You are on page 1of 10

Eutanasia

PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan pada abad ini telah berkembang sangat pesat apabila dibandingkan dengan abad-
abad sebelumnya. Perkembangan ilmu pengetahuan telah memungkinkan begitu banyak penemuan
yang sangat bermanfaat bagi kepentingan umat manusia, selain juga menimbulkan masalah-masalah
baru. Kemajuan dan perkembangan yang demikian menakjubkan juga dialami dunia kedokteran.
Alat-alat bantu untuk mempertahankan kehidupan seseorang seperti alat bantu napas dan pacu
jantung juga telah berkembang selaras dengan majunya teknologi.
Sudah sejak lama terdapat masalah bagi dokter dalam menghadapi penyakit yang tidak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan dari segi medis tidak ada harapan. Dalam
situasi yang demikian ini, tidak jarang pasien meminta agar dibebaskan dari segala penderitaan dan
tidak menginginkan diperpanjang hidupnya, atau di lain keadaan pada pasien yang sudah tidak
sadar, keluarga pasien yang tidak sampai hati melihat penderitaan pasien menjelang ajalnya
meminta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang
mempercepat kematian. Dari sinilah muncul istilah euthanasia, yaitu melepas kehidupan seseorang
agar terbebas dari penderitaan, atau mati secara baik (mati enak).
Beberapa waktu yang lalu, masalah euthanasia kembali mencuat menjadi pembicaraan di media-
media cetak maupun elektronik, ketika di Australia terbetik berita seorang dokter melaksanakannya
terhadap seorang pasien. Perbagai ulasan dan tanggapan muncul, baik yang sifatnya pro maupun
yang kontra, semuanya lengkap dengan argumentasi masing-masing.
Pada kenyataannya, perdebatan tentang euthanasia memang telah diperkirakan oleh beberapa ahli,
bersama beberapa masalah lain, yakni transplantasi organ tubuh manusia, inseminasi buatan,
sterilisasi, bayi tabung dan abortus provokatus (pengguguran kandungan). Perdebatan atau
kontroversi masalah-masalah tersebut lebih berfokus pada soal moralitas, etika maupun hukumnya.
Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran yang begitu pesat akhir-akhir ini, ternyata tidak diikuti
dengan kemajuan di bidang hukum dan etika. Profesor Separovic, seorang pakar hukum kedokteran
menyatakan “Contemporary developments have posed a whole series of new problem. One could
even say: If medicine is in trouble because of too much change, law is in trouble of too little change”.
Bagi seorang dokter, masalah euthanasia merupakan suatu dilema yang menempatkannya pada
posisi yang serba sulit. Di satu pihak teknologi kedokteran telah sedemikian maju, sehingga mampu
mempertahankan hidup seseorang (walaupun hidup yang vegetatif atau vegetative state);
sedangkan di sisi lain, pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga
berkembang tidak kalah pesat. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa
kini telah dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral dan hukum di satu pihak; dengan
kemampuan, ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang demikian maju di pihak lain sehingga
memungkinkan untuk mempertahankan hidup vegetatif tadi.
Dalam pembahasan tentang euthanasia, satu hal yang paling menentukan adalah hak menentukan
nasib sendiri (the right of self-determination) sebagai bagian hak asasi manusia. Masalahnya adalah:
Bagaimana dan sampai di mana batas hak tersebut? Apakah hak itu begitu mutlak, sampai-sampai ia
berhak untuk mati (sekalipun secara terhormat)?
DEFINISI
Euthanasia berasal dari kata Yunani “Euthanathos” (Eu = baik, tanpa penderitaan, dan thanathos =
mati atau meninggal) secara etimologi berarti “mati yang baik” atau “mati yang tenang”. Kemudian
pengertian ini berkembang menjadi “mengakhiri hidup tanpa penderitaan”. Lengkapnya euthanasia
diartikan sebagai perbuatan mengakhiri kehidupan seseorang untuk menghentikan penderitaannya.
Suetonius dalam bukunya Vitaceasarum merumuskan bahwa euthanasia adalah mati cepat tanpa
derita. Perkembangan selanjutnya istilah euthanasia diartikan sebagai pengakhiran kehidupan
karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati (mercy death). Ada juga
yang mengartikan sebagai a good or happy death.

The Advanced Learner’s Dictionary menyebutkan bahwa


Euthanasia is bringing about an easy painless of death for persons suffering from incurable and
painfull disease.
Webster’s Dictionary memberi batasan pada euthanasia
The putting of a person to death painlessly, especially one in a hopeless condition
Di Indonesia, menurut Kode etik Kedokteran Indonesia, istilah euthanasia dipergunakan dalam tiga
arti, yaitu
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman
dengan nama Allah di bibir
2. Ketika hidup berakhir, penderitaan si sakit diringankan dengan memberikan obat penenang
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri dan keluarganya

Pemikiran yang timbul mengenai euthanasia, menurut Robert H.William disebabkan oleh dua hal,
yaitu
1. Manusia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk berpikir
2. Manusia mempunyai kemampuan mental dan emosi untuk membuat keputusan dan
menggunakannya seefektif mungkin

Lamerton dan thiroux menyusun 4 kategori yang berkaitan dengan euthanasia, yaitu
1. Membiarkan seseorang mati
2. Kematian belas kasihan
3. Pembunuhan belas kasihan
4. Kematian otak/batang otak

Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa unsure dalam euthanasia, yaitu
1. Ada tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mengakhiri hidup seseorang
2. Tindakan tersebut dilakukan atas dasar rasa belas kasihan karena penyakit orang tersebut tidak
mungkin dapat disembuhkan
3. Proses mengakhiri hidup yang dengan sendirinya berarti juga mengakhiri penderitaan tersebut
dilakukan tanpa menimbulkan rasa sakit pada orang yang menderita tersebut
4. Pengakhiran hidup tersebut dilakukan atas permintaan orang itu sendiri atau atas permintaan
keluarganya yang merasa dibebani oleh keadaan yang menguras tenaga, pikiran, perasaan dan
keuangan

Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, berbagai pendapat diajukan
diantaranya
1. Voluntary Euthanasia
Permohonan yang diajukan pasien atas kemauan sendiri, misalnya gangguan atau penyakit jasmani
yang dapat mengakibatkan kematian segera, dimana keadaan ini diperburuk oleh keadaan fisik dan
jiwa yang tidak menunjang
2. Involuntary Euthanasia
Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dikerjakan sendiri (dilakukan bukan atas
kemauan sendiri) misalnya seorang yang menderita sindroma Tay Sach. Keputusan atau keinginan
untuk mati ada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab
3. Assisted Suicide
Tindakan ini bersifat individual yang pada keadaan tertentu dan alasan tertentu menghilangkan rasa
putus asa dengan bunuh diri
4. Tindakan yang langsung menginduksi kematian dengan alasan meringankan penderitaan tanpa
izin individu bersangkutan dan pihak yang punya hak untuk mewakili.

JENIS EUTHANASIA
Euthanasia dapat ditunjau dari beberapa segi
a. Ditinjau dari segi permintaan
1. Euthanasia sukarela (atas permintaan pasien), dilakukan atas permintaan pasien secara sadar dan
berulang-ulang
2. Euthanasia tidak sukarela (tidak atas permintaan pasien), dilakukan pada pasien yang (sudah)
tidak sadar, dan biasanya diminta oleh keluarga pasien
b. Ditinjau dari cara pelaksanaannya
1. Euthanasia Aktif (Euthanasia Positif)
Tindakan ini secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
memperpendek, mempercepat kematian pasien atau mengakhiri hidup si pasien. Euthanasia aktif
dapat dibedakan antara
a) Euthanasia Aktif Langsung (direk) yaitu dilakukannya tindakan medik secara terarah yang
diperhitungkan akan dapat mengakhiri hidup pasien atau memperpendek hidup pasien. Atau
tindakan tertentu yang langsung menyebabkan kematian
b) Euthanasia Aktif tidak Langsung (indirek) yaitu dilakukannya tindakan medik untuk meringankan
penderitaan pasien, namun mengetahui adanya risiko yang dapat memperpendek atau mengakhiri
hidup pasien. Tindakan yang secara tidak langsung menyebabkan kematian, misalnya dengan
memberikan obat untuk menghilangkan rasa nyeri dalam dosis yang sangat tinggi sehingga efek
sampingnya kematian juga
2. Euthanasia Pasif (Euthanasia Negatif)
Dokter atau tenaga kasehatan lainnya secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang
dapat memperpanjang hidup kepada pasien. Perbuatan yang membiarkan penderita meninggal,
misalnya penghentian pemberian infuse, menunda operasi dan sebagainya
3. Auto-Euthanasia
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia
mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut
ia membut sebuah codicil pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah
euthanasia pasif atas permintaan

Adapula yang melihat pelaksanaan euthanasia dari sudut lain dan membaginya menjadi 4 (empat)
kategori
1. tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien
2. ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien
3. tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien
4. ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien

KETENTUAN MATI DALAM KEDOKTERAN

Kepustakaan mengenai beberapa konsep tentang mati yaitu


a) Mati sebagai terhentinya aliran darah
b) Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
c) Hilangnya kemampuan tubuh secara permanent
d) Hilangnya fungsi manusia/kemanusiaan secara permanent untuk kembali sadar dan melakukan
interaksi social
Di Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan surat keputusan Nomor 336/PB/A.4/88
merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati apabila
A. Fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti (irreversible)
B. Apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak

Yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG, EEG. Upaya resusitasi pada keadaan ini
tidak memberikan banyak arti lagi. Upaya resusitasi dilakukan pada keadaan mati klinis, yaitu bila
denyut nadi besar dan napas berhenti dan diragukan apakah kedua fungsi spontan jantung dan
pernapasan telah berhenti secara pasti. Upaya resusitasi darurat dapat diakhiri apabila
1. Diketahui kemudian bahwa sesudah dimulai resusitasi, pasien ternyata berada dalam stadium
suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi, atau hampir dapat dipastikan bahwa pasien tidak
akan memperoleh kembali fungsi serebralnya, yaitu sesudah selama ½-1 jam terbukti tidak ada nadi
pada normotermia tanpa resusitasi jantung-paru
2. Terdapat tanda-tanda klinis mati otak, yaitu sesudah resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak
timbul napas spontan dan refleks gag, serta pupil tetap dilatasi selama paling sedikit 15-30 menit.
Perkecualian untuk itu ialah hipotermia atau di bawah pengaruh barbiturate atau anesthesia
3. Terdapat tanda-tanda mati jantung, yaitu asistol listrik membandel (garis datar pada EKG) selama
paling sedikit 30 menit, meskipun telah dilakukan resusitasi dan pengobatan optimal
4. Penolong terlalu lelah sehingga tidak dapat melanjutkan upaya resusitasi
Diagnosis Mati Batang Otak
Untuk menegakkan diagnosis mati batang otak diperlukan tiga langkah yaitu
1. Meyakinkan bahwa telah terdapat prakondisi tertentu, yaitu
a. Pasien dalam keadaan koma dan henti napas, yaitu tidak responsive walaupun sudah dibantu
dengan ventilator
b. Penyebabnya adalah kerusakan otak structural yang tidak dapat diperbaiki lagi karena gangguan
yang dapat menuju mati : batang otak
2. Menyingkirkan penyebab koma dengan henti napas yang irreversible
3. Memastikan arefleksi batang otak dan henti napas yang menetap
Adapun tanda-tanda menghilangnya fungsi batang otak ialah
1. koma
2. tidak ada sikap abnormal (dekortikasi, deserebrasi)
3. tidak ada sentakan epileptic
4. tidak ada refleks batang otak
5. tidak ada napas spontan
Apabila tanda-tanda fungsi batang otak yang hilang di atas ada semua, maka hendaknya diperiksa
lima refleks batang otak, yaitu
1. bila atau tidak ada respon terhadap cahaya
2. bila atau tidak ada refleks kornea
3. bila atau tidak ada refleks vestibule-koklear
4. bila atau tidak ada respon motor dalam distribusi saraf cranial terhadap rangsang adekuat pada
area somatic
5. bila atau tidak ada refleks muntah (refleks gag) atau refleks batuk terhadap rangsang oleh kateter
isap yang dimasukkan ke dalam trakea

Adapun tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti napas
Dengan berkembangnya teknologi kedokteran saat ini, para ahli membedakan antara mati klinis dan
mati vegetatif. Berakhirnya pernapasan dan detak jantung dulu merupakan gejala yang menentukan
matinya seseorang, tetapi kini tidak lagi menjadi dasar penentuan matinya seseorang. Fungsi
manusia seperti berpikir dan merasa hanya dapat berjalan apabila otak masih bekerja. Jika otak tidak
lagi berfungsi, maka berakhirlah kehidupan secara intelektual dan psikis walaupun pernapasan dan
detak jantung masih ada. Mati otak dalam proses kematian menjadi tanda bahwa orang tersebut
telah meninggal dunia

BEBERAPA PANDANGAN TENTANG EUTHANASIA


Masalah euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Alasan yang dikemukakan oleh masing-masing
kelompok adalah
1. Yang tidak menyetujui tindakan euthanasia
Kelompok ini berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung. Oleh
karenanya, tindakan ini bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kelompok ini berpendapat bahwa
hidup adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri, sehingga tak seorang manusia atau institusi
pun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita tersebut. Dikatakan pula bahwa
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati
2. Yang menyetujui euthanasia
Kelompok ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan, dengan tujuan
utama menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompok ini
adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi, tujuan utamanya adalah
meringankanDi dalam Voluntary Euthanasia Act (1969), kelompok yang setuju dengan euthanasia
menampilkan dua pandangan
1. Perasaan kasihan terhadap mereka yang menderita sakit berat dan secara medis tidak mempunyai
harapan untuk pulih
2. Perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang ada hubungan dengan suatu pilihan yang
bebas sebagai hak asasi

Menurut Fletcher tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti
1. Langsung dan sukarela
Memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri
2. Sukarela tapi tidak langsung
Pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada
orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya
3. Langsung tetapi tidak sukarela
Dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang
lahir cacat
4. Tidak langsung dan tidak sukarela
Merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap paling mendekati moral

Dalam Kongres Sedunia tentang Hukum Kedokteran di Gent, Belgia tahun 1979, Prof.ZP Separavic
mengemukakan beberapa kategori berkaitan dengan euthanasia, yakni
a. No assistance in the process of death without the intention to shorten life
Contoh : kematian alamiah
b. Assistance in the process of death without the intention to shorten life
Dalam kategori ini terdapat unsure kelalaian (Schuldelement)
c. No assistance in the process of death with the intention to shorten life
Kategori ini dapat digolongkan sebagai euthanasia pasif
d. Assistance in the process of death with the intention to shorten life
Kategori ini digolongkan sebagai euthanasia aktif

Kajian dan telaah dari sudut medis, etika-moral maupun hukum oleh masing-masing pakarnya,
akhirnya menyimpulkan adanya beberapa bentuk pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan
euthanasia, tetapi sebenarnya ternyata bukan euthanasia. Oleh Professor Leenen kasus-kasus
demikian ini disebut sebagai Pseudo-Euthanasia dan secara hukum tidak dapat diterapkan sebagai
euthanasia. Dalam Bahasa-Indonesia, mungkin istilah yang tepat adalah Euthanasia-semu. Bentuk-
bentuk Pseudo-Euthanasia sebagaimana diuraikan oleh Leenan ialah
1) Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati otak atau batang otak (brainstem death)
Dengan teknologi kedokteran, sekarang dimungkinkan jantung dan paru-paru tetap berfungsi,
walaupun fungsi otak telah berhenti. Fungsi berpikir atau merasakan pada manusia dapat
berlangsung jika otak masih berfungsi. Walaupun pernapasan dan detak jantung masih ada, namun
jika otak tidak lagi berfungsi maka kehidupan secara intelektual dan psikis/kejiwaan telah berakhir.
Mati otak menjadi tanda bahwa seseorang telah meninggal dunia dalam proses kematian. Dewan
Kesehatan Belanda pada tahun 1974 pernah mengusulkan criteria mati otak, yaitu otak mutlak tidak
lagi berfungsi dan fungsi otak mutlak tidak lagi dapat dipulihkan
Dalam keadaan seperti itu tidak ada tindak euthanasia, karena sebenarnya pasien telah meninggal
dunia dengan tidak berfungsinya otak; walaupun (mungkin) pernapasan dan detak jantungnya masih
ada (karena fungsi otonomnya)
2) Pasien menolak perawatan atau bantuan medik terhadap dirinya (sering disebut auto-euthanasia)
Secara umum dapat dikatakan bahwa dokter tidak berhak melakukan tindakan apapun terhadap
pasien jika tidak diizinkan atau dikehendaki oleh pasien tersebut. Suatu tindakan yang dilakukan
tanpa izin pasien, dapat dikategorikan sebagai penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351
KUHP. Beberapa ahli berpendapat bahwa jika pasien tidak memberi izin seperti ini, tetap
digolongkan sebagai Auto-Euthanasia, yang hakikatnya adalah euthanasia pasif atas permintaan
pasien.
Kategori yang mirip dengan ini adalah euthanasia aktif tidak langsung, yakni memberikan obat
penenang atau penghilang rasa sakit dengan dosis terapi setiapkali pasien kesakitan. Tujuan utama
langkah ini ialah sama sekali bukanlah memperpendek hidup pasien, melainkan mengurangi atau
menghilangkan penderitaannya, namun dengan efek samping/risiko hidupnya dipersingkat
3) Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majeure)
Keadaan ini sebenarnya telah diatur dalam pasal 48 KUHP. Misalnya di suatu RS hanya ada 2 buah
alat bantu napas (respirator) yang telah terpakai oleh pasien yang membutuhkan. Jika kemudian
datang pasien ketiga yang juga memerlukan respirator, dokter harus memilih kepada siapa
respirator harus dipasang. Namun harus diingat bahwa dokter tidak berhak melepaskan respirator
dari kedua pasien pertama tanpa izin. Seandainya pasien ketiga meninggal karena tidak mendapat
respirator, dokter tidak mungkin dipersalahkan karena ia berada dalam situasi darurat dan tidak
melakukan sesuatu tindakan yang dapat dihukum
4) Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang diketahui tidak ada gunanya lagi
Kriteria medik harus selalu digunakan untuk menentukan apakah suatu langkah pengobatan atau
perawatan berguna atau tidak. Seorang dokter tidak memulai atau meneruskan suatu
perawatan/pengobatan, jika secara medik telah diketahui tidak dapat diharapkan suatu hasil
apapun, walaupun langkah ini akan mengakibatkan kematian pasien. Penghentian perawatan seperti
ini tidak dimaksudkan untuk mengakhiri/memperpendek hidup pasien, melainkan untuk
menghindari dokter bertindak di luar kompetensinya

EUTHANASIA VERSUS ETIK DAN HUKUM KEDOKTERAN DI


INDONESIA
Peraturan pemerintah tahun 1969 tentang Lafal Sumpah Dokter Indonesia yang bunyinya sama
dengan Deklarasi Jenewa 1948 dan Deklarasi Sydney 1968 menyebutkan bahwa
“Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan…….”
“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”.
Dalam pasal 9, Bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien,
disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan
1. menggugurkan kandungan (abortus provokatus)
2. mengakhiri hidup seseorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak
akan sembuh lagi

Akan tetapi, apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan
fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun
jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang
berpengalaman kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan
konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien,
keluarga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan
Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau
mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Hal ini sesuai dengan pendapat
Professor Olga Lelacic yang menyatakan bahwa dalam kenyataan pasien yang meminta dokter untuk
mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas dari
penderitaan karena penyakitnya. Sampai saat ini belum ada aturan hukum di Indonesia yang
mengatur tentang euthanasia. Namun demikian ada pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) di mana euthanasia ini diatur secara tersirat, yaitu
Pasal 304 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia
wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku
atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
denda paling banyak empat ratus ribu rupiah”.
Catatan
Isi pasal di atas mirip dengan tindakan euthanasia pasif di mana ancaman pidananya lebih tinggi
apabila orang yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia, seperti yang diatur dalam Pasal 306
KUHP ayat (2)
Pasal 306 KUHP
“Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 304 mengakibatkan orang mati, si
tersalah itu dihukum penjara paling lama sembilan tahun”.

Pasal 344 KUHP


“Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkan
olehnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara paling lama dua belas
tahun”.
Catatan
Pasal 344 KUHP ini isinya mirip dengan tindakan euthanasia aktif, karena ada tindakan
menghilangkan nyawa orang lain
Tindakan tersebut dapat diancam dengan pidana meskipun dilakukan atas permintaan sendiri yang
dinyatakan dengan nyata dan sungguh-sungguh
Pasal 338 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena maker mati, dengan
penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun”.
Pasal 340 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain,
dihukum karena pembunuhan yang direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara
selama-lamanya seumur hidup atau penjara semantara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun”.
Pasal 345 KUHP
“Barangsiapa denagn sengaja menghasut orang lain untuk bunuh diri, membantunya dalam
perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya 4
(empat) tahun”.
Pasal 359 KUHP
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang lain, dihukum penjara selama-lamanya 5
(lima) tahun atau kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun”.

Secara hukum, euthanasia terdapat dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan tersirat dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
tetapi dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan euthanasia tidak disinggung.
Pada Pasal 344 KUHP sering disebut-disebut sebagai “pasal euthanasia”. Ada beberapa pasal KUHP
yang berkaitan dengan euthanasia, antara lain 304, 338, 340, 345 dan 359.
Adapun hubungan hukum dokter-pasien juga ditinjau dari sudut perdata. Pasal-pasal 1313, 1314,
1315, dan 1319 KUHPerdata mengatur hal perjanjian tersebut. Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan
bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua
belah pihak. Dengan demikian, apabila tindakan medis yang tidak berguna sama sekali tersebut
dilaksanakan oleh seorang dokter terhadap pasiennya dengan tanpa izin dari pasien tersebut, secara
hukum dapat diterapkan pasal 351 KUHP (penganiayaan).
Lalu, dimana posisi “serba salah” bagi para dokter ? Kalau dokter tidak bertindak apapun kemudian
pasien meninggal, ia dapat dikenakan pasal 304 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja
menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu, diancam denagn pidana penjara dua tahun delapan bulan”.
Sebaliknya, kalau ia menuruti permintaan pasien untuk mati (euthanasia aktif), dapat dikenai pasal
344 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara 12 tahun”.
Demikianlah sedikit pandangan dari aspek hukum yang sampai saat ini masih merupakan dilema,
karena di Indonesia hak untuk mati masih belum ada.

DAFTAR PUSTAKA

Achadiat M. Crisdiono,2006, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman.
Jakarta: EGC.
Dharmawan Surya,2001, Etik dan Hukum di Bidangf Kesehatan. Surabaya: Komite Etik Rumah Sakit
RSUD Dr. Soetomo.
Unit Bioetik & Humaniora Kesehatan FK Unair, 2008,Kajian Biotik 2005, Surabaya, Airlangga
University Press.

Handoko,B.Daeng. 2001. Etik Dan Hukum Di Bidang Kesehatan. Surabaya: Komite Etik RSUD Dr
Soetomo. penderitaan pasien dengan risiko hidupnya diperbaiki.

You might also like