You are on page 1of 21

Peter Kasenda

Soekarno, Sejarah dan Kontroversi

Tidak setiap orangpun dalam peradaban


modern ini yang menimbulkan demikian
banyak perasaan pro dan kontra seperti
Soekarno. Aku dikutuk seperti bandit
dan dipuja sebagai dewa .

(Soekarno,,1965)

Sebagaimana diketahui istilah “sejarah” mengacu pada dua hal, yakni pertama, sejarah
sebagai res gestae, yaitu sebagai peristiwa yang benar-benar telah terjadi dan kedua,
sejarah sebagai rerum regustarum ,yakni kisah daripada peristiwa yang disebutkan tadi.1
Peristiwa masa lampau sudah tidak bisa mempunyai arti kalau tidak ditulis dan
dihadirkan lagi untuk masa kini. Tidak bisa disangkal peristiwa masa lampau yang sudah
berlalu tidak seluruhnya dapat diketahui. Hanya ada sisa dari masa lampau. Kendati pun
demikian, kenyataan itu tidak membuat orang surut untuk menulis peristiwa masa
lampau. Tetapi untuk apa peristiwa masa lampau ditulis ?

Dalam buku Soekarno,, An Autobiography as told as Cindy Adams (1965) yang terbit
ketika Soekarno berada di puncak kekuasaan, Soekarno menyatakan maksud dan
pengerjaan autobiografi agar orang bisa memperoleh pengertian yang lebih baik tentang
Soekarno dan untuk memperoleh simpati. Karena buku tersebut ketika Soekarno
berkuasa, para pengeritiknya menyatakan bahwa buku yang menceritakan Soekarno
berasal dari keturunan kelas berkuasa dan Soekarno pantas berkuasa. Sebagaimana yang
dilakukan raja-raja Jawa yang berkuasa tempo dulu, ketika pujangga istana menulis
babad (sejarah) untuk kepentingan rajanya.

Ketika Soekarno berada diakhir kekuasaan, sebuah koran mahasiswa Bandung


Mahasiswa Indonesia ,mengadakan de-Soekarnoisasi dengan menggugat hak sejarah
Soekarno agar dapat memimpin Indonesia.

Dengan menonjolkan dirinya seolah-olah keturunan yang sah raja-raja di Jawa


dan Bali, Soekarno memperoleh dukungan dan kesetiaan sebagian rakyat
Indonesia yang masih beralam pikiran feudal. Oleh karena itu tak mengherankan
pula bahwa Soekarno mempertahankan dan bahkan memperkembangkan iklim
feudal di manapun ia berada, baik dalam kehidupan istananya maupun dalam
pemerintahannya, serta setia pada setiap kemunculan di depan rakyat banyak. Ini
sengaja dimaksudkan untuk membina kultus individu dan memperkuat kedudukan
Soekarno.2

1
Nugroho Notosusanto .Sejarah Demi Masa Kini. Jakarta : UI Press, 1979,hal. 2.
2
Francois Raillon. Politik dan Ideologi. Mahasiswa Indonesia . Pembentukan dan
Konsolidasi Orde Baru . Jakarta : LP3ES, 1989, hal. 136.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 1
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Menurut Mahasiswa Indonesia, ada sederetan mitos mengelilingi Soekarno; tentang asal
usulnya, peranannya sebagai Bapak Bangsa, dan lain-lain. Bertolak dari anggapan bahwa
kenyataan diri dari Soekarno pada umumnya terselubungi oleh sederetan fiksi
Mahasiswa Indonesia memandang perlu supaya seluruh hal utu dianalisa dan ditinjau
secara lebih jauh. Bila perlu maka mitos-mitos yang telah diciptakan oleh Soekarno dan
orang-orang di sekitarnya harus dibalikan dan digunakan untuk memukul balik dan
merongrong pengaruh yang masih dimiliki atas jiwa bangsa Indonesia.

Sambil mengungkapkan mitos-mitos yang mengelilingi Soekarno, Mahasiswa Indonesia


juga memaparkan sebuah potret diri Presiden yang “sebenarnya“. Untuk melakukan de-
Soekarnoisasi tidaklah cukup dengan melakukan demistifikasi dari legenda-legenda yang
ada di sekitar Soekarno; diperlukan juga usaha untuk menelanjangi diri yang sebenarnya
dari tokoh yang diserang itu. Melalui potret Soekarno yang diungkapkan lewat sejumlah
artikel, terlihat cukup banyak wajah Soekarno sebagai seorang yang lemah, lamban, tiran,
tidak punya karakter, pembohong, egois dan bersifat buruk. Dimata mahasiswa group
Bandung itu sifat yang paling buruk Soekarno ialah nafsu korupsinya. Adapun nafsu
seksual yang berlebihan, penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang,
penyelewengan terhadap agama, merupakan hal-hal yang paling sering diserang pada diri
Soekarno karena semua itu bertentangan dengan ahlak yang ingin dipertahankan oleh
Mahasiswa Indonesia .

Sebenarnya dalam autobiografinya Soekarno dengan berani mengakui kesalahan-


kesalahannya sendiri, tanpa terkecuali kesalahan yang sangat prinsip

Aku bukan manusia yang tidak mempunyai kesalahan …..Barangkali selalu


kesalahan ialah, bahwa aku selalu mengejar suatu cita-cita dan bukan persoalan-
persoalan yang dingin. Aku tetap mencoba untuk mendudukan keadaan atau
menciptakan lagi keadaan-keadaan , sehingga ia dapat dipakai sebagai jalan untuk
mencapai apa yang sedang dikejar .Hasilnya, sekalipun aku berusaha begitu keras
bagi rakyatku, aku menjadi korban dari serangan-serangan yang jahat. 3

Setelah Soekarno wafat, pemerintahan Soeharto mengadakan de-Soekarnoisasi dengan


membatasi diskusi tentang Soekarno. Sebuah larangan resmi tak resmi diberlakukan
terhadap publikasi tulisan-tulisan Soekarno Nama presiden pertama Indonesia jarang
atau bahkan tidak disebut-sebut sama sekali oleh unsur-unsur rezim Orde Baru. Meskipun
keyakinan bahwa Pancasila adalah falsafah yang dirumuskan oleh Soekarno dengan
Pancasila hampir semuanya diingkari oleh negara Orde Baru.

Selain itu, negara Orde Baru juga membiarkan C.A. Dake, Ilmuwan Politik dari Freie
Universitaat Bonn, mempublikasikan buku kontroversial yang berjudul Indonesia The
Spirit of Red Banteng yang menyimpulkan bahwa aktor utama dibalik G-30-S/1965
adalah Soekarno, bukan PKI. Setahun kemudian Dake juga mempublikasikan buku The
Devious Dalang : Soekarno and The So-Called Untung Putsch : Eyewitness Report by
Bambang S Widjanarko yang memperkuat kesimpulan dalam buku pertama tadi. Dari

3
Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta : Gunung
Agung, 1984, hal. 3.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 2
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

judulnya saja telah dapat diduga bahwa dua buku ini provokatif dan delegetimatif terhdap
Soekarno. Perlu digarisbawahi bahwa peredaran buku ini baru dinyatakan terlarang tahun
1990, setelah sempat berlangsung selama 17 tahun.

Setelah Menteri Penerangan Ali Moertopo mengumumkan rencana Presiden Soeharto


untuk memugar kompleks makam Soekarno di Blitar. Membicarakan Soekarno tidak
ditabukan lagi, dan simbol-simbol Soekarno dibiarkan muncul dalam beberapa bentuk.
Sungguh mencengangkan bahwa tidak kurang dari lima puluh buku tentang Soekarno
diterbitkan dalam jangka waktu kurang dari setahun. Media massa sibuk dengan laporan
dan tulisan tentang Soekarno. Gambar-gambar Soekarno dicetak dalam berbagai medium:
poster, stiker, T-shirt, topi, dan lain-lain, yang dijual bebas di sudut sudut jalan, trotoar
lain-lain.

Citra Soekarno semakin membaik akibat sikap negara Orde Baru yang semakin positif
terhadap Soekarno. Sikap ini sangat kondusif bagi lahirnya wacana tentang Soekarno
yang melibatkan banyak kalangan. Sentimen Soekarnoisme merekat lagi di semua lapisan
sosial, dan terjadi ekskalasi idealisasi terhadap Soekarno di kalangan generasi muda.
Perkembangan ini pada gilirannya memicu kekhawatiran sekaligus kewaspadaan di
kalangan rejim Orde Baru. 4

Kontroversi di sekitar Soekarno

Pada tanggal 15 September 1980, Rosihan Anwar, seorang wartawan senior dan
pengeritik Soekarno di era Orde Lama, memulai kontroversi tentang Soekarno dengan
melansir tulisannya di harian Kompas. Dengan membandingkan gaya kepemimpinan
Soekarno dengan Moh. Hatta, Rosihan Anwar menggugat konsistensi Soekarno sebagai
pemimpin bangsa. Dengan mengutip buku John Ingleson yang berjudul Road to Exile :
The Indonesia Movement 1927 – 1934 ( 1979 ), Rosihan Anwar menulis :

Sebuah perbedaan lain dalam sikap politik terhadap pemerintahan jajahan Hindia
Belanda . Hatta bersikap teguh , konsisten dan konsekuen . Sebaliknya Soekarno,
ahli pidato yang bergembor-gembor, lekas bertekuk lutut, jika menghadapi
keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan bagi dirinya .

Demikian dalam kurun waktu satu bulan, ketika Soekarno berada dalam penjara
Sukamiskin di Bandung, ia menulis empat pucuk surat tertanggal 30 Agustus, 7,
21 dan 28 September 1933 kepada Jaksa Agung Hindia Belanda supaya ia
dibebaskan dari tahanan penjara. Sebagai gantinya Soekarno berjanji tidak akan
lagi ambil bagian dalam soal-soal politik untuk masa hidup selanjutnya .5

Selanjutnya dalam tulisan kolomnya di harian yang sama, 14 Februari 1981, Rosihan
Anwar menegaskan kembali pendiriannya yang cenderung meyakini kebenaran surat-
4
Agus Sudibyo. Citra Bung Karno. Analisis Berita Pers Orde Baru. Biograph
Publishing, 1999, hal. 130 – 132.
5
H. Rosihan Anwar,” Perbedaan Analisis Politik antara Soekarno dengan Hatta,”
Kompas , 15 September 1980.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 3
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

surat tersebut. Ia memberi contoh bahwa Soekarno pada tanggal 19 September 1948
tatkala tentara Belanda menduduki lapangan terbang Maguwo dan sedang bergerak
menuju kota Yogyakarta. Soekarno menyuruh tentara istana mengibarkan bendera putih
tanda menyerah kepada Belanda dan membiarkan dirinya ditawan tentara Belanda. 6

Tentu saja tulisan Rosihan Anwar itu menimbulkan pro dan kontra yang mengomentari
adalah Mahbub Djunaidi, Ayip Bakar, Anwar Luthan, Mohammad Roem dan
Abdurrachman Suryomihardjo, Onghokham, Taufik Abdullah dan Wakil Presiden Adam
Malik. Berlainan dengan Rosihan Anwar, Abdurrachman Suryomihardjo, Onghokham
dan Taufik Abdullah yang dikenal sebagai sejarawan tidak bisa mengatakan apakah
surat-surat itu otentik alias sahih atau tidak.7 Perlu diketahui bahwa surat yang dikutip
dari arsip kerajaan Belanda itu bukan tulisan asli Soekarno yang diketik dari pejabat yang
diberi wewenang oleh peraturan pemerintah kolonial waktu itu. Salinan itu diketik dan
tidak membawa tanda tangan asli Soekarno, melainkan hanya “tertanda” atau
ditandatangani oleh Soekarno.

Ada atau tidak adanya “surat-surat Soekarno” itu, nasibnya memang sudah ditentukan.
Dengan H Colijn sebagai Perdana Menteri dan Menteri Urusan Jajahan di Belanda, de
Jonge sebagai Gubernur Jendral, gerakan nasionalis radikal memag telah masuk acara
kebijaksanaan politiknya penyingkiran total para pemimpinnya di arena politik ini berarti
untuk kesekian kali hak luar biasa Gubernur Jendral dipakai sebagai alat hukum.

Menjelang peringatan ke-36 Hari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, para


pembaca surat kabar di Indonesia seolah-olah tergugah perhatiannya kepada fakta sejarah
yang sudah lama bukan menjadi persoalan lagi. Atas permintaan Departemen Penerangan
RI, harian Merdeka, Angkatan Bersenjata, Kompas, Sinar Harapan, Suara Karya, Pos
Kota dan lain-lain memuat tulisan dari Nugroho Notosusanto yang berjudul Proses
Perumusan Pancasila Dasar Negara ( Balai Pustaka, 1981). Berdasarkan buku Moh
Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, Nugroho Notosusanto
menyimpulkan

Pertama, Pancasila sebagai Dasar Negara dalam Pembukaan UUD 1945 bukan
pemikiran satu orang, melainkan hasil percakapan panjang , dari 29 Mei – 18
Agustus 1945, yang mana mensahkan Pancasila sebagai Dasar Negara. Kedua,
Penggali Pancasila bukan hanya Soekarno, melainkan Yamin dan Supomo.
Ketiga, jasa Soekarno bukan pada rumusannya , melainkan pemberian nama
“Pancasila “, mereka juga mengemukan lima prinsip.8

Dalam tulisan Nugroho Notosusanto sebagai sejarawan, bahwa baik Presiden Soekarno
maupun Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo tidak tidak mempunyai alasan untuk

6
H Rosihan Anwar,” Surat-surat Ir Soekarno kepada Procureur General Hindia Belanda,”
Kompas, 14 Februari 1981.
7
Abdurrachman Suryomihardjo,” Bung Karno dalam Penulisan Sejarah Indonesia,”
Kompas, 2 Maret 1981; “ Sejarawan Onghokham tentang Surat Bung Karno ,” Merdeka,
Taufik Abdullah ,” Biografi dari surat-surat itu,” Tempo,No.53/X, 28 Februari 1981.
8
Nugroho Nosusanto. Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara , Jakarta : Balai
Pustaka , 1981, hal. 24 – 32.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 4
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mendukung isi buku ini kecuali atas dasar keyakinan bahwa isinya memang otentik. Dan
atas dasar keyakinan itu buku Prof. Yamin itu digunakan sebagai sumber yang otentik.

Mendasar isi di atas yang digunakan Nugroho Notosusanto untuk berpendapat demikian
adalah Kata Pengantar yang ditulis tangan oleh Presiden Soekarno untuk naskah Yamin
diatas, tertanggal 22 April 1959, dan keterangan Pringgodigdo kepada Nugroho
Notosusanto bahwa isi buku Yamin itu adalah otentik. Autentitasnya itu disebabkan oleh
karena bagian buku itu yang mengenai sidang-sidang BPUPKI memang berupa
percetakan belaka daripada laporan stenografis itu yang pernah dipinjam oleh Yamin,
tetapi kemudian tidak pernah dikembalikan. Menurut Pringgodidgo isi buku itu kata demi
kata sama dengan notulish verslag itu.9

Ruben Nalenan dan G Moedjanto yang dikenal sebagai sejarawan meragukan otensitas
pidato Yamin di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 29 Mei 1945. Panjang pidato Yamin itu sama dengan pidato
Soekarno yang diucapkan selama satu jam. Berarti kira-kira Yamin juga memerlukan
waktu selitar 1 jam untuk mengucapkan pidatonya. Waktu yang tersedia itu dua jam
sepuluh menit, yang dipertanyakan ialah apa mungkin Muhammad Yamin diperkenankan
berbicara satu jam sendiri sidang 6 pembicara lainnya ditambah dengan cara pembukaan
dan pengantar ketua plus wakil ketua hanya satu jam saja.10

Pertanyaan yang layak diajukan, adalah apakah Soekarno tidak mengingat lagi akan
pidato M Yamin yang duduk disampingnya dan tiga hari yang lalu sudah menguraikan
lima dasar negara termasuk kesejahteraan rakyat itu.? Apakah Soekarno pada tahun 1945
sudah begitu pikun? Mengapa Yamin yang suka berprotes, tidak mengatakan bahwa ia
baru tiga hari yang lalu sudah menjawab pertanyaan ketua BPUPKI Dr Radjiman
Wediodiningrat dan sudah menyebut kesejahteraan rakyat.11

Menarik untuk dicatat, bahwa premis yang merupakan reevaluasi terhadap seajarah
Pancasila ini pararel dengan perubahan kebijakan yang ditujukan rejim Orde Baru.
Pemerintah Soeharto menghapus peringatan hari lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni,
dan melarang semua bentuk peringatan pada tanggal itu. Ketika tulisan Nugroho
Notosusanto itu dilansir, MPR bahkan telah tiga kali ( 1996,1973 dan 1978 ) memutuskan
rumusan Pancasila yang legal dan identik yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945
tidak meliputi pemikiran Soekarno tentang internasionalisme dan rumusan pemikirannya
yang lain. Tulisan Nugroho Notosusanto kemudian menjadi bacaan wajib bagi para
pengajar pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan peserta P4 di kampus.

Tindakan Nugroho diatas mendapat “restu” pemerintah, sebagai bagian dari usaha untuk
menciptakan keseimbangan perspektif tentang Soekarno. Dengan kata lain, peningkatan
idealisasi terhadap Soekarno dikalangan loyalis Soekarno dan generasi muda, diimbangi
9
Ibid., hal. 17 – 19.
10
R Nalenan ,” Proses Perumusan Dasar Negara ,” Kompas, 9 Agustus 1981 dan G
Moedjanto , “ Otensitas Pidato Yamin di depan Sidang Badan Penyelidik ,” Kompas ,
9 Agustus 1981.
11
Yayasan Cipta Loka Caraka . Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila ,
dariKes sampai Par. Jakarta : Yayasan Cipta Loka Caraka, 1984,hal. 283.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 5
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dengan usaha-usaha untuk menegasikan makna penting sang proklamator ini dalam
kotens sejarah bangsa Indonesia. Kebangkitan kekuatan nostalgik terhadap Soekarno dan
semakin luasnya mitos-mitos tentang Soekarno dalam realitas psikologis masyarakat
sekitar tahun 1978 cukup mengkhawatirkan rejim Orde Baru.12

Lain lagi dengan ini, setahun setelah Lembaga Penelitian Sejarah Nasional mengadakan
seminar tentang sejarah Indonesia di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, tepatnya bulan
September 1985, Ruben Nalenan, Sekretaris LPSN membicarakan hasil seminar di depan
pers. Ia menghimbau agar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI meninjau kembali
materi buku Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, karena dalam buku Sejarah
Nasional Indonesia ,Jilid III ( 1976 ) yang terdiri dari 154 halaman itu memuat kata-kata;
“ Dalam pada itu Presiden sendiri menerima komisi dari perusahan asing yang melakukan
impor ke Indonesia. Pada pelbagai bank di luar negeri tersimpan uang jutaan dollar atas
nama Presiden”, akibat teks tersebut tentu saja menimbulkan pertanyaan apakah bekas
Presiden Republik Indonesia yang pertama ini pernah berbuat semacam itu. Memang
yang dibicarakan disini lebih serius, karena hal ini menyangkut dunia pendidikan.
Banyak orang menganggap bahwa penulisan tersebut nampaknya kurang tepat apabila
disajikan kepada murid-murid SMP. Dengan adanya teks tersebut bisa saja
membingungkan murid-murid tersebut.13
Sebenarnya yang dipermasalahkan bukan fakta sejarah tetapi lebih mengarah pada
persoalan etis atau tidak kata-kata tersebut dimuat dalam buku. Nugroho Notosusanto
sebagai penanggung jawab dari buku yang dikritik telah tiada sedangkan mereka yang
berada dalam satu tim tidak mencoba menjelaskan duduk persoalannya, mungkin karena
merasa bukan menjadi urusannya.

De-Soekarnoisasi Orde Baru

Salah satu tiang legitimasi Orde Baru adalah tafsir sejarahnya terhadap “ Gerakan 30
September“ dan rentetan peristiwa yang secara bertahap menempatkan Mayjen TNI
Soeharto menjadi Presiden pada 1968. Sejak akhir tahun 1960-an sudah bermunculan
buku dan artikel karya penulis Indonesia yang mendukung Orde Baru. Nugroho
Notosusanto dengan Ismail Saleh juga melakukan praktek legitimasi terhadap Soekarno.
Mereka berdua meluncurkan buku The Coup Attempt of The September 30 Movement in
Indonesia (1968) yang secara garis besar berisi kesimpulan rezim Orde Baru bahwa PKI
adalah kekuatan dibalik Peristiwa G-30-S 1965 yang telah diberi kesempatan oleh
Soekarno untuk berkembang pesat pada akhir dekade 50-an dan awal dekade 60-an. Buku
ini merupakan reaksi atas analisis yang dibuat Ben Anderson dan Ruth McVey,
Preliminary Analysis of The October 1, 1965 Coup in Indonesia yang menyimpulkan
bahwa konflik intern TNI-AD yang menyebabkan peristiwa G 30S 1965.

Tahun 1978, Nugroho Notosusanto memimpin tim yang bertugas menyusun Buku Putih
G 30 S Tahun 1965. Buku yang tidak sempat dipublikasikan ini, berisi kesimpulan yang
12
Agus Sudibyo, Op. Cit., hal. 134 – 135.
13
Peter Kasenda,” Soekarno : Sebuah Dilemma dalam Penulisan Sejarah Indonesia ,”
Prioritas, 2 – 3 Oktober 1986.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 6
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kurang lebih serupa dengan kesimpulan buku diatas. Meskipun kedua buku ini tidak
secara eksplisit menyatakan bahwa Bung Karno terlibat dalam G 30 S 1965, uraian
bahwa PKI berkembang dibawah lindungan Bung Karno yang telah ada didalamnya
mensiratkan tendesi untuk menyimpulkan bahwa peristiwa ini mustahil terjadi tanpa
“restu” Soekarno.14

Pemerintah Soeharto dan para pendukung Orde Baru merasa perlu meneguhkan versinya
tentang Gerakan 30 September. Sebagai tambahan terhadap buku The Coup
Attempt of The September 30 Movement in Indonesia, pemerintah meneguhkan
versinya dalam bentuk film Penghianatan G 30 S/PKI yang diproduksi oleh
PPFN tahun 1982-1983, dan mulia disiarkan tiap tahun pada tanggal 30
September malam hari oleh TVRI. Gambaran yang muncul di film ini kemudian
menjadi master narrative dalam sejarah nasional yang resmi dan wacana politik
Indonesia. Beberapa tulisan dan buku diproduksi untuk memperbaharui dan
mengisi kekurangan versi yang ada, dan menekankan arti penting peristiwa
tersebut bagi kehidupan masyarakat, tentunya dari sudut pandang pemerintah. 15

Pemerintah Soeharto senantiasa membatasi bagi tulisan yang mencoba menentang “


kebenaran sejarah “ versi Orde Baru. Sebaliknya jika buku ini sejalan dan bahkan
mendukung kebijakan de-Soekarnoisasi, seperti Siapa Menabur Angin Akan Menuai
Badai G 30 S-PKI dan Peran Bung Karno ( 1988 ) karangan Kolonel (Purn) Soegiarso
Soerojo, pemerintahan Soeharto menganggap tidak ada persoalan. Titik perhatian buku
inilah dominasi politik PKI di tahun 1960-an, kemudian meletusnya G 30 S/PKI dan
bukti-bukti penyelewengan Presiden Soekarno yang sekaligus dinilai sebagai dalang G 30
S/PKI itu sendiri. Menurut Soegiarso, G 30 S adalah kudeta yang dilakukan oleh PKI
dengan dukungan dari luar dan dari dalam negeri, disamping dukungan diam-diam dari
kepala negara yang kebetulan juga seorang Marxis sejak muda.16

Menurut Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, subtansi dari buku karangan Soegiarso
Soerojo ini tidak mengganggu ketertiban umum sehingga tidak perlu dilarang. Tentang
tuduhan Soegiarso terhadap Soekarno, Sukarton berpendapat,” sebagai proklamator
(Soekarno) dihargai. Tetapi sebagai insan politik, tentu kita harus obyektif jangan
ditutup-tutupi jeleknya. Kita harus obyektif. Fakta-fakta sejarah tidak bisa ditutup-
tutupi.17

Buku yang ditulis Soegiarso Soerojo menggunakan bahan-bahan yang biasa dipakai
untuk menyusun buku sejarah kontemporer : berita koran , kenangan seprang penyelidik
inteljen dan dokumen. Sebagai buku sejarah harus memenuhi persyaratan metodelogis
yaitu usaha merekontruksi peristiwa berdasarkan penelitian, pengumpulan dan
penyelesaian data (menguji otensitas dan kebenarannya), kemudian barulah ditarik
kesimpulan atau diberi interprestasi. Dengan singkat, ketelitian atau ukuran menjadi salah
14
Agus Sudibyo, Op. Cit., hal. 135.
15
Fauzan . Mengubur Peradaban Politik Pelarangan Buku di Indonesia . Yogyakarta :
LKIS , 2003, hal. 163 – 165 .
16
Sogiarso Soerojo. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. G 30 S /PKI dan Peran
Bung Karno . Jakarta : Antarkota, 1989, hal. 391.
17
Agus Sudibyo, Op. Cit., hal. 138

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 7
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

satu prinsip pokok. Dan Soegiarso Soerojo tidak melakukannya. Data yang digunakannya
tidak dicek dengan sumber lain. Ia begitu yakin dengan kebenarannya dan
keotentikannya. Karena Soegiaro Soerojo menulis bertolak dari sebuah sikap bukan
analisis.

Kebijaksanaan pemerintah makin terlihat membingungkan ketika melarang buku Bung


Karno Dalang G 30 S/PKI ? (UD Mayasari – Solo) setelah terbitnya buku Soegiarso
Soerojo yang mengundang kontroversi. Buku yang disusun oleh Petrus Bambang
Siswoyo berisi guntingan berita dan artikel surat kabar tentang Soekarno, khususnya
disekitar beredarnya Siapa Menambur Angin Akan Menuia Badai dilarang. Penyusunnya
mengaku bahwa kumpulan berita dan artikel surat kabar berita itu hanya untuk
kepentingan komersial, tanpa maksud politik tertentu. Tanggal 19 November 1988 ia
dipanggil Kejaksaan Negeri Surakarta yang memintanya untuk tidak mengedarkan
bukunya sampai ada keputusan Kejaksaan Agung, dan menarik buku-buku yang sudah
terlanjur beredar. Berbeda dengan buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai yang
dalam waktu enam hari mendapat clearance dari Kejaksaan Agung, buku Bambang
Siswoyo dibiarkan tak terurus berminggu-minggu. Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono
tidak memberikan keterangan apa-apa, karena menurutnya petugas yang meneliti buku
tersebut sedang cuti.

Beberapa hari sebelum terbitnya buku putih yang berjudul Gerakan 30 September :
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia ( Sekretariat Negara , 1994), Manai Sophian,
mantan pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI), meluncurkan buku yang berjudul
Kehormatan bagi yang Berhak : Bung Karno Tidak Terlibat G-30-S/PKI. Buku itu
dengan jelas menyangkal segala tuduhan bahwa Presiden Soekarno terlibat dalam
pseristiwa itu, dan lebih jauh mempersoalkan keterlibatan Amerika Serikat dan Angkatan
Darat dalam penyingkiran Presiden Soekarno selanjutnya.

Dari dua kasus diatas, terlihat bagaimana imbangan kekuatan politik sangat berpengaruh
terhadap sikap pemerintah dan keputusan untuk tidak melarang keduanya. Dalam kasus
Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, penulis buku Soegiarso Soerojo mendapat
“dukungan“ dari berbagai pihak berbentuk pernyataan yang meminta masyarakat tidak
mempersoalkan penulisan buku itu. Agak menyimpang dari kebiasaan, Jaksa Agung
mengumungkan bahwa buku tersebut tidak akan dilarang, hanya enam hari setelah
diterbitkan, walau sebelumnya memberi pernyatan yang seakan-akan mempertanyakan isi
buku tersebut. Betapapun kontroversialnya, isi buku itu secara umum ada di dalam
langgam master narrative yang diciptakan oleh Orde Baru tentang Gerakan 30
September, kecuali di sekitar peran Soekarno yang sampai sekarang masih diperdebatkan.
Dalam kasus Manai Sophian, dukungan yang lebih deras justru mengalir dari berbagai
pihak, yang umumnya juga menolak tuduhan bahwa Soekarno terlibat dalam persitiwa itu
dan lebih jauh menolak segala praktek de-Soekarnoisasi. Membandingkan ketiga buku
tersebut, Eep Saefullah Fatah, Staf Litbang Redaksi Republika dalam edisi 30 September
1995 harian ini menulis :

Posisi Buku Putih berbeda dengan buku Manai dan Soegiarso yang memposisikan
secara tegas ( menunjukkan ) dengan terang ketidakterlibatan dan keterlibatan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 8
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Soekarno dalam G 30 S/PKI.Buku Putih berdiri dalam posisi yang lebih“tersamar“.18

Negara Orde Baru berusaha menegakkan legitimasi kekuasaannya dengan berbagai cara.
Salah satunya dengan menciptakan wacana-wacana resmi yang bersifat legitimatif
terhadap negara dan sebaliknya bersifat delegitimatif terhadap musuh-musuh negara.
Wacana resmi ini merupakan reinterprestasi dari pengetahuan resmi negara yang lebih
sering difungsikan sebagai sarana produksi dan reproduksi kebenaran versi negara.
Dengan kata
lain, penyelenggaraan kekuasaan secara kontinyu oleh negara Orde Baru melahirkan
pengetahuan-pengetahuan resmi yang notabene berisikan pembenaran-
pembenaran sikap, kebijakan dan perlakuan negara terhadap kelompok-kelompok
diluar dirinya. Melalui pengetahuan resmi inilah kebenaran versi negara tentang
berbagai persoalan disampaikan kepada masyarakat dengan spirit penegasan
terhadap wacana, interprestasi dan fakta-fakta alternatif yang dimunculkan
kelompok lain.

Hal inilah yang kiranya terjadi terhadap gambaran-gambaran tentang Soekarno dalam
wacana sejarah selama era Orde Baru Sejak awal kekuasaannya, Soeharto telah
menempatkan pengaruh dan simbol-simbol Soekarno yang masih menancap kuat dalam
realitas psiko-historis bangsa sebagai ancaman nyata terhadap legitimasi kekuasaannya.
Maka, dilakukanlah berbagai upaya untuk mengeliminir pengaruh dan ajaran-ajaran
Soekarno dalam kehidupan birokrasi, militer dan masyarakat pada umumnya, serta untuk
mengamburkan peranan dan kontruksi Soekarno dalam sejarah. Usaha-usaha inilah yang
kemudian dikenal dengan dengan de-Soekarnoisasi. Ketika mekanisme legal-formal,
perangkat-perangkat koersif dan represi-represi fisik atau psikologis tidak efektif lagi
untuk menyudutkan posisi Soekarno, maka dilakukan de-Soekarnoisasi dalam level
wacana simbolik dengan menampilkan kontruksi-kontruksi yang ilegimate dan
unfavourable tentang Soekarno dalam setiap discourse yang berbentuk tentang
Soekarno.

Dengan otoritas yang dimilikinya, negara bahkan melakukan pengaburan atau rekayasa
terhadap fakta-fakta sejarah tentang Soekarno. Bisa jadi kebenaran-kebenaran historis
tentang jejak dan kontribusi positif Soekarno dalam sejarah bangsa telah terintegrasikan
ketika wacana resmi tentang Soekarno terbaca oleh masyarakat. Pada gilirannya,
gambaran-gambaran yang ilegimate dan unfavourable tentang Soekarno menjadi
dominan dalam produk-produk pengetahuan resmi negara. Gambaran ini juga tercermin
dari pernyataan aparat negara dalam berbagai perdebatan tentang Soekarno di media
massa, Terlepas dari masalah efektifitas, nuansa de-Soekarnoisasi juga menjadi subtansi
juga menjadi subtansi indoktrinasi terhadap generasi muda ketika buku teks pendidikan
yang berisi bahasan tentang Soekarno digunakan dalam praktik pendidikan dasar dan
menengah.19

18
Jaringan Kerja Budaya.Menentang Peradaban . Pelarangan Buku di Indonesia .Jakarta : ELSAM,
1999, hal. 81 – 86.
19
Agus Sudibyo, Op. Cit, hal. 143 – 144/

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 9
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Nawaksara

Presiden Soeharto meminta, agar bangsa Indonesia khususnya kaum muda, tidak
menguntungkan kepada kharisma perorangan, melainkan kepada sistem yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, Presiden juga
menegaskan, tidak benar bila ada yang mengatakan Soekarno jatuh karena kudeta.
Soekarno jatuh secara konsitusional, setelah pidatonya yang tertuang dalam Nawaksara
ditolak dalam Sidang Istimewa MPRS. Penegasan Presiden itu disampaikan Menteri
Pemuda dan Olahraga (Menpora) Haryono Isman usai diterima Presiden Soeharto
dikediaman Jalan Cendana, Jakarta pada tanggal 26 Maret 1997. Oleh karena itu,
Presiden Soeharto menyetujui rencana Menpora mengadakan rapat seminar tentang
Nawaksara, bulan April 1997 di Jakarta. Presiden Soeharto juga mengatakan bahwa
masih banyak masyarakat, khususnya kaum muda yang tidak memahami pidato Presiden
Pertama RI Soekarno, yang dituangkan dalam Nawaksara.

Menpora Haryono Isman menekankan bahwa seminar tentang Nawaksara diadakan untuk
memahamkan apa yang sebenarnya di masa lalu, karena masalah ini kurang
dimasyarakatkan. Tidak hanya kaum muda yang berpikiran bahwa Soekarno itu jatuh
karena kudeta, bahkan banyak para dosen yang berpikiran demikian, karena tidak
memahami proses pidato Soekarno melalui Nawaksara.20

Gagasan menyelenggarakan seminar Nawaksara mendapat tanggapan luas dan segera


menjadi bahan pembicaraan hangat dalam masyarakat. Seperti biasa, segera menjadi pro
dan kontra terhadap gagasan itu. Ada yang setuju dengan argumentasinya. Tapi ada juga
yang kurang setuju dengan alasan serta pertimbangan sendiri. Mereka yang setuju
memberi argumentasi bahwa terjadinya pergantian presiden pada 30 tahun lalu perlu
diketahui masyarakat luas, terutama generasi penerus. Pertimbangannya agar generasi
muda memperoleh kejelasan mengenai persitiwa sekitar tahun 1966 dan 1967 yang
berkaitan dengan kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno kepada Presiden
Soeharto. Kejelasan sejarah ini penting karena sampai sekarang di sementara kalangan
ada anggapan bahwa pergantian kepemimpinan nasional 30 tahun yang lalu, tidak
konsitusional bahkan dianggap kudeta. Sedangkan pihak yang kurang setuju dengan
seminar memberi alasan bahwa membicarakan persitiwa 30 tahun yang lalu berarti
membuka kembali lembaran-lembaran sejarah lama atau “luka-luka “ ditengah dityasi
dimana kita mutlak memerlukan persatuan dan kesatuan bangsa yang makin kokoh
setelah menghadapi serangkaian kerusuhan massal di berbagai daerah mengancam
integrasi nasional.21 Bahkan ada pengamat yang mengatakan bahwa penyelenggaraan
seminar tentang Nawaksara sebagai demitosisasi Soekarno, yang sebenarnya diakibatkan
dari pemikiran Orde Lama identik dengan Soekarno. Disayangkan mengapa hal tersebut
baru dilakukan sekarang mengingat kejadian itu sudah berlangsung 30 tahun yang lalu.
Ada dugaan keras bahwa demitosiasi Soekarno dilakukan kepentingan Pemilu 1997 yang
sebentar lagi diadakan.22
20
“ Jangan Bergantung Kharisma Perorangan ,” Kompas , 27 Maret 1997 .
21
“ Pro-kontra Sekitar Seminar Nawaksara,” Tajuk Rencana Suara Pembaruan ,2 April 1997.
22
“ Seminar Nawaksara Demitosisasi Soekarno,” Bisnis Indonesia , 31 Maret 1997.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 10
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Nawaksara – singkatan dari Nawa dan Aksara – adalah sebuah judu lpidato Presiden
yang disampaikan pada tanggal 22 Juni dihadapan Sidang Umum IV MPRS. Pidato itu
oleh Soekarno disebut sebagai pertanggungjawaban sukarela tentang pelaksanaan tugas-
tugas Presiden selaku mandataris MPRS, karena pertanggungjawaban itu diberikan bukan
atas permintaan MPRS. Namun setelah pidato sukarela itu disampaikan, MPRS
mengirimkan sebuah nota yang meminta agar Presiden melengkapi pidato
pertanggungjawabannya yang dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara. Pidato
pertanggungjawaban Pelengkap Nawaksara ini disampaikan oleh Soekarno atas
permintaan ketua MPRS.

Inti pidato Nawaksara itu, pertama, adalah suatu ajakan, agar melakukan “introspeksi“,
dengan menegaskan pentingnya Ambeg Parama Artha dan Berdikari yang tetap
ditetapkan sebagai Landasan dan Pedoman Pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta
Berencana; Kedua, tentang Landasan Kerja Melanjutkan Pembangunan; Ketiga, tentang
Penegasan Hubungan Politik Luar Negeri; Keempat, tentang rencana rinci yang harus
dilaksanakan oleh Pemerintah bersama dengan DPR; Kelima, tentang penegasan tetap
dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin; Keenam, Merintis jalan ke arah pemurnian
pelaksanaan UUD’45; Ketujuh, harapan terhadap MPRS agar memahami persepsi
tentang adanya perbedaan MPRS dan MPR hasil Pemilihan Umum; Kedelapan, harapan
terhadap perlunya kerjasama dan pembagian tugas antara Presiden dan Wakil Presiden;
Kesembilan, penegasan kembali terhadap permurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD
1945.

Atas permintaan Ketua MPRS A.H. Nasution dengan No. 2/Pimp. MPRS/1966, Presiden
Soekarno menyerahkan Pelengkap Nawaksara kepada pimpinan MPRS. Tiga hal yang
diminta oleh ketua MPRS kepada Soekarno, adalah Presiden harus bertanggung jawab
atas kemerosotan ekonomi, terjadinya G 30 S /PKI dan kemerosotan ahlak bangsa. Dalam
pidato Pelengkap Nawaksara pada dasarnya dijelaskan bahwa kesemuanya itu adalah
suatu proses perjalanan yang panjang dengan melibatkan banyak pihak. Bagi Soekarno,
G 30 S/PKI itu adalah suatu complete overrompeling
Dan atas penyelidikan Soekarno, G 30 S/PKI yang ia sebut Gestok timbul karena tiga
sebab, yaitu (a) Keblingeran pimpinan PKI; (b) Kelihaian subversi Nekolim; (c) memang
ada oknum-oknum yang tidak benar. Menanggapi permintaan pertanggungjawaban
terhadap kemerosotan ekonomi dan kemerosotan ahlak, Soekarno kembali
mempertanyakan : “ Adilkah saya sendiri harus bertanggung jawab atas kemerosotan
ekonomi dan ahlka. “

Kekuasaan pemerintah Soekarno secara resmi dicabut oleh MPRS pada tanggal 12 Maret
1967. Pencabutan dilakukan dengan Ketetapan MPRS No XXXIII/MPRS/1967. Dalam
pertimbangannya dinyatakan anatara lain bahwa keseluruhan pidato Presiden/Mandataris
MPRS yang disampaikan kepada MPRS tanggal 10 Januari 1967 No 01/Pres/1967
tentang Pelengkap Nawaksara tidak memenuhi harapan rakyat pada umumnya, karena
tidak memuat dengan jelas pertanggungjawaban kebijkasanaan Presiden mengenai

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 11
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pemberontakan kontra revolusi G 30 S/PKI serta epilognya, kemunduran ekonomi dan


kemerosotan akhlak.23

Pengamat politik Arief Budiman mengatakan bahwa penolakan Nawaksara oleh MPRS
30 tahun yang lalu janganlah hanya dilihat sebagai langkah konsitusional dalam
pergantian Presiden saja. Tetapi hendaknya juga dilihat, dan dkaji, adanya kaitan
langsung antara tidak diterimanya pidato Nawaksara Presiden Soekarno itu
dengan susunan komposisi keanggotaan waktu itu. Jika melihat komposisi
keanggotaan MPRS saat itu yang didominasi oleh kekuatan Orde Baru, yang
terdiri unsur militer dan tersingkirnya anggoa-anggota lain yang berasal dari
partai-partai lama, maka tidak heran jika pidato pertanggungjawaban Presiden
Soekarno ditolak. Sulit melihat obyektivitas dan para anggota MPRS saat itu
dalam pidato Nawaksara.24

Seminar Nawaksara tidak jadi diselenggarakan oleh pemerintah Soeharto yang keburu
jatuh pada bulan Mei 1998. Seminar Nawaksara justru dilaksanakan Panitia Nasional
Satu Abad Bung Karno pada bulan Januari 2001, Hotel Wisata Internasional, Jakarta.
Salah saru tujuan dari seminar mereview sebab-sebab tidak diterimanya Nawaksara dan
Pekengkapnya sebagai pertanggungjawaban Presiden Soekarno terhadap situasi bangsa
pada waktu itu. Kesimpulannya karena MPRS secara keseluruhan telah direkayasa oleh
Soeharto sehingga MPRS pada periode itu telah menjadi tukang stempel dari Jendral
Soeharto, si-penguasa waktu itu .

Super Semar

Masalah Surat Perintah 11 Maret 1966 ( Super Semar ) kembali mencuat

kepermukaan, setelah mantan pengawal pribadi Presiden Soekarno, Soekardjo Wiliardjito


di LBH Yogyakarta pada tanggal 25 Agustus 1998, membeberkan bahwa dia
menyaksikan dengan sendiri Mayjen Basuki Rachmat, Mayjen Maraden Panggabean,
Brigjen Amir Machmud dan Brigjen TNI M Yusuf, agar menandatangani dokumen
penyerahan kekuasaan Mayjen TNI Soeharto, dengan pistol yang terarah kepada tubuh
Soekarno. 25

Pernyataan tersebut dibantah oleh Maraden Panggabean yang mengatakan bahwa dirinya
tidak pergi ke Bogor dan tidak bertemu sama sekali dengan Soekarno karena dia berada
di Markas Besar Angkatan Darat.26 M Yusuf dengan tegas mengatakan bahwa tiga orang
perwira tinggi yang datang ke Istana Bogor untuk menemui dirinya, almarhum Basuki
Rachmat dan Amir Machmud. Tidak ada diantara ketiga jendral yang membawa pistol
dan map berwarna merah (berisi surat yang harus ditandatangani Presiden Soekarno). 27
23
Suwoto Mulyosudarmo. Peralihan Kekuasaan. Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap
Pidato Nawaksara, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama , 1997 , hal. 87 – 101.
24
Seminar “Nawaksawara” Tidak untuk Lukai Siapa pun,” Kompas, 1 April 1997.
25
“ Bung Karno teken Super Semar di bawah todongan ,” Kompas,26 Agustus 1998.
26
“ Panggabean Bantah Menodong Bung Karno,” Kompas, 28 Agustus 1998.
27
“ M Yusuf : Yang Temui Soeharto hanya Tiga Jendral,” Suara Pembaruan , 4

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 12
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pernyataan M Yusuf sama dengan istri mendiang Soekarno, Ny Hartini Soekarno yang
hanya melihat ketiga jendral itu tanpa Jendral M Panggabean 28

Yang cukup kontroversial adalah Wilardjito yang memberikan kesaksian baru itu dituduh
Polda DIY menyebarkan berita bohong. Akhir tahun 1998 pihak polisi melimpahkan
perkaranya ke kejaksaan. Kemudian dalam persindangan di pengadilan negeri
Yogyakarta, dakwaan jaksa ditolak oleh hakim. Selanjutnya jaksa mengajukan kasasi.
Namun, Mahkamah Agung akhirnya memutuskan bahwa “Wiliardjito tidak terbukti
melakukan perbuatan yang menimbulkan keonaran”

Sejarah yang kita baca selama ini mengisahkan bahwa Presiden Soekarno yang
memimpin sidang kabinet Dwikora (yang disempurnakan) langsung menghentikan sidang
setelah membaca nota yang disampaikan oleh Brigjen Sabur, Komandan Resimen
Tjakrabirawa yang menyatakan bahwa ada pasukan tidak dikenal dan demi alasan
keamanan Presiden Soekarno diminta segera meninggalkan sidang kemudian Presiden
Soekarno menyerahkan pimpinan kepada Waperdam II Leimena dan pergi keluar menuju
hekopter yang selalu siap di halaman Istana Merdeka untuk menuju Istana Bogor.

Sidang kabinet bubar, Menteri Urusan Veteran Mayjen Basuki Rachmat, Menteri
Perdagangan, Mayjen M Yusuf dan Pangdam Jaya Brigjrn Amir Mavhmud setuju untuk
menyusul Presiden Soekarno ke Bogor guna menjelaskan bahwa Angkatan Darat tidak
berminat meninggalkan Presiden Sebelum berangkat mereka menemui Soeharto, yang
sedang terbaring dikediaman Jalan Agus Salim, karena masuk angin, Soeharto yang tidak
hadir dalam sidang tersebut memberikan restunya.

Mereka berangkat ke Bogor naik helikopter dari halaman Istana dan sampai di Bogor
sekitar pukul 13.00 WIB, karena Presiden Soekarno sedang istirahat ketiga jendral itu
baru bisa bertemu pada pukul 14.30 WIB. Semula

Presiden Soekarno marah, karena merasa dibohongi dengan adanya pasukan liaryang
mengepung istana. Suasana berubah cerah, saat ketiganya menyatakan bahwa
Soeharto sanggup mengatasi keadaan asal diberi kepercayaan.

Rupanya Presiden Soekarno setuju dan langsung menunjuk tim penyusun konsep, Basuki
Rachmat sebagai ketua, M Yusuf sebagai anggota, dan Sabur sebagai sekretaris.
Rumusan naskah tulisan tangan Basuki Rachmat diajukan kepada Presiden Soekarno,
yang kemudian meminta Soebandrio, Leimena dan Chaerul Saleh, untuk ikut melakukan
koreksi. Sesudah diperbaiki rancangan naskah diketik Sabur dan diajukan kepada
Presiden Soekarno. Setelah mendapat persetujuan yang lain, Supersemar ditandatangani
Presiden Soekarno dengan disaksikan Soebandrio, Leimena, Chairul Saleh, Basuki
Rachmat, M Yusuf, Amir Machmud, Sabur dan Ny Hartini Soekarno.29

September 1998.
28
“ Seputar Supersemar, Ny Hartini Jawab Sepuluh Pertanyaan Polisi,” Merdeka, 11
September 1998.
29
“Supersemar Antara Dongeng dan Kenyataan ,” Kompas, 10 September 1998.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 13
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sebenarnya Supersemar dan menjadi surat perintah biasa saja kalau tidak ditafsirkan
secara sangat luas oleh Soeharto. Supersemar kemudian segera dipakai sebagai legitimasi
untuk membubarkan PKI serta melancarkan gerakan de-Soekarnoisasi. Hal ini telah
mengundang reaksi keras Presiden Soekarno. Sebab mantan Panglima Mandala itu telah
bertindak sendiri, tanpa sepengetahuan Soekarno. Kemudian, Soeharto mengeluarkan
seruan pelaporan diri eks PKI serta larangan bagi partai politik dan organisasi massa
untuk menerima eks PKI. Kesemuanya dilakukan dengan mengatasnamakan
Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandaratis MPRS.Pemimpin Besar Revolusioner.
Jadi seolah-olah Presiden Soekarno menyetujui ketiga keputusan Soeharto pasca
Supersemar itu.

Mungkin karena menganggap lancang, Presiden Soekarno menyurati Soeharto yang


diantar oleh Waperdam I Leimena. Isi surat tertanggal 14 Maret 1966 itu adalah “ Saya
perintahkan untuk kembali kepelaksanaan surat perintah Presiden/Pangti/Mandarais
MPRS/ Pemimpin Besar Revolusi dengan arti melaksanakan keputusan di luar bidang
teknis.”

Pada tanggal 16 Maret, Presiden Soekarno membuat pengumuman untuk menjelaskan


Supersemar. Ia menegaskan bahwa dirinya masih berkuasa penuh, sebagai kepala
eksekutif pemerintahan dan mandataris MPRS. Hanya dia yang dapat menganglat
menteri. Ia juga menyebut dirinya bertanggung jawab kepada MPRS dan Tuhan. Tetapi
dua hari kemudian 15 Menteri ditangkap, termasuk Soebandrio dan Chaerul Saleh, dan
Gubernur Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam. Surat penangkapan tertanggal 18 Maret 1966
yang ditandatangani Soeharto itu kembali mengatasnamakan Presiden/Pangti /Mandataris
MPRS. Soekarno lagi-lagi terperangah karena tak tahu-menahu tentangnya..

Dalam kata-kata di depan para menteri kabinet Dwikora hari itu juga Soeharto
menjelaskan langkah-langkah yang telah diambilnya. Ia menyatakan telah memberanikan
diri membubarkan PKI dengan resiko kalau perlu “digantung Paduka Yang Mulia
Presiden“. Tentang penangkapan 15 Menteri, ia bilang hanya untuk mengamankan
mereka karena mereka telah menjadi sasaran amuk massa. Ia menyebut pengamanan itu
bersifat sementara. Tapi, kenyataannya tidak demikian. Alhasil, mereka yang merasa
dirinya diperdaya kemudian menyebut Supersemar telah dipakai Jendral Soeharto untuk
melakukan kudeta pelan-pelan.30 Kalau boleh menggunakan kata-kata sejarawan UI
Onghokham,” Supersemar adalah persitiwa kudeta tidak berdarah yang berlangsung
dibawah intervensi militer .”31

Selama ini memang para sejarawan banyak yang ragu-ragu terhadap versi resmi Persitiwa
Supersemar itu. Ada dugaan mungkin saja terjadi pembelokan fakta sejarah. Apalagi
hingga sekarang disebutkan naskah asli Supersemar itu hilang. Menurut Kepala Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI) Mukhlis Paeni membeberkan bahwa kini ada tiga
versi salinan surat perintah dari Presiden pertama RI Soekarno kepada Soeharto. Dia
mengatakan dari tiga jenis dokumen sejarah yang beredar itu berbeda. Ada versi yang
menyebutkan pada salah satu pasalnya dalam Supersemar itu dengan kalimat

30
“Super Semar dan Kudeta Terselubung ,” D&R, 12 September 1998, hal. 16 – 21.
31
“Onghokham : Supersemar KudetaTak Berdarah,” Merdeka, 8 September 1998 .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 14
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

“….dikordinasi dengan Panglima angkatan-angkatan “ berarti satu panglima yang


membawahi banyak angkatan. Versi lainnya menyebutkan “… dikordinasi dengan
Panglima-Panglima angkatan “ artinya panglimanya banyak bukan satu. Selain terdapat
perbedaan antara Supersemar yang satu dengan lainnya, ada tanda tangan Soekarno
ditulis miring, ada yang ditulis tegak. Selanjutnya ada versi lainnya berbeda titik dan
komanya dalam kalimat dokumen bersejarah ini.32

Presiden Soekarno dapat saja mengutuk PKI untuk menyelamatkan dirinya dengan
melihat kembali ke belakang pada Persitiwa Madiun atau melihat kembali pada
kecamannya pada tahun 1926/1927 bahwa komunis yang menjalankan taktik-taktik usang
merupakan racun bagi rakyat. Ia tidak menempuh jalan ini dan menolak untuk
mengingkari tempat komunisme dalam kesepakatan persatuan nasional yang ingin
dibinanya. Pendiriannya telah membawanya pada gambaran seorang tua yang sakit
menyedikan diasingkan dari dunia yang dicintainya, terus diancam untuk diadili karena
keterlibatannya dalam persitiwa kup itu, dan selama tahun-tahun terakhirnya telah hidup
sebagai orang yang tidak dipedulikan .33

Dalam memoarnya, Rachmawati Soekarnoputri mengisahkan hari-hari terakhir dari


ayahnda tercinta yang pernah menjadi Presiden Republik yang pertama

Hari - hari terakhir Bapakku ternyata harus dilalui dengan berbagai kesulitan,
melawan rasa sakit, kesendirian , sepi dan dirundung kecemasan mengenai bangsa
dan negaranya . Di hari-hari terakhir betapa susah membujuk Bapak untuk makan
nasi dan obat, apapun yang disodorkan tentu ditolak dengan gelengan kepala.
Penyakitnya kambuh lagi dan makin parah saja.Harapan kami sesungguhnya makin
menipis melihat keadaan itu 34.

Tetapi apa yang menyebabkan kematian Soekarno, Dewi Soekarno istri mendiang
Presiden Republik yang pertama mempunyai jawaban yang berbeda dengan sejarah resmi
(yang menyatakan bahwa meninggalnya Soekarno karena sakit). Menurut Dewi
Soekarno, kematian Soekarno tidak wajar dan Soekarno dipaksa tentara untuk dibawa ke
RSPAD kendati menolak.35 Sebagai satu-satunya dokter kepresidenan yang masih hidup,
Prof Dr Mahar Mardjono menyatakan bahwa Soekarno menderita gagal ginjal kronis dan
gangguan kesehatan lain seperti hipertensi dan penyakit jantung. Menurutnya kondisi
umum Soekarno diduga kuat terkait stress (depresi) yang dideritanya karena turun dari
jabatan Presiden dan diisolasi. Semua dokter pasti tahu bagaimana dampak mental dari
seseorang yang diperlukan seperti itu. Seorang pengidap penyakit kronis yang sama
mungkin tak perlu menderita seperti itu bila kondisi dirinya dalam keadaan bebas dan
gembira Mahar Mardjono menyangkal kalau Soekarno dibunuh atau disuntik obat tidur.36
Pemerintah Habibie tidak merasa perlu melakukan klarifikasi terhadap ucapan Dewi
Soekarno karena pemerintah sudah mempunyai bukti dari tim dokter yang sampai

32
“ Ada Upaya Pemalsuan Supersemar,” Bisnis Indonesia, 16 Oktober 1998 .
33
John D Legge . Sebuah Biografi Politik . Jakarta : Sinar Harapan , 1985, hal. 408-409
34
Rachmawati Soekarnoputri. Bapaku Ibuku . Jakarta : Garuda Metropolitan Press, hal.
235 – 236.
35
“Dewi tentang Misteri Kematian Soekarno,” Suara Pembaruan , 8 Oktober 1998.
36
“Dr Mahar Mardjono : Bung Karno Meninggal dengan Tenang,” Suara Pembaruan ,
12 Oktober 1998.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 15
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sekarang menjadi pegangan (yang menyatakan Soekarno meninggal karenna sakit).37


Anhar Gonggong dan Onghokham sejarawan UI meragukan kebenaran ucapan Dewi
Soekarno yang menyatakan kematian Soekarno tidak wajar.38

De-Soekarnoisasi di Era Reformasi

Kendati pemerintahan Soeharto telah berakhir tanggal 21 Mei 1998, tetapii mewaspadai
ajaran Soekarno tetap terjaga. Ketika menerima pimpinan Pemuda
Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiah di Bina Graha, Senin malam 3 Mei 1999,
Presiden Habibie mensinyalir bahaya komunisme, marhaenisme dan sosialisme
dalam situasi Indonesia sekarang. Ia menyebutkan tiga ideologi sebagai “kosmas
“ dan dengan demikian sempat memperkaya daftar akronim yang sidah panjang
dengan sebuah entri baru. Saat ini “kosmas“ menginginkan terjadinya disintegrasi
bangsa. Sebagaimana dikutip Nadjamuddin Ramly, Ketua Pemuda
Muhammdiyah, seusai pertemuan di Bina Graha, Kepala Negara menyatakan
bahwa “kosmas“, Komunis, Marhaenisme dan Sosialis yang ingin merebut
kekuasaan dengan menggunakan segala macam cara. Ucapan Habibie ini
langsung memicu diskusi ramai.39 Banyak yang terkejut dan terperangah oleh
pernyataan Habibie. Hampir-hampir tidak bisa dipercaya, mengapa dalam zaman
reformasi pro demokrasi, pro supremasi hukum, dan pro hak asasi manusia, isu
tuduhan semacam itu muncul lagi. Karena zaman sedang berubah dan sesuai
dengan prinsip demokrasi, keterbukaan, kebebasan serta hukum menjadi
komitmen serta kriterianya, Orang bertanya, apa sebenarnya motif
dilontarkannya pola dan cara lama itu? Sulit disalahkan, jika misalnya ada yang
beranggapan isu stigma itu dilontarkan sekarang ini dengan motif politik. Apakah
misalnya, tujuannya untuk mendeskreditkan gerakan politik yang berpaham
marhaenisme ? 40

37
“ Bung Karno Meninggal karena Sakit Ginjal, “ Media Indonesia, 8 Oktober 1998 .
38
“ Ong : Apakah Dewi Berada Disampingnya,” Merdeka, 8 Oktober 1998 dan “ Dari
Ilmu Sejarah , Keterangan Dewi Kesalahan Besar,” Suara Karya,12 Oktober 1998 .
39
K Bertens .Perspektif Etika. Esai-Esai tentang Masalah Aktual.Yogykarta : Kanisius ,
2000, hal. 34.
40
“ Bagaimana Kita Menjelaskan adanya Gerakan Komunis, Marhaenis, Sosialis,” Tajuk
Rencana Kompas, 5 Mei 1999.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 16
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pada saat membuka Konferensi Pemuda Indonesia di Istana Merdeka pada 7 Mei 1999,
Presiden BJ Habibie meminta semua pihak tidak menyalahkan berbagai golongan
yang pernah ia sebut dengan singkatan (Komunisme, Marhaenisme,dan Sosialisme)
itu sebagai mengindentifikasikan antara marhaenisme, sosialisme dan gerakan
komunisme. Yang dimaksudkan oleh Habibie adalah gerakan Komunisme,
Marxisme dan Leninisme. Gerakan dan doktrin itu dianggap bertentangan dengan
falsafah Pancasila. Menurut Habibie, gerakan atau doktrin dari ketiga isme itu
mempertentangkan kelas dalam masyarakat, menggunakan pendekatan konflik dan
tidak demokratis karena bersifat monolitik. 41

Kosmas ala Habibie jelas berbeda dengan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis)
yang dicetuskan Soekarno. Nasakom justru merupakan upaya politik Soekarno demi
mempersatukan kelompok-kelompok yang secara ideologis berbeda. Kalau Soekarno
dianggap salah karena merangkul kaum komunis, hal itu kita terima sebagai kenyataan
sejarah. Tetapi yang pasti Nasakom dicetuskan tidak untuk mencari kambing hitam dan
dicurigai, melainkan sebagai upaya mempersatukan bangsa.42

Komunisme mempunyai nama buruk di Indonesia, tetapi tidak banyak orang mampu
menjelaskan dengan agak memuaskan apa yang diajari oleh ideologi ini. Kebanyakan
orang hanya mengetahui bahwa komunisme adalah suatu ideologis ateis yang menolak
adanya Tuhan. Hal itu memang benar. Negara-negara Komunis dalam abad ke-20 adalah
negara ateis pertama dalam sejarah, sedangkan kita di Indonesia hidup dalam negara yang
berasas Ketuhanan Yang Maha Esa (yang menjadi asas dari Marhaenisme).

Sosialisme dan Komunisme termasuk didalamnya harus dimengerti dalam persektif


sejarah. Sosialisme adalah reaksi atas liberalisme dan kapitalisme menempatkan individu
diatas masyarakat menilai milik pribadi sebagai suatu hal yang suci. Sosialisme
memperjuangkan nasib kaum buruh yang menjadi korban dari kapitalisme liberalistis.
Sosialisme menempatkan masyarakat di atas individu. Mereka menekankan bahwa
kekayaan di bumi ini harus bisa dinikmati oleh semua orang. Karena itu struktur-struktur
kepemilikan dalam masyarakat industri kapitalis harus diubah. Harus ditegakkan keadilan
sosial sehingga semua orang dapat hidup dengan pantas. Menurut soslisme komunistis,
perubahan sosial itu hanya mungkin diwujudkan dengan kekerasaan. Komunisme bersifat
anti demokrasi. Tetapi ada bentuk-bentuk sosialisme yang menganggap demokrasi
sebagai nilai modern yang sangat berharga. Mereka juga ingin merealisasikan cita-cita
sosialistis tapi melalui jalan demokratis.43

Jika berbicara tentang marhaenisme, ada baiknya hendak kita mengikut ajaran-ajaran
Marhaenisme dan penciptanya sendiri (Soekarno), sebagaimana diputuskan oleh
Konferensi Partindo di Mataram (Yogyakarta ) tahun 1933. (1) Marhaenisme adalah azas,
yang menghendaki susunan masyarakat kaum Marhaen; (2) Marhaenisme adalah cara-
perjuangan revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya; (3)

41
“Presiden BJ Habibie :Marhaenisme dan Sosialisme tak identik dengan Komunisme.”
Kompas, 8 Mei 1999.
42
“ Kosmas yang Membingungkan,” Bisnis Indonesia, 8 Mei 1999.
43
K Bertens, Op.Cit., hal. 35.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 17
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Marhaenisme adalah asas dan cara perjuangan menuju hilangnya kapitalisme,


imperialisme dan kolonialisme.

Marhaenisme juga disebut sebagai sosialisme dan sosio-demokrasi, karena nasionalisme


kaum marhaen adalah nasionalisme yang sosial-bewust dan karena demokrasinya kaum
marhaen adalah demokrasi yang sosial-bewust pula. Dan siapakah yang bisa disebut
sebagai kaum Marhaen itu yang disebut kaum Marhaen adalah kaum proletar Indonesia,
kaum tani melarat Indonesia dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
Kalau ada yang mengatakan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme dengan kondisi
dalam masyarakat Indonesia sendiri adalah berasalan. Soekarno sendiri berkali-kali
menegaskan bahwa orang tidak dapat mengerti Marhaenisme, jikalau ia taidak
mempelajari dan mengerti Marxisme. Berulang kali Soekarno mengatakan dirinya
seorang Marxis dan paham Marxisme adalah “ yang membakar Soekarno punya jiwa “.44

Ada sejumlah buku yang mengarah kepada upaya de-Soekarnoisasi menjadikan mantan
Presiden RI pertama sebagai dalang peristiwa G30S/1965 dan bertanggung jawab
atas segala dampak kudeta berdarah itu. Proses ini terkesan sebagai pengulangan
dari yang dilakukan terhadap Soekarno tahun 1970-an.

Pada 17 November 2005, di Jakarta diluncurkan buku Sukarno File, Berkas-berkas


Soekarno 1965-1967, dan Kronologi Suatu Keruntuhan yang ditulis Antonie CA Dake.
Bukan hanya sekadar mengatakan bahwa Soekarno “ biang yang sebenarnya “ dari apa
yang terjadi pada paruh akhir 1965, Dake juga men8uding bahwa sang proklamator “
secara langsung harus memikul tanggung awab atas pembunuhan enam jendral dan
secara tidak langsung untuk pembantaian antara komunis dan bukan komunis yang
berlangsung kemudian .”

Buku Victor Miroslav Fic Kudeta 1 Oktober 1965. Sebuah Studi Tentang Konspirasi
(2005) dan buku Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutupi, Peristiwa Fatal di
Sekitar Kejatuhan Bung Karno ( 2005 ) juga mendukung tesis keterlibatan Soekarno
dalam G30S. Apa yang ditampilkan hari-hari ini merupakan pengulangan dari de-
Soekarnoisasi (jilid satu) yang telah dimulai pasca-G30S/1965. Yang menarik adalah
upaya de-Soekarnoisasi belakangan ini seakan-akan seiring dengan Soehartoisasi, yaitu
memulihkan nama baik Soeharto. 45

Penutup

Tidak dapat dipungkiri, bahwa Soekarno, setidak-tidaknya hingga sekarang merupakan


tokoh sejarah yang kontroversial. Bicara atau menulis mengenai Soekarno masih
merupakan sesuatu hal yang mengandung resiko bagi seorang Indonesia yakni resiko
dituduh sebagai pendukung Soekarno pada satu pihak dan dituduh anti Soekarno di lain

44
H Roeslan Abdulgani . Sosialisme Indonesia. Jakarta : Yayasan Prapanca, 1965, hal. 36
- 37.
45
Asvi Warman Adam. Membongkar Manipulasi Sejarah .Kontroversi Pelaku dan
Persitiwa. Jakarta : Kompas, 2009, hal. 107 – 111.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 18
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pihak. Namun kiranya kita harus berani menyampaikan pendapat kita masing-masing
mengenai Soekarno, apapun pendapat kita itu. Meskipun kita masing-masing tidak dapat
mencapai taraf obyektif mutlak, namun paling tidak kita dapat berusaha keras untuk
bersikap sejujur-jujurnya dan seimbang mungkin.

Apabila seorang terpanggil untuk mencari kebenaran tentang Soekarno dan ingin
menyampaikan kepada khalayak ramai secara tertulis apa yang telah diketemukan dan
dipahami dalam usaha mencari kebenaran itu, maka ia sedang dalam proses menulis
sejarah. Apa yang kemudian ditulisnya tidak akan sampai kepada kebenaran yang mutlak,
hanyalah akan sampai pada mendekati kebenaran. Oleh karena itu pada saat tulisannya
ini disampaikan kepada umum, maka disitulah akan segera diketahui atau dirasakan oleh
para pembicara seberapa jauh tulisan itu masuk akal, dapat dipercaya dan menimbulkan
reaksi amarah dan sebagainya .

Mendekati kebenaran sejarah diperlukan sebuah metode. Karena menulis sejarah berarti
menggunakan sumber primer dan sumber sekunder dan mencoba membandingkan
dengan yang lain yang bersangkut paut dengan pokok persoalan. Sampai disini penulis
sejarah mulai mengijak bagian yang pelik dalam menulis sejarah dengan kejujuran
maksimal, yaitu melakukan tafsir dan mengelompokan fakta-fakta dalam macam-macam
hubungan satu sama lain. Barulah ia membuat konstruksi dan menyampaikan hasil
usahanya mendekati kebenaran tentang Soekarno.46

Dalam rekontruksi sejarah yang mencoba menghadirkan kembali kelampauan pemberian


keterangan adalah suatu kemestian yang tak terhindarkan. Terlepas dari segala
kemungkinan “dosa “ dan ketegelinciran kepada segala macam kesalahan itu, rekontruksi
sejarah memang tak jarang dibayangi nemesis yang sewaktu-waktu bisa tercipta. Kutuk
yang terberat yang bisa menimpa penulisan sejarah ialah ketika apa yang diajukan
menjadi unsure disintegratif sosial. Dalam situasi ini kelihatan dengan jelas adanya
hubungan yang bercorak dialektis antara sejarah yang dikisahkan dengan masyarakat
yang menjadi khalayak dan sekaligus obyek kajian dari studi sejarah itu. Masyarakat,
yaitu obyek dan khalayak sejarah, memberi reaksi terhadap gambaran yang telah
diberikan pada masa lalunya.

Kontroversi disekitar Soekarno memperlihatkan dengan jelas betapa unsur disintegratif


telah berperan. Dalam suasana ini, sejarawan mau tidak mau telah terlibat. Perdebatan-
perdebatan yang mengiringi kasus-kasus ini, memperlihatkan betapa suatu suasana
kewajaran historis, yang telah dirasakan sebagai suatu kepastian, tergoncang oleh
tantangan baru. Tantangan ini ternyata tidak diterima sebagai pengujian terhadap
kewajaran histories, yang bahkan telah berperan sebagai mitos peneguh itu, tetapi sebagai
implikasi yang bersifat “subversif”, dan konsep kewajaran historis lain, yang
antagonistik.

46
Abdurrachman Suryomihardjo ,” Bung Karno dalam Penulisan Seajarah Indonesia ,”
Kompas , 2 Maret 1981.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 19
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Konflik, antar komunitas–sejarah umumnya lebih bersifat latent dariipada terbuka.


Namun, reaksi dan komunitas sejarah terhadap segala tantangan akan mengurangi
kewajaran historis, merupakan peristiwa yang sering terjadi. Pengingkaran validitas
mungkin betolak dari dimensi-kebenaran, tetapi dapat pula berfungsi sebagai unsur
“demitologi”. Jika ini terjadi, maka salah satu sendi yang mungkin merupakan “struktur
keniscayaan“ telah digoyahkan. Dengan begini pula konfirmasi sosial terhadap realitas
yang diyakini sebagai “riil” menjadi problematik. Maka suasana krisis, betapapun
entengnya telah diperkenalkan

Terlepas dari apa yang diperdebatkan dan bagaimana pula tingkat intensitas perasaan
yang terlibat di dalamnya, pluralitas sejarah, yang menjadi sebab perdebatan ini sama
sekali tidaklah unik. Hal ini memperlihatkan dengan jelas bahwa sejarah sebagai sesuatu
yang dikisahkan, tidaklah urusan sejarawan saja. Sejarah sebagai kisah harus
disampaikan. Maka dengan begini sejarah tidak saja harus memakai wacana, tetapi
sejarah itu sendiri adalah suatu wacana, sejarah tidak saja mewakili realitas dan bahkan
menciptakannya, tetapi juga menentukan bentuk dan sifat realitas itu. Tanpa sejarah,
bukanlah peristiwa masa lampau tidak ada. Tetapi penulisan sejarah sekaligus juga
menolak untuk mengadakan formulasi yang sama dari wacananya. Maka disamping
kepastian historis dari rekontruksi sejarah, yang telah melalui proses pengerjaan sejarah
(menemukan, melukiskan dan menerangkan), selalu menjadi problematik. Elemen-
elemen sejarah, yang membentuk kronikel, dapat menyentuh khalayak dan obyek sejarah
tersebut Dengan begitu dinamika hubungan sejarah, sebagai bentuk wacana dengan
masyarakat, serta komunitas sejarah yang berada didalamnya bermula.

Dalam konteks masyarakat tradisional, di mana sejarawan sejarah adalah segala-galanya,


baik sebagai mitos-peneguh, maupun sebagai dasar legitimasi kekuasaan, sejarawan
seluruhnya terluluh dalam masyarakatnya, yang sering juga merupakan komunitas-
sejarahnya, tetapi juga anggota dari dunia akademis. Dalam dunia ini bukanlah suasana
konsesus norma dan nilai yang dituntut tetapi ketaatan pada konvensi akademis, yang
berlandaskan rasionalitas dan integritas intelektual antara lain. Bukanlah nilai-nilai
kewajaran historis yang berbicara lantang tetapi tuntutan etis dan teknis dari the man on
truth. Tidaklah keutuhan kosmos yang menjadi perhatian pokok, tetapi
pertanggungjawaban akademis terhadap penemuan, pelukisan dan memberi keterangan
historis.

Maka, suatu suasana dilematis bisa terhampar dihadapan sejarawan. Suasana lebih
dirasakan dalam masyarakat yang sedang dalam proses perubahan ketika tatanan sosial
baru telah dibayangkan tetapi idealisasi dari tantanan lama tetap mencekam. Kasus-kasus
perdebatan kesejarahan yang telah terjadi mengisyaratakan dengan keras suasana yang
bisa terjadi itu. Tetapi kasus-kasus ini memberi pesan moral lain. Disamping menuntut
sejarawan untuk sekali-kali merenungkan fungsi dan makna perannya sebagai
cendikiawan, kasus-kasus tersebut memperlihatkan betapa mutlaknya integritas ilmu dan
betapa perlunya sejarawan untuk selalu mempertanyakan kemampuan teknis dan
metodeloginya seabagai pekerja ilmiah. Kasus-kasus ini memperlihatkan situasi kultural

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 20
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dalam mana sejarawan harus menjalankan tugasnya dan perannya. Seorang sejarawan
harus mencari kebenaran bukan pembenaran. 47

Kendati sejarawan berada dalam tantangan tetapi tulisan yang berkaitan dengan
Soekarno, yang bertolak dari mencari kebenaran bukan pembenaran sangat diperlukan.
Perbedaan pandangan diluar de-Soekarnoisasi atau mitosisasi harus dihargai.
Penghargaan yang diberikan bisa melahirkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan
Soekarno yang dapat dipertanggungjawabkan.

47
Taufik Abdullah,” Pengalaman yang Berlalu, Tantangan yang Mendatang : Ilmu
Sejarah di tahun 1970-an ,” dalam Harsya W Bachtiar et al. Masyarakat dan
Kebudayaan . Jakarta : Djambatan , 1988, hal. 224 – 267.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 21
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like