You are on page 1of 14

Hukum Keluarga dan Waris perlukah pernikahan di daftarkan ke catatan sipil..?

(t14r4)

Pertanyaan :

Saya WNI menikah dengan pria WNA Perancis, kami menikah di Perancis 2 tahun yang lalu,
dan pernikahan kami sudah terdaftar di kedutaan masing-masing. Kami berdua adalah
kristen, tapi karena sesuatu hal, kami tidak menikah di gereja. kami mempunyai satu orang
putri. Tapi sampai saat ini kami belum mendaftarkan pernikahan kami di catatan sipil di
Indonesia. Pertanyaan kami adalah sebagai berikut bagaimana status pernikahan kami,
apakah kami harus mendaftarkannya di catatan sipil, apakah anak kami sah secara hukum
Indonesia, bagaimana statusnya? Terimakasih atas bantuannya.

Jawaban :

Peraturan perundangan yang mengatur tentang perkawinan yang dilakukan oleh


dua orang yang berbeda warga negara di Indonesia dan salah satu pihaknya
berwarganegaraan Indonesia adalah Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) beserta dengan peraturan pelaksanaanya yaitu
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan (PP
9/1975). Untuk perkawinan seperti ini UU Perkawinan menyebutnya sebagai
perkawinan campuran.

Mengenai perkawinan yang saudara langsungkan di luar Indonesia antara


seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing, ditetapkan dalam
pasal 56 UU Perkawinan bahwa perkawinan itu adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan dilangsungkan dan
bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-
undang Perkawinan. Misalnya perkawinan campuran yang dilangsungkan di
Perancis maka hukum perkawinan Perancislah yang berlaku untuk perkawinan
tersebut artinya semua syarat-syarat dari Undang-undang di Perancis tersebut
harus dipenuhi.

Terhadap perkawinan ini dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu
kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan
di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Selain itu yang harus anda perhatikan adalah Undang-undang No 62 tahun 1958
Tentang Kewarganegaraan beserta perubahannya (“UU Kewarganegaraan”),
dimana dalam UU Kewarganegaraan tidak memberikan perlindungan terhadap
pasangan campur (mixed couples), adanya diskriminasi didalam pernikahan
antara laki-laki Indonesia dengan wanita asing (foreign women), dan wanita
Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing (foreign men) karena prinsip dari
pada UU Kewarganegaraan menganut azas ius sanguinis (blood line) dimana
apabila seorang laki-laki asing menikah dengan wanita Indonesia, anak yang lahir
dari wanita Indonesia ini secara automatically mengikuti kewarganegaraan yang
dianut bapaknya. Suami yang berkewarganegaraan asing dengan anak tersebut
kedudukannya sama dengan tourist atau visitor. Untuk menjadi warga negara
Indonesia harus mengajukan permohonan melalui pengadilan negeri.

Hukum Keluarga dan Waris PRENUPTIAL AGREEMENT (rusmanhg)

Pertanyaan :
Saya seorang professional/pegawai bekerja pada sebuah perusahaan. Calon istri bekerja di
Perusahaan keluarganya dan memiliki saham disetiap Perusahaan keluarga tsb. Kami
berencana menikah. Pihak istri menginginkan adanya Prenuptial Agreement (tandatangan
Harta Terpisah) sebelum kami menikah. Pertanyaan saya adalah: Apa saja yang dapat diatur
dalam Prenuptial Agreement ini? Bagaimana proses pembuatannya apakah harus dalam
bentuk akta notaris? Terimakasih

Jawaban :

Pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu, menjad
harta bersama. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
disebutkan dalam Pasal 119 bahwa kekayaan masing-masing yang dibawanya
kedalam perkawinan itu dicampur menjadi satu. Lebih lanjut lagi dalam ayat 2
nya bahwa persatuan (percampuran) harta itu sepanjang perkawinan tidak boleh
ditiadakan dengan suatu persetujuan antara suami istri. Harta persatuan itu
menjadi kekayaan bersama Apabila terjadi perceraian, maka harta kekayaan
bersama itu harus dibagi dua sehingga masing –masing mendapat separuh.

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)


di dalam Pasal 35 dinyatakan bahwa
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suamin dan istri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah
dibawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.

Perjanjian Perkawinan dalam KUHPer maupun UU Perkawinan adalah suatu


perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang
menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang.

Perjanjian itu harus diadakan sebelum dilangsungkannya perkawinan dan tidak


boleh ditarik kembali atau diubah selama berlangsungnya perkawinan. Mengenai
perjanjian ini diatur didalam Pasal 29 UU Perkawinan. Perjanjian perkawinan
harus dibuat dengan akte notaris, maupun dengan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pengawas Pencatat Perkawinan, sebelum perkawinan itu
berlangsung dan ia mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan.

Materi yang diatur didalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon suami-
calon istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama, dan
kepatutan atau kesusilaan. Perjanjian semacam ini biasanya berisi janji tentang
harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Lazimnya berupa
perolehan harta kekayaan terpisah, masing-masing pihak memperoleh apa yang
diperoleh atau didapat selama perkawinan itu termasuk keuntungan dan
kerugian.

Perjanjian perkawinan ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang


membuatnya, juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga ini
tersangkut.

Ada baiknya saudara menghubungi konsultan hukum yang menangani persoalan


perkawinan ini, situs kita ini juga menyediakan daftar direktori konsultan hukum,
Semoga bermanfaat.

Hukum Keluarga dan Waris Pembagian Harta Gono Gini (arman taswin)
Pertanyaan :

Dalam pembagian harta gono gini, secara hukum kalau tidak salah dibagi 50 : 50, apakah
benar? Dengan pembagian harta gono gini, apakah bisa dituangkan secara tertulis ? Dan
siapakah yang mengesahkannya? Hakim peradilan Agama atau Notaris? Terima kasih.

Jawaban :

Dalam perceraian persoalan harta dalam perkawinan biasanya merupakan


persoalan yang akan cukup menyita waktu dan perhatian yang besar, selain
persoalan anak.

Jika tidak ada perjanjian perkawinan, dalam perceraian harta bawaan otomatis
menjadi hak masing-masing suami atau istri dan harta bersama akan dibagi dua
sama rata diantara keduanya (Pasal 128 KUHPer, Pasal 97 KHI). Tentunya jika
ada perjanjian perkawinan, pembagian harta dilakukan berdasarkan ketentuan
dalam perjanjian itu.

Persoalan pembagian harta ini bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai.
Dalam hal demikian maka daftar harta bersama dan bukti-bukti bila harta
tersebut diperoleh selama perkawinan disebutkan dalam alasan pengajuan
gugatan cerai (posita). Dan kemudian disebutkan dalam tentang permintaan
pembagian harta dalam berkas tuntutan (petitum). Putusan pengadilan atas
perceraian tersebut akan memuat pembagian harta.

Tapi, jiga gugatan cerai tidak menyebutkan tentang pembagian harta bersama,
suami atau istri harus mengajukan gugatan baru yang terpisah setelah putusan
perceraian dikeluarkan pengadilan. Pengajuan gugatan secara terpisah ini selain
akan memakan waktu yang lama, juga memakan biaya, sehingga jarang terjadi.

Gugatan terhadap pembagian harta bersama ini diajukan ke Pengadilan Agama di


wilayah tergugat tinggal bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri di
wilayah tergugat tinggal bagi non-muslim. Pengadilan lah (Pengadilan Agama
atau Pengadilan Negeri) yang akan mensahkan tentang pembagian harta
bersama tersebut.

Demikianlah semoga bermanfaat.

Hukum Keluarga dan Waris pembagian harta (merotz)

Pertanyaan :

Bagaimanakah sebetulnya konsep pembagian harta gono gini setelah perceraian.dibuat oleh
siapakah? Apakah seharusnya dilakukan pada saat setelah perceraian terjadi? Dan disahkan
oleh siapa dan siapa sajakah yang harus menjadi saksi-saksinya?

Jawaban :

Konsep pembagian harta gono gini (harta bersama) setelah perceraian adalah
50:50, yaitu 50% untuk pihak isteri dan 50% untuk pihak suami. Hal ini
didasarkan pada suatu pemikiran bahwa dalam suatu perkawinan itu baik pihak
isteri maupun pihak suami mempunyai kedudukan yang seimbang dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
dengan suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.
Berkaitan dengan permasalahan siapakah yang membuat konsep pembagian
harta gono gini sebagaimana dimaksud di atas, maka peraturan perundang-
undangan tidak memperinci secara jelas mengenai hal tersebut. Namun
demikian, pemahaman konsep sebagaimana tersebut di atas telah banyak
digunakan/dipakai oleh pengadilan-pengadilan di wilayah Indonesia baik
Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama yang memutuskan perkara
perceraian.

Berkaitan dengan permasalahan sebagaimana dimaksud dalam pertanyaan di


atas, maka pembagian harta gono gini tersebut memang dilakukan setelah
perceraian terjadi atau diputus oleh Pengadilan yang berwenang untuk itu. Hal ini
disebabkan, pembagian harta gono gini tersebut akan didasarkan pada isi amar
putusan perceraian yang menyatakan mengenai pembagian harta gono gini.

Dalam hal terjadi suatu perceraian, maka pihak yang mensahkan pembagian
harta gono gini tersebut adalah pihak Pengadilan yang berwenang untuk itu. Hal
ini dikarenakan, pembagian harta gono gini tersebut terdapat/dicantumkan dalam
amar putusan perceraian yang diputus dan disahkan oleh Pengadilan yang
berwenang untuk itu.

Berkaitan dengan saksi-saksi dalam pembagian harta gono gini, peraturan


perundang-undangan tidak memperinci secara lebih jelas lagi perihal mengenai
pihak yang menjadi saksi untuk hal tersebut. Hanya saja, dalam suatu sidang
perceraian yang merupakan sidang tertutup saksi-saksi akan diajukan berkaitan
dengan hal-hal yang dinyatakan dalam gugatan cerai selama sidang
pemeriksaan gugatan cerai.

Hukum Keluarga dan Waris perwalian anak (rahayu_winanci)

Pertanyaan :

Saya seorang istri dengan dua orang anak (2,5 tahun dan 7 bulan), setelah terjadi masalah
dengan suami, saya meninggalkan mereka semua dan pergi ke rumah orang tua saya. Jika
terjadi perceraian, apakah anak-anak saya tetap ikut saya, ataukah ikut suami? Terimakasih

Jawaban :

Dengan terjadinya perceraian maka menurut hukum perlu ditentukan siapa yang
berhak menjadi wali bagi anak mereka. Hal ini didasarkan pada ketentuan bahwa
bubarnya perkawinan (dalam hal ini perceraian), maka hilanglah “kekuasaan
orang tua” terhadap anak-anak dan “kekuasaan” tersebut diganti dengan suatu
“perwalian”.

Setelah putusan perceraian dijatuhkan oleh Hakim, maka si Hakim harus


memanggil bekas suami-istri dan semua keluarga sedarah dan semenda dari
anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan wali bagi
mereka.

Kemudian Hakim akan menentukan untuk tiap anak siapa di antara suami atau
istri yang menjadi wali masing-masing anak. Keputusan mengenai perwalian ini
dapat diubah karena hal-hal baru yang timbul setelah keputusan perceraian
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (yaitu ketika dibukukannya dalam
register Catatan Sipil).
Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa
apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap
anak, maka baik Bapak atau Ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan
keputusannya (pasal 41).

Yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak adalah bapak; bilamana bapak kenyataannya tidak dapat
memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.

Khusus mengenai perwalian anak, pengadilan biasanya memberikan hak


perwalian dan pemeliharaan anak dibawah umur kepada ibu. Dasarnya, Kompilasi
Hukum Islam pasal 105 yang mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun
adalah hak ibunya. Dan didukung dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yang
menyatakan bahwa “anak dibawah asuhan ibunya.” Jika anak sudah bisa
memilih, ia dipersilahkan memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang
hak pemeliharaannya. Dalam pada itu, biaya pemeliharaan di tanggung oleh
ayahnya.

Demikianlah semoga bermanfaat.

Hukum Keluarga dan Waris suami istri mendirikan PT (ari)

Pertanyaan :

suami istri(2 individu) mendirikan PT boleh atau tidak ?

Jawaban :

Pada prinsipnya, suami isteri tidak dapat mendirikan PT diantara mereka berdua
saja, karena mereka dianggap mempunyai "satu kepentingan". Kepentingan
tersebut adalah untuk membentuk keluarga dimana suami menjadi kepala
keluarga dan isteri menjadi ibu rumah tangga (lihat ps.1 jo. 31 ayat (3) Undang-
undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Selain itu, kepentingan mereka
berdua terlihat pula adanya persatuan kekayaan yang dihasilkan selama
perkawinan, walaupun harta bawaan dapat dilaksanakan menurut kehendak
suami atau isteri masing-masing (lihat ps.35 UU Perkawinan). Dengan melihat
kepentingan mereka sebagai suami-isteri seperti yang diuraikan sebelum ini,
maka pihak ketiga harus menganggap mereka adalah "satu pihak", terutama bila
menyangkut persoalan pengaturan harta kekayaan di antara mereka, kecuali ada
perjanjian perkawinan sebelumnya (lihat ps.29 UU Perkawinan).

Atas dasar hal-hal di atas dan mengingat pendirian PT mensyaratkan minimal 2


pendiri, bila suami isteri yang bersangkutan tetap berkeinginan menjadi
pemegang saham, maka mereka dapat mencari 1 (satu) investor lain untuk
menjadi pendiri lain PT tersebut. Perlu dicatat pula bahwa UUPT mensyaratkan
agar para pemegang saham selalu minimal 2 (dua). Bila tidak, maka pemegang
saham tunggal akan mengakibatkan dia bertanggung jawab tidak terbatas lagi,
alias bertanggung jawab pribadi (lihat ps.7 (4) Undang-undang No.1 tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas). Hal ini didasarkan bahwa perseroan didirikan atas
dasar perjanjian (Penjelasan ps.7 (1) UUPT).
Hukum Keluarga dan Waris Perceraian untuk dua warga negara yang berbeda (vivi)

Pertanyaan :

Saya WNI dan suami saya warga negara Amerika, kami menikah di Indonesia
(Gereja+Catatan Sipil) dan di Amerika, saat ini saya ada di Indonesia dan suami saya di
Amerika dan pertanyaan saya: 1. Bagaimana cara yang terbaik untuk mengajukan cerai? Di
Indonesia atau di Amerika? 2. Suami saya tidak mau mengajukan cerai di Amerika, bisakan
saya mengajukan cerai di sini tanpa kehadirannya atau dia harus hadir? 3. Hal-hal lain yang
harus saya persiapan untuk pengurusan cerai tersebut. Saya mohon saran yang terbaik yang
dapat saya lakukan, atas perhatian yang telah diberikan saya ucapkan terima kasih.

Jawaban :

Menurut hemat kami, sebaiknya si isteri mengajukan gugatan cerai atas


perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia ke Pengadilan Negeri di wilayah
kediaman si isteri sebagai penggugat, sekaligus juga mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan yang dilangsungkannya di Amerika. Hal ini dimaksudkan
agar perceraian tersebut menjadi sah secara hukum ditinjau dari sudut kedua
perkawinan tersebut.

Pada dasarnya dalam proses sidang perceraian di Indonesia baik pihak isteri
maupun suami memang harus hadir dalam sidang tersebut, terutama dalam
sidang pertama dimana Hakim akan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
Namun demikian, berdasarkan Pasal 30 PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP Pelaksanaan
Perkawinan”) suami dapat saja tidak hadir dalam sidang perceraian dengan
memberikan kuasa kepada Kuasa Hukumnya untuk mewakili dirinya dalam
sidang perceraian tersebut.

Peraturan perundang-undangan tidak memperinci secara lebih jelas lagi


mengenai hal-hal yang harus dipersiapkan untuk melakukan pengurusan
perceraian sebagaimana dimaksud, selain mempersiapkan gugatan cerai
terhadap suami melalui Pengadilan Negeri. Namun demikian, terdapat hal-hal
penting yang sangat perlu untuk diperhatikan dalam mengajukan suatu gugatan
cerai, yaitu:
a. Bahwa untuk melakukan perceraian harus cukup alasan yang menyatakan
bahwa suami dan isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri
lagi (Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UU Perkawinan”));
b. Bahwa perceraian hanya mungkin dilakukan dengan berdasarkan pada
salah satu alasan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 PP Pelaksanaan
Perkawinan, antara lain, sebagai berikut:
b.1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya;
b.3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
b.4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
b.5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
b.6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
c. Bahwa perceraian tersebut dilakukan di depan sidang pengadilan (Pasal 39
ayat (1) UU Perkawinan).

Hukum Keluarga dan Waris Apa sajakah yang termasuk ke dalam cakupan family
law (arsip)

Pertanyaan :

apa definisi hukum keluarga (family law)? apa saja bidang yg masuk dlm hukum keluarga?
apa waris di luar hukum keluarga?

Jawaban :

Family law atau hukum keluarga mengatur hubungan hukum yang bersumber
pada pertalian kekeluargaan. Dengan begitu hukum keluarga mempunyai bidang-
bidang sebagai berikut:

1. Perkawinan Pada mulanya diatur dalam Bab IV sampai dengan Bab IX, Buku I
KUHPer. Termasuk didalamnya hukum tentang harta benda perkawinan (yaitu
hubungan harta benda antara suami istri), karena hubungan hukum harta benda
antara suami istri bersumber pada perkawinan. Ketentuan hak-hal tersebut telah
diubah dengan adanya Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Perkawinan yang bersifat nasional sebagai pengganti Hukum Perkawinan yang
bersumber dari Hukum Barat.

2. Kekuasaan orang tua yaitu hubungan hukum antara orang tua dan anak
mereka, baik yang sah maupun yang disahkan (Bab XII, Buku I KUHPer).

3. Perwalian yaitu hubungan hukum antara si wali dan anak yang berada di
bawah perwaliannya (Bab XV, Buku I KUHPer).

4. Pengampuan (Curatele) yaitu hubungan hukum antara kurator dan orang yang
berada dibawah pengampuannya (kuradus) (Bab XVII, Buku I KUHPer).

Sedangkan Hukum Waris mengatur pemindahtanganan harta benda seseorang


setelah ia meninggal dunia. Dengan begitu sebenarnya Hukum Waris ini
merupakan bagian dari Hukum Harta Benda. Akan tetapi sebaliknya Hukum Waris
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Hukum Keluarga, dimana bila
kita lihat dari sudut pandang yang berhak mewarisi harta benda yang meninggal
(almarhum) adalah keluarganya. Oleh karena itu Hukum Waris mempunyai
hubungan erat dengan Hukum Harta Benda dan Hukum Keluarga, maka Hukum
Waris diberikan suatu tempat tersendiri di samping Hukum Harta Benda dan
Hukum keluarga.

Hukum Keluarga dan Waris Bagaimanakah kedudukan anak kandung perempuan yang
murtad dari agama Islam? (mila)

Pertanyaan :
Apakah seorang anak perempuan yang murtad dapat dipersamakan kedudukannya dengan
anak kandung perempuan pewaris yang mewaris bersama-sama dengan janda si pewaris?
dasar hukumnya apa?

Jawaban :
Di dalam hukum Islam telah ditetapkan bahwa waris mewarisi terjadi karena:
1. Pertalian Kekeluargaan;
2. Perkawinan; dan
3. Hubungan Agama (hal ini terjadi, apabila orang yang telah meninggal itu tidak
mempunyai ahli waris. Harta peninggalannya itu diserahkan ke baitulmal untuk
umat Islam, sebagai warisan).

Diantaranya ahli waris ada yang tidak mendapat warisan, karena beberapa
sebab:
1. Pembunuh
Pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang
dibunuhnya. Sudah sepantasnya si pembunuh itu tidak mendapat warisan,
supaya jangan sampai terjadi bunuh-membunuh karena mengharapkan harta
warisan. Demikian pendapat sebagian besar ulama.
2. Orang kafir
Orang kafir tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang
beragama Islam. Demikian juga sebaliknya.
Sumber hukumnya adalah salah satu hadist Rasulullah, Rasulullah bersabda
bahwa "Orang Islam tidak mewarisi orang kafir, demikian juga orang kafir tidak
mewarisi orang Islam".
3. Orang murtad
Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang
beragama Isalm. Demikian juga sebaliknya.
Rasulullah bersabda, diriwayatkan dari Abi Bardah, beliau berkata: "Saya telah
diutus oleh Rasulullah saw kepada seorang laki-laki yang telah kawin dengan istri
bapaknya, maka Rasulullah menyuruh saya untuk memenggal lehernya dan
membagi-bagikan hartanya sebagai harta rampasan, sedang dia adalah murtad."

Dengan demikian seorang anak perempuan yang murtad termasuk salah seorang
dari ahli waris yang tidak mendapat warisan, apalagi dipersamakan
kedudukannya dengan anak kandung perempuan pewaris.

Hukum Keluarga dan Waris Perkawinan (hari)

Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya bagi orang yang menikah secara muslim ( di KUA ) tetapi kemudian
salah satu diantaranya pindah Agama. Apakah pernikahan itu masih dianggap sah ? Memang
pernikahan itu serba terpaksa ( hamil dulu ) antara dua remaja dengan perjanjian bahwa
jejaka bersedia nikah secara muslim tetapi selesai nikah akan kembali ke agamanya. Akhir-
akhirnya jejaka (suami) beberapa kali pernah menganiaya istrinya baik secara phisik maupun
mental.

Jawaban :

Pasal 2 Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 ("UU Perkawinan")


menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-msing agamanya dan kepercayaannya. Bila perkawinan sudah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan (secara muslim di KUA) maka perkawinan
tersebut telah sah menurut UU Perkawinan.

Dalam perjalanan perkawinan ternyata salah satu (suami atau istri) pindah
agama, maka menurut kami pihak yang keberatan dapat mengajukan gugatan
perceraian dalam hal ini ke pengadilan agama (karena perkawinan itu
dilaksanakan dengan hukum Islam). Selain alasan karena pindah agama dapat
juga ditambahkan alasan perceraian karena suami beberapa kali menganiaya istri
secara fisik maupun mental.
Mungkin ada baiknya sebelum mengajukan gugatan perceraian, Anda
berkonsultasi dengan pengacara atau advokat yang biasa menangani persoalan
perkawinan. Anda dapat melihatnya dalam Direktori Hukumonline.

Mudah-mudahan berguna.

Hukum Keluarga dan Waris Anak & Perceraian (reina)

Pertanyaan :
kalau seorang suami (yg sudah memiliki 1 orang anak perempuan berusia 3
tahun)mengajukan gugatan cerai kepada istrinya; kira-kira menurut putusan pengadilan hak
asuh anak akan diberikan kepada siapa? dan mungkinkah hak asuh anak diberikan kepada
suami?

Jawaban :

Setelah putusan perceraian dijatuhkan oleh Hakim, maka si Hakim harus


memanggil bekas suami-istri dan semua keluarga sedarah dan semenda dari
anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan wali bagi
mereka. Hal ini didasarkan pada ketentuan bahwa dengan bubarnya perkawinan
(dalam hal ini perceraian), maka hilanglah “kekuasaan orang tua” terhadap anak-
anak dan “kekuasaan” tersebut diganti dengan suatu “perwalian”.

Kemudian Hakim akan menentukan untuk tiap anak siapa di antara suami atau
istri yang menjadi wali masing-masing anak. Keputusan mengenai perwalian ini
dapat diubah, bila muncul hal-hal yang baru setelah keputusan perceraian
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (yaitu ketika dibukukannya dalam
register Catatan Sipil).

Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU


Perkawinan") disebutkan bahwa apabila putus perkawinan karena perceraian
mempunyai akibat hukum terhadap anak, maka baik bapak atau ibu tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya (pasal 41).

Yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak adalah bapak; bilamana bapak kenyataannya tidak dapat
memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut

Hukum Keluarga dan Waris Pembagian Harta Waris Istri Tanpa Anak ()

Pertanyaan :
Istri meninggal tanpa anak, keluarga yang ditinggalkan: suami, ayah kandung, empat saudara
perempuan seayah dan seibu kandung, satu saudara laki-laki seayah dan seibu kandung, ibu
tiri, empat saudara perempuan seayah (lain ibu), dua saudara laki-laki seayah (lain ibu).
Harta yang ditinggalkan: Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan. Selama
perkawinan yang mencari nafkah istri (almarhumah). Bagaimana pembagian waris menurut
hukum Islam? Terima kasih atas advicenya.

Jawaban :
Secara garis besar Hukum Islam membagi 2 (dua) golongan ahli waris. Golongan
yang pertama yaitu Zawil Furud, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta
warisan berdasarkan bagian tertentu dari harta warisan yang prosentasenya telah
ditentukan oleh Al Quran dan Hadist. Golongan ini merupakan pihak yang
pertama kali mendapatkan harta waris setelah pewaris meninggal dunia.

Prosentase pembagian tersebut adalah ½, ¼, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6 dari harta waris.
Yang termasuk golongan ahli waris yang berhak mendapatkan ½ dari harta waris
yaitu :
1. Anak Perempuan Tunggal;
2. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki;
3. Saudara perempuan tunggal yang sekandung, atau apabila tidak ada maka
saudara perempuan tunggal yang sebapak.
4. Suami apabila Pewaris tidak memiliki anak atau cucu dari anak laki-laki.

Yang termasuk dalam golongan ahli waris yang berhak mendapatkan ¼ harta
waris yaitu:
1. Suami apabila ahli waris memiliki anak atau cucu dari anak laki-laki;
2. Istri (seorang atau lebih) apabila suaminya (Pewaris) tidak mempunyai anak
atau cucu dari anak laki-laki.

Yang termasuk dalam golongan ahli waris yang berhak mendapatkan 1/8 harta
waris yaitu:
Istri (seorang atau lebih) apabila Pewaris mempunyai anak atau cucu dari anak
laki-laki.

Yang termasuk dalam golongan ahli waris yang berhak mendapatkan 2/3 harta
waris yaitu:
1. Dua orang anak perempuan atau lebih apabila Pewaris tidak mempunyai anak
laki-laki;
2. Dua orang cucu perempuan atau lebih apabila Pewaris tidak mempunyai anak
perempuan;
3. Dua orang saudara perempuan atau lebih sekandung;
4. Dua orang saudara perempuan atau lebih sebapak apabila pewaris tidak
memiliki saudara perempuan sekandung.

Yang termasuk dalam golongan ahli waris yang berhak mendapatkan 1/3 harta
waris yaitu:
1. Ibu apabila pewaris tidak mempunyai anak atau cucu atau tidak mempunyai
saudara baik laki-laki maupun perempuan sekandung maupun seayah atau
seibu.
2. Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) yang seibu.

Yang termasuk dalam golongan ahli waris yang berhak mendapatkan 1/6 harta
waris yaitu:
1. Ibu apabila anaknya (Pewaris) mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
atau saudara laki-laki maupun perempuan yang sekandung, seayah maupun
seibu.
2. Bapak apabila anaknya (Pewaris) mempunyai anak atau cucu dari anak laki-
laki.
3. Nenek baik dari ibu maupun bapak apabila Ibu tidak ada.
4. Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki apabila Pewaris
mempunyai anak tunggal.
5. Kakek apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak
laki-laki sedangkan bapaknya tidak ada.
6. Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) yang seibu.
7. Saudara perempuan (seorang atau lebih) yang sebapak apabila pewaris
hanya mempunyai seorang saudara perempuan kandung.

Golongan ahli waris yang lain selain Zawil Furud disebut dengan istilah ‘Ashabah,
yaitu ahli waris yang mendapatkan sisa harta warisan pewaris setelah harta
warisan tersebut dibagikan kepada golongan ahli waris pertama atau Zawil Furud.
Akan tetapi apabila tidak ada ahli waris yang termasuk dalam golongan Zawil
Furud tersebut maka ahli waris yang termasuk golongan ‘Ashabah akan
mendapatkan seluruh harta waris yang ditinggalkan oleh Pewaris.

Pihak-pihak yang termasuk dalam golongan ‘Ashabah berdasarkan urutannya


yaitu:
1. anak laki-laki;
2. cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah asal pertaliannya masih
terus laki-laki;
3. bapak;
4. kakek dari pihak bapak dan terus ke atas selama pertaliannya masih belum
putus dari pihak bapak;
5. saudara laki-laki sekandung;
6. saudara laki-laki sebapak;
7. anak saudara laki-laki sekandung;
8. anak saudara laki-laki sebapak;
9. paman yang sekandung dengan bapak;
10. paman yang sebapak dengan bapak;
11. anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak;
12. anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak.

Berdasarkan ketentuan di atas maka pihak-pihak yang merupakan ahli waris dari
Pewaris seperti yang ditanyakan oleh saudara yaitu:
Ahli waris yang berhak mendapatkan harta waris karena termasuk dalam
golongan Zawil Furud:
1. Suami, berhak mendapatkan ½ harta waris karena pewaris tidak mempunyai
anak.
2. 4 saudara perempuan sekandung, berhak mendapatkan 2/3 harta waris;
3. 4 saudara perempuan seayah, berhak mendapatkan 2/3 harta waris.

Ahli waris yang berhak mendapatkan harta waris karena termasuk dalam
golongan ‘Ashabah:
1. Ayah Kandung;
2. 1 orang saudara laki-laki sekandung;
3. 2 orang saudara laki-laki seayah.

Walaupun demikian tidak secara otomatis semua ahli waris tersebut akan
mendapatkan harta waris seperti yang disebutkan di atas. Dalam Hukum Islam
ada suatu alasan yang membuat seorang ahli waris terhalang untuk
mendapatkan haknya, halangan tersebut dikenal dengan istilah Hijab yang berarti
dinding. Ada 2 Hijab yang dikenal yaitu Hijab Nuqshan, yaitu dinding yang hanya
mengurangi bagian ahli waris dan Hijab Hirman, yaitu dinding yang menghalangi
(menghapus) ahli waris untuk mendapat warisan karena ada ahli waris yang lebih
dekat hubungannya dengan Pewaris.

Berdasarkan ketentuan mengenai Hijab ini maka untuk kasus seperti di atas 2
orang saudara laki-laki seayah kehilangan hak warisnya karena ter-hijab oleh
saudara laki-laki sekandung. Saudara laki-laki sekandung juga kehilangan hak
warisnya karena ter-hijab oleh ayah kandung. 4 orang saudara perempuan
sebapak kehilangan hak warisnya karena ter-hijab oleh 4 orang saudara
perempuan sekandung. Dan saudara perempuan sekandung juga kehilangan hak
warisnya karena ter-hijab oleh ayah kandung.

Sementara mengenai ibu tiri Hukum Islam tidak memberikan hak untuk mewaris
kepadanya karena pada prinsipnya hubungan waris terjadi karena adanya
hubungan pertalian darah.

Dengan demikian maka ahli waris yang berhak mendapatkan harta waris yaitu
suami sebesar ½ dari harta waris dan ayah yang karena kedudukannya sebagai
‘Ashabah akan mendapatkan seluruh dari sisanya atau ½ dari harta waris.

Harta yang akan di waris oleh Pewaris dalam hal ini pada prinsipnya adalah
seluruh harta yang merupakan haknya, baik itu berupa harta bawaan maupun
harta campuran atau gono-gini. Untuk yang harta campuran maka yang
merupakan harta waris merupakan sebagian dari harta campuran tersebut yang
merupkan bagian atau hak dari pewaris, biasanya haknya merupakan setengah
dari harta tersebut, yang setengah lagi merupakan hak dari Suami.

Hukum Keluarga dan Waris Resmi tidaknya suatu pernikahan ()

Pertanyaan :
Kawan saya memiliki satu situasi yang unik yaitu bahwa mereka telah menikah tetapi belum
dicatat di catatan sipil. Pertannyaannya adalah Apakah pernikahan yang tidak dicatatkan ke
catatan sipil adalah pernikahan yang tidak sah, walaupun sudah diresmikan secara agama ?

Jawaban :

Berdasarkan Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974)


dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya; dan disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dalam hal ini adalah Undang-undang No.32 tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak, dan Rujuk, dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.

Dengan demikian, suatu perkawinan dianggap sah bila telah memenuhi


persyaratan dan ketentuan baik itu berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan berdasarkan aturan agama dan kepercayaan dari yang melakukan
perkawinan.

Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya


menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah dari Kantor Urusan
Agama (KUA) atau oleh pegawai yang ditunjuk oleh Menteri Agama, sedangkan
bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan
kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

Sesaat setelah dilangsungkan perkawinan menurut hukum masing-masing agama


dan kepercayaannya, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang
telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta
tersebut juga ditanda-tangani oleh kedua orang saksi dan Pegawai Pencatat yang
menghadiri perkawinan dan bagi yang yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, ditandangani oleh Wali Nikah atau yang mewakilinya. Dengan
penandatanganan akta perkawinan tersebut maka perkawinan itu telah tercatat
secara resmi.
Akta perkawinan ini dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh
Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah
Kantor Pencatatan perkawinan itu berada. Dan kepada suami dan istri masing-
masing diberikan kutipan akta perkawinan. Dengan adanya akta perkawinan itu
maka suami istri bersangkutan mempunyai alat bukti yang sah berdasarkan UU
1/1974.

Bila kita lihat pada kasus saudara, yang mesti diperhatikan adalah apakah sudah
ada akta perkawinan yang sudah ditandatangani oleh pihak-pihak yang wajib
hadir pada saat teman saudara melakukan perkawinan. Bila sudah ada, maka
perkawinan yang dilakukannya tersebut telah sah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Hukum Keluarga dan Waris prosedur dalam pernikahan beda negara (freenta)

Pertanyaan :
Profesi saya sekarang seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jakarta. Saya ingin
bertanya langkah-langkah apa yang sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku
sehubungan dengan perkawinan beda warga negara.

Jawaban :

Peraturan perundangan yang mengatur tentang perkawinan yang dilakukan oleh


dua orang yang berbeda warga negara di Indonesia dan salah satu pihaknya
berwarganegaraan Indonesia adalah Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) beserta dengan peraturan pelaksanaanya yaitu
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan (PP
9/1975). Untuk perkawinan seperti ini UU Perkawinan menyebutnya sebagai
perkawinan campuran.

Sehubungan dengan anda masih berstatus mahasiswi dan anda tidak


mengemukakan umur anda, maka kami beranggapan bahwa anda masih
berumur di bawah 21 tahun. Maka untuk perkawinan ini anda harus mendapatkan
ijin dari orangtua. Jika salah satu orangtuanya meninggal dunia, ijin diperoleh
dari orangtua yang masih hidup; jika kedua orangtua meninggal dunia atau tidak
mampu menyatakan kehendaknya, ijin dapat diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan mampu
menyatakan kehendaknya; jika terdapat perbedaan pendapat diantara mereka,
atau mereka tidak menyatakan pendapatnya, pengadilan dapat memberika ijin.
Ketentuan-ketentuan tersebut berlangsung sepanjang hukum masing-masing
agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (ps. 6 (2)
sampai (6) UU Perkawinan).

Sebelum berlangsungnya perkawinan ada beberapa hal atau prosedur yang harus
di laksanakan terlebih dahulu, yaitu masalah pemberitahuan, penelitian dan
pengumuman. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan wajib
memberitahukan niatnya secara tertulis atau lisan kepada pejabat pencatat
perkawinan setempat, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan. Untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Urusan
Agama, sedangkan oleh mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agama dan kepercayaan selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatatan
Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

Pegawai pencatat perkawinan yang menerima pemberitahuan tersebut, meneliti


apakah syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi dan apakah terdapat halangan
perkawinan menurut undang-undang. Kemudian dilakukan pengumuman oleh
pegawai pencatat perkawinan. Pengumuman ini memuat hal-hal yang
menyangkut para pihak yang akan melangsungkan perkawinan, ditandatangani
oleh pegawai pencatat perkawinan dan ditempelkan pada suatu tempat yang
sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Pengumuman ini dimaksudkan
untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan
keberatan-keberatan atas perkawinan yang akan berlangsung, apabila diketahui
perkawinan tersebut bertentangan dengan hukum agama yang bersangkutan dan
undang-undang yang berlaku.

Setelah hari kesepuluh sejak adanya pengumuman kehendak kawin, maka


perkawinan baru dapat dilaksanakan. Perkawinan dilangsungkan menurut
tatacara yang ditentukan dalam agama dan kepercayaan para pihak yang
melangsungkan perkawinan. Perkawinan dilangsungkan di hadapan pegawai
pencatat perkawinan dan 2 (dua) orang saksi.

Setelah perkawinan selesai dilangsungkan, kedua mempelai menandatangani


akta perkawinan, begitu pula dengan pegawai pencatat perkawinan dan 2 (dua)
orang saksi yang hadir. Dengan penandatangann tersebut maka perkawinan telah
tercatat secara resmi.

Persoalan lainnya yang mesti saudari perhatikan adalah mengenai persoalan


kewarganegaraan, dimana menurut Undang-undang No.62 tahun 1958 tentang
Kewarganegaran Indonesia (UU Kewarganegaraan) dikatakan bahwa bagi
perempuan berwarganegara Indonesia yang menikah dengan seorang warga
negara asing (WNA) akan kehilangan kewarganegaraan RI, apabila dan pada
waktu dalam satu tahun setelah pernikahannya berlangsung menyatakan
keterangan untuk itu, kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegaraan RI
itu, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Kewarganegaraan RI akan diperoleh
kembali jika dan pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan
keterangan untuk itu. Keterangan itu harus dinyatakan dalam jangka waktu satu
tahun setelah perkawinannya terputus kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan
RI tempat tinggalnya.

You might also like