You are on page 1of 5

PENDAHULUAN

Kelangkaan sumber daya air bagi negara-negara berkembangan diprediksikan akan


menyebabkan turunnya pertumbuhan produksi pangan (Sumaryanto, 2006). Hal ini
disebabkan karena: (1) kemampuan untuk melakukan perluasan lahan irigasi makin
terbatas, terkendala oleh anggaran dan makin mahalnya investasi irigasi, (2) sumber daya
lahan dan air yang layak dikembangkan untuk irigasi makin sedikit, (3) kebutuhan air
untuk sektor lain (rumah tangga dan industri) semakin tinggi, dan (4) sistem irigasii yang
telah ada, terjadi kemunduran kinerja manajemen sistem irigasi dalam skala luas (World
Bank, 1993; Oi, 1997; Rosegrant et al, 2002).

Irigasi yang boros

Jawa Tengah memiliki kekayaan potensi sumber air tidak kurang dari 65.734 juta
m3 (BAPPEDA, 1997) per tahun, telah dimanfaatkan  berbagai keperluan 25.282 juta m3
dan sebagai tampungan (waduk, embung, dll) sebanyak 2.308 juta m 3. Jadi yang
diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai pasokan sekitar 42% dan sisanya sekitar 58%
belum dimanfaatkan atau terbuang ke laut. Merupakan angka cukup rendah, karena untuk
Indonesia yang terbuang percuma ke laut sebanyak 72% atau sebesar 2.300 milyar m3.

Petani adalah salah satu pemangku kepentingan atau stakeholder dominan dalam
penggunaan sumber daya air, sehingga irigasi sangat berperan terhadap sistem suplai
kebutuhan air. Namun demikian justeru pemakaiannya sangat boros, data Ditjen Pengairan
(Dep. PU) akhir tahun 1980-an menunjukkan efisiensinya hanya sekitar 30%, dan kondisi
sekarang tentu akan lebih rendah lagi. Bila efisiensi 30%, berarti untuk sasaran yang sama
diperlukan jumlah air jauh lebih banyak, yakni lebih dari tiga kali lipatnya.

Tingkatkan efisiensi irigasi

Jawa Tengah memiliki sawah beririgasi seluas 868.975 hektar (Ditjen SDA/Dinas
PSDA, 2006), di antaranya 583.002 hektar tergolong irigasi teknis. Sistem irigasi teknis
adalah yang paling handal dimana aliran air terkendali dan terukur (controllable and
measurable). Memiliki bangunan-bangunan lengkap termasuk bangunan pengukur,
sehingga sangat dimungkinkan upaya peningkatan efisiensi pada sistem irigasi ini.
Jika bisa meningkatkan efisiensi 5% saja, misalnya dari 30% menjadi 35%, maka
secara teoritis akan bisa menghemat air dalam setahun tidak kurang dari 842 juta m3. Yakni
dengan taksiran kebutuhan air untuk tanaman padi sebesar 1 liter/detik/hektar, bagi sawah
seluas 583.002 hektar. Jumlah ini melebihi air yang disimpan di waduk Kedung Ombo
yang hanya 723 juta m3. Tentu saja volume sebesar ini akan sangat berarti untuk
mengurangi bencana kekeringan. Apa lagi jika efisiensi ditingkatkan menjadi 60% sebagai
sasaran ideal, maka yang dihemat bertambah lagi, seolah memiliki tambahan cadangan air
lebih dari lima buah waduk sebesar Kedung Ombo. Ternyata dengan peningkatan efisiensi
irigasi memberikan volume penghematan yang sangat signifikan.

Upaya peningkatan efisiensi dapat dilakukan antara lain dengan cara:

1. Pemberian air berselang-seling (intermittent), mencukupi kebutuhan minimum


optimal
2. Penggunaan kembali air buangan (water re-use)
3. Mengadopsi pemanfaatan air secara conjuctive, saling melengkapi antara
penggunaan air pemukaan, hujan, air tanah, dsb
4. Pembuatan waduk lapangan (embung)
5. Saluran pasangan (canal lining)
6. Teknologi baru pemberian air, antara lain metode SRI (System of Rice
Intensificagion)
7. Meningkatkan kedisiplinan petani dalam mentaati jadwal tanam dan aturan
pemberian air.
8. Memberantas pengambilan air liar (illegal offtake).

Peningkatan efisiensi menurut Sumaryanto (2002) dapat juga dilakukan dengan


menciptakan insentif ekonomi. Yakni mengupayakan dengan air irigasi tersedia agar
menghasilkan keluaran produk pertanian yang maksimal. Diversifikasi tanaman yang
mengarah produk bernilai ekonomi tinggi merupakan salah satu solusinya.

Rasionalisasi irigasi

Selama ini pemberian air irigasi dilaksanakan berdasar pengaliran menerus


(continuous flow) melalui saluran tiap dua mingguan. Artinya selama dua minggu besar
debit dialirkan sama dan dianggap kebutuhan (demand) air tetap. Sedangkan ketersediaan
(supply) air biasanya diambil berdasar catatan debit sungai beberapa tahun sebelumnya.
Untuk penghematan air, prinsip ini sebenarnya perlu diubah berdasar ketersediaan dan
penggunaan air yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan nyata saat itu (real time).
Adapun alasan utama perlunya pemberian air yang lebih rasional antara lain: Pertama, air
irigasi sifatnya sebagai tambahan (supplementary), hanya dialirkan pada saat diperlukan
jika secara alamiah (hujan) tidak mencukupi; kedua, hujan turun makin tidak menentu
akibat perubahan iklim; ketiga, kebutuhan air untuk padi bervariasi sesuai umur tanaman;
dan keempat, debit sungai makin berfluktuasi dan cenderung makin menurun di musim
kemarau.

Upaya rasionalisasi pernah dirintis  oleh  pemerintah  (Dinas PSDA)  di Jawa


Tengah sejak  tahun  1997,  dengan   mengadopsi  model  alokasi   air   WRMM   (Water 
Resources Management Model). Tetapi dalam pelaksanaannya menghadapi banyak 
kendala, di antaranya adalah masalah dana, fasilitas, dan tenaga pelaksana. Tidak 
mengherankan jika upaya penerapan rasionalisasi tersebut tidak berjalan seperti diharapkan
dan bahkan terbengkalai.

Mendaya gunakan aset negara

Tampaknya upaya penghematan melalui efisiensi dan rasionalisasi irigasi tidak


mudah untuk diterapkan. Namun jika kondisi cuaca dan iklim terus berkembang tidak
menentu, pembalakan hutan serta pencemaran air berjalan tak terkendali. Pada sisi lain
tuntutan kebutuhan air yang terus meningkat untuk industri maupun domestik. Sementara
itu upaya konservasi sumber daya air dengan perbaikan daerah aliran sungai (DAS)
memerlukan waktu lama. Maka dalam rangka mengurangi bencana kekeringan tidak salah
jika juga mengarah pada perbaikan pengelolaan irigasi. Karena jaringan irigasi merupakan
infrastruktur yang sudah ada dan sebagai aset negara yang bernilai sangat besar, sehingga
sangat wajar harus dipertahankan dan ditingkatkan daya gunanya.

Dengan efisiensi dan rasionalisasi infrastruktur irigasi yang ada dapat ditingkatkan
daya gunanya, air irigasi dapat mencapai semua sasaran areal sawah sesuai kebutuhan,
sehingga kekurangan air dan ancaman bahaya kekeringan bisa diminimalisir, bahkan akan
terdapat kelebihan atau surplus pada waduk-waduk.
Akhirnya dapat ditambahkan perlunya lebih digiatkan upaya dari masyarakat,
sebagai wujud partisipasi para petani, melalui penampungan air hujan (rainfall harvesting)
yang telah lama dikenal. Dengan pembuatan kolam-kolam tampungan atau embung-
embung kecil oleh penduduk, yang tidak memerlukan biaya besar dan hasilnya langsung
dapat dimanfaatkan oleh para petani. Tentu saja harus disertai upaya pembinaan yang
berkesinambungan untuk meningkatkan kemampuannya, dan mempertebal rasa ikut
memiliki sarana dan prasarana irigasi.

Penutup

Menurut Pasandaran (2007) Indonesia memerlukan langkah-langkah kebijakan


terobosan dalam irigasi, jika tidak ingin kembali menjadi negara pengimpor beras terbesar
di dunia. Maka upaya efisiensi dan rasionalisasi irigasi dapat menjadi salah satu alternatif
kebijakan terobosan tersebut. Hambatan utama adalah usaha itu perlu dibarengi dengan
tindakan perbaikan kondisi fisik jaringan irigasi.
Daftar Referensi:

1. Sumaryanto, 2006: ”Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi Melalui


PenerapanIuran Irigasi Berbasis Nilai Ekonomi Air Irigasi”, Forum Penelitian Agro
Ekonomi,Volume 2 No.2, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
Bogor
2. World Bank, 1993: ”Water Resources Managment: A World Bank Policy
Paper”,World Bank, Washington, D.C.
3. Oi, S, 1997: “Introduction to Modernization of Irrigation Schemes”, Water Report,
No. 12, Food and Agriculture Organization, Rome.
4. Rosegrant, M.W.; X. Cai; and S.A. Cline, 2002: World Water and Food to 2025,
“Dealing With Scarcity”, International Food Policy Research Institute (IFPRI),
Washington, D.C.
5. Pasandaran, Effendi, 2007: “Pengelolaan Infrastruktur Irigasi Dalam Rangka
Ketahanan Pangan Nasional”, Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 5 No.2, Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

You might also like