You are on page 1of 16

TUGAS MATA PELAJARAN

PEND.AGAMA ISLAM
MAKALAH dan PRESENTASI
“PERNIKAHAN DINI”

Disusun Oleh:

 AAN ANITA
 Apik kondang
 ANGGI SETIAWAN
 DIANA OKTAFIYA
 NIA WULANDARI
 RISKA DIANA
 RUSTIKA NURALI
 SARI’AH
 SLAMET
 SUHERDI
 SUSY IRAWATI APRILA NINGSIH

Jln. Raya cikedung – terisi kec.cikedung kab.indramayu


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Pernikahan Dini
2.2 Cinta dan Perkawinan

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Hukum Pernikahan
3.2 Dampak Pernikahan Dini
3.3 Upaya Menyikapi atau Mencegah Terjadinya Pernikahan Dini

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan
4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Statistik kejadian pernikahan dini meningkat berlalunya waktu. Terutama
pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio, visual dan
audiovisual) akan pernikah dini yang dilakukan tidak hanya 1-2 selebritis namun
segelintir orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga menyebabkan proses
conditioning terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses conditioning sendiri
adalah proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat akan berbagai budaya baru
yang terjadi namun akibat pemberitaan yang berulang-ulang budaya tersebut
semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan dijadikan bagian dari budaya
masyarakat itu sendiri.
Berbagai pemberitaan tersebut lah (spesifikasi : pemberitaan pernikahan dini
yang dilakukan oleh selebritis) yang melatarbelakangi kami untuk memilih topik
“Pernikahan Dini” sebagai topik yang diangkat dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari berbagai pemberitaan akan “Pernikahan Dini” yang terjadi, masih
banyak orang yang salah mengartikan pernikahan dini dan tidak mengerti baik-
buruknya jenis pernikahan ini. Hal itu juga termasuk salah satu faktor yang
melatar belakangi diangkatnya topik “Pernikahan Dini” ini.
Kami berharap agar makalah ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai
sumber informasi terkait topik pernikahan siri. Maka dari itu, kami tim penyusun
berusaha sebaik-baiknya untuk mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai
sumber dan narasumber untuk dimasukkan ke dalam makalah ini agar kelak dapat
dijadikan sebagai referensi oleh pihak-pihak yang membutuhkan.

1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini antara lain :
a. agar siswa (pembaca makalah dan audiens presentasi) memahami berbagai
definisi akan pernikahan dini.
b. agar siswa dan siswi mengerti dan mengetahui landasan hukum terkait
memnikah diusia dini baik ditinjau dari sudut pandang Islam dan
pembahasan berbagai rancangan undang-undang.
c. agar siswa mengetahui dampak positif dan dampak negatif dari prenikahan
dini.
d. siswa dapat mengeluarkan berbagai pendapatnya terkait pernikahan diusia
dini dan berdiskusi satu sama lain.
e. Memenuhi salah satu syarat atau tugas mata pelajaran pendidikan agama
islam.
1.3 Manfaat
a. Dengan penjelasan yang detail dan berbagai kajian akan negatif-positifnya
pernikahan diusia dini, siswa akan dapat mengerti bahwa menikah diusia dini
lebih banyak menimbulkan hal negatif dan pada akhirnya dapat dijadikan
pencegahan akan terjadinya pernikahan dini.
b. Membantu berbagai kalangan untuk menyamakan pikiran akan tidak baiknya
menikah diusia dini terutama untuk latar belakang non-kekurangan biaya.
c. Membantu mensosialisasikan apa sebenarnya pernikahan dini itu dan tindakan
apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi angka terjadinya pernikahan
diusia dini.
d. Menambah pengetahuan siswa agar memahami berbagai fakta, pro dan kontra
terkait pernikahan diusia dini dan hukum-hukum yang terkait di dalam
pernikahan dini.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Definisi Pernikahan Dini

Pernikahan Dini merupakan sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan
keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative, setidaknya menurut
penawaran Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983, melalui tulisannya
berjudul Bagaimana Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja? Ketika fitnah syahwat
kian tak terkendali, ketika seks pranikah semakin merajalela, terutama yang dilakukan
oleh kaum muda yang masih duduk di bangku-bangku sekolah, tidak peduli apakah
dia SMP bahkan SD, apalagi SMA maupun perguruan tinggi.

Tapi sederet pertanyaan dan kekhawatiranpun muncul. Nikah diusia remaja,


mungkinkah? Siapkah mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa
tidak mengganggu sekolah? Dan masih banyaksederetpertanyaanlainnya.

Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir. Bahwa
pernikahan di usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung
perceraian, karena kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum
dewasa betul. Hal ini terbaca jelas dalam senetron “Pernikahan Dini” yang pernah
ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Beralasan memang, bahwa mental dan
kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi, untuk menciptakan sebuah rumah
tangga yang sakinah seperti yang diilustrasikan oleh sinetron tersebut.
1. Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi

Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan


sosial telah dijawab dengan logis dan ilmiah oleh Muhammad Fauzil Adhim dalam
bukunya “Indahnya Pernikahan Dini”, juga oleh Clarke-Stewart & Koch lewat
bukunya “Children Development Through”: bahwa pernikahan di usia remaja dan
masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih
baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan
kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untukmengatasi
kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali.

Di kedua buku itu (dan juga di sekitar kita) ada banyak bukti empiris dan tidak perlu
dipaparkan disini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru
bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang (seperti
tertera sederet nama orang sukses yang melakukan pernikahan dini). Selain itu,
menurut bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga
sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin
mencapai kematangan yang puncak (Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan
Dini, 2002). Bahkan menurut Abraham M. Maslow, pendiri psikologi humanistik
yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di usia dini lebih mungkin
mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding dengan
mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya, menurut M.
Maslow, dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan mematangkan seseorang
sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang
pada gilirannya akan menjadikan manusia, mampu mencapai puncak pertumbuhan
kepribadian yang mengesankan ibid).

Bagaimana dengan hasil penelitian di salah satu kota di Yogya bahwa angka
perceraian meningkat signifikan karena pernikahan dini? Ternyata, setelah diteliti,
pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan
“kecelakaan” (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena
kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi
nikah yang kuat.
Adapun urgensi pernikahan terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja
barangkali tidak bias dibantah. Takut rasanya ketika kita mendengar hasil sebuah
penelitian bahwa 90% mahasiswi di salah satu kota besar di negara muslim ini sudah
tidak perawan lagi. Pergaulan bebas atau free sex sama sekali bukan nama yang asing
di telinga kaum remaja, saat ini. Kita akan menyaksikan kehancuran yang
berlangsung pelan-pelan, tapi sangat mengerikan para gadis (yang sudah tidak gadis
lagi) hamil di luar nikah. Untuk menanggulangi musibah kaum remaja ini hanya satu
jawabnya: nikah.

1. Pernikahan Dini dalam Perspektif Agama

Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25,
maka bagaimana dengan agama? Rasulullah saw.Bersabda:

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka
kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata
dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah
karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).

Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab
itu? Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang
telah mencap aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh
bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau
telah mencapai usia limabelas tahun. Ada apa dengan syabab?
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Nabi savv,
“perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh
tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh
tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad dan Abu Dawud).

Pesan Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan
sebuah isyarat bahwa padausia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki potensi
menuju kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Nabi saw, Sembilan belas Abad
yang silam. Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi
(baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum
remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh
anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat Abdullah bin
Mas’ud ra, selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda yang masih
single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang shalihah.

Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah
adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang
beriman. Bukankah Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah,
seperti yang tersirat dalam suratal-Nur ayat 32 yang artinya, “dan jika mereka miskin
maka Allah akan membuatnya kaya dengan karunia-Nya”. Bukankah Rasul-Nya juga
menjamin kita dengan sabdanya, “Barang siapa yang ingin kaya, maka kawinlah.

2.2. Cinta dan Perkawinan

Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa
menemukannya?”

Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu
dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu
menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah
menemukan cinta”

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa
membawa apapun.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?”

Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh
mundur kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling
menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan
sana, jadi tak kuambil ranting tersebut Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi,
baru kusadari bahwasanya ranting – ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus
ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya”
“Gurunya kemudian menjawab ” Jadi ya itulah cinta”

Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, “Apa itu perkawinan? Bagaimana
saya bisa menemukannya?”

Gurunya pun menjawab “Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh
mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan
tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah
menemukan apa itu perkawinan”

Plato pun menjawab, “Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah


menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi
dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi
kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau
menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya

Gurunyapun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan”

Cinta itu semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan.

Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang
lebih.

Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat
adalah kehampaan… tiada sesuatupun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan
kembali.

Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur.

Terimalah cinta apa adanya.

Perkawinan adalah kelanjutan dari Cinta.


Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang terbaik diantara
pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya.
Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia – sialah waktumu dalam
mendapatkan
perkawinan itu, karena sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Hukum Pernikahan

Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan suatu
perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari
kedua orang tua.

Namun dalam prakteknya didalam masyarakat sekarang ini masih banyak dijumpai
sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan di usia muda atau di bawah
umur. Sehingga Undang-undang yang telah dibuat, sebagian tidak berlaku di suatu
daerah tertentu meskipun Undang-Undang tersebut telah ada sejak dahulu. Di
Indonesia pernikahan dini berkisar 12-20% yang dilakukan oleh pasangan baru.
Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan usia muda usia rata-rata umurnya
antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan usia pengantin di bawah
usia 16 tahun sebanyak 26,95%. Di Tasikmalaya sendiri khususnya di desa
Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalya yang telah melangsungkan
perkawinan pada usia muda berjumlah lebih dari 15 orang.
Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-
laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis
sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara
fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya
sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik
sera psikis emosional, ekonomi dan sosial.

Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi
dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih
jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian
masyarakat yang melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena
adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan
perkawinan usia muda atau di bawah umur.

3.2. Dampak Pernikahan Dini

Baru saja kita mendengar berita diberbagai media tentang kyai kaya yang menikahi
anak perempuan yang masih belia berumur 12 tahun. Berita ini menarik perhatian
khalayak karena merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya,
perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak
dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini atau
perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan
dibawah umur dapat dikemukakan sbb.:

1. Dampak terhadap hukum

Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:


a. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

b. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
1.) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
2.) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

c. UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO


Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak
yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.

Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap
memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari
perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang
tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk
melindungi anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua. Sesuai
dengan 12 area kritis dari Beijing Platform of Action, tentang perlindungan terhadap
anak perempuan.

2. Dampak biologis

Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan
sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi
jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma,
perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya
sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang
demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau
adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.

3. Dampak Psikologis

Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga
akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit
disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada
perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan
perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9
tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang
melekat dalam diri anak.

4. Dampak Sosial

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki
yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya
dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran
agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan
(Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang
bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.

5. Dampak perilaku seksual menyimpang

Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan
seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas
merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan
perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara
maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan
minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang
menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera
dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain. Dari uraian tersebut jelas
bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih banyak mudharat
daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan
untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau
anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.
Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action
kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI),
LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan
penyidikan untuk melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan
bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan
yang ada. (UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU
PTPPO).

3.3. Upaya Menyikapi atau mencegah Terjadinya Pernikahan Dini

Sedikit di permukaan atau terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah
masyarakat luas. Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan
pernikahan dengan anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun,
dalih seperti ini biasa jadi bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangan di
kalangan umat muslim tentang kesahihan informasi mengenai pernikahan anak di
bawah umur yang dilakukan Nabi SAW dengan Aisyah r.a. Selain itu, peraturan
perundang – undangan yang belaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang
keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi pihak – pihak
tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan pernikahan anak di
bawah umur. Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang
berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak – pihak yang ingin
melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu
sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan
undang – undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi – sanksi bila
melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko – resiko terburuk yang bisa terjadi
akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya
tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah
sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah
umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan
aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka.
Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini
untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di
harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut
dan anak – anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari


satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan
bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan.
Sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi
karena adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan
perkawinan usia muda atau di bawah umur. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.

B. Saran

Menikahlah kamu diusia yang cukup matang. Idealnya untuk perempuan


adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ
reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat
serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-
laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang
kehidupan keluarga untuk melindungi baik sera psikis emosional, ekonomi dan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

a. Artikel “Rancangan Undang-Undang Materil oleh Peradilan Agama


Bidang Perkawinan”
b. Google.com keyword : definisi PERNIKAHAN DINI
c. Buku Agama Islam Sekolah Menengah Atas kelas XII
d. www.2pik.co.cc
e. www.apikkondang.co.nr

You might also like