You are on page 1of 26

Peter Kasenda

Soekarno dan Konfontasi Indonesia-Malaysia

Kalau Malaysia mau konfrontasi ekonomi


Kita hadapi dengan konfrontasi ekonomi
Kalau Malaysia mau konfrontasi politik
Kita hadapi dengan konfrontasi politik
Kalau Malaysia mau konfrontasi militer
Kita hadapi dengan konfrontasi militer!
(Soekarno, 1963)

Pada tanggal 17 Agustus 1963 dalam pidato tahunannya memperingati hari Proklamasi
Kemerdekaan Soekarno menggambarkan dunia ini sebagai terbagi antara kekuatan-
kekuatan baru yang sedang bangkit (New Emerging Forces, NEFOS ) dan kekuatan-
kekuatan yang lama yang telah mapan ( Old Established Forces, OLDEFOS) Yang
pertama dilukiskan sebagai terdiri atas “bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin,
negara-negara sosialis, dan kelompok kelompok progresif di negara-negara kapitalis”

Dalam mengedepankan suatu pandangan revisionis mengenai masyarakat internasional


Soekarno melukiskan Indonsia sebagai anggota kelompok kekuatan progresif dinamis
yang militan yang ditugasi oleh sejarah untuk melawan dan mengacaukan kekuatan
penindasan dan eksploitasi yang reaksioner. Lebih jauh dari itu, akhirnya dia menuntut
peranan penting dalam konstalasi internasional dan berusaha menyokong tuntutan ini
melalui kunjungan kenegaraan dan berbagai peristiwa internasional lainnya. ( Michael
Leifer, 1989 : 86 – 87 )

Tahun-tahun 1960-an merupakan tahun-tahun yang penuh dengan harapan tetapi


sekaligus juga tantangan, terutama bagi negara-negara yang sedang berkembang. Penuh
dengan harapan karena dua negara adidaya Amerika Serikat dan Uni Soviet tetap dapat
mempertahankan sistem dwi mandala dalam situasi Perang Dingin, sehingga dapat
mencegah timbulnya perang dunia yang baru.

Makin banyaknya bangsa-bangsa yang mencapai kemerdekaan sejak berakhirnya Perang


Dingin Kedua tidak mengubah sistem yang ada menjadi tri mandala (tripolar system),
karena negara-negara yang baru merdeka itu sedang disibukkan dengan masalah
konsolidasi di dalam negeri, sehingga tidak mampu membentuk kekuatan ketiga yang
aktual di dunia. Beberapa pemimpin di negara-negara yang sedang berkembang memang
pernah berilusi demikian. Tetapi dalam situasi Perang Dingin, kekuatan ideologi dan
politik saja belum didukung oleh kekuatan-kekuatan ekonomi, militer dan teknologi di
belakangnya.

Dalam perebutan pengaruh antara dua negara adidaya itu baik kubu kapitalis maupun
kubu komunis berada dalam posisi yang sulit. Tantangan kemerdekaan bangsa-bangsa
yang terjajah yang umumnya tertuju kepada negara-negara Barat, menempatkan negara-
negara tersebut dalam posisi politis defensif. Di pihak lain, perjuangan menuntut

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 1
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kemerdekaan itu merupakan daya (leverage) Uni Soviet dalam persaingannya dengan
Amerika Serikat. Namun situasi ini juga tidak bertahan lama.

Sejak awal tahun 1960-an Barat juga menilai Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno
masih dikuasai oleh golongan komunis di dalam negeri, yang dibantu oleh potensi-
potensi komunis di luar negeri. Kubu Barat mempunyai persepsi ancaman baru, yakni
ancaman dari komunis di Vietnam Selatan dan sekaligus juga ancaman komunis dari
Indonesia Dengan demikian Thailand, negara-negara Indochina yang belum jatuh di
tangan komunis. Malaysia, Singapura, Kalimantan Inggris dan Filipina berada dalam
posisi yang gawat.

Setelah kekalahan Perancis di Dien Bien Phu dan antipasi kekalahan Amerika Serikat di
seluruh Indochina, Barat tidak merasa ada alasan lagi untuk langsung bertempur
di negara asing. Memang pakta-pakta pertahanan kemudian dibentuk seperti
ANZUS, SEATO, tetapi tujuannya yang utama ialah mempertahankan suatu
wilayah secara bersama-sama dengan negara-negara yang sedang berkembang
dan termasuk dalam blok Barat. Di samping itu perlu diingat, bahwa
pembentukan pakta-pakta itu tidak hanya ditujukan terhadap potensi komunis di
utara saja, tetapi juga di selatan, yakni terhadap Indonesia.

Potensi-potensi Barat yang ada di wilayah Asia-Pasifik mulai mengubah sistem


keterlibatannya, dari keterlibatan secara fisik dan langsung menjadi keterlibatan secara
tidak langsung, sambil mendorong negara-negara Asia Tenggara untuk lebih tampil ke
depan dalam menangani permasalahan bersama. Hanya apabila sewaktu-waktu
diperlukan campur tangan serta bantuan fisik dan militer, mereka akan memberikan
bantuan itu berdasarkan komitmen yang dibuat sebelumnya.

Apabila kubu Uni Soviet hanya mengalami hambatan-hambatan internal yang berupa
tuntutan sementara anggota masyarakat komunis internasional tentang perlunya
keluwesan interprestasi dan implementasi Marxisme-Leninisme sesuai dengan
perkembangan kondisi setempat, serta perlunya kesederajatan status dan posisi
struktural partai-partai komunis di dunia, kubu Amerika Serikat mengalami
hambatan-hambatan yang bersifat ganda, internal dan eksternal. Internal, sebagai
yang telah dijelaskan di depan berupa tuntutan kemerdekaan daerah bekas jajahan,
sedang eksternal berupa ancaman perkembangan komunisme di dunia. Amerika
Serikat tidak begitu terlibat langsung mengenai tuntutan kemerdekaan tersebut,
mengingat kesediannya untuk segera memberikan kemerdekaan kepada daerah
jajahannya, seperti Filipina. Namun Inggris, Perancis, Belgia dan Portugal yang
mempunyai daerah koloni begitu luas secara langsung menghadapi permasalahan
dekolonisasi ini.

Tetap mempertahankan daerah jajahan, secara politis adalah tidak senafas Piagam PBB
dan dengan proses dekolonisasi. Di samping itu mempertahankan daerah jajahan
betapapun kaya daerah itu, secara ekonomis sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi
rakyat daerah jajahan. Terlebih lagi bila dilihat dari kepentingan pertahanan keamanan,

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 2
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mempertahankan daerah jajahan yang luas dan jauh dari negara induk, dalam sistem
perang modern adalah sangat mahal.

Hal ini semua mendesak Inggris, Perancis, Belgia, Portugal dan lain-lain negara Barat
untuk memerdekakan atau dengan sangat terpaksa memenuhi tuntutan kemerdekaan
bekas jajahannya. Setelah Asia, Afrika menyusul dalam upaya menuntut kemerdekaan.
Hal ini nampak jelas dalam persitiwa-peristiwa yang terjadi di Afrika antara tahun-tahun
1960-1965, persitiwa-peristiwa mana ternyata juga berpengaruh dalam mendorong
semangat revolusioner di Indonesia pada masa konfrontasi.

Bekas daerah jajahan Inggris pada umumnya mencapai kemerdekaan secara damai dan
sebagian besar negara-negara itu masih ingin tetap menjalin hubungan baik dengan
Inggris dan menjadi anggota Masyarakat Persemakmuran Inggris (British
Commonwealth of Nations). Misalnya, Malaya (1957), Singapura (1959) Uganda
(1962), Kenya (1963), Tanzania merupakan gabungan dari Tangaykam Zanzibar dan
Malawi (1964), Zambia (1964), Gambia (1965), Botswana (1966), Lesotho ( 1966)

Interprestasi dari proses kemerdekaan dan reposisi yang diambil oleh negara-negara
bekas jajahan Inggris setelah merdeka dalam hubungan barunya dengan Inggris memang
berbeda. Namun kesemuanya itu sebenarnya mengandung arti politik tersendiri, yang
sering kurang dipahami oleh negara-negara yang timbul melalui revolusi seperti
Indonesia. Perbedaan persepsi politik ini pula yang mendorong timbulnya konflik antara
Indonesia-Malaysia.

Dengan latar belakang situasi politik internaional yang demikian, timbul gagasan
pembentukan Federasi Malaysia. Dari mana asal gagasan tersebut timbul beberapa
pendapat. Ada yang menyatakan seperti halnya Indonesia, bahwa gagasan itu timbul dari
Inggris. Ini tidak sama sekali keliru bila diteliti sejarah Malaya, bahwa dahulu dalam
tahun 1887 memang ada seorang bangsawan Inggris, Lord Brassey, yang menyarankan
kepada House of Lords untuk membentuk persatuan daerah-daerah koloni Inggris di Asia
Tenggara. Tetapi gagasan ini tidak diterima.

Tengku Abdul Rachman yang memimpin Federasi Malaysia sejak tahun 1957, pertama
melontarkan gagasan pembentukan Federasi Malaysia belum dipermasalahkan. Tetapi
setelah Tengku Abdul Rahman berkonsultasi dengan Perdana Menteri Mcmililan di
London dalam bulan Oktober 1961 dan bulan Juli 1962 mengenai pelaksanaan rencana
federasi, timbul dugaan yang makin kuat di pihak Indonesia, bahwa gagasan
pembentukan Federasi sebenarnya adalah gagasan Inggris. (Hidayat Mukmin , 1991 : 80
– 85 )

Pembentukan Federasi Malaysia

Ketika Tengku Abdul Rachman, Perdana Menteri Malaya pada bulan Mei 1961
mengumumkan pikirannya tentang suatu bentuk federasi yang meliputi Malaya,
Singapura dan daerah-daerah Kalimantan Utara bekas daerah Inggris, Indonesia tidak

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 3
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menyatakan keberatannya (Filipina sementara itu menuntut sebagian dari wilayah


Kalimantan Utara itu sebagai daerahnya). Saran ini sebelumnya dibicarakan Tengku
dengan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, dan pembicaraan-pembicaraan antara
keduanya terus belanjut lancar dan menghasilkan hubungan-hubungan dan pengertian
yang semakin baik. Lee Kuan Yew menyatakan penggabungan dengan Malaya menjadi
satu-satunya dasar yang memungkinkan pembangunan Singapura yang stabil. Kesertaan
wilayah-wilayah Kalimantan Utara itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
keseluruhan persetujuan. Sifat mayoritas Cina kota Singapura merupakan penghalang
bagi pikiran-pikiran penggabungan itu. Malaya sudah lama merasa waspada terhadap
masyarakat Cina yang kekuatan ekonominya sangat berkuasa di semenanjung itu, dan
mayoritas Cina di Singapura pun cemas terhadap masyarakat Melayu. Kelihatannnya
seakan-akan Singapura dapat diserap pada saat wilayah-wilayah Kalimantan Utara,
Brunei, Sarawak dapat disertakan dalam federasi yang baru itu. Meskipun usul-usul
persekutuan itu jelas mencerminkan pemikiran sesorang negarawan yang mempunyai
dimensi luas, alasan-alasan yang dikemukakan masih diragukan – daerah-daerah di
Kalimantan-Inggris itu jika didominasi penduduk Melayu ; masyarakat Cina tetap
merupakan minoritas yang hidup bersama-sama suku-suku bangsa lainnya (tidak hanya
Melayu) dan semuanya ini akan lebih mempersulit ketimbang memudahkan masalah-
masalah masyarakat Malaya yang majemuk. Tetapi rencana itu mengandung keuntungan-
keuntungan lain, satu di antaranya ialah, federasi itu akan memungkinkan Inggris
menarik diri dengan mudah dari jajahannya di bagian dunia ini. ( John D Legge , 1985 :
415 )

Para sponsor Malaysia memandang Indonesia sebagai pihak yang berkepentingan pada
usul perubahan politik di bahari Asia Tenggara. Sehubungan dengan itu, pemerintah
Inggris yang menjadi patron dalam usaha ini, merasa wajib untuk berkonsultasi dengan
mitra imbangannya di Jakarta. Pada bulan Agustis 1961 Lord Selkirk, komiisaris jendral
Inggris untuk Asia Tenggara yang berpangkalan di Singapura mengunjungi Indonesia
guna membicarakan prospek Malaysia pada tahap awal perundingan. Subandrio
menyatakan kemudian bahwa dia telah memberi tahu Selkirk bahwa “kami menghargai
bahwa Inggris hendak melepaskan kolonialnya dan caranya terserah pada Inggris dan
rakyat yang bersangkutan “. Pada bulan November 1961, dia menempatkan pada catatan
umum mengenai ketiadaberatan pemerintahnya terhadap pembentukan Malaysia dalam
suatu surat kepada New York Times yang menyampaikan ucapan selamat kepada
pemerintah Malaysia” jika ia dapat berhasil dengan rencana ini. Lagipula, dia tidak
merasa perlu, pada kesempatan itu, untuk membuat rujukan apa pun kepada perluasan
Persetujuan Pertahanan Anglo-Malaya itu kepada federasi, yang dipertegas lagi di
Majelis Umum PBB, tidaklah bebas sama sekali dari keberatan. Sehubungan dengan itu,
apa yang disampaikan itu hanyalah sekadar permukaan saja karena menyebut Malaysia
hanyalah merupakan catatan tambahan pada penjelasan yang masuk akal dalam
mendukung tuntutan Indonesia atas Irian Barat. Penolakan atas Malaysia dimaksudkan
untuik mencegah kemungkinan tuntutan yang lain terhadap wilayah-wilayah yang
bersebelahan dengan Indonesia. Pada situasi seperti ini, pemerintah Indonesia tidak
berani menyatakan oposisi terbuka terhadap federasi yang diusulkan itu karena adanya
resiko bahwa tiap konfrontasi yang terjadi akan mengundang kecurigaan pada

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 4
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

tuntutannya atas Irian Barat yang pada waktu itu semakin menjadi sasaran kepentingan
diplomasi Amerika Serikat,

Hingga timbulnya pemberontakan di Brunei pada bulan Desember 1962, satu-satunya


oposisi terang-terangan terhadap pembentukan federasi Malaysia dari dalam Indonesia
dikemukakan oleh Komite Sentral Partai Komunis Indonesia pada bulan Desember 1961.
Pentingnya oposisi seperti itu tidak dari segi waktunya tetapi lebih-lebih karena
perihalnya yang mengisyaratkan penolakan Soekarno terhadap keabsahan federasi yang
baru itu. Federasi baru itu digambarkan sebagai “suatu konsentrasi kekuatan kolonial
baru justru pada garis perbatasan Indonesia” dan “suatu intrik kolonial yang tak dapat
diterima”. PKI mempunyai antipati yang lumrah terhadap bakal calon Malaysia yang
digambarkan secara terbuka di Kuala Lumpur sebagai benteng terhadap komunisme di
Asia Tenggara Berkaitan dengan itu, juga mempunyai alasan yang baik untuk berusaha
menjamin bahwa penolakan umum “bentuk neokolonialisme” ini menjadi bagian tak
terpisahkan dari serangkaian doa (litani) ortodoksi nasionalis. Selama kurun waktu 1962,
keseimbangan keuntungan politik domestik mulai bergerak ke arah yang menguntungkan
PKI ketika Soekarno berhasil memanipulasi kesetiaan di dalam angkatan bersenjata untuk
menunjang tujuannya sendiri. Kecenderungan ini semakin nyata pula pada tahun
berikutnya, terutama sekali pada tahun 1964. Akan tetapi PKI mempunyai berbagai
macam alasan untuk mencoba mempertahankan iklim hingar-bingar politik Indonesia
pada saat pertikaian Irian Barat telah diselesaikan karena suatu dugaan umum bahwa
kenyataan sekarang akan menjadi implementasi tindakan untuk meningkatkan stabilisasi
ekonomi. Tindakan seperti itu, berkaitan dengan kemungkinan menerima kredit dari
Dana Moneter Internasional dan bantuan konsorsium Barat yang akan hampir pasti
mempengaruhi pola keberpihakan luar negeri dan mempunyai akibat politik yang sesuai
dengan hal itu. Adalah tak jelas apakah Soekarno secara serius tertarik atau tidak pada
proses perubahan ekonomi yang jelas akan mengharuskan pengakuan pentingnya nilai-
nilai dan ketrampilan yang sudah barang tentu tak selaras dengan ideologi dan
kepribadiannya. Pada bulan Agustus 1962 dia memberikan kesan kepentingan seperti itu
tanpa membuang ideologi romantikanya. Tiadanya kepentingan terbuka atas munculnya
Malaysia, pernyataan yang dikemukakan oleh Subandrio bahwa Indonesia tak akan dapat
tetap acuh tak acuh karena wilayah-wilayah yang bersangkutan merupakan suatu garis
perbatasan yang dimiliki bersama, mungkin dapat dilukiskan sebagai suatu
kecenderungan terhadap moderasi. Pada pihak lain, sebelum Brunei berontak hanya
terdapat sedikit dasar perselisihan internal dalam setiap bagian bakal federasi tersebut
yang mungkin akan membenarkan suatu kampanye oposisi umum.

Pecahnya pemberontakan di Brunei pada tanggal 8 Desember 1962, yang terpecah ke


dalam Serawak yang berbatasan dan ke dalam Kalimantan Utara Inggris (Sabah),
menarik tanggapan publik yang simpatik dari dalam negeri Indonesia. Pemberontakan itu
dilakukan oleh para pendukung Partai Rakyat yang menguasai semua kursi berdasarkan
pemilihan tetapi posisinya minoritas dalam Dewan Legislatif. Pemimpinnya adalah A.M.
Azhari yang telah berperan serta dalam revolusi nasional Indonesia dan yang telah
mempertahankan persahabatan politik dengan republik. Dengan dukungan massa yang
nyata, Partai Rakyat mengumumkan ketidaksetujuannya terhadap masuknya Kesultanan
Brunei ke dalam Malaysia dan mengajukan sebagai suatu alternatif, pembentukan suatu

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 5
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

negara merdeka Kalimantan Utara yang dahulu pernah menjadi wilayah kekuasaan raja
Brunei. Latihan militer dan berbagai perbekalan telah disediakan di seberang perbatasan
Sarawak di Kalimantan Indonesia tetapi tanpa petunjuk yang jelas apakah bantuan itu
atas persetujuan resmi Jakarta ataukah tidak. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
pemberontakan itu sendiri menyebabkan para pemimpin di Jakarta kelabakan.
Pemberontakan itu berumur pendek. Satu-satuan polisi mobil dikerahkan dari daerah
Jesselton (sekarang kota Kinibalu) di Sabah, sedangkan pasukan Inggris, termasuk Gurka
diterbangkan dari Singapura Perlawanan efektif dapat diatasi dalam satu minggu.
( Michael Leifer , 1989 : 112 – 115 )

Situasi ini telah memberikan kepada Soekarno yang selama ini sibuk dengan sengketa
Irian Barat, kesempatan untuk mengungkapkan kecurigaannya yang terpendam selama itu
terhadap rencana Malaysia. Pada 8 Januari 1963, ia menolak gagasan Malaysia dan tidak
lama kemudian Subandrio mengumumkan “konfrontasi” terhadap federasi baru itu. Arti
istilah ini seluruhnya tidak jelas, tetapi Subandrio tidak menyatakan perang terhadap
Malaysia. Kemudian menjadi jelas bahwa “konfrontasi“ berarti melaksanakan tekanan
diplomasi dalam ekonomi serta penggunaan kekuatan militer yang sangat terbatas yaitu
pada tingkat yang serendah-rendahnya Keberhasilan perjuangan Irian Barat dan
kebijaksanaan yang ditempuh dalam menyelesaikan wilayah ini pada smester pertama
tahun 1962 telah memberikan Indonesia suatu model untuk ditempuh.
Terdapat banyak alasan mengapa Indonesia di bawah pimpinan Soekarno melaksanakan
reaksi yang merugikan dalam menghadapi gagasan Malaysia Terlepas dari penarikan
kembali ucapan Subandrio pada bulan November 1961, sebagai negara besar di kawasan
itu di Indonesia selayaknya merasa berhak diberi tahu dengan konsultasi mengenai
semua persoalan yang berkaitan dengan dilepaskannya daerah-daerah yang berbatasan
dengan negerinya – dalam hal ini mengenai daerah-daerah yang langsung berbatasan
denganya. Sebagai wujud dari kebanggaan bangsa, Soekarno cepat menangkap setiap
pertanda yang kelihatannya kecil, dan dalam hal itu ia sangat peka karena menyangkut
suatu negara imperialis yang melepaskan kekuasaan dengan cara-cara yang
diperhitungkan akan terus mempertahankan pengaruhnya di kawasan itu. Sesungguhnya,
pembentukan Malaysia menurut pengamatan Soekarno adalah suatu tindakan kekuatan-
kekuatan neo-kolonialisme yang menjadi bagian dari gerakan pengepungan terhadap
Indonesia. Dalam kerangka pandangan dunianya, poisisi Indonesia sebagai Nefo akan
terjepit di antara musuh-musuh Oldefo yang melindunginya jika dilihat bahwa di lihat
bahwa di sebelah utara terdapat bekas-bekas jajahan Inggris yakni Malaya sampai
Kalimantan Utara dan di Selatan ada Australia dan Selandia Baru.

Soekarno pun tidak dapat melepaskan kecurigaanya terhadap Malaya yang pada tahun
1958 bersimpati dengan kaum pemberontak di Indonesia Perasaannya telah ditunjang
oleh kesadaran akan perbedaan-perbedaan yang besar antara Indonesia dan Malaysia.
Menurut pandangannya, Malaysia telah mendapatkan kemerdekaannya secara mudah,
tidak berjuang untuk mendapatkannya dan oleh sebab itu dianggap barang murahan jika
dibandingkan dengan kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan secara mati-
matian. Apalagi, hampir dapat dipastikan kemerdekaan Malaya adalah selubung untuk
melanjutkan pengaruh dan kekuasan Inggris di bidang ekonomi, politik dan militer.
Pangkalan perang Inggris di Singapura menjadi bahan pertimbangan Soekarno, demikian

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 6
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

juga kepentingan ekonomi Inggris di semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara .“


Malaysia didirikan untuk menjamin minyak bagi imperialis.” kata Presiden Soekarno
dalam suatu pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Front Nasional pusat dan daerah
bulan Februari 1963. Dalam pengertian sosial, Malaya yang lahir di dunia tanpa melalui
suatu revolusi akan hadir sebagai negara konservatif aristokrat jika dibandingkan dengan
nasionalisme radikal Indonesia. Perwujudan perbedaan sifat ini adalah kontras seperti
tercermin antara kepribadian Tengku Abdul Rachman si Pangeran Melayu, didikan
Inggris, pemilik kuda pacu; dan Soekarno si pemimpin model Yakobin dari aristokrasi
rendahan Jawa dan ditempa dalam kancah perjuangan yang panjang melawan kekuasaan
kolonialisme Belanda.

Sehubungan dengan ini juga timbul pendapat-pemdapat lain di Indonesia. Nasution


mempersoalkan bahwa bahaya dari Malaysia bagi Indonesia sebenarnya ialah negeri itu
menyediakan bagi orang-orang Cina perantauan kesempatan untuk menegaskan pengaruh
kekuasaanya dan ini membuka kesempatan bagi Peking untuk meningkatkan
pengaruhnya. Berbeda dengan pandangan Soekarno-Subandrio yang menganggap bahaya
Malaysia untuk Indonesia terletak pada kemungkinan tunduknya negeri itu pada
pengaruh Inggris jika dilihat dari watak reaksioner negara baru itu. Akhirnya juga
terdapat sejumlah tekanan dalam negeri sendiri terhadap Soekarno Angkatan Darat
mendukung politik konfrontasi, karena ini memberikan kemungkinan peningkatan
anggaran militer dan peningkatan martabat tentara pada saat-saat akan dicabutnya
Keadaan Dalam Bahaya (SOB). Bagi PKI, konfrontasi ini menciptakan suasana bagi
radikalisme model PKI untuk dapat berkembang dan membuka kesempatan baginya
untuk mengelakkan kritik-kritik dari kalangan mereka sendiri yang menuduh pemimpin-
pemimpinnya telah sangat tergantung pada rezim Soekarno. ( John D Legge , 1985 : 415
– 418 )

Van der Kroef berpendapat bahwa PKI merupakan kekuatan yang pertama di Indonesia
yang menentang pembentukan Malaysia. Dalam bulan Desember 1961 PKI sudah
menegaskan bahwa Federasi Malaysia yang hendak dibentuk itu tidak lain dari suatu
“bentuk kolonialisme“ yang oleh Inggris hendak “diselundupkan ke dalam SEATO”.
Indonesia, demikian dikatakan Aidit dengan penuh harapan akan menyokong rakyat di
dalam federasi yang hendak dibentuk itu dalam perjuangan mereka menentang
pembentukan Malaysia.

Sebaliknya Rex Mortimer, yang menulis telaah yang paling komprehensif mengenai PKI
selama periode Demokrasi Terpimpin, berpendapat bahwa orang-orang komunis pada
mulanya tidak secara terang-terangan mempersoalkan pembentukan Malaysia. Walau
mereka sudah mulai mengutuk Malaysia, perhatian PKI semata-mata dipusatkan kepada
usaha menggagalkan rencana pembaruan ekonomi Djuanda dan akibatnya yang tak akan
terelakkan lagi berupa perbaikan dalam hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat,
yang dalam pandangan mereka merupakan bagi dari kebijaksanaan yang ditempuh
Djuanda. Tetapi kemudian PKI menyadari keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh
bila mereka mendukung konfrontasi. Menurut Rex Mortimer, PKI memanfaatkan dan
mengobarkan kampanye anti-Malaysia untuk menciptakan suasana yang pada umumnya
radikal di dalam masyarakat dan dengan demikian “memperkuat kedudukannya dalam

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 7
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

politik dalam negeri dengan menggeser saingan dan musuh-musuhnya”. Dan dengan
berlarut-larutnya kampanye itu, “persenjataan ideologis” anti-Malaysia PKI bertambah
kuat sedemikian rupa sehingga pada akhirnya dapat mendesak ke belakang dan bahkan
mengungguli kemampuan Soekarno di bidang retorik dan propaganda.

PKI-lah yang menempuh langkah-langkah yang paling dramatis untuk merebut prakarsa.
Karena adanya banyak pengaruh, hubungan, dan intrik di dalam negeri maupun di kancah
internasional yang melingkupi urusan –urusan Indonesia pada masa itu, maka motivasi
yang tepat dan ketegasan PKI yang baru tidaklah jelas. Apapun kombinasi alasannya,
kepemimpinan Aidit berusaha menerobos kendala-kendala domestiknya. Pada akhir
bulan September 1963 Aidit kembali dari perjalanan kunjungannya yang lama ke Uni
Soviet dan Cina. Sekembalinya, untuk pertama kalinya dia secara tegas menyekutukan
PKI dengan Cina dalam menghadapi Uni Soviet. Kemungkinan Aidit telah menerima
nasihat pihak Cina supaya meeningkatkan ofensif politik di dalam negeri. Akan tetapi,
dia juga mempunyai alasan senditi untuk merasa yakin bahwa hanya kampanye anti
Laysialah yang menghindarkan Indonesia untuk berkiblat ke Amerika Serikat.
Kemungkinan adanya gerakan anti PKI di dalam negeri sudah jelas . Dengan demikian,
PKI berusaha mendesak untuk mendapatkan kekuasaan lebih besa, karena pada masa itu
ofensiflah tampaknya merupakan cara berrtahan yang terbaik. ( M.C. Ricklefs , 1991 :
415 – 416 )

Bagaimanapun besarnya peran yang mungkin dimainkan PKI dalam upaya melancarkan
konfrontasi, yang menentukan segala sesuatunya adalah Soekarno. Retorika Soekarno
sangat mirip dengan argumen yang dikemukakan PKI, dan makin lama orang makin sulit
untuk membedakan antara ungkapan ideologis Presiden dan ungkapan ideologis kaum
komunis, karena kepentingan politik mereka tampaknya menjadi kian identik. Keputusan
untuk “berkonfrontasi” terhadap Malaysia, semua itu secara sepihak menguntungkan PKI
dan Presiden, serta merugikan kepentingan Angkatan Darat. ( Ulf Sundhaussen , 1986 :
292 – 296)

Dalam menilai alasan-alasan nyata tentang penentangan mendadak oleh Soekarno


terhadap rencana Malaysia itu, pendapat dan pandangan-pandangan ini harus
diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Perspektif umum dari ideologi Indonesia
penting diketahui. Di bawah kepemimpinan Soekarno negeri ini telah membina suatu
pandangan terpadu terhadap dunia luar, yang meskipun akan dianggap ekstrem dan
melangkah terlampau jauh oleh pengamat-pengamat politik luar negeri, mempunyai
makna tersendiri bagi Indonesia. Pembagian Nefo-Oldefo bukanlah kenyataan yang tidak
masuk akal, dan rasa terancam nasional bukan suatu yang dibuat-buat Bangunan ideologi
mungkin mengacaukan kenyataan kehidupan tetapi ideologi itu telah dipegang dengan
keyakinan yang amat teguh. ( John D Legge , 1985 : 418 – 419 )

Pendapat hampir serupa dikatakan oleh Ulf Sundhaussen, bahwa keputusan untuk
menentang Malaysia pertama-tama harus dipahami dalam kerangka orientasi
ideologisnya. Sikapnya yang anti-kolonialis dan anti–imperialis menjadi makin eksplisit
selama perjuangan pembebasan Irian Barat. Dia sudah sampai pada satu titik di mana
menurut pandangannya dunia ini terbagi dalam dua kubu : kubu Old Established Forces

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 8
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

(OLDEFO, kekuatan-kekuatan lama yang sudah mantap) yang terdiri dari negara-negara
kapitalis dan imperialis di Barat, dan kubu New Emerging Forces ( NEFO, kekuatan-
kekuatan yang baru muncul ) yang mencakup negara-negara baru di Asia dan Afrika,
Amerika Latin, dan negara-negara sosialis. Dalama bahasa yang makin radikal dan
emosional dengan mana dia menganalisa politik dunia, Soekarno menuliskan
pembentukan Malaysia sebagai suatu komplotan neokolonialis yang bertujuan
mengepung Indonesia dan menjamin kepentingan Inggris di Asia Tenggara. ( Ulf
Sundhaussen , 1986 : 295 )

Terlepas dari retorika anti-Malaysia yang tajam dari Presiden Soekarno dan pemerintah
Indonesia, sebenarnya Indonesia bukanlah provokator utama, apalagi satu-satunya, dalam
permusuhan antara Inggris dan Malaka di satu pihak dan Indonesia-Filipina di pihak lain.
Sebuah kajian terakhir oleh Greg Poulgrain mengenai asal-usul politik Konfrontasi
menemukan bahwa Inggrislah yang merupakan pemicu utama politik tersebut. Poulgrain
menantang gagasan yang lazim dipegang oleh para pengkaji politik Konfrontasi seperti
J.A.C. Mackie, yang mengatakan bahwa pihak yang patut dipersalahkan di balik
kebijakan ini ialah Indonesia, khususnya Presiden Soekarno. Berdasarkan pengakuan
seorang mantan kepala Pasukan Khusus Inggris di Serawak dan dari risetnya terhadap
berbagai dokumen yang relevan yang tersimpan di Public Records Office ( Kantor Arsip
Publik ) di London. Poulgrain menemukan bahwa kebijakan yang dianut oleh pemerintah
Inggris terkait masalah Malaysia adalah mempertahankan seluas mungkin akses ke dalam
sumber-sumber daya ekonomi koloninya di Kalimantan Utara menyusul dibubarkannya
Dinas Kolonial Inggris. Menurut Poulgrain kebijakan semacam itu mensyaratkan
“dihilangkan”nya Presiden Soekarno, sebab di mata Inggris Presiden Soekarno adalah
seorang pemimpin yang berhaluan kiri yang punya potensi besar untuk membahayakan
akses Inggris ke wilayah-wilayah tersebut. Itulah sebabnya inteljen militer Inggris
( Cabang Khusus, M15-M16 ), berusaha menciptakan suatu situasi yang dapat
mendorong munculnya pemberontakan di wilayah tersebut – misalnya menghambat
saluran-saluran demokrasi di Brunei – dengan harapan bahwa hal ini akan memprovokasi
Presiden Soekarno dengan sentimen anti-kolonialnya yang kental untuk menentang
Malaysia. Inggris lebih jauh berharap bahwa keterlibatan Presiden Soekarno itu akan
membuat pemerintahannya limbung dan dengan demikian kejatuhannya dari kekuasaan
pun akan tinggal menunggu waktu saja. Demikianlah kebijakan luar negeri Inggris saat
itu diarahkan untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, seorang nasionalis yang kekiri-
kirian, beserta pemerintahannya. ( Baskara Wardaya , 2008 : 302 – 303 )

Namun sikap Soekarno mengumumkan penentangannya terhadap Malaysia dalam situasi


itu mengundang kecurigaan, sekurang-kurangnya tidak mudah begitu saja untuk
dipercaya. Apakah setelah selesainya masalah Irian Barat Soekarno memerlukan suatu
masalah sengketa dengan negeri luar yang mungkin bertujuan untuk mengabsahkan
kepemimpinanya di kawasan itu dan sekaligus untuk mengalihkan perhatian dalam negeri
dari kesulitan ekonomi, atau untuk mengekang penentangan yang akan mengakibatkan
tindakan kekerasaan? Lebih tegas lagi, apakah Soekarno melaksanakan ucapannya pada
belahan tahun yang lalu, yaitu “suatu bangsa selalu memerlukan musuh.” ( John D
Legge , 1985 : 418 – 419)

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 9
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Untuk menunjukan kebulatan tekad Indonesia, pada 13 Februari 1963 Presiden


mengumumkan : “Saya nyatakan secara resmi sekarang bahwa Indonesia menentang
Malaysia.” Presiden Soekarno mengatakan bahwa pententangannya terhadap Malaysia
adalah “a matter of principle”. Kemudian ia menambahkan “Kami sedang dikepung.
Kami tidak menginginkan neo-kolonialisme di lingkungan kami. Kami menganggap
Malaysia hendak mengepung Republik Indonesia, Malaysia adalah
produk….neokolonialisme. Pada hari yang sama, Subandrio memperingatkan bahwa
“bila upaya pembentukan Malaysia tetap dilanjutkan sama seperti sekarang, benturan
fisik akan tak terhindarkan …” Kepada Staf Angkatan Bersenajata Jendral A.H. Nasution
menyatakan bahwa Malaysia adalah sebuah ancaman militer bagi Indonesia. Menurutnya
federasi Malaysia akan menjadi “basis dari negara-negara yang dulunya menguasai Asia
Tenggara untuk kembali mendominasi.” Sembari merujuk pada dukungan diberikan oleh
Indonesia kepada kaum pemberontakan Kalimanatan Utara, dia mengatakan bahwa
Indonesia tidak mempunyai niat untuk mencaplok wilayah-wilayah tersebut, tetapi pada
saat yang sama akan membantu setiap gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan dan
menentang kolonialisme. ( Baskara T Wardaya , 2008 : 301 – 392 )

Setelah Nasution menyetujui tindakan Soekarno-Subandrio pada bulan bagi Malaya


untuk melancarkan serangan lain terhadap Malaysia. Jendral itu mengirim para inflitran
yang pertama menyeberangi perbatasan Serawak. Pada bulan April terdengar laporan-
laporan tentang bentrokan-bentrokan dengan pasukan-pasukan keamanan Inggris. Suatu
sidang ECAFE pada bulan Maret di Manila memberi kesempatan kepada wakil-wakil
negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk memberikan perhatian tidak resminya atas
meluasnya ancaman yang ditimbulkan oleh sikap Indonesia terhadap stabilitas di
kawasan itu, dan Presiden Filipina Macapagal, mengusulkan supaya diadakan
perundingan mengenai masalah ini. Usul ini menghasilkan pertemuan antara wakil-wakil
Menteri Luar Negeri. Tujuan pertemuan wakil-wakil masing-masing kementerian luar
negeri ini adalah mempersiapkan acara bagi suatu konperensi Menteri-menteri Luar
Negeri, dan hasilnya nampak memberi harapan.

Tetapi optimisme ini tidak berlangsung lama. Sementara pembicaraan-pembicaraan di


Manila sedang berlangsung, Soekarno menggunakan kesempatan pengangkatan seorang
Duta Besar bagi Malaya untuk melancarkan serangan lain terhadap Malaysia untuk
melancarkan serangan lain terhdap Malaysia. Ia kembali mengatakan bahwa negeri itu
adalah ciptaan neo-kolonialisme. Sejak itu, diplomasi Presiden itu menonjolkan sifat
pribadinya yang khas dan itulah faktor utama penyebab meningkatnya konfrontasi. Sejak
April sampai September, ketegangan ini menjadi tidak menentu, mengikuti naik-turunnya
suhu emosi. Ini terjadi karena Soekarrno dengan pertimbangan yang matang menjalankan
strategi politik agresi damai yang silih berganti dengan perhitungan membuat cemas dan
bingung Tengku Abdul Rachman mengenai tujuan akhir Indonesia. Sesudah konperensi
bulan April itu, bertlangsung perang lisan antara Jakarta-Kuala Lumpur. Soekarno dan
Tengku sambil berlomba mencari istilah dan julukan yang paling bersifat menyerang
untuk dilontarkan seberang-menyeberang Laut Jawa. Perang kata-kata ini terus berlanjut
selama tindakan-tindakan Indonesia meningkat diseberang perbatasan Sarawak. Dalam
keadaan demikian pertemuan para Menteri Luar Negeri tidak jadi diadakan.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 10
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pada akhir Mei terjadi perubahan mendadak dalam nada dan irama ketegangan ini.
Selama dalam perjalanan ke Eropa Soekarno singgah beberapa hari Tokyo untuk
berunding dengan wakil-wakil perusahan minyak Amerika Serikat yang sedang
mengusahakan izin untuk mencari sumber-sumber energi di Indonesia dan untuk
mendapatkan hak penguasaannya. Ia mengundang Tengku Abdul Rachman
menjumpainya di Tokyo. Tengku menerimanya dan selama pembicaraan itu, ternyata
terjalin kembali hubungan mesra antara keduanya. Hubungan baru ini disusul dengan
pertemuan antar-menteri luar negeri yang tertunda itu pada tanggal 7 Juni Segera
sesudah pertemuan puncak Soekarno-Tengku Abdul Rachman itu, perundingan para
menteri luar negeri berjalan lancar dan mampaknya di luar dugaan akan menghasilkan
suatu kesepakatan luas. Tercapai persetujuan bahwa akan diambil langkah-langkah untuk
mengetahui dengan pasti kesediaan penduduk wilayah-wilayah Kalimantan untuk masuk
ke dalam Malaysia. Selain itu Presiden Macapagal berhasil mendapatkan persetujuan dari
Indonesia dan Malaya untuk melaksanakan suatu gagasan bangunan tetap – semacam
konfederasi – yang akan memungkinkan ketiga negara itu menyelesaikan hal-hal yang
menyangkut kepentingan ketiganya dalam pertemuan-pertemuan rutin. Rencana
“Maphilindo“ (Malaysia, Filipina, Indonesia) ini didasarkan pada “pergaulan hidup yang
bersejarah dan warisan bersama dari rumpun Melayu.” ( John D Legge , 1985 : 419 – 421
)

Sebagai bagian dari rencana Maphilindo, mereka bertiga meminta PBB untuk
menyelenggarakan sebuah jajak-pendapat di Sabah dan Sarawak guna ”memastikan”
apakah rakyat kedua wilayah tersebut mau bergabung dengan Federasi Malaysia atau
tidak. Baik Indonesia maupun Filipina setuju untuk menerima Malaysia sekiranya jajak-
pendapat tersebut menunjukkan bahwa rakyat kedua wilayah bekas koloni itu
mendukungnya. Namun demikian, jajak-pendapat tidak akan diadakan di Brunei, sebab
pada Juli 1963 wilayah tersebut ttelah memutuskan untuk tidak bergabung dalam
federasi.

Senang dengan munculnya tanda-tanda bahwa pertemuan tingkat tinggi ini mampu
membuat kemajuan untuk menyelesaikan persoalan Malaysia, para pejabat pemerintahan
Kennedy mendorong Inggris supaya bersedia, meski agak enggan, untuk bekerja sama
dan menghormati kesepakatan Manila, dan membiarkan Tengku Abdul Rachman
menjalankan langkah-langkah yang dianggap perlu. Presiden Kennedy meminta Perdana
Menteri Inggris Harlod Macmillan memperlunak sikapnya mengenai Malaysia. Dia
mendesak sejawatnya dari Inggris itu untuk menunda tanggal pengumuman pendirian
Federasi Malaysia supaya “Soekarno mendapatkan penutup rasa malu yang sekarang
sedang dibutuhkannya“ dan untuk menghindarkan tindakan subersif lebih jauh dari pihak
Indonesia dalam menentang federasi tersebut.” Semua ini memang berada di bawah
wewenang Anda,” kata Kennedy kepada Macmillian,” tapi saya rasa kami perlu
menyampaikan kekhawatiran kami secara terus terang kepada Anda.”

Ternyata Inggris memiliki pandangan yang berbeda dengan AS. Merasa gusar dan
kecewa dengan hasil pertemuan tingkat tinggi Manila, para pejabat Inggris menuduh
bahwa Presiden Soekarno memang sedang berniat untuk menghancurkan rencana
pendirian Malaysia. Menurut mereka, setiap konsesi kepada Presiden Soekarno demi

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 11
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mendapat persetujuannya adalah sebuah tindakan menjilat yang mesti dihindari. Secara
khusus, London kecewa dengan persetujuan Manila yang membiarkan pihak luar
mengadakan jajak pendapat di dalam wilayah kekuasaan Inggris. Sebagai balasan
terhadap surat Kennedy, Macmillian menolak untuk bekerja sama dengan Presiden
Soekarno. Dia mengatakan bahwa Presiden Indonesia itu “ akan memerlukan sesuatu
yang lebih besar untuk dapat menutupi rasa malunya,” Perdana Menteri Inggris tersebut
percaya bahwa penundaan pendeklarasian Federasi Malaysia hanya akan menimbulkan
banyak kesulitan lebih besar”

Roger Hilsman “sangat marah“ kepada Inggris, Asisten Menteri Luar Negeri untuk
Urusan Timur Jauh yang baru tersebut menganggap cara Inggris dalam mendirikan
Malaysia bisa menghancurkan upaya-upaya Amerika guna menjalin hubungan yang baik
dengan Indonesia, dan dengan demikian juga membahayakan kepentingan strategis AS
di kawasan Asia-Pasifik. Pembentukan Malaysia adalah satu hal, demikian katanya, tapi “
meluncurkannya sedemikian rupa sehingga membuat konfrontasi dengan Indonesia tak
terhindarkan ”adalah hal lain. Dia tidak sependapat dengan Inggris yang meyakini bahwa
Presiden Soekarno berniat menganeksasi wilayah-wilayah di sekitar Indonesia. Hilsman
lalu mendesak Menteri Luar Negeri Rusk untuk terus membujuk Inggris supaya
memperlunak sikap mereka, sembari berjanji bahwa pemerintahan Kennedy akan tetap
membangun hubungan dengan Sekretaris Jendral PBB dalam upaya untuk mendekati
pemerintah Inggris. Usaha ini berhasil. Berkat tekanan Amerika pemerintah Inggris,
meskipun dengan setengah hati, akhinrnya mau menerima kesepakatan Manila dan setuju
untuk membiarkan PBB mengadakan jajak-pendapat di koloninya di Sabah dan Sarawak.

Sebagai tanggapan atas permintaan pertemuan tingkat tinggi di Manila, Sekretaris Jendral
PPB U Thant bersedia menfasilitsi jajak-pendapat tersebut dan membentuk Misi
Michelmore, seturut ketuanya yang berasal dari Amerika Serikat, untuk mencari tahu
apakah rakyat kedua wilayah itu benar-benar mau bergabung ke dalam Federasi Malaysia
atau tidak. Misi itu tiba di Kalimantan pada tanggal 15 Agustus 1963, namun perbedaan
pendapat yang terjadi antara para anggotanya dan perwakilan Maphilindo membuat
tertundanya pelaksanaan jajak-pendapat hingga tanggal 26 Agustus. Dalam jajak-
pendapat itu, para anggota misi tersebut berbicara dengan pemimpin-pemimpin kelompok
agama, etnis dan buruh, para pejabat pemerintahan, para pemimpin politik, serta para
kepala suku di Sabah dan Sarawak, dan meminta pendapat mereka tentang federasi yang
akan dibentuk. Sementara jajak-pendapat tersebut berlangsung, Menlu Indonesia
Subandrio menegaskan kepada Jones bahwa penolakan Indonesia terhadap Malaysia
bukan pertama-tama diarahkan kepala Malaka tetapi pada Inggris, Indonesia, demikian
kata Subandrio kepada Duta Besar Amerika Serikat tersebut, menentang segala bentuk
kolonialisme dan imperailisme di mana pun ia berada.

Ganyang Malaysia

Pada tanggal 14 September 1963, seperti direncanakan Sekretaris Jendral PBB U Thant
mengumumkan hasil jajak-pendapat itu. Pemerintah Indonesia dan juga pemerintah
Filipina menolak hasil jajak pendapat itu. Jakarta mengeluhkan bahwa waktu yang

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 12
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

digunakan untuk mengadakan jajak-pendapat itu terlampau singkat dan bahwa pengamat
dari Indonesia dan Filipina hanya bisa mengamati sebagian saja dari prosesnya karena
adanya berbagai kesulitan yang diciptakan oleh penguasa Inggris. Indonesia mencurigai
adanya intrik-intrik Inggris dan sangat tidak suka dengan fakta bahwa pada tanggal 19
Agustus 1963–ketika mengumumkan bahwa Federasi Malaysia akan didirikan pada
tanggal 16 September – Tengku Abdul Rachman menyatakan bahwa federasi baru itu
“akan tetap diresmikan pada tanggal itu terlepas dari apakah hasil jajak-pendapat yang
diselenggarakan PBB menunjukkan bahwa rakyat Sarawak dan Sabah ingin bergabung ke
dalamnya atau tidak. Pernyataan Tengku tersebut dilaporkan dalam New York Times
dengan judul yang jelas-jelas membuat kecewa Indonesia “ Malaka Tetap Bersikukuh
Mendirikan Federasi Terlepas dari Temuan Jajak-Pendapat PBB”. Pada tanggal 16
September 1963 kabinet Indonesia bertemu dan menyatakan bahwa pembentukan
Malaysia tidak sah dan tidak dapat diterima secara resmi.

Meskipun ada penolakan yang tegas dari Indonesia dan Filipina terhadap hasil jajak-
pendapat PPB itu, pada tanggal 16 September 1963 pemerintah Malaya dan Inggris
secara bersama-sama menyatakan berdirinya Federasi Malaysia. Federasi itu terdiri dari
Malaya, Singapura, Sabah, dan Sarawak, Tengku Abdul Rchman yang hingga saat itu
menjabat sebagai Perdana Menteri Malaya, dinyatakan sebagai Perdana Menteri federasi
yang baru tersebut, Ibukota Malaya, Kuala Lumpur., menjadi ibukota Malaysia.

Pengumuman pembentukan Federasi Malaysia dan reaksi keras Indonesia terhadapnya


menghancurkan harapan yang masih tersisa akan adanya solusi damai bagi masalah
Malaysia. Pada hari diumumkannya pembentukan Federasi Malaysia, massa
berdemontrasi di depan Kedutaan Inggris di Jakarta, memprotes keputusan tersebut Sir
Andrew Gilschrist, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, tidak mau menunjukkan tanda
mengalah. Sebaliknya, dia justru ingin bahwa para demonstrator itu tahu, Inggris tetap
kukuh pada keininginan dan keputusannya. Ketika massa meneriakkan slogan “Hidup
Soekarno!” dia membalas dengan berteriak, ”Hidup U Thant!” Diplomat asal Skotlandia
tersebut lalu memerintahkan salah seorang bawahannya untuk memainkan bagipipe (alat
musik tiup Skotlandia). Selain untuk menunjukkan semangat Inggris, permainan alat
musik itu juga dimaksudkan untuk menunjukkan selera humor sang Duta Besar kepada
massa. Sayang sekali, massa demontran tidak bisa memahami selera humor Pak Dubes.
Mereka membakar mobil Rolls Royce miliknya.

Keesokan harinya tanggal 17 September 1963, Malaysia memutuskan hubungan


diplomatiknya dengan Indonesia. Massa yang jumlahnya sekitar 5.000 orang menyerang
kedutaan besar Inggris di Jakarta pada tanggal 18 September dan membakarnya hingga
rata dengan tanah, berikut dua puluh satu perumahan stafnya. Sebagai balasan, pada
tanggal 19 September massa di Kuala Lumpur menyerang kedutaan besar Indonesia di
sana. Hari berikutnya, tanggal 20 September, Jakarta mengumumkan bahwa pemerintah
Indonesia akan mengambil alih semua perusahan Inggris di negara tersebut. Sehari
kemudian, pemerintah mengumumkan pemutusan segala hubungan dagang dengan
Malaysia. Beberapa hari setelahnya, Presiden Soekarno secara publik menegaskan
kembali tekad Indonesia untuk menghancurkan Malaysia. Dalam pidatonya yang berapi-
api di hadapan khalayak ramai di kota Yogyakarta pada tanggal 23 September Presiden

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 13
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

RI itu memperkenalkan slogan anti-Maysianya yang amat terkenal, yakni “ Ganyang


Malaysia!!” Pidato itu menandai dimulainya kampanye anti-Malaysia.

Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan reaksi keras Presiden Soekarno terhadap
didirikannya Malaysia. Pertama, pemimpin RI itu marah sebab Indonesia, sebuah negara
besar di kawasan Asia Tenggara, telah “ dilangkahi“ baik oleh pemerintah Inggris
maupun Malaya dalam proses yang mengarah pada pembentukan Malaysia. Isyarat
pendahuluan yang diberikan kedua pemerintah tersebut kepada Indonesia dirasa tidak
cukup. Kedua, dukungan yang memang sudah lama diberikan pemerintahan Kennedy
kepada Malaysia dan pengakuan segera diberikannya kepada federasi itu semakin
menegaskan kecurigaan Presiden Soekarno bahwa seluruh rencana Malaysia adalah
bagian dari “persengkongkolan para penjajah“. Di mata Presiden Soekarno
persengkongkolan macam itu dapat mengancam Indonesia, yang nota bene baru saja
membebaskan diri dari duka-derita penjajahan.

Terlepas dari apakah alasan Presiden Soekarno untuk menentang Malaysia dapat
dibenarkan atau tidak, kampanye anti-Malaysia jalan terus, dengan dukungan yang luas
dari dalam maupun luar negeri. Dukungan dalam negeri yang terbesar datang dari PKI
dan Angkatan Darat, sementara dukungan asing terutama datang dari negara-negara
komunis. Cina memuji kegigihan Indonesia untuk “mengganyang“ Federasi Malaysia
yang pro-Barat. Uni Soviet pun mendukung tekad Indonesia itu, sambil berharap bahwa
dengan adanya tekad itu Jakarta akan semakin tergantung pada Moskow. Dukungan itu
sekaligus dimaksudkan untuk menunjukkan kepada bangsa-bangsa Asia dan Afrika
bahwa Uni Soviet akan selalu mendukung mereka dalam perjuangan anti imperialisme.
Dukungan semacam itu tentu saja mengkhawatirkan para pembuat kebijakan luar negeri
AS. Dukungan tersebut menegaskan keyakinan mereka bahwa kebijakan Washington
terkait masalah Malaysia tidak hanya akan mempengaruhi hubungan AS – Indonesia
tetapi juga persaingan negara tersebut dengan Blok Komunis dalam memperebutkan
ruang pengaruh. ( Baskara T Wardaya, 2008 : 319 – 328 )

Pada awalnya Angkatan Darat tidak terlampau bersemangat menanggapi “konfrontasi”


terhadap Malaysia, tetapi secara bertahap pimpinan Angkatan Darat turut melakukan
tekanan-tekanan militer yang makin kuat terhadap Sabah dan Sarawak selama tahun
1963. Ketika pertikaian mendadak berubah Bulan September 1963, pimpinan Angkatan
Darat berpendapat bahwa sepanjang konflik tidak berkembang menjadi perang “terbuka’,
iklim politik dapat dieksploitasi untuk mengukuhkan posisi politik Angkatan Darat
sambil menerima persenjataan dan perlengkapan baru. Jadi, pimpinan Angkatan Darat
menerima politik konfrontasi terbatas sambil tetap waspada mencari jalan yang
memungkinkan penyelesaian melalui perundingan. Tetapi keputusan presiden dan para
penasehat terdekatnya untuk mendaratkan penyusupan bersenjata ke Semenanjung
Malaya merupakan peningkatan konflik militer yang terjadi di luar persetujuan pimpinan
Angkatan Darat dan ini menunjukan bahwa mereka tidak lagi memegang kendali untuk
mencegah permusuhan. Kesediaan untuk menyetujui kebijakan presiden mendadak
dihadapkan kepada tanda tanya, ketika ada kemungkinan bahwa mereka terlibat dalam
suatu konflik yang lebih besar daripada yang dapat mereka kuasai.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 14
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tanda-tanda pertama bahwa Soekarno mempertimbangkan untuk menjalankan taktik


yang lebih agresif dalam konflik dengan Malaysia, tampak dalam bulan Mei 1964. Pada
tanggal 3 Mei presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora), yang
memanggil para sukarelawan Indonesia untuk turut “mengganyang negara boneka
”Malaysia”. Pada tanggal 16 Mei, ia membentuk Komando Siaga (Koga) dan dipimpin
oleh Panglima Angkatan Udara Omar Dhani dengan kekuasaan yang besar, meliputi
kekuasaan atas pasukan-pasukan di Sumatra, Kalimantan dan Jawa Mesikpun seorang
perwira Angkatan Darat, Brigadir Jendral Achmad Wiranatakusumah telah ditunjuk
sebagai wakil komandan Koga, pembentukan komando ini dinilai oleh pimpinan
Angkatan Darat sebagai suatu usaha untuk mengurangi kemampuan mereka
menghalangi kampanye militer/ Mengingat implikasi yang mungkin timbul dari
pembentukan Koga, yani dengan tegas menolak dan membujuk Soekarno untuk
mengeluarkan suatu surat perintah baru pada tanggal 2 Juni, yang berisi penegasan bahwa
fungsi Koga dibatasi hanya untuk “membalas“ sekiranya terjadi serangan dari pihak
Inggris. Koga tetap merupakan organisasi di atas kertas hingga terjadinya krisis akibat
pendaratan di Semenanjung Malaya pada tanggal 17 Agustus.

Keputusan untuk mendaratkan penyusup di Malaysia Barat pada tanggal 17 Agustus dan
sekali lagi pada tanggal 2 September, benar-benar merisaukan pimpinan Angkatan Darat,
yang dengan segera mulai mempertimbangkan upaya untuk mencegah serangan-serangan
yang memancing di masa mendatang. Dengan cepat disusun saran untuk mendapatkan
persetujuan Soekarno untuk mengubah organisasi Koga, agar Angkatan Darat dapat
memengaruhi pelaksanaan operasionalnya. Pimpinan Angkatan Darat menyembunyikan
maksud yang sebenarnya dan mencatumkan rencana mereka dalam bentuk rekomendasi
yang disusun untuk meningkatkan efisiensi komando. Setelah kegagalan pendaratan-
pendaratan di Malaysia Barat, Omar Dhani berada dalam posisi yang lemah untuk
melawan tekanan-tekanan pihak Angkatan Darat yang menuntut suatu perubahan dan
presiden pun bersikap menerima rencana baru tersebut.

Setelah membahasnya dengan Koga, Soekarno menyatakan persetujuan pada bulan


Oktober untuk merencanakan penggantian model Kolaga yang pernah ada di bawah
Soeharto pada masa perjuangan merebut Irian Barat. Jika Koga adalah suatu komando
fungsional dengan tugas untuk menyerang balik Inggris andaikata serangan itu terjadi,
maka konsep “Mandala” mengandung arti bahwa Kolaga mempunyai kekuasaan atas
segenap kekuatan pasukan keempat angkatan dalam wilayah komando badan tersebut,
tetapi tidak berkuasa atas daerah-daerah di luar itu. Sumatra dan Kalimantan termasuk
dalam wilayah Kolaga, tetapi Jawa tidak. Selain itu juga diputuskan untuk menyediakan
dua pasukan komandan tempur, satu di Sumatra dan yang satunya lagi di Kalimantan.
Akhirnya status kepemimpinan Kolaga juga ditingkatkan dengan penunjukan Mayor
Jendral Soeharto sebagai wakil pertama sejak bulan Januari 1965.

Menurut Omar Dhani bahwa pengorganisasian kembali ini bahwa “ …di atas kertas ada
kemajuan dan perbaikan tetapi secara praktis tetap ada 1001 kesulitan. Pengangkatan
Soeharto, seorang perwira tinggi paling senior di antara perwira-perwira Angkatan Darat
lainnya selaku panglima Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad),
melemahkan kekuasaan Omar Dhani terutama karena semua pasukan yang dipakai dalam

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 15
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

operasi-operasi harus dipindahkan ke Kostrad sebelum dikirimkan ke wilayah


“Mandala”. Dengan terbatasnya kekuasaan Kolaga yang hanya meliputi Sumatra dan
Kalimantan, jelas ia tidak berwenang memobilisasi pasukan dari Jawa secara langsung
tetapi harus memintanya dahulu kepada komandan-komandan kesatuan. Omar Dhani
mengatakan bahwa pada bulan Maret 1965 tidak semua pasukan yang diminta Kolaga
bulan Oktober sebelumnya, dikirim oleh Angkatan Darat dan bahwa brigade dari Jawa
Tengah yang tiba dalam bulan Desember 1964 tidak berada dalam kondisi siap tempur.
Keluhan Omar Dhani itu diperkuat oleh pengadilan atas Brigadir Jendral M.S, Supardjo
tahun 1967, yang menjadi komandan dari pasukan komando di Kalimantan. Menurut
Supardjo, pimpinan Angkatan Darat telah :menyabot operasi-operasi dengan jalan
mengizinkan komandan-komandan setempat menahan pasukan-pasukan di bawah
komando masing-masing, sekalipun telah ada perintah-perintah resmi untuk
memindahkan pasukan tempur. Sepanjang tahun 1963, penentangan terhadap kekuasaan
Omar Dhani tetap dilakukan oleh pimpinan Angkatan Darat. Dalam bulan Juli Yani
menetapkan pembatasan-pembatasan terhadap peranan Kolaga dengan menyebutkan
bahwa “tugas utamanya” adalah “pada saat yang tepat menyerang dan menghancurkan
Singapura.”Setelah suatu pertemuan dengan presiden di mana Soeharto menggambarkan
Omar Dhani sebagai pemimpin yang “tidak tepat”, dibentuk suatu panitia yang dipimpin
Nasution untuk mencari kegagalan kerja Kolaga secara diam-diam.

Operasi-operasi Kolaga dilaksanakan oleh dua pasukan komando tempur di Sumatra dan
Kalimantan. Komando Sumatra yang berpangkalan di dekat kota Medan telah diberikan
wewenang formal untuk “mempersiapkan diri menyerang Malaysia dalam rangka
menghancurkan apa yang disebut sebagai negara boneka”. Komandannya, Brigadir
Jendral Kemal Idris, sejak lama merupakan penentang presiden dan ternyata tidak begitu
bersimpati terhadap kampanye anti-Malaysia. Menurut Omar Dhani, Kemal Idris telah
menunda pemindahan pasukan ke Sumatra dengan alasan bahwa akomodasi untuk
mereka tidak tersedia. Selain itu rencana-rencana persiapan penyeberangan tidak pernah
berkelanjutan karena pimpinan Angkatan Darat tidak memberikan peralatan untuk
penyeberangan melalui selat. Jadi, jelas bahwa pimpinan Angkatan Darat dengan sengaja
memilih Kemal Idris untuk memimpin pasukan “penyerbu” dengan maksud untuk
menjamin bahwa penerbuan tidak pernah akan terjadi karena yakin ia tidak akan
terpengaruh oleh Soekarno.. Walaupun demikian, pengangkatan Brigadir Jendral
Supardjo di Kalimantan dalam bulan November 1964 mungkin merupakan suatu konsesi
besar bagi Omar Dhani dan presiden. Supardjo dikenal sebagai perwira kiri yang setia
kepada presiden. Tetapi pimpinan Angkatan Darat ternyata memperhitungkan bahwa
mereka dapat “membiarkannya kelaparan akan perlengkapan“, sehingga ia akan terbatas
dalam pengunaan kesatuan-kesatuan dari Angkatan Udara, Angkatan Laut, Kepolisian
dan “ sukarelawan”. Lebih jauh Yani menjamin pengangkatan para komandan daerah
militer yang terpercaya di daerah perbatasan. Panglima wilayah Kalimantan, Mayor
Jendral Maraden Panggabean dan Panglima Kalimantan Barat Brigadir Jendral Ryacudu,
kedua-duanya adalah kepercayan Yani sementara panglima Kalimantan Timur yang agak
kiri, Brigadir Jendral Sihardjo dikirim ke Moskow untuk belajar pada bulan Februari
1965 dan diganti dengan Brigadir Jendral Sumitro. Akhirnya pada bulan September 1965
kebebasan Supardjo lebih dibatasi lagi ketika suatu komando baru dibentuk dalam

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 16
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kolaga yang dipimpin Kemal Idris, dengan kekuasaan atas seluruh pasukan darat di
Sumatra dan Kalimantan.

Dengan demikian, selama tahun 1964 dan 1965 pimpinan Angkatan Darat telah
mengadakan serangkaian manuver untuk merusak efektivitas pelaksanaan kebijakan
konfrontasi. Sementara mereka menghormati sikap presiden yang tidak menghendaki
Indonesia jatuh kedalam peperangan besar-besaran, mereka kurang yakin akan
penilaiannya terhadap situasi setelah ia menyuruh dilakukan pendaratan di Semenanjung
Malaya yang secara militer tidak efektif, bahkan provokatif. Jadi, pimpinan Angkatan
Darat berusaha mengekang kekuasaan perwira-perwira seperti Omar Dhani dan
Supardjo, yang memiliki posisi-posisi yang memungkinkan mereka mengambil prakarsa
yang dapat mengakibatkan perluasan konflik yang mau tak mau akan melibatkan
Angkatan Darat, Keberhasilan pimpinan Angkatan Darat untuk membatasi keterlibatan
anggota-anggota Angkatan Darat secara aktif selama kampanye, tampak dari para
tahanan yang dipulangkan ketika mencapai penyelesaian masalah Malaysia di tahun
1966. Dari jumlah 546 jumlah tahanan asal Indonesia, hanya 21 orang anggota Angkatan
Darat. ( Harlod Crouch , 1986 : 75 – 79 )

Keluar dari PBB

Tahun 1965 dimulai dengan keputusan presiden yang dramatis. Pada tanggal 31
Desember 1964, sewaktu suatu pertemuan massa, Soekarno mengumumkan kalau
Malaysia tahun berikutnya akan menjadi anggota Dewan Keamanan, ia akan menarik
negaranya dari Perserrikatan Bangsa-Bangsa. Soekarno memang memegang janjinya
pada tanggal 7 Januari ia memutuskan bahwa Indonesia menarik diri dari perserikatan
internasional ini. Sesuatu yang mengejutkan bagi semua, bahkan untuk menteri Luar
Negeri Subandrio sekali pun. Bahwa Malaysia pada tahun 1965 akan menjadi anggota
sementara Dewan Keamanan, jelas sudah diketahui lama sebelum itu. Sugesti Subandrio
adalah untuk, sebagai protes, selama tahun itu memboikot semua rapat PBB. Dengan
harapan bahwa presiden masih mau menerima usul ini, dua minggu lamanya ia
menyimpan surat dengan mana hubungan dengan PBB diputus secara radikal. Tetapi
Soekarno bersikeras.

Keputusan keluar dari PBB ini mendapatkan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat
waktu itu. Hingga tidak heran ribuan mahasiswa, pemuda, buruh, dan tani keesokan
harinya turun ke jalan-jalan membawa spanduk sambil mengutuk PBB. Keluarnya
Indonesia dari PBB sebagai reaksi terpilihnya Malaysia jadi anggota tidak tetap DK-PBB.
Ini menjadi tamparan buat politik konfrontasi RI. Keputusan ini diucapkan di hadapan
lebih dari 10 ribu massa rakyat dalam sebuah rapat umum “Anti Pangkalan Militer Asing
“ di Istora Senayan. ( Efantino F & Arifin SN , 2009 : 64 )

Baru kali ini sebuah negara keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Malah tidak ada
prosedur untuknya. Dalam sejarah PBB sampai pada tahun 1965 itu, memang belum
pernah ada presiden tentang keluarnya sesuatu negara dari keanggotaan organisasi itu.
Seperti diketahui, Piagam OBB tidak memuat ketentuan yang mengatur masalah

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 17
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

keluarnya sesuatu anggota dari organisasi itu. Seperti diketahui, Piagam PBB tidak
memuat ketentuan yang mengatur masalah keluarnya sesuatu anggota dari organisasi itu.
Tidak adanya ketentuan demikian mungkin dimaksudkan oleh para pendirinya, agar PBB
tidak mengalami kelumpuhan karena keluarnya anggota-anggota penting, seperti yang
pernah dialami oleh para pendirinya, agar PBB tidak mengalami kelumpuhan karena
keluarnya anggota-anggota penting, seperti yang pernah dialami Liga-Liga Bangsa.
Meskipun demikian, keluarnya sesuatu negara dari keanggotaan PBB mungkin, oleh
karena meskipun Piagam tidak mengaturnya, namun dari perdebatan-perdebatan selama
Konferensi 50 Negara di San Fransico pada tahun 1945 tentang pendirian organisasi itu,
ternyata bahwa “organisasi ini sama sekali tidak berminat memaksa anggotanya untuk
melanjutkan kerja samanya dalam organisasi bilamana anggota itu, sebagai akibat dari
keadaan-keadaan yang luar biasa, merasa terpaksa untuk mengundurkan diri.”
Berdasarkan kenyataan di atas, maka meskipun sesungguhnya tidak dikehendaki oleh
organisasi itu keluarnya sesuatu anggota bukan tidak mungkin. (Marwati Djoened
Posponegoro dan Nugroho Notosusanto , 1990 :363 )

Pada tanggal 21 Januari 1965, wakil Indonesia di PBB, Nico Palar menyerahkan kepada
sekretaris jendral surat dari presiden yang memberitakan dengan resmi keluarnya
Indonesia dari PBB dan semua organisasinya. Dunia Ketiga sulit mengerti langkah
radikal Soekarno ini. Dengan sia-sia Tito, Nasser dan Bandranaike bersama-sama
mendesak presiden Indonesia untuk mempertimbangkan kembali keputusannya.
( Lambert J Giebels , 2005 : 20 – 30 ). Ketua Dewan Menteri USSR, A.N. Kosigyn,
telah mengirimkan pesan khusus kepada Soekarno.Uni Soviet dan negara-negara sosialis
lainya dengan tepat telah menilai, bahwa “langkah yang dratis ini” akan langsung
digunakan baik untuk kepentingan-kepentingan yang merugikan Indonesia sendiri,
maupun seluruh barisan anti-imperialis..( Kapitsa M.S. & Maletin NP , 2009 : 279 )

Satu-satunya negara yang mendukung langkah Soekarno ini adalah Republik Rakyat
Tiongkok – apakah pembatalan keanggotaan PBB menjadi bagian dari “deal” antara
Soekarno dan para pemimpin Cina sehubungan dengan penyelenggaran Conefo? Cina
memuji tindakan Soekarno yang berani. Secara terselubung ia mengemukakan bahwa
Cina, Indonesia, Vietnam Utara dan Korea Utara, yang bersama-sama memiliki sepertiga
dari jumlah penduduk dunia, semuanya tidak menjadi anggota PBB dan mungkin bisa
mendirikan sebuah organisasi bangsa-bangsa bersaing – yang di maksud di sini mungkin
Conefo. Akhir bulan Februari 1965 Subandrio dengan sebuah delegasi yang terdiri dari
40 orang, termasuk diantaranya empat menteri mengadakan kunjungan resmi ke Beijing.
Orang-orang Cina menerima mereka dengan segala kehormatan, lengkap dengan acara
makan yang mewah dan resepsi. Ada perundingan-perundingan dengan perdana menteri
Chou En lai, dengan menteri Luar Negeri marsekal Chen Yi, tetapi juga dengan staf
angkatan perang. Dalam komunike penutup dengan nada mengancam dinyatakan bahwa
rakyat Cina tidak bisa menerima andaikata kaum imperialis Amerika dan Inggris
menjerumuskan Indonesia dalam peperangan. Konunike penutup ini tidak hanya
berbicara tentang kerja teknis, peningkatan hubungan dagang dan perluasan jaringan
hubungan perkapalan, tetapi juga “kerja sama di bidang militer.” ( Lambert J Giebels ,
2005 : 29 – 31 )

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 18
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Walaupun dalam konsepsi-konsepsi politik luar negeri Soekarno terdapat banyak


kecocokan dengan Peking, adalah tidak tepat untuk menilai. bahwa presiden Indonesia
telah menyelaraskan garis politiknya dengan RRT. Berdekatan dalam beberapa hal
dengan posisi dari para pemimpin RRT, Soekarno selalu berusaha untuk
mempertahankan kebebasannya dan juga kemungkinan untuk mengadakan politik
imbangan kekuatan antara Cina dan dengan blok sosialis, antara Barat dengan negara-
negara sosialis, dengan demikian bisa mencapai tujuannya sendiri. Demikianlah, kalau
pimpinan RRC menandaskan, bahwa pusat perhatian gerakan revolusioner dunia seakan-
akan telah bergeser dari Barat ke Timur, khususnya ke Cina sebagai negara terbesar dan
yang lebih revolusioner maka Soekarno lebih mengutamakan nasionalisme Indonesia,
dan tidak berminat untuk menyerahkan kepemimpinan ini kepada hegemoni khan-agung.
Ia menyatakan, bahwa sambil menjalankan politik konfrontasi Malaysia, Indonesia telah
menjadi mercusuar bagi seluruh dunia dan umat manusia dan telah menduduki tempat
utama di kalangan negara Asia, Afrika, Amerika Lain, dan negara-negara sosialis.

Soekarno menyatakan bahwa “musuh nomor 1“ dari neokolonialisme dan imperailisme


pada tahun 1965 adalah Indonesia, kepada siapa mereka telah “ mengarahkan seluruh
kebenciannya“, walaupun dulu “mereka takut pada Moskow”, bahwa Revolusi Indonesia
akan menentukan revolusi umat manusia. Sambil menahas nafas, dunia memalingkan
mukanya ke Jakarta sebab hari–ininya Jakarta adalah hari-esoknya Asia-Afrika’ demikian
ia menandaskan. Mengumandangkan Revolusi Indonesia sebagai “revolusi terbesar “,”
Revolusi rakyat abad ke-20”, Soekarno telah berusaha untuk mengalasi “haknya atas
kepemimpinan dalam perjuangan Nefo melawan Oldefo yang “terpusatkan dia Asia
Tenggara.” Soekarno berusaha untuk berspekulasi dengan perjuangan heroik rakyat
Vietnam melawan agresi AS untuk mendasari perangkat-perangkat teorinya. Ia
menyatakan, bahwa Indonesia dan Republik Demokrasi Vietnam berada di garis depan
dalam melawan imperialisme.

Dalam perayaan Hari Wanita Sedunia, presiden mengatakan bahwa rakyat Indonesia
benar-benar bertekad untuk mengganyang Malaysia, bahwa tidak seorang sularelawan
dengan rencana untuk menyelenggarakan pertemuan baru antar pimpinan kedua negara,
telah diorganisasi banjir surat dari “berbagai wakil rakyat Indonesia” di mana telah
diminta agar Soekarno tidak pergi ke pertemuan dengan Abdul Rachman dan terus
menjalankan politik ”ganyang Malaysia“

Group-group diversi Indonesia telah mengaktifkan inflitrasinya ke kawasan Malaysia,


Soekarno telah berposisi untuk memperhebat politik konfrontasi, agar suapaya “ api
revolusi : menjalar ke seluruh kawasan Asia Tenggara. Ia mengatakan bahwa Malaysia
didirikan oleh Inggris dengan bantuan “lem dan gunting “, dan politik konfrontasi akan
mempercepat kehancurannya.

Namun apa yang disebut “kehancuran” Malaysia justru muncul karena perpecahan dari
dalam, dan bukan karena politik konfrontasi Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus,
Singapura telah menyatakan keluar dari Federasi. Ini merupakan akibat dari menajamnya
pertentangan antara elite borjuis-fedodalis Maalaya dengan borjuis Cina-Singapura.
Sesudah keluarnya Singapura dari Federasi, Indonesia tidak mau mengakui negara baru

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 19
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ini, dari satu segi karena mendengarkan Peking, sedang dari pihak lain, ia berusaha untuk
mempertahankan adanya konflik luar negeri yang diperlukan

Politik konfrontasi, yang dimaksudkan untuk mendukung dan mempertahankan persatuan


nasional, pada kenyatannya justru telah mempercepat diferensiasi politik dalam negeri
dan memunculkan ledakan-ledakan politik. Konfrontasi dengan Malaysia telah menelan
80 % dari anggaran belanja negara dan telah mengancam negara ini ke arah kehancuran
ekonomi. Politik ini telah membawa ke arah menguatnya posisi ekonomi dari kaum
militer dan juga kapitalis birokrat, yang telah berkembang menjadi kukuatan yang
dominan di negeri ini.

Blok kaum kanan dalam tahun-tahun “demokrasi terpimpin“ telah benar-benar begitu
mencuat, sehingga telah mulai berani menilai Soekarno dan atribut-atribut revolusioner
dari sistem ini sebagai sesuatu “yang sudah tidak diperlukan lagi.” Kaum kanan sangat
khawatir, karena Soekarno telah memberikan kepada PKI kemungkinan hidup. Dan
bahkan pada waktu-waktu tertentu telah menyebabkan PKI dan ormas-ormas kiri menjadi
kuat, juga telah memberikan semangat kepada mereka dalam aksi-aksi melawan “kabir”
dan tuan tanah, aksi-aksi yang bisa lepas dari kontrol. Dengan makin bertambah kuatnya
blok kanan, maka pengambilan kekuasaan negara ke tangan mereka sendiri telah menjadi
sebuah keharusan. Perdamaian sementara berdasar kompromi dan yang tercerminkan di
dalam pelaksanaan politik konfrontasi dengan Malaysia, tidak bisa berjalan langgeng.
( Kapitsa M.S. & Maletin N.P., 2009 : 283 – 286 )

Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan tambahan pasukan ke


Kalimantan Utara setelah menerima permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia
menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australia Special Air Service.
Ada sekitar 14.000 pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara
resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerangan melalui
perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun
Australia, masuk secara rahasia.( Efantino & Arifin SN , 2009 : 65 )

Pada tanggal 8, Maret, Kopral KKO Usman, Harun dan Gani ditugaskan untuk
melakukan sabotase di Singapura dengan sasaran yang sebelumnya ditetapkan. Mereka
pun berangkat dengan menggunakan perahu karet dan 12,5 kilogram bahan peledak. Pada
10 Maret, mereka berhasil meledakan Mc Donald House yang terletak di pusat kota
Singapura yang padat. Saat melarikan diri, Usman dan Harun menuju pelabuhan,
sedangkan Gani menuju arah lain. Harun dan Usman berhasil merampas sebuah motor
boat menuju Pulau Sumbu. Tetapi sayangnya, motor tersebut rusak. Mereka pun akhirnya
tertanggal pada tanggal 13 Maret dan diadili dengan hukuman mati. ( Tim Redaksi
Pustaka Timur, 2009 : 45 , 164). Serangan ini menyebabkan 3 orang tewas dan 33 orang
luka-luka. Peristiwa ini mengejutkan Pemerintah Singapura yang baru saja melepaskan
diri dari Federasi Malaysia.

Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni,
mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 20
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Diraja dan Keplosian North Borneo Armed
Constabulary. Tentara Indonesia gagal dan terpaksa kembali ke perbatasan.

Selanjutnya pada 1 Juli 1965, Angkatan Laut Indonesia melakukan penyerbuan ke


Pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Sampurna, Malaysia. Angkatan Laut Malaysia
berhasil bertahan. Pengepungan ini berlangsung terus menerus sampai 8 September 1965.
Kesulitan untuk melumpuhkan Angkatan Laut Malaysia membuat Angkatan Laut
Indonesia akhirnya mengundurkan diri.

Kegagalan-kegagalan tentara Indonesia menyerbu Malaysia menimbulkan kekecewaan


pada Presiden Soekarno karena sebelumnya Presiden Soekarno menginginkan bahwa
sebelum 1 Januari 1965, Malaysia harus sudah lenyap. Berita tersebut tentu saja membuat
pamor angkatan perang Indonesia menurun. Presiden Soekarno semakin curiga pada
Angkatan Darat yang dianggap tidak serius dalam menyerbu Malaysia. ( Efantino F &
Arifin SN , ,2009 : 65 – 66 )

Sifat kampanye yang setengah hati serta kekangan yang diberlakukan komando tinggi
angkatan bersenjata mencegah semakin meningkatnya permusuhan ini “ini perang kecil
jika melihat korban yang ada.” Namun demikian, Soeharto ahli dalam menjaga citranya
sebagai komandan yang sibuk. Soekarno, Angkatan Udara dan Angkatan Laut yang
mendapat porsi sangat besar dalam operasi Konfrontasi mengetahui kurangnya antusiame
Angkatan Darat dalam kampanye ini. Tetapi, bahkan sebelum dia memberi bantuan,,
Soeharto bertekad, “mungkin dengan persetujuan Jendral Yani“, melaksanakan strategi
baru dan lebih lihai yang dirancang agar tampak menjadi kelanjutan Konfromtasi dengan
cara lain, namun sebenarnya – entah sengaja atau tidak, pada tahap ini, peluang tetap
dibiarkan terbuka – merupakan langkah awal dalam merundingkan sebuah akhir dari
keinginan Indonesia untuk berperang. Pada Agustus – September 1964, di bawah
kepemimpinan dan arahan asisten inteljen Soeharto di Kostrad Ali Moertopo, dan tidak
pelak lagi atas sepengetahuan dan sepertujuan Yani, bersama dengan Benny Moerdani
dan Letkol Abdul Rachman Ramly untuk membangun kontak tertutup dengan Malaysia.
Melalui perantaraan orang asing yang dulu terkait pemberontakan PRRI – seperti Des
Alwi dan Sumitro Djojohadikusumo – hubungan diresmikan oleh tokoh senior Malaysia
seperti Tun Abdul Razak dan kepala Kementerian Luar Negeri Malaysia, Ghazalie
Shafie. Tujuannya sederhana meyakinkan pemerintah Malaysia dan sponsor Inggris
bahwa dukungan atas konflik oleh Angkatan Bersenjata Indonesia bukan berasal dari
keyakinan dan tidak dilaksanakan dengan antuniasme; ABRI tidak ingin konflik semakin
memanas, dan ingin mencari cara membuka perundingan dengan Malaysia untuk
mengakhiri pertikaian. Pada November, Moertopo dan salah satu rekan karibnya – asisten
Kostrad lain Kol Tjokropranolo, melakukan negoisasi rahasia dengan pejabat Malaysia
untuk memastikan bahwa tidak ada peningkatan konflik dari kedua belah pihak. Pada
awal 1965, Yoga Sugama, ketika tugasnya sebagai atase militer di Yugoslavia selesai,
direkut Soeharto untuk bergabung dan mengepalai tim inteljennya menggantikan
Hernomo sebagai asisten I Kostrad. Bersama Soeharto dan Ali Moertopo, Yoga selesai
membentuk tim yang akan melaksanakan negoisasi.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 21
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Berupaya lewat tataran lain, Soeharto kelak mengklaim bahwa dia “ ubah (strategi)
dengan pembentukan kantong-kantong lebih dulu, dengan menghubungi orang-orang
Malaysia yang pro-Republik, tampaknya merupakan usaha untuk menyusup dari
belakang. Dengan sangat mengandalkan tim inteljennya, pada awal 1965 Soeharto
memerintah pendirian sebuah agen di Bangkok, di mana Benny Moerdani membuat
beberapa usaha sekadarnya untuk mengirim agen ke Malaysia dengan hasil yang tidak
bisa dibilang sukses. Tampaknya sangat mungkin usaha-usaha ini dilakukan bukan untuk
meningkatkan Konfrontasi, melainkan untuk menutupi negoisasi lebih dalam yang
sedang terjadi pada saat bersamaan. Sementara itu, usaha diplomasi internasional untuk
mendapat solusi bersama mulai memudar tanpa ada keberhasilan.

Tanggung jawab Soeharto atas Konfrontasi juga memiliki tujuan komersil. Posisinya
sebagai deputi I Kolaga dan panglima Kostrad membuat dia memegang kendali efektif
terhadap hasil wilayah perkebunan besar di Sumatra Utara dan Kalimantan, dan
kemampuan untuk menyelundupkan jumlah besar hasil bumi ini ke Malaysia, yaitu pada
saat ketika hubungan komersial formal telah terputus dengan dibentuknya Malaysia pada
September 1965. Mungkin bukan kebetulan bahwa Tien Soeharto mengunjungi Sumatra
Utara pada saat Konfromtasi. Melalui tim Opsusnya, Soeharto mengembangkan kegiatan
komersial menguntungkan yang tampaknya terkamufalse oleh kegiatan inteljen Ali
Moertopo yang berbasis di Medan dengan Kopur II membawa karet dan barang-barang
pertanian utama lainnya ke Malaya. Sejarah resmi Kostrad mencatat :” Tenaga yang
digunakan untuk pelaksanaan tugas ini 95 % orang-orang Cina Nelayan dan bersama
mereka menyamar Sukarelawan-sukarelawan kita sebagai pedagang” Kedekatan
operasional antara inteljen dan perdagangan mungkin terjadi karena adanya kerancuan
otoritas. Menurut McDonald,” perdagangan ini tidak sepenuhnya tertutupi. Pada suatu
rapat kabinet Menteri Perdagangan Adam Malik menemukan sebundel dokumen bekas
cukai Singapura di pejabat militer, dan menuduh Angkatan Darat telah menggerogoti
Konfrontasi. ( R.E. Elson , 2001 : 186 – 188 ).

Penutup

Setelah Peristiwa 30 September 1965, militer, yang dipresentasikan oleh Jendral


Soeharto, menjadi pengambil keputusan yang paling penting, baik dalam politik dalam
negeri maupun luar negeri Indonesia. Tidak seperti Soekarno, Soeharto lebih menaruh
perhatian pada masalah pembangunan ekonomi dan mempertahankan hubungan
persahabatan dengan pihak Barat. Pemerintah baru, di bawah kepemimpinannya,
memperkenalkan kebijakan pintu terbuka di mana investasi asing ditingkatkan, dan
bantuan pinjaman dibutuhkan untuk merehabilitasi ekonomi. Ia dengan segera
menghentikan segera konfrontasi dengan Malaysia meskipun ia masih peduli dengan
masalah pangkalan militer asing di Asia Tenggara. ( Leo Suryadinata , 1998: 44 )

Pada pertengahan bulan Maret 1966, Jendral Soeharto membentuk kabinet baru dan
Menteri Luar Negeri Subandrio ditahan. Setelah perubahan politik pada bulan Maret
barulah Soeharto, menteri pertahanan, dan Adam Malik, menteri luar negeri, dapat
menangani persoalan kendatipun Presiden Soekarno masih mampu mengajukan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 22
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

keberatan-keberatan. Pembicaraan pendahuluan di Bangkok pada akhir April 1966 antara


Adam Malik dan menteri luar negeri Filipiina Narciso Ramos, dengan Ghazalie Shafie,
kepala tetap Kementerian Luar Negeri Malaysia yang berlangsung secara rahasia. Adam
Malik di depan publik menyatakan bahwa stabilisasi ekonomi yang mendasar tidak akan
sesuai dengan terus berlangsungnya kebijaksanaan konfrontasi. Kemudian Malik bertemu
dengan wakil perdana menteri Malaysia, Tun Abdul Razak di Bangkok pada akhir Mei,
setelah terlebih dahulu memperoleh isyarat bahwa Indonesia tak akan menuntut adanya
referendum di wilayah Kalimantan Utara, Untuk memperlihatkan pengikatan diri secara
terbuka kepemimpinan angkan bersenjata untuk mengkahiri konfrontasi, suatu delegasi
delapan perwira tinggi Indonesia dari Komando Ganyang Malaysia (KOGAM)
mengunjungi Kuala Lumpur dan kemudian berkunjung ke rumah Perdana Menteri
Tengku Abdul Rachman di Alor Star.

Ketika Adam Malik kembali ke Jakarta, Soekarno menyerang persetujuan itu sebagai
suatu kapitulasi dan menentang pengesahannya. Selanjutnya, persyaratan-persyaratannya
juga tak dapat diterima oleh kepemimpinan angkatan bersenjata yang mempertahankan
pendapat bahwa menteri luar negeri telah membuat konsesi yang tak dapat diterima oleh
akal sehat. Oleh karena itu, walaupun pemerintah Indonesia mampu mengakui Singapura
sebagai negara merdeka pada tanggal 5 Juni 1966, tak ada pengakuan yang sama
diberikan kepada Malaysia. Pertukaran lebih jauh dilakukan untuk Indonesia oleh para
perwira inteljen militer berlangsung untuk mengakhiri konfrontasi. Hanya setelah Majelis
Permusyawaratan Rakyat menghilangkan kedudukan politik Soekarno, yang melepaskan
gelarnya sebagai Presiden Seumur Hidup dan mengesahkan Soeharto sebagai
pelaksanaan eksekutif, maka perttikaian itu pada akhirnya berhenti.

Pada tanggal 11 Maret, Adam Malik dan Tengku Abdul Razak menandatangani suatu
persetujuan akhir di Jakarta yang memungkinkan penjalinan hubungan diplomatik normal
antara Indonesia dan Malaysia. Persetujuan ini membuat ketentuan yang lebih eksplisit
mengenai prasyaratan pemulihan hubungan. Malayia setuju memberikan rakyat Sabah
dan Sarawak “suatu kesempatan untuk menegaskan kembali, segera setelah dapat
dilaksanakan, dengan cara yang bebas dan demokratis melalui pemilihan umum
keputusan mereka sebelumnya tentang status mereka di Malaysia. Selain itu, pemerintah
Malaysia setuju akan ketentuan tambahan secara rahasia bahwa pemulihan hubungan
diplomatik didasarkan pada pemilihan di Kalimantan Utara, hal ini penting untuk
mengatasi sisa-sisa oposisi Soekarno dan memuaskan kebanggan militer. Kepastian
mengenai adanya ketentuan tambahan seperti itu nampaknya ditunjukan oleh penundaan
penjalinan hubungan diplomatik antara Jakarta dan Kuala Lumpur hingga tanggal 31
Agustus 1967, setelah pemilihan umum diselenggarakan di Sabah, tetapi tidak di
Sarawak. Persetujuan yang terakhir ini merupakan sarana menghindarkan malu secara
praktis yang menunjang tujuan-tujuan politik domestik pimpinan Indonesia yang baru.
Namun demikian, persetujuan Agustus 1966 menandai pengakhiran konfrontasi secara
praktis dan suatu petunjuk yang jelas mengenai arah kebijaksanaan luar negeri Indonesia
yang baru didasarkan pada prioritas yang berbeda, walaipun tidak sepenuhnya demikian,
dari prioritas yang diambil oleh pemerintahan dan pribadi Presiden Soekarno. ( Michael
Leifer , 1989 : 156 - 159 )

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 23
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Konfrontasi terhadap Malaysia yang dilakukan Presiden Soekarno merupakan tindakan


patriotis dalam membela martabat dan harga diri bangsa dan negara Indonesia.
Penghinaan rakyat dan pemimpin Malaysia terhadap Indonesia dengan merobek-robek
foto Presiden Soekarno, dan tindakan pemimpin Malaysia, Tengku Abdul Rachman yang
menginjak-injak Garuda, lambang Negara Indonesia merupakan tindakan penghinaan
yang luar biasa. Memang konfrontasi Indonesia tidak memberi kemenangan bagi
Indonesia ttetapi tindakan rakyat dan pemimpin Indonesia ketika itu, Presiden Soekarno,
memberi pelajaran kepada rakyat dan pemimpin Malaysia agar tidak bertindak sewenang-
wenang kepada Indonesia.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 24
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bibliografi

Crouch, Harlod. 1986. Militer dan Politik Di Indonesia. Jakarta : Penerbit


Sinar Harapan .

Djiwandono, J Soedjati. 1996. Konfrontasi Revisited. Indonesia”s Foreign


Policy Under Soekarno. Jakarta : CSIS.

Elson, R.E. 2001. Suharto. Sebuah Biografi Politik. Jakarta : Minda.

Giebels, Lambert J. 2005. Pembantaian Yang Ditutupi Peristiewa Fatal


Di Sekitar Kejatuhan Bung Karno. Jakarta : Grasindo.

F, Efantino & Arifin SN. 2009. “ Ganyang Malaysia” Hubungan Indonesia-


Malaysia Sejak Kjonfrontasi Sampai Ambalat. Yogyakarta : Bio
Pustaka

Legge, John D. 1985. Sukarno Sebuah Biografi Politik. .Jakarta : Penerbit


Sinar Harapan.

Leifer, Michael. 1989. Politik Luar Negeri Indonesia . Jakarta : PT Gramdia .


Mackie, J.A.C. 1974. Konfrontasi. The Indonesia-Malaysia Dispute 1963 –
1966. Kuala Lumpur : Oxford University Press.

Mukmin, Hidayat . 1991. TNI Dalam Politik Luar Negeri . Studi Kasus
Penyelesaian Konfrontasi Indonesia - Malaysia. Jakarta : Penerbit
Sinar Harapan.

M.S., Kapitsa & Maletin N.P. 2009 . Soekarno Biografi Politik . Bandung
Ultimus .

Poesponegoro , Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed) Sejarah


Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka “

Rickles, M.C. 1991. Sejarah Modern Indonesia .Yogyakarta : Gadjah Mada


University Press.

Suryadinata, Leo. 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto .


Jakarta : LP3ES.

Sundhausen, Ulf. 1986. Politik Militer Indonesia 1945 – 1967 . Mwnuju Dwi
Fungsi .Jakarta : LP3ES.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 25
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Winda, D.A. 2009. Profil 143 Pahlawan Indonesia. Yogyakarta : Pustaka


Timur

Wardaya, Baskara T. 2008. Indonesia Melawan Amerika. Konflik Perang


Dingin , 1953 – 1963. Yogyakarta : Galang .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 26
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like