Sejarah adalah perkembangan penentuan ide diri, perjalanan perkembangan diri dalam roh. karena roh hakekatnya bebas,maka sejarah adalah perjalanan kebebasan.(Hegel) (potongan seperti dari sumber)Empunya tanah, karena ia dari mulanya datang. Itulah kesudahan bangsya Ambon. Alkissah peri mengatakan bangsya Jawa. Maka diceriterakan oleh yang empunya ceritera tatkala raja Tuban dinaikan kerajaan, maka tiada ia bersettia dan muafakat dengan kaum kulawarganya. Maka suatu kaum dua bersyaudara, seorang kiyai Tuli namanya dan seorang kiyai Dau namanya, dan seorang syaudaranya perempuan, nyai Mas namanya, ia naik serta kelengkapannya membawah dirinya mencari tempat kedudukannya. Hatta dengan kehendak Tuhan Yang Mahatinggi dibawah oleh angin dan arus datang ke tanah Hitu. Ia masuk dalam labuan Husekaak namanya. Maka tiada melihat negeri dan tiada manusyia, lalu turun daripada kelengkapannya, naik ke darat membuat negeri akan kedudukannya.Hatta demikian itu keluar seekor anjing, maka orang itu dikatakan: ‘Ada anjing, adalah lagi manusyia; jikalau ada manusyia, ada juga negeri.’ Lalu ditangkap anjing itu, digantungkan suatu bungkusan di atas leher anjing itu. Ada pun dalam bungkusan itu serba sedikit daripada alamat negerinya. Lalu dilepaskan anjing itu pulang ke negeri kepada tuannya. Maka apalah* dilihat tuannya bungkusan itu, maka ia melihat alamat serba sedikit itu. Maka ia berkata kepada orang sekalian: ‘Ada juga manusyia di pantai itu.’ Maka ia mengambil buah-buahan akan tanda alamat negerinya, lalu digantung kepada leher anjing itu, dilepaskan pulang keluar ke pantai. Maka dilihat oleh orang itu, maka kata orang itu: ‘Marilah kita pergi periksyai kepada negeri itu’, lalu ia berjalan. Hatta ia datang ke tengah jalan, maka bertemu seorang, lalu dipangil serta dengan dia berjalan menuju kepada negeri dan orang dalam negeri itu pun keluar semuanya berjalan ke pantai. Maka ia bertemu dengan penguluh kelengkapan itu, maka kedua pihak berhadapan bertanya- tanyakan kehendaknya datang itu. Maka menyahut penguluh kelengkapan itu, segala hal-ahwal semuanya diceriterakan kepada orang itu. Lalu ia bertanya pula kepada orang negeri itu, maka menyahut orang itu. Segala hal-ahwal mulanya datang itu diceriterakan kepada penguluh kelengkapan itu. Tellah demikian itu, maka kedua pihak bennarnya jual-beli, tukar-menukar beramai-ramaian. Hatta datang malam orang itu pun pulang ke negerinya. Apabila datang esok harinya, ia turun juga jual-beli, tukar-menukar sebagailah. Maka suatupun tiada dalamnya melainkan melakukan kesukaannya. Itulah kesudahan bangsya Jawa. Alkissah peri mengatakan bangsya Jailolo dan diceriterakan oleh yang empunya ceritera, demikian riwayatnya. Ada pun dalam negeri Jailolo itu dua bangsya, seorang bangsya Jailolo dan seorang bangsya Jawa, yakni anak raja keduanya. Maka dalam keduanya itu, setengah mengatakan bangsya Jailolo akan kerajaan dan setengah mengatakan pula bangsya Jawa akan kerajaan, maka jadi fitna dalam negeri endak berkelai. Tellah demikian itu, hatta datang kepada suatu ketika serta dengan kehendak Allah ta`ala keluar bangsya Jawa serta dengan kelengkapannya. Entah apa-apa kehendaknya gennap puluh dan tanjung sehingga datang ke benua Bacang. Maka di belakangnya itu dinaikan bangsya Jailolo akan kerajaan, lalu ia menyuruh rusak negeri syaudaranya. Maka disampaikan khabar itu kepada syaudaranya, demikian katanya: ‘Hai tuhanku, pattik minta maaf ke bawah dulli yang dipetuhan. Tellah sudah paduka syaudara enda dinaikan kerajaan dan negeri yang dipetuhan pun sudah rusak.’ Tellah didengar warta demikian itu, maka ia tiada mau pulang lagi, lalu ia berangkat mencari tempat akan kedudukannya. Hatta berapa lamanya di tengah jalan serta kehendak Tuhan Yang Mahatinggi datang ribut dan angin, maka cerai-berai kelengkapannya itu, masing-masing membawah aluannya. Ada datang ke tanah Buru, ada datang ke tanah Seran. Ia dibawah oleh angin dan arus datang ke tanah Ambon. Maka syaudaranya dan setengah raiyat turun duduk menjadi penghulu kepada negeri Lisabata, kiyai pati namanya atau Ulima* Sitaniya*. Maka ia berangkat sehingga datang ke tanjung Siyal*. Seorang pula kaum gulawarganya duduk menjadi penghuluh kepada negeri Waiputih, digelar Sellat* namanya. Lalu menyeberang ke tanah Hitu, masuk dalam labuan, maka ia naik ke darat mengambil tempat akan negerinya. Maka suatupun tiada hijab pada mereka itu melakukan kehendaknya. Itulah kesudahan riwayat bangsya Jailolo. Alkissah peri mengatakan bangsya Goron* dan diceriterakan oleh yang empunya ceritera demikian riwayatnya.[Sekali] perastawa* dengan kehendak Allah ta`ala ia datang kepada suatu tanjung Nukuhali, lalu masuk ke dalam sungai, diam dirinya dalam utang, seorangpun tiada mengetahui dia. Tellah demikian itu maka sebuah perau daripada pihak bangsya Jailolo ia keluar mengambil ikan. Daripada ketika itu sebuah perau daripada orang yang datang itu keluar memukat. Lalu ia pulang sehingga seorang juga, ia duduk di tepi sungai itu menengok pada orang mengambil ikan itu dan orang mengambil ikan itu pun pandang kepadanya, lalu bertanya-tanyakan: ‘Darimana engkau datang dan di mana engkau duduk?’ Maka ia menyahut: ‘Di darat sungai ini kami duduk.’ Lalu perau mengambil ikan itu kembali menyampaikan khabar kepada perdana Jamilu, maka ia pergi sendirinya kepada orang itu. Sama berhadapan, lalu bertanya padanya: ‘Darimana datang dan apa kehendakmu datang ini?’ Maka ia menyahut: ‘Ada pun kami ini datang dari benua Goron* dan kehendak kami mencari tempat kedudukan kami.’ Maka kata perdana Jamilu: ‘Maukah duduk serta kami?’ Maka ia menyahut: ‘Mengapa maka tiada mau, jikalau dengan faedahnya yang baik?’ Maka pula perdana Jamilu: ‘Mengapa maka tiada dengan faedahnya yang baik? Jika duduk serta kami kupersuamikan anakku akan isterimu supaya jangan was-was hatimu kepada kami.’ Maka ia menyahut: ‘Apatah daya lagi, jika bagai kata demikian itu? Tetapi baik kita periksyai dahulu atau ia maukah atau tiada mau kepada kami, karena ia anak yang empunya negeri, ada pun kami ini anak dagang. Itulah sebabnya baik kita periksai dahulu.’ Lalu keduanya pergi masuk dalam negeri kepada rumah perdana Jamilu. Maka perintah dengan baik patut pakaian yang baik kepada hambanya, ia duduk di atas di hadap orang banyak, dan pakaian yang jahat kepada anaknya, ia duduk di bawah serta memegang penyapu. Tellah demikian itu, maka menyuruh orang membawah kepadanya, lalu masuk serta orang banyak dan permullianya dengan adat sehinggasana. Ia berhadapan dengan perdana Jamilu bijaksana, maka kata Jamilu: ‘Pada hari ini dan ketika ini kita sempurnakan janjian itu. Tellah kesudahan kataku termasyhur didengar oleh orang sekalian. Daripada itulah kurelahkan anaku akan isterimu.’ Maka menyahut: ‘Kujungjung ke bawah kadim yang memeliharakan dan mengasih dagang piyatuh.’ Lalu ia menyaksyikan sepahnya, demikian katanya: ‘Apabila bennar anaknya yang di atas itu, lettalah kepadanya. Jika benar yang di bawah itu, lettalah kepadanya. Lalu dicampakan serta dengan kehendak Tuhan Yang Mahasuci lettalah kepada yang di bawah itu. Maka ia tersunyum serta barpantung: ‘Harap-harap janji tuhan mengasih dagang piyatu. Siapa mengetahui tipu dayah tuhan?’ Lalu menyahut demikian katanya: ‘Dagang piyatu minta maaf. Ada pun yang di atas itu, dari dunia datang ke akhirat akan syaudaraku dan ada pun yang di bawah memagang penyapu itu, tuhan perhamba akan kami.’ Maka kata Jamilu: ‘Betapa kata demikian? Karena ia hamba mengapa maka kau ambil kepadanya? Didengar orang seolah-olah dicellai kepada kita, tetapi tiada mengapa. Kepada anaku juga yang menyasal, karena tiada patut hamba dan orang baik.’ Maka ia menyahut: ‘Apatah daya? Untung kita serta kehendak Allah ta`ala.’ Lalu diam dirinya. Maka kata perdana Jamilu: ‘Bennarlah anaku, orang besar daripada Goron*.’ Lalu dipersuamikan anaknya serta makan minum bersuka-sukaan dalamnya. Itulah nyata orang berbahagia dalam dunia. Tellah demikian itu, maka ia mengambil tempat akan kedudukannya. Itulah negeri bangsya Goron*, perdana kipati namanya. Tellah kesudahan anak cucu Goron* linang. Maka jadi empat negeri pada tatkala itu. Maka dengan kehendak Allah ta`ala muafakat keempat perdana itu menjadi suatu negeri dan empat negeri itu dijadikan empat kampung dan empat nama. Alkissah peri mengatakan tatkala keempat perdana muafakat itu menjadi suatu negeri dan keempat kampung, serta dipindakan nama keempat itu. Ada pun Zamanjadi dipindakan Totohatu namanya dan perdana Mulai Mulai dipindakan Tanihitumesen namanya dan perdana Jamilu dipindakan Nusatapi namanya dan perdana kiyai pati dipindakan Pati Tuban namanya. Itulah dimasyhurkan nama keempat itu dalam tanah Hitu. Dan berjanji-janjian serta berputusan barang sesuatu pekerjaan dalam tanah Hitu, maka muafakatlah keempatnya, lalu dikerjakan dan tiada lain lagi daripada keempat perdana itu. Itulah seperti emas, tiada dengan supuhnya lagi. Ada pun keempat perdana itu, jikalau dinamai bendahara pun benar juga, dan dinaikan kerajaan pun patut juga daripada bangsyanya datang itu. Karena ia itu tiada dibesarkan dan tiada dan tiada dihinakan dan tiada dinaikan dan tiada diturunkan, melainkan melakukan kehendaknya. Itulah kenyataan empat bangsya itu. Kemudian daripada itu datang suatu bangsya tiga kaum yang ia datang dari negerinya. Maka dimasukkan tiga kaum itu tiga kampung, jumlahnya tujuh kampung dalam negeri Hitu. Itulah kesudahan kaum daripada pihak empat perdana. Alkissah peri mengatakan daripada pihak rayatnya tiga puluh gelaran dan daripada tiga puluh gelaran itu tujuh pengawanya yang besar. Ialah mengerjakan sesuatu pekerjaan daripada keempat perdana. Lain daripada itu tiada dimasukkan, sehingga takluk namanya. Apabila kepada suatu pekerjaan, maka keempat perdana muafakat dahuluh. Tellah sudah muafakat, maka dimasukkan tiga kaum dahuluh. Kemudian daripada tiga itu, maka dimasukkan tujuh pengawanya serta tiga puluh gelarannya. Itulah diadatkan zaman datang kepada zaman turun-menurun, tiada berubah lagi. Itulah kesudahannya. Alkissah peri mengatakan bangsya Ambon dan peri mengatakan bangsya Jawa, maka diceriterakan oleh yang empunya ceritera, sekali perastawa dengan kehendak Allah ta`ala dua kaum, Zamanjadi dan perdana Mulai, keduanya melakukan kehendaknya. Zamanjadi endak akan kerajaan dan perdana Mulai pun ia akan kerajaan, maka fitna kedua kaum itu, lalu berkellai. Hatta berapa lamanya seorangpun tiada manang kepada seorang dan seorangpun tiada allah kepada seorang. Lalu Zamanjadi menyuruh mengambil angkatan dari negeri Selan Binaur datang endak menyarang kepada negeri perdana Mulai. Dan perdana Mulai pun menghimpunkan segala hulubalangnya, makan minum sehingga menanti kepada angkatan itu. Berapa lamanya maka datanglah angkatan itu, lalu turun menyarang kepada negeri dan empunya negeri pun keluar. Barparanglah kedua pihak itu. Hatta seketika juga patah angkatan itu, lalu undur daripada karas parang rakyat perdana Mulai. Maka kembali angkatan itu tiada boleh allah kepada negeri. Daripada itulah pantai Hitu dinamai Liasela* namanya. Maka angkatan itu pulang dengan dukkacittanya dan empunya negeri pun makan minum bersuka-sukaan dan beramai-ramaian dalam negeri. Hatta berapa lamanya maka perdana Jamilu bijaksana ia pergi kepada perdana Mulai. Maka ia berkata: ‘Betapa kehendakmu kepada Zamanjadi itu?’ Maka menyahut perdana Mulai: ‘Ada pun kami kedua kaum ini kepada bennarnya siapa akan kerajaan?’ Maka kata perdana Jamilu bijaksana: ‘Jika kepada bennarnya engkau juga, karena engkau memulai negeri ini. Sebennar ia datang dahulu, tetapi ia duduk dalam hutan.’ Maka kata perdana Mulai kepada perdana Jamilu: ‘Maukah tolong kepadaku?’ Maka ia menyahut: ‘Mengapa maka tiada mau? Tetapi jika ada faedahnya.’ Maka kata pula perdana Mulai: ‘Apabila engkau tolong kepadaku, apa barang kehendakmu itu dan apa katamu itu tiada kulalui. Itulah kita perjanjikan.’ Maka kata perdana Jamilu: ‘Jika bagai kata demikian itu, ikutlah perintaku.’ Maka diiakan oleh perdana Mulai. Demikian perinta perdana Jamilu: ‘Apabila datang kepada hari anu, himpunlah orang serta senjata. Aku pun demikian lagi. Apabila ia keluar mencari kehendaknya, sunyilah negeri. Maka kita pun masuklah kepadanya melakukan kehendak kita itu.’ Tellah berjanji demikian lalu ia pulang. Hatta datang kepada esok harinya pergi pula kepada Zamanjadi, demikian katanya: ‘Betapa kehendakmu kepada orang itu?’ Maka menyahut Zamanjadi serta bertanya kepada perdana Jamilu: ‘Ada pun kami kedua ini kepada bennarnya siapa patut akan kerajaan?’ Maka kata perdana Jamilu: ‘Jika kepada bennarnya Zamanjadi akan kerajaan. Bennar katanya ia memulai negeri, tetapi Zamanjadi dahulu datang, ia kemudian.’ Itulah sebabnya, maka kata Zamanjadi kepada perdana Jamilu bagai kata perdana Mulai itu juga, maka menyahut perdana Jamilu pun demikian itu juga, serta berjanjian hari dan ketika itu. Lalu ia pulang masing2 membilang hari yang diperjanjikan itu. Hatta datanglah kepada hari yang diperjanjikan itu, maka kedua kaum itu harkat* serta senjata, lalu keluar. Maka datang suruan perdana Jamilu kepada perdana Mulai, demikian katanya: ‘Apa tipu kita, karena ia sudah tahu perbuatan kita. Sabar dahulu serta baik-baikan dengan dia. Apabila sudah lupa kepada harkatnya itu, kemudian berbuat kehendak kita itu.’ Maka menyuruh pula kepada Zamanjadi pun demikian juga. Maka kedua kaum diiakan kata perdana Jamilu itu, lalu ia keluar berhadapan dengan orang sekalian. Maka ia berkata: ‘Apa tipu kita kepada dua kaum ini? Apabila Zamanjadi akan kerajaan, perdana Mulai tiada mau sembah, dan jika perdana Mulai akan kerajaan, Zamanjadi pun demikian juga tiada mau sembah. Apabila keduanya akan kerajaan, belum lagi kedangaran dalam dunia suatu negeri dua kerajaan. Apabila ia keduanya akan kerajaan, jadilah empat kerajaan dalam negeri, karena empat perdana itu seseorang tiada tinggi kepada seseorang dan seseorang tiada randah kepada seseorang. Melainkan kehendak Allah subhanahu wa-ta`ala serta orang muafakat, maka jadi akan kerajaan. Baik juga kita kata demikian kepadanya, supaya menanti kehendak Tuhan Yang Mahamurah berbahagia kepada seseorang akan yang dipetuhan, itulah sempurna kerajaan. Ada pun pada ketika ini kita buat demikian pada keduanya: jika ikut kata orang sekalian, al-hamdu li-'llah, supaya kita menanti karunia Allah ta`ala. Apabila tiada mengikut, apatah daya sudahlah. Atau salah suatu mengikut kata ini, yang mengikut itu kaum kita sekalian ini, yang tiada mengikut itu bukanlah kaum kita sekalian. ’Tellah demikian itu maka menyuruh kepada dua kaum itu segala perastawa perinta kata itu semuanya dikatakannya, maka diiakan oleh dua pihak itu. Lalu keluar kepada orang sekalian, maka demikian keduanya, maka bersettia muafakat dan bersuka-sukaan kembalilah kepada adatnya. Maka suatupun tiada ellat lagi dalamnya. Maka keempat perdana itu seorang tiada tinggi kepada seorang dan seorang tiada randah kepada seorang, yakni keempatnya bersamakan. Apabila barang suatu pekerjaan melainkan keempatnya berhadapan, maka dikerjakan. Kemudian daripada itu jika seorang tiada atau dua orang atau tiga orang sehingga seorang jugapun nama keempat juga. Itulah yang bersatuan nama keempat itu selamah-selamahnya zaman datang kepada zaman. Itulah adat keempat perdana dalam tanah Hitu. Alkissah dan diceriterakan oleh yang empunya ceritera, sekali perastawa keempat perdana berhadapan muafakat. Maka perdana Pati Tuban ia belayar ke benua Jawa tuntuti agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Tatkala itu seri sultan Maluku paduka Zainul Abidin khallada 'llahu mulkahu wa-saltatahu ia datang ke benua Jawa, maka bertemu kepadanya. Lalu bertanya kepada perdana Pati Tuban Maka segala hal-akhwalnya semuanya diceriterakan kepada serri sultan. Lalu bersettia dan muafakat serta perjanji- janjian dan bersumpah-sumpahan sehingga datang kepada hari kiamat seperti firman Allah: ‘Inna 'llaha la yukhlifu 'l-mi`ada.’ Itulah pertama yang memulai perjanjian. Hatta datang musim sultan pun pulang. Sehingga datang ke tanah Bima ada suatu fitnah dengan raja Bima, lalu barparang pada ketika itu. Empat puluh orang pendagar, yakni antun-antun, mengiring kepada serri sulthan Zainul Abidin. Hatta dengan ajal Allah maka datang seorang hulubalang raja Bima. Ia datang menuju serri sultan, lalu menikam dengan lembingnya kennah kepada sultan Maluku, dan serri sultan pun serta menettah hulubalang itu. Lalu mati hulubalang itu dan raja pun luka. Maka keempat puluh pendagar itu dinaikan kepada raja di atas kelengkapan, lalu belayar. Hatta berapa lamanya di tengngah jalan maka serri sultan Zainul Abidin pun wafatlah. Inna li-llahi wa-inna ilaihi raji´un. Pada ketika itulah bawah kepada pendita yang alim, tuhan Bahrul* namanya, akan kadi di negeri Ternate. Maka diceriterakan oleh [yang empunya ceritera] perdana Pati Tuban ia pulang ke tanah Hitu, maka mengatakan peri hal-akhwal perjanjian dengan raja Maluku itu. Semuanya dikatakannya kepada orang sekalian serta dijungjung titah itu, sehingga datang kepada sultan Khairun Jamil akan kerajaan zill Allah fi 'l-alamin. Maka masyhurkan demikianlah riwayatnya: ada pun tatkala serri sultan Khair Jamil akan kerajaan itu, lalu ia bertanya kepada perdana yang besar dalam negeri demikian titah: ‘Hai segala perdana dan parwara sekalian, berapa kampung dalam negeri kita ini?’ Maka menyahut mankubumi: ‘Ada pun dalam negeri yang dipetuhan sembilan kampung jumlahnya, sepuluh dengan negeri Hitu.’ Lalu menyuruh kiaicili* Darwis akan utusan ke tanah Ambon meneguhkan pula perjanjian itu, sehinggalah termasyhur Ternate dengan Hitu. Ada pun tatkala utusan datang ke Ambon itu singga di tanah Boanoh*, maka lalu ke pantai Eran* dan dari pantai Eran* itu lalu ke tanjung Siyal. Ia masuk ke pantai Waibuti, lalu menyeberang ke tanah Hitu. Pada ketika itulah negeri Hitu dan negeri Waiputih serta negeri Eran* ketiganya muafakat bersama-sama. Tellah demikian itu kuceriterakan yang empunya ceritera. Tatkala perdana Pati Tuban ia datang dari tanah Jawa itu, lalu negeri Hitu pun masuk iman kepada Allah dan nabbi Muhammad serta agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Maka suatupun tiada hisab* melainkan memerintahkan tanahnya serta agama Allah dan agama nabbi Muhammad salla 'llahu alaihi wa-sallama amin ya Rabb al-`alamin. Alkissah peri mengatakan perdana Jamilu dan peri mengatakan panngeran Japara. Maka kuceriterakan yang empunya ceritera demikian riwayatnya. Tatkala perdana Jamilu menyuruh utusan ke tanah Jawa mengadap kepada pangeran Japara, maka ia bersettia dan muafakat dengan pangeran. Tatkala itu nyai Bawang* akan kerajaan, maka ia bertanya bangsya perdana Jamilu, maka semuanya diceriterakan kepadanya. Lalu ia memberi nama Patinggi: ‘Karena nama Jamilu itu artinya kepada bahasa Jawa “jangan mengikut”. Itulah sebabnya dan seperkara lagi nama syaudaraku itu kuberikan kepadanya.’ Hatta datang musim utusan itu pun pulang dan orang Japara pun gennap musim tiada berputusan bedagang ke tanah Hitu dan tanah Ambon sekalian sebagailah, pergi datang berulang2 tiada berputusan, sehingga Nyai Bawang* pulang ke rahmat Allah. Dan negeri Hitu pun firaklah* dengan negeri Japara daripada raja yang kemudian itu kuranlah adilnya seperti raja yang dahulu. Apabila raja itu tiada dengan adilnya diupamakan matahari tiada dengan bercahayanya. Daripada itulah maka dikatakan firak, tetapi bukan firak, sehingga tiada sampai ini juga. Itulah kesudahannya negeri Hitu dan negeri Japara. Alkissah peri mengatakan syariat nabbi akhir zaman. Ada pun tatkala masuk iman serta mengesakan Allah subhanahu wa-ta`ala dan termasyhurlah agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama, lalu membuat suatu mesjid tujuh pangkat. Tellah itu maka dinaikan Maulana ibn Ibrahim akan kadi daripada ia mutakalim daripada alim mahudum* guru sekalian tanah Ambon. Daripada ialah termasyhur agama Allah dan agama nabi Muhammad rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Kemudian daripada itu, maka kuceriterakan yang empunya ceritera, kepada suatu hari keempat perdana berhadapan kepada suatu tempat, maka keempatnya muafakat mengira-mengirakan negerinya. Maka seorang berkata: ‘Mana baik beraja daripada yang tiada beraja?’ Maka kata seorang: ‘Daripada yang tiada beraja, baik beraja.’ Dan seorang berkata pula: ‘Daripada beraja baik tiada beraja.’ Maka seorang pula berkata: ‘Mana faedah yang baik beraja itu dan mana faedah yang baik daripada tiada beraja itu?’ Lalu berkata keduanya: ‘Demikian faedah yang baik beraja.’ Maka kata seorang pula: ‘Demikian faedah yang baik daripada yang tiada beraja.’ Maka kata pula: ‘Bennar juga kata keduanya itu tiada salah, tetapi kita naikan dahulu seorang akan kerajaan, supaya kita periksai kepada faedahnya yang baik beraja atau faedah yang baik tiada beraja itu.’ Lalu dinaikan kaum gulawarganya seorang akan kerajaan. Maka digelarnya Latu Sitania namanya, yakni artinya ‘raja tanya’, nama yang dijungjung. Dan dinaikan hukum* AbubakarNaseddiki* namanya. Maka suatupun tiada ellat dalam tanah Hitu. Hatta berapa lamanya keempat perdana berhadapan serta orang banyak, maka raja naik ke atas balai. Ia duduk bejuntai-juntai, maka kata orang sekalian: ‘Nyatahlah faedah yang baik beraja dan faedah yang baik tiada beraja.’ Maka kata keempat perdana: ‘Apa salahnya karena ia kerajaan? Tetapi sehinggalah kerajaan, yakni dipawahkan*. Ada pun amar dan nahi serta adat semuanya itu melainkan keempat perdana juga.’ Apa yang kehendaknya itulah diadatkan daripada zaman datang kepada zaman turun-menurun. Tiada lain daripada keempat bangsya itu, melainkan kehendak Allah ta`ala juga tiada dapat dikatakan. Alkissah dan kuceriterakan tatkala itu perastawa keempat perdana membahagi rakyat. Seorang pengawa empat gelaran kepada seorang perdana. Demikian juga keempatnya seorang pengawa empat gelaran turun-menurun, demikian juga kemudian daripada itu. Dan kuceriterakan sekali perastawa raja naik kepada sebuah perau. Apa2 kehendaknya tiada ia muafakat dengan keempat perdana. Ia keluar bersuka-sukaan sehingga datang kepada suatu pantai, Hunimoa namanya pantai itu. Maka tiada berupama kepada yang empunya negeri serta melakukan kehendaknya dan negeri itu pun tiada diketahui kepadanya. Maka dikata dengan kata yang aib, lalu ia pulang diam dirinya kepada halnya. Itu pun tiada dikatakan kepada empat perdana itu. Lalu ia menyuruh kepada negeri yang bukan takluknya. Ia minta tolong kepadanya. Maka negeri itu keluar dengan angkatan pergi menyerang kepada negeri itu. Tiada boleh alah, jangan alah naik ke darat pun tiada boleh, lalu kembali angkatan itu. Maka kata keempat perdana: ‘Mengapa maka kembali angkatan ini?’ Maka sahut orang itu: ‘Tiada boleh alah kepadanya.’ ‘Mengapa maka tiada boleh alah kepadanya?’ Maka kata angkatan itu: ‘Jangan alah, turun ke pantainya pun tiada dapat.’ Maka kata perdana Jamilu: ‘Betapa perintah parangnya itu?’ Maka menyahut orang itu: ‘Ada pun panglimanya itu terlalu sangat gagahnya. Apabila kita langgar ke darat, maka ia keluar, lalu sekali-kali di aluan angkatan itu serta menetta. Sebab itulah maka tiada dapat turun. Demikianlah halnya orang itu.’ Tellah didengar kata orang demikian itu, serta menyingsing tangan bajunya, lalu ia becakap di hadapan orang sekalian, demikian katanya: ‘Insya Allah ta`ala berkat agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama, jika beta tiada dapat alah kepada negeri itu, beta pun tiada kembali.’ Tellah demikian itu maka ia membuat suatu maslahat serta dengan panah di aluan kelengkapannya itu. Hatta ia datang, lalu langgar ke darat. Maka panglima negeri itu keluar, lalu sekali-kali di aluan kelengkapan itu. Maka dilepas kepada maslahat itu serta dengan kehendak Allah ta`ala kennah panglimanya itu mati dan orang banyak itu pun undur serta lari. Maka diikut belakangnya orang itu, lalu alah kepada negerinya. Tellah demikian itu, maka ia kembali dengan kemenangngannya makan minum bersuka- sukaan. Maka kata orang sekalian: ‘Bennarlah perdana Jamilu pahlawan dan bijaksana dalam tanah Hitu.’ Lalu disalin dan dimuliah kepadanya, tiada seupamanya lagi dalam tanah Hitu. Hatta lama datang kepada lamanya, makin bertambah kebajikan dan kepujian. Itulah kehendak Tuhan Yang Mahamurah kepada makhluknya, berbahagia seseorang-orang dalam dunia. Alkissah dan kuceriterakan yang empunya ceritera: sekali perastawa sebua perau Saki Besi Nusatelu* ke laut Puluh Tiga mengambil ikan. Maka ia datang membawah khabar kepada perdana Jamilu, demikian katanya: ‘Ada kami bertemu sebua perau di laut Puluh Tiga. Selamanya umur kami hidup dalam dunia, bulum lagi melihat rupa manusyia bagai rupa orang itu. Tubuhnya putih dan matanya seperti mata kucing. Lalu kami tanya kepadanya, ia tiada tahu bahasa kami dan kami pun tiada tahu bangsyanya.’ Maka kata perdana Jamilu: ‘Pergilah engkau bawah ia ke mari.’ Maka kembali pula bawah ia datang ke negeri kepada perdana Jamilu. Lalu ditanya kepadanya: ‘Darimana datang dan apa nama negerimu?’ Maka ia menyahut: ‘Ada pun kami ini datang di sini kami sessat tiada tahu jalan. Maka kami jatuh pesir* ke tanah sebelah dan kapal kami pun tekarang di laut Puluh Burung*. Maka tinggal kapal kami, naik kepada sampang endak pulang ke negeri Portugal. Tetapi malim tiada tahu, maka kami datang ke mari. Apatah daya, untung kami di sini.’ Lalu diberinya tempat membuat rumahnya ia duduk. Hatta berapa lamanya maka ia memohon setengah duduk menungguh rumahnya dan setengah membawah khabar kepada orang besarnya. Hatta datang musim barat, maka menyuruh kapalnya datang gennap tahun tiada berputusan lagi. Jadi ramai bandar di tanah Hitu dan termasyhur sekalian tanah Ambon. Kepada zaman itulah maka digelarnya kepada perdana Jamilu ‘kapitan Hitu’ namanya dan berjanjian apabila datang kapalnya, maka diberinya masara persalin kepada Kapitan Hitu. Gennap tahun diadatkan selamanya, maka suatupun tiada hujat dalamnya pada ketika itu dan termasyhur nama Kapitan Hitu dari negeri Ambon sampai negeri Portugal. Maka raja Portugal digelarnya dua nama, suatu Kapitan Hitu, kedua Don Jamilu namanya. Hatta datang lama dengan lamanya serta kehendak Allah ta`ala yang kebaikannya itu dibalaskan oleh Tuhan Yang Mahamurah datang kejahatannya. Sekali perastawa ia minum mabuk, lalu berampas-rampasan serta haru-biru dalam pasar. Maka disampaikan kepada hukum dan penghuluh agama, maka kata penghuluh agama: ‘Salah orang itu melainkan sampai nyawanya.’ Maka kata keempat perdana: ‘Bennar kata hukum dan penghuluh agama, tetapi ampun dahuluh kepadanya, karena sudah termasyhur kita membuat baik kepadanya. Kemudian kita membuat jahat pula, apa hal nama kita didengngar oleh orang? Baik kita pindahkan dia kepada tempat yang lain, jangan sama senegeri kita.’ Maka dipindahkan dia ke tanah sebelah kepada tempat yang baik ia duduk, daripada negeri itu tiada beragama dan lagi banyak minuman anggur. Seperkara lagi sama makanannya dan minumannya. Itulah hal keempat perdana. Pada ketika itu tiada dikira-kirakan kepada hari yang kemudian. Hatta berapa lamanya menjadi fitna, lalu paranglah dengan dia. Sorang- menyarang, alah-mengalah sebagailah tiada berputusan parang sabil Allah. Sekali perastawa keempat perdana menyarang kepada sebuah negeri kafir. Maka keluar kafir itu serta barparanglah kedua pihak itu seperti orang bepasaran, jual-beli, tukar- menukar. Bunyi senjatanya diupamakan guruh di atas langit. Hatta berapa dalamnya pun parang lanatullah itu dan tentara Islam itu pulang serta kemenangnya, bersuka-sukaan, makan- minum dan bergela-gelaran nama panglimanya itu, sehingga dimasyhurkan dua nama, pertama Lekalahabesi dan kedua Tubanbesi, daripada berkat agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama dan Tubanbesi pun syahid pada ketika itu. Tellah demikian itu maka adinda perdana Jamilu belayar ke tanah Jawa mengadap kepada pangeran Japara. Maka pangeran Japara menyuruh tujuh buah gurap mengantarkan dia. Hatta datang ke tengah laut antara Jawa dan Bali, maka ia sakit serta dengan ajalnya, maka ia meninggal negeri fanah datang kepada negeri baka. Inna li-llahi wa-inna ilaihi raji’un. Dan maitnya itu ditaburkan bauh-bauan, maka dimasukkan ke dalam petti, lalu belayar dibawah oleh angin dan arus jatuh datang ke tanah Seran. Maka ia menengar khabar orang, ada sebuah kapal di tanah Bandan*. Lalu menyuruh sebuah gurap antar kepada mayit itu dahuluh dan ain inayat naik kepada sampangnya ennam buah itu dan gurapnya itu menanti di tanah Seran. Hatta ia datang ke Bandan, lalu naik rampas kepada kapal itu dan orangnya itu habis dibunuhnya. Maka ia pulang kepada gurapnya, lalu belayar ke Ambon. Maka didengar oleh kafir itu, ia menyuruh angkatan mengadang di tengngah jalan. Hatta berapa lamanya, maka bertemu kedua kelengkapan itu, lalu berparanglah. Maka penghuluh kelengkapan itu kira-kiranya sukar karena banyak kafir itu. Maka ia meninggal dua buah gurap sehingga dinaikan orangnya, lalu ia masuk ke pantai Hitu bersama-sama dengan tamannya yang mengantarkan mayit itu dan diturunkan kepada mayit itu. Maka dipeliharakan dan diadatkan kepada mayit itu sehingga datang kepada seratus harinya. Tellah demikian itu maka dihimpunkan orang serta kelengkapan Japara itu pergi menyerrang kepada sebuah negeri kafir, Hatiwe namanya. Pada ketika itulah pendagar Tahalele menyerrang buankan dirinya ke tengah tentara kafir itu seperti harimau. Tiada dapat terpandang mukanya oleh musuh itu, lalu alah negeri itu. Maka ia pulang dengan kemenangngannya sehingga datang ke negeri bersuka- sukaan, makan-minum dan disalininya kepada pendagar Tahalele serta digelarnya pahlawan Tubanbesi dan syamsyirnya Lukululi, artinya ‘patah tulang’. Namanya digantikan Tubanbesi yang mati itu. Inilah muafakat orang parang sabil dalam dunia. Entah berapa lagi dalam akhirat dibalaskan Allah ta`ala karena sabda nabi salla 'llahu ’alaihi wa-sallama: ‘Apabila mati Islam, dalam akhirat bulum lagi diterima oleh malak al Ridwan, jika bulum dilepaskan oleh malak al Zabaniah.’ Yakni artinya bulum lagi masuk syurga, jika bulum lagi lepas daripada azab naraka. Apabila Islam mati parang sabil, maka dalam akhirat suatupun tiada hisab* kepadanya melainkan masuk syurga. Itulah manfaat orang parang sabil dalam akhirat. Alkissah peri mengatakan parang Don Duarde datang daripada negeri Portugal serta dengan kelengkapannya, entah berapa-rapa panglimanya, maka ia naik ke darat, lalu masuk ke medan dan berbunyilah gendang, suisa* dan serunai, caramela* pelbagailah bunyi-bunyian. Maka didirikan panji-panji parang dan tentara Islam pun demikian lagi. Panglimanya dan pendagarnya serta dengan harkatnya. Maka kedua pihak berhadapan seperti orang bersembahyang mengadap kepada kiblat. Lalu bertempik kedua pihak itu upama guru di atas langit bunyi tempiknya. Hatta seketika juga mardan* Khatib ibn Maulana dan maradan Tahalele ibn Abubakar Nasiddik keduanya syahid. Kemudian daripada itu mardan Totohatu ibn Zamanjadi ia bertempik, lalu menetta, maka ditankis oleh laknatullah itu. Esfinkarnya* putus kedua pangkal, maka patah parang kafir itu. Hatta datang seketika lagi masuk pula ke medan, maka bertempik Umar, pendagar parang. Lalu ia menetta serta merampas panji- panji kafir laknatullah itu, maka patah pula laknat itu. Seketika juga himpunkan orang dan panglimanya sekalian serta dengan Den Daurdia*. Daripada sanngat marah hatinya kepada panji- panjinya itu, maka masuk pula parang ke medan. Maka kata pahlawan Tubanbesi: ‘Untunglah aku sekarang pada ketika ini, karena pintu syurga sudah terbukah.’ Lalu bertempik menyerbukan dirinya ke dalam tentara kafir itu. Ia beparang tettak-menettak serta kehendak Allah ta`ala kulitnya tiada makan besi. Maka dipaluh dengan esfingarnya* laknatullah itu, maka ditangkis oleh pahlawan itu, patah tulang tangannya yang kiri. Maka tentara kafir itu cerai-berrai, masing-masing melarikan dirinya, lalu naik kepada kelengkapannya kembali serta dengan dukkacittanya dan orang Hitu pun kembali memeliharakan mayitnya itu. Alkissah peri mengatakan sultan Maluku demikianlah riwayatnya, yang diceriterakan oleh yang empunya ceritera. Ada pun tatkala itu datang sebuah kapal membawah kepada serri sultan Maluku ke tanah Ambon. Ia masuk ke Kota Laha, maka khabarkan orang kepada negeri Hitu dan tanah Ambon sekalian. Maka keempat perdana menyuruh orang periksyai kepada khabar itu, bennarkah atau tiadakah. Maka datang orang itu katanya: ‘Bennar juga khabar itu.’ Maka keempat perdana muafakat: ‘Apa tipu kita karena janjian kita serta sumpahan?’ Lalu menyuruh kepada kapitan* Feranggi itu minta bedamai. Maka ia pun mau,lalu bedamai orang Hitu dan orang Feranggi. Tellah demikian itu, maka menyuruh tanya kepada gurendur Peranggi itu, demikian katanya: Dapatkah atau tiadakah kami endak menyuruh melalat kepada raja Ternate itu?’ Maka kata gurendur Feranggi: ‘Mengapa maka tiada dapat, karena kita sudah bedamai.’ Lalu menyuruh melalawat* dengan tipu maslahat. Empat puluh mata keris dimasukkan ke dalam gendaga Seran dan di atas keris itu has* sehellai dan di atas has itu sirri pinang dan bunga serta bauh-bauan. Dan empat puluh orang gaggah membawah makanan serta gendaga itu di hadapan raja. Lalu dibukah sendirinya serta pandang kepada keris itu, maka raja pun tercengang tiada boleh bersuarah, lalu ditudung pula kepada gendaga itu. Hatta lagi maka titah syah alam kepada empat puluh orang itu: ‘Pulanglah engkau bawah gendaga itu dan sampaikan salamku kepada empat perdana. Ada pun daging darahku sekali pun tiada bagai demikian ini. Tanda kasih dan tulus serta kehendaknya itu tellah sampailah kepada kami, maka kami pun terima dengan sempurnanya. Ialah bennar syaudaraku dari dunia datang ke akhirat. Inilah tanda berteguhan ikrar dan tasdik.’ Lalu orang itu pulang serta gendaga itu dan sampaikan salam titah itu kepada keempat perdana. Maka keempat perdana pun endak mengulang lagi, lalu kapal pun belayar membawah kepada serri sultan. Maka tanah Hitu serta tanah Ambon sekalian paranglah dengan kafir laknat itu. Alah-mengalah, sarang- menyarang sebagailah parang sabil Allah. Alkissah dan diceriterakan yang empunya ceritera. Kemudian daripada parang Don Daurde itu, maka datang kapitan Sanjo*, terlalu ammat gaggahnya. Ia naik ke darat, lalu membuat kotanya di pantai Hitu. Maka ia parang siang malam, pagi petang tiada berkeputusan. Dan negeri Hitu pun pinda ke atas bukit, Ulukulu namanya, betahanlah di atas bukit itu. Hatta berapa lamanya alah negeri itu, maka naik pula ke atas bukit Mamala, betahanlah di situ. Hatta berapa lamanya alah pula bukit itu. Maka negeri semuanya itu takluklah kepadanya kafir itu. Sehingga keempat perdana dan setengngah negeri tiada berapa itu pinda ke Tanah Besar. Ia duduk di negeri Lesiela*, maka berulang-ulang beparang di tanah Hitu. Pada ketika itu pahlawan gimelaha* Laulata ada di tanah Ambon. Ialah memeliharakan negeri sekalian serta mengeluarkan angkatan ke tanah Hitu. Maka ia langgar kepada sebuah kapal, lalu ia kembali duduk di negeri Luhu serta meneguhkan tanah Ambon. Tellah demikian itu, maka hukum Abubakar pergi mengadap kepada serri sultan di Maluku, yakni tentukan perjanjian itu. Entah apa kehendaknya titah, maka ia pulang ke tanah Ambon. Hatta didengar negeri sekalian di tanah Hitu tellah datang hukum Abubakar daripada Ternate, lalu menyuruh gelaran Tuheasal dan Tuhelusun datang kepada hukum dan keempat perdana, demikian katanya: ‘Negeri sekalian empunya sembah datang ke bawah kadim tuhanku. Ingatkah lagi rakyat tuhanku atau tiadakah lagi?’ Maka kata hukum Abubakar: ‘Mengapa maka kami tiada ingat? Ingat juga, tetapi bulum lagi datang kepada ketikanya dan waktunya.’ Maka menyahut pula gelaran itu: ‘Bilamana lagi tuhanku maka datang ketikanya dan waktunya? Tetapi negeri tuhanku sekalian itu sekarang inilah datang ketikanya dan waktunya melainkan tuhanku pulang dahuluh di tanah Hitu.’ Maka kata hukum Abubakar: ‘Apabila bagai kata demikian itu, pulanglah engkau, nyiyahkan kepada kafir itu dahulu, maka kami percahaya.’ Lalu ia pulang memberitahukan kepada negeri sekalian, lalu dibunuh kafir yang dalam negeri itu. Tellah dibunuh itu, maka disampaikan kepada hukum dan keempat perdana. Tellah demikian katanya: ‘Sudahlah bagai kehendak tuhan-tuhan itu.’ Maka hukum Abubakar dan keempat perdana pada ketika itulah pulang ke tanah Hitu. Ia duduk kepada bukit Hatunuku. Pada zaman itu negeri Hitu sekalian memberi kepala ikan ia upetti kepada keempat perdana. Itulah perinta hukum Abubakar Nasiddik dan sekalian negeri pun kembali kepada hukum Abubakar dan keempat perdana. Hatta berapa lamanya bertambah -tambah kebajikan dan kemerahan, maka suatupun tiada ellat sehingga melakukan parang sabil Allah daripada berkat agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Tellah demikian itu dan diceriterakan negeri Hitu dan negeri Nusaniwe kedua berhadapan kepada suatu majellis serta muafakat dan berjanjian. Lalu dipepatutan karena negeri Hitu pun keempat perdana itu empat bangsyanya dan Nusaniwe keempat perdana juga, tetapi suatu bangsyanya, jumlahnya dualapan perdana lima bangsyanya. Lalu Lalu dipepatutan: pertama Pati Lupa* lawannya perdana Tanihitumesen, kedua Totohatu lawannya Lisakota, ketiga Latuhalat lawannya perdana Nusatapi, keempat perdana Pati Tuban lawannya perdana Pati Naelai. Itu bersuatuan namanya. Apabila kasahkitan negeri Hitu, ia keduanya juga, atau kebajikan negeri Nusaniwe, ia keduanya juga. Daripada itulah negeri Nusaniwe ia pinda datang ke negeri Hitu. Suatupun tiada dengan hisab* karena tatkala muafakat itu dipersyahdakan*. Nama gelaran negeri Henalale dinamai Hehahitu dan gelaran negeri Latua dinamai Hehatomi* namanya. Itulah kesudahan negeri Hitu dan negeri Nusaniwe. Tellah demikian itu dan diceriterakan daripada negeri Urin* dan Asilulu. Sungguhpun namanya Ulisiwa, tetapi dalam pihak Ulima. Bennar juga dalam pihak Ulima, tetapi dalam martabat negeri Hitu. Daripada itulah maka tatkala ia bertemu kepada orang Peranggi itu, maka dibawah kepada perdana Jamilu. Maka keempat perdana menerima kepadanya itu serta dengan berjanji-janjian, demikian itu katanya: ‘Apabila jika datang kebaikannya pun kita bersama-sama, jika datang kejahatannya pun kita bersama- sama.’ Dan suatu lagi dijanjikan juga: ‘Apabila jika orang dari sebela pihak Ulisiwa endak masuk muafakat serta negeri Hitu, maka datang kepada negeri Asilulu, bersama-sama datang ke negeri Hitu.’ Ada pun perjanjian ini sehingga Alan, Liliboi dan Larike, Wakasihu dan Urin*, Asilulu suatu juga. Alkissah peri mengatakan johan pahlawan gimelaha Rubohongi. Ia datang akan bendahara di tanah Ambon serta kaum gulawarganya gimelaha Haji dan gimelaha Sakatruana. Lain daripada itu tiada kuceriterakan sehingga ibn bendahara: pertama gimelaha Kakasingku* dan (kedua) gimelaha Jamali dan (ketiga) gimelaha Kulabu dan keempat gimelaha Aja dan kelima gimelaha Basi dan keenam gimelaha Angsari*. Itulah daripada pihak bendahara. Maka datang kepada kerabat serri sultan daripada bangsya raja: pertama kiyaicili* Cuka, kedua cili Kodrat, ketiga cili Abu Syahid dan keempat cili Kaba, kelima cili Naya, keenam cili Ici dan ketujuh cili Aya, kedualapan baginda cili Ali, tatkala bulum lagi dinaikan kapitan laut, lain daripada itu tiada kusubutkan. Dan daripada pihak hamba raja pertama Kalaudi dan kedua Usman dan ketiga Kabutu Malu dan keempat Sagaluwa*, kelima Sibangua, keenam Ambalau. Lain daripada itu tiada kusubutkan dan sekalian ini termasyhur pendagar. Pun ia utusan, pun ia pergi datang berulang-ulang membawah titah sebagailah, karena pada tatkala itu sangat parang sabil Allah di tanah Ambon. Ada parang di darat, ada parang di laut, ada mennang, ada yang dimennang, ada disarang, ada yang menyarang, sebagailah kedua pihak itu tiada berputusan lagi. Segali perastawa gimelaha Kakasingku* keluar dengan kelengkapannya, maka ia bertemu dengan angkatan Nasrani di tanjung Mamala. Lalu melawanlah kedua angkatan itu daripada waktu duha sehingga datang kepada bakda lohor. Serta dengan kehendak Tuhan Yang Mahatinggi sekali-kali dengan kelengkapannya dan mayitnya perdana Kakasingku* pun sabil Allah tiada kettahuan lagi. Kemudian daripada itu dan kuceriterakan, sekalian keluar dengan kelengkapannya mendattangi sebuah negeri, Latu namanya. Maka datang angkatan kafir laknat bantu kepada negeri itu. Maka kedua pihak berparanglah seperti orang bepasarang beramai-ramaian jual- beli. Hatta datang malam masing-masing pulang kepada tempatnya. Apabila datang esok harinya demikian juga, tiada berputusan berkawal-kawal kedua tentara itu. Hatta datang kepada suatu ketika serta dengan kehendak Allah ta`ala kepada pihak Islam itu pergi barjalan ke sini dan orang kawal itu pun serta dengan alpanya ia tidur. Maka dipandang oleh kafir laknat tempat itu sunyi dan kotanya itu pun tiada manusyia, lalu ia masuk. Laknat itu alah kepada kota Islam itu. Dan orang sekalian itu pun lari masing-masing membawah dirinya sehingga gimelaha Jamali al-Din, dua bersyaudara gimelaha Angsari* dan Liwa al- Din, hoja* alim mahudum*: ketiganya syahid, karena Jamali al- Din itu pahlawan yang termasyhur, ketiganya pendagar parang. Daripada itulah maka tiada berpaling apa tipu orang banyak serta dengan kehendak Tuhan Yang Mahatinggi daripada kesudahan hidup manusyia dalam negeri fanah datang kepada negeri yang baka. Dan Kalaudi pun dengan kelengkapannya masuk, maka ia bertemu kepada kafir laknat itu, maka ia syahid serta kelengkapannya pada ketika itu juga. Maka angkatan itu sekalian kembali masing-masing ke negerinya. Alkissah peri mengatakan parang kiyai Mas. Tatkala perdana Tubanbesi belayar ke tanah Jawa mengadap kepada pangngeran minta tolong kepada agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama, maka pangeran menyuruh kepada kiyai Mas serta kelengkapannya. Dan panglimanya yang gaggah dalam angkatan itu Martajiwa namanya dan seorang Panarukan namanya dan seorang pula Pasiruwan* namanya. Hatta ia datang ke tanah Hitu dan orang Hitu pun keluar angkatan serta ia mendatangi negeri kafir itu, lalu masuk ke dalam negeri. Maka negeri ke dalam kotanya dan orang itu pun mengikut belakangnya sehingga datang ke pintu kotanya. Maka panglimanya yang gaggah itu syahid, maka patah parang Islam itu. Ia undur lalu naik kepada kelengkapannya pulang ke negeri Hitu. Hatta datang musim, maka ia belayar kembali ke tanah Jawa. Itulah kesudahan parang kiyai Mas di tanah Hitu tolong kepada agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Alkissah dan kuceriterakan yang empunya ceritera, sekali perastawa keluar angkatan Islam mendatangi negeri kafir dan angkatan kafir pun keluar. Maka kedua angkatan itu sama bertemu di tengah jalan antaranya Hitu dan Kota Laha. Maka kedua pihak berhadapan seperti orang berhadapan serta dengan hidangan karena sangat maksud Islam ke sana kepada kafir laknat itu. Sebab pada ketika itu baginda cili Cuka ia menjadi kapitan laut, sendirinya memeggang panji-panji serta membaca salawat. Lalu bertempik kedua pihak itu seperti datang tofan bakilat-kilat dan bunyi senjatanya diupamakan guruh dari atas langit dan asapnya senjata itu menjadi awan antara langit dan bumi. Dan parangnya itu daripada waktu duha sehingga datang kepada waktu asar . Hatta dengan ajal Allah, maka baginda kiyaicili pun syahid. Dan daripada orang luka dan mati itu tiada kuceriterakan, daripada ajal itulah meneguhkan hati manusyia serta memberikan kesudahannya. Ada pun dalam angkatan kafir itu pun demikian juga luka dan mati, lalu undurlah keduanya angkatan itu. Islam pun dukacitta hatinya dan Nasrani pun demikian lagi. Masing- masing pulang kepada tempatnya. Itulah hal parang sabil Allah. Alkissah dan kuceriterakan johan pahlawan Tahalele ke tanah Bandan*minta tolong kepada agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Maka negeri Bandan* sekalian keluar angkatan ke tanah Hitu. Entah berapa aluannya, tetapi penghulu yang besar dalam angkatan itu pertama kapitan Falat, kedua kapitan Atijauh, ketiga orangkaya Watimena dan raja Rosengaing*. Hatta berapa lamanya datangnya itu dan negeri Hitu pun keluar angkatan serta dia bersama-sama mendatangi kafir laknat itu dan kafir itu pun keluar angkatan. Hatta terbit fajar kepada bakda subuh keluarlah kedua pihak angkatan itu berlawanlah dan bunyi senjata itu tiada dapat dikatakan. Asapnya itu menjadi awan menudung kepada kedua angkatan itu tiada berkenalan. Hatta hilang awan itu, maka dilanggar sebuah kapal, lalu patah parang kafir itu dan angkatan Islam itu kembali serta kemenangannya, makan-minum bersuka- sukaan. Kemudian daripada itu pergi alah kepada negeri, Tuhahan* namanya, maka ia kembali ke negeri Hitu. Hatta datang musim, lalu pulang ke tanah Bandan. Kemudian daripada itu datang pula angkatan itu ke tanah Hitu, tetapi tiada masyhur parangnya itu. Sehingga datang musim ia pulang. Itulah kesudahan tanah Bandan* datang ke tanah Hitu tolong kepada agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Alkissah dan kuceriterakan oleh yang empunya ceritera sekali perastawa orang Hitu keluar dengan kelengkapannya. Dan angkatan Ferangi pun keluar sama bertemu di pantai Kota Laha, maka melawanlah kedua angkatan itu. Pada mati dan luka itu tiada dikira-kirakan lagi. Hatta berapa lamanya serta dengan kehendak Allah ta`ala sebuah kelengkapan Islam, hulubalang Pati Lihat namanya, tebakar oleh api obat bedil sendirinya. Maka didapat oleh kafir laknat itu, lalu undurlah kelengkapan Islam itu kembali dengan dukkacittanya. Ada pun pada ketika itu ada juga suruan pangeran. Ia membuat kota di pantai sebelah berhadapan kota Ferangi. Itu pun tiada juga jadi kota, itu bukan dialah oleh Ferangi, ia meninggal sendirinya pulang ke negeri Hitu. Hatta lama dengan lamanya sebagai juga tiada berputusan parang sabil Allah. Segali perastawa keluar angkatan kafir laknat itu serta orang Tidore dan orang Buru mendatangi di negeri Hitu dan orang Hitu pun harkat menanti di pantai. Hatta datang angkatan itu lalu turun, maka hulubalang Ulu Ahutan ia becakap di hadapan orang sekalian: ‘Jangan dahulu orang keluar, biarlah aku sendiri keluar dahulu. Apabila tiada patah orang itu, tuhan-tuhan sekalian keluar.’ Lalu ia bertempik ke dalam tentara kafir itu serta menettak, maka patah parang laknat itu. Masing-masing lari terjung ke dalam air berenang kepada tempatnya sehingga hulubalang Sulaiman: maka ia tiada paling mukanya, maka ia bertankis-tankisan dengan perisainya serta undur datang kepada air sehingga lututnya, lalu naik kepada kelengkapannya pulang ke Kota Laha. Tellah demikian itu dan kuceriterakan tatkala bendahara gimelaha Rubohongi ia pulang ke rahmat Allah meninggalkan negeri fanah datang kepada negeri yang baka. Maka dihabarkan orang kepada kafir laknat itu, lalu ia keluar angkatan. Kehendak kafir itu menggagahi akan mayit bendahara itu, tetapi tiada dapat lagi, sebab sudah dipindahkan ke Tanah Besar. Lalu ia menyerrang kepada negeri Hitu. Tatkala itu sekalian hulubalang serta pendagar semuanya tiada, sehingga Jumat pahlawan al-Din ada, tetapi ia dalam uzur. Maka pada ketika itulah perdana Kapitan Hitu memagang senjata, ia masuk parang kepada tentara kafir itu. Hatta seketika juga patah parang kafir laknat itu, lalu naik kepada kelengkapannya pulang ke Kota Laha. Itulah parang sabil di tanah Ambon, sungguh pun disubut tanah Ambon, tetapi tanah Hitu juga parang siang dan malam tiada berputusan. Kadang-kadang Tanah Besar masuk kepada parang. Sebab itulah maka dikatakan tanah Hitu di belakang perisyai dan Tanah Besar di dalam perisyai. Karena tatkala zaman parang itu hulubalang dan pendagar ada semuhanya -- pertama Ulu Ahutan, kedua hulubalang Hasan Pati, ketiga hulubalang Hatib Tunsulu,keempat Pati Baraim, kelima Umar pendagar, keenam Mahir pendagar, ketujuh pendagar Nahoda, kedualapan pendagar Nasiela -- hulubalang yang termasyhur dalam tanah Hitu. Lain daripada itu tiada kusubutkan melainkan Jumat, pahlawan al-Din. Ialah yang termasyhur pendagarnya dan terlalu amat gagahnya daripada sekalian. Itulah sangat parang sabil Allah di tanah Hitu. Dan kuceriterakan hulubalang kafir laknat itu pertama Don Duarde, kedua kapitan Sanco*, ketiga Paulo Kastanya dan Dan Tamura dan Dirgurumaridisi dan Siku Kisua dan Don Disera* dan Fernando Melo* dan Antoni Laliru. Lain daripada itu tiada kuceriterakan, sehingga inilah dimasyhurkan sangat parang kafir di tanah Ambon. Tatkala pada zaman itu alah menang sama kedua pihak itu. Kuceriterakan menang Islam kepada kafir itu: sekali alah sebuah kapal di tanah Bandan, kedua sebuah di pantai Hitu dan ketiga sebuah serta angkatan Bandan* dan keempat langgar kepada pinsu* dan kelima langgar kepada antonibot*. Lain daripada itu tiada kuceriterakan. Dan menang kafir kepada Islam pun demikian lagi, karena parang sabil di tanah Ambon itu tujuh puluh tahun daripada parang Don Duarde sehingga datang parang Antoni Furtado*. Tatkala belum lagi datang Furtado itu, maka datang sebuah kapal Wolanda. Ia masuk ke Hitu, maka orang Hitu tanya kepadanya:‘Darimana datangmu dan apah nama negerimu?’ Maka ia menyahut: ‘Kami datang dari negeri Hollandes* dan nama raja kami “Paringsi*”.’ Maka kata orang Hitu: ‘Bolehkah kami minta armada tolong kepada kami?’ Maka kata orang itu: ‘Mengapah maka tiada boleh? Boleh juga, tetapi menyuruh sampai kepada Prings* dan orang besar2 di negeri Holanda* supaya boleh dengar kepada dia empunya pekatahan, bolehkah atau tiadakah.’ Maka kata keempat perdana: ‘Jika bagai kata demikian itu,sampaikan dahulu kami punya pekatahan ini. Bagaimana kehendaknya Prings dan orang besar2, atau kamikah datang ke sana atau menyuruhkah datang ke mari?’Serta dengan kiriman tanda alamat tanah Ambon, lalu ia belayar pulang ke negeri Holandes menyampaikan katahan itu kepada orang besar2 dari negeri Holandes. Hatta datang musim barat kapitan amiral Kurnilis* [dan] Istin Warhaga* pun datang. Maka ia berhadapan kata serta keempat perdana dan berjanjian apah upahan dan berputusan barang kerja: apabila barang sesuatu perbuatan, jika salah kepada adat jangan dikerjakan kepada dua kaum itu. Dan diperjanjikan upahan: apabila alah kepada kotanya, maka orang Hitu bayar empat ratus bahara kepada Wolanda. Ada pun kotanya dan senjatanya dan orangnya hitam itu kepada orang Hitu, dan orang putih itu kepada orang Wolanda. Apabila alah kepada kapal, maka bayar empat puluh bahara. Kapal serta senjatanya dan orang putih kepada Wolanda, orang hitam kepada orang Hitu. Tellah demikian itu, lalu masuk ke Kotah Laha periksai kepada kotah Feranggi itu. Maka ia pulang, lalu belayar ke negeri Wolanda menyampaikan berjanjian berputusan kata sekalian itu kepada Prings vin Nyuranye* dan orang besar2 dalam negeri Murucisa*. Dan enam orang dinamai ‘graf*’, yakni syaudagar yang besar lagi artawan, termasyhur dalam negeri Wolanda, ialah empunya kapal syaudagar yang datang ke tanah bawah hangin ini. Dan kuceriterakan yang empunya ceritera. Kemudian daripada kapal belayar itu, maka kapitan Peranggi menyuruh kepada keempat perdana, demikian katanya: ‘Marilah kita bedamai dan bebaikan dunia tanah Ambon.’ Tetapi keempat perdana tiada mau, karena ia ingat kepada perjanjian dengan amiral Istiwin Warhaga* itu. Daripada tiada mau mengubah janjinya, lalu peranglah kedua pihak itu tiada berputusan sehingga datang Furtado. Itulah halnya orang berjanjian. Alkissah peri mengatakan datang Furtado. Ada pun tatkala datang Furtado serta kelengkapannya, lalu ia mendatangi negeri Hitu. Dan negeri Hitu pun pinda ke gunung Pinau*, maka ia naik barparanglah di sana. Hatta berapa lamanya alah gunung itu,maka negeri sekalian takluk kepadanya. Lalu dibawah kepada perdana Tubanbesi dan orangkaya Patiwani kepada kafir laknat itu, sehingga keempat perdana juga pinda ke Tanah Besar. Maka kafir itu mendatangi negeri Luhu dan Lasidi*, Kambelo itu pun alah juga semuanya. Lalu ia mendatangi negeri Iwa* dan orang Iwa* pun keluar berparang dia.Hatta seketika juga patah parang kafir, sebab dilontar dengan batu oleh negeri itu kennah kepala kapitan Furtado, lalu undur pulang ke Kota Laha. Demikianlah parang Antoni Furtado* di tanah Ambon sehinggalah perangnya. Maka kuceriterakan keempat perdana pinda ke Tanah Besar itu, dan perdana Tanihitumesen ia duduk di negeri Anin dan perdana Pati Tuban ia duduk di negeri Waibuti dan perdana Nusatapi ia duduk di Gamusungi, yakni negeri Luhu. Maka Kapitan Hitu naik kepada sebuah perau pergi mencari bantu sehingga ke Seran. Maka bertemu dua buah kapal Wolanda dan ditanya kepadanya: ‘Mana kapitan-mor*?’ Maka ia menyahut: ‘Kapitan-mor ada di tanah Bandan.’ Lalu Kapitan Hitu belayar ke tanah Bandan, maka ia bertemu dengan kapitan Wolanda itu dan keduanya berhadapan kata dan bicara. Maka dinaikan empat orang mengikut kapitan- mor itu, lalu belayar dan Kapitan Hitu pun pulang ke tanah Ambon. Hatta datang musim barat, datang pula sebuah kapal ke tanah Ambon kepada empat perdana. Maka keempat perdana menyuruh kepada Mihirjiguna ibn Kapitan Hitu dan mardan Sibori ibn Tubanbesi keduanya naik kepada kapal itu mendapatkan angkatan. Hatta datang ke tanah Jawah, maka ia menanti sehingga datang sama negeri Banten. Hatta berapa lamanya angkatan pun datang, maka Mihirjiguna dan mardan Sibori bertanya kepada angkatan itu, demikian katanya: ‘Darimana angkatan ini dan siapa empunya angkatan ini?’ Maka ia menyahut: ‘Ada pun angkatan ini angkatan Wolanda, keluar dari negeri Murucisa* dan empunya angkatan ini Prings van Nyuranye* dan penghulu dalam angkatan ini amiral Matelif* dan Istiwin Warhaga*.’ Maka kata Mihirjiguna: ‘Endak ke mana?’ Maka ia menyahut: ‘Mencari kepada musuh kami, Portugal namanya.’ Maka kata pula Mihirjiguna dan mardan Sibori: ‘Marilah sama kita ke tanah Ambon, karena musuh itu ada di tanah Ambon.’ Maka menyahut menyahut pula kata Mihirjiguna itu: ‘Apabila jika dengan faedahnya, maka kami bersama-sama ke tanah Ambon.’ Lalu Mihirjiguna keluarkan surat perjanjian itu kepada amiral Matelif*dan Istiwin Warhaga*. Maka dibaca surat itu, lalu ia diam dirinya. Ada pun bunyi dalam surat itu, demikian buninya: ‘Apabila alah kotanya itu, maka kami beri empat ratus bahara cengkeh. Ada pun kotanya serta senjatanya kepada orang Hitu dan orangnya hitam itu pulang kepada hitam dan orangnya putih itu pulang kepada putih. Apabila jika alah kepada kapalnya, maka beri empat puluh bahara. Ada pun kapalnya serta senjatanya kepada Wolanda dan orang putih serta kapalnya, dan orang hitam kepada orang Hitu dan artanya itu bahagi dua.’ Telah demikian itu, hatta datang kepada hari dan ketika yang baik, lalu belayar serta Mihirjiguna dan mardan Sibori ke tanah Ambon, lalu masuk kepada labuan kota Feranggi itu. Hatta datang itu, maka kapitan Feranggi menyuruh datang tanya kepadanya,demikian katanya: ‘Darimana angkatan ini?’ Maka ia menyahut: ‘Angkatan ini dari negeri Wolanda.’ Lalu katanya kepada kapitan Feranggi itu: ‘Keluar engkau dari tanah ini.’ Maka kata kapitan Feranggi itu: ‘Mengapah maka kata demikian? Karena kami empunya negeri ini, mengapah maka kami keluar dari tanah ini?’ Maka kata amiral:‘Bukan engkau empunya tanah, karena tanah ini ada yang empunya. Sudah ia berikan kepada kami dan ia pun ada pada kami.’ Lalu dikeluarkan kepada Mihirjiguna dan mardan Sibori di hadapan, lalu diam kapitan Feranggi itu tiada berkata-kata lagi. Hatta datang pagi hari dikeluarkan anak kunci itu diserahkan kepada tangan amiral, lalu keluar duduk di luar. Maka diberinya perau, lalu ia belayar pulang ke negerinya. Tellah demikian itu maka kata amiral Kurnilis Matelif* dan Istiwin Warhaga* kepada Kapitan Hitu dan keempat perdana: ‘Betapa kota ini?’ Maka kata Kapitan Hitu serta orangkaya-kaya: ‘Baik juga kita rusakkan kota ini buan ke laut.’ Maka kata amiral dan Istiwin Warhaga*: ‘Bennar juga kata itu, tetapi kita mengambil kota ini seperti kita mengambil isteri orang. Apabila datang cari kepada isterinya, bagaimana tempat kita jawab kepadanya? Ada pun tempat kita itu melainkan dengan kota, maka kita melawan dengan dia.’ Maka kata Kapitan Hitu dan keempat perdana: ‘Jika bagai kata amiral itu, baiklah Wolanda duduk kepada kota itu, tetapi barang kerja kota atas orang hitam. Itulah kerjakan dia, ada pun orang Wolanda sehingga perintahkan dan mengaraskan.’ Maka kata amiral Matelif* dan Istiwin Warhaga*: ‘Diiakanlah jika bagai kata demikian itu.’Lalu dinaikan Firdirik Hutman* gurendur di kota Ambon. Maka amiral Matelif* dan Istiwin Warhaga* pulang serta angkatannya menyampaikan khabar kepada Frings* dan orang besar2 dalam negeri Wolanda. Hatta datang musim barat, datang pula angkatan itu ke tanah Hitu, masuk ke Kota Laha. Maka datang baginda cili Ali dan gimelaha Aja dan hamba raja Ambalau minta kepada amiral, demikian katanya: ‘Tellah sudah selamat tanah Ambon daripada bahaya. Marilah kita ke Maluku tolong kepada negeri Ternate.’ Maka kata amiral Matelif* dan Istiwin Warhaga* menyahut amiral keduanya: ‘Jika dengan manfaatnya maka kami mau ke Maluku.’ Maka kata baginda cili Ali dan gimelaha Aja: ‘Apatah lagi manfaat? Karena Kapitan Hitu mengatakan upahan itu kami semuanya di situ.’ Maka kata amiral: ‘Yang tellah sudah itu apa betapa disubut lagi?’ Maka kata kiyaicili dan gimelaha: ‘Jika bagai kata demikian itu, apatah kehendak amiral itu? Katakanlah, supaya kami dengar.’ Maka kata amiral Matelif* dan Istiwin Warhaga*: ‘Berilah hasil tiga negeri itu kepada kami, maka kami mau ke Ternate.’ Maka kata kiyaicili Ali dan gimelaha dan hamba raja:‘Mana tiga negeri itu?’ Maka kata amiral: ‘Negeri Luhu dan Lesidi dan Kambelo, tiga buah negeri itu kami minta.’ Maka gimelaha dan kiyaicili tiada mau kepadanya dan amiral pun endak juga kepadanya. Lalu kata gimelaha dan kiyaicili: ‘Marilah kita pulang dahulu, esok hari maka kita berkata- kata’, lalu pulang. Maka menyuruh panggil kepada kapitan serta keempat perdana Hitu, maka kata baginda cili Ali kepada gimelaha dan orangkaya-kaya semuanya: ‘Apa tipu kita karena negeri Ternate dalam kesukaran?’ Maka ia saat*: ‘Endak kepada hasil tiga buah negeri itu, maka kita berilah salah, tiada beri salah. Apa tipu kita sekarang ini?’ Maka kata Kapitan Hitu: ‘Ada pun sudah rusak negeri Ternate serta dengan arta isi rumahnya habis dirampas oleh kafir itu. Moga2 dengan kehendak Allah ta`ala dan berkat agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama, maka kembali negeri Ternate serta dengan kerajaan. Dari mana akan datang ganti isi astanah raja? Karena rakyat sekalian wa-'llahu a`lam dalam kesukaran, melainkan hasil datang dari tanah Ambon. Pada ketika itu, apabila kembali rayat semuanya dan negeri Ternate pun tettap, sudah tiada kurang kepada hasil masuk negeri Ternate kepada hari yang kemudian itu.’ Lalu berkata: ‘Apabila angkatan itu ia mau tolong kepada negeri Ternate, insya Allah, itu upahnya atas tanah Hitu.’ Tellah demikian itu maka gimelaha dan kiyaicili katakan kepada amiral Kurnilis Matelif* dan Istiwin Warhaga* dan kapitan sekalian dalam angkatan itu. Maka kata Kapitan Hitu, maka diiakanlah kapitan sekalian itu. Dan Kapitan Hitu pun becakaplah di hadapan orang sekalian itu. Lalu kata amiral: ‘Berilah anak Kapitan Hitu ikut kepada kami supaya kami sampaikan kepada Prings dan orang besar di negeri Wolanda.’ Maka diberikan anak Kapitan Hitu, Unus Halaene namanya, ia mengikut kepada amiral belayar ke Maluku, sehingga datang ke Ternate. Maka didirikan kota di negeri Melayu. Maka sekalian rakyat pun kembali ke negeri Ternate dan dinaikan serri sulthan paduka Mudafar ibn Sa`id al-Din syah, lil* Allah [fi] 'l- `alamin akan kerajaan dan diturunkan gurendur serta soldadunya duduk menunggu kota. Lalu belayar angkatan itu membawah kepada Unus Halaene ibn Kapitan Hitu dan anak raja Nusaniwe dan anak orangkaya Lakatua dan anak orangkaya Natahuat* ke negeri Wolanda. Dan kuceriterakan tatkala gurendur Hutman* itu, maka datang amiral, Simon Hun* namanya, serta kelengkapannya. Ia itu banyak kasihnya akan artanya kepada orang serta dengan empenak supaya menjadi jinak sekalian orang Ambon. Kemudian daripada ia itu maka datang pula amiral, Piter Bot* namanya,mengantarkan kepada Unus Halaene. Iapun demikian juga murahnya dan pada ketika itu gurendur Hutman* pun belayar karena lamanya gurendur Hutman* enam tahun ia duduk. Maka dinaikan Yangseper Yangsi* akan gurendur sehingga tiga tahun. Tatkala itu datang jeneral, Gerat Rangsi* namanya. Ia datang dari Betawih, lalu ke Maluku, dari Maluku datang ke Ambon, lalu ke Bandan, dari Bandan* datang ke Ambon pula. Pada zaman itu negeri Luhu dan Kambelo menerima kepada orang Ingeris, ia duduk di negeri Kambelo. Maka gurendur Yangseper Yangsi* menyuruh serta kelengkapannya masuk ke pantai Kambelo suruhnya Ingeris itu keluar, ia tiada mau. Maka kedua pihak sama petuguhnya, pasang-memasang, tembak-menembak kedua kaum itu. Hatta berapa lamanya, maka datang jeneral Gerat Rengsi* dan perdana Kapitan Hitu menyuruh kepada gimelaha Syabidin*, karena gimelaha itu mangkubumi di tanah Ambon, daripada itulah menyuruh periksai kepadanya. Maka kata gimelaha Syabidin: ‘Mengapa maka tanya kepada beta lagi? Karena beta sudah keluarkan dia dari negeri Luhu. Maka sekarang ini ia duduk di negeri Kambelo, tiada beta mengetahui duduknya itu. Mana kehendak jeneral itu kerjakan, tetapi serta adil kepada jeneral, karena tempat duduk Ingeris itu tanah raja Ternate dan negeri Kambelo itu pun rakyat raja Ternate. Itulah beta taksirkan dahulu. ’Tellah demikian itu, maka jeneral Gerat Rangsi dan gurendur Yangseper Yangsi* menyuruh memagang senjata endak melanggar kepada negeri Kambelo. Maka kata perdana Kapitan Hitu kepada jeneral dan gurendur: ‘Sabar dahulu, supaya kami menyuruh kepada orangkaya-kaya dalam negeri Kambelo. Apabila ia mengikut, al-hamdu li-'llah, bebaikan kita serta dia. Jika tiada mengikut, apatah dayah, lepas taksir kita.’ Maka diiakanlah jeneral dan gurendur kata Kapitan Hitu demikian itu, lalu menyuruh kepada orangkaya-kaya dalam negeri Kambelo kata yang kebaikan dan kebenaran. Maka mengikutlah ia, lalu pindah ke pantai Eran* dan orang Wolanda pun masuk ke dalam negeri itu dan orang Inggeris pun keluar naik kepada kapalnya, lalu belayar pulang ke negerinya.Maka jeneral dan gurendur pulang ke Kota Laha. Maka dinaikan Aren Bulok* akan gurendur ganti kepada Yangseper Yangsi*, lalu ia belayar pulang ke Betawih dan gurendur Aren Bulok* duduk di kota Ambon. Pada ketika itu ada suatu fitna, maka berparanglah dengan negeri Nasrani yang takluk kepadanya itu, Leitimol* namanya. Hatta berapa lamanya, maka Kapitan Hitu bedamaikan dia, maka suatupun tiada fitna dalamnya. Hatta lama dengan lamanya sehingga datang kepada tahunnya, lalu ia pulang dan dinaikan Herman Aspel* akan gurendur ganti kepada Aren Bulok*. Alkissah peri mengatakan tatkala Herman Aspel* ia akan gurendur itu, maka kedua kaum muafakat serta bersakutu bandar Wolanda dan Inggeris itu, maka suatupun tiada hisab* lagi. Hatta berapa lamanya serta dengan kehendak Allah ta`ala datang suatu bala Allah.Orang Inggeris dan Jupun endak tipu kepada Wolanda, serta kotanya maka diketahui oleh Wolanda, lalu dibunuh kepada Inggeris dan Jupun semuanya, karena gurendur itu itu sangat bengis. Daripada ia memulai parang di tanah Ambon. Pertama berkellahi dengan negeri Hutumuri, kedua berkellahi dengan negeri Lesibata, ia serta gimelaha Syabidin mengalah kepada negeri itu. Maka Kapitan Hitu bawah kepada kipati Lesibata, ia bedamai dengan gurendur. Segali perastawa tanah Ambon semuanya serta gimelaha berbantahkan harga cengkeh, tawar-menawar dengan orang Wolanda. Demikian kata gimelaha dan orangkaya-kaya sekalian: ‘Minta seratus harga sebahara.’ Maka kata gurendur: ‘Enam puluh harga sebahara.’ Maka kata orangkaya-kaya: ‘Berilah delapan puluh.’ Maka kata gurendur: ‘Betapa kami disamakan dengan Inggeris, karena ia tiada hilang belanjanya. Mengapah maka ia disamakan kami, karena kami banyak belanja hilang kepada soldadu dan marinero* membuat kota. Mengapah maka minta delapan puluh daripada kami banyak arta keluar?’ Maka kata orang Ambon: ‘Mengapa maka gurendur kata demikian? Karena gurendur banyak arta hilang itu ada dengan hasilnya. Mengapa maka kata demikian itu?’ Lalu orang Ambon tiada keluarkan cengkeh, maka jadi fitna, endak berkellai kedua pihak itu. Maka kata Kapitan Hitu kepada kedua pihak itu: ‘Apa kerja berkellai? Baik juga gurendur menyuruh belayar ke Betawih kepada jeneral menyampaikan kata orangkaya-kaya itu. Dan apa kata jeneral itu, maka gurendur dan menyuruh kepada paduka seri sultan di Ternate. Betapah kehendak titah itu, maka kita lakukan bagai titah itu.’ Lalu ia menyuruh ke Ternate dan menyuruh ke Betawih. Hatta datang musim barat maka maka datang kapitan Warhaga, surat dari Betawih dan titah dari Ternate pun datang. Maka semuhanya dengan Wolanda pun berhimpun di pantai Luhu memutuskan harga cengkeh itu. Karena surat dari Betawih demikian katanya: ‘Ada pun kepada bicara yang lain, baik dan jahat, seperti membuat kota atau berkellai atau kurang kuasa barang sesuatu, maka atas kepada jeneral. Jikalau kepada benyagah Ambon itu atas kepada gurendur dan fetor* semuhanya di tanah Ambon.’ Itulah kesudahannya. Ada pun daripada titah seri sultan di Maluku demikian bunyinya: ‘Bahwa sesungguhnya tanah Ambon itu takluk kepadaku, tetapi kepada artanya itu mana kehendaknya tiada kepadaku, karena benyagaan itu sama sukah keduanya.’ Itulah kesudahannya daripada titah. Maka kata orang sekalian: ‘Jika bagai kata titah keduanya itu, atas kepada gimelaha dan gurendur memutuskan harga cengkeh ini.’ Maka kata gurendur: ‘Bukan aku, atas kepada fetor semuhanya.’ Maka kata fetor kepada orangkaya gimelaha: ‘Betapa harga cengkeh ini?’ Maka kata orangkaya gimelaha: ‘Bukan aku empunya cengkeh. Yang empunya cengkeh itu orangkaya-kaya sekalian di tanah Ambon.’ Lalu kata orangkaya-kaya: ‘Berilah tengah delapan puluh.’ Maka kata fetor: ‘Tengah tujuh puluh.’ Maka kata gimelaha: ‘Berilah tujuh puluh.’ Maka fetor pun mau dan orangkaya-kaya sekalian pun mengikut kata gimelaha itu, tujuh puluh harga sebahara cengkeh. Kemudian kata gurendur: ‘Sudah putus tujuh puluh, tetapi beta minta kepada orangkaya gimelaha dan orangkaya-kaya semuhanya enam puluh tujuh. Tiga real itu akan harga siri pinang soldadu.’ Maka diiakanlah orangkaya-kaya semuhanya kepada kata gurendur itu enam puluh tujuh real. Itulah keputusan harga ce
ngkeh dan negeri sekalian pun keluar cengkeh timbang kepada
fetor. Tellah demikian hatta datang kepada tahun yang lain, datang utusan dari Ternate minta bantu kepada gurendur, karena banyak datang Kastila ke Tidore. Tatkala itu jeneral Lurinsu Riyal* dan amiral Astiwin Warhaga* pun datang serta kelengkapannya delapan buah kapal. Maka disampaikan surat itu kepadanya, maka kata jeneral: ‘Ada pun beta ini endak ke Bandan, tetapi surat dari raja dan gurendur dari Ternate minta bantu ke sana. Maka betapa tipu orangkaya-kaya semuhanya kepada titah itu. Jikalau mau, beta minta kepada orangkaya-kaya sekalian keluarkan tujuh real upamakan harga makanan soldadu. ’Maka diiakanlah orangkaya sekalian tanah Ambon serta dengan janjinya, demikian katanya: ‘Enam puluh pada harga sebahara cengkeh itu, sehingga dalam berkellai ini. Apabila alah kepada Kastila dan Tidore atau bedamai dengan dia, maka cengkeh itu hargakan lagi atau kurang lagi daripada enam puluh itu atau lebihkan lagi daripada enam puluh itu.’ Maka diiakanlah oleh kedua pihak itu serta disuratkan dalam kertas tatkala disuratkan itu di pantai Gamusungi di hadapan jeneral dan amiral dan perawara sekalian daripada pihak Nasrani dan hadapan mengkubumi gimelaha Syabidin dan perdana sekalian perwara di tanah Ambon serta Kapitan Hitu daripada pihak Islam itu, lalu jeneral belayar ke Maluku tolong kepada negeri Ternate. Itulah kesudahan harga cengkeh pada ketika itu. Maka suatupun tiada lagi fitna pada kedua pihak itu karena sudah keputusan kata yang baik dan jahat. Tetapi daripada ia endak kejahatan itu, maka ia membuat suatu fitna kepada sengaji* Boano, karena fitna itu tiada subut lagi, yakni sudah di luar perjanjian. Alkissah peri mengatakan tatkala gurendur keluar dengan angkatan. Ia datang tanya kepada perdana gimelaha, demikian katanya: ‘Betapa perbuatan sengaji Boano demikian itu?’ Maka kata perdana gimelaha: ‘Ada pun perbuatan sengaji itu kami tiada mengetahui kepadanya. Melainkan dengan adil gurendur, karena tanah Boano itu tanah raja dan orang itu pun rakyat raja Ternate. Itulah kita taksirkan kepada gurendur.’ Lalu gurendur serta angkatannya mendatangi negeri Boano, maka kata Kapitan Hitu kepada gurendur: ‘Ada pun gimelaha itu tiada bicarakan, sehingga ditaksirkan juga. Maka beta minta kepada gurendur sabar ahulu, beta menyuruh kata kepada sengaji. Jikalau mau keluar, beta damaikan dia dengan gurendur; apabila jika ia tiada mau, apahtah daya? Lapas taksir kita kepada sengaji dan orangkaya-kaya dalam negeri Boano.’ Tellah demikian itu, lalu menyuruh kata kepada sengaji dan orangkaya semuhanya keluar, maka Kapitan Hitu dan gurendur serta orangkaya sekalian menghukumkan kedua pihak itu. Yang benar itu dibenarkan dan yang salah itu disalahkan serta didamaikan kedua kaum itu dengan kebajikan. Maka gurendur serta angkatannya pulang ke Kota Laha dan Kapitan Hitu serta kelengkapannya pulang ke negerinya. Maka suatupun tiada fitna lagi, melainkan melakukan kebaikan dan kebenaran serta kesukaan dunia dan tiada mengira- ngirakan hari yang kemudian,karena kesukaan dan keadaan itu tiada berapa dalamnya. Tellah demikian itu datang johan pahlawan gimelaha Hidayat. Alkissah peri mengatakan serta kuceriterakan tatkala perdana gimelaha Hidayat keluar serta angkatan datang ke tanah Ambon. Dan negeri sekalian pun dengan kesukaannya serta dimulianya, karena ia perdana yang besar dalam negeri Ternate, lagi johan pahlawan, lagi ia hukum dalam negeri Ternate, lagi ia alim dan tiada orang besar tubuhnya bagai dia dari Maluku sehingga datang ke Ambon, susunya bagai susuh perempuan. Sungguhpun besar tubuhnya itu tetapi kuat. Ia membuat ibadat, taat siang malam tiada berputusan mengaraskan agama Islam. Ada pun pada tatkala itu barang hukum daripada zaman yang tiada boleh putuskan orangkaya- kaya sekalian di tanah Ambon itu, ialah memutuskan, daripada ia mengatakan hukum itu serta dengan hukum Allah. Daripada itulah termasyhur nama johan pahlawan hukum Hidayatullah di tanah Ambon, upama terbit matahari cahayanya menarangkan yang adanya. Tellah demikian itu, hatta berapa antaranya dengan kehendak Allah ta`ala perdana gimelaha Syabidin pun uzur, yakni sakit. Serta ajal Allah, maka wafatlah perdana gimelaha pulang ke rahmat Allah. Maka pada ketika itu tanah Ambon dalam hukum Hidayatullah. Kemudian daripada itu datang jeneral Pitir Eskun* serta angkatan masuk ke Kota Laha. Maka Kapitan Hitu tanya kepada jeneral: ‘Endak ke mana angkatan ini?’ Maka kata jeneral: ‘Endak ke Bandan* berkellai.’ Maka kata Kapitan Hitu: ‘Apa tipu kita kepada tanah Bandan? Karena tatkala kita berparang dengan orang Feranggi ia tolong kepada kita. Maka sekarang ini kita tolong dengan senjata tiada boleh. Sudah kita tolong dengan makanan tiada sampai. Baiklah kita tolong kepadanya dengan pekatahan.’ Lalu Kapitan Hitu naik kepada angkatan itu, tiada pulang ke negerinya lagi, sehingga enam orang juga mengikut dia. Kemudian anak orangkaya-kaya tiga puluh orang serta Unus Halaene ibn Kapitan Hitu naik kepada kapal Inggeris ikut belakangnya. Hatta datang angkatan itu antaranya laut Puluh Suanggi* dan Gunung Api, maka didirikan tunggulnya sekalian kapalnya itu serta bunyi tamburunya*, torompetanya* dan himpunkan soldadu serta dengan senjatanya, maka masuk di pantai Lontor. Ia belabu sehingga datang labuan Komber. Maka kata Kapitan Hitu kepada jeneral: ‘Sabar dahulu, kita masuk kepada orangkaya-kaya tanah Bandan, tanya kepadanya maukah bedamai atau tiada maukah.’ Maka kata jeneral: ‘Bukan kami minta bedamai, kami endak berkellai juga. Tetapi daripada kehendak Kapitan Hitu demikian itu, kita ikutlah.’ Maka Kapitan Hitu naik, lalu masuk kepada negeri Salamah berhadapan serta orangkaya-kaya tanah Bandan* semuhanya. Lalu ia berkata kepada orangkaya-kaya, demikian katanya: ‘Ada pun beta ini bukan disuruh oleh jeneral. Daripada beta ingat tanah Bandan* dan tanah Hitu daripada zaman dahulukala. Maka beta tolong dengan makanan tiada boleh. Maka sekarang ini kita tolong dengan senjata tiada boleh, melainkan suatu kata kami minta kepada orangkaya-kaya, jika boleh. Apabila jika tiada boleh, apahta daya? Karena pekerjaan itu pekerjaan yang benar, tiada dapat kita tegah kepada perbuatan itu, tetapi ihtiar dahulu kepada budi akal kita, supaya jangan menyasal kepada hari yang kemudian. Daripada itulah periksai kepada orangkaya-kaya empat perkara ini, sudahkah lengkap atau bulum lagikah.’ Maka kata orangkaya-kaya kepada Kapitan Hitu: ‘Apa2 empat perkara itu?’ Maka kata Kapitan Hitu: ‘Ada pun empat perkara itu, pertama negeri, kedua senjata, ketiga manusyia, keempat makanan. Apabila jika sudah lengkap, apatah lagi dinantikan? Jika kurang lagi suatu perkara daripada empat itu,bebaikan dahulu dengan dia, supaya ia pulang. Kita pun lengkapkan kepada empat perkara itu.’ Maka kata orangkaya-kaya tanah Bandan* kepada Kapitan Hitu: ‘Baiklah, pulang dahulu, supaya kami himpunkan orang sekalian. Dalam dua hari, apabila di mana kami bedirikan tunggul putih, di sanalah kami menanti, maka orangkaya datang di sana.’ Tellah kata demikian itu, lalu Kapitan Hitu pulang ke kapal. Pada malam itu datang seorang daripada negeri Bandan. Ia masuk kepada Wolanda, maka ia berkata kepada jeneral: ‘Kita dengar orang Bandan* bicara dalam negeri: “Kita berhimpunkan orang serta senjata menanti di pantai. Apabila jika datang Kapitan Hitu dan Wolanda itu kita pagang semuhanya. Kemudian apa2 barang kehendak kita itu katakan kepadanya”.’ Tellah demikian itu maka kata jeneral kepada Kapitan Hitu: ‘Jika bagai kata ini, jangan lagi Kapitan Hitu turun ke darat, karena perbuatan ini sudah ia membunuh kepada kami orang banyak.’ Maka kata Kapitan Hitu ialah kata jeneral itu: ‘Kita tiada turun kepadanya, tetapi kita menyuruh juga kepadanya menyampaikan perjanjian kita itu, jangan kata kita dibebohonkan, artinya dusta, supaya kita dengar apa kehendaknya itu, maukah atau tiadakah.’ Hatta datang kepada janjinya, didirikan tunggul putih di pantai, maka dilihat oleh Kapitan Hitu dari kapal, lalu menyuruh turun kepada orang itu. Maka ia tanya: ‘Mana Kapitan Hitu?’ Maka suruan itu menyahut: ‘Ada pun Kapitan Hitu minta ampun daripada orangkaya-kaya sekalian, ada sakit sedikit, maka tiada ia turun. Tetapi apa kehendak orangkaya-kaya katakan juga kepada kami, maka kami katakan kepada orangkaya Kapitan Hitu dengan jeneral.’ Maka kata orangkaya-kaya semuhanya: ‘Katakan kepada Kapitan Hitu, benar juga orangkaya kata kepada empat perkara itu, tetapi kami parang dengan Wolanda ini bukan sekarang. Selamanya parang kami sahingilah* empat perkara itu, artinya kata itu sudah lengkap karena perbuatan manusyia itu serta dengan harkat. Tetapi kehendak Allah ta`ala itu siapa mengetahui?’ Maka menyahut pula orang yang disuruh itu: ‘Daripada itulah maka dikira-kirakan. Jika bagai kata orangkaya- kaya demikian itu, apatah lagi?’ Lalu pulang orang itu menyampaikan kata itu kepada orangkaya Kapitan Hitu dan jeneral. Maka kata Kapitan Hitu kepada jeneral: ‘Sudah lepas taksir beta, mana kehendak jeneral itu?’ Maka kata jeneral:‘Esok pagi kita naik cobah dahulu, supaya kita lihat perintah parangnya itu, kemudian perintah parang kita.’ Hatta datang pagi hari naiklah angkatan itu butul di hadapan negeri, maka orang Bandan* pun keluar. Beramai-ramaian parang kedua pihak itu daripada waktu duha sehingga datang asar tiada boleh alah. Lalu undur Wolanda pulang ke kapalnya, maka jeneral menyuruh panggil kepada orang besarnya serta panglimanya sekalian dalam angkatan itu datang kepada jeneral, maka kata jeneral: ‘Betapa perintah parang orang itu?’ Maka kata orang semuhanya: ‘Demikianlah parang orang itu.’ Maka kata jeneral: ‘Jika bagai demikian itu betapa bicara kita sekarang?’ Maka kata orang semuhanya: ‘Mana perintah jeneral itu kami kerjakan.’ Serta dengan cakapnya orang semuhanya itu, lalu kata jeneral: ‘Jika siyapa naik dahulu maka alah negeri itu, seribu real kuberi kepadanya. Lain makanannya dan pakaiannya dan apa-apa rampasan dalam orang banyak itu mana sukanya ia ambil dahulu. Kemudian tinggalnya itu kepada orang sekalian.’ Maka seorang kapitan, Pugel* namanya, ia becakap di hadapan jeneral dan orang besar2 semuhanya, demikian katanya: ‘Beta naik dahulu, jika tiada boleh alah negeri itu, beta pun tiada kembali.’ Lalu ia berteguhan kata dengan jeneral, maka diberinya minum arak pada tempat minuman prings. Itulah adat berteguhan janji kepada orang itu. Tellah demikian, hatta datang malam, maka diturunkan gurendur Hutman* akan kapitan. Ia naik dari belakang negeri dan kapitan Pugel dan kapitan Kuluf* dan kapitan Gemala* dan kapitan Jupun dan kapitan Siyau dan sekalian kapitan serta orang banyak semuhanya naik dari laut di hadapan negeri. Hatta terbit matahari, dipalu gendarang parang dan riuh serta bunyi bedil seperti guruh di atas langit, dan orang Bandan* pun serta dengan harkatnya. Maka kedua pihak berparanglah seperti orang bepasarang beramai-ramaian, jual-beli, tukar-menukar. Tiada habar kepada yang lain lagi sehingga sana berparang daripada bakda subuh. Hatta datang bakda lohor serta dengan kehendak Tuhan sarwa sekalian alam, maka Wolanda daripada kapitan Hutman* ia naik dari belakang negeri, ia masuk ke dalam serta bunyi bedil dan riuh dalam negeri. Maka patahlah parang Islam itu, tiada boleh masuk ke dalam negeri lagi, lalu masuk ke negeri Ander dan Waier, berhimpunlah di sana dan Wolanda pun duduk di negeri Lontor. Maka sekalian kapitan serta orang banyak itu pun pulang kepada kelengkapannya dan jeneral pun pekatahan yang diperjanjikan kepada panglimanya itu semuhanya dikerjakannya. Kemudian daripada itu, maka menyuruh tanya kepada orangkaya-kaya tanah Bandan* sekalian, demikian katanya: ‘Bukankah Kapitan Hitu endak damaikan kita kedua? Daripada orangkaya-kaya tanah Bandan* tiada mau bebaikan, maka kita berkellai. Ada pun kepada sekarang ini mana bicara orangkaya-kaya kita dengar. Jika mau bedamai, marilah kita bedamai; jika tiada mau bedamai, apahtah daya?’ Maka kata orangkaya-kaya Bandan: ‘Yang tellah sudah itu jangan disubut lagi. Jika kepada sekarang ini jeneral mau bebaikan, seribu kali kami sukah.’ Lalu orangkaya-kaya keluar bedamai dengan dia, maka kata jeneral: ‘Jika hati bennar mau bedamai, rubuhkan kotamu dan berikan senjata yang adanya itu.’ Maka kata orangkaya Bandan: ‘Tiada lagi pada kami, karena senjata itu semuhanya dalam negeri itu juga.’ Maka kata Wolanda: ‘Barang seadanya itu berikan kepada kami.’Maka diberikan dua puluh esfangar* kepada Wolenda itu, maka suatupun tiada lagi fitna. Lalu keluar bunga pala timbang kepada fetor, bennarnya dengan dia. Kemudian daripada itu kata Mai Hasan ibn orangkaya Bulaisi dan orangkaya Orotatan, demikian katanya kepada jeneral: ‘Ada lagi bedil besar dalam negeri Bandan . Semuhanya itu minta serta anak orangkaya-kaya empat puluh orang itu. Jika ia katanya tiada lagi, kemudian beta tunjukan kepada orang yang menaruh dia itu.’ Tellah demikian itu maka jeneral menyuruh panggil kepada orangkaya semuhanya, lalu kata kepadanya bagai kata orang itu. Maka orangkaya-kaya semuhanya tiada dapat besangkal lagi, lalu dikeluarkan semuhanya serta anak orangkaya-kaya itu. Maka kata jeneral: ‘Sekarang ini upama tulur hayam digulingkan dari tanah Bandan* sampai ke tanah Wolanda: tiada boleh pecah lagi, itulah tanda bebaikan. Maka sekarang ini kami endak belayar. Baik juga orang semuhanya cerai-berai itu suruh pulang keruan kepada tempatnya. Kemudian kami belayar supaya kami menyampaikan kepada orang besar2 di negeri Wolanda pun dengan kebenarannya.’ Maka disuruh oleh orangkaya-kaya panggil kepadanya semuhanya datang ke negeri Salamu. Maka ditipu oleh Wolanda, kuliling soldadu serta senjata, lalu dinaikan ke kapal, semuhanya delapan ratus delapan puluh orang kepada kapal, Dragon namanya, dan empat puluh orangkaya-kaya semuhanya dibunuh oleh Wolanda itu. Lalu belayar ke tanah Ambon, datang ke tanah Hitu, lalu ke Jawahkatra* dan orang Bandan* yang tinggal itu semuhanya pindah ke tanah Seran dan Goron*. Maka menyuruh datang mengadap kepada raja Mangkasar minta pindahkan ke Mangkasar. Maka raja menyuruh angkatan ke Seran memuatkan dia datang ke Mangkasar. Itulah hal alah tanah Bandan. Maka jeneral serta angkatannya pulang ke negerinya dan Kapitan Hitu pun pulang ke tanah Hitu. Itulah kesudahan berkellai tanah Bandan. Alkissah dan kuceriterakan kemudian daripada jeneral belayar membawah kepada orang Bandan* itu, maka Mihirjiguna masuk mengadapat* perdana Kapitan Hitu. Maka ia menyembah, lalu berkata: ‘Beta endak belayar ke Jawahkatra*.’ Maka kata Kapitan Hitu: ‘Apa kehendakmu belayar itu?’ Maka ia menyahut: ‘Ada pun kita belayar ini tiada kehendak kepada yang lain melainkan kubicarakan orang Bandan. Jika tiada boleh kembali ke tanah Bandan* pun, sehingga tanah Ambon pun baik juga jika dilapaskan oleh jeneral.’ Maka kata Kapitan Hitu: ‘Jika bagai kata demikian itu, belayarlah engkau.’ Lalu ia naik kepada sebuah kapal, Delf namanya kapal itu. Hatta berapa lamanya maka datang ke Jawahkatra*, maka Mihirjiguna naik ke darat berhadapan dengan jeneral serta orang besarnya. Maka apa kehendaknya Arinjiguna* itu semuhanya dikatakan kepada jeneral pun terimalah kepada kehendak Mihirjiguna itu. Lalu kata jeneral kepada Mihirjiguna: ‘Ada pun barang kehendakmu itu kami terimalah, tetapi musim lagi lambat datang. Apabila datang musim barat akan perginya pulang, kuserahkanlah kepadanya yang kehendaknya itu.’ Lalu Mihirjiguna tanya kepada jeneral: ‘Kapal semuhanya itu endak ke mana?’ Maka kata jeneral: ‘Kapal itu endak ke Malaka, ada ke Jambi, ada ke Laut Mera, ada pulang ke negeri Holandes, ada ke bandar Masilpatani*.’ Maka kata Mihirjiguna: ‘Beta minta kepada jeneral sementari lagi lambat musim,lagi lambat musim, beta endak turut kapal yang ke bandar Masilpatani*, mau melihat dunia tanah Keling barang seadanya hidupku sehingga datang musim barat.’ Maka iakan oleh jeneral dan diberinya seribu real akan bekalnya dan sangat mulliya kepadanya serta kasih lain2 -- tiada dapat diceriterakan kepada kasihnya itu --, lalu naik Mihirjiguna belayar. Hatta berapa lamanya di tengah laut datang tofan angin ribut. Bunyi layar seperti bunyi bedil, seketika lagi patah tiyang buritang itu. Hatta terbit matahari,angin pun tedduh. Tellah demikian itu berapa lamanya datang ke tanah Keling, kepada negeri Tunahpatnan. Maka naik ke darat bejalan ke negeri Pujiciri*, menubus dengan harganya dua real seorang, ada tengah tiga real. Ada menjual dirinya sendiri, ada menjual anaknya. Tellah menubus itu, maka belayar dari Pudiceri*, lalu kepada Tirubambu* dan Tirumulawasir* dan Kunmuri*, lalu kepada Nagahpatan*. Daripada Feranggi duduk dari situ, maka dinamai San* Tumi*. Ada pun San* Tumi* itu ada suatu bukit, maka didirikan gerejanya akan tempat berhalanya, Nona Sinyora di Mundi* namanya. Di situlah tempat ia menyembah berhalanya itu. Kemudian daripada itu maka belayar sehingga datang ke Palikat*. Karena di situ ada kota Wolanda, ia berhenti entah berapa lamanya. Lalu ia belayar ke bandar Masilpatani*, ia duduk kepada rumah syaudagar haji Baba namanya. Di sanalah dimasyhurkan namanya Mihirjiguna itu ‘sultan karanful*, kipati syah’. Di sanalah ia melihat perhiasan dunia semuhanya lengkap, sehingga ibu bapa kita yang bennar itu maka kita tiada bertemu. Lain daripada itu tiada dapat diceriterakan kepada kelakuan yang indah2, seperti perbuatan yang kegemaran kepada keelokan serta keinginan hati manusyia. Dan kejahatan serta kebencian pun demikian lagi, dan kesukaan dan kedukaan pun demikian lagi, seperti orang kaya dan orang miskin, dan orang berumah dalam tanah dan orang tiada berumah selama-lamanya, dan orang membuang segala najis manusyia dalam negeri itu. Dan dikerjakan hamam*, ada air sejuk dan air panas kepada suatu tempat harkat kepada segala manusyia. Apabila datang pagi hari, maka mandi kepada air yang panas itu, jika datang tengah hari maka mandi kepada air yang sejuk itu. Dan perbuatan pelbagai yang andak* dalam dunia semuhanya ia melihat karena Masilpatani* itu bandar Kutb Syah yakni raja Gulgonda, tatkala zaman sultan Muhammad Huli akan kerajaan di negeri Gulgonda. Tellah demikian itu hatta datang musim maka ia pulang. Berapa lamanya di tengah laut, maka datang masuk selat antara Puluh Merkata* dan ujung Tanjung Cina, lalu datang ke Banten sehingga datang ke Jawahkatra*, maka ia berenti di sanalah. Entah berapa antaranya, maka Mihirjiguna sakit. Sehingga enam hari dengan kehendak Allah ta`ala wafat meninggal negeri fana datang kepada negeri yang baka pada bulan Rubiu'l-awal dua belas hari pada tahun [1032] Ha, pada malam Ahad. Maka dibaiki suatu petti dilapis dengan tima hitam, maka ditaburkan segala bauh-bauan dalam kafan, lalu dimasukkan mayit itu ke dalam petti. Entah berapa lamanya dalam negeri Betawih, maka dinaikan kepada sebuah kapal membawah kepadanya. Dan pasan jeneral dalam surat kepada Kapitan Hitu dan gurendur Herman Aspel*, demikian katanya: ‘Ada pun kehendak Arinjiguna* itu seribus* kali beta terima. Daripada ia tiada empunya untung, maka ia mati pulang kepada asalnya, tetapi Kapitan Hitu dan gurendur kira-kirakan kehendak Arinjiguna* itu. Apabila jika dengan baiknya musim yang datang ini suruan ke mari, maka beta serahkan kepada dia.’ Tellah demikian itu, maka diberikan surat itu pada tangan Sifar al- Rijali, lalu belayar. Entah berapa lamanya di tengah jalan, maka datang ke Ambon masuk ke Kota Laha. Pada tatkala itu Kapitan Hitu pun ada di Kota Laha, bicarakan Inggeris dan Jupun endak tipu kepada Wolanda serta kotanya itu.Maka diberikan surat itu kepada Kapitan Hitu dan gurendur, lalu dibaca sendirinya, maka gurendur kata kepada Kapitan Hitu: ‘Baik juga kata jeneral kepada kita kedua itu kira-kirakan kepada kehendak Mihirjiguna itu, tetapi inilah perbuatan Inggeris dan Jupun, jika datang orang Bandan* pula.’ Lalu dibunuh Inggeris dan Jupun itu, maka tiada jadi kehendak Mihirjiguna itu sebab perbuatan orang itu. Lalu dinaikan mait itu kepada kelengkapannya orangkaya dan orang dari negeri pun keluar mendapatkan dia di tengah jalan, sehingga datang ke negeri. Maka dipertitahkan serta dengan arta disedekakan kepada fakir dan miskin dan orang besar-besar dan dipeliharakan sehingga adatnya. Itulah kesudahan pelayaran Mihirjiguna ke tanah Keling. Serta kehendak Allah ta`ala, kemudian daripada Arinjiguna* itu Unus Halaene akan hukum. Ialah bengis di tanah Hitu serta kelakuannya, karena adatnya raja ada kepadanya dan adat bendahara pun ada kepadanya. Dan kelakuan hulubalang pun ada kepadanya, karena ia berjalan atau duduk serta senjata tiada boleh meninggalkan dia dan syaudagarnya pun sangat serta murahnya tangannya. Seorangpun tiada sebagainya di tanah Ambon. Kemudian daripada itu maka kuceriterakan tatkala bendahara gimelaha Syabidin meninggalkan negeri yang fanah itu datang kepada negeri yang baka itu, tanah Ambon dalam hukum perdana gimelaha Hidayat. Maka ia pinda ke negeri Lesiela meneguhkan negeri itu daripada ia melihat salah kelakuan Wolanda itu. Pertama membuat gudang di pantai Huniyasi*, artinya negeri sengaji Hatuhaha, kedua membuat kotanya di tanjung Koako, ketiga membawah angkatan mendatangi di tanah Seran. Lain daripada itu banyak lagi perbuatannya, itulah sebabnya. Hatta datang berapa lamanya dengan kehendak Allah ta`ala perdana gimelaha Hidayat pun uzur, artinya sakit lalu pulang ke rahmat Allah ta`ala. Kemudian daripada peninggal perdana itu, makin bertambah-tambah fitnah sebab dagang, lalu paranglah gimelaha Luhu dan gimelaha Leliyato serta di tanah Ambon semuhanya, sehingga tanah Hitu juga tiada mengikut. Maka kedua kaum Islam dan kaum Nasrani itu berparanglah, sarang-menyarang, alah-mengalah sebagailah. Hatta berapa lamanya maka datang titah paduka serri sultan Ternate suruh bedamai. Apabila datang dagang, maka Wolanda datang rusak kepada dagang itu, maka gimelaha serta orangkaya- kaya semuhanya tiada mau rusak dagang dalam bandar. Lalu berparang pula, sarang-menyarang, alah-mengalah, sentiasa tiada berputusan parang di tanah Ambon dengan orang Nasrani itu, karena kehendaknya Nasrani dan Yahudi itu endak mengarusakkan agama Islam dimasukkan agama Nasrani. Daripada itulah maka digelar nama kelengkapannya itu ‘buang destar’ namanya dan demikian lagi kehendaknya Islam endak mengarusakkan agama Nasrani dan Yahudi dimasukkan kepada agama Islam. Daripada itulah maka gelarnya kelengkapannya Daripada itulah maka gelarnya kelengkapannya johan pahlawan gimelaha Leliyato ‘buang capeu*’ namanya. Daripada itulah maka parang sabil Allah di tanah Ambon tiada berputusan. Pada tatkala itu johan pahlawan gimelaha alah kepada sebuah negeri, Wai namanya. Semuhanya diangkatnya bawah ke negeri Lesiela. Hatta datang titah disuruh pulangkan, maka dikembalikan dianya. Itulah halnya tanah Ambon dengan orang Nasrani itu. Segali perastawa mendamaikan dua kaum itu. Maka kata Kapitan Hitu kepada gurendur, lalu keluarkan kotanya di tanjung Koako itu dan gudang di Huniyasi* itu. Lalu Kapitan Hitu dan hamba raja Kalabata belayar ke Jawahkatra* bebicara dengan jeneral. Hatta datang di sana raja Mataram menyuruh kepada tumengung* Bauhraksah mendatangi kota Betawih, maka tiada ketahuan bicaranya jeneral itu, karena ia dalam kesukaran. Dan di belakangnya Kapitan Hitu datang kapitan lawut baginda kiyaicili Ali ke tanah Ambon. Maka diturunkan yakni dikeluarkan gimelaha dua bersyaudara, suruh kembali ke Ternate. Tellah demikian itu Kapitan Hitu pun datang dari Jawahkatra*, lalu masuk ke negeri Luhu. Maka ia bertemu kepada kapitan laut dan barang apa2 bicara dengan jeneral itu semuhanya diceriterakan kepada kapitan laut serta muafakat. Lalu kapitan laut pun berangkat ke Manipa dan Kapitan Hitu pun pulang ke tanah Hitu. Maka gurnadur Filipi Lukas* dan hukum Halaene serta angkatannya mengadap kepada kapitan laut. Maka dibawah kepada gimelaha dua bersyaudara kembali ke Tanah Besar, maka gimelaha Leliyato ia duduk negeri Kembali dan gimelaha Luhu ia duduk di Gamusungi, yakni negeri Luhu, tempatnya yang lama. Maka suatupun tiada fitnah lagi di tanah Ambon dan kapitan laut pun berangkat ke tanah Sula, dari Sula lalu ke tanah Banggai, dari Banggai datang ke Tambuku, dari Tambuku lalu membaiki negeri serta dengan kotanya ia duduk. Hatta berapa lamanya datang angkatan dari Buton serta anak raja2 dan orang besar2 semuhanya membawah titah serta dengan adat mengadap kepada raja laut, lalu pindah ke tanah Buton, sehingga sanalah ia berhenti. Entah berapa lamanya dengan takdir Allah ta`ala pulang ke rahmat Allah. Itulah kesudahannya datang raja laut di tanah Ambon. Alkissah peri mengatakan sekali perastawa perdana Kapitan Hitu pada suatu ketika ia duduk, maka ihtiar sendirinya, demikian katanya: ‘Ada pun aku ini sudah tuah. Siyapa tempat kuserahkan tanah ini?’ Lalu diserahkan kepada orangkaya Samu2 menunggu tanah Hitu serta orangkaya Bulan, keduanya memerintahkan tatkala perdana Kapitan Hitu lagi dalam negeri Betawih. Hatta datang musim perdana pun pulang, maka suatu tiada fitnah dalam tanah Hitu. Apabila datang suatu fitnah daripada negeri yang lain bagi Islam atau Nasrani, melainkan hukum Halaene juga tiada mau kecewa kepada nama tanah Hitu. Daripada ialah orang Wolanda itu tiada dapat melakukan kehendaknya kepada tanah Hitu pada zaman itu. Hatta berapa lamanya apa2 kehendaknya, maka ia datang kepada gurendur endak mengatakan kepadanya. Maka datang kehendak Allah ta`ala kepada seorang perempuan bedzebai, artinya celaka, memberi racung kepadanya. Maka ia tiada boleh tahan dirinya lagi, lalu ia kembali sehingga datang ke negeri. Masya Allah ia meninggal kepada darulfanah datang kepada darulbaka, yakni meninggal kepada dunia datang kepada akhirat. Maka dipeliharakan serta adat sehingga datang seratus harinya. Maka dinaikan kepada Kakiyali akan hukum, maka ia kedua orangkaya Samu2 keluar serta dengan angkatan melepaskan dukacittanya. Karena istiadat orang besar yang ternama, apabila ia mati tiada boleh masuk esukaan dan beramai-ramaian atau bunyi-bunyian dalam negeri, melainkan alah sebuah negeri atau keluar arta daripada takluknya sekalian; kemudian daripada itu, maka bersuka-sukaan serta beramai-ramaian dan bunyi-bunyian dalam negeri itu. Daripada itulah maka ia keluar membawah angkatan menyarang negeri. Entah berapa lamanya di tengngah jalan, maka orangkaya Samu2 pun uzur, yakni sakit serta kehendak Tuhan Yang Mahatinggi orangkaya pun wafat, pulang ke rahmat Allah. Maka menyuruh antarkan maitnya orangkaya itu pulang ke negeri. Lalu Kakiyali membawah angkatan itu menyarang kepada sebuah negeri Hatumete namanya. Semuhanya ditangkapnya, kemudian dibagi dua: setengah didudukkan di negerinya dan setengah dibawah kepadanya ke negeri Hitu. Maka ia beramai- ramaian kesukaannya serta bunyi-bunyian dalam negeri Hitu. Itulah istiadat mati orang ternama di tanah Ambon. Maka kuceriterakan tatkala itu negeri Iwa* dan orang Wolanda endak berkellai sebab Pati Herman. Maka hukum Kakiyali juga membaiki tiada jadi berkelai, yakni mendamaikan dia. Tellah demikian itu dan kuceriterakan tatkala itu ada lagi hayat perdana Kapitan Hitu, maka barang sesuatu fitnah dalam tanah Hitu atau tanah Ambon, bagi Islam atau Nasrani, jangankan sesuatu negeri, jikalau seseorang juga pun, ia juga membaiki. Tetapi kepada fitnah tiada dapat dikatakan lagi daripada nafsu dunialah. Hatta lama dengan lamanya orangkaya pun makin tuah serta dengan kehendak Allah subhanahu wa-ta`ala uzur, maka dalam uzur itu menyuruh panggil kepada orangkaya-kaya semuhanya. Hatta datang maka kata perdana Kapitan Hitu, demikian katanya: ‘Ada pun kehendak Allah ta`ala siapa mengetahui? Tetapi pada perasaan diriku, wa-'llahu a`lam, hanya baik2 bicara kepada tanah ini serta dengan agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama.’ Maka menyahut pula orang banyak itu: ‘Bennar kata tuhanku itu. Kehendak Allah ta`ala siyapa mengetahui, tetapi jika datang masya Allah siyapa membawah tanah Hitu ini?’ Maka kata orangkaya: ‘Tiada dapat dikatakan, melainkan mana kehendak Allah ta`ala serta orang banyak itulah memangku tanah Hitu.’ Dan apa2 pekatahan serta adat tanah Hitu semuhanya dikatakan kepada keempat perdana dan berapa2 pekatahan yang dahulu kala itu semuhanya dikatakan kepada anak buahnya. Tellah demikian itu datang masya Allah, lalu pulang ke rahmat Allah. Maka dipeliharakan mait perdana itu dan disedekakan arta kepada segala penghulu agama dan orangkaya-kaya dalam negeri Hitu sekalian dan diadatkan sehingga datang seratus harinya. Maka gurendur Artus* dan orangkaya-kaya semuhanya muafakat, maka dinaikan kepada hukum Kakiyali akan Kapitan Hitu serta perjanjian: ‘Apabila barang suatu pekerjaan atau pekatahan, jangan seorang mengaku ia sendirinya, melainkan keempat orangkaya dan Kapitan Hitu serta muafakat, maka dikerjakan.’ Karena pada ketika itu mardan Baros akan Nusatapi nama gelarnya dan mardan Mulutan akan Totohatu nama gelarnya dan mardan Kelisa akan Pati Tuban nama gelarnya dan mardan Kiyoan akan Tanihitumesen. Itulah nama keempat serta Kapitan Hitu pada zaman itu. Tellah demikian itu entah berapa dalamnya maka Kapitan Hitu menyuruh dua buah parau utusan ke Mangkasar, maka orang membawah fitnah kepada gurendur itu, demikian katanya: ‘Ada pun Kapitan Hitu menyuruh ke Mangkasar endak muafakat dengan serri sultan di Goa. Apabila sudah muafakat serta minta angkatan datang berkellai dengan Wolanda.’ Maka gurendur pun percaya, tiada dengan periksyanya, maka berapa kali tipu kepada Kapitan Hitu,tetapi bulum lagi dengan kehendak Allah ta`ala tiada jadi tipunya itu, karena Kapitan Hitu sudah mengetahui kelakuan Wolanda itu. Maka tiada boleh dikerjakan kehendaknya, lalu gurendur Kisil ia belayar ke Betawih, maka digantikan Antoni* akan gurendur. Iapun demikian juga kelakuannya.Karena pada tatkala itu perdana gimelaha serta negeri semuhanya berkellai dengan Wolanda, sehingga negeri Luhu juga dua bahagi. Sebahagi serta perdana gimelaha dan negeri sekalian, maka berparanglah dan sebahagi serta kiyaicili Sibori memegang Wolanda membuat gudungnya di negeri Luhu dan paranglah kedua pihak itu, sarang-menyarang, alah- mengalah sebahagai juga tiada berputusan. Hatta berapa lamanya datang utusan dari Maluku, sadaha* Semaun namanya, membawah titah datang kepada perdana gimelaha serta Ulima dan Ulisiwa. Maka ia masuk ke tanah Hitu, karena dalam titah itu demikian buninya: ‘Katakan kepada Kapitan Hitu dan orangkaya- kaya sekalian dalam negeri Hitu, serta utusan sadaha Semaun mendamaikan kepada gimelaha dengan gurendur dan membaiki tanah Ambon Ulima dan Ulisiwa, supaya jangan jadi fitnah. Karena perjanjian Wolanda itu seorangpun tiada mengetahui, melainkan Kapitan Hitu juga mengetahui dia dan ia juga menaruh surat yang perjanjian itu.’ Tellah demikian titah itu, maka kata orangkaya-kaya tanah Hitu: ‘Jika bagai kehendak titah demikian itu, baik juga utusan pulang dahulu ke Tanah Besar,kemudian kami mengikut di belakang.’ Maka utusan pulang menanti di pantai Luhu, maka datang gurendur itu pun demikian juga, lalu ia mengikut utusan itu menanti di pantai Luhu. Maka Kapitan Hitu dan orangkaya-kaya keluar dengan kelengkapannya, lalu menyebarang. Hatta datang ke Tanah Besar, maka gurendur serta angkatannya mendapatkan dia di pantai Warau. Maka kata gurendur itu:‘Marilah kita berkata2 dahulu, kemudian kita masuk ke pantai Luhu kepada orang banyak.’ Maka Kapitan Hitu serta orangkaya-kaya semuhanya naik kepada kelengkapannya gurendur itu, maka dipagang semuhanya serta Kapitan Hitu. Maka riuhlah orang dalam kelengkapan itu, lalu dikelilingkan angkatan kepadanya. Ia sebuah2 juga ditengah2 serta pasang-memasang, tembak-menembak datang pengelodan rawaki itu seperti titi hujang atas air masing dan asap obat menjadi awan antara langit dan bumi. Dan buni bedil serta* kilat dan riuh seperti ceritera buni sangkakalah tatkala hari kiamat kepada yaum al-mahsyar. Karena angkatan Wolanda itu lima puluh aluan, lain daripada kapal dan patacoh*, maka ia sebuah2 juga melawan dengan dia.Sehingga datang kepada tanjung Kahula Wolanda itu pun undur. Iapun masuk ke pantai Lesiela, lalu menyuruh sebuah perau membawah kepada Patiwani. Ia pulang ke tanah Hitu menyampaikan khabar itu kepada negeri serta dipindahkan negeri semuhanya naik ke atas gunung. Dan undur angkatan Wolanda itu, lalu menyebarang ke tanah Hitu endak menyarang kepada negeri, tetapi tiada dapat lagi. Maka menyuruh panggil kepada orangkaya-kaya, demikian katanya: ‘Apa kerja pindah? Karena tanah Hitu dan Wolanda itu seperti laki-bini. Apabila bini salah itu melainkan lakinya juga ajar kepada dia, maka beta pagang kepada Kapitan Hitu dan orangkaya-kaya ini. Demikian itulah halnya orang laki-bini dalam dunia, tetapi keluarlah kita kedua berbicara serta kebaikan.’ Maka kata orang Hitu:‘Bennar juga kata gurendur itu, tetapi kembalikan dahulu kepada Kapitan Hitu dan orangkaya2 itu, maka kami keluar kepada gurendur.’ Maka dilepaskan kepada orangkaya-kaya itu, Kapitan Hitu juga tiada dilepaskan. Maka orang Hitu pun tiada mau keluar kepadanya serta memerintahkan negerinya. Dan utusan sadaha Semaun pun menangkap kepada orangkaya-kaya dalam negeri Luhu; yang memagang kepada Wolanda itu pun ia bawah ke Maluku. Maka orangkaya-kaya sekalian di tanah Ambon tercangan terlalu khairan kepada perbuatan gurendur dan utusan sadaha Semaun itu, maka tanah Ambon semuhanya tiada ketahui kehendaknya. Setengah berkata: ‘Baik kita berkellai.’ Dan setengah berkata: ‘Baik kita bedamai, karena sudah didamaikan kita dengan gurendur.’ Dan setengah pula berkata: ‘Jangan kita berkellai dan jangan kita bedamai sehingga diam sahanya*, supaya kita menanti kehendak titah.’ Maka kata perdana gimelaha dua bersyaudara: ‘Bennar juga kata orangkaya itu. Tetapi kepada perbuatan Wolanda ini rusak kepada agama rasul Allah di hadapan titah yang dipetuan, daripada ia tiada berupama ke bawah dulli paduka serri sultan Hamza, nasrun min Allah syah, zill Allah fi 'l-`alamin.Daripada itulah baik kita berparang dengan dia.’ Lalu muafakatlah tanah Ambon semuhanya sehingga sebuah negeri Luhu juga. Maka kata Sifar ar-Rijali di hadapan perdana,Ulima dan Ulisiwa: ‘Ada pun berkellai ini sebab, apabila jika sebab Kapitan Hitu, sabar dahulu, supaya kita menanti titah yang dipetuan dan kabaran.’ Maka kata Ulima dan Ulisiwa: ‘Sebab agama rasul Allah, kedua perkara sebab titah tiada berupama ke bawah dulli yang dipetuan.’ Dan barang apa2 pekatahan kepada hari yang kemudian itu, semuhanya ditaksirkan di hadapan perdana gimelaha dan orangkaya sekalian. Tellah sudah ditaksirkan kata demikian itu, lalu ia beli obat bedil empat balas bahara cengkeh harganya, dan tengah tujuh ratus padang. Lalu ia pulang serta orangkaya gimelaha dan negeri Waibuti ke tanah Hitu serta muafakat dengan orangkaya2 di tanah Hitu. Lalu ia pulang, maka negeri Hitu sekalian berkellai, sehingga orangkaya Tanihitumesen dengan orangkaya Bulan juga tiada berkellai. Ia mengikut kepada Wolanda itu, maka ia jadi musuh kepada negeri Hitu sekalian dan negeri sekalian pun memerintahkan kepada hulu parangnya. Maka digelarnya kepada pendagar Nahoda dan pendagar Pati Husen* keduanya akan panglima di tanah Hitu. Lalu ia pergi merompa di tanah sebelah kepada pihak tentara Nasrani itu. Maka diteguhkan Allah subhanahu wa-ta`ala, berkat agama rasul Allah serta dengan kemenangannya, maka ia pulang di negeri Wawani, makan-minum, bersuka-sukaan dan disalin kepadanya serta dengan dimasyhurkan namanya johan pahlawan Patiwani. Itulah hasiat* orang parang sabil Allah dalam dunia. Tellah demikian itu pendagar Telukibesi ia pergi merompa pula kepada pihak tentara Nasrani itu. Maka dengan kehendak Allah ta`ala berkat agama rasul Allah serta kemenangannya, lalu ia pulang di negeri Kapahaha bersuka-sukaan dan dimulliya kepadanya serta dimasyhurkan namanya johan pahlawan Tubanbesi. Ia duduk di gunung Kapahaha. Itulah faedah orang parang sabil Allah dalam dunia, entah berapa lagi dan* akhirat; karena riwayat pandita dalam syarah Sunusi*, dua perkara orang masuk syurga tiada dengan hisab* lagi, suatu perkara tarekad dunia, kedua perkara parang sabil Allah. Daripada itulah, maka beramai-ramaian negeri sekalian berparang dengan Wolanda itu. Maka kata Wolanda itu: ‘Apabila orang Hitu keluar duduk di pantai seperti dahulu kala itu, maka kami keluarkan Kapitan Hitu.’ Maka kata orang Hitu: ‘Bennar juga kata gurendur itu, tetapi keluarkan dahulu, maka kami turun duduk di pantai kembali seperti dahulu itu. Jikalau tiada lepaskan dia, kami pun tiada mau keluar.’ Maka negeri semuhanya tiada keluar sehingga orangkaya Bulan, ayah mudanya Kapitan Hitu serta tujuh negeri keluar duduk di pantai serta Wolanda itu. Maka kata orang sekalian kepada orangkaya itu: ‘Betapa kehendak orangkaya keluar itu?’ Maka kata orangkaya: ‘Baik juga kita keluar ikut katanya. Dalam tujuh bulan itu apabila dilepaskan kepada Kapitan Hitu, maka negeri sekalian keluar. Jikalau tiada dilepaskan kepada [Kapitan] Hitu dalam tujuh bulan itu kita berbantahkan perjanjiannya.’ Maka orangkaya keluar serta muafakat dengan orangkaya-kaya, lalu orangkaya Tanihitumesen belayar ke Betawih. Dan apa2 kehendak orangkaya itu semuhanya dikatakan kepada jeneral, maka di belakang orangkaya negeri semuhanya itu keluar masuk kepada musuh itu,tiada lagi berkellai. Maka kata Sifar ar-Rijali kepada orangkaya-kaya dan panglima serta pendagar sekalian, demikian katanya: ‘Apabila perbuatan kita demikian ini?Rusaklah negeri kita dan Kapitan Hitu pun tiada dikembalikan lagi oleh Wolanda itu.’ Lalu ia pergi merompa kepada orang Hitu yang mengikut kepada Wolanda itu. Hatta dengan takdir Allah ta`ala serta dengan kemenangannya, maka ia pulanglah ke negeri Wawani bersuka-sukaan, maka seorangpun tiada keluar lagi.Entah berapa lamanya datang orangkaya Tanihitumesen, maka orangkaya-kaya menyuruh tanya kepadanya: ‘Betapa kehendak jeneral kepada Kapitan Hitu, lepaskankah atau tiadakah?’ Maka ia berkata: ‘Ada pun kata jeneral, tiga bulan lagi datang kapal dari Bandan, maka dilepaskan kepada Kapitan Hitu.’ Maka negeri Hitu semuhanya menanti sehingga datang tiga bulan tiada juga dilepaskan, maka kata negeri sekalian kepada orangkaya Bulan: ‘Ada pun perjanjian gurendur kepada orangkaya dalam tujuh bulan, sekarang sudah lalu tiga bulan, maka tiada ia mengikut perjanjian itu. Betapa lagi kehendak orangkaya itu, kami ikut juga, tetapi baik orangkaya undur dahulu. Kemudian apa kehendak orangkaya itu katakan juga kepada orang sekalian, supaya kita kerjakan.’ Itu pun tiada juga orangkaya mau undur sehingga empat buah negeri undur naik ke gunung, lalu paranglah negeri semuhanya beramai- ramaian. Pada ketika itu pahlawan Patiwani seorangpun tiada sebagainya di tanah Hitu, di mana merompa di darat atau di laut tiada lain ia juga. Dan kuceriterakan perdana gimelaha dan orangkaya-kaya Ulilima dan Ulisiwa, sekalian pati dan sengaji semuhanya keluar serta dengan angkatan endak menyarang kepada negeri orangkaya Tanihitumesen. Daripada ia bulum lagi untungnya, maka tiada jadi mendatangi dia, sehingga dipindahkan kepada negeri Loin naik ke atas gunung. Lalu datang ke pantai Wawani, maka ia bertemu kapal Wolanda itu, lalu melawanlah ia dengan kapal itu daripada waktu duha sehingga datang waktu asar. Hatta datang angin daratan, lalu kapal pun belayar dan angkatan pun undur ke pantai Wawani. Apabila masuk matahari, entah berapa kapal serta kora2 datang pula, maka kedua pihak pasang-memasang, tetapi iapun tiada turun dan iapun tiada naik sehingga berapa lamanya Wolanda pun pulang dan angkatan Islam pun kembali serta perdana gimelaha. Maka ketika itu tanah Ambon Ulilima dan Ulisiwa semuhanya berparanglah beramai-ramaian tiada berputusan. Hatta datang musim barat, datang armada dari Betawih endak menyarang kepada kota Lesiela, tetapi perdana gimelaha sudah harkat menanti dia. Maka kedua pihak berparanglah siang dan malam, pagi pettang tiada berantara lagi. Sebahagai juga parang kedua pihak itu, tetapi kepada parang Wolanda itu tiada dapat diceriterakan pelbagai parangnya. Hatta datang tiga bulan bertungguan tiada boleh alah, lalu ia pulang ke Betawih. Maka perdana gimelaha serta Ulilima dan Ulisiwa keluar merompa- rompa kepada negeri Yahudi dan Nasrani, sarang-menyarang sebahagailah tiada berhenti lagi. Hatta berapa lamanya datang utusan dari Maluku, gimelaha Bobawa, membawa titah memanggil kepada gimelaha dan orangkaya-kaya. Maka Kipati Luhu dan Pati Tuban dan imam Nusaniwe, lain daripada itu tiada kusebutkan, serta perdana gimelaha Luhu pergi mengadap ke bawah dulli paduka serri sultan Hamza, nasrun min llah syah. Tellah demikian itu maka kuceriterakan: di belakang perdana gimelaha Luhu itu johan pahlawan gimelaha Leliyato memangku tanah Ambon serta memerintahkan parang sabil Allah dan berkat agama rasul Allah serta kemenangannya. Segali perastawa ia keluar serta angkatannya mendatangi kota dauman*. Hatta dengan takdir Allah ta`ala entah berapa-rapa negeri Nasrani takluk Wolanda itu bebali kepada johan pahlawan gimelaha serta orangkaya-kaya Ulilima dan Ulisiwa. Maka kata johan pahlawan [kepada] orangkaya-kaya Nasrani itu, demikian katanya: ‘Hai syaudaraku, engkau sekalian bukan kami endak kepada hamba sahayamu dan bukan kami kehendak kepada artamu, tetapi kehendak kami itu melainkan kita bersama-sama membawah agama rasul Allah.’ Maka diiakan orang itu, lalu ia pulang ke negeri bersuka-sukaan, makan-minum serta disalini dengan pakaian yang inda2. Maka gurendur menyuruh sebuah kapal belayar membawah khabar kepada jeneral serta bawah kepada Kapitan Hitu ke Betawih. Maka kata orang Hitu kepada orangkaya Bulan, demikian katanya: ‘Siya-siyalah orangkaya keluar serta Wolanda itu . Jangan dikembalikan kepada Kapitan Hitu; jika ditahankan ia duduk sehingga tanah Hitu jua pun baik juga, ini pula dibawah ke ini pula dibawah ke Betawih.’ Lalu orangkaya belayar ikut ke Betawih dan apa2 kehendaknya orangkaya itu dikatakan kepada jeneral. Hatta datang musim jeneral pun datang serta angkatannya ke tanah Ambon, menyarang kepada Lesiela serta dengan kehendak Allah ta`ala alah kota Lesiela. Maka orangkaya gimelaha dan orang semuhanya pindah ke negeri Kambelo,betahanlah di sana serta orang dagang Melayu Minangkabau. Lalu Wolanda itu ke negeri Hatubawah endak menyarang kepada gunung Alaka. Itu belum lagi dengan kehendak Allah ta`ala, maka tiada boleh alah, lalu ia pulang ke Kota Laha. Hatta dengan takdir Allah ta`ala, maka dikembalikan kepada Kapitan Hitu.Sendiri-dirinya juga, seorangpun tiada serta dia, nama orang hitam, Nasrani atau Islam, melainkan Wolanda juga antar kepadanya sehingga datang ke pantai Hila. Maka ditinggal kepada dia lalu orang Hila antar bawah kepadanya ke negeri Wawani. Maka negeri Hitu sekalian bersuka-sukaan, makan-minum, beramai-ramaian dengan dia, lalu orangkaya-kaya semuhanya serta Kapitan Hitu pergi ke Kota Laha bedamai dengan jeneral dan gurendur serta orang besar-besarnya. Entah berapa lamanya dalam Kota Laha, maka ia pulang ke negeri Wawani dan negeri sekalian memberi tiga puluh bahara cengkeh kepada jeneral akan pembeli siri pinang,seperti pantun Melayu: ‘Dapakan bunga setangkai jangan diaibkan orang.’ Tellah demikian itu orang membawah fitna kepada jeneral dan gurendur, demikian katanya: ‘Kapitan Hitu menjual cengkeh kepada dagang Mangkasar dan Minangkabau di Puluh Tiga.’ Maka gurendur tiada dengan periksyai lagi, lalu menyuruh kepada kapitan Yon Yan* serta orang banyak mencahari. Ganap tanjung dan labuan tiada dapat, lalu ia mengadang ke laut Puluh Tiga. Itu pun tiada juga dapat, lalu ia pulang ke Kota Laha. Maka Kapitan Hitu pun takut tiada keluar kepada Wolanda itu, makin bertambah fitnah. Hatta tiada berapa lamanya datang paduka serri sultan Hamza, nasrun min Allah syah, zill Allah fi 'l-`alamin, ke tanah Ambon serta raja Tidore yang diturunkan daripada kerajaannya itu dan raja Jailolo. Maka Wolanda itu serta angkatannya mendapatkan paduka serri sultan, lalu masuk ke pantai Kambelo. Maka tanah Ambon dan Buru sekalian berhimpunlah di sana. Hatta datang titah yang dipetuan kepada orangkaya-kaya dalam negeri Lesidi dan Kambelo, sekalian pati dan sengaji: ‘Rubuhkan kotamu itu dan niyahkan segala orang dagang itu, suruh belayar pulang ke negerinya.’ Maka kotanya itu pun dirubuhkan dan sekalian dagang itu pun belayar masing2 mencahari tempatnya. Maka suruh panggil perdana gimelaha dua bersyaudara, lalu dinaikan pahlawan gimelaha Leliyato kepada kapal Wolanda itu dan dikeluarkan gimelaha Luhu. Tellah demikian itu paduka yang dipetuan berangkat ke tanah Hitu serta Wolanda itu dan negeri Hitu sekalian pun keluar jungjung serta dengan adat semuhanya dikerjakan. Ada yang memagang senjata serta santiagu*, ada yang bejalan saja, ada yang membawah ayapan, ada yang membawah arta bejenis-jenis serta bunyi-bunyian mengiringkan kepada payung kerajaan daulat al sultan Hamza, nasrun min Allah syah, zill Allah fi 'l-`alamin. Maka berhimpunlah tanah Ambon sekalian berhadapan . Apabila sudah rubuhkan kotanya, maka turun Wolanda itu mendatangi negeri Kambelo. Maka orang Kambelo keluar serta pahlawan Patiwani Hitu. Pada ketika itu ia duduk di negeri Kambelo, maka berparanglah atas bukit itu. Hatta seketika lagi patah parang Kambelo, berpalinglah orang sekalian, sehingga Patiwani jua ia betahan parang dengan Wolanda itu. Tiada dapat kuceriterakan parangnya. Kemudian berhadapan di bawah dulli yang dipetuan, hatta datang titah kepada orang sekalian:‘Mana surat perjanjian dengan Wolanda itu?’ Maka menyahut orangkaya-kaya semuhanya: ‘Ada pun surat perjanjian Wolanda itu ada kepada patik tuanku Kapitan Hitu.’ Lalu menyuruh panggil kepada Kapitan Hitu. Ada pun pada ketika itu Kapitan Hitu pun sakit, lalu pulang orang yang memanggil itu menyampaikan ke bawah dulli yang dipetuan. Tetapi kepada jeneral itu tiada ia percaya. Maka menyuruh fetor Soroi* dan sarinto* pergi periksyai kepada penyakitnya itu. Lalu ia pulang katakan kepada jeneral: ‘Bennar juga kata orang itu.’ Tellah demikian itu panglima Nahudimeten serta imam Sifarrijali keduanya keluar datang mengadap ke bawah dulli serri sultan. Hatta datang maka titah: ‘Mana Kapitan Hitu?’ Maka menyahut Sifarijali: ‘Daulat tuanku, ampun seribu ampun, patik tuanku sakit. Jika tiada sakit, sudah datang ke bawah dulli tuanku.’ Maka titah: ‘Jika ia sakit, manatah surat perjanjian Wolanda itu?’ Maka menyahut pula Sifarijali: ‘Patik minta maaf. Bennar juga titah yang dipetuan itu, tetapi tatkala ditipu kepada patik tuanku, jangankan surat itu, negerinya pun tiada diketahui lagi. Entah surat itu ta dapat tiada kepada Wolanda, karena ia tempat merampas isi rumah Kapitan Hitu.’ Maka sabda yang kerajaan:‘Apabila bagai kata yang demikian itu, tiadalah kita memutuskan kepada perjanjian itu, karena surat pun tiada, yang memagang surat pun tiada datang.’ Lalu berangkat kepada kelengkapannya dan orang sekalian pun masing2 pulang kepada tempatnya. Hatta datang kepada hari yang lain, maka masuk pula bicara dalam gudang Wolanda itu. Itu pun demikian juga tiada berputusan, lalu dibawah belayar kepada pahlawan gimelaha Leliyato ke Jawahkatra*. Maka tanah Ambon pun masing2 pulang ke negerinya, sehingga kelengkapan dari Ternate itu juga serta yang dipetuan di tanah Hitu. Maka bersumpah-sumpahan kalam Allah dengan orang Hitu dan berjanjian dan muafakat seperti dahulu itu lagi, lalu berangkat ke Kota Laha. Entah berapa lamanya di sana, maka berangkat pulang ke Hitu pula, dari Hitu menyeberang ke Luhu, dari Luhu berangkat ke Kambelo, Lesidi, lalu pulang ke Maluku, sehinggalah keluar yang dipetuan serri sultan Hamza, nasrun min Allah syah, meninggalkan benua Ternate datang ke tanah Ambon, itulah kesudahannya. Telah demikian itu maka kuceriterakan kemudian daripada itu tanah Ambon, tiada ketahuan negeri Luhu dan negeri Lesidi, lain daripada itu tiada kusubutkan serta gimelaha Majira mengikut kepada Wolanda. Ada pun negeri Kambelo dan Eran* dan Loki, lain daripada itu tiada kusubutkan serta gimelaha Majira mengikut kepada Wolanda. Ada pun negeri Kambelo dan Eran* dan Loki, lain daripada itu tiada kusubutkan, serta gimelaha Luhu. Dan kepada tanah Hitu negeri Hila dan negeri Hitulama, lain daripada itu tiada kuceriterakan, serta orangkaya Bulan dan orangkaya Tanihitumesen mengikut kepada Wolanda. Ada pun negeri Hitu dari Wawani dan negeri Asilulu dan negeri Alan, Liliboy, lain daripada itu tiada kuceriterakan, serta Kapitan Hitu dan Pati Tuban dan Tubanbesi, serta johan pahlawan gimelaha Luhu berparang dengan Wolanda itu, alah-mengalah,sarang- menyarang sebagailah tiada berputusan parang sabil Allah di tanah Ambon. Hatta berapa dalamnya, maka orang Hitu dan orang Kambelo serta orangkaya gimelaha belayar mengadap raja Mangkasar minta tolong kepada agama rasul Allah. Maka serri sultan Muhammad Sya`id, wa-sultan al-Din, ibn al-sultan marhum syah, menyuruh tujuh buah perau mengantarkan kepada orangkaya gimelaha dan orangkaya2 pulang ke tanah Ambon. Sehingga datang ke pantai Eran*, maka bertemu dua buah kapal . Berlawanlah di sana dua kaum itu, pasang-memasang, tembak- menembak, karena kelengkapan Mangkasar membuat talangkeranya* di darat dan Wolanda membuat di laut atas kapalnya. Hatta berapa antaranya dalamnya parau dari Kambelo dan dari Hitu datang membawah kepadanya; setengah masuk duduk di Kambelo dan setengah dibawah ke Hitu membuat kotanya di pantai Seit ia duduk. Lalu menyorong parangnya kepada negeri Larike dan negeri karas sukar mengalahkan dia. Hatta datang pahlawan Patiwani melihat kepada negeri itu, sangngat berahinya, lalu masuk sekali2 tiada dengan was2 lagi, maka alah negeri itu. Endak lalukan kepada gudang Wolanda itu, tetapi diteggah oleh penggawa, karena pasan yang dipetuhan tiada dengan orang Wolanda, karena perjanjian raja kepada Wolanda itu belum lagi berubah. Maka ia bernanti tiada masuk kepada gudung itu, sehingga lalu pulang orang sekalian serta Patiwani ke negeri Wawani, makan-minum, bersuka-sukaan. Dan yang duduk di Kambelo itu pun menyoron parangnya serta orang Ternate dan orang Kambelo alah kepada negeri Saluku. Maka ia pulang serta dengan kemenangnya bersuka-sukaan dalamnya. Hatta datang musim, maka setengah duduk dan setengah pulang ke Mangkasar menyampaikan khabar dan minta bantu pula. Hatta datang musim barat, maka datanglah entah berapa aluwannya. Tetapi penghulu dalam angkatan itu karaen* Bontomanompo dan daeng* Bulikan, dan karaen Mampo akan hukum dalam angkatan itu dan memagang arta raja itu Marala dan karaen Puli dan Malim dan Besi Lumu*. Lain daripada itu tiada kusebutkan. Hatta datang ke tanah Ambon, lalu masuk ke tanah Hitu, ia duduk di pantai Seit. Maka datang kapal Wolanda itu, berlawanlah kedua kaum itu, pasang-memasang, tembah-menembah. Siang dan malam, pagi petang pertungguwan tiada berkeputusan. Apabila masuk matahari, berlakulah kedua pihak itu serta senjata bekilat-bekilat dan bunyi-bunyian tamburnya dan kucapinya atas kepadanya. Dan daripada Mangkasar pun demikian juga begendang serta bunyi-bunyian. Hatta berapa lamanya kapal itu pun belayar, maka Mangkasar pun menyorongnya menyarang kepada negeri Hitulama serta dengan kehenda Allah ta`ala alah negeri itu. Maka orang dalam negeri itu semuhanya masuk ke dalam gudung Wolanda, maka orang Mangkasar endak masuk rusak kepada gudung itu. Maka datang orangkaya2 dari negeri Kapahaha dan negeri Mamala minta maaf kepada Mangkasar dan orang Wawani, demikian katanya: ‘Kami minta maaf banyak-banyak kepada penggawa dan panglima sekalian undur juga. Ada pun gudung itu atas kepada kami, alahkan dia, tetapi anak buah kami itu kami keluarkan dahulu, kemudian kami rusakkan dia.’ Tellah kata demikian itu, maka orang Mangkasar dan orang Wawani pun berhenti, tiada jadi berhenti, tiada jadi masuk kepada gudung itu, lalu pulang. Hatta datang esok harinya, orang dalam gudung itu pun keluar dan bantu dari Kota Laha pun datang menolong kepada gudung itu. Maka orang Kapahaha dan orang Mamala dan Liyan pun tiada jadi mengrusakkan dia. Itulah tanda orang kibria dalam dunia tiada mengetahui kehendak Allah ta`ala. Tellah demikian itu hatta datang berapa antaranya menyorong pula parangnya ke Tanah Besar. Daripada Anin dan Laala itu pun demikian juga, karena orangkaya gimelaha tiada sesungguhnya parang, karena gimelaha Majira serta orang itu dan pun demikian lagi dengan negeri Anin dan Laala. Maka berangkat serta orang Kambelo dan orangkaya gimelaha mendatangi di negeri Lesidi. Itu pun demikian juga sebab orang Kambelo dan Lesidi tiada dengan sesungguhnya. Maka sesungguhnya. Maka orang Kambelo dan orangkaya gimelaha serta Mangkasar tiada jadi menyarang kepada negeri Lesidi, lalu pulang tiada dengan faedahnya. Tatkala itu karaeng Jipang dan daeng Manggapa keduanya bedagang di pantai Kambelo, maka ia keduanya bersama-sama serta angkatan itu menyeberang ke tanah Hitu. Ia duduk di pantai Wawani, lalu orang Kambelo dan gimelaha bedamai dengan orang Lesidi. Maka tanah Ambon semuanya mengikut kepada Wolanda, sehingga negeri Wawani juga berkellahi dengan orang semuhanya itu serta Wolanda itu. Hatta datang musim karaeng Bontomanompo dan daeng Bolikan serta kelengkapannya pulang ke Mangkasar menyampaikan khabar kepada serri sultan Muhammad Sya`id al- Din, sehingga karaen Jipan* dan Manggapa serta hamba raja Marala dan Malim menunggu kepada kotanya di pantai Seit. Dan Wolanda itu pun demikian lagi, menyuruh belayar ke Betawih membawah khabar kepada jeneral Fandiman*. Hatta datang musim barat Mangkasar tiada keluar, sebab raja berangkat menyarang kepada raja Bone. Ada pun kepada Wolanda itu jeneral keluar dengan angkatannya serta tanah Ambon dengan angkatan semuanya mendatangi kotanya Mangkasar itu . Serta dengan kehendak Allah ta`ala alah kota itu. Hatta datang esok harinya, lalu naik menyarang kepada negeri Wawani, maka orang Hitu dan Mangkasar keluar mengamu. Serta pahlawan Patiwani menetah, maka ditangkis oleh Wolanda itu sehingga sedikit juga putus asfanggarnya* itu. Lalu patah parang Wolanda itu, belari- lariyan membuangkan senjatanya. Maka orang Hitu dan Mangkasar mendapat tiga puluh pucu esfangar yang tiada berapi. Lain daripada itu tiada kusubutkan dan orang mati pun entah berapa banyak tiada kuceriterakan, karena ada mati oleh pedang, ada mati beddil, ada mati sendirinya, sebab ia terjung dari atas gunung tiada berketahuan larinya, masing-masing membawah dirinya. Maka naik kepada angkatannya, lalu pulang ke negerinya sehingga meninggal tiga buah kapal menunggu kepada pantai Wawani. Ada pun tatkala parang itu hamba raja Marala dua bersyaudara mati dan pahlawan Patiwani luka dan imam Sifar ar- Rijali pun luka pada ketika itu. Maka negeri Wawani pun selamat. Kemudian daripada itu Seit dan Hahutuna, lima buah negeri, keluar serta orangkaya Tanihitumesen masuk kepada Wolanda. Maka ia berbicarai dengan gurendur, lalu bawah kapal belabu di tanjung Hulu, membuat talangkeranya serta gudungnya di pantai Hahutuna. Daripada itulah rusak iman orang parang sabil Allah dan melamahkan hati orang itu, daripada ia katakan kata yang baik serta membujuk dengan kata yang manis samanya Islam. Itu orang meruntuhkan agama rasul Allah dan orang itu orang munafik, karena orang itu dengan Hehalesi mengaku hadapan ke pantai Hitu dan menyuruh berparang serta Wolanda, karena ia mengaku di laut atau di darat atas kepada orang itu dengan Hehalesi. Sebab itulah Kapitan Hitu menengar fitnah daripada orang itu, maka ia berparang dengan Wolanda. Maka kuceriterakan pada tatkala itu ada dua orang Kastila lari daripada orang Wolanda datang ke negeri Wawani,masuk kepada Kapitan Hitu dan Kapitan Hitu pun percaya kepadanya. Sangkanya bennar orang lari, tiada mengetahui tipu dayah Kastila itu. Entah berapa lamanya dalam negeri Wawani dan orang sekalian pun percaya kepadanya. Hatta datang kepada suatu ketika ia datang kepada Kapitan Hitu, maka ia berkata:‘Kami endak pergi bermain di negeri kicil.’ Maka kata Kapitan Hitu: ‘Pergilah engkau.’ Lalu keduanya berjalan keluar di pantai Seit, maka ia naik ke kapal kepada Wolanda itu dan apa-apa katanya Kastila itu, maka turung, lalu naik ke negeri Wawani. Hatta datang tengah malam ia masuk ke dalam rumah. Tatkala itu Kapitan Hitu pun baring- baring, lalu tidur sekalih di luar kepada suatu balai. Karena istiadat Kapitan Hitu, jangankan laki-laki, hamba sahayanya sekalipun, jika panjangnya lima jengkal tiada boleh masuk ke dalam rumah. Itulah sendirinya beradu tiada dengan penunggunya, seorangpun tiada. Ia juga sendirinya, lalu masuk laknat itu. Maka tikam tigabelas kali serta dengan kehendak Allah ta`ala tiada makan besi kulitnya, sehingga sekali juga makan besi butul dadanya. Hatta datang ajal Allah, lalu pulang ke rakhmat Allah. Inna li-llahi wa-inna ilaihi raji’un. Dan laknat itu lari ke kapal beritahu kepada kapitan. Maka ia pasan muruyumunya* semuhanya gennap kapalnya serta gudungnya sekalian, maka negeri Hitu sekalian pun menjadi daif daripada ia terkuddun ia. Tellah demikian itu orang Kaitetu pun keluar serta orang Seit dan Hahutuna masuk kepada orangkaya Tanihitumesen muafakat. Maka menyuruh naik ke negeri Wawani, menyampaikan kata orangkaya itu kepada orangkaya Pati Tuban dan pahlawan Patiwani serta orangkaya sekalian, demikian katanya: ‘Ada pun Kapitan Hitu sudah pulang ke rakhmat Allah. Bolehkah kita bertemu dengan orangkaya2? Tetapi kita tiada boleh naik ke negeri, karena gurendur tiada mau kepada beta naik.’ Maka kata orangkaya2: ‘Benar kata syaudara kami itu. Apa salahnya?’ ‘Daripada itu ia ingat kepada negeri Hitu serta agama rasul Allah, maka ia menyuruh datang kepada kami itu, dan kami pun demikian juga seperti kata orangkaya itu, tiada boleh naik ke negeri.’ ‘Benar juga kata orang itu, karena orangkaya dalam maklum Wolanda itu. Kami pun demikian lagi endah bertemu dengan orangkaya juga, tetapi kami tiada boleh keluar sebab orangkaya serta Wolanda.’ Maka suruwan itu pulang beritahu kepadanya. Maka menyuruh pula berulang-ulang dengan kata yang baik dan manis, karena piliyan kata yang benar, maka dikatakan serta dengan empena menjadi jina. Lalu katanya demikian: ‘Orang kaya2-pun tiada boleh keluar, karena kita bersama-sama dengan Wolanda. Kita pun tiada boleh naik ke negeri, karena gurendur tiada mau. Baiklah kita sama bertemu di luar negeri, supaya kita muafakat mana yang baik itu maka kita kerjakan. Karena negeri semuanya sudah keluar akan katanya kepada gurendur; tetapi gurendur tiada percaya karena negeri sekalian itu mengikut kepada dia. Seperkara lagi, tiada perna ekor dahulu maka kepala mengikut, melainkan dahulu juga kepala, maka ekor mengikut. Daripada itulah kita menyuruh datang kepada orangkaya2 itu serta dengan angkunya. Apabila berbuatan atau tipu yang jahat bukanlah perbuatan Wolanda, kita empunya perbuatan itu.’ Maka orang sekalian percaya, sangkanya kata yang baik, lalu keluar orangkaya2 serta orang banyak mengikut kepada suruwan itu, sehingga datang kepada suatu padang di tepi sungai. Maka kata orang Seit dan Hahutuna: ‘Tuanku lalu ke pasar Lebelehu, karena orangkaya serta orang banyak ada di sana.’ Ia menanti, lalu pergi ke sana. Hatta datang di sana bertemu dengan orangkaya serta orang banyak itu. Matahari pun masuk, maka kata orangkaya dan orang banyak: ‘Ada pun kita ada bicara sekarang ini, orangkaya2 dari Hila dan dari Mamala dan dari Kapahaha bulum lagi datang. Baiklah orangkaya2 berhenti. Esok harinya ia datang, maka muafakat semuanya dahulu. Kemudian maka kita kira-kira apabila baik kita masuk kepadanya; jika tiada baik menyuruh panggil kepadanya bicara di luar.’ Maka kata orangkaya2 Wawani: ‘Jika bagai kata demikian itu, baiklah kami pulang dahulu. Esok harinya maka kami datang.’ Maka kata orangkaya dan orang Seit, Hahutuna: ‘Mengapa maka pulang lagi? Jika begitu tiadalah percaya kepada kami semuanya ini.’ Karena orangkaya sudah mengaku di hadapan orang semuanya kepada barang perbuatan yang jahat itu, maka orangkaya2 serta orang sekalian pun percayalah, sangkanya kata yang benar. Maka ia berenti di sana, lalu orang Seit dan Hahutuna pulang ke negerinya, beritahu kepada letnante dan menyuruh antan-antun dua orang, seorang Goron* dan seorang Tapihuwat namanya, keduanya naik ke kapal beritahu kepada kapitan gurendur, Demer* namanya, membilang nama orang yang datang itu dan nama panglima serta pendagarnya semuanya yang datang itu. Dan apa-apa kehendaknya itu semuanya dikatakannya kepada Wolanda. Lalu turun Kompenyi*, naik kepada tengah malam itu menyarang kepada negeri Wawani. Serta kehendak Allah ta`ala alah negeri Wawani dan orang dalam negeri itu pun cerai-berai, masuk dalam hutan dan orangkaya yang keluar itu pun tiada boleh masuk ke negeri lagi, lalu berjalan di luar masuk utan. Maka ia bertemu sekalian rakyatnya dan karaen Jipan* dan daen Manggapa serta rakyatnya dan kiyaicili La Manimpa ibn sipati* di Buton. Maka semuanya bejalan masuk ke negeri Nukuhali dan negeri itu pun tiada boleh terima kepadanya. Maka berjalan pula ke negeri Tehala dan negeri Tehala pun demikian juga tiada dapat terima, lalu keluar masuk utan, terbit pandang*, naik bukit, turun bukit dan berapa padang ia berjalan. Entah berapa lamanya dalam hutan itu sebagai juga sehingga datang ke hulu sungai, Wai Luyi* namanya sungai itu, maka berentilah di sana. Entah berapa dalamnya, paduka kiyaicili Laksamana pun sakit lalu mati . Tellah dipeliharakan paduka kiyaicili itu, maka semuanya muafakat: ‘Apa tipu kita? Apabila kita dalam hutan juga tiada tahan lagi rakyat kita ini . Jika kita endah masuk kepada suatu negeri, semuanya mengikut kepada Wolanda. Baiklah kita menyuruh kepada suatu negeri, supaya kita dengngar kehendak itu, mauka atau tiadaka, kemudian kira-kirakan kehendak kita.’ Lalu menyuruh ke negeri Kapahaha: ‘Boleh kami masuk atau tiadakah?’ Karena tatkala itu negeri Kapahaha pun bedamai dengan Wolanda, maka kata orangkaya Tubanbesi: ‘Boleh juga, tetapi sabbar dahulu supaya kami kira-kira serta orangkaya2 semuanya.’ Tellah demikian itu entah apa-apa kehendaknya sekalian orangkaya itu, lalu ia datang sendirinya membawah kepada orang yang tiada dapat berjalan itu,dijalankan di laut dan orang Hitu dan setengah orang Mangkasar serta daen Manggapa berjalan di darat. Hatta datang ke pantai Kapahaha, maka didiamkan kepada suatu dusun, Alitan namanya. Di sanalah ia duduk menanti kepada orang banyak lagi dalam hutan itu. Apabila datang semuanya kemudian, maka kira- kirakan kepada kedudukan, karena panglima Patiwani dan imam Sifar ar-Rijali dan pati Larutu bersama-sama karaen Jipan* serta Mangkasar yang banyak itu lagi dalam hutan. Demikian kehendak orang itu:’Apabila kita sekalian ini masuk ke dalam negeri, sukarlah kepada hidupan kita. Baiklah kita di sini supaya kita pun dapat makanan. Orang dalam negeri itu pun kita antar akan dia.’ Itullah kehendaknya orang itu. Ada pun tatkala ia dalam hutan itu sekalian negeri itu tiada boleh masuk dalam hutan. Daripada itulah kubunnya dengan tanamannya semuanya kepada orang itu mengambil dia. Hatta berapa lamanya dalam hutan itu, maka datang Wolanda itu mencari dia. Maka bertemu kepada suatu padang, lalu berparang kedua pihak itu. Hatta seketika juga undur Wolanda itu pulang ke gudangnya dan karaen Jipan* pun meninggalkan Mangkasar setengah serta Kartulesi menanti kepada suatu dusun. Ia membawah setengah serta Patiwani dan Sifar ar-Rijali masuk ke negeri Kapahaha. Maka diberikan dua buah perau, lalu ia belayar pulang ke Mangkasar. Maka menyuruh mengambil perau kepada Kartulesi serta orang yang tinggal dalam hutan itu. Maka datang pula Wolanda itu serta orang Hitu yang mengikut kepada Wolanda itu, maka berparanglah tiga kaum itu dalam hutan di sana. Hatta seketika juga dengan kehendak Allah ta`ala tetanam kaki Kartulesi ke dalam lumpur, tiada boleh bergerak lagi serta dengan ajal Allah lalu ia syahid. Apabila ia mati maka orang banyak itu masing-masing lari membawah dirinya. Tiada berketahuan larinya, ada mati dalam hutan, ada masuk ke Hitulama, ada masuk ke Hila, ada masuk ke negeri kicil, ada masuk kepada Wolanda itu, ada masuk ke negeri Kapahaha. Maka kata orangkaya: ‘Apa tipu kita? Karena kita sudah bedamai dengan dia. Baiklah kita pergi kepadanya minta ampun.’ Lalu orangkaya-kaya masuk pada gurendur serta membawah tiga ribu real akan pembeli siri pinang, supaya kami minta minta ampun. Maka gurendur itu real itu pun diterima dan kepada orang itu tiada diampunkan. Lalu keluarkan angkatan serta tanah Ambon semuanya datang ke pantai Mamala. Maka menyuruh panggil kepada negeri semuanya, demikian kata: ‘Baik siap-siap negeri, jika tiada ia keluar serta aku, ialah akan musuhku.’ Hatta didengar kata gurendur demikian itu dan negeri semuanya keluar serta gurendur itu, sehingga negeri Kapahaha juga tiada keluar. Maka Wolanda itu dilabukan kapalanya genap tanjung dan labuan Kapahaha serta mendirikan talankeranya* di pantai itu, lalu menembang cengkeh serta kayu yang dimakan buah2-nya. Maka hulubalang negeri Kapahaha, Umarela namanya, ialah rasamu* kepada orang mudah-mudah dalam negeri Kapahaha pada tatkala itu, maka ialah keluar merompa pada orang Nasrani itu. Empat orang ditindisnya di adapan Wolanda itu, lalu ia pulang dengan kemenangnya, bersuka-sukaannya, makan-minum serta bunyi- bunyian dalam negeri Kapahaha. Dan Wolanda itu pun demikian lagi, sama gagahnya . Maka kedua pihak itu tiada berputusan berparang siang malam pagi petang, sentiasa kedua kaum itu sebagai juga. Apabila kepada pihak Islam itu ia keluar mengambil makanan,tiada ia pulang kepada siang hari, melainkan petang malam, maka ia pulang dan Wolanda itu pun apabila petang malam, ia datang mengadap di pantai di mana datang orang itu . Hatta sama bertemu kedua pihak itu, perparanglah kedua kaum itu, sentiasa tiada bertinggalan lagi. Apabila petang, malam atau siang hari, maka keluar orang dari negeri Kapahaha, ia mengadap di luar talankeranya Wolanda itu dan Wolanda itu pun mengawal. Maka sama bertemu keduanya lalu berparanglah kedua kaum itu, pasang-memasang, tatuk-menatak sebagai juga tiada berhenti lagi. Sama gagahnya dua
pihak itu. Alah mennang daripada kapitannya yang gagah itu
seperti letnante dan alferes* dan sarento* serta kapitan Merlaka* ia sangat keras mengasakan soldadu kepada parang. Dan demikian lagi daripada pihak Islam, panglimanya dan pendagarnya serta pahlawan Patiwani ialah sangat mengasakan orang mudah2 kepada parang sabil Allah.Maka sama gagah kedua pihak itu, alah menang Islam pun tiada mau kepada Nasrani dan orang Nasrani pun tiada mau kepada Islam,samalah kedua kaum itu. Hatta berapa dalamnya serta dengan kehendaknya Allah ta`ala pahlawan Patiwani ia naik kepada sebuah perau menyeberang ke sebelah Tanah Besar, maka ia masuk ke dalam sungai Wai Liyi*. Entah berapa hari dalamnya, maka datang sebuah perau Wolanda itu dari pantai Lumakai*. Maka ia keluar,melawanlah keduanya pasang-memasang, tembah- menembah. Hatta seketika lagi ia memandang ke kiri dan ke kanan dan ke aluan dan ke buritan, maka dilihatnya jurumudi putus tangannya sebelah dan mati. Hatib Lukula dari Mamala tangannya satu bengko dan orang luka pun banyak, maka ia memarintah kepada orang semuanya, lalu langgar kepada Wolanda itu. Apabila sudah langgar, maka ia mengunus syamsyirnya serta melompat naik ke atas kelengkapan Wolanda itu. Hatta dengan ajal Allah syahidlah ia dalam perau Wolanda itu. Maka huru-gara majnun pandang kepada johan Patiwani ia dalam kelengkapan Wolanda itu. Lalu ia menyerbukan dirinya kepada Wolanda itu, serta menatak sekali juga kennah dua orang. Seorang itu sehingga sedikit juga putus kedua penggal, ialah kapitannya dan seorang lagi putus sebelah tangannya ada di jalan lagi. Maka ditembah oleh Wolanda itu dua lukanya, satu kennah pahanya dan satu lagi kenah bibirnya,maka jatuh ke air masing, lalu naik kepada peraunya. Maka datang mengambil kepada johan pahlawan Pati[wani], maka kedua kaum itu berhanyutan juga tiada boleh penggayu lagi, karena keduanya sama lellah leti. Hatta demikian itu, maka kata johan pahlawan Patiwani: ‘Hai syaudahraku sekallian, kami sudah belakankan dunia, tetapi menyampaikan salamku kepada orangkaya Tupanbesi serta orangkaya2 sekallian. Tellah sudah kesudahan kami, tetapi baik- baik bicara tuan-tuan semuanya, jangan disamakan kita di belakang tuan-tuan itu.’ Lalu ia mati, maka dibawah pulang maitnya itu datang ke negeri Kapahaha dan dipeliharakan serta diadatkan sehingga seratus . harinya . Itulah kesudahan hidupan pahlawan Patiwani dalam tanah Hitu. Apabila suda ia mati, maka dibelakannya johan itu dan negeri semuanya pun berpalinglah kepada Wolanda itu. Jadi kuranglah kuat negeri Kapahaha, karena ia satu negeri juga tiga ratus orang memagang senjata berparanglah dengan negeri sekalian. Itulah hal negeri Kapahaha parang sabil Allah. Tellah demikian sekali perastawa gurendur sendirinya membawah angkatan endah menyerang kepada negeri Kapahaha. Maka ia naik ke atas bukit antara gunung Hantu* dan negeri Kapahaha. Maka ia pasang bedil ditembah ke dalam negeri dan negeri pun menembah kepadanya. Maka kedua kaum itu melawanlah, pasang-memasang daripada waktu subuh sehingga datang kepada bakda magrib. Daripada belum dengan ajal Allah kepada negeri Kapahaha ia lari sendirinya membuangkan senjatanya. Entah berapa matinya tiada ditentu dalamnya, karena sekali menembah tujuh orang dikenanya. Itulah Allah dan nabi Muhammad juga yang mengetahui. Segali lagi ia berjalan dari bukit Iyaluli* endah mendatangi negeri Kapahaha. Sehingga tengah jalan, maka ia lari sendirinya membuang senjatanya. Lain daripada itu tiada dapat kuceriterakan. Ada mennang, ada alah, itulah hal parang kedua kaum. Segali perastawa orangkaya Pati Tupan dan Tulesi adindah orangkaya Tubanbesi bawah dua perau ke Tanah Besar. Maka ia pulang bertemu dua buah fergat*, maka melawanlah keduanya. Hatta seketika lagi orangkaya Patti [Tuban] pun luka dan Tullesi pun kuka* Lain daripada itu tiada kusebutkan. Maka didapatnya sebuah perau. Pada ketika itu mennang Wolanda itu kepada Islam dan kuceriterakan,ada pun tatkala itu orangkaya2 tanah Ambon, Ulilima dan Ulisiwa, Islam dan Nasrani, serta orangkaya gimelaha datang suruh minta bedamai. Maka negeri tiada mau bedamai, karena musuh semuanya yang datang suruh minta bedamai, melainkan menanti titah paduka seri sultan dari Maluku. Hatta datang musim utusan pun datang dari Ternate, lalu masuk ke Kota Laha pada gurendur. Maka menyuruh panggil kepada orangkaya2 negeri Kapahaha, maka orangkaya2 serta orang banyak datang kepada utusan dan gurendur. Maka kata utusan dan gurendur: ‘Pulanglah orangkaya2, panggil kepada orangkaya Tubanbesi dan orangkaya2 yang tuah-tuah datang ke mari, supaya ia dengar kepada titah yang dipetuan.’ Apabila orangkaya2 itu pulang sehingga tengah jalan, maka bertemu orang datang membawah khabar, demikian katanya: ‘Ada pun orangkaya2 yang di belakan mengikut tuan-tuan itu dipagang oleh letnante, dimasukkan ke dalam talankeranya.’ Lalu orangkaya2 itu masuk hutan mencari jalan yang lain. Sebab itulah maka tiada jadi bedamai. Lalu orangkaya-kaya menyuruh menyampaikan ke bawah dulli yang dipetuhan serta tanya sepata kata, demikian katanya: ‘Betapa hal kami ini? Karena tanah Ambon negeri sekalian serta dengan Wolanda, sehingga kami sebuah negeri juga berparang dengan Wolanda itu. Mana kehendak seri sultan, baik berkellahi atau bedamai, supaya kami dengar dan mengetahui kehendak titah itu pun.’ Tiada juga datang titah, hatta berapa dalamnya gimelaha pun datang dari Ternate,maka orangkaya Kapahaha menyuruh tanya kepada orangkaya gimelaha. Hatta datang suruwan itu, apa-apa sebabnya, lalu menyuruh bunuh kepada suruwan itu. Maka didengar oleh orangkaya-kaya dalam negeri Kapahaha terlalu khairan ajaib sekali kepada perbuatan gimelaha itu. Maka kata orangkaya-kaya: ‘Ada pun harap kita kepada perjanjian serri sultan tatkala dipersekalikan kalam Allah di negeri Hitu. Itu pun tiada juga datang titah, apatah daya untung kita? Tellah demikian itu datang titah, apatah daya untung kita?’ Tellah demikian itu datang bala Allah, penyakitan dalam negeri serta kekurangan makanan, karena negeri sekalian menjadi musuh, berparanglah dengan negeri Kapahaha. Jangankan negeri lain tiada dapat dikatakan negeri Hitu sendirinya pun akan musuhnya. Demikianlah hal negeri Kapahaha. Hatta demikian itu dengan kehendak Tuan Yang Mahatinggi seorang dagang ia lari masuk kepada Wolanda. Maka ia menunjukkan jalan kepada Wolanda itu, naik tengah malam serta dengan kehendak Allah ta`ala lalu alah negeri. Maka orang semuanya itu cerrai-berrai masing-masing membawah dirinya. Ada mati di tengah jalan, ada mati di bawah pohon kayu, tiada dapat berjalan lagi, sebab ia kalaparang. Ada masuk ke dalam hutan, ada masuk ke dalam guwah batu. Barang apa didapatnya, di situlah ia diam, lalu mati kepada tempatnya. Dan setengah masuk ke negeri Mamala dan setengah masuk ke negeri Hitulama dan setengah masuk ke Hila. Ada masuk negeri Tiyal dan orangkaya Pati Tuban ia masuk ke negeri Wai. Maka semuanya itu diberikan kepada gurendur itu dan orangkaya Tubanbesi ia membawah sebuah perau sudah keluar sehingga pantai Hatuhaha. Maka menyuruh dua orang naik ke negeri, demikian katanya: ‘Dapatkah orangkaya2 menyuruh seorang atau dua orang turun kepada orangkaya Tubanbesi atau tiadakah?’ Hatta didengar kata demikian itu, lalu dipagang kepada dua orang itu dan menyuruh turun endah dipegang kepada orangkaya Tubanbesi.Tetapi belum lagi untungnya di situ, maka ia lepas, lalu pulang ke negeri Hitu. Maka orang Hitu bawah orangkaya dua beranak kepada Wolanda itu. Maka dibunuhlah kepada orangkaya dan dinaikan kepada orangkaya Pati Tupan dan orangkaya Beraim-ela dan Tulesi dan Alam dan Teyaka* serta anak orangkaya Tubanbesi dua bersyaudarah, seorang Duljalal dan Pilakan* namanya kanak-kanak itu dan anak orangkaya Kapitan Hitu dua bersyaudara, seorang Wangsa namanya dan seorang Petinggi namanya kanak-kanak itu, naik kepada kapal, bawah ke Betawih. Dan kuceriterakan Sifari'l-jalih. Dan tiada kuceriterakan kesukarangnya serta kejahatannya yang dicellai orang itu, sehingga kunyatakan tatkala ia keluar itu masuk hutan, terbit padang dan naik bukit, turun bukit. Maka ia hendak masuk ke negeri Mamala, tetapi kiranya orang Mamala pun tiada boleh diterima kepadanya, maka ia tiada jadi masuk ke Mamala lagi, lalu ia keluar pergi ke dalam hutan. Apabila terbit fajar ia keluar di pantai basambuni, karena kepada siang hari itu ada orang masuk mencari dalam hutan. Sebab itulah ia keluar basambuni dakat pantai. Hatta matahari masuk, maka ia pun keluar pergi berjalan ke dalam hutan, terbit padang. Maka ia bertemu seorang antan- antan orangkaya Pati Tuban, Sarasara Tahakehena namanya, lalu keduanya pergi berjalan. Entah berapa jauhnya, maka ia dengar bunyi anjing dalam hutan. Seketika juga datang anjing serta tuannya Wolanda itu datang. Daripada belum lagi sampai ajal Sifarijali keduanya Sarasara Tahakehena, maka anjing itu diyam dan Wolanda itu pun tiada berkata-berkata. Sama pandang- memandang, lalu berjalan keduanya. Entah berapa jauhnya berdapat pula dengan musuh, maka ia bersembuni, maka musuh itu pun tiada melihat kepadanya. Lalu pergi masuk ke hutan sehingga datang kepada suatu padang. Maka ia berhenti di sana,berlindung di dalam alang-alang, lalu menyuruh kepada Sarasara Tahakehena masu ke dalam negeri Hila, tanya kepada seorang anak syaudagar yang besar [penggawa] lagi dermawang pun artawan, ialah menjadi imam dalam negeri itu: ‘Dapatkah Sifarijali masuk ke negeri atau tiada dapat?’ Maka Tahakehena pun lasap sekali-sekali, tiada pulang lagi; maka tefakur Sifarijali dalam cintanya serta berkata: ‘Ajaib sekali akan Tahakehena pergi berdapat segera datang hendaknya hidup lasap sekali- sekali.’ Telah demikian, maka ia menanti. Hatta masuk matahari, ia pun masuk ke negeri berhadapan dengan imam itu, maka ia datang beri bakal dan makanan. Seketika lagi datang Telesima dan Abubakar serta kanak-kanak, anak orangkaya Kapitan Hitu, Patinggi namanya, didukun oleh inang pengasuhnya, si Papua namanya. Maka kata Sifarijali:‘Apa tipu kita kepada kanak-kanak ini, bawahkah atau tinggalkah?’ Maka kata syaudaranya: ‘Kedudukannya baik juga kita bawah, tetapi jika datang ke hutan maka kennah hujang dan angin ia tiada boleh tahan. Baik kita tinggalkan dia supaya ia keluar ke negeri.’ Maka kata imam Rijali: ‘Apa dayah?’ Lalu dipuluh* dan dicium kepada kanak-kanak itu, maka ia diketinggalkannya, pergi berjalan ke hutan ia duduk kepada suatu bukit. Apabila masuk matahari, ia keluar berjalan menapi pantai. Hatta terbit fajar masuk ke hutan ia berhenti, tiada boleh berjalan kepada siang hari. Sehingga datang ke negeri Seit dan Hahutuna, seorangpun tiada terima kepadanya dan dia pun sembuni tiada mau menunjukkan dirinya kepada orang itu. Maka ia menyuruh pergi kepada Hehalesi. Maka ia terima kepada dia orang, lalu dibawah dari negeri ke dalam hutan, ia duduk kepada suatu bukit. Hatta berapa dalamnya maka mengambil sebuah perau, maka keempatnya menyeberang ke Tanah Besar, sehingga datang ke tanjung Sial. Maka ia bertemu Sakia dari Waibuti mengambil ikan. Maka ia bertanya kepada Sakia itu, demikian katanya: ‘Dapat kami naik ke negeri atau tiadakah?’ Maka ia menyahut: ‘Orang itu tiada boleh.’ Lalu ia ke tanah Kelang, karena pada ketika itu orangkaya gimelaha Daga dengan kiyaicili [Besi]mulu serta orang Kelan* endah berkelahi dengan Wolanda itu. Sebab itulah, maka ia datang ke sana bersama-sama orangkaya Daga dan kiyaicili. Hatta berapa lamanya, maka datang perdana gimelaha serta orangkaya-kaya Ulilima dan Ulisiwa datang membawah titah seri sultan Hamza, lalu ia keluar bedamai dengan gurendur itu. Lalu dipindakan pulang ke negeri Luhu dan pati Kambelo pun bawah kepada Abubakar. Tinggal lagi tiga orang juga, daripada itulah Sifarijali terlalu ajaib. Tiada dapat kuceriterakan dukkacittanya, sehingga itulah menanti kepada Tuhan Yang Mahasuci. Hatta dengan kehenda Allah ta`ala datang gimelaha Hasi dari Luhu endah pulang ke Buru. Maka Sifarijali minta sebuah perau daripada orang Kelan*, lalu mengikut orangkaya itu ke tanah Buru, duduk di negeri Lesiela bersama- sama orangkaya gimelaha. Entah berapa lamanya, maka datang gulawarganya, Pati Laik namanya, serta Ulu Ahutan membawah sebuah perau cari kepadanya. Maka bertemulah sama berhadapan bertanya-tanyakan hal-ahwal tanah Hitu dengan Wolanda itu, maka semuanya diceriterakan oleh syaudaranya itu. Maka didengar oleh Sifarijali itu, makin bertambah kedukaannya. Maka [kata] orang semuanya: ‘Apatah daya kehenda Allah ta`ala? Baik membuang diri kita tanah lain, supaya kita jangan melihat dan menengar tanah kita lagi.’ Lalu memohon kepada orangkaya gimelaha dan kipati. Maka ia belayar ke laut tiga hari datang ke tanah Bone, maka datang orang Bone tanya kepadanya: ‘Orang mana?’ Maka menyahut: ‘Kami orang Ambon.’ ‘Endah ke mana?’ ‘Kami endah ke Mangkasar, tetapi kami kurang air dan bakal. Jikalau ada makanan, bawahlah kemari kami beli.’ Maka kata orang itu: ‘Nantilah di sini, esok hari kami bawah makanan ke mari, maka ia beli.’ Maka Sifarijali pun menanti. Hatta datang pagi hari orang itu pun datang serta senjata. Ia basembuni dalam hutan, maka menyuruh entah berapa orang, ia keluar memanggil kepada orang dalam perau itu, demikian katanya: ‘Marilah turun beli makanan itu.’ Karena ia takut tiada mau naik ke perau, maka ia pun tiada mau turun ke darat, lalu keluar belayar. Itulah daripada belum dengan kehendak Allah ta`ala. Maka tiada lagi bakal orang itu, sehingga karan-karan serta daun meninjau selamanya pergi itu. Hatta datang ke tanah Buton, maka bertemu kepada karaen Rajipan. Maka diberinya makanan serta kain bajunya, lalu masuk mengadap kepada raja. Tatkala itu raja La Mibilu* akan kerajaan tanah Buton. Maka datang titah kepada bonto* dan biduwandi*: ‘Tanya olemu kepada orang itu endah ke mana perginya dan apa kehendaknya datang ini?’ Maka menyahut Sifarijali. Segala hal-ahwalnya itu semuanya diceriterakan kepada biduwandi* itu, maka ia menyampaikan ke bawah dulli yang kerajaan. Telah demikian itu ia memohon, lalu pulang ke peraunya. Hatta datang esok harinya datang pengalas serta antun-antun membawah titah menunjukkan kampung serta rumah. Maka menyahut Sifarijali: ‘Ada pun titah kepada dagang piatu itu, maka dagang piatu pun terima serta junjung kepada kehenda titah itu, tetapi minta ampun kepada piatu yang hina karan, belum lagi sampai pada ... itu.’ Maka ia pulang menyampaikan ke bawah dulli, lalu menyuruh memberi bakalnya. Maka karaen Rajipan menyuruh sebuah perau bawa kepada dia dahulu ke negeri dan karaen Rajipan lagi duduk di Buton. Pada dewasa itu seri sultan paduka Dipatingalowan* ia memerintahkan tanah Mangkasar dan demikian serri sultan Muhammad Sya`id akan kerajaan, sultan al-islam, zill al-nabi fi dar al-mu’min. Maka Sifarijali ia masuk mengadap serta menyampaikan hal-ahwalnya ke bawah dulli seri sultan. Maka titah paduka Dipatingalowan*: ‘Lamun jika tida kuterima kepada halmu ini, tiada seperti sabda nabi kepada kita ummatnya: “Wa-'l muslimin ikhwan”.’ Lalu syahbandar memberi tempat kedudukannya, ia senang dirinya. Daripada itulah meninggal negeri mencari sennang daripada ia takut akan Wolanda itu. Maka ia masuk hutan, terbit padang, menapi tasik, menyeberang laut, sehingga datang ke tanah Mangkasar. Itulah halnya orang mendapat kediaman dirinya. Itulah kesudahan hikayat ini. Tamat sah ya sah. Wa-'s-salam bi- khair amin. Catatan
aji Javanese: sang aji [raja], Ternate: sangaji: kepala wilaya
alferes Portuguese: alferes: letnan muda andak indah Angsari Angasari Antoni Anthonio (van den Heuvel) apalah apabila ? Arinjiguna Arinjiguna, alias Mihirjiguna Artus Artus (Gijsels) asfanggarnya Portuguese: espingarda: istinggar Aspel Herman van Speult Bandan Banda Bawang nyai Bawang alias Ratu Kali Nyamat Biduwandi biduanda Boanoh Boano bonto Butonese: orangkaya bot Portuguese: antena bote: andang_andang layar Bot Pieter Both Bulok Adriaan Block (Martensz.) Burung Pulau Burung alias Nusa Manuk Capeu Portuguese: chapeu: capiau caramela Portuguese: charamela: seruling daeng Mak. daeng: gelaran dan ? dalam dauman di Oma Daurdia Dom Duarte (de Meneses) Demer (Gerrit) Demmer Diman (Antonio) van Diemen Dipatingalowan Pattingalloang dipawahkan Mal. memawahkan: membagi hasil di antara pengusaha dengan pemilik dipersyahdakan dipersyahadatkan, dipersyuhadakan dipuluh dipeluk Disera (Estevão) Teieira (de Macedo) Duarde Dom Duarte de Meneses Eran Erang esfangar Portuguese: espingarda: istinggar Eskun (Jan) Pieterszoon Coen fergat Portuguese: fragata, Dutch: fregat, = fregat fetor Portuguese: feitor: kepala perwakilan kompeni perdagangan firaklah Ar. firaq: pisah Frings Prins (Maurits van Oranje) Furtado André Furtado (de Mendonça) Gemala (Jan Willemszoon) Gomale gimelaha Ternate: kimalaha: kepala soa, kepala negeri Goron Gorom graf Dutch: graaf: bupati hamam Ar. hamam: tempat mandi Hantu Gunung Setan harkat Ar. haraka: harkat (mulai bergerak) has Dutch: gaas: kain muslin hasiat arab: khassiya: khasiat Hehatomi Hehatomu Hisab hijab hoja hujaj Holanda Portuguese: Holanda [Holland] hukum Ternate: hukum: hakim Hun Simon (Jansz.) Hoen Huniyasi Huniase Husen Usen (ibn Jumat) Hutman Frederik de Houtman Iwa Iha Iyaluli Ialuli Jawahkatra Jakatra Jipan Jipang Kakasingku Kasingu kapitan Portuguese: capitaõ: kapten kapitan-mor Portuguese: capitaõ-mor (do mar): laksamana karaen Mak. karaeng: raja karanful Ar. qaranful: cengkeh Kelan Kelang kiyaicili Ternate: kaicili, cili: pangeran Kompenyi Dutch: Compagnie: Kompeni kuka luka kuluf (Nicolaes) Colff Kunmuri Konimere, alias Kanyimedu Kurnilis Cornelis (Jansz. Schouten) Lasidi Lesidi Leitimol Leitimor Lesiela Waran-ela alias Hoamoal lil zill Liyi Wai Lee Lukas Philip Lucasz. Lumakai Rumakai Lumu ? Bisei Lumu Lupa Lopu(lalan) Luyi Wai Loi mahudum makhudum mardan Persia:. mard(an): yang mulia marinero Portuguese: marinheiro: pelaut Masilpatani Masulipatam Matelif (Cornelis) Matelieff (de Jonge) melalawat melawat Melo Gaspar de Melo Mengadapat menghadap Merkata Pulau Rakata, Krakatau Merlaka (Vincent Gijsbert van) Moerlag Mibilu Mabilu Mundi Nossa Senhora do Monte Murucisa Maurits alias Mauritius muruyumunya Portuguese: Maria,arab: Maryam: meriam Nagahpatan Negapatnam Naseddiki Nasidik Natahuat Hehuat Nusatelu Nusatelo Nyuranye Prins (Maurits) van Oranje Palikat Pulikat pandang padang Paringsi Prins (van Oranje) Pasiruwan Pasuruan Patacoh Portuguese: patacho: sampan perastawa peristiwa pesir pesiar Pilakan Pelekolan Pinau Binau pinsu Portuguese: pinacas, Dutch: pinas: penes Prings Prins (van Oranje) Pudiceri Pondicherry Pugel (Marten Jansz. Visscher, alias) Vogel Pujiciri Pondicherry Rangsi Gerard Reynst rasamu Ar. rasama: mendaftarkan Rengsi Gerard Reynst Riyal Laurens Reael Rosengaing Rosengain Saat sahut sadaha Ternate: sadaha: wakil sultan Sagaluwa Sagalua Sahanya sahajanya sahingilah sehinggalah San São Sanco Sancho (de Vasconcelos) santiagu Sp. santiago: berbaris sarento Portuguese: sargento: sersan sarinto Portuguese: sargento: sersan Sellat Ar. shalat seribus seribu serta seperti sipati Butonese: sapati: mangkubumi Sitaniya Sitania Siyal Sial Soroi (Wouter) Seroyen Suanggi Suangi suisa Ternate: suisa: tambur Sunusi (Abu Abd Allah Muhammad al-)Sanusi Syabidin Sabadin (ibn Jumali) talangkeranya Portuguese: tranquiera, Mal. terangkera: kubu tamburunya Portuguese: tambor: tambur Teyaka Sekatikam Tirubambu Tirumala(rájan)patnam Tirumulawasir Tirumulavásal torompetanya Portuguese: trombeta: terompet Tuhahan Tuhaha tumengung Javanese: tumenggung: hulubalang Tumi Thomé ul Baharullah Ulima Ulilima Urin Ureng Warhaga Steven van der Haghen Yan Jan Outgersz. alias Jonge Jan atau Nyong Yan Yangsi Jasper Jansz.