You are on page 1of 23

Prasangka, Diskriminasi dan Anti Cina

Ya, Tuhan…sedemikian bencinyakan mereka pada Cina ? aku tidak


merasa diriku berbeda dengan mereka … Aku ini orang Indonesia !

Dianttrus Saputra

Kutipan diatas merupakan kata-kata yang meluncur dari mulut tokoh perempuan
Cina dalam dalam sebuah cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, yang berjudul ‘Clara
atawa Perempuan yang di perkosa. ‘Ratapan ini di dasarkan pada kerusuhan 13 – 14 Mei
1998 di Jakarta ynag merupakan malapetaka terbesar bagi warga keturunan Cina.
Pada tanggal 13 Mei 1998, ribuah massa berkumpul di Depan Kampus
Universitas Trisakti untuk menyampaikan duka cita mereka atas tewasnya empat orang
mahasiswa Trisakti yang terlibat bentrok dengan aparat keamanan pada Tanggal 12 Mei
1998. Di dalam kampus, aksi berkabung mahasiswa berjalan dengan tertib dan
mahasiswa dilarang keluar kampus untuk menghindari insiden. Adanya kobaran api dari
truk sampah di perempatan jalan layang pada siang hari, membuat massa berubah brutal
dengan mulai melempari barisan aparat yang memblokir jalan di depan gedung Mall
Ciputra dengan batu, botol dan benda lainnya serta mencabuti dan merusak rambu-rambu
lalulintas maupun pagar pembatas jalan. Rentetan tembakan peringatan dan gas air mata
membuat massa berlari tunggang langgang.
Perusakan dan pembakaran terus menyebar, mulai dari kawasan disekitar kampus
Trisakti. Menjelang sore hari aksi perusakan dan pembakaran melus dan menjauh dari
kampus Trisakti disertai dengan isurasian anti – Cina. Massa mengamuk dengan
membakar dan merusak gedung maupun mobil. Ada isi mobil dijarah oleh massa, rumah-
rumah warga dan sejumlah toko menjadi sasaran. Pembakan gedung, mobil dan
penjarahan toko masih berlangsung pada malam akan tiba. Di kawasan glodok,
pembakaran dilaporkan terjadi sekitar pukul 19.00 WIB, dimulai dengan dibakarnya
pasar perniagaan. Perusakan dan pembakran pada tanggal 13 Mei 1998 ini melanda
kawasan Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara dengan skla dan lingkup yang
berbeda.
Kerusuhan kembali terjadi pada pagi hari, tanggal 14 Mei 1998 dan meluas
hampir keseluruh wilayah Jakarta dan meluas kewilayah-wilayah sekitar Jakarta seperti
Bogor, Tanggerang, Bekasi dan Depok. Kerusuhan pada tanggal 15 Mei 1998 tidak
sehebat hari-hari sebelumnya. Massa penjarah, perusak, pemerkosa dan pembakar yang
mengamuk diseluruh kawasan kota, tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. Keesokan
harinya, kondisi Jakarata mulai pulih dari kerusuhan. Beberapa pedagang kaki lima mulai
menggelar dagangannya di Blok M. dibeberapa ruas jalan masih berserakan bangkai-
bangkai kendaraan yang dibakar massa pada hari sebelumnya. Sejumlah pintu depan atau
dinding toko-toko, perkantoran dan rumah penduduk ada tulisan ‘Milik Pribumi’,
‘Pribumi Asli’, ‘Asli Indonesia’.
Total kerugian fisik kerusuhan 13 – 15 Mei 1998 mencapi sekitar Rp. 2,5 Triliun
yang merusak 40 Mall atau Plaza, 13 Pasar, 1604 toko, 2479 ruko, 12 hotel, 65 kantor
bank, 383 kantor swasta, 24 restoran, 8 bus kota dan metro mini, 1119 mobil, 821 motor,

1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
9 pom bensin, 486 rambu lalulintas, 11 taman, 18 pagar, 1026 rumah penduduk dan
gereja, 2 kecamatan, 11 polsek.

Tim gabungan pencari fakta yang dibentuk pemerintah menyatakan ada lima jenis
korban dari kerusuhan Mei 1998. Pertama, korban fisik dengan batasan pengertian
menderita kerugian bagunan seperti toko, swalayan dan rumah yang dijarah, dirusak dan
dibakar oleh massa. Kebanyakan warga keturunan Cina yang menjadi korban kerusuhan
Mei 1998. Kedua, korban jiwa yakni orang-orang yang tewas pada saat kerusuhan Mei
1998. Ketiga, korban harta benda denngan mencakup pemahaman adanya orang-orang
yang menderita akibat dirusak dan dijarahnya harta benda mereka dalam kerusuhan Mei
1998. Keempat, korban penyerangan seksual mencakup orang-orang yang menderita
secara fisik dan fisikis akibat pelecehan seksual dan pemerkosaan didepan suami, anak
dan keluarganya. Dan kelima, korban kehilangan pekerjaan karena gedung atau toko
tempat kerjanya dirusak, di jarah dan dibakar oleh massa akibat kerusuhan Mei 1998.
Peristiwa pemerkosaan terhadap wanita-wanita keturunan Cina merupakan
tragedy yang paling memilukan dari serangkaian kekejaman kerusuhan Mei 1998. Di
dalam negeri timbul pro dan kontra apakah begitu biadabnya bangsa Indonesia untuk
melakukan pemerkosaan massal. Berita tentang pemerkosaan massal terhadap wanita
keturunan Cina menyebar dengan cepat di luar negeri melalui jaringan internet dan
seluruh dunia menjadi heboh. Gelombang protes dalam berbagai demontrasi terjadi
dimana-mana, mulai dari Manila, Hongkong, Bejing, Boston dan tempat lainnya
membawa poster menyebutkan Jakarta sebagai ‘Ibukota pemerkosaan wanita’.
Tim gabungan pencari fakta dalam laporannya menyebutkan bentuk-bentuk
kekerasan seksual yang ditemukan dalam kerusuhan Mei di bagi dalam beberapa
ketegori, yaitu perkosaan, perkosaan dengan penganiyayaan, penyerangan
seksual/penganiyayaan dan pelecehan seksual. Berdasarkan temuan TGPF jumlah korban
kekerasan seksual adalah 85 orang korban. Seluruh kekerasan seksual ini terjadi di dalam
rumah, di jalan dan di tempat usaha dengan mayoritas terjadi di dalam rumah atau
bagunan. Sebagian besar kasus perkosaan adalah gangrape, dimana korban diperkosa
oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama dan ditempat yang sama.
Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan dihadapan orang lain. Korban kekerasan
seksual kebanyakan diderita oleh perempuan keturunan Cina.
Meledaknya kerusuhan rasial anti Cina dengan sasaran warga keturunan Cina
merupakan puncak dari gunung es kecemburuaan, kedengkian dan mungkin kebencian
sebagian masyarakat yang selama ini ditimbun kebijakan politik Orde Baru karena
masefnya skala kerusuhan dengan korban yang mega besar serta dampaknya yang dasyat
secara sosial, pisikologi, politik dan ekonomi. Kerusuhan Mei 1998 disebut TGPF sebgai
targedi nasional yang sangat menyedihkan dan merupakan aib terhadap martabat dan
kehormatan manusia, bangsa dan negara secara keseluruhan dimata masyarakat
internasional.
Pengusutan terhadap pelaku berikut dalangnya, penyelesaian dan rehabilitasi tidak
ada sampai saat ini. Dengan kata lain negara tidak bertanggung jawab atas peristiwa yang
memilukan. Kerusuhan dengan skala dan dampak yang begitu dasyat, dibiarkan begitu
saja oleh tiga pemerintahan pasca Soeharto. Adanya sentimen anti Cina sebagai masalah
sosial dengan demikian digantung dan dibiarkan menjadi persoalan yang rawan secara
politik.

2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Temuan TGPF menunjukkan bahwa kerusuhan Mei 1998 bukanlah kejadian
bersifat sepontan. Ada pola bersifat massal dan peristiwanya berlangsung parallel
dibeberapa kota yang menunjukkan kerusuhan itu direncanakan. Kerusuhan dilakukan
massal lokal dan pendatang yang dimulai oleh kelompok penghasut. Disana-sini mungkin
saja bersifat sepontan. Pelakunya yang massal dan kejadiaannya yang berlangsung
dibeberapa kota secara parallel menunjukkan kerusuhan ini rencanakan dna terorganisasi.
Selama NKRI ini berdiri belum pernah ada kerusuhan anti Cina seperti itu.
Kerusuhan Mei 1998 terjadi tak bisa dilepaskan dari kesenjangan sosial dan
kesenjangan ekonomi. TGPF melaporkan antara lain, menyebutkan dua akar sosial
penyebab kerusuhan. Pertama, sentimen rasial terhadap golongan etnis Cina. Sentimen
ini disebut laten dan merupakan faktor penyebab dominan yang mudah diekploitisir
untuk menciptakan kerusuhan. Adanya konsentrasi toko-toko dan rumah-rumah golongan
etnis Cina dibeberapa wilayah yang kemudian menjadi sasaran amuk massa. Kedua,
adanya kesenjangan sosial – ekonomi. Tekanan dan kesenjangan sosial ekonomi yang
diperparah oleh kelangkaan bahan pokok yang dialami masyarakat, rawan terhadap
pengekploitasian sehinga melahirkan dorongan-dorongan destruktif untuk melakukan
tindakan-tindakan kekerasan. Mereka yang iktu-ikutan terlibat, dikualifikasikan sebagai
korban dari keadaan dan struktur yang tidak adil. Dan mereka kebanyakan berasal dari
lapisan rakyat yang terbawah.

Kekerasan Sososial

Terlepas dari ada tidaknya seorang dalang yang menggerakkan itu, tidak dapat
diingkari sintemen anti Cina. Bagaimana mungkin meraka itu digerakan kalau tidak ada
sesuatu yang memang dapat bergerak ? sulit dibayangkan ada sekelompok orang yang
memprovokasi massa. Kalau seandainya massa itu sendiri tidak memdam perasaan benci
terhadap orang Cina. Harus ada terlebih dahulu sentiment anti Cina yang cukup pekat
sehingga dapat dipropokasi.
Perasaan semacam itu mempunyai akar panjang, mulai sejak kerusuhan rasial
pertama pada tahun 1740. suatu kejadian yang oleh kebanyakan sejarahwan dianggap
sebagai roda yang pali penting dalam sejarah kota Batavia. Pembantaiaan itu bermula
dari migrasi Cina ke Nusantara terus bertambah selama empat dasawarsa pertama abad ke
– 18, sementara Pemerintah Batavia mengambil sikap ragu. Di satu pihak, orang cina
dibutuhkan karena mereka merupakan pekerja rajin dan trampil di lain pihak sebagai
pedagang, pemberi pinjaman, dan pemilik took, mereka menimbulkan masalah. Meraka
dituduh menghisap masyarakat. Selain itu, akibat sempitnya lapangan kerja, banyak
orang Cina ynag terlibat dalam tindakan criminal.
Pada bulan Juli 1740, Pemerintah Belanda mengambil tindakan yang kurang
bijaksana. Semua imigran Cina gelap ditangkap dan dibuang ke Srilangka dan Tanjung
Harapan untuk diperkerjakan di kebun milik VOC. Kemudian terjadi saling curiga antara
orang Cina dan Belanda sehingga menimbulkan ketegangan dan kegelisahan. Sejumlah
kelompok Cina di sekitar Batavia pada akhirnya memberontak pada minggu kedua bulan
Oktober 1740. Kejadiaan ini menyebabkan Belanda untuk melakukan pembunuhan
terhadap orang Cina secara missal. Korban yang tewas tidak kurang dari 10.000 orang.
Sisanya yang selamat menyebar ke seluruh Jawa.

3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Ada laporan yang menceritakan tantang kejadian itu. Tiba-tiba secara tak terduga
seketika itu juga terdengar jeritan bergema di plosok kota, dan terjadilah pemandangan
kebediaban yang memilukan dan perampokan di segala sudut kota. Tidak peduli pria,
wanita dan anak-anak di serang. Baik kaum wanita hamil maupun bayi tidak luput dari
pembantaian yang tidak mengenal oerikemanusiaan. Ratusan tahanan disembelih seperti
menyembelih domba. Beberapa orang Cina kaya melarikan diri dan mencari
perlindungan pada penduduk bangsa Eropah yang mengabaikan segala prinsip
kemanusiaan, menyerahkan mereka kepada pemburu-pemburu yang haus darah, lalu
menyelewengkan harta milik yang dipercayakan kepada mereka.

Setelah pembantaian massal, orang-orang Cina tidak diperbolehkan kembali


untuk tinggal didalam tembok kota lagi. Mereka kemudian ditempatkan disebelah selatan
tembok tersebut. Sedikit demi sedikit keadaan menjadi tenang kembali dan terjadi
kembali migrasi secara pesat pada abad ke – 19. Pemerintah Belanda memilih tempat
tersebut karena terjangkau oleh peluru meriam milik Belanda. Wilayah itu dikenal
sekarang sebagai Glodok. Selain digunakan sebgai tempat pemukiman, daerah Golodok
juga berkembang sebagai daerah perdagangan.
Pada bulan September 1825, pasukan berkuda di bawah komandan Raden Ayu
Yudakusuma, Putri Sultan pertama Yogyakarta menyerang ngawi yang terletak di sungai
Sala. Pos perdagangan yang diserang itu merupakan tempat pemukiman orang Cina.
Kendati mereka telah membuat barikade didalam rumah-rumah pedagang Cina yang
terkemuka, yang mempunyai daun-daun jendela dan pintu-pintu yang terbuat dari kayu
jati yang kukuh dan kuat. Tetapi tidak banyak artinya terhadap serangan yang
dilancarkan.
Betapapun tindakan itu mengerikan didalam kekejamannya, namun pembantaian
yang terjadi di Ngawi itu, merupakan kejadian yang selalu berulang di seluruh Jawa
Tengah serta disepanjang sungai solo. Ketika kelompok masyarakat Cina yang terisolir
diserang dan orang yang berhasil selamat, menyelamatkan nyawa mereka ke dalam kota-
kota di mana terdapat kesatuan tentara Belanda dan tempat pemukiman orang-orang Cina
yang terletak di pantai utara Pulau Jawa. Bahkan koloni-koloni masyarakat Cina yang
sudah mapan seklipun desa diserang. Kejadiaan diatas menjelaskan betapa kurang
harmonisnya hubungan Cina – Jawa. Tanpa menghiraukan jerit-tangis orang-orang,
perempuan dan anak-anak yang begitu memilukan, maka semua penduduk Cina yang
berada di Ngawi dibunuh. Tubuh-tubuh yang telah dipotong-potong itu dibiarkan
bergelimpangan begitu saja, di muka pintu, di jalan-jalan serta rumah-rumah yang
berlumuran darah.
Sebelum terjadinya perang Jawa setidak-tidaknya dilingkungan istana, terjadi
suatu hubungan yang didasarkan kepentingan bersama dan kerjasama antar kelompok
secara timbale balik yang cukup menonjol. Di lingkungan Istana, orang-orang Cina di
butuhkan sebagai orang-orang yang dapat memberikan pinjaman uang dan mempunyai
kemampuan berdagang. Ada petunjuk terjadi sejumlah perkawinan antara kelompok
sudah berlangsung di atara golongna priyai, Jawa dan orang-orang Cina. Ketrikatan
mereka dengan Istana kerap kali merupakan persyaratan yang harus ada bagi kepentingan
keberhasilan perdagangan mereka di daerah pedalaman oleh karena itulah mereka sendiri
akan selalu berusaha untuk lebih lagi memperkuat ikatan-ikatan yang demikian itu
melalui perkawinan-perkawinan serta hubungan-hubungan pribadi yang lebih dekat.

4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Perang Jawa serta segala sesuatu yang mendahuluinya menandai garis pemisah
antara kedua kelompok masyarakat. Orang Jawa mengatakan bahwa banyak daripada
kegetiran anti Cina serta kecurigaan yang timbul kemudian, bersumber dari pengalaman
yang mereka peroleh selama bertahun-tahun ini, tatkala orang-orang Cina tersebut
semakin hari, di dalam pikiran dan jiwa merek, semakin erat berkaitan erat dengan
kebijaksanaan – kebijaksanaan perekonomian yang dijalankan oleh pemerintah Belanda
yang menindas itu.
Akibat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi, orang-orang Cina menjadi lebih
sadar akan kedudukan mereka yang terbuka serta peka di dalam di dalam lingkungan
masyarakat Jawa it. Pilihan untuk mengadakan asimilasi, kini semakin tidak menarik
kembali. Hak-hak hokum istimewa yang khusus diberikan oleh Belanda kepada mereka
melalui pertengahan abad kesembilan belas dan serterusnya serta pemaksaan yang lebih
keras tentang pembatasan-pembatasan masyarakat majemuk. Cenderung untuk mengiring
orang-orang Cina peranakan secara sadar kepada pengindentifikasi dari mereka dengan
kelompok masyarakat Cina di Jawa.
Ada kesadaran sosial Sarekat Islam telah meningkatkan sensitivitas dalam
menghadapi masalah-masalah kompetisi dengan pengusaha asing dan diskriminasi
menurut garis warna. Dengan landasan kesadaran itu secara mudah aksi kolektif di
mobilisasi sehingga tahun-tahun pertama kehidupan SI ditandai penuh dengan keresahan
yang waktu tertentu meledak menjadi insiden besar.Gerakan SI menjelma menjadi
gerakan anti Cina, sebagaimana terjadi di Kudus pada tahun 1918. Kerusuhan itu
merupakan satu huru-hara anti Cina terburuk yang pernah terjadi Indonesia pada awal
abad ke – 20 ini.
Dalam kerusuhan itu sekitar 50 rumah dihancurkan dan 8 orang Cina di bunuh,
sebagian besar dari antaranya mati karena di bakar. Ada setengah orang Cina penduduk
Kudus ( 2000 orang ) melarikan diri kesemarang. Polisi dan tentara dikerahkan untuk
menumpas perusuh-perusuh itu, di antaranya dua orang terbunuh dan 60 orang terluka.
Dari 75 orang yang ditangkap, 68 orang di intograsi dan kemudian 61 orang mendapat
hukuman selama 9 bulan sampai 15 tahun.
Kejadian itu menghasilkan laporan menurut versi masing-masing. Laporan dari
pihak Islam Kudus menekankan bahwa orang Cina yang menyulut kerusuhan dengan
membawa naga mereka arak-arakan melewati masjid. Sunan kudus dan dengan cara-cara
lainnya menghina agama Islam. Tetapi, kenyataannya lebih penting sudah jelas bahwa
semakin mandalamnya kebencian terhadap orang-orang Cina, dan hanya mencari
kesempatan untuk melepaskannya. Sumber kebencian ini terutama adalah persoalan
ekonomi, dan munculnya industri kretek Cina yang menimbulkan kerugian kepada
industri kretek pribumi kemungkinan besar menjadi penyebab utamanya. Pada pihak lain
laporan Cina menyebutkan ada dugaan keras bahwa usahawan-usahawan santri dalan
industri kretek dan batik dengan sengaja menghasut orang Kudus membenci Cina.
Kebanyakan dari mereka yang dihukum karena ikut ambil bagian dalam kerusuhan itu
adalah warga kota, di antaranya sekitar 20 orang pedagang dan 20 orang kiai.
Sejak kerusuhan di kudus, hubungan kedua belah pihak menjadi lebih baik. Tetapi
kerukunan itu bersifat semu, karena tetap tersembunyi kebencian yang mendalam pihak
usahawan-usahawan Islam terhadap orang-orang Cina, kebencian dapat meledak lagi
dalam bentuk kekerasan pada masa akan datang. Walaupun sering dinyatakan dalam
prasangka, kebencian ini kadang-kadang dapat didasarkan pada pengakuan bahwa orang

5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Cina itu ada dan berhasil sedikit banyak telah mengurangi hubungan di antara golongan-
golongan sosial di Indonesia yang barang kali memperlambat pertumbuhan ekonomi
orang-orang Cina itu sendiri, sebagai golongan minoritas tentu saja tidak dapat menjadi
kaum borjuis yang berkuasa dan pasti tergantung pada kemurahan hati pelindung-
pelindung pribumi yang sangat kuat dalam gelanggang politik. Tetapi, pada waktu yang
sama, dengan keberhasilan mereka dibidnag ekonomi, tetap memperlambat pertumbuhan
golongan menengah pribumi.
Pada tanggal 10 Mei 1963, terjadi perkelahian di kampus ITB, antara sekelompok
mahasiswa pribumi dengan sekelompok mahasiswa keturunan Cina. Menurut keterangan
mahasiswa pribumi yang menajdi sebab perkelahian ialah karena sudah lama terasa ada
ketegangan antara mahasiswa ITB pada umumnya dan para masiswa serta sekelompok
dosen keturunan Cina. Oleh para mahasiswa pribumi, mereka dianggap bersikap
sombong, selalu berkelompok terpisah dari mahasiswa lainnya dan sukamemamerkan
kekayaannya dengan berbondong-bondong naik sepeda motor kalau datang dan
meninggalkan kampus, apa yang menjadi dasar perkelahian berkelompok itu tidak jelas.
Akan tetapi yang menjadi kenyataan ialah bahwa perkelaihiaan itu terjadi pada
pagi hari tanggal 10 Mei, dan siang hari tanggal yang sama sekelompok mahasiswa dan
pelajar pribumi bersama-sama dengan sejumlah besar orang-orang pribumi lainnya
beraksi merusak rumah-rumah dan took-toko beserta isinya, milik penduduk Cina, di
berbagai sudut kota Bandung. Barang-barnag milik penduduk Cina dikeluarkan dari
rumah atau toko oleh segerombolan orang banyak secara beramai-ramai, dan kemudian
dibakar. Kerusuhan missal ini dapat dipadamkan oleh tentara.
Tampaknya emosi anti Cina dari kalangan penduduk pribumi ini dapat sekali
menjalar ketempat-tempat lain dimana terdapat pemusatan pemukiman dan usaha
penduduk keturunan Cina. Sebelum dan sedah kejadian kerusuhan missal anti Cina di 10
kota, yaitu berturut-turut di Tegal, Bandung, Sumedang, Bogor, Tasik Malaya, Garut,
Sukabumi, Surabaya, Cianjur, dan yang terakhir di Yogyakarta.
Intensitas, jangka waktu, serta luas daerah kerusuhan missal yang terjadi
dimasing-masing kota ini berbeda. Hal ini sebagain besar tegantung kesaip-siagaan
pasukan-pasukan keamanan di tiap-tiap kota dan kecematan mereka bertindak setelah ada
tanda-tanda pertama yang memberikan indikasi akan terjadi di masing-masing kota itu
berbeda.
Bila diteliti unsur-unsur sosiologis yang tampak pada kerusuhan massal yang
terjadi di sepuluh kota yang berjauhan letaknya maka pertama-tama dapat dilihat bahwa
kerusuhan missal itu dilakukan secara aktif oleh segerombolan orang-orang yang praktis
semuannya dari keturunan pribumi terhadap para penduduk setemat keturunan Cina.
Selanjutnya tampak jelas bahwa semua itu terjadi di kota-kota dimana terdapat
permusatan pemukinan serta usaha penduduk keturunan Cina. Pola kerusuhan massal
tidak banyak berbeda di berbagai kota itu. Mula-mula ada perselisihan antara beberapa
orang keturunan Cina. Kemudian dengan amat cepat sekali meluas menjadi tindakan-
tindakan kekerasan gerombolan besar yang terdiri dari orang-orang keturunan pribumi
sebagai mayoritas terhadap para penduduk keturunan Cina sebagai minoritas. Ada pun
yang amat mengherankan ialah bahwa kerusuhan rasial itu dapat menjalar dengan cepat
nya kekota-kota lain di Jawa.
Sesudah peristiwa G 30 S, sentimen anti Cina muncul dimana-mana. Sampai
batas-batas tertentu ini merupakan suatu ungkapan permusuhan terhadap RRT yang

6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
diproyeksikan secra tidak pandang bulu kepada orang-orang Cina. Dalam minggu-
minggu pertama setelah peristiwa G 30 S tampak ada tiga keluhan yang diarahkan pada
RRC. Pertama, Kedutaan Besar RRT di Jakarta tidak mengibarkan setengah tiang sebagai
tanda turut berduka cita atas terbunuhnya para jenderal. Kedua, Radio Peking terus
mengadakan provokasi terhadap revolusi Indonesia. Ketiga, Pers Indonesia melaporkan
bahwa telah diketemukan granat tangan dan senapan ringan buatan RRC di Pelabuhan
Tanjung Priok, yang diselundupkan di antara material untuk proyek CONEFO.
Penbunuhan massal yang terjadi sebagai epilog atas terbunuhnya para Jenderal,
golongan Cina terkena relative ringan. Sejumlah orang Cina yang menjadi anggota PKI
sebagai bagian dari pembunuhan massal pada umumnya, tetapi pembunuhan orang Cina
karena mereka Cina adalah lebih bersifat sporadis dan kurang sistematis.
Tetapi pada umumnya sentimen anti Cina yang paling Khas bukanlah
pembunuhan, kekerasan terhadap orang atau penahanan tetapi lebih mengarah pada
pengrusakan harta milik, seperti misalnya perampasan, perampokan, pembakaran toko,
sekolah, rumah dan mobil. Hal ini tidak berarti bahwa bentuk-bentuk kekerasan lain tidak
terjadi atau penduduk Cina tidak berada dalam ketakutan terus-menerus bahwa hal-hal
seperti itu bisa terjadi. Ke khawatiran orang-orang Cina cukup merata, dan juga bisa di
mengerti. Pembunuhan massal terhadap orang komunis masih segar dalam ingatan
mereka dan rupanya sentimen anti Cina yang diungkapkan secara terbuka semakin
mencuat, gangguan administratif yang mengarah kepenarikan uang perlindungan, dan
tuntutan-tuntutan yang menggema agar dilakukan berbagai macam aksi terhadap orang
Cina, yang berkisar dari pembatasan ekonomi sampai pengusiran massal. Suatu
pembunuhan massal yang terorganisir, yang anti Cina tentulah tampak sebagai
kemungkinan yang menyeramkan.
Pokok persoalan sentiment anti Cina selama periode ini dapat didekati dengan
suatu pendekatan dengan menganalisa sifat peristiwa yang bersangkutan dan
mempertimbangkan, sebagai mana adanya, tema dari ledakan tertentu. Masalahnya
dengan pendekatan ini adalah bahwa peristiwa-peristiwa sentimen anti Cina sering kali
tidak terbatas pada satu tema saja tetapi juga pada satu campuran dari tema-tema
semacam itu. Ada empat tema yang bisa menjelaskan peristiwa itu. Pertama, kekerasan
adalah bagian dari kampanye umum anti komunis yang tidak dapat dipisahkan. Tema
kedua adalah dimana kekerasan anti Cina berkaitan dengan demontrasi yang menentang
RRT. Tema ketiga ialah dimana pemerintah setempat berusaha untuk melaksanakan
peraturan anti Cina. Tema yang terakhir yang mungkin bisa dinamakan kekerasan anti
Cina yang murni, pada saat kekerasan itu timbul secara spontan, atau yang lebih biasa
terjadi, ditirunya anti Cina yang terjadi di tempat lain, tetapi tanpa ciri-ciri yang
menyertai tipe-tipe terdahulu.
Ketika Soekarno yang dijadikan kambing hitam atas kekacauan yang terjadi
selama ini telah di copot dari jabatannya dan ditempatkan dalam tahanan, tetapi inflasi
masih terus berlanjut. Tentu saja orang masih dapat menuntut agar dirinya diajukan ke
pengadilan, tetapi suatu kecenderungan yang wajar adalah mencari kambing hitam yang
lain. Disamping itu, kesatuan-kesatuan aksi mungkin memerlukan suatu pokok persoalan
baru agar para anggotanya di mobilisasi dan dengan demikian dapat mempertahankan
daya gerak yang telah mereka capai dalam hari-hari penuh ketegangan sebelum tanggal11
Maret 1966. RRT dan orang Cina cocok sekali untuk keperluan itu. Mereka dengan
mudah dapat di percaya sebagai wakil ancaman komunis, kolone ke lima dan penyabot

7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
ekonomi. Ada keuntungan tambahan bahwa mereka merupakan sasaran yang relatif tidak
punya pertahanan. Golongan Cina yang tidak punya sarana perlindungan yang kelihatan.
Karena alasan itulah, maka saatnya tiba kekawatiran orang Cina itu sendiri, ketika tempo
serangan terhadap gedung-gedung diplomatik dan konsuler RRT ditingkatkan, sekolah-
sekolah Tiongkok dirampas dan ditutupi, dan masalah hubungan dengan RRT serta
kedudukan orang Cina Indonesia menarik perhatian yang sangat besar di arena politik
Indonesia.
Ketika kampanye terhadap RRT dan orang Cina asing meningkat, golongan Wali
keturunan Cina makin mendapat tekanan untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada
Indonesia. Pada Tanggal 15 April 1967, sekitar 50.000 orang Cina Indonesia berkumpul
di Lapangan Banteng, Jakarta. Mereka mengajukan pernyataan kesetiaan mereka kepada
Indonesia, dengan tegas mengutuk segala campur tangan masalah dalam negeri
Indonesia, dan berseru kepada pemerintahan Indonesia untuk memutuskan hubungan
diplomatic dengan Peking. Mereka juga menuntut penututupan untuk seterusnya semua
sekolah Cina asing di Indonesia dan menyatakan diri mereka sepenuhnya setuju jika
warga negara RRT ingin kembali ke Tiongkok. Setelah rapat umum, banyak diantara
kaum demonstran bergerak ke dutaan besar RRT dimana mereka memecahkan pintu
gerbang, menghadirkan peralatan kantor dan melukai sejumlah orang staf kedutaan.
Ternyata banyak orang Indonesia merasa bahwa banayk pernyataan dan rapat
umum itu semuanya baik, tetapi tindakannyalah yang penting. Kalau golongan Cina
masih mempertahankan eksklusifisme di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Kalau
mereka yang menjadi warga Negara Indonesia dengan diam-diam setia kepada Tingkok
dalam hati mereka. Kalau mereka terus meningkatkan harga barang dipasar yang
memang mereka kuasai, maka pernyataan-pernyataan kesetiaan dan rapat umum itu
hanya sandiwara saja.
Setelah masa dua tahun setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, kekerasan
anti Cina sangat meluas seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya, meliputi ledakan-
ledakan kekerasan di pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan, tetapi kekerasan itu
tidak terus menerus selama kurun waktu itu. Tahun-tahun itu merupakan memperburuk
bagi orang Cina Indonesia. Stigma-stigma lebih melekat pada diri mereka di kemudian
hari.
Suatu insiden lain adalah Peristiwa Surabaya tanggal 21 Oktober 1968. kerusuhan
itu muncul dari suatu demontrasi KAPPI untuk memperotes digantungnya dua orang
mariner Indonesia di singapura atas kegiatan atas kegiatan yang mereka lakukan beberapa
tahun sebelumnya selama konfontrasi Indonesia-Malaysia, yang telah mendapat
persetujuaan sebelumnya dari Kodam Brawijaya, merosot menjadi suatu pengruskan atas
hak milik orang Cina. Mobil, Sepeda Motor, bahkan becak dihentikan, dibalikkan dan
dibakar, toko dan rumah di dobrak dan isinya dilempar kejalanan dan dibakar,
pengrusakan itu berlanjut sepanjang hari sampai jam malam diberlakukan ketika malam
tiba.
Kerusuhan itu menyebabkan 98 mobil, 176 sepeda motor dan skuter, 4 bemo, 48
becak dan 650 sepeda dirusak. Kerusakan juga menimpa pada 71 rumah dan 444 toko,
bersama dengan perabotan dan barang daganganny, disamping 9 pabrik. Ada tujuh
anggota PKI yang ditahan setelah demontrasi tersebut, dan para penguasa menyatakan
bahwa pimpinan KAPPI-lah yang merencanakan pengerusakan itu, dengan mendaftarkan

8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
tempat-tempat yang akan dirusak sebelumnya. Apapun kejadiaannya, para penguasa
membekukan semua kegiatan KAPPI cabang Surabaya.
Ketidak senangan pribumi terhadap keberhasilan usaha yang semakin
berkembang mencapai puncaknya dalam huru-hara yang pcah di Jakarta selama
kunjungan Perdana Mentri Tanaka pada bulan Januari 1974. huru-hara itu pada
permukaannya merupakan suatu pernyataan permusuhan terhadap penetuan ekonomi
Jepang yang semakin besar, tetapi perasaan anti Cina yang mendasarinya adalah nyata
dalam dihancurkan toko-toko Cina dipsat perbelanjaan senen yang baru dibangun.
Bermula dari demontrasi mahasiswa yang berubah menjadi huru-hara tak terkendali,
dipelopori terutama oleh para pemuda dan anak-anak dari daerah kumuh Ibu kota.
Mereka itulah yang membakar mobil-mobil Jepang dan lain-lain, menghancurkan etalase
gedung importer Toyota Astra Motor Company, menyerang pabrik Coca Cola dan pada
hari berikutnya membakar serta merampok kompleks pertokoaan Senen yang besar itu.
Jakarta menjadi kota yang kacau balau selama peristiwa Malari ( Malapetaka Lima Belas
Januari ).
Sampai sekarang tidak ada penjelasan lengkap yang bisa dibuat dari potongan
fakta-fakta. Sebagai berikut,; demontrasi para mahasiswa yang menentang strategi
pemerintah terhadap penanaman modal asing, korupsi dan untuk keadilan; pandangan
bahwa Jendral Soemitro mempunyai ambisi kekuasaan (dia dipensiunkan setelah
ketenangan dipulihkan); pandangan bahwa apa yang dinamakan Opsus (Operasi Khusus)
yang dikepalai Jendaral Ali Moertopo (dianggap Jendral yang paling politis) terlibat
dalam satu atau lain cara.

Kenyataan yang terjadi ialah bahwa dalam tahun 1974 adaalah suatu masa dimana
poliran muncul antara para mahasiswa dengan Jenderal Soeharto. 11 mahasiswa
melayang, 17 orang luka berat, 120 orang luka ringan, 775 orang di tahan, 807 mobil dan
187 motor di bakar.
Kejadian ini, bersama dengan kritik yang berlanjut mengenai peranan Cukong
Cina, menyebabkan di keluarkannya keputusan Presiden No. 14 tahun 1979 yang
memberikan perlakuan istimewa dalam berbagai sektor ekonomi kepada kelompok
‘ekonomi lemah’. Keputusan ini di susul dengan keputusan Presiden No. 14 A tahun
1980. Bagi suatu usaha untuk dapat di golongkan sebagai kelompok ekonomi lemah (a)
modalnya haruslah sekurang-kurangnya 50 persen milik pribadi, (b) lebih separuh dari
dewan direksinya haruslah pribumi, dan (c) modalnya haruslah kurang dari Rp. 25 juta
dalam usaha perdagangan atau tidak lebih dari Rp. 100 juta dalam perusahaan kontruksi
atau usaha industri. Juga ditetapkan bahwa para direktur pribuminya haruslah aktif, tidak
boleh hanya pajanga belaka.

Cina dan Kolonialisme

Jauh sebelum bangsa Barat menemukan rute pelayaran mengitari The Cape of
Good Hope lebih dari 400 tahun yang lalu, bangsa Cina telah datang ke pulau-pulau di
Laut Selatan untuk mencari rempah-rempah dan komoditas lainnya. Mereka datang
hanya sebagai pedagang atau kaum musafir yang pergi setelah urusannya selesai kembali

9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
tanpa ada kiat untuk menetap secara permanen. Namun, pada akhirnya banyak dari
mereka, dengan berbagai alasan, memutuskan untuk tetap tinggal dan menetap.
Pada tahun 1622 Gubernur VOC JP Coen, dalam rangka memenuhi kebutuhan
tenaga kerja, mengirim kapal-kapal ke pantai Cina Tenggara untuk membawa orang-
orang Cina ke Batavia. Ada yang suka rela datang tetapi tidak sedikit yang datang karene
di culik. Mereka didatangkan untuk mengisi daerah pemukiman baru itu dengan tenaga
kerja, pedagang, nelayan, petani, buruh perkebunan dan perajin.
Gubernur JP Coen menempuh segala macam cara untuk bujuk orang-orang Cina
dari wilayah manapun juga. Tetapi peperangan yang terjadi pada tahun 1650 di Propinsi
Fujian menyebabkan pengungsian besar-besaran di Asia Tenggara, dan meningkatkan
populasi penduduk orang Cina di Nusantara.

Mereka yang datang membawa istri, menikahi perempuan lokal yang kebanyakan
dari kaum budak Bali, Makasar dan Jawa, dan selanjutnya mereka membentuk komoditas
sendiri. Hasil asimilasi ini kemudian melahirkan kelompok masyarakat yang biasa di
kenal dengan istilah Cina Peranakan dan ini yang kemudian berkembang dan menetap di
Indonesia.
Pada abad ke-19 para perantau Cina tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi
juga kaum wanitanya, bahkan dengan seluruh keluarganya. Dengan demikian jumlah
orang Cina perantauan ini makin banyak dan proses asimilasi yang tadinya sering
dilakukan oleh orang Cina perantauan dengan penduduk setempat menjadi kurang,
bahkan akhirnya menutup diri dan membentuk golongan tersendiri lengkap dengan
kehidupan tradisionalnya. Mereka inilah yang disebut Cina Totok.
Mengenai kehidupannya, kaum Totok lebih suka bekerja untuk dirinya sendiri
dan sebagian besar berkecimpung dalam bidang usaha. Peranakan yang telah beraneka
ragam bidang pekerjaannya, menunjukkan bahwa mereka suka pekerjaan kejuruan dan
administrasi atau staf di perusahaan besar. Pemilihan bidang pekerjaan ini mencerminkan
perbedaan yang menyolok dalam orientasi nilai. Totok lebih menghargai kekayaan,
kehematan, kerja, kepercayaan pada diri sendiri dan keberanian dari pada kaum
Peranakan. Sedangkan kaum Peranakan lebih menghargai kenikmatan hidup, waktu
senggang, kedudukan sosial dan perasaan terjamin dari pada kaum Cina Totok.
Di kota besar atau kecil manapun di Jawa, kaum Totok berkumpul di daerah pusat
perdagangan dengan ciri khas tinggal di rumah-rumah yang merupakan toko dan
sekaligus juga tempat tinggal seperti yang juga terdapat di kota-kota Tiongkok Tenggara.
Sebaliknya kaum Peranakan tersebar lebih luas di seluruh kota dan tinggal di rumah-
rumah yang tidak asal bisa ditinggali saja. Mereka menunjukkan kesukaan akan rumah
bergaya Arsiktur Barat yang modern.
Adanya hokum yang membagi penduduk kedalam tiga golongan yang berbeda-
beda yakni golongan Eropa, Timur Asing, Golongan Pribumi. Tiga golongan ini memiliki
hak-hak hukum dan hak-hak istimewa yang juga berbeda-beda, dan pada umumnya,
orang Cina sebagai golongan Timur Asing mempunyai kedudukan yang lebih
menguntungkan dibandingkan penduduk pribumi. Maka dari itu, asimilasi dengan
penduduk pribumi akan menurunkan status sosial dan menyebabkan mereka kehilangan
beberapa hak istimewa dalam hukum. Bahkan sekaligus ada keinginan untuk
berasimilasi, politik pemerintah Belanda semakin mempersulitnya. Sistem perkampungan
yang mengharuskan orang Cina bermukim di kantong-kantong kota tertentu. Telah

10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
diperhebat dan kini pun mereka di haruskan memperoleh surat jalan apabila mereka
hendak melakukan perjalanan keluar. Contoh ini memberikan gambaran umum
bagaimana pemerintah kolonial Belanda dengan giat menghalagi etnis itu. Orang Cina
diharapkan berpakaian sebagaimana biasanya orang Cina berpakaian dan memakai kuncir
dan merupakan pelanggaran kriminal apabila tampil di muka umum berpakaian seperti
orang Eropa atau penduduk pribumi.
Kebijaksanaan memisahkan kelompok-kelompok dan lebih mudah bagi Belanda
untuk mengenali orang Cina dari pakaiannya, tempat pemukimannya, dan tanda-tanda
yang mudah dikenali yang ada pada mereka. Tidak ada prosedur yang dilembagakan
yang memungkinkan seorang penduduk Cina dapat melepaskan diri dari golongan Cina
dan menjadi penduduk pribumi. Politik Belanda barang kali, memainkan peranan sekali
dalam memastikan bahwa suatu masyarakat Peranakan yang mantap terbentuk dari
keturunan imigrasi Cina dan bahwa imigrasi ini tidak terserap oleh penduduk pribumi.
Kebijaksanaan pemerintahan Belanda terhadap orang Cina makin berkembang
sehingga mereka dapat menempati suatu posisi perantara penting yang di sebut Wertheim
sebagai ‘struktur kasta penjajahan’ yang berdasarkan atas sistem stratipikasi sosial
dimana orang Cina berada di antara lapisan bawah mayoritas orang Indonesia dan lapisan
atas, yaitu orang Eropa. Mereka terlibat khususnya sebagai pengumpul pajak sehingga
mempunyai kesempatan untuk menjalankan pemerasan terhadap rakyat, mengusahakan
pengadaan, memonopoli garam dan perdagangan candu yang dilaksanakan atas nama
pemerintahan Belanda. Dari kedudukan penting tersebut memungkinkan mereka
memperluas jaringan kontak perdagangannya menjadi pemberi pinjaman uang, pedagang
besar dan pembeli bahan-bahan pokok guna pasaran ekspor, meskipun mereka hanya
berhasil mendapat sedikit jalan ke arah sektor kehidupan ekonomi yang dikuasai oleh
orang-orang Belanda, misalnya perkebunan, impor – ekspor, perdagangan secara besar-
besaran dan perbankan sampai berakhirnya penjajahan.

Posisi orang Cina sebagai perantara malah semakin di perkuat dengan


diperkenalkannya Sistem Tanam Paksa tersebut. Ketika industri bangkit di Eropa Barat,
para produsen mencari pasar bagi barang-barang yang diproduksi secara masal. Di lain
pihak, wilayah koloni memasokkan bahan-bahan mentah yang dibutuhkan industri yang
dikembangkan di Eropa Barat itu, yang tidak terhindarkan adalah kenyataan bahwa
penduduk pribumi tidak memiliki sarana transportasi untuk membawa hasil produksi
mereka kepada pembeli. Sehingga apa yang penduduk jual kepada pihak Eropa, mereka
jual melalui orang Cina, dan apa yang penduduk beli dari pihak Eropa, mereka beli lewat
tangan orang Tionghoa.
Tanam Paksa dan peran perantara yang diserahkan kepada pengusaha Cina itu
tidak saja memiskinkan massa-rakyat pribumi, tetapi sesungguhnya juga mampu
mempora-porandakan kerukunan tradisional yang ada selama ini. Peran sebagai pedagang
perantara memungkinkan golongan Cina untuk terus berkecimpung dalam bisnis dan
distribusi kebutuhan sehari-hari yang juga di kontrol oleh pemerintah. Sejumlah bukti
menunjukkan betapa runyamnya hidup sehari-hari akibat siasat diskriminatif seperti itu
akhirnya menghasilkan kebiasaan cara berdagang yang penuh untuk, saling curiga dan
tidak trasparan. Selain semata-mata karena golongan Cina memang terampil berdagang,
pemberian preivilese sebagai ‘perantara’ kepada golongan Cina sebenarnya juga demi
kepentingan lain dari penguasa kolonial. Penguasa kolonial sadar dan percaya bahwa

11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
lebih sedikit resikonya untuk memberikan kekuasaan ekonomi ketimbang diserahkan
kepada golongan pribumi.
Sebenarnya para pejabat Belanda merasa iri pada kedudukan ekonomi orang Cina
yang kuat dan merasa cemas hal ini akan membahayakan ekonomi perkebunan, tetapi
mereka tidak berani mengakuinya secara terang-terangan yang mereka katakan ialah
bahwa posisi kuat orang Cina itu disebabkan oleh sifat boros dan kebiasaan buruk orang-
orang pribumi, dan karena itu mereka mendesak agar orang-orang pribumi diselamatkan
dari cengkraman lintah darat dan di beri bimbingan.
Meskipun para pejabat Belanda menggangap orang Cina sebagai iblis bagi
penduduk desa Jawa, mereka sadar sepenuhnya bahwa orang Cina diperlukan untuk
mempertahankan struktur pajak kolonial dan memberi nilai tambah pada perdagangan
Belanda. Orang Cina mengangkut barang-barang yang di Import dari Negeri Belanda dan
negara Eropa lainnya kedaerah pedalaman dan membawa produk-produk pedalaman ke
kota-kota dan pelabuhan kolonial. Lagi pula, bagian dari pajak kolonial yang penting
tergantung pada penyerahan tugas pemungutan pajak dan pemberian hak-hak monopoli
kepada orang-orang Cina kaya.
Sebenarnya orang-orang Cina hanya diperbolehkan hidup di kota-kota yang
mempunyai pemukiman yang telah disediakan khusus bagi mereka. Ketika pembatasan
itu dijalankan tanpa ampun pada tahun 1830, banyak orang Cina yang tinggal
dipedalaman di paksa pindah ke kota seperti itu dengan meninggalkan usaha, rumah, dan
milik mereka lainnya di tempat mereka tinggali. Beberapa orang Cina lebih memilih
berasimilasi dengan penduduk setempat ketimbang meninggalkan milik mereka dan
pindah ke kota-kota baru. Ada laporan yang menunjukkan bahwa berlangsungnya sistem
tanam paksa, kebijakan untuk memaksa orang Cina untuk pindah ke kota cukup sering
dilakukan, yaitu setiap kali hak pemungutan pajak di ambil alih oleh pemerintah, dan
orang Cina tidak diperlukan lagi untuk melaksanakan tugas ini di daerah pedesaan.
Dengan memberlakukan UU Agraria tahun 1870, di dalam usaha memberikan
perlindungan kepada warga pribumi dan imbas politik ekonomi leberal hanya
menempatkan mayoritas penduduk pada posisi pasif di tengah-tengah aktifitas ekonomi
swasta/Eropa. Penduduk pribumi tetap menjadi petani dengan standard hidup yang
rendah, yang bilamana membutuhkan pendapatan tambahan, mereka hanya menyewakan
tenaga sebagai buruh yang dibayar dengan murah.
Politik etis yang dimaksudkan untuk meningkatkan tarap hidup penduduk
pribumi, ternyata tidak berhasil. Pendidikan yang diharapkan membuka lapangan kerja
baru ternyata sering tidak tertampung dalam penempatan kerja. Pendidikan sebagai
produk politik etis hanya memasokan tenaga buruh murah dari Jawa untuk kebutuhan
perkebunan-perkebunan besar diluar Jawa. Karena koloni diperlakukan hanya sebagai
pemasok bahan mentah sekaligus pasar bagi barang-barang produk Eropa Barat, maka
kebijakan politik seperti ini tidak menciptakan kapital pribumi. Dari segi ini, idealisme
humanitarian dari politik etis dalam prakteknya tidak selaras dengan politik ekonomi
kolonial. Apabila program pembaruaan sama sekali tidak membawa perubahan struktur
sosial – ekonomi masyarakat Indonesia.
Kebijakan politik Belanda yang humanitariaan itu di targetkan untuk
meningkatkan tarap hidup rakyat sekaligus juga diarahkan untuk memotong peran
ekonomi orang Cina di koloni. Sebenarnya ada upaya serius dari pemerintah kolonial
untuk melikwidasi basis ekonomi etnis Cina ini berhasil bertahan dari usaha-usaha

12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
likuidasi ini, perkembangan etnis Cina ini kemudian, dalam stratifikasi sosial
masyarakat, menjadi bagian dari kelompok-kelompok menengah. Disinilah posisi etnis
Cina dilihat sebagai suatu hambatan bagai proses kolonialisme Belanda. Selain gagal
memenuhi fungsi mereka sebagai pemasok keuntungan, kalangan etnis Cina ini menajdi
terlihat menonjol, setara dengan Aristokrat pribumi. Politik etis memang kalau disebut
sebagai politik hutang Budi. Sebab apa yang dimaksudkan dengan program
meningkatkan tarap hidup penduduk yang telah menjadi korban ‘penghisapan’ adalah
tidak lain cuci tangan pemerintah kolonial terhadap apa yang selama ini dipraktekkan.
Adanya undang-undang kewarganegaraan yang dikeluarkan pada tahun 1910
mengundnag kericuhan diplomatik dengan RRT. Pemberiaan status Nederlandsch
onderdaan kepada orang Cina yang lahir koloni, yang disebut kaum pranakan,
dimaksudkan untuk mencegah kaum peranakan Cina tidak terperangkap jaring intervensi
RRT. Dalam menghadapi intervensi RRT, pemerintah Hindia Belanda mencoba
mengasingkan kelompok peranaka dari pada kaum totok. Sekolah-sekolah Belanda
dibuka untuk anak-anak kaum peranakan baik di kota-kota besar maupun di kota-kota
kecil yang penting, yang mengarahkan orientasi peranakan ditanah kelahiran mereka di
koloni Hindia-Belanda, memaksakan status kawula Belanda kepada mereka dan memikat
peranakan untuk berpartisipasi dalam vokstraad adalah usaha-usaha yang membuat kaum
peranakan secara politis, sosial dan budaya mereka makin berbeda dengan kaum Totok.
Pemihakan pemerintah Hindia Belanda terhadap kaum peranakan Cina tidak
hanya memperlebar jurang perbedaan dengan kaum Totok, tetapi juga mengundang sikap
permusuhan dari kaum pergerakan nasionalis Indonesia. Hubungan yang tidak harmonis
semakin tajam sesudah tahun 1930-an ketika gerakan nasionalisme berpaling kepada
Jepang sebagai sumber inspirasi, semtara orang Cina anti Jepang. Tidak heran jika masa
pendudukan Jepang di Indonesia menambah beban penghidupan orang Cina.

Bom Waktu dan Diskriminasi

Undang-undnag dasar 1945 menyebutkan bahwa semua warganegara


berkedudukan sama di depan hukum dan bahwa pemerintah menjamin hak-hak mereka
tanpa membedakan asal usul rasial. Tetapi dengan diperkenalkan Sistem Benteng terjadi
tindakan diskriminatif pertama dalam bidang ekonomi terhadap orang Cina. Dalam bulan
April 1950, mentri kesejahtraan Juanda, mengumunkan bahwa pemerintahan Indonesia
akan melindungi para importir nasional Indonesia agar dapat bersaing dengan importir
luar negeri. Para importir nasional yang dimaksudkan adalah para importir pribumi
Indonesia atau perusahaan import yang 70 persen dari modalnya dimiliki pribumi.
Perlindungan diberikan dalam bentuk perlakukaan istimewa untuk para importir itu
adalah memberikan kredit, ijin dan keistimewaan untuk mengimport barang tertentu.
Sistem tersebut diperkenalkan dengan maksud untuk mendorong perkembangan
kelas Wiraswastawan pribumi Indonesia. Yang dapat dimulai dengan dengan menghadapi
masalah-masalah perdagangan barang import yang relatif sederhana dan dari sini meluas
ke usaha-usaha lainnya. Tindakan diskriminatif ini mendapat protes dari warga negara
Indoensia keturunan Cina kendati pun demikian Perdana Mentri Ali Sastro Amidjojo
(1953) tetap melanjutkannya. Protes-protes yang dilaksanakan terus menerus oleh kaum

13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Cina serta karena kegagalan sistem itu sendiri, pemerintah Indonesia kemdiaan
menghentikan secara resmi pada tahun 1954.
Sistem Beteng tidak mencapai tujuaannya, karena terletak pada kekurangan
pengalaman orang pribumi, kuatnya oposisi dari orang Cina, dan berlangsungnya inflasi
terus-menerus memaksa pemerintah mengadakan penilaiaan kembali atas program
tersebut. Sistem itu telah mengakibatkan timbulnya ‘ importir – importir Aktentas ‘ yang
adalah orang Indonesia asli yang tidak punya harta benda lain kecuali aktentasnya
sebagai kantor. Satu-satunya tujuan para importir itu adalah untuk mendapatkan izin
memiliki alat pembayaran luar negeri (foreign exchange) sedang mitra Cina mereka
(mitra diam) lah yang menjalankan perusahaan. Kerjasama antara pemegang izin ynag
pribumi dari Cina Indonesia terkenal dengan sistem Ali Baba, dan hal itu banyak orang
pribumi dianggap sebagai hal yang tidak adil dan merugikan karena orang Cina
menerima bagian terbesar dari labanya, sedangkan orang Indonesai asli yang pakai
sebagai ‘yang maju kedepan’ tidak mendapatkan apa-apa dalam hal pengalaman
berusaha.
Kebijaksanaan lain yang berpengaruh terhadap orang Cina dengan dikeluarkannya
peraturan yang mengatur penguasaan pengilingan beras oleh pemerintah. Kabinet Ali
Sastro Amidjojo I. Peraturan tahun 1954 bertujuaan untuk pengalihan pemilik dari orang
Cina kepada pribumi. Praturan itu menyatakan bahwa tidak akan diberikan izin baru
untuk usaha penggilingan beras yang ada harus dipindah tangankan kepada warga negara
Indonesia, yaitu mereka yaitu mereka yang tidak mempunyai kewarganegaraan lain
kecuali Indonesia. Karena pada waktu itu warga negara Indonesia keturunan Cina secara
teknis masih berkewarganegaraan ganda, peraturan tersebut mengena juga kepada
mereka. Tindakan diskriminatif, sebagaimana sistem banteng, mendapat tanggapan kritis
dari masyarakat Cina. Dalam bulan september 1954, Mentri Prekonomian Ishak
Tjokrohadisuryo (PNI) mengumumkan bahwa peraturan tersebut hanya diturunkan
kepada orang asing.
Selain usaha mempribumikan perusahaan pengilingan beras, juga dikeluarkan
peraturan yang tujuaanya mempribumikan fasilitas pelabuhan dalam kabinet Ali Sastro
Amidjojo (1954) peraturan itu menentukan bahwa usaha bongkar muat, angkutan
pelabuhan, dan pergudangan pelabuhan harus meminta izin baru yang akan diberikan
kepada warga negara Indonesia asli. Pempribumiaan fasilitas pribumi hanya
menguntungkan pimpinan partai-partai besar dalam peemrintahan, karena hanya
merekalah yang dapat mengambil alih fasilitas tersebut melalui persatuaan usaha
pergudangan.
Keberhasilan terbatas dari pempribumian disektor swasta menimbulkan ketidak
senangan dan prustasi tersebut tercetus dalam suatu kampanye yang terkenal Gerakan
Assaat. Assaat, seorang politisi yang beralih menjadi pengususaha, mengorganisasi suatu
kampanye di awal 1956 untuk mendesak pemerintah memberikan pengutamaan dalam
urusan kepada orang pribumi. Mereka mengajukan alasan bahwa pemerintah kononial
Belanda telah membuat golongan Cina kuat di bidang ekonomi dan golongan pribumi
lemah. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban untuk menghilangkan sisa kononialisme
ini. Gerakan ini mendapat dukungan terutama dari Masyumi, tetapi mayoritas pemimpin
Indonesia segan memberikan dukungan secara terbuka karena kemungkinan akan
membahayakan perekonomian Indonesia serta karena bertentangan dengan semangat
UUD bahwa setiap warga negara menpunyai hak dan kewajiban yang sama.

14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Suatu keadaan gawat yang nyaris mencelakakan seluruh kedudukan orang Cina
asing di Indonesia telah di percepat dengan adanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan
pada bulan November 1959. peraturan Presiden No. 10 menyatakan bahwa orang asing
tidak diperbolehkan berusaha di bidang perdagangan eceran dan oleh hukum diwajibkan
untuk mengalihkan perusahaan mereka kepada warga negara Indonesia sebelum 1 Januari
1960. peraturan tersebut mengatakan bahwa orang asing itu masih diperbolehkan tinggal
di daerah tersebut kecuali jika komandan militer setempat menetapkan lain dengan alasan
keamanan. Peraturan Presiden No. 10 menandai suatu penyimpangan dari strategi
sebelumnya dalam usaha mengurangi kekuatan ekonomi Cina dalam anti bahwa larangan
tersebut hanya berlaku terbatas pada pedagang Cina asing. Ini mungkin didasarkan pada
pertimbangan bahwa tujuan yang diinginkan mungkin tidak akan tercapai bila dikenakan
pada semua orang Cina.
Banyak orang Cina setempat yang tidak mau menutup usaha mereka karena
sedikit saja orang Indonesia yang mempunyai modal yang cukup untuk mengambil alih
usaha mereka. Keenganan mereka itu boleh jadi juga di dorong oleh harapan bahwa
pemerintah Indonesia mungkin tidak akan memaksakan berlakunya undang-undang
tersebut juga ada kemungkinan bahwa para pejabat kedutaan RRC menyuruh orang Cina
itu melanjutkan saja usaha mereka seperti biasa. Meskipun demikian banyak juga warga
negara Indonesia keturunan Cina, khususnya kaum peranakan yang mendudukung
berlakunya PP-10 karena mereka tidak terkena aturan tersebut. Di samping itu mungkin
pula mereka di dorong oleh prasangka terhadap kaum Totok serta melihat bahwa itu
merupakan suatu sarana untuk menunjukkan kesetiaan mereka pada bangsa Indonesia dan
untuk menyelamatkan diri sendiri. Di Jawa Barat, ketika orang-orang Cina asing menolak
untuk mengungsi dari pedesaan, maka para pejabat militer menjadi marah dan lalu
menggunakan kekerasan untuk memaksa mereka mematuhi peraturan-peraturan itu.
Perundingan diplomatik menjadi macet selama hampir 8 bulan, dan sengketa antara orang
Indonesia dan Cina ini menyebabkan hubungan Indonesia – Tiongkok menurun sampai
titik terendah. Pada bulan Desember 1954, telah di mulai repatisasi orang-orang Cina
yang ingin menghindari situasi yang memburuk itu, dan dalam setahun kira-kira 96.000
orang telah tiba di RRC.
Peristiwa yang berlarut-larut ini menunjukkan dengan jelas betapa lemahnya
kedudukan orang Cina asing yang sekarang tinggal di Indonesia. Pertama-tama, hal itu
menunjukkan bahwa orang Cina itu memang sedikit temannya di dalam struktur
kekuasaan Indonesia yang baru. Kedua, kejadian itu menunjukkan terbatasnya
keefektifan kekuatan Peking di Indonesia. Ketiga, peristiwa ini memperlihatkan dengan
jelas kepada orang Cina asing bahwa repatisasi masal inextremis tidaklah bisa dilakukan
dan sebenarnya juga tidak diinginkan.
RRC tidak dapat menyerap membanjirnya Cina yang pulang dari perantauan itu
dalam perekonomian negaranya. Di samping itu, RRC menyadari bahwa kepergian begitu
banyak Cina secara tiba-tiba akan mengakibatkan memburuknya perekonomian
Indonesia. Selanjutnya hal itu akan berakibat melemahnya kekuasaan Soekarno dan
kuatnya kedudukan militer yang sebagian besar anti-RRC. Dengan maksud memperbaiki
kerja sama anti imperialisme di Asia, RRC menerima tindakan diskriminatif Indonesia
dengan cara mengurangi gencarnya kampanye melawan Indonesia. Soekarno yang
menyadari bahayanya melanjutkan kampanye anti-Cina baik bagi perekonomian negara
maupun bagi tegaknya kekuasaannya, berhasil meredamkan tindakan anti Cina. Namun

15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
PP-10 tidak dicabut, hanya implementasi selanjutnya hanya ditangguhkan untuk
sementara. Peking yang sadar akan pekanya kedudukan Cina asing di Indonesia, dan
kesulitan mereka menyesuaikan diri di daratan Cina lalu mendorong orang Cina untuk
mengambil kewarganegaraan Indonesia.
Setelah peristiwa G 30 S/1965, para Cina perantauan dianggap bertanggung jawab
atas apa yang dituduhkan sebagai peranan RRT dalam peristiwa kelabu itu. Pearsaan anti-
Cina melambung tinggi dan orang-orang Cina mengalami masa yang sulit. Mula-mula
serangan ditujukan kepada orang Cina secara umum, tetapi dalam perkembangannya
serangan kemudian dipusatkan pada orang Cina Asing. Penguasa daerha mengambil
tindakan masing-masing terhadap mereka. Misalnya pada awal tahun 1967 para penguasa
militer di Jawa Timur dan sebagian Sumatra melarang orang Cina asing untuk berdagang.
Pada tanggal 7 Juni 1967, suharto mengeluarkan Surat Edaran “Kebijakan Pokok
Penyelesaian Masalah Cina “ yang secara eksplisit menyangkut etnis Cina asing dan
kaitannya dengan RRC. Dalam Surat Edaran itu dinyatakan bahwa“ etnis Cina WNA
yang beritikad baik akan diberikan jaminan keamanan dan perlindungan, kepemilikan
dan usahanya “. Akan tetapi, mereka yang akan terbuat kejahatan atau terkait dengan
tindakan subversif akan dihukum atau diusir dari Indonesia.
Disamping itu, tidak mengijinkan berdirinya sekolah Cina dan mewajidkan anak-
anak Cina untuk bersekolah disekolah lokal, baik milik pemerintah maupun swasta.
Pemerintah hanya mengijinkan organisasi orang Cina WNA yang berkecimpung dibidang
keagamaan, kesehatan, pemakaman, olah raga, dan rekreasi Etnis Cina WNA dapat
mengajukan permohonan kewarganegaraan, asalkan memenuhi persyaratan yang berlaku.
Dan yang terakhir, hubungan diplomatik dengan RRC akan diregulasikan sesuai dengan
kepentingan nasional.
Surat Edaran ini kemudian ditindak lanjuti lewat keputusan Presiden yang
dikeluarkan pada bulan Desember 1967 dan ditujukan bagi etnis Cina WNI. Dalam
Kepres ini Soeharto menyatakan bahwa peemrintah tidak akan membedakan perlakuan
etnis Cina asing dan Cina WNI. Keduanya diberi hak dan kesempatan yang sama untuk
mendayagunakan modal kapital mereka untuk mempercepat proses pembangunan dan
untuk meningkatkan kemakmuran serta kekayaan negara.
Untuk menghindari eksluvitas rasial, pemerintah memilih untuk
mengasimilasikan orang-orang Cina lewat pemutusan hubungan budaya dengan negeri
leluhur mereka. Proses asimilasi ini mewajibkan orang-orang Cina untuk mengganti
nama mereka menjadi Indonesia, melarang penerbitan berbahasa Cina, kecuali Harian
Indonesia yang diterbitkan oleh pemerintah, membatasi kegiatan keagamaan hanya di
dalam lingkup keluarga, melarang penggunaan bahasa Cina itu dimuka umum dan tidak
mengijinkan pagelaran perayaan hari besar tradisional Cina dimuka umum.
Di bidang ekonomi pemerintah Soeharto memiliki keinginan untuk memobilasi
dan memanfaatkan modal etnis Cina WNA dengan memasukkannya dalam kategori
‘modal asing dalam negeri’ dan menyatakan sebagai kekayaan nasional. Dalam UU No.
1/1967 tentang Penanaman Modal Asing disebutkan bahwa ada tiga macam modal yang
mau digalang, yakni modal asing, modal asing domestik dan modal domestik. Dua yang
terakhir, umumnya dimiliki oleh para pengusaha golongan Cina.
Ada tiga sebab yang menyebabkan rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer
memilih modal golongan etnis Cina sebagai komponen pembentukan modal dalam
negeri. Pertama secara kultural golongan Cina perantauan telah sangat akrab dengan

16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
dunia bisnis. Dunia bisnis dan komersial bisa dikatakan sudah menjadi ‘tradisi’ di
kalangan etnis Cina perantauan. Kedua, para pengelola kekuasaan yang sebagian besar
adalah pejabat militer memiliki pengalaman dalam kerjasama bisnis dengan golongan
Cina. Krakter sosial golongan Cina mudah disiasati oleh penguasa menjadi sasaran
kebijakan dan sekaligus memberikan keuntungan pribadi. Ketiga, ekonomi Indonesia
dirancang oleh para teknokrat yang hendak menata ekonomi secara rasional. Ditinjau dari
perfektif rasional adalah masuk akal bisa penyertaan modal Cina dalam perjalanan earah
kapitalisme menjadi hal yang paling menguntungkan. Dalam pandangan para teknokrat,
modal Cina diperlukan selama periode transisi sebelum para penguasa tumbuh karena
injeksi investasi kapital besar-besaran.
Lingkungan usaha di Indonesia di tambah denngan undang-undang dan praktek
diskriminatif terhadap Cina menyebabkan orang Cina memandang bahwa kerjasama
dengan orang pribumi yang berkuasa merupakan cara terbaik untuk mendapatkan
perusahaan yang bisa mendapatkan keuntungan. Kaum minoritas Cina memiliki landasan
politis yang lemah dan posisinya rawan. Mitra Cina merasakan mendapatkan
perlindungan ekonomis melalui kerjasama itu, walaupun itu tidak berlaku bagi
masyarakat pengusaha Cina pada umumnya. Kendatipun demikian, cukong-cukong
itupun masih mengalami tekanan budaya, sosial dan politis yang sama dengan Cina
Indonesia yang lain.
Aliansi anatar pengusaha etnis Cina, pejabat dan investor Jepang itu mengundang
sejumlah kecaman terhadap kebijakan ekonomi Orde Baru. Berbagai media mulai
memberitakan tentang Cukong dan praktek bisnisnya di mana para cukong dikritik
karena mereka banyak mendapatkan kontrak-kontrak dan lisensi bisnis dan kemudian
kredit sebagai imbalan atas dukungan dana atau pembagiaan keuntungan kepada para
pejabat.1
Memasuki pertengahan tahun 1973, kritik atas praktek bisnis dan perdebatan atas
kebijakan ekonomi itu berkembang menjadi protes terbuka oleh kaum intelektual dan
mahasiswa. Protes ini terbuka ini secara lugas pengecam praktek aliansi etnis. Cina-
Militer-Investor Jepang yang merupakan sumber korupsi. Ini diikuti dengan demontrasi
mahasiswa menetang Aspirasi (Asisten Pribadi Soeharto) yang dituduh mengambil
keuntungan dari hubungan mereka dengan para Cukong dan juga para investor Jepang.
Rangkaian demontrasi ini akhirnya meledak dalam kerusuhan Malari 1974. Dalam
peristiwa itu perotes anti Aspri, anti Cina dan Anti Jepang berubah menjadi pengrusakan
dan penghancuran toko-toko etnis Cina dan produk-produk Jepang.
Penggunaan istilah “pribumi” dan “non pribumi” yang diprakarsai oleh
Aminuddi Azis dan H.E. Kowara, ketua dan wakil ketua Forum Swasta Nasional pada
Juni 1974 bisa dilihat dari kelanjutan dari sistem anti Cina. Penggunaan istilah ini diikuti
dengan lahirnya sebuah organisasi bisnis bernama Himpunan Pengusaha Pribumi
Indonesia (HIPPI) yang berdiri dibawah KADIN. HIPPI didirikan dengan tujuaan untuk
melindungi pengusaha pribumi, dan penggunaan istilah “non-pribumi” memang
disengaja sebagai kritikan terhadap pengusaha etnis Cina.
Untuk mengurangi ketegangan semacam itu, pemerintah soeharto mengeluarkan
kebijakan baru yang pada dasarnya untuk memberdayakan pengusaha pribumi
1
Cukong adalah istilah Cina (Hokkien) yang berarti majikan, tetapi di Indonesia istilah itu digunakan untuk
menunjuk pengusaha Cina yang trampil, yang berkerjasama secara erat dengan mereka yang sedang
berkuasa, khususnya militer sebagai perantara.

17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
kebijaksanaan ini antara lain, misalnya, di dalam repelita II dicantumkan bahwa kredit
investasi dari Bank negara, seperti kredit investasi kecil (KIK), Kredir Modal Kerja
Permanen (KMKP) dan Kredit Usaha Kecil (KUK) hanya akan diberikan kepada
pengusaha pribumi. Beberapa tahun kemudian, lewat Kepres No. 14 tahun 1979 yang
kemudian disempurnakan oleh Kepres No. 14 A/1980, pemerintah soeharto menyatakan
bahwa seluruh departemen dan intitusi pemerintah harus memberikan kontrak proyek
senilai sampai dengan Rp. 100 juta kepada “usaha golongan lemah”. Sementara, usaha
golongan ekonomi lemah di defenisikan sebagai sebuah perusahaan yang 50 %
kepemilikannya berada ditangan pribumi.
Walaupun ada aturan seperti Kepres 14, secara keseluruhan, pengusaha etnis Cina
ternyata lebih banyak yang tumbuh dan menjadi besar. Salah satu penyebabnya, adalah
aturan itu hanya membantu sebgaian pengusaha pribumi, terutama mereka yang hanya
memiliki hubungan dengan kekuasaan atau memang sudah memiliki aliansi dengan
pengusaha etnis Cina. Alhasil, porsi kepemilikan di sektor swasta memang masih
ditangan pengusaha etnis Cina.
Perkembangan bisnis etnis Cina di dalam negeri dari tahun ke tahun semakin
meningkat dan berkembang dari bidang perdagangan ke bidang manufaktur. Mereka
banyak mwnguasai sektor industri manufaktur seperti makanan dan minuman, tekstil,
kimia, produk-produk metal dan produk-produk konsumsi pengganti barang impor yang
menyerap tenaga kerja. Dan, pada awal tahun 1990-an kita mulai melihat munculnya
beberapa perusahaan konglomerasi seperti Salim Group, Darmala Group, Sinar Group,
Sampoerna Group dan lain-lain.
Munculnya konglemerat Indonesia yang begitu pesat menimbulkan kekhawatiran
bahwa konglomerat bisa membuat Indonesia terjerembab kedalam sistem ekonomi kartel
trust. Ada pula kekhawatiran dan kecurigaan bahwa telah terjadi ada kesepakatan
tersembunyi antara pengusaha dan penguasa. Ini bisa terlihat dari kenyataan bahwa
begitu sektor swasta di beri peranan yang lebih besar dibidang ekonomi, maka yang
menjadi besar adalah yang itu-itu saja. Peranan yang lebih besar dari para pengusaha bisa
menimbulkan dampak politik, yaitu pengusaha bisa menguasai penguasa atau pengusaha
mendikte kebijakan pemerintah. Tujuan utama kehadiran konglemerat itu buat
menumpuk keuntungan pribadi dan bukannya buat kemakmuran seluruh bangsa.
Konglemerat yang mempunyai kecenderungan mencaplok perusahaan menengah dan
kecil. Apabila konglomerat sudah menguasai 40 persen pangsa pasar, maka konglomerat
sudah termasuk kategori yang membahayakan kepentingan umum.
Disamping itu, Soeharto sendiri mengumpulkan seluruh konglemerat etnis Cina
diperternakannya di Tapos, Bogor. Dalam pertemuan itu Soeharto meminta kepada
seluruh pengusaha besar tersebut untuk “ menyerahkan “ 25 persen sahamnya koperasi.
Ini adalah salah satu usaha dari pemerintah Orba untuk mencoba meredam anti-
konglomerasi. Akan tetapi, melalui Labbejing secara diam-diam para konglemerat yang
sebagian besar adalah etnis Cina berhasil mencapai kesepakatan untuk hanya
memberikan 1 persen sahamnya pada koperasi.
Perkembangan dan pertumbuhan etnis Cina juga tak lepas dari tarik-menarik
kebijakan pada masa Orba. Hanya saja tarik menarik ini lebih pada tingkat retorika
politik dari pada penerapan kebijakan yang non-diskriminatif. Salah satu bentuk dari tarik
menarik retoris ini adalah penggunaan-penggunaan istilah antara lain, pribumi-non

18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
pribumi, pengusaha kuat-pengusaha lemah, pengusaha besar-pengusaha kecil, yang pada
dasarnya memang membedakan antara etnis Cina dan pribumi.
Dengan kata lain, pengusaha etnis Cina memang sengaja dilemparkan dalam
posisi rawan. Di satu pihak, mereka dijadikan sapi perahan ‘dalam anti di biarkan tumbuh
besar dan kemudian dalam setiap kesempatan mereka dipergunakan sebagai salah satu
sumber finansial yang sangat potensial. Sedangkan di pihak lain. Etnis cina juga
diposisikan secara diskriminatif lewat kebijakan-kebijakan ‘asimilasi’ pemerintah Orba
yang cenderung artifisial dan merupakan penjinakan kultural. Sehingga etnis Cina
memang mudah menjadi sasaran dalam setiap kerusuhan dan secara ekonomi juga
menjadi ‘kambing hitam’ dari kegaglan pemerintah mengatasi masalah kesenjangan
sosial, kemiskinan dan pemberiaan kesempata usaha yang sama, tidak hanya terbatas
pada kroni pengusaha semata. Artinya, untuk kepentingan usaha dan keamanan usaha,
pengusaha etnis Cina, memang harus selalu adatif terhadap sistem pemerintahan ataupun
sistem usaha yang ada. Sepanjang pemerintahan Orba, adaptabilitas ini memang banyak
terwujud lewat produk KKN. Dan hal semacam ini kemungkinan akan berlanjut terus,
sepanjang kebijakan zaman Orba masih terus dipertahankan, dan etnis Cina sendiri masih
memilih untuk menerima kebijakan semacam itu.

Penutup

Setidak-tidaknya ada tiga gugus kebijakan Orba terhadap golongan etnis Cina.
Pertama, stigmatisasi dengan diberlakukan larangan memakai kata “Tionghoa” dan
menggantinya dengan kata “Cina”. Dengan memperkenalkan kata itu, yang ingin
dikatakan bahwa mereka adalah golongan yang tdiak disukai, yang layak menjadi sasaran
amarah dan kebencian. Mereka dijadikan ‘stigma’ dalam masyarakat, karena mereka
mempunyai semua cap buruk : tidak patriotis, eksklusif, tidak sosial dan memupuk
kekayaan. Kedua, Marjinalisasi, yang dianggap sebagai konsekuensi logis dari tahap
stigmatisasi. Karena mereka jahat, maka harus dijauhkan. Dikeluarkan serangkaian
kebijakan yang menetapkan agar golongan Cina keluar dari lingkaran tengah masyarakat-
masyarakat. Misalnya, sistem kuota dalam persekolaan dan larangan segala aktifitas
kebudayaan Cina. Ketiga, Viktimisasi, yang bermaksud menjadikan golongan etnis Cina
sebagai “binatang korban”. Kebijakan ini tidak dirumuskan dalam sebuah dokumen
hukum tetapi dipraktekkan secara luas. Misalnya, dlam meminta sumbangan yang lebih.
Dilingkungan RT/RW orang Cina selalu di tuntut untuk menyumbang lebih. Dan semua
tindakan pemerasan dalam urusan dengan birokrasi.
Indonesia telah meratifikasi konvensi Internasional tentang segala penghapusan
segala bentuk Diskriminasi rasial pada tahun 1999, melalui UU No. 29/1999, namun
Indonesia belum menyusun undang-undang anti diskriminasi karena itu, berbagai praktek
diskriminasi rasial sebagai produk hukum masih tetap berlanjut, sehingga negara masih
meneruskan perannya sebagai “sponsor utama” diskriminasi sosial.
Keluarnya kepuutusan Presiden No. 6/2000 disambut sebagai penegasan kembali
komitmen pemerintahan Abdurachman Wahid tentang pluralisme bangsa Indonesia
seperti yang digagas para pendiri republik ini. Hal positif dari peemrintahan
Abdurachman Wahid adalah berhembus angin segar kebebasan. Angin segar itu harus

19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
ditangkap sebagai membuka peluang kebangkitan kembali pluralisme dalam kesetaraan
tanpa diskriminasi.
Kepres itu membangkitkan semangat “keceriaan” muncul kembali lewat ekspresi
kebudayaan, kelanjuttannya apa yang sudah ada sebelumnya pantas Cina. Kedua-duanya
menunjukkan terbukanya kesempatan semua kelompok memberikan kontribusi bagi
perjalanan hidup bangsa ini. Seiring dengan kesetaraan posisi sebagai warga bangsa,
tanggung jawab masyarakat Cina pun semakin besar.
Tentu saja dibutuhkan kerja keras dan komitmen yang tinggi dari berbagai pihak :
tidak saja pada tingkatan individu. Dan harus disadari bahwa diskriminasi tidak selalu
terjadi dari mayoritas terhadap minoritas, bisa sebaliknya Orang Cina harus menyadari
hal itu, sebab banyak orang pribumi merasa mendapat perlakuaan diskriminatif dari orang
cina.

Daftar Pustaka
20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
A. Mode Tony Supriatna, ‘Bisnis dan Politik : Kapitalisme dan Golongan Tionghoa di
Indonesia,’ dalam lembaga Studi Realino, hal. 64 – 90.3

Budi Susanto, ‘Rekayasa Kekuasaan Ekonomi (Indonesia 1800-1950) : Siasat Penguasa


Tionghoa’, dalam Lembaga Studi Realino, Penguasa Ekonomi dan Siasat
Pengusaha Tionghoa, Yogyakarta : Kanisius, 1996, hal. 11-22.

Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
1994.

Dianttrus Saputra, ‘Marginalisasi Perempuan Cina (Tionghoa) Di Indonesia”, Jurnal


Perempuan, No 27, 2001, hal. 87 – 102.

E. Shobirin Nadj, ‘Problematika Segregasi Sosial dan Upaya Membangun Politik


Kewarganegaraan, ‘ dalam Andreas Pardede et. al, Antara Prasangka dan realita.
Telah Kritis Wacana anti Cina di Indonesia. Jakarta : Pustaka Inspirasi, 2002, hal.
99 – 118.

Eddy Prabowo Witanto, ‘Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah. Kajian Historis


Pemukiman Etnis Cina di Indonesia, ‘ dalam I. Wibowo, hal. 191 – 121.

G. William Skinner, ‘Golongan Minoritas Tionghou, dalam Mely G. Tan, Golongan


Etnis Tionghou di Indonesia. Suatu masalah pembenaan kesatuan bangsa.
Jakarta : PT. Gramedia, 1981, hal. 1-25.

Hariman Siregar, Hati Nurani Seorang Demonstran, Jakarta : PT. Mantika Media
Utama, 1994.

I Wibowo, ‘Pendahuluaan”, dalam I Wibowo, 1999, hal. IX – XXXI.

Kwik Kian Gie dan B.N. Marbun, Konglomerat Indonesia. Permasalahan dan Sepak
Terjangnya. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1990, hal. 7-10.

Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa : Industri Rokok
Kudus. Jakarta : Sinar Harapan, 1982, hal. 101 – 113.

Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta : PT. Grafiti Pers, 1984, hal. 134-
140.

Mona Lohanda, ‘Masalah Cina Dalam Perjalanan Sejarah Indonesia’, dalam Andreas
Pardede et. al, hal. 49-76.

21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
N. Noranto, ‘Kebijakan Terhadap Bisnis Cina di Masa Orde Baru,’ dalam I Wibowo
(Editor). Ketiospeksi dan Kekontekstualisasi. Maslah Cina. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 1999, hal. 50 – 74.
Onghokham, ‘Kapitalisme Cina di Hindia Belanda’, dalam Yoshihara Kunio (ed,
Konglomerat Oei Tiong Ham. Kerajaan Bisnis Pertama di Asia Tenggara.
Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal. 80-112.

Onny S. Prijono, ‘Latar Belakang Sosio Historis Kelompok Keturunan Cina di


Indonesia’, Analisa 1984 – 1989, hal. 715 – 729.

Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina (1755 – 1825 ), Jakarta : Pustaka Azet,
1985, hlm. 7 – 13.

Rene L. Pattiriadjawane, ‘Peristiwa Mei 1998 di Jakarta : Titik Terendah Sejarah etis,
‘dalam I.

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional.


Dari Kolonilaisme Sampai Nasinalisme, Jilid 2, Jakarta : Pt. Gramedia, 1990, hal.
106 – 111.

Selo Soemardjan, ‘ Penggunaan Kekerasan Secara Massal, ‘ Prisma, No. 7, Agustus


1978, hal. 14 – 25.

Sjahrir, Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok. Sebuah Tinjauan Prospektif. Jakarta : LP3ES,
1986, hal. 130.

Wibowo, Harga yang Harus dibayar. Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. 213 – 252.

Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia 1998, hal. 123 –
132.

22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com

You might also like