You are on page 1of 135

Sejarah Islam di Amerika--Sri Vira Chandra

PENDAHULUAN
Tahun 1990-an agaknya menjadi dekade terakhir di mana Islam dipandang sebagai
tradisi beragama yang menempati posisi sebagai “pelengkap penderita”, setelah
lebih dari seribu tahun Barat memperlakukan Islam sebagai “the others” (pihak
lain).

Dengan melihat angka pertumbuhannya, pada tahun 2015 Islam akan menjadi
agama terbesar kedua di Amerika sesudah Kristen.
Menurut perkiraan Gedung Putih dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat saat
ini diperkirakan sekitar enam sampai tujuh juta muslim tinggal di Amerika, dan
memiliki lebih dari 1209 mesjid.

Dua pertiganya adalah muslim imigran dan


keturunannya, sementara sepertiga dari jumlah itu adalah muslim pribumi
(kebanyakan adalah orang-orang Afroamerika). Angka yang tepat mengenai jumlah
muslim di negara ini cenderung kurang dapat dipercaya karena para imigran dan
mereka yang melakukan konversi kadang tidak harus mengumumkan identitas mereka
atau mendaftar. Karenanya sulit untuk memastikan jumlahnya.

Sebagai gambaran tentang perkembangan agama ini, sebuah penelitian yang


dilakukan oleh organisasi Islam terkemuka pada tahun 2001 sebelum peristiwa 11
September dalam laporannya yang berjudul “The Mosque in America: A National
Potrait” menyimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sangat cepat penyebarannya di
Amerika. Selama tujuh tahun terakhir terjadi pertumbuhan masjid hingga 25 %.
Sekitar 30 % anggota jamaah masjid merupakan konversi dari agama lain.

Faktor utama yang memungkinkan penyebaran Islam di Amerika Serikat adalah


Amandemen Pertama Konstitusi yang membebaskan warga negaranya untuk memeluk/tidak
memeluk suatu agama tertentu, dan mengekspresikan ajaran agamanya, sama sekali
tanpa campur tangan pemerintah. Sebagai negara sekular, pemerintah AS tidak
mencampuri urusan agama warganya. Sebagai contoh, tiap centre bebas mendatangkan
imam dari negara lain, misalnya dari Mesir.

Imam yang dikirim tersebut


dianggap
sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan warga negara yang harus dilindungi.
Kehadiran imam tersebut diperlakukan sebagai tenaga kerja yang diperlukan jasanya
untuk kepentingan warga negaranya.
Faktor lain yang bisa disebutkan adalah berpalingnya interest orang Barat dari
kehidupan materialis ke kehidupan spiritual. Dalam hal ini mistisisme Islam
memegang peranan penting bagi da’wah Islam. Walaupun pada awalnya warga Barat
yang berkonversi ke Islam ini hanya tertarik dengan nilai spiritual Islam dan
kurang tertarik untuk mengamalkan syari’ah, namun ketertarikan mereka pada Islam
disambut oleh para aktivis da’wah sehingga banyak juga di antara mereka yang
menjadi muslim yang baik.
Sementara itu di Eropa -- karena alasan yang kurang lebih sama-- muslim pun kian
menjadi faktor signifikan dalam struktur demografis, dan merupakan fenomena
penting yang ikut diperhitungkan dalam kehidupan sosial budaya, ekonomi dan
politik negara-negara Barat.
Tulisan ini hendak memberi gambaran tentang kaum muslim yang tinggal di Amerika
Serikat dan Inggris yang saya anggap mewakili negara Eropa, demi untuk membatasi
pembicaraan.

I. Muslim di Amerika: Jati Diri Para Imigran.


Islam dibawa ke benua Amerika oleh para budak muslim asal Afrika. Beverlee Turner
Mehdi menyebut tahun 1717 sebagai tahun pertama munculnya nama-nama Islam di
catatan penting perbudakan, seperti Omar bin Said, Job Bon Solomon, Prince Umar,
dan Ben Ali.

Sekitar abad 16 - 18 sebagian mereka datang sendiri sebagai


budak/ pembantu orang Eropa yang beremigrasi ke Amerika. Sebagian mereka
merupakan “hasil buruan” bangsa Spanyol, Belanda, Perancis, Inggris, dan Amerika
untuk diperjualbelikan sebagai komoditi di pasar budak Amerika. Karena mayoritas
penduduk Senegal, Guinea, Mauritania telah muslim di akhir abad 15, besar
kemungkinan budak-budak itu muslim.
Sulit diketahui secara pasti mengapa Islam tidak berkembang di keluarga kulit

hitam selama periode itu dan sesudahnya. Bisa jadi karena posisi mereka sebagai
budak, sementara majikan mereka tidak menyukai Islam sebagai keyakinan yang
membawa misi persamaan. Atau juga seperti menurut Prof. Ismail Raji al-Faruqi,
seorang Profesor Studi Islam di University of Temple, Philadelphia, bahwa “iklim
perbudakan tidak kondunsif bagi seorang muslim untuk menjalankan dan mendakwahkan
agama dan kebudayaannya. Para majikan memberi nama kepada budak-budaknya,
memaksakan agamanya kepada budaknya, dan meminta budaknya melakukan apa saja yang
mereka inginkan”.

Menurut Deddy Mulyana dan Angela Webb muslim datang ke Amerika dalam
empat gelombang, sbb.:

Gelombang I: Mulai awal perempat terakhir abad 19 (tahun 1870-an). Imigran-


imigran muslim datang dari Timur Tengah (Palestina, Syria, Libanon, Yordania.)
Mereka melarikan diri dari keadaan yang buruk di negara mereka dan mencari
penghidupan yang lebih baik -- politik dan ekonomi --di Amerika Utara.

S
ebagian di antara mereka kembali, namun sebagian lagi tinggal dan meneruskan keturunannya di tanah
baru. Sebagian besar dari mereka mulai membentuk pusat-pusat industri di Toledo, Cedar Rapids (Iowa),
Detroit (Michigan), Chicago, Ontario, dan Alberta.
Dilihat dari latar belakangnya memang kebanyakan dari mereka merupakan pekerja
yang tidak terdidik dan tidak terlatih. Keluarga besar para imigran inilah yang
menjadi pendiri masjid pertama di Plainfield, Amerika Utara. Pada perkembangannya
mesjid pertama ini kelak akan menjadi kantor pusat ISNA (Islamic Society of North
America).

Gelombang II: Antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Imigran muslim
datang dari negara-negara persemakmuran Inggris ke Amerika utara dan Kanada.

Gelombang III: Sesudah Perang Dunia II (1947-1960). Para imigran ini


datang dari Timur-Tengah, India, Pakistan, Eropa Timur dan Sofyet dengan alasan
ekonomi dan politik. Sebagian mereka adalah para pengungsi meninggalkan negaranya
yang telah menjadi sasaran kolonialisme baru, sebagian lagi semata-mata bertujuan
untuk menuntut ilmu dan mengembangkan profesi. Kelompok terakhir ini termasuk
putra/putri berpendidikan dari elit yang sedang berkuasa di negara masing-masing.

Gelombang IV: Pertengahan tahun 1960-an – sekarang. Kaum imigran datang


dengan alasan ekonomi dan politik. Sebagian besar adalah profesional yang
terdidik, khususnya yang datang dari Arab dan Pakistan. Orang Iran dalam jumlah
yang cukup berarti menyusul setelah terjadi revolusi di negaranya.

I
migran dari
Yaman, Irak, Afghanistan, Lebanon, Mesir, Yordania, Turki, Kuwait, Saudi Irak,
Sudan, Uganda, Guyana, Bermuda, dan negara-negara bekas Yugoslavia melengkapi
corak imigran yang datang pada gelombang ini. Selain karena tergiur oleh kemajuan
ekonomi Amerika Serikat, juga karena kelonggaran peraturan yang diberlakukan
Amerika serikat terhadap para imigran. Banyaknya imigran yang kuliah di perguruan
tinggi di Amerika Serikat ini akan menjadi faktor utama munculnya serikat
mahasiswa muslim di kampus-kampus.

Termasuk dalam deretan ini adalah para akademisi yang hijrah ke Amerika
Serikat untuk mencari kebebasan berekspresi, antara lain Fazlur-Rahman (Pakistan),
atau Ismail Faruqi (Palestina),

yang sangat berjasa dalam melahirkan


pemikiran-
pemikiran Islam yang progresif. Menurut Akbar S. Ahmed , hijrahnya para pemikir
Islam ke Barat yang merupakan kehilangan bagi masyarakat muslim adalah masukan
berharga bagi masyarakat Barat: “A loss for Muslim society is a gain for the
Western world”.
Imigran yang datang pada gelombang terakhir membawa kesadaran dan ghiroh beragama
dan politik yang tinggi, yang menjadi salah satu dampak dari perjuangan untuk
merebut kembali Palestina yang dikangkangi oleh Israel.
Berbeda
dengan para
leluhurnya yang sudah lebih dulu menetap di Amerika, muslim yang datang belakangan
ini datang dengan membawa komitmen untuk menerapkan keyakinan politik agamanya dan
juga mengadakan lebih banyak ta’lim yang biasanya bernuansa lebih konservatif.
Secara umum, muslim Amerika kontemporer yang dibesarkan dalam budaya muslim
tradisional merasakan ketegangan dalam usaha mereka untuk mencoba tetap dekat
dengan akar bahasa, budaya, etnis dan agama sementara di sisi lain mereka harus
membangun rasa memiliki di lingkungan mereka yang baru, berbeda dengan imigran

awal yang datang dengan pendidikan rendah, anak-anak mereka besar di Amerika tanpa
kesadaran beragama yang berarti.
Generasi yang lebih muda di kalangan imigran muslim yang telah menginjak dewasa
mulai menemukan perbedaan dari orangtua mereka yang berimigrasi sekitar tahun
1950-an dan 1960-an. Mereka menolak integrasi dan asimilasi yang sering
diharapkan orangtua mereka. Mereka bukan lagi imigran yang merasa harus berterima
kasih karena telah diizinkan tinggal di Amerika Serikat, namun justru ingin
meneguhkan jati diri mereka. Dalam situasi seperti ini isu-isu rasial dan agama
sering berbaur, sebagaimana rasialisme yang berkembang memaksa mereka ke dalam
kesadaran identitas keagamaan yang lebih besar .

Meskipun demikian
syari’ah
tetap terus diperjuangkan sebagai pola hidup yang ideal untuk bertahan di tengah
budaya Amerika kontemporer.
Faruqi secara umum menggolongkan para imigran ke dalam dua golongan besar, yaitu
imigran pengemis dan imigran muhajirin. Imigran pengemis adalah para imigran yang
mengemis pengetahuan di altar Amerika atau yang semata menjadi penerima kemajuan
ekonomi Amerika. Mereka lah para imigran yang dianggap sebagai parasit bagi
negeri ini. Sedangkan kelompok imigran muhajirin, adalah mereka yang datang ke
Amerika dengan niat mencari ilmu dan meningkatkan profesi, tetapi juga terus
bangkit dalam proses mengenal Islam lebih jauh.

I.1. Profil Muslim AS Kontemporer


Berbicara tentang umat Islam AS pada masa kontemporer ini berarti berbicara
tentang tiga kelompok berikut. Pertama, penduduk asli (indigenous) yang lahir
dan dibesarkan di AS, bernenek moyang Eropa-Amerika atau Kaukasia, yaitu orang-
orang bule (pale face) yang berpindah agama atau memeluk Islam. Meskipun demikian
orang Afro-Amerika pun sering dimasukkan ke dalam indigenous ini. Kedua, orang
muslim imigran yang berasal dari sekitar enam puluh negara yang telah membentuk
lebih dari seratus sub-kelompok/ komunitas. Ketiga, orang-orang yang menetap
sementara di AS, baik sebagai diplomat, mahasiswa, pengusaha, atau yang mempunyai
urusan lain yang disebut sojourners.
Dari kalangan indigenous pertama yang menganut Islam tercatat Referend Norman,
seorang misionaris gereja Methodist di Turki. Ia memeluk Islam pada 1870. Pada
dekade berikutnya adalah seorang Afro-Amerika, Muhammad Alexander Russel Webb,
yang masuk Islam ketika bertugas sebagai konsul Jendral AS di Philipina (1887).
Ia adalah pelopor utama yang mendirikan organisasi Islam pertama di negeri ini
(1893), menerbitkan Moslem World sebagai sarana dakwahnya

dan
memberikan kuliah-
kuliah tentang Islam di berbagai kota di AS. Menjelang wafatnya (1916) Webb
pernah berbicara dengan banyak pemikir agama dan sosial AS yang terkemuka, seperti
Mark Twain. Ia pun mendirikan sekitar enam cabang Moslem Brotherhood (bukan
Ikhwanul Muslimin-nya Hasan Al-Banna) dan American Islamic Propaganda di berbagai
kota bagian Pantai Timur AS (East Coast). Walaupun organisasi yang didirikan Webb
ini mati prematur, namun tak dapat diragukan lagi bahwa anggotanya sangat
berpengaruh terhadap perkembangan Islam di kemudian hari.
Sebelum kematian Webb, Islam telah mulai bangkit sebagai fenomena agama dan
nasionalitas di kalangan Afro-Amerika. Gerakan Islam yang paling penting saat ini
adalah Moorish-American Science Temple, yang diresmikan tahun 1913 di Newark, New
Jersey. Pendirinya adalah Noble Dew Ali. Gerakan ini dilanjutkan oleh Elijah
Muhammad (terlahir dengan nama Elijah Poole) yang mengklaim bahwa ajarannya
diperoleh dari seorang yang misterius, yakni Imam Mahdi Farad Muhammad. Ia
menggunakan konsep Kristen tentang Tuhan dan inkarnasi, yang akhirnya
menisbatkannya menjadi pemimpin kharismatik dan “nabi” dari komunitas Nation of
Islam (NoI) yang memperkenalkan dogma “orang putih sama dengan setan”. Seorang
black-american lain yang tertarik ke dalam Islam berkat NoI adalah Malcolm X, yang
juga merekrut mualaf baru dalam jumlah yang signifikan. Namun ibadah hajinya ke
Mekkah yang memberi pengalaman ukhuwwah islamiyyah baru membuat ia memutuskan
hubungannya dengan NoI, dan berda’wah dengan persepsi baru yang dinamainya “ the
true Islam” (Islam sejati). Termasuk putra Elijah Muhammad, Warith Deen Muhammad,
menjadi muridnya.

Setelah wafat ayahnya (1975) Warith Deen Muhammad mengambil alih kepemimpinan NoI.
Putra kesayangan Elijah ini sejak awal banyak bergaul dengan imigran muslim. Pada
tahun 1976 ia mengumumkan bahwa ayahnya bukanlah seorang Nabi. Konsekuensinya,
NoI bertransformasi ke dalam mainstream pemahaman Islam. Organisasi ini terus
berganti nama, sehingga menjadi American Muslim Mission. Surat kabarnya pun
menjadi The Muslim Journal (1986). Ia merombak sistem komando organisasinya
dengan melakukan desentralisasi dan menginstruksikan agar organisasi di negara-
negara bagian untuk berinteraksi dengan muslim lainnya. Tidak semua anggotanya
menerima perubahan ini, termasuk Louis Farakhan yang selama ini menjadi juru
bicara Elijah.

Ia tetap mempertahankan nama NoI dan tetap pada khittah awal NoI sejak
organisasi itu dideklarasikan. Hingga kini Farakhan masih tetap berpengaruh dengan surat kabarnya The
Final Call.
Pada beberapa tahun belakangan ini terdapat perkembangan signifikan bagi
komposisi muslim di AS. Jika tadinya muslim di AS kebanyakan menjadi penganut
aliran “Black Muslim”, maka kini Islam dalam corak pemikiran main-stream-nya telah
tersebar merata di berbagai latar belakang sosial dan pendidikan. Da’wah melalui
televisi, radio, majalah, dan surat kabar telah memberikan informasi tentang
keyakinan mendasar umat Islam, dan sekaligus meningkatkan perhatian muslim
terhadap kualitas dan akurasi sajian media tentang muslim dan Islam, dan mereka
pun menjadi lebih vokal dalam usahanya mengoreksi laporan-laporan yang dianggap
merugikan.

Selain itu perjalanan para tokoh Black-Muslim ke negara-negara


berpenduduk mayoritas muslim membukakan mata mereka bahwa Islam tidaklah melulu
berkulit hitam.

I.2.. Masjid di Amerika: Melayani Kebutuhan Sosial hingga ‘Mega-Masjid’

Masjid di Amerika merupakan hal yang sangat krusial bagi komunitasnya,


dikelola dengan mengadopsi gereja Protestan (khususnya Baptis). Setiap komunitas
memiliki otonomi untuk menentukan pemimpin lokal dan orientasi keyakinannya. Di
sisi lain setiap anggota dan setiap komunitas sama-sama memegang komitmen untuk
menjadikan kitab sucinya sebagai sumber petunjuk utama dalam masalah aqidah dan
syari’ah.

Tidak seperti masjid di negara-negara Islam, masjid di Amerika merupakan


hasil swadana, oleh karena itu sangat tergantung kepada infaq keanggotaan atau
kegiatan-kegiatan pengumpulan dana. Imam dari masjid di Amerika seringkali harus
meninggalkan fungsi tradisionalnya sebagai khatib

dan melakukan
tugas ekstra
yang biasanya lekat dengan para pastor, seperti harus bertanggung jawab terhadap
masalah administrasi dan melakukan konseling terhadap jamaah.
Ada beberapa jenis dan ‘gaya’ masjid di Amerika Serikat. Beberapa mesjid
berfungsi seperti gereja-gereja kecil yang ada di daerah pinggiran yang didiami
oleh komunitas etnis tertentu. Ikatan etnis sangat ditekankan, kuat, dan
terpelihara dengan baik.

Komunitas ini berfungsi sebagai pusat pembelajaran dan


berbagi informasi tentang cara bertahan hidup di Amerika, di samping sebagai pusat
ibadah.
Beberapa masjid lain selain menjadi pusat ibadah dan aktivititas sosial juga
menitikberatkan fungsinya untuk merangkul dunia luar. Mereka memanfaatkan tradisi
budaya Islam yang ramah untuk membangun komunikasi dan hubungan baik dengan
komunitas yang ada di sekitarnya. Masjid-masjid di bagian tengah-barat (midwest)
Amerika seperti islamic centre di Toledo, Ohio, merupakan masjid yang sangat
ketara dengan pendekatan ini, juga Islamic Society of Central Jersey yang menaruh
perhatian besar pada eskalasi rasa takut orang Amerika terhadap Islam dan muslim.
Fokus kerja mereka adalah mengoreksi kesalahpahaman Barat terhadap Islam dengan
mengundang kelompok non-muslim dan menawarkan program dan kuliah.
Jenis terakhir adalah masjid dengan tren baru yang paling banyak muncul di
Amerika yang diistilahkan dengan ‘mega-masjid’. Mega-masjid melayani kebutuhan
komunitas masjid yang terdiri dari beragam etnis dan ras yang tumbuh dengan cepat,
seperti yang dicirikan oleh komunitas di Los Angeles. Mesjid dengan ciri terakhir
inilah yang paling jelas merefleksikan kenyataan pluralisme historis di dalam
komunitas muslim sekaligus pluralisme etnis yang semakin meluas di Amerika

Serikat.
Laporan “The Mosque in America” juga menggarisbawahi kenyataan Islam di Amerika
sebagai agama multietnis. Salah satu tanda yang signifikan adalah jama’ah masjid
di Amerika bercorak etnis. Sekitar 93 % masjid didatangi oleh lebih dari satu
kelompok etnis. Secara rata-rata jama’ah di tiap masjid diwarnai oleh tiga
kelompok etnis, yaitu kelompok terbesar dari Asia Selatan, disusul kelompok Afro-
amerika, dan terakhir dari bangsa-bangsa berbahasa Arab.

Bahk
an bangunannya pun
bermacam-macam, mulai dari masjid berkubah tradisional dan arsitektur arcade
(memiliki gang beratap seperti toko), hingga yang beratap datar menyerupai bentuk
kantorKecuali bercirikan multietnis, mega-masjid juga ditandai oleh beragamnya
aktivitas yang diadakan, mulai dari pendidikan, percetakan, hingga beragam
kegiatan da’wah.
Sekitar 60 % dari jumlah masjid di Amerika dibangun pada tahun 1980 dan 1990-an,
dan 80 % dari jumlah itu berlokasi di lingkungan pinggiran dari sebuah area
metropolitan. Sekitar 70 % masjid memberikan bantuan bagi masyarakat di
komunitas berpendapatan rendah dan beberapa masjid juga mengadakan sekolah penuh
waktu. Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa masjid di Amerika juga
berfungsi sebagai pusat studi Islam non-formal, karena masjid-masjid ini
biasanya

menaungi islamic centre.


Islamic centre merupakan peradaban unik yang pada awalnya hanya kita temui di AS
dan Eropa, sebagai usaha untuk mengumpulkan komunitas muslim yang tersebar namun
memerlukan pendidikan agama bagi diri dan keluarganya.

I.3. Organisasi Islam: Dimulai dari Kampus


Di pertengahan abad ke-20 populasi muslim di Amerika masih kecil dan tersebar di
seluruh benua Amerika. Dilandasi oleh kebutuhan terhadap organisasi yang
menyatukan berbagai etnis muslim tersebut, maka generasi kedua muslim Imigran
membentuk ikatan masjid yang dapat menyediakan sumber-sumber berita dan untuk
mempermudah melakukan kontak dengan muslim dari komunitas lain, biasanya disebut
The Federation of Islamic Organisations. Di Amerika Serikat dan Canada bernama
The Federation of Islamic Associations, dengan kantor pusatnya di Detroit.
Sementara imigran yang datang lebih awal masih mencari bentuk ikatan masjidnya,
organisasi mahasiswa muslim telah lebih dulu membentuknya di lingkungan kampus.
Studi-studi Islam di kampus dalam bentuk usrah/halaqoh (study club/ forum lingkar
studi) dikuatkan dengan membentuk ikatan-ikatan mahasiswa muslim. Pada tahun 1963
The Muslim Student Association (MSA) telah terbentuk di Universitas Illinois untuk
mengkoordinir aktivititas kelompok-kelompok mahasiswa muslim. MSA melambangkan
wajah internasional Islam dan sekaligus menaruh perhatian kepada Islam yang lebih
harakiyah di seluruh dunia. Bagi golongan mahasiswa ini Islam adalah jalan hidup,
sebuah misi da’wah, dan tujuan dari organisasi ini ialah membantu terbentuknya
sebuah komunitas yang ideal dan menjadi khadam bagi Islam.

Par
a aktivis da’wah
di Amerika Serikat meyakini “visi Islam” yang diluncurkan oleh Faruqi, bahwa
“apapun alasan politik/ekonomi yang menyebabkan mereka hijrah ke Amerika tidak
boleh dilepaskan dari takdir Allah yang menjadikan mereka da’i di negara yang
mereka datangi”.

Visi Islam diyakini mampu mengurangi rasa bersalah mereka


karena telah hijrah ke “Daarul Kufr” .
Hingga saat ini MSA masih menjadi salah satu dari beberapa organisasi Islam
terbesar dan teroganisir paling baik, dan menjadi pembuka jalan bagi terbentuknya
beberapa organisasi profesi yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan muslim pada
umumnya dan mahasiswa khususnya. Di antaranya adalah Muslim Community Association
(Asosiasi Komunitas Muslim), American Muslim Social Scientist (Ilmuwan Sosial
Muslim Amerika), Muslim Youth of North America (Pemuda Muslim Amerika Utara),
Islamic Teaching Centre (Pusat Pengajaran Islam), dan Islamic Medical Association
(Asosiasi Ahli Medis Islam). Organisasi-organisasi ini dan juga yang lainnya
sejak 1982 bernaung di bawah payung Islamic Society of North America (ISNA).
Masing-masing organisasi ini memiliki dewan pengurus, namun secara finansial,
hukum, dan administratif terhubung dengan dewan legislatif ISNA, yang disebut
Majelis Syura. ISNA mensponsori kongres-kongres berskala regional dan nasional,

termasuk kongres yang bersifat profesional.

Salah satu kegiatan


spektakulernya
adalah mengadakan konvensi tahunan dengan mengundang tokoh-tohoh Islam baik dari
dalam/ luar negeri.

I.4. Pusat Studi Islam: Sejarah dan Kepentingan Amerika


Setelah Perang Dunia II berakhir di Amerika dikembangkan apa yang disebut dengan
studi wilayah (area studies) Peran orientalisme dalam rangka kebijakan ekonomi,
sosial, dan politik di negara-negara pascakolonial mulai digantikan oleh studi
ini. Berbeda dengan orientalisme, studi-studi wilayah lebih dicirikan oleh
pendekatannya yang pragmatis dan fokusnya yang tertuju pada situasi kontemporer .
Disiplin baru studi-studi mengenai Timur Tengah tumbuh di Amerika Serikat,
adikuasa baru yang menang perang dan mulai memperluas pengaruhnya di negara-negara
yang baru lepas dari penjajahan Inggris dan Perancis. Selain di pusat studi Timur
Tengah ini, studi Islam juga dilakukan di pusat-pusat studi Asia Selatan dan Asia
Tenggara.

Dibeayai oleh pemerintahan Amerika Serikat, tujuan didirikannya pusat studi


wilayah ini adalah untuk melatih warga AS untuk menguasai bahasa dan kebudayaan
masyarakat non-AS, dalam rangka menancapkan pengaruh dan menyingkirkan kekuatan
yang memusuhi (AS) di wilayah ini. Demikian Leonard Binder, guru besar
Perbandingan Politik di Universitas Chicago.

Berbagai lembaga, pusat organisasi, dan yayasan didirikan untuk mencapai


tujuan ini. Pada 1946, The Middle East Institute (Lembaga Studi Timur Tengah)
didirikan di Washington untuk menumbuhkan minat rakyat AS terhadap Timur Tengah,
dan menyajikan informasi yang akurat dan obyektif mengenai wilayah itu. Riset
yang dilakukan institut ini berorientasi pada pembuatan kebijakan AS di Timur
Tengah.
Sebuah hasil dari studi wilayah dalam bidang ilmu sosial adalah teori
modernisasi, yang menekankan kemajuan teknologis dan materialisme dalam peradaban
Barat. Teori ini terutama diinspirasikan oleh aliran fungsionalisme struktural
yang dipelopori sosiolog AS Talcot Parsons ( lahir 1902). Teori ini memandang
bahwa setiap masyarakat terdiri dari struktur yang ditentukan oleh sejarah dan
tradisinya. Struktur tersebut memainkan peran politis, sosial dan ekonomis.
Untuk mengubah suatu masyarakat, struktur tsb. harus diganti dengan struktur baru
yang otomatis juga akan mempengaruhi perannya dalam masyarakat.
Ilmuwan sosial yang menerapkan teori seperti ini mengklasifikasikan berbagai
masyarakat secara dikotomis: Masyarakat Barat dipandang maju, sementara non-Barat
dipandang tradisional. Tradisi dan modernitas dilihat sebagai dua kutub yang
terpisah. Kemajuan diidentikkan dengan pengalaman masyarakat Barat. Masyarakat
non-Barat dipandang sedang dalam tahap tradisional dan menuju modern, meniru
pengalaman Barat. Agen transisi ke alam modern ini, menurut mereka, adalah
kelompok yang dididik secara Barat dalam masyarakat. Di Timur Tengah dan di
belahan dunia Islam lain, agen transisi ini adalah kaum muslim yang terbaratkan,
atau dalam kata-kata sosiolog AS, Daniel Lerner, yang terkenal dalam The Passing
of Traditional Society (Memudarnya Masyarakat Tradisional [1966] ), “merekalah
‘kunci’ bagi berubahnya Timur tengah dari orientasinya pada Mekah ke mekanisasi”.
Pertumbuhan studi wilayah tentang Timur Tengah sebagai jantung tradisi Islam
semakin lama semakin meneguhkan Islam sebagai disiplin tersendiri. Disiplin itu
disebut studi-studi Islam (islamic studies) atau islamologi. Tentu saja tidak
terlepas dari motivasi politik yang melatarbelakangi dikembangkannya studi wilayah
dan sangat kental dipengaruhi oleh teori modernisasi para sarjana Barat pengkaji
Islam memilih untuk tidak lagi menggunakan sebutan “studi-studi ketimuran”
(oriental studies). ‘Studi islam’ digunakan karena dianggap kurang bernada
eurosentris dan lebih mengundang simpati masyarakat muslim.
Secara umum, perkembangan studi Islam ini dicirikan oleh berakhirnya dominasi
filologi. Kepercayaan bahwa kemahiran dalam bidang filologi dan pendekatan
linguistik akan mampu mengatasi kesulitan dalam bidang studi ini kini banyak
ditinggalkan. Kemudahan dalam mengakses bahan-bahan yang dibutuhkan, kecanggihan
alat-alat riset, serta kemajuan metodologis dalam melakukan studi ini kini

memungkinkan seorang sarjana untuk tidak lagi hanya bertumpu pada filologi.
Sebagai bidang ilmu yang strategis untuk menentukan arah kebijakan politik,
sosial, dan ekonomi AS, studi Islam sangat direstui dan dibeayai oleh pemerintah.
Pusat studi Islam di berbagai universitas terkemuka di AS dapat kita temukan,
a.l., di Universitas Chicago, Universitas Colombia, dan Universitas Mc Gill
(Montreal, Kanada). Namun karena latar belakang berdirinya pusat studi Islam ini
sangat kental amrosentris dan politis, maka banyak lulusan studi Islam ini yang
mendapat rintangan tidak sedikit dalam mensosialisasikan pemikirannya dan dianggap
kontroversial. Alih-alih diyakini sebagai agen transisi, sebaliknya justru
dituduh agen Amerika dan Zionisme.

II. Islam di Eropa

Kaum muslim sudah hadir di Benua Eropa sejak pertama kali Islam datang,
terutama melalui perdagangan dan diplomasi. Namun demikian, sejarah kehadiran
kaum muslim secara mapan di benua Eropa dapat dibagi atas empat periode utama, dan
peradaban Islam yang kini dapat disaksikan di Eropa dapat dinisbatkan kepada
keempat periode tsb .:

Periode pertama: Periode kekhalifahan Islam di Spanyol dan pemerintahan


kaum muslim di beberapa pulau Mediterania, kantong-kantong kecil di Perancis
Selatan, Sicilia, dan Italia Selatan. Periode ini berakhir dengan dikalahkannya
tentara Islam oleh bangsa Norman di Sicilia dan Italia Selatan pada abad ke-11,
serta tuntasnya reconquista (1492). Periode ini menyumbangkan khazanah intelektual
dan kultural dari Islam kepada Eropa.

Periode kedua: Berkaitan dengan penyebaran tentara Mongol pada abad ke-13.
Setelah pertemuan mereka dengan kaum Muslim berlangsung selama beberapa generasi,
sejumlah penguasa Mongol masuk Islam. Salah satu dinasti muslim mereka, Dinasti
Khan, yang berpusat di Sungai Volga, menyisakan penduduk muslim yang terdiri dari
orang Tatar di sekitar Sungai Volga hingga Kaukasus dan Krimea. Sebagai pedagang
dan tentara, banyak di antara mereka yang menyebar ke berbagai penjuru kekaisaran
Rusia dan membangun koloni di berbagai tempat. Mereka tersebar seperti di
Finlandia dan wilayah yang kini dikenal sebagai Polandia dan Ukraina.
Periode ketiga: Periode ekspansi kekhalifahan Turki Utsmani ke wilayah
Balkan dan Eropa Tengah, sekitar abad ke-14 dan ke-15. salah satu peninggalan
terbesarnya adalah orang Turki yang hingga kini masih dapat ditemukan di Bulgaria,
bekas Yugoslavia, Rumania dan Yunani. Selain itu islamisasi juga berlangsung di
kalangan penduduk asli wilayah tersebut, sehingga Albania menjadi negara dengan
penduduk mayoritas muslim hingga saat ini, dan beberapa kelompok etnis Slavia di
Bosnia-Herzegovina dan beberapa bagian Bulgaria masuk Islam.

Periode keempat: Periode kedatangan kaum muslim di Eropa Barat. Periode ini pada umumnya
dinisbatkan kepada imigrasi kaum muslim dalam jumlah yang besar terutama ke Perancis, Jerman, dan
Inggris setelah PD II. Hal yang sama namun dalam jumlah yang lebih kecil juga berlangsung di negara
Eropa lainnya, seperti Belanda dan Belgia, negara Skandinavia, dan negara di Eropa Selatan.

Kini komunitas kaum muslim di Eropa dapat dikelompokkan ke dalam dua


kategori besar. Pertama, komunitas muslim lama di negara seperti Yunani,
Bulgaria, Rumania, Albania, Yugoslavia, Hongaria, Polandia, dan Finlandia. Kedua,
komunitas muslim baru yang masuk melalui proses imigrasi ke negara industri di
Eropa seperti Perancis, Jerman, Inggris, Belanda, dan Belgia.

Komunitas muslim
kedua inilah yang akan dibahas dalam makalah ini, dengan konsentrasi Inggris.

INGGRIS. Kehadiran Islam di Inggris bisa dilacak sejak 300 tahun yll. Mulanya
adalah rekrutmen terhadap para pelaut yang dilakukan East India Company dari
Yaman, Gujarat, Sind, dan Bengal. Mereka dijadikan laskar.

S
etelah dibukanya
Terusan Suez (1869) dan sejalan dengan meluasnya ekspansi kolonial Inggris, para
pendatang muslim mulai banyak. Sebagian kecil dari mereka lalu menetap di kota-
kota pelabuhan di Inggris, terutama di London, Cardiff, Liverpool, South Shields,
dan Tyneside.

Sekitar abad ke-19 sejumlah pengusaha muslim juga telah berniaga di kerajaan
itu, salah satunya adalah perusahaan terkenal ‘Mohammad’s Baths’ yang didirikan di
Brighton oleh Sake DeenMuhammad (1750-1851).

Selain pekerja dan pedagang, pada akhir abad ke-19 mulai masuk juga kelompok
intelektual ke Inggris. Pada 1889 sebuah kelompok elit muslim London membangun
masjid di Woking, suatu distrik di wilayah baratdaya London. Masjid ini menjadi
pusat kegiatan dakwah para penerjemah Al-Qur’an terkenal seperti Marmaduke
Pickthall dan Abdullah Yusuf Ali dari gerakan Ahmadiyah.

Pada periode 1893-1908 sebuah jurnal mingguan The Crescent mulai disebarkan
di Liverpool, yang didirikan oleh William Henry Quilliam (yang di komunitas muslim
dikenal sebagai Syaikh Abdullah Quilliam), yang berprofesi sebagai pengacara.
Quilliam masuk Islam pada 1887, setelah lama bermukim di Aljazair dan Maroko.
Pada 1901 ia memelopori pembangunan sebuah masjid yang sangat aktif, sebelum
akhirnya ditutup ketika ia menarik diri dan bergabung dengan pemerintahan Turki
Utsmani menjelang PD I.

Selanjutnya gelombang migrasi kelompok muslim besar-besaran ke Inggris


terjadi mulai tahun 1950-an. Pada 1951 penduduk muslim di negara itu diperkirakan
baru mencapai 23 ribu jiwa. Sepuluh tahun belakangan, populasi penduduk muslim di
Inggris menjadi 82 ribu, dan pada 1971 sudah mencapai 369 ribu jiwa. Saat ini,
jumlah penduduk muslim di Inggris sekitar dua juta jiwa, seperti dikemukakan oleh
Phillip Lewis.

Termasuk di antara mereka adalah para akademisi dari negara


Islam, seperti Dr. Z. Bedawi, Muhsin Mahdi, Hamzah Ala000wi, dan Khalid bin Sayed.

Membengkaknya angka migrasi --terutama dari negara bekas jajahan Inggris


seperti Pakistan dan Bangladesh-- disebabkan adanya ketersediaan lapangan kerja
terutama di industri baja dan tekstil yang berkembang pesat di Yorkshire dan
Lanchasire, terlebih ketika dikeluarkannya Commonwealth Immigration Act of 1962
yang memberikan kemudahan untuk menjadi warga negara Inggris, sekaligus berdampak
menyatukan kembali keluarga imigran.

Sehingga dengan demikian dapat


disimpulkan
bahwa penduduk muslim di Inggris terdiri dari dua kategori: Sebagian datang
karena ‘undangan’ lapangan kerja dan pembenahan struktur dan infrastruktur Inggris
pasca Perang Dunia I, dan sebagian lain datang secara sukarela dari negara
Commonwealth lain dan memilih menjadi warga negara Inggris.

II.1. Potret Komunitas Muslim Inggris

Pemukiman kaum muslim di Inggris terkonsentrasi di kota besar. Di London, penduduk muslim
merupakan suatu komunitas kosmopolitan yang terdiri dari macam- macam latar belakang kebudayaan.
Hampir separuh dari jumlah keseluruhan muslim Inggris tinggal di London dan wilayah sekitarnya.
Sekitar dua pertiga sisanya bermukim di West Mitlands, Yorkshire, dan wilayah-wilayah sekitar
Manchester.

Pola distribusi pemukiman muslim tidak merata, baik secara geografis maupun
etnis. Kendati demikian, ada konsentrasi tertentu penduduk muslim India di West
Mitlands, Arab dan Iran di Cardiff, Liverpool, dan Birmingham; Turki-Cyprus di
wilayah Timur London; serta Pakistan-Bangladesh secara signifikan mendiami
Bradford, sehingga disebut Islamabad-nya Inggris.

II.2. Menuju Persatuan Muslim Se-Inggris


Gagasan mendirikan masjid pusat di London untuk menyatukan komunitas –
komunitas muslim sebenarnya sudah muncul sejak 1930-an, namun baru terealisir pada
tahun 1977, yaitu

Masjid Pusat London (Islamic Cultural Centre) yang kini


sangat terkenal. Pendirian masjid pusat sangat krusial, mengingat muslim Inggris
sangat beragam latar belakang etnisnya. Masalah yang sangat mendesak, seperti
yang diungkap oleh Imam Masjid Pusat London, Dr. Sayyid Mitwalli Darsh, adalah
konflik dan perpecahan antarkomunitas muslim . Setiap komunitas berlomba
mendirikan centre-centre atas nama masing-masing, sehingga fanatik kesukuan
dikhawatirkan berjangkit secara luas dan membahayakan masa depan Islam di negeri
ini.

Selain itu di samping ratusan masjid sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan jamaah setempat,
kaum muslim Inggris juga memiliki berbagai macam organisasi keagamaan, nasional dan internasional
dengan beragam kegiatan.

Organisasi internasional yang paling terkenal dan berjaringan luas adalah Jama’ah
Islami, dengan anak organisasinya United Kingdom Islamic Mission (Desember 1962)
dengan Islamic Foundation-nya, dan pada tahun 1966 mendirikan anak organisasinya
yang bernama The Muslim Educational Trust yang menyelenggarakan pendidikan
ekstrakurikuler bagi siswa muslim di sekolah-sekolah negeri.

Terutama sejak tahun 1970-an, ada berbagai upaya untuk membentuk organisasi
payung berskala nasional, terutama didorong oleh munculnya organisasi
internasional seperti Rabithah al-’Alam al-Islami yang bermarkas di Mekah dan Call
of Islam Society yang berpusat di Libya.

Untuk itu The Muslim


Foundation
berupaya keras untuk mendapat dukungan muslim Inggris secara keseluruhan, namun
kurang berhasil karena terlalu pro-Iran. Begitupun International Centre for
Islamic Studies yang kurang memiliki hubungan luas dengan masyarakat muslim. Yang
agaknya lumayan berhasil adalah Union of Muslim Organisations for the UK and Eire
(UMO, 1970). Cabang-cabang di seluruh Inggris berhasil dibentuk dan mereka pun
mengadakan konferensi tahunan, juga melakukan lobi kepada tokoh partai dan pejabat
pemerintah.

II.3. Pusat Studi Islam

Pusat studi formal yang paling aktif dapat disebutkan antara lain yaitu
Oxford Centre for Islamic Studies (OCIS), The Islamic Cultural Centre dan Regent’s
Park (London), The Islamic Academy (Cambridge), The International Institute of
Islamic Thought (Pennsylvania), The Islamic Foundation (Leicester). Bahasa
pengantar yang dipakai adalah bahasa Inggris. Bahasa Arab hanya dipakai oleh
muslim Arab.

III. Peluang dan Tantangan

Di Amerika Serikat Konstitusi AS menjamin warganya –termasuk agama Islam di


negeri ini—dalam kebebasan beragama, maupun untuk tidak beragama sama sekali, kebebasan berserikat
dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, sebagaimana termaktub dalam Amandemen Pertama
Konstitusi AS.

Karena itu umat


Islam memiliki kebebasan penuh untuk mengatur komunitasnya dan berda’wah.

Tantangan yang dihadapi antara lain adalah bagaimana cara mempertahankan


identitas keislaman mereka namun tetap bersikap partisipatif dalam kehidupan
sosial masyarakat, serta menjamin keamanan muslim dalam kasus-kasus tertentu yang
mengancam keselamatan mereka.

Sementara di Eropa, khususnya Inggris, walaupun tidak mendapat


dukungan 100 % dari konstitusi, namun kultur masyarakat yang bebas memberikan
beberapa keistimewaan yang agaknya kurang dinikmati oleh pemikir muslim di negara-
negara muslim sendiri. Mereka bebas untuk menyuarakan pandangan prinsipil yang
berpijak pada al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus memiliki peluang untuk
membuktikan bahwa para pemikir muslim dapat juga memberikan sumbangan
intelektual.

Namun di sisi lain kebebasan ini membuat kaum muslim bertemu dengan
kaum intelektual internasional dari berbagai agama, ideologi kapitalis, sosialis,
komunis, humanis, bahkan atheis. Tidak ada penghalang yang dapat mencegah kondisi
ini, dan hal ini pun menjadi tantangan sekaligus peluang bagi umat muslim Eropa
untuk membuktikan kesahihan dan kebenaran Islam.

Secara umum muslim di Barat menghadapi tantangan berupa upaya


mempertahankan jati diri , islamophobia, jumlah muslim yang tidak representatif di
parlemen, pendidikan , kualitas imam, persoalan kehidupan wanita dalam ruang
publik , hingga perspektif yang bias dari media massa.

Menghada
pi kendala
sekaligus tantangan ini, muslim di Barat tidak boleh bekerja sendiri-sendiri,
namun harus selaras dengan hukum yang berlaku, dialog antaragama, serta
memanfaatkan media massa.

IV.
Pandangan Non-muslim terhadap Islam dan Pengaruhnya untuk Muslim.
Sebuah pekerjaan besar bagi muslim di Barat untuk mengoreksi pandangan
yang telanjur negatif terhadap Islam. Tidak dipungkiri, kekerasan yang terjadi di

beberapa negeri muslim, kemiskinan, dan keterbelakangan turut melatarbelakangi


citra tak elok tentang Islam. Namun memungkiri faktor penyebab eksternal (antara
lain orientalisme, media massa, kepentingan strategis AS) juga bukan sikap yang
bijak.

Menyadari terbentuknya citra negatif ini, kini muslim di Eropa berusaha


menjalin saling pengertian yang lebih baik dengan umat Kristen/ Barat, dengan
mengadakan kampanye-kampanye tentang Islam melalui media tulis dan cetak, seminar
internasional, atau dialog antaragama.

Di sisi lain munculnya kekerasan


yang
dilatari oleh kebencian terhadap muslim mendorong munculnya lembaga-lembaga yang
didirikan untuk mengusahakan jaminan keselamatan dari Pemerintah AS terhadap
muslim. Di AS dapat disebutkan CAIR (Commitee for American-Islam Rellations),
yang dalam situsnya aktif memberikan data tentang kasus-kasus kekerasan yang
dihadapi muslim di AS dan upaya-upaya yang dilakukan oleh lembaga tsb.

IV.1. Orientalisme dan Citra Negatif Non-muslim terhadap Islam


Kenyataan bahwa orientalisme telah turut mencitranegatifkan Islam sudah
tidak terbantahkan.

Dalam pandangan Akbar. S. Ahmed, studi Islam menjadi rumit di


Barat. Banyak prasangka para penulis dan intelektual yag berakar pada tradisi sekuler telah dipindahkan
ke dalam Islam. Pemindahan ini menimbulkan berbagai kesalahan dan asumsi.

Asumsi yang paling menggejala, menurut pakar jurnalis ini,


adalah ide mengada-ada tentang adanya penyingkiran wanita dan berbagai pemaksaan
gagasan negatif tentang kerahiban dalam Islam. Melalui kacamata inilah orang
(baca: Barat) memandang agama. Mereka melihat Islam sebagai agama tidak bermoral
(padahal tidak), Islam membenci wanita (padahal tidak), dan dihantui oleh
kependetaan (padahal tidak).
Setidaknya sejak dekade 1960-an, muncullah dua pokok kritik atas orientalisme dan
studi Islam. Pokok kritik yang pertama pada umumnya disampaikan oleh kaum muslim
sendiri, yang memandang bahwa al-Qur’an secara harfiah adalah sabda Allah SWT yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril. Berangkat dari
pandangan ini, kaum muslim sama sekali tidak dapat menerima analisis kesarjanaan
Barat yang mereduksi al-Qur’an sebagai produk pikiran manusia.

I
ni juga membuat
mereka sama sekali tidak dapat menerima pencapaian “rasionalitas” kesarjanaan
Barat mengenai kualitas nabi Muhammad saw. yang dapat menurunkan kualitas
kenabiannya.
Sarjana orientalis yang memelopori studi ini adalah Ignaz Goldziher (w. 1921),
seorang Yahudi Hongaria dalam karyanya “Muhammadanische Studien” (Beberapa Studi
tentang Agama Muhammad [1890] ). Ia menerapkan pendekatan kritik teks terhadap
hadits dan sunnah. Dalam pandangannya, fenomena hadits berasal dari zaman Islam
yang paling awal. Namun karena kandungan hadits yang terus membengkak pada masa-
masa selanjutnya, dan karena dalam setiap generasi muslim materi hadits berjalan
paralel dengan doktrin aliran fikih dan teologi yang seringkali bertentangan, maka
ia menilai sangat sulit menentukan hadits orisinal berasal dari Muhammad saw.
Menurutnya lagi, sebagian besar materi hadits lebih merupakan hasil perkembangan
religius, historis, dan sosial selama 2 abad pertama Islam, atau refleksi dari
berbagai kecenderungan yang muncul dalam komunitas muslim selama masa-masa itu.
Kerja Goldziher tentang studi kritis atas hadits ini dilanjutkan oleh David Samuel
Margoliouth (w.1940) dan Schnouck Hurgronje, dan mencapai puncak elaborasinya
dalam karya Yoseph Schacht (w. 1969), dalam “The Origins of Muhammad
Jurisprudence” (Asal-Usul Yurisprudensi Agama Muhammad [1950]). Studi semacam ini
berimplikasi serius, yakni produk kompilasi hadits yang ada tidak dapat dipercaya
sepenuhnya sebagai sumber ajaran dan perilaku Muhammad saw.
Pokok kritik atas orientalisme dan Studi Islam yang kedua berkaitan dengan metode
dan motivasi yang melatarinya. Kritik ini disampaikan baik oleh sarjana muslim
maupun Barat sendiri. Dalam hal ini yang menonjol adalah tiga butir berikut.

Pertama, penjelasan kesarjanaan Barat mengenai Islam cenderung bersifat


esensialis. Semua fenomena masyarakat dan kebudayaan Islam selalu dijelaskan
dalam kerangka konsep mengenai hakikat Islam dan individu atau kaum muslim yang
homogen dan statis.

Kedua, pemikiran dan kesarjanaan Barat mengenai Islam yang dikembangkan atas
pengetahuan yang sudah dimapankan sebalumnya, diyakini benar dan berfungsi membela
temuan/ hasil observasi mutakhir.

Pengetahuan tersebut mempunyai otoritas


dalam
kehidupan intelektual dan akademis di Barat, tetapi sedikit sekali kaitannya
dengan realitas sesungguhnya.

Ketiga-- dan yang paling gencar dikritik—kesarjanaan Barat dianggap selalu


didorong oleh motivasi ekonomi dan politik. Terutama dalam era kolonialisme
Eropa, studi-studi para sarjana ditata dan digunakan untuk membenarkan dominasi
atas masyarakat muslim. Itu dilakukan dengan menciptakan citra mengenai
masyarakat muslim sebagai sekumpulan makhluk manusia yang stagnan, terbelakang,
tidak mampu memimpin diri sendiri, dan memusuhi kelompok manusia lain.
Para sarjana yang tergabung dalam Middle East Research and Information Project
(MERIP) – (Proyek Riset dan Informasi Timur Tengah ) misalnya, memandang studi
Islam lebih sebagai instrumen imperialisme daripada disiplin yang objektif.
Bahkan unsur kebenaran kritik ketiga ini dibenarkan oleh para sarjana Barat
sendiri, walaupun ada juga sarjana orientalis yang tercatat menentang kebijakan
kolonialis negaranya, misalnya Granville Bromne di Inggris yang menyokong revolusi
konstitusional di Iran dan Louis Masignon di Perancis yang menyokong gerakan
kemerdekaan Aljazair.
Sebuah nama yang dikecualikan dari orientalis yang bersembunyi di balik jubah
ilmiah ini adalah Dr. Maurice Bucaille yang memberi penilaian yang jujur dan
terpercaya terhadap al-Qur’an. Dalam bukunya “La Bible le Coran et La Science”
(1976) dokter bedah dan juga orientalis ini menyoroti kitab suci al-Qur’an dari
sudut ilmiah. Ia mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan berbagai
cabang ilmiah dan ternyata satu persatunya sangat relevan dengan penemuan ilmiah
zaman baru. Ia menegaskan al-Qur’an adalah wahyu Illahi. Nama lain yang patut
disebut adalah Dr. Toschihiko Izutsu (Guru Besar dari Institute of Culture and
Linguistic Studies di Universitas Keio, Jepang). Dalam “Ethico Religious Concepts
in the Qur’an” ia memberikan pandangan positif terhadap nilai-nilai sosial dan
agamawi yang terkandung dalam al-Qur’an.
Terhadap hasil karya para orientalis yang telah menggunakan jubah ilmiahnya untuk
menghantam Islam terdapat beberapa nama penggugat, a.l., Prof. Dr. Ismail Raji al-
Faruqi (Jaffa, Palestina, 1 Januari 1829- 27 Mei 1986), mantan ketua jurusan
Islamic Studies di Temple University, Pennsylvania, AS. Sebagai pakar yang sangat
memahami dunia orientalisme dan bertahun-tahun menjadi Guru Besar di AS dan Eropa,
menyatakan bahwa studi Islam di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat tidak
pernah luput dari misi Zionis dan Kristen. Orientalis yang mengajar di jurusan
ini, menurutnya, sebagian besar orang Yahudi atau Kristen fanatik .

IV.2. Persepsi Negatif terhadap Islam

Kecuali harus ‘berterima kasih’ kepada ‘jasa’ kaum orientalis yang telah
berhasil menciptakan dan menguatkan citra minus tentang Islam dan muslim, agaknya
ada beberapa hal lain yang dipertimbangkan oleh pengamat merupakan akar dari
keadaan ini. Pendidikan warga Barat sejak kanak-kanak pun telah menggiring
mereka menuju sebuah kesalahpahaman dan kekeliruan yang besar dalam memandang
Islam dan penganutnya.
Di AS misalnya, selain mata pelajaran mengenai berbagai peradaban non-Kristen
hanya menempati porsi kecil di sekolah-sekolah menengah atas, buku-buku yang
digunakan umumnya dicirikan oleh paparan mengenai Islam yang –meminjam Fred R.
von Mehden – “singkat dan kadang dipenuhi oleh informasi yang membingungkan serta
bias” . Contohnya adalah buku pegangan karangan A. Manzour dan J. People, “Men
and Nations: A World History” (Manusia dan Bangsa-bangsa: Sejarah Dunia [1975]).
Dalam 875 halaman buku ini, paparan mengenai Islam sebagai agama hanya diberikan
dalam kurang dari 700 kata. Paparan tentang penyebaran, kebudayaan dan hukum
Islam hanya diberikan dalam kurang dari 5 halaman. Selain itu amat lemah
penyajiannya mengenai aspek-aspek lainnya dalam Islam, misalnya soal kekhalifahan,
syariat, atau perbedaan antara Sunni dan Syiah. Bahkan masih menyebut Islam
sebagai ‘agama Muhammad’ dan menggambarkan Islam sebagai agama aneh dan penuh kekerasan.
Selain itu media massa juga sangat berperan dalam penciptaan horor universal
Barat terhadap Islam. Pemberitaan dicirikan oleh hal-hal berikut ini:
(1) Generalisasi dan simplikasi. Sebutan “Islam” seolah-olah sudah mewakili
keanekaragaman geografis, negara, etnis, budaya, sejarah, dan aspek-aspek lain
dari umat muslim yang tersebar di seluruh dunia.
(2) Bias etnis dan rasial. Islam dicampur dengan ekspresi etnosentris dan
kultural yang terkekang, bahkan dengan warna kebencian rasial.
(3) Sikap yang pro-Israel dan anti-Arab, pembelaan nasib warga Palestina dituduh
sebagai pembelaan terhadap terorisme dan kritik atas Israel dicap sebagai sikap
anti-semitisme.
(4) Identifikasi Islam dengan keterbelakangan dan antiperadaban, kerudung yang
dikenakan kaum muslimat dipandang sebagai ekspresi keterbelengguan
(5) Pandangan mengenai Islam sebagai ancaman dan identik dengan kekerasan, upaya
membangun senjata nuklir di beberapa negara muslim dituduh sebagai “bom Islam”
sementara senjata-senjata sejenis yang sudah bertebaran di mana-mana tidak
disebut-sebut sebagai “bom Kristen” atau “bom Yahudi”.
(6) Pandangan tentang Islam sebagai agama yang antidemokrasi. Kemenangan FIS di
Aljazair pada Pemilu 1922 dituduh sebagai aksi yang mengangkangi demokrasi untuk
tujuan-tujuan teokrasi, dan
(7) Pandangan bahwa Islam inferior terhadap Barat .
Pada tingkat analisis dan pakar di media massa dan jurnal-jurnal kesarjanaan,
kekhawatiran akan ancaman Islam (Islamophobia) hampir menyebar rata. Hantu Islam
diidentifikasi dengan berbagai label, seperti “ancaman hijau”, “Intifadah global”,
“Terorisme Islam”, “Fundamentalisme Islam”, “pedang Islam”, dll.
Citra buruk Islam di masyarakat AS juga ditunjang oleh berbagai kepentingan
strategis AS, yang bertubrukan dengan kepentingan dunia Islam atau beberapa negara
Islam.

Yang berperan di sini bukan saja para pengambil kebijakan yang langsung
mempengaruhi kebijakan Barat terhadap dunia Islam atau negara-negara Islam
tertentu, melainkan juga pakar hubungan internasional, analisis, dan komentator,
yang memberi konsultasi kepada para pengambil keputusan atau mempengaruhi publik
luas melalui media massa.
Contoh paling mutakhir adalah pandangan Samuel P. Huntington, analis politik dan
guru besar Hubungan Internasional pada Universitas Harvard, AS, dalam esainya
yang kemudian menjadi sangat terkenal yang berjudul “The Clash of Civilisation”
(Benturan Peradaban ). Menurutnya, sumber konflik yang dominan dewasa ini bukan
sesuatu yang ideologis atau ekonomis, melainkan kultural. Konflik akan terjadi
antara negara dan kelompok dari berbagai peradaban yang berbeda. Peradaban
didefinisikannya sebagai entitas kultural tertinggi dan identitas terbesar yang
dimiliki umat manusia. Dari tujuh peradaban besar yang disebutnya, peradaban yang
paling potensial mengancam peradaban Barat yang kini berada di puncak adalah
peradaban Islam .

IV.3. Tantangan terhadap Propaganda Amerika Serikat


Tantangan yang cukup berarti mulai mendapat tantangan dari dunia akademis
dan kesarjanaan, pengambil kebijakan, maupun dari kalangan media massa. Di
kalangan akademisi dan sarjana Barat, salah seorang yang amat menonjol dan giat
menyuarakan pandangannya yang positif terhadap Islam adalah John. L. Esposito,
pengamat Islam yang pernah berguru kepada al-Faruqi.
Dalam “Islamic Treath: Mith or Reality?” (Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?
[1995] ) Esposito menyatakan bahwa gerakan-gerakan Islam tidaklah menakutkan
seperti yang pada umumnya dicitrakan dalam media-media massa Barat. Selain itu
pelabelannya dengan istilah-istilah rancu merupakan tindakan penyederhanaan
(simplisasi) yang berlebihan. Menurutnya, dalam jangka panjang, pandangan
monolotik ini akan merugikan kepentingan umat manusia secara keseluruhan, sebab
yang akan berlangsung adalah “penyetanan” satu sama lain (mutual satanization),
dan saling menghancurkan (mutual assured destruction). Ia pun menganggap penting
adanya dialog peradaban (civilizational dialogue).

Di
kalangan
pembuat
kebijakan
penceraha
n ini agak
menyejuk
kan ketika
pada 6
Februari
1962
Senat AS
mengunda
ng Warith
Deen
Muhamm
ad untuk
menyamp
aikan doa
pembuka.
Praktek
ini
dilanjutka
n Bill
Clinton
dengan
mengunda
ng wakil-
wakil
kaum
muslim
AS untuk
merayaka
n Hari
Raya Idul
Fitri 1996
di Gedung
Putih.
Sepanjang
lebih dari
200 tahun
usia
negara AS
inilah
untuk
pertama
kalinya
perayaan
hari
besar
Islam
dilaksanak
an di
gedung
terhormat
itu,
sementara
Natal dan
Hari Raya
Yahudi
sudah
kerap
dilakukan
di sana
secara
teratur.
Citra
Islam
yang
membaik
juga
muncul
dari
kalangan
akademisi.
Seorang
antropolo
g asal
Pakistan,
Akbar S.
Ahmed,
berupaya
keras
untuk
memuncul
kan Islam
yang
hidup
(living
Islam)
dalam
karyanya
yang
menjadi
best-
seller,
“From
Samarkan
d
to
Stornowa
y: Living
Islam”
(Dari
Samarkan
ke
Stornowa
y: Islam
yang
Hidup
[1993] ).
Banyak
pengamat
meyakini
bahwa
melalui
tulisannya
ini Akbar
tampakny
a
berhasil
menyamp
aikan
pesannya
untuk
menghubu
ngkan
kaum
muslim
dengan
non-
muslim.
Dalam
wawancar
anya
dengan
majalah
New
Statesman
& Society
ia
mengakui
bahwa
penggarap
an Living
Islam ini
merupaka
n
peristiwa
paling
berpengar
uh pada
kenyataan
politiknya.
Memang
tulisannya
dalam
buku ini
sangat
kental
dengan
nafas
optimisme
dan
mencerah
kan.
Sebuah
perkemba
ngan yang
cukup
berarti
juga
adanya
penelitian
yang
dilansir
oleh
Yvonne
Haddad ,
bahwa
sejak 11
September
2001
jumlah
orang
yang
berniat
mempelaj
ari Islam
maju
pesat,
karena
sebenarny
a publik
AS sangat
penasaran
ingin
mengenal
tetanggan
ya yang
telah ikut
berperang
pada
Perang
Dunia I, II
dan
Perang
Vietnam
bersama
warga AS
lain.
Haddad
menyatak
an, bahwa
walau
memang
ada kasus-
kasus
yang
memojokk
an muslim
sejak
peristiwa
11
September
, namun
peluang
untuk
mengenal
Islam
justru
terlihat
kian
terbuka
lebar.
Tetapi di
sisi lain
terlihat
bahwa
pascatrage
di 11
September
hubungan
antara
Islam dan
Barat
terlihat
kian
rumit.
Rentetan
pengebom
an
dituduhka
n kepada
jaringan
Islam.
Muslim di
berbagai
negara
Barat
menjadi
sasaran
kecurigaa
n dan
pada
kasus-
kasus
tertentu
menjadi
obyek
intimidasi
dan
terorisme.
Hal ini
menimbul
kan
simpati
dari
muslim
(bahkan
non-
muslim)
lain dan
Amerika
(yang
dianggap
sebagai
kiblat
politik
bangsa-
bangsa
Barat) pun
dianggap
tidak
melindung
i
warga
negara
muslim-
nya.
Tuduhan
ini
disambut
Amerika
dengan
mengeluar
kan iklan-
iklan
kontrovers
ial
tentang
kehidupan
muslim di
Amerika
Serikat.
Ada pihak
yang
mengangg
ap iklan
ini
tidak
menampil
kan
kenyataan
sebenarny
a dan
lebih
bersifat
propagand
is, karena
pada
waktu
yang
bersamaan
CAIR
mencatat
banyak
kasus
yang
menampil
kan
kenyataan
sebaliknya
. Beberapa
kasus
yang
tercatat,
antara lain
adalah:
1.
Pada
tanggal 21
Januari
2002
seorang
muslimah
Amerika
berdarah
Pakistan,
Samar
Kaukab
(22), yang
kuliah di
salah satu
universita
s di Ohio
diperiksa
dan
dilucuti
jilbabnya
oleh
petugas
bandara
Ohio,
termasuk
melucuti
pakaian
dalam dan
meraba
tubuh
bagian
atas.
Walau
jelas hal
ini
bertentang
an dengan
Amandem
en 14
yang
menjamin
kesetaraan
perlindun
gan
terhadap
warga AS,
namun
opini yang
dikemban
gkan
adalah hal
tersebut
sesuai
dengan
prosedur
di
Amerika
Serikat.
2.
Tanggal
20 Maret
2002
agen-agen
federal AS
menggele
dah 16
rumah dan
kantor
milik
muslim di
Virginia
dengan
cara-cara
yang amat
tidak
simpatik.
Seorang
muslimah
dan
ibunya
diborgol
selama 5
jam
selama
agen-agen
tersebuh
melakuka
n
penggeled
ahan.
Pada hari
yang sama
pemerinta
h AS
melakuka
n
sweeping
terhadap
14
organisasi
sosial,
ekonomi
dan
keagamaa
n Islam di
AS.
3.
Tanggal
30 Mei
2002
Kejaksaan
Agung AS
mengeluar
kan
rekomend
asi kepada
FBI
untuk
memata-
matai
seluruh
masjid di
AS dalam
rangka
memerang
i aksi
terorisme.
4.
Bulan
Juni 2002
kelompok
Hak-hak
Sipil di
AS --
American-
Arab Anti
Discrimin
ation
Commitee
dan The
American
Civil
Liberties
Union di
California
--
telah
mengajuk
an
gugatan
terhadap
empat
maskapai
penerbang
an AS
(United,
Continent
al,
Northwest
dan
American
Airlines)
dengan
tuduhan
keempat
maskapai
tersebut
secara
terang-
terangan
melakuka
n
diskrimina
si
terhadap
para
penumpan
g
asal Timur
Tengah
atau
warga
Asia.
5.
Tanggal
1 Oktober
2002
Dinas
Keimigras
ian As
memberla
kukan
suatu
peraturan
yang amat
sangat
diskrimina
tif
terhadap
orang-
orang
Islam
yang
henda
k memasuki
Amerika. Semua warga negara dari sejumlah negara muslim yang telahdidaftarhitamkan oleh pemerintah
AS –termasuk Indonesia—diwajibkan menjalani
pemeriksaan super ketat, seperti pemeriksaan sidik jari dan pengambilan foto, yang
akan di-cross check dengan data base para kriminal dan teroris internasional.

Daftar kasus diskriminasi yang dikeluarkan oleh CAIR dalam situsnya di atas
hanya sebagian kecil dari ratusan bahkan ribuan kasus. Yang ditampilkan dalam
makalah ini hanyalah kasus-kasus yang secara langsung ataupun tidak berhubungan
dengan sikap resmi pemerintah AS, sementara kasus kekerasan dan diskriminasi yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok tak dikenal terlalu banyak untuk ditampilkan di
sini.

Walaupun para petinggi AS sering menyatakan bahwa mereka tidak menyamakan


Islam dengan terorisme, namun tampaknya pemerintah AS harus bekerja keras untuk
dapat menyakinkan umat Islam di AS dan dunia tentang hal tersebut. Yang semakin
jelas adalah tampaknya pemerintah AS tidak berminat untuk juga bersikap ‘hati-
hati’ terhadap jaringan teroris Jepang atau Irlandia yang sarat dengan radikalisme
dan fundamentalisme Katolik-nya.

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas ada persamaan antara muslim di Eropa -- khususnya


Inggris -- dan Amerika Serikat yang dapat disebutkan antara lain:
1.

Islam dibawa oleh para imigran dengan latar belakang ekonomi, sosial, dan
politik yang berbeda, sehingga memunculkan komunitas-komunitas muslim yang
berbeda, walaupun pada perkembangannya kemudian kesatuan umat lebih terasa di
Amerika Serikat, sementara di Eropa perbedaan etnis cenderung menimbulkan masalah
internal.
2.

Muslim di kedua wilayah ini menghadapi peluang yang kurang lebih sama, yaitu
peluang untuk mengekspresikan kebebasan beragama di tengah masyarakat sekuler dan
sangat heterogen. Kebebasan berpikir di negara-negara Barat merupakan iklim
kondunsif bagi munculnya ide-ide pembaruan Islam. Hal ini merupakan kemewahan
yang tidak ditemui di negeri-negeri muslim sendiri.
3.

Tantangan dan kendala yang dihadapi pun lebih kurang sama, antara lain
tantangan untuk mempertahankan jatidiri sebagai muslim, islamophobia dan kasus
kekerasan yang ditimbulkannya, jumlah yang kurang representatif di parlemen,
pendidikan, media massa yang bias, dan krisis kepemimpinan (walau di Eropa hal ini
lebih dirasakan). Termasuk tantangan –yang jika boleh disebut demikian—terbesar
adalah bagaimana muslim yang hidup di Barat (AS dan Eropa) dapat mempresentasikan
wajah sebenarnya dari Islam, menjalin hubungan baik dengan komunitas non-muslim,
namun sekaligus menyebarkan nilai-nilai universal yang agung yang terkandung dalam
Islam.Adapun perbedaannya pun layak dikemukakan agar kondisi kaum muslim di kedua

benua itu dapat dipahami secara lebih baik.


1.

Di benua Amerika, terutama Amerika Serikat, imigran muslim kontemporer


umumnya termasuk ke dalam kelompok menengah, seperti dokter, insinyur, dan
akademisi. Posisi ini turut membentuk rasa percaya diri mereka dalam kehidupan
sosial, termasuk kekuatan untuk mempertahankan jatidiri mereka. Sedangkan di
Eropa, kaum muslim umumnya masih terdiri dari para buruh yang digaji rendah. Hal
ini mempengaruhi kekuatan tawar-menawar politis mereka. Hingga kini kaum muslim
belum mempunyai wakil di parlemen Inggris, meskipun jumlah mereka cukup besar.
2.
Islamic center yang sekaligus merupakan masjid, tempat pertemuan, sekolah,
percetakan, dan pusat kegiatan bisnis muslim menjadi peradaban unik yang
dimunculkan oleh muslim di Barat, sebagai sarana untuk mempermudah pertemuan
komunitas muslim di sana, karena jarak tempat tinggal mereka yang saling
berjauhan.
3.

Kaum muslim di Amerika Serikat cenderung tersebar di berbagai tempat,


sedang di Eropa cenderung berkonsentrasi di satu tempat. Kecenderungan ini
mendorong parokialisme yang lebih tajam di antara sesama muslim, karena komunitas
yang kemudian terbentuk umumnya berdasarkan negara asal mereka. Di sini corak

sektarian dan etnis yang ada di negara asal dibawa masuk ke lingkungan baru. Hal
ini makin mempersulit terbentuknya kepemimpinan muslim pada tingkat yang lebih
tinggi. Sedangkan fenomena mega-masjid di Amerika Serikat menjadi tempat
berkumpul muslim multietnis.
4.

Kaum muslim di Amerika pada umumnya masuk ke negara itu dengan niat menetap
di sana. Sebagai negara melting plot, siapa saja dijanjikan akan diperlakukan
sejajar. Beberapa tokoh Islam bahkan masuk ke negara ini untuk berdakwah.
Sementara itu di Eropa, kaum muslim berada di sana karena orangtua mereka adalah
imigran di sana atau terpaksa ke sana untuk mencari kerja. Dan itu berkaitan erat
dengan pengalaman kolonialisme banyak negara Eropa terhadap negara-negara muslim
di masa sebelumnya. Hingga tingkat tertentu hal ini menimbulkan perasaan terasing
yang tidak menguntungkan.
5.

Gagasan mengenai jati diri etnis memang turut meningkatkan kesadaran diri
kaum muslim baik di Eropa maupun Amerika. Tetapi di Amerika Serikat ada sejumlah
muslim yang menjadi superstars di tingkat nasional; di Eropa tidak ada. Hal ini
menyebabkan tingkat kepedulian publik nasional terhadap pentingnya Islam berbeda
di kedua benua itu. Di Amerika Serikat, kebangkitan kesadaran kulit hitam sangat
fenomenal. Hal ini turut menaikkan reputasi Islam, yakni Malcolm X dan Muhammad
Ali yang menjadi simbol kebanggaan muslim yang hidup di negara-negara non-muslim.

referensi/ catatan kaki:


2001 National geographic

Data ini dikeluarkan oleh CAIR (Council American-Islamic Relation). Sebuah organisasi yang memberi
perlindungan kepada hak-hak sipil dan politik kepada muslim di AS. Ibid.

Akbar S.Ahmed, From Samarkand to Stornoway: Living Islam, dari


terjemahannya. (Bandung: Mizan, 1997), h.244

http://usinfo.state.gov.

Juhaya S. Praja, dalam pengantarnya untuk buku Steven Barbaroza,(ed.),

Jihad Gaya Amerika, h. 14.

Larry Poston, Da’wah Islam in the West, (Oxford University Press: 1992),
h. 26. Lihat juga Deddy W. Mulyana, Islam di Amerika. Suka Duka menegakkan
Agama. (Bandung: Pustaka, 1988), h. 68

Ibid, h. 27.
Drs. Deddy Mulyana, M.A. Islam di Amerika. Suka Duka Menegakkan Agama.
(Bandung: Pustaka, 1998) h. 52.

Angela Webb, “Ekspressions of Islam in America”. Dalam Timothy Miller (ed.) America’s Alternative
Religions, (Albany: State University of New York Press, 1995). Diterbitkan kembali dalam http: //usinfo. state. gov.

Akbar S Ahmed, Discovering Islam, (London: Routledge), 1996, h. 204


Ibid.

Akbar. S. Ahmed, Living Islam, op.cit., h. 245.

Drs. Deddy, op.cit., h. 97

Juhaya S. Praja, dalam kata pengantarnya untuk Jihad Gaya Amerika, h. 19

Menurut Akbar Muhammad, Guru Besar State University of New York. Dikutip

Dr. Juhaya S. Praja, op.cit., h. 17.


Timothy Miller ,(ed.) America’s Alternative Religious, dari

http://usinfo.state.gov.

Juhaya S. Praja, op.cit., h. 22

Poston, op.cit., h. 29.

Angela Webb, op.cit.

Muslim yang datang ke Amerika pada dasarnya tidak berniat menetap di sana
untuk selamanya, karena menurut mereka Amerika tidak memiliki sesuatu untuk mereka
ambil, dan hidup di sana membahayakan aqidah. Hal ini sejalan dengan teologi
Islam, yang membedakan Dar-al Islam dari Dar-al Kufr, atau Dar al- Harb. Tinggal
di Dar al-Kufr hanya boleh sementara, untuk alasan ekonomi, diplomatik, sekolah
atau urusan lain yang tidak tersedia di Dar al-Islam. Setelah urusan selesai

harus kembali sesegera mungkin. Poston, op.cit., h.32


Deddy Mulyana, op.cit., h. 82
Taufik Abdullah, op.cit.,

h. 255

Ibid.

Ibid, h. 256

Ibid
Taufik Abdullah, op.cit, h. 272

Ibid.

Republika. Jumat, 11 Oktober 2002

Ibid

Taufik Abdullah, op.cit, h. 284.

Ibid

Taufik Abdullah, loc.cit.

Penulis buku “Islamic Britain: Religion, Politics and identity Among

British Muslims “ (1994).

Republika, loc. cit.

Taufik Abdullah, loc.cit.

Ibid.

Ibid.

Darsh, Muslims in Europe, (London: Ta-Ha Publishers, 1980), h. 81.


Ibid, h. 43

Taufik Abdullah, loc.cit.

Ibid, h. 286

Akbar S. Ahmed, Discovering, op.cit., h. 205.

Juhana S. Praja, op.cit., h. 22

You might also like