You are on page 1of 18

Soekarno, Islam dan Negara

Warisilah Api Islam dan jangan kita warisi abunya !


Galilah Api Islam

Soekarno

Hubungan agama dan negara adalah tema yang selalu menarik perhatian untuk
didiskusikan, dan senantiasa menimbulkan kontroversi perdebatan itu menjadi
menarik bukan saja dari sudut akademis, tetapi juga dari sudut kepentingan.
Kontroversial karena adanya pandangan yang paling bertolak belakang dan tak
mungkin dipadukan. Menjelang tahun 2000 telah terjadi pedebatan mengenai
hubungan agama (Islam) dan negara. Ada yang tidak dapat dibangun dengan
penguasaan pandangan sekelompok orang mengenai agama mayoritas di suatu negara,
sedangkan yang lain melihat bahwa penegakan syariat agama bukanlah penghalang
dari tegaknya sebuah demokrasi. Di satu sisi berbicara mengenai hak seluruh orang
atau kelompok dalam membangun negara, sedangkan yang lain berbicara mengenai
hak kelompok mayoritas yang tentunya memiliki kepentingan yang lebih kompleks
dan menjaga agar tidak terpinggirkan oleh kelompok minoritas.
Issue politik yang diperdebatkan pada esensinya tidak banyak bergeser dari
apa yang diperdebatkan Soekarno dan Natsir. Tidak begitu banyak issue-issue baru
yang muncul. Kalau pun ada sesuatu yang baru dalam perdebatan itu, hanyalah
menyangkut fakta-fakta yang dipakai untuk meneguhkan argumentasinya. Adanya
perdebatan dari dulu sampai sekarang berarti belum tuntasnya persoalan bagaimana
hubungan dan posisi agama (Islam) dalam negara Indonesia. Dan menjadi bukti kuat
bahwa dari sisi ideologis, konfigurasi dan polarisasi kekuatan politik di Indonesia
sejak zaman dahulu hingga sekarang tidak berubah signifikansinya.
Sebenarnya dikalangan Islam sampai sekarang terdapat pada tiga aliran
tentang hubungan antara Islam dan negara. Pertama, menyatakan bahwa Islam adalah
suatu agama yang serba lengkap. Sistem ketatanegaraan atau politik ada didalamnya
dan oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali pada kepada
sistem ketatanegaraan Islam. Sistem politik Islami yang harus diteladani adalah sistem
yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad dan oleh empat Al-Kulafa Al-
Rasyidin. Kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat,
yang tidak ada hubungannnya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi
Muhammad hanyalah seorang rasul bisasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya,
dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia
dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan
untuk mendirikan dan mengepaki satu negara. Ketiga, menolak pendapat bahwa Islam
adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem
ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama
dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antar manusia dan sang
Pencipta. Aliran ini berpendirian bahwa Islam tidak terdapat sistem politik tetapi
terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 1
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Mengenal Ajaran Islam

Soekarno kecil dibesarkan dari keluarga yang tidak memberi pengajaran


agama Islam yang sesungguhnya. Ia mulai mengenal dengan ajaran Islam ketika
Soekarno remaja yang melanjutkan studi di HBS, tinggal di rumah Tjokroaminoto
Tokoh Sarekat Islam itu dalam memberikan pendidikan agama Islamterutama untuk
membaca Al-Quran dengan cara mendatangkan guru ke rumahnya. Tentunya
Soekarno terlibat di dalam kegiatan mengaji. Kendati Tjokroaminoto tampaknya tidak
mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Islam ,setidak-tidaknya jika
dibandingkan dengan para ulama yang mendirikan gerakan pembaruan agamayang
sebenarnya. Tetapi dari Tjokroaminoto inilah Soekarno memperoleh pengetahuan
tentang Islam.
Di kota Surabaya ini, Soekarno mulai berkenalan dengan pendiri
Muhammdiyah, kiai Achmad Dahlan, yaitu pada waktu diadakannya tabligh di dekat
rumah Tjokroaminoto. Maka sejak itu, Soekarno mulai tertarik dengan Achmad
Dahlan dan akhirnya mendorong Soekarno untuk selalu menghadiri rabligh-tabligh
Dahlan di tempat lainnya. Ketertarikan Soekarno pada Achmad Dahlan karena apa
yang dilakukan oleh tokoh pembaru Islam itu berisi sesuatu yang selama ini dicari
Soekarno, yaitu regenaration dan rejuvenation yang artinya adalah kebangkitan
kembali dan peremajaan Islam. Tjkroaminoto dan Achmad Dahlan telah membuka
wacana baru dirinya dalam pembacaan terhadap nash-nash ajaran Islam dengan
pemahaman yang baru.
Ketika Soekarno belajar di THS, Bandung, ia berkenalan dengan A. Hasan,
tokoh Persatuan Islam (PERSIS). Dari perkenalan sering terjadi percakapan antara
keduanya mengenai berbagai masalah dan tak kurang pula dibicarakan masalah
agama. Dari percakapan itu ada kesan bahwa Soekarno tadinya tidak banyak mengerti
masalah-masalah agama Islam, namun percakapan itu cukup membuka hatinya.
Walaupun terjadi perdebatan antara Soekarno dengan A. Hassan mengenai Islam dan
Nasionalisme, hubungan antara keduanya tidak pernah renggang. Mereka selalu
menganggap sebagai kawan yang selalu menjadi lawan polemiknya.
Pada umumnya pengetahuan Islam Soekarno didasarkan atas buku Lothrop
Stoddard, The New World of Islam – dimana “dunia baru”-nya lebih menarik
perhatiannya daripada Islam itu sendiri. Namun demikian, perasaan dasar keagamaan
pada diri Soekarno pada waktu itu tidak bisa diabaikan. Umpanya ia melukiskan PNI
sebagai “bersikap netral terhadap agama,” tidak dalam pengertian orang-orang
komunis, yang sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan, melainkan dengan maksud
untuk memungkinkan semua aliran kepercayaan menjadi anggota partai itu.
Ketika Soekarno dijebloskan dalam penjara Bancey Bandung pada tanggal 28
Desember 1929 sebagai bagian dari penangkapan besar-besaran yang dilakukan
Belanda yang mulai gelisah melihat kebangkitan nasionalisme , sebagai orang yang
mencintai kemewahan dan jesenangan, Soekarno merasakan sebagai sebuah
pengalaman yang menghancurkan. Pada saat itulah Soekarno mulai merasa perlu
mempelajari Islam dengan baik.

‘Dikala tahun 1929, saya dipenjara, saya dimasukkan ke dalam sel yang berlapis
empat pagar dinding gelap, ya, gelap, kecuali ada sinar yang datang dari celah-
celar jendela yang kecil. Di malam hari, saya lihat bintang gemerlapan diatas
langit. Terlebih air mataku, teringat saya kepada zat yang membuat alam semesta
ini. Titikan air mataku, menembus alam jiwaku. Di sinilah pertama kali jiwaku
insaf akan agama. Hatiku berhasrat sekali mempelajari agama, dengan membaca

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 2
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
berbagai kitab-kitan agama yang tipis-tipis, yang diterbitkan oleh perhimpunan-
perhimpunan Islam.
Ahmad Hassan dan anggota-anggota Persatuan Islam lainnya sering
mengunjungi Soekarno untuk memberikan banyak buku serta brosur tentang Islam
kepadanya. Soekarno nampaknya amat reseptif kepada orang-orang Persis itu, dan
khusus kepada Hassan menaruh rasa hormat mendalam. Bagi Hassan sendiri,
Soekarno perlu terus menerus didakwaku, diperkenalakan dengan ajaran Islam. Dan
tentu saja disadari oleh Hassan bahwa Soekarno tidak menjadi pemimpin yang
berpengaruh.
Tindakan keras pemerintah Hindia Belanda yang kedua terhadap aktivitas
politik Soekarno setelah dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931 adalah
pembuangan keberangkatan Soekarno menuju Endeh, Flores, pada tanggal 17
Februari merupakan perjalanan menuju kesepian. Baginya, yang sudah terbiasa
menjadi pusat perhatian umum, keberangkatan dari pulau Jawa itu merupakan
pendahuluan dari apa yang dirasakan dalam kehidupan yang sunyi sepi yang
menantikannya. Bersama-sama dengan kesunyian lahir, ia juga menderita kesunyian
batin: pujaan orang-orang Jawa itu dijauhi oleh penduduk Flores yang ketakutan. Dan
seperti yang telah dilakukannya sebelumnya, maka dalam saat-saat kesepian ini
Soekarno kembali mencari perlindungan dalam Islam.
Pergeseran Soekarno ke arah Islam dapat ditelusuri kembali dengan mudah
berkat surat-suratnya kepada A. Hassan, pemimpin Persatuan Islam di Bandung yang
bersimpati dengannya. Surat-suratnya itu berjumlah 12 pucuk surat, yang pertama
ditulis pada 1 Desember 1934 dan terakhir pada 17 Oktober 1936, dengan isi surat
yang yang sangat variatif: berdiskusi, meminta fatwa, meminta buku-buku keislaman
dan kadangkala bercerita tentang keluarga. Dalam surat pertamanya, ia menyinggung
suatu persoalan yang sedang diperdebatkan dengan hangat dalam dunia Islam:
pengeramatan kaum sayid. Soekarno berpendapat bahwa pengkeramatan orang-orang
keturunan Nabi Muhammad SAW, itu sudah mendekati kemusyrikan dan bahwa
mereka yang mengira ada suatu Arsitokrasi Islam adalah tersesat, karena tiada suatu
agama yang menghendaki kesamarataan lebih dari pada Islam. Dalam suratnya yang
terakhir dari Endeh, Soekarno menulis.
Di dalam surat-surat itu adalah sebagian garis-perubahannya saya punya jiwa, --
dari jiwa yang Islamnya hanya raba-raba saja menjadi jiwa Islamnya yakin, dari
jiwa yang mengetahui adanya Tuhan, tetapi belum mengenal Tuhan, menjadi jiwa
yang sehari-hari berhadapan dengan DIA, dari jiwa yang banyak filsafat ke-
Tuhan-an tetapi belum mengamalkan ke-Tuhan-annya itu menjadi jiwa (yang)
sehari-hari menyembah kepadanya.
Dari surat-suratnya itu tampaknya Soekarno berkeinginan mempelajari Islam
secara serius. Ia tidak mempelajari Islam dari kalangan Islam, tetapi juga dari
kalangan orientalis. Yang disebut terakhir inilah yang Soekarno banyak memperoleh
gagasan-gagasan kritis tentang Islam. Kemungkinan besar gagasan nasionalisasi Islam
Soekarno timbul karena banyaknya mempelajari tulisan-tulisan kaum orientalis. Dan
ia mulai berani melakukan reinterpretasi ajaran-ajaran dasar Islam. Pada saat
Soekarno mempelajari Islam adalah suatu masa dimana kebanyakan kaum pelajar
kurang memperhatikan agama Islam, agama yang dianut mayoritas masyarakat
Indonesia. Mereka yang berpendidikan barat seringkali menganggap rendah Islam.
Tanpa melakukan kajian mendalam terhadap Islam. Soekarno menunjukkan
kecenderungan sebaliknya, sekalipun ia belum meyakini keseluruhan ajaran Islam

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 3
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
secara integral, paling tidak telah berhasil membuktikan minatnya yang besar untuk
melakukan kajian Islam.
Dalam bulan Februari 1938 hukuman Soekarno diperingan, Bengkulu di pulau
Sumatra ditunjuk sebagai tempat pembuangannya yang baru. Ia diperbolehkan
menejadi aktivis Muhammadiyah. Setelah keluar dari isolasinya di Flores dan dari
lingkungan dimana Islam masih dipraktekkan secara ortodoks sama sekali –sejauh ia
punya kontak-kontak di sana— Soekarno sekarang memasuki suatu dunia dimana
gagasan-gagasan reformasi sudah masuk. Dari Bengkulu ini Soekarno kembali
menyuarakan ide-ide bernas tentang perlunya pembaruan dalam pemahaman Islam
melalui beberapa tulisannya dalam majalah Panji Islam yang terbit di Medan yang
masing-masing berjudul: Memudahkan Pengertian Islam, Masyarakat Onta dan
Masyarakat Kapal Udara, Islam Sontoloyo, Apa Sebab Turki Memisahkan Agama
dan Negara dan Saya Kurang Dinamis. Dari artikel-artikel diatas ada beberapa pokok
pikirian yang bisa diklasifikasikan dalam tiga persoalan pokok, yaitu (1) Pemikiran
kembali pemahaman Islam dengan menggunakan metode nasional; (2) Hukum Islam
bersifat elastik; (3) Relasi Agama dan Negara.

Hubungan Agama dan Negara

Dalam sebuah artikelnya yang berseri, ‘Apa sebab Turki memisah agama dari
negara ?’, Soekarno mencoba menjelaskan kepada umat Islam di Indonesia, bahwa
tindakan-tindakan yang diambil terutama oleh Kemal Attarturk yang memisahkan
agama dari negara, pada dasarnya memerdekakan agama.
Saya memerdekakan Islam dari ikatannya negara, agar supaya Islam bukan hanya
tinggal agama memutar tasbih di dalam masjid sahaja, tetapi menjadilah gerakan
yang membawa kepada perjuangan.
Setelah panjang-lebar mengurasikan ulasan-ulasan ekonomi dan politik kaum
Turki Muda untuk memisahkan agama dan negara Soekarno menjelaskan langkah-
langkah yang telah dijalankan di Turki untuk mensekulerkan negara dalam 1920-an:
diakhirinya kesultanan (1924), dan dinyatakannya agama sebagai urusan pribadi
(1928).
Islam yang syah, kata Soekarno, mengaitkan berbagai persyaratan kepada
lembaga khalifah, dua diantaranya sangat penting: Pertama, Khalifah harus dipilih
oleh umat Islam; Kedua, Khalifah harus mampu melindungi seluruh umat Islam.
Tetapi syarat yang pertama hanya dipenuhi selama dua puluh tahun saja, dan sesudah
itu jabatan-jabatan khalifah dipegang oleh dinasti-dinasti. Dan syarat yang kedua juga
tidak terpenuhi lagi setelah abad ke-13. Tidak dipilih dan tidak punya otoritas:
demikianlah lembaga khalifah bisa bertahan selama berabad-abad, sebagai bayangan
dari apa yang dimaksudkan semula. Dan yang lebih celaka lagi, selama berabad-abad
lama dijadikan ‘alat politik’. Hanya melalui tindakan-tindakan yang dimabil oleh
kaum Turki Mudalah agama dikembalikan kepada masyarakat setelah itu, katanya,
perkembangan ini merupakan suatu keharusan.

…Perpisahan antara agama dan negara itu bukanlah Kemal cs yang memulainya.
Tidak, perpisahan itu adalah ujungnya suatu proses yang telah puluhan dan
ratusan tahun telah berjalan, ujungnya satu paksaan masyarakat, yang sudah di

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 4
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
zamannya Sulaiman I empat ratus tahun yang lalu, --Sulaiman “Canuni,”
Sulaiman “dewetgeven,” Sulaiman “pembuat undang-undang” !—memaksa egara
mengadakan perundang-undangannya syari’atul Islam.
Dengan demikian, pemisahan agama dan negara itu merupakan suatu
keharusan sejarah. Dalam hal ini, Soekarno tidak menempatkan keputusan tentang
tepat-tidaknya tindakan Kemal Attarturk itu di tangan Allah.

Benar atau salahnya ia punya perbuatan hebat itu bagi Islam, itu sebenarnya
bukan kitalah yang dapat menjadi hakim baginya, hanyalah sejarah kelak di
kemudian hari ! Sejarah inilah kemudian yang kelak menentukan Kemal
durhaka atau Kemal maha bijaksana.

Soekarno berpendapat bahwa Islam adalah agama, yaitu wahyu Allah, dan
bukan satu sistem sosial, yakni sebagai sistem yang mengatur aturan-aturan
kemasyarakatan, sungguhpun Islam membawa pedoman kehidupan bermasyarakat.
Hal ini mengandung pengertian bahwa yang diatur Islam hanyalah landasan budi dan
moral yaitu berbagai prinsip tindakan yang dapat meningkatkan ketinggian budi dan
moral manusia, serta mencegah mereka terjerumus pada hal-hal yang dapat
merendahkan martabat kemanusian. Menurut Soekarno, tidak dtemukan dalam Al-
Quran dan Hadis pernyataan yang terperinci tentang pengaturan kemasyarakatan itu.
Demikianlah halnya dengan pendapat yang berkembang di kalangan sebagian besar
umat Islam tentang persatuan agama dengan negara. Soekarno menolak pendapat
yang mengharuskan persatuan agama dengan negara, karena tidak ditemukan dalam
sumber ajaran Islam yang menyatakan demikian. Seandainya perintah itu ada,
menurut Soekarno, tidak mungkin terjadi ketidaksepkatan, atau tidak mungkin tidak
ada ijma, di kalangan umat Islam untuk menyatukan agama dengan negara.
Kenyataan menunjukkan tidak ada ijma di kalangan ulama tentang hal itu.
Prinsip kembali kepada sumber Islam sebagai pegangan Soekarno
diterapkannya dalam membahas hubungan agama dengan negara. Soekarno
berpendapat bahwa agama harus dipisah dari negara. Yang dimaksud dengan
pemisahan adalah melepaskan agama dari ikatan negara dan melepaskan negara dari
pengaruh kaum agama. Dengan demikian, keduanya berjalan sendiri-sendiri dalam
arti lepas dari ikatan struktural satu sama lain.
Jalan pikir Soekarno yang berkaitan dengan pemahamannya tentang Islam
yaitu bukan sebagai sistem kemasyarakatan, sehingga berkesimpulan bahwa
kehidupan beragama dan bernegara adalah urusan umat Islam sendiri Soekarno
menjelaskan tujuan pemisahan itu agar agama tidak dijadikan alat untuk memerintah,
karena manakala agama dipakai buat memerintah, ia selalu dipakai alat penghukum
ditangannya raja-raja, orang-orang zalim dan orang tangan besi. Karena itu
pelaksanaan ajaran agama menjadi tanggung jawab pribadi-pribadi muslim, bukan
negara, dan negara tidak dapat memaksakan pelaksanaan ajaran agama kepada
masing-masing. Sedang apabila negara atau pemerintah turut campur dalam bagian
yang paling suci dari hak-hak manusia, dalam hal ini agama, maka akibatnya, kata
Soekarno, ia akan merantai perikemanusian kehidupan beragama sebagaimana yang
terjadi pada bangsa Turki.
Selanjutnya terjadinya proses penghayatan keislaman adalah menjadi
tanggung jawab pribadi-pribadi muslim, bukan negara, dan tidak dapat memaksakan
pelaksanaan ajaran agama kepada masing-masing individu. Terjadinya proses
pengislaman yang subur di kalangan orang Islam, adalah merupakan hasil dari usaha
pembudayaan yang dilakukan para penganjur Islam. Dan tugas untuk terus

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 5
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
menghidupkan kemauan beragama di kalangan rakyat itu menjadi kewajiban para
mubaligh. Sebagai hasil dari pembudayaan itu adalah lahirnya rakyat Islam yang
menghasilkan banjir Islam dalam berbagai segi kehidupan bangsa. Banjirnya Islam itu
dengan sendirinya akan menjelma dalam segala putusan badan perwakilan rakyat.
Sebaliknya apabila diterima rumusan persatuan agama dengan negara, maka
yang terjadi dalam pandangan Soekarno adalah pemaksaan terhadap warga negara,
dan hal ini bertentangan dengan hakekat Islam yang menekankan aspek musyawarah.
Dan pada bangsa yang banyak diantara penduduknya terdiri dari bukan Islam, maka
pemisahan agama dan negara itu, menurut Soekarno, adalah merupakan suatu
keharusan apabila bangsa ini tidak mau terjerumus dalam konflik yang
berkepanjangan.
Soekarno menyatakan bahwa gagasan pemisahan agama dan negara, bukanlah
berarti akan mengabaikan pelaksanaan cita-cita Islam. “Baik kita terima negara
dipisahkan dari agama, tetapi kita akan kobarkan seluruh rakyat dengan apinya Islam,
sehingga semua utusan di dalam badan-perwakilan itu, adalah utusan Islam, dan
semua putusan-putusan badan-perwakilan itu bersemangat dan berjiwa Islam.” Di
sinilah Soekarno menemukan pemecahannya yang ideal dalam prinsipnya bisa dicapai
kata sepakat mengenai konstitusi oleh semua golongan, semua aturan, dan semua
lapisan rakyat.
Ada tiga alasan yang menyebabkan para pengkritik menentang pemikiran
Soekarno tentang pemisahan agama dari negara. Pertama, karena Soekarno dianggap
belum menguasai persoalan kenegaran Islam. Soekarno baru saja belajar Islam dan
yang dipelajari bukan dari kalangan Islam yang kebanyakan masih ditulis dalam
bahasa Arab. Kedua, para pengkritiknya meragukan loyalitas dan keterikatan
Soekarno terhadap Islam dan pribadinya dianggap tidak mencerminkan seorang
Muslim karena lebih berorientasi pada Barat. Tuduhan terhadap Soekarno ini muncul
karena Soekarno yang berpihak pada kalangan yang terdidik Barat yang acapkali
tampaknya anti Islam dengan mengadakan konfrontasi dengan tokoh-tokoh Islam
seperti H. Agus Salim, Mohammad Ntsir, Ahmad Hassan dan lain-lain. Ketiga, Natsir
dan Hassan menilai bahwa gagaan pemisahan agama dari negara yang dikemukakan
Soekarno merupakan suatu distorsi sejarah Islam, sebab dalam sejarah Islam tidak
pernah dikenal adanya paham pemisahan agama dari negara.
Kendati ada tanggapan negatif terhadap Soekarno, tetapi ada tulisan yang
ditulis Faisal Hah yang bersuara lain. Isi tulisan tersebut menyatakan bahwa tidaklah
selayaknya kaum ulama dan intelektual muslim menanggapi ide Soekarno itu secara
terburu-buru, karena tulisan itu mengandung banyak hal yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Sependapat dengan Soekarno, Faisal Hah menyatakan bahwa
negara ini berdasarkan pada demokrasi oleh karena itu setiap keputusan, apalagi yang
menyangkut pelaksanaan ajaran Islam, harus ditetapkan lewat parlemen. Cara untuk
memperjuangkan ini adalah umat Islam perlu memperkuat partai-partai politik yang
menyuarakan Islam. Jadi oleh karena itu, masalahnya kembali menjadi tanggung
jawab para tokoh Islam di Indonesia untuk menyusun rancangan yang dapat menarik
dukungan dari umat Islam kepada tokoh-tokoh yang akan ditampilkan partai-partai
politik itu.
Secara prinsip Allah telah menetapkan ajaran Sjura dalam Al-Qur’an. Sumber
ajaran Islam tidak mengatur secara rinci tentang pengelolaan sebuah negara, kecuali
menetapkan sesuatu tindakan yang dapat meningkatkan akhlak mereka sebagai
manusia. Konsep Sjura itu dapat dibentuk oleh manusia sesuai dengan kondisi dan
situasi yang mereka alami. Dengan mendasarkan pengelolaan negara pada sistem
negara itu, berarti tindakan itu sudah sesuai dengan kehendak Islam dan secara prinsip

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 6
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
sudah diatur secara Islam, sungguhpun tidak menyebut dirinya sebagai negara Islam.
Jalan pikiran Faisal Hah, menunjukkan adanya keinginan untuk membedakan antara
negara Islam dan negeri Islam. Negera Islam ialah negara yang menetapkan UUDnya
secara resmi Islam. Sementara negeri muslim, ialah negeri yang dipengaruhi Islam
secara kuat di semua sektor masyarakat tanpa menyebut dirinya Islam.
Dua bentuk kecenderungan pemikiran Natsir bersama-sama kawannya yang
menginginkan negara agama dengan Soekarno dan Faisal yang menginginkan negara
kebangsaan, terus berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam waktu-
waktu tertentu perbedaan kecenderungan itu mewujudkan diri dalam bentuk
perdebatan-perdebatan nasional sebagaimana yang terjadi setelah kemerdekaan. Di
satu sisi berpijak pada prinsip mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, oleh
karena itu mereka menuntut pembagian posisi yang lebih banyak dari penduduk yang
minoritas jumlahnya dalam pengaturan kemasyarakatan dan kenegaraan, yaitu dengan
jalan mempersatukan agama dengan negara.
Disisi lain yang berpegang pada prinsip demokrasi dan kemajemukan sosial.
Di samping itu mereka juga berprinsip bahwa setiap ide yang dapat berkembang
dengan baik di Indonesia, haruslah yang dapat mengakui kebhinekaan bangsa. Akan
tetapi, sungguhpun mereka menyetujui konsep pemisahan agama dan negara, hal itu
bukan berarti mereka menerima pendapat yang menyatakan bahwa agama hanya
menyangkut urusan pribadi semata, tetapi juga mengatur kepentingan social. Oleh
karena itu, agama tetap berperan dalam pergaulan hidup.
Pendapat kedua ini berpijak pada keyakinan, bahwa ajaran Islam begitu luas
memberi kesempatan kepada pemeluknya untuk melakukan pemahaman dengan cara
dan keadaaan mereka sendiri, asal tetap berpegang kepada prinsip Islam yaitu beriman
kepada prinsip Islam yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-nya. Karena itu terbuka
kemungkinan timbulnya aneka pendapat di kalangan orang Islam dalam memahami
ketentuan-ketentuan hukum agama itu. Karena itulah mereka menolak persatuan
agama dengan negara, karena tindakan itu cenderung membuat sikap otoriter dan
memonopoli kebenaran.

Negara Kebangsaan
Di bawah gelombang gerakan kemerdekaan yang tumbuh cepat, pada
kenyataannya fase terakhir pendudukan Bala tentara Jepang ditandai pertempuran
mati-matian antara nasioalis sekuler dan Islam mengenai tempat Islam di dalam
negara yang baru atau mungkin dalam bentuk rumusan mengenai subordinasi elite
Islam kepada pemerintahan saudara-saudaranya yang “sekuler”. Yang disebut
terakhir, berpusat di kota-kota jauh lebih unggul dalam pendudukan dan keahlian
politik, melawan para pemimpin Islam yang oleh politik pendudukan telah diubah
menjadi kekuatan politik yang tiada tara kekuatannya.
Kendatipun demikian, golongan Islam, sebagaimana pernyataan pemimpin
Masyumi, Wachid Hasyim, bahwa “yang terutama kita perlukan pada waktu ini
adalah persatuan bangsa yang tak terpecahkan”. Hal itu menunjukkan bahwa
golongan Islam, bahkan pada saat nasib negara Islam yang sejak berpuluh-puluh
tahun merupakan cita-cita mereka -- menjadi taruhan, mereka pada prinsipnya
bersedia untuk berkompromi. Dan golongan nasionalis tidak membiarkan persoalan
itu diputuskan melalui pemungutan suara, yang sebetulnya dapat mereka menangkan
dengan mudah mengingat mereka jelas-jelas merupakan mayoritas dalam BPUPKI.
Mereka pun mencari kompromi, untuk menemukan suatu penyelesaian bersama

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 7
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
dengan pergerakan Islam, yang akan memungkinkan setiap orang menyetujui negara
Indonesia yang dibentuk ini.
Meskipun adanya himbauan-himbauan tentang dari para penulis Islam dalam
minggu-minggu yang panas tersebut, dan meskipun adanya hasil-hasil yang paling
mutakhir dalam bidang sosio-religius Indonesia Merdeka, akhirnya, harus tidak
memproklamasikan sebuah Negara Islam. Bahwa masalah itu tidaklah jauh dari
pikiran ribuan orang Muslim dan tokoh-tokohnya jelas di dalam pidato Soekarno pada
tanggal 1 Juni 1945 di depan anggota BPUPKI.
Untuk kembali pada para pemimpin Islam di dalam BPUPKI, Soekarno
menguraikan prinsip pertama sebagai basis ideologis yang diajukan bagi Indonesia
Merdeka.

Kita mendirikan suatu negara kebangsaan Indonesia. Saya minta saudara Ki


Bagoes Hadikoesumo dan saudara-saudara Islam lain; maafkan saya memakai
perkataan “kebangsaan” ini ! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada
saudara-saudara janganlah saudara-saudara salah paham jikalau katakan
bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan.

Prinsip kedua yang ditawarkan oleh Soekarno kepada para anggota BPUPKI
adalah ‘kemanusiaan’ dalam hubungan antar bangsa-bangsa, yang dinamakannya juga
“internasionalisme” kemudian Soekarno melangkah untuk membicarakan prinsipnya
yang ketiga, yaitu mengenai pemerintahan perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama…. Badan
perwakilan inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam….
Jikalau kita memang sepakat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar
supaya sebagian terbesar kursi-kursi dewan perwakilan rakyat yang kita adakan,
diduduki oleh utusan-utusan Islam…. Dengan sendirinya hukum-hukum yang
keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.

Prinsip ketiga merupakan pengulangan dari artikel yang ditulis Soekarno dari
Bengkulu dalam tahun 1940. Seperti dalam 1940, Soekarno mengatakan bahwa
negara Indonesia haruslah “bagi semua”, dan tak boleh diberikan hak-hak istimewa
kepada golongan manapun dari penduduk yang merugikan golongan lain.
Melalui Pancasila, Soekarno menawarkan lima prinsip kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme – atau perikemanusiaan, Mufakat – atau demokrasi, Kesejahteraan
Sosial dan Ketuhanan. Prinsip yang disebut terakhir ini bukan arti ketuhanan dalam
konsep Islam. Soekarno hanya menganjurkan agar seluruh warga Indonesia
berketuhanan, dan seluruh warga bebas menjalankan agamanya masing-masing, serta
saling menghormati satu sama lain. Tiada egoisme agama dalam negara Indonesia,
dan dengan demikian negara pada dasarnya dipisahkan dengan agama, sebagaimana
halnya di Turki. Agama menjadi milik pribadi, sedangkan negara milik semua. Ia
mengatakan “Semua buat semua ! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan
Islam buat golongan Indonesia.”
Rumusan Pancasila Soekarno sebagai upaya untuk memberikan kepada aliran-
aliran politik yang heterogen di Indonesia suatu landasan bersama di dalam negara
baru itu, seperti halnya upaya telah dilakukan oleh Soekarno ketika untuk pertama
kalinya terjun ke dalam pergerakan Indonesia hampir dua dasawarsa sebelumnya,
untuk meletakkan satu landasan bersama bagi semua pergerakan politik dalam
perjuangan mereka untuk kemerdekaan. Riuh rendah tepuk tangan dari para anggota

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 8
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
BPUPKI ketika Soekarno mengakhiri pidatonya untuk menemukan suatu pandangan
dunia bagi Indonesia yang dapat disetujui oleh semua golongan penduduk, bukan
berarti diterima langsung oleh seluruh anggota badan penyeledik itu, karena justeru
setelah pidatonya perdebatan ideologis yang sebenarnya terjadi. Golongan nasionalis
Sekuler dan golongan nasionalis Islam langsung berhadapan muka, saling adu
argumentasi, dan mempertahankan pendapatnya masing-masing.
Kelompok nasionalis sekuler menolak cita-cita negara Islam, dengan alasan
menerima Islam sebagai dasar masyarakat pasti tidak mengakhiri semua perbedaan
ideologi. Pembentukan suatu negara Islam akan berarti, menurut M. Hatta bahwa
negara mengidentifikasikan dirinya dengan bagian terbesar rakyat, yang akan
menimbulkan minoritas. Sementara kelompok Islam tetap mempertahankan cita-
citanya. BPUPKI membentuk sub panitia yang terdiri dari sembilan orang untuk
mempelajari kedudukan Islam. Para pendukung negara sekuler diwakili oleh empat
orang, M. Hatta, M. Yamin, Soebardjo, dan Maramis. Dari kalangan Islam juga empat
oang: Abdul Kahar Muzakir, Wachid Hasyim, Agus Salim dan Abikusno
Tjokrosujoso. Seorang lagi bertindak sebagai ketua dan sekaligus sebagai penengah,
yaitu Soekarno.
Panitia itu mencapai kompromi, yang kemudian dikenal dengan Piagam
Jakarta. Ia merupakan Mukadimah pada konstitusi berdasarkan rumusan yang dapat
disetujui semua anggotanya, baik yang sekuler maupun yang Islam. Mukadimah yang
ditandatangi oleh sembilan anggota pada tanggal 22 Juni 1945 di Jakarta menyatakan.

…. Dengan berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban syariat Islam


bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Kendati sudah ada kompromi antara golongan nasioalis sekuler dan golongan
nasionalis Islam di dalam panitia sembilan tetapi tidak berjalan mulus untuk dapat
diterima sebagai keputusan BPUPKI. Ketika piagam Jakarta yang akan dijadikan
Mukadimah konstitusi diajukan untuk dibahas, segera muncul perlawanan, baik dari
golongan nasionalis sekuler dan golongan Islam. Mereka angkat bicara dalam forum
ini dan menunjukkan ketidakpuasan mereka masing-masing.
Rumusan Piagam Jakarta ditolak oleh Latuharhary yang mewakili golongan
Kristen, terutama yang berkenaan dengan ketetapan bahwa para pemeluk Islam harus
menjalankan Syariat Islam. Alasannya, akibat yang ditimbulkannya bagi para
pemeluk agama-agama lain, dan karena kesulitan yang timbul dalam hubungan
hukum Islam dan hukum adat. Oleh karena itu, ia lebih suka bila anak kalimat
tersebut dihilangkan, sehingga negara tidak mengatur masalah-masalah agama.
Pernyataan itu didukung oleh Wogsonegoro dan Hussein Djajadiningrat. Mereka
menyatakan keprihatinan mereka jikalau Piagam Jakarta diterima dan mendorong
fanatisme di pihak sebagian masyarakat Islam. Karena kelihatannya kaum Muslimin
akan dipaksa mematuhi syariat. Wachid Hasyim membantah kemungkinan adanya
pakasaan ini dengan menunjukkan kepada adanya permusyawarakatan, sambil
menambahkan bahwa menurut pendapat sebagian orang kalimat itu mungkin telah
menjangkau terlalu jauh cakupannya tetapi sebagian lagi justeru sebaliknya. Soekarno
mengulangi bahwa kalimat ini adalah suatu jalan tengah yang dicapai dengan susah
payah dan setelah melihat tidak ada lagi keberatan yang diajukan, ia menyimpulkan
bahwa Mukadimah itu dipandang sudah diterima sidang.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 9
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Kemudian Soekarno membentuk Panitia kecil Perancang Undang-Undang
Dasar yang terdiri atas Supomo (Ketua), Wongsonegoro, Soebardjo, Maramis,
Singgih, Agus Salim dan Sukiman. Ketegangan muncul kembali dalam pleno ketika
Wachid Hasyim mengajukan dua usul. Pertama, Ketentuan yang menyatakan
hanyalah orang-orang Islam yang dapat memenuhi persyaratan menjadi Presiden dan
Wakil Presiden. Kedua, dimasukkannya secara formal dalam konstitusi prinsip
bahwa Islam harus menjadi agama negara. Malahan Ki Bagoes Hadikusumo
mengusulkan pencaoretan kata-kata “pemeluk-pemeluk Islam” dalam anak kalimat.
Hal ini berarti bahwa hukum-hukum Islam wajib dijalankan oleh seluruh warga
negara tanpa kecuali. Soekarno sekali lagi mengingatkan sidang pleno, bahwa anak
kalimat tersebut adalah hasil kompromi antara dua pihak, dan bahwa setiap kompromi
didasarkan atas “memberi dan mengambil.”
Untuk memperoleh kata putus, Soekarno menyerukan kepada setiap anggota
BPUPKI, terutama golongan nasionalis untuk berkorban, sambil mengingatkan dalam
bahasa Belanda bahwa “kebesaran itu terletak dalam pengorbanan.” Pengorbanan ini
akan berbentuk dalam tercantumnya undang-undang dasar pasal-pasal mengenai
“Presiden Republik Indonesia haruslah seorang Indonesia asli dan beragama Islam”,
dan bahwa “negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. “Soekarno berkata bahwa ia menyadari meminta
pengorbanan yang sangat besar dari para patriot bangsa seperti Latuharhary dan
Maramis yang bukan Muslim itu.” Tetapi seakan-akan berurai air mata –sekali lagi
seakan-akan berurai air mata-- beliau memohon mereka untuk memberikan
pengorbanan untuk negara dan bangsa.
Setelah Sopomo mengajukan sejumlah usul mengenai perubahan redaksi
kecil-kecil dalam rancangan undang-undang dasar; rapat ini berakhir dengan suasana
anti klimaks. Barangkali tidak seeorang pun yang merasa puas, tetapi setiap orang
terdiam. Atas permintaan Ketua BPUPKI Radjiman Wediodiningrat, setiap anggota
berdiri untuk menunjukkan bahwa mereka menerima rancangan undang-undang dasar
tersebut. Hanya Muh. Yamin yang kelihatan memerlukan dorongan khusus untuk ikut
berdiri.
Setelah Jepang tidak dapat menghindari kekalahan, BPUPKI ditingkatkan
menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diketuai oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan
mengadakan pertemuan. Dalam pidato pembukaannya Soekarno menekankan anti
historis saat ini, dan mendesak agar PPKI bertindak dengan secepat kilat, dan
mengingatkan para anggota agar tidak bertele-tele dalam masalah detail, tetapi
memusatkan perhatian mereka hanya pada garis besar-besar saja. Beberapa perubahan
peting dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD yang dibahas dalam sidang pagi itu.
1. Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”.
2. Dalam Preambule (Piagam Jakarta) anak kalimat:” berdasarkan kepada ke-
Tuhanan, dnegan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” diubah menjadi “berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.
3. Pasal 6 ayat 1, “Presiden adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam”,
kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.
4. Sejalan dengan perubahan yang kedua diatas, maka pasal 29 menjadi “Negara
berdasarkan atas ke-Tuhanan, dengan kewajiban menejalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya.”
5.
Soekarno menjelaskan bahwa Undang-Undang Dasar yang dibuat ini Undang-
Undang Dasar Sementara. Soekarno berjanji jika keadaan sudah lebih tentram,

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 10
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Majelis Permusyawaratan Rakyat akan dikumpulkan lagi untuk membuat Undang-
Undang yang lebih lengkap dan sempurna.
Hatta yang menyampaikan empat usul perubahan atas permintaan Soekarno
sebelum sidang dimulai mengadakan pertemuan dengan beberapa pimpinan Islam,
dan minta agar sila ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Persyaratan
pemeluk agama Islam bagi Presiden Indonesia juga dihapus dari rancangan pasal 29
UUD 1945. Hatta mengintervensi dengan cara ini karena takut kalau daerah-daerah
Kristen di Indonesia Timur tidak bersedia menyatukan diri dengan republik baru
kalau Islam diberi kedudukan khusus.
Hanya beberapa jam saja, Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia
menerima secara bulat teks perubahan. Preambule dan batang tubuh UUD dengan
beberapa perubahan itu dikenal sebagai UUD 1945. Keputusan yang tergesa-gesa ini
dianggap merugikan kepentingan golongan Islam, dan sebagai konsesi pada kabinet
pertama RI dibentuk kementrian agama. golongan Islam memandang kompromi
terbentuknya kementrian agama ini sebagai terlalu sedikit”, sedangkan pihak lainnya
(misalnya orang-orang Krsiten) memandangnya sebagai terlalu banyak “atau” tidak
perlu. Ada suatu penilaian yang sangat tajam dengan mengatakan bahwa kementrian
itu telah menjadi “kubu Islam dan pos depan untuk sebuah negara Islam.” Suatu
pendapat yang lebih moderat bahwa perhatian utama kementrian agama ini adalah
untuk mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang timbul di antara
berbagai agama serta para penganutnya.

Perdebatan Ideologis dan Konstituante

Adanya banyak partai yang mempunyai ideologi nasionalisme, agama dan


Marxisme membuat Soekarno yang mencintai persatuan, di dalam berbagai
kesempatan bebicara mengenai Pancasila sebagai ideologi nasional. Langkah-langkah
tersebut menyebabkan Presiden menjadi terlibat di dalam perkembangan konflik
politik dan ideologi. Langkah-langkah tersebut memperoleh sejumlah tanggapan dari
berbagai kalangan.
Pidato Presiden Soekarno di Amuntasi mendapat tantangan dari kalangan
Islam. Dalam kunjungannya ke Kalimantan Selatan Presiden menjawab sebuah protes
yang menanyakan, “Negara kita negara Nasional ataukah Negara Islam.” Presiden
Soekarto berkata:

Negara yang kita susun dan kita ingini ialah negara nasional yang meliputi
seluruh Indonesia. Kalau kita dirikan negara berdasarkan Islam, maka banyak
daerah-daerah yang penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri,
misalnya Maluku, Bali, Flores, Timor, Kai dan juga Irian Barat yang belum
masuk wilayah Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik.

Kiai Haji Isa Anshary, seorang Parlemen dari Masyumi menanggapi berita
mengenai pidato-pidato Presiden Soekarno, mengatakan.

“Pidato di Peraja (Sunda-kecil) pada 8 November 1950 dan pidato di Istana


Merdeka tanggal 17 Agustus 1951, dan di Amuntai tanggal 17 Januari 1953
itu sangat menggoncangkan dan menggelisahkan umat Islam Indonesia dan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 11
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
luar negeri. Semuanya bukan menambah keruhnya keadaan dan akan
menimbulkan kekacauan.”

Pengurus Besar Dahdatul Ulama mengirim surat kepada Presiden Soekarno,


menyetujui nota protes Kiai Haji Isa Anshary, jika apa yang diberitakan mengenai
pidato Presiden itu benar. Selanjutnya diharapkan presiden tidak mencampurkan diri
pada pergeseran-pergeseran politik dan pergerakan partai-partai serta pertentangan
ideologi, terutama antara kaum Muslim dan anti Islam. Dengan demikian maka kepala
Negara akan tetap berdiri di tengah-tengah. Hal yang sama dikemukakan pula oleh
Partai Islam Perti, yang juga menyesalkan isi pidato presiden. Perti berpendapat
bahwa Presiden Soekarno sebagai kepala negara harus tidak terlibat dalam
pertentangan ideologi yang sedang bergolak di dalam negeri.
GPII juga mengirim surat kepada presiden menyesalkan pidato itu, sebab
nyata-nyata membawa rakyat pada pengertian yang salah terhadap ideologi Islam, dan
tidak mendidik rakyat pada pengertian demokrasi. Pancasila tidak bertentangan
dengan Islam, tetapi ini tidak berarti bahwa umat Islam tidak wajib lagi
memperjuangkan supaya ideologinya berlaku sepenuhya di negara itu.
Dalam kunjungannya di Aceh, Presiden Soekarno disambut dengan poster-
poster yang berbunyi: “Kami cinta kepada Presiden, tetapi lebih cinta kepada negara
kami cinta Negara, tetapi lebih cinta kepada agama.” Di daerah Nias, di Tapanuli
sebaliknya Presiden disambut dengan poster-poster yang berbunyi: “Kami berjuang
untuk Negara Nasional,” “Pidato Presiden di Amuntai adalah benar dan tepat,”
“Hanya Negara Pancasila yang kami cintai,” “Kami tidak mengingini negara agama,”
“Bubarkan Departemen Agama.”
Para pemimpin nasionalis “sekuler” pada gilirannya membela Presiden
Soekarno dengan mengatakan bahwa atas dasar hak prerogatif Presiden Soekarno
sebagai pemimpin revolusioner dan pemberi ilham rakyatnya disamping sebagai
kapala negara yang konstitusional. Mereka kemudian menjadikan Isa Anshary sebagai
tumpuan serangan mereka; dan yang disebut terakhir ini pada gilirannya,
membalasnya dan mengulangi protesnya.
M. Natsir dan Sukiman, tokoh Masyumi, mencoba memperkecil issue ini,
dengan jalan meyakinkan rakyat bahwa terjadinya perbedaan pendapat ini sebagai
hasil kekacauan istilah, dan masalah ini adalah masalah intern masyarakat Muslim,
dan tidak perlu dibahas di luar lingkungannya secara berlebih-lebihan.
Usaha-usaha ditempuh untuk mendudukkan istilah-istilah kunci tentang hal
termaksud secara jelas di dalam diskusi. A. Dahlan Ranuwihardjo, Ketua PB
Himpunan Mahasiswa Indonesia, menulis surat kepada Presiden Soekarno yang
“meminta penjelasan hubugan natara Negara Nasional dan Negara Islam, dan antara
Pancasila dan Ideologi Islam.” Kemudian Soekarno menyampaikan kuliah umum
tentang “Negara Nasional dan cita-cita Islam” pada tanggal 7 Mei 1953 di Universitas
Indonesia. Dalam ceramahnya itu soekarno menjelaskan.
1. Islam mempunyai cita-cita kenegaraan.
2. Islam bukan saja mengatur soal hubungan manusia dengan Allah, soal ibadah
dan kepercayaan, tetapi mengatur juga soal-soal kehidupan dan hubungan
manusia dengan masyarakat sehingga tidak saja sebagai agama tetapi way of
life yang mengatur soal kehidupan.
3. Islam tidak memisahkan agama dari negara sebagaimana negara Kristen, tetapi
agama dan negara menurut Islam bersatu dan sejalan.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 12
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
4. Walaupun begitu Islam tidak mengenal dan tidak membenarkan teokrasi,
karena dalam Islam tidak ada tingkatan-tingkatan kepaderian sebagaimana
dalam agama Kristen.
5. Islam menjamin kepercayaan agama-agama lain dan memberi persamaan hal
antara segala rakyat.
Tetapi setelah menyelesaikan dan membahas negara dalam Islam ia tidak
memastikan bagaimana bentuk negara yang dimaksudkan dalam Islam itu, terutama
dalam hubungannya dengan Indonesia. Sebab Indonesia bukan saja terdiri dari warga
yang beragama Islam, tetapi juga penganut agama lain yang turut berkorban mencapai
kemerdekaan Indonesia dan mendirikan negara Republik ini.
Untuk menghargai jiwa-jiwa mereka dan untuk menjalankan demokrasi yang
juga merupakan ajaran Islam, perlu disediakan suatu wadah bersama yang netral
agama dan ideologi, dan itu adalah Pancasila, dan wadah tersebut dapat diisi ajaran
agama. Hal ini sejalan dengan pidato Soekarno di Aceh terdahulu, bahkan dengan
pendapat-pendapatnya yang tidak menyetujui negara Islam, umat Islam dapat
memasukkan ajaran dalam konstitusi, asal melalui cara-cara yang konstitusional
seperti parlemen. Bahkan dalam menjelaskan hubungan antara Islam dan Pancasila.
Soekarno mensitir wawancara Natsir dalam perjalanannya di Karachi, dimana
dikatakan: “bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lian.”
Itulah pernyataan Soekarno yang tentu saja mendapat sambutan dari kalangan
Islam. Sistem demokrasi liberal memungkinkan golongan Islam untuk berusaha dan
mengkampanyekan negara Islam, dan berlakunya hukum-hukum Islam. Partai-partai
Islam menjadikan Islam sebagai ideoloi dan terbentuknya negara Islam sebagai tujuan
perjuangan. Hal ini sangat jelas sekali dilontarkan oleh pemimpin-pemimpin Islam
menjelang pemilu 1955.
Pemilihan umum pertama diselenggarakan pada tanggal 25 September 1955.
Tidak kurang dari 28 partai politik atau calon perorangan turut serta dalam pesta
demokrasi itu. Sekalipun pesertanya banyak, namun secara ideologis mereka dapat
digolongkan secara kasar kedalam tiga aliran ideoloy yang memang telah ada sebelum
perang, yaitu Islam, Marxisme/Sosialisme, dan Nasionalisme Sekuler. Ketiga aliran
dasar itu muncul kepermukaan dalam berbagai kelompok dan sebagai organisasi
politik, dan mereka mengikuti pemilihan umum dengan penuh semangat dalam
suasana bebas dan dmokratis.
Hasil Pemilihan Umum ternyata tidak memuaskan pihak manapun, terutama
PNI dan Masyumi, yang sebelumnya berpengharapan besar akan menang. Juga bila
tinjau dari kaca mata aliran politik, ternyata tidak ada satupun aliran yang
mendapatkan suara terbanyak mutlak. PNI dan Masyumi misalnya, hanya
memperoleh masing-masing 57 kursi dari parlemen dari jumlah total 257: NU
Kebagian 45, dan PKI 39. Partai-partai lain kurang dari 10 kursi. Kemudian kursi
yang didapat untuk Majelis Konstitusi, rata-rata menjadi dua kali lipat karena jumlah
anggota majelis ini dua kali jumlah anggota parlemen.
Hasil bersih Pemilihan Umum 1955 di Indonesia menunjukkan bahwa partai-
partai Islam memperoleh kurang dari 45 persen dari seluruh suara yang masuk.
Menurut UUDS 1950 yang juga mengatur Pemilihan Umum itu, suatu UUD baru
menjadi sah bilamana rancangannya disetujui oleh paling kurang 2/3 anggota yang
hadir dalam rapat. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan ini, suatu perjuangan
konstitusional yang bertujuan menciptakan suatu negara Islam atau negara
berdasarkan Islam menjadi tidak mungkin.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 13
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Perdebatan sekitar dasar ideologis negara dalam konstituante berlangsung
dalam dua babak dari tanggal 11 November hingga 7 Desember 1957. Babak pertama
melibatkan 47 pembicara, sedang yang kedua 54 pembicara. Ada tiga posisi ideologis
yang dijadikan dasar negara: Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi. Propinsi
pendukung ideologi Pancasila berjumlah lebih sedikit dari setengah jumlah suara.
Golongan Islam menguasai hampir setengah jumlah suara. Sedangkan pendukung
ideologi social-ekonomi relatif kecil.
Karena proposisi suara dan kenyataan bahwa keputusan mengenai Dasar
Negara membutuhkan mayoritas dua pertiga, maka diperlukan kompromi faksi
Pancasila dan Islam karena faksi Sosial-Ekonomi hanya didukung sejumlah kecil
suara, posisi mereka dipandang tidak penting dalam kaitannya dengan proses
pengambilan keputusan mengenai Dasar Negara kedua faksi besar itu sendiri tidak
banyak menghiraukan faksi Sosial-Ekonomi, meskipun faksi terakhir ini sangat
militan. Kedua faksi besar itu menganggap aspirasi faksi Sosial-Ekonomi sebenarnya
sudah tercakup secara lengkap dan dalam bentuk yang lebih baik dalam pandang-
pandangan mereka mengenai Dasar Negara.
Perdebatan itu pada dasarnya merupakan konfrontasi ideologis antara para
pendukung Pancasila dengan para penganut Islam. Masing-masing pihak menekankan
keunggulan ideologi yang diusulkannya karena sumber ideologi tersebut dianggap
unggul. Pancasila dianggap platform sejati untuk setiap ideologi yang terdapat di
Indonesia, dan karena itu sesuai dengan kepribadian Indonesia; hanya Pancasila yang
dapat menjamin kesatuan dalam masyarakat Indonesia yang pluralistic. Menurut para
pendukungnya, Islam merupakan wahyu Ilahi yang mengandung hukum dan ajaran
yang paling kengkap dan sempurna, baik untuk mengatur kehidupan perorangan dan
masyarakat maupun untuk mengatur soal agama, politik dan ekonomi. Pandangan-
pandangan ini diulangi dan dikembangkan dengan berbagai variasi selama perdebatan
berolangsung. Para pembicara juga meremehkan ideologi lain dan mengejek para
pendukungnya.
Sejak awal perdebatan sudah dinyatakan bahwa mengubah Pancasila sebagai
dasar Negara akan dianggap sebagai penghianatan terhadap perjuangan revolusioner
dan membahayakan perdamaian dan kesatuan Indonesia. Di lain pihak, para
pendukung Islam menyatakan bahwa Pancasila merupakan doktrin yang sekuler dan
karenanya akan membuka peluang bagi gerakan-gerakan ateis seperti PKI dan karena
itu tidak sesuai dengan hukum Allah. Mereka yang mengaku Muslim tetap tidak
bersedia Islam sebagai dasar negara sesungguhnya dianggap berdosa. Tuduhan-
tuduhan ini tentunya ditolak oleh pihak lawan sebagai tuduhan yang tak berdasar,
sehingga pertukaran pikiran itu tidak menghasilkan suasana saling mendekatkan di
antara paham-paham dan wawasan-wawasan tersebut. Kepentingan social dan
ekonomis di balik masing-masing golongan menyusul semakin mempertajam issue
ideologis. Para penganut Sosial-Ekonomi cukup, dan para pemimpinnya banyak
berbicara. Secara formal mereka menyatakan sebagai pembela aliran. Sosialis dalam
pemikiran politik dan ekonomi Indonesia, menganjurkan sosialisme dan demokrasi
aspirasi rakyat Indonesia.
Pro-kontra Pancasila sebagai dasar negara, Pro-kontra Islam sebagai dasar
negara, juga mewarnai kehidupan masyarakat. Dalam pada itu, pada tanggal 26 Mei, 5
Juni, 16 Juni, 22 Juli dan 3 September tahun 1958, di Istana Negara, Presiden
Soekarno memberikan serangkaian kuliah mengenai Pancasila. Pada tanggal 21
sampai 16 Februari 1959 di Universitas Gadjah Mada ditengah pertikaian pendapat
mengenai dasar negara itu, diselenggarakan Seminar Pancasila yang pertama. Di
dalam pidatonya pada seminar itu, khususnya berkenan dengan masalah dasar negara

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 14
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
dan UUD yang menjadi pokok perdebatan di konstituante. Presiden Soekarno
menyatakan:

“Dan di dalam sidang pleno Konstituante akan saya anjurkan kepada itu
konstituante, bahkan akan saya minta kepada itu konstituante dan akan saya
peringatkan kepada itu konstituante akan pidato yang saya ucapkan. Pada waktu
saya membuka resmi konstituante. Bahwa kewajiban konstituante itu ialah mebuat
UUD bagi RI yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945…. Saya nanti
akan minta kepada sidang Konstituante oleh karena toh, Republik yang kita
proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu sudah membawa dengan satu
UUD yaitu UUD ’45 agar konstituante kembali saja kepada UUD ‘45 itu.”

Pada tanggal 22 April 1959 segera sebelum ia memulai perjalanannya ke luar


negeri selama dua bulan berikutnya, Presiden Soekarno menyampaikan amanat di
depan Konstituante di Bandung, dan ia menghimbau untuk kembali kepada UUD
1945. Soekarno juga menekankan bahwa konstituante tersebut telah bersidang selama
2 tahun, 5 bulan dan 12 hari, yakni hampir dua setengah tahun. Tentang Piagam
Jakarta Soekarno mengatakan bahwa naskah itu adalah suatu dokumen sejarah yang
mendahului dan mempunyai pengaruh terhadap UUD 1945, dan karena itu secara
resmi ia masih akan mengirimkan teks Piagam Jakarta tersebut kepada konstituante.
Dengan adanya usul kembali ke UUD 1945, perdebatan dasar negara, berganti
menjadi perdebatan mengenai dapat atau tidak dapat menerima usul untuk kembai ke
UUD 1945 sebagai konstitusi proklamasi. Walaupun demikian permasalahan sekitar
Pancasila dan Islam sebagai dasar negara tampil lagi ke permukaan disebabkan karena
mereka yang mengajukan Islam sebagai dasar negara, menghendaki agar Piagam
Jakarta tidak hanya dinyatakan sebagai dokumen sejarah, melainkan juga harus
diperlakukan sebagai pokok-pokok kaidah asas negara, sumber perundang-undangan
di Indonesia.
Pada tanggal 2 Juni 1959, Majelis Konstituante mengadakan pemungutan
suara dalam rangka kembali ke UUD 1945 tapi dengan dua formulasi. Hasil
pemungutan suara ialah 263 setuju dengan usul Presiden untuk kembali ke UUD 1945
sebagaimana dirumuskan pada 18 Agustus 1945, dan 203 menentangnya, yaitu dari
wakil-wakil Islam, yang menginginkan anak kalimat Piagam Jakarta, dimasukkan ke
dalam UUD 1945. Dari hasil pemungutan suara itu jelas terlihat baik pendulung
Pancasila maupun pendukung dasar negara Islam sama-sama gagal memperoleh suara
mayoritas mutlak (2/3) dari anggota yang hadir dalam sidang majelis yang sangat
tegang itu.
Kegagalan inilah yang dipakai sebagai alasan pokok oleh Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 dan diantara Konsiderasi Dekrit itu berbunyi “…,
bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945
dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan kosntitusi tersebut.”
Tercantumnya konsideran itu bisa dikatakan sebagai suatu kompromi politik lagi
antara pendukung dasar Pancasila dan pendukung dasar Islam.

Penutup
Dekrit 5 Juli 1959 telah mengakhiri secara formal periode Demokrasi
Parlementer yang dimulai secara konstitusional sejak tahun 1950. sejak 5 Juli 1959
setiap usul tentang dasar negara yang bertujuan mengganti Pancasila secara

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 15
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
konstitusional menjadi tidak mungkin dan tidak dibenarkan, kecuali jika Majelis
Permusyawaratan Rakyat pilihan rakyat menghendakinya sesuai dengan pasal 37
UUD 1945. Dekrit 5 Juli 1959 yang dilanjutkan dengan pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin telah menyumbat saluran legal bagi golongan Islam untuk menyatakan
aspirasi politik mereka. Demokrasi Terpimpin merupakan kenyataan politik yang
amat pahit bagi golongan Islam dan merasa mempunyai kemerdekaan politik yang
penuh selama demokrasi sebelumnya.
Kendati dialog-dialog kreatif yang bersifat ideologis berhenti, juru penenang
resmi pemerintah Soekarno menegaskan tentang pentingnya agama dalam Nation and
Character Building. Ucapan tersebut kemudian mendapat respon dari partai nasionalis
sekuler dengan membentuk lembaga Dakwah Islamiah, sebagai isntrumen dari partai.
Pancasila sebagai dasar negara merupakan perwujudan pandangan Soekarno
yang memisahkan agama dari negara. Pemisahan ini tidak sepenuhnya sama dengan
konsep sekulerisme di Barat, dimana agama lepas sama sekali dari negara. Konsep
pemisahan agama dan negara yang dinyatakan Soekarno itulah kerangka pemikiran
yang paling memungkinkan dilaksanakan di Indonesia guna menampung berbagai
aspirasi kemajemukan sosial itu. Konsepsi negara Pancasila Soekarno tidak pernah
mati dan tetap berlangsung sampai saat ini. Pewaris konsepsi negara Pancasila alias
kebangsaan yang menjalankan. Kendati ada tuan yang mencoba menggantikannya.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 16
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Daftar Pustaka

A. M. W. Pranarka. “Sejarah Pemikiran tentang Pancasila”. Jakarta. CSIS. 1985. hal.


131.

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Studi


Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1995, hal. 62.

Ahmad Stafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Islam dan
Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985, hal. 122.

Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir. Kemenangan Barisan Megawati


Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999, hal. 123 dan 133.

Artikel ini ditulis dalam Panji Islam No. 20, 20 Mei 1940; No. 21, 27 Mei 1940; No.
23, 10 Juni 1940; No. 24, 17 Juni 1940; No. 25, 24 Juni 1940; dan No. 26, 1
Juli 1941.

B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers, 1985, hal. 31.

Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta. Inti sarana Aksara, 1985,
hal. 176.

Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985,
hal. 56-58.

Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta: LP3ES, 1987, hal.
216.

Denny JA. NA. Sumargono dan Kuntowijoyo et. al, Negara Sekuler: Sebuah Polemik,
Jakarta: Pustaka Berdikari Bangsa, 2000.

Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus
Nasional antara Nasionalis dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara
Republik 1945-1959. Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salam ITB, 1981, hal
26-27.

Harry J. Benda. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Islam Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980 hal. 223-224.

M. Masykur Amin, HOS Tjokroaminoto. Rekonstruksi Pemikiran dan


Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto Unoversity Press, 1995, hal. 15.

Maslahul Falah, Islam ala Soekarno. Jejak Langkah Pemikiran Liberal Indonesia.
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003, hal. 11.

Muhammad Ridwan Lubis, Pemikiran Soekarno tentang Islam dan Unsur-unsur


Perkembangannya, Jakarta: CV Haji Masagung, 1992, hal. 189-192.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 17
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia , 1990, hal. 1-3.

Soekarno, ‘Lahirnya Pancasila,’ dalam Soekarno, Pancasila dan Perdamaian Dunia,


Jakarta. Inti Idayu Press-Yayasan pendidikan Soekarno, 1985, hal. 1-23.

Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I, Jakarta: Panitia Penertbit Dibawah


Bendera Revolusi, 1964, hal. 403-446.

Solichin Salam, Bung Karno dan Kehidupan Berpikir Dalam Islam, Jakarta: Wijaya,
1954, hal. 11.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 18
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com

You might also like