Professional Documents
Culture Documents
Laili Maziyah
Syafaat
Laily Maziyah dan Syafaat adalah dosen Jurusan Sastra Arab FS Universitas Negeri
Malang
Presiden Yudhoyono kemudian secara khusus memanggil Menneg
Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Sekretaris Kabinet Sudi
Silalahi, dan Dirjen Binmas Islam Nazzarudin Umar meminta revisi agar
cakupan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 (yang sudah
direvisi menjadi PP Nomor 45 tahun 1990 tentang poligami) diperluas
tidak hanya berlaku bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) tetapi juga pada
pejabat negara dan pejabat pemerintah (Iman, 2006).
Poligami merupakan salah satu bentuk perkawinan yang seorang
laki-laki menikahi lebih dari satu istri. Menurut Mulia (2004:44-45),
poligami sudah ada jauh sebelum Islam datang. Mahmud Syaltut (w.
1963), ulama besar asal Mesir, secara tegas menolak poligami sebagai
bagian dari ajaran Islam, dan juga menolak bahwa poligami ditetapkan
oleh syari‘ah.
Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat manusia di
berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami.
Poligami dipraktekkan secara luas di kalangan masyarakat Yunani,
Persia, dan Mesir kuno. Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam,
masyarakatnya telah mempraktekkan poligami, malahan poligami yang
tak terbatas. Sejumlah riwayat menceriterakan bahwa rata-rata pemimpin
suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku
mempunyai istri sampai ratusan.
Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa setelah turun ayat yang
membatasi jumlah istri hanya empat orang, yakni QS Al-Nisa‘: [4]:3.
Nabi segera memerintahkan semua laki-laki yang memiliki istri lebih
dari empat agar menceraikan istri-istrinya sehingga setiap suami
maksimal hanya boleh punya empat istri (Ibn Surah, tt:445). Karena itu,
A1-Aqqad (1962:107) ulama asal Mesir, menyimpulkan bahwa Islam
tidak mengajarkan poligami, tidak juga memandang positif, apalagi
mewajibkan, Islam hanya membolehkan dengan syarat yang sangat ketat.
Sangat disesalkan bahwa dalam prakteknya di masyarakat, mayoritas
umat Islam hanya terpaku pada kebolehan poligami, tetapi mengabaikan
sama sekali syarat yang ketat bagi kebolehannya itu. Perkembangan
poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan masyarakat
terhadap kaum perempuan. Pada masa ketika masyarakat memandang
kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami menjadi subur,
sebaliknya pada masa masyarakat memandang kedudukan dan derajat
perempuan terhormat, poligami pun berkurang. Jadi, perkembangan
poligami mengalami pasang surut mengikuti tinggi-rendahnya
kedudukan dan derajat perempuan di mata masyarakat (Abu Zayd,
2003).
Ketika Islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta
dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung soal poligami
diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan
petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang dilakukan Nabi,
menurut Mulia (2004:46-47) berkaitan dengan dua hal. Pertama,
membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Sejumlah riwayat
memaparkan pembatasan poligami tersebut di antaranya riwayat dan
Naufal ibn Muawiyah. Ia berkata: Ketika aku masuk Islam, aku memiliki
lima orang istri. Rasulullah berkata: Ceraikanlah yang.satu dan
pertahankan yang empat. Pada riwayat lain Qais ibn Tsabit berkata:
Ketika masuk Islam aku punya delapan istri. Aku menyampaikan hal itu
kepada Rasul dan beliau berkata: pilih dari mereka empat orang.
Riwayat serupa dari Ghailan ibn Salamah Al-Tsaqafi menjelaskan bahwa
dirinya punya sepuluh orang istri, lalu Rasul bersabda: “pilih empat
orang dan ceraikan yang lainnya.”
Kedua, menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus
mampu berlaku adil. Persyaratan yang ditetapkan bagi kebolehan
poligami itu sangat berat, dan hampir dapat dipastikan tidak ada yang
mampu memenuhinya. Artinya, Islam memperketat syarat poligami
sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-mena
terhadap istri mereka seperti sediakala. Dengan demikian, terlihat bahwa
praktek poligami di masa Islam sangat berbeda dengan praktek poligami
sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal. Pertama, pada
bilangan istri, dan tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya
empat. Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki masa itu
sudah terbiasa dengan banyak istri, lalu mereka disuruh memilih empat
saja dan menceraikan selebihnya. Kedua, pada syarat poligami, yaitu
harus mampu berlaku adil. Sebelumnya, poligami itu tidak megenal
syarat apa pun, termasuk syarat kesetaraan. Akibatnya, poligami banyak
membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena
para suami yang berpoligami tidak terikat pada keharusan berlaku adil,
sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan
nafsunya.
Dalam realiatas, poligami berimplikasi pada maraknya berbagai
bentuk kekerasan terhadap perempuan. Laporan Rifka Annisa (2001:5-
8), sebuah institusi yang peduli pada kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan, menjelaskan bahwa selama tahun 2001 mencatat sebanyak
234 kasus kekerasan terhadap istri. Data-data mengenai status korban
mengungkapkan 5,1% poligami secara rahasia, 2,5% dipoligami resmi,
36,3% korban selingkuh, 2,5% ditinggal suami, 4,2% dicerai, 0,4%
sebagai istri kedua, dan 0,4% lainnya sebagai teman kencan. Jenis
kekerasan yang dilaporkan meliputi kekerasan ekonomi sebanyak 29,4%;
kekerasan fisik 18,9%; kekerasan seksual 5,6%; dan kekerasan psikis
46,1%.
Menurut Subhan (2004), di antara aktor penyebab kesenjangan
gender yaitu penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau
cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial dan
kurang kholistik. Jadi, untuk meminimalisasi ketidaksetaraan gender
yang muncul akibat pemahaman yang keliru terhadap poligami,
diperlukan reinterpretasi ajaran agama secara komprehensif, kontekstual,
dan holistik. Namun, sebelum tahap reinterpretasi teks agama dilakukan,
penelaahan buku-buku tafsir mutlak dilakukan.
Oleh karena itu, penelitian terhadap sejumlah kitab tafsir klasik
atas ayat-ayat poligami dalam al-Qur‘an yang berkaitan dengan
kesetaraan gender sangat penting dilakukan sebagai langkah awal untuk
memformulasi pemahaman yang baru dan benar. Dengan melakukan
kajian yang mendalam atas sejumlah karya mufassir terkenal akan
diperoleh gambaran mengenai penafsirannya tentang konsep, syarat,
hukum poligami, juga bentuk-bentuk ketidaksetaraan gender dalam
karya mereka. Melalui pendekatan holistik, yaitu linguistis dan
sosiologis sekaligus, dalam kerangka pelacakan pada asal-muasal produk
pemikiran mengenai poligami dan kesetaraan gender, kusutnya benang
permasalahan tersebut akan dapat dikaji secara jernih. Adapun rumusan
masalah yang diangkat adalah (a) bagaimana latarbelakang para penafsir
dan corak tafsir masing-masing; (b) Bagaimana pandangan para mufassir
terhadap konsep (definisi, syarat-syarat dan hukum) poligami; dan (c)
bagaimana pandangan para mufassir terhadap poligami dalam konteks
kesetaraan gender?
METODE
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh paparan yang jelas dan
rinci mengenai pandangan mufasir tentang poligami. Untuk mencapai
tujuan penelitian secara komprehensif, peneliti menggunakan pendekatan
kualitatif.. Sedangkan jenis penelitian ini adalah deskriptif, yaitu
pemerian secara sistematis dan faktual terhadap pandangan dan
penafsiran para mufassir terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang memuat
tentang relasi gender.
Data dalam penelitian ini berupa tulisan atau manuskrip yang
merupakan karya dari para mufassir Al-Qur‘an, sedangkan sumber
datanya terdiri dan lima kitab tafsir, yakni (1) Al Tafsir Al Kabir karya
Fakhruddin Ar Razi, , (2) Jami‟ul Bayan „an Ta‟wil Ayil Qur'an karya
At-Thabari, (3), Al-Mishbah karya M. Quraish Syihab (4). Tafsir Al-
Quran al-Adhim karya Ibn Katsir (5) Tanwir al-Miqbas min tafsir Ibn
Abbas karya Ibnu Abbas.
Oleh karena penelitian ini menganalisis pandangan mufassir
tentang ayat-ayat poligami dan munasabah (korelasi)-nya dalam al-
Qur'an, maka ada tujuh ayat yang akan diteliti, yaitu: (1) An-Nisa‘ ayat
1, (2) An-Nisa‘ ayat 2, (3) An-Nisa‘ ayat 3, (4) An-Nisa‘ ayat 127, (5)
An-Nisa‘ ayat 128, (6) An-Nisa‘ ayat 129, (7) An-Nisa‘ ayat 130.
Untuk lebih mendapatkan gambaran yang operasional dalam
penelitian ini, berikut paparan Tabel 1 variabel dan sub variabel:
No Variabel Sub-Variabel
Konsep poligami
1 Poligami Syarat-syarat berpoligami
Hukum poligami
Tidak ada unsur marginalisasi terhadap perempuan
2 Tidak ada unsur streotifisasi terhadap perempuan
Kesetaraan
Tidak ada unsur kekerasan terhadap perempuan
Gender
Tidak ada unsur subordinasi terhadap perempuan
Tidak ada unsur pembebanan ganda terhadap perempuan
BAHASAN
Setelah dilakukan identifikasi data tentang corak penafsiran
masing-masing mufassir, pandangan para mufassir tentang konsep
(definisi, hukum, syarat) poligami dalam tafsir Ar-Razi, Ath-Thabari, Al-
Mishbah, Ibn Katsir dan tafsir Ibn Abbas dan pandangan mereka tentang
poligami dalam konteks kesetaraan gender, maka dalam bab ini akan
dipaparkan pembahasan atau diskusi hasil, yang merupakan sintesa
antara temuan dan teori.
SIMPULAN
Dari kelima mufassir yang diteliti, terdapat dua corak penafsiran,
yaitu (1) tafsir tahlili, (2) tafsir ijmali. Ibn Abbas masuk kelompok 2,
sedangkan mufassir yang lain (Ath-Thabari, Ar-Razi, Ibn Katsir dan
Quraish Shihab) masuk kelompok 1.
Secara konsep, semua mufassir tidak berbeda mengenai definisi
poligami(ta'addud az-zawjah), yakni pernikahan satu suami dengan dua,
tiga atau empat istri, dan dalam Islam ia merupakan sesuatu yang
diperbolehkan. Hanya saja, Quraish Shihab memberikan batasan bahwa
poligami berlaku hanya dalam kondisi-kondisi tertentu. Adapun syarat-
syarat disepakati adalah (a) memiliki kemampuan memberi nafkah; (b)
memiliki kayakinan bisa berbuat adil dalam memberi nafkah lahir dan
adil memberikan nafkah bathin; dan (c) dilandasi kemaslahatan bersama.
Terkait dengan hukum poligami, mayoritas menghukumi mubah. Jumlah
maksimal istri empat orang dalam satu waktu. Hanya Ar-Razi saja yang
membolehkan poligami melebihi 4 atau 9, bahkan jumlahnya tidak
terbatas.
Dari lima bentuk ketidaksetaraan gender terhadap wanita
(marginalisasi, kekerasan, subordinasi, streotipisasi, pembebanan ganda),
terdapat dua bentuk, yaitu subordinasi dan streotipisasi. Hal itu tampak
dalam penafsiran Ar-Razi. Ia berani melangkah lebih jauh melampaui
hadis Nabi, yakni dengan tidak membatasi jumlah istri dan menggunakan
persyaratan sangat longgar yang merugikan kaum perempuan.
DAFTAR RUJUKAN
Siti Malikhah Towaf adalah dosen Jurusan Sejarah FS Universitas Negeri Malang
Menurut Fakih (1996) kekerasan adalah serangan atau invasi
terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Jika terjadi
kekerasan dalam keluarga maka akan muncul ancaman bagi keutuhan
keluarga dan kesejahteraan anggota-anggotanya. Sebagai individu
maupun anggota masyarakat, manusia mempunyai potensi untuk
melakukan kekerasan; ketika letupan psikologis tidak terkendali dan
meluap keluar dalam bentuk kekerasan atau tindakan agresif yaitu
tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik
orang lain. Kekerasan dan tindakan agresif biasanya berlanjut; jika
terjadi dalam dalam keluarga maka ada kecenderungan anggota keluarga
yang lain, anak-anak yang menyaksikan akan menjadi generasi penerus
kekerasan jika mereka berkeluarga kelak.
Ketika budaya masyarakat cenderung patriarkhis maka budaya
tersebut juga akan mewarnai kehidupan keluarga dalam bentuk
hubungan asimetri, hirarkis, vertikal antara laki-laki dan perempuan
sebagai suami-isteri maupun anggota keluarga. Dalam pola relasi
vertikal, atas dan bawah, dimana lapisan atas mempunyai kesempatan
―melakukan segala sesuatu‖ untuk menentukan dan mengatur kelompok
manusia yang berada di lapisan bawah, akibatnya lapisan bawah
tergantung pada lapisan atas, karena kesempatan mengambil keputusan
berada pada lapisan atas (Astuti, 2002:24). Pola hubungan asimetris ini
melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan gender seperti marginalisasi,
subordinasi, stereotipi/pelabelan negatif sampai berbagai bentuk
kekerasan dalam keluarga yang disebut juga gender related violence.
Perubahan sosial dan ketimpangan struktur sosial telah
memunculkan kesenjangan sosial, sekelompok kecil anggota masyarakat
berada pada level "menengah keatas" diuntungkan oleh struktur sosial itu
dan sebagian besar anggota masyarakat lainnya "harus bertahan' dalam
situasi kemiskinan (Katjasungkana, 2003:5). Kehidupan yang semakin
berat menimbulkan berbagai krisis dalam masyarakat. Kemiskinan,
pengangguran memicu berbagai kriminalitas. Kehidupan keluarga
banyak yang masih jauh dari sejahtera baik lahir maupun batin.
Perempuan dianggap lebih lemah, tidak mampu berperan sebagaimana
laki-laki, sehingga ditempatkan dalam posisi subordinate/pelengkap
(Fakih, 2003). Krisis rumah tangga, gampang memicu pertengkaran,
penganiayaan bahkan pembunuhan. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) semakin meningkat, pada umumnya korban adalah
perempuan dan anak-anak biasanya tidak tahu harus berbuat apa (UU RI
no.23,PKDRT, 2004:1 & UURI no.23, Perlindungan anak, 2002).
Catatan tahunan 2007 Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap
perempuan menunjukkan kenaikan jumlah kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan (KTP): tahun 2001 ada 3,165,2A02 ada 5.163, tahun 2003
ada 7.787,2004 ada 14.020,2005 ada 20,391, 2006 ada 22.513. Dari segi
bentuk kekerasan. dari 7.659 kasus. 3.099 kekerasan ekonomi, 1. 801
kekerasan fisik, 872 kekerasan seksual dan 590 kekerasan psikis
(Wartawan kompas, 2007). Dari data-data tersebut lalu muncul
pertanyaan krusial yang sering beredar di kalangan teoritisi feminis
(Lengerman & Brantley, 2007:405); apa yang terjadi pada perempuan?
Mengapa semuanya itu terjadi? dan bagaimana kita dapat mengubah dan
memperbaiki dunia sosial untuk membuatnya menjadi tempat yang lebih
adil bagi perempuan dan semua orang?
Undang-undang adalah kebijakan publik yang berfungsi untuk
mengubah masyarakat/social engineering. Undang-undang Republik
lndonesia no 23 th 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT) diundangkan pada 22 September 2004, diharapkan
bisa berperan preventif maupun kuratif bagi kasus-kasus KDRT; namun
upaya sosialisasi & edukasi undang-undang tersebut masih minim.
Aparat terkait kurang faham, tidak tahu bahwa penelantaran ekonomi
termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga (Wartawan Kompas,
2007), apalagi aparat di tingkat grass roots seperti aparat kepala desa dan
stafnya, hasil penelitian ini mendukung hal tersebut.
Penelitian tahap I/2008 fokus pada eksplorasi kinerja kebijakan;
mencermati kinerja lembaga yang menangani kasus konflik keluarga,
kasus-kasus yang terjadi dan penyelesaiannya serta factor pendukung
dan penghambatnya. Hasil penelitian akan bermanfaat bagi kepentingan
teoritis keilmuan di bidang Sosiologi, psikologi, kebijakan public dan
pelaksanaan Undang-undang. Hasil penelitian ini juga memiliki manfaat
praktis, yaitu berbagai kantor pemerintah lokasi penelitian, lembaga
pengabdian kepada masyarakat di perguruan tinggi, dan masyarakat.
Kepala unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Malang
sangat mengharapkan ada program sosialisasi kepada para Lurah/Camat
di wilayahnya, karena mereka terutama lurah adalah ujung tombak untuk
menangani kasus-kasus KDRT (Towaf, 2005). Harapan tersebut akan
terpenuhi pada penelitian tahap II/2009 fokus pada pengembangan
strategi sosialisasi UU PKDRT kepada aparat terkait, terutama pada
tingkat lurah dan bisa juga nantinya kepada aparat yang lain. Penelitian
Tahap III fokus pada pengembangan strategi edukasi untuk berbagai
kelompok masyarakat, sehingga wawasan mereka bertambah dan
mengetahui apa yang harus dilakukan jika kasus KDRT terjadi di
wilayahnya. Mereka adalah ujung tombak untuk optimalisasi kinerja UU
PKDRT.
METODE
Rancangan dan Pendekatan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah penelitian kebijakan (Dunn, 200)
dan pengembangan yang menggabungan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang dilakukan dengan mengumpulkan
data statistik tentang kasus-kasus KDRT dan faktor penyebabnya.
Perolehan data kuantitatif dapat memberi landasan (Branen, 1997:43)
atau base line data bagi pendalaman kasus.
Pendekatan kualitatif multikasus dan multiksitus (Yin, 2004 &
Sevilla, 1993:73) digunakan untuk menggali data secara lebih mendalam
terhadap kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dan faktor-faktor
penyebabnya di setiap lokasi penelitian terkait dengan peran perempuan
dan wawasan kesetaraan gender dalam keluarga. Kompleksitas dan
permasalahan kehidupan keluarga terutama perempuan dalam konteks
apapun cukup besar dan memerlukan berbagai pendekatan dalam
penelitian kualitatif (Denzin, NK & Lincoln, 1994:163). Pendekatan
kualitatif juga digunakan untuk eksplorasi (Creswell, 1994:21)
kebutuhan terhadap strategi sosialisasi dan edukasi undang-undang
PKDRT, bagi aparat sasaran maupun berbagai kelompok masyarakat.
Dalam penelitian ini penggabungan pendekatan kuantitatif bersifat
komplementer/untuk melengkapi pendekatan kualitatif yang lebih
dominan (Branen, 1997:22; Creswell,1994:173--190).
Ruang Lingkup Khusus untuk Tahun I/2008 Eksplorasi Kinerja UU PKDRT
Analisis Data
1. Data dari telaah literature dan dokumen dianalisis secara induktif-
komparatif dihasilkan komponen-komponen untuk menjawab
pertanyaan penelitian (Miles & Hubberman, 1984, Muhajir, 1996).
2. Wawancara informal dilakukan berkaitan dengan upaya menjaring
data tentang faktor-faktor penyebab kasus KDRT, kinerja/
implementasi UU PKDRT, faktor penghambat, pendukungnya,
kebutuhan terhadap strategi sosialisasi dan edukasi. Data tersebut
dianalisis secara deskriptif komparatif/dibandingkan dikelompokkan
menurut variasi jawaban kemudian dibuat rangkuman (Gibbon &
Morris, 1987:17--24).
3. Data dari observasi dianalisis secara diskriptif dan berfungsi sebagai
sumber informasi tentang profil kelembagaan, sarana dan
prasarananya dalam menangani kasus-kasus KDRT (Sevilla,
1993:85, Moleong, 1990).
Keabsahan Data
1. Keabsahan data kuantitatif yang dijaga dengan kecermatan peng-
hitungan kasus KDRT yang terjadi di setiap lokasi, pengelompokan
kasus yang relevan.
2. Keabsahan data kualitatif dilakukan dengan proses trianggulasi
antara data yang dijaring lewat telaah literatur, dokumen dengan data
yang diperoleh lewat wawancara informal maupun lewat diskusi.
3. Kecukupan referensi dapat digunakan untuk membandingkan data
yang diperoleh dengan berbagai kritik tertulis yang terkumpul,
sehingga peneliti bisa memperoleh gambaran yang lebih mantap
tentang perolehan data penelitian.
4. Selain itu juga dilakukan review dengan teman sejawat yaitu antara
peneliti dengan tehnisi yang terlibat dalam proses pengumpulan data
dalam rangka mencermati keabsahan data (Moleong, 1990:I70--187;
Denzin, 1994:241).
HASIL
Profil & Peran Kelembagaan
Lembaga yang terkait UU PKDRT adalah Pengadilan Agama,
yang menangani kasus dan konflik yang terjadi dalam keluarga dengan
muatan berbagai bentuk kekerasan ada di dalamnya. Ribuan kasus
ditangani oleh PA Kabupaten Malang dan ratusan kasus ditangani oleh
PA Kota Malang setiap tahun, namun kasus-kasus tersebut ditangani
secara perdata dengan penyelesaian cerai/rujuk. Hal tersebut terjadi
karena secara kelembagaan PA masih sebagai pengadilan perdata. Ada
kemungkinan di masa depan PA juga berfungsi sebagai Pengadilan
Pidana, namun sekarang masih pada tataran wacana di tingkat pusat
(wawancara Ketua PA Kota 26/9/08).
Peran kelembagaan PA sebagai pengadilan perdata telah
berdampak pada lemahnya perhatian aparat PA terhadap UU PKDRT
karena dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari mereka tidak
menggunakannya sebagai landasan kerja (wawancara dg staf dan hakim
PA 22/7/08). Oleh karena itu peran PA dalam penanganan kasus KDRT
masih dalam lingkup perdata yang berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
(Dok PA, wawancara staf & ketua pengadilan). Disini jelas bahwa
kinerja lembaga sangat dibatasi oleh status lembaga sebagai pengadilan
perdata yang tidak akan membawa kasus sampai ke perkara pidana,
seberat apapun kasus KDRT yang ditangani.
Jumlah kasus yang ditangani PA Kota Malang tahun 2006 s/d
Agustus 2008 adalah 2789 kasus. Sementara itu jumlah kasus yang di
tangani PA Kabupaten jauh lebih banyak lagi yaitu pada tahun ada 7192
kasus, yang paling dominan adalah kasus kekerasan psikis dan ekonomi.
Pengadilan Agama merinci factor penyebab mencapai 14 kategori
seperti: krisis moral, tidak ada tanggung jawab, penelantaran ekonomi,
penganiayaan berat, kekejaman mental, pologami tak sehat dll, yang
sering penyebab konflik dalam rumah tangga bersifat multifactor.
Penyelesaian akhir kebanyakan adalah perceraian dan hanya sedikit
kasus yang berakhir rujuk. Rincian jumlah kasus dipaparkan pada Tabel
1.
Tabel 3 Kasus KDRT di PPA Kepolisian Resort Kota dan Kabupaten Malang
PPA Kota Malang PPA Kabupaten Malang
Unsur KDRT 2005 2006 2007 2008 2005 2006 2007 2008
Kekerasan fisik 17 51 60 60 19 53 87 32
Kekerasan psikis 3 1 16 16 19 9 22 25
Kekerasan seksual 4 17 15 15 51 26 65 18
Kekerasan ekonomi - 2 2 2 6 10 36 34
Jumlah 24 71 93 97 85 98 210 109
Sumber Dokumen di Unit PPA Polres Kota dan Kabupaten Malang
BAHASAN
Faktor Pendukung dan Penghambat
Pengadilan Agama Kota maupun Kabupaten Malang memiliki
gedung, sarana, peralatan dan ketenagaan yang memadai. Hanya saja
kantor PA Kota Malang merupakan bangunan yang sudah lama, Kepala
PA yang baru merasa sudah saatnya kantor PA Kota Malang direnovasi,
dibangun ruang tambahan yang lebih luas untuk kepentingan
peningkatan kinerja, termasuk perlunya membangun Musolla yang lebih
layak, dan memadai. Faktor penghambat utama bagi Pengadilan Agama
(PA) dalam optimalisasi kinerja/implementasi UU PKDRT adalah status
kelembagaan sebagai lembaga pengadilan perdata, Penyelesaian kasus-
kasus yang ditangani hanya diputus cerai atau damai, tidak sampai ke
putusan pidana. Sepanjang informasi yang diperoleh peneliti, tidak ada
sosialisasi tentang UU PKDRT ke aparat PA karena rujukan kerja
mereka bukan itu. Oleh karena itu aparat PA kurang termotivasi untuk
mempelajari UU PKDRT.
Secara kelembagaan di PA sudah mulai muncul wacana di tingkat
pusat untuk memfungsikan PA tidak hanya sebagai pengadilan perdata
tetapi juga sebagai pengadilan pidana di masa mendatang (wawancara
Ketua PA, 26/9/08) namun belum ada persiapan kelembagaan maupun
ketenagaan dan perangkat hukum pidana dalam keluarga. (wawancara
Pansek PA/16/9/08). Oleh karena itu masih perlu jalan panjang jika
bangsa ini memerlukan PA untuk ikut serta menerapkan UU PKDRT;
tidak hanya soal kelembagaan dan pemahaman aparat terhadap undang-
undang tetapi juga perlunya budaya peradilan yang berperspektif
perempuan dan sensitive gender (Irianto & Nurcahyo, 2006).
Faktor Pendukung di BP-4 Departemen Agama Kota maupun
Kabupaten Malang adalah tersedianya kantor yang memadai, ada ruang
khusus untuk kepenasehatan, ruang pimpinan dan staf administrasi,
ketenagaan dan peralatan kantor termasuk computer yang siap
digunakan. Dalam proses kepenasehatan BP-4 melibatkan para volunteer
yang terdiri dari ulama, mubaligh, psikiater, psikolog, konselor atau BP;
bahkan ketua BP-4 bersedia melakukan konsultasi di ruang kerja.
Kasus yang dibawa ke BP-4 Kota berasal dari masyarakat umum baik
PNS atau non PNS, Tetapi BP-4 Kabupaten khusus melayani PNS yang
sudah diberi pengatar oleh Badan Pengawas Pemerintah Daerah.
Layanan kepenasehatan dilakukan setiap hari pada jam kerja Senin
sampai Jumat jam 08.00 sampai dengan 15.00. Penanganan kasus sudah
dilakukan dengan baik, hasil observasi peneliti juga menunjukkan bahwa
Ketua BP-4 dan staf cukup welcome terhadap klien, tetapi ruang
konseling jarang digunakan, klien tampaknya lebih senang konsultasi
langsung di ruang ketua BP-4 (wawancara staf BP-4 Depag 22/7/08).
Faktor Penghambat kinerja BP-4 Departemen Agama Kota
maupun Kabupaten Malang adalah klien yang datang pada umumnya
sudah parah kasusnya, sehingga sulit diarahkan ke rujuk atau damai,
kasus sudah berat sehingga tujuannya ke perceraian. Kasus pada
umumnya disebabkan faktor utama ekonomi dan perbedaan latar
belakang keluarga selanjutnya terkait dengan penyebab lainnya seperti
kekerasan psikis, fisik dan seksual, ruang kepenasehatan kurang
digunakan langsung kemeja kerja ketua. Dalam implementasi UU
PKDRT, BP-4 lebih tepat berperan sebagai jalur sosialisasi keberadaan
UU PKDRT kepada klien yang datang konsultasi, ataupun edukasi
kepada muda-mudi calon pengantin sebagai upaya preventif agar mereka
tidak terjerumus menjadi pelaku/korban KDRT, BP-4 secara rutin
menyelenggarakan ―Suscatin‖ kepanjangan dari kursus calon pengantin,
mempunyai desa binaan sebagai desa keluarga sakinah.
Faktor pendukung di unit PPA Kepolisian Resor Kota maupun
Kabupaten Malang adalah adanya kantor unit tersendiri walaupun tidak
luas tetapi cukup fungsional untuk menjalankan aktifitas unit PPA.
Disamping itu unit PPA juga didukung oleh tenaga professional dan
berdedikasi terhadap tugasnya, sejumlah 8 orang staf dan 1 orang ketua
unit. Mereka memperoleh kesempatan refreshing/professional workshop
secara bergilir 2 kali setahun. Penampilan para petugas di Unit PPA juga
berbeda dari polisi pada umumnya, semua staf yang berjenis kelamin
perempuan bekerja dengan berbagai pakaian seragam non kedinasan
sehingga penampilan ramah dan segar tidak menakutkan klien.
Dalam Faktor penghambat kinerja Unit PPA; Unit PPA
Kabupaten Malang lebih beruntung karena didukung oleh PPT (Pusat
Pelayanan Terpadu) di RS Kanjuruhan, sementara PPA Kota yang
mengirim korban ke RSSA masih banyak kendala karena belum
terbentuk PPT (Pusat Pelajanan Terpadu) disitu. Kerja sama dengan
instansi terkait untuk membantu menangani kasus secara terpadu sangat
diperlukan. Belum ada shelter atau tempat penampungan sementara
untuk korban yang menunggu kasus disidik atau diselesaikan dan korban
belum berani pulang ke rumah; diperlukan juga tenaga ahli untuk kasus-
kasus khusus, diperlukan semacam rumah singgah, rumah inap korban
KDRT.
Sosialisasi UU KDRT secara insidental dilakukan oleh Kepala
Unit PPA Polres Kota maupun Kabupaten Malang lembaga, komunitas
yang memerlukan: Panti Asuhan, Sekolah-Sekolah, Komunitas Anak
Jalanan, PJ TKI dsb. Kanit PPA Kabupaten merasakan perlunya
sosialisasi UU PKDRT di tingkat aparat desa seperti lurah dan jajaran
aparat desa; karena merkalah ujung tombak yang mengawal
implementasi UU PKDRT. Jika ada kasus di daerah mereka, mereka
mestinya tahu bagaimana mengurusnya dan kemana melaporkannya.
Istilah KDRT memang sudah mulai populer di masyarakat terutama
lewat TV, tetapi substansi UU PKDRT baik aparat maupun msayarakat
di tingkat grass roots tidak tahu, kekerasan apa saja yang diancam
hukuman pada umumnya mereka mengira hanya kekerasan fisik yang
korbannya babak belur, atau kekerasan seksual. Sementara kekerasan
psikis dan ekonomi sering dianggap bukan kekerasan. Oleh karena itu
yang paling dominan dilaporkan ke unit PPA adalah kekerasan fisik,
kalau ada kekerasan ekonomi dilaporkan adalah juga karena disertai
kekerasan fisik.
Saran
1. Kehadiran peraturan maupun perundang-undangan adalah
merupakan upaya mengubah kehidupan masyarakat/sosial
engeenering ke arah kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu
perlu disertai dengan pemembangunan sistem, lembaga dan
penyiapkan suamber daya manusia sebagai pelaksananya.
2. Dalam kinerja/implementasi UU PKDRT, Mahkamah Agung perlu
juga memikirkan proses sosialisasi ke aparat penegak hukum seperti
tidak hanya Polisi tapi juga Jaksa dan Hakim sehingga mereka
memahami ruh UU PKDRT dan bisa melaksanakan pengadilan
berkeadilan gender, dengan hukuman yang memiliki kekuatan
melindungi korban dan membuat jera pelaku.
3. Perlu ada upaya peningkatan peran kelembagaan PA supaya tidak
berhenti pada proses perdata. Jika ada kasus yang pantas masuk ke
ranah pidana maka dimungkinkan adanya jalur untuk melanjutkan
kasus tersebut ke pengadilan pidana. Ide tentang perlunya
membangun sistim pengadilan pidana terpadu layak memperoleh
perhatian.
4. Peran BP-4 juga sangat strategis sebagai lembaga kepenasehatan/
konseling perkawinan yang langsung didatangi masyarakat dari
berbagai lapisan. Lembaga ini bisa menjadi salah satu jalur
sosialisasi UU PKDRT kepada masyarakat.
5. Pihak Kepolisian yang merupakan pelaksana UU PKDRT utama
perlu memperoleh perhatian dan dukungan dari berbagai fihak terkait
seperti Biro PP Pemda, DinasSosial, LSM yang memperhatikan
kasus kekerasan dan Rumah Sakit agar ada kerja sama, tersedia
PPT(Pusat Pelayanan Terpadu) dan shelter bagi korban KDRT.
6. Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan perlu ikut serta
mendorong kinerja/implementasi dengan mengembangkan
strategi/paket sosialisasi UU PKDRT untuk Aparat di tingkat Grass
Roots dengan prioritas para lurah dan staf di tingkat desa yang
merupakan ujung tombak pengawal aturan. Mereka harus faham
substansi pokok, menghayati pesan UU PKDRT dan prosedur
pelaporan kasus ke aparat penegak hukum. Mereka adalah jujukan
korban untuk mengadu jika terjadi kasus di wilayahnya. Demikian
juga diperlukan strategi/paket edukasi untuk berbagai kelompok
masyarakat seperti guru, siswa/remaja,
DAFTAR RUJUKAN
Puji Handayati
Tri Laksiani
Puji Handayati adalah dosen Jurusan Manajemen dan Tri Laksiani adalah dosen
Jurusan Akuntansi FE Universitas Negeri Malang
Pembangunan ekonomi yang tumbuh dengan cepat menuntut PT.
PLN (Perusahaan Listrik Negara) Persero untuk menyediakan tenaga
listrik dalam berbagai kebutuhan industri, ekonomi, perdagangan,
pemerintahan dan masyarakat luas. Listrik berperan besar atas kemajuan
di berbagai bidang dalam kehidupan. Selain itu, listrik merupakan salah
satu infrastruktur yang penting dalam upaya meningkatkan kualitas
hidup atau kesejahteraan manusia, serta sebagai pendorong berbagai
kegiatan ekonomi. Namun listrik juga dapat menimbulkan masalah jika
dalam penggunaannya tidak tepat.
Aliran tegangan tinggi sangat berbahaya bagi masyarakat, bahkan
mengakibatkan kematian bagi orang yang menyentuhnya secara
langsung. Berbagai penelitian membuktikan adanya hubungan antara
listrik tegangan tinggi dengan penyakti kanker dan leukimia pada anak-
anak bjkan orang dewasa. Pernyataan ini didukung oleh berbagai
penelitian antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Nancy Wertheimer
dan Ed Leeper (1979) membuktikan bahwa anak-anak di denver,
Colorado mengalami kemungkinan terserang penyakit leukimia dua atau
tiga kali dibandingkan orang dewasa. Selain itu juga dapat menimbulkan
penyakit tumor susunan saraf jika masyarakat tinggal di dekat jaringan
tinggi tersebut. Sejak penelitian di Denver ini para peneliti lainnya mulai
tertarik, termasuk peneliti di luar AS, seperti Swedia, Inggris, Denmark,
Finlandia, Perancis, Kanada. Penelitian tersebut juga membuktikan
bahwa orang yang tinggal dibawah tegangan tinggi bisa terkena kanker
otak dan berkaitan dengan penurunan gairah seksual. (www.hamline.edu.
Diakses pada 6 Februari 2006)
Demikian pula dalam studi tahun 1996 yang dilakukan tim
fisikawan Universitas Bristol, Inggris mendukung pendapat, bahwa
gelombang elektromagnetik dari listrik tegangan tinggi dapat
menimbulkan kanker. Bahkan ilmuwan dari ITB juga mengungkapkan
medan listrik dapat menimbulkan stres. Hal ini karena kabel bertegangan
tinggi bisa menarik partikel gas radon yang tidak berbau dan tidak
berwarna di sekitarnya yang kemudian meluruhkannya. Sebagian
partikel luruhan bersifat karsinogenik dan oleh medan listrik
dikonsentrasikan pada bagian tubuh tertentu, kemudian
mentransformasikan sel-sel tubuh yang ditempati menjadi sel kanker
(www.hamline.edu. Diakses tanggal 6 Februari 2006)
Di Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa selama lima
dasawarsa terakhir melaporkan adanya beberapa gangguan kesehatan
akibat paparan medan elektromagnetik dan medan magnet secara terus-
menerus dalam jangka panjang. Baik melalui transmisi, distribusi listrik
tegangan tinggi, atau peralatan bertenagalistrik. Gangguan kesehatan itu
terutama menyerang anak-anak antara lain leukimia (kanker darah).
Sebuah riset di Washington AS tahun 1950-1982 melaporkan adanya
kematian 486 ribu pekerja teknisi listrik, operator radio dan telegraf,
pekerja di peleburan alumunium, dan operator proyektor bioskop
meninggal akibat leukimiaa dan limfoma non Hodgkins. Penelitian lain
di Inggris dan New South Wales pada 1970-1972 mencatat kematian
para pekerja operator telegram dan ahli teknik yang disebabkan oleh
leukimia mieloid akut. Tahun 1973, ditemukan angka risiko leukimia
pada pekerja kelistrikan meningkatkan dua kali lipat. Pada awal tahun
1980-an dari Selandia Baru dilaporkan ada 546 kasus leukimia pada para
perakit alat-alat listrik serta pekerja yang memperbaiki radio dan televisi.
Sementara di Swedia, ditemukakan adanya risiko kanker pada 463 kasus
pekerja gardu listrik dan 263 kasus pada pekerja pemasangan kabel
transmisi. (www.republika.com. Diakses 7 Februari 2006)
Berdasarkan hasil penelitian Dr. Dr. Anies, M.Kes. PKK, pada
penduduk di bawah saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500
kV di Kab. Pekalongan, Kab. Pemalang, dan Kab. Tegal (2004),
menyimpulkan bahwa medan elektromagnetik yang berasal dari SUTET
500 kV berisiko menimbulkan gangguan kesehatan pada penduduk, yaitu
sekumpulan gejala hipersensitivitas yang dikenal dengan electrical
sensitivity berupa keluhan sakit kepala (headache), pening (dizzines), dan
keletihan menahun (chronic fatigue syndrome). Menurut Prof. Untung,
dalam penelitian yang dilakukan oleh Kasnodiharjo dan Soesanto,
peneliti dari Depkes RI di SUTET Cibinong dan Bekasi, berhasil
membedakan kelompok penduduk yang beresiko terpapar dan tidak
terpapar berdasarkan jarak tempat tinggal dengan jarak listrik terpasang.
Hasilnya, radius 500 meter diperkirakan masih memiliki risiko terpapar.
Hasil penemuan Anies menyimpulkan bahwa ketiga gejala tersebut dapat
dialami sekaligus oleh seseorang, sehingga penemuan baru ini
diwacanakan sebagai Trias Aniesa (www.pikiranrakyat.com diakses
pada 26 Desember)
Menurut WHO, potensi gangguan kesehatan yang timbul akibat
SUTET 500 kV, dapat terjadi pada sistem: (1) darah, (2) reproduksi, (3)
syaraf, (4) kardiovaskuler, (5) endokrin, (6) psikologis, dan (7)
hipersensitivitas. Menurut Rea, Bergdahl dan Grant, tanda dan gejala lain
yang dapat dijumpai adalah jantung berdebar-debar, gangguan tidur,
gangguan konsentrasi, rasa mual dan gangguan pencernaan lain yang
tidak jelas penyebabnya, telinga berdenging, muka terbakar, kulit
meruam, kejang otot, kebingungan, serta gangguan kejiwaan berupa
depresi. (www.pikiranrakyat.com diakses pada 26 Desember)
Sebuah riset dilakukan selama 10 tahun terakhir oleh Tim Bagian
Biologi FKUI, berhasil membuktikan korelasi antara listrik dan beberapa
penyakit. Tim yang diketuai oleh Guru Besar Bidang Biologi Reproduksi
FKUI, Prof. Dr. dr. Oentoeng Soeradi, berhasil menemukan bahwa
medan elektomagnetik yang ditimbulkan dari saluran kabel dan gardu
listrik tegangan tinggi dan alat-alat listrik di rumah bisa berisiko terhadap
kesehatan manusia. Ini timbul akibat rusak atau kacaunya kerja jaringan
endokrin (hormonal) tubuh karena adanya aliran listrik
tersebut.(www.republika.com. Diakses pada 6 Februari 2006)
Tetapi dalam bebarapa penelitian lain mengungkapkan bahwa
radiasi elektromagnetik tidak mempunyai korelasi dengan kesehatan. Hal
ini didukung dengan berbagai penelitian antara lain penelitian yang
dilakukan oleh Dr. Anies Universitas Diponegoro (1993), dari hasil
pengukuran ternyata kuat medan listrik dan kuat medan magnet dari
SUTET masih jauh di bawah ambang batas rekomendasi WHO/IRPA
sehingga dalam batas tertentu, SUTET tidak akan menimbulkan masalah
kesehatan. Namun kekhawatiran masyarakat merupakan hal yang wajar
dan sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif SUTET terhadap
kesehatan masyarakat, perlu dilakukan penyuluhan yang efektif kepada
masyarakat umum.
Berdasarkan Diktat Diklat yang dikarang oleh kumpulan pengajar
Jasdik PLN Pusat tahun 2004, menyebutkan bahwa penelitian sosiologi
yang dilakukan oleh Kasnodiharjo dan Soesanto (1995) serta
Ganihartono (1995), berusaha melihat keadaan hubungan sosial ekonomi
dan gangguan SUTET yang dikeluhkan seperti yang diberitakan di media
massa, yaitu kasus yang terjadi di daerah Cibinong dan Bekasi, Jawa
Barat, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara keterpaparan
penduduk yang ada di sekitar maupun yang berada di bawah jaringan
SUTET dengan penyakit yang dilaporkan atau tingkat kesehatan
masyarakat. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Budi
Haryanto SKM, Msc. Balitbang Depkes RI (1995-1996), menunjukkan
tidak ada korelasi antara gangguan kesehatan seperti sakit kepala,
kelelahan, pusing, keguguran, susah tidur, bradycardia, tachycardia,
indikasi tumor dan leukimia terhadap pajanan medan listrik dan medan
magnet.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ir. Syarifudin
Mahmudsyah M.Eng dari Fakultas Elektro ITS mengenai dampak medan
elektromagnetik akibat pemakaian tenaga listrik SUTET 500 kV di
daerah Singosari, Gresik serta Dharmahusada Indah Surabaya, diperoleh
data bahwa kuat medan listrik dan kuat medan magnet masih jauh di
bawah level toleransi berdasarkan standar IRPA dan INRC. Masalah
yang dihadapi penduduk lebih mengaraah kepada masalah psikologis dan
tuntutan mendapatkan ganti rugi. (Jasdik PLN Pusat: 2004)
Melihat adanya dampak dari aktivitas produksi perusahaan
(corporation) yang besar pada masyarakat, memunculkan pertanyaan
mengenai tanggungjawab perusahaan atas lingkungan dan masyarakat
sekitar. Oleh karena itu muncul pula kesadaran untuk mengurangi
dampak negatif tersebut.
Di sini terbukti sebuah korporasi atau perusahaan mempunyai
tanggungjawab sosial terhadap stakeholder dan lingkungannya. Dr.
David C. Korten, melukiskan bahwa dunia bisnis selama setengah abad
terakhir telah menjadi institusi paling berkuasa, sehingga harus
memperhatikan tanggungjawab untuk kepentingan bersama. Setiap
keputusan yang akan diambil, tindakan yang dilakukan harus mengacu
dalam rangka keeangka tanggungjawab tersebut. Selain itu, masyarakat
menginginkan produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi
dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak
asasi manusia (HAM). Hal ini menimbulkan kesadaran tentang
pentingnya menerapkan tanggungjawab sosial terhadap stakeholder.
Karena setiap tindakan yang diambil korporasi membawa dampak yang
nyata terhadap kualitas kehidupan manusia baik terhadap individu,
masyarakat, dan seluruh kehidupan. (www.swa.co.id. Diakses pada 26
Desember 2006)
Dari fenomena inilah muncul tanggungjawab sosial perusahaan
atau Corporate Social Responsibility (CSR). CSR muncul akibat tekanan
dan desakan berbagai organisasi semacam LSM karena terjadinya
malpraktik di dunia bisnis. Gagasan CSR menekankan bahwa
tanggungjawab perusahaan bukan lagi sekadar kegiatan ekonomi
(menciptakan profit demi kelangsungan usaha), melainkan juga
tanggungjawab sosial dan lingkungan. Pada dasarnya PT.PLN (Persero)
sudah menerapkan CSR, namun dalam perkembangannya masih juga
terdapat konflik seperti yang telah dipaparkan di atas.
Lingkungan Ekonomi
4. Stakeholders
Dalam prinsip responsibility, penekanan yang signifikan
diberikan pada kepentingan stakeholders perusahaan. Di sini perusahaan
diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholders, menciptakan nilai
tambah (value added) dari produk, dan memelihara kesinambungan nilai
tambah yang diciptakannya. Menurut Sita Soepomo (2004), stakeholders
perusahaan dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah karyawan,
konsumen, pemasok, masyarakat, lingkungan sekitar, dan pemerintah
sebagai regulator. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi
dihadapkan pada tanggung jawab yang berpedoman pada single bottom
line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam
kondisi keuangannya (financial) saja. Tetapi tanggung jawab perusahaan
harus berpedoman pada triple bottom lines. Di sini bottom lines selain
finansial adalah soal dan lingkungan.
Menurut J. Sudarsono (2002), lingkungan yang berpengaruh
langsung terhadap perusahaan adalah pihak yang berkepentingan
(stakeholders) dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Eksternal stakeholder
Pihak yang berkepentingan eksternal antara lain:
a) Pelanggan, menukarkan sumber daya dengan barang atau jasa
yang dihasilkan oleh dunia usaha, pelanggan bisa perorangan
maupun lembaga.
b) Pemasok, dengan adanya faktor-faktor produksi memungkinkan
dunia usaha melakukan kegiatan produksi.
c) Pemerintah, bertindak untuk membantu dan melindungi industri
dengan peraturan dan undang-undang.
d) Kelompok khusus, misalnya pecinta alam yang peduli terhadap
kelestarian alam dan lingkungan.
e) Lembaga konsumen, dengan memperhatikan dan membela hak
konsumen, contoh: lembaga perlindungan konsumen.
f) Serikat pekerja, berkenaan dengan penentuan upah kondisi kerja
dan sebagainya.
g) Lembaga keuangan, misalnya, bank, lembaga sewa guna yang
dapat membantu dalam pemenuhan modal.
2. Internal stakeholder
Pihak yang berkepentingan internal atau stakeholder, terdiri dari:
a) Karyawan, dengan keterampilan dan pendidikan yang memadai
akan sangat membantu dunia usaha dalam menjalankan
usahanya.
b) Pemegang saham dan dewan direksi, struktur yang mengatur
perusahaan publik yang memungkinkan pemegang saham untuk
mempengaruhi suatu perusahaan dengan menggunakan hak
suara.
Perusahaan
Grafik
14
12
10
8
GigaWatt
0
1958/69 1973/74 1978/79 1983/84 1988/89 1993/94
Tahun
Series1
METODE
Berdasarkan jenis data dan analisis yang digunakan, jenis
penulisan ini adalah penulisan deskriptif, dimana menurut Saifudin
Azwar (1998:7), penelitian deskriptif adalah penelitian yang
menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik
mengnai populasi atau bidang tertentu. Penulisan ini berusaha
menggambarkan situasi dan kejadian tentang Saluran Udara Tegangan
Ekstra Tinggi (SUTET). Data yang dikumpulkan bersifat deskriptif
sehingga tiddak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis,
membuat prediksi maupun mempelajari implikasi. Penulisan ini
dimaksud untuk mendeskripsikan mengenai penerapan CSR dalam
mengatasi konflik SUTET.
Penulisan ini menggunakan data kualitatif, yaitu data yang
dinyatakan dalam bentuk kalimat atau pernyataan berupa data primer
dan data sekunder. Data primer yaitu data yang dikumpulkan sendiri
oleh perorangan atau langsung melalui objeknya (Supranto, 1997:6).
Dalam penulisan ini data primer diperoleh dari Kepala PLN Kota
Malang, Kepala Kelurahan Purwodadi, dan warga yang tinggal di sekitar
SUTET di Kelurahan Purwodadi. Sedangkan data sekunder atau data
pendukung yaitu, data yang diperoleh dalam bentuk sudah jadi, berupa
publikasi (Supranto,1997:6). Data tersebut berupa informasi dari studi
pustaka berupa majalah, koran, buku-buku dan hasil penelitian yang
mendukung, serta artikel atau tulisan yang diakses dari internet. Data-
data yang dihimpun merupakan data yang berhubungan dengan berbagai
hal mengenai Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) dan
Corporate Social Responsibility (CSR).
Berdasarkan tujuan untuk memperoleh data yang dibutuhkan
dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode:
1. Dokumentasi
Yaitu membaca laporan penelitian-penelitian sebelumnya serta
artikel yang diakses dari internet. Pada metode ini peneliti hanya
memindahkan data yang relevan daaari sumber informasi atau
dokumen yang diperlukan.
2. Wawancara
Menurut Nazir (199:234) adalah memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab dan bertatap muka antara
pewawancara dengan responden. Wawancara dilakukan dengan
Kepala PLN Kota Malang, Kepala Kelurahan Purwodadi, serta
warga Kelurahan Purwodadi.
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Menurut Subagyo
(1997:106) analisis kualitatif adalah analisis yang dilakukan terhadap
data yang berupa informasi, uraian dalam bentuk bahasa prosa kemudian
dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapatkan kejelasan terhadap
suatu kebenaran sehingga memperoleh gambaran baru. Analisis ini
bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian
berdasarkan data dari kelompok subjek yang diteliti.
HASIL
Gambaran Umum Perkembangan PT. PLN Persero
Listrik telah menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam
memenuhi kebutuhan primer, yakni sandang, pangan, dan pagan. Listrik
berperan besar atas kemajuan di berbagai bidang. Listrik merupakan salah
satu infrastruktur yang menjadi tumpuan dalam upaya meningkatkan
kualitas hidup atau kesejahteraan manusia, serta sebagai pendorong
dalam berbagai kegiatan ekonomi.
Sejak tahun 1945 jasa ketenagalistrikan di Indonesia ditangani oleh
negara, dan pada 27 Oktober 1945 dibentuk Jawatan Listrik dan Gas.
Kemudian pada I Januari 1961 dikembangkan menjadi BPU Perusahaan
Listrik Negara (PLN) dan 28 Desember 1964 dibentuk PLN dan Perusahaan
Gas Nasional (PGN). Tahun 1972 PLN berstatus sebagai perusahaan umurn
(Perum) dan pada Juni 1994 berubah lagi menjadi perusahaan perseroan
(Persero) sampai sekarang, dengan konsekuensi berorientasi pada profit
meskipun tidak bisa lepas dan tugas negara sebagai penyedia jasa layanan
listrik bagi masyarakat. Namun pada tahun 1992 pihak swasta mulai
diperbolehkan turut serta dalam bisnis penyediaan listrik sehingga
monopoli PLN dalam bisnis tersebut berkurang. Sehingga beban Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut untuk menjangkau seluruh
wilayah Indonesia menjadi berkurang.
Tujuan pemerintah melakukan restrukturisasi sekaligus liberalisasi
ketenagalistrikan dilatarbelakangi oleh adanya pemikiran bahwa penye-
diaan listrik nasional harus diselenggarakan secara efisien melalui
transparansi dan kompetisi dalam iklim usaha yang sehat dengan cara
memberikan peluang yang sama kepada para pelaku usaha ketenaga-
listrikan. Terbukti dengan disahkannnya UU No 20 tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan yang salah satu tujuannya adalah agar listrik lebih
cepat menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada PT. PLN (Persero) dalam
Mengatasi Konflik SUTET
PT. PLN (Persero) mempunyai tanggung jawab yang tidak mudah
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yaitu dalam hal penyediaan
tenaga listrik di berbagai kebutuhan industri, ekonomi, perdagangan,
pemerintahan dan masyarakat luas. Listrik berperan besar atas kemajuan di
berbagai bidang dalam kehidupan dan merupakan salah satu infrastruktur
yang penting dalarn upaya meningkatkan kualitas hidup atau kesejahteraan
manusia, serta sebagai pendorong berbagai kegiatan ekonomi. Setiap
kegiatan maupun program yang dijalankan oleh PLN harus mempunyai
tanggung jawab kepada stakeholders, yaitu seluruh pihak yang
berkepentingan di dalamnya, sebagai dampak karena sudah memanfaatkan
sumberdaya. Sehingga CSR diperlukan agar kegiatan operasional PLN
dapat berjalan dengan baik.
Bentuk-bentuk CSR yang diterapkan oleh PT. PLN (Persero) selama
ini meliputi bidang sosial, lingkungan dan ekonomi. Bidang sosial antara
lain dengan memberikan asuransi kebakaran, pemberian beasiswa bagi
putra-putri karyawan dalam lingkup internal PLN dan pemberian dana
tali asih. Dalam bidang ekonomi yaitu melakukan penghematan biaya
operasional sehingga meringankan beban masyarakat karena tidak perlu
membayar listrik dengan harga tinggi dengan meningkatkan kemampuan
pembangkit-pembangkit energi terbaru yang ada, membangun pembangkit
energi terbaru berdasarkan hasil-hasil studi kelayakan yang sudah ada,
membuat peta potensi energi terbarukan yang memiliki potensi untuk
dikembangkan secara komersial, melakukan studi-studi kelayakan
tentang aspek teknis dan ekonomis energi terbarukan untuk menggantikan
bahan bakar minyak, dan program pencarian sumber-sumber pendanaan.
Memberikan pinjaman dana dari koperasi. Dalam bidang lingkungan
seperti perbaikan sarana ibadah dan sekolah.
Program PT. PLN (Persero) didasarkan pada Pasal 8 UU No
20/2002 yang disebutkan bahwa usaha ketenagalistrikan terdiri dari dua
kelompok. Pertama, usaha penyediaan tenaga listrik yang meliputi
pembangkitan, transmisi, distribusi, penjualan, agen penjualan,
pengelola pasar, dan pengelola sistem. Kedua, usaha penunjang tenaga
listrik yang mencakup jasa penunjang dan industri penunjang. Jasa
penunjang antara lain berupa konsultasi, pembangunan, pemasangan,
pengujian, pengoperasian, dan pemeliharaan instalasi, serta jasa
terkait lainnya. lndustri penunjangnya terdiri atas industri peralatan dan
industri pemanfaatan tenaga listrik. Untuk memenuhi penyediaan
tenaga listrik agar distribusi listrik tersebut dapat met jangkau seluruh
masyarakat maka diperlukan suatu interkoneksi yang disebut Saluran
Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET).
Kegiatan di sektor ketenagalistrikan sangat berkaitan dengan
masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Selama in] keberadaan industri
ketenagalistrikan telah memberikan dampak yang positif bagi para
stakeholders, baik masyarakat lokal, pemerintah daerah maupun bagi
kepentingan nasional secara keseluruhan. Namun demikian dalam
pelaksanaannya, kendala dalam berbagai bentuk selalu dihadapi. Kendala
dan hambatan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat
menimbulkan terjadinya konflik terutama dengan masyarakat lokal.
Kesadaran kolektif yang terbangun karena tinggi dan bebasnya arus
infomasi selama ini telah menimbulkan berbagai permasalahan di
sektor ketenagalistrikan. Di samping itu, isu-isu mengenai lingkungan
hidup, demokratisasi, dan hak asasi manusia juga sangat berpengaruh
terhadap sektor ketenagalistrikan.
Sebagai contoh salah satu konflik yang ditimbulkan akibat SUTET
adalah saat ini lahan yang tersedia semakin sempit akibat pesatnya
perkembangan di segala bidang. Begitu juga pertumbuhan penduduk
yang cukup besar, sehingga jalur yang dilalui SUTET kemungkinan
tidak dapat menghindari clan terpaksa harus melewati daerah dengan
keadaan tertentu, seperti daerah pemukiman yang tepat. DI sisi lain, juga
timbul permasalahan antara lain dalam hal kesehatan maupun
ekonomi.
Dalam hal kesehatan misalnya, terdapat isu beredar yang
menyebutkan bahwa radiasi elektromagnetik yang ditimbulkan oleh
SUTET dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, leukimia,
kemandulan, penurunan kekebalan tubuh, lambatnya pertumbuhan, juga
kelainan otak dan resiko serangan jantung. Selain itu juga tidak adanya
sosialisasi tentang dampak negatif yang mungkin timbul di kemudian
hari. Laporan Dewan Perlindungan Radiasi Nasional AS, Oktober 1995
menyebutkan bahwa paparan medan elektromagnetik yang sedikitpun pada
tubuh manusia dapat menimbulkan gangguan dalam jangka panjang.
(www.hamline.edu. Diakses pada 6 Februari 2006).
Setelah peneliti melakukan observasi di salah satu kelurahan,
yaitu Kelurahan Purwodadi, Kecamatan Blimbing, Kota Malang (2006)
menunjukkan bahwa pengaruh radiasi elektromagnetik dapat dirasakan
dalam jangka panjang. Hal ini dikarenakan sejak SUTET tersebut
dibangun sampai masyarakat tinggal di daerah tersebut selama 20--30
tahun belum memberikan efek yang benar-benar berarti.
Tidak adanya sosialisasi mengenai dampak negatif SUTET
juga mendorong timbulnya konflik. Konflik akibat SUTET dalam hal
ekonomi adalah banyaknva masyarakat yang menuntut ganti rugi atas tanah
yang dirasakan kurang, karena tanah milik warga yang dilalui jaringan
SUTET mempunyai nilai jual yang rendah dan dianggap berbahaya
akibat adanya radiasi elektromagnetik yang ditimbulkan oleh SUTET.
Konflik akibat SUTET tersebut sudah terjadi di berbagai daerah,
misalnya ketika permukiman warga Kabupaten Gresik, Jatim, dibangun
saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) 500 KV tahun 1995.
Banyak keluarga memilih tidur di bawah tenda sebagai pernyataan
protes, bahkan mereka mengirimkan surat kepada badan kesehatan
dunia WHO, badan dana anak-anak UNICEF serta Komnas HAM.
Bahkan di beberapa daerah telah terjadi aksi mogok makan dan jahit
mulut sebagai aksi menuntut ganti rugi yang menurut masyarakat
dirasakan kurang.
Konflik lain yaitu terjadi pada 20 Januari 2006 yang baru lalu
sekitar 200 warga Kampung Nagrak Desa Nanjung Mekar Kec.
Rancaekek Kab. Bandung melakukan aksi pembakaran ban di bawah
tower SUTET dan membongkar sebuah besi penyangga tower yang
berkekuatan 500 kV, perusakan menara SUTET oleh korban lainnya
sebelumnya terjadi di Desa Cisaat Kec. Waled Kab. Cirebon. Apa yang
dilakukan masyarakat itu sebagai wujud kekecewaan atas sikap PT.
PLN (Persero) yang tidak mau bekerjasama saat pembangunan SUTET
dan kurang mengkomunikasikan proyek tersebut kepada masyarakat.
(Pikiran Rakyat, 21/1/06). Di desa Waringin Jaya, Kec.Bojonggede Kab.
Bogor, masyarakat berusaha menggergaji dan menggali menara listrik
yang melintasi pemukiman mereka. Bahkan masyarakat mengatakan
berbagai penderitaan akibat SUTET, yaitu telah ada yang meninggal
dunia ketika hujan turun tepat di bawah tiang listrik. (Pikiran Rakyat,
22/1/06).
Konflik-konflik tersebut di atas akan sangat merugikan kedua
belah pihak baik masyarakat maupun PLN. Karena masyarakat yang
mencoba melakukan perusakan tower SUTET bisa dijerat Undang-
Undang (UU) No. 15 Tahun 2003, pelaksanaan UU No. I tahun 2002
tentang Terorisme. Selain itu juga bisa dijerat Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 408 dan pasal 406, dengan ancaman
hukuman penjara masing-masing empat tahun penjara dan dua tahun
delapan bulan. Karena perbuatan itu termasuk kategori membahayakan
obyek vital dan strategis milik negara dengan ancaman pidana hukuman
seumur hidup atau pidana mati. Selain itu perusakan instalasi SUTET
termasuk tindakan sabotase negara. Karena, bila tower SUTET 500 k\
sampai roboh atau rusak, akan terjadi pemadaman listrik yang meluas di
wilayah Jawa-Bali, akibatnya akan melumpuhkan perekonomian dan
menimbulkan kerawanan sosial dan keamanan. Hal ini tidak hanya
merugikan PLN yaitu berkurangnya profit karena jika terjadi pemadaman
total maka akan menghambat segala aktivitas yang mengakibatkan
kerugian bagi masyarakat sendiri. Di samping itu juga terdapat dampak
buruk jika SUTET tidak dibangun antara lain: daya dari pembangkit non
BBM yang akan dibangun tidak tersalurkan, keandalan sistem
menurun (kemungkinan blackout sangat besar), daya listrik yang
disalurkan terbatas, penambahan pelanggan baru sulit dipenuhi,
permintaan tambah daya konsumen sulit dipenuhi, rawan terhadap
pemadaman, dan pertumbuhan sentra industri terhambat yang akan
berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dari berbagai masalah yang timbul seperti di atas dapat dikatakan
bahwa akar permasalahan hanya dua yaitu tuntutan ganti rugi yang
kurang dan masalah kesehatan. Hal ini terjadi karena ada perbedaan dasar
hukum yang dijadikan pedoman antara masyarakat dengan PLN.
Masyarakat korban SUTET menuntut ganti rugi dengan mengacu pada UU
No, 151985 tentang Ketenagalistrikan yaitu pasal 12, sementara pemerintah
berpedoman pada Permentamben No OI.P/47/MPE/1992 dan Kepmentamben
975.K/47/MPE/1999 yang mengatur tata cara mengenai ganti rugi dan
kompensasi tersebut. Ganti rugi dan kompensasi yang diatur
Kepmen lebih rendah dari yang diatur UU No. 151/1985.
Pada tahun 1992 dikeluarkan Peraturan Menteri Pertambangan
dan Energi No.OI.P/47/MPE/1992 tentang Ruang Bebas bagi
Penyaluran Tenaga Listrik. Peraturan ini menyatakan bahwa
pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan tidak diwajibkan untuk
memberikan ganti rugi selama bangunan atau benda apa pun tidak
termasuk ke dalam ruang bebas atau dengan kata lain bangunan benda
berada di ruang aman. Pada tahun 1999 Permentamben
No.01.P/47/MPE/1992 diubah oleh Keputusan Menteri Pertambangan
dan Energi No-975 K/47/MPE/1999. Baik Permentamben tahun 1992
maupun Kepmentamben tahun 1999 isinya adalah bertentangan
dengan Pasal 12 UU No. 15 Th 1985, karena hanya memberi ganti
rugi dan membebaskan tanah, bangunan dan tumbuh-tumbuhan di atas
tapak penyangga SUTET.
Peristiwa di atas menuntut PT. PLN (Persero) untuk mengambil
langkah penyelesaian sebagai wujud dari tanggung jawab sosial
perusahaan atau CSR. Terkait dengan ganti rugi dan kompensasi,
PLN telah melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan
pemerintah dan selalu mengutamakan kepentingan dan keinginan
masyarakat. Langkah-langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan
persoalan tersebut adalah dengan membentuk joint team yang terdiri
dari pemerintah, PLN dan elemen masyarakat. Tim ini terdiri dari
Kantor Menko Polhukam, Depdagri, Depkeu, Depkes, Depkum dan
HAM, Kantor Menneg BUMN, Depkominfo, Kantor Menneg LH,
Mabes Polri, BPN, Kejaksaan Agung, Departemen ESDM dan PT
PLN (Persero). Tim inilah yang ditugaskan untuk menyelesaikan
persoalan yang terjadi di lapangan melalui dialog intensif,
penyuluhan dan upaya-upaya lainnya. Apabila dalam kasus SUTET
tidak diajukan judicial review, para korban tetap dapat mengajukan
tuntutan atas dasar wanprestasi, karena PT. PLN telah membuat dan
menandatangani surat jaminan, yang nada pokoknya berisi, apabila
dikemudian hari terjadi kecelakaan yang sesuai hasil penelitian
disebabkan oleh keberadaan SUTET 500 kV, baik karena kelalaian
atau kesalahan PT. PLN maka PT. PLN akan bertanggung jawab
atas kesalahan tersebut. Tanggung jawab tersebut adalah terhadap
kesehatan manusia dan atau meninggal dunia serta atas kerusakan
rumah dan atau barang-barang elektronik atau alat-alat rumah
tangga lainnya.
Sebagai niat baik dan peduli terhadap lingkungan yang terkena
proyek untuk publik ini, PT. PLN (Persero) sudah memberikan
semacam dana tali asih dan pinjaman dana dari koperasi kepada
masyarakat yang tempat tinggalnya dilalui jaringan SUTET. Hal ini
ditujukan agar masyarakat mampu meningkatkan kualitas hidupnya.
Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang lain
adalah dilakukan pengukuran berkala, dan pemberian penyuluhan
tentang aturan jarak aman kepada masyarakat. Penyuluhan MI
bertujuan memberikan pengertian yang benar tentang pengaruh medan
listrik dan medan magnet sehingga masyarakat yang bermukim di
sekitar sarana transmisi ini memiliki persepsi yang benar dan rasa aman
tinggal di sekitarnya. Penyuluhan ini biasanya diberikan PT. PLN pada
saat awal pengoperasian SUTET, tetapi penyuluhan ini juga dapat
diberikan pada kesempatan lain jika masyarakat membutuhkanya.
Selain itu dengan adanya peraturan Menteri Pertambangan dan Energi
tentang ruang bebas untuk SUTET tahun 1992 pihak PT. PLN
meninggikan bentangan kabel listrik. jika sebelumnya dengan
bentangan di menara setinggi 8,5 meter harus membebaskan tanah
di bawah kabel listrik, maka dengan meninggikan sampai 22,5 meter
SUTET, maka ruang setinggi 14 meter di atas tanah dianggap
aman.
Selain itu, upaya untuk meminimalkan dampak negatif radiasi
elektromagnetik ini yaitu dari penelitian yang telah dilakukan, kuat
medan Iistrik di bawah SUTET di luar rumah lebih tinggi dibandingkan
di dalam rumah. (www.republika.com. Diakses pada 28 lanuari
2006) Oleh karena itu, PLN menganjurkan pada masyarakat agar
mengusahakan rumah berlangit-langit (plafon), dan lebih baik jika
menanam pohon sebanyak mungkin di sekitar rumah, terutama pada
lahan-lahan yang kosong. Dan jika tidak ada kepentingan tidak
dianjurkan berada di luar rumah di bawah SUTET pada malam hari
karena pada saat itu arus yang mengalir pada kawat penghantar
SUTET lebih tinggi daripada siang hari.
PT. PLN (Persero) sendiri telah membuat pagar pembatas
untuk menjaga ruang bebas dan jarak aman serta secara periodik
melakukan pengukuran kuat medan listrik dengan menggunakan alat
Elektromagnetic Field Meter. Menurut WHO (World Health
Organization) ambang batas kekuatan medan listrik dan medan magnet
yang tidak membahayakan tubuh manusia sebesar 5 kV/m untuk medan
listrik dan 0,1 m Tesla untuk medan magnet.
Namun dari berbagai bentuk CSR yang sudah diterapkan untuk
mengatasi masalah SUTET, masih belum dapat menyelesaikan secara
tuntas konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PT. PLN
(Persero). Untuk itu, berbagai penelitian dan jalan keluar untuk
mengatasi konflik SUTET ini sangat diperlukan.
BAHASAN
CSR menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan lagi
sekedar kegiatan ekonomi, _yaitu menciptakan profit demi kelangsungan
usaha, tetapi juga tanggung jawab sosial dan lingkungan. Alasannya,
jika menggantungkan pada finansial saja, tidak menjamin perusahaan
akan berkembang secara berkelanjutan. Hal ini dikarenakan perusahaan
yang hanya mementingkan keuntungan finansial dan mengabaikan
tanggung jawab sosial dan lingkungan, tidak hanya mendapat tentangan
dari masyarakat sekitar, tetapi juga tekanan dari LSM.
Dalam pembangunan sarana ketenagalistrikan, akan mempunyai
dampak positif maupun negatif seperti yang telah dijelaskan dalam poin
di atas. Dampak positif tersebut antara lain dapat meningkatkan
kualitas hidup atau kesejahteraan manusia, serta sebagai pendorong
berbagai kegiatan ekonomi. Sedangkan dampak negatifnya adalah
adanya bahaya kesehatan oleh radiasi elektromagnetik.
Untuk mengatasi dampak negatif tersebut apa yang sudah
diterapkan PT. PLN merupakan bukti bahwa PT. PLN memiliki
tanggung jawab sosial atau CSR, namun bentuk CSR tersebut ternyata
belum memberikan dampak yang nyata karena masih banyak terjadi
konflik di berbagai daerah.
Dari berbagai konflik yang timbul akibat keberadaan SUTET
dapat dikatakan bahwa akar permasalahannya yaitu tuntutan ganti rugi
yang dirasakan masih kurang oleh masyarakat dan adanya ancaman
bahaya kesehatan. Untuk konflik SUTET terutama yang menyangkut
masalah ganti rugi sebaiknya pihak pemerintah mengeluarkan suatu
dasar hukum yang sama dan jelas sehingga tidak menimbulkan konflik
dan tidak akan merugikan kedua belah pihak yaitu masyarakat dan
PT. PLN. Karena selama ini dasar hukum pemberian ganti rugi
yang menjadi pedoman masyarakat dan PT. PLN tidak sama, sehingga
tidak ada kesepakatan antara kedua pihak, dan masing-masing
mempunyai pandangan sendiri. Masyarakat korban SUTET menuntut
ganti rugi dengan mengacu pada UU No.15/1985 tentang
Ketenagalistrikan yaitu pasal 12, sementara pemerintah berpedoman
pada Permentamben No Ol.P/47/MPE/1992 dan Kepmentamben
975.K147/MPE/1999 yang mengatur tata cara mengenai ganti rugi
dan kompensasi tersebut. Ganti rugi dan kompensasi yang diatur
Kepmen lebih rendah dari yang diatur UU No. 151/1985. Pada
kenyataannya, jumlah ganti rugi dari kedua dasar hukum ini berbeda
yaitu dasar yang dijadikan patokan oleh PT. PLN yaitu Permentamben
No O1.P/47/MPE/1992 lebih rendah dari jumlah ganti rugi yang
tertuang dalam UU No. 15 Tahun 1985. Untuk itu, sangat diperlukan
kesamaan dasar hukum sehingga akan memiliki persamaan pandangan
antara masyarakat dan PT. PLN (Persero).
Masalah utama dalam konflik SUTET yaitu selain kurangnya
ganti rugi yang diberikan yaitu berkaitan dengan masalah kesehatan.
Selama ini masyarakat yang areal pekarangan dan sawahnya telah
dibangun tower dan akan dilalui jaringan, sejauh ini belum memperoleh
sosialisasi secara transparan tentang kemungkinan dampak buruk yang
terjadi akibat pembangunan SUTET. Hal ini menyebabkan masyarakat
menjadi kurang tahu atau bahkan tidak tahu sama sekali tentang
dampak negatif dan bahaya yang ditimbulkan akibat pembangunan
proyek SUTET. Namun, jika pihak PLN memberikan sosialisasi secara
transparan dan menyeluruh, maka suatu saat terjadi masalah maupun
konflik, masyarakat akan berusaha mencari solusi bersama-sama
dengan pihak PT. PLN. Oleh karena itu, manajemen PT. PLN (Persero)
sangat perlu untuk segera memberikan informasi yang sebenar-
benarnya, atas potensi dampak yang mungkin muncul dari proyek
tersebut. Sehingga nantinya tidak akan terjadi masalah di kemudian
hari pada saat proyek SUTET tersebut mulai dikerjakan.
Untuk memenuhi tuntutan masyarakat sebagai Wujud tanggung
jawab perusahaan dalam hal kesehatan, PT. PLN (Persero) dapat
menerapkan salah satu bentuk CSR misalnya berupa jaminan
kesehatan. Jaminan kesehatan ini diberikan kepada masyarakat yang
tinggal di sekitar area yang dilalui jaringan SUTET, yaitu masyarakat
yang sakit dan diduga disebabkan karena radiasi elektramagnetik.
Dalarn hal ini PT. PLN (Persero) harus menetapkan batasan-batasan
yang jelas misalnya PLN hanya akan memberikan jaminan kesehatan
tersebut jika masyarakat yang sakit tersebut benar-benar disebabkan
oleh radiasi elektromagnetik yang menurut berbagai penelitian antara
lain menurut WHO, misalnya penyakit yang menyerang 1) darah, (2)
reproduksi, (3) syaraf, (4) kurdiovaskuler, (5) endokrin, (6) psiko-
logis, dan (7) hipersensitivitas dengan gejala jantung berdebar-debar,
gangguan tidur, gangguan konsentrasi, rasa mual, dan gangguan
pencernaan lain yang tidak jelas penyebabnya. telinga berdenging,
muka terbakar, kulit meruam, kejang otot, kebingungan, serta gangguan
kejiwaan berupa depresi. Atau menurut hasil penelitian Dr. dr. Anies.
M.Kes. PKK yang menyimpulkan bahwa medan elektromagnetik yang
berasal dari SUTET 500 kV berisiko menimbulkan gangguan
kesehatan pada penduduk, yaitu sekumpulan gejala hipersensitivitas
yang dikenal dengan electrical sensitivity berupa keluhan sakit kepala
(headache), pening (dizziness), dan keletihan menahun (chronic
fatigue syndrome). (www.pikiranrakyat .com Diakses pada 26
Desember 2006). Sehingga jika suatu saat ada masyarakat yang
mempunyai penyakit atau gejala di atas harus mendapat jaminan
kesehatan walaupun mungkin penyakit tersebut bukan karena radiasi
elektromagnetik.
Selain itu penyuluhan dan sosialisasi mengenai jarak aman
kepada masyarakat harus selalu diberikan, misalnya untuk jaringan
tegangan menengah dan rendah (JTM/JTR) di daerah tersebut dapat
digunakan rumus sederhana, yaitu I kV = 1 cm. Artinya jika
tegangan di kawat jaringan sebesar 20 kV maka jarak amanya
adalah 20 cm atau 0,2 m. Untuk transmisi SUTET aturan jarak
aman vertical (C) adalah untuk tegangan 70 kV adalah 4,5 m. untuk
150 kV adalah 5,5 m, untuk 275 kV adalah 7,5 m dan untuk 500 kV
adalah 9,5 m. Sedangkan jarak aman horizontal dari as/sumbu
menara (D) adalah untuk tegangan 70 kV adalah 7 m, untuk 150 kV
adalah 10 m, untuk 275 kV adalah 13 m dan 500 kV adalah 17 m
(www.pln.co.id Diakses pada 7 Februari 2006).
Kegiatan yang dilaksanakan oleh PT. PLN (Persero) pada
umumnya masih bersifat hibah dan bukan merupakan program
rutin, misalnya pemberian kredit dan pemberian dana tali asih. Jika hal
tersebut sudah dilakukan secara rutin dan menjadi salah satu program
aktivitas PT. PLN, maka ini akan dapat melibatkan hubungan kemitraan
antara pihak PT. PLN dengan masyarakat. Untuk itu tanggung jawab
sosial perusahaan diperlukan agar menciptakan keseimbangan dan
keberlanjutan hidup dan jalinan kemitraan timbal balik antara
perusahaan dan stakeholders. Disini PLN menjadikan masyarakat
sebagai mitra, sehingga PLN mempunyai program kegiatan dalam upaya
pemberdayaan untuk mendukung kesejahteraan dan kemandirian
masyarakat secara berkelanjutan. Sehingga antara masyarakat dan PLN
terjalin hubungan yang baik dan saling mendukung selama kegiatan
tersebut tidak menimbulkan masalah dan dampak negatif. Kemitraan ini
bisa tercipta antara lain melalui program yang berupa ekonomi kerakyatan
yaitu, PLN menjadi mitra masyarakat dalam hal pemberian hibah untuk
kredit usaha.
Bentuk-bentuk CSR tersebut dl atas mungkin tidak sepenuhnya
dapat mengatasi masalah, namun paling tidak dapat mengurangi adanya
konflik SUTET. Agar program-program CSR seperti di atas dapat
berjalan dengan lancar, maka sangat diperlukan hubungan maupun
kerjasama yang baik antara PT. PLN (Persero), masyarakat, dan
Pemerintah, serta seluruh stakeholdernya.
Aktivitas CSR yang dilakukan oleh PT. PLN Persero tidak
hanya memberikan manfaat bagi masyarakat, tetapi juga pihak PLN itu
sendiri. Manfaat yang diperoleh masyarakat dengan dilaksankannya
program CSR oleh PLN misalnya, dapat mengembangkan usaha mereka
melalui hibah untuk kredit usaha, adanya jaminan kesehatan, dan
masyarakat mendapatkan ganti rugi serta kompensasi atas tanah milik
mereka sesuai dengan kesepakatan.Selain itu, aktivitas masyarakat juga
tidak akan terganggu karena adanya pemadaman total akibat perusakan
tower SUTET. Bagi PT. PLN Persero sendiri, kegiatan operasional
perusahaan tidak akan terhambat dan selalu mendapat dukungan dari
masyarakat, dan akhirnva tercipta hubungan yang baik antara masyarakat
dengan pihak PLN. Di sisi lain, image perusahaan dalam pandangan
masyarakat akan tetap baik dan selalu mendapatkan respon yang positi£
Dari manfaat yang dapat diperoleh di atas, semoga dapat dijadikan
bahan pertimbangan bagi PT. PLN (Persero) untuk menetapkan CSR
dalam kegiatan operasionalnya dan tentunya menjadikan PLN ke arah
yang lebih baik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Akhir-akhir ini banyak perusahaan yang makin sadar akan
pentingnya praktik Corporate Social Responsibility (CSR), ataupun
mengikuti langkah-Iangkah serupa termasuk perusahaan BUMN seperti
PT. PLN (Persero). Hal Ini tentu memerlukan hubungan kerjasama yang
baik antara pemerintah, masyarakat dan para pelaku bisnis sendiri.
Misalnya, pemerintah memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang
menerapkan program CSR secara serius. Demikian pula Bapepam
mewajibkan laporan CSR bag) perusahaan yang akan masuk bursa
ataupun yang kini sudah tercatat di bursa, serta langkah-langkah
lain yang relevan. Dan masyarakat mendukung program CSR yang
diterapkan perusahaan tersebut.
Dalam menjalankan operasinya sebagai penyedia jasa
ketenagalistrikan, PT. PLN harus memperhatikan tanggung jawab
sosial perusahaan seperti yang terjadi pada konflik SUTET.
Sehingga setiap keputusan yang diambil dan tindakan yang
dilaksanakan harus mempunyai tanggung jawab sosial.
Saran
Agar program CSR dapat berjalan dengan baik, maka dapat
disarankan (1) Untuk pemerintah sebaiknya memberikan peraturan
hukum yang secara tegas dan khusus mengatur tentang tanggung
jawab sosial perusahaan; (2) Program diarahkan pada masyarakat
yang membutuhkan dan diprioritaskan pada kebutuhan pokok
masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup; (3) Program dilaksana-
kan dengan menyediakan tenaga ahli pendamping; dan (4) Dilakukan
evaluasi dan pelaporan, apakah program tersebut berjalan sesuai
tujuan.
DAFTAR RUJUKAN
Heri Sudarsono
Abstract: The aims of this research are: (a) Describe financial and
non financial compensation, intrinsic motivation and lecture
performance; (b) Analyze the effect of financial compensation and
intrinsic motivation to lecturer performance; (c) Analyze the effect
of non financial compensation on intrinsic motivation; (d) Analyze
the effect of non financial compensation and motivation to lecture
performance. Based on description and path analysis, it shows that
financial compensation and intrinsic motivation was in good
condition and affecting lecture performance. Financial
compensation as salary, incentive, and wage and intrinsic
motivation as achievement knowledgement, the job it self, and
responsibility has direct and indirect effect on independent
variable, so the main model proposed could be decided as final
model in path analysis.
Key words: compensation, motivation, performance
Kompensasi Finansial
(X1)
P42
METODE
Teknik yang digunakan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan
dalam penelitian dilakukan dengan berbagai cara:
1. Kuesioner. Dilakukan dengan memberi daftar pertanyaan pada dosen
yang menjadi sampel penelitian, untuk mendapatkan data primer
serta memperoleh informasi tertulis dari responden sebagai obyek
penelitian. Tujuan utama dari pemberian kuesioner adalah: (a)
memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian, (b)
memperoleh informasi dengan reliabilitas dan validitas setinggi
mungkin (Singarimbun, 1995).
2. Wawancara. Cara memperoleh data dengan jalan mengadakan tanya
jawab langsung dengan pihak yang berkepentingan dengan harapan
memperoleh informasi yang dibutuhkan. Informasi yang diperoleh
memperjelas atau mendukung jawaban yang disampaikan melalui
kuesioner.
3. Dokumentasi. Penulis memperoleh informasi melalui dokumen dari
masing-masing PTS seperti program dan struktur kompensasi,
jumlah dosen, dan sebagainya.
Instrumen dikatakan valid bila mampu mengukur apa yang
seharusnya diukur dan mampu mengungkap data dari variabel yang
diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan
sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran
tentang variabel yang dimaksud. Uji validitas dalam penelitian ini yakni
menggunakan analisis yang menghitung koefisien korelasi antara skor
item dengan skor totalnya, dengan taraf signifikansi 5% dan dengan
bantuan program komputer SPSS for Windows.
Uji reliabilitas dalam penelitian ini, menggunakan bantuan
program komputer SPSS. Kriteria pengujian yang digunakan apabila
reliabilitas suatu instrumen yang memiliki koefisien reliabilitas 0,5 atau
lebih, maka dapat dikatakan sebagai pengumpul data yang handal.
(1) Metode analisis statistik deskriptif yang digunakan untuk
menggambarkan keadaan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
dosen.
(2) Metode analisis statistik inferensial yang digunakan untuk melihat
pengaruh diantara variabel-variabelnya. Untuk menganalisis data dan
menguji hipotesis, peneliti menggunakan taraf signifikansi 5 persen.
Analisis dilakukan secara kualitatif untuk menjelaskan dan
mendeskripsikan hubungan data yang diperoleh dengan landasan teori
yang dipakai melalui uraian sistematis. Selanjutnya untuk analisis
statistik inferensial dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan Path
Analysis dengan terlebih dahulu diadakan analisis faktor untuk tiap
variabel.
Untuk memperolah nilai koefisien yang tidak bias dan efisien
dari persamaan estimasi menggunakan OLS, maka pelaksanaannya harus
memenuhi beberapa asumsi klasik (Gujarati, 1991:172). Karena itu
dalam penelitian ini akan dilakukan beberapa uji asumsi klasik
diantaranya sebagai berikut: a) Asumsi normalitas, rata-rata sama dengan
nol, E(e) = 0, artinya asumsi menginginkan model yang dipakai dapat
secara tepat menggambarkan rata-rata variabel terikat dalam observasi;
b) Asumsi homokedastisitas, artinya adanya heterokedastisitas akan
bertentangan dengan salah satu asumsi peneliti yaitu bahwa variabel
residual harus sama untuk semua pengamatan; c) Uji linieritas, Uji ini
untuk mengetahui apakah model yang dipakai linier atau tidak, dan
dilakukan dengan melihat standardized scatterplot, dimana asumsi ini
terpenuhi jika plot antara nilai residual dengan nilai prediksi tidak
membentuk suatu pola tertentu.
HASIL
1. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Validitas merupakan unsur penting bagi suatu instrumen karena uji
ini menunjukkan sejauh mana ketepatan dan kecermatan instrument
dalam melaksanakan fungsinya. Menurut Sugiyono (1994) hasil
penelitian valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul
dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Valid
tidaknya suatu item instrumen dapat diketahui dengan membandingkan
antara indeks korelasi produk moment Pearson pada level signifikansi 5
persen dengan nilai kritisnya. Instrumen dikatakan valid apabila
memiliki koefisien diatas 0,3 (Sugiono, 1998). Selanjutnya hasil uji
validitas instrumen penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan
hasil uji reliabilitas dengan Alpha Cronbach dapat dilihat pada Tabel 1.
Koef.
Variabel bebas Probabilitas Simpulan
Korelasi
Jawaban Responden
No. Item Pertanyaan 1 2 3 4
f % f % f % f %
Jawaban Responden
No. Item Pertanyaan 1 2 3 4
f % f % f % f %
Keadilan dalam promosi
1 0 0,00 3 4,62 40 61 54 22 33,85
Pernyataan tentang
2 kesempatan promosi 2 3,08 3 4,62 44 67,68 16 24,62
Jawaban Responden
No. Item Pertanyaan 1 2 3 4
f % f % f % f %
Keinginan memperoleh Ijazah
1 sampai stratum tertinggi 0 0,00 12 18,46 37 56,92 16 24,62
Memberi penyuluhan
10 masyarakat 0 0,00 13 20,00 33 50,77 19 29,23
BAHASAN
Pada prinsipnya dalam menjawab hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini dilakukan melalui analisa jalur. Selanjutnya hasil analisa
untuk masing-masing hipotesis dapat dilihat pada Tabel 9.
Kompensasi
Finansial (X1) P31 sig t 0,0000, beta = 0,548876
Saran
Berdasar pada hasil kajian diatas sangat jelas bahwa variabel
kompensasi baik variabel kompensasi finansial maupun variabel
kompensasi non finansial sangat erat hubungannya dengan motivasi
intrinsik dosen. PTS seyogjanya memperhatikan variabel kompensasi ini
guna meningkatkan motivasi intrinsik dosen. Selanjutnya motivasi
intrinsik tersebut akan berdampak langsung pada kinerja dosen. Baik
buruknya kinerja dosen akan sangat dipengaruhi oleh motivasi intrinsik
dosen. Perguruan tinggi harus memperhatikan bagaimana meningkatkan
movitasi intrinsik dosen tersebut. Dengan meningkatnya motivasi
intrinsik diharapkan kinerja dosen akan bertambah baik pula dalam
rangka pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi.
DAFTAR RUJUKAN
Sri Untari
Suparlan Al Hakim
Ktut Diara Astawa
Nur Wahyu Rochmadi
Sri Untari, Suparlan Al Hakim, Ktut Diara Astawa, dan Nur Wahyu Rochmadi adalah
dosen Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FIP Universitas Negeri
Malang
Selain itu, proses pendidikan yang berlangsung selama ini diduga
belum berhasil meningkatkan kemampuan berdialog, berpikir kritis,
empati dan mengurangi prasangka siswa. Hal ini dikarenakan hanya
terbatas upaya meningkatkan pengetahuan siswa, tanpa ada tindak lanjut
dalam bentuk perilaku. Bahkan diduga telah menghasilkan hal yang
sebaliknya, yaitu rasa egoisme kelompok yang tinggi, kesenjangan
sosial, dan rendahnya empati dan tingginya prasangka terhadap orang
lain, sehingga menyebabkan rendahnya kesadaran siswa untuk
menyelesaikan masalah melalui dialog dan beripikir kritis.
Secara programatik, pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya
ditekankan pada pembentukan kepribadian manusia, yaitu siswa yang
memiliki kesadaran dalam melaksanakan hak dan kewajiban, terutama
kesadaran wawasan kebangsaan dan pertahanan keamanan nasional
masyarakat Indonesia (Dikti, 2000).
Untuk mencapai misi tersebut, praktik pembelajaran seharusnya
dikemas dengan menggunakan pendekatan dialog mendalam dan berpikir
kritis (deep dialogue/critical thinking), baik yang ditampakkan dalam
proses pembelajaran maupun kemasan materi dalam bentuk bahan ajar
dan lembar kegiatan siswa.
Deep dialogue (dialog mendalam), dapat diartikan bahwa percakapan
antara orang-orang tadi (dialog) harus diwujudkan dalam hubungan yang
interpersonal, saling keterbukaan, jujur dan mengandalkan kebaikan
(GDI, 2001). Sedangkan ciritical thinking (berpikir kritis) adalah
kegiatan berpikir yang dilakukan dengan mengoperasikan potensi
intelektual untuk menganalisis, membuat pertimbangan dan mengambil
keputusan secara tepat dan melaksanakannya secara benar.
Dalam tataran praksis, kajian deep dialogue/critical thinking
sebagai paradigma pengembangan pendidikan berlaku prinsip Unity in
policy and deversity in implementation. Justru kenyataan ini sebagai
kelebihan lain dari penerapan deep dialogue/critical thinking.
Agar deep dialogue/critical thinking dapat diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam pembelajaran PPKn perlu
diperhatikan kaidah-kaidah DD/CT. Dalam kaitan itu Untari (2002)
mengidentifikasikan sebagai berikut:
Pertama, keterbukaan, langkah awal untuk melakukan dialog
mendalam dan berpikir kritis individu harus membuka diri terhadap
mitra dialog, karena sifat terbuka dalam diri akan membuka peluang
untuk belajar, mengubah dan mengembangkan persepsi. Pemahaman
realitas dan bertindak secara tepat merupakan hasil berpikir kritis.
Dengan demikian ketika masuk dalam dialog, kita dapat belajar, berubah
dan berkembang dalam rangka meningkatkan berpikir kritis. Dialog
sebagai suatu kegiatan memiliki dua sisi yakni dalam masyarakat (intern)
dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya (antar). Hal ini
dilakukan mengingat bahwa dialog pada hakekatnya bertujuan untuk
saling berbicara, belajar dan mengubah diri masing-masing pihak yang
berdialog, sehingga perubahan yang terjadi pada masing-masing pihak
merupakan hasil berpikir kritisnya sendiri (self-critical thinking).
Kedua, kejujuran, bersikap jujur dan penuh kepercayaan
diperlukan dalam deep dialogue/critical thinking, sebab dialog hanya
akan bermanfaat manakala pihak-pihak yang melakukan bersikap jujur
dan tulus.Artinya masing-masing mengemukakan tujuan, harapan,
kesulitan dan cara mengatasinya melalui berpikir kritis secara apa
adanya, serta saling percaya diantara mereka. Dengan demikian
kejujuran merupakan prasyarat terjadinya dialog atau dengan kata lain
tidak ada kepercayaan berarti tidak ada dialog.
Ketiga, kerjasama. Untuk menanamkan kepercayaan pribadi,
langkah awal adalah mencari kesamaan dengan cara bekerjasama dengan
orang lain, selanjutnya memilih pokok-pokok permasalahan yang
memungkinkan memberi satu dasar berpijak yang sama. Selanjutnya
melangkah pada permasalahan umum yang dapat dihadapi bersama atau
mencari solusinya. Hal ini penting karena kemampuan untuk
menyelesaikan permasalahan secara bersama atau dengan bekerjasama
akan menghasilkan pemecahan yang menguntungkan pihak-pihak yang
bermasalah (win-win solution).
Keempat, menunjung nilai-nilai moral, deep dialogue/critical
thinking terjadi manakala masing-masing pihak yang berdialog
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etis atau santun, saling menghargai,
demokratis yakni dengan memperlakukan mitra dialog sedemikian rupa
sehingga berketetapan hati untuk berdialog. Artinya kita paling
mengetahui apa yang kita ketahui, dan mitra dialog kita paling mengerti
apa yang mereka ketahui. Di samping itu masing-masing saling
mempelajari, untuk memperluas wawasan bersama, untuk memperdalam,
mengubah dan memodifikasi pemahaman mereka.
Kelima, saling mengakui keunggulan, deep dialogue/critical
thinking akan terjadi manakala masing-masing pihak menghadirkan hati.
Dalam berdialog harus menghadirkan hati dan tidak hanya fisik. Dengan
menghadirkan hati, masing-masing pihak yang berdialog dapat memberi
respon kepada mitra dialog secara baik, dan menghindarkan menjadi
penceramah, pengkotbah atau yang mendominasi proses dialog, seolah
kita yang memiliki kelebihan daripada mitra dialog kita. Oleh karenanya
saling mengakui keunggulan masing-masing akan diperoleh pemahaman
bersama secara baik
Keenam, membangun empati. Jangan menilai sebelum meneliti,
merupakan ungkapan yang tepat dalam membangun deep
dialogue/critical thinking. Kita jauhkan prasangka, bandingkan secara
adil dalam berdialog sedapat mungkin kita tidak menduga-duga tentang
hal yang disetujui dan hal yang akan ditentang. Membangun empati
dalam dialog mendalam pihak-pihak yang berdialog dapat menyetujui
dengan tetap menjaga integritas diri mitra dialog, masyarakat dan
tradisinya.
Ausubel (dalam Irawan,1996) dalam teori belajar bermakna
(meaningful teaching theory) mengemukakan bahwa kebermaknaan
penyajian dan pentingnya pengaturan kemajuan belajar (advance
organizer) dimana bahan harus dirancang baik agar menarik minat siswa.
Untuk itu bahan harus: (1) bermakna secara potensial; (2) bertujuan
untuk melaksanakan belajar secara bermakna, sehingga siswa memiliki
kesiapan dan minat untuk belajar. Oleh karena itu Rianto (2000)
berpendapat dalam pandangan teori belajar humanistik, belajar
menekankan pada isi dan proses yang berorientasi pada peserta didik
sebagai subyek belajar. Untuk itu guru dituntut memiliki kualifikasi baik
sebagai inovator sekaligus developer pembelajaran yang dilakukan
dengan pembaharuan pembelajarannya maupun melakukan adopsi kritis
terhadap inovasi pendidikan (Rogers.1995) dan guru perlu menguasai
ketrampilan dasar mengajar (Wardani dala Endang Danial,2002); (Raka
Joni,1981); (Frazee&Rudnitski,1995).
Global Dialogue Institut merumuskan sebuah pendekatan
pembelajaran yang dipandang cocok untuk PKn yakni Pendekatan Deep
Dialogue/Critical thinking (DD/CT) yang mengandung prinsip:
komunikasi multi arah, pengenalan diri sendiri untuk mengenal dunia
orang lain, saling memberi yang terbaik, menjalin hubungan
kesederajatan, saling memberadabkan (civilizing) dan memberdayakan
(empowering), keterbukaan dan kejujuran serta empatisitas yang tinggi (
Al Hakim, 2002). Swidler menekankan bahwa DD/CT lebih merupakan
cara berpikir baru (new way of thinking). DD/CT mengandung nilai
demokratis dan etis sehingga beraitan dengan tujuan pendidikan kewar-
ganegaraan di Indonesia, terutama dalam pendidikan anak seutuhnya
(PAS), sehingga akan menunjang pembentukan warga negara yang baik,
bertanggung jawab, demokratis, cerdas dan religius.
Berdasarkan latar belakang di atas tujuan penelitian ini adalah (1)
menemukan kelebihan dan kelemahan bahan ajar dan lembar kegiatan
siswa mata pelajaran PKn yang berbasis DD/CT; (2) tersusunannya
bahan ajar dan lembar kegiatan siswa mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan dengan pendekatan DD/CT yang berterima baik secara
teoritis maupun praktis bagi siswa SMA di Jawa Timur
METODE
Subyek penelitian ini adalah praktisi (guru PKn di SMA Jawa
Timur) sejumlah 10 orang dan pakar PKn berjumlah 10 orang. Lokasi
penelitian ini adalah Kota Malang. Rancangan kuantitatif dipergunakan
untuk menjelaskan bahan ajar dan LKS Matapelajaran PKn berbasis
Deep Dialogue/Critical Thinking untuk siswa SMA .
Instrumen yang digunakan dalam penelitian tahap pertama ini
adalah kuesioner, dokumentasi, pedoman wawancara. Kuesioner dan
wawancara dipergunakan untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan
bahan ajar dan lembar kegiatan siswa dalam mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking .
Teknik analisis statistik deskriptif (rerata, mode, dan persentase)
untuk data-data yang diambil dengan kuesioner. Analisis domain untuk
data yang diambil dengan analisis dokumen, dan wawancara.
Penelitian Pengembangan pada tahap kedua adalah bagaimana
menyusun bahan ajar dan lembar kegiatan siswa dalam mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking
bagi siswa SMA yang bisa berterima secara teoritis maupun praktis.
Dengan rancangan penelitian pengembangan. Produknya berupa model
bahan ajar dan lembar kegiatan siswa dalam mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking bagi siswa
SMA yang berterima secara teoritis maupun praktis.
Penelitian dimulai dengan memadukan hasil penelitian tahap
pertama dengan dengan kajian teori untuk menghasilkan bahan ajar dan
lembar kegiatan siswa dalam mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking bagi siswa
SMA
Pengembangan bahan ajar perlu dilakukan secara sistematik
berdasarkan langkah-langkah yang saling terkait untuk menghasilkan
bahan ajar yang bermanfaat. Guru seringkali mengabaikan prosedur
pengembangan bahan ajar yang sistematik ini karena berasumsi, jika
sudah dibuat dengan baik sesuai dengan materi yang akan diajarkan,
maka bahan ajar dapat digunakan dengan efektif dalam proses
pembelajaran. Padahal ada beberapa langkah yang harus dilakukan guru
sebelum sampai pada kesimpulan bahawa bahan ajar sudah
dikembangkan dengan baik, serta bahan ajar yang digunakan memang
baik. Paling tidak ada lima langkah utama dalam prosedur
pengembangan bahan ajar yang baik, sebagai berikut
HASIL
1. Karakteristik Bahan Ajar PKn Berbasis DD/CT Menurut Pakar dan
Praktisi
Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara yang dilakukan
dengan para pakar dan praktisi diketahui sebagai berikut.
Tabel 3 Keluasan Materi Bahan Ajar Mata Pelajaran PKn berbasis DD/CT
Tabel 7 Paparan Ilustrasi dalam Awal Bahan Ajar Matapelajaran PKn Berbasis
DD/CT
No Materi bahan ajar PKn Berbasis DD/CT Jumlah %
memaparkan ilustrasi berupa gambar, contoh
realitas kehidupan, kalimat naratif
1. Selalu 22 55%
2. Sering 13 32,5%
3. Kadang-kadang 5 12,5%
4. Tidak ada 0
5. Lain-lain 0
Jumlah 40 100%
Tabel 9 Materi Bahan Ahar PKn Berbasis DD/CT Memfasilitasi Siswa Berpikir
Kritis
No Materi Bahan Ajar Memfasilitasi Siswa Berpikir Kritis Jumlah %
1. Selalu 23 57,5%
2. Sering 12 30%
3. Kadang-kadang 5 12,5%
4. Tidak ada 0 -
5. Lain-lain 0 -
Jumlah 40 100%
2. Ketepatan Cakupan
Berdasarkan hasil penelitian cakupan (skope) berhubungan dengan
isi bahan ajar dari sisi keluasan dan kedalaman isi atau materi serta
keutuhan konsep berdasarkan bidang ilmu dari bahan ajar dan LKS PKn
berbasis DD/CT telah memadai.
Pengembangan bahan ajar sesuai dengan materi pokok dan
komponennya berdasarkan pada materi yang telah ditentukan dalam
standar isi atau topik di Sekolah Menengah Atas. Dalam hal ini, keluasan
maupun kedalamannya akan berbeda, sehingga bahan ajarnya pun
memiliki keluasan dan kedalaman yang berbeda.
4. Penggunaan Bahasa
Penggunaan bahasa menjadi salah satu faktor yang penting.
Penggunaan bahasa, yang meliputi pemilihan ragam bahasa, pemilihan
kata, penggunaan kalimat efektif, dan penyusunan paragraph yang
bermakna, sangat berpengaruh terhadap manfaat bahan ajar. Walaupun
isi bahan ajar sudah cermat, menggunakan format yang konsisten, serta
dikemas dengan menarik, namun jika bahasa yang digunakan tidak
dimengerti oleh siswa, maka bahan ajar tidak akan bermakna apa-apa.
Penggunaan bahasa menjadi faktor penting, bukan hanya dalam
pengembangan bahan ajar cetak seperti buku kerja siswa, lembar kerja
siswa, tetapi juga dalam pengembangan bahan ajar noncetak, seperti
kaset audio, video, bahan ajar berbasiskan komputer, dan lain-lain.
Bahan ajar yang baik diharapkan dapat memotivasi siswa untuk
membaca, mengerjakan tugas-tugasnya, serta menimbulkan rasa ingin
tahu siswa untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut tentang topik yang
dipelajarinya. Dengan demikian, ragam bahasa yang digunakan dalam
bahan ajar biasanya ragam bahasa nonformal atau bahasa komunikatif
yang lugas dan luwes. Dalam bahasa komunikatif, pembaca diajak untuk
berdialog secara intelektual melalui sapaan, pertanyaan, ajakan, dan
penjelasan, seolah-olah dialog dengan orang kedua itu benar-benar
terjadi. Penggunaan bahasa komunikatif akan membuat siswa merasa
seolah-olah berinteraksi (pseudo-interaction) dengan gurunya sendiri
melalui tulisan-tulisan yang disampaikan dalam bahan ajar.
Ragam bahasa komunikatif sebaiknya digunakan dalam penulisan
atau pengembangan bahan ajar sangat dipengaruhi oleh pemilihan kata
serta penggunaan kalimat yang efektif. Walaupun ragam bahasa
komunikatif yang digunakan, hendaknya kaidah bahasa yang baik dan
benar tidak ditinggalkan atau dilanggar. Hal ini sangat perlu sebagai
salah satu persyaratan dari keterbacaan bahan ajar yang ditulis atau
dikembangkan.
Kata yang dipilih hendaknya jenis kata yang singkat dan lugas,
bukan kata atau istilah yang asing atau tidak banyak dikenal siswa. Jika
diperlukan pengenalan istilah teknis yang berlaku dalam bidang ilmu
tertentu, maka istilah tersebut perlu diberi batasan yang jelas. Senarai
(daftar kata sukar) dapat membantu memberikan batasan istilah-istilah
teknis. Selain itu, siswa dapat diberi kesempatan untuk menjelaskan
sendiri arti kata-kata tersebut melalui pertanyaan-pertanyaan yang
disiapkan dalam bahan ajar.
Penggunaan kalimat efektif menekankan perlunya penyampaian
informasi dilakukan melalui kalimat positif dan aktif, dan sedapat
mungkin menghindarkan penggunaan kalimat negatif dan pasif. Kalimat
positif dan aktif dipercaya dapat menimbulkan motivasi siswa untuk
melakukan tugas-tugas yang ditetapkan dalam bahan ajar, dan lebih
mudah dimengerti. Sementara itu penggunaan kalimat negatif dan pasif,
kadangkala dapat membingungkan siswa. Di samping itu, kalimat dalam
bahan ajar hendaknya kalimat sederhana, singkat, jelas dan hanya
memiliki makna tunggal untuk setiap kalimat. Kalimat majemuk
kadangkala dapat membingungkan, sehingga perlu di rinci melalui
kalimat-kalimat singkat berikutnya.
Selanjutnya, penyusunan paragraph mempersyaratkan adanya
gagasan utama untuk setiap paragraf, serta keterpaduan, keruntutan dan
koherensi antar kalimat dalam sebuah paragraf. Gagasan utama, yang
berbentuk kalimat topik, dapat ditempatkan di bagian awal maupun akhir
paragraf. Gagasan utama dikembangkan atau dijabarkan lebih lanjut
dalam rangkaian kalimat yang berhubungan satu sama lain secara
terpadu (kohesif) dan kompak atau runtut (koheren). Panjang pendek
sebuah paragraf tergantung pada kemampuan penulis dan kebutuhannya.
Keruntutan dan kekompakan hubungan antar kalimat dalam sebuah
paragraf (koherensi) sangat penting untuk membuat suatu paragraf
menjadi bermakna. Pada gilirannya, kalimat yang runtut dan kompak
akan memudahkan siswa memahami ide/konsep yang disajikan dalam
paragraf tersebut.
5. Perwajahan/Pengemasan
Perwajahan dan atau pengemasan berperan dalam perancangan
atau penataan letak informasi dalam satu halaman cetak, serta
pengemasan dalam paket bahan ajar multimedia. Penataan letak
informasi untuk satu halaman cetak dalam bahan ajar hendaknya
mempertimbangkan beberapa hal berikut:
1) Narasi atau teks yang terlalu padat dalam satu halaman membuat
siswa lelah membacanya.
2) Bagian kosong (white space) dari satu halaman sangat diperlukan
untuk mendorong siswa mencoret-coret bagian kosong tersebut
dengan rangkuman atau catatan yang dibuat siswa sendiri. Sediakan
bagian kosong secara konsisten dalam halaman-halaman bahan ajar.
3) Padukan grafik, poin, dan kalimat-kalimat pendek, tetapi jangan terus
menerus sehingga menjadi membosankan.
4) Gunakan sistem paragraf yang tidak rata pada pinggir kanan, karena
paragraf seperti itu lebih mudah dibaca.
5) Gunakan grafik atau gambar hanya untuk tujuan tertentu, jangan
gunakan grafik atau gambar jika tidak bermakna.
6) Gunakan sistem penomoran yang benar dan konsisten untuk seluruh
bagian bahan ajar.
7) Gunakan dan variasikan jenis dan ukuran huruf untuk menarik
perhatian, tetapi jangan terlalu banyak sehingga membingungkan.
Perwajahan dan pengemasan bahan ajar juga meliputi penyediaan
alat bantu belajar dalam bahan ajar, sehingga bahan ajar dapat
dipelajari siswa secara mandiri (sendiri, atau dengan teman-teman
dalam kelompok).
6. Ilustrasi
Penggunaan ilustrasi dalam bahan ajar memiliki ragam manfaat,
antara lain membuat bahan ajar menjadi lebih menarik melalui variasi
penampilan. Ilustrasi dapat dibuat sendiri oleh pengembang bahan ajar,
jika mempunyai keterampilan menggambar yang baik. Namun, ilustrasi
juga dapat dibuatkan oleh perancang grafis atau pelukis, yang
menerjemahkan gambar-gambar yang diinginkan ke dalam ilustrasi yang
baik dan tepat. Selain itu, ilustrasi juga dapat diambil dari sumber
langsung (misalnya foto), sumber atau buku lain (misalnya majalah atau
ensiklopedia). Jika ilustrasi diperoleh dari sumber atau buku lain, penulis
berkewajiban memberi penjelasan tentang hal itu dalam bahan ajar yang
ditulis.
Ilustrasi digunakan untuk memperjelas pesan atau informasi yang
disampaikan. Selain itu, ilustrasi dimaksudkan untuk memberi variasi
bahan ajar sehingga bahan ajar menjadi menarik, memotivasi,
komunikatif, membantu retensi dan pemahaman siswa terhadap isi
pesan.
Ilustrasi yang biasa digunakan dalam bahan ajar, antara lain daftar
atau tabel, diagram, grafik, kartun, foto, gambar, sketsa, simbol, dan
skema.
7. Kelengkapan Komponen
Idealnya, bahan ajar merupakan paket multikomponen dalam
bentuk multimedia. Paket tersebut mempunyai sistematika penyampaian
dan urutan materi yang baik, meliputi penyampaian tujuan belajar,
memberi bimbingan tentang strategi belajar, menyediakan latihan yang
cukup banyak, memberi saran-saran untuk belajar kepada siswa
(pertanyaan kunci, soal, tugas, kegiatan), serta memberikan soal-soal
untuk dikerjakan sendiri oleh siswa sebagai cara untuk mengukur
kemampuan diri sendiri dan umpan baliknya. Paket bahan ajar dapat
bersifat lengkap dalam satu paket, atau dapat juga dilengkapi dengan
sumber informasi lain (dari internet, atau buku lain), panduan
belajar/siswa, serta panduan guru.
Paket bahan ajar memiliki tiga komponen inti, yaitu komponen
utama, komponen pelengkap, dan komponen evaluasi hasil belajar.
Komponen utama berisi informasi atau topik utama yang ingin
disampaikan kepada siswa, atau harus dikuasai siswa. Kebanyakan,
bahan ajar utama berbentuk bahan ajar cetak, misalnya buku teks, buku
pelajaran, modul, dan buku materi pokok yang bersifat moduler
Bahan ajar utama akan menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa
jika dilengkapi dengan komponen pelengkap. Komponen pelengkap ini
dapat berupa informasi/topik tambahan yang terintegrasi dengan bahan
ajar utama, atau informasi/topik pengayaan wawasan siswa.
Komponen pelengkap biasanya terdiri dari bahan pendukung cetak
(materi pengayaan, bacaan, jadwal, silabus, peta materi, kliping kasus),
bahan pendukung noncetak (perluasan wawasan materi dalam media
noncetak, peta materi dalam bentuk program komputer, video, kaset, web
suplemen, simulasi komputer, kit), panduan siswa (peta materi, petunjuk
belajar, latihan dan tugas, tips, kata-kata sukar, pemilahan materi),
panduan guru (peta materi, petunjuk bagi guru, konsep inti topik atau
pokok bahasan, latihan dan tugas, rangkuman materi) dan lain-lain yang
diperlukan siswa untuk mempelajari suatu topik, yang disajikan melalui
beragam media, secara moduler Komponen evaluasi hasil belajar terdiri
dari perangkat soal/butir tes. Komponen evaluasi hasil belajar ini
nantinya akan terpisahkan
Beberapa usulan siswa agar buku PKn dan LKS yang digunakan
dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk berdialog dan berpikir
kritis adalah sebagai berikut:
a. Bahan Ajar PKn
1. Pemaparan materi hendaknya ringkas agar mudah difahami
2. Buku penunjang harus rinci dan lengkap
3. Materi terlalu banyak, perlu ada ringkasan materi
4. Dalam buku memuat uraian yang lengkap tentang realitas
kehidupan
5. Sebaiknya materi buku dibuat lebih menarik dan ditambah
gambar-gambar berwarna sehingga menarik untuk belajar
6. Dalam pemaparan materi beri contoh-contoh konkrit yang
menarik
7. Buku hendaknya lebih banyak memuat cerita dan pertanyaan
logis
8. Menyusun buku dengan bahasa yang menarik, mudah difahami
dan mengajak siswa berpikir
9. Guru kalau menerangkan PKn hendaknya mengajak siswa
berpikir
10. Guru PKn kurang menarik dalam menyampaikan materi.
BAHASAN
1. Karakteristik Bahan Ajar Mata Pelajaran Pkn berbasis DD/CT
Hasil penelitian ditemukan bahwa bahan ajar berbasis DD/CT
menjadi salah satu alternatif pilihan guru dalam pembelajaran PKn yang
memberikan kesempatan lebih banyak pada siswa untuk berdialog
dengan teman, dengan guru, dengan orang tua, dengan masyrakat
disekitarnya. Disamping itu bahan ajar berbasis DD/CT dipandang akan
mampu merangsang siswa untuk berpikir kritis.
Tuntutan pendidikan dewasa ini yang memberikan otonomi pada
sekolah dan guru dalam menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk menyusun bahan
ajar yang tepat, sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar dan
kemampuan siswanya. Dengan demikian kedepan guru dituntut dapat
menyusun bahan ajar mata pelajaran yang diampunya.
Struktur bahan ajar dan LKS matapelajaran PKn berbasis DD/CT ,
secara umum memiliki struktur yang mengacu pada kompetensi dasar
dan indikator sebagaimana yang terdapat dalam standar isi. Hal ini
dimaksudkan untuk dapat dipergunakan oleh guru dan siswa sesuai
dengan jenjang kelasnya.
Semboyan bahwa ―buku adalah salah satu sumber ilmu‖, ―buku
adalah jendela informasi dunia‖, ―buku adalah guru yang baik tanpa tatap
muka‖, buku adalah media komunikasi tentang IPTEK, seni dan agama
serta ide-ide‖ (Pusbuk, 2003). Semboyan tersebut mengisyaratkan betapa
pentingnya buku pelajaran. Karena buku pelajaran merupakan sumber
belajar dan media yang sangat penting untuk mendukung tercapainya
kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran.
Buku pelajaran PKn berbasis DD/CT dapat secara efektif
menunjang pencapaian kompetensi pembelajaran PKn dibuat sedemikian
rupa untuk memenuhi standar . Aspek penting yang diperhatikan adalah
materi, penyajian, bahasa dan keterbacaan, serta grafika. Davis (1955)
dalam Puskur (2003) menyatakan bahwa buku pelajaran yang baik berisi
materi yang sesuai dengan kurikulum, disusun oleh penulis yang
kompeten, disesuaikan dengan usia dan kematangan siswa,
memerhatikan ilustrasi dan format.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas dan hasil penelitian
, maka dapat dikemukakan bahwa bahan ajar dan LKS mata pelajaran
PKn berbasis DD/CT untu SMA: (1) aspek materi pelajaran . yakni
materi pokok yang disajikan dalam buku pelajaran PKn umumnya adalah
(a) relevansi: bahwa isi materi bahan ajar sesuai dengan standar isi. Ini
berarti untuk dipergunakan dengan dalam rangka implementasi
kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dapat dipergunakan,
karena isi materi relevan dengan standar isi yang dikembangkan dalam
KTSP; (b) kecukupan: muatan materi bahan ajar telah memadai untuk
mencapai kompetensi, hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan ajar
berbasis DD/CT cukup memiliki kecukupan; dan (c) keakuratan: bahwa
isi materi yang disajikan harus benar secara keilmuan, mutahir atau
sesuai dengan perkembangan yang terbaru, bermanfaat bagi kehidupan
dan pengemasan materi sesuai dengan hakekat PKn. Dengan kriteria ini
maka hasil penelitian menunjukkan bahwa keakurasian materi bahan ajar
PKn berbasis DD/CT tercapai ini tebukti banyak pendapat yang
menyatakan materi yang disajikan sebagai sesuai dengan kompetensi
dasar. Kalau dengan KTSP terdapat cukup tepat dengan kompetensi
dasar tentunya dalam pemanfaatannya perlu penyesuaian dengan
KTSPnya (2) Aspek penyajian. Aspek penyajian bahan ajar PKn berbasis
DD/CT dapat dijabarkan sebagai berikut (a) kelengkapan sajian.
Berdasarkan analisis bahan ajar berbasis DD/CT telah cukup lengkap
dalam sajian, di dalamnya memuat kompetensi dasar, materi pokok, dan
tugas-tugas pengembangan; (b) sistematika sajian. Bahan ajar PKn
berbasis DD/CT, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan cukup
sistematis; (c) kesesuaian sajian dengan tuntutan pembelajaran yang
berpusat pada siswa. Hasil penelitian dan analisis bahan ajar berbasis
DD/CT menunjukkan bahwa bahan ajar PKn, materi luas hal ini
dikemukakan baik oleh guru sebagai praktis maupun pakar. Dengan
sajian materi yang luas cukup memberi peluang kepada siswa untuk
mengembangkan pola pikirnya untuk berpikir kritis.Sehingga bahan ajar
PKn berbasis DD/CT ini sesuai dengan tuntutan pembelajaran yang
berpusat pada siswa student centered; dan (d) cara penyajian. Hasil
penelitian juga menunjukkan cara penyajian yang dikemas dalam bahan
ajar Pknberbasis DD/CT relative kontekstual, yakni sebagaimana bahan
ajar atau buku yang memberi nuasa berdialog siswa. (3) Aspek bahasa
dan keterbacaan. Bahasa disini berarti dalam penyajian bahan tepat
dalam penggunaan kosakata, kalimat, paragraf dan wacana. Hasil
penelitian menunjukkan bahan ajar PKn berbasis DD/CT terdapat
wacana yang membuka wawasan siswa tentang materi yang akan
dipelajari, meskipun secara umum bahan ajar PKn berbasis DD/CT telah
menggunakan kaidah bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Keterbacaan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa bahasa yang
dipergunakan cukup dipahami siswa SMA. (4) Aspek grafika. Yakni
yang berkaitan dengan ukuran bahan, jenis kertas, cetakan, ukuran huruf,
warna dan ilustrasi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata bahan
ajar yang dipergunakan dalam hal ukuran cukup bagus, jenis kertas
menunjukkan beberapa menggunakan kertas putih, sedangkan beberapa
menggunakan kertas yang agak buram, cetakan dan ukura huruf bagus,
hanya ilustrasi kurang, terdapat buku yang contoh yang diangkat kurang
kontekstual artinya beberapa gambar yang disajikan tidak dipahami oleh
siswa karena dari negara lain. Secara umum bahan ajar PKn berbasis
DD/CT masih kering ilustrasi yang merangsang siswa untuk
membicarakan dengan orang lain dan memikirkan lebih kritis.
2. Ketepatan Cakupan
Berdasarkan hasil penelitian cakupan (skope) berhubungan dengan
isi bahan ajar dari sisi keluasan dan kedalaman isi atau materi serta
keutuhan konsep berdasarkan bidang ilmu dari bahan ajar dan LKS PKn
berbasis DD/CT telah memadai.
Keluasan dan kedalaman isi bahan ajar sangat berhubungan
dengan keutuhan konsep berdasarkan bidang ilmu. Dalam hal ini
seberapa banyak atau luas suatu topik yang akan disajikan? Seberapa
dalam suatu topik yang perlu dibahas? Bagaimana keutuhan konsep yang
disajikan? Banyak pertimbangan yang perlu diperhatikan. dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, antara lain yang paling utama
adalah kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran. Setiap guru pasti
mempunyai tujuan pembelajaran yang dijabarkan dari kompetensi dasar
dan indikator. Lihatlah tujuan tersebut, kemudian berlandaskan pada
tujuan tersebut dapat menentukan seberapa luas, dalam, dan utuh topik
yang akan disajikan kepada siswa. Kemudian kembangkanlah bahan ajar
– materi pokok dan komponennya berdasarkan pada materi yang telah
ditentukan tersebut. Tentunya, tujuan pembelajaran atau topik tertentu di
sekolah Lanjutan Tingkat Pertama akan berbeda dengan tujuan
pembelajaran atau topik yang sama di Sekolah Menengah Atas. Dalam
hal ini, keluasan maupun kedalamannya akan berbeda, sehingga bahan
ajarnya pun memiliki keluasan dan kedalaman yang berbeda.
4. Penggunaan Bahasa
Penggunaan bahasa menjadi salah satu faktor yang penting.
Penggunaan bahasa, yang meliputi pemilihan ragam bahasa, pemilihan
kata, penggunaan kalimat efektif, dan penyusunan paragraph yang
bermakna, sangat berpengaruh terhadap manfaat bahan ajar. Bahan Ajar
PKn Berbasis DD/CT cukup memadai dalam penggunaan bahasa yang
dimengerti oleh siswa, agar bahan ajar bermakna bagi siswa. Pengguna-
an bahasa menjadi faktor penting, bukan hanya dalam pengembangan
bahan ajar cetak seperti buku kerja siswa, lembar kerja siswa, tetapi juga
dalam pengembangan bahan ajar noncetak, seperti kaset audio, video,
bahan ajar berbasiskan komputer, dan lain-lain.
Bahan ajar yang baik diharapkan dapat memotivasi siswa untuk
membaca, mengerjakan tugas-tugasnya, serta menimbulkan rasa ingin
tahu siswa untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut tentang topik yang
dipelajarinya. Dengan demikian, ragam bahasa yang digunakan dalam
bahan ajar biasanya ragam bahasa nonformal atau bahasa komunikatif
yang lugas dan luwes. Dalam bahasa komunikatif, pembaca diajak untuk
berdialog secara intelektual melalui sapaan, pertanyaan, ajakan, dan
penjelasan, seolah-olah dialog dengan orang kedua itu benar-benar
terjadi. Penggunaan bahasa komunikatif akan membuat siswa merasa
seolah-olah berinteraksi (pseudo-interaction) dengan gurunya sendiri
melalui tulisan-tulisan yang disampaikan dalam bahan ajar.
Ragam bahasa komunikatif sebaiknya digunakan dalam penulisan
atau pengembangan bahan ajar sangat dipengaruhi oleh pemilihan kata
serta penggunaan kalimat yang efektif. Walaupun ragam bahasa
komunikatif yang digunakan, hendaknya kaidah bahasa yang baik dan
benar tidak ditinggalkan atau dilanggar. Hal ini sangat perlu sebagai
salah satu persyaratan dari keterbacaan bahan ajar yang ditulis atau
dikembangkan.
Kata yang dipilih hendaknya jenis kata yang singkat dan lugas,
bukan kata atau istilah yang asing atau tidak banyak dikenal siswa. Jika
diperlukan pengenalan istilah teknis yang berlaku dalam bidang ilmu
tertentu, maka istilah tersebut perlu diberi batasan yang jelas. Senarai
(daftar kata sukar) dapat membantu memberikan batasan istilah-istilah
teknis. Selain itu, siswa dapat diberi kesempatan untuk menjelaskan
sendiri arti kata-kata tersebut melalui pertanyaan-pertanyaan yang
disiapkan dalam bahan ajar.
Penggunaan kalimat efektif menekankan perlunya penyampaian
informasi dilakukan melalui kalimat positif dan aktif, dan sedapat
mungkin menghindarkan penggunaan kalimat negatif dan pasif. Kalimat
positif dan aktif dipercaya dapat menimbulkan motivasi siswa untuk
melakukan tugas-tugas yang ditetapkan dalam bahan ajar, dan lebih
mudah dimengerti. Sementara itu penggunaan kalimat negatif dan pasif,
kadangkala dapat membingungkan siswa. Di samping itu, kalimat dalam
bahan ajar hendaknya kalimat sederhana, singkat, jelas dan hanya
memiliki makna tunggal untuk setiap kalimat. Kalimat majemuk
kadangkala dapat membingungkan, sehingga perlu di rinci melalui
kalimat-kalimat singkat berikutnya.
Selanjutnya, penyusunan paragraph mempersyaratkan adanya
gagasan utama untuk setiap paragraf, serta keterpaduan, keruntutan dan
koherensi antar kalimat dalam sebuah paragraf. Gagasan utama, yang
berbentuk kalimat topik, dapat ditempatkan di bagian awal maupun akhir
paragraf. Gagasan utama dikembangkan atau dijabarkan lebih lanjut
dalam rangkaian kalimat yang berhubungan satu sama lain secara
terpadu (kohesif) dan kompak atau runtut (koheren). Panjang pendek
sebuah paragraf tergantung pada kemampuan penulis dan kebutuhannya.
Keruntutan dan kekompakan hubungan antar kalimat dalam sebuah
paragraf (koherensi) sangat penting untuk membuat suatu paragraf
menjadi bermakna. Pada gilirannya, kalimat yang runtut dan kompak
akan memudahkan siswa memahami ide/konsep yang disajikan dalam
paragraf tersebut.
5. Perwajahan/Pengemasan
Dalam Hal perwajahan dan atau pengemasan bahan ajar PKn
berbasis DD/CT masih banyak kelemahan terutama dalam perancangan
atau penataan letak informasi dalam satu halaman cetak,. Penataan letak
informasi untuk satu halaman cetak dalam bahan ajar hendaknya
mempertimbangkan beberapa hal berikut:
1) Narasi atau teks yang terlalu padat dalam satu halaman membuat
siswa lelah membacanya.
2) Bagian kosong (white space) dari satu halaman sangat diperlukan
untuk mendorong siswa mencoret-coret bagian kosong tersebut
dengan rangkuman atau catatan yang dibuat siswa sendiri. Sediakan
bagian kosong secara konsisten dalam halaman-halaman bahan ajar.
3) Padukan grafik, poin, dan kalimat-kalimat pendek, tetapi jangan terus
menerus sehingga menjadi membosankan.
4) Gunakan sistem paragraf yang tidak rata pada pinggir kanan, karena
paragraf seperti itu lebih mudah dibaca.
5) Gunakan grafik atau gambar hanya untuk tujuan tertentu, jangan
gunakan grafik atau gambar jika tidak bermakna.
6) Gunakan sistem penomoran yang benar dan konsisten untuk seluruh
bagian bahan ajar.
7) Gunakan dan variasikan jenis dan ukuran huruf untuk menarik
perhatian, tetapi jangan terlalu banyak sehingga membingungkan.
Perwajahan dan pengemasan bahan ajar juga meliputi penyediaan
alat bantu belajar dalam bahan ajar, sehingga bahan ajar dapat
dipelajari siswa secara mandiri (sendiri, atau dengan teman-teman
dalam kelompok).
6. Ilustrasi
Penggunaan ilustrasi dalam bahan ajar PKn berbasis DD/CT
memiliki ragam manfaat, antara lain membuat bahan ajar menjadi lebih
menarik melalui variasi penampilan. Ilustrasi dapat dibuat sendiri oleh
pengembang bahan ajar, jika mempunyai keterampilan menggambar
yang baik. Namun, ilustrasi juga dapat dibuatkan oleh perancang grafis
atau pelukis, yang menerjemahkan gambar-gambar yang diinginkan ke
dalam ilustrasi yang baik dan tepat. Selain itu, ilustrasi juga dapat
diambil dari sumber langsung (misalnya foto), sumber atau buku lain
(misalnya majalah atau ensiklopedia). Kelemahan dalam bahan ajar ini
ilustrasi diperoleh dari sumber atau buku lain, penulis belum memberi
penjelasan tentang hal itu dalam bahan ajar yang ditulis.
Ilustrasi digunakan untuk memperjelas pesan atau informasi yang
disampaikan. Selain itu, ilustrasi dimaksudkan untuk memberi variasi
bahan ajar sehingga bahan ajar menjadi menarik, memotivasi,
komunikatif, membantu retensi dan pemahaman siswa terhadap isi
pesan.
Ilustrasi yang biasa digunakan dalam bahan ajar, antara lain daftar
atau tabel, diagram, grafik, kartun, foto, gambar, sketsa, simbol, dan
skema.Dalam bahan ajar PKn berbasis DD/CT ilustrasinya kurang
bervariasi.
7. Kelengkapan Komponen
Bahan ajar dan LKS berbasis DD/CT cukup memiliki kelengkapan
komponen, yakni informasi , pelengkap dan evaluasi
Idealnya, bahan ajar merupakan paket multikomponen dalam
bentuk multimedia. Paket tersebut mempunyai sistematika penyampaian
dan urutan materi yang baik, meliputi penyampaian tujuan belajar,
memberi bimbingan tentang strategi belajar, menyediakan latihan yang
cukup banyak, memberi saran-saran untuk belajar kepada siswa
(pertanyaan kunci, soal, tugas, kegiatan), serta memberikan soal-soal
untuk dikerjakan sendiri oleh siswa sebagai cara untuk mengukur
kemampuan diri sendiri dan umpan baliknya. Paket bahan ajar dapat
bersifat lengkap dalam satu paket, atau dapat juga dilengkapi dengan
sumber informasi lain (dari internet, atau buku lain), panduan
belajar/siswa, serta panduan guru.
Paket bahan ajar memiliki tiga komponen inti, yaitu komponen
utama, komponen pelengkap, dan komponen evaluasi hasil belajar.
Komponen utama berisi informasi atau topik utama yang ingin
disampaikan kepada siswa, atau harus dikuasai siswa. Kebanyakan,
bahan ajar utama berbentuk bahan ajar cetak, misalnya buku teks, buku
pelajaran, modul, dan buku materi pokok yang bersifat moduler
Bahan ajar utama akan menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa
jika dilengkapi dengan komponen pelengkap. Komponen pelengkap ini
dapat berupa informasi/topik tambahan yang terintegrasi dengan bahan
ajar utama, atau informasi/topik pengayaan wawasan siswa.
Komponen pelengkap biasanya terdiri dari bahan pendukung cetak
(materi pengayaan, bacaan, jadwal, silabus, peta materi, kliping kasus),
bahan pendukung noncetak (perluasan wawasan materi dalam media
noncetak, peta materi dalam bentuk program komputer, video, kaset, web
suplemen, simulasi komputer, kit), panduan siswa (peta materi, petunjuk
belajar, latihan dan tugas, tips, kata-kata sukar, pemilahan materi),
panduan guru (peta materi, petunjuk bagi guru, konsep inti topik atau
pokok bahasan, latihan dan tugas, rangkuman materi) dan lain-lain yang
diperlukan siswa untuk mempelajari suatu topik, yang disajikan melalui
beragam media, secara moduler Komponen evaluasi hasil belajar terdiri
dari perangkat soal/butir tes. Komponen evaluasi hasil belajar ini
nantinya akan terpisahkan
Beberapa usulan siswa agar buku PKn dan LKS berbasis DD/CT
ini dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk berdialog dan berpikir
kritis adalah sebagai berikut:
1. Bahan Ajar PPKn
Pemaparan materi hendaknya ringkas agar mudah difahami
Buku penunjang harus rinci dan lengkap
Materi terlalu banyak, perlu ada ringkasan materi
Dalam buku memuat uraian yang lengkap tentang realitas
kehidupan
Sebaiknya materi buku dibuat lebih menarik dan ditambah
gambar-gambar berwarna sehingga menarik untuk belajar
Dalam pemaparan materi beri contoh-contoh konkrit yang menarik
Buku hendaknya lebih banyak memuat cerita dan pertanyaan logis
Menyusun buku dengan bahasa yang menarik, mudah difahami
dan mengajak siswa berpikir
Guru kalau menerangkan PKn hendaknya mengajak siswa berpikir
Guru PKn kurang menarik dalam menyampaikan materi.
Saran
Bahan Ajar dan LKS Mata pelajaran PKn Berbasis DD/CT ini
perlu sempurnakan dengan cara mengimplementasikannya ke sekolah-
sekolah yang lebih beragam, utamanya implementasi pembelajaran
inovatif dengan menggunakan sarana bahan ajar dan LKS Berbasis
DD/CT ini.
Pembelajaran berbasis DD/CT terus melakukan penelitian lanjutan,
serta memuat hasil penelitian dalam jurnal-jurnal baik yang nasional
maupun internasional
Idealnya penilaian hasil belajar siswa harus dapat dilakukan
dengan banyak cara,meskipun dilapangan masih ditemukan banyak
kesulitan untuk melaksanakannya terutama untuk penilaian dimensi
nilai-nilai kewarganegaraan (civics Volues). Ini menjadi tantangan bagi
pengembangan pembelajaran dengan DD/CT untuk mengembangkan
model penilaian yang dapat membantu guru lebih obyektif memberi
penilaian akan hasil belajar siswanya.
DAFTAR RUJUKAN
Eddy Supramono
Mata Kuliah Fisika Dasar merupakan salah satu mata kuliah yang
termasuk pada rumpun Mata kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK)
yang diwajibkan bagi mahasiswa tahun pertama di FMIPA Universitas
Negeri Malang.
Eddy Supramono adalah dosen Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang
Berdasarkan kurikulum di Jurusan Fisika FMIPA Universitas
Negeri Malang, mata kuliah ini memiliki bobot 6 SKS yang terbagi
dalam mata kuliah Fisika Dasar I (3 SKS) pada semester I dan Fisika
Dasar II pada semester II (3 SKS). Mata kuliah ini secara langsung
didukung oleh mata kuliah praktikum Fisika Dasar I pada semester I (1
SKS) dan praktikum Fisika Dasar II (1 SKS) pada semester II.
Kualitas penguasaan konsep Fisika sangat ditentukan oleh proses
pembelajaran yang dialami mahasiswa. Berdasarkan pengamatan pada
proses pembelajaran Fisika Dasar dan wawancara dengan mahasiswa
menunjukkan bahwa kesulitan mahasiswa terletak dalam cara memahami
dan cara menguasai konsep-konsep yang ada dalam mata kuliah Fisika
Dasar. Mahasiswa memperoleh konsep dalam bentuk informasi dan
penjelasan dari dosen yang kemudian diterapkan dalam bentuk latihan
soal. Perolehan konsep tersebut tidak didasari pemahaman proses ilmiah
yang seharusnya dialami mahasiswa..
Berbagai strategi pembelajaran telah diupayakan untuk
meningkatkan penguasaan konsep mahasiswa. Salah satu strategi
pembelajaran tersebut diantaranya tertuang dalam modul Physics by
Inquiry. Modul ini menggunakan strategi pembelajaran yang
mengintegrasikan proses ilmiah dan konsep Fisika yang memberikan
kesempatan pada mahasiswa untuk menguasai konsep Fisika Dasar
melalui kegiatan laboratorium. Strategi pembelajaran yang digunakan
dalam modul Physics by Inquiry ini didasarkan pada kurikulum berbasis
laboratorium. Modul ini pertama kali dikembangkan oleh The Physics
Education Group di the University of Washington, dan diberikan pada
kelas kecil dengan jumlah mahasiswa per kelas 20 orang mahasiswa.
Hasilnya menunjukkan peningkatan penguasaan konsep Fisika yang
cukup signifikan serta mahasiswa memperoleh pengalaman langsung
tentang proses ilmiah.
Penelitian ini berorientasi pada Teori Kognitif Sosial. Melalui
pembentukan kelompok-kelompok dengan pola tertentu, yaitu pola
tutorial sebaya, kooperatif dan kolaborasi teman sebaya akan
tercipta interaksi sosial di antara siswa dengan pola tertentu pula,
sehuigga struktur kognitif siswa akan tumbuh dan berkembang dengan
kecenderungan-kecenderungan tertentu pula. Dengan demikian,
penelitian ini akan menghasilkan teori yang lebih rinci dalam cakupan
Teori Kognitif Sosial.
Untuk lebih tegasnya berdasarkan latar belakang di atas, masalah pelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Adakah pengaruh dampak dari Implementasi Physics by Inquiry
Model Pembelajaran Investigasi Kelompok terhadap Pola Pertum-
buhan Penguasaan Konsep Fisika Dasar para calon Guru Universitas
Negeri Malang?
b. Bagaimanakah interaksi dari dampak Implementasi Physics by Inquiry
Model Pembelajaran Investigasi kelompok yang dirancang dengan
pola tutorial sebaya, kooperatif dan kolaborasi teman sebaya pada
Calon Guru Universitas Negeri Malang?
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil jenis penelitian Quasy
Experimentation (semi eksperimen) dengan mengambil model Randomized
Control-Group Pretest-Paster - Design (Caenphell dan Stanley, 1968),
yang diperluas dengan melibatkan lebih dari satu variable O1, O2, O3,
O4 dan O5 adalah pengukuran pertumbuhan konsep Fisika dengan periode dua
mingguan, disajikan pada Tabel 1 berikut.
GI O1 XI O2 X1 O3 XI O4 XI O5
G2 O1 X2 O2 X2 O3 X2 O4 X2 O5
G3 O1 X3 O2 X3 O3 X3 O4 X3 O5
G4 O1 X4 O2 X4 O3 X4 O4 X4 O5
Keterangan:
G1 = kelompok pertama X1 = perlakuan tutorial
G2 = kelompok kedua X2 = perlakuan kooperatif
G3 = kelompok ketiga X3 = perlakuan kolaboratif
G4 = kelompok keempat X4 = perlakuan acak
Data tentang pertumbuhan penguasaan konsep Fisika Dasar I
mahasiswa dijaring lewat hasil tes dengan menggunakan instrumen
prestasi, selengkapnya dapat diperiksa pada Lampiran-5, sedangkan data
tentang pengamatan interaksi mahasiswa dikumpulkan melalui instrumen
pengamatan interaksi dalam kelompok.
Data tentang pertumbuhan penguasaan konsep Fisika mahasiswa
dianalisis dengan regresi (Kleinbaum dan Kupper, 1984) dengan
menggunakan program SPSS Release-10 for windows. Analisis regresi
ini dimaksudkan untuk tujuan peramalan, dimana dalam model tersebut
ada sebuah variabel dependen, yaitu penguasaan konsep Fisika dan
variabel independen, yaitu waktu yang digunakan belajar. Dalam hal ini
ingin diselidiki apakah pertumbuhan penguasaan konsep Fisika Dasar I
mahasiswa tergantung atau tidak dengan banyaknya waktu yang
digunakan dalam penyampaian materi. Artinya, apakah penguasaan
konsep Fisika mahasiswa bertambah baik atau sebaliknya setelah mereka
menerima materi Fisika Dasar I pada model pembelajaran investigasi
kelompok dengan mengimplementasikan modul Physics by Inquiry.
Untuk melihat dampak yang muncul selama mahasiswa para calon
guru bekerja dengan model investigasi kelompok, data interaksi antar
mahasiswa akan dianalisis secara deskriptif yang meliputi keterampilan
kelompok dasar, intermediate dan lanjut untuk masing-masing pola,
yaitu tutorial sebaya, kooperatif dan kolaborasi.
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa baru jurusan
Fisika Universitas Negeri Malang yang terdiri dari 6 kelas, sedang
sebagai sampelnya digunakan sebanyak 4 kelas secara purposif dengan
pertimbangan bahwa kesulitan teknis pelaksanaan selama eksperimen
dapat dihindarkan.yang dipilih secara purposif dengan pertimbangan
tertentu dimana masing-masing kelas terdiri atas 25--30 mahasiswa.
Selanjutnya, sampel sebanyak 4 kelas di atas akan diambil 3
kelas sebagai kelas eksperimen, satu kelas sebagai kelas kontrol.
Analisis butir soal dilakukan dengan mengambil sekor pretes dari 2
kelas sampel penelitian. Instrumen kegiatan akan dikembangkan dengan
mengadopsi Modul Physics by Inquiry untuk materi Fisika Dasar I.
Sedangkan, pola pengelompokkan belajar mahasiswa untuk kelas
eksperimen akan dibentuk mengikuti aturan pengelompokkan secara pola
tutorial, pola kooperatif dan pola kolaboratif sebaya. Kelas kontrol akan
dikelompokkan secara acak dengan berpedoman dari absensi kelas.
Instrumen perlakuan dikembangkan dengan mengikuti pola pem-
belajaran kelompok. Dengan demikian, proses pembelajaran mengikuti
alur yang sama, kecuali pola pembentukan kelompoknya., sedangkan
instrumen kegiatan yang dikembangkan terdiri atas:
a. Instrumen pengamatan interaksi mahasiswa dalam kelompok
b. Instrumen pengukuran penguasan konsep Fisika yang berupa tes
dikembangkan berdasar materi Fisika Dasar I
c. Lembar Kerja Mahasiswa pada kegiatan praktikum dengan mengim-
plementasikan Modul Physics by Inquiry
Hasil uji coba instrumen penguasaan konsep Fisika menunjuk-
kan bahwa validitas telah memenuhi syarat instrumen yang cukup baik.
Dari 20 butir soal sebanyak 1 soal gugur. Dengan demikian tes
penguasaan konsep Fisika yang digunakan sebanyak 19 butir soal.
Reliabilitas tes tersebut ternyata cukup baik dengan koefisien
reliabilitas sebesar 0.57.
HASIL
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa untuk mengetahui apakah
penguasaan konsep Fisika mahasiswa bertambah baik atau sebaliknya
setelah mereka menerima materi Fisika Dasar I pada model pembelajaran
investigasi kelompok dengan mengimplementasikan modul Physics by
Inquiry, pertama kali yang dikerjakan adalah:
PRETES
Levene
Statistic df 1 df 2 Sig.
.093 3 102 .964
ANOVA
PRETES
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Betw een Groups 149.059 3 49.686 .477 .699
Within Groups 10614.157 102 104.060
Total 10763.216 105
POSTES
Levene
Statistic df 1 df 2 Sig.
1.120 3 102 .345
ANOVA
POSTES
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Betw een Groups 3438.592 3 1146.197 10.224 .000
Within Groups 11434.934 102 112.107
Total 14873.526 105
PRTBH
Levene
Statistic df 1 df 2 Sig.
.746 3 102 .527
ANOVA
PRTBH
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Betw een Groups 48.495 3 16.165 8.410 .000
Within Groups 196.044 102 1.922
Total 244.538 105
Analysis of Variance
Method.. Harga F
Linier 0.12672
Logarith 0.64375
Quadrati 1.26153
Compound 0.12672
Growth 0.12672
Exponent 0.12672
Analysis of Variance
Method Harga F
Linier 44.40123
Logarith 37.71022
Quadrati 22.05305
Compound 45.02156
Growth 45.02156
Exponent 45.02156
Analysis of Variance
Method Harga F
Linier 25.12268
Logarith 18.81884
Quadrati 14.16240
Compound 25.36603
Growth 25.36603
Exponent 25.36603
Analysis of Variance
Method.. Harga F
Linier 39.92937
Logarith 30.86311
Quadrati 20.92887
Compound 39.92697
Growth 39.92697
Exponent 39.92697
Dengan demikian pola kolaborasi pertumbuhan penguasaan
konsepnya lebih kearah linier dibandingkan dengan Metod.. Compound,
Growth dan Exponent dengan beda yang cukup kecil yaitu sebesar
0.002.
3. Pola Kolaborasi
a. Keterampilan Kelompok Dasar: Mengawali pengambilan
kesepakatan muncul dari anggota dengan predikat berprestasi
tinggi (42.86%). Untuk menyumbangkan pemikiran rupanya
diprakarsai oleh setiap anggota kelompok (28.57%), kecuali yang
berprestasi rendah (14.29%). Anggota dengan prestasi paling
tinggi nampaknya memegang kendali saat diskusi kelompok.
Kelompok ini mengarahkan bagaimana kelompok harus bekerja
(66.67%). Inilah yang penting karena dengan demikian yang
merasa punya prestasi rendah akan menjadi terhimbas untuk
belajar.
b. Keterampilan Kelompok Intermediate: Yang menarik pada
tingkat keterampilan ini adalah bahwa dalam mengambil
kesimpulan tugas-tugas kelompok, hampir semua kelompok baik
yang anggotanya berprestasi tinggi ataupun kelompok yang
berprestasi pada urutan yang lebih rendah semua memegang
kendali pengambilan keputusan. Hal ini tampak dari hasil urutan
pengamatan interaksinya yaitu sebesar 28.57%, 28.57%, 14.29%
dan 28.57%, Hasil ini sama saat kelompok merinci tugas dan
jawaban.
c. Keterampilan Kelompok Lanjut: pada poin untuk merinci tugas
dan jawaban hampir semua kelompok anggotanya aktif me-
lakukan ini yang hasil pengamatannya adalah 28.57%, 28.57%,
14.29% dan 28.57% tetapi untuk memperdalam permasalahan
anggota kelompok yang berprestasi paling tinggi yang lebih
berperanan (42.86%), demikian juga saat menunjukkan bukti atau
memberi alasan terhadap jawaban yang dikemukakannya
((42.86%). Dalam menentukan prioritas dalam memecahkan
masalah, anggota yang berprestasi tinggi kembali memegang
kendali, yaitu sebesar 57.14%
Saran
Dari kesimpulan yang didapatkan seperti diungkap di atas, dapat
disarankan hal-hal sebagai berikut.
1. Mencermati hasil perhitungan statistik yang telah dilakukan, bahwa
pola kolaborasi ternyata mampu membuat pertumbuhan penguasaan
konsep Fisika Dasar I mahasiswa FMIPA Universitas Negeri Malang
linier terhadap waktu yang digunakan belajar, maka disarankan
kepada siapapun sekiranya akan membentuk kelompok belajar
seyogyanya membentuk kelompok belajar dengan pola kolaborasi.
2. Hasil pengamatan interaksi antar anggota kelompok menunjukkan
bahwa kebersamaan untuk mau bekerja bersama-sama, berdiskusi,
saling menghargai pendapat orang lain merupakan faktor penting
untuk diperhatikan karena erat kaitannya dengan hasil yang
didapatkan nantinya, utamanya prestasi belajar mereka. Inilah hal
utama untuk itu ditekankan sebelum kelompok terbentuk.
DAFTAR RUJUKAN
Kusumarasdyati
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang
bertujuan untuk menjelaskan secara mendalam alasan mengapa para
pembaca yang kemampuannya baik mengabaikan kata-kata sulit yang
mereka temui dalam bacaan berbahasa Inggris. Data kualitatif diambil
dari 8 mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Universitas Negeri Surabaya
(Unesa) yang terpilih menjadi subjek penelitian dengan memakai metode
purposive sampling dari populasi sejumlah 74 mahasiswa. Sampel ini
diambil dari populasi berdasarkan kriteria berupa kemampuan membaca
pemahaman yang baik. Untuk mengetahui kemampuan tersebut,
diberikan tes membaca pemahaman DIALANG (dapat diunduh dari
http://www.dialang.org) yang telah menjadi standardized test kepada
semua anggota populasi, sehingga diperoleh skor yang merefleksikan
kemampuan membaca mereka. Selanjutnya, skor ini diurutkan dari
tertinggi hingga terendah dan disusun menjadi persentil. Mahasiswa yang
menduduki persentil paling atas dipilih menjadi sampel penelitian.
Proses seleksi ini dapat dijelaskan di Gambar 1.
10% 10%
Skor Skor
tertinggi terendah
(sampel)
Format Deskripsi
Huruf biasa Kata-kata yang diucapkan oleh subjek penelitian
[Cetak miring, di dalam Kata-kata dari bacaan yang dibaca dengan keras oleh
kurung] subjek penelitian
[Cetak tebal, di dalam Kata-kata dari kamus yang dibaca dengan keras oleh
kurung] subjek penelitian
Garis bawah Kata-kata sulit yang tidak diketahui maknanya
(0.0) Panjangnya jeda dalam menit dan detik
HASIL
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa yang
kemampuan membacanya tergolong baik melewati kata-kata sulit yang
ditemui dalam bacaan, sehingga penelitian ini mendukung temuan
Hosenfeld (1976) yang telah dibahas di atas. Dari 8 mahasiswa yang
menjadi subjek penelitian ini, tujuh diantaranya melewati begitu saja
kata-kata yang tidak mereka ketahui maknanya. Hanya satu mahasiswa
(Catrin) tidak pernah mengabaikan kata-kata sulit dan cenderung melihat
kamus untuk mencari makna kata-kata tersebut. Data selengkapnya
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah Kata-kata yang Sulit dan Dilewati oleh Mahasiswa
P : Ada beberapa tadi yang anda tidak tahu artinya tapi anda tetap baca.
A : He eh.
P : Yang anda tidak tahu artinya, anda tadi merasa, ―Saya tidak tahu
artinya tapi saya lewati aja‖?
A : Ada yang merasa terus ditebak-tebak. Sentencenya nyambung,
ngerti maksudnya, ya udah diambil. Nggak memperdulikan. Jadi
yang penting kata kunci dari sentence itu udah dapet.
P : Jadi yang anda cari itu, kalo itu kata kunci?
A : Ya. Jadi selama kata itu nggak penting saya nggak mau. Biarpun itu
katanya susah, kalo bukan key of the sentence, saya nggak mau
nyari.
Pembaca yang baik memiliki kemampuan untuk memilah mana
kata-kata kunci (keywords) yang penting untuk pemahaman bacaan
secara keseluruhan dan mana kata-kata yang kurang penting. Apabila
kata-kata sulit dipandang kurang penting, maka pembaca akan
menerapkan strategi skipping agar dia dapat membaca secara lebih
efisien dan tidak terhambat oleh kata-kata sulit tersebut.
Walaupun kata-kata yang tidak dipandang penting pada umumnya
diabaikan, ada juga mahasiswa yang mengabaikan kata-kata sulit yang
sebetulnya dianggap penting. Contoh konkrit dapat dilihat dalam ujaran
Yulia ketika membaca teks dalam concurrent verbal protocols.
Yulia: [I would see him waiting for the whirring (0.1) whirring (0.1) whirring of
wings, violin in hand. Several times now…]
P : ‗Confided‘ artinya?
A : Oh, ‗confided,‘ tak pikir ‗convinced.‘
P : Anda salah baca?
A : Ya, salah baca tadi, tak kira ‗convinced.‘
BAHASAN
Penelitian yang mendalam terhadap strategi dalam menghadapi
kata-kata sulit menghasilkan temuan berupa lima alasan yang mendasari
skipping dalam membaca pemahaman. (1) Alasan pertama adalah kata-
kata yang dilewati tersebut memiliki kontribusi yang amat kecil terhadap
makna keseluruhan teks; (2) Alasan kedua, pada awalnya mereka
mengidentifikasi suatu kata sulit sebagai kata yang penting untuk
pemahaman bacaan dan berupaya untuk mencari maknanya, akan tetapi
kata tersebut terlupakan oleh mereka ketika mereka membaca kalimat
berikutnya. Hal ini yang menjadi alasan kedua mengapa mereka
menerapkan strategi skipping; (3) Alasan ketiga, untuk skipping adalah
pemakaian strategi menebak yang gagal. Pada awalnya mahasiswa
berusaha untuk mengetahui makna kata dengan cara menebaknya dari
konteks, tetapi nampaknya mereka tidak berhasil mengira-ngira makna
yang tepat untuk kata tersebut. Akhirnya mereka menyerah dan
memutuskan untuk melewati saja kata itu; (4) Alasan keempat, tidak
hanya kegagalan dalam menebak kata, tidak berhasilnya upaya mereka
untuk mencari makna kata di kamus dapat memicu terjadinya skipping
selama proses membaca pemahaman berlangsung; dan (5) Alasan
kelima, untuk skipping adalah miscue. Istilah miscue dipakai untuk
pertama kalinya oleh Goodman (1996) untuk menyebut kesilapan yang
dibuat oleh pembaca ketika sedang memahami suatu teks.
Saran
Berdasarkan simpulan yang diuraikan di atas, peneliti memberikan
saran-saran sebagai berikut kepada para pengajar bahasa Inggris dalam
mengajarkan membaca pemahaman. Pertama, pembelajar dengan
kemampuan membaca pemahaman yang baik hendaknya dianjurkan
untuk menerapkan strategi skipping terhadap beberapa kata sulit yang
mereka temui dalam teks, karena mencari makna setiap kata yang tidak
diketahui kemungkinan akan: (1) memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk membaca pemahaman; (2) menghambat proses
membaca pemahaman; dan (3) menurunkan motivasi untuk membaca
lebih jauh. Kedua, pembelajar hendaknya diajarkan untuk memilah kata-
kata sulit yang perlu dicari maknanya dan yang dilewati begitu saja. Dari
lima alasan yang telah disebutkan sebelumnya, hendaknya pengajar
dapat memetik manfaatnya dengan memberikan pengetahuan yang cukup
kepada pembelajar agar dapat memilih kata mana yang dilewati dengan
alasan yang sesuai. Skipping nampaknya merupakan suatu strategi yang
tak dapat dipisahkan dari proses membaca pemahaman, sehingga
skipping akan membuat proses tersebut lebih maksimal apabila
dilakukan dengan alasan yang tepat.
Bagi para peneliti yang berkecimpung di bidang membaca
pemahaman dan pengajarannya, perlu diadakan investigasi lebih lanjut
mengenai strategi skipping. Penelitian ini hanya menggunakan
mahasiswa yang memiliki kemampuan membaca pemahaman yang baik
sebagai subjeknya, karena itu perlu diteliti: (1) apakah mahasiswa
dengan kemampuan membaca pemahaman yang kurang juga
menerapkan strategi skipping dan (2) apabila memang menerapkannya,
apakah memiliki alasan yang sama dengan mahasiswa yang baik
kemampuan membacanya. Perbedaan kemampuan ini diperkirakan akan
menghasilkan temuan yang berbeda pula, namun untuk lebih jelasnya
diperlukan bukti empiris dari penelitian. Selain itu, subjek penelitian ini
adalah pembelajar yang kemampuan membaca pemahamannya berada di
tingkat menengah (intermediate), karena itu perlu dilakukan penelitian
terhadap pembaca pada tingkat dasar (elementary) dan lanjut (advanced)
untuk mengetahui apakah penerapan strategi skipping memang berbeda
karena tingkat membaca pemahamannya berlainan.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad Munjin Nasih adalah dosen Jurusan Sastra Arab FS Universitas Negeri Malang
Tabel 1 Angka Talak dan Gugat Cerai di Kota Malang
Tabel 2 Angka Talak dan Gugat Cerai bulan Januari 2007 di Kota Malang
METODE
Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
rancangan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan
rancangan studi kasus. Rancangan studi kasus dapat digunakan untuk
pengembangan teori yang diangkat dari sebuah latar penelitian (Bogdan
& Biklen, 1998). Rancangan ini diharapkan dapat menghasilkan teori
dengan generalisasi lebih luas dan lebih umum penerapannya untuk
kasus pencegahan perceraian. Dalam penelitian studi kasus ini digunakan
rancangan studi kasus observasional (Yin, 1999) Rancangan metode
tersebut digunakan untuk menelaah sebuah fenomena dalam sebuah
organisasi tertentu. Dalam pelaksanaannya dilakukan beberapa kali
pengumpulan data dan hasilnya dianalisis sehingga tersusun teori
sementara.
Sementara itu lokasi penelitian ini adalah wilayah Malang Raya,
yaitu Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Adapun subyek
penelitian ini adalah suami, istri yang sedang dalam proses perceraian
dan sudah bercerai, serta anak-anak korban perceraian di Malang Raya.
Data subjek penelitian akan diperoleh dari Pengadilan Agama Kota
Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu yang tercatat dalam kurun
waktu dua tahun terakhir. Subjek penelitian sekaligus akan dijadikan
informan penelitian dengan kesempatan yang sama.
Dalam penelitian ini, akan dikumpulkan informasi berupa kata-
kata, situasi setting dan beberapa dokumen yang berhubungan dengan
fokus penelitian. Kata-kata dimaksud adalah berasal dari para informan.
Informasi tersebut akan digali melalui wawancara bebas. Di samping itu
juga akan diambil data berupa situasi setting penelitian serta kegiatan-
kegiatan yang berkaitan dengan fokus penelitian. Untuk menjaring data
tersebut akan dilakukan pengamatan.
Adapun teknik penjaringan informasi yang digunakan adalah
teknik bola salju (snowball). Dalam penelitian kualitatif teknik untuk
memperoleh data di lapangan dilakukan dengan tiga cara, yaitu: teknik
wawancara terfokus, FGD, observasi dan dokumentasi (Marshall, 1989).
Hal ini diterapkan untuk mendapatkan data yang memadai dan sesuai
dengan fukos penelitian dan tujuan penelitian.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap.
Pada tahap pertama peneliti melakukan penjajakan ke lokasi dalam
rangka memperoleh gambaran secara umum tentang situs yang akan
diteliti. Tahap berikutnya adalah melakukan eksplorasi, dimana dalam
tahap ini peneliti mengumpulkan data secara lebih mendalam dan terarah
dengan fokus penelitian, serta berusaha mencari sumber-sumber data
atau informan yang kompeten dan memiliki pengetahuan, pemahaman
serta kepedulian yang tinggi terhadap pemasalahan yang sedang diteliti.
Dalam setiap kali melakukan pengumpulan data, baik
menggunakan teknik wawancara mendalam maupun dengan teknik
observasi, digunakan beberapa alat. Dalam setiap kesempatan mengada-
kan wawancara mendalam digunakan buku catatan. Di samping itu
apabila yang diwawancarai banyak maka digunakan alat perekam. Kedua
alat tersebut digunakan untuk mencatat dan merekam jawaban-jawaban
informan yang selanjutnya ditulis ulang ke dalam format transkrip
wawancara dengan menyertakan koding yang terdiri dari tanggal, tempat
dan inisial informan. Sedangkan untuk kegiatan observasi, selain format
lapangan juga akan digunakan alat dokumentasi yang berfungsi untuk
mendokumentasikan perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa penting
yang muncul selama pelaksanaan observasi.
Selanjutnya dalam setiap melakukan observasi digunakan format catatan
lapangan. Untuk menganalisis data, peneliti menganalisis data dengan
empat langkah yaitu: (1) Reduksi Data, (2) Penyajian Data (Display), (3)
Penentuan Temuan Penelitian, dan (4) Penarikan Kesimpulan
Pertama, semua data hasil wawancara terbuka dengan semua
subjek penelitian, dipilah dan digolongkan sesuai tema-tema dalam fokus
penelitian. Pemilahan data ini juga bertujuan untuk membuang data yang
tidak diperlukan karena searah dengan tujuan penelitian. Dalam proses
reduksi data, peneliti juga mencari istilah-istilah kunci yang menjadi data
inti. Data inti yang ditemukan dimasukkan format model analisis data
etnografi yang dikembangkan oleh Spradley (1980). Peneliti mengikuti
saran Spradley untuk menggunakan model analisis domain dan analisis
komponensial.
Kedua, data yang telah dikelompokkan, kemudian dirangkai secara
sistematis sesuai dengan susunan tema fokus dan disajikan sebagai
paparan data. Dalam paparan data, peneliti memberikan catatan reflektif
yang sesuai dengan isi data, tanpa mengurangi esensi data tersebut.
Ketiga, peneliti merumuskan temuan penelitian dari data yang
dianggap bersifat spesifik setelah melalui analisis etnografi. Dalam
penelitian ini pengecekan keabsahan temuan dilakukan dengan tiga cara,
yaitu: (1) kredibilitas, dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi
baik triangulasi teknik data maupun triangulasi informan; (2) depen-
dabilitas, dilakukan dengan meminta bantuan para ahli dan berbagai
pihak yang memahami penelitian ini; dan (3) konfirmabilitas, dilakukan
dengan cara melakukan pemeriksaan ulang terhadap data yang diperoleh
dengan meminta konfirmasi lebih lanjut kepada para informan dan para
ahli terkait, yakni ahli pendidikan, psikolog, ulama, dan hakim agama..
Keempat, kegiatan ini merupakan akhir dalam proses penelitian.
Kesimpulan dirangkum dari proses analisis data. Kesimpulan penelitian
sebelumnya dirumuskan dalam temuan penelitian. Temuan penelitian,
pada hakikatnya adalah kesimpulan yang diperoleh peneliti.
HASIL
Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian
Hukum alam mengatakan bahwa tidak ada asap bila tidak ada api.
Begitupun sebuah perceraian, ia tidak akan terjadi begitu saja tanpa
diawali oleh berbagai persoalan yang melatarbelakanginya.
Hampir bisa dipastikan seseorang yang memasuki dunia rumah
tangga berharap bisa menjadikan rumah tangganya sebagai tempat
memadu kasih yang sangat membahagiakan antara suami, istri dan anak-
anak. Namun, fakta seringkali berkata lain, idealitas yang dimiliki harus
berhadapan dengan fakta yang sangat tidak diharapkan. Berbagai
persoalan selalu mengiringi perjalanan rumah tangga, dan apabila hal
tidak bisa dimenej dengan baik bukan mustahil semuanya berujung pada
perceraian.
Para responden menyatakan bahwa penyebab perceraian yang
paling menonjol adalah masalah ekonomi, ini dapat dimaklumi karena
pemenuhan kebutuhan keluarga terkait dengan kedudukan suami sebagai
penanggung jawab keluarga. Dalam Islam, suami dilebihkan dari isteri-
isterinya karena kelebihan yang diberikan Allah kepadanya (al-
Nisa‟;34) karena kelebihan itu suami mempunyai kewajiban
menyejahterakan kehidupan keluarga, mencukupi kebutuhan mereka
dengan memberikan nafkah yang layak, halal dan dibenarkan oleh agama
dan negara. Suami berkewajiban memenuhinya dalam batas kewajaran,
tanpa berlebih-lebihan atau kekurangan. Suami berkewajiban memberi
belanja yang cukup dan tidak mempersempit nafkah keluarganya, ini
yang mendatangkan ketenangan isteri dalam menjalani hidup
berkeluarga. Terlebih jika diingat bahwa anjuran untuk menikah bagi
seorang laki-laki adalah ketika dia sudah mempunyai kemampuan (al-
ba‟ah) untuk memenuhi kebutuhan keluarganya baik lahir maupun batin,
jika ini tidak terpenuhi Islam menganjurkan agar dia menundanya
dengan melakukan pengendalian diri antara lain dengan berpuasa. Hidup
berkekurangan bisa membawa keluarga ke gerbang kehancuran
sebagaimana sabda Rasulullah SAW ―kaada al-faqru an yakuuna
kufran”, lebih-lebih jika pasangan suami isteri tidak tabah
menghadapinya, mereka tidak sabar dalam menerima kekurangan yang
ada. Ketidaksabaran ini yang sering membawa suami isteri pada
perceraian, di sini pentingnya suami memenuhi kebutuhan keluarga
sebab dengan terpenuhinya kebutuhan, isteri dapat menjalani kehidupan
keluarga dengan baik, ― . . . dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara-cara yang baik‖ (Al-Baqa
rah; 228).
Pada suami melekat kedudukan sebagai pelindung keluarga
(qawwamuuna ala an-nisa‟) karena itu kesetiaan isteri tetap terjaga
manakala suami dapat memerankan dirinya sesuai dengan
kedudukannya. Hilangnya status qawwamuuna ala an-nisa‟ dari suami
memaksa isteri bekerja, dengan itu dia dapat memenuhi kebutuhan
keluarga dan merasa dapat hidup mandiri tanpa bantuan suami, bahkan
karena itu kesetiaannya pada suami hilang dan menggugatnya untuk
menceraikannya seperti pada kasus ibu IT dan ibu UL.
Keinginan untuk lepas dari ikatan perkawinan dengan suami makin
menguat ketika menemukan suami sudah tidak lagi jujur dalam
memegang janjinya, suami bermain api di belakang isteri dengan
berselingkuh bersama wanita lain. Hadirnya pihak ketiga ini menjadi
sebab terjadinya perceraian. Permainan api ini melukai hati isteri dan
mengecewakannya sehingga isteri terdorong melakukan gugatan cerai
karena dia melihat hilangnya kejujuran suami pada janji setianya yang
diikrarkan pada waktu menikah, kenyataan ini dapat dilihat pada kasus
ibu IT dan ibu UL. Rapuhnya perkawinan yang berakhir dengan cerai
karena hadirnya pihak ketiga tidak saja dialami oleh suami tetapi terjadi
pula pada isteri sehingga suami terpaksa menceraikannya, seperti yang
terjadi pada ibunda DM, ibunya tergoda oleh laki-laki lain karena dia
melihatnya lebih keren dari pada suaminya, terlebih jika laki-laki itu
berharta. Isteri melihat laki-laki itu dapat memenuhi kebahagiaan yang
diimpikannya karena dia dipandang ―lebih‖ dari pada suaminya karena
itu isteri rela menggugat agar suaminya menceraikannya, seperti kasus
ibunda DM ini. Godaan ini sangat mempengaruhi langgengnya
perkawinan sehingga agama Islam meminta setiap suami atau isteri
untuk menahan pandangannya dan menutup mata serta memelihara
kemaluannya (An-Nur; 30-31).
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman “Hendaklah me reka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian
itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Me-ngetahui apa
yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan me meli-hara
kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya. . . “
Akibat lain dari hadirnya pihak ketiga ini adalah hilangnya kasih
sayang antara suami isteri, kekerasan pisik dan psikis dapat terjadi
karenanya. Kekerasan pisik bisa berupa pemukulan, dilempar dengan
kursi, diseret-seret, sampai pada ancaman pembunuhan seperti terlihat
dalam kasus yang dialami oleh ibu UL dan ibu TS. Tak jarang kekerasan
psikis mengiringi perlakuan kasar suami pada isteri nya, penistaan, kata-
kata kotor dan penisbatan kepada pezina diterima oleh isteri sebagaimana
dalam kasus ibu IT. Bagi seorang isteri penistaan ini lebih menyakit kan
dari pada tindak kekerasan pisik, karena sakitnya terasa lebih dalam dan
lama di hati. Dalam kondisi seperti ini suami tidak lagi memegang
prinsip mu‟asyarah bil ma‟ruf yang dapat melanggengkan kehidupan
rumah tangga.
Beberapa faktor penyebab gugatan cerai di atas adalah imbas dari
tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga. Penistaan suami karena
kemiskinannya, perselingkuhan dan kekerasan tidak akan terjadi jika
masing-masing suami isteri taat asas pada janji mereka. Isteri akan sabar
dan rela mendampingi suami meski dalam kondisi ekonomi yang kurang
jika suami benar-benar bertindak dan bersikap dengan elegan, sementara
isteri teguh berimannya dan setia memegang janji tidak akan berpaling
kepada orang lain yang mungkin hadir setelah mereka menikah.
Kekerasan dapat dihindari manakala suami dapat bersabar diri atas ke-
khilafan dan kekurangan isteri dalam melayaninya.
Masih ada jalan untuk menghindari perceraian yang tidak
diharapkan oleh siapapun, agama bahkan melarangnya kalau tidak
terpaksa benar.
1. Keterlibatan Keluarga
Sudah menjadi kelaziman bahwa anggota keluarga adalah bagian
tak terpisahkan dari sepasang suami istri. Keluargalah yang biasa
memberikan suport kepada pasutri apabila mengalami problem keluarga
yang sulit diatasi.
Dalam konteks perceraian, keterlibatan keluarga pun tidak bisa
dihindari. Mereka selalu terlibat dalam hal ini. Namun, keterlibatan
mereka dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni keluarga yang secara
penuh dilibatkan dan sebagian lagi tidak penuh.
Pasutri yang melibatkan pihak keluarga secara penuh biasanya
adalah pasutri yang memulai proses pernikahan dengan cara yang wajar
dan mendapatkan restu dari keluarga kedua belah pihak. Hal ini sangat
wajar, sebab pihak keluarga merasa dilibatkan dalam proses perkawinan,
sehingga mereka juga merasa perlu membantu pasutri yang sedang
mempunyai persoalan rumah tangga dan membutuhkan bantuan
penyelesaian. Sementara itu dari pihak pasutri sendiri juga tidak merasa
sungkan dan terbebani jika meminta bantuan kepada keluarga, sebab
perkawinan mereka juga atas restu keluarga. Meskipun demikian pihak
keluarga biasanya juga mengetahui kapan mereka bisa terlibat dan kapan
tidak. Tidak semua persoalan harus diselesaikan oleh pihak keluarga.
Karena bagimanpun pasutri adalah pihak-pihak yang paling mengetahui
persoalan yang dialami, keberadaan keuarga tak lebih hanya sekedar
membantu memecahkan persoalan yang dialami. Bantuan penyelesaian
persoalan adalah sesuatu yang penting, mengingat ketika pasutri
mengalami pertengkaran, yang mengemuka adalah aspek emosi,
sehingga aspek nalar tidak bisa berfungsi secara maksimal.
Berbeda dengan pelibatan sebelumnya, sebagian pasutri tidak
memanfaatkan peran senioritas keluarga. Banyak faktor yang menjadi
penyebab mereka melakukan ha lni. Adapun faktor yang mngemuka
adalah tidak direstuinya hubungan perkawinan mereka oleh kedua belah
pihak, kalaupun direstui hal itu disebabkan adanya ‖kecelakaan‖
sebelumnya dari pihak istri.
Pasutri yang menempuh langkah ini biasanya didasari oleh
perasaan minder dan takut. Ketakutan terutama diarahkan kepada orang
tua dan mertua, karena proses pernikahan yang mereka jalani pada
awalnya tidak ‖direstui‖ oleh orang tua, baik keduanya atau salah
satunya. Pasutri ini merasa bahwa mereka telah berbuat tidak baik
kepada orang tua dan pihak keuarga. Karena pertimbangan inilah mereka
lebih memilih menyelesaikan persoalan keluarganya tanpa campur
tangan keluarga terlebih dahulu. Apabila mereka telah merasa tidak
mampu barulah melibatkan orang tua atau mertua.
2. Keterlibatan BP4
BP4 adalah lembaga resmi pemerintah yang didirikan untuk
membantu pasutri dalam menemukan solusi atas persoalan rumah tangga
yang dialaminya. Tujuannya jelas, agar pasutri tidak sampai masuk
dalam kubang perceraian. Idealisme lembaga ini ternyata bertepuk
sebelah tangan, banyak pasutri yang sedang mengalami persoalan rumah
tangga tidak memanfaatkan lembaga ini untuk menyelesaikan
persoalannnya.
Tidak termanfaatkannya BP4 oleh pasutri, menurut para
responden karena mereka tidak banyak mengenal keberadaan lembaga
ini termasuk peran dan fungsinya. Bahkan ada pasutri di Malang Raya
yang tidak mengerti tentang BP4 sama sekali. Akibatnya masyarakat
tidak memanfaatkan lembaga ini sebagai media penyelesaian problem
keluarga yang mereka hadapi. Ketidaktahuan masyarakat tentang BP4 ini
bisa jadi karena minimnya sosialiasi yang dilakukan oleh pihak-pihak
terkait kepada masyarakat.
Sebenarnya secara kelembagaan, secara formal BP4 memiliki
struktur mulai dari pusat sampai tingkat desa. Namun eksistensi BP4 bisa
dibilang wujuduhu ka‟adimihi (adanya seperti tidak adanya). BP4 yang
ada di setiap level, hampir dipastikan tidak dikunjungi masyarakat,
kecuali pasutri yang berstatus PNS. Sebab, bagi pasutri PNS
rekomendasi BP4 akan sangat berarti bagi kelangsungan proses
perceraian di pengadilan agama. Tanpa rekomendasi dari BP4
pengadilan tidak akan meneruskan sidang perceraian mereka. Selain
pasutri PNS, masyarakat secara umum lebih suka menyelesaikan
problem keluarganya tanpa melibatkan BP4, mereka langsung
menyelesaikannya di pengadilan. Dan kalau sudah di pengadilan agama,
biasanya sudah pasti cerai.
Posisi BP4 yang demikian, khususunya yang ada di kecamatan,
tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Undang-undang nomor 7 tahun
1989 tentang peradilan agama, dimana peranan KUA dibatasi pada
persolan nikah dan ruju‘. Namun, pada saat yang sama, pemerintah tetap
memposisikan BP4 masih terikat kuat dengan struktur KUA di
kecamatan. Ketua KUA di semua tempat adalah kepala BP4 itu sendiri.
Ketika aturan tersebut diberlakukan, maka bisa dipastikan BP4 tidak
memiliki peranan lagi, demikian sebagaimana dituturkan oleh salah satu
pejabat PA dan kepala KUA di Malang.
Prosedur perceraian yang diterapkan oleh pengadilan agama
terhadap pasutri PNS, dimana mereka harus mendapatkan rekomendasi
BP4 terlebih dahulu, setidaknya bisa meredam gejolak mereka untuk
meneruskan perceraiannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan salah satu
kepala KUA di Kab Malang bahwa sebagian PNS yang berkonsultasi ke
BP4 ada yang kembali rukun, namun ada juga yang tetap bercerai.
Melihat eksistensi BP4 yang demikian, maka pemerintah dalam hal
ini Departemen Agama dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
sudah selayaknya duduk bersama merumuskan kembali posisi BP4.
Sebab apabila BP4 dibiarkan tanpa tugas dan kewenangan yang jelas,
maka persoalan perceraian yang menimpa banyak umat Islam akan
meningkat. Dan yang demikian pada gilirannya akan memacu
peningkatan angka perceraian di masyarakat.
BAHASAN
Secara taksonomis, dampak perceraian yang tampak pada anak-
anak dalam kasus di Malang Raya umumnya lebih banyak berupa
dampak psikologis dibandingkan dampak gangguan fisiologis. Dampak
psikologis diantaranya adalah muncul sikap negatif, perilaku agresif,
penurunan prestasi belajar, perilaku regresi dan obsesif, suka berbohong
dan perilaku proyeksi, rasionalisasi hingga murung dan withdrawal
(menarik diri). Sedangkan dampak fisiologis yang muncul berupa anak
menjadi sakit dan anak yang berusia remaja cenderung akan mencoba
merokok.
Kehangatan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang sangat
diharapkan oleh anak dari keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Perceraian dalam keluarga membuat anak kebilangan harapan dalam
memperoleh kebahagiaan padahal secara teoritis dan realitas, di tengah
keluarga, seorang anak idealnya memperoleh kehangatan cinta,
bimbingan dan perlindungan. Perceraian secara tiba-tiba mencerabut
kebutuhan anak tersebut.
Pada keluarga yang telah pecah akibat perceraian, interaksi yang
dapat menimbulkan pengalaman afektif dalam kehidupan anak juga
terkurangi. Seharusnya anak dapat memahami sikap simpati, kasih
sayang, solidaritas, loyalitas, namun perceraian—terutama yang disertai
kekerasan—malah mengajarkan sikap antipati, curiga, kecewa, tidak
loyal dan acuh. Keluarga yang telah bercerai berpotensi membentuk
pribadi bermasalah karena lingkungan inilah yang pertama kali dihadapi
oleh sang anak. Bermula dari keluarga, seorang anak belajar beradaptasi
dengan lingkungan sosialnya. Mereka juga belajar mengenal norma-
norma dan aturan-aturan hidup, serta nilai-nilai budaya. Perceraian dapat
menghambat proses belajar tersebut.
Apabila keluarga menjadi berantakan disebabkan perceraian, atau
salah satu dari pasangan tersebut (baca orang tua anak-anak) ―kabur‖.
Maka akan muncul serentetan masalah baru bagi anak-anak mereka.
Pertikaian antara ayah dan ibunya ketika kondisi ―retak‖ hingga proses
perceraian dapat mengacaukan kondisi emosi anak. Orang tua yang
sedang kalut dan marah pada pasangannya sering kali menampakkan
perilaku tidak dewasa dan emosional. Perilaku tersebut akan menjadi
model bagi anak. Kondisi ini menimpa AZ dan Wim dan S yang
mengalami masalah emosional setelah proses perceraian orang tuanya
yang disertai kekerasan.
Lebih lanjut, Kasus PR menunjukkan bahwa kehadiran orang tua
dalam perkembangan kepribadian anak sangat penting. PR telah
merasakan pahitnya kehilangan fungsi ibu dan ia mengalami deprivasi
maternal atau kehilangan bimbingan ibu. Akibatnya PR merasa tidak
pernah belajar menjadi figur perempuan sebenarnya. Semua kasus diatas
bahkan dapat dikatakan mengalami deprivasi parental atau kehilangan
fungsi pengasuhan, meskipun S dan AZ diasuh oleh si ibu.
Bagi PR yang menjadi saksi pecahnya harmoni keluarga, dia juga
merasa tidak aman secara emosional (emotional insecurity), kehilangan
figur model perilaku. Sementara AZ mungkin merasa kehilangan
kepercayaan diri dalam pergaulan sosial sebagai akibat perasaan malu
karena memiliki keluarga yang tidak utuh. Di samping karena AZ juga
menjadi saksi pertikaian orang tuanya yang pebuh dengan kekerasan
sehingga dia mengimitasi peristiwa itu lalu mentrasfernya dalam
hubungan dengan teman-temannya. Dikhawatirkan, anak-anak seperti
AZ. Win dan S akan mengalami gangguan perkambangan intelektual,
perkembangan sosio-emosional, bahkan spiritual, semuanya akan
nampak dari perilaku anak ketika beranjak remaja dan dewasa apabila
tanpa bimbingan dari salah satu dari orang tua atau pengganti orang
tuanya (Nawawi: 1998). PR dan saudara-saudaranya masih beruntung
karena figur sang ayah dan keluarganya yang lain memberikan
penguatan sehingga dampak psikologis akibat perceraian kedua orang
tuanya tidak terlalu berat dirasakan PR.
Angka perceraian yang cenderung meningkat di Malang Raya
khususnya tahun 2000-an membuat kasus perceraian yang dulu
merupakan kejadian luar biasa, sekarang merupakan hal yang biasa.
Anak-anak dari korban perceraian semakin banyak dan, dan sebagian
besar perceraian dewasa ini melibatkan keluarga yang mempunyai anak.
Mungkin perkiraan bahwa perceraian dapat mempengaruhi 15 persen
anak-anak yang lahir di tahun 1955 di Inggris dan Amerika, telah terjadi
pula di Malang Raya. Dewasa ini, prosentase perceraian dengan gugat
cerai berlipat ganda. Perceraian yang terjadi melibatkan anak-anak
dibawah usia 18 tahun.
Kasus S menunjukkan bahwa anak anak yang berupaya dengan
keyakinannya ingin menyelamatkan perkawinan orang tuanya meskipun
usahanya menjadi sia-sia. Kasus S memberikan gambaran bahwa S
berpotensi menjadi kurang matang (Immature) akibat kerinduan pada
sosok ayah. Sementara itu, AZ menjadi berperilaku terpusat pada diri
sendiri (egosentris) dan menghawatirkan karena sering kasar dan agresif
pada teman-teman sebayanya.
PR lebih bisa memahami kasus orang tuanya karena dia
mengetahui kejadian itu setelah beranjak dewasa. PR lebih mampu
memahami bahwa perceraian orang tuanya dan tahu asal muasal
penyebab perceraian tersebut..
Anak-anak korban perceraian baik AZ dan S kemungkinan akan
berkembang memiliki cara pandang yang selektif pada orang lain sebagai
bagian dari kepribadiannya. Dia belajar mengenai sosok-sosok pribadi
dengan ciri-ciri yang terkesan negatif dalam benaknya untuk ditolak dan
tidak dapat di percaya. R dalam hal telah menempatkan ibunya sebagai
orang yang kurang dapat dipercaya. Ia mempersepsi sang ibu sebagai
orang yang tidak tanggap atau menimbulkan frustasi karena tidak
bersikap kasih. Kondisi ini sesuai dengan analisa Sears (1988).
Saran
Setelah diketahui beberapa kesimpulan di atas, saran yang dapat
dikemukakan adalah:
1. Penelitian ini akan membawa manfaat yang lebih besar jika
ditindaklanjuti dengan penelitian lanjutan yang diarahkan kepada
pembuatan model pencegahan perceraian bagi pasutri muslim yang
diwujudkan dalam penerbitan buku saku pencegahan perceraian
2. Pihak universitas bekerja sama dengan pihak-pihak terkait
hendaknya melakukan kajian secara komprehensif mengenai
persoalan perceraian dan langkah-langkah kongkrit untuk
mengatasinya, baik secara akademis, sosiologis, agamis, maupun
administratif.
3. Pihak-pihak yang terkait dalam pemerintah sudah saatnya meninjau
kembali beberapa peraturan yang tidak memberikan peluang kepada
BP4 mengembangkan diri dan ikut andil dalam mencegah terjadinya
perceraian di masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Pribadi
Wasis
METODE
Penelitian ini dilakukan di Program Studi S-1 Teknik Bangunan
FT UM. Waktu pelaksanaan penelitian ini direncanakan dilaksanakan
mulai bulan Pebruari 2008 sampai dengan bulan November 2008. Subjek
penelitian ini melibatkan 2 orang dosen, disamping itu dilibatkan 15
mahasiswa semester 7 dan 8 prodi S-1 PTB FT UM yang memprogram
matakuliah PI. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian
tindakan kelas (classroom action research) yang bersifat kolaboratif.
Artinya penelitian ini melibatkan tim pengajar sebagai anggota peneliti,
yang dari awal sampai akhir kegiatan terlibat langsung sebagai peneliti
pelaksana. Penelitian ini berpedoman pada model yang dikembangkan
Kemmis dan McTaggart (Dalam Hopkins, 1992) merupakan alur
pelaksanaan tindakan dan berlangsung dalam siklus-siklus yang terdiri
atas rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi.
Hasil refleksi pada siklus ini digunakan sebagai dasar pelaksanaan siklus
berikutnya.
Berbeda dari interpretasi data hasil tiap observasi yang dijadikan
bahan diskusi balikan sebagai tindak lanjut dari suatu observasi, analisis
data dalam rangka refleksi setelah implementasi suatu paket tindakan
perbaikan mencakup proses dan dampak seperangkat tindakan perbaikan
dalam sesuatu siklus penelitian tindakan kelas sebagai keseluruhan
(PGSM, 1999). Dalam hubungan ini, analisis data adalah proses
menyeleksi, menyederhanakan, memfokuskan, mengabstraksikan, meng-
organisasikan data secara sistematis dan rasional untuk menampilkan
bahan-bahan yang dapat digunakan untuk menyusun jawaban terhadap
penelitian tindakan kelas.
Analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu reduksi data,
paparan data, dan penyimpulan (PGSM, 1999). Reduksi data adalah
proses penyederhanaan yang dilakukan melalui seleksi, pemfokusan, dan
pengabstraksian data mentah menjadi informasi yang bermakna. Paparan
data adalah proses penampilan data secara lebih sederhana dalam bentuk
paparan naratif, representatif tabular termasuk dalam format matriks,
representatif grafis, dan sebagainya. Sedangkan penyimpulannya adalah
proses pengambilan intisari dari sajian data yang telah terorganisir
tersebut dalam bentuk pernyataan kalimat dan atau formula yang singkat
dan padat tetapi mengandung pengertian luas (PGSM).
HASIL
Siklus 1
a. Perencanaan
Sebagai langkah awal kegiatan tim Peneliti melakukan
bekerjasama dengan tim pengajar Praktik Industri. Hal ini dilakukan
dalam rangka menciptakan suatu iklim yang baik antara peneliti dengan
pengajar dan mahasiswa. Kegiatan pertama dalam siklus I ini adalah
dilakukan perencanaan pembelajaran Praktik Industri dengan
menggunakan metode Pembelajaran Berbasis Proyek. Tahap perencana-
an ini meliputi kegiatan sebagai berikut:
1. Pembuatan rancangan operasional metode Pembelajaran Berbasis
Proyek yang meliputi:
Authenticity: terkait dengan kebermaknaan tugas bagi
mahasiswa; tingkat kesulitan tugas dan kemampuan mahasiswa
dan produk yang akan dihasilkan dari proyek akhir tersebut
Academic Rigor: terkait dengan ilmu-ilmu yang terkait dan
digunakan dalam penyelesaian proyek; metode ilmiah yang
digunakan memecahkan masalah dan. analisis dari berbagai
aspek dalam pemecahan masalah
Applied Learning: yang terkait dengan konteks permasalahan;
kerja tim dan penggunakan teknologi yang tepat (l) pembuatan
tim work untuk menyelesaikan tugas-tugas, (2) analisi teknik-
teknik yang digunakan untuk memecahkan masalah, (3)
pengembangkan organisasi kerja.
Active Exploration: yang terkait dengan efektifitas penggunaan
waktu; penggunaan prosedur penelitian dengan berbagai metode,
sumber dan media, dan melakukan presentasi ilmiah
Adult Relationship: yang terkait dengan kersempatan belajar dan
bekerja dengan akhli dari luar; bekerja/berdiskuasi dengan
seorang teman; penilaian hasil kerja mahasiswa oleh orang luar
Assessment: yaitu terkait dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian mandiri terhadap unjuk kerjanya; keterlibatan pihak
luar untuk pengembangkan standar kerja dan penilaian
reguler/teratur terhadap unjuk kerja mahasiswa.
2. Pembuatan pedoman petunjuk praktik industri, dan bentuk Buku
pegangan mahasiswa dan pedoman pembimbingan dosen.
b. Tindakan
Pada tahap ini diawali dengan pertemuan dengan dosen
pembimbing dan mahasiswa yang menjadi subyek penelitian ini.
Kegiatan pertemuan awal ini dilakukan dengan tahap kegiatan sebagai
berikut:
1. Penjelasan oleh ketua tim pengajar tentang tujuan umum dan khusus
matakuliah Praktik Industri; materi atau topik-topik Praktik Industri,
waktu penyelesaian dan persyaratan-persyaratan lainnya sesuai buku
pegangan mahasiswa. Tahap ini berlangsung selama 30 menit
2. Penjelasan penyelesaian Praktik Industri dengan menggunakan
metode proyek yang meliputi tahap-tahap prosedur Metode Proyek.
Tahap ini berlangsung selama 30 menit
3. Setelah selesai penjelasan tersebut dilakukan tanya jawab dengan
mahasiswa dan dosen pembimbing.
4. Penentuan topik tugas Praktik Industri,
Setelah diadakan forum tanya jawab kemudian mahasiswa diberi
kesempatan untuk mengembangkan topik Praktik Industri
5. Penentuan jadual pembimbingan.
Berdasarkan diskusi antara tim pembimbing dan mahasiswa
disepakati bahwa jadual pembimbingan terstruktur dilakukan 2 kali
dalam seminggu.
d. Refleksi
Berdasarkan tahap tindakan yang telah dilakukan diperoleh
gambaran bahwa 90% mahasiswa telah memahami konsep-konsep dasar
metode proyek yang akan digunakan dalam menyelesaikan tugas Praktik
Industri. Demikian pula mahasiswa telah mampu mengembangkan topik-
topik yang dijadikan kajian Praktik Industri. Dengan demikian
mahasiswa telah siap untuk melakukan kerja praktik industri di lapangan.
Siklus 2
a. Perencanaan
Berdasarkan temuan pada siklus 1 diketahui bahwa sebagian besar
(90)% mahasiswa telah memahami konsep-konsep dasar metode
Pembelajaran Berbasis Proyek. Maka dalam perencanaan siklus 2
dilakukan langkah-langkah perencanaan yang terkait dengan:
1. Menentukan lokasi tempat praktik industri bagi masing-masing
kelompok mahasiswa.
2. Pengembangan pokok bahasan praktik industri (pengerjaan pondasi
bangunan)
3. Pengembangan tahap-tahap kegiatan praktik
4. Pengembangan pedoman pembimbingan di lapangan
5. Pengembangan pedoman kegiatan pembimbingan di kampus
b. Tindakan
Pada tahap ini mahasiswa mulai praktik ke proyek bangunan yang
telah ditentukan. Kegiatan praktik ini dilakukan mahasiswa sesuai
dengan pedoman petunjuk praktik. Kegiatan praktik ini dilakukan
mahasiswa dilakukan selama 3 minggu, dimana dalam satu minggu
mahasiswa 3 hari berada di lokasi proyek.
Dalam satu minggu dosen pembimbing 1 kali melakukan peng-
amatan dan pembimbingan di lokasi proyek, dan 2 kali pembimbingan di
kampus. Pembimbingan difokuskan pada pembahasan topik tugas
Praktik Industri yang terkait dengan (l) kemanfaat tugas dari segi praktis
dan kelimuan; (2) pembuatan jadual kerja sesuai dengan sub-sub topik
yang dibahas; dan (3) pembahasan hasil dari tugas Praktik Industri. Pem-
bimbingan di kampus, diawali presentasi mahasiswa tentang topik-topik
bahasan, kemudian dilakukan diskusi dengan tim pembimbing.
d. Refleksi
Dari hasil observasi dan interpretasi dapat disimpulkan bahwa baru
60 % mahasiswa mampu menunjukkan kinerja dalam karakteristik
aktivitas, kondisi dan hasil dengan kualifikasi baik/sangat baik.
Demikian pula baru 65% tahap-tahap prinsip pelaksanaan dan desain
perancangan pembelajaran berbasis proyek dapat dilaksanakan oleh
dosen dengan baik/sangat baik. Kelemahan mendasar yang masih
dilakukan mahasiswa dalam tahap ini adalah masih belum mampu
menerapkan (1) Applied Learning: yang terkait pembentukan tim work
dan aktivitas kerja kelompok untuk menyelesaikan tugas-tugas; (2)
Active Exploration: yang terkait dengan penggunaan prosedur penelitian
dengan berbagai metode dalam menganalisis kegiatan lapangan; dan (3)
Adult Relationship: yang terkait dengan kersempatan belajar dan bekerja
dengan para manajer proyek dan pelaksanaan lapangan. Oleh karena itu
pada siklus berikutnya hal tersebut perlu dikembangkan dan diperbaiki.
Untuk itu sebelum praktik ke lapangan mahasiswa harus di beri
pembekalan (penjelasan) kembali tentang karakteristik dan prosedur
pembelajaran berbasis proyek.
Siklus 3
a. Perencanaan
Sesuai hasil refleksi pada siklus 2 maka pada siklus 3 pada siklus
ini akan lebih difokuskan pada pengembangan dan perbaikan pada
komponen (1) Applied Learning; (2) Active Exploration; dan (3) Adult
Relationship. Dengan demikian perencanaan pada siklus ini dilakukan
dengan:
1. Penentuan pokok bahasan praktik yaitu pekerjaan kolom dan balok
bangunan
2. Pengembangan komponen (1) Applied Learning, (2) Active
Exploration: dan (3) Adult Relationship dalam penyelesaian tugas-
tugas PI
3. Pengembangan karakteristik aktivitas, kondisi dan hasil
4. Pengembangan prinsip pelaksanaan dan desain perancangan
pembelajaran berbasis proyek, pada tugas-tugas di lapangan
b. Tindakan
Sebelum memulai praktik di lapangan pada hari pertama,
mahasiswa diberi penjelasan tentang karakteristik dan prosedur
pembelajaran berbasis proyek. Kegiatan ini dilakukan di kampus selama
4 jam pelajaran. Pada hari berikutnya mahasiswa baru mulai prakltik ke
lapangan lagi. Pada tahap ini mahasiswa mulai praktik ke proyek
bangunan yang telah ditentukan khususnya untuk pokok bahasan
pekerjaan kolom dan balok bangunan. Kegiatan praktik ini dilakukan
mahasiswa sesuai dengan pedoman petunjuk praktik. Kegiatan praktik
ini dilakukan mahasiswa selama 3 minggu, dimana dalam satu minggu
mahasiswa 3 hari berada di lokasi proyek.
Dalam satu minggu dosen pembimbing 1 kali melakukan penga-
matan dan pembimbingan di lokasi proyek, dan 2 kali pembimbingan di
kampus. Pembimbingan difokuskan pada pembahasan topik tugas
Praktik Industri yang terkait dengan (l) kemanfaat tugas dari segi praktis
dan kelimuan; (2) pembuatan jadual kerja sesuai dengan sub-sub topik
yang dibahas; dan (3) pembahasan hasil dari tugas Praktik Industri.
Pembimbingan di kampus, diawali presentasi mahasiswa oleh mahasiswa
tentang topik-topik bahasan, kemudian dilakukan diskusi dengan tim
pembimbing.
d. Refleksi
Dari hasil observasi dan interpretasi dapat disimpulkan bahwa 80%
mahasiswa mampu menunjukkan kinerja dalam karakteristik aktivitas,
kondisi dan hasil dengan kualifikasi baik/sangat baik. Demikian pula
80% tahap-tahap prinsip pelaksanaan dan desain perancangan pembe-
lajaran berbasis proyek dapat dilaksanakan oleh dosen dengan baik/
sangat baik. Dalam siklus ini nampak masih ada kurang-lebih 20%
mahasiswa belum mampu menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran
berbasis proyek. Masih ada beberapa kelemahan mahasiswa pada siklus
ini yaitu khususnya dalam hal menjalin hubungan dengan pihak proyek
yaitu manajer proyek, pelaksana lapangan, mandor maupun tukang dan
pembantu tukang. Mahasiswa masih kurang maksimal memanfaatkan
pihak-pihak tersebut sebagai sumber belajar di lapangan. Pada siklus
berikutnya kelompok mahasiswa tersebut diharapkan ada perbaikan dan
pengembangan kerja dalam menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran
berbasis proyek .
Siklus 4
a. Perencanaan
Sesuai hasil refleksi pada siklus 4 pada siklus ini akan dilakukan
perencanaan dalam hal:
1. Penentuan pokok bahasan praktik yaitu pekerjaan pelat lantai
bangunan.
2. Pengembangan karakteristik aktivitas, kondisi dan hasil.
3. Pengembangan dan perbaikan pedoman praktik khususnya yang
berhubungan dengan prinsip pelaksanaan dan desain perancangan
Pembelajaran Berbasis Proyek, secara lebih operasional.
4. Pengembangan strategi operasioanal menjalin hubungan dengan
pihak proyek.
c. Tindakan
Sama seperti pada`siklus 3, sebelum memulai praktik di lapangan
pada hari pertama, mahasiswa diberi penjelasan tentang karakteristik dan
prosedur pembelajaran berbasis proyek dan strategi operasioanal
menjalin hubungan dengan pihak proyek. Kegiatan ini dilakukan di
kampus selama 3 jam pelajaran. Pada hari berikutnya mahasiswa baru
mulai praktik ke lapangan lagiPada tahap ini mahasiswa mulai praktik ke
proyek bangunan yang telah ditentukan khususnya untuk pokok bahasan
pekerjaan pelat lantai bangunan. Kegiatan praktik ini dilakukan
mahasiswa sesuai dengan pedoman petunjuk praktik. Kegiatan praktik
ini dilakukan mahasiswa selama 3 minggu, dimana dalam satu minggu
mahasiswa 3 hari berada di lokasi proyek.
Dalam satu minggu dosen pembimbing 1 kali melakukan penga-
matan dan pembimbingan di lokasi proyek, dan 2 kali pembimbingan di
kampus. Pembimbingan difokuskan pada pembahasan topik tugas
Praktik Industri yang terkait dengan (l) kemanfaat tugas dari segi praktis
dan kelimuan; (2) pembuatan jadual kerja sesuai dengan sub-sub topik
yang dibahas; dan (3) pembahasan hasil dari tugas Praktik Industri.
Pembimbingan di kampus, diawali presentasi mahasiswa oleh mahasiswa
tentang topik-topik bahasan, kemudian dilakukan diskusi dengan tim
pembimbing.
f. Refleksi
Dari hasil observasi dan interpretasi dapat disimpulkan bahwa 95%
mahasiswa telah mampu menunjukkan kinerja dalam karakteristik
aktivitas, kondisi dan hasil dengan kualifikasi baik/sangat baik.
Demikian pula 95% tahap-tahap prinsip pelaksanaan dan desain
perancangan Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dilaksanakan oleh
dosen dengan baik/sangat baik. Disamping itu mahaisswa telah mampu
menjalin hubungan dengan pihak proyek, dan memanfaatkan pihak
proyek sebagai sumber belajar. Mengingat indikator pencapaian tujuan
penelitian ini telah tercapai maka siklus penelitian dihentikan.
BAHASAN
Dalam pembahasan ini akan dikaji tiap-tiap strategi yang
digunakan dalam metode proyek yaitu (l) authenticity; (2) academic
rigor; (3) applied learning; (4) active exploration; (5) adult relationship;
dan (6) assessment.
1. Authenticity
Authenticity merupakan langkah awal dalam perancangan
pembelajaran dengan pembelajaran berbasis proyek. Dalam konsep
authenticity, proyek atau tugas yang dikerjakan mahasiswa harus
memiliki makna bagi mahasiswa. Suatu tugas yang memiliki makna
adalah tugas dimana mahasiswa merasa bahwa tugas tersebut sangat
berguna bagi mahasiswa setelah ia terjun di dunia kerja. Tugas tersebut
terkait dengan kebutuhan dunia kerja, tugas tersebut dapat dijadikan
bekal untuk kehidupannya. Dengan dipahaminya ―kebermaknaan‖ suatu
tugas, maka motivasi mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akan
meningkat (ISTE, 2002), dengan demikian mahasiswa akan dapat
menyelesaiakan tugasnya dan pada akhirnya mahasiswa akan mampu
menghasilkan sesuatu dari tugas tersebut. Oleh karena itu tugas seorang
pengajar dalam tahap ini adalah menjelaskan kebermaknaan suatu tugas
bagi mahasiswa; pengajar harus bisa memilih dan memberi tugas yang
bermakna untuk mahasiswa. Pada siklus I pada proses penelitian ini,
masalah authenticity, merupakan tahap awal yang ditekankan pada
mahasiswa; dalam tahap ini pengajar harus mampu menjelaskan
kebermaknaan tugas, baik dari segi teknik maupun ekonomi.
2. Academic Rigor
Academin rigor adalah penerapan konsep-konsep akademis dalam
menyelesaikan suatu tugas. Dalam pembelajaran berbasis proyek
academic rigor, merupakan bagian yang amat penting karena
mengharuskan mahasiswa menerapkan kaidah-kaidah ilmiah dalam
memecahkan masalah yang dihadapi dalam penyelesaian suatu tugas.
Pembelajaran dengan pembelajaran berbasis proyek akan melatih dan
membiasakan mahasiswa untuk menerapkan pendekatan ilmiah dalam
memecahkan masalah dalam kehidupan. ISTE (2002) mengatakan bahwa
dalam metode pembelajaran berbasis proyek mahasiswa dilatih
melakukan penelitian, menggunakan berbagai sumber informasi dan
mampu berpikir lintas keilmuan. Dalam tahap ini pengajar harus mampu
merancang pembelajaran yang dapat mendorong mahasiswa untuk
mengembangkan dan menggunakan pendekatan ilmiah dalam
memecahkan masalah yang dihadapi.
3. Applied Learning
Aplied learning adalah usaha untuk mengarahkan kegiatan belajar
mahasiswa ker arah situasi belajar yang mengacu pada kehidupan nyata
yang berada di luar lingkungan sekolah dan Kraf (1998) menyebut
sebagai ―real world oriented”. Salah satu bentuk belajar dalam kehidup-
an nyata adalah agar mahasiswa mampu bekerja dalam organisasi
modern yang menuntut disiplin tinggi, penggunaan teknologi yang tepat,
dan mampu berkomunikasi dengan rekan kerja, dan inilah yang disebut
dengan real learning dan real work (Steinberg, 2001).
4. Active Exploration
Active exploration adalah usaha untuk mendorong mahasiswa agar
aktif melakukan ekplorasi/penelitian, dengan menggunakan waktu secara
efektif. Dalam tahap ini pengajar harus mampu memacu dan sekaligus
mendorong mahasiswa untuk selalu berusaha memecahkan masalah
secara kontinyu dan jangan putus asa. Menurut Buck Institute for
Education (2001) dalam pembelajaran berbasis proyek mahasiswa harus
mampu sebagai ―discoverer, integrator, and presenter of ideas. Dalam
pelaksanaan penelitian ini, mendorong sikap dan tindakan mahasiswa
agar selalu active exploration, ternyata merupakan sesuatu yang amat
sulit. Hal ini mungkin disebabkan oleh perilaku mahasiswa selama ini
lebih banyak bersikap pasif dalam setiap pembelajaran, dan sering
dijumpai pengajar hanya bersikap sebagai penyampai materi belaka, dan
kurang mendorong keterlibatan mahasiswa dalam proses pembelajaran.
5. Adult Relationship
Adult Relationship, terkait usaha memacu mahasiswa agar mampu
belajar dari orang lain yaitu pada para praktisi expert dan bahkan pada
para pekerja yang terkait dengan masalah yang dikaji. Dalam proses
adult relationship ini para pengajar harus mendorong mahasiswa untuk
mampu bertanya, berdiskusi dan juga mengajak merancang serta menilai
kerja mahasiswa. Dengan model belajar yang demikian diharapkan
mahasiswa memiliki pemahaman, pengetahuan dan keterampilan yang
mendalam terhadap tugas yang sedang dikajinya.
6. Assesment
Assesment, adalah usaha agar mahasiswa mampu melakukan
penilaian secara teratur terhadap proses belajar yang dilakukan.
Disamping itu mahasiswa juga harus mampu mengembangakan kriteria
penilaian sesuai standar yang berlaku di dunia kerja. Penilain yang harus
dilakukan mahasiswa mencakup prosedur kerja/metode yang dilakukan,
waktu yang digunakan, hasil kerja dan hal-hal lain yang terkait dengan
penyelesian tugasnya. Dari hasil penilaian yang dilakukan mahasiswa
diharapkan mahasiswa dapat melihat kekurangan-kekurangannya,
mampu memperbaikinya pada proses berikutnya. Dalam salah satu
kriteria pembelajaran berbasis proyek Kraf (1998) menyebut hal ini
sebagai ―student self-assesment of learning is encourage‖
7. Peran Pembimbing/Pengajar
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan pembelajaran berbasis
proyek peran dan tugas pengajar sangat jauh berbeda dengan peran dan
tugas pengajar dalam pembelajaran konvensional. Dalam pembelajaran
berbasis proyek pengajar diharapkan sebagai ―resource provider and
participant in learning activities,‖ berbeda dalam pembelajaran konven-
sional pengajar lebih sebagai “lecturer and director of instruction‖ dan
dalam pembelajaran konvensional pengajar menganggap dirinya sebagai
―expert‖ sedang dalam pembelajaran berbasis proyek pengajar harus
mampu berperan sebagai ―advisor/colleague‖ (Buck Institute for
Education, 2001).
Perubahan peran dan fungsi pengajar dari pembelajaran
konvensional ke pembelajaran pembelajaran berbasis proyek tentu bukan
merupakan sesuatu yang mudah, khususnya bagi pengajar yang telah
terbiasa dengan model pembelajaran konvensional. Bagi pengajar yang
telah terbiasa dengan pembelajaran konvensional, perlu memahami
hakekat dan filsafat pembelajaran berbasis proyek lebih mendalam,
dengan demikian diharapkan mampu memahami peran dan fungsinya
sebagai pengajar.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, diajukan beberapa saran sebagai
berikut (l) Mengingat metode Pembelajaran Berbasis Proyek sangat
berbeda dengan metode pembelajaran konvensional maka dalam
penerapan metode Pembelajaran Berbasis Proyek pengajar harus
memahami hakekat dan prinsip-prinsip dasar PBL secara benar, dan (2)
Guna mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang kehandalan
metode Pembelajaran Berbasis Proyek diperlukan penelitian lanjutan
pada bidang-bidang studi yang lain.
DAFTAR RUJUKAN