You are on page 1of 66

TUGAS HUKUM TATA NEGARA

PEMILIHAN PRESIDEN DALAM SISTEM


KETATANEGARAAN INDONESIA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SURABAYA

2009-2010

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Sejarah Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Sistem ketatanegaraan di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia dapat ditemui pada konstitusi atau undang-
undang dasar dari negara Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Itu disebabkan oleh di dalam konstitusi atau
undang-undang dasar negara indonesia itulah diatur mengenai sistem
ketatanegaraan dari negara Indonesia.
Mengetahui sistem ketatanegaraan Indonesia itu penting, sebab dari
berbagai pengalaman sejarah di bidang ketatanegaraan yang pernah terjadi di
Indonesia, maka hal itu akan dapat digunakan sebagai landasan untuk menata
kehidupan ketatanegaraan di masa yang akan datang. Selain itu, kita dapat
mengetahui sebab-sebab terjadinya suatu kegagalan penyelenggaraan
ketatanegaraan yang lalu, serta dapat mengetahui apa yang menjadi latar
belakang pengaturan sesuatu hal di dalam konstitusi itu menjadi ketentuan
ketatanegaraan. Di samping itu, di Indonesia pernah berlaku beberapa
konstitusi, di mana berlakunya beberapa konstitusi tersebut memiliki sistem
ketatanegaraan yang berbeda satu sama lain, yakni :
a. Berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, maka menempatkan presiden selain sebagai kepala negara,
juga sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian, sistem
pemerintahan yang dianut yakni sistem pemerintahan presidensiil. Sistem
pemerintahan presidensiil itu ialah sebuah sistem pemerintahan di mana
kepala pemerintahannya dipegang oleh presiden.
b. Berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.

2
Ketika berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, bentuk
atau susunan negaranya adalah federasi. Dalam sebuah negara yang
susunan negaranya adalah federasi, negara Republik Indonesia Serikat
menggunakan sistem pemerintahan yang parlementer, yang
menempatkan presiden sebagai seorang kepala negara, sedangkan kepala
pemerintahannya dipegang oleh seorang Perdana Menteri.
Namun, pada dasarnya tidak semua negara yang menggunakan susunan
federasi itu menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Kebetulan
negara Republik Indonesia Serikat dengan Konstitusi Republik Indonesia
Serikat Tahun 1949 sistem pemerintahannya yaitu parlementer.
Konstitusi ini hanya bertahan selama 1 (satu) tahun.
c. Berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Dengan berlakunya undang-undang dasar tersebut, maka bentuk negara
Indonesia kembali menjadi negara dengan bentuk kesatuan. Namun,
sistem pemerintahan yang digunakan yakni sistem pemerintahan yang
parlementer. Di antara sistem pemerintahan parlementer pada saat
Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950, terdapat perbedaan peraturan, sistem
pertanggungjawabannya berbeda.
d. Kembali berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di Indonesia
tersebut berdasarkan dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959. Dekrit tersebut dikeluarkan sebab konstituante yang
ditugaskan untuk menyusun dan menetapkan undang-undang dasar yang
baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, tidak
mampu. Konstituante itu tidak mampu merespon ajakan presiden untuk
kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, bahkan mau berhenti untuk
tidak mengadakan sidang konstituante.
Dengan berlakunya konstitusi tersebut, maka menggunakan sistem
pemerintahan yang presidensiil. Undang-Undang Dasar ini telah

3
mengalami satu kali perubahan dalam 4 (empat) tahap pada era
reformasi.
Jadi, mengetahui ketatanegaraan di Indonesia itu penting untuk menata
kehidupan ketatanegaraan yang akan datang. Seperti halnya perubahan yang
dilakukan pada ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan,
“kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”, diubah menjadi “kedaulatan ada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”
Semula yang menjadi landasan pemikiran yang mengatur pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni
kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebab
negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (Demokrasi).
Kedaulatan itu ialah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara, dan ada
pada rakyat, rakyatlah yang berdaulat. Rakyat itulah yang akan menentukan
ke arah mana negara ini akan dibawa.
Dalam pemahaman mengenai kedaulatan rakyat (Demokrasi), dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, terdapat pemikiran dari para pembentuk
(pendiri) negara bahwa tidak mungkin rakyat itu dapat terlibat secara
menyeluruh dalam pemerintahan suatu negara. Oleh karena itu, sejalan
dengan berkembangnya pemahaman mengenai Demokrasi, maka dianggap
negara Indonesia perlu suatu badan untuk merepresentasikan kedaulatan
rakyat itu. Badan itu harus betul-betul mewakili seluruh rakyat Indonesia,
maka perwakilannya yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Badan
perwakilan itu merepresentasikan kedaulatan rakyat dan mencerminkan
seluruh aspirasi, kepentingan rakyat Indonesia.
Menurut Prof. Iklaso Amal, hendaknya lembaga pemegang kedaulatan
rakyat itu seharusnya lembaga perwakilan mikro kosmik, di mana sebagai
organ mikro biologi dia terdiri dari partikel-partikel kecil di dalam organ
tersebut. Lembaga yang betul-betul di dalamnya terdiri dari semua komponen

4
terkecil manapun, supaya badan tersebut dapat menjadi sebagai pemegang
kedaulatan rakyat Indonesia. Akhirnya dirumuskan ketentuan pasal 2 ayat (1),
bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat itu terdiri dari Dewan Perwakilan
Rakyat, utusan daerah, dan utusan golongan yang ditetapkan oleh undang-
undang. Yang menjadi landasan pemikirannya yakni diharapkan Dewan
Perwakilan Rakyat akan mewakili utusan golongan politik, di mana
keanggotaannya ditentukan oleh partai politik dan dipilih secara langsung
oleh rakyat Indonesia. Utusan daerah mewakili territorial, wilayah
administratif, sedangkan utusan golongan mewakili golongan-golongan
fungsional, misalnya: keagamaan, kekaryaan, ekonomi.
Setelah ditetapkan seperti itu, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat
menjadi pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat, bahkan ditempatkan
sebagai Lembaga Tertinggi Negara dengan segala kewenangan yang
dimilikinya. Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yakni :
1. Menurut ketentuan pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan, yakni diberi wewenang untuk
menentukan undang-undang dasar dan garis-garis besar daripada haluan
negara.
2. Menurut ketentuan pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan, Majelis Permusyawaratan
Rakyat mempunyai wewenang untuk memilih presiden dna wakil
presiden.
3. Menurut ketentuan padal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan, wewenangnya untuk mengubah
undang-undang dasar.
Sebagai pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat, Majelis
Permusyawaratan Rakyat harus memahami betul aspirasi seluruh rakyat
Indonesia, serta harus ada kesehatian pada jiwa Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan jiwa denyut nadinya rakyat Indonesia, artinya apa yang
dipikirkan Majelis Permusyawaratan Rakyat harus bersumber dari pikiran
rakyat, begitu juga yang diputuskan harus bersumber dari keinginan rakyat.

5
Tetapi, ternyata tidak sejalan dengan apa yang diinginkan rakyat Indonesia.
Bahkan, boleh dikatakan yang diputuskan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat itu senantiasa bertentangan dengan rakyat Indonesia. Akhirnya,
Majelis Permusyawaratan Rakyat merasa dirinya tidak mampu sebagai
pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat. Ketidakmampuan Majelis
Permusyawaratan Rakyat itu dapat dilihat pada pemilihan umum tahun 1998.
Menurut suara yang didapat PDI P yang diwakili oleh Megawati, seharusnya
ia yang terpilih sebagai presiden, tetapi yang terjadi Majelis Permusyawaratan
Rakyat memilih Gus Dur, padahal waktu itu suara yang didapat PKB sedikit.
Kemudian, pada tahun 1999 diubahlah ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi,
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”, menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang-undang dasar.”
Dalam memahami sejarah sistem ketatanegaraan Indonesia, dapat
dimulai dari saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Secara normatif dalam
pemahaman Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(pemahman normatif konstitusional), memang pada saat Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, belum terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi kita
harus tahu, bahwa Proklamasi Kemerdekaan itu adalah norma hukum yang
utama, bukan yang lain. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa Proklamasi
Kemerdekaan itu adalah norma dasar. Diakatakan sebagai norma dasar sebab
Proklamasi akan dijadikan sebagai dasar bagi pembentukan norma-norma
hukum lainnya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dibuat dengan dasar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Atas dasar itu, maka dapat dimaklumi jika sistem ketatanegaraan
Indonesia itu dimulai dari Proklamasi Kemerdekaan. Hal tersebut dipertegas
dalam teks Proklamasi, di mana menunjukkan adanya sistem ketatanegaraan,
yakni : “. . . hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan, dan lain-lain . . .”
Makna kata-kata “pemindahan kekuasaan” maksudnya terjadi pemindahan
kekuasaan dari rezim kolonial ke pemerintahan baru yang akan dibentuk.

6
Jika bicara tentang pemindahan kekuasaan, maka kekuasaan itu selalu
berkorelasi dengan kekuasaan negara, lembaga-lembaga negara, dan
pemerintahan negara, bagaimana ia duduk dalam lembaga-lembaga negara.
Partai politik selalu berhakikat dengan kekuasaan. Tujuan dibentuknya partai
politik dalam rangka merebut atau memperoleh kekuasaan dengan jalan
mengikuti pemilihan umum. Jika partai politik tersebut terpilih, maka ia bisa
menguasai mayoritas di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat maupun
Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan kekuasaan itu, ia dapat mempunyai
kekuasaan untuk berkorelasi dengan pemerintahan negara. Pemerintahan
negara selalu berkaitan dengan lembaga-lembaga negara, sebab sistem
pemerintahan itu adalah rangkaian hubungan lembaga-lembaga yang satu
dengan yang lain, bagaimana Presiden dengan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan
Perwakilan Daerah ini terangkum dalam sebuah sistem.
Membahas sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai dari Proklamasi
Kemerdekaan. Makna Proklamasi itu sendiri untuk menyatakan
kemerdekaannya Indonesia atau berdirinya suatu negara, yakni mendirikan
negara baru, negara Indonesia. Proklamasi itu ditujukan pada masyarakat
dalam negeri dan luar negeri. Jadi, kita memproklamirkan pada bangsa
Indonesia sendiri bahwa kita sudah merdeka, juga ditujukan kepada
masyarakat luar, supaya mereka mengetahui kemerdekaannya bangsa
Indonesia sehingga ada pengakuan dari masyarakat Internasional.
Pada saat Proklamasi itu berdiri suatu negara baru yang disebut
Indonesia, bersamaan dengan itu lahir suatu tata negara, serta lahir pula tata
hukumnya. Hal tersebut dikemukakan oleh Joeniarto, S.H. murid dari Prof.
Mr. R. Boedisoesetya. Dikatakan lahir tata negara sebab adanya kata-kata
“. . .hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan, dan lain-lain. . .” di
dalam teks Proklamasi Kemerdekaan, yang menunjukkan adanya sistem
ketatanegaraan. Bberbicara tentang tata negara itu berkaitan dengan
kekuasaan negara, pemerintahan, lembaga-lembaga negara. Lembaga-
lembaga negara itu tersusun pada tata negara itu.

7
Lahir pula tata hukumnya. Prof. Mr. R. Boedisoesetya mengatakan,
bahwa pada saat Proklamasi telah terjadi dan berlaku Tata Hukum Nasional
(National Legal Order). Tata Hukum Nasional itu adalah Proklamasi. Oleh
karena itu, dikatakan sebagai norma hukum pertama dan dasar bagi
pembentukan norma-norma yang lainnya. Dengan dasar Proklamasi
Kemerdekaan, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 di dalam sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesa, di mana pada agenda I dibahas Rancangan
Undang-Undang Dasar hasil rancangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang terdiri atas pembukaan, batang tubuh
(15 bab dan 36 pasal). Setelah dibahas, ditetapkan sebagai undang-undang
dasar yang terdiri dari pembukaan, batang tubuh (16 bab dan 37 pasal), serta
4 (empat) padal Aturan Peralihan, dan 2 (dua) ayat Aturan Tambahan).
Dari pembahasan tersebut telah terjadi penambahan 1 bab dan 1 pasal
pada rancangan undang-undang dasar itu. Bab dan pasal itu mengatur
tetntang perubahan Undang-Undang Dasar. Pengaturan ini diawali oleh
adanya suatu pandangan atau pendapat dari seorang anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pandangannya bahwa suatu undang-
undang dasar itu pada hakikatnya adalah merupakan sebuah bangunan hukum
yang mensyaratkan selain ada ketentuan tentang wewenang dan tata cara
penetapan suatu undang-undang dasar, maka sebagai bangunan hukum juga
harus ada suatu ketentuan yang mengatur tentang bagaimana suatu undang-
undang dasar itu jika dilakukan perubahan.
Atas pandangan ini, ada lagi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yang menanggapi, bahwa ada kekhawatiran jika undang-undang
dasar itu akan sering mengalami perubahan sebab adanya jalan untuk
merubah ketentuan undang-undang dasar. Akibatnya, undang-undang dasar
yang disusun itu akan kehilangan maknanya sebagai undang-undang dasar
yang melindungi segenap bangsa Indonesia. Namun, kekhawatiran itu
hanyalah masalah teknis-institusi. Untuk menghindari kekhawatiran tersebut,
maka dibuat suatu syarat yang berat dan akan sulit dilaksanakan oleh anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai badan perwakilan yang berwenang

8
atas itu, sehingga tidak sering dilakukan perubahan undang-undang dasar.
Syarat yang berat dan sulit dalam perubahan undang-undang dasar diatur
dalam pasal 37 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan. 2
(dua) ayat dalam pasal 37 yang disepakati sebagai syarat perubahan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
Syarat tata cara perubahan undang-undang dasar itu sudah cukup berat.
Dilihat dari ketentuan padal 37 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum
perubahan, bahwa untuk pengusulan perubahan undang-undang dasar
sekiranya harus 2/3 dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
harus hadir. Dikatakan berat, sebab di dalam Majelis Permusyawaratan
Rakyat nanti ada pengelompokan keanggotaan berdasarkan induk
organisasinya yaitu partai politik atau gabungan induk organisasi atau politik.
Dan pada waktu itu, ada juga pengelompokan keanggotaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat berdasarkan pengangkatan oleh presiden yang
berasal dari utusan daerah dan utusan golongan. Dalam induk organisasi
tersebut ada fraksi-fraksi, dan kehadiran dari anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat itu tergantung dari fraksi-fraksinya, dikendalikan
oleh pemimpin fraksi masing-masing. Sebab jika tidak taat pada instruksi
fraksinya, maka anggota itu mungkin akan mendapat sanksi. Hal ini
menunjukkan bahwa peranan dari fraksi-fraksi menjadi sangat kuat.
Presiden Soeharto dalam pidatonya di hadapan anggota ABRI pada hari
ulang tahun ABRI di Palembang tahun 1980-an, dikatakan jika ada kehendak
mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
beliau menghimbau agar menculik anggota-anggota yang ikut dalam
keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat agar tidak terjadi persetujuan
suara dalam perubahan undang-undang dasar itu. Jadi, jika ada kehendak
untuk mengubah Undang-Undang Dasar, harus dihalalkan segala cara untuk
menggagalkan.
Tujuan pidato presiden itu dikarenakan presiden mempunyai komitmen
yang kuat untuk mempertahankan undang-undang dasar, tidak ingin ada
perubahan apapun. Alasan komitmen yang kuat dari Presiden Soeharto untuk

9
mempertahankan undang-undang dasar yakni karena Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini sejak penetapannya telah
mengalami ujian dan cobaan, bahkan mengalami tidak berlakuan, di mana
pada tahun 1949 sempat diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia
Serikat Tahun 1949. Jadi, jika Majelis Permusyawaratan Rakyat mau
melakukan perubahan undang-undang dasar sebaiknya menanyakan atau
memberitahukan kepada rakyat Indonesia melalui referendum. Jikalau rakyat
setuju, maka silahkan diubah. Dari wacana yang dibuat tentang referedum,
maka dibuatlah Undang-Undang Referendum, sehingga syarat perubahan
undang-undang dasar malah menajdi semakin berat. Itulah alasan mengapa
muncul tambahan ketentuan bab ke-16 dan pasal ke-37 dari hasil pembahasan
Rancangan Undang-Undang Dasar.
Kemudian, setelah sidang agenda I, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia melakukan sidang agenda II. Pada sidang ini dibahas mengenai
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagai akibat berlakunya Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada ketentuan pasal
III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dikatakan bahwa dalam rangka pelakasanaan undang-undang
dasar tersebut, maka Presiden dan Wakil Presiden dipilih pertama kali oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Artinya, setelah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditetapkan maka segala
penyelenggaraan pemerintahan negara didasarkan pada ketentuan yang ada di
undang-undang dasar, termasuk menjalankan ketentuan Aturan Peralihan.
Dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden diutamakan daripada
pembentukan lembaga negara yang lain sebab :
1) Dengan dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden, menandakan
dilengkapinya syarat-syarat berdirinya suatu negara, sesuai Konvensi
Montevideo Tahun 1933. Dan pada saat itu juga negara Indonesia
dilengkapi oleh seorang kepala negara dan perangkap sebagai kepala
pemerintahan di dalam sistem pemerintahan presidensil. Hal ini juga

10
memberi penegasan, bahwa negara Indonesia itu berbentuk Republik
(kesatuan).
2) Adanya ketentuan dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan, yang menyatakan
bahwa kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden itu ada
pada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kalau begitu akan dibentuk
Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi jikalau hendak membentuk
Majelis Permusyawaratan Rakyat, termasuk juga Dewan Perwakilan
Rakyat, itu harus terlebih dahulu ada undang-undang yang mengaturnya.
Melihat pada ketentuan pasal 2 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan, untuk membentuk
Majelis Permusyawaratan Rakyat itu menurut ketentuan aturan dari undang-
undang. Untuk membuat undang-undang mengacu pada pasal 20 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan, di
mana dikatakan agar rancangan undang-undang itu dapat menjadi undang-
undang, maka harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Lalu, melihat pada ketentuan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat pasal
19 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum
perubahan. Ketentuan tersebut mengatur bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
ditetapkan dengan undang-undang. Maka, kembali lagi pada ketentuan
pembuatan undang-undang, namun tetap juga terkendala. Terus saja berputar-
putar pada ketentuan yang menyulitkan, tidak bisa dilaksanakan dengan
secepat kilat, padahal saat itu sangat diperlukan pemilihan pemimpin negara,
Presiden dan Wakil Presiden bagi negara Indonesia yang baru terbentuk.
Oleh karena itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan
Aturan Peralihan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Ketentuan pasal III dari Aturan Peralihan sebagai pintu darurat
untuk jalan keluar dari kerumitan masa transisi, masa peralihan pada saat itu.
Soekarno dan Hatta adalah Presiden dan Wakil Presiden konstituional karena
dipilih dan diangkat berdasarkan pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

11
Meskipun Presiden dan Wakil Presiden telah dipilih, namun masih
belum cukup melengkapi negara yang baru tersebut. Ternyata dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara, diperlukan adanya lembaga-lembaga
yang lain, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, dan lainnya. Oleh sebab itu, ada
keinginan untuk membentuk lembaga-lembaga negara yang dapat melengkapi
penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia. Tetapi, keinginan ini
terbentur lagi dengan ketentuan bahwa harus ada undang-undangnya terlebih
dahulu, sehingga menjadi sulit dibentuk lembaga-lembaga itu berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, untuk membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat termasuk juga
Dewan Perwakilan Rakyat, itu harus terlebih dahulu ada undang-undang yang
mengaturnya. Maka, akan kembali lagi pada rangkaian ketentuan dari
undang-udang dasar yang menyulitkan dan membingungkan. Oleh sebab itu,
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia juga memberikan pintu darurat
dengan membuat ketentuan pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan pasal IV Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan,
bahwa sebelum dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, segala kekuasaan lembaga-
lembaga itu akan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite
Nasional. Jadi, selain menjalankan kekuasaan dan tugasnya sendiri, ada juga
kekuasaan tambahan yakni kekuasaan yang dimiliki oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan
Agung. Akibatnya, kekuasaan presiden menjadi sangat luas sekali, seakan-
akan tidak terbatas. Padahal menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan Presiden itu sendiri sudah sangat
luas.
Presiden sebagai kepala negara sekaligus merangkap sebagai kepala
pemerintahan, memiliki kekuasaan yang sangat luas. Sebagai kepala negara,

12
kekuasaannya dapat dilihat pada ketentuan pasal 10 sampai pasal 15 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dikatakan bahwa
Presiden itu pemegangn kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat menyatakan perang, damai, dan perjanjian dengan negara lain. Selain
itu, melekat hak darurat baik subjektif maupun objektif padanya, hak untuk
menyatakan keadaan bahaya. Serta, Presiden yang berhak mengangkat duta
dan konsul, menerima duta negara lain.
Jika melihat ketentuan pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan, ternyata Presiden
memiliki kekuasaan yudisial, yakni memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi. Dan presiden yang memberi gelaran, tanda jasa, serta tanda
kehormatan lainnya. Pada pasal 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan, disitu dinyatakan kekuasaan
Presiden dalam legislatif, membuat undang-undang. Ketentuan ini yang
menjadi prioritas pertama di era reformasi ketika mengubah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebab tidak dibenarkan
adanya kekuasaan legislatif bagi Presiden. Di samping itu, kekuasaannya
sebagai kepala pemerintahan yaitu menjalankan segala kebijakan dan undang-
undang yang telah ditetapkan bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Ternyata, Presiden masih mempunyai kewenangan lainya yaitu sebagai
administrator negara, artinya menjalankan tugas dan wewenangnya di bidang
administrasi negara dalam mengelola keuangan negara, memungut pajak, dan
lain sebagainya. Kekuasaan-kekuasaan tersebut sudah sangat luas, tetapi
ditambah lagi dengan kekuasaan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung.
Dalam pelaksanaan seluruh tugas dan wewenangnya itu, kekuasaan
Presiden menjadi sangat luas, absolut, mutlak, sehingga cenderung untuk
otoriter, tidak ada kontrol dari lembaga-lembaga yang lain. Tidak ada
mekanisme check and balances (kekuasaan yang seimbang dan saling

13
mengawasi) di antara lembaga-lembaga negara. Presiden berjalan sesuai
kehendaknya sendiri. Akhirnya, Komite Nasional yang awalnya dibentuk
untuk melaksanakan tugas-tugas lembaga-lembaga negara lainnya (Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan
Agung) bersama Presiden, hanya menjadi badan pembantu saja sehingga
tidak berguna.
Ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sangat tidak beraturan, sehingga perlu diubah beberapa
pasalnya. Apalagi, undang-undang dasar itu dibuat dengan sifat sementara,
sebab dibuat dalam keadaan yang tergesa-gesa agar secepatnya dapat
melengkapi berdirinya negara Indonesia pada waktu itu. Oleh karena itu, ada
ketentuan dalam 2 (dua) ayat Aturan Tambahan mengenai pemberlakuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diakatakan
6 (enam) bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, maka
majelis ini bersidang untuk menetapkan undang-undang dasar. Ini berarti,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sendiri
mengakui bahwa sifatnya hanya sementara, jadi bisa dilakukan perubahan
terhadapnya.

1.1.1 Dasar Pemikiran dan Latar Belakang Perubahan Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan
tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat
pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi
ketatanegaraan.
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang
kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah

14
executive heavy, yakni kekuasaan dominan berada di tangan
Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim
disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi
dan rehabilitasi), dan kekuasaan legislatif karena memiliki
kekuasan membentuk undang-undang.
3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan
“fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran
(multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum perubahan).
4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan
Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.
Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden
dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam
undang-undang.
5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara
belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan
dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum,
pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan
otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya
praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan
Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan
kekuasaan terpusat pada presiden.
b. Infrastruktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan
organisasi masyarakat.
c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi
persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan
pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak
tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan
oligopoli.

15
1.2 DEMOKRASI
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen)
dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan
independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga
negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip
checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga
pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan
melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang
berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga
perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan
menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif
dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak
sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang
memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum
dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil
penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui
pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh
seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara
sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga
negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya
kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung,
tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-

16
anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai
negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung
presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun
perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering
dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian
masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem
pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa
pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek
daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun
negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga
yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak
memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).

Sejarah dan Perkembangan Demokrasi


1. Dimulai pada zaman Yunani Kuno abad 6 s.d. 3 SM, yang
dilaksanakan secara langsung di City State (Negara Kota) dan
sekitarnya, bersifat sederhana dan terbatas.
Ciri-cirinya :
1. Demokrasi dilaksanakan secara langsung
2. Wilayah kota dan sekitarnya
3. Jumlah penduduk terbatas yang mayoritas budak-budak dan para
pedagang terbatas golongan warga Negara yaitu hanya laki-laki,
sedangkan kaum pendatang , budak-budak dan kaum wanita tidak
diperkenankan untuk ikut berdemokrasi, bebas menyampaikan
pendapat.
2. Demokrasi pada abad Pertengahan (1600-1400) demokrasi
Yunani mulai hilang pada waktu datangnya Bangsa Romawi
dengan struktur sosial bersifat feodal, dan munculnya agama
Kristen atau Spiritual yang dikuasai oleh Paus dan Pejabat-
pejabat agama.
Ciri-cirinya :

17
1. Ideologi yang dikembangkan adalah kekuasaan yang ada di dunia
ini berasal dari Tuhan. Raja atau Paus sebagai wakil Tuhan di
dunia ini.
2. Peranan Gereja sebagai lembaga membawahi Negara, sehingga
muncul paham “Teori Kedaulatan Tuhan” yang pelaksanaannya
dilaksanakan oleh Paus.
3. Rakyat tidak mempunyai hak untuk menentukan aktivitas
kenegaraan.
4. Muncul perebutan kekuasaan antara para bangsawan yang
mempengaruhi Paus.
5. Muncul konsep demokrasi melalui Piagam Magna Charta tahun
1215 di Inggris oleh Raja John, yang merupakan kontrak
perjanjian antara para bangsawan dengan Raja mengenai adanya
pengakuan terhadap hak-hak dan privilege para bangsawan yang
pada akhirnya berlaku bagi seluruh
rakyat.
3. Zaman Renaisance (1350-1650 dan 1500-1600)
Renaisance adalah suatu ajaran yang berusaha menghidupkan
kembali kesastraan dan kebudayaan Romawi di Yunani, dan
munculnya paham Rasionalitas yaitu paham yang mengutamakan
kepentingan kebebasan manusia untuk menyampaikan pemikiran-
pemikiran yang rasional.
Cir-cirinya :
1. Urusan agama dan urusan Negara harus dipisahkan.
2. Kekuasaan Negara harus dibatasi
3. Muncul gagasan dalam bidang politik
4. Paham Rasionalisme digunakan sehingga muncul Teori Kontrak
Sosial (The Social Contract) yang berlandaskan bahwa dunia ini
dikuasai oleh hukum alam yang mengandung prinsip-prinsip
keadilan universal dan Negara ada karena adanya perjanjian
masyarakat.

18
4. Demokrasi Konstitusional (Abad XIX dan Negara Hukum)
1. Dengan konstitusi, maka dapat terjamin hak-hak politik rakyat
dan adanya pembatasan kekuasaan pemerintah.
2. Adanya pembagian kekuasaan daripada Negara (konstitusional).
3. Pemerintah merupakan kumpulan aktivitas yang diselenggrakan
oleh rakyat.
4. Pemerintah tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan
5. Negara berdasarkan konstitusi atau UUD yang menentukan :
a. Menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah.
b. Menjamin hak-hak rakyat dan warga Negara.
6. Ajaran konstitusi menimbulkan terjadinya suatu Negara Hukum/
Recht Staat.
Unsur-unsur Negara Hukum :
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
2. Adanya pembagian kekuasaan Negara
3. Pemerintahan berdasarkan hukum ( Rule of Law)
4. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka
5. Supermasi Hukum
6. Kedudukan yang sama dalam bidang hukum.
7. Terjaminnya hak-hak rakyat.
Konstitusional Demokrasi Modern (Abad XX) dan Rule of Law
1. Muncul konsep Welfare State atau Negara
Kesejahteraan. Fungsi Negara adalah memberikan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
umum warganya.
2. Penyelenggaraan pemerintahan yang demokrasi didasarkan pada
peraturan hukum / Rule of Law.
3. ICJ (International Commision of Yurist) telah membuat rumusan
tentang demokrasi. Demokrasi suatu bentuk pemerintahan dimana
keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh wakil-wakil
rakyat yang dipilih dan mereka harus bertanggung jawab.

19
Menurut Henry B. Mayer
Demokrasi didasarkan beberapa nilai, yaitu :
a. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan melembaga.
b. Menjamin terselenggaranya perubahan dengan damai dalam
masyarakat.
c. Penggantian pimpinan dengan teratur dan damai.
d. Pembatasan penggunaan kekerasan.
e. Mengakui adanya keagamaan atau keanekaragaman dalam
masyarakat (pendapat, kepentingan, budaya dan tingkah laku, dan
sebagainya).
f. Menjamin tegaknya hukum
Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi maka perlu :
1. Pemerintahan yang bertanggung jawab
2. Adanya Dewan Perwakilan Rakyat
3. Adanya suatu organisasi politik yang terdiri atas partai-partai
politik.
4. Adanya Pers dan Media yang bebas untuk menyatakan pendapat.
5. Sistem Peradilan yang bebas.

Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya


diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut
dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan
dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah
berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi"
di banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti
rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat
diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep

20
demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu
politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut
sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya dengan
pembagian kekuasaan dalam suatu negara, umumnya berdasarkan
konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang
diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk
diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan
pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk
membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan
absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-
hak asasi manusia. Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga
negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif
menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-
anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa
kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel
(accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan
akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu
secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan
lembaga negara tersebut.

Bentuk-bentuk Demokrasi
1. Demokrasi bersifat langsung (Direct Democracy)
Demokrasi langsung juga dikenal sebagai demokrasi bersih.
Berdasarkan pada partisipasi langsung, tanpa perwakilan dan terus
menerus dari warga dewasa dalam membuat dan melaksankan
keputusan bersama.

21
Tidak terdapat batas yang tegas antara pemerintah dan yang
diperintah semacam sistem self-government pemerintah dan yang
diperintah adalah orang yang sama. Sistem kelembagaan: pertemuan
warga (mass meeting, town meeting, pertemuan RT/RW, dan lain-
lain), referendum. Disinilah rakyat memiliki kebebasan secara
mutlak memberikan pendapatnya, dan semua aspirasi mereka dimuat
dengan segera didalam satu pertemuan.
Jenis demokrasi ini dapat dipraktekkan hanya dalam kota kecil
dan komunitas yang secara relatip belum berkembang, dimana secara
fisik memungkinkan untuk seluruh electorate untuk bermusyawarah
dalam satu tempat, walaupun permasalahan pemerintahan tersebut
bersifat kecil.
Demokrasi langsung berkembang di Negara kecil Yunani kuno
dan Roma. Demokrasi ini tidak dapat dilaksanakan didalam
masyarakat yang komplek dan Negara yang besar. Demokrasi murni
yang masih bisa diambil contoh terdapat di wilayah Switzerland.
Mengubah bentuk demokrasi murni ini masih berlaku di
Switzerland dan beberapa Negara yang didalamnya terdapat bentuk
referendum dan inisiatif. Di beberapa Negara sangat memungkinkan
bagi rakyat untuk memulai dan mengadopsi hukum, bahkan untuk
mengamandemenkan konstitusional dan menetapkan permasalahan
publik politik secara langsung tanpa campur tangan representative.

2. Demokrasi bersifat representatif (Representative Democracy)


Praktik demokrasi ini sebagai jawaban terhadap beberapa
kelemahan demokrasi langsung, di mana dalam Negara yang besar
dan modern demokrasi tersebut tidak bisa berjalan sukses. Oleh
karena itu, untuk menanggulangi masalah ini diperlukan sistem
demokrasi secara representatif. Para representatif inilah yang akan
menjalankan atau menyampaikan semua aspirasi rakyat di dalam

22
pertemuan. Dimana mereka dipilih oleh rakyat dan berkemungkinan
berpihak kepada rakyat.
Jadi, ada partisipasi warga yang terbatas, hanya dalam waktu
yang singkat dan hanya dilakukan beberapa kali dalam kurun waktu
tertentu seperti dalam bentuk keikutsertaan dalam pemilihan umum.
Sistem ini berbasis atas ide, dimana rakyat tidak secara langsung
hadir dalam menyampaikan aspirasi mereka, namun mereka
menyampaikan atau menyarankan saran mereka melaui wakil atau
representatif. Bagaimanapun, di dalam bentuk pemerintahan ini
wewenang disangka benar terletak ditangan rakyat, akan tetapi
semuanya dipraktekkan oleh para representatif.
Pemerintah dan yang diperintah terpisah secara tegas.
Demokratis tidaknya demokrasi bentuk ini, tergantung pada
kemampuan para wakil yang dipilih membangun dan
mempertahankan hubungan yang efektif antara pemerintah dan yang
diperintah.
Sistem kelembagaan:
1. para wakil rakyat yang dipilih (parlemen).
2. para pejabat Negara yang dipilih, yakni kepala pemerintahan dan
pembantu-pembantunya, yudikatif, dan lain-lain.
3. Pemilihan umum yang adil, bebas, dan berkala.
4. Media massa yang membuka kesempatan bagi kebebasan
berpendapat dan kebebasan mendapatkan informasi dan
pengetahuan.
5. Sistem asosiasi yang bersifat otonom: partai politik, organisasi
massa, dan lain-lain.
6. Hak pilih bagi semua orang dewasa dan hak untuk menduduki
jabatan-jabatan publik.

Demokrasi permusyawaratan (Deliberative Democracy)

23
Demokrasi ini merupakan bentuk demokrasi yang paling
kontemporer, di mana dipraktikan pada masyarakat yang kompleks
dan berukuran besar. Bentuk demokrasi permusyawaratan
menggabungkan aspek partisipasi langsung dan bentuk demokrasi
perwakilan.
Adanya tekanan pemahaman yang berbeda dalam memahami
makna kedaulatan rakyat. Bagi demokrasi itu kedaulatan ialah
berkaitan dengan keterlibatan masyarakat dalam membicarakan,
mendiskusikan dan mendebatkan isu-isu bersama atau dalam
menentukan apa yang pantas dianggap sebagai isu bersama.
Demokratis tidaknya sebuah kebijakan tergantung pada apakah
kebijakan tersebut sudah melalui proses pembicaraan, diskusi dan
perdebatan yang melibatkan masyarakat luas.
Di samping itu, terdapat pemisahan yang tegas antara
pemerintah dan yang diperintah. Tapi pemisahan yang lebih penting
adalah antara Negara dan masyarakat sipil. Negara merupakan
tempat menggodok dan melaksanakan kebijakan. Masyarakat sipil
merupakan tempat berlangsungnya “permusyawaratan”
Selain itu ada juga pemisahan antara wilayah publik dan wilayah
privat. Wilayah publik adalah wilayah “permusyawaratan”,
sedangkan wilayah privat adalah wilayah tempat seseorang
memikirkan apa isu yang penting dan kenapa isu itu perlu
dibicarakan, didiskusikan dan didebatkan secara publik.
Sistem kelembagaan:
1. Semua sistem kelembagaan demokrasi perwakilan.
2. Debat publik; lewat media massa, lewat pertemuan warga yang
terjadi secara spontan di tempat-tempat publik, dan seterusnya.
3. Dialog.

Demokrasi di Indonesia

24
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan penggambaran
bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme
kepemimpinannya, Presiden harus bertanggung jawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat
adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki,
seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui
mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat
mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk
pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai
kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai
pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi
Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk
melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk ke
dalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta
militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia
terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi
Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.

Pelaksanaan demokrasi di Indonesia dilaksanakan dalam berbagai


kurun waktu, yaitu:
a. Kurun waktu 1945 – 1949
Pada periode ini sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila
seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 belum sepenuhnya dapat
dilaksanakan karena negara dalam keadaan darurat dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan. Misalnya, Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang semula berfungsi sebagai pembantu
Presiden menjadi berubah fungsi sebagai Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Sistem kabinet yang seharusnya Presidensil dalam
pelaksanaannya menjadi Parlementer seperti yang berlaku dalam

25
Demokrasi Liberal.
b. Kurun Waktu 1949 – 1950
Pada periode ini berlaku Konstitusi Republik Indonesia
Serikat. Indonesia dibagi dalam beberapa negara bagian. Sistem
pemerintahan yang dianut ialah Demokrasi Parlementer (Sistem
Demokrasi Liberal). Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri
dan Presiden hanya sebagai lambang. Karena pada umumnya
rakyat menolak Republik Indonesia Serikat, sehingga tanggal 17
Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Negara
Kesatuan dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
c. Kurun Waktu 1950 – 1959
Pada periode ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer
yang sering disebut Demokrasi Liberal dan diberlakukan Undang-
Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Karena Kabinet selalu silih
berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-
masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau
golongannya.
Setelah negara Republik Indonesia dengan Undang-Undang
Dasar Sementara Tahun 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang
dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat
Indonesia sadar bahwa Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak
sesuai dengan jiwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Akhirnya Presiden menganggap,
bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan
dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan
semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur;
sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai
pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta tidak
berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
d. Kurun Waktu 1959 – 1965

26
Pada periode ini sering juga disebut dengan Orde Lama.
Undang-undang dasar yang digunakan adalah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan sistem
demokrasi terpimpin.
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat berada
di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pengertian demokrasi
terpimpin pada sila keempat Pancasila adalah dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, akan
tetapi presiden menafsirkan “terpimpin”, yaitu pimpinan terletak
ditangan ‘Pemimpin Besar Revolusi”.
Dengan demikian pemusatan kekuasaan di tangan presiden.
Terjadinya pemusatan kekuasaan di tangan presiden menimbulkan
penyimpangan dan penyelewengan terhadap Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang puncaknya terjadi perebutan kekuasaan oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) pada tanggal 30 September 1965 (G30S/PKI) yang
merupakan bencana nasional bagi bangsa Indonesia.
e. Kurun Waktu 1966 – 1998
Periode ini dikenal dengan sebutan pemerintahan Orde baru
yang bertekad melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara murni dan
konsekuen. Secara tegas dilaksanakan sistem Demokrasi Pancasila
dan dikembalikan fungsi lembaga tertinggi dan tinggi negara sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Dalam pelaksanaannya sebagai akibat dari kekuasaan dan
masa jabatan presiden tidak dibatasi periodenya, maka kekuasaan
menumpuk pada presiden, sehingga terjadilah penyalahgunaan
kekuasaan, dengan tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi dan

27
nepotisme (KKN). Kebebasan bicara dibatasi, praktek demokrasi
menjadi semu. Lembaga negara berfungsi sebagai alat kekuasaan
pemerintah. Lahirlah gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa
yang menuntut reformasi dalam berbagai bidang. Puncaknya adalah
dengan pernyataan pengunduran diri Soeharto sebagai presiden.
f. Kurun Waktu 1998 - sekarang (Orde Reformasi)
Demokrasi yang dikembangkan pada masa reformasi pada
dasarnya adalah demokrasi dengan mendasarkan pada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dengan penyempurnaan pelaksanaannya dan perbaikan
peraturan-peraturan yang tidak demokratis, dengan meningkatkan
peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara dengan
menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu
pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas
antara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Demokrasi Indonesia saat ini telah dimulai dengan
terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat-Majelis Permusyawaratan
Rakyat hasil Pemilu 1999 yang telah memilih presiden dan wakil
presiden serta terbentuknya lembaga-lembaga tinggi yang lain.
Pelaksanaan demokrasi saat ini dilihat dari kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat memang lebih
terbuka dibanding dengan kurun waktu sebelumnya (Orde Baru). Akan
tetapi kebebasan tersebut seakan-akan tanpa batas sehingga akhirnya
terjadi situasi perdebatan politik dan hukum yang berkepanjangan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pemilihan Umum

28
Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan
umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum merupakan sarana untuk
mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan
tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dan, ini adalah inti kehidupan demokrasi.
Pemilu dapat dipahami juga sebagai berikut:
1. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
dalam bagian menimbang butir a sampai c disebutkan:
a. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Republik
Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat;
b. Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara
c. Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan untuk
memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga
Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu
sarana untuk mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang
dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian juga dalam bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 1
disebutkan bahwa: "pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik indonesia yang
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.”
Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu
suatu lembaga independent yang dibentuk dengan suatu undang-undang.

29
2.2 Dasar Hukum Pemilihan Umum di Indonesia
1. Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berbunyi :
1. Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil setiap lima tahun sekali.
2. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Rayat Daerah.
3. Peserta Pemilu untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rayat Daerah adalah Partai Politik.
4. Peserta Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
5. Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri.
6. Ketentuan lebih tentang Pemilu diatur oleh undang-undang.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu
Tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum:
1) Merencanakan penyelenggaraan Pemilu
2) Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan Pemilu
3) Mengkoordinasikan, penyelenggaraan, mengandalikan semua tahapan
pelaksanaan Pemilu.
4) Menetapkan peserta Pemilu.
5) Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Kabupaten/Kota.
6) Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan
pemungutan suara.
7) Menetapkan hasil Pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota.

30
8) Melakukan evaluasi dan pelaporan hasil Pemilu.
9) Melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu

2.3 Sistem Pemilihan Umum


a. Sistem Pemilu guna menentukan seseorang menjadi pejabat Negara
(Presiden dan Wakil Presiden) melalui dua cara :
1) Pemilihan secara langsung artinya para pemilih melakukan pemilihan
orang atau kontestan yang disukai.
2) Pemilihan tidak langsung (bertingkat) yaitu para pemilih melakukan
pemilihan orang-orang untuk menjadi anggota suatu lembaga
kenegaraan yang mempunyai wewenang untuk memilih orang yang
akan menjadi pejabat Negara tersebut, misalnya Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebelum peubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
b. Sistem Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan
Perwakilan Daerah, ada dua macam :
1) Sistem Pemilihan Organis, yaitu untuk mengisi keanggotaan lembaga
perwakilan rakyat melalui pengangkatan dan penunjukkan.
Dasar pemilihan adalah :
a) Rakyat dalam suatu Negara dipandang sebagai sejumlah individu
yang hidup bersama dalam beraneka ragam persekutuan hidup
seperti Geniologis, Teritorial, Fungsional, Industri, lapisan-lapisan
social (buruh, tani, nelayan (LSM)).
b) Persekutuan-persekutuan itu mempunyai kewenangan untuk
menentukan wakil-wakilnya yang duduk sebagai anggota
parlemen.
c) Partai-partai politik tidak diperlukan sebab mekanisme pemilihan
dilakukan langsung oleh masing-masing persekutuan hukum.

31
Jadi lembaga perwakilan rakyat ini merupakan “Lembaga
Perwakilan Persekutuan Hidup”. Sehingga lembaga ini hanya
mengurus kepentingan khusus dari persekutuan-persekutuan hidup.
2) Sistem Pemilihan Mekanis yaitu melalui pemilihan umum.
Menurut Walhoff dasar pemilihannya :
a) Rakyat dalam suatu Negara dipandang sebagai individu-individu
yang sama.
b) Rakyat bertindak sehingga mempunyai hak sendiri (hak pilih aktif)/
hak suara.
c) Peranan partai politik sebagai koordinator pemilih Jadi lembaga
perwakilan rakyat merupakan lembaga politik rakyat. Sistem
Pemilihan Mekanis dapat digolongkan dua macam, yaitu :
1. Sistem Pemilihan Distrik
Wilayah suatu Negara dibagi atas distrik-distrik pemilihan
sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia di parlemen dan setiap
distrik hanya memilih satu orang wakil yang duduk di parlemen
dari beberapa calon. Apabila pembagian distrik dirasakan terlalu
banyak, maka dapat kursi yang ada di parlemen dibagi dua,
sehingga distrik/ setiap distrik dapat memperoleh dua orang
calon di parlemen.
Contoh : jumlah kursi di parlemen 500, maka wilayah Negara
dibagi dalam 500 distrik atau 500/2 = 250 distrik dan setiap
distrik terdapat 2 calon.
Kebaikan dari sistem ini :
− Hubungan antara wakil dengan rakyat relative dekat, rakyat
cukup kenal calonnya.
− Mendorong menyatukan beberapa partai, memungkinkan
terjadi koalisi.
− Pelaksanaannya sederhana.
− Jumlah partai akan lebih berkurang.
Kelemahan sistem distrik :

32
− Banyak suara yang terbuang.
Misalnya :
Calon A = 50 suara
Calon B = 45 suara
Calon C = 40 suara
Calon D = 30 suara
Yang menang adalah Calon A dan menjadi wakil distrik.
Apabila dibandingkan suara antara A dengan B, C, dan D,
maka presentasi Calon A di distrik tersebut adalah rendah
(low representative).
− Menyulitkan bagi partai kecil untuk memperoleh kursi (wakil
di parlemen).
2. Sistem Pemilihan Proposional
Kursi yang tersedia di parlemen, diperebutkan dalam suatu
pemilihan umum, dibagi kepada partai-partai politik dan
golongan-golongan politik yang ikut serta dalam Pemilu sesuai
dengan imbangan suara dalam Pemilu.
Misal 1 : 400.000 pemilih mempunyai1 kursi artinya satu orang
wakil memperoleh dukungan 400.000 pemilih. Negara sebagai
daerah pemilihan dantiap suara dihitung suara yang diperoleh
dari satu daerah ditambahkan dengan suara yang diperoleh dari
daerah yang lain, sehingga besar kemungkinan setiap organisasi
peserta pemilu memperoleh kursi.
Mengingat wilayah Negara begiru luas dan jumlah penduduk
yang besar, maka dibentuk daerah pemilihan (bukan distrik)
yaitu wilayah Negara dibagai dalam daerah-daerah pemilihan.
Kursi yang tersedia di parlemen terlebih dahulu dibagikan ke
daerah-daerah pemilihan, dimana suatu daerah pemilihan kursi
yang diperebutkan suatu daerah harus lebih dari dari satu kursi
dan disebut Multi Member Constituency.

33
Contoh : Misalnya suatu Negara mempunyai 100 kursi yang
diperebutkan.
Langkah-langkah yang harus ditempuh :
1. 100 kursi dibagi ke daerah-daerah pemilihan misalnya 4
daerah pemilihan.
2. Dengan pertimbangan wilayah Negara, jumlah penduduk dan
sebagainya, maka ditentukan :
Daerah Pemilihan A = 30 kursi
Daerah Pemilihan B = 25 kursi
Daerah Pemilihan C = 25 kursi
Daerah Pemilihan D = 20 kursi
3. Kursi di wilayah A berjumlah 30 dibagikan kepada golongan
politik peserta pemilu sesuai dengan imbangan suara
diperoleh dalam pemilu yang bersangkutan.
4. Hasil yang diperoleh tersebut, partai politik dapat
menentukan anggota-anggotanya yang duduk di parlemen
berdasarkan pada daftar calon anggota parlemen atau
berdasarkan nomor urut, sehingga nomor urut yang paling
ataslah yang terpilih. Dalam perhitungan suara, maka akan
diketahui jumlah kursi yang diperoleh masing-masing partai
politik dengan bilangan pembagi pemilih (BPP), sedangkan
sisa suara yang ada tidak dapat dipindahkan ke daerah
pemilihan yang lain.
Kebaikan Sistem Proposional :
− Jumlah suara yang terbuang sangat kecil
− Merangkup partai-partai kecil dan golongan-golongan
minoritas untuk duduk dalam parlemen.
Kelemahan Sistem ini :
− Mudahnya timbul partai-partai baru/ munculnya bermacam-
macam golongan dan mempertajam perbedaan-perbedaan

34
yang ada, muncul banyak aliran-aliran yang syarat dengan
konflik dan idiologis.
− Wakil-wakil terpilih lebih dekat dengan induk organisasinya
yaitu partai politik, dan kurang memiliki loyalitas kepada
rakyat yang memilihnya, dengan anggapan bahwa partai
politiklah yang menentukan mereka sebagai anggota
parlemen dari pada kemapuan mereka/wakil, rakyat hanya
memilih partai daripada memilih wakilnya.
− Sulit membentuk pemerintahan yang stabil sebab penentuan
pemerintahan didasarkan padaa koalisi dari dua atau lebih
partai politik.
3. Sistem Proposional dengan Daftar Calon Terbuka.
Sistem ini sama dengan sistem Proposional, hanya dalam
menentukan wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen telah
disusun dalam daftar abjad (bukan nomor urut). Dalam
pelaksanaan pemungutan suara, rakyat memilih disamping partai
politik (mencoblos), mereka juga memilih nama-nama orang
calon yang diajukan oleh partai politik yang bersangkutan.
Sistem ini muncul atas respon pada keprihatinan terhadap
kualitas wakil-wakil rakyat yang lebih condong mementingkan
kepentingan partai, daripada memperjuangkan aspirasi rakyat.

2.4 Asas-asas Pemilihan Umum


Pelaksanaan Pemilihan Umum dimanapun selalu bernuansa :
manipulatif, tidak jujur, sewenang-wenang, politik uang, prokasi dan
sebagainya. Asas-asas Pemilu dapat dilihat dalam :

Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Pasal 21 ayat 3,


mengatakan:
“Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah, kemauan ini
harus dinyatakan dalam pemiliha-pemilihan berkala yang jujur dan yang

35
dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan serta
dengan pemungutan suara rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga
menjamin kebebasan mengeluarkan suara.”
Jadi menurut deklarasi PBB di atas, Asas-asas Pemilu adalah :
1. Berkala, jujur, umum, berkesamaan dan rahasia.
2. Menurut pasal 22E Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang sudah
diubah tahun 2004, mengamanatkan bahwa penyelenggaraan Pemilu
dilaksanakan secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-
luasnya atas dasar prinsip demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, adil dan beradab.
Dari ketentuan-ketentuan dia atas maka asas-asas Pemilu adalah :
1. Langsung, artinya seorang pemilih memberikan suaranya tanpa perantara,
harus langsung kecuali melalui Jasa Kantor Pos, maka petugas pos
meneruskan pilihannya dalam amplop tertutup.
2. Umum, artinya setiap warga Negara tanpa pandang bulu, kaya, miskin,
suku, ras, dan agama, jenis, tingkat pendidikan dan dimanapun tempat
tinggal, pekerjaan, status serta idiologisnya asal memenuhi syarat
mempunyai hak pilih dan dipilih, syarat umur 17 tahun, tidak sakit
ingatan/gila, hak pilih tidak dicabut dan tidak dihukum lebih dari 5 tahun.
3. Bebas artinya bebas menyatakan pendapat aspirasinya dan pilihannya,
bebas untuk menghadiri atau tidak menghadiri suatu kampanye serta
bebas dari intimidasi tidak ada paksaan, bebas dari tindakan sewenang-
wenang dari manapun juga.
4. Rahasia artinya memberikan pilihannya tanpa diketahui oleh siapapun,
kecuali atas persetujuan pemilih dimana ia harus mendapat tuntunan
karena umurnya sudah lanjut atau karena menyandang cacat tertentu.
5. Jujur, artinya pelaksanaan pemilu dilakukan sesua dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan etika dan moralitas,
tidak ada paksaan manipulasi, penipuan, pembelian suara dan korupsi.

36
6. Adil, artinya setiap warga Negara mempunyai hak yang sama, setiap partai
politik atau kandidat dan setiap daerah diperlakaukan sama, juga dalam
proses yang sama setiap kasus yang timbul dan sebagainya.
7. Akuntabel : Transparansi.
Pemilu harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan
wewenang kepada publik baik secara politik maupun hukum
8. Edukatif
Pelaksanaan pemilu itu tidak saja demokratis tetapi juga pemilu harus
dapat bersifat mendidik secara politik, artinya setiap Warga Negara yang
berhak memilih tidak saja dapat diperlakukan secara manusiawi pada
setiap tahapan pelaksanaan pemilu tetapi juga harus diberi informasi
perihal seluruh tahapan pelaksanaan pemilu, sehingga dapat mengambil
keputusan sendiri.
KPU hendaknya juga melaksanakan fungsi mendidik pemilih. Kampanye
yang dilakukan partai politik dan atau calon harus dapat menjadi arena
pembelajaran dan pencerdasan baik bagi pemilih, baik partai politik dan
para calon.
9. Praktis (efisien dan lancar )
Pelaksanaan pemilu dilakukan secara praktis, waktu, biaya, tenaga
maupun organisasi dan tata kerja untuk semua tahapan pelaksanaan
pemilu. Pelaksanaan pemilu sesuai dengan jadwal, waktu, alokasi
anggaran, distribusi logistik pemilu, berlangsung tanpa hambatan.
Komunikasi, transportasi, spesialisasi efisinsi, koordinasi, monitoring dan
control menjadi faktor yang menentukan kelancaran pekerjaan besar
penyelenggaraan pemilu.
Pada jaman Orde Baru asas pemilu yang digunakan adalah LUBER
(langsung, umum, bebas dan rahasia), asas-asas ini hanya digunakan pada
saat pemungutan suara di TPS sedangkan proses tahapan lainnya patut
dipertanyakan.

2.5 Pemilihan Umum di Indonesia

37
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu mekanisme demokratis
untuk melakukan pergantian pemimpin. Sudah sembilan kali bangsa
Indonesia menyelenggarakan pesta rakyat itu.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota
lembaga perwakilan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota. Setelah perubahan tahap keempat Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang
semula dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, disepakati untuk
dilakukan langsung oleh rakyat, sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam
rezim pemilu.
Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu
2004. Pada tahun 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007,
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan
sebagai bagian dari rezim pemilu.
Di tengah masyarakat, istilah pemilu lebih sering merujuk kepada
pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan
setiap 5 tahun sekali.
Asas-asas Pemilihan Umum di Indonesia
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan
singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asas "Luber" sudah
ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan
memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum
berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah
memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan
memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian
Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya
diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang
merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti
bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk

38
memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih
sesuai dengan kehendaknya, dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang
sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah
perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada
pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu.
Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta
pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Sejarah Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia


Sampai tahun 2004, Indonesia telah menyelenggarakan delapan kali
pemilihan umum. Pemilu untuk pertama kalinya diselenggarakan tahun 1955.
Setelah itu ada masa vakum yang cukup lama (kurang lebih enam belas
tahun) sampai diselenggarakan pemilu kedua pada tahun 1971. Pemilu kedua
ini digelar dalam konteks politik yang berbeda, karena ada proses transfer
kekuasaan dari rezim Soekarno ke rezim Orde Baru pada tahun 1966. Rezim
Orde Baru cukup konsisten menjalankan pemilu secara regular-lima tahunan-
mulai dari dari 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan terakhir 1997.
Setelah era kekuasaan Orde Baru berakhir tahun 1998, maka
penyelenggaraan pemilu dipercepat dari jadwal yang seharusnya, tahun 2002.
Namun, perubahan konstelasi politik, memaksa Presiden Habibie untuk
menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1999. Pemilu tahun 1999 diikuti oleh
pergelaran pemilu untuk ke sembilan kalinya pada tahun 2004. Pemilu tahun
2004 mempunyai nuansa yang berbeda, agak berbeda dengan pemilu-pemilu
sebelumnya, karena disamping memilih anggota legislatif, pemilu 2004 juga
memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah. Berikut sejarah perjalanan
pemilu-pemilu di Indonesia, mulai dari Pemilu 1995-2004.
Pemilu 1955
Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia.
Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Pemilu tahun 1955 ini
dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah
dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)

39
khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota
angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah
rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung
aman.
Walaupun masih berusia muda, namun kehidupan politik kepartaian
sangat dinamis. Hal ini didorong oleh keluarnya Maklumat X, atau Maklumat
Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi
anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Selain mengajurkan
pendirian partai politik, Maklumat tersebut menyebutkan akan
diselenggarakannya pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan Makelis Permusyawaratan Rakyat pada bulan Januari 1946.
Namun, rencana untuk mengadakan pemilu tahun 1946 tidak bisa
dilaksanakan karena kondisi politik yang tidak memungkinkan.
Setelah gagal menggelar pemilu tahun 1946, pemerintah tetap
merumuskan undang-undang pemilu. Hal ini terlihat jelas dari
dirumuskannya Undang-Undang Nomor 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang
kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Kemudian
pada paroh periode kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari
Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk
menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu, pembahasan
Undang-Undang Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia
Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan
ke parlemen. Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan
Rancangan Undang-Undang Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman
Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya
menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950 menyatakan, bahwa anggota Dewan Perwkilan Rakyat dipili oleh
rakyat melalui pemilihan umum. Tetapi, pemerintah Sukiman juga tidak
berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut.
Selanjutnya udnang-undang ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa
pemerintahan Wilopo dari PNI, pada tahun 1953. Dalam masa pemerintahan

40
kabinet Wilopo lahirlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang
Pemilu.
Undang-undang ini menjadi payung hukum Pemilu 1955. Dengan
demikian, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1949 dinyatakan tidak
berlaku lagi. Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953,
pemilu 1955 dilakukan dua kali. Pemilu pertama, pada 29 September 1955
untuk memlih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pemilu kedua, 15
Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Jumlah
kursi Dewan Perwakilan Rakyat yang diperebutkan berjumlah 260,
sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi Dewan
Perwakilan Rakyat) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat
pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri
Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada
saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap.
Patut dibanggakan, bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil
diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis.
Pemilu tahun 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk
dari negara-negara asing. Pemilu tahun 1955 diikuti oleh lebih 30-an partai
politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Di
samping itu, tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat di antara calon.
Misalnya, meski yang menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat
adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak
menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk
menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Oleh karena itu, sosok
pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan
memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan
untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya perlu dipaparkan
semuanya.

41
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 disebutkan bahwa
pemilu tahun 1955 menggunakan sistem proporsional. Sistem proporsional
yang diambil masih murni karena penentuan kursi di tiap daerah benar-benar
didasarkan pada proporsi jumlah penduduk. Perkecualian ada anggota
Dewan Perwakilan Rakyat yang diangkat, tidak dipilih, yaitu: 3 orang wakil
Irian Jaya, 6 orang golongan Tionghoa, 3 wakil golongan Arab, dan 3 wakil
golongan Eropa. Struktur pemeilihannnya menggunakan sistem daftar
tertutup atau closed list system. Berarti pemilih hanya memilih partai politik
perseta pemilu bukan memilih calon.
Periode Demokrasi Terpimpin
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa
dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak
berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun pada tahun
1958, Pejabat Presiden Soekarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia
II. Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan
Konstituante dan pernyataan kembali ke Undang-Undang Dasar Tahun 1945
yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai.
Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali
otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yakni sebagai kekuasaan negara
bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika
pada 4 Juni tahun 1960 ia membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil
Pemilu tahun 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak
Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara yang diajukan
pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli
1959 membentuk Dewan Perwakilan Rakyat -Gotong Royong (DPR-GR) dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang semua
anggotanya diangkat oleh presiden.
Pengangkatan keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak

42
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karena Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasinya kedua lembaga
itu di bawah presiden. Padahal menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi,
sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara melalui Sidang Istimewa bulan Maret
1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik,
ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim
yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak
pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu.
Malah pada tahun 1963 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang
mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk
kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat
pemilihan berkala.

Pemilihan Umum Orde Baru


Sistem pemilihan yang diterapkan pada pemilu-pemilu di masa Orde
Baru adalah sistem proporsional tapi tidak murni. Sebab penentuan jumlah
kursi masing-masing daerah pemilihan tidak semata-mata ditentukan oleh
jumlah penduduk tapi juga didasarkan pada wilayah administrasi. Dengan
kata lain pemilu-pemilu di masa Orde Baru menggunakan sistem
proporsional yang dikombinasikan dengan sedikit sistem distrik. Hal ini
dlakukan untuk mengurangi kesenjangan Jawa dan luar Jawa akibat
perbedaan jumlah penduduk.
Pemilu 1971
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno

43
dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 1967, ia
juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi
kekuasaan transisi. Malah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa
diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada Sidang
Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1967, oleh Jenderal
Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan
diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden, Soeharto tetap menggunakan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat−Gotong
Royong bentukan Soekarno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga
tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap
berbau Orde Lama. Pada praktiknya, pemilu kedua baru bisa diselenggarakan
5 Juli 1971, yang berarti setelah empat tahun Soeharto berada di kursi
kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa undang-
undang) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
Undang-undang yang diadakan adalah Undang-Undang tentang pemilu
dan susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Menjelang
Pemilu 1971, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
menyelesaikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan
Undang-Undang Nomor 16 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Penyelesaian undang-undang itu sendiri memakan waktu
hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah
bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral.
Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang
berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada
prakteknya pada Pemilu tahun 1971, para pejabat pemerintah berpihak
kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi, sesungguhnya

44
pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan
Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan
aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang
digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu
1971, yang menggunakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 sebagai
dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata
mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai
yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi,
kelemahan sistem yang demikian, lebih banyak menyebabkan suara partai
terbuang percuma.
Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga
tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di
daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus
acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap
pembagian kursi pada Pemilu tahun 1971 adalah sebagai berikut :
− Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan.
− Kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah
sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan
kiesquotient.
− Ketiga, apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi
diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk
gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari
perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang
melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi
dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu tahun 1971
menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan
perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling nyata adalah
beda perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional

45
suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit
dibandingkan Parmusi.
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997
Setelah tahun 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur
mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu
tahun 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5
tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal
yang nyata perbedaannya dengan pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa
sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua partai politik dan satu
Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan
membuat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya (Golkar). Jadi
dalam 5 (lima) kali Pemilu, yaitu Pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997 pesertanya hanya tiga tadi.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP
dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah
menjadi pemenang sejak Pemilu tahun 1971. Keadaan ini secara langsung
dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di
bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan
militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara
berturut-turut.
• Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu tahun 1977 dilakukan pada tanggal 2 Mei
1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu tahun
1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari
70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93
persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11
persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau
kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu thaun 1971. Pada Pemilu tahun

46
1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI
Aceh, mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih
18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi
dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu tahun 1971.
Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring
dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan
suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan
kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak
begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta,
Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan
kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi
partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi
atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan
Partai Katolik.
• Hasil Pemilu 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada
tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara
nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh.
Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari
PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu
berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih
48.334.724 suara atau 242 kursi.

• Hasil Pemilu 1987


Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan pada tanggal 23
April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih,
suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian
kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.

47
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP,
yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya
mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak
boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari
Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh-tokoh
unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga
menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat
dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP
PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam,
berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada
Pemilu tahun 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu tahun 1987 ini.
• Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu tahun 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan
tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu tahun
1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan
tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu
tahun 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut
suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau
naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi,
atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen.
Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu tahun 1997 ini PPP meraih
89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan
terhadap partai itu di Jawa sangat besar. Sedangkan PDI, yang mengalami
konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati
Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot
11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45
kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.

Pemilu 1999

48
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal
21 Mei 1998, jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin
Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera
dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu tahun 1997 segera diganti.
Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13
bulan masa kekuasaan Habibie.
Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk
memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia
internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang
merupakan produk Pemilu tahun 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal
ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk memilih presiden dan wakil presiden yang
baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya
bakal digantinya keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden
Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung
sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah
terjadi sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah
mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Partai Politik, Rancangan
Undang-Undang tentang Pemilu, dan Rancangan Undang-Undang tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ketiga draft undang-undang ini disiapkan sebuah tim Departemen
Dalam Negeri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof Dr M Ryaas
Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Setelah rancangan undang-undang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan disahkan menjadi undang-
undang, Presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-
anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah.

49
Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu tahun 1999
dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak tahun 1971 adalah Pemilu tahun
1999 ini diikuti banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya
kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48
partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang
ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan reformasi inilah yang mampu
menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan.
Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan
setelah menjadi perdana menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski
persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan
sebelumnya.
Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak dia naik ke
kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis
politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial, dan penegakan
hukum serta tekanan internasional.
Hasil Pemilu 1999
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Sistem Pemilihan
Umum tahun 1999 menggunakan sistem proporsional dengan sistem stesel
daftar. Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan
pemungutan suara pada Pemilu tahun 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal,
yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan
dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu tahun 1999 bisa
terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di
beberapa daerah tingkat II di Sumatra Utara yang pelaksanaan pemungutan
suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya
keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap
penghitungan suara dan pembagian kursi pada pemilu kali ini sempat
menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik

50
menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih pemilu
belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam
sebuah rapat pleno KPU.
Karena ada penolakan, dokumen rapat Komisi Pemilihan Umum
kemudian diserahkan pimpinan Komisi Pemilihan Umum kepada presiden.
Oleh presiden, hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada
Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti
keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di Komisi Pemilihan
Umum yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi
bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data
tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga
menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui
masyararakat pada tanggsl 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia)
langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah.
Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang
ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak
oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord.
Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan
stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus
accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120
kursi sisa. Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada
Komisi Pemilihan Umum. Di Komisi Pemilihan Umum perbedaan pendapat
itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama,
pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord,
sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara
yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43
suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi
dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan
pembagian kursi hasil pemilu pada 1 September tahun 1999. Hasil pembagian

51
kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi Dewan
Perwakilan Rakyat atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau
33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758
suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205
kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61
persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71
persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu
1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi.
Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan
hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi
dibanding Pemilu tahun 1997.

Pemilu 2004
Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang
memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara
pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini,
rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya
presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu
ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah
(seperti Pemilu tahun1999), pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan
calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden
dan calon wakil presiden secara terpisah.

Pentahapan Pemilu tahun 2004 Pemilu ini dibagi menjadi maksimal tiga
tahap (minimal dua tahap):
• Tahap pertama (atau pemilu legislatif") adalah pemilu untuk memilih
partai politik (untuk persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk
dicalonkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

52
Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah. Tahap pertama
ini dilaksanakan pada 5 April 2004.
• Tahap kedua (atau pemilu presiden putaran pertama) adalah untuk memilih
pasangan calon presiden dan wakil presiden secara langsung. Tahap kedua
ini dilaksanakan pada 5 Juli 2004.
• Tahap ketiga (atau pemilu presiden putaran kedua) adalah babak terakhir
yang dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan
calon yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen (Bila keadaannya
demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan
diikutsertakan pada Pemilu presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila pada
Pemilu presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang
mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan
langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden). Tahap ketiga ini
dilaksanakan pada 20 September 2004.
− Pemilu Legislatif 2004
Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan
Pemilu 2004. Pemilu legislatif ini diikuti 24 partai politik, dan telah
dilaksanakan pada 5 April 2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai
politik (sebagai persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk
dicalonkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah. Partai-partai
politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen
dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya,
yaitu pada Pemilu presiden putaran pertama.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, sistem yang
digunakan dalam pemilihan legislatif adalah sistem proporsional dengan
daftar terbuka (pasal 6 ayat 1). Dalam sistem ini, selain dicantumkan
lambang partai sekaligus daftar nama calon legislatif. Dengan demikian,
para pemilih dapat memilih partai dan calon yang dikehendaki. Melalui
sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka, masyarakat pemilih
tidak lagi hanya mencoblos tanda gambar partai, tetapi boleh memilih

53
orang dari masing-masing kontestan. Parpol dapat mengajukan calon
sebanyak-banyaknya 120% dari jumlah kursi satu daerah pemilihan (padal
65 ayat 2). Daftar calon yang diajukan oleh partai politik disusun
berdasarkan nomor urut yang ditetapkan partai politik sesuai dengan
tingkatanya (pasal 67 ayat 3).
Sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka dapat menghindari
kesenjangan terhadap parpol kecil yang merupakan salah satu kelemahan
sistem distrik. Artinya, suara yang diperoleh partai tidak serta merta
hangus dan sia-sia jika tidak memenuhi bilang pembagi. Secara teknis,
sistem ini juga memperingan beban calon dalam meniti karir partai politik.
Selain itu, partai politik tidak bisa sewenang-wenang menetapkan calon
terpilih kecuali jika suara tidak memenuhi BPP. Dengan demikian,
akuntabilitas calon terhadap pemilihan dan daerah pemilihan jauh lebih
besar dibanding pemilu sebelumnya.
Namun, jika kita mementingkan tingkat akuntabilitas, permasalahan
yang mengemuka pada pemilu Dewan Perwakilan Rakyat/ Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah tidak adanya keharusan bagi pemilih
untuk mencoblos nama calon legislatif. Suara dianggap sah jika lambang
partai yang dicoblos atau pemilih mencoblos lambang partai dan nama
calon, sementara suara dianggap tidak sah jika pemilih hanya mencoblos
nama calon. Celah regulasi ini, dimanfaatkan oleh partai untuk
menyerukan kepada pemilih agar mencoblos lambang partai saja. Terbukti
hanya sedikit calon yang terpilih karena telah memenuhi bilangan
pembagi.

− Pemilihan Dewan Perwakilan Daerah


Berbeda dengan logika yang dibangun dalam sistem pemilu Dewan
Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, logika keterwakilan
dalam Dewan Perwakilan Daerah dibangun dengan beberapa asumsi,
Pertama, Dewan Perwakilan Daerah merupakan perwakilan ruang.

54
Artinya Dewan Perwakilan Daerah tidak mewakili orang sebagaimana
Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah mewakili wilayah
yang disebut sebagai provinsi. Setiap wilayah yang diwakili Dewan
Perwakilan Daerah dianggap memiliki kekhususan lokal yang harus
diapresiasi dalam tingkat nasional.
Kedua, komposisi suara Dewan Perwakilan Daerah dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat dipakai sebagai penyeimbang perwakilan antara
Jawa-luar Jawa. Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili
orang akan sebanding dengan jumlah penduduk dimana 70 % penduduk
tinggal di Jawa. Sedangkan dalam sistem perwakilan Dewan Perwakilan
Daerah dimana setiap provinsi memiliki keterwakilan yang sama yaitu 4
orang, Jawa hanya akan memiliki 24 orang wakil dari 6 provinsi.
Sedangkan luar Jawa akan memiliki sekitar 104 wakil dari 26 provinsi.
Sistem pemilihan Dewan Perwakilan Daerah dilaksanakan dengan
menggunakan sistem distrik berwakil banyak (Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003, Pasal 6 Ayat 2). Tujuan penggunaan sistem ini untuk
peningkatkan keterikatan anggota Dewan Perwakilan Daerah dengan
warga daerah konstituennya. Artinya, dengan sistem ini berarti anggota
Dewan Perwakilan Daerah memiliki tanggung jawab moral maupun politik
yang besar untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Dengan kata lain,
anggota Dewan Perwakilan Daerah sangat terikat dan tidak bisa ‘lari’ dari
konstituennya. Keuntungan lain dari sistem pemilihan ini adalah secara
politis anggota Dewan Perwakilan Daerah memiliki legitimasi yang jauh
lebih besar dibandingkan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Karena dukungan bersifat distrik maka hubungan antara konstituen dengan
anggota Dewan Perwakilan Daerah lebih riil dan langsung. Bahkan, jika
anggota Dewan Perwakilan Daerah cukup tekun, maka berdasarkan hasil
perolehan suara, dia bisa mempunyai peta politik tentang pengaruhnya dan
bisa menyusun perkiraan tentang karakter dan aspirasi konstituen.

55
Sungguhpun demikian, sistem distrik yang digunakan dalam
pemilihan Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia tidak sama dengan
sistem distrik yang dipakai di Amerika, Canada, India, New Zealand.
Beberapa perbedaan tersebut adalah:
1. Tidak memperhitungkan jumlah penduduk. Padahal dalam sistem
distrik yang lazim, jumlah penduduk merupakan penentuan bagi jumlah
distrik dan keterwakilannya, karena mewakili distrik tertentu dianggap
mewakili orang yang ada di distrik tersebut. Dengan demikian, sistem
distrik dalam pemilu Dewan Perwakilan Daerah menggunakan logika
perwakilan ruang bukan orang.
2. Setiap pemenang memperoleh suara yang berbeda-beda. Jumlah suara
yang diperoleh anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Provinsi DKI
akan jauh lebih banyak dari suara yang diperoleh anggota Dewan
Perwakilan Daerah dari Provinsi Gorontalo. Usaha untuk
memenangkan pemilu Dewan Perwakilan Daerah pada daerah padat
penduduk akan lebih susah dari yang penduduknya sedikit. Pada sistem
distrik yang lazim, suara yang didapatkan untuk setiap kandidat relatif
sama, karena distrik dibagi berdasarkan jumlah penduduk.
3. Pemilih hanya diberi kesempatan memilih satu kali untuk 4 orang
perwakilan. Hal ini menyebabkan prosentase suara yang didapatkan
pemenang sangat bergantung kepada peserta pemilu Dewan Perwakilan
Daerah untuk setiap Provinsi. Dalam sistem Block Vote, pemilih diberi
kesempatan untuk memilih sebanyak kandidat yang akan mewakili
setiap distrik.
4. Pemenang tidak akan mencapai mayoritas. Pemenang maksimal hanya
akan mendapatkan dukungan 20 % seandainya peserta Dewan
Perwakilan Daerah hanya 5 orang dengan asumsi semua orang memiliki
dukungan yang hampir sama. Prosentase ini akan semakin kecil dengan
semakin banyakya jumlah kandidat. Dalam Block Vote System, kandidat
yang terpilih dapat memperoleh mayoritas suara lebih dari 50%. Block
Vote lebih menunjukkan tingkat dukungan riil yang didapatkan.

56
− Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Sistem pemilihan presiden langsung di Indonesia mengacu pada
pasal 6 A terutama dalam ayat 3 dan 4. Dimana calon dinyatakan sebagai
pemenang bila memperoleh minimal 50+1 suara dengan sedikitnya 20%
suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Jika
tidak ada yang mendapatkan suara itu diadakan pemilu ulang diantara
dua calon yang memperoleh suara terbanyak. Menurut Smita
Notasusanto, pemilihan presiden dan wakil presiden dengan dua putaran
dijalankan dengan tujuan pokoknya membangun dukungan luas bagi
presiden, legislatif maupun masyarakat, sehingga legitimasi politik lebih
kokoh dan stabilitas pemerintahan lebih terjamin.
Ada lima kelebihan dengan memakai sistem ini:
1. Memiliki mandat dan legitmasi yang sangat kuat karena didukung
oleh suara rakyat secara langsung.
2. Tidak perlu terikat pada konsensi partai-partai atau faksi-faksi politik
yang telah memilihnya.
3. Lebih akuntabel dibandingkan sistem lain. Karena rakyat tidak harus
menitipkan suaranya kepada legislatif atau ‘electoral college’ secara
sebagian atau sepenuhnya.
4. Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat
lebih seimbang.
5. Kriteria calon proses dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang
akan memberikan suaranya.
−Pemilihan Kepala Daerah
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan
sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung
dengan memilih calon secara berpasangan. Peserta dalam pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan yang
diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Pengertian partai politik dan gabungan partai politik tentu saja

57
partai yang memiliki kursi di legislatif. Yang sekurang-kurangnya 15%
dari jumlah kursi atau 15% dari akumulasi perolehan suara yang sah
dalam pemilihan umum serta memperhatikan pendapat dan tanggapan
dari masyarakat.
Secara umum, sistem pemilihan kepala daerah sama dengan sistem
pemilihan presiden yaitu menggunakan two round system. Namun, yang
membedakan adalah putaran kedua pada pemilihan kepala daerah hanya
dilakukan ketika tidak ada kandidat yang menang 25% pada putaran
pertama.

Pemilu 2009
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
Tahun 2009 (biasa disingkat Pilpres 2009) diselenggarakan untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan
suara diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran
langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan
Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-
Wiranto.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008, pengajuan
pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat tahun 2009 yang memperoleh minimal 20% dari jumlah kursi Dewan
Perwakilan Rakyat atau 25% dari jumlah suara sah nasional. Sebelum masa
pemilihan umum dimulai, sejumlah tokoh nasional telah menyatakan untuk
ikut mencalonkan atau menerima pencalonan diri sebagai Presiden dan Wakil
Presiden 2009-2014.
Tokoh-tokoh tersebut antara lain ialah Susilo Bambang Yudhoyono dari
Partai Demokrat (Presiden Indonesia yang sedang menjabat), Muhammad
Jusuf Kalla dari Partai Golkar (Wakil Presiden yang sedang
menjabat)Pemilihan_Umum_Presiden_dan_Wakil_Presiden_Indonesia

58
_2009.htm - cite_note-3, Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dari
PDIP, Mantan Presiden Abdurrahman Wahid dari PKB, Mantan Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Akbar Tandjung dari Partai Golkar, Mantan
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril
Ihza Mahendra dari PBB, Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal
Mallarangeng dari jalur independen, dan Hamengkubuwono X dari Partai
Golkar (Gubernur Yogyakarta yang sedang menjabat).
Pada kenyataannya, sampai dengan batas akhir masa pendaftaran pada
16 Mei 2009, hanya 3 bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
mendaftarkan keikutsertaannya kepada Komisi Pemilihan Umum. Pada 29
Mei 2009, ketiga bakal pasangan calon tersebut kemudian ditetapkan sebagai
pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta Pilpres 2009, dengan
nomor urut yang ditetapkan keesokan harinya.
Kampanye Pilpres 2009 diselenggarakan pada 2 Juni hingga 4 Juli 2009
dalam bentuk rapat umum dan debat calon (sebelumnya dijadwalkan pada 12
Juni hingga 4 Juli 2009). Materi kampanye meliputi visi, misi, dan program
pasangan calon. Kampanye dalam bentuk rapat umum berlangsung selama 24
hari dalam 3 putaran, mulai dari 11 Juni hingga 4 Juli 2009. Pada setiap
putaran, setiap pasangan calon mendapatkan jatah 8 kali rapat umum di setiap
provinsi.
Debat calon presiden diselenggarakan sebanyak 3 kali, sedangkan debat
calon wakil presiden diselenggarakan sebanyak 2 kali. Total alokasi waktu
untuk setiap debat adalah 2 jam, dengan konten debat 90 menit yang terdiri
dari pemaparan visi, misi, dan program calon selama 7 hingga 10 menit,
pertanyaan oleh moderator dan jawaban calon selama 30 menit, pertanyaan
oleh moderator dan jawaban calon serta tanggapan calon lain selama 30
menit, serta pernyataan penutup dari masing-masing calon selama 5 menit.
Setiap debat diselenggarakan oleh stasiun televisi nasional yang telah
ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Kampanye Pemilihan Presiden Pada tahun 2009 ini hanya dilakukan
satu putaran, namun itu merugikan bagi calon yang lainnya. Ketentuan

59
pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih
dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi
yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia. Dalam hal tidak
ada pasangan calon yang perolehan suaranya memenuhi persyaratan tersebut,
2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dipilih kembali dalam pemilihan umum (putaran kedua). Dalam hal perolehan
suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 pasangan calon,
kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat dalam pemilihan
umum.
Jika perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh
oleh 3 pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua
dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas
secara berjenjang. Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah
yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 pasangan calon, penentuannya
dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas
secara berjenjang.
Saat dilakukan rekapitulasi hasil pada 25 April 2009 yang dilakukan
Komisi Pemilihan Umum, ditetapkan hasil rekapitulasi perolehan suara
nasional Pilpres 2009, di mana memenangkan pasangan SBY-Boediono.
Sempat terjadi pengajuan keberatan oleh dua pasangan calon yang lain ke
Mahkamah Konstitusi, namun tetap memenangkan pasangan SBY-Boediono.
Pilpres pada tahun 2009 sengaja dirancang sedikit berbeda dengan
pilpres sebelumnya. Maksudnya, agar dapat menghasilkan pasangan terpilih
yang mampu menopang sistem presidensial sehingga menjadi lebih efektif.
Diharapkan pasangan terpilih itu memiliki dukungan yang cukup substansial,
baik oleh rakyat secara langsung maupun oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
serta memiliki kemampuan untuk menggerakkan pemerintahan.
Perbedaan nyata pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2009
dengan pilpres sebelumnya :
− Pertama, kualitas kampanye lebih baik. Semua pasangan calon lebih
mengutamakan kampanye untuk menawarkan gagasan atau program di

60
dalam menarik dukungan. Pengerahan massa ini lebih berfungsi sebagai
simbol bahwa pasangan calon itu memiliki dukungan yang cukup besar.
Hal ini berbeda dengan pilpres sebelumnya yang menjadikan pengerahan
massa itu sebagai bagian dari strategi kampanye yang paling penting.
− Kedua, untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilihan presiden, diadakan
debat antar calon presiden dan calon wakil presiden. Melalui "pentas
debat" itu, pemilih bisa lebih mengetahui visi, misi, dan program yang
ditawarkan masing-masing calon. Pemilih juga bisa mengetahui kualitas
calon dari cara mereka menawarkan program dan berdebat.

2.6 Pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di


Indonesia
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia telah mengalami
perubahan sistem. Para masa Orde Lama, Presiden dan Wakil Presiden
diangkat langsung oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia melalui
hasil sidang agenda I, di mana dicantumkan dalam ketentuan pasal III Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketika undang-undang tentang Pemilihan Umum telah dibuat, tujuan
pelaksanaannya hanya untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota. Presiden dan Wakil Presiden biasanya
dipilih melalui partai-partai yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang Istimewa yang digelar.
Setelah adanya perubahan tahap ke-empat terhadap Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pemilihan presiden dan wakil presiden
(pilpres), yang semula dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat, sehingga pilpres pun
dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu
diadakan pertama kali pada Pemilu 2004.
Pemilihan Presiden melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat, itu dapat
dikatakan pemilihan Presiden secara tidak langsung. Dikatakan tidak

61
langsung, dilihat pada partisipasi rakyatnya dalam memilih Presiden dan
Wakil Presiden, di mana saat itu Presiden tidak dipilih langsung oleh
rakyatnya, tetapi melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat,
dari partai-partai yang berhasil memperoleh kursi dalam Dewan Perwakilan
Rakyat. Sedangkan, setelah masuknya pilpres dalam pemilihan umum, maka
untuk pertama kalinya Presiden dipilih langsung oleh rakyatnya. Jadi sesuai
dengan keinginan rakyat.
Sistem yang digunakan dalam Pemilihan Presiden yakni sistem
Proposional dengan daftar terbuka, tetapi pada dasarnya lebih tepat disebut
sistem proporsional yang terbatas.
Ada dua cara Pemilihan Presiden :
1. Tidak langsung
Kelebihan Pemilihan Presiden Tidak Langsung :
1. Biaya bersistem tidak mahal
Kelemahan Pemilihan Presiden Tidak Langsung :
1. Ada demokrasi semu, sebab pemilihan Presiden berada di Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
2. Manuver politik dan pertarungannya hanya elite-elite saja.
3. Komunikasi politik tertutup.
2. Langsung
Kelebihan Pemilihan Presiden Langsung :
Pemilihan Presiden langsung diharapkan akan mengurangi distorsi-distorsi
yang dimasalah-masalah yang dihadapi pada Pemilihan Presiden yang
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Beberapa kelebihan
dari sistim ini ialah :
1. Presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat
karena didukung oleh suara rakyat yang memberikan suaranya secara
langsung. Legitimasi, merupakan hal yang sangat diperlukan oleh suatu
pemerintahan yang sedang mengalami krisis politik dan ekonomi.
Seperti kita ketahui, krisis legitimasi yang telah menggerogoti negara

62
kita telah mengakibatkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang
berkepanjangan.
2. Presiden terpilih tidak perlu terikat pada konsesi pada partai-partai atau
faksi-faksi politik yang telah memilihnya. Artinya, Presiden terpilih
berada di atas segala kepentingan dan dapat menjembatani berbagai
kepentingan tersebut. Apabila Presiden terpilih tidak dapat mengatasi
kepentingan-kepentingan partai politik, maka kabinet yang dibentuk
cenderung merupakan kabinet koalisi partai politik dan bukan kabinet
kerja. Padahal pada masa krisis ekonomi seperti sekarang ini, yang kita
perlukan adalah kabinet kerja.
3. Sistem ini menjadi lebih accountable dibandingkan sistem yang
sekarang digunakan karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya
melalui MPR yang tidak seluruhnya merupakan anggota terpilih hasil
Pemilu. Rakyat dapat menentukan pilihannya berdasarkan kriteria yang
jelas dan transparan. Apabila Presiden yang terpilih ternyata kemudian
tidak memenuhi harapan rakyat, maka pada pemilihan berikutnya,
kandidat yang bersangkutan tidak akan dipilih kembali. Prinsip ini
merupakan prinsip pengawasan serta akuntabilitas yang paling
sederhana dan dapat dimengerti baik oleh rakyat maupun politisi.
4. Checks and Balances antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif
dapat lebih seimbang karena di masa yang akan datang, anggota
lembaga legislatif juga akan dipilih langsung.
5. Kriteria calon Presiden juga dapat dinilai secara langsung oleh rakyat
yang akan memberikan suaranya. Sehingga dapat menciptakan budaya
politik (partisipasi masyarakat).
Kelemahan Pemilihan Presiden Langsung :
1. Biaya demokrasi yang mahal.
2. Rentan hegemoni politik dan konflik.

BAB III
PENUTUP

63
2.1 Kesimpulan
Pada pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia, ada dua sistem
pemilihan umum yang pernah diberlakukan, yakni sistem proporsional dan
sistem distrik. Terutama pemilu pada tahun 2004, diberlakukan sistem
proporsional dengan daftar terbuka, maksudnya rakyat dapat memilih siapa
calon (orang) yang akan dipilih dari suatu partai politik. Jadi, tidak hanya
memilih gambar partainya saja. Pada pemilu periode 2009, sistem pemilihan
yang digunakan juga sama dengan pemilu periode 2004, namun ada sedikit
perbedaan dalam ketentuannya, yakni adanya debat antar calon Presiden dan
calon Wakil Presiden. Selain itu, tujuan pengerahan massa tidak lagi hanya
sebagai strategi penting dari kampanye, tetapi untuk memberi tanda bahwa
pasangan calon itu memiliki dukungan yang cukup besar.
Terdapat dua cara pemilihan Presiden di Indonesia, yakni langsung dan
tidak langsung. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Pemilihan Presiden secara tidak langsung, maksudnya rakyat memilih
calon Legislatif, kemudian dari anggota yang berhasil memperoleh kursi
dalam Legislatif, akan dipilih siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil
Presiden melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi,
rakyat hanya memilih partainya, tidak dapat memilih calon, orang yang
diinginkan menjadi pemimpin Negara. Sistem seperti itu berlaku sebelum era
Reformasi.
Sedangkan sistem pemilihan Presiden secara langsung mulai
dilaksanakan pada pemilihan Presiden periode 2004 dan 2009. Dipilih secara
langsung, maksudnya rakyat tidak hanya memilih partainya, tetapi juga dapat
memilih calon (orang) yang diinginkan, dipercayai untuk menjadi pemimpin
Negara. Dan pelaksanaan pemilihan Presiden seperti itu merupakan bagian
dari pelaksanaan demokratisasi, sebab, negara Indonesia adalah negara yang
menganut paham Demokrasi. Dengan menggunakan sistem pemilihan secara
langsung, maka terbuka peluang bagi rakyat untuk ikut menentukan
Pemimpin bangsa yang diyakini dan dipercayai dapat membawa bangsa

64
Indonesia pada kehidupan yang lebih baik, sehingga jika terpilih, maka
pemerintahan dapat berjalan dengan lancar, sebab adanya kepercayaan yang
diberikan dalam setiap kebijakan yang akan dilakukannya.
Jadi, sistem pemilihan Presiden secara langsung yang lebih baik dan
cocok dengan negara Indonesia, dibandingkan dengan pemilihan presiden
secara tidak langsung, sebab lebih terbuka terhadap rakyat. Masyarakat akan
dapat memilih pemimpin yang betul-betul dianggap kompeten untuk
memimpin negara dan bangsa Indonesia ini ke arah yang lebih baik. Selain
itu, dapat terlaksana demokratisasi dalam negara Indonesia. Adanya
kebebasan hak untuk menyatakan pilihannya (rakyat). Komunikasi politik
benar-benar terbuka dengan luas, semua rakyat dapat berpartisipasi. Ini dapat
mencerminkan bahwa benar di Indonesia rakyatnya yang berdaulat.

2.2 Saran
Sebaiknya sistem pemilihan Presiden secara langsung tetap
dilaksanakan untuk periode pemilihan umum yang berikutnya, serta
pengadaan debat antar calon Presiden dan calon Wakil Presiden tetap
dipertahankan. Agar calon-calon pemimpin yang akan terpilih itulah yang
benar-benar dirasa kompeten dalam masalah kenegaraan dan pemerintahan,
pemimpin yang mengerti rakyatnya. Di satu sisi, akan terlaksanalah suatu
demoratisasi di dalam negara Indonesia.

DAFTAR PUSTKA

65
http://www.pdf-search-engine.com/hukum-tata-negara-html-
pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/hukum_tata_negara.html
http://pemilu.okezone.com/sejarah
http://pemilu.okezone.com/read/2009/07/09/274/237081/pilpres-langsung-ala-
indonesia
http://www.simpul-tangerang.org/dl_jump.php?id=19
http://bs-ba.facebook.com/topic.php?
uid=58675958167&topic=9172&post=93523
http://pemilu.okezone.com/read/2009/07/09/274/237081/pilpres-langsung-ala-
indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Umum_Presiden_dan_Wakil_Presiden_In
donesia_2009
http://www.cetro.or.id/pustaka/ppl4.html
http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=18&fname=ppkn106_04.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
http://blog-indonesia.com/blog-archive-1305-62.html
http://74.125.153.132/search?q=cache:bhfkz2UpDvYJ:www.simpul-
tangerang.org/dl_jump.php%3Fid
%3D17+demokrasi+tidak+langsung&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id

66

You might also like