangan karakteristik aktivitas, kondisi dan hasil
4. Pengembangan prinsip pelaksanaan dan desain perancangan
pembelajaran berbasis proyek, pada tugas-tugas di lapangan

b. Tindakan
Sebelum memulai praktik di lapangan pada hari pertama,
mahasiswa diberi penjelasan tentang karakteristik dan prosedur
pembelajaran berbasis proyek. Kegiatan ini dilakukan di kampus selama
4 jam pelajaran. Pada hari berikutnya mahasiswa baru mulai prakltik ke
lapangan lagi. Pada tahap ini mahasiswa mulai praktik ke proyek
bangunan yang telah ditentukan khususnya untuk pokok bahasan
pekerjaan kolom dan balok bangunan. Kegiatan praktik ini dilakukan
mahasiswa sesuai dengan pedoman petunjuk praktik. Kegiatan praktik
ini dilakukan mahasiswa selama 3 minggu, dimana dalam satu minggu
mahasiswa 3 hari berada di lokasi proyek.
Dalam satu minggu dosen pembimbing 1 kali melakukan penga-
matan dan pembimbingan di lokasi proyek, dan 2 kali pembimbingan di
kampus. Pembimbingan difokuskan pada pembahasan topik tugas
Praktik Industri yang terkait dengan (l) kemanfaat tugas dari segi praktis
dan kelimuan; (2) pembuatan jadual kerja sesuai dengan sub-sub topik
yang dibahas; dan (3) pembahasan hasil dari tugas Praktik Industri.
Pembimbingan di kampus, diawali presentasi mahasiswa oleh mahasiswa
tentang topik-topik bahasan, kemudian dilakukan diskusi dengan tim
pembimbing.

c. Observasi dan Interpretasi


Selama kegiatan pembimbingan berlangsung tim peneliti
melakukan observasi dan hasil obsevasi dicatat dalam lembar observasi.
Pada tahap ini peneliti membuat catatan lapangan yang berfokus pada
pemahaman mahasiswa terhadap (1) ilmu-ilmu yang terkait yang
digunakan mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam
penyelesaian tugas Praktik Industri; (2) metode ilmiah yang diterapkan/
digunakan mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam
penyelesaian tugas Praktik Industri; dan (3) tinjauan dari berbagai aspek
terhadap tugas mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi
dalam penyelesaian tugas Praktik Industri.

d. Refleksi
Dari hasil observasi dan interpretasi dapat disimpulkan bahwa 80%
mahasiswa mampu menunjukkan kinerja dalam karakteristik aktivitas,
kondisi dan hasil dengan kualifikasi baik/sangat baik. Demikian pula
80% tahap-tahap prinsip pelaksanaan dan desain perancangan pembe-
lajaran berbasis proyek dapat dilaksanakan oleh dosen dengan baik/
sangat baik. Dalam siklus ini nampak masih ada kurang-lebih 20%
mahasiswa belum mampu menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran
berbasis proyek. Masih ada beberapa kelemahan mahasiswa pada siklus
ini yaitu khususnya dalam hal menjalin hubungan dengan pihak proyek
yaitu manajer proyek, pelaksana lapangan, mandor maupun tukang dan
pembantu tukang. Mahasiswa masih kurang maksimal memanfaatkan
pihak-pihak tersebut sebagai sumber belajar di lapangan. Pada siklus
berikutnya kelompok mahasiswa tersebut diharapkan ada perbaikan dan
pengembangan kerja dalam menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran
berbasis proyek .

Siklus 4
a. Perencanaan
Sesuai hasil refleksi pada siklus 4 pada siklus ini akan dilakukan
perencanaan dalam hal:
1. Penentuan pokok bahasan praktik yaitu pekerjaan pelat lantai
bangunan.
2. Pengembangan karakteristik aktivitas, kondisi dan hasil.
3. Pengembangan dan perbaikan pedoman praktik khususnya yang
berhubungan dengan prinsip pelaksanaan dan desain perancangan
Pembelajaran Berbasis Proyek, secara lebih operasional.
4. Pengembangan strategi operasioanal menjalin hubungan dengan
pihak proyek.

c. Tindakan
Sama seperti pada`siklus 3, sebelum memulai praktik di lapangan
pada hari pertama, mahasiswa diberi penjelasan tentang karakteristik dan
prosedur pembelajaran berbasis proyek dan strategi operasioanal
menjalin hubungan dengan pihak proyek. Kegiatan ini dilakukan di
kampus selama 3 jam pelajaran. Pada hari berikutnya mahasiswa baru
mulai praktik ke lapangan lagiPada tahap ini mahasiswa mulai praktik ke
proyek bangunan yang telah ditentukan khususnya untuk pokok bahasan
pekerjaan pelat lantai bangunan. Kegiatan praktik ini dilakukan
mahasiswa sesuai dengan pedoman petunjuk praktik. Kegiatan praktik
ini dilakukan mahasiswa selama 3 minggu, dimana dalam satu minggu
mahasiswa 3 hari berada di lokasi proyek.
Dalam satu minggu dosen pembimbing 1 kali melakukan penga-
matan dan pembimbingan di lokasi proyek, dan 2 kali pembimbingan di
kampus. Pembimbingan difokuskan pada pembahasan topik tugas
Praktik Industri yang terkait dengan (l) kemanfaat tugas dari segi praktis
dan kelimuan; (2) pembuatan jadual kerja sesuai dengan sub-sub topik
yang dibahas; dan (3) pembahasan hasil dari tugas Praktik Industri.
Pembimbingan di kampus, diawali presentasi mahasiswa oleh mahasiswa
tentang topik-topik bahasan, kemudian dilakukan diskusi dengan tim
pembimbing.

e. Observasi dan Interpretasi


Selama kegiatan pembimbingan berlangsung tim peneliti
melakukan observasi dan hasil obsevasi dicatat dalam lembar observasi.
Pada tahap ini peneliti membuat catatan lapangan yang berfokus pada
pemahaman mahasiswa terhadap (1) ilmu-ilmu yang terkait yang
digunakan mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam
penyelesaian tugas Praktik Industri; (2) metode ilmiah yang diterapkan/
digunakan mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam
penyelesaian tugas Praktik Industri; dan (3) tinjauan dari berbagai aspek
terhadap tugas mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi
dalam penyelesaian tugas Praktik Industri.

f. Refleksi
Dari hasil observasi dan interpretasi dapat disimpulkan bahwa 95%
mahasiswa telah mampu menunjukkan kinerja dalam karakteristik
aktivitas, kondisi dan hasil dengan kualifikasi baik/sangat baik.
Demikian pula 95% tahap-tahap prinsip pelaksanaan dan desain
perancangan Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dilaksanakan oleh
dosen dengan baik/sangat baik. Disamping itu mahaisswa telah mampu
menjalin hubungan dengan pihak proyek, dan memanfaatkan pihak
proyek sebagai sumber belajar. Mengingat indikator pencapaian tujuan
penelitian ini telah tercapai maka siklus penelitian dihentikan.

BAHASAN
Dalam pembahasan ini akan dikaji tiap-tiap strategi yang
digunakan dalam metode proyek yaitu (l) authenticity; (2) academic
rigor; (3) applied learning; (4) active exploration; (5) adult relationship;
dan (6) assessment.

1. Authenticity
Authenticity merupakan langkah awal dalam perancangan
pembelajaran dengan pembelajaran berbasis proyek. Dalam konsep
authenticity, proyek atau tugas yang dikerjakan mahasiswa harus
memiliki makna bagi mahasiswa. Suatu tugas yang memiliki makna
adalah tugas dimana mahasiswa merasa bahwa tugas tersebut sangat
berguna bagi mahasiswa setelah ia terjun di dunia kerja. Tugas tersebut
terkait dengan kebutuhan dunia kerja, tugas tersebut dapat dijadikan
bekal untuk kehidupannya. Dengan dipahaminya ―kebermaknaan‖ suatu
tugas, maka motivasi mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akan
meningkat (ISTE, 2002), dengan demikian mahasiswa akan dapat
menyelesaiakan tugasnya dan pada akhirnya mahasiswa akan mampu
menghasilkan sesuatu dari tugas tersebut. Oleh karena itu tugas seorang
pengajar dalam tahap ini adalah menjelaskan kebermaknaan suatu tugas
bagi mahasiswa; pengajar harus bisa memilih dan memberi tugas yang
bermakna untuk mahasiswa. Pada siklus I pada proses penelitian ini,
masalah authenticity, merupakan tahap awal yang ditekankan pada
mahasiswa; dalam tahap ini pengajar harus mampu menjelaskan
kebermaknaan tugas, baik dari segi teknik maupun ekonomi.

2. Academic Rigor
Academin rigor adalah penerapan konsep-konsep akademis dalam
menyelesaikan suatu tugas. Dalam pembelajaran berbasis proyek
academic rigor, merupakan bagian yang amat penting karena
mengharuskan mahasiswa menerapkan kaidah-kaidah ilmiah dalam
memecahkan masalah yang dihadapi dalam penyelesaian suatu tugas.
Pembelajaran dengan pembelajaran berbasis proyek akan melatih dan
membiasakan mahasiswa untuk menerapkan pendekatan ilmiah dalam
memecahkan masalah dalam kehidupan. ISTE (2002) mengatakan bahwa
dalam metode pembelajaran berbasis proyek mahasiswa dilatih
melakukan penelitian, menggunakan berbagai sumber informasi dan
mampu berpikir lintas keilmuan. Dalam tahap ini pengajar harus mampu
merancang pembelajaran yang dapat mendorong mahasiswa untuk
mengembangkan dan menggunakan pendekatan ilmiah dalam
memecahkan masalah yang dihadapi.

3. Applied Learning
Aplied learning adalah usaha untuk mengarahkan kegiatan belajar
mahasiswa ker arah situasi belajar yang mengacu pada kehidupan nyata
yang berada di luar lingkungan sekolah dan Kraf (1998) menyebut
sebagai ―real world oriented”. Salah satu bentuk belajar dalam kehidup-
an nyata adalah agar mahasiswa mampu bekerja dalam organisasi
modern yang menuntut disiplin tinggi, penggunaan teknologi yang tepat,
dan mampu berkomunikasi dengan rekan kerja, dan inilah yang disebut
dengan real learning dan real work (Steinberg, 2001).

4. Active Exploration
Active exploration adalah usaha untuk mendorong mahasiswa agar
aktif melakukan ekplorasi/penelitian, dengan menggunakan waktu secara
efektif. Dalam tahap ini pengajar harus mampu memacu dan sekaligus
mendorong mahasiswa untuk selalu berusaha memecahkan masalah
secara kontinyu dan jangan putus asa. Menurut Buck Institute for
Education (2001) dalam pembelajaran berbasis proyek mahasiswa harus
mampu sebagai ―discoverer, integrator, and presenter of ideas. Dalam
pelaksanaan penelitian ini, mendorong sikap dan tindakan mahasiswa
agar selalu active exploration, ternyata merupakan sesuatu yang amat
sulit. Hal ini mungkin disebabkan oleh perilaku mahasiswa selama ini
lebih banyak bersikap pasif dalam setiap pembelajaran, dan sering
dijumpai pengajar hanya bersikap sebagai penyampai materi belaka, dan
kurang mendorong keterlibatan mahasiswa dalam proses pembelajaran.

5. Adult Relationship
Adult Relationship, terkait usaha memacu mahasiswa agar mampu
belajar dari orang lain yaitu pada para praktisi expert dan bahkan pada
para pekerja yang terkait dengan masalah yang dikaji. Dalam proses
adult relationship ini para pengajar harus mendorong mahasiswa untuk
mampu bertanya, berdiskusi dan juga mengajak merancang serta menilai
kerja mahasiswa. Dengan model belajar yang demikian diharapkan
mahasiswa memiliki pemahaman, pengetahuan dan keterampilan yang
mendalam terhadap tugas yang sedang dikajinya.

6. Assesment
Assesment, adalah usaha agar mahasiswa mampu melakukan
penilaian secara teratur terhadap proses belajar yang dilakukan.
Disamping itu mahasiswa juga harus mampu mengembangakan kriteria
penilaian sesuai standar yang berlaku di dunia kerja. Penilain yang harus
dilakukan mahasiswa mencakup prosedur kerja/metode yang dilakukan,
waktu yang digunakan, hasil kerja dan hal-hal lain yang terkait dengan
penyelesian tugasnya. Dari hasil penilaian yang dilakukan mahasiswa
diharapkan mahasiswa dapat melihat kekurangan-kekurangannya,
mampu memperbaikinya pada proses berikutnya. Dalam salah satu
kriteria pembelajaran berbasis proyek Kraf (1998) menyebut hal ini
sebagai ―student self-assesment of learning is encourage‖

7. Peran Pembimbing/Pengajar
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan pembelajaran berbasis
proyek peran dan tugas pengajar sangat jauh berbeda dengan peran dan
tugas pengajar dalam pembelajaran konvensional. Dalam pembelajaran
berbasis proyek pengajar diharapkan sebagai ―resource provider and
participant in learning activities,‖ berbeda dalam pembelajaran konven-
sional pengajar lebih sebagai “lecturer and director of instruction‖ dan
dalam pembelajaran konvensional pengajar menganggap dirinya sebagai
―expert‖ sedang dalam pembelajaran berbasis proyek pengajar harus
mampu berperan sebagai ―advisor/colleague‖ (Buck Institute for
Education, 2001).
Perubahan peran dan fungsi pengajar dari pembelajaran
konvensional ke pembelajaran pembelajaran berbasis proyek tentu bukan
merupakan sesuatu yang mudah, khususnya bagi pengajar yang telah
terbiasa dengan model pembelajaran konvensional. Bagi pengajar yang
telah terbiasa dengan pembelajaran konvensional, perlu memahami
hakekat dan filsafat pembelajaran berbasis proyek lebih mendalam,
dengan demikian diharapkan mampu memahami peran dan fungsinya
sebagai pengajar.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut: (l) Pembelajaran
Berbasis Proyek secara signifikan dapat meningkatkan hasil belajar
mahasiswa dalam matakuliah Praktik Industri pada program studi S-1
PTB FT UM dan (2) Penerapan pembelajaran berbasis proyek dapat
meningkatkan kualitas proses pembelajaran mahasiswa dalam
matakuliah Praktik Industri pada program studi S-1 PTB FT UM.

Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, diajukan beberapa saran sebagai
berikut (l) Mengingat metode Pembelajaran Berbasis Proyek sangat
berbeda dengan metode pembelajaran konvensional maka dalam
penerapan metode Pembelajaran Berbasis Proyek pengajar harus
memahami hakekat dan prinsip-prinsip dasar PBL secara benar, dan (2)
Guna mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang kehandalan
metode Pembelajaran Berbasis Proyek diperlukan penelitian lanjutan
pada bidang-bidang studi yang lain.
DAFTAR RUJUKAN

Clegg, B. 2001. Instance Motivation. Jakarta: Penerbit Erlangga


Clegg, B & Berch, P. 2001. Instance Crativity. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Bereiter, C & Scardamalia, M. 1999. Process and Product in PBL
Research. Toronto:Ontario Institute for Studies in Education,
University of Toronto.
Blumenfeld, P. Soloway, E., Mark, R., Krajick, J., Guzdial, M dan
Palinscar, A. 1991. Motivating Project Base Learning: Sustaining
Doing, Supporting the Learning. Educational Psychologist. 26 (3
&4), 389--398.
CORD, 2001. Contextual Learning Resource. Tersedia pada: http://www.
cord.org/lev2.cfm/65. Diakses tanggal: 2 Maret 2001.
Dryden C. & Vos, J. 2001. The Learning Revolution. Bandung: Kaifa
Gaer, S. 1998. What is Project-Based Learning? Tersedia pada: http://
members .aol.com /CulebraMom/ PBLprt.html. Diakses tanggal 12
Juli 1998.
Hopkins, D. 1992. A Teacher`s Guide to Classroom Research.
Philadelpia: Open University.
Hung, D.W.,& Wong, A.F.L. 2000. Activity Theory as a Framework for
Project Work in Learning Environment. Educational Technology.
40(2), 33-37
Jones, B.F. Rasmussen, C.M. & Moffit, M.C. 1977. Real Life Problem
Solving: A Collaborative Aproach to Indisciplinary Learning.
Washington DC: American Psychological Association.
Moss, D & Van-Duzer, C. 1998. Project Base Learning for Adult
English Language Learner. ERIC Gigest, ED427556.
Ed427556/html
Moore, D. 2000. Toward a Theory of Work-Base Learning. IEE Brief, 23
(January), [Online).
Moursund, D. 1997. Project: Road Ahead (Project-Based Learning).
Teraedia pada: http://www.iste.org/research/roadahead/PBL.html.
Diakses tanggal 10 Desember 1997.
Rosenfeld, S,. & Ben-Hur, Y., 2001. PBL in Science and Technology: A
Case Stu dy of Professional Development. Tersedia pada:
http://www. designworlds.com/ techcape/sherm.inservicer.html.
Diakses tangal 23 Januari 2002
Stepien, W & Gallagher, S. 1993. Problem Base Learning: As Authentic
as it Gets. Educational Leadership,. 51, 25--28
Suhartadi, S. 2001. Menumbuhkan Kemandirian dan Kegairahan Belajar
Mahasiswa Melalui PembelajaranTeknologi di SMK. Mahakalah
disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Peningkatan
Profesionalitas Guru SMK Melalui Kajian Kelas. Yang
diselenggarakan pada tanggal 4 September 2001 di kampus
Universitas Negeri Malang.
PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Depdikbud
Penuel, W.R. & Means, B. 1999. Observing Classroom Process in
Project-Base Learning Using Multimedia: A Tool for Evaluator.
Center for Technology in Leraning SRI International.
Richmond, G., & Striley, J. 1996. Making Meaning in Classroom: Social
Processes in Small-Group Discourse and Scientific Knowledge
Building. Journal of Research in Science Teaching. 33(8), 839-858
Thomas, JW, Mergendoller, JR & Michaelson, A. 1999. Project Base
Learning: A handbook of Midle and High School Teacher. Novato
CA: The Buck Institute for Education.
Thomas, JW. 2000. A Review of Research on Project-Based Learning.
California: The Autodesk Foundation. Available on:http://www.
autodesk. com/foundation.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Wetern Kentucky University Center for Teaching and Learning. 2001.
Project-Based Learning. http://PBLmm.kn.us/PBL
guide/why.PBL.html

You might also like