You are on page 1of 10

Pendahuluan

Latar Belakang Masalah


Wacana tentang good governance atau kepemerintahan yang baik merupakan isu yang
paling mengemuka belakangan ini. Tuntutan masyarakat agar pengelolaan negara
dijalankan secara amanah dan bertanggung jawab adalah sejalan dengan keinginan global
masyarakat internasional pada saat ini.
Kata governance dalam bahasa inggris sering di artikan dengan tata kelola atau
pengelolaan dengan kata dasar to govern yang bermakna memerintah. “Memerintah”
diartikan sebagai menguasai atau mengurus negara atau mengurus daerah sebagai bagian
dari negara.
Dari istilah tersebut diatas dapat diketahui bahwa istilah governance tidak hanya berarti
sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan,
pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan.
Pemahaman umum tentang good governance mulai mengemuka di Indonesia sejak tahun
1990-an dan semakin populer pada era tahun 2000-an. Kepemeritahan yang baik banyak
diperkenalkan oleh lembaga donor atau pemberi pinjaman luar negeri seperti World
Bank, Asean Development Bank, IMF maupun lembaga-lembaga pemberi pinjaman
lainnya yang berasal dari negara-negara maju. Good governance dijadikan aspek
pertimbangan lembaga donor dalam memberikan pinjaman maupun hibah.
Dalam good governance, akuntabilitas publik merupakan elemen terpenting dan
merupakan tantangan utama yang dihadapi pemerintah dan pegawai negeri. Akuntabilitas
berada dalam ilmu sosial yang menyangkut berbagai cabang ilmu sosial lainnya, seperti
ekonomi, adminitrasi, politik, perilaku, dan budaya. Selain itu, akuntabilitas juga sangat
terkait dengan sikap dan semangat pertanggungjawaban seseorang. Akuntabilitas secara
filosofi timbul karena adanya kekuasaan yang berupa mandat/amanah yang diberikan
kepada seseorang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka
mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada.
Permasalahan

1. Bagaimanakah konsep dan pemahaman tentang akuntabilitas kaitannya dengan good


governance?
2. Sejauhmana implementasi konsep akuntabilitas di Indonesia?

Pembahasan
Konsep tentang Akuntabilitas
Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa inggris biasa disebut dengan accoutability
yang diartikan sebagai “yang dapat dipertanggungjawabkan”. Atau dalam kata sifat
disebut sebagai accountable. Lalu apa bedanya dengan responsibility yang juga diartikan
sebagai “tanggung jawab”. Pengertian accountability dan responsibility seringkali
diartikan sama. Padahal maknanya jelas sangat berbeda. Beberapa ahli menjelaskan
bahwa dalam kaitannya dengan birokrasi, responsibility merupakan otoritas yang
diberikan atasan untuk melaksanakan suatu kebijakan. Sedangkan accountability
merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas yang diperolehnya
tersebut.
Berkaitan dengan istilah akuntabilitas, Sirajudin H Saleh dan Aslam Iqbal berpendapat
bahwa akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang
meliputi akuntabilitas internal dan eksternal seseorang. Dari sisi internal seseorang
akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhan-nya.
Sedangkan akuntabilitas eksternal seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepada
lingkungannya baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan
masyarakat.
Deklarasi Tokyo mengenai petunjuk akuntabilitas publik menetapkan pengertian
akuntabilitas yakni kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang
dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan
dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal,
manajerial, dan program.
Ini berarti bahwa akuntabilitas berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi (penilaian)
mengenai standard pelaksanaan kegiatan, apakah standar yang dibuat sudah tepat dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi, dan apabila dirasa sudah tepat, manajemen memiliki
tanggung jawab untuk mengimlementasikan standard-standard tersebut.
Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam
pencapaian hasil pada pelayanan publik. Dalam hubungan ini, diperlukan evaluasi kinerja
yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara yang
digunakan untuk mencapai semua itu. Pengendalian (control) sebagai bagian penting
dalam manajemen yang baik adalah hal yang saling menunjang dengan akuntabilitas.
Dengan kata lain pengendalian tidak dapat berjalan efisien dan efektif bila tidak ditunjang
dengan mekanisme akuntabilitas yang baik demikian juga sebaliknya.
Media akuntabilitas yang memadai dapat berbentuk laporan yang dapat mengekspresikan
pencapaian tujuan melalui pengelolaan sumber daya suatu organisasi, karena pencapaian
tujuan merupakan salah satu ukuran kinerja individu maupun unit organisasi. Tujuan
tersebut dapat dilihat dalam rencana stratejik organisasi, rencana kinerja, dan program
kerja tahunan, dengan tetap berpegangan pada Rencana Jangka Panjang dan Menengah
(RJPM) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Media akuntabilitas lain yang cukup
efektif dapat berupa laporan tahunan tentang pencapaian tugas pokok dan fungsi dan
target-target serta aspek penunjangnya seperti aspek keuangan, aspek sarana dan
prasarana, aspek sumber daya manusia dan lain-lain.

Impelementasi Akuntabilitas di Indonesia


Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang baru. Hampir
seluruh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menekankan konsep akuntabilitas ini
khususnya dalam menjalankan fungsi administratif kepemerintahan. Fenomena ini
merupakan imbas dari tuntutan masyarakat yang mulai digemborkan kembali pada awal
era reformasi di tahun 1998. Tuntutan masyarakat ini muncul karena pada masa orde baru
konsep akuntabilitas tidak mampu diterapkan secara konsisten di setiap lini
kepemerintahan yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab lemahnya birokrasi dan
menjadi pemicu munculnya berbagai penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan
keuangan dan administrasi negara di Indonesia.
Era reformasi telah memberi harapan baru dalam implementasi akuntabilitas di
Indonesia. Apalagi kondisi tersebut didukung oleh banyaknya tuntutan negara-negara
pemberi donor dan hibah yang menekan pemerintah Indonesia untuk membenahi sistem
birokrasi agar terwujudnya good governance.
UNDP menegaskan bahwa prinsip-prinsip good governance antara lain terdiri dari
partisipasi, ketaatan hukum, transparansi, responsif, berorientasi kesepakatan, kesetaraan,
efektif dan efisien, akuntabilitas dan visi stratejik. Tergambarkan jelas bahwa
akuntabilitas merupakan salah satu aspek penting dalam good governance.
Beberapa negara maju di Eropa seperti jerman dan Inggris telah menerapkan konsep
akuntabilitas hampir di setiap aspek kepemerintahan sejak tahun 1970-an. Inggris di era
John Major dan Toni Blair memasyarakatkan akuntabilitas dengan menyusun Output and
Performance Analysis (OPA Guidance) atau pedoman tresuri kepada departemen/badan
di lingkungan kepemerintahan dan Guidence on Annual Report yang berisikan petunjuk
dalam menyusun laporan tahunan suatu badan kepada menteri, parlemen, dan masyarakat
umum. Disamping itu pemerintah Inggris menetapkan gagasan tentang Public Services
for The Future: Modernisation, Reform, Accountability yang intinya adalah setiap
keputusan hendaknya jangan hanya berorientasi pada berapa banyak pengeluaran dan
atau penyerapan dana untuk tiap area, tetapi juga mengenai peningkatan jasa yang
diberikan dan perbaikan-perbaikan.
Berbeda dengan Inggris, Jerman sebagai negara yang berbentuk federasi, menetapkan
bahwa keterlibatan pusat (central involvement) dalam kegiatan setiap menteri dibatasi
pada masalah kepegawaian, teknologi informasi dan hal-hal keuangan. Dari pola
pemerintahan ini, maka pemerintah sesuai dengan tingkatannya secara formal
mempunyai akuntabilitas (public accountability) kepada parlemen di tiap tingkatan
pemerintahan (federal, negara bagian, dan lokal). Demikian pula dengan menikmati
tingkat independen operasional yang tinggi, maka seorang menteri dapat secara leluasa
melakukan kegiatannya, dan dengan demikian konsep dan prinsip akuntabilitas dapat
dilakukan secara komprehensif .
Di Indonesia, sosialisasi konsep akuntabilitas dalam bentuk Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (AKIP) telah dilakukan kepada 41 Departemen/LPND. Di tingkat
unit kerja Eselon I, dilakukan berdasarkan permintaan dari pihak unit kerja yang
bersangkutan, oleh karenannya capaian dan cakupannya masih tergolong rendah.
Dengan komitmen tiga pihak yakni Lembaga Administrasi Negara (LAN), Sekretariat
Negara, dan BPKP, maka pemerintah mulai memperlihatkan perhatiannya pada
implementasi akuntabilitas ini. Hal ini terlihat jelas dengan diterbitkannya Inpres No. 7
tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres ini
menginstruksikan setiap akhir tahun seluruh instansi pemerintah (dari eselon II ke atas)
wajib menerbitkan Laporan Akuntabilitas Kinerja (LAK). Dengan LAK seluruh instansi
pemerintah dapat menyampaikan pertanggungjawabannya dalam bentuk yang kongkrit ke
arah pencapaian visi dan misi organisasi.
Perkembangan penyelenggaraan negara di Indonesia memperlihatkan upaya sungguh-
sungguh untuk menghasilkan suatu pemerintahan yang berorientasi pada pemenuhan
amanah dari seluruh masyarakat. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN menguraikan mengenai azas
akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara dan pengelolaan pemerintahan. Hal ini
mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang responsif, bebas
KKN serta berkinerja, kondisi akuntabilitas merupakan sufficient condition atau kondisi
yang harus ada .
Wujud lain dari implementasi akuntabilitas di Indonesia adalah dengan lahirnya Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara khususnya di pasal 14 ayat (2)
yang menyatakan bahwa instansi pemerintah diwajibkan menyusun rencana kerja dan
anggaran yang didasarkan pada prestasi kerja yang akan di capainya. Dengan demikian
terdapat hubungan yang erat antara anggaran pemerintah (APBN dan APBD) dengan
kinerja yang akan dicapainya berdasarkan perencanaan stratejik tersebut.
Namun demikian, impelementasi konsep akuntabilitas di Indonesia bukan tanpa
hambatan. Beberapa hambatan yang menjadi kendala dalam penerapan konsep
akuntabilitas di Indonesia antara lain adalah; rendahnya standar kesejahteraan pegawai
sehingga memicu pegawai untuk melakukan penyimpangan guna mencukupi
kebutuhannya dengan melanggar azas akuntabilitas, faktor budaya seperti kebiasaan
mendahulukan kepentingan keluarga dan kerabat dibanding pelayanan kepada
masyarakat, dan lemahnya sistem hukum yang mengakibatkan kurangnya dukungan
terhadap faktor punishment jika sewaktu-waktu terjadi penyimpangan khususnya di
bidang keuangan dan administrasi.
Semua hambatan tersebut pada dasarnya akan dapat terpecahkan jika pemerintah dan
seluruh komponennya memiliki pemahaman yang sama akan pentingnya implementasi
akuntabilitas disamping faktor moral hazard individu pelaksana untuk menjalankan
kepemerintahan secara amanah.

Kesimpulan
Kesimpulan dalam penulisan ini adalah;
a. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau
penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang
bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut
pertanggungjawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan
kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan
menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat.
b. Implementasi akuntabilitas di Indonesia pada prinsipnya telah dilaksanakan secara
bertahap dalam lingkungan pemerintahan. Dukungan peraturan-peraturan yang
berhubungan langsung dengan keharusan pernerapan akuntabilitas di setiap instansi
pemerintah menunjukan keseriusan pemerintah dalam upaya melakukan reofrmasi
birokrasi. Namun demikian, masih terdapat beberapa hambatan dalam implementasi
akuntabilitas seperti; masih rendahnya kesejahteraan pegawai, faktor budaya, dan
lemahnya penerapan hukum di Indonesia.

Saran
Saran dalam penulisan ini adalah:
1. Penerapan akuntabilitas di instansi pemerintah seharusnya didukung adanya upaya
perbaikan kesejahteraan pegawai.
2. Hilangkan budaya ewuh pakeuwuh yang berpotensi kolusi dalam penyelenggaraan
kepemerintahan/jajaran birokrasi dan utamakan asas pertanggungjawaban dalam setiap
kegiatan.
3. Tegakkan hukum secara konsisten khususnya dalam lingkungan
birokrasi/pemerintahan.

Penulis: Teguh Arifiyadi, SH (Inspektorat Jenderal Depkominfo)


[Forum-Pembaca-KOMPAS] Bentuk
Akuntabilitas LSM Berbeda dengan
Parpol
Agus Hamonangan
Wed, 18 Apr 2007 20:47:55 -0700

http://www.kompas.co.id/kompas-
cetak/0704/19/Politikhukum/3465520.htm
===============================

Jakarta, Kompas - Lembaga swadaya masyarakat atau LSM punya bentuk dan
ukuran akuntabilitas yang berbeda dengan lembaga lain, seperti partai
politik. Hal ini, antara lain, disebabkan perbedaan fungsi dan sumber
dana yang dipakai LSM.

"LSM wajib melaporkan penggunaan dananya kepada masyarakat atau


pemerintah jika mereka mendapatkan dana itu dari pemerintah. Ketentuan
ini sama dengan partai politik yang wajib melaporkan keuangannya
karena mereka mendapatkan dana dari publik," kata Deputi Direktur
Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi, Agus Sudibyo, di Jakarta, Rabu
(18/4).

Namun, jika LSM mendapatkan dana dari lembaga donor, lanjut Agus,
mereka hanya wajib melaporkan penggunaannya kepada lembaga donor.
Selanjutnya, lembaga donor yang akan melaporkan pemakaian dana itu ke
masyarakat.

"Laporan ke lembaga donor ini tidak mudah. Ditemukan sedikit saja


penyelewengan, dana selanjutnya tidak akan turun. Dengan demikian,
jika sekarang ada LSM yang dapat bertahan hingga belasan atau puluhan
tahun, berarti mereka cukup akuntabel dan transparan," papar Agus.

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch dalam siaran persnya yang


ditandatangani Koordinator Badan Pekerja Teten Masduki berpendapat,
terlalu dini kalau parpol dinilai lebih transparan dan akuntabel
dibandingkan LSM. Perbedaan karakteristik dan tanggung jawab publik
pada parpol yang lebih besar harus diperhitungkan. Pernyataan politisi
juga terkesan melimpahkan berbagai cacat di tubuh parpol ke kalangan
LSM.

Sementara itu, sejumlah politisi di DPR mengatakan, keinginan agar LSM


lebih terbuka tak perlu disikapi dengan penuh kecurigaan. Jika selama
ini kalangan LSM sangat "galak" menuntut akuntabilitas dan
transparansi dari pemerintah maupun partai politik, wajar juga jika
hal serupa dimintakan kepada LSM.

Bendahara Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa di


Jakarta menyebutkan, semua lembaga berbadan hukum yang bersinggungan
dengan dana dan kepentingan publik harus mempertanggungjawabkannya
kepada publik pula.
LSM tidak perlu resisten dengan usul tersebut. Justru penerapan
prinsip transparansi itu akan melepaskan kecurigaan terhadap LSM yang
selama ini bisa melakukan kegiatan besar yang tentu disokong dana yang
besar pula. "Jadi, jangan LSM malah merasa urusan dapurnya diobok-
obok," kata Suharso.

Sementara itu, anggota Komisi II DPR, Andi Yuliani Paris (Fraksi


Partai Amanat Nasional, Sulawesi Selatan II), berpendapat,
pemerintahlah yang harus mewajibkan diri untuk proaktif jika benar
bahwa pemerintah ingin meneliti sumber dan penggunaan dana organisasi
kemasyarakatan.

Belakangan, beberapa LSM gencar mengungkap praktik korupsi di berbagai


sektor yang membuat orang gerah. Aktivis LSM juga giat mengadvokasi
kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk tewasnya Munir. (*/dik)

AKUNTABILITAS SEBUAH PERPUSTAKAAN

MENUJU PERPUSTAKAAN DENGAN MANAJEMEN MODERN

OLEH

Oky Widyanarko

ABSTRAK

Akuntabilitas dipandang penting dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Proses


Akuntabilitas sudah lama dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dan lembaga birokrat di
pemerintahan dengan tujuan untuk dapat memastikan apakah perusahaan atau lembaga
itu telah berhasil mencapai tujuan seperti yang direncanakan dalam strategi
manajemennya . Ada tiga factor penting dalam penilaian sebuah organisasi atau lembaga
dalam kaitannya dengan akuntabilitas yaitu verifikasi penggunaan sumber daya yang
tersedia, pencapaian target dan penilaian output yang dihasilkan.

Perpustakaan yang selama ini dianggap sebagai organisasi nirlaba kedepannya juga
diharapkan mengikuti trend saat ini sebagai organisasi modern yang mempunyai tujuan
dan strategi dalam pengembangannya. Diperlukan manajemen atau pengelolaan yang
modern seperti perlunya perencanaan strategi, positioning perpustakaan, pengembngan
produk dan strategi marketingnya , pengembangan SDM yang berkualitas sampai dengan
masalah evaluasi atau akuntabilitas terhadap organisasi. Sebenarnya untuk organisasi
seperti perpustakaan tidak boleh meremehkan apa arti akuntabilitas sebuah organisasi
karena di dunia saat ini perusahaan hebat sekelas Boeing dan Microsoft pun tidak
melupakan peran akuntabilitas organisasi yang hasilnya nanti dapat digunakan dalam
penentuan strategi kebijakan perusahaan kedepan.
KONSEP DAN ARTI AKUNTABILITAS

Dalam definisi tradisional, Akuntabilitas adalah istilah umum untuk menjelaskan betapa
sejumlah organisasi telah memperlihatkan bahwa mereka sudah memenuhi misi yang
mereka emban ( BENVENISTE, Guy, : 1991). Definisi lain menyebutkan akuntabilitas
dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang
dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan
dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya.
Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal
pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara transparan kepada
masyarakat ( ARIFIYADI, Teguh,: 2008 ).

Konsep tentang Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa inggris biasa disebut dengan
accoutability yang diartikan sebagai “yang dapat dipertanggungjawabkan”. Atau dalam
kata sifat disebut sebagai accountable. Lalu apa bedanya dengan responsibility yang juga
diartikan sebagai “tanggung jawab”. Pengertian accountability dan responsibility
seringkali diartikan sama. Padahal maknanya jelas sangat berbeda. Beberapa ahli
menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan birokrasi, responsibility merupakan otoritas
yang diberikan atasan untuk melaksanakan suatu kebijakan. Sedangkan accountability
merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas yang diperolehnya
tersebut.

Berkaitan dengan istilah akuntabilitas, Sirajudin H Saleh dan Aslam Iqbal berpendapat
bahwa akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang
meliputi akuntabilitas internal dan eksternal seseorang. Dari sisi internal seseorang
akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhan-nya.
Sedangkan akuntabilitas eksternal seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepada
lingkungannya baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan
masyarakat.

Deklarasi Tokyo mengenai petunjuk akuntabilitas publik menetapkan pengertian


akuntabilitas yakni kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang
dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan
dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal,
manajeria dan program. Ini berarti bahwa akuntabilitas berkaitan dengan pelaksanaan
evaluasi (penilaian) mengenai standard pelaksanaan kegiatan, apakah standar yang dibuat
sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan apabila dirasa sudah tepat,
manajemen memiliki tanggung jawab untuk mengimlementasikan standard-standard
tersebut. Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam
pencapaian hasil pada pelayanan publik. Dalam hubungan ini, diperlukan evaluasi kinerja
yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara yang
digunakan untuk mencapai semua itu.Pengendalian (control) sebagai bagian penting
dalam manajemen yang baik adalah hal yang saling menunjang dengan akuntabilitas.
Dengan kata lain pengendalian tidak dapat berjalan efisien dan efektif bila tidak ditunjang
dengan mekanisme akuntabilitas yang baik demikian juga sebaliknya.
Media akuntabilitas yang memadai dapat berbentuk laporan yang dapat mengekspresikan
pencapaian tujuan melalui pengelolaan sumber daya suatu organisasi, karena pencapaian
tujuan merupakan salah satu ukuran kinerja individu maupun unit organisasi. Tujuan
tersebut dapat dilihat dalam rencana stratejik organisasi, rencana kinerja, dan program
kerja tahunan, dengan tetap berpegangan pada Rencana Jangka Panjang dan Menengah
(RJPM) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Media akuntabilitas lain yang cukup
efektif dapat berupa laporan tahunan tentang pencapaian tugas pokok dan fungsi dan
target-target serta aspek penunjangnya seperti aspek keuangan, aspek sarana dan
prasarana, aspek sumber daya manusia dan lain-lain

PERPUSTAKAAN YANG "ACCOUNTABLE"

Dalam definisi seperti yang telah dikemukakan di atas tuntutan terhadap perpustakaan
sebagai organisasi publik tentunya tidak hanya sekedar menjadi “Responsibility Library”
tetapi juga sekaligus “Accountable Library” atau perpustakaan yang bertanggungjawab
kepada publiknya . Publik disini dapat diartikan sebagai pemakai (user), karyawan
(pustakawan dan pekerja perpustakaan), pemilik perpustakaan (pemerintah, Yayasan,
LSM dsb ) dan lingkungan dalam segala aspek yang berkaitan dengan operasional
perpustakaan. Sehingga di masa dating perpustakaan dapat menjadi organisasi atau
institusi yang mempunyai tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social
Responsibility (selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) atau penulis mempunyai
gagasan baru dapat menjadi Library Social Responsibilty atau LSR dimana tolak ukurnya
adalah dimilikinya identitas sebagai accountable library tadi. Dalam kaitannya dengan
akuntabilitas terhadap perpustakaansaat ini mungkin perpustakaan nasional dan
perpustakaan daerah dapat dijadikan contoh. Regulasi dari pemerintah berupa Peraturan
Inpres RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dapat
menjadi pedoman perpustakaan-perpustakaan birokratis atau milik negara sebagai acuan
atau tolak ukur sebuah “library accountable” . Meskipun secara umum di dunia
kepustakawanan belum dikenal standar akuntabilitas khusus bagi pengelolaan
perpustakaan namun beberapa perpustakaan di luar negeri banyak mengadopsi ukuran-
ukuran akuntabilitas seperti AA1000, Global Reporting Initiative, Verite,
SA800,iSO14000 dan iSO9001. ISO 9001 lebih dikenal di Indonesia sebagai standar
manajemen mutu pengelolaan organisasi. Penerapan ISO di organisasi berguna untuk :

1. Meningkatkan citra organisasi


2. Meningkatkan kinerja lingkungan sosial
3. Meningkatkan efisiensi kegiatan
4. Memperbaiki manajemen organisasi dengan menerapkan perencanaan,
pelaksanaan, pengukuran dan tindakan perbaikan (plan, do, check, act)
5. Meningkatkan penataan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam
hal pengelolaan lingkungan
6. Mengurangi resiko usaha
7. Meningkatkan daya saing
8. Meningkatkan komunikasi internal dan hubungan baik dengan berbagai pihak
yang berkepentingan
9. Mendapat kepercayaan dari konsumen / mitra kerja / pemodal
INDIKATOR AKUNTABILITAS PERPUSTAKAAN

Menurut Guy Benveniste dalam bukunya yang berjudul Birokrasi ada 3 jenis intervensi
akuntabilitas dalam sebuah organisasi yang dapat dipakai oleh sebuah perpustakaan

1. Pertama, berkaitan dengan verifikasi penggunaan sumber-sumber organisasi. Sumber-


sumber organisasi seperti halnya perpustakaan dapat berupa modal atau anggaran,
sumber daya manusia ( pustakawan dan pekerja perpustakaan ), sarana dan prasarana
yang meliputi gedung perpustakaan dan fasilitasnya. Pembuatan laporan keuangan secara
rutin yang telah diaudit dengan standar akuntansi yang diakui pemerintah atau
internasional oleh pihak yang capable. Indikator lainnya tentu dari hasil assesment atau
penilaian oleh Badan akreditasi yang diakui pemerintah misalnya Badan Akreditasi
Nasional (BAN) Departemen Pendidikan Nasional. Untuk itu perpustakaan selalu
dituntut untuk menyiapkan laporan tahunan yang tentunya selalu up to date

2. Mengacu pada target, program, implementasi dan evaluasi output tertentu yang
diharapkan. Hal ini tentu berkaitan dengan strategi manajemen sebuah perpustakaan
sehingga perencanaan program kerja, pengorganisasian atau konsolidasi, implementasi
dan kontrol terhadap pelaksanaan program akan dievaluasi pada tahap akhirnya apakah
sesuai dengan rencana atau tujuan yang diharapkan. Sebagai contoh sebuah perpustakaan
daerah meluncurkan produk perpustakaan keliling yang diharapkan tujuannya untuk
membina minat baca anak-anak sekolah atau anak-anak di daerah pelosok. Tapi
kenyataannya segmen yang dituju kurang tepat misalnya mahasiswa dan hanya terbatas
di kota besar saja. Tentu saja hal tersebut telah menyimpang sehingga berpengaruh
terhadap penilaian sebuah perpustakaan yang accountable tadi.

3. Mengacu pada evaluasi eksternal terhadap output sebuah produk yang dihasilkan
perpustakaan. Sebagai contoh apakah produk katalog online perpustakaan (OPAC) akan
bernilai tinggi dimana keterbatasan akan sarana telekomunikasi sangat tinggi. Tentu
produk tersebut tidak tepat dan bernilai rendah. Ketidakmampuan perpustakaan melihat
kondisi pasar dalam hal ini user akan sangat berpengaruh. Tidak adanya fasilitas
komputer dan sarana telekomunikasi akan membuat user atau pemakai memilih kembali
pada katalog manual misalnya. Penilaian produk yang dihasilkan dari hasil program awal
sebuah perpustakaan dapat dinilai dari respon pengguna perpustakaan. Jika pasar atau
user sebuah perpustakaan antusias menerimanya hal ini dapat menjadi point tinggi bagi
perpustakaan yang accountable tadi.

PENUTUP

Akuntabilitas sebuah perpustakaan dalam era kompetisi saat ini sangat berpengaruh pada
positioning perpustakaan, Jika indikator akuntabilitasnya baik maka pasar atau user akan
merespon positif dan membuat posisi perpustakaan sebagai penyedia jasa yang capable
atau dapat dipercaya sekaligus predictable atau dapat diperkirakan mutunya akan tetap
kuat posisinya di pasar penyedia jasa informasi. Sebaliknya jika pasar atau pengguna
merespon negatif maka perpustakaan harus segera berbenah diri dengan melakukan
evaluasi terhadap indikator-indikator dari akuntabilitas sebuah perpustakan yang
bertanggungjawab kepada publiknya.

DAFTAR PUSTAKA

ARIFIYADI, Teguh, Konsep tentang Akuntabilitas dan Implementasinya di Indonesia,


http://www.depkominfo.go.id/portal/?
act=detail&mod=artikel_itjen&view=1&id=BRT070511110601, akses 12 Januari 2008

BENVENISTE, Guy, Birokrasi, Jakarta : Rajawali, 1991

INDONESIA, Inpres RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi


Pemerintah, 1999

INDRANATA, Iskandar, Terampil dan Sukses Melakukan Audit Mutu Internal ISO
9001:2000 : Berdasarkan ISO 19011:2002, Bandung : Alfabeta, 2006

ISO, http://id.wikipedia.org/wiki/iso/, akses 16 Januari 2008

ISO 9001, http://id.wikipedia.ord/wiki/iso-9001, akses 16 Januari 2008 SALEH,


Sirajudin H & Aslam Iqbal, “Accountability”, Chapter I in a Book “Accountability The
Endless Prophecy” edited by Sirajudin H Saleh and Aslam Iqbal, Asian and Pacific
Develompent Centre, 1995.

SALIM, Peter dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Edisi pertama,
Jakarta : Modern English Press, 1991

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,


http://id.wikipedia.org/wiki/Tanggung_jawab_sosial_perusahaan, akses tanggal,
akses tanggal 12 Januari 2008

TROUT, Jack, Yang Terbaru tentang Strategi Bisnis Nomor Satu Dunia, Jakarta ;
Gramedia Pustaka Utama, 1997

You might also like