You are on page 1of 30

Peter Kasenda

Amandemen UUD 1945: Sebuah Perdebatan

Alasan paling mendasar perlunya suatu konsitusi baru adalah sifat darurat Undang-
Undang Dasar 1945. Kedaruratan Konsitusi tersebut dinyatakan oleh para
penyusun UUD 1945 pada bagian aturan tambahan angka dua (2) yang
menegaskan sebagai berikut : “….dalam enam bulan sesudah Majelis
Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menerapkan
Undang-Undang Dasar. Namun sifat darurat tersebut bertahan sampai dengan
lebih dari setengah abad. Selama itu pula UUD 1945 terbukti mempunyai
banyak kelemahan, meskipun telah diamandemen. Kelemahan tersebut terutama
terletak pada pasal-pasalnya yang multi-tafsir sehingga mengundang perdebatan
yang tidak berkesudahan. ( J Kristiadi 2002 : 116 )

Amandemen UUD 1945 merupakan sebuah kebutuhan dalam rangka merajut demokrasi
masa depan yang lebih baik karena di dalam kenyataannya UUD 1945 yang
hanya berjumlah 37 Pasal telah memberikan peluang munculnya
otoritarianisme yang sangat panjang dalam sejarah kehidupan politik Indonesia,
karena pada hakekatnya UUD 1945 yang asli dapat menimbulkan interprestasi
yang berbeda sesuai dengan kepentingan politik masing-masing, sebagaimana
halnya dilakukan oleh Presiden Soekarno yang mengantarkannya menjadi
Presiden seumur hidup, dan juga dilakukan oleh Soeharto yang juga
menjadikannya presiden selama 30 tahun secara terus menerus. Oleh karena itu
amandemen merupakan kelanjutan dari proses reformasi politik yang sudah
dicanangkan sejak masa pemerintahan Presiden Habibie supaya kita jangan
sampai mengulangi kembali pengalaman buruk dengan otoritarianisme dengan
implikasinya yang sangat tidak mengguntungkan baik dalam bidang sosial,
apalagi dalam bidang ekonomi dan politik.

Tentu saja masyarakat Indonesia tidak akan mau lagi terperangkap oleh kekuasaan yang
otoritarian untuk ketiga kalinya, dan untuk itulah memang diperlukannya amandemen
1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

terhadap UUD Negara guna membangun kehidupan politik yang lebih baik. Disamping
itu juga harus dicatat bahwa gelombang demokrasi yang membawa implikasi terhadap isu
HAM, Gender dan lain-lainnya dan tidak mungkin dinafikan lagi oleh bangsa Indonesia.
Oleh karena itu amandemen juga diperlukan dalam rangka memberikan batasan yang
jelas tentang kekuasaan negara, hak-hak individu dalam kehidupan negara, serta
menentukan prosedur demokrasi sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat, seperti misalnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, proses
pemberhentian presiden kalau di dalam menjalankan tugasnya terdapat pelanggaran yang
serius terhadap konsitusi, mekanisme hubungan kelembagaan antara eksekutif, legislatif,
dan yudikatif yang dikenal dengan mekanisme check and balances, dan lain-lain
sebagainya

Akan tetapi sebelum dilakukan amandemen memang sudah seharusnya dilakukan


kesepakatan terlebih dahulu apa saja yang menjadi prioritas untuk dilakukan amandemen
terhadap amandemen UUD 1945 tersebut sehingga perubahan terhadap kehidupan politik
nasional dapat dilakukan secara terarah dan dapat dikelola sehingga menjamin stabilitas
politik nasional. Tampaknya inilah yang menjadi menjadi persoalan bangsa Indonesia
sekarang ini. Amandemen yang telah dilakukan tidak direncanakan dengan baik dan tidak
bersifat integrative sehingga menimbulkan masalah baru sebagaimana yang sedang kita
saksikan sekarang ini, Tulisan ini mencoba memberikan beberapa kontribusi dalam
rangka perdebatan tentang amandemen UUD 1945. ( Afan Gaffar 2002 : 432 )

Undang-Undang Dasar dan Konsitusionalisme

Dalam kehidupan sehari-hari kita telah terbiasa menerjemahkan istilah dalam bahasa
Inggris consitution menjadi Undang-Undang Dasar (UUD). Sebenarnya ada kesukaran
atau kekurangan dengan pemakaian istilah UUD, yakni kita langsung membayangkan
suatu naskah tertulis. Padahal istilah constitution bagi banyak sarjana ilmu politik
merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan – baik
yang tertulis, maupun yang tidak – yang mengatur secara mengikat cara-cara
pemerintahan diselenggarakan dalam masyarakat.
2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dan rupa-rupanya para penyusun UUD 1945 menganut pikiran yang sama, sebab dalam
Penjelasan UUD 1945 menganut pikiran yang hanya sebagian dari hukumnya dasar
negara itu. UUD ialah Hukum Dasar yang tertulis, sedang di samping UUD itu berlaku
juga Hukum Dasar yang tak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara
dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.”

Apakah Undang-Undang Dasar (UUD) itu? Umumnya dapat dikatakan bahwa UUD
merupakan suatu perangkat peraturan yang menentukan kekuasaan dan tanggung jawab
dari berbagai alat kenegaraan. UUD juga menentukan batas-batas berbagai pusat
kekuasaan itu dan memaparkan hubungan-hubungan di antara mereka.

Bagi mereka yang memandang negara dari sudut pandang kekuasaan dan
menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan. UUD dapat dipandang sebagai lembaga
atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa
lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, badan eksekutif, dan badan
yudikatif. UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini melakukan
kerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain. UUD merekam hubungan-hubungan
kekuasaan dalam suatu negara. UUD sebagai riwayat suatu hubungan kekuasaan.

UUD sebenarnya tidak dapat dilihat lepas dari konsep konstitusionalisme, suatu konsep
yang telah berkembang sebelum UUD pertama dirumuskan Ide pokok dari
konsitusionalisme adalah bahwa pemerintah perlu dibatasi kekuasaannya (the limited
state), agar penyelenggarannya tidak bersifat sewenang-wenang. Dianggap bahwa suatu
UUD adalah jaminan utama untuk melindungi warga dari perlakuan yang semena-mena.
Dengan demikian timbul konsep the constitutional state, di mana UUD dianggap sebagai
institusi yang paling efektif untuk melindungi warganya melalui konsep Rule of Law atau
Rechsstaat.

Kita perlu menyadari bahwa gagasan konsitusionalisme telah timbul lebih dahulu
daripada UUD. Paham konsitusionalisme dalam arti bahwa penguasa perlu dibatasi
3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kekuasaannya dan karena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas, telah timbul
pada Abad Pertengahan di Eropa. Pada tahun 1216, Raja John dari Inggris dipaksa oleh
beberapa bangsawan untuk mengakui beberapa hak mereka – antara lain Raja John
menjamin bahwa pemungutan pajak tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari yang
bersangkutan. Pada waktu itu juga disetujui bahwa tidak akan dilakukan penangkapan
tanpa peradilan, sebagaimana dicantumkan dalam Magna Charta (Piagam Besar). Dalam
Charter of English Liberties ini Raja John menjamin bahwa pemungutan pajak tidak akan
dilakukan tanpa persetujuan dari yang bersangkutan, dan bahwa tidak akan diadakan
penangkapan tanpa peradilan. Meskipun belum sempurna, Magna Charta di dunia Barat
dipandang sebagai awal gagasan Konsitusionalisme serta pengakuan terhadap kebebasan
dan kemerdekaan rakyat.

Mulai akhir abad ke-18 muncul berbagai rumusan undang-undang dasar dalam bentuknya
seperti yang kita kenal dewasa ini. UUD dianggap sebagai jaminan yang paling efektif
bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan dan hak-hak warga negara tidaki dilanggar.
Untuk itu perlu dicari suatu sistem asas-asas pokok yang menentukan kekuasaan itu dan
hak baik bagi yang memerintah (penguasa, the ruler) maupun bagi yang diperintah
(rakyat, the ruled ). UUD yang pertama dipaksakan oleh rakyat yang tidak bersedia lagi
untuk diperintah dengan kekuasaan absolut, atau dalam beberapa kasus Napoleon dari
Prancis dan Czar Nicholas dari Rusia dianugerahkan oleh raja yang bijak dan progresif
pikirannya.

Warga–warga baru yang timbul di Asia dan Afrika mempunyai UUD sebagai salah satu
atribut kenegaraan yang melambangkan kemerdekaan yang baru diperoleh itu. Di negara-
negara itu ada yang menganggap UUD sebagai suatu dokumen yang mempunyai arti
yang khas ( Konstitusionalisme), seperti misalnya India, Filipina ,dan juga Indonesia.

Walaupun UUD satu negara berbeda dengan negara lain, kalau diperhatikan secara
cermat ada ciri-ciri yang sama, yaitu biasanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai
soal-soal sebagai berikut : (1) Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta hubungan di antara ketiganya .; (2) UUD juga
4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

memuat bentuk negara ( misalnya federal atau negara kesatuan), beserta pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara-bagian atau antara
pemerintah dan pemerintah daerah ; (3) Hak-hak asasi manusia ; (4) Prosedur mengubah
UUD (amandemen) ; (5) Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu
dari UUD ; (6) Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga
negara dan lembaga negara tanpa kecuali dan (8) Selain itu mukadimah undang-undang
dasar sering memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara. Ungkapan ini
mencerminkan semangat dan spirit yang oleh penyusun UUD ingin diabadikan dalam
UUD itu, sehingga mewarnai seluruh naskah UUD itu. ( Miriam Budiardjo 2008 : 169 –
178 )

Perubahan Undang-Undang Dasar ( Amandemen )

Adakalanya suatu UUD dibatalkan dan diganti dengan UUD baru. Hal semacam ini
terjadi jika dfanggap bahwa UUD yang ada tidak lagi mencerminkan konstelasi politik
atau tidak lagi memenuhi harapan rakyat dan aspirasi rakyat. Misalnya, sesudah Prancis
dalam tahun 1946 dibebaskan dari pendudukan tentara Jerman, dianggap perlu
mengadakan UUD yang mencerminkan lahirnya negara baru, yaitu Republik Prancis IV.
Begitu pula pada tahun 1958 UUD dibatalkan dan diganti dengan suatu UUD yang
melahirkan Republik Prancis V, dibawah pimpinan Presiden De Gaulle. Kedua
pergantian UUD menunjukkan ditinggalkannya masa lampau dan dimulainya halaman
konsitusional yang baru. Sejak 1787 Prancis sudah mempunyai tidak kurang dari 17
UUD.

Selain pergantian secara menyeluruh, tidak jarang pula negara mengadakan perubahan
sebagian dari UUD-nya. Perubahan ini dinamakan amandemen UUD biasanya memuat
prosedur untuk menampung hasrat melakukan perubahan parsial tersebut. Pola umumnya
dianggap bahwa suatu UUD tidak boleh terlalu mudah diubah, oleh karena hal itu akan
merendahkan arti simbolis UUD itu sendiri. Di lain pihak hendaknya jangan pula terlalu
sukar untuk mengadakan amandemen, supaya mencegah generasi mendatang merasa
terlalu terkekang dan karenanya bertindak di luar UUD.
5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Selain pergantian secara menyeluruh tidak jarang pula negara mengadakan perubahan
sebagian dari UUD-nya. Perubahan ini dinamakan amandemen UUD biasanya memuat
prosedur untuk menampung hasrat melakukan perubahan parsial tersebut. Pada umumnya
dianggap bahwa suatu UUD tidak boleh terlalu mudah diubah, oleh karena hal itu akan
merendahkan arti simbolis UUD itu sendiri. Di lain pihak hendaknya jangan pula terlalu
sukar untuk mengadakan amandemen, supaya mencegah generasi mendatang merasa
terlalu terkekang dan karenanya bertindak di luar UUD.

Hal ini kemudian menimbulkan masalah baru, yaitu siapa yang berwenang untuk
melakukannya? Dalam hubungan ini terdapat prosedur yang berbeda-beda di antara satu
negara bagian dengan yang lain, namun secara umum bisa disebutkan sebagai berikut :
(1) Melalui sidang badan legislatif, kadang-kadang dengan ditambah beberapa syarat,
misalnya dapat ditetapkan kourum untuk sidang yang membicarakan usul amandemen
dan jumlah minimun anggota badan legislatif untuk menerimanya (contoh : Inggris,
Israel, Belgia, dan UUD Republik Indonesia Serikat 1949). Di Inggris, bahkan secara
ekstrem dapat dikatakan bahwa Parlemen-lah yang paling berwenang untuk mengubah
atau tidak mengubah UUD. Demikian pula di Israel, Knesset-lah yang mempunyai
wewenang tersebut ; (2) Referendum atau plebisit ( contoh: Swiss, Australia, Denmark,
Irlandia, dan Spanyol). Di negara-negara ini referendum dilaksanakan untuk memintakan
persetujuan atas usul perubahan atau amandemen yang diajukan oleh anggota parlemen;
(4) Musyawarah khusus (special convention) seperti yang diberlakukan di beberapa
negara Amerika Latin.

Di Indonesia wewenang untuk mengubah UUD ada di tangan Majelis Permusyawaratan


Rakyat (MPR) dengan ketentuan bahwa kuorum adalah 2/3 dari anggota MPR,
sedangkan usul perubahan UUD harus diterima oleh 2/3 dari anggota yang hadir (Pasal
37) Sejak tahun 1999, tak lama setelah rezim Orde Baru berakhir kekuasaannya, UUD
1945 telah 4 kali dimandemen. Banyak perubahan yang sangat subtansial dalam
ketatanegaraan kita yang berubah akibat dari adanya amandemen tersebut. ( Miriam
Budiardjo 2008 : 181 – 185 )
6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Ada tiga kemungkinan perubahan konsitusi, yaitu Pertama, proses perubahan konsitusi
yang evolutif. Pada proses ini, perubahan konsitusi dilakukan secara gradual sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Secara umum ada kecenderungan
yang menarik untuk dilihat. Pada negara maju, proses perubahan itu menuju pada
pemberian dan pengaturan kewenangan kekuasaan makin menguat, kemampuan publik
untuk mengontrol kekuasaan itu kian melemah.

Kedua, proses perubahan konsitusi yang bersifat progresif. Pada proses ini terjadi
perubahan yang komprehensif dan fundamental pada konsitusi, misalnya perubahan yang
signifikan pada sistem dan struktur kekuasaan. Biasanya, ada tekanan dan perubahan
politik yang begitu mendasar yang memerlukan akomodasi dan konsensus baru, karena
tidak “tertampung “ di dalam sistem politik yang sudah ada. Kasus Afrika Selatan dapat
diambil sebagai contoh, ketika politik apartheid “dihancurkan“ maka bangunan sistem
politik yang menopangnya juga mengalami kehancuran.

Untuk itu, diperlukan sistem dan struktur politik baru yang dapat mengakomodasi
tuntutan sosial baru yang kesemuanya itu diletakkan di dalam konsitusi yang baru.
Tampaknya, derajat magnitude perubahan konsitusi mempunyai relasi yang erat dengan
besarnya perubahan sosial-politik yang terjadi, desakan dan tuntutan untuk melakukan
perubahan secara komprehensif dan gagasan perubahan pada sistem dan struktur
kekuasaan.

Ketiga, perubahan konsitusi yang bersifat intrumental saja. Proses perubahan ini dapat
terjadi melalui konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan baru yang berfungsi
mengkomplementasi praktek yang sudah ada, reinteprestasi tekstual pasal-pasal konsitusi
untuk mengakomodasi sutu kebutuhan baru, maupun perubahan yang bersifat sektoral
atas beberapa isu tertentu. Biasanya, aktor dan agen perubahannya berasal dari kalangan
kekuasaan, baik secara eksekutif maupun legislatif. Arah perubahannya bisa bermacam-
macam, ke arah pemisahan kekuasaan yang berpijak pada konstitusionalitas dan sistem
checks and balance maupun ke arah yang sebaliknya. Di dalam suatu negara di mana
7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lembga judikatifnya berfungsi optimal, perubahan konsitusi yang berasal dari keputusan
lembaga yudikatif cenderung ke arah yang lebih baik. ( Bambang Widjojanto 2002 : 476
– 477 )

UUD 1945 , Konsitusi RIS 1949 dan UUDS RI 1950

Pada konteks sejarah politik konsitusi di Indonesia, terjadi beragam perubahan.


Perubahan konsitusi paska kemerdekaan melalui pembuatan Konsitusi RIS dan Konsitusi
Sementara, merupakan proses perubahan konsitusi yang bersifat progresif. Sistem
kekuasaan yang terdapat pada kedua konsitusi itu secara diametral berbeda dengan UUD
1945. Bahkan, pembukaan UUD 1945 yang kini masih “disakralkan” oleh sebagian
orang, telah pernah diganti oleh kedua konsitusi di atas. Sementara itu, ketiga proses
amandemen yang dilakukan oleh MPR paska jatuhnya kepemimpinan Soekarno
cenderung bersifat instrumental. Kendati, ada perubahan yang agak bersifat “quasi-
progresif” di beberapa bagian tertentu, tetapi menyimpan problematika juridis yang
mengkhawatirkan. (Bambang Widjojanto 2002 : 477 )

Sejak memproklamasikan kemerdekaannya, Indonesia telah menerapkan tiga konsitusi


yang berbeda, yakni UUD 1945, Konsitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), dan UUDS
1950. Untuk membentuk suatu negara yang demokratis pun mengalami pasang surut,
meskipun secara tersurat atau tersirat ketiga konsitusi tersebut menyatakan hendak
membangun suatu negara yang demokratis. Salah satu penyebab atau kendala utama
dalam menciptakan kehidupan kenegaraan yang demokratis justru bersumber dari
konsitusi itu sendiri. Salah satu kelemahan dari ketiga konsitusi tersebut adalah kurang
tegasnya penerapan asas cheks and balances yang biasanya tercermin dalam sistim
pemerintahan yang demokratis. Hal ini dapat dimengerti karena berbagai faktor yang
mempengaruhinya, antara lain faktor histories dalam arti situasi pembuatannya selalu
bernuansa darurat dan waktu yang tersedia untuk menyusunnya sangat singkat.

Pada dasarnya konsitusi merupakan suatu kontrak sosial atau perjanjian masyarakat
tentang bagaimana suatu masyarakat hendak diatur, siapa yang mempunyai otoritas untuk
8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mengatur, serta bagaimana struktur, fungsi, dan wewenang masing-masing pemegang


otoritas itu. Demokratis atau tidaknya konsitusi dapat dilihat dari sejauh mana konsitusi
tersebut telah mencerminkan ciri-ciri hakiki suatu negara demokratis. Ciri-ciri tersebut
adalah: (a) negara tersrbut berdasarkan hukum ; (b) pemerintah berada di bawah kontrol
nyata masyarakat ; (c) pemilihan umum yang bebas ; (d) menganut prinsip mayoritas ;
dan (e) terjaminnya hak-hak demokratis.

Salah satu faktor yang mempunyai andil besar terhadap konstruksi sebuah konsitusi
adalah faktor sejarah. Lahirnya ketiga konsitusi yang pernah berlaku di Indonesia juga
tidak terlepas dari sejarah kehidupan kebangsaan pada zamannya masing-masing. UUD
1945 misalnya dibuat dalam “ suasana darurat “ dan waktu yang sangat singkat. Suasana
darurat yang dimaksud adalah keadaan yang masih belum menentu sebagai akibat
selesainya Perang Dunia II. Menyerahnya Jepang kepada Sekutu memberikan
konsekuensi bahwa semua negara hasil taklukan Jepang, termasuk Indonesia secara
administrative akan diserahkan kepada pihak Sekutu. Padahal Jepang sebelumnya sudah
mempersiapkan kemerdekaan bagi Indonesia dengan membentuk suatu badan yang
bernama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Melihat keadaan yang demikian, Indonesia tentu
tidak ingin jatuh lagi pada hegemoni negara asing, maka Indonesia secara sepihak
memproklamirkan kemerdekaannya. Proklamasi kemerdekaan ini menimbulkan dua
implikasi politik mendasar ; yakni implikasi politik ke luar dan ke dalam. Implikasi
politik keluar adalah pengakuan atau penolakan atas proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pengakuan negara lain terhadap Indonesia sangat mendukung atau memberikan suasana
kondusif bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Sebaliknya penolakan atas
kemerdekaan Indonesia menyulitkan atau setidak-tidaknya mengganggu jalannya
kehidupan negara Indonesia yang baru merdeka. Implikasi ke dalam adalah perlunya
segera disusun suatu pemerintahan yang efektif, kesatuan masyarakat dan wilayah
sebagai prasyarat berdirinya suatu negara dalam sebuah Undang-Undang Dasar,

Sedangkan dari segi waktu, sebagai akibat suasana darurat maka dalam menyusun UUD
1945 hanya tersedia waktu 82 hari saja ( 29 Mei 1945 sampai dengan 18 Agustus 1945 ).
9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dalam waktu yang sangat singkat itu tentu para pemimpin bangsa tidak dapat
menuangkan pemikiran-pemikiran secara maksimal. Oleh karena itu, seperti diketahui
bahwa UUD 1945 mengandung berbagai keterbatasan yang banyak melahirkan berbagai
keterbatasan yang banyak melahirkan berbagai kontroversi , terutama ketika Indonesia
memasuki era reformasi. Namun dalam waktu transisi dari masa penjajahan menuju
kemerdekaan sebetulnya UUD 1945 sudah memadai. Hanya saja amanat UUD 1945 yang
menugaskan MPR untuk menetapkan Undang-Undang Dasar tidak pernah terlaksana dan
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang penyempurnaan atau perubahan yang
dimungkinkan oleh UUD 1945 itu sendiri tidak dapat dilakukan oleh UUD 1945 itu
sendiri tidak dapat dilakukan dengan baik dan benar hingga sekarang.

Sama halnya dengan UUD 1945, Konsitusi Republik Indonesia Serikat juga bernuansa
darurat karena konsitusi tersebut disusun berdasarkan Piagam Persetujuan antara delegasi
Republik Indonesia dan Delegasi Pertemuan Untuk Permusyawaratan Federal
(Bijeenkomst Federal Overleg ). Piagam yang disepakati dalam Konferensi Inter-
Indonesia yang berlangsung di Yogyakarta dan Jakarta ( bulan Juli dan Agustus 1949)
tersebut mengakhiri perseteruan intern Indonesia yang diciptakan oleh canpur tangan
pemerintah Kolonial Belanda melalui politik pecah-belah (devide et impera). Penyusunan
pikiran-pikiran ketanegaraan tersebut berlangsung dari bulan Agustus sampai akhir bulan
Oktober 1949 atau sekitar tiga bulan, dan ini tidak berbeda jauh dari waktu yang
dipergunakan untuk menyusun UUD 1945. Selain itu, Konsitusi RIS juga menyatakan
diri sebagai konsitusi sementara.

Sementara Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 secara


tersurat menyatakan diri sebagai konsitusi yang bersifat sementara yang juga berdasarkan
Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik
Indonesia tanggal 19 Mei 1950 . Meskipun namanya UUDS 1950 namun sebetulnya
hanya merupakan Konsitusi RIS yang diubah di sana sini dan kadang-kadang sangat
mendalam, seperti ketentuan bentuk federasi diganti dengan negara kesatuan. Demikian
pula penetapan kembali UUD 1945 didasarkan pada keadaan darurat melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 setelah Badan Konsituante hasil Pemilu 1955 Gagal mencapai
10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mufakat tentang dasar negara dalam konsitusi yang hendak disusunnya. Jadi semua
konsitusi yang pernah diberlakukan di Indonesia senantiasa bernuansa darurat dan
sementara, sehingga Indonesia senantiasa bernuansa darurat dan sementara, sehingga
Indonesia seutulnya belum pernah mempunyai konsitusi yang benar-benar dibuat oleh
suatu badan pembuat konsitusi atau badan konsituante. ( I Made Leo Wiratma 2002 : 99
– 192 )

Kembali Ke UUD 1945 ( Dekrit 5 Juli 1959 )

Dalam tindakan kembali ke UUD 1945, Soekarno menegaskan bahwa hakikat undang-
undang dasar ini harus dihormati sebagai “dokumen bersejarah “ yang unik. Ini berarti
bahwa undang-undang dasar tersebut harus diterima secara keseluruhan. Perubahan,
penambahan, atau apa pun akan mengurangi keaslian serta makna sejarahnya, dan akan
menghasilkan undang-undang dasar yang lain. Maknanya harus dipelihara sebagaimana
makna bendera Indonesia. Yang penting bukan bab-bab, pasal-pasal, rumusan-rumusan,
dan kata-kata yang semuanya bisa disempurnakan di masa mendatang, melainkan jiwa,
semangat dan kepribadian bangsa, dan Amanat Penderitaan Rakyat yang menjiwai
Proklamasi dan UUD 1945. Sebagai “dokumen bersejarah“. UUD 1945 telah meletakkan
landasan revolusi dan karena itu, harus dipertahankan sebagai landasan penyempurnaan
revolusi tersebut.

Soekarno menekankan bahwa UUD 1945 baru menjadi landasan negara seperti Undang-
Undang Dasar Amerika di Amerika Serikat, Undang-Undang dasar tersebut tercipta 200
tahun yang lalu dan tetap berlaku, walaupun sesuai dengan tuntutan zaman telah
ditambahkan amandemen. Menurut Pasal 37 UUD 1945, undang-undang dasar ini telah
ditambahkan amandemen, tetapi ini hanya boleh dilakukan kemudian setelah beberapa
tahun dijalankan, kalau kemantapan ekonomi dan politik sudah tercapai.

Seiring dengan usul untuk kembali ke UUD 1945, Presiden Soekarno juga mengusulkan
supaya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 diakui secara terbuka. Menurut pendapatnya, untuk
mengembalikan dan mempertahankan“ keamanan dan ketertiban“ yang dibutuhkan untuk
11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pembangunan, seluruh bangsa berikut Islam umat Islam bersatu. Kembali ke UUD 1945
tentu akan dapat diterima umat Islam jika, pada saat itu juga, Piagam Jakarta diakui.
Meskipun Piagam ini bukan bagian UUD 1945, menurut Soekarno, perlu diakui sebagai
dokumen bersejarah yang mempunyai makna besar bagi perjuangan rakyat Indonesia
yang telah mengilhami perumusan pembukaan sebagaia bagian inti dari undang-undang
dasar itu. Mengakui Piagam Jakarta akan berarti mengakui pengaruhnya pada UUD 1945,
yang terlibat bkan hanya dalam Pembukaan, tetapi juga dalam Pasal 29, yang meletakkan
dasar hukum kehidupan beragama.

Di bawah UUD 1945, sistem demokrasi parlementer yang berlaku saat itu, yang menurut
pemikiran Soekarno menjadi penyebab utama kerawanan politik, akan diganti dengan
sistem pembagian kekuasaan negara yang sangat berbeda. Baik kekuasaan eksekutif
maupun kekuasaan legislatif di pusatkan dalam tangan Presiden. Fungsi parlementer akan
dibagi antara Musyawarah Perwakilan Rakyat yang memegang wewenang tertinggi dan
Dewan Perwakilan Rakyat yang peran utamanya berubah menjadi lembaga konsultatif.
MPR akan terdiri dari anggota-anggota DPR, yang dipilih setiap lima tahun dan wakil-
wakil dari golongan fungsional dan dari daerah. Badan ini akan menetapkan garis-garis
besar haluan negara dan memilih presiden dan wakil presiden untuk jangka waktu 5
tahun. Selama masa jabatannya, presiden dan wakil presiden akan memegang kekuasaan
legislatif dengan persetujuan DPR, dan akan menjalankan kekuasaan eksekutif dengan
bantuan menteri-menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden bertanggung
jawab pada presiden. Karena presiden dan wakil presiden bertanggung jawab kepada
MPR, mereka tidak lagi dapat “diganggu gugat “oleh DPR. Sebaliknya, DPR tidak lagi
dapat dibubarkan oleh pemerintah, tetapi perannya akan dibatasi menjadi badan bersifat
konsultatif. Dengan demikian, akan terjamin pemerintahan yang mantap untuk jangka
waktu lima tahun dan tidak laki akan terjadi krisis kabinet dan perubahan dalam
pemerintahan yang telah mengganggu negara dan menyebabkan begitu banyak
keguncangan dalam kehidupan politik dalam negara, yang juga mempunyai dampak di
luar negeri.

12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dengan gaya partispasi demokratis di bawah Demokrasi Terpimpin yang bercirikan


konsultasi dan bukan lagi oposisi, pola politik permusuhan yang selalu menentang
pemerintah dalam keadaan apa pun akan berakhir, baik di dalam maupun diluar
Parlemen. Garis-garis besar haluan negara akan ditentukan oleh MPR melalui
musyawarah untuk memperoleh mufakat dan harus dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
permusyawaratan tanpa ganguan dari oposisi gaya demokrasi liberal. ( Adnan Buyung
Nasution 1996 : 321 – 324 )

Ada lima puluh tujuh pembicara yang mewakili hampir semua partai politik dan fraksi
yang ikut mempertimbangkan usul yang disampaikan dalam pidato Soekarno. Kemudian
Konsituante melanjutkan sidangnya untuk memungut suara untuk memutuskan usul
kembali ke UUD 1945. Karena tidak mempunyai dukungan dari semua fraksi Islam, usul
untuk kembali ke UUD 1945 tersebut ditolak dalam tiga sidang berturut-turut. Pada pagi
hari tanggal 30 Mei pemungutan suara pertama menghasilkan 269 suara mendukung dan
1999 suara menolak (mayoritas dua pertiga yang diperlukan ialah 316) Pada tanggal 1
Juni, pemungutan suara kedua menghasilkan 246 suara mendukung dan 204 suara
menolak (dua pertiga mayoritas yang diperlukan ialah 312). Pada tanggal 2 Juni
pemungutan suara ketiga menghasilkan 263 suara mendukung dan 203 suara menolak
(dua pertiga mayoritas yang diperlukan ialah 312 ). Ketua Sidang kemudian menyatakan
bahwa atas dasar penilaian obyektif, pemungutan suara sesudah itu tidak akan
menghasilkan perubahan. Karena itu, ia mengatakan bahwa “Konsituante tidak akan
mempertimbangkan ulangan pemungutan suara lagi. ( Adnan Buyung Nasution 1995 :
401 – 405 )

Hanya satu hari kemudian, Jendral Nasution, yang saat itu menjabat sebagai KSAD
dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan pusat hukum darurat, sampai saat
Presiden Soekarno kembali dari perjalannya ke luar negeri dan menangguhkan semua
rapat-rapat Konsituante, maklumat hukum darurat itu disetujui oleh Perdana Menteri dan
Menteri Pertahanan Djuanda, tanpa perundingan di dalam kabinet karena kekhawatiran
bahwa tidak akan tercapai kesepakatan kalau Kabinet terlibat. Maklumat ini, yang disusul

13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dengan intimidasi yang dilancarkan oleh patroli-patroli militer, menghentikan semua


kegiatan politik dari pihak-pihak yang menentang pemberlakuan kembali UUD 1945.

Meskipun demikian pihak-pihak yang mendukung UUD 1945 sangat aktif dan
menyuarakan dukungan kepada Pemerintah dengan nyaring. Daniel Lev mengatakan
bahwa kontrol yang ketat atas kegiatan politik dan pernyataan politik memaksa anggota-
anggota Konsituante untuk meninggalkan Bandung karena diberi peringatan bahwa
kehadiran mereka di sana dapat ditafsirkan sebagai kegiatan politik. Pada tanggal 3 Juli
1959, BKSPM ( Badan Kerja Sama Pemuda dan Militer) menghasilkan resolusi yang
menuntut supaya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945.
Pada hari itu juga, Jendral Sungkono anggota terkemuka dari Persatuan Veteran 1945,
mengirim kawat kepada Presiden Soekarno yang berisi permohonan serupa. Sementara
itu tersebar spekulasi baru mengenai kemungkinan kudeta yang akan dilancarkan
Angkatan Darat.

Dalam keadaan politik yang begitu tegang, ternyata bahwa kebanyakan di antara partai-
partai telah menerima pemberlakuan kembali UUD 1945 melalui dekrit sebagai
kesimpulan yang sudah dapat diduga dari awal, mereka hanya menanti pulangnya
Presiden Soekarno dari luar negeri. Pada awal bulan Juni 1959, pemimpin keempat partai
politik utama PNI, Masyumi, NU, dan PKI – dipanggil oleh pemimpin Angkatan Darat
untuk membahas duduk perkaranya. Hanya Masyumi yang menolak undangan itu.
Tetapi, ketiga partai lainnya menerima undangan Angkatan Darat itu dengan alasan dan
maksud yang berbeda-beda.

Pada tanggal 29 Juni 1959, Presiden kembali dari luar negeri dan disambut oleh massa
yang dikerahkan oleh Angkatan Darat dan dikendalikan oleh Front Nasional untuk
Pembebasan Irian Barat dengan poster-poster yang menyatakan “ Hidup Proklamasi dan
UUD 1945“ dan “Bung Karno, ambilah tindakan tegas“. Bendera nasional dikibarkan
selama sepuluh hari. Pada hari itu, Angkatan Darat sekali lagi menyelenggarakan rapat
panglima Angkatan Darat untuk memperagakan solidaritas dan dukungannya terhadap
pemberlakuan kembali UUD 1945 melalui dekrit.
14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pada tanggal 5 Juli 1959, Kabinet mengadakan rapat di Bogor yang juga dihadiri oleh
ketua Mahkamah Agung. Di sanalah tercapai kesepakatan supaya UUD 1945
dinyatakan berlaku kembali melalui dekrit, dengan keadaan darurat nasional
sebagai pembenaran legal. Pada siang hari itu, Presiden Sukarno, berbicara atas
nama rakyat Indonesaia menyatakan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang berisi (1) pembubaran Konsituante; (2) keputusan untuk memberlakukan
kembali UUD 1945; (3) penarikan kembali UUD 1950 dan, dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan
UUD 1945. Dengan demikian, matilah Konsituante yang menjulang begitu
tinggi pada bulan November 1956. ( Adnan Buyung Nasution 1995 ; 401- 405 )

Cukup menarik untuk dicatat bahwa dalam teks dekrit di atas, Soekarno sama sekali tidak
menyebut-nyebut tentang pemilihan umum sebagaimana diminta oleh UUD
1945. Hal ini dapat berarti bahwa ia tidak ingin mendapatkan legitimasi politik
melalui pemilihan umum. Seandainya pemilihan umum itu diadakan pada waktu
itu, Soekarno diperkirakan akan menang, karena hampir semua golongan
mendukungnya, kecuali Masyumi dan PSI yang tetap melawan sistem
Demokrasi Terpimpinnya, sebab dinilai sebagai move Soekarno untuk
menciptakan suatu negara kekuasaan, sebagai lawan dari negara hukum.

Selanjutnya, kita telusuri lagi hubungan Dekrit 5 Juli dan Piagam Jakarta. Disebutkan
dalam konsideran dekrit itu “…bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945
menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan sutu rangkaian-
kesatuan dengan konsitusi tersebut. Tercantumnya konsiderasi sangat penting ini
jelas merupakan suatu kompromi politik lagi antara pendukung dasar Pancasila
dan pendukung dasar Islam. Menurut pertimbangan kita, bilamana konsiderasi
itu mempunyai makna secara konsitusional, dan memang seharusnya demikian,
maka, sekalipun hanya secara implisit, namun gagasan untuk melaksanakan
syariah bagi penduduk agama Islam tidaklah dimatikan. Inilah barangkali
tafsiran yang akurat dan adil terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam
Jakarta. ( Ahmad Syafii Maarif 1985 : 178 – 181 ) )
16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pro-kontra mengenai Amandemen 1945

Semula, perdebatan pro-kontra mengenai amandemen UUD 1945 hanya terpolarisasi


menjadi kelompok pro UUD 1945 dan pro perubahan UUD 1945 saja. Kelopok pro UUD
1945 terbelah menjadi dua kelompok. Komunitas pro kekuasaan berpijak pada argumen
bahwa konsitusi tidak bisa diubah karena memang warisan terbaik dari founding father
dan sudah terbukti ampuh di dalam menyelamatkan bangsa ini dan punya fleksibilitas di
dalam menjamin “sistem kekuasaan’. Sedangkan kelompok pro lainnya mengatakan,
UUD 1945 tidak pernah dilaksanakan secara konsisten. Jadi bukan konsitusinya yang
tidak baik, tetapi para penyelenggara negara saja yang tidak menggunakannya secara
konsisten dan bertanggung.

Di dalam perkembangannya, ada perubahan peta pro-kontra amandemen yang kian


menarik. Kelompok anti perubahan UUD 1945 masih tetap ada, kendati jumlahnya makin
menyusut. Alasan yang diajukannya masih tetap sama, UUD 1945 tidak perlu diubah
karena memang belum pernah dilakukan secara konsisten. Di sisi lainnya, kelompok pro
perubahan UUD 1945 kian meningkat dengan berbagai ragam posisi dan argumen. Paling
tidak ada yiga varian dari kelompok yang setuju amandemen, yaitu : Pertama, kelompok
yang setuju dilakukannya perubahan yang “mendasar “ terhadap relasi dan struktur
kekuasaan di dalam konsitusi; Kedua, kelompok setuju perubahan tetapi pembukaan
konsitusi tidak boleh diubah; Dan Ketiga, kelompok yang mendukung kelompok kedua
dengan perubahan yang selektif. Kelompok ini tidak setuju adanya perubahan pada
sistem pemerintahan presidensil, perubahan komposisi dan kewenangan MPR dan sistim
pemilihan langsung presiden. Ada begitu banyak varian di dalam kelompok ini, seperti
misalnya yang setuju amandemen pertama dan kedua, tetapi tidak setuju dengan
amandemen ketiga dan amandemen keempat.

17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Polarisasi dan pengelompokan tersebut menarik untuk dikaji, karena tidak hanya sekedar
penafsiran atas perspektif yuridis dari dari amandemen konsitusi saja. Sebagiannya
berpijak pada pertarungan kepentingan politik jangka pendek yang berdasarkan
kepentingan dari masing-masing kelompok Kalau asumi ini benar, amandemen konsitusi
dapat sarat dengan kepentingan tertentu dari partai politik.

Itu sebabnya, ada pendapat yang mensinyalir bahwa konsitusi adalah tempat
berlindungnya “power elitis” dan “ruling classes“ untuk tetap dapat membangun,
mempertahankan dan melesatrikan dominasi kekuasaanya. Lebih membahayakan lagi,
gejalan ini bisa berkembang dengan apa yang disebut sebagai ideological control bahkan
ideological manipulation yang digunakan untuk membangun basis legitimasi bagi
kepentingan politik kekuasaan yang tidak didasarkan atas kepentingan rakyat. ( Bambang
Widjojanto 2002 : 478 – 479 )

Tidak ada satupun di antara kita yang tidak memahami arti dan posisi sentral sebuah
konsitusi dalam kerangka kehidupan bernegara. Konsitusi merupakan semangat, nilai dan
cita-cita sebuah bangsa. Konsitusi merupakan landasan sekaligus kerangka dasar dalam
kehidupan bernegara. Dan, konitusi hatus selalu mencerminkan kondisi dan dinamika
sebuah masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Jika hakikat, posisi dan fungsi
konsitusi ini kita pahami secara utuh, maka kehendak untuk mengamandemen sebuah
konsitusi tidak harus diletakkan dalam sebuah medan peperangan politik yang
memabukan kesepakatan, dan harus dibayar mahal dengan kemungkinan terjadinya
disintegrasi nasional. Sikap konservatif dan sikap liberal selalu ada dalam kehidupan
demokrasi. Pro dan kontra dilakukannya amandemen konsitusi yang kini telah
mengalami empat kali perubahan juga merupakan realitas demokrasi.

Namun, kehidupan demokrasi di tanah air yang sedang mekar dewasa ini menjadi tidak
wajar apabila ada elemen bangsa yang amat mensakralkan sebuah konsitusi, menolak
setiap pikiran untuk melakukan perubahan dan meletakkannya sebagai harga mati,
kendati kenyataan menunjukkan bahwa sebagaian dari kandungan konsitusi yang ada itu
gagal menjawab permasalahan mendasar dan straegis dalam kehidupan bernegara, serta
18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

tidak sesuai dan tidak mencerminkan kondisi dan dinamika kehidupan bangsa yang
bersangkutan. Negara demikian membiarkan dirinya terombang ambing dan tidak pernah
menyelesaikan permasalahan kenegaraan yang dihadapi. ( Susilo Bambang Yudhoyono
2002 : 3 – 4 )

Amandemen Pertama , Kedua, Ketiga dan Keempat

Amandemen terhadap UUD 1945 sudah dilaksanakan sebanyak empat kali yang
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) . UUD 1945 sendiri memang
menegaskan di dalam Pasal 37 bahwa perubahan terhadap UUD tersebut dapat dilakukan
oleh MPR dengan mendapat dukungan 2/3 (dua pertiga ) dari anggota lembaga tersebut.
Anggota MPR yang melakukan amandemen pertama, kedua, ketiga dan keempat adalah
terdiri dari : Anggota DPR, utusan-utusan Daerah, dan utusan Golongan.” yang semuanya
berjumlah 700 orang.

Amandemen Pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Oktober 1999, yaitu Sidang
Umum dari MPR hasil pemilihan umum Juni 1999. Hal-hal yang secara subtansif–
subtansif mengalami perubahan sebagai hasil dari amandemen pertama ini adalah antara
lain (1) Pembatasan masa jabatan presiden ; (2) Pembatasan Kekuasaan Presiden Dalam
Bidang Legilisasi ; (3) Usaha Membangun Mekanisme Checks and Balances

Ada hal yang sangat menarik untuk dicatat yang menyangkut prosedur demokrasi di
Indonesia dalam konteks reformasi politik pasca pemerintahan Soeharto, yaitu melalui
UU No 4 tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR, MPR melakukan
Sidang Umum Tahunan. Pada masa pemerintahan Soeharto MPR hanya bersidang Lima
Tahun sekali dengan agenda yang sangat terbatas yang telah ditentukan oleh Soeharto
( Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Penentuan Garis Besar Haluan Negara ) .

Amandemen Kedua dilaksanakan dalam Sidang Tahunan MPR pada bulan Agustus tahun
2000. Pada Amandemen Kedua ini ada 25 pasal yang mengalami perubahan dengan
enam materi pokok, seperti misalnya menyangkut (1) Pemerintah Daerah/Desentralisasi,
19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

(2) Wilayah Negara,(3) Kedudukan Warga Negara dan Penduduk, (4) Hak-hak Azasi
Manusia, (5) Pertahanan dan Keamanan Negara dan yang ke (6) adalah menyangkut
bendera, bahasa dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.

Dengan amandemen yang kedua dapat dinyatakan bahwa apa saja yang sangat
diharapkan, dan barangkali yang sangat diimpikan oleh mereka yang berjuang untuk
demokrasi, terutama yang berkaitan dengan usaha merumuskan dengan tegas Hak-Hak
Azasi Manusia telah dapat diwujudkan, dan ini merupakan salah satu prestasi yang harus
dihargai yang dilakukan oleh MPR hasil pemilihan umum 1999.

Amandemen Ketiga dilakukan pada Sidang Tahunan MPR pada November 2001.
Amandemen Ketiga dilakukan dengan sejumlah prasyarat sebagai hasil kesepakatan dari
berbagai Fraksi dalam Badan Pekerja MPR. Prasyarat itu antara lain bahwa amandemen
dilakukan dengan tidak akan menyentuh Pembukaan UUD 1945, kedua amandemen
dilakukan secara “adendum”, artinya amandemen dilakukan dengan mengadakan
perubahan terhadap sejumlah Pasal UUD yang telah disepakati sebelumnya sehingga
tidak bersufat melakukan amandemen terhadap semua pasal sekaligus, dan tidak
melakukan penulisan ulang ataupun melakukan “reorganisasi“ terhadap pasal-pasal yang
sudah ada, atau tidak melakukan “rewriting “ sama sekali, dan beberapa prasyarat
lainnya.

Hal yang menarik dalam proses Amandemen Ketiga ini adalah Panitia Adhoc I, Badan
Pekerja MPR, membentuk TIM AHLI dari berbagai disiplin ilmu yang berasal dari
berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tim Ahli ini membicarakan sejumlah hal yang
sebenarnya sudah dipaketkan oleh MPR sebagai bahan amandemen Ketiga melalui
Lampiran Keteatapan MPR hasil Sidang Tahunan Tahun 2000.

Amandemen Ketiga telah merubah secara fundamental sistem pemilihan presiden. Kalau
dalam UUD 1945 dilakukan amandemen Presiden dipilih oleh MPR. Dengan pemilihan
presiden secara langsung maka konsekwensinya adalah MPR tidak perlu lagi
merumuskan apa yang disebutkan GBHN. Presiden tidak lagi bertanggung jawa kepada
20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

MPR akan tetapi secara langsung kepada rakyat. Amandemen Ketiga ini menetapkan
bahwa presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Undang-Undang Dasar hasil
amandemen ketiga juga memperkenalkan apa yang disebut Mahkamah Konsitusi. ( Afan
Gaffar 2002 : 434 – 440 )

Sidang Tahunan MPR pada Agustus 2002 melakukan amandemen yang ke-IV terhadap
UUD 1945, dan sejumlah persoalan yang sangat krusial harus diselesaikan oleh MPR.
Ada sejumlah perubahan menyangkut masalah ; (1) Kekuasaan Pemerintahan Negara ;
(2) Hal Keuangan ; (3) Kekuasaan Kehakiman ; (4) Pendidikan dan Kebuadayaan dan (5)
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial

UUD 1945 , Undang Undang dan Peraturan Pemerintah

Pasal 33 UUD 1945 mengatakan .” Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Namun, ketika berlaku
pada 17 Agustus 1945 tak pernah ada rincian kongkret cabang-cabang produksi tersebut.
Tanpa kejelasan itu, pemerintah membangun banyak cabang produksi termasuk jalan.
Baru setelah ada Undang-Undang (UU) Nomor 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA), terdapat rumusan eksak

Pasal 6 ayat 1 undang-undang itu berbunyi ,” Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk
PMA secara penguasaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan
mengusai hajat hidup orang banyak, berikut : pelabuhan; produksi, transmisi dan
distribusi tenaga listrik untuk umum; telekomunikasi; pelajaran; penerbangan; air minum;
kereta api umum; pembangkit tenaga atom dan media massa.”

Namun, baru setahun, nafsu untuk meliberalisasi sudah muncul. Pasal 3 ayat 1 UU
Nomor 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri mengatakan,” Perusahaan
nasional adalah perusahan yang sekurang-kurangnya 51 % daripada modal negeri yang
ditanam di dalamnya dimiliki negara dan /atau swasta nasional. Persentase ini harus
senantiasa ditingkatkan sehingga pada 1 Januari 1974 menjadi kurang dari 75 % .” Ayat 2
21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menyebutkan, “ Perusahan asing adalah perusahan yang tidak memenuhi ketentuan ayat 1
pasal ini,” Jadi hanya selang setahun asing sudah boleh ikut menguasai cabang-cabang
produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak sampai 49 %, dan ada
pembatasan waktu .

Gelombang liberalisasi tetap berdentang. Buktinya adalah terbitnya Peraturan Pemerintah


(PP) Nomor/1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam
rangka Penanaman Modal Asing. Pasal 5 ayat 1 PP itu membolehkan perusahan,
termasuk asing melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak, seperti disebut eksplisit dalam UU Nomor 1/1967
tentang PMA. Kepemilikan asing bahkan bisa sampai 95 % ( Pasal 6 ayat 1 )

Ketika reformasi berdendang, ikhtiar mengubah Pasal 33 UUD 1945 dilakukan. MPR
membentuk Badan Pekerja MPR beranggotakan tujuh orang : Sjahrir, Sri Adiningsih,
Didik J Rachbini, Sri Mulyani Indrawati, Bambang Sudibyo, Dawan Rahardjo, dan
Mubyarto. Tim amandemen ini tak solid karena tak sekubu. Mubyarto, penggagas
ekonomi Pancasila, mundur pada 23 Mei 2001, setelah bertahan 72 hari. Dawam
mengikuti.” Saya tidak sejalan dengan pemikiran ekonomi lain,” kata Mubyarto.

Mubyarto dan Dawam, ekonom tua, mempertahankan Pasal 33 UUD 1945. Di sisi lain,
Sjahrir, Sri Adiningsih, dan Sri Mulyani Indrawati menilai idealisme sosialis Hatta dalam
pasal itu terbukti tak bisa dilakukan. Jejak rekam koperasi pun muram . : Kita harus
memilih Hatta atau globalisme kapitalis,” kata Sjahrir saat itu. Posisi abu-abu diambil
Didik dan Bambang.Sudibyo Ekonom muda ini yakin, setelah sosialisme jatuh pada
1991, kapitalisme ada di semua negara. Kapitalisme diamini sebagai satu-satunya jalan.
Karena Mubyarto mundur, publik geger.

Setelah empat kali amandemen, tiga ayat Pasal 33 UUD 1945 dipertahankan Kelompok
pengubah konsitusi berhasil menambah dua ayat. Ayat 4 berbunyi ,” Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi, dengan prinsip kebersamaan ,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandiran, serta dengan
22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menjaga kesinambungan kemajuan dan kesaruan ekonomi nasional. Ayat 5 tak terlalu
penting.” Ini memicu debat tafsir lagi,: kata Gunawan Wiradi, ahli agraria yang terlibat
diskusi itu.

Eksistensi Pasal 33 UUD 1945 kembali tegak setelah Mahkamah Konsitusi mencabut roh
liberal UU No 20/2002 tentang Kelistrikan dan UU Nomor 22/2002 tentang Minyak dan
Gas, Januari 2005. Dua undang-undang itu, kata Sri Edi Swasono, bermaksud memereteli
dunia migas dan kelistrikan Indonesia dengan menggusur Pasal 33 UUD 1945.” Ini
peluang untuk menyoal kebijakan ekonomi yang bertentangan dengan konsitusi.” Kata
Sri-Edi Swasono.

Perang pasal belum usai. Kepada Sri-Edi Swasono, tenaga ahli Menteri Negara Badan
Usaha Negara, Lin Che Wei, berterus terang bahwa kali ini kelompoknya tunduk.” Kalau
nanti kami bisa mengubah Pasal 33 UUD 1945, Anda harus tubnduk pada kami ,” kata
Sri-Edi Swasono, menirukan ucapan Lin Che Wei. ( Gatra No 23 Tahun XI, 23 April
2005, Hlm. 137 )

Renewal Consitution, Partisipasi Politik dan Komisi Konsitusi

Pada periode tahun 1990-an, ada cukup banyak negara berkembang melakukan
perubahan yang mendasar pada konsitusinya. Di Benua Afrika, perubahan konsitusi tidak
hanya dilakukan oleh Afrika Selatan, tetapi juga di negara lainnya, seperti : Ghana,
Mozambique, Nambia dan Kongo. Begitupun di beberapa negara Asia seperti antara
lain : Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Indonesia dan Filipina.

Ada beberapa hal yang cukup menarik di dalam proses perubahan konsitusi , yaitu
Pertama, hampir sebagian besar negara di atas membentuk lembaga semacam Komisi
Konsitusi. Di Zambia disebut Chona Commissions, di Zimbagwe dan Filipina disebut
Constitution Commision dan di Thailand disebut Independent Commission; Kedua,
lingkup perubahan konsitusi sangat mendasar dan komprehensif, karena mereka memang
mempersiapkan renewal constituion, bukan konsitusi yang tambal-sulam dan tidalk jelas
23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

paradigmanya. Ketiga, publik di dorong keterlibatannya secara intens di dalam proses


perubahan konsitusi. Beberapa negara yang realatif cukup berhasil melakukan proses ini
adalah Afrika Selatan, Zambia dan Zimbagwe.

Dari seratus lebih pemerintahan yang konsitusinya mengatur proses perubahan


amandemen, ada kecenderungan yang kian menguat, rakyat dilibatkan untuk menentukan
ratifikasi atau pengesahan perubahan saja maupun referendum sebagai salah satu opsi
pengesahan amandemen. Adapun negara yang hanya referendum untuk melakukan
pengesahan antara lain : Ireland, Malawi, Paraguay, Switzerland, Alabnia, Austria,
Bahama, Bangladesh, Japan, Kyrgyz, Latvia, Malta , Mauritania, Mongollia , Maroko,
Filipina , Romania, Slovenia dan Korea Selatan.

Kecenderungan yang kian menguat untuk melibatkan partisipasi publik secaraa langsung
di dalam amandemen konsitusi, baik di dalam proses perencanaan maupun pengesahan
berpijak pada asumsi untuk menciptakan Durable Consitution. Untuk itu, proses
pembentukan konsitusi menjadi sangat penting, karena proses tersebut harus merupakan
produk yang mengintegrasikan ide dan aspirasi dari multi stakeholder, sehingga secara
genuine merefleksikan national soul of people.
Di dalam proses ini, dibangun mekanisme prosedural yang efektif, dibuat metode
konsultasi publik yang melibatkan partisipasi politik secara luas, melibatkan media secara
intensif dalam proses perubahan, merumuskan paradigma perubahan dan prinsip dasar
yang komprehensif. Selain itu, juga dibuat mekanisme “dead lock” sehingga proses
amandemen telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya kebuntuan politik di dalam
merumuskan konsitusi baru. Dengan proses seperti ini, rakyat akan merasa bahwa mereka
memang memiliki konsitusi dan konsitusi dapat menjamin perlindungan hak-hak
masyarakat serta sistem kekuasaan memuat prinsip konsitusionalisme. ( Bambang
Widjojanto 2002 : 482 – 483 )

Komisi Konsitusi : Solusi atau Problem

24
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sebagian besar unsur bangsa memang menghendaki perubahan UUD 1945. Akan tetapi,
perubahan yang dilakukan MPR dinilai mengandung sejumlah kelemahan . Pertama,
partisipasi masyarakat dalam perubahan UUD dinilai sangat rendah, sehingga UUD 1945
sukar disebut sebagai kontrak sosial baru.; Kedua, metodologi yang digunakan kurang
tepat karena tidak berangkat dari suatu filosofi atau paradigma tertentu sehingga
substansi perubahan yang disepakati cenderung berupa kompromi berbagai kepentingan
partai politik. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab rumusan yang
kompromistik tetapi yang menyebabkan sistem yang tidak jelas adalah pembuat konsitusi
harus mengurangi otoritasnya sendiri; Ketiga, derajat abstraksi ataupun kerincian
rumusan pasal dan ayat tidak konsisten sehingga kurang sepenuhnya dapat digunakan
sebagai rujukan, baik untuk menyelesaikan persengketaan konsitusional dan perundang-
undangan maupun untuk penyelenggara kekuasaan negara; Keempat, sistimatika UUD
1945 tidak jelas. Hal ini tampak pada dua hal , yaitu : (a) sebagian judul Bab dirumuskan
berupa fungsi (tugas dan kewenangan ) sebagian lagi berupa lembaga; dan (b) numerasi
pasal membingungkan karena menggunakan huruf, seperti 22 A, 22 B , 22 C, dan
seterusnya.

Berdasarkan kritik dan kelemahan tersebut muncul pandangan yang mengusulkan


pemebentukan Komsi Konsitusi. UUD 1945 dengan perubahan pertama sampai keempat
digunakan sebagai konsitusi transisi untuk jangka waktu tertentu. Sedangkan Komisi
Konsitusi merumuskan konsitusi baru yang lebih jelas dan lebih memenuhi kriteria
konsitusi negara demokrasi modern. Dalam masyarakat sekurang-kurangnya terdapat dua
pandangan tentang fungsi Komisi Konsitusi ini. Yang pertama menghendaki Komisi
Konsitusi hanya menulis ulang UUD 1945 dengan seluruh perubahannya, dan
menyempurnakan pasal dan ayat yang dipandang tidak konsisten dengan filosofi dan
paradigma yang sudah disepakati lebih dahulu Pandangan kedua menghendaki Komisi
Konsitusi merumuskan UUD baru dengan menggunakan UUD 1945 sebagai salah satu
bahan bandingan Pandangan kedua ini cenderung dikemukakan oleh mereka yang
menghendaki perumusan konsitusi baru dengan prinsip demokrasi partisipatif. ( Ramlan
Surbakti 2002 : 496 )

25
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Keberadaan Komisi Konsitusi sama sekali tidak tidak direncanakan, baik oleh pemerintah
maupun MPR RI. Kehadirannya menguat, setelah khalayak gamang dan khawatir atas
perubahan UUD 1945 yang sarat kompromi politik dan mengabaikan kepentingan
nasional. Tekanan yang bertubi-tubi dan khalayak nasional mengenai perlunya KK
membuat Majelis gerah dan memaklumkannya. Dalam pada itu, kedudukannya
dikukuhkan melalui Tap MPR RI No. 1/MPR/2002.

Ketua Komisi Konsitusi, Sri Soemantri menyadari bahwa kehadiran Komisi Konsituante
yang diketuainya, merupakan kompromi politik. Namun sebagai akademikus, sedapat
mungkin melakukan upaya menegakkan demokrasi konsitusional – yang tengah
diamandemen. Agar, perubahan yang menjadi tidak saja lazim menurut kaidah konsitusi,
tetapi juga menjangkau kepetingan nasional dalam rangka panjang. Namun, apa yang
terjadi? Sumbangan kritis dan konstruktif dari Komisi Konsitusi yang terdiri dari para
ahli dengan integritas tinggi, tidak dilanjuti. Saran, kritik, dan alternatif-alternatif sebagai
hasil kajian komprehensif lembaga ini, diabaikan begitu saja. Begitu hasil kajian KK
selesai dan diserahkan ke Majelis. Permusyawaratan Rakyat ( Giat Wahyudi 2009 : 77 )

Penutup

Pengalaman beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa salah satu persoalan yang
mengakibatkan reformasi berjalan tanpa arah yang jelas disebabkan oleh kekosongan
konsitusi yang dapat dijadikan referensi bagi masyarakat untuk melanjutkan proses
demokrasi. Konsitusi yang sekarang ini berlaku, Undang Undang Dasar 1945, meskipun
telah diamandemen empat kali, tetapi masih mengandung banyak kelemahan dan pasal-
pasalnya mengundang perdebatan yang tidak akan berkesudahan.

Kualitas hasil amandemen atas UUD 1945 yang tidak memuaskan, tampaknya harus
diterima bukan saja sebagai produk reformasi gradual yang lebih dipilih oleh para elite
politik berbasis massa luas, melainkan juga merupakan harga yang harus dibayar bangsa
ini sebagai akibat dari kegagalan konsolidasi dan kerjasama di antara kekuatan-kekuatan
politik sipil pascarejim otoriter Orde Baru. Selain itu, perubahan atas UUD 1945 yang
26
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

tambal-sulam, salah kaprah, dan cenderung amburadul, harus dipandang sebagai produk
kecenderungan kompromistis elite-elite partai besar/

Dengan demikian untuk membangun demokrasi ke depan sangat dibutuhkan konsitusi


yang memadai. Sistim politik yang stabil tidak dapat hanya mengandalkan kompromi
politik di antara partai-partai politik, lebih-lebih bilamana kompromi politik tersebut
hanya kompromi yang bersifat opportunistik. Oleh sebab itu kestabilan dan mendorong
tegaknya hukum sangat memerlukan jaminan konsitusi yang dapat mewujudkan
mekanisme saling kontrol di antara lembaga-lembaga politik. Hanya perlu diingat bahwa
untuk memperoleh suatu konsitusi yang demikian masih diperlukan suatu tekanan publik
yang kuat dan terus menerus.

Prakarsa politik untuk untuk secara serampangan ingin mengubah konsitusi yang lebih
di[pengaruhi kepentingan sesaat, kepentingan jangka pendek, bahkan kepentingan
golongan politik tertentu, apalagi oleh rezim yang berkuasa , amat membahayakan
kehidupan sebuah negara. Makna konsitusi dikerdilkan dan sering direduksi sekedar
untuk memenuhi kepentingan politik yang berorientasi kekuasaan .

Amandemen konsitusi haruslah berangkat dari logika dan argumentasi yang kokoh yang
harus diformulasikan dalam lima kriteria. Pertama, amandemen konsitusi tidak boleh
keluar atau menyimpang dari semangat, sistim nilai dan cita-cita didirikannya sebuah
negara. Kedua, yang diamandemen haruslah aturan-aturan dasar yang diharapkan mampu
menjawab permasalahan dan tantangan kehidupan sebuah bangsa, yang permasalahan
dan tantangan ini gagal dijawab oleh aturan-aturan yang ada. Ketiga, mekanisme, aturan
main dan proses perubahan sebuah konsitusi harus dilakukan secara benar dalam sistem
yang kredibel, akuntabel dan taat azas. Keempat, perubahan konsitusi mestilah
berlangsung dalam kerangka dan bentang waktu yang rasional, dan orientasi bagi
dilakukannya amandemen konsitusi harus diyakini dan berdasarkan perkiraan tajam
bahwa amandemen itu mampu menjawab persoalan bangsa yang mendasar dan krusial
untuk bentangan waktu yang jauh kedepan, dan sekali lagi bukan kepentingan jangka

27
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pendek, ataupun menengah. Dan lima, amandemen sebuah konsitusi harus dilakukan oleh
lembaga dan putera-puteri terbaik bangsa yang kredibel.

Namun di atas semua itu yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana bangsa
Indonesia segera mulai juga membangun kultur politik yang demokratis. Bagaimana
kesetaraan, pluralisme, toleransi menjadi bagian dari pendidikan politik rakyat yang
mulai diajarkan sedini mungkin terhadap generasi muda Indonesia. Akhirnya, menyusun
konsitusi yang ideal (meskipun penting) hanya merupakan bagian dari serangkaian
agenda dan proses mewujudkan sistem politik yang kompleks dan rumit, serta tatanan
dan tertib politik yang demokratis.

28
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bibliografi

Budiardjo, Miriam . 2008. Pengantar Ilmu Politik . Jakarta : PT Gramedia


Pustaka Utama .

Gaffar, Afan.” Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya terhadap


Perubahan Kelembagan,” dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim.
2002 Amandemen Konsitusi dan Strataegi Penyelesaian Krisis Politik
Indonesia. Jakarta ; AIPI , Hlm. 431 - 445.

Kristiadi, J.” Reformasi Konsitusi ,” dalam Indra J Pilliang et al (ed) 20002


Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia . Jakarta : CSIS, Hlm.
116 - 133.

Maarif, Ahmad Syafii. 1085 . Studi tentang Percaturan dalam Konsituante


Islam dan Masalah Kenegaraan . Jakarta : LP3ES.

Nasution, Adnan Buyung. 1995 . Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di


Indonesia. Studi Sosio-Legal atas Konsituante 1956 – 1959. Jakarta :
{ustaka Utama Grafiti .

Surbakti, Ramlan,” Perubahan UUD 1945 Dalam Perspektif Politik,” dalam


Riza Shibudi dan Moch Nurhasim (ed) 2002 Amandemen Konsitusi &
Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia. Jakarta : AIPI, Hlm.
485 – 497.

Wahyudi, Giat .2009. Perubahan UUD 1945 Tahun 1999 – 2002 .Makar
Terhadap Negara . ( Menata Kembali Konsitusi Indonesia ) , Jakarta
29
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kaukus Parlemen Pancasila.

Widjojanto, Bambang, ” Kapita Selekta Amandemen ( Problematika


Perubahan UUD 1945 ),” dalam Riza Shibudi dan Moch Nurhasim
(ed) 2002 . Amandemen Konsitusi & Strategi Penyelesaian Krisis
Politik di Indonesia , Jakarta : AIPI, Hlm. 475 – 483 .

Wiratma, I Made Leo,” Konsitusi dari Zaman ke Zaman ,” dalam Indra J


Pilliang et al (ed) 2002. Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia
Jakarta : CSIS, Hlm. 99 – 115.

Yudhoyono, Susilo Bambang., ” Pesan Politik dari Malang,” dalam Riza


Shibudi dan Moch Nurhasim (ed) 2002 . Amandemen Konsitusi &
Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia. Jakarta : AIPI, Hlm.
1–7.

Tiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia , Jakarta : Sinar Grafika .

Amandemen Undang-Undang Dasar 1745. Perubahan Pertama, Kedua ,


Ketiga dan Keempat. Jakarta : Interaksara.

“ Perang Pasal Belum Usai,” Gatra No 23 Tahun XI, 23 April 2006, Hlm.
137.

30
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like