You are on page 1of 5

Perjuangan Ranggong Daeng Romo

Sosok pejuang asal Takalar itu sangat dikagumi ketika menentang penjajah Belanda pada
zamannya. H Pajonga Daeng Ngalle Karaeng Polongbangkeng merupakan pemerakarsa terbentuknya
Laskar Pemberontak Republik Indonesia Sulawesi (LAPRIS),di mana saat itu mengangkat Ranggong Dg
Romo sebagai panglima perang, Wolter Mongonsidi sebagai Sekretaris dibantu Emmy Saelan.
Padjonga saat itu terjun langsung mendampingi pasukannya angkat senjata. Sosoknya yang tidak kenal
kompromi kala itu, membuat dirinya selalu menjadi incaran dan buruan bangsa Belanda.
Konferensi Malino Juli 1946 membawa kekecewaan beberapa raja di Sulsel. Hasil konferensi Malino,
membuat pimpinan Belanda, Mr. Van Mook, untuk membentuk negara Boneka NIT (Negara Indonesia
Timur). H Padjonga kecewa, lantas mengundang 19 laskar kecil se Sulsel , berkumpul di
Polongbangkeng. " Penjajah harus ditumpas, harus dienyahkan dari muka Bumi Celebes ini," tegasnya.

Ranggong Daeng Romo selama kariernya memimpin kelaskaran perjuangan dalam menegakkan
kemerdekaan Republik Indonesia, telah memimpin pertempuran atau memerintahkan penyerangan kurang
lebih lima puluh kali dari enam puluh kali bentrokan bersenjata antara pasukan kelaskaran dengan KNIL.

Ranggong Daeng Romo dilahirkan pada tahun 1915, di suatu tempat yang dikenal oleh
masyarakat dengan nama kampung Bone-Bone, Bate Moncokomba, Distrik Polombangkeng, Takalar. Ia
adalah putra sulung dari enam bersaudara dari pasangan suami istri Gallarang Moncokomba,
Mangngulabbe Daeng Makkiyo dengan Bati Daeng Jimo. Mereka adalah keturunan keluarga bangsawan
kaya yang dermawan di Polombangkeng yang mempunyai tradisi kepahlawanan dalam membela dan
mempertahankan kehormatan bangsa dan tanah air.

Sejak kecil, Ranggong Daeng Romo ditempa untuk menjadi anak yang berguna bagi masyarakat.
Ia dimasukkan belajar pada pondok pesantren di Cikoang untuk memperoleh pendidikan ajaran Islam dan
lanjut ke Sekolah Rakyat atau Inlandsche School. Setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah
tersebut, ia hendak dimasukkan ke HIS, tapi karena pendiriannya yang teguh dan tidak menyukai sekolah
milik Belanda, maka ia dimasukkan ke sekolah Partikulir atau Taman Siswa yang telah dikenalnya.

Setelah berhenti bersekolah, ia kembali ke Polombangkeng mendampingi orangtuanya dalam


menjalankan roda pemerintahan sebagai Gallarang Moncokomba. Ketika ia berusia 18 tahun, ia
dikawinkan dengan sepupunya yang bernama Bungatubu Daeng Lino, puteri Gallarang Bontokandatto,
Tarasi Daeng Bantang pada tahun 1993. Sejak itu, ia membantu mertuanya yang juga pamannya dalam
menjalankan tugas pemerintahan sebagai Gallarang Bontokandatto sampai pada masa pendaratan militer
Jepang tahun 1942.

Pada masa pendudukan militer Jepang, Ranggong Daeng Romo bekerja pada perusahaan Jepang
Naniyo Kuhatsu Kabusuki Kaisha (NKKK) yaitu perusahaan pembelian beras dari militer Jepang di
Takalar. Ini merupakan upaya penyesuaian diri agar tetap dapat memperhatikan dan melindungi rakyat
dari kekejaman penguasa militer Jepang.

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, yang diumumkan
oleh Soekarno-Hatta, atas nama seluruh bangsa Indonesia ke seluruh pelosok tanah air, maka atas
persetujuan Karaeng Polombangkeng Pajonga Daeng Ngalle, Ranggong Daeng Romo termasuk salah satu
yang memprakarsai berdirinya organisasi perjuangan di Polombangkeng, yang kemudian dikenal dengan
nama Gerakan Muda Bajeng (GMB).

Organisasi perjuangan Gerakan Muda Bajeng ini dibentuk pada tanggal 16 Oktober 1945. Pada
mulanya Ranggong Daeng Romo hanya diangkat sebagai komandan barisan penerjang/pertahanan untuk
wilayah Moncokomba dan merangkap sebagai Kepala Wilayah (Bate) Ko’Mara. Karena keberhasilannya
dalam mengemban tugas tersebut, maka pada tanggal 27 Februari 1946, Ranggong Daeng Romo diangkat
menjadi komandan barisan penerjang Gerakan Muda Bajeng.

Pada tanggal 2 April 1946, GMB menjelma menjadi Laskar Lipan Bajeng, dan Ranggong Daeng
Romo diangkat sebagai pucuk pimpinan. Kelaskaran Lipan Bajeng ini merupakan salah satu dari sekian
banyak laskar perjuangan yang ada di daerah Sulawesi Selatan dan sekaligus merupakan salah satu wadah
bagi rakyat dalam perjuangan menegakkan, membela dan mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Untuk mewujudkan rencana penyatuan kelaskaran-kelaskaran yang tersebar di setiap daerah


dalam satu wadah, maka pada tanggal 17 Juli 1946, terbentuklah secara resmi organisasi gabungan
kelaskaran yang dikenal dengan nama “Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS),” yang
terdiri dari gabungan 19 organisasi laskar perjuangan dan Ranggong Daeng Romo diangkat sebagai
Panglima LAPRIS (Ketua Bidang Ketentaraan/Kemiliteran).

Tanggal 21 Februari 1946 untuk pertama kalinya, Ranggong Daeng Romo memimpin langsung
pertempuran dengan kekuatan kurang lebih 100 orang anggota pasukan menyerang kubu pertahanan
musuh (Belanda) di daerah Takalar dan tanggal 28 Februari 1947 merupakan pertempuran terakhir yang
dipimpin langsung oleh Ranggong Daeng Romo di bukit Lengkese, dimana ia sendiri gugur sebagai
ksatria dalam pertempuran tersebut.

Jenis Mitos : Mitos sebenarnya

Nilai moral : nilai mroal dari cerita tentang Ranggong Daeng Romo untuk mencapai sesuatu yang
mulia, harus dengan perjuangan yang besar dan janganlah menyerah sebelum berperang.
PERJUANGAN

RANGGONG DAENG ROMO

Oleh :

FADLI

M AT 1 E
105360391310

UNISMUH

Simpulan nilai moral

 Janganlah mengorbankan hidup seseorang untuk kepentingan pribadi.


 Tututlah ilmu yang sewajar-wajarnya.
 Memintalah kekuatan hanya untuk dan hanya kepada Allah SWT.

Cerita ini saya klasifikasikan ke dalam cerita rakyat

You might also like