You are on page 1of 6

Sejarah Industri Tekstil 

Majalaya
November 7, 2007 at 3:19 am (Tekstil Majalaya)

SEJARAH tidak berarti apa pun jika hanya dianggap sebagai cerita yang telah lalu dan tanpa melihat relevansi

dengan periode berikutnya. Mengutip sejarawan Robert B. Cribb, ”Sejarah adalah suatu proses yang

berkesinambungan. Sejarah perlu dikaji sebagai dalam kerangka yang koheren dari suatu periode ke periode

berikutnya.” Oleh karena itu, sejarah tidak hanya menggambarkan penggalan waktu tertentu saja, tapi lebih bisa

digunakan sebagai alat untuk mengkaji periode selanjutnya.

Di tengah gembar-gembor rekonstruksi sejarah nasional yang selama ini banyak dilencengkan untuk mendukung

hegemoni kekuasaan, muncul juga keinginan untuk membuat sejarah lokal. Salah satu contoh adalah munculnya

keinginan dari segelintir warga Majalaya untuk membuat sejarah lokal. Diharapkan bahwa sejarah lokal tersebut

tidak hanya dibuat sebagai sebuah dokumentasi yang bisa diakses oleh generasi berikutnya untuk mengetahui

sejarah leluhur mereka. Akan tetapi, sejarah lokal Majalaya juga bisa dijadikan bahan referensi proses perbaikan

kondisi Majalaya saat ini.

Cerita sejarah lokal Majalaya tidak bisa dilepaskan dari kegiatan ekonomi dominan setempat, yaitu industri

tekstil. Perkenalan masyakarat setempat dengan kegiatan tekstil telah terjadi sejak lama dan masih berlangsung

hingga saat ini. Namun dalam perjalanannya telah terjadi banyak pergeseran yang mengakibatkan kontrol

terhadap industri tekstil sudah tidak berada di tangan mereka. Posisi usaha mereka sudah banyak yang tidak

independen dan menjadi maklun perusahaan besar maupun menengah. Perubahan-perubahan tersebut sangat

dipengaruhi oleh berbagai kebijakan ekonomi dan politik tingkat makro. Oleh karena itu, sejarah industri tekstil

Majalaya dari sisi pengusaha dan buruh serta berbagai kebijakannya menjadi penting untuk ditelusuri sebagai

sebuah proses pembelajaran dan refleksi.

Sejarah industri tekstil Majalaya

Majalaya memiliki sejarah industri tekstil yang cukup panjang. Tahun 1930-an merupakan tonggak awal

perkembangan industri tekstil Majalaya yang dipelopori oleh beberapa pengusaha tekstil lokal seperti Ondjo

Argadinata, H. Abdulgani, dsb. Masa-masa tersebut juga diwarnai dengan mulai bermunculannya industri tenun

rumahan yang masih menggunakan tustel (alat tenun bukan mesin). Penyebaran kegiatan menenun

berlangsung cukup cepat karena (1) tingginya persentase rumah tangga yang tidak memiliki lahan dan

melakukan pertanian marginal (2) kegiatan menenun merupakan tradisi lama, namun masih menjadi tipikal

keterampilan perempuan kelas menengah (Hardjono, 1990 dan Pleyte, 1912 dalam Keppy, 2001). Selain itu

keterlibatan buruh-buruh di pabrik-pabrik tenun pada awal tahun 1930-an memberi bekal mereka untuk

membuka usaha tenun sendiri.

Saat pasar semakin terbuka mereka dengan mudah mengambil kesempatan tersebut karena modal yang

diperlukan untuk membeli alat tenun masih murah dan bahan baku bisa diperoleh dari para pengusaha
seperti putting out system. Pada masa-masa berikutnya industri tenun rumahan semakin menjamur di mana-

mana. Hampir setiap penduduk Majalaya memiliki peralatan tenun dan membuka usaha tenun sendiri. Oleh

penduduk yang telah berusia lanjut masa tersebut dikenang sebagai masa-masa keemasan Majalaya.

Industri tenun Majalaya mencapai puncaknya pada awal tahun 1960-an dan mampu memproduksi 40% dari total

produksi kain di Indonesia. Akhir tahun 1964 Majalaya menguasai 25% dari 12.882 ATM (Alat Tenun Mesin) di

Jawa Barat. Hampir seluruhnya terkonsentrasi di Desa Majalaya dan Padasuka (saat ini dimekarkan menjadi 3

desa, yaitu Desa Sukamaju, Padamulya, dan Sukamukti) (Palmer, 1972 dan Matsuo, 1970). Namun, hal ini

merupakan kemajuan secara umum karena jika ditelusuri pada saat yang sama para pengusaha tenun lokal

sudah mulai kehilangan pengaruhnya dan untuk mempertahankan kelangsungan produksi banyak perusahaan

lokal yang beralih ke sistem maklun.

Industri tenun rumahan juga sudah mulai tergeser dan bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan produk

yang dihasilkan oleh ATM. pada masa-masa berikutnya mereka beralih melakukan kegiatan usaha yang sangat

marginal, seperti pembuatan kain lap, urung kasur, dsb. Sejak tahun 1970-an banyak pabrik-pabrik pribumi yang

dijual terhadap pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Penjualan pabrik ini merupakan titik akhir dari rangkaian

proses pengambilalihan perusahaan pribumi oleh pengusaha asing atau WNI nonpribumi.

Di era tahun 1973-1981 Indonesia mengalami masa oil boom dan sifat industrialisasinya sangat eksklusif pada

substitusi impor. Faktor-faktor yang menentukan orientasi ke dalam adalah menumpuknya permintaan konsumen

yang belum terpenuhi, cepatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang dimotori oleh kenaikan harga-harga

komoditas dan meluasnya campur tangan pemerintah. Keberhasilan industrialisasi yang berorientasi ke dalam

dihambat oleh terbatasnya pasar dalam negeri. Pada awalnya, ekspansi industri terjadi dengan cepat karena

pasar dalam negeri sudah tersedia dan dibantu oleh kebijakan proteksi. Namun lambat laun mulai menyusut

karena pasar dalam negeri telah terpenuhi (Manning, 1998 ; Ariff dan Hill, 1988).

Sebagai akibat kebijakan substitusi impor, posisi industri tekstil dihadapkan pada: (1) inefisiensi, (2) tingkat

produktivitas yang rendah, (3) tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan luar negeri, dan (4) iklim

usaha yang kurang menunjang, seperti tingkat bunga bank yang tinggi. Kondisi ini akan berakibat langsung

terhadap kemampuan atau daya saing Indonesia di pasar internasional (orientasi ekspor) (Kusnadi, 1985).

Pada awal tahun 1980-an, industri tekstil Indonesia mengalami kemandekan akibat terlalu besarnya ekspansi

yang dilakukan pada tahun 1970-an. Jumlah produk yang dihasilkan terlalu besar sehingga pasar domestik

mengalami kelebihan pasokan. Tahun 1981-1982 merupakan titik terburuk hingga memerlukan reorganisasi dan

restrukturisasi terhadap keseluruhan industri yang secara terus-menerus ditekankan di tingkat nasional. Banyak

pengusaha kecil di Majalaya mengalami bangkrut. Beberapa menutup usahanya, sedangkan lainnya mengurangi

produksi secara drastis, yaitu hanya menggunakan 50% dari alat tenun yang dimilikinya dan pengurangan jam

kerja menjadi 1 shift (7 jam/hari) biasanya 2 shift  (10 jam/hari). (Kompas, 30 September 1982 dan UPT, 1983

dalam Hardjono, 1990). Krisis ini berkaitan dengan dampak resesi dunia terhadap perekonomian Indonesia yang
mengakibatkan daya beli dalam negeri semakin menurun, proteksi dari negara-negara pengimpor terutama

Eropa dan Amerika Serikat, kesulitan likuiditas, dsb. (Kusnadi, 1985).

Untuk mengatasi krisis tersebut pemerintah memperkenalkan sertifikat sistem ekspor dan fasilitas kredit bank

(Wibisono, 1987 dalam Hardjono, 1987). Berkaitan dengan peninjauan kembali kebijakan substitusi impor,

pemerintah mendorong produksi untuk orientasi ekspor. Sebelumnya pabrik-pabrik besar memproduksi kain

kualitas menengah yang jangkauannya untuk konsumen domestik. Padahal secara teknis mereka dapat

memproduksi kain yang berkualitas lebih baik.

Dengan terbukanya kesempatan ekspor mereka diharapkan dapat memproduksi kain yang berkualitas tinggi

untuk pasar ekspor sehingga dapat mengurangi kompetisi di pasar domestik (Ariff dan Hill, 1988; Hardjono,

1990). Upaya pemerintah yang lain adalah melakukan program ”bapak angkat”. Program ini tidak berjalan

karena sejak awal telah muncul keluhan-keluhan dari ”bapak angkat” mengenai rendahnya kualitas kain yang

diproduksi ”anak angkat”. Sementara itu, ”anak angkat” juga mengeluhkan rendahnya keuntungan yang

diperoleh.

Akan tetapi pada praktiknya, program ini tidak berbeda jauh dengan sistem maklun (sistem subkontrak).

Akhirnya produsen-produsen kecil sudah tidak tertarik lagi dengan program ini. Akhir tahun 1985, secara umum

industri tekstil Majalaya mulai berada dalam posisi yang lebih baik daripada awal tahun 1980-an. Mereka mulai

meraih keuntungan dari kemunculan pabrik-pabrik besar di berbagai daerah, seperti Kotamadya Bandung dan

kecamatan-kecamatan di Dayeuhkolot, Cimahi, serta Ujungberung.

Mayoritas produsen Majalaya mulai merasakan perluasan pasar ini (Hardjono, 1990). Namun ini juga berarti

kontrol terhadap keberlangsungan industri tekstil Majalaya menjadi semakin jauh dari tangan para pengusaha

lokal karena sangat bergantung pada order dari industri-industri besar tersebut. Sementara risiko yang harus
ditanggung cukup tinggi karena mereka harus berurusan langsung dengan para buruhnya. Segala macam

tuntutan buruh tidak ditujukan pada pemberi order, tapi pada penerima order yang jika diperhatikan dalam

keseluruhan rantai produksi yang ada mereka juga dikategorikan sebagai buruh.

Sejak akhir tahun 1990-an hingga sekarang kondisi industri tekstil di Majalaya menjadi semakin menurun,

terutama pada industri skala menengah ke bawah yang banyak dimiliki oleh para pengusaha lokal. Terlebih lagi

ketika terjadi kebakaran pasar Tanah Abang bulan Februari lalu. Kejadian tersebut sangat memukul kegiatan

pemasaran mereka karena Tanah Abang merupakan jalur pemasaran utama bagi produk-produk tekstil lokal

Majalaya.

Berdasarkan penuturan buruh-buruh di Majalaya saat ini mereka menghadapi kesulitan yang sangat besar

karena beberapa pabrik besar sudah mulai melakukan pengurangan jam kerja (pengurangan produksi) dan PHK

terutama pada buruh kontrak. Bahkan, beberapa pabrik-pabrik kecil sudah mulai menutup usahanya karena tidak

mampu menanggung biaya produksi yang semakin besar akibat kenaikan BBM dan TDL. Kebangkrutan pabrik-
pabrik ini juga merupakan bencana bagi buruh-buruhnya juga kegiatan ekonomi lainnya yang didukung atau

secara tidak langsung mendukung kelangsungan industri, seperti warung, penyewaan kamar (kost), sarana

transportasi (angkutan umum, kereta kuda, dsb.).

Buruh-buruh yang mengalami korban PHK di Majalaya mengalami kesulitan yang cukup besar terutama bagi

buruh yang telah berkeluarga. Sebagian besar dari mereka terdorong ke sektor informal. Dari uang pesangon

yang diperoleh mereka mencoba berbagai kegiatan usaha seperti menjadi pedagang keliling, tukang kredit,

membuka warung, dsb. Kegiatan-kegiatan tersebut menjadi salah satu cara bertahan hidup mereka hingga

mereka memperoleh pekerjaan kembali.

Bagi penduduk setempat terutama generasi tua, kondisi saat ini menjadi semakin sulit karena mereka sudah

kehilangan penopangnya yaitu sektor pertanian yang beberapa periode sebelumnya dapat dijadikan alternatif

ketika industri tekstil sedang mengalami penurunan. Saat ini areal pertanian sudah tidak menjadi alternatif mata

pencaharian penduduk, selain karena areal pertanian yang semakin sempit (tergeser oleh areal industri) dan

juga beralihnya orientasi pekerjaan penduduk (terutama penduduk muda).

Penurunan industri tekstil di Majalaya ini harus segera mendapat perhatian dari pemerintah tidak hanya dalam

upaya membangkitkan industri tekstil, tapi juga dalam hal pengawasan implementasi UU Ketenagakerjaan.

Mengapa kedua hal itu harus diperhatikan karena (1) Industri tekstil Majalaya terutama pengusaha lokal sedang

di ambang kebangkrutan dan akan mengancam kelangsungan hidup buruh-buruhnya; (2) Banyaknya

perusahaan yang masih stabil mencoba memanfaatkan kesempatan ini dengan mem-PHK buruh tetapnya

dengan alasan bangkrut kemudian mempekerjakan buruh-buruh kontrak. Meskipun status buruh kontrak juga

berarti hilangnya jaminan sosial dan rentannya status pekerjaan mereka, tapi tidak menyurutkan keinginan para

pencari kerja.

Gerakan perburuhan

Perkembangan industri tekstil Majalaya juga tidak dapat dilepaskan dari gerakan perburuhan yang sangat

dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik di tingkat makro. Pada tahun 1982-1997 gerakan perburuhan di

Indonesia diwarnai dengan keterlibatan militer dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang terus

meluas. Saat itu pemerintah lebih memerhatikan pengawasan terhadap buruh daripada upaya perlindungan

buruh (Manning, 1998). Hal ini tampak dari banyaknya pelanggaran pengusaha terhadap hak-hak normatif

buruh, seperti UMR, cuti melahirkan, cuti haid, uang pesangon. Padahal penetapan peraturan perlindungan

buruh telah ditetapkan sejak awal 1970-an.

Ratifikasi konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi dan

Konvensi ILO No. 98 tentang hak untuk berorganisasi dan berunding bersama pada tahun 1998. Kemudian

disahkannya UU No. 21/2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh oleh pemerintah tahun 2000 juga mewarnai
aktivitas perburuhan di Majalaya. Pada masa ini bermunculan berbagai serikat buruh baik yang mandiri maupun

yang terdaftar di Disnaker. Mereka berusaha untuk memperoleh anggota sebanyak-banyaknya.

Nuansa kompetisi di antara mereka sangat kental dan semakin memecah kekuatan serikat buruh. Padahal,

persoalan yang dihadapi sangat membutuhkan soliditas di antara serikat buruh. Salah satu cara untuk menarik

anggota adalah dengan mengajukan berbagai tuntutan pada perusahaan yang seringkali menjadi bumerang bagi

buruhnya. Tidak sedikit aktivis serikat buruh atau buruh yang di PHK karena mengajukan tuntutan bahkan ketika

akan membentuk serikat buruh di tingkat pabrik. Hal ini menjadi indikasi bahwa kebebasan berserikat belum

sepenuhnya berjalan. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Majalaya juga daerah konsentrasi industri lainnya.

Pekerja lokal vs pendatang

Belakangan ini penduduk Majalaya semakin merasakan sempitnya peluang kerja yang ada karena mereka harus

bersaing dengan para pendatang yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Bandung, dsb. Hal ini

juga pernah menjadi pemicu konflik antara penduduk setempat dan pabrik serta penduduk lokal dan pendatang.

Permasalahan ini harus segera dicarikan solusinya agar tidak menimbulkan konflik yang lebih besar di kemudian

hari.

Berdasarkan penuturan beberapa penduduk Majalaya baik yang generasi tua maupun muda sebelum tahun

1990-an mereka merasakan kemudahan dalam mencari pekerjaan karena banyak pabrik yang berdiri sementara

tenaga kerja masih terbatas. Mereka dapat dengan mudah berganti-ganti pekerjaan. Saat itu persyaratan kerja

tidak seketat sekarang meskipun pendidikan rendah dan kemampuan seadanya mereka tetap dapat diterima

bekerja.

Namun saat ini preferensinya berubah, syarat pendidikan minimal SMP bahkan perusahaan-perusahaan besar

mensyaratkan SMA, memiliki tinggi badan tertentu, dsb. Perubahan ini membatasi kesempatan bekerja bagi

penduduk lokal yang rata-rata berpendidikan rendah. Mereka hanya bisa menempati perusahaan-perusahaan

kecil yang upahnya masih jauh di bawah ketentuan upah minimum dan tidak memiliki jaminan sosial apa pun.

Terdapat beberapa perbedaan kebijakan antara perusahaan ”besar” dan ”kecil” terutama menyangkut tingkat

upah, implementasi UU Ketenagakerjaan dan preferensi buruh. Perusahaan kecil biasanya tidak memberlakukan

UU Ketenagakerjaan, standar upahnya minim, tidak memiliki jaminan sosial yang jelas. Sebagai timbal baliknya

mereka tidak menentukan batasan usia dan pendidikan tertentu bagi buruhnya dan jam kerja lebih longgar.

Sedangkan perusahaan besar mengacu pada UU Ketenagakerjaan, memiliki standar penerimaan buruh (proses

seleksi), jam kerja ketat dengan sistem shift. Perusahaan besar banyak mempekerjakan pendatang karena

selain memenuhi persyaratan tersebut juga ada stereotip tertentu mengenai buruh pendatang yaitu tidak banyak

menuntut dan rajin bekerja. Apakah ini berarti bahwa penduduk setempat banyak menuntut dan tidak rajin? Saya

tidak tahu pasti mengenai hal tersebut.


Namun yang jelas perbedaan kebijakan antara perusahaan kecil dan perusahaan besar ini menyebabkan

perbedaan kondisi buruhnya. Artinya kebijakan yang berlaku juga harus sangat memerhatikan keragaman

karakteristik industri dan buruhnya. Karakteristik buruh yang berbeda di masing-masing skala usaha sangat

penting diperhatikan oleh para organisatoris gerakan buruh dan pemerintah untuk lebih memerhatikan jaminan

sosial dan upaya perlindungannya. Apalagi, sebagian besar penduduk Majalaya telah menjadi bagian industri

dan menjadi salah satu penopang laju ekonomi nasional yang berbasis industri tekstil

You might also like