You are on page 1of 26

Peter Kasenda

Indonesia Raya

“Suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat


bahwa rakyat itu adalah satu bangsa”
(Soekarno)

Lagu kebangsaan setiap negara tidak sekadar menjadi simbol kenegaraan akan tetapi dari
waktu ke waktu mengusik emosi – merangsang semangat dan nafsu agresi, mengubar
amarah, dan pada titik ekstrem yang lain mampu meneteskan air mata warganya dalam
isak tangis. Dalam hal ini adegan cucuran air mata ketika para olahragawan menerima
medali dalam iringan lantunan lagu kebangsaan atau pada awal pertandingan besar
seperti bola sepak atau pertandingan internasional rugby adalah bergumpal-gumpalnya
berbagai emosi dalam gabungan yang mengharukan. Air mata mengucur dari ujung tubuh
tanpa peduli betapa pun tinggi, besar dan kekarnya sang atlet.

Sebegitu rupa lagu-lagu kebangsaan mengharu-biru emosi sehingga lagu kebangsaan


Perancis, la Marseillaise, atau terjemahan Inggrisnya, sejak dikumandangkan pertama
kali tahun 1795 tidak selalu mengalami nasib baik. Sejak diterima sebagai lagu
kebangsaan, nasib lagu ini turun-naik dan timbul-tenggelam menurut rezim yang
berkuasa dan hubungan emosionalnya terhadap lagu tersebut. Lagu ini dilarang oleh
Napoleon dan beberapa rezim berikutnya sampai dikukuhkan kembali tahun 1879-84,
hampir satu abad-sebagai lagu kebangsaan Perancis sampai hari ini.

Dengan sedikit mengakibatkan perbedaan, karena Jerman dan Perancis memuja tanah air
sebagai “bapak”- “la patrie” dan “das Vaterland “ – dan orang Indonesia
menganggapnya sebagai “ibu atau dewi“ dewi pertiwi“ atau “ibu pertiwi“ maka
menyimak lagu ketiga bangsa itu dalam suatu perbandingan sangat merangsang pikiran.
Di antara lagu-lagu kebangsaan sedunia, lagu Indonesia Raya paling dekat dari segi
musikal dengan la Marseillais, Nyanyian Marseille, kalau tidak justru menimba inspirasi
dari sana, dan bersama Deutchland-Lied, Madah Jerman, menyimpan semangat
ideologis yang alot dan kental : persatuan, persaudaran, kebebasan, kemerdekaan, dan
kewargaan. Ketika la Marseillaise memberikan perintah tempur dan perang dalam larik
“aux arms citoyens, formez vous bataillons, marchomns“, “para warga panggullah
senjata, bentukan pasukan, maju” suatu derap revolusi diumbar, dan penindasan ingin
ditumbangkan. Lagu kebangsaan Jerman memuja tanah air dan lebih menjadi madah
penuh keagungan tapi manis : “Deuchland, Deutchland uber alles, Uber alles in der
Welt…Blub im Glanze dieses Gluckes, bluhe, deutsches Vaterland “ ,” Di dunia tak ada
yang setara tanah Jerman …mekarlah dalam sinar kebahagian, kembanglah tanah tumpah
darah Jerman.”

Nada imperatif la Marseilasse, dan mungkin juga secara tersembunyi nada imperial yang
sangat kuat, terpantul dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya, dalam naa-nada musikal
maupun lirik yang diungkapkan dalam larik-larik syairnya. Bila diperhatikan dengan teliti

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 1
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

akan kelihatan suatu gerakan progresi menakjubkan yang dikemukakan penggubah lagu
kebangsaan di atas yaitu dari “bangun, sadar dan maju“ dalam bangoenlah jiwanya…
sadarlah hatinya…dan majoelah negrinya” dan semuanya hanya bermuara kepada satu
tujuan, yaitu demi “Indonesia Raya” yaitu the Great Indonesia. Seberapa “raya” besarnya
secara ekstensif ? Seberapa tinggi “kebangoenan badan”, seberapa dalam “kesadaran
budi”, dan seberapa besar “kemadjoean Pandoenya“ disadari secara intensif? Ketika
Wage Rudolf Supratman mengubah lagu itu besar kemungkinan ia sadar tentang dua
versi atau tepatnya dua dimensi makna “Indonesia Raya“, yaitu yang intensif dan
ekstensif, dan lagu Indonesia Raya memadukan dua-duanya. Namun, yang tersisa bagi
generasi sekarang mungkin semata-mata makna intensif Indonesia Raya,, yaitu jiwa harus
dibangunkan, hati harus disadarkan, demi kemajuan negeri dan pandunya adalah
“Indonesia cilik“ abad 21 ini. Sedangkan Indonesia Raya dalam dimensi ekstensif, dalam
arti secara geografis dan terutama geopolitik lebih luas dari Indonesia sekarang, sudah
hilang tanpa bekas dari kenangan kolektif dan dengan demikian tidak lagi menjadi bagian
dari diskursus politik sehari-hari. ( Daniel Dhakidae : 2008 , hlm. 59 – 60 )

Saat kelahiran Soekarno dan Mohammad Hatta di daerah Surabaya dan Minangkabau,
Indonesia belum muncul sebagai kesatuan politik. Dunia internasional mengakui
rangkaian kepulauan yang terbentang dari Sumatra sampai Papua sebagai Hindia
Belanda. Setiap bangsa adalah hasil ciptaan daya khayal. Ia memperoleh kekuatannya
dari kesadaran para warganya. Demikian lama sebelum negara Indonesia yang merdeka
menjadi satu kenyataan setelah Perang Dunia ke-II, ide tentang suatu kesatuan semacam
itu harus tertanam dalam hati para warganya. ( Peter Carey : 1986 , hlm. 8 )

Nama Indonesia

Sebelum nama Indonesia dicipta, tidak ada nama pribumi yang mengacu pada
keseluruhan kepulauan kita, meskipun kebanyakan pulau masing-masing mempunyai
nama sendiri, seperti pulau Sumatra yang juga dikenal dengan nama Andalas atau Pulau
Perca, pulau Jawa, pulau Kalimantan, pulau Sulawesi, pulau Bali, dan sebagainya. Pulau
Irian sebagai keseluruhan juga belum ada namanya. Dalam sejarah kuno, terutama dalam
masa kejayaan kerajaan Majapahit, ada digunakan nama “Nusantara,” akan tetapi nama
Nusantara mengacu pada sekalian pulau di kepulauan kita di luar pulau Jawa, jadi tidak
termasuk pulau Jawa sendiri. ( Harya W Bachtiar : 2002 , hlm. 15 )

Para pelancong dan pejabat yang bukan orang Belanda menyebut kepulauan kita itu,
antara lain,”The Eastern Seas (Lautan Timur)”,” The Eastern Islands (Kepulauan
Timur) :, “Indian Archipelago (Kepulauan Hindia)”. Belanda terkadang menggunakan
istilah-istilah seperti “Hindia“,”Hindia Timur”, “ daerah jajahan Hindia”, “atau
belakangan “Insulinde (pulau-pulau Hindia),” lalu selagi hubungan politik Belanda
dengan kepulauan itu berkembang,” Hindia (Timur) Belanda”, dan Belanda
memandangnya sebagai bagian “tropisch Nederland (kawasan tropis Belanda)

Kata “Indonesia“ pertama kali digagas pada 1850 dalam bentuk “Indo-nesian“ oleh
pelancong dan pengamat sosial asal Inggris, George Samuel Windsor Earl. Earl ketika itu

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 2
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sedang mencari istilah etnografis untuk mejabarkan “cabang ras Polinesia yang menghuni
Kepulauan Hindia” atau “ ras-ras berkulit cokelat di kepulauan Hindia”. Namun, setelah
menciptakan istilah baru itu, Eral langsung membuangnya – karena terlalu “umum” – dan
menggantikannya dengan istilah yang dia anggap lebih khusus “ Melayunesias.”

Seorang kolega Earl, James Logan, tanpa mengindahkan keputusan Earl, memutuskan
bahwa “Indonesian” sebenarnya adalah kata yang lebih tepat dan benar untuk digunakan
sebagai istilah geografis, bukan etnografis. Dengan membedakan antara penggunaan kata
itu secara geografis dan etnologis, Logan menjadi orang pertama yang menggunakan
nama“ Indonesia“ untuk menjabarkan, walau secara longgar, kawasan geografis
kepulauan Indonesia. Logan lantas terus menggunakan kata “Indonesia:” Indonesian“,
dan “Indonesians“ dalam arti geografis secara relatif bebas, tapi tidak ekslusif (:Indian
Archipelago“ harus tetap dipakai“), dalam tulisan-tulisan berikutnya. Logan bahkan
membagi “Indonesia“ menjadi empat kawasan geografis terpisah, membentang dari
Sumatra sampai Formosa (Taiwan).

Penggunaan “Indonesia“ oleh Logan tidak segera diikuti orang lain. Baru pada 1877 E.T.
Hanny, ahli antropologi asal Prancis, menggunakan kata “ Indonesia“ untuk menjabarkan
kelompok-kelompok ras prasejarah dan “pra-Melayu“ tertentu di kepulauan Indonesia.
Pada 1880, ahli antropologi Britania A.H. Keane mengikuti penggunaan Hanny. Pada
tahun yang sama, istilah “Indonesia“ dengan pengertian geografis yang lebih pas,
mengikuti Logan, digunakan oleh ahli lingusitik Britania, N.B Denny, dan dua tahun
sesudahnya Sir William Edward Maxwell, adminstrator kolonial dan ahli bahasa Melayu
dari Britania, mengikuti praktik Dennys.

Adolf Bastian, ahli etnografi terkenal dari Jerman, yang telah mengetahui penggunaan
istilah “Indonesia“ untuk pertama kali oleh Logan, menggunakan istilah tersebut dalam
lima jilid Indonesien order die Inseln des Melayuischen Archipel karyanya, yang terbit
pada 1884-94. Mengingat cukup terkenalnya Bastian dunia cendikia, penggunaan istilah
“Indonesia“ jadi lebih dianggap.

Mungkin karena terdorong oleh pengunaan istilah “Indonesia” oleh Bastian, ahli etnologi
brilian dan mantan pejabat Hindia Belanda G.A Wilken, yang pada September 1885
menjadi professor di Universitas Leiden, pada tahun itu juga menggunakan istilah
“Indonesia” Wilken, seorang cendikiawan ulung, sangat menghargai dan akrab dengan
karya Bastian – Wilken menyebut Bastian “pangeran para ahli etnologi“ – dan juga tahu
mengenai upaya Logan sebelumnya Wilken menggunakan istilah “Indonesia” dalam
pengertian geografi (kepulauan “Indonesia“) dan (lebih jarang) dalam pengertian budaya
yang lebih luas (orang-orang yang memiliki kesamaan bahasa dan budaya, yang tersebar
dari Madagaskar di barat sampai Taiwan di utara ). Namun, Wilken lebih suka
“Kepulauan Hindia“, dan hanya sesekali mengunakan kata “Indonesia”. Meskipun
demikian pada waktu itu Wilken diteladani kolega-kolega Belandanya, termasuk ahli
linguistik H. Kern, dan sesudahnya oleh G.K. Niemann, C.M. Pleyte, dan lain-lain.
Christian Snouck Hurgronye, ahli Islamologi terkemuka, menggunakan istilah
“Indonesia,” walau tidak sering – dia lebih menyukai istilah umum Inlander (pribumi).

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 3
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

A.C. Kruyt, misionaris dan ahli etnografi terkenal, menggunakan istilah “Indonesia“
dalam karyanya tentang animisme, dalam pengertian murni budaya.

Beberapa petunjuk mengenai penerimaan istilah “Indonesia: secara terbatas bisa


diperoleh dari analisis istilah yang digunakan untuk kepulauan Indonesia oleh para ahli
etnografi, ahli geografi, dan penulis perjalanan pada bagian terakhir abad kesembilan
belas. Tinjauan atas buku tebal Repertorium, rubrik“ antthropologie-ethnograpie : de
Indische Archipel “, menunjukkan bahwa istilah-istilah seperti :Indonesia / Indonesien/
Indonesier/Indonesischer/Indonesische /Indonesisches/Volkern Indonesiens” digunakan
hanya empat kali dalam judul artikel-artikel penelitian antara 1866 dan 1893, empat kali
lagi antara 1894 dan 1900, serta tiga kali antara 1901 dan 1905. Yang lebih dominan
adalah pemakaian istilah “Indonesia dalam pengertian budaya secara luas sehingga ahli
etnografi Kern sampai bisa mengatakan “kelompok pulau utara Indonesia terdiri atas
Filipina.”

Yang menarik pada penggunaan istilah “Indonesia“ sejak Bastian tidak hanya sifatnya
yang kurang jelas dan umum, tapi juga kemunculan fungsinya sebagai penjabar untuk
suatu kawasan yang dianggap dihuni orang-orang dengan ciri etnis dan budaya yang
mirip – bahasa, cirri fisik, adan adat. “Indonesian“ adalah kata sifat yang digunakan
untuk mewakili sifat-sifat tersebut, sementara “Indonesians“ adalah orang-orang dengan
ciri-ciri umum seperti (yang terkadang dianggap mencakup penghinu Madagaskar hingga
Formosa), dan “Indonesia“ adalah tempat-tempat yang mereka huni. Tidak mesti ada
hubungan antara “Indonesia“ dalam pengertian budaya yang dominan dengan wilayah
Hindia Timur Belanda, dan tidak adalah yang menggunakan istilah “Indonesia“ dalam
pengertian politis. ( R.E. Elson : 2009 : hlm. 2 – 6 )

Mungkin sekali, orang-orang kita yang pertama-tama mendengar tentang nama


“Indonesia” ini adalah sejumlah pemuda dari kepulauan kita yang memperoleh
kesempatan belajar di perguruan tinggi di Belanda. Mereka mendengar nama tersebut
khusunya dari kuliah-kuliah tentang hukum adat, yaitu sebagaimana disampaikan oleh
Prof. Dr. C. Snouck Hurgronye dan Prof. Dr. C. van Vollenoven, dan kuliah-kuliah-
kuliah tentang bahasa-bahasa di Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. H
Kern. ( Harsya W Bachtiar :2002 , hlm. 16 )

Pada bulan Januari 1901 Ratu Wilhelmina mengumumkan di depan Parlemen program
Pemerintah Belanda yang baru saja terpilih. Pemerintah mengakui bahwa sementara di
masa lalu banyak perusahaan dan orang-orang Belanda telah memperoleh keuntungan
yang berlimpah-limpah dari Hindia Belanda, penduduk di tanah jajahan di masa
mendatang ialah memperbaiki kesejahteraan rakyat. Ratu Wilhelmina menambahkan
bahwa bangsa Belanda “telah berhutang budi“ kepada rakyat Hindia Belanda. Dengan
bernaung di bawah apa yang kemudian dikenal sebagai politik etis, pemerintah Hindia
Belanda perlahan-lahan memperluas kesempatan bagi anak-anak Indonesia dari golongan
atas untuk mengikuti Sekolah-sekolah Berbahasa Belanda tingkat dasar dan menengah.
Sampai akhir PD-I kebijaksanaan yang baru dalam bidang pendidikan tersebut
menghasilkan beberapa lulusan yang jumlahnya semakin meningkat. Namun, demikian,
sampai saat itu fasilitas pendidikan tingkat tinggi di wilayah jajahan baru sedikit sekali

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 4
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dan tak satupun yang menyediakan status professional secara penuh. Para lulusan yang
terbaik di antara anak-anak muda Indonesia itu harus melanjutkan pelajaran mereka di
negeri Belanda.

Akibatnya, dalam beberapa tahun saja setelah perang, mahasiswa Indonesia yang belajar
di negeri Belanda semakin banyak jumlahnya dibandingkan dengan sebelumnya. Banyak
di antara mereka itu memiliki lebih banyak kesadaran politik daripada angkatan
sebelumnya. Ketika masih berada di Indonesia mereka itu telah memegang pimpinan
dalam organisasi-organisasi pemuda dan telah dengan penuh semangat ikut serta dalam
pergerakan kebangsaan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa setelah berada di
negeri Belanda, mereka ingin terus terlibat dalam politik pergerakan Indonesia dan
bergabung dengan organisasi mahasiswa Indonesia, yaitu Indische Vereeninging untuk
menyalurkan keinginan tersebut. Organisasi ini didirikan pada tahun 1908,;semula
merupakan suatu pusat kegiatan sosial dan kebudayaan di mana para mahasiswa
Indonesia dapat melewatkan waktu senggangnya dan saling bertukar berita dari tanah air.
Pada tahun 20-an peran sosial dan kebudayaan memang tetap, tetapi berkat pengaruh
generasi baru itu maka kedua peran tersebut tidak lagi menjadi fungsinya yang utama.
Sejak bulan Februari 1925 mereka ttelah mengembangkan organisasi tersebut sebagai
sebuah organisasi yang mengutamakan masalah-masalah politik. Sebagai bagian daripada
identitas nasional yang baru, mereka memakai nama Perhimpunan Indonesia (PI) dan
memberi nama baru “ Indonesia Merdeka“ kepada majalah mereka. Nama “Indonesia“
tidak lagi menjadi sekedar nama yang digunakan di kalangan para ilmuwan untuk
keperluan ilmu pengetahuan, melainkan menjadi nama suatu kesatuan sosial yang baru,
suatu kesatuan politik yang baru, suatu bangsa yang baru.

Merekalah yang menjadi anggota PI merupakan sekelompok kecil yang terjalin erat dan
hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh mahasiswa Indonesia yang ada di negeri
Belanda. Tahun 1926, misalnya, pada saat memuncaknya aktivis politik PI, jumlah
seluruh anggota PI hanya 38 orang Namun demikian, pengalaman hidup dan belajar di
tengah-tengah masyarakat Belanda telah memberikan suatu akibat yang mendalam.
Mereka yang lama tinggal di sana memperoleh pengalaman yang semakin luas, dan
mengalami suatu dampak tambahan sebagai akibat perpindahan mereka dari suatu
masyarakat kolonial yang restriktif dan paternalistis ke dalam masyarakat yang lebih
terbuka di mana mereka untuk pertama kalinya dianggap sederajat dengan bangsa Eropa
baik di depan hukum maupun dalam masyarakat. Sebagian dari mereka itu yang berasal
dari desa atau kota kecil dan yang pada waktu belajar di Bandung atau Batavia tercerabut
dari kebudayaan desa karena tertelan oleh kehidupan kota dan hiruk pikuk dunia Barat
yang baru saja mengalami goncangan mental perang dunia, kini, mempunyai kesempatan
di Eropa, untuk mengatasi krisis identitas pribadi. Usaha penemuan kembali identitas
sebagai bangsa Indonesia. Keduanya tersalur ke dalam aktivitas gerakan kebangsaan.

Kebanyakan mahasiswa tersebut sewaktu tiba di negeri Belanda, berumur sekitar 20


tahun, di mana kesepian dan keterasingan budaya merupakan masalah utama yang harus
mereka atasi. Untuk mengatasi masalah ini mereka saling membina persaudaraan dan
saling membantu dan sedikit sekali bergaul dengan mahasiswa Belanda. Para mahasiswa
serta istri dan anak-anaknya sering mengundang mahasiswa-mahasiswa bujangan untuk

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 5
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

makan bersama demi persahabatan. Karena bersama-sama terlempar bersama ke dalam


suatu lingkungan asing, meningkatlah kebanggaan bersama terhadap tanah airnya sendiri.
Perbedaan kedaerahan, kesukuan dan kekhasan masing-masing mereka yang semula
dibesar-besarkan untuk keuntungan orang Eropa kini ditempatkan dalam perspektif baru.
( John Ingelson : 1983, hlm. 1 – 3 )

Akan tetapi dalam tahun 1925, Perhimpunan Indonesia bukanlah lagi satu-satunya
organisasi yang bernama “Indonesia.” Untuk sebagian disebabkan kegiatan-kegiatan
propaganda di Indonesia oleh anggota-anggota yang puilang ke tanah air, maka
pemakaian kata “Indonesia” dan “orang–orang Indonesia“ telah meluas dengan cepat ke
seluruh kepulauan. Mula-mula suatu organisasi sosialis radikal bernama ISDV mengganti
namanya menjadi Perserikatan Komunis (di) India dalam bulan Mei 1920, dan tidak lama
kemudian menjadi Partij Komunis (atau Komunis) Indonesia. Pada suatu sidang Kongres
Kelima Komunis Internasional pada tanggal 25 Juni 1924, seorang Komunis Belanda
bernama Wijnkoop masih menggunakan kata-kata “Indonesia” dan “Hindia Belanda“
saling berganti-ganti. Oleh karena kita mempunyai bukti lain bahwa dalam 1925 partai
tersebut memutuskan untuk menyebut diri Partai Komunis Indonesia, dapatlah dipastikan
bahwa orang-orang Komunis mulai menggunakan kata itu sekitar tahun 1924. Agaknya
tidaklah perlu untuk dikatakan bahwa organisasi Komunis Internasional dan Partai
Komunis Nederland menyusul dengan cepat.

Sementara itu Soekarno mengambil insitiatif dalam bulan Juli 1927 dengan mendirikan
Partai Nasional Indonesia yang memainkan peran yang vital dalam mempersatukan
perasaan nasionalisme bangsa Indonesia sebagai keseluruhan, tanpa memandang
perbedaan kebudayaan, suku atau agama. Kesadaran “Indonesia” ini mencapai
puncaknya pada “Sumpah Pemuda“ yang cemerlang pada waktu Kongres Pemuda
Indonesia Kedua, pada tanggal 26-28 Oktober 1928. Satu Bangsa, satu Negara, dan satu
Bahasa untuk Indonesia, dengan lambang-lambang lagu kebangsaan serta bendera merah
putih–hal-hal ini menunjukkan usaha-usaha terakhir untuk menyelesaikan perkembangan
lama dari kata-kata “Indonesia’ dan “orang-orang Indonesia” serta dimasukkannya ke
dalam perbendaharaan kata-kata nasional.

Seharusnya tidaklah mengherankan bahwa kebanyakan orang Belanda yang secara


langsung atau tidak berhubungan dengan koloninya mempunyai perasaan antipati yang
kuat terhadap pemakaian kata-kata “Indonesia” dan “orang-orang Indonesia”. Keberatan-
keberatan mereka mulai dari alasan-alasan yang semata-mata bersifat ilmiah mengenai
definisi kata-kata itu sampai pada perasaan membencinya saja. Akan tetapi dalam
beberapa hal ada sambutan-sambutan yang positif, JJ Schrieke, Direktur Departemen
Yustisi pemerintah kolonial waktu itu, menerbitkan De Indische Politiek dalam tahun
1929. Dalam tulisannya ini dia mengemukakan kecenderungan bangkitnya nasionalisme
di antara orang-orang Indonesia, dan membuat suatu pertanyaan yang kesimpulannya
ialah bahwa tidak ada alasan untuk memaksakan nama “Hindia Belanda“ yang sudah
lama ketinggalan zaman itu kepada orang-orang Indonesia; tidak perlu mereka ingin
dinamakan “orang-orang Jawa“, “orang-orang Sunda“,”orang-orang Minangkabau”, dan
seterusnya. Walaupun dia mengakui bahwa istilah “orang-orang Indonesia “ mungkin

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 6
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

secara ilmiah tidak betul, kesimpulannya ialah bahwa tidak akan ada pilihan lain selain
daripada yang telah diputuskan orang-orang Indonesia terhadap diri mereka sendiri.

Schrieke adalah benar ketika mengumakan bahwa terdapat “halangan berupa sentimen
Belanda yang harus diatasi“ sebelum keputusan akan bisa diambil agar ada perubahan
resmi dari nama; akan tetapi pandangannya ialah bahwa “mereka yang lebih
mementingkan kenyataan-kenyataan daripada semata-mata nama-nama saja tetap realistis
dan mengorbankan perasaan. Rupanya ide Schrieke berdasarkan keyakinan yang teguh
bahwa Nederland akan sanggup untuk mempertahankan koloni itu, apa pun namanya,
untuk masa lama yang akan datang. Akan tetapi kecuali sejumlah kecil yang berpikir
rasional, kebanyakan pejabat-pejabat kolonial Belanda di Indonesia membenci saja kata-
kata “Indonesia” dan “orang-orang Indonesia”. Di kemudian hari Soekarno mengingat
kembali bahwa pejabat-pejabat Belanda yang konservatif itu acapkali melarang pidato-
pidato dan rapat-rapat dari orang-orang nasionalis Indonesia hanya karena pemakaian
kata-kata ini.

Walaupun ada tekanan yang semakin kuat yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap
kelompok-kelompok nasionalis, konsep “Indonesia” sebagai lambang persatuan nasional
tetap mantap pertumbuhannya selama tahun-tahun 1930-an. Misalnya, dalam bulan April
1936, Snouck Hurgronye menjawab dari tempat tidur matinya pertanyaan dari seorang
perwira militer mengenai kata-kata “Indonesia“ dan “orang-orang Indonesia“,
dibandingkan dengan kata-kata lain. Dengan mengakui bahwa “orang-orang kolonial
yang keras kepala menganggap penggunaan kata-kata “Indonesia“ dan “orang-orang
Indonesia“ sebagai suatu pernyataan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda.”,
Snouck Hurgronye memperbincangkan seluruh persoalan itu dengan tenang dan obyektif.
Meskipun kesehatannya menurun dan tidak ada kemungkinan untuk melihat bahan-bahan
sumbernya sementara dia mendiktekan jawabannya, ingatannya yang kuat sekali itu
kembali kepada J Kreemer, perdebatan-perdebatan dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan
bahkan kepada JJ Schrieke. Dia mencemohkan orang-orang kolonial yang keras kepala
itu yang tidak membenci kata ”Insulinde“ yang yang telah diciptakan Multatuli, salah
seorang pemberontak yang paling berani. Dengan mengetahui bahwa nama-nama
“Indonesia“ dan “orang-orang Indonesia“ merupakan keharusan zaman dia meninggal
kurang dari tiga bulan kemudian.

Akan tetapi situasi umum, sebelum penyerbuan Jepang ke Indonesia, tidak cukup
menguntungkan untuk memberi peluang bagi suatu politik luwes semacam itu perihal
nama-nama. Dalam bulan Januari 1941 ketika Gabungan Politik Indonesia yang telah
dibentuk sebagai suatu petisi agar kata “Indonesia“ dipakai dengan resmi pengganti
“Hindia Belanda“, pemerintah kolonial Belanda tidaklah menyambut dengan suatu
jawaban yang memuaskan. Pada tanggal 16 Juni tahun itu juga, pemerintah
mengemukakan maksudnya untuk mempertimbangkan kembali petisi tersebut; akan
tetapi bahkan dengan sikap ini, pemerintah kolonial tidaklah menganggap masalah ini
amat serius. ( Akira Nagazumi : 1976 , hlm. 21 – 25 )

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 7
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Vandenbosch (1931) menyebutkan bahwa nama Indonesia memberi rasa kesatuan bagi
para nasionalis. Dalam artikelnya yang ditulis pada tahun 1931 di jurnal Pacific Affaiirs,
dia di antaranya mengulas mengapa rasa kebangsaan penduduk Hindia Belanda muncul
relatif terlambat ketimbang di India dan Filipina. Menurutnya, salah satu indikasi
ketiadan kesatuan kebangsaan, karena begitu ragamnya penduduk Hindia Belanda waktu
itu, adalah tiadanya nama yang mencakup baik wilayah maupun penduduk kepulauan
yang membentang itu. Nama resmi wilayah negara kolonial itu adalah Hindia Belanda,
tapi tentu saja para nasionalis enggan memakai nama ini. Ada nama lain yang sempat
muncul, yaitu Insulinde, yang diperkenalkan oleh Dekker di akhir kosah buku Max
Havelaar. Meski sempat banyak digunakan, tulis Vandenbosch, nama nama Indonesia
lebih popular. ( Putut Widjanarko : 2008 , hlm. 102 )

Nasion Indonesia

Bagi penduduk pribumi ikatan-ikatan kesetiaan kepada daerah dan kelompok etnis sangat
besar. Penduduk pribumi di kepulauan kita, yang sejak permulaan tahun 1920-an mulai
kita namakan Kepulauan Indonesia, terdiri dari beraneka ragam suku bangsa. Bahkan
sebelum kita mulai menanggapi diri kita sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia, suku-
suku bangsa ini biasa dinamakan bangsa, seperti bangsa Melayu, bangsa Jawa, bangsa
Bugis, dan sebagainya.

Masing-masing suku bangsa mempunyai wilayah kediaman sendiri, tanah air sendiri.
Daerah tempat kediaman para nenek moyang suku bangsa yang bersangkutan, pada
umumnya dinyatakan melalui mitos meriwayatkan asasl usul suku bangsa yang
bersangkutan. Setiap suku bangsa mewujudkan kebudayaan sendiri, yang selain terdiri
atas nilai-nilai atau aturan-aturan tertentu, juga terdiri atas kepercayaan-kepercayaan
tertentu, pengetahuan tertentu serta sastra dan seni yang diwarisi dari generasi-generasi
terdahulu suku bangsa yang bersangkutan. Masing-masing suku bangsa juga mempunyai
bahasa sendiri, struktur masyarakat sendiri, dan sistem politik sendiri.
Anggota-anggota masing-masing suku bangsa, oleh sebab itu, cenderung mempunyai
identitas tersendiri sebagai anggota suku bangsa yang bersangkutan. Sehingga dalam
keadaan tertentu mereka cenderung mewujudkan rasa setia kawan, solidaritas dengan
sesama anggota suku bangsa asal. Di kota-kota besar, seperti di Jakarta dan Surabaya, di
mana kehidupan lebih modern menuntut solidaritas yang lain daripada solidaritas suku
bangsa, memang terdapat sejumlah orang yang tidak merasa mempunyai identitas ini
dalam berbagai jenis perilaku.

Pengetahuan sejarah Indonesia yang diketahui umum mencakup tentang berbagai negeri
pribumi di masa lampau, beberapa ratus yang lalu, seperti negara agung Majapahit,
negara agung Sriwijaya, negara agung Mataram dan sebagainya. Akan tetapi,
sesungguhnya di kepulauan kita juga terdapat banyak negara pribumi yang bahkan masih
ada pada waktu kita menyatakan diri merdeka sebagai bangsa dan negara dalam tahun
1945 yang lalu. Kenyataan ini tidak atau kurang terperhatikan dalam penyajian sejarah
Indonesia modern.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 8
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Negara-negara pribumi ini mempunyai wilayah sendiri, kepala negara dan pemerintahan
sendiri, perundang-undangan sendiri, dan peradilan sendiri. Berbagai anggota juga
mempunyai warga-warga negara sendiri. Sedangkan setiap negara mempunyai lambang-
lambang negara tersendiri, seperti bendera atau pelambang lain. Dalam masa jajahan,
terutama permulaan abad ke 20, sekalian negara pribumi ini terpaksa mengadakan
perjanjian dengan Pemerintah (Jajahan) Hindia Belanda yang sangat menguntungkan
pihak penjajah Belanda. Meskipun demikian, pada umumnya negara-negara yang
bersangkutan dapat tetap bertahan sebagai negara.

Dengan demikian, misalnya pada permulaan abad ke 20 ini di pulau Jawa, terdapat
Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Mangkunegaraan dan Pakualaman serta
Kesultanan Cirebon, Kasepuhan dan Kanoman. Di pulau Madura beberapa puluhan tahun
sebelumnya masih terdapat Negara Madura, Pamekasan dan Sumenep, akan tetapi
negara-negara ini ditaklukan dan dihapuskan sebagai negara oleh pihak penjajah Belanda.

Di bagian utara pulau Sumatra terdapat Kerajaan Aceh yang pada permulaan abad ke
XX-an masih sedang terlibat dalam perang menentang kekuasaan penjajah Belanda dan
tumpas beberapa tahun kemudian. Sedangkan di bagian Timur terdapat kesultanan Deli,
Serdang, Langkat, Asahan, kesultanan Siak Sri Indapura, Pelalawan, dan sebagainya. Di
pulau Kalimantan terdapat kerajaan Sambas, Pontianak, Simpang, Sekadau, Sanggau,
Bukungan, Kota Waringin, Banjarmasin, Kutei, dan sejumlah negara lain. Di pulau
Sulawesi terdapat kerajaan Gowa, Bone, Tanete, Soppeng, Bolang Mongondow, Buol
dan sebagainya. Di Kepulauan Maluku terdapat kesultanan Ternate, Tidore dan Bacan.
Di pulau-pulau Nusa Tenggara, terdapat kerajaan Klungkung, Giannyar, Karangasem,
Badung, Tabanan, Bangli, Buleleng, Bima, Sumbawa, Dompu dan banyak lagi negara-
negara kecil lain.

Kebanyakan negara pribumi ini baru menghilang sebagai kesatuan politik kewilayahan
pada masa Revolusi Nasional. Hanyalah Kesultanan Yogyakarta, terutama karena
peranan amat penting dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sepenuhnya
mendukung perjuangan kaum republik dalam masa Revolusi Nasional, dapat
mempertahankan diri sebagai suatu kesatuan politik nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
(Harsya W Bachtiar: 2002 , hlm. 18 dan 23 – 24 )

Pengertian nasion, yang sesungguhnya merupakan istilah yang lebih tepat daripada
pengertian bangsa yang masih mengandung unsur-unsur anggapan bahwa sekalian
anggota-anggota bangsa yang bersangkutan berasal dari nenek moyang yang sama,
dijelaskan dengan gamblang oleh Ernst Renan dalam suatu mata kuliah umum berjudul “
Qu”est qu”un nation ? ( Apakah nasion itu ?) yang diadakan di Universitas Sorbone,
Paris, tahun 1882.

Pada waktu itu, akhir Abad ke-XX, terdapat berbagai gerakan kebangsaan di benua
Eropa. Gerakan-gerakan perjuangan ini merupakan ancaman terhadap pemerintahan
kerajaan yang menguasai bangsa-bangsa yang bersangkutan dan memang mengakibatkan
kerajaan-kerajaan besar di Eropa, seperti Kerajaan Austria-Hongaria, Kerajaan Turki dan
Perancis, terpecah-pecah menjadi negara-negara merdeka yang lebih kecil.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 9
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kerajaan-kerajaan tersebut terpecah-pecah menjadi negara-negara yang lebih kecil atas


dasar asas kebangsaan. Dengan banyaknya gerakan-gerakan kebangsaan di Eropa pada
waktu itu, dan pengaruh besar dari gejala ini pada kehidupan politik di Eropa dan
kemudian juga pada kawasan lain dari dunia ini, dengan sendirinya timbul pertanyaan ;
Apakah yang harus diartikan dengan istilah nasion yang merupakan inti dari faham
nasionalisme itu, karena gerakan-gerakan kebangsaan yang tumbuh dimana-mana
diwujudkan oleh satuan-satuan manusia yang dikenal sebagai nasion.

Penjelasan Ernest Renan dalam kuliah umumnya menjadi sangat terkenal, diterjemahkan
ke dalam banyak bahasa dan dicetak ulang agar dapat disebarluaskan orang yang
berminat memperoleh penjelasan tentang pengertian nasion. Juga pemimpin-pemimpin
gerakan kebangsaan Indonesia membaca penjelasan Renan dan berpegang pada
penjelasan yang diberikannya dalam perjuangan mereka itu sendiri. Soekarno dan
Mohammad Hatta sering mengutip rumusan “nasion“ yang diberikan oleh Renan.

Nasion, kata Ernest Renan, adalah suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri atas
manusia-manusia yang saling merasa bersetikawanan dengan satu sama lain. “ Nasion
adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual…Ia adalah suatu kesatuan solidaritas yang besar,
tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah di muat di masa lampau dan yang oleh
manusia-manusia yang bersangkutan bersedia dibuat di masa depan. Nasion mempunyai
masa lampau, tetapi ia melanjutkan dirinya pada masa kini melalui suatu kenyataan yang
jelas yaitu kesepakatan, keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus hidup
bersama,”

Oleh sebab itu suatu nasion tidak tergantung pada kesamaan asal ras, suku bangsa,
agama, bahasa,geografi, atau hal-hal lain yang sejenis. Kehadiran suatu nasion adalah
suatu kesepakatan bersama yang seolah-olah terjadi setiap hari antara manusia-manusia
yang bersama-sama mewujudkan nasion yang bersangkutan.

Para pemimpin gerakan kebangsaan Indonesia, gerakan kebangsaan kita, menggunakan


konsep nasion dari Ernset Renan sebagai dasar perjuangan mereka. Gerakan kebangsaan
kita tidak langsung didasarkan atas “nasion Indonesia“ sebagai bangsa yang hendak
diwujudkan, bangsa yang hendak dipersatukan, melainkan diawali dengan munculnya
bermacam-macam pengelompokan yang didasarkan atas dasar rasa solidarityas atas
hubungan setiakawan, yang lebih terbatas ruang lingkupnya. Perhimpunan-perhimpunan
ini adalah, misalnya, Boedi Oetomo (1908), Persatoean Minahasa, (1927) Nahlatoel
Oelama (1926), Jong Batak”s Bond (1925), Tionghoa Hwee Koan (1900) dan lain-lain.

Baru kemudian muncul perhimpunan-perhimpunan yang didasarkan atas konsepsi


kebangsaan Indonesia ,dan bukan atas dasar solidaritas kedaerahan, agama, ideologi
politik tertentu seperti sosialisme, kapitalisme dan sebagainya. Konsepsi kebangsaan
yang dikandung oleh perhimunan-perhimpunan yang diadakan atas dasar asas
kebangsaan muncul dari keinginan untuk mempersatukan golongan-golongan penduduk
yang beraneka ragam di kepulauan kita ini. Perhimpunan-perhimpunan adalah misalnya,
Indische Partij (1912), Nationaal Indische Partij(1919), Permoefakatan Perhimpoeman-

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 10
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

perhimpoenan Politik Kebangsaan Indnesia(1930) , Partij Indonesia ( 1930) ,


Persatoean Bangsa Indonesia dan lain-lain.

Apa pun pandangan atau haluan politik masing-masing perhimpunan, keanggotaan


didasarkan atas rasa solidaritas yang tidak lagi terbatas pada solidaritas suku bangsa,
daerah asal, ras, ataupun keagamaan, melainkan merupakan kolektivitas-kolektivitas
yang terbentuk atas dasar rasa solidaritas yang melewati batas-batas kesukuan,
kedaerahan, rasial, ataupun keagamaan. Dasar pengelompokan-pengelompokan ini adalah
kebangsaan Indonesia. ( Harsya W Bachtiar : 2002 , hlm. 31 – 36 )

Lagu Kebangsaan

Indonesia adalah bangsa yang beruntung. Kita telah mempunyai lagu kebangsaan lama
sebelum bangsa ini menyatakan kemerdekaannya. Wage Rudolf Supratman, penciptanya,
jelas-jelas menuliskan “lagu kebangsaan“ di bawah judul “Indonesia Raya“ ketika ia
mempublikasikannya pada 1928. WR Supratman adalah seorang visioner besar. Tidak
pernah sebelumnya terjadi du dunia., seorang pencipta lagu tahu bahwa ciptaannya akan
menjadi lagu kebangsaan. Sayang, WR Supratman telah meninggal tujuh tahun sebelum
Republik Indonesia merdeka dan mengumumkan Undang-undang Dasar yang
mencantumkan “Indonesia Raya” sebagai lagu kebangsaan.

Diperdengarkan pertama kali pada Kongres Pemuda II di Jalan Kramat 106 Jakarta pada
28 Oktober 1928, hanya beberapa saat setelah para pemuda Indonesia memekikan
Sumpah Pemuda, “Indonesia Raya“ serta-merta diterima dan diakui sebagai lagu
kebangsaan bagi sebuah nasion yang memang sedang digalang.

Lirik “Indonesia Raya“ yang satu kupletnya terdiri dari atas 14 baris juga dikenal dalam
kesusastraan sebagai soneta. Soneta atau sonetto adalah bentuk sanjak yang diciptakan di
Italia pada abad ke-11. Pada abad ke-13, soneta mencapai bentuknya yang sempurna di
lingkungan istana Raja Sicilia. Sejak masa Renaissance puisi terbentuk soneta tersiar ke
seluruh Eropa dan menjadi bentuk sanjak yang paling popular.

Di Indonesia, bentuk soneta mulai popular pada zaman Pujangga Baru (sekitar 1933).
Soneta biasanya dibagi menjadi dua kuatrin ( empat seuntai yang mengikuti bentuk sajak
a-b-b-a) dan dua terzina (tiga seuntai). Kedelapan baris pertama (dua kuatrin yang juga
disebut oktaf ) yang isinya merupakan satu kesatuan terhadap enam baris terakhir yang
juga disebut sextet.

Penulisan lirik “Indonesia Raya” juga sangat mirip dengan bentuk seloka dalam
kesustraan kuna Melayu dan India, Seloka adalah sanjak yang terdiri atas empat baris,
setiap baris terdiri atas delapan sukukata. Walmiki, contohnya, menulis epik “Ramayana“
dalam bentuk seloka. Seloka juga jamak disebut sebagai pantun berangkai.

Secara lirik, ketiga kuplet itu seolah-olah diciptakan WR Supratman menjadi tiga seloka
yang masing-masing mempunyai makna tersendiri. Seloka pertama berupa kuatrin pada

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 11
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ketiga kuplet yang secara puitis memberikan deskripsi tentang Indonesia yang luhur,
mulia, serta maknanya bagi putra pertiwi.

Seloka kedua dijumpai pada kuplet kedua – dimulai dengan kata-kata “ marilah kita
mendoa”, bermakna puji syukur serta permohonan restu kepada Tuhan yang Maha Esa
untuk kelestarian tanah, bangsa, dan rakyatnya. Puji syukur serta doa itu ditampilkan
dengan kata-kata pilihan seperti layaknya dalam liturgi keagamaan.

Seloka ketiga didapati pada kuplet ketiga – dimulai dengan kata-kata “ marilah kita
berjanji “ – yang merupakan sumpah setia yang ditampilkan dengan kata-kata yang gagah
dan penuh tekad. Sumpah setia ini mirip dengan tradisi yang pernah dilakukan Mahapatih
Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 dan Raja Syailendra dari Kerajaan
Sriwijaya pada abad ke-7.

Secara musikal, WR Supratman memberi warna-warna yang berbeda pula pada tiga
bagian lagu ciptaannya itu. Pada dua kuatrin pertama yang mendeskripsikan Indonesia
sebagai tanah air pujaan dan kebanggan, terdengar nada-nada yang datar dan agung.
Memasuki enam baris berikutnya – yaitu bagian puji syukur, doa, dan janji – nada-
nadanya berubah menjadi takzim dan mendayu kalbu. Sedangkan pada kuatrin ulangan
(refrein), nada-nadanya dilonjakkan menjadi dinamis dan menggelegar. ( Bondan
Winarno : 2003 , hlm. 43 – 45 )

Di balik semua itu adalah seorang Wage Rudolf Supratman adalah seorang wartawan
yang ketika itu bekerja pada harian terkemuka Sin Po Sebelumnya, ketika masih tinggal
bersama kakaknya di Makasar, WR Supratman sempat bergabung dalam sebuah
kelompok musik sebagai pemain biola. Sebagai pemain biola, WR Supratman tidak
pernah mencapai tingkat maestro. Sebagai wartawan pun WR Supratman tidak tercatat
karya jurnalistiknya di jajaran Parada Harahap, Inyo Beng Goat, maupun wartawan
terkemuka pada zamannya.

Tetapi, WR Supratman rajin bergaul dengan para pemuda nasionalis, yang bertekad
memerdekakan bangsa Indonesia. Ia menyadari keterbatasannya dalam berpolitik, dan
memilih “bahasa musik“ sebagai refleksi nasionalismenya. Dengan mencari-cari nada
dari gesekan biolanya, ia mulai menciptakan beberapa lagu, seperti “Mars KBI
(Kepanduan Bangsa Indonesia )”, “Ibu Kita Kartini,” dan “Di Timur Matahari.”.
Sekalipun kedua lagu terakhir masih kadang-kadang terpilih sebagai pilihan lagu-lagu
aubade, tetapi lagu-lagu ciptaan WR Supratman itu belum setaraf dengan kepopuleran
“Halo-halo Bandung” “Maju Tak Gentar”” Syukur”, atau “ Bagimu Negeri.” Bondang
Winarno : 2003 , hlm. 6 – 8 )

Memasuki tahun 1927, kehidupan politik mulai ramai lagi. WR Supratman ikut
bersemangat. Anak-anak muda bergiat. Mereka merencanakan menyelenggarakan
Kongres Pemuda Indonesia Kedua. Suasana Kramat Raya 106 hidup lagi, dan WR
Supratman sering mampir. Lagi pula Sugondo Djojopuspito tahu dari Tabrani bahwa
WR Supratman punya konsep lagu kebangsaan. Sugondo menyarankan agar kelak dapat
dinyanyikan dalam Indonesich Clubgebow, Jalan Kramat Raya 106. Saran itu

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 12
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

disampaikannya sewaktu mereka duduk-duduk di rerumputan halaman Gedung Komedi


di depan Stasiun Gambir (sekarang tak ada). Kelompok ini juga berjanji kelak akan
mengakuinya sebagai lagu kebangsaan.

Suatu pagi, ketika WR Supratman mampir di Jalan Kramat Raya 106, Sugondo
Djojopuspitp menyerahkan secarik kertas kepada WR Supratman. tapi dengan pesan
isinya tak boleh disiarkan dulu. Kertas ini memuat lengkap susunan panitia Kongres
Pemuda Indonesia kedua, yang pengurusnya berasal dari organisasi-organisasi pemuda
yang ada. Sugondo Djojopuspito, menjadi ketua panitia, mewakili PPPI.

WR Supratman pun ikut menyebarkan ide-ide kemerdekaan, semata-mata demi


pengabdian. Karena itu ia jadi agen sejumlah majalah pergerakan ,misalnya Persatoean
Indonesia, Timboel, Soeloeh Indonesia Moeda, Soeloeh Rakyat Indonesia, Indonesia
Raya. Dan semangat ini menonjol lagi dengan munculnya lagu ciptaan ketiga berjudul
Indonesia, Hai Ibuku Sebuah lagu bertema patriotisme, tempo sedang, komposisi dan
struktur sederhana. Dan pada tanggal 13 September 1928, beberapa saat setelah meliput
kelahiran Kepanduan Bangsa Indonesia, terciptalah lagu Bendera Kita.

Semakin dekat kongres rencana dilangsungkan, semakin sibuk suasana Kramat Raya 106.
Sudah ada kepastian kongres akan diselenggarakan dalam tiga kali rapat. Pertama rapat
pembukaan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond tanggal 27 Oktober, kedua tanggal
29 Oktober di Oost Java Bioscoop dan rapat penutupan 28 Oktober malam di gedung
Indonesich Clubgebow, Jalan Kramat Raya 106. Dan sejumlah tokoh-tokoh sudah
disiapkan berpidato.

Dalam hati WR Supratman ingin lagu Indonesia, ciptaannya, dinyanyikan dalam kongres.
Maka salinannya ia berikan kepada para pemimpin organisasi pemuda agar disebarkan
dan dipelajari. Ternyata lagu itu mendapat sambutan hangat, terutama dari kalangan
pandu-pandu KBI. Karena dalam salah satu kalimat syairnya disebut-sebut. Jadi Pandu
Ibuku. Dengan cepat syair lagu ini dihapal para pandu.

Pada malam penutupan, WR Supratman berangkat lebih awal. Berstelan jas putih-putih,
peci, sepatu putih mengkilap dan mengapit biola. ia segera bergerombol dengan
wartawan-wartawan Melayu. Ia sudah dijanjikan oleh Soegondo bahwa nanti boleh
menyanyikan lagu ciptaannya waktu jam istirahat. Karena itu WR Supratman
menyodorkan secarik kertas berisi syair lagu Indonesia itu. Sugondo ragu-ragu untuk
mengizinkan lagu itu dinyanyikan, karena jangan-jangan malah jadi alasan pemerintah
melarang penutupan kongres, padahal kongres tinggal mengumumkan hasil keputusan.
Maka Soegondo minta izin pada Pembesar Kantoor voor Indlansche Zaken, van der Plas,
pejabat yang diserahkan mengawasi jalannya kongres. Van der Plas menganjurkan
Sugondo menghubungi Hoofd Commisaris yang duduk di sebelahnya meminta lagu itu
dinyanyikan secara instrumentalis saja. ( St Sularto : 1983 , hlm. 82 – 83 )

Sebelum nenutup Kongres secara resmi, Sugondo mempersilakan Wage Rudolf


Supratman tampil ke panggung untuk memperkenalkan lagu kebangsaan “Indonesia
Raya“. Pemuda berusia 25 tahun itu tampil dengan biolanya. WR Supratman mulai

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 13
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menggesek biolanya. Nada demi nada bergaung. Semua yang hadir mendengar dalam
hening. Beberapa pemuda mengikuti nada-nada itu sambil mencoba menggumakan lirik
lagu berdasar naskah yang dibagikan. Tepuk tangan menggemuruh setelah Supratman
menyelesaikan permaian biolanya. Pada saat itu juga “Indonesia Raya” secara aklamasi
diterima dan ditetapkan oleh Kongres Pemuda II sebagai lagu kebangsaan. Sebuah proses
merumuskan lagu kebangsaan yang sungguh cepat dan mulus. ( Bondan Winarno : 2002 ,
hlm. 39 – 40 )

WR Supratman sangat terharu, pulang dan memeluk Salamah sebagai tanda suka cita.
Cara yang sama ditampilkan oleh WR Supartman ketika ia diminta oleh sebuah panitia
pertunjukan kesenian. Pada kesempatan kedua itu beberapa orang mulai berdiri
menghormati ketika Indonesia Raya dinyanyikan. Kesempatan itu terjadi ketika
pembubaran panitia Kongres Pemuda Indonesia kedua. Sebelumnya WR Supratman
sudah melatih koor, dan koor itulah yang tampil menyanyikan dengan iringan gesekan
biola WR Supratman .( St Sularto : 1983, hlm. 82 – 83 )

Suatu saat, waktu omong-omong dengan Soekarno, WR Supratman menyerahkan teks


lagu Indonesia Raya. Lagu itu akhirnya dikumandangkan lagi di tempat saat pembukaan
Kongres PNI yang kedua tanggal 18 – 20 Desember 1929. Hampir serentak peserta
kongres berdiri dan menyanyi, mengikuti koor dan iringan biola WR Supratman sebagai
tanda penghormatan pada Indonesia Raya. Lagu yang nadanya mirip dengan La
Marsailse itu.

Dalam kongres itulah ditetapkan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan bangsa
Indonesia. Suatu hasil penting kongres kedua PNI yang tercatat dalam lembaran sejarah
bangsa. Dan mulai saat itu pula Indonesia Raya banyak dinyanyikan orang pribumi,
sampai-sampai WR Supratman sendiri mencetaknya dalam lemburan stensilan. Seorang
pengusaha merekam lagu Indonesia Raya itu, tetapi dengan koor dan iringan biola
tersendiri. Sehingga dengan cepat teks lagu Indonesia tersebar di kalangan masyarakat
luas. Lagu ini jadi cambuk semangat untuk terwujudnya kemerdekaan Indonesia.

WR Supratman segera berinisiatif untuk menerbitkan pamflet yang berisi naskah lagu
“Indonesia Raya.” Pada sanpul pamflet itu jelas tertulis Lagu Kebangsaan Indonesia
Raya. Pamflet itu diterbitkan oleh Sin Po, dan dijual dengan harga 20 sen per lembar.
Edisi pertama dicetak sebanyak empat ribu lembar. Semuanya habis terjual. WR
Supratman memperoleh royalty sebesar 350 gulden atas penerbitan pamflet itu. Untuk
pertama kalinya ia memperoleh uang sebanyak itu.

Cetakan kedua sebanyak sepuluh ribu lembar dipersiapkan lagi oleh Sin Po untuk
memenuhi permintaan yang membanjir. Tetapi, dinas inteljen politik Hindia-Belanda
segera menyita pamflet itu. Kumandang lagu “Indonesia Raya” di seluruh pelosok
Nusantara membuat Belanda tiba-tiba menyadari betapa besarnya pengaruh “Indonesia
Raya“ bagi rakyat Indonesia. ( Bondan Winarno : 2003 :, hlm. 40 )

Semula Pemerintah Hindia Belanda mendiamkan saja. Tapi lama-lama khawatir


semangat lagu Indonesia Raya ini bisa menyukut api kemerdekaan. Maka pada tahun

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 14
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

1930 lagu itu dilarang dinyanyikan dalam kesempatan apa pun dengan alasan
mengganggu keamanan dan ketertiban. WR Supratman, penciptanya, tak luput dari
interogasi. Secara intensif ia ditanya soal maksud mencipta Indonesia Raya, mengapa
disebut lagu kebangsaan. Terhadap tiga pertanyaan pokok itu, ia menjawab, maksud
mencipta untuk lagu-lagu perjuangan, kata-kata “merdeka, merdeka” bukan dari dia tapi
dari anak-anak muda, aslinya “mulia-mulia,” Dan tentang sebutan lagu kebangsaan,
dengan tepat WR Supratman menunjuk itu sebagai keputusan Kongres PNI kedua tanggal
20 Desember 1929. Akhirnya WR Supratman bebas.

Larangan ini menimbulkan gelombang protes, bahkan sampai di tingkat Volksraad


Akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan lagi Indonesia Raya dinyanyikan,
tetapi harus dalam ruang tertutup sebagai lagu perkumpulan. (St Sularto : 1983, hlm. 83)
Larangan dan tekanan pemerintah Hindia-Belanda ternyata tidak membuat surut
semangat bangsa Indonesia. “ Indonesia Raya” dinyanyikan di mana-mana oleh rakyat
Indonesia. Sekalipun secara resmi naskahnya telah diganti, rakyat tetap bersemangat
menyanyikannya berdasarkan naskah asli, Indones’, Indones’ Merdeka Merdeka “
( Bondan Winarno : 2003 , hlm 41 )

Selama 14 tahun “Indonesia Raya” diberangus oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pada tahun 1942, Jepang mendarat di Indonesia dan mengusir penjajah Beanda. Rakyat
Indonesia yang mengira bahwa proses pembebasan dan pemerdekaan sedang terjadi,
dengan riang gembira menyanyikan lagu “Indonesia Raya“ di mana-mana. Bahkan untuk
mengambil hati rakyat, sebelum mengawali penyerangannya ke Indonesia, Radio Tokyo
yang disiarkan ke Indonesia selalu mengumandangkan “ Indonesia Raya” pada
pembukaan dan penutupan siarannya. Tetapi, tentara pendudukan Jepang ternyata tiodak
kalah kejamnya dibandingkan penjajah Hindia-Belanda. Tak lama setelah secara efektif
menduduki Jawa, pemerintahan pendudukan Jepang melarang lagu “Indonesia Raya”
Bendera Merah-Putih juga dilarang dikibarkan.

Sekalipun menyatakan dirinya sebagai saudara tua bagi Indonesia, tetapi Jepang tidak
pernah menghendaki kemerdekaan Indonesia. Pada 1944, setelah merasa semakin
terdesak di berbagai arena perang, barulah Jepang merasa semakin terdesak di berbagai
arena perang, barulah Jepang merasa membutuhkan bantuan pejuang Indonesia untuk
bertahan. Dalam keadaan terjepit itu Jepang bahkan mulai mendengung-dengungkan janji
untuk memerdekakan Indonesia di kelak kemudian hari. Untuk memperoleh dukungan
rakyat Indonesia, Jepang mengizinkan lagu “Indonesia Raya“ dinyanyikan dan bendera
Merah-Putih dikibarkan.

Pada tahun 1944, para tokoh kemerdekaan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia. Dibentuk pula Panitia Lagu Kebangsaan yang terdiri dari atas Soekarno, Ki
Hajar Dewantara, Akhiar, Bintang Sudibyo (dikenal sebagai Iibu Sud), Darmawijaya,
Kusbini, Kiai Haji Mansyur, Mohammad Yamin, Sastromulyono, Sanusi Pane, Cornel
Simajuntak, A Subarjo, dan Utoyo.

Panitia ini melakukan perubahan dan menyempurnakan kata-kata dalam lirik lagu
”Indonesia Raya”. Ketika diciptakan 1928, bahasa Indonesia belum sempurna

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 15
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

berkembang dari bahasa Melayu, sehingga terdapat beberapa kata janggal dalam lirik
aslinya. Penyempurnaan itu menghasilkan lirik baru yang dipakai hingga sekarang tanpa
perubahan lagi.

Dari segi musiknya, Panitia hanya menambahkan satu nada ”do” untuk melengkapi
birama lagu kebangsaan “Indonesia Raya” – agar kata “semua “ yang diubah menjadi
“semuanya” dapat dinyanyikan secara penuh. Dengan demikian, pada dasarnya ciptaan
Wage Rudolf Supratman tetap dipertahankan keasliannya. ( Bondan Winarno : 2003,
hlm. 51 – 53 )

Pada tahun 1953, untuk memperngati ulang tahun ke-25 “Indonesia Raya”, Pemerintah
Republik Indonesia menyelenggarakan perayaan besar untuk memperingati dan
memuliakan hari lahir lagu kebangsaaan. Upacara itu diseslenggarakan di Lapangan
Gambir Jakarta pada 28 Oktober 1953. Seribu orang pelajar dan mahasiswa yang
membentuk sebuah paduan suara akbar mengumandangkan “Indonesia Raya” dengan
diiringi orkes angklung putra-putri Priangan, orkes seluring putra-putri Maluku, dan
orkes Keplosian Negara yang dipimpin oleh R.A.Y. Sujasmin. Paduan suara akbar itu
diabadikan oleh Radio Republik Indonesia.

Pada tahun 1958, Pemerintah melanjutkan upaya yang sempat terhenti pada tahun 1948,
dengan membentuk kembali Panitia Peninjauan Lagu Kebangsaaan Indonesia Raya.
Panitia ini merumuskan tata tertib dan tatacara menyanyikan lagu kebangsaan “ Indonesia
Raya” dan mengusulkan rumusannya kepada Pemerintah. Pada proses ini Panitia tidak
mengusulkan perubahan sama-sekali terhadap lirik maupun musik “Indonesia Raya”.
Revisi kecil yang dilakukan Panitia pada musik “Indonesia Raya” adalah mengubah
birama dari 6/8 menjadi 4/4 Birama 4/4 ini dipertahankan hingga sekarang. Setelah
dibicarakan di Sidang Kabinet, pada 10 Juli 1958 Pemerintah mengundangkan Peraturan
Pmerintah Nomor 44 Tahun 1958 Tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. ( Bondan
Winarno : 2003 , hlm. 61 – 62 )

Indonesia Raya, Perbandingan dan Perubahan

Sebenarnya “Indonesia Subur” yang mencuatkan langgam Melayu memang pernah


diusulkan sebagai lagu kebangsaan Republik Indonesia. Hingga tahun 1948 sebagai besar
rakyat Sumatera masih menganggap “Indonesia Subur” sebagai lagu kebangsaan.
Kelemahan ”Indonesia Subur” mungkin terletak pada karakter romantis yang agak
berlebihan. Bila terpilih sebagai lagu kebangsaan mungkjin “Indonesia Subur” akan
setara dengan “Wailzing Mathilda“ dan Australia atau “Negaraku” ( judul asli “Terang
Bulan”) dari Makaysia dengan karakteristik romantis yang menonjol.

“Indonesia Raya” memiliki karakter yang lebih menonjol sebagai lagu kebangsaan.
Seperti dikemukakan oleh Soekarno, bait pertama “Indonesia Raya” menyinarkan cahaya
yang berisi pujian dan pujaan terhadap negara Indonesia. Bait kedua merupakan doa dan
permintaan agar karunia Allah itu tatap jaya selamanya. Sedangkan bait ketiga

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 16
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

merupakan janji bakti serta sumpah pemuda Indonesia untuk senantiasa bersatu mencapai
Indonesia Merdeka.

Kelengkapan simbolisasi itulah yang telah membuat ”Indonesia Raya“ serta-merta


menyihir para pemuda Indonesia untuk berjuang selama 17 tahun mencapai kemerdekaan
Republik Indonesia. Selama 17 tahun, antara 1928 hingga 1945. “Indonesia Raya” telah
menjadi seloka sakti pemersatu bangsa untuk meraih kemerdekaan. Dan, pada akhirnya
kemerdekaan itu memang tercapai.

“Indonesia Raya” mempunyai nilai sejarah yang tidak dapat diragukan dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Nilai sejarah itulah yang membuat “Indonesia Raya” tampil
pada pedestal tertinggi untuk menjadi lagu kebangsaan yang dimuliakan bangsa
Indonesia. WR Supratman telah menempatkan Indonesia sebagai satu diantara hanya
empat bangsa dunia yang lagu kebangsaannya diciptakan lirik dan musiknya oleh satu
orang, di samping “La Marseillaise” (Perancis), “The Maple Leaf Forever” (Canada), dan
“Namo Namo Matha” ( Srilanka )

Legitimasi sejarah yang kuat membuat ”Indonesia Raya’ tak pernah tergoyahkan
posisinya sebagai lagu kebangsaan. Mesir, misalnya, dalam sejarah modernnya telah
mengganti lagu kebangsaanya beberapa kali yang terakhir diresmikan pada 1979 – sesuai
dengan pergantian kepala negara. Selain itu, ruh lirik “Indonesia Raya” mempunyai
kekuatan melebihi lagu kebangsaaan mana pun. God Save the Quuen (King)“ maupun
“Kimigayo” meruapakan pemujaan terhadap raja/ratu yang menjadi kepala negara. ”The
Star Spangled Banner” merupakan pemujaan terhadap bendera.”La Marseillaise“ maupun
“The Star Spangled Banner” secara resmi diakui sebagai lagu kebangsaan pada 1931.

Lagu nasional Amerika Serikat itu bermula dari sebuah sajak yang ditulis oleh Francis
Scott Key. Francis disandera oleh pasukan Inggris di Baltimore dalam usahanya
membebaskan seorang dokter pada 1814. Ketika akhirnya Inggris kalah dalam
pertempuran, dan mengundurkan diri, Francis naik ke atas benteng Inggris yang telah
ditinggalkan itu. Dari kejauhan ia melihat bendera Amerika (The Star Spangled Banner)
berkibar megah di Fort McHenry, benteng pertahanan pasukan Amerika Serikat.
Momen menggetarkan itu membuat Francis mulai mencoret-coret sebuah puisi di balik
kertas surat yang sudah lusuh. Puisi baru selesai setelah ia berpindah tempat dua kali, dan
dijuduli “Defence of For McHenry”. Puisi dicetak dan disebarkan ke mana-mana.
Sebulan kemudian, seorang penyanyi asal Baltimore menyanyikan puisi itu dan
mengubah judulnya menjadi “The Star Spangled Banner“,

Sekalipun langsung menjadi lagu perjuangan yang popular, baru 111 tahun kemudian
“The Star Spangeld Banner“ dinyatakan dalam konsitusi menjadi lagu kebangsaan
Amerika Serikat. Lirik lagu ini merupakan pemujaan terhadap bender4a kebangsaan.
Karena itulah kita selalu melihat orang Amerika menengadah ke atas memandang kibaran
bendera kebangsaan mereka sambil, ketika menyanyikan lagu kebangsaan itu.

Lagu kebangsaan lain yang di tengah bara perjuangan adalah “La Marseillaise”. Lagu
kebangsaan Perancis itu diciptakan hanya dalam semalam oleh Claude-Joseph Rouget de

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 17
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Lisle di tengah kecamuk Revolusi Perancis. Kapten Rouget berdinas di pasukan zeni dan
ketika itu ditempatkan di Strasbourg. Lagu itu pertama kali dikumandangkan pada sebuah
pertemuan patriotik. Naskahnya kemudian diedarkan ke semua pejuang.

Dengan lagu mars itulah para pejuang berbaris menasuki Paris pada Agustus 1792. Tiga
tahun kemudian “La Marseillase“ baru dinyatakan resmi sebagai lagu kebangsaan
Republik Prancis pada 14 Juli 1795. Ironisnya, Kapten Rouget ternyata adalah seorang
royalist (penganut sistem kerajaan) yang bahkan menolak menerima konsitusi baru. Ia
dipenjarakan dan nyaris dihukum mati dengan gullatine.Ketika Napoleon melakukan
pendudukan dan berkuasa di Perancis “La Marseillaise” dilarang dinyanyikan dan
diberangus. Setelah kemerdekaan pada 1879 “La Marseillase“ kembali berkumandang
sebagai lagu kebangsaan Perancis.

Lagu kebangsaan tertua diklaim oleh “Wilhelmus”, lagu kebangsaan Kerajaan Belanda.
Diperkirakan lagu itu diciptakan antara tahun 1568-1572 oleh Philip van Marnis van St
Aldegonde. Tetapi, Jepang juga mengajukan klaim bahwa lirik lagu kebangsaan
“Kimiyago” (berarti Daulat Kaisar) sudah tercipta pada abad ke-9, lebih dari seribu tahun
yang silam. Lirik “Kimigayo” merupakan bentuk kuno puisi tradisional Jepang yang
disebut tanka dengan elemen gagaku. Sayangnya, klaim Jepang ini tidak lengkap karena
baru pada 1880 puisi yang tidak diketahui penciptanya itu diberi musik sederhana oleh
Hiromori Hayashi. Musik asli yang terdengar seperti lagu duka itu kemudian digubah
ulang oleh Franz Eckert, seorang musikus Jerman yang bekerja di istana Akasaka.

Pada 1950, Jos Cleber yang ketika itu menjadi dirigen oskestra RRI menerima tugas dari
Presiden Soekarno, untuk membuat orkestrasi “ Indonesia Raya” dalam versi simfoni dan
filharmonik. Tugas itu dirampungkannya dengan baik, dan diterima dengan baik pula
oleh Soekarno. Gubahan Jos Cleber itu kemudian dimainkan oleh orkes simfoni Radio
Republik Indonesia dengan Jos sendiri sebagai dirigen-nya. Rekaman di atas pringan
hitam itu kemudian menjadi rekaman resmi yang digunakan RRI maupun instasi resmi
Pemerintah Republik Indonesia selama hampir 50 tahun. ( Bondan Winarno : 2003, hlm.
8 – 14 )

Tapal Batas Teritorial

Kemungkinan besar WR Supratman menyadari dan memadukan dua dimensi “Indonesia


Raya”, yaitu dimensi intensif dan ekstensif tatkala mengubah lagu Indonesia Raya, yang
belakangan menjadi lagu kebangsaan Indonesia itu. Dimensi intensif Indonesia Raya
adalah pembangunan jiwa, penyadaran hari, demi kemajuan negeri dan pandunya.
Sedangkan dimensi ekstensif Indonesia Raya adalah menyangkut ambisi perluasan
geografis dan geopolitik. Sesuai dengan semangat zamannya waktu itu, banyak kaum
pergerakan tentang mengidamkan entitas Indonesia Raya, karena pada saat itu memang
bergaung gagasan tentang, misalnya, Britania Raya, Jernan Raya, Nippon Raya, Asia
Raya dan lain-lain.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 18
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kekaguman pada Jepang melanda sebagian besar kaum pergerakan di luar, dan anggota
dewan di dalam Volksraad, Dewan Ra”jat. Di antara nama-nama besar bisa disebut
Ratulangie yang dengan caranya sendiri yang mengidam-idamkan Indonesia Raya itu,
seperti yang dikemukakannya dalam pidato dewan, sudah sejak tahun 1928. Dengan jelas
dikatakannya, dalam pidato dewan kalau dulu pikiran tentang “Pan-Asiatisme“ hanya
hidup sebagai ide yang hanya ada dalam konsepsi dari sejumlah kecil kaum akademisi,
kini sudah memasuki propaganda politik praktis, di mana Indonesia harus berperan besar
atau dalam kata-katanya sendiri sebagai berperan aktif dalam percaturan ekonomi-politik
Asia-Pasifik.

Demikian pun Mohammad Hoesni Thamrin mengatakannya lagi pada tahun 1934.
Dengan merujuk kepada konferensi Pan Asia yang diundang Tokyo, Desember 1933,
dengan jelas disebutkan bahwa kini di Asia hidup orientasi kejiwaan kepada Jepang
karena Jepang menjamin tali persaudaraan ras Asia,” de broederschap van alle
Asiatische rassen”, dengan hak yang sama di bawah perlindungan supremasi Jepang.
Mereka melayangkan pandangannya bukan saja ke Asia dengan Jepang sebagai kekuatan
inti Asia Raya, Asia Timur Raya, akan tetapi dalam konteks itu juga adanya Indonesia
Raya.

Selain kedua tokoh di atas yang dalam istilah politik sebelum perang dikatakan sebagai
“kaoem kooperator”, konsep “Indonesia Raya” sudah jauh-jauh lebih tua dari itu dan
hidup dalam diri seorang tokoh pergerakan yang seumur hidupnya tidak pernah bekerja
sama dengan Jepang yaitu Tan Malaka. Sebegitu rupa kesadaran ini ada pada Tan Malaka
sehingga ketika menyembut Singapura pun nama itu dikaitkan dengan nama yang
diberikan pada masa Majapahit sebagai kota Tumasik. Dalam suatu karya yang jauh lebih
sungguh-sungguh, dia menulis tentang konsep “Aslia”, Asia-Australia, dengan pikiran
bahwa Asia Tenggara dan Australia berada dalam suatu negara regional yang bisa berdiri
sejajar dengan negara-negara sosialis seperti Rusia, China dan Amerika Serikat. Dari
tangan Tan Malaka pun kita tahu bahwa konsep Indonesia Raya bukan sekadar hidup
dalam angan-angan akan tetapi dikerjakan secara politik, dan mungkin dalam bayang-
bayang suatu pekerjaan adminsitratif kelak. Semua ini dibahas Tan Malaka dalam
hubungan dengan kembalinya ke Indonesia dan dalam hubungan itu pula perbedaan
dirinya dan Soekarno. Kalau Tan Malaka tidak berkenan di mata Jepang, sebaliknya
Soekarno adalah anak emas yang bersedia menjadi “pion” Jepang selama berada di
Indonesia sebagai tuan penjajah.

Apa yang dikatakan Tan Malaka akan kehilangan konteks bilamana perhatian semnata-
mata ditujukan ke Indonesia, Indonesia Raya hanya bisa dipahami bila ditempatkan
dalam tiga konteks penting yang ingin dicapai Jepang sejak berakhirnya Perang Dunia
Pertama. Tiga konteks atau tiga dimensi tersebut adalah pertama, bidang ideologis dan
kedua, bidang industri dan industrialisasi Jepang yang melahirkan kehausan Jepang akan
Lebensraum,wilayah hidup orang Jepang. Dua hal di atas mungkin tidak melahirkan akan
tetapi menjadi salah satu unsur terpenting bagi militerisme Jepang.

Muhammad Yamin, seseorang yang dengan penuh passion mengidam-idamkan


pembentukan Indonesia Raya. Muhammad Yamin meneliti dan memeriksa naskah-

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 19
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

naskah kuno dengan penuh nafsu baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dari
pemeriksaan tersebut Muhammad Yamin sampai kepada penulis Hugo de Groot, atau
yang lebih dikenal dengan nama Latinnya Hugo Grotius, seorang filosof dan penulis
hukum internasional Belanda, yang tidak mengakui hak milik asing, Portugis, atas koloni
di kepulauan Nusantara.

Atas dasar itu Yamin sebagai, seorang passionate researcher, mendaku seluruh pulau
yang pernah dimiliki Majapahit yang disebutnya sebagai Astadupa Nusantara, pulau
Delapan, kata Yamin, sebagai milik Indonesia Raya. Pada saat iini, sekurang-kurangnya
sampai tahun 1960-an, Indonesia baru menjadi Saptadwipa. Pulau Tujuh, yaitu Irian,
Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Djawa, dan Sumatra. Pulau kedelapan
yang seharusnya menjadi milik Astadwipa Nusantara adalah seluruh semenanjung
Malaya. Demikianlah keyakinan dan dalam arti tertentu”nafsu territorial “Yamin sebegitu
rupa sehingga menurut pendapatnya revolusi Indonesia takkan selesai sebelum “peta
ketatanegaraan Astadwipa Nusantara yang Depan lengkap tergambar untuk membina
Bangsa Indonesia Raya.” ( Daniel Dhakidae : 2008 , hlm. 63 – 78 .

Yamin berpendapat, ”persatuan Indonesia bukanlah omong kosong, tetapi seperti sebuah
rumah yang dibangun di atas tiang-tiang kukuh”. Kesatuan ini berdasarkan beberapa
faktor, termasuk sejarah, bahasa, dan hukum adat. Yamin memandang sejarah Indonesia
pada umumnya sebagai “satu pertumbuhan yang tunggal”, dari status merdeka sebelum
kedatangan bangsa Barat, kepada status kolonialisme dan kembali kepada kemerdekaan
lagi. Ia tidak mengacuhkan sejarah dari banyak pulau, dan kelompok-kelompok suku dari
seluruh kepulauan Indonesia: “Apabila dengan sepenuhnya dan dengan mendalam kita
lihat, kita hanya bicara soal sejarah Indonesia, tidak ada sejarah Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi yang terpisah-pisah.“

Menunjuk teori Ernst Renan tentang kebangsaan, Yamin berpendapat bahwa “kesatuan
sejarah” memang menjalankan suatu pengaruh pada pembentukan suatu bangsa. Suatu
bangsa ”lebih seperti roh daripada tubuh”,. Aspek pertama dari roh ini dapat ditelusuri
pada masa lalu, sebagai ingatan yang dikenang, sementara aspek yang kedua
dihubungkan dengan keadaan sekarang. Masalahnya kemudian adalah apakah
sekelompok orang yang disebut “bangsa” mau hidup bersama dan ingin terus hidup
bersama sebagai satu bangsa. Bagi Indonesia, pendapat Yamin lebih lanjut, masa lampau
berciri heroisme, kejayaan, dan kebudayaan tinggi. Tetapi, masa lampau, juga penuh
dengan kepiluan dan pengorbanan yang diakibatkan oleh kolonialisme. Meskipun
demikian, menurut Yamin, hal ini telah memperkuat ikatan bangsa, dan juga telah
mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada pada masa Sriwijaya dan Majapahit.
Kesatuan pada periode dua kerajaan Indonesia, kata Yamin, didasarkan kepada
keprabuan , sistim dinasti yang ada, yang juga mementikan kesetian keagamaan untuk
memainkan peran. Kesatuan dalam periode modern tidak hanya bercirikan faktor-faktor
kesamaan yang mempersatukan, misalnya bahasa, adat dan sejarah, melainkan khususnya
oleh kehendak rakyat untuk hidup sebagai satu bangsa. ( Deliar Noer : 1983 , hlm. 42 –
43 )

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 20
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Menjelang akhir Perang Dunia II diadakan suatu Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia. atau BPUPKI, yang antara lain, menghasilkan permusan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara kita. Dalam pembicaraan ini muncul
beberapa pemikiran yang berbeda tentang wilayah negara itu. Menurut para peserta
sidang, kemungkinan –kemungkinan wilayah tesrebut adalah sebagai berikut :

(1) Hindia Belanda dahulu, yang merupakan bekas tanah jajahan Belanda; (2) Hindia
Belanda ditambah Borneo (Kalimantan) Utara yang penduduknya sama seperti penduduk
Borneo bagian selatan; ditambah Papua, daerah jajahan Inggris yang penduduknya sama
dengan penduduk di Irian Barat; dan ditmbah Timor seluruhnya, termasuk Timor Timur
yang merupakan tanah jajahan Portugal. Semua tambahan wilayah tersebut dimaksud
untuk membulatkan wilayah negara yang akan dibentuk. (3) Hindia Belanda dahulu,
ditambah Semenanjung Malaya; ditambah Borneo Utara ; ditmbah Papua; ditambah
Timor dan kepulauan sekelilingnya. (4) Hindia Belanda dikurangi Papua; (5) Hindia
Belanda dahulu, ditambah Semenanjung Malaya, dikurangi daerah Papua.

Peristiwa perdebatan yang berlangsung itu memperlihatkan bahwa pemimpin-pemimpin


pergerakan kebangsaan kita, yang merupakan anggota dari BPUPKI pada waktu itu,
hanya beberapa minggu sebelum Proklamasi Kemerdekaan bangsa kita diumumkan,
masih berpedoman yang berbeda-beda mengenai “bangsa Indonesia“ dan “wilayah
Negara Indonesia” Tentu saja, ada kesamaan pemikiran tentang inti bangsa Indonesia tapi
belum ada kesepakatan tentang keseluruhan bangsa Indonesia itu, batas yang
membedakan bangsa Indonesia dari yang bukan bangsa Indonesia.

Hasil pilihan menunjukan bahwa 39 suara dari 66 suara anggota memilih konsepsi yang
didasarkan atas “Indonesia Raya” meskipun telah disesuaikan dengan kenyataan yang
bersangkutan; 19 suara memilih Hindia Belanda dahulu, dan 6 suara lain memilih Hindia
Belanda dahulu ditambah Semenanjung Malaya, dikurangi Papua.

Maka, Ketua Sidang, Dr Radjiman Wediodiningrat, mengumumkan keputusan rapat


bahwa yang akan menjadi wilayah negara yang akan dinyatakan merdeka adalah : Hindia
Belanda dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor Portugis dan
pulau-pulau sekitarnya. Itulah keputusan para pemimpin gerakan kebangsaan kita lebih
sedikit dari sebulan sebelum tanggal 17 Agustus 1945. ( Harsya W Bachtiar : 2002, hlm.
39 – 41 )

Soekarno berpulang terlalu cepat lima tahun pada tahun 1970, untuk menyaksikan suatu
perubahan mendasar dari apa yang dikatakannya tahun 1928, ketika Indonesia melakukan
invasi besar-besar ke Timor Timur pada malam Natal 24 Desember 1975. Pada tahun
1928, Soekarno terlalu muda untuk paham seluk-beluk bahwa “nasionalisme menyerang-
nyerang “ bukan milik Barat dan bukan pula milik Timur, akan tetapi suatu yang
tertanam dalam diri “kebangsaan negara“ – sebagai akibat eksesif suatu “negara-bangsa>’
Ketika Indonesia mengambil alih Timor Leste, inilah Indonesia hasil proklamasi
Soekarno-Hatta sendiri-hanya 30 tahun setelah proklamasi, 1975, dan setengah abad
setelah pembelaan nasionalisme Indonesia yang dikutip di atas ditulis.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 21
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Presiden Soeharto berulang kali mengatakan “Indonesia tidak punya ambisi terotorial di
Timor Timur karena Timor Timur terlalu miskin untuk memenuhi ambisi territorial itu.
Malah yang ada hanyalah beban. Pertanyaannya untuk apa dan mengapa darah yang
ditumpahkan itu – 100.000 – 200.000 orang Timor Timur yang dibunuh dan puluhan ribu
prajurit Indonesia yang tewas dan sebagian kini masih hidup dalam tubuh cacat seumur
hidupnya.?

Mengapa menerima nasib dipermalukan oleh Timor Timur yang miskin itu ? Dalam suatu
refenendum bulan Agustus 1999 dengan telak bangsa miskin itu menolak “rasa hidupnya
sebagai satu bukti “ yang ditawarkan Indonesia
- negara besar dan kaya raya yang kepulauannya tidak lain dari “untaian ratna mutu-
matikam“. Untuk apa menahan malu di depan pasukan internasional penjaga perdamaian,
International Peace Keeping Forces,yang dikepalai negeri Kangguru untuk menggusur
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. ( Daniel Dhakidae : 2002 , hlm. xxxix – xliv )

Proyek “Indonesia Raya“ yang kosmopolitan yang pelaksanaannya hanya mungkin kalu
didukung oleh rezim otoriter. Namun, dalam perjalanannya, sebagaimana telah
dikemukakan bahwa komplikasi berbelit-belit di baliknya. Soekarno tidak mungkin
mengejar mimpi-mimpi Indonesia Raya tanpa Jepang demi kemerdekaan, dan kelak Uni
Soviet yang membangun stadion untuk proyek Gonefo, dan membangun Angkatan Laut
untuk merebut Papua. Demikian pun Orde Baru tidak mungkin mengejar proyek
Indonesia Raya tanpa dukungan Amerika Serikat yang terlibat dalam dan demi Perang
Dingin harus mendukung Indonesia dalam politik ekspansif demi suatu politik
mengepung, containment, karena setelah bebas dari Portugis, Timor Lorosae, demikian
propaganda kosong, akan masuk ke dalam cengkraman Uni Soviet sebagai Timor
Lorosae komunis. ( Daniel Dhakidae : 2008 , hlm. 91 – 92 )

Namun, selain faktor eksternal, kembalinya konsep Indonesia Raya ke titik nol itu bukan
karena ambisi dan cita-cita Indonesia Raya menghilang, akan tetapi faktor internal ketika
desakan politik dalam negeri yang tidak memungkinkan mengejar cita-cita tersebut,
protes masyarakat warga di dalam yang menolak peran militer di luar proporsi, dan
terakhir kesiapan sumber daya alam dan insani yang tidak memadai. Bila dilihat kebih
jauh, maka semuanya lebih menjadi gejala dari sesuatu yang jauh lebih penting di
baliknya, yaitu hancurnya fasisme militer dan imperialisme Jepang, kejatuhan
otoritarianisme Demokrasi Terpimpin, dan runtuhnya neofasisme Orde Baru dengan
ambisi territorial yang tidak terkendali dengan militer sebagai pendukung utamanya.
( Daniel Dhakidae : 2008 , 78 )

Penutup

Indonesia adalah salah satu negara-bangsa di dunia yang paling beragam. Negara
kepulauan yang tersebar di dunia ini terdiri dari lebih 16.354 pulau besar dan kecil ,
terentang dari timur sampai barat dengan jarak lebih dari 5 ribu kilometer, terbentang di
tiga wilayah waktu. Berpenduduk lebih dari 220 juta, Indonesia menjadi negara keempat
terbanyak penduduknya di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Keragaman

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 22
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

itu paling tampak pada kenyataan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 200 etnis yang
berbeda, dengan ratusan bahasa daerah yang masing-masing berbeda pula
perbendaharaan katanya. Tingkat ekonomi pun begitu beragam : dari Indonesia bagian
Barat hingga Indonesia bagian Timur.

Indonesia tampak seperti sebuah perahu besar yang “penumpang”-nya begitu beragam.
Perahu besar inilah yang selama sekurangnya satu dekade terakhir ini tampak seperti
limbung, bocor di sana sini, dan mengarungi samudera sejarahnya seperti tanpa arah.
Negara dan pemerintah sepertinya telah menjadi begitu lemah sehingga tak mampu
memberi kesejahteraan dan keamanan kepada warganya. Isu-isu tentang tercerai berainya
negara Indonesia menjadi salah satu “hantu” yang membayangani bangsa Indonesia.
Bukan saja Timor Timur, Aceh, dan Papua yang memang sudah ada gerakan serius
pemisahan diri, tetapi juga dari daerah-daerah lain, terutama dari daerah-daerah yang
sumber daya alamnya dikeruk tapi memberikan hasilnya hanya sedikit bagi daerah
tersebut. Konflik kekearasan antaretnik dan yang bernuansa antara-agama juga seperti
merebak, merengut ribuan nyawa dan ratusan ribu pengungsi.

Negara–bangsa lain seperti tampa terus-menerus mencetak prestasi yang memberikan


harga diri bagi setiap warganya. Malaysia, China, India, Korea Selatan, dan lain-lain –
seperti bergairah melaju ke masa depan, bangsa Indonesia seperti memulai sejarahnya
dari awal kembali. Rasa pesimistik serta persepsi negatif terhadap bangsa sendiri seperti
telah menyebar. Tidak banyak saat-saat ketika bangsa ini merasa menjadi satu dalam rasa
kebersamaan dan tujuan. Selain menghadapi masalah-masalah internal, Indonesia, seperti
halnya negara-negara lainnya, menghadapi tantangan globalisasi.

Nasib bangsa Indonesia, seperti halnya lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tidak banyak
lagi murid-murid sekolah yang hafal luar kepala naskah lagu kebangsaan “Indonesia
Raya“ Pada upacara bendera yang diselengarakan di sekolah, kita selalu melihat murid-
murid saling bercanda ketika menyanyikan lagu kebangsaan. Bila mendengar lagu
kebangsaan, tidak banyak pula warga masyarakat kita yang langsung bediri kearah
sumber suara itu dan memberi penghormatan Mengapa kita yang baru 62 tahun merdeka
sudah seolah-olah darah yang tumpah dan nyawa yang dikorbankan untuk merebut
kemerdekaan itu ? Bukanlah demi sebuah bangsa, seseorang rela mengorbankan dirinya.
Ratusan ribu patriot-patriort Indonesia melakukan perbuatan terhormat itu.

Seperti kata Ernest Renan, yang sering dikutip oleh Soekarno dalam tulisan dan
pidatonya. Sebuah bangsa adalah produk dari ikhtiar, pengorbanan, dan dedikasi yang
lama. Sebuah bangsa memiliki kejayaan masa lalu yang sama, kehendak bersama di saat
inil juga melakukan hal-hal yang besar lagi bersama. Sebuah bangsa adalah solidaritas
agung yang terbentuk dari pengorbanan yang telah dilakukan serta keinginan
melakukannya lagi. Sebuah bangsa memperbaharui dirinya sendiri kini dengan tindakan
nyata ; kesetujuan, hasrat untuk melanjurtkan secara bersama-sama.

Betapapun pendiri bangsa mencoba memberikan justifikasi terhadap keniscayaan


keberadaan Indonesia, termasuk dengan mengaitkannya dengan “sejarah emas“ masa
lampau sampai zaman Srwijaya dan Majapahit, bangsa dan Indonesia adalah suatu

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 23
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

“ciptaan“. Indonesia bukan sebuah konsep warisan yang telah selesai, tetap dan ada untuk
selama-lamanya., melainkan sesuatu yang secara terus-menerus harus dicari, dibangun,
diinterprestasikan, dan diimijinasikan.Indonesia bukan kata benda melainkan sebuah kata
benda, bukan sebuah “ada“ melainkan sebuah “mengada“. bukan sesuatu yang
“direproduksi“ selamanya melainkan “diproduksi“ secara terus-menerus, bukan bukan
sesuatu yang didapat untuk dilestarikan, melainkan sesuatu yang terus-menerus harus
diperjuangkan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 24
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bibliografi

Bachtiar, Harsya W.” Integrasi Nasional Indonesia, “ dalam Indra J Pilliang


et al (ed) . Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia. Jakarta :
CSIS, hlm. 14 – 55 .

Carey, Peter ,” Mitos, Pahlawan dan Perang,” dalam Colin Wild dan Peter
Carey (ed). 1986. Gelora Api Revolusi. Sebuah Antalogi Sejarah.
Jakarta : Gramedia, 1986, hlm. 7 – 14.

Dhakidae, Daniel.” Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa


Sebagai Komunitas-komunitas Terbayang,” dalam Benedict Anderson.
2002. Imagined Communities . Komunitas-Komunitas Terbayang .
Yogyakarta : Insit

Dhakidae, Daniel,” Meninggalkan Indonesia Raya dan Menemukan Kembali


Indonesia-Dalam,” dalam Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko.
(ed) 2008. Reinventing Indonesia. Menemukan Kembali Mada Depan
Bangsa , hlm. 59 – 97.

Elson, R.E.2008. The Idea of Indonesia. Sejarah Pemikiran dan Gagasan


Jakarta : Serambi.

Hatta, Mohammad. 1980. Nama Indonesia. Jakarta : Yayasan Idayu.

Ingelson, John. 1983. Jalan Ke Pengasingan . Pergerakan Nasionalis


Indonesia Tahun 1927 1934. Jakarta : LP3ES.

Nagazumi, Akira .” Indonesia” dan “ Orang-Orang Indonesia” Semantik


dalam Politik. “ dalam S Ichimura dan Koentjaraningrat (ed) . 1976.
Indonesia Masalah dan Persitiwa Bunga Rampai. Jakarta ; Gramdia.
hlm. 1 – 25 .

Noer, Deliar,” Yamin dan Hamka. Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia,”
dalam Anthony Reid & David Marr (ed). Dari Raja Ali Haji Hingga
Hamka, Indonesia dan Masa Lalu. Jakarta : Grafitipers, hlm. 37 – 52.

Sularto, St. 1983. ” Wage Rudolf Supratman Menunggu Pelurusan Sejarah ,”


Prisma, No. 5, Mei 1983, Tahun XII, Hlm. 76 – 88.
Widjanarko, Putut,” Indonesia : Sebuah Bangsa yang Tak Pernah Sudah ?,”
Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko (ed) .2008. Reinventing
Indonesia . Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Bandung :
Mizan, hlm. 99 – 129.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 25
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Winarno, Bondan. 2003. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya . TSA


Komunika.

Zudhi, Susanto. 2006. Persepektif Tanah-Air Dalam Sejarah Indonesia .


Jakarta : Pidato Pengukungan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 26
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like