You are on page 1of 17

Peter Kasenda

Dwifungsi ABRI dalam Persepsi Elite Militer

Berbeda dengan pengalaman kabanyakan negara Dunia Ketiga yang militernya didirikan
oleh penjajah dan kemudian diambil alih oleh pemerintah nasionalis sesudah negara itu
merdeka, militer Indonesia dilahirkan oleh zaman revolusi untuk melawan penjajah.
Demikian kata Harlod Crouch, sarjana Australia yang pernah mengajar di di Universitas
Indonesia.1 Selanjutnya Nugroho Notosusanto, mantan Kepala Pusat Sejarah ABRI
menjelaskan bahwa sebenarnya lebih 50 negara baru yang lahir sesudah akhir Perang
Dunia II, hanya empat yang mencapai kemerdekaan dengan perjuangan bersenjata perang
kemerdekaan atau revolusi.2 Latar belakang yang khas ini ternyata mempengaruhi
persepsi, sikap dan tingkah laku politik militer Indonesia sesudah perang.

Kalau demikian, pertanyaan yang patut diajukan adalah, sejak kapan militer mulai
berpolitik di Indonesia? Dan tindakan apa yang dilakukan di dalamnya sehingga
menyebabkan militer Indonesia masuk dalam dunia politik ?

Masalah mulainya militer Indonesia berpolitik, ada yang mengatakan sejak awal
kelahirannya 5 Oktober 1945 3, peristiwa 3 Juli 1946 4atau 17 Oktober 1952.5 Apapun
alasan yang dikemukakan, pada kenyataannya militer Indonesia memperoleh legalitas
fungsi sosial-politiknya sejak mauknya para kepala staf angkatan dan kepala kepolisian
negara ke dalam Dewan Nasional, sebagai salah satu wujud Konsepsi Presiden 1957.6
Bahkan pada masa kabinet Djuanda ada yang merangkap sebagai menteri, seperti
Kolonel Moh Nazir (Menteri Pelayaran), Kolonel Suprajogi (Menteri Urusan Stabilisasi
Ekonomi ).7

Sejak tahun 1957 posisi militer di pemerintahan meningkat sampai jabatan-jabatan non-
militer, dimulai dengan ditempatkannya sejumlah anggota militer pada perusahan-
perusahan Belanda yang telah dinasionalisasi, kemudian pada Badan Kerja Sama Sipil-
Militer, yang nantinya merupakan basis Front Nasional Pembebasan Irian Barat. Pada
bulan Juni 1960, ada 15 orang wakil Angkatan Darat, 7 wakil Angkatan Udara, dan 5

1
Harlod Crouch,” Kaum Militer Masalah Pergantian Generasi ,” Prisma , Tahun VIII, No
2, Februari 1980, hlm. 15 – 23.
2
Nugroho Notosusanto,” Angkatan Bersenjata dalam Percaturan Politik di Indonesia ,”
Prisma , Tahun VIII, No. 8, Agutus 1978, hlm.
3
Ibid.
4
Sides Sudaryanto (ed) .Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman .Jakarta : PT
Karya Unipers, 1983.
5
Aris Santoso,” Peranan 17 Oktober 1952 : Awal Dwifungsi ABRI ,” Media Indonesia,
17 Oktober 1952 .
6
Nugroho Notosusanto (ed) ,Pejuang dan Prajurit .Jakarta : Sinar Harapan , 1984, hlm.
75 – 78.
7
Departemen Penerangan .Susunan Kabinet Republik Indonesia 1945 – 1970 . Jakarta :
Pradnja Paramita , 1970.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 1
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

wakil Polisi, yang mewakili golongan fungsional dalam DPR Gotong Royong.8 Peranan
militer dalam kehidupan bernegara dan berbangsa semakin meluas, setelah meletusnya
Peristiwa G-30-S. Karenanya kaum militer mendapat hak istimewa DPR hasil pemilu
1971. Prosesnya bukan melalui pemilihan, melainkan diangkat berdasarkan konsensus
nasional.9

Peranan militer yang lebih menonjol oleh berbagai kalangan dianggap sebagai pelaksana
dwifungsi ABRI. Dan tentunya mendapat sejumlah kritik. Sukmadji Indro Tjahyono,
mahasiswa ITB, melalui pleiodinya ,” Indonesia Di Bawah Sepatu Lars,” 10 secara
gamblang menyatakan bahwa kebersengsekan atau kebobrokan yang terjadi di republik
tercinta ini disebabkan oleh terlalu dominannya ABRI dalam pemerintahan Mohammad
Rusli Karim mengemukakan bahwa salah satu sebab lumpuhnya partai politik ialah
karena dominannya militer.11 Meski demikian ada pula yang melakukan pembelaan
mengenai peran militer yang dominan. Buku Prajurit dan Pejuang, yang ditulis Nugroho
Notosusanto, ASS Tambunan, Soebijono, dan Hidayat Mukmin, menjelaskan bahwa
ABRI berperan sebagai dinamisator dan stabilisator. 12Terlepas dari pro dan kontra
terhadap peranan militer yang menonjol itu, tetapi yang jelas dwifungsi ABRI
konsitusional, sebab telah diatur dalam UU No 2 tahun 1982 tentang Ketentuan–
ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara. 13

Walau saat ini peran militer yang dominan mulai berkurang dibandingkan pada awal
Orde Baru,14 tetapi berbagai kritik tetus berlangsung, sehingga sejumlah pejabat militer
angkat bicara. Menhankam LB Moerdani dalam sarasehan yayasan Pembela Tanah Air
(Yapeta) mengakui bahwa berbagai bentuk sindiran, tuduhan maupun cercaan yang
diarahkan pada dwifungsi ABRI, yang digambarkan sebagai penghambat atau bahkan
pengikaran terhadap demokrasi, hak azasi manusia diiinjak-injak, rakyat kelaparan,
tertindas dan dwifungsi ABRI dituduh sebagai kedok keberlangsungan militerisme
Indonesia. Karenanya LB Moerdani menandaskan “tuduhan semacam itu perlu dijawab
dalam penulisan sejarah15

Menurut Panglima ABRI, Jendral TNI Try Sutrisno, eksistensi dwifungsi ABRI adalah
konsitusional, dan oleh karena itu sikap ragu-ragu terhadap posisi dan pernan ABRI
dalam menyelenggarakan dwitunggalnya didalam perjuangan bangsa sebenarnya tidak
perlu dan perlu segera diluruskan Mengutip pasal 28 ayat 2 UU No. 20/1982, Try

8
Yahya A Muhaimin . Perkembangan Militer dalam Politik 1945 – 1966 . Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press, 1982 , hlm. 106 – 126.
9
Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional 1966 – 1969 .Jakarta : PN
Balai Pustaka , 1985.
10
Sukmadji Indro Tjahyono,. Indonesia Dibawah Sepatu Lars . Bandung : Komite
Pembelaan Mahasiswa DM-ITB , 1979.
11
Muhammad Rusli Karim .Peranan ABRI dalam Politik.Jakarta: Yayasan Idayu ,,1981.
12
Nugroho Notosusanto, Pejuang Prajurit , Op.Cit., hlm 175 – 177 .
13
Ibid, hlm. 220 – 223.
14
Politeka, No 6 Tahun IV, 1988.
15
Kompas, 29 Agustus 1991.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 2
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sutisno menyatakan jelas sekali bahwa fungsi sospol ABRI justru ingin mencegah
timbulnya diktaktorisme.16

Karena dwifungsi ABRI belum dimengerti betul oleh masyarakat. Panglima ABRI
menjelaskan akan perlunya memasyarakatnya dwifungsi ABRI, terutama fungsi sosial
politik ke dalam tubuh ABRI, dengan maksud untuk mencegah munculnya keragu-raguan
yang dapat mengurangi keyakinan-keyakinan sikap prajurit ABRI akan kebenaran dan
manfaatnya. Disebabkan peranan ABRI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
melalui dwi-fungsinya telah dikukuhkan secara konsitusional telah dikukuhkan secara
konsitusional, maka hal tersebut perlu dihayati benar-benar,17

Pangdam Diponogoro, Mayjen TNI Hariypto PS, menjelaskan bahwa dwifungsi


bukanlah kekacauan sebagaimana telah mulai dikacaukan saat ini. Dwifungsi bukan pula
upaya ABRI untuk mencari dan menempati jabatan di luar struktur setelah kekaryaan
yang hanya terjadi bila memang diminta oleh penguasa atau penanggung jawab dari
isntansi yang bersangkutan . Kekaryaan dan dwifungsi kedua-duanya memang
merupakan manifestasi dari pengabdian Sapta Marga, namun dalam aktualisasi yang
berbeda. Inilah yang harus terus-menerus dihayati dan dilaksanakan.18

Menurut Pandam Jaya, Mayjen TNI K Harseno, kekaryaan ABRI itu hanya merupakan
salah satu aspek dari dwifungsi ABRI, yang aspek utamanya adalah jiwa dan semangat
pengabdian ABRI sebagai kekuatan sospol, lainnya memikul tanggung jawab perjuangan
bangsa dalam menuju kemerdekaan dan memperjuangkan bagi seluruh rakyat
Indonesia .19

Kalau diperhatikan secara seksama, pernyataan di ats mengandung makna dwifungsi


ABRI belum memasyarakat benar dan masih adanya pemahaman yang berbeda.

Tulisan ini mencoba memaparkan pandangan beberapa elite militer Indonesia dari
angkatan 1945 memang dwifungsi ABRI, yang diwakili oleh Jend TNI (Purn) A.H.
Nasution, Jend.TNI (Purn) T.B Simatupang, Mayjen TNI (Purn) Sayidiman
Suryohadiprojo, Jendral TNI (Purn) Soemitro dan Mayjen TNI (Purn) Hasnan Habib.
Saat ini, mereka lebih dikenal sebagai pemikir militer Indonesia, baik melalui tulisan
yang dimuat dalam media massa maupun buku.

A.H. Nasution

Lewat bukunya, Kekaryaan ABRI (1971), AH Nasution mengakui adanya tuduhan yang
mengatakan masih terdapat sejumlah praktek-praktek menyimpang dari tujuan kekaryaan
ABRI. Baginya, ABRI /TNI sering diekseskan dan diejek sebagai dwiporsi, karena
disalahgunakan untuk kepentingan priabdi/orang dan golongan atau kliknya sendiri.
16
Pelita, 7 Mei 1991
17
Ibid.
18
Angkatan Bersenjta, 24 April 1991
19
Op.Cit., 7 April 1991
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 3
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Untuk itu ia mengingatkan betapa pentingnya menelaah arti kekaryaan itu, yang bermoto
“ Apa yang baik bagi negara dan rakyat itulah yang baik bagi TNI/ABRI.” Berkaitan
dengan kekaryaan,AH Nasution menjelaskan :

Dari sejak semula, maksud dan tujuan kekaryaan itu adalah untuk pekerjaan yang
berhubungan dengan keadaan yang bersifat darurat atau di mana betul-betul lebih
lebih bermanfaat menggunakan kekaryaan TNI/ABRI itu, dan untuk partisipasi
dalam lembaga-lembaga demi ikut sertanya ABRI dalam rangka pembinaan negara
sebagai salah satu kekuatan sosial 20

Memang kesanggupan dan kemampuan tempur serta membina wilayah yang diperoleh
ABRI berasal dari pengalaman selama perang kemerdekaan Hanya
Saja kemampuan membina wilayah dan kekaryaan sosial-ekonomi atau sosial-politik
mutlak memerlukan keahlian atau ketrampilan pada bidang-bidang militer/tempur
tidaklah secara otomatis membawa kemampuan dalam bidang pembinaan wilayah,
kekaryaan sosial-politik, atau kekaryaan sosial-ekonomi. Untuk itu perlu dilakukan
pembinaan atau pendidikan yang berkaitan dengan hal tersebut.

Kalau demikian kemudian muncul pertanyaan, seandainya ABRI mempunyai


kemampuan untuk itu, apakah berarti ABRI terus menerus dominan dalam panggung
politik Indonesia. Untuk ini Nasution menjawab “ ABRI berperan sebagai kekuatan
sosial sebagai hasil proses sejarah dan konsitusional, tentu saja berubah dan semakin
berkurang perannya sesudah normalisasi keadaan nanti, sebagaimana yang ditulis dalam
ketentuan-ketentuan TAP-TAP MPRS.21

Menurut AH Nasution, sebenarnya istilah “dwifungsi” kurang sesuai. Ia lebih menyukai


isyilah “dwi-kesanggupan dan kemampuan, “yang penggunaannya ditentukan ditentukan
dari masa ke masa. Ia menganggap adanya salah pengertian terhadap arti dwi-fungsi itu
sendiri. Kebanyakan orang mengartikan dengan orang-orang militer (baju hijau) yang
menjadi gubernur ,direktur, duta besar dan lain-lain. Padahal yang demikian itu hanyalah
merupakan salah satu segi dari pelaksanaan ABRI. 22

Berkaitan dengan perjalanan dwifungsi, AH Nasution menjelaskan bahwa selama perang


kemerdekaan, fungsi pertama adalah fungsi tempur, dan fungsi kedua adalah menggalang
pertahanan dan perlawanan rakyat yang dilakukan organisasi territorial dengan kader-
kadernya berjalan seiring .setelah tahun 1950 fungsi kedua dikurangi. Tetapi hal itu
hanya berjalan sementara saja, disebabkan adanya pemberontakan dan subversi yang
makin luas, tentu saja operasi pemulihan keamanan diperlukan dengan jalan
mengaktifkan kembali fungsi kedua dan semakin luas pula, bahkan dalam kehidupan
bernegara dan keterlibatannya pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat .23

20
AH Nasution.Kekaryaan ABRI. Jakarta : Seruling Massa, 1971, hlm. 121.
21
Ibid.hlm. 145.
22
Ibid, hlm. 150 152.
23
Ibid.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 4
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Lima belas tahun setelah G-30-S, AH Nasution yang lolos dari penculikan itu menilai,
bahwa jalan tengah yang dilakukan pada tahun 1958 telah berubah atau melampui apa
yang diinginkannya dulu. Walaupun demikian, ia tetap mempunyai keyakinan bahwa
semua perlu dikoreksi, sebab hal itu kurang serasi, baik dengan semangat kekeluargaan
tercakup dalam Pancasila dan UUD 1945 maupun dengan asas “kedaulatan di tangan
rakyat “ yang tercantum dalam pasal UUD 1945.24

Pada ceramah di Seskoad tahun 1969, AH Nasution mengingatkan agar pada tahun 1970-
an perlu terus-menerus terjadi pemurnian pengertian dan pengalaman kekaryaan
(dwifungsi). Sebab pada saat itu telah terjadi banyak unsur peralihan. Maksudnya adalah
berbagai penempatan TNI dalam fungsi-fungsi sosial politik dan lain-lain, diperlukan
untuk sementara. Demikian pula halnya dengan pengangkatan wakil-wakil ABRI dalam
lembaga-lembaga demokrasi dan sebagainya. Bagi AH Nasution, dalam konsep semula
jika ABRI masuk lembaga legislatif, hendaklah melalui pemilihan umum sistem distrik
atau memilih orang, bukan memilih tanda gambar dengan daftarnya. Tetapi masuknya
ABRI ke MPR adalah sebagai utusan golongan menurut pasal 2 UUD 1945.25

Berkaitan dengan pengangkatan sejumlah anggota ABRI, yang dianggap bertentangan


dengan prinsip kedaulatan rakyat yang mendasari UUD 1945, Nasution memberi
komentar

Sebagai KSAD yang dahulu menformalkan dwifungsi ABRI, saya sendiri tidak
menghendaki sistem pengangkatan untuk ABRI. Saya ikut mengatur pengakatan
pengangkatan selama masa transisi, yaitu sebelum dilaksanakan pemilu. 26

Sebenarnya, AH Nasution yang pernah menjabat wakil ketua Panitia Negara untuk
Pemilu di masa Orde Baru, telah mengusahakan agar posisi ABRI sebagai salah satu
kekuatan sosial yang dimaksudkan dalam pasal UUD 1945, yang terwujud dalam
“golongan“ (karya), tetapi partai politik menginatkan ABRI duduk dalam DPR melalui
pengangkatan, agar tidak memihak pada pelaksanaan pemilu, sehingga terjamin
keamanannya.27

Baginya, UUD 1945 hanya menentukan kehadiran utusan-utusan ABRI dalam MPR
sebagai salah satu “golongan “. Apabila ada anggota ABRI yang berminat duduk dalam
DPR, seharusnya melalui pemilu. Sebab azas kedaulatan rakyat dalam pasal 1 UUD
1945 tidak mengenal wakil-wakil rakyat di luar hasil pemilihan oleh rakyat. Hal itu juga
tercakup dalam TAP No XI/MPR/1966, yang tidak menyebut pengangkatan, kecuali
masalah pemilihan saja. Oleh karena itu, Nasution menafsirkan bahwa kepentingan
perjuangan di MPR, dan kurang tepat untuk melibatkan diri dalam politik sehari-hari di
DPR.28 Untuk itu ia menjelaskan sikapnya

24
Ibid.
25
Ibid.
26
AH Nasution , Memenuhi Panggilan Tugas Masa Konsolidasi Orde Baru Jilid 7
Jakarta “ Gunung Agung, 1988, hlm. 224.- 225.
27
Ibid.
28
Ibid, .
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 5
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dalam gagasan saya semula, wakil - wakil TNI yang duduk di DPR ialah dalam
rangka pemilu distrik yang terdiri terutama daripada pensiunan atau para anggota
organik ABRI yang selama pemilu dinonaktifkan dari dinas. Pada waktu itu bahwa
banyak politisi yang berpendapat sama seperti di masa kabinet Ali Sastroamidjojo,
yakni ABRI adalah sekedar alat sipil dan tidak boleh ikut dalam proses penentuan
politik, sebagai missal dalam pemilu 1955 saya telah ikut pemilu dan terpilih di Jawa
Tengah sebagai wakil IPKI untuk Konsituante . Karena saya kembali jadi KSAD lah
kursi dioper oleh Paku Alam .29

Sistem pengangkatan dinilai AH Nasution sebagai hasil bergabung antara partai-partai


politik dengan presiden Soeharto. Partai politik memperoleh apa yang dikehendaki bukan
sistem distrik, tetapi sistem proporsional. Dan presiden Soeharto mendapat hak untuk
mengangkat sepertiga anggota MPR dengan tujuuan agar UUD 1945 tidak bisa diubah.
Hanya saja di sini, AH Nasution berbeda pandangan dengan presiden Soeharto. Ia
menilai hal itu sebagai pengalihan pandangan belaka. 30

AH Nasution kecewa terhadap sikap yang diambil partai-partai politik yang menganggap
hal prinsipil itu dilewatkan Cuma karena masih dalam fase transisi. Ia menilai, kesulitan
akan terjadi apabila sistem itu berjalan dan terkonsolidasi . Ia memandang partai-partai
politik lebih mementingkan agar pemilu sekelasnya terselenggara, guna mengakihiri
masa transisi dan menganggap begitu mendesak rasanya menghadapi sistem
pengangkatan wakil-wakil rakyat secara prinsipil.31

Melihat keterlibatan ABRI yang cukup dominan, AH Nasution yang dikenal sebagai
konseptor utama dwifungsi ABRI sangat kecewa. Ia tak menyangka kalau keterlibatan
ABRI sedemikian besarnya, bahkan bisa dianggap terlalu dominan. Pada tahun 1970-an
ia telah mengingatkan betapa perlu permurnian arti dwifungsi itu. Sebagai kekuatan
pertahanan-keamanan dan kekuatan sosial-politik, ABRI hendaknya bertindak semata-
mata untuk mewujudkan keinginan ABRI, yaitu kesempatan ikut berbicara mengenai
berbagai kebijaksanaan yang diambil pemerintah. AH Nasution tidak bermaksud agar
ABRI berada dalam posisi yang terlalu dominan.

TB Simatupang

Ketika masih menjabat Kepala Sraf Angkatan Perang RI, tahun 1954, TB Sumatupang
menulis buku Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai, yang isinya berintikan
kemungkinan TNI akan memainkan peranan yang lebih besar dalam kehidupan negara
dan bangsa. Tetapi bahayanya terletak dalam perasaan militer yang lebih luas. Bisa jadi
kehadiran angkatan perang di semua negara demokrasi akan mengundang kekuatiran
membuka pintu bagi timbulnya kediktaktoran militer. Perasaan semacam ini diungkapkan
dua windu kemudian
29
Ibid,
30
Ibid,hlm. 228 – 229
31
Ibid.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 6
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pada waktu itu pikiran saya diliputi oleh bayangan kekhawatiran yang mengingatkan
pada persitiwa jatuhnya rezim Koumintang dan rangkaian coup dan contracoup di
Amerika Latin. Sejarah Koumintang merupakan contoh yang paling gemilang bagi
saya yang paling gamblang bagi saya tentang ketidakmampuan suatu rezim yang
didasarkan pada kekuatan militer untuk memimpin suatu revolusi dengan berhasil.
Ketika sesudah pengakuan kedaulatan negara kita pada bulan Desember 1949, saya
Diangkat menjadi pemanangku Kepala Staf Angkatan Darat pada usia 29 tahun,
Saya menyadari, sebagai salah satu tugas saya ialah berusaha supaya sejarah
Amerika Latin dan sejarah Koumintang jangan sampai berulang di Indonesia.
Pengertian saya mengenai situasi pada waktu itu , adalah “ alamiah “ kalau sesudah
Kenerdekaan nasional, di mana memainkan peranan yang mentukan , negara akan
diperintahkan oleh suatu pemerintahan militer Maka dari itu diperlukan suatu
pemerintahan militer. Maka dari itu diperlukan suatu pemerintahan militer, maka
dari itu diperlukan suatu usaha menengah agar sejarah tidak mengikut arah yang
alamiah .

Pada waktu itu terdapat kesadaran, bahwa untuk menyelamatkan republik dari
bahaya Koumintang dan Amerika Latin selama tahun-tahun sesudah pengakuan
kedaulatan , maka usaha yang terus dijalankan . Usaha-usaha itu, pertama untuk
memantapkan akan kesadaran akan kesatuan dan persatuan di kalangan rakyat,
kedua untuk memperkuat struktur-struktur politik dan ketika untuk meningkatkan
mutu organisasi militer .32

Menurut TB Simatupang, ada hal utama yang bisa menimbulkan kediktaktoran militer.
Pertama, adanya simpati dan sejumlah perwira terhadap bentuk pemerintahan otokrasi,
sehingga mereka berusaha merealisir gagasan itu; kedua, adanya situasi yang
menyebabkan negara harus memelihara angkatan perang yang kuat, yang bisa
menyebabkan pergeseran dari pemerintahan sipil ke pemerintahan militer dan, ketiga
terjadinya kemunduran keruntuhan atau disintegrasi dalam suatu negara.33

Setiap negara yang menganut faham demokrasi tetntunya menghadapi persoalan


bagaimana caranya menyusun kekuatan militer yang memenuhi kebutuhan negara dan
tidak menimbulkan kecenderungan ke arah militerisme . Masalah itu tidak dapat
diselesaikan dengan cara yang kurang terpuji. Misalnya, mengusahakan agar Angkatan
Perang tetap lemah,bodoh dan terpecah-pecah. Sebab, kata Simatupang, sikap semacam
itu pada akhirnya hanya akan mengancam keselamatan negara sendiri. Menurut TB
Simatupang, suatu tatanan yang mau menjamin, bahwa kekuatan politik tetap unggul dari
kekuasaan militer adalah suatu hal yang penting. Tetapi bukan berarti memberi ruang
gerak yang cukup buat pimpinan militer untuk mengusahakan perkembagan angkatan
perang yang sehat.34
32
Ulf Sundhausse. Politik Militer Indonesia 1945 – 1967 . Menuju Dwi Fungsi ABRI .
Jakarta : Sinar Harapan , 1981, hlm. 161.
33
TB Simatupang. Pelopor dalam Perang . Pelopor dalam Damai ,Jakarta : Sinar
Harapan, 1981, Hlm. 161
34
Op.Cit, hlm. 165 – 166.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 7
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Untuk menjamin berkembangnya dasar-dasar demokrasi suatu negara, TB Simatupang


mengajukan alternatif. Pertama, adanya suatu usaha agar dalam Angkatan Perang tercapai
tradisi yang lebih mementingkan perkembangan militer yang sangat sehat dan mampu
menghargai dasar-dasar demokrasi, dan kedua, sistem demokrasi harus membuktikan
diri, kalau ia mampu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dan
negara.35

Berkaitan dengan hubungan angkatan perang dan masyarakat,TB Simatupang yang


pernah mengenyam pendidikan Koninklijk Militaire Akademie mengingatkan, selama
kemerdekaan dan sesudah kedaulatan selalu didengung-dengungkan semboyan
“Angkatan Perang tidak boleh menjadi kasta,” “angkatan perang harus berada di tengah-
tengah rakyat, seperti ikan dalam air.” Oleh karena itu, perlu ditekankan betapa
pentingnya hubungan yang baik dengan masyarakat umumnya dan rakyat di desa-desa
dalam pendidikan angkatan perang, di mana masalah-masalah kemasyarakatan perlu
diajarkan di sana. Selain itu, perlunya asrama dan tempat pendidikan angkatan perang
yang sedapat mungkin berada di luar luar kota, daerah pertanian. Dengan demikian
anggota-anggota angkatan perang dalam kehidupan sehari-hari selalu dekat dengan alam
desa.36

Anggota angkatan perang juga diajarkan oleh TB Simatupang,37 agar dapat membantu
kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan kesejahteraan rakyat di desa-desa, misalnya
membuat jalan, jembatan, saluran, pengairan, waduk, pendidikan; Pekerjaan semacam
itu apabila dilakukan akan memperdalam kesadaran di kalbu-kalbu anggota angkatan
perang tentang betapa pentingnya memelihara hubungan yang baik dengan rakyat
sekaligus dapat memperkuat potensi pertahanan di desa-desa dan memelihara
penghargaan dan kepercayaan rakyat di desa-desa itu terhadap angkatan perang.

Perhatian TB Simatupang terhadap rakyat desa, sebenarnya merupakan suatu obsesi. Ia


cukup lama berdiam di desa Banaran, tempat dulu ia mengungsi saat tentara Belanda
melakukan Agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Ketika itu ia menjabat Deputy
Kepala Staf Angkatan Perang RI. Dalam bukunya Laporan dari Banaran (1960) TB
Simatupang menceritakan hubungan antara anggota angkatan perang dengan masyarakat
sekitarnya.

Pemuda-pemuda ini banyak membantu kami berada di Banaran , mereka mengatar


kan dan mengambil surat-surat dari tempat Harjono, mereka menjalankan jaga
malam. Apakah mempelajari juga sesuatu yang berfaedah bagi mereka selama kami
di Banaran?Apa juga diantara kami mencoba memberikan pelajaran kepada mereka
Ali, umpamanya , memberikan pelajaran bahasa Inggris . Apakah semuanya ini ada
faedahnya bagi mereka untuk mengurangi keadaan terbelakang dan kemiskinan
dalam kehidupan desa mereka, saya tidak tahu. 38
35
Ibid.,hlm. 166.
36
Ibid, hlm. 169.
37
Ibid ,hlm. 176.
38
TB Simatupang. Laporan dari Banaran . Jakarta : Sinar Harapan , 1981, hlm. 51.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 8
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kutipan di atas jelas menunjukkan betapa TB Simatupang mempunyai perhatian serius


terhadap kehidupan rakyat desa, yang dianggapnya banyak membantu tugas-tugasnya
selama pengungsian, sehingga menyebabkan dia bertanya pada dirinya, Apakah yang
telah diperkuat untuk rakyat desa yang dianggap mempunyai banyak jasa terhadap
Angkatan Perang RI ?

Apakah kita mempunyai pikiran-pikiran yang konkrit untuk membawa keadilan


dan kemakmuran ke desa-desa dan hutan-hutan kita?Seringkali saya menanyakan
pertanyaan ini kepada diri saya sewaktu tinggal di Banaran . Sering juga saya
membicarakan dengan Ali Boediardjo. Akan tetapi waktu kami meninggalkan
Banaran maka saya sendiri memperoleh jawab yang memusatkan atas pertanyaan
ini.39

Ternyata tiga puluh tahun kemudian, pertanyan ini baru terjawab

Ada semacam ironi dalam hidup rakyat di tempat-tempat itu dahulu telah dijadi
kan pangkalan gerilya oleh karena letaknya terpencil dan oleh karena adanya
hambatan-hambatan alamiah untuk mencapainya Sekarang ini alasan-alasan ini
pula yang menyebabkan bahwa tempat-tempatnya itu sukar untuk mengambil
bagian dalam pembangunan , sering adalah tempat yang sekarang ini paling
sedikit memperoleh manfaat dari pembangunan 40

Pribadi kembari generasi Angkatan “45, baik sebagai militer, pejuang nasional, dan
pemuda, adalah hasil dari sejarah kelahiran dan pertumbuhan TNI kita. Hanya saja, kata
TB Simatupang, lambat-laun terasalah kedua segi dari pribadi kembar itu ditujukan
kepada usaha-usaha untuk menegakkan tingkat teknis yang setinggi mungkin dan disiplin
yang sekuat mungkin, sebaliknya dari pejuang nasional dan pemuda dalam menghendaki
negara yang kuat serta masyarakat yang adil dan makmur. Dari situlah lahir konflik yang
tentunya sangat melmahkan TNI bahkan kadang-kadang menggoncangkan negara dan
masyarakat.41

Menurut TB Simatupang, bertambah luasnya peranan Angkatan Perang secara berangsur-


angsur disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya proses pertumbuhan di dalam
organisasi, disiplin dan mutu angkatan perang secara perlahan-lahan ;kedua, adanya
pertikaian-pertikaian maupun perpecahan di kalangan lmbaga-lembaga politik; ketiga,
terdapatnya ancaman-ancaman terhadap terhadap dasar negara dan bangsa, yang
memberikan kepada angkatan perang peranan sebagai pengawal Pancasila dan; keempat,
tidak tercapainya penyelesaian secara damai dalam konflik antara Indonesia dan Belanda,
sehingga membuat Indonesia menjalankan perang kemerdekaan dalam bentuk perang
rakyat.42
39
Op.Cit.hlm. 241.
40
Ibid, hlm. 249.
41
TB Simatupang. Pemerintah-Masyarakat-Angkatan Perang Jakarta : Indi , hlm. 70 - 74
42
TB Simatupang . Peranan Angkatan Bersenjata dalam Negara Pancasila yang
Merdeka. Jakarta : Idayu , 1980, hlm. 70 – 74.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 9
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Melihat peran yang begitu benar dari Angkatan Bersenjata, TB Simatupang juga merasa
khawatir, sebab tak ada jaminan kalau militer di negara-negara berkembang di Asia dan
Afrika tidak akan terkena godaan dan bahaya dari suatu pemerintahan militer dan
kediktaktoran militer yang senantiasa mengintip. Kasus yang diangkat TB Simatupang
adalah dalam sejarah negara-negara Amerika Latin, pemimpin-pemimpin militer harus
mengisi kekosongan yang ditinggalkannya oleh kegagalan kelompok politik sebagaimana
halnya sekarang di beberapa negara Asia-Afrika. Tetapi setelah beberapa waktu,
patriotisme kaum militer semula di Amerika Latin mulai pudar dan mereka
mempergunakan kekuasaan untuk kepentingan dirinya sendiri.43

Tulisan-tulisan TB Simatupang, ketika masih menjadi Kepala Staf APRI. Penasehat


Militer Menteri Pertahanan, maupun ketika menikmati masa pensiun, senantiasa diwarnai
kekhawatiran terhadap adanya kediaktaktoran militer yang mungkin saja terjadi di
Indonesia. Untuk itu, ia senantiasa mengingatkan tentang betapa besar bahayanya kalau
Angkatan Bersenjata RI terlalu besar berperan dalam kehidupan negara dan bangsa.
Sebagaimana seorang ikut serta dengan perkembangan ABRI dan membawa kepada
keadaan yang lebih baik, tentu saja ia akan dicatat sebagai orang yang mempunyai jasa,
tetap justru menciptakan suasana seperti yang terjadi di Amerika Latin Tentu saja
muncul tuduhan, kalau ikut bertanggung jawab terhadap keadaan semacam itu.44

TB Simatupang memandang, kalau peranan ABRI terlalu besar pada saat ini, semata-
mata bukan disebabkan ABRI mengembangkan kemampuan itu, tetapi disebabkan
kemampuan masyarakat yang kurang mengembangkan kemampuan fungsi sosial politik,
kalau mampu melakukan sebaik mungkin, bisa jadi tidak ada ruang gerak ABRI untuk
menjalankan peranan sosial politik yang begitu luas. Menurutnya ada tiga sebab yang
mengundang ABRI untuk menjalankan fungsi sosial-politik. Pertama, kalau ABRI dapat
menyelesaikan masalah politik dengan Belanda tanpa perang rakyat, peranan ABRI tidak
akan begitu besar; Kedua, TNI tidak harus menjalankan usaha yang begitu lama dalam
menghadapi Darul Islam, selama tiga belas tahun. Lebih lama dari Perang Kemerdekaan
yang hanya memakan waktu selama empat tahun saja dan; Ketiga, apabila kekuatan-
kekuatan politik di Indonesia mampu menghadapi Partai Komunis Indonesia, peranan
yang dimainkan TNI juga tidak akan besar.45

Kekhawatiran semakin besarnya keterlibatan Angkatan Bersenjata RI, bisa jadi obsesi
Simatupang yang merasakan ikut serta membesarkan sehingga ABRI menjadi seperti
sekarang ini, tetapi justru hal itu membuat ia menjadi was-was dengan situasi yang ada.
Obsesi itu dituangkan kedalam sebuah buku.Harapan, Keprihatinan dan Tekad Angkatan
45 Merampungkan Tugas Sejarahnya , Angkatan ’45 itu menulis pesan kepada
bangsanya, agar jangan salah langkah mengambil tindakan. Salah berarti fatal. Ia tak
menginginkan sama sekali kalau Indonesia nantinya berberlok ke arah militerisme,
seperti apa yang terjadi di Amerika Latin. Sebab kalau itu terjadi, artinya Angkatan “45
43
HM Victor Matondang . Percakapan dengan Dr TB Simatupang .Jakarta : : BPK
Gunung Mulia , 1986, hlm. 3 – 4.
44
Op.Cit, hlm. 16 – 17.
45
Ibid.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 10
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

gagal sebagai generasi pembebas. Untuk itu, TB Simatupang menghendaki agar ABRI
bukan saja sebagai dinamisator dan stabilisator, tetapi juga memainkan peranan sebagai
demokratisator. 46
.

Sayidiman Suryohadiprojo

Sebagai pemikir militer Sayidiman Suryohardiptodjo menuangkan pikirannya dalam


buku Langkah –langkah Perjuangan Kita (1971). Karya yang ditulis ketika menjabat
Panglima Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin, membicarakan ABRI dengan
dwifungsinya. Ia berusaha menunjukkan alasan-alasan kehadiran dwifungsi. Sayidiman
Suryohadiprojo masgul mendengar adanya suara-suara yang menginginkan agar TNI
menjadi alat pertahanan dan keamanan belaka., sebagaimana dianut dengan negara-
negara Barat. Menurut dia, keinginan semacam itu muncul disebabkan orang tidak
mengenal perjuangan bangsa Indonesia selama mempertahankan kemerdekaan. Mereka
diidentikan sebagai orang-orang yang khususnya yang selalu ikut Belanda atau selama
Perang Kemerdekaan berada di luar negeri menuntut ilmu. Bahkan ia menuduh kalau
orang politik kurang begitu menyukai ABRI ikut serta berbicara masalah
kemasyarakatan. Ada dugaan ketakutan dan kekhawatiran kalau ABRI merintangi dan
menggagalkan rencana partai politik. Mereka adalah kebanyakan berasal dari partai
politik.47

Sayidiman Suryohardiptpdjo yang berasal dari Divisi Siliwangi itu membantah tuduhan
yang berasal dari dalam dan luar negeri, yang mengatakan kalau di Indonesia telah terjadi
kediktaktoran militer seperti apa yang terjadi Amerika Latin, hanya disebabkan tentara
dominan dalam kehidupan politik pada saat itu. Ia ingin mengatakan kalau di Indonesia
terdapat kehidupan demokrasi yang tadinya dikekang oleh rezim Soekarno. 48 Secara tegas
Sayidiman Suryohadiprodjo mengatakan bahwa tentang peranan militer berkaitan dengan
kehidupan demokratis. ,” …bahwa justru TNI lebih demokratis dari setiap golongan yang
pernah memegang pemerintahan di Indonesia.49 Walaupun demikian, Sayidiman
mengakui kalau ABRI tidak selalu sempurna, masih terdapat kekurangan di dalamnya

Seandainya golongan sipil kurang berkenan dengan kepemimpinan ABRI dalam


masyarakat, termasuk dalam bidang non-militer. Sayidiman menganjurkan agar golongan
sipil mencari kelemahan dalam dirinya. Ia menunjukkan kenyataan sejarah yang terjadi
pada tahun 1948 dan 1949, disebabkan ketidakmampuan kepemimpinan sipil untuk
menjalankan fungsi sebagaima mestinya, itulah yang menyebabkan rakyat mulai menaruh
kepercayaan terhadap kepemimpinan TNI. Jadi, kata Sayidiman Suryohadiprodjo kalau
golongan sipil ingin mendapat kepercayaan dari rakyat, seharusnya mempunyai

46
RB Simatupang , “ Demokrasi Pancasila ,” Suara Pembaruan , 6 – 7 Juni 1988 .
47
Sayidiman Suryodiprojo. Langkah Langkah Perjuangan Kita .Jakarta : Departemen
Pertahanan dan Keamanan Pusat Sejarah ABRI , 1971,hlm. 11 – 24 .
48
Op.Cit.
49
Ibid.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 11
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kemampuan meningkatkan kualitas sehingga terasa kedewasaan dan efektifitasnya oleh


rakyat. 50

Sayidiman Suryohadiprodjo yang lulus Akademi Militer Angkatan 1 Yogyakarta


memberi penjelasan apa yang dimaksud dengan dwifungsi TNI/ABRI. Ia merumuskan

Pada hakekatnya dwifungsi TNI tidak dengan sendirinya berarti, bahwa oknum-
oknum TNI harus menduduki tempat-tempat non militer, dwifungsi TNI berarti
bahwa TNI tidak saja merupakan suatu kekuatan militer yang menjalankan fungsi-
fungsi militer tetapi juga merupakan kekuatan sosial politik yang turut bertanggung
jawab atas pertumbuhan negara dan bangsa Indonesia sesuai dengan aspirasi-aspirasi
bangsa . Bahwa untuk dalam menjalankan fungsi sebagaimana mestinya sebagai
kekuatan sosial politik dan oknum-oknum TNI duduk dalam jabatan non-militer
adalah mungkin , tetapi tidak perlu menjadi keharusan kalau tanpa itu TNI meyakini
bahwa pertumbuhan negara dan bangsa sesuai dengan aspirasi-aspirasi rakyat 51.

Mengenai kemungkinan berlangsung dwifungsi TNI, Sayidiman Suryohadiprodjo


memberi jawaban “ …selama ada TNI harus ada pengertian dwifungsi , yaitu rasa
tanggung jawab TNI terhadap keamaman dan kesejahteraan negara dan bangsa
berdasarkan Pancasila…” 52 Untuk itulah jiwa dan sikap perjuangan TNI itu perlu
dipupukan dan dipelihara dan ditularkan kepada generasi-generasi TNI yang akan datang.
Selain itu, ia mengingatkan kalau mutu kepemimpinan sipil perlu ditingkatkannya
sehingga dwifungsi TNI tidak perlu dilaksanakan dengan menempatii jabatan-jabatan
eksekutif sipil secara luas, dan sebaliknya TNI senantiasa siap untuk memberikan tenaga
dan peranannya, apabila kepentingan sipil belum atau tidak memenuhi kebutuhan . 53

Dua windu kemudian, Sayidiman Suryohadiprodjo menerbitkan buku Menghadapi


Tantangan Masa Depan (1987), Mantan Gubernur Lembaga Pertahanan Keamanan ini
berbicara mengenai dwifungsi ABRI dengan nama yang sama, seperti ketika ia masih
menjadi Panglima Komando Daerah Militer XIV /Hasanudin. Ia menjelaskan dwi fungsi
ABRI tidak membahayakan tidak membahayakan Demokrasi Pancasila, seperti yang
dituduhkan orang. Justru hasil perjuangan dwifungsi ABRI-lah tegaknya kembali UDD
1945 dalam masyarakat Indonesia dan berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi. Ia
menuduh kalau orang-orang yang tidak menginginkan adanya dwifungsi ABRI sebagai
orang-orang yang tidak bersedia melihat kenyataan atau disebabkan oleh pandangan
hidup yang tidak memberi tempat pada dwifungsi ABRI. Dengan kata lain, mereka telah
terbius oleh kehidupan negara lain, di mana kekuatan militer tidak lebih dan tidak kurang
hanya atau mesin perang belaka. 54

50
Ibid,hlm. 183 – 199.
51
Ibid.
52
Ibid.
53
Ibid.
54
Sayidiman Suryohadiprojo. Menghadapi Tatantangan Masa Depan Jakarta:.Gramedia
1987, hlm. 156 – 162.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 12
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kalau ada kegusaran di sementara kalangan bahwa adanya penunjukan anggota lembaga
perwakilan, yang dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi, bahkan ada yang
menganggap penunjukan itu menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain.
Sayidiman Suryohadiprodjo mengusulkan agar diadakan referendum saka, seperti yang
disarankan oleh Presiden Soeharto guna mengetahui sikap mayoritas. Kalau referendum
itu ternyata memperlihatkan mayoritas masyarakat menghendaki tidak ada penunjukan
anggota ABRI untuk duduk dalam lembaga perwakilan, maka ada baiknya cara semacam
ini itu dihentikan saja.55

Konsekuensinya anggota ABRI dapat dipilih dan memilih, sebab ini merupakan haknya
sebagai warga negara. Kalau hal itu terjadi ada masalah, Apakah ABRI merupakan salah
satu kontestan Pemilu tersendiri atau naggota ABRI masuk dalam daftar calon orpol.
Sayidiman Suryohadiprodjo menjelaskan, kalau anggota ABRI masuk dalam jajaran
ketiga orpol berdasarkan posisi dwifungsi ABRI yang mementingkan kepentingan
nasional, hal itu tidak mengutungkan ABRI. Terpencarnya anggota ABRI ke dalam
ketiga orpol, dapat mengganggu kekompakannya. Atau anggota ABRI masuk satu orpol
saja dan akan menjadikan dwifungsi disubordinasikan program orpol itu. Pada akhirnya,
Sayidiman Suryohadiprodjo mengusulkan agar anggota ABRI dijadikan sebagai salah
satu kontestan pemilu bersama orpol-orpol lainnya. Pemilihannya menggunakan sistem
distrik. Jadi masyarakat memilih bukan orang orpol. Setelah itu sejumlah anggota ABRI
yang terpilih, membentuk fraksi ABRI dalam lembaga perwakilan.56

Kalau melihat pandangan Sayidiman Suryohadiprpdjo ada kesan bahwa ia menginginkan


adanya demokratisasi dan ia merasa yakin bahwa ABRI mampu membawakan nilai-nilai
itu demi kepentingan bangsa dan negara. Sayidiman Suryohadiprodjo menjelaskan bahwa
tanmpaknya sekarang pun peningkatan kehidupan demokrasi di Indonesia masih banyak
tergantung dari para dwi fungsi ABRI, tanpa memandang remeh organisasi-organisasi
lain.57 Hanya saja di sini, Sayidiman Suryohadiprodjo lebih menekankan bahwa apa yang
diartikan demokrasi bukan dalam demokrasi politik saja, melainkan harus diartikan
sebagai demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial-budaya. 58

Soemitro

Menilai kecenderungan yang ada pada saat ini, Soemitro menganggap telah terjadinya
proses disengagement pada tahun 1988. Hal itu sebagai suatu kejadian yang direstui oleh
kalangan ABRI yang saat ini masih berada di tampuk pemerintahan. Berkaitan dengan
dwifungsi, Soemitro menjelaskan;.

Dwifungi tetap ada, hanya intensitas keterlibatannya dalam pelaksanaan fungsi


kedua itu tergantung daripada keadaan . Ini kembali pada sistem dan kriteria

55
Op. Cit.
56
Ibid.
57
Sayidiman Suryohadiprojo,” Dwifungsi ABRI Menjelang Masa Depan ,” Suara
Pembaruan , 9 – 10 Juni 1988.
58
Op.Cit.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 13
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dengan tetap memperhtikan prinsip the right man in the right place 59

Melihat pengendalian Golongan Karya oleh ABRi, Soemitro memberikan komentar,


60
ada baiknya hal itu tidak dilakukan secara organisatoris, tetapi cukup aspiratif. Untuk
itu, Soemitro yang pernah menjadi Pangdam Brawijaya mengusulkan agar kepengurusan
Golkar di setiap tingkat kecuali Sekretaris Jendral, dijabat oleh Purnawirawan ABRI yang
telah matang berpolitik dan dipercayai ABRI. Tugas utama mereka adalah membina
kader Golkar dan mendayagunakan dapur pemikiran. Secara jelas, Soemitro mengatakan
kalau kaum purnawirawan ABRI itu tidak boleh berambisi dan tidak boleh ditunjuk
menjadi/menduduki gubernur, menteri, Wapres, Presiden, Duta Besar dan sebagainya.
Hanya kader Golkar dari kalangan sipillah yang lama harus disiapkan untuk mengisi
jabatan jabatan tersebut. Dan Soemitro melihat betapa perlunya sikap netral dari pihak
ABRI, seperti yang diungkapkan .

Demkian pula ABRI dapat kembali pada posisi historisnya sebagai kekuatan sosial-
politik, yang berdiri di atas semua golongan , menaungi dan tidak boleh berhadapan
dengan kekuatan politik manapun, terutama di arena praktis . Sebagai milik rakyat,
ABRI harus menjadi kepercayaan semua golongan , apalagi setelah Pancasila
merupakan satu-satunya asas bagi semua organisasi di bumi Indonesia. 61

Keterlibatan aBRI secara dominan dalam kehidupan politik, diakibatkan terjadinya


Peristiwa G-30-S. Pada saat itu terjadi proses depolitisasi-deSoekarnoisasi. Karena
sebagai besar pejabat pemerintah adalah pejabat Nasakom, maka mereka hanya
digulingkan dan dijatuhkan dari jabatannya. Kekosongan jabatan inilah yang kemudian
diisi oleh anggota ABRI. Sebab lain adalah partai-partai politik dilanda konflik, mereka
meminta ABRI mengisi jabatan seperti bupati, walikota dan sebagainya.62 Kalau melihat
mulai bergesernya peranan ABRI. Menurut Soemitro yang pernah menjadi Wapangab itu,
pada awal duduknya ABRI dalam jabatan-jabatan sipil atau birokrat semata dimaksudkan
untuk menghancurkan PKI, mengangkat wibawa pemerintah, sekaligus membersihkan
dari sisa-sisa Nasakom. Semua itu adalah krisis yang terjadi pada waktu itu. Walaupun
demikian, Soemitro merasa percaya, kalau ABRI tidak bermaksud untuk memperpanjang
krisis. Sebab adanya krisis merupakan suatu kehormatan bagi ABRI untuk secepatnya
menormalkan keadaan, bukan untuk memperpanjangnya.

Politik terbuka yang dianut oleh pemerintah pada saat ini, merupakan suatu kesempatan
besar buat golongan sipil untuk meningkatkan kualitas kepemimpimnya, agar dapat
memainkan peran lebih besar seperti dahulu. Sebab dengan keterbukaan yang ada
menciptakan persaingan agar terciptanya manusia yang berkualitas, peningkatan
intelektual serta menciptakan manusia yang mempunyai kemampuan untuk bekerja.
Sebab, kata Soemitro yang pernah menjabat Pangkopkamtib itu, muncullnya manusia
semacam itu betul-betul dirasakan sebagai suatu kebutuhan pada saat ini , terutama pada
59
Eksekutif, Agustus 1985, hlm. 17 – 25.
60
Soemitro ,” Posisi Golkar dalam Pembaruan Kehidupan Politik ,” Kompas, 25 Juli
1988.
61
Op.Cit.
62
Ilmu dan Budaya , No. 10, Juli 1988.hlm. 762 – 763.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 14
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

tahun 1993. Saat itu akan terjadi peralihan generasi, sebab generasi“45 yang memegang
pimpinan sekarang sudah habis semuanya.63 Untuk itu Soemitro yang dikenal sebagai
pemikir militer itu percaya akan terjadinya supremasi sipil. Menurutnya, Supremasi sipil
itu akan terjadi secara alamiah. Bahwa nantinya sipil akan menduduki pos-pos yang
semestinya diduduki oleh sipil, itu akan terjadi.64

Hasnan Habib

Bagi Hasnan Habib, dilemma utama dari rezim militer adalah, di satu pihak sulit untuk
melepaskan dan mengembalikan kekuasaan yang direbut itu kepada golongan sipil,
sedangkan di pihak lain juga sulit memperoleh legitimasi kekuasaan. Meski begitu ia
menjelaskan kalau du dunia terdapat beberapa contoh keberhasilan rezim militer dalam
memajukan bangsa dan negara, tetapi ada pula contoh-contoh kegagalan rezim militer. Ia
menilai, tidak ada jaminan yang mengatakan bahwa suatu rezim sipil akan lebih baik
dari rezim militer dan sebaliknya. Hanya saja, kata Hasnan Habib, keberhasilan suatu
rezim militer dalam bidang ekonomi dan industri, tidak selalu dibarengi dengan
pembangunan demokrasi politik yang dianggap berhasil. 65

Menurut Hasnan Habib, ABRI dengan peran dan kedudukan yang demikian strataegis itu,
memungkinkan membantu pertumbuhan adan pemantapan demokrasi Pancasila, apabila
ABRI dapat: pertama, menjamin adanya suasana bebas dan terbuka bagi rakyat untuk
mengisi sendiri kekosongan-kekosongan dan kekurangan-kekurangan demokrasi politik
Pancasila yang dirasakan sesuai dengan cocok dengan kebutuhannya sendiri; kedua,
menghindari campur tangan dalam masalah-masalah intern rganisasi –organisasi politik
sehingga diharapkan dapat mandiri, dan; ketiga, perlu diserasikan kekaryaan ABRI di
luar bidang militer, dengan harapan mampu meredakan keresahan dan kekecewaan
golongan-golongan yang merasa tempat pengabdian dan kariernya semakin sempit.66
Berkaitan dengan ketiga butir tersebut, secara tidak langsung Hasnan Habib membuat
definisi mengenai keberhasilan dwifungsi ABRI dengan ungkapan

Salah satu tolok ukur keberhasilan dwifungsi ABRI, ialah semakin banyaknya
bidang-bidang di luar Hankam itu dapat diisi oleh golongan –golongan non-ABRI
dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman lebih tepat untuk menjalankan
fungsi non-hankam itu.67

Kalau terjadi pengisian jabatan-jabatan yang dahulu didominasi oleh anggota-anggota


ABRI, lewat kekaryaan ABRI dan pada saat ini diisi kembali oleh anggota–anggota sipil,

63
Op.Cit.
64
Ibid.
65
Hasnan Habib ,” Peranan Militer dalam Pembangunan Negara Kebangsaan dan
Demokrasi Politik ,”. Makalah dipresentasikan di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
17 Desember 1988.
66
Op.Cit.
67
Ibid.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 15
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menurut Hasnan Habib, hal tersebut telah memberi kesempatan buat ABRI untuk
meningkatkan profesionalisme

Dengan demikian, peranan sosial-politik ABRI secara berangsur-angsur akan dapat


dialihkan ke dalam supra struktur. Ini akan memberikan kesempatan lebih besar
bagi ABRI .untuk memenuhi peningkatan profesionalisme sebagai kekuatan
pertahanan keamanan sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan 68

Adanya tuduhan peran politik militer Indonesia dengan kudeta. Hasnan Habib yang
pernah menjabat duta besar di Amerika Serikat itu menolak tuduhan semacam itu. Sebab
ABRI sejak lahirnya sudah berpolitik, situasi dan kondisi dalam periode itu
mendorongnya untuk berpolitik. Dalam perjalannya ABRI telah ber ber-dwifungsi,
walaupun dengan intensitas, bentuk, dan cara yang sama dalam berbagai periode. Hanya
saja, kata Hasnan Habib, dalam Orde Baru peran politik ABRI menjadi sedemikian
besarnya, sehingga dapat memenuhi persyaratan tipe “dual-rule” atau dwi-penguasaan
ABRI bersama Golkar, dengan ABRI sebagai kekuatan sosial politik yang lebih
dominan.69

Mungkin yang menarik adalah apa yang dikatakan Hasnan Habib berkaitan dengan
kedewasaan budaya politik yang terjadi pada saat itu. Ia menilai sebelum terdapat
kedewasaan politik, berarti penguasaan militer terhadap kehidupan politik terasa
dominan. Ia melihat bahwa akan terjadi perubahan pola dwi-penguasaan yang berlaku
sejak permulaan Orde Baru, menjadi “penguasaan tidak langsung “, tanpa mengurangi
hakekat dan arti difungsi ABRI. Perubahan ini terjadi sebelum tahun 2000.70 Kalau
dugaan itu ternyata benar, maka untuk pelksanaan dwifungsi ABRI, ia mengusulkan :

Jadi, kata Hasnan Habib, pelaksanaan dwifungsi ABRI harus disesuaikan dengan situasi
dan kondisi yang yang ada. Sebab setiap zaman mempunyai tantangan yang berbeda-
beda. Dalam arti pada saat ini dianggap sebagai masa peralihan, dianggap perlunya
pengurangan anggota ABRI yang terlibat dalam kehidupan politik. Sebab seperti yang
telah ditegaskan bahwa keberhasilan dwifungsi ABRI adalah semakin berkurangnya yang
duduk dalam jabatan yang selalu dianggap mempunyai nilai-nilai strategis buat
kepentingan ABRI. Atau dengan kata lain, kekaryaan ABRI ada baiknya semakin
dikurangi dan diisi olh kaum sipil saja.

Penutup

Kalau melihat apa yang terungkap dari kelima pemikir militer Indonesia di atas, nampak
terdapat kesan adanya kesepakatan bahwa adanya dwifungsi ABRI karena proses historis
yang telah berlangsung lama. Tidak ada di antara kelima pemikir militer itu untuk tidak
setuju adanya dwifungsi ABRI pada saat mereka menjadi elite militer maupun pada masa

68
Ibid.
69
Ibid.
70
Ibid.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 16
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sekarang. Menurut mereka, prinsip dwifungsi ABRI perlu dipertahankan hanya saja
metode pendekatannya perlu diubah dari kuantitas ke kualitas.71

Mereka sepakat agar peran militer yang terlalu dominan, yang dianggap sebagai
pelaksanaan dwifungsi ABRI, agar mulai dikurangi, seluas mungkin. Kebanyakan dari
mereka itu menginginkan agar golongan sipil meningkatkan kualitasnya, agar bisa
secepat mungkin mengisi kursi yang sekarang diduduki militer. Militer akan
meninggalkan jabatan-jabatan non-militer kalau golongan sipil yang memungkinkan
menggantikannya dan militer sendiri lebih memusatkan kualitas pengetahuan militer,
khususnya pertahanan dan keamanan.

Fenomena dominasi militer Indonesia di segala bidang, ada kemungkinan besar tidak
menonjol sesudah tahun 2000. Fenomena itu terjadi karena situasi menginginkan agar
golongan sipil lebih memainkan peranan yang menonjol sebagaimana yang pernah
dicapai golongan sipil dahulu. Adanya pembagian tugas golongan sipil dengan golongan
militer menjadi lebih jelas yang menjadi tugas kedua golongan tersebut. Kritik-kritik
dwifungsi ABRI, sebagaimana saat ini masih berlangsung, makin lama akan berkurang,
sehingga pengeritiknya menganggap tidak adanya legitimasi militer Indonesia untuk
berperan terlalu dominan.

Dimuat dalam Histori Vol 1 Nomor 2 , 1992, hal. 12 – 27 .

71
Ibid.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com 17
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like