Professional Documents
Culture Documents
a seorang muslimah, menutup aurat dengan sempurna, cerdas, berpendidikan tinggi, mengerti
banyak hukum agama, dari keturunan yang baik, tumbuh di lingkungan yang baik pula, berbaur
dengan orang-orang shalih, kaya, tidak punya cacat fisik, bahkan tergolong wanita cantik. Lalu, apa
lagi yang kurang?
Ya, begitulah gambaran dari Anna Althafunnisa, seorang tokoh utama dari novel karya
Habiburrahman El Shirazy yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih, yang kemudian diangkat ke layar
lebar dengan judul film yang sama pula. Dan yang seperti kita ketahui bersama, seperti halnya
novelnya yang laris manis, film ini pun laku keras di pasaran. Kemudian tak lama setelahnya, sosok
Anna Althafunnisa begitu melekat di benak para muslimah, mampu menjadi ikon tentang muslimah
yang seharusnya. Setidaknya ini saya lihat ketika diamanahi mendampingi tiga puluh delapan
muslimah masa peralihan dari belia ke dewasa yang sedang menjalani hidupnya di awal-awal
semester kuliah.
Melihat kapasitas dan kualitas kemuslimahan Anna Althafunnisa dalam gambaran cerita tersebut,
pantas saja kalau kemudian dalam angan, ia adalah sosok muslimah ideal masa kini. Namun ada
yang menarik untuk dicermati dan diurai hikmahnya bersama. Bahwa seideal-idealnya muslimah,
tetaplah ia wanita bumi yang sangat mungkin berbuat khilaf dan punya kekurangan di sana-sini di
balik kelebihannya yang berlimpah. Pun pembahasan ini bukan untuk mencari-cari kesalahan
seseorang, tapi semoga mampu mengasah sikap kritis kita, agar tak selalu mengangguk setuju pada
tokoh yang diidolakan.
Ada dua peristiwa bersejarah dalam hidup Anna yang menarik untuk dicermati, yaitu ketika prosesi
khitbah dan penyebab perceraian dalam biduk rumah tangganya.
Dalam prosesi khitbahnya, kita dapati syarat Anna sebelum mengiyakan lamaran adalah, bahwa
tidak adanya wanita lain kelak dalam rumah tangganya, alias ia menginginkan menjadi wanita satu-
satunya dalam hati sang suami. Banyak muslimah yang 'terhipnotis' dengan pernyataan Anna,
bahwa ia ingin seperti Fatimah dan Ibunda Khadijah yang tak pernah diduakan seumur hidupnya.
Tak ada yang salah dengan keinginannya ini, tapi jangan lupa, bahwa kita juga punya si cerdas
Aisyah yang tetap bahagia dengan Rasullullah padahal ia bukan wanita satu-satunya dalam
kehidupan beliau, kita punya panutan seperti Zainab, Hafsah, dan masih banyak lagi pribadi-pribadi
luar biasa yang mampu menjalani takdirnya sebagai seorang isteri yang bukan satu-satunya.
Mungkin menjadi hal yang sangat wajar syarat itu diajukan oleh wanita biasa dan kebanyakan, tapi
menjadi tidak wajar bahkan janggal bagi seorang muslimah putri Kyai yang tentunya sedari kecil
telah tumbuh dengan didikan Islami seperti Anna. Di sinilah Anna telah gagal bersikap bijak
sebagai seorang muslimah, karena pada kenyataannya ia yang telah banyak mengerti hukum agama
yang seharusnya lebih bisa taat pada Allah dan RasulNya, bersikap seperti wanita pada umumnya.
Maka wajarlah jika timbul pertanyaan logis, kalau seorang muslimah sekredibel Anna saja
'menolak' dipoligami, bagaimana dengan wanita pada umumnya?
Menarik pula apa yang diumpamakan Anna tentang sikapnya pada poligami, bahwa jika ia tidak
menyukai jengkol dan tidak memakannya bukan berarti ia mengharamkan jengkol. Hal yang logis,
tapi kurang tepat dijadikan perumpamaan. Karena yang sedang kita bicarakan ini berupa syari'at
Islam. Dalam hal ini sama saja Anna mengatakan, bahwa ia tidak suka dipoligami, tapi bukan
berarti ia mengharamkan poligami. Penegasan yang ingin disampaikan Anna di sini adalah bahwa
poligami tetaplah halal, tapi ia tidak menyukainya.
Inilah yang perlu hati-hati kita telaah. Bagaimana mungkin seorang muslim/mah tidak menyukai
apa yang pernah dilakukan oleh sang Nabi SAW, dimana kita sering mengaku berkiblat pada
qudwahnya? Sementara bagian dari yang disebut sunnah adalah setiap perbuatan yang pernah
dilakukannya. Sikap ini yang perlu kita pertegas, bahwa sebagai ummat Nabi SAW, kita penyuka
sunnahnya. Tapi, bukan berarti setiap kita bisa dan mampu melakukan apa yang pernah dilakukan
oleh sang Nabi SAW. Itulah salah satu hikmah yang bisa kita gali kenapa berhukum sunnah, bukan
wajib.
Kembali ke pernyataan Anna, tentu saja akan lain maknanya jika Anna berkata bahwa ia tidak
memakan jengkol karena dia tak tahan dengan baunya, dan khawatir juga baunya akan tercium ke
orang di sekitarnya. Atau perumpamaan lain yang semakna, misalnya saya tidak makan rujak
karena sekarang saya sedang sakit perut, saya tidak minum air es karena sekarang saya sedang
pilek, atau saya tidak memakai warna hitam karena hari ini panas sekali.
Sejarah hidup Anna yang kedua adalah ketika ia mengetahui bahwa Furqan, suaminya, mengidap
HIV. Yang dengan alasan inilah Anna meminta cerai. Sebuah hal yang halal memang, tapi dibenci
oleh Allah SWT.
Diceritakan di situ, bagaimana Anna begitu marah, langsung kehilangan kepercayaan, dan
ujungnya meminta cerai.
Mari kita bahas peristiwa ini dalam perspektif kehidupan muslimah ideal yang seharusnya sesuai
dengan syari'at Islam.
Ketika seseorang marah karena mendapati dirinya telah dibohongi, itu hal yang wajar. Tapi bagi
seorang Anna Althafunnisa, tentunya sudah hafal di luar kepala hadits Nabi SAW tentang perintah
menahan marah. Kenapa ia tidak berupaya melakukannya? Melakukan kebajikan dengan cara
menahan marah. Dan sangat mustahil Anna yang lulusan Al-Azhar Mesir itu tidak mengetahui
kalau Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Di sinilah kita lihat ego dan
nafsunya bermain dan menghalanginya untuk duduk, berbaring, wudhu, atau shalat daripada
meluapkan kemarahannya.
Andai saja Anna dapat menahan amarahnya dan sedikit saja berlapang dada, mungkin perceraian
itu tidak akan pernah terjadi dan cerita pun akan lain. Ia akan lebih bisa mendengar apa yang
dikatakan sang suami, ia akan berupaya mengerti tentang posisi suami, bahkan mungkin dia akan
bersikap sebaliknya, misalnya tetap memberi dukungan moral pada seseorang yang telah diangkat
menjadi imamnya. Atau sebagai seorang 'partner' yang baik, ia akan tetap mengibarkan bendera
optimis dengan mengatakan, "Coba kita cek lagi ke dokter, sangat mungkin kekeliruan terjadi pada
saat pemeriksaan dulu, engkau orang baik dan suka memudahkan urusan orang lain, yakinlah Allah
tak kan mendzalimimu."
Ya, andai saja Anna lebih mampu sedikit bersabar dan menunggu, maka perceraian itu tidak akan
pernah terjadi. Karena dalam alur cerita selanjutnya, ternyata hasilnya negatif setelah Furqan
memeriksakan diri. Namun sayang, bukan sikap seperti itu yang Anna lakukan. Padahal pada saat
itu posisi Anna adalah seorang isteri. Isteri yang sangat tahu betapa mulianya kedudukan seorang
Adam ketika ia telah menjadi seorang suami, sampai-sampai Nabi SAW pernah menyabdakan, jika
diperbolehkan menyembah selain Allah, niscaya ia akan menyuruh setiap isteri menyembah
suaminya. Lalu, isteri shalihah macam apakah yang lantang bernada tinggi penuh amarah ketika
berbicara di depan suaminya?
Inilah sikap Anna yang perlu kita kritisi, bahwa selayaknya seorang muslimah tetap berupaya
mengendalikan dirinya dalam keadaan apapun. Seperti halnya tetap berupaya taat pada semua
perintah Allah SWT, dalam keislaman yang kaffah.
Ana Althafunnisa, seorang muslimah cerdas yang memiliki banyak hal lebih dalam dirinya,
tetaplah manusia biasa. Namun, tak dapat dipungkiri, bahwa terlepas dari kekurangannya, ia tetap
menjadi sosok wanita luar biasa yang patut diikuti sepak terjangnya dalam merunut hidup menjadi
wanita seperti yang diinginkanNya. Banyak hal baik yang bisa kita gali dan teladani, bahkan apa
yang ada padanya mampu dijadikan motivasi agar kita menjadi semakin lebih baik.
***
Suatu malam terjadilah sebuah dialog antara seorang mad'u dengan murabbiyahnya.
"Mbak, Anna Althafunnisa itu luar biasa ya, apa Sekar bisa menjadi seperti dia?"
"Bagaimana mungkin Sekar yang seperti ini melebihi Anna yang lulusan Al-Azhar?"
"Justru itu Sekar bedanya yang menjadi luar biasa, kalau Anna menjadi wanita shalihah itu adalah
hal yang sangat wajar. Ia putri seorang Kyai, ia kuliah di Al-Azhar, ia begitu punya banyak fasilitas
yang memudahkan dirinya menjadi shalihah seperti itu. Tapi kalau Sekar manjadi seshalihah itu,
bagi Mbak, Sekar jauh lebih luar biasa dari seratus Anna Althafunnisa sekalipun."
4 Pilar Kompetensi Siswa
Untuk mencapai tujuan dan sasaran dakwah sekolah, maka ada 4 pilar kompetensi yang harus
dibangun secara massif terhadap medan dakwah sekolah, khususnya para siswa:
1. Kompetensi Imani
Para pelajar diberikan informasi dan pengajaran tentang dasar-dasar Islam, dibimbing ruhaninya,
diarahkan potensinya, diluruskan akhlaknya, baik terhadap Allah SWT, orang tua, guru dan sesama
pelajar. Mereka mampu mengaktualisasikan nilai-nilai tauhid dalam kesehariannya. Aqidah yang
lurus, akhlak yang baik, ruhani yang bersih, ibadah yang benar, wawasan keislaman yang baik,
pandai menjaga waktu dan mengatur urusannya adalah bagian dari kompetensi imani seorang
pelajar. Dalam perkembangan yang lebih jauh, mereka dapat mengimplementasikan nilai-nilai
ukhuwah dan mujahadah dalam dakwah sebagai cerminan kualitas keimanan mereka.
2. kompetensi Ilmiy
Para pelajar dimotivasi, dibimbing, diarahkan dan dilatih agar memiliki kemampuan dan disiplin
belajar yang tinggi, kecerdasan intelektual dalam menyerap pelajaran, kecerdasan emosional,
wawasan yang luas, minat mencari ilmu yang tiada habis-habisnya. Para pelajar juga mulai
diarahkan untuk mengenali potensi akademiknya agar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi sesuai dengan bakat dan minat yang telah teridentifikasi secara optimal, sehingga
potensinya akan tumbuh sumbur karena ditanam pada lahan yang tepat.
3. Kompetensi Fanni-Jasadi
Para pelajar harus ditumbuhkembangkan potensi skill dan ketrampilan (fanniyah) secara optimal
sesuai dengan minat dan bakatnya. Ketrampilan yang dimaksud meliputi ketrampilan dasar dan
ketrampilan operasional. Ketrampilan dasar (basic-life skill) meliputi diantaranya apa yang
dinamakan mega skills: confidence, motivation, effort, responsibility, initiative, perseverance,
caring, teamwork, common sense, problem solving. Sedangkan ketrampilan operasional seperti:
dasar-dasar manajemen dan keorganisasian, kepemimpinan, teknik komunikasi efektif, hingga
kemampuan bahasa asing dan komputer. Menumbuhkan sejak dini jiwa entrepreneurship
hendaknya juga mendapat perhatian penting. Ketrampilan pilihan sesuai dengan minat dan
bakatnya biasanya telah terakomodasi dalam sistem ekstra kurikuler sekolah dimana kita patut
mendorongnya seperti: fotografi, pecinta alam, bela diri, karya ilmiah remaja, pramuka, palang
merah, dsb.
Selain itu ansyitoh jasadiyah melalui berbagai kegiatan olahraga dan kepanduan patut dibudayakan
dan dilaksanakan secara berkala guna mempersiapkan thoqoh jasadiyah sejak dini yang juga
merupakan bekalan asasi dalam dakwah dan jihad fi sabilillah.
4. Kompetensi Sya’bi-Siyasi
Sebagai calon pemimpin di masa depan, para pelajar dilatih untuk memiliki kepekaan & jiwa sosial
sebagai bekal dasar untuk menggauli masyarakat di sekitarnya. Menolong sesama manusia yang
ditimpa kesulitan, bersilaturahmi dengan tetangga, berakhlak yang baik dan menghormati orang
tua, senantiasa menjadi pelopor kebaikan dan suri tauladan khususnya bagi remaja lingkungannya
akan memupuk simpati masyarakat dan siap mendukung langkah-langkah kebaikannya.
Selain itu, kesadaran dan kepekaan politik dalam batas-batas tertentu patut ditumbuhkan sejak dini
untuk mempercepat pematangan fikriyah dan mentalitasnya sebagai pengemban amanah dakwah
dan calon pemimpin di masyarakat. Dimulai dari pemahaman tentang problematika umat Islam,
baik lokal, regional dan internasional yang menuntut kebutuhan akan gerakan dakwah yang lokal
dan internasional. Merasakan berbagai isu dunia Islam sebagai permasalahan bersama dan
menuntut peran serta yang lebih aktif. Turut serta merasakan konstelasi pertarungan ideologi dan
peradaban secara global dan pengaruhnya dalam konstelasi pergulatan politik nasional.
Dakwah muslimah
Sebenarnya apa urgensi dakwah muslimah dan sejauh mana ruang lingkupnya ? apakah perlu ada bidang
khusus yang menangani permasalahan muslimah di sebuah lembaga dakwah ?
Sejujurnya jika ditanya pertanyaan ini, saya khawatir tidak dapat menjawab dengan baik, akan tetapi
pertanyaan ini beberapa kali ditanyakan kepada saya. Walau memang sebetulnya ada yang lebih berhak
untuk menjawab pertanyaan ini, yakni kepala sektor Annisaa GAMAIS ITB, Agtriana Leandini, saya akan
mencoba menjawab sejauh pemahaman dan pengalaman serta panduan dari pedoman dakwah GAMAIS
2008-2013.
Urgensi dari dakwah muslimah sangat diyakini menjadi salah satu bagian penting
dalam dakwah, bahkan seorang bijak mengatakan pembagian porsi dakwah
muslimah dengan dakwah keseluruhan, adalah jika dakwah itu adalah lingkaran,
maka dakwah muslimah sebesar setengah lingkaran. Pergerakan dakwah muslimah
seperti yang kita ketahui telah bergulir sejak zaman Nabi Muhammad, dimana Nabi
menempatkan Istrinya sebagai pemimpin para muslimah. Peran sentral dari
muslimah yang juga telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya merupakan urgensi
yang saya nilai sebagai landasan mendasar mengapa kita perlu menjalankan dakwah
khusus muslimah di kampus.Terkait apa peran dari bidang muslimah dan secara
khusus kepala kemuslimahan di sebuah lembaga dakwah, Saya mengamati terdapat
tiga peran utama yang bisa dijalankan oleh seorang kepala kemuslimahan.
Wakil ketua lembaga untuk seluruh muslimah. Dimana ia menjadi tangan kanan
seorang ketua lembaga. Ketika zaman Rasul, siti Aisyah memerankan peran ini
dengan baik. Ia yang memberikan arahan untuk para muslimah, memberikan
pembinaan, menyampaikan aspirasi muslimah di syuro, dan sebagai panglima
dakwah untuk para muslimah itu sendiri. Saya sangat sepakat jika, posisi seorang
kepala muslimah hanya satu tingkat di bawah seorang kepala lembaga dakwah.
Pemimpin untuk seluruh koordinator akhwat. Jika seorang kepala lembaga
mengkoordinir, membina, dan memimpin langsung kepala departemen di
bawahnya. Maka sosok kepala muslimah ini berperan sebagai pengkoordinir,
pembina dan pemimpin bagai para koordinator akhwat seluruh departemen. Peran
ini diharapkan dapat membuat daya rangkul antara kader pria dan perempuan
seimbang.
Sebagai pelakasna bidang dakwah muslimah. Fungsi mendasarnya yang ketiga
adalah menjalankan dakwah muslimah itu sendiri, baik itu agenda kaderisasi, syiar
maupun jaringan muslimah.
Secara lingkup dakwah muslimah itu sendiri, menurut kepala sektor Annisaa
GAMAIS ITB sangat luas dan meliputi seluruh aspek dakwah kampus. Akan tetapi
saya mencoba menyederhanakannya dalam tiga bidang utama, yakni :
Kaderisasi¸ yang dilakukan khusus untuk para muslimah. Berbagai agenda kaderisasi
butuh ditambahkan kepada para muslimah agar dapat menjadi sosok muslimah
ideal. Penambahan agenda kaderisasi ini diharapkan dapat membuat para muslimah
ini dapat memahami perannya sebagai individu, anak, Istri, Ibu, dan da’iyah.
Tuntutan peran dalam berbagai bidang kehidupan, baik kehidupan rumah tangga,
sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik dan pemerintahan, dalam rangka
mengemban amanah da’wah, amar ma’ruf nahi mungkar, membutuhkan bekal yang
cukup bagi akhwat muslimah untuk menjalankan peran multi dimensi yang di pikul.
Sehingga Kampus memiliki tanggung jawab dalam berpartisipasi dalam membentuk
muslimah shalehah yang syamil dengan kehadiran bidang muslimah lembaga
dakwah yang melakukan program berupa Pembinaan dan Pengembangan Potensi
Muslimah.
Syiar, secara metode variasi syiar muslimah tidak berbeda jauh dengan dakwah
pada umumnya. Akan tetapi syiar muslimah ini mempunyai kekhususan di bidang
materi yang akan disampaikan. Karena syiar merupakan bagian dari kaderisasi
massal, maka akan tetap mengacu pada pembentukan karakter muslimah yang
memahami perannya sebagai individu, anak, Istri, Ibu, dan da’iyah. Contoh
beberapa materi yang bisa disampaikan antara lain ; konsep diri muslimah,
kewajiban seorang muslimah, fiqih darah wanita, fiqih thaharah, figur muslimah
teladan, urgensi dan peran muslimah dalam dakwah, etika interaksi perempuan dan
pria, akhlak seorang muslimah, perawatan diri seorang wanita, career planning,
dakwah dan rumah tangga, basic lifeskill bagi muslimah, dan muslimah pembelajar.
a. Meluruskan paradigma muslimah agar sesuai dengan fitrahnya. Saat ini banyak
pandangan yang salah tentang sebenarnya bagaimana seorang muslimah itu. Atau
bahkan paradigma tentang perempuan itu sendiri. Ada sebuah pandangan
emansipasi wanita secara berlebihan yang membuat peran sebagai penopan rumah
tangga menjadi lemah. Ada pandangan feminisme yang perlu diluruskan dengan
koridor Islam. Perlu dijelaskan pula kepada objek dakwah, bahwa Islam tidak
memandang perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga, akan tetapi ada peran
perempuan yang sangat besar.
b. Membudayakan gaya hidup islami kepada para muslimah , gaya hidup atau
lifestyle dari seorang muslimah yang baik. Gaya hidup ini bisa dalam dua
pendekatan, yakni simbolik dan kebiasaan. Secara simbolik yakni dengan
membudayakan penggunan jilbab, dan terkait kebiasaan seperti tutur kata, cara
tertawa, atau kebiasaan pulang tidak larut malam.
Saya teringat kembali dengan kenangan masa-masa kuliah. Saat itu saya bertugas sebagai asisten di
Laboratorium Fisika Dasar FMIPA ITS yang melaksanakan praktikum Fisika Dasar untuk semua
jurusan di ITS yang ada mata kuliah tersebut. Nah, kondisi riil para praktikan yang selalu saya
temui adalah mereka tidak siap untuk praktikum. Indikasinya yaitu:
1. mereka mengerjakan tugas pendahuluan dengan cara menyalin jawaban temannya (mbacem),
bahkan karena modul praktikum sudah bertahun-tahun tidak direvisi, kunci jawabannya sudah
beredar luas dan turun-temurun
2. mereka belum mempelajari modul praktikum sebelumnya, bahkan hanya sekedar untuk membaca
judulnya praktikumnya saja
Hal itu masih diperparah dengan misconception terhadap konsep-konsep Fisika Dasar yang mereka
bawa dari SMA-nya.
Lewat pengalaman itu saya menyimpulkan, jika saya ngoyo menerangkan semua materi praktikum,
biarpun sampai kering mulut dan putus urat leher saya, mereka tetap tidak akan mudheng, apalagi
mengingat dengan yang sudah saya ‘ajarkan’. Lagipula saya kan bukan dosen dan belum tentu lebih
pintar daripada para praktikan.
Lalu saya menyusun strategi untuk menerangkan materi tidak dengan ceramah dan nyerocos, akan
tetapi lewat berbagai pertanyaan. Untuk membahas sebuah konsep materi Fisika, saya kumpulkan
dahulu kata-kata kunci, istilah-istilah penting, dan hal-hal yang harus mereka kuasai. Kemudian
saya susun materi tersebut secara sistematis, katakanlah jika ditulis bisa dapat satu halaman folio.
Selanjutnya, saya ubah semua kalimat berita menjadi kalimat-kalimat tanya.
Daftar pertanyaan itulah yang saya ajukan kepada mereka saat asistensi. Jadi, alih-alih
menerangkan materinya, saya justru memberondong mereka dengan pertanyaan-pertanyaan.
Memang, praktikan yang baru pertama kali praktikum dengan saya kerap protes, “Mas, kita disini
ini minta diajari. Kok malah ditanya-tanyain terus?!” Kalau sudah begini saya cuma tersenyum
saja, “Nanti juga kamu paham sendiri. Yang penting kalian percaya pada saya serta ikhlas dan
sungguh-sungguh mengikuti alur yang sudah saya atur.” Nah, mahasiswa yang kali kedua atau
ketiga praktikum dengan saya biasanya langsung nyelethuk, “Siap-siap deh dibantai.”
Nah, jika jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dikumpulkan, ibarat potongan-potongan puzzle, para
praktikan (asal tidak malas berpikir) pasti dapat menyusun konsep materi yang sedang dibahas.
Cara ini saya amati lebih efektif karena pemahaman konsep dibangun sendiri oleh sang praktikan
(dengan bimbingan saya sebagai asisten) melalui proses berpikir secara aktif.
Bertahun-tahun kemudian, tak dinyana saya bekerja sebagai seorang guru, tak disangka pula
(kecuali hanya ALLAH yang tahu) saya dibimbing oleh Ustd. Ery Soekresno selaku konsultan di
lembaga ini.
Konsep Understanding by Design (UbD) yang beliau bawa dan ajarkan kepada kami ternyata
benar-benar familier buat saya. Selain pembawaan dan gaya beliau yang (bagi saya) “Gue banget”.
Ternyata tanpa disadari (tentu dengan bimbingan dari ALLAH) saya sudah menemukan dan
mempraktikkan UbD ala saya sendiri sejak menjadi asisten di Lab. Fisika Dasar dulu.
UbD menitikberatkan kepada membangun pemahaman siswa terhadap suatu konsep ilmu/materi
melalui proses berpikir aktif yang dijalani oleh siswa itu sendiri. Sedangkan guru benar-benar
berperan sebagai fasilitator, mediator, dan motivator (kalau perlu jadi provokator, tapi yang baik-
baik dong) dalam sebuah proses pembelajaran. Paradigma yang dianut UbD adalah:
siswa harus dipandang sebagai tambang permata dari potensi-potensi diri yang positif dan tugas
guru adalah menggali tambang itu untuk memunculkan permata-permata potensi diri siswanya.
Sudah terlalu banyak cercaan yang ditujukan kepada dunia pendidikan. Berkaitan dengan konten
materi yang diajarkan kadang dinilai terlalu tinggi. Misalnya, materi-materi Matematika SMA
sesungguhnya sudah se-level dengan Kalkulus di perguruan tinggi. Demikian pula dengan materi
Fisika SMA yang sudah selevel dengan Fisika Dasar, bahkan sudah menyenggol Fisika Moderen.
Saking tingginya, pernah ada yang berujar, jangan-jangan semua siswa di Indonesia ini mau
diarahkan untuk ikut olimpiade sains?!
Ironisnya, di sisi lain, materi-materi yang dianggap sebagai basic life skill malah tidak diasah.
Misalnya: keterampilan membaca efektif, menulis cepat, berhitung dasar, menghafal, mengamati,
berkomunikasi positif, mempresentasikan diri, dsb. Terlebih lagi masalah attitude (misalnya: tata
krama) sama sekali tidak tersentuh oleh kurikulum yang terlalu berat konten ini.
Dalam UbD terdapat empat aspek: ide besar (big ideas), pertanyaan inti (essential questions),
pemahaman bermakna (enduring understandings), dan keterampilan (skills). Jadi, jika kita
beranggapan bahwa kurikulum Diknas terlalu tinggi (hingga susah untuk diajarkan apalagi
diterapkan), acapkali kering dari nilai-nilai Islam yang luhur, ataupun pun kosong dari keterampilan
yang dapat dikuasai siswa, maka dengan konsep UbD kita dapat memilih dan memperkaya
kurikulum yang akan diajarkan kepada siswa.
Nah, ini kan berarti sebuah peluang emas bagi lembaga pendidikan seperti Sekolah Integral
Luqman Al Hakim ini. Dengan delapan profil lulusan (lihat halaman Tentang Kami) seperti yang
telah digariskan, tentu pilihan yang diambil harus jatuh kepada materi-materi yang dapat:
Coba jawab dengan jujur: adakah lembaga pendidikan yang mengajarkan dua hal tersebut?
Bagaimana dengan (lembaga) kita sendiri???
Satu pertanyaan yang selalu muncul dalam UbD dan menusuk tepat hingga ke jantung:
Boro-boro peduli dengan kemanfaatan ilmu yang diajarkan, masih ada kan guru yang muridnya
kabur dari kelas tapi dia tidak tahu?! Ada lagi guru yang tidak peduli apakah siswanya ‘hadir’ di
kelasnya atau tidak. Maksudnya, memang jasad sang siswa ada di bangkunya, tapi pikiran dan
nyawanya melayang entah kemana. Jadi kebanyakan dari kita para guru ini masih bermental
kondektur, alias kejar setoran hingga materi penghabisan.
Di dalam UbD guru dituntut untuk mengarahkan siswa kepada pemahaman konsep yang
berkelanjutan yang bisa ia manfaatkan hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Untuk menguji
pemahaman tersebut diperlukan bermacam rupa alat ukur penilaian yang harus dapat
mengoptimalkan berbagai potensi siswa. Sebut saja membuat laporan (atau poster) dan
mempresentasikannya. Dengan kata lain, sesungguhnya guru (yang berbasis UbD) dituntut untuk
kreatif merancang sebuah skenario pembelajaran.
Jika proses tersebut benar-benar dijalani, bisa Anda bayangkan, begitu kaya konsep yang bisa
dipahami dan hal-hal yang harus dilakukan oleh siswa untuk menyusun laporan hingga siap
mempresentasikannya. Tentu akan ada banyak sekali aspek kecerdasan yang terlibat. Begitu banyak
skill yang harus dilatihkan karena kebutuhan, bukan karena dijejalkan gurunya yang mengejar
setoran materi. Bahkan banyak hal positif yang tak terduga akan bermunculan sebagai hikmah dari
upaya pembelajaran yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Sebagai contoh, semester lalu salah seorang siswi SPiLuqkim harus belajar cara memasang DVD-
ROM hingga menginstal software untuk mengerjakan laporan di komputer miliknya. Untuk bisa
memasang DVD-ROM, dia harus tahu cara membuka cassing. Untuk bisa membuka cassing dia
harus bisa mengenali baut/mur pengencang cassing dan memilih alat yang tepat untuk
membukanya. Setelah cassing terbuka, dia harus tahu yang namanya drive bay, kabel power, kabel
data ATA 66, socket primary/secondary IDE, setting jumper untuk master/slave, dan lain
sebagainya.
Padahal, tidak ada kan kurikulum “PC Hardware Assembling and Maintenance” dalam KTSP
tingkat SMP??? Lagipula, mau dimasukin ke mata pelajaran mana segala tetek bengek yang
dipelajari siswi itu?! Itu semua muncul (cuma) karena dia termotivasi untuk mengerjakan laporan
dengan sebaik-baiknya.
Cerita akan jadi lain jika prosesnya dibalik. Siswi diajari tentang merakit komputer, bla…bla…
bla… Tanpa pernah paham manfaat buat dirinya. Padahal, kita maklum berapa banyak sih
perempuan yang mau direpotin dengan pekerjaan mekanikal-elektrikal seperti itu?! Belum lagi
resiko rusak atau kesetrum. Jadi, skill tersebut dipelajari karena sang siswi sendiri yang merasa
butuh dan mencari tahu.
Memang, seringkali terlampau sulit untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan sebuah
ilmu/materi atau konsep. Jika ditanya, apa manfaat puasa? Barangkali sebagai guru kita bisa dengan
mudah membuat siswa menjawab (dengan membebek), “Puasa ramadhan adalah perintah ALLAH
yang wajib dikerjakan dan sebagian dari rukun Islam. Jika dikerjakan kita mendapat pahala, jika
ditinggalkan kta berdosa. Dengan berpuasa kita bisa merasakan penderitaan kaum fakir miskin.”
Tapi apakah kita yakin jawaban itu sudah cukup mengindikasikan bahwa sang siswa telah
memahami tentang hakikat ‘puasa’. Lalu, kalau sudah merasakan lapar seperti kaum fakir miskin,
so what???
Kita sendiri bahkan baru benar-benar memahami sebuah ilmu/materi atau konsep setelah ditempa
oleh pasang dan surutnya dinamika kehidupan. Karena itu, perlu juga ditumbuhkan sikap positif
dalam diri siswa seperti ini:
Mungkin sekarang saya belum tahu manfaat ilmu/materi ini, tapi saya yakin suatu saat pasti akan
berguna, karena ALLAH tidak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia, setidaknya dengan
mempelajari ilmu/materi ini saya dapat melatih keterampilan berpikir saya…
Sebagai penutup…
Konsep UbD hanya akan berguna jika guru dan lembaga pendidikan telah memiliki paradigma
yang baru. Semua pihak harus sepakat dan memiliki kesadaran bahwa proses pendidikan adalah
proses membangun karakter dan membekali peserta didik dengan keterampilan yang berguna.
Sekolah, guru, dan ortu/wali tidak boleh lagi hanya berfokus dan sibuk dengan tetek bengek urusan
akreditasi, sertifikasi, dan UAN.
Guru yang masih sibuk kejar setoran, baik setoran materi pelajaran maupun setoran materi ‘fulus’,
dijamin tidak akan pernah sanggup melaksanakan konsep UbD. Karenanya ia tidak akan sanggup
mengisi waktu hidup sang siswa dengan ‘pelajaran hidup’ yang berkualitas.
Understanding by Design (UbD) bukan barang baru di luar negeri. Karena itu banyak sekali
resources yang membahas UbD ini. Tapi harap maklum, teksnya berbahasa Inggris. Apakah ini
menjadi hambatan bagi guru-guru Indonesia? Buktikan sendiri ya… Mau berubah, gak???
1. UbD Resources
2. Authentic Education
3. Understanding by Design Exchange by ASCD
4. atau Anda bisa googling dengan mengetikkan keyword yang berkaitan, happy hunting!
Share this:
StumbleUpon
Digg
Reddit
This entry was posted in Akademik, Posting and tagged Akademik, pemikiran, sukses. Bookmark the
permalink.
← Menyambut Datangnya Musim Ujian…
What an AMAZING article! Only few teachers think deeply about this. Keep becoming the
agent of change. ALLAH is always with you.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT SYARI’AT ISLAM YANG MULIA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kaum muda untuk
menyegerakan me-nikah sehingga mereka tidak berkubang dalam kemak-siatan, menuruti hawa
nafsu dan syahwatnya. Karena, banyak sekali keburukan akibat menunda pernikahan. Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka
menikahlah! Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji
(kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum
itu dapat memben-tengi dirinya.”[1]
Anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk segera menikah mengandung berbagai
manfaat, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, di antaranya:
Dengan menikah, seseorang akan terpelihara dari perbuatan jelek dan hina, seperti zina, kumpul
kebo, dan lainnya. Dengan terpelihara diri dari berbagai macam perbuatan keji, maka hal ini adalah
salah satu sebab dijaminnya ia untuk masuk ke dalam Surga.
“Artinya : Barangsiapa yang menjaga apa yang ada di antara dua bibir (lisan)nya dan di antara dua
paha (ke-maluan)nya, aku akan jamin ia masuk ke dalam Surga.” [2]
[6]. Ia Juga Akan Termasuk Di Antara Orang-Orang Yang Ditolong Oleh Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang ditolong oleh Allah,
yaitu orang yang menikah untuk memelihara dirinya dan pandangannya, orang yang berjihad di
jalan Allah, dan seorang budak yang ingin melunasi hutangnya (menebus dirinya) agar merdeka
(tidak menjadi budak lagi). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: (1) mujahid fi
sabilillah, (2) budak yang menebus dirinya agar merdeka, dan (3) orang yang menikah karena ingin
memelihara kehor-matannya.” [3]
“Artinya : … dan pada persetubuhan salah seorang dari kalian adalah shadaqah…” [4]
Seseorang yang berlimpah harta belum tentu merasa tenang dan bahagia dalam kehidupannya,
terlebih jika ia belum menikah atau justru melakukan pergaulan di luar pernikahan yang sah.
Kehidupannya akan dihantui oleh kegelisahan. Dia juga tidak akan mengalami mawaddah dan cinta
yang sebenarnya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Artinya : Tidak pernah terlihat dua orang yang saling mencintai seperti (yang terlihat dalam)
pernikahan.” [5]
Cinta yang dibungkus dengan pacaran, pada hakikatnya hanyalah nafsu syahwat belaka, bukan
kasih sayang yang sesungguhnya, bukan rasa cinta yang sebenarnya, dan dia tidak akan mengalami
ketenangan karena dia berada dalam perbuatan dosa dan laknat Allah. Terlebih lagi jika mereka
hidup berduaan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Mereka akan terjerumus dalam lembah perzinaan
yang menghinakan mereka di dunia dan akhirat.
Berduaan antara dua insan yang berlainan jenis merupakan perbuatan yang terlarang dan hukumnya
haram dalam Islam, kecuali antara suami dengan isteri atau dengan mahramnya. Sebagaimana
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Artinya : angan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, kecuali si wanita
itu bersama mahramnya.” [6]
Mahram bagi laki-laki di antaranya adalah bapaknya, pamannya, kakaknya, dan seterusnya.
Berduaan dengan didampingi mahramnya pun harus ditilik dari kepen-tingan yang ada. Jika
tujuannya adalah untuk ber-pacaran, maka hukumnya tetap terlarang dan haram karena pacaran
hanya akan mendatangkan kegelisahan dan menjerumuskan dirinya pada perbuatan-perbuatan
terlaknat. Dalam agama Islam yang sudah sempurna ini, tidak ada istilah pacaran meski dengan
dalih untuk dapat saling mengenal dan memahami di antara kedua calon suami isteri.
Sedangkan berduaan dengan didampingi mahramnya dengan tujuan meminang (khitbah), untuk
kemudian dia menikah, maka hal ini diperbolehkan dalam syari’at Islam, dengan ketentuan-
ketentuan yang telah dijelaskan pula oleh syari’at.
“Artinya : Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.” [7]
[10]. Menikah Dapat Menjadi Sebab Semakin Banyaknya Jumlah Ummat Nabi Muhammad
Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
Termasuk anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah menikahi wanita-wanita yang
subur, supaya ia memiliki keturunan yang banyak.
Seorang yang beriman tidak akan merasa takut dengan sempitnya rizki dari Allah sehingga ia tidak
membatasi jumlah kelahiran. Di dalam Islam, pembatasan jumlah kelahiran atau dengan istilah lain
yang menarik (seperti “Keluarga Berencana”) hukumnya haram dalam Islam. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam justru pernah mendo’akan seorang Shahabat beliau, yaitu Anas bin
Malik radhiyallaahu ‘anhu, yang telah membantu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama
sepuluh tahun dengan do’a:
“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya dan berkahilah baginya dari apa-apa yang Engkau
anugerahkan padanya.” [8]
Dengan kehendak Allah, dia menjadi orang yang paling banyak anaknya dan paling banyak
hartanya pada waktu itu di Madinah. Kata Anas, “Anakku, Umainah, menceritakan kepadaku
bahwa anak-anakku yang sudah meninggal dunia ada 120 orang pada waktu Hajjaj bin Yusuf
memasuki kota Bashrah.” [9]
Semestinya seorang muslim tidak merasa khawatir dan takut dengan banyaknya anak, justru dia
merasa bersyukur karena telah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
mulia. Allah ‘Azza wa Jalla akan memudahkan baginya dalam mendidik anak-anaknya, sekiranya
ia bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi Allah ‘Azza wa Jalla tidak
ada yang mustahil.
Bagi seorang muslim yang beriman, ia harus yakin dan mengimani bahwa Allah-lah yang
memberikan rizki dan mengatur seluruh rizki bagi hamba-Nya. Tidak ada yang luput dari
pemberian rizki Allah ‘Azza wa Jalla, meski ia hanya seekor ikan yang hidup di lautan yang sangat
dalam atau burung yang terbang menjulang ke langit. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Artinya : Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin
Allah rizkinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis)
dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” [Huud : 6]
Pada hakikatnya, perusahaan tempat bekerja hanyalah sebagai sarana datangnya rizki, bukan yang
memberikan rizki. Sehingga, setiap hamba Allah ‘Azza wa Jalla diperintahkan untuk berusaha dan
bekerja, sebagai sebab datangnya rizki itu dengan tetap tidak berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza
wa Jalla dalam usahanya mencari rizki. Firman Allah ‘Azza wa Jalla:
Artinya : “Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan
baginya dalam urusannya.” [Ath-Thalaq : 4]
Jadi, pada dasarnya tidak ada alasan apa pun yang membenarkan seseorang membatasi dalam
memiliki jumlah anak, misalnya dengan menggunakan alat kontrasepsi, yang justru akan
membahayakan dirinya dan suaminya, secara medis maupun psikologis
APABILA BELUM DIKARUNIAI ANAK
Allah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu, Mahaadil, Maha Mengetahui, dan Mahabijaksana
meng-anugerahkan anak kepada pasangan suami isteri, dan ada pula yang tidak diberikan anak.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Artinya : Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki,
memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki
kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan
menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.” [Asy-
Syuuraa : 49-50]
Apabila sepasang suami isteri sudah menikah sekian lama namun ditakdirkan oleh Allah belum
memiliki anak, maka janganlah ia berputus asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaklah ia
terus berdo’a sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam dan Zakariya ‘alaihis salaam telah berdo’a
kepada Allah sehingga Allah ‘Azza wa Jalla mengabulkan do’a mereka.
Do’a mohon dikaruniai keturunan yang baik dan shalih terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu:
“Ya Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.”
[Ash-Shaaffaat : 100]
“…Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” [Al-
Furqaan : 74]
“…Ya Rabb-ku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan Engkau-
lah ahli waris yang terbaik.” [Al-Anbiyaa' : 89]
“…Ya Rabb-ku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar do’a.” [Ali ‘Imran : 38]
Suami isteri yang belum dikaruniai anak, hendaknya ikhtiar dengan berobat secara medis yang
dibenarkan menurut syari’at, juga menkonsumsi obat-obat, makanan dan minuman yang
menyuburkan. Juga dengan meruqyah diri sendiri dengan ruqyah yang diajarkan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan terus menerus istighfar (memohon ampun) kepada Allah atas segala dosa.
Serta senantiasa berdo’a kepada Allah di tempat dan waktu yang dikabulkan. Seperti ketika thawaf
di Ka’bah, ketika berada di Shafa dan Marwah, pada waktu sa’i, ketik awuquf di Arafah, berdo’a di
sepertiga malam yang akhir, ketika sedang berpuasa, ketika safar, dan lainnya.[10]
Apabila sudah berdo’a namun belum terkabul juga, maka ingatlah bahwa semua itu ada hikmahnya.
Do’a seorang muslim tidaklah sia-sia dan Insya Allah akan menjadi simpanannya di akhirat kelak.
Janganlah sekali-kali seorang muslim berburuk sangka kepada Allah! Hendaknya ia senantiasa
berbaik sangka kepada Allah. Apa yang Allah takdirkan baginya, maka itulah yang terbaik. Allah
Maha Mengetahui, Maha Penyayang kepada hamba-hambaNya, Mahabijaksana dan Mahaadil.
Bagi yang belum dikaruniai anak, gunakanlah kesempatan dan waktu untuk berbuat banyak
kebaikan yang sesuai dengan syari’at, setiap hari membaca Al-Qur-an dan menghafalnya, gunakan
waktu untuk membaca buku-buku tafsir dan buku-buku lain yang bermanfaat, berusaha membantu
keluarga, kerabat terdekat, tetangga-tetangga yang sedang susah dan miskin, mengasuh anak yatim,
dan sebagainya.
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember
2006]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/378, 425, 432), al-Bukhari (no. 1905, 5065, 5066),
Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081), an-Nasa-i (VI/56, 57), ad-Darimi (II/132), Ibnu Jarud
(no. 672) dan al-Baihaqi (VII/77), dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6474, 6807), dari Sahl bin Sa’ad
radhiyallaahu ‘anhu.
[3]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/251), an-Nasa-i (VI/61), at-Tirmidzi (no. 1655),
Ibnu Majah (no. 2518) dan al-Hakim (II/160, 161), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu
‘anhu. Lihat al-Misykah (no. 3089).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1006), al-Bukhari dalam al-Adaabul Mufrad
(no. 227), Ahmad (V/167, 168), Ibnu Hibban (no. 4155—at-Ta’liiqatul Hisaan) dan al-Baihaqi
(IV/188), dari Abu Dzarr radhiyallaahu ‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1847), al-Hakim (II/160), al-Baihaqi
(VII/78) dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 624).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/26, 222), al-Bukhari (no. 1862) dan Muslim (no.
1341) dan lafazh ini menurut riwayat Muslim, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no.
38), Abu Dawud (no. 2880), an-Nasa’i (VI/251), at-Tirmidzi (no. 1376, Ibnu Khuzaimah (no.
2494), Ibnu Hibban (no. 3016) dan lainnya, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Irwaa’ul
Ghaliil (no. 1580).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6334, 6344, 6378, 6380) dan Muslim (no.
2480, 2481).
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1982). Lihat Fat-hul Baari (IV/228-229).
Sandal Jepit
Istriku
Senin, 21 April 2008
Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang
memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini,
makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang,
sedang perkedelnya asin tak ketulungan.
"Ummi... Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau tak keasinan,
kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak
menggerutu.
"Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak
Rasul? Ucap isteriku kalem.
"Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan
terus menerus seperti ini!" Jawabku masih dengan nada tinggi.
Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam.
Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya merebak.
***
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput
harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku. Namun apa yang terjadi? Ternyata kenyataan
tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh
keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian bersih yang
belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian,
wouw! berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari
direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar
sambil mengurut dada.
"Ummi... Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini?" ucapku
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi... isteri sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian,
tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak,
nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah?"
Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu.
"Ah...wanita gampang sekali untuk menangis," batinku. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng.
Katanya mau jadi isteri shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah
melihat air matanya menganak sungai.
"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena
memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja, jalan saja susah. Ummi kan
muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi isak
tangis. "Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku
lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
Hamil muda?!?! Subhanallah … Alhamdulillah…
***
Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi... Abi kan sibuk sekali hari ini.
Berangkat sendiri saja ya?" ucapku.
"Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,"
jawab isteriku.
"Lho, kok bilang gitu...?" selaku.
"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau
bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-
mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi.
***
Pertemuan dengan mitra usahaku hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang
ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya.
Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu
berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu
satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang
suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin.
Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah.
Kuperhatikan ada inisial huruf M tertulis di sandal jepit itu. Dug! Hati ini menjadi luruh.
"Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal
yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini,
kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana-
mana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus.
"Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping.
Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan
cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu,
kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku
menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku
berakhir ketika sesosok tubuh berabaya gelap dan berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidah (*)
ku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju
berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-
diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.
Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun
untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik
semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah
dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah
kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik
terhadap keluarganya."
Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya
dengan baik. Sedang aku terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat
melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terzalim!
"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke
arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun,
kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.
"Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, baru kali ini aku melihat isteriku segirang ini.
"Ah, betapa manisnya wajah istriku ketika sedang kegirangan… kenapa tidak dari dulu kulakukan
menjemput isteri?" sesal hatiku.
***
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali
mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah, jazakallahu...," ucapnya dengan suara mendalam dan
penuh ketulusan.
Ah, Maryamku, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku.
Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud (**) dan 'iffah (***) sepertimu?
Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar
karena perhatianku?
Keterangan
(*) mujahidah : wanita yang sedang berjihad
(**) zuhud : membatasi kebutuhan hidup secukupnya walau mampu lebih dari itu
(***) ‘iffah : mampu menahan diri dari rasa malu
Dialog ini dihadiri Menkominfo Tifatul Sembiring, anggota komisi I DPR RI Irwan Prayitno
dan sekretaris LKAAM Sumbar Sayuti dimoderatori guru besar sosiologi Unand Damsar.
Tifatul dalam dialog tersebut mengatakan, pada orang Minangkabau melekat karakter optimistis. "Sebagai
orang Minang kita harus optimis, jangan jadi bangsa pengeluh," ujarnya.
Ia menambahkan sifat orang pengeluh tidak akan jadi pemenang. Ini bukan sifat orang Minang yang
menurut dia dulu empat langkah lebih di depan daripada orang China, yang saat ini lebih menguasai bidang
perekonomian.
Di sisi lain Tifatul menyebut dampak kemajuan teknologi bagi akhlak generasi muda. "Berdasarkan hasil
riset pada 400 ribu remaja di 12 kota besar di Indonesia 97% di antaranya sudah pernah nonton film porno,
melakukan oral seks 92,7%, pernah berzina 67,2% dan 21% siswa SMU pernah aborsi," katanya.
Dialog ini juga dihadiri tokoh masyarakat Bukittinggi, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang,
organisasi massa, organisasi profesi dan media cetak. Hadir juga Bupati Padang Pariman Muslim Kasim
dan Wakil Walikota Padang Mahyeldi Ansharullah.
Irwan Prayitno pada dialog ini mengatakan pascagempa 30 September 2009 Sumbar harus segera bangkit,
bangkit secara khusus dengan melakukan pembenahan infrastruktur dan fasilitas umum. Menurut Irwan,
jalan keluarnya hanya uang APBD, APBN dan jika tidak bisa juga bantuan pihak ketiga harus juga
diupayakan.
"Secara umum orang Minang punya potensi kepribadian yang sudah mengakar sudah sejak lama seperti
berdagang dan bertani," kata Irwan. Untuk membangun kembali Sumatera Bart menurut dia hal ini harus
dipacu lagi dengan mengupgrade dan mengaktualisasikan segala potensi yang dimiliki orang Minang hingga
dapat bersaing dengan suku bangsa lain.
"Kuncinya pada komunikasi dan sinergitas antarpemerintah daerah, masyarakat dan LSM serta menjalain
silahturrahmi dengan masyarakat rantau," ujar Irwan.
Sekretris LKAAM Sumbar Sayuti mengatakan yang harus diperbaiki dulu sekarang karakteristik kepribadian
selaku orang Minang. "Caranya dengan memantapkan hidup bernagari, kembali ke surau dan keteladan
niniak mamak kepada kemenakan serta mengenalkan kembali karakteristik orang Minang seperti jika
perempuan harus pandai memasak dan menjahit sedangkan yang laki-lakinya pandai bertukang dan
berdagang, rajin solat dan mengaji," kata Sayuti.
Sayati menyebut banyak potensi yang belum terkelola dengan baik dalam membangun kembali keminangan
Sumatera Barat. Di antaranya di 12 kabupaten/kota itu terdapat 678 nagari, KAN 543, desa 125 dan
kelurahan 1259 yang belum bertukar nama menjadi nagari. Sedangkan untuk kegiatan keagamaan
sekarang ini terdapat 9000 mesjid yang rata-rata pada solat berjemaah tinggal 10 orang lansia per mesjid.
"Pembangunan mesjid meningkat Rp9 milyar, mushalla 12 ribu, surau 20 ribu, balai adat 300 buah yang
aktif cuman 30%, orang miskin 4,8 juta dari jumlah penduduk, ninik mamak 60 ribu 7,5% di antaranya miskin
dan 36 ribu penganggur terdiri atas 90% sarjana dan 10% nonsarjana," ujar Sayuti.
"Dari dialog ini diharapkan mampu membangkitkan spirit orang Minang untuk keluar dari trauma gempa dan
kembali membangun nagari,," kata Ketua�FPK-SB Darwin. (Rahmat)
Dapurku Surgaku
“Ukh, bingung nih mau masak apa buat suami. Ibu saya tadi datang bawa terong, tapi sayang
bingung, terongnya harus diapain. Emang terong bisa dimasak apa aja sih, Ukh? Saya nyesel
kenapa nggak dari dulu belajar masak…”
Kejadian di atas dialami salah seorang sahabat penulis seminggu pasca-menikah. Berangkat dari
kejadian tersebut, penulis merasa perlu berbagi pengalaman bahwa memasak ternyata punya peran
tersendiri dalam sebuah rumah tangga. Mungkin kejadian di atas tidak perlu membuahkan masalah
jika si istri ternyata piawai dalam hal masak-memasak. Namun, bagaimana dengan mereka yang
mengenal bumbu dapur saja tidak bisa?
Pentingkah Memasak?
Memasak merupakan aktivitas yang banyak dilakoni oleh para wanita sejak turun temurun. Meski
sekarang tidak sedikit pula laki-laki yang handal memasak, namun dalam kehidupan rumah tangga,
memasak tetap harus diperani oleh wanita. Sekilas kita lihat aktivitas ini mungkin sangat remeh-
temeh. Tetapi pada prakteknya tidak akan semudah itu. Orang yang mengaku bisa masak pun
terkadang suka dihampiri rasa tak percaya diri ketika masakannya harus dicicipi orang lain. Maka
tidak heran jika para pengamat seni menempatkan masakan sebagai karya seni yang paling
berharga di antara semua karya seni lainnya.
Begitu pentingnya memasak hingga tak jarang kita jumpai banyak orang yang terkagum-kagum
dengan seseorang yang menguasai bidang ini. Pun seorang istri yang pintar masak. Dengan
keahliannya tersebut akan membuat suaminya betah di rumah dan malas membeli makan di luar.
Masakan yang enak bisa menjadi salah satu perekat cinta seorang suami kepada istrinya. Bahkan
memasak untuk menyenangkan suami bisa menjadi ladang pahala jika diniatkan untuk ibadah
kepada Allah. Karena salah satu ciri istri shalihah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
memenuhi semua hal yang disukai suaminya selama tidak dalam bermaksiat kepada Allah.
Saudariku –yang semoga senantiasa dirahmati Allah- apakah kalian menyadari bahwa kegiatan
memasak ini ternyata bisa sekaligus menjadi kegiatan ibadah? Sebagai seorang muslimah kita
diamanahkan untuk bertanggung jawab atas rumah kita dan menyiapkan makanan kepada semua
orang yang ada di dalamnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.
Penguasa adalah pemimpin, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah
pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Jadi, setiap kalian adalah pemimpin dan
setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)
Untuk itu tidak ada salahnya bagi seorang muslimah untuk menyiapkan santapan bagi keluarganya
sebaik mungkin, demi melayani hamba-hamba Allah yang shalih, semisal suami, anak-anak, orang
tua, dan semua orang yang ikut menikmati masakan yang kita masak. Dengan begitu, seorang
muslimah akan ikut mengecap pahala yang Allah berikan kepada mereka, di mana sebenarnya kita
sudah ikut membantu amal perbuatan mereka.
Memasak tidak hanya sekedar kegiatan meramu bumbu dan bahan makanan hingga terciptalah
masakan lezat yang siap santap. Namun memasak juga bisa menjadi media kita untuk memikirkan
dan mensyukuri semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Jika kita cermati, semuanya
adalah rezeki yang telah Allah tentukan kepada kita. Karunia tersebut terlimpah dengan begitu
mudah kepada kita setelah melalui proses campur tangan banyak orang.
Kita perhatikan saja sayur-sayuran yang kita santap. Akan kita dapati bahwa di sana ada yang
menanaminya, ada yang mengumpulkan panennya, ada penjualnya, serta masih banyak lagi
manusia yang berperan di dalamnya. Mereka dijadikan oleh Allah untuk melayani kita dan anggota
keluarga kita. Padahal pada hakikatnya Allah-lah yang menanam dan menghidupkan sayuran
tersebut sebagaimana firman-Nya, yang artinya,
“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah
Kami yang menumbuhkan?” (Qs. Al Waqi’ah: 63-64)
Begitupun dengan nikmat yang lain yang banyak kita jumpai di meja makan kita. Allah berfirman
mengenai hal ini, yang artinya,
“Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu
pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi
yang mempunyai mayang yang tersusun-susun, (sebagai) rezeki bagi hamba-hamba Kami……”
(Qs. Qaf: 9-11)
Adapun dalam memasak, hendaklah kita usahakan memasak berdasarkan apa yang menjadi
kesukaan suami dan anak-anak serta keluarga kita. Ini semua dilakukan dengan harapan dapat
membuat suami dan keluarga bahagia, demi wujud ketaatan kita kepada Allah. Cobalah tanyakan
kepada mereka makanan apa saja yang mereka sukai, jika cara tersebut bisa menyenangkan mereka.
Kadang kita dapati seorang suami ternyata lebih pintar memasak daripada istrinya. Jika hal ini yang
kita alami, janganlah merasa malu untuk belajar dari suami kita. Kita juga bisa menggunakan
momen memasak bersama sebagai kesempatan untuk bercengkrama dengan suami sehingga
terciptalah suasana kemesraan yang akan menambah rasa cinta di hati masing-masing.
Saudariku, sebagai seorang muslimah yang ingin selalu meraih ridha Allah di setiap kesempatan,
maka kita bisa memanfaatkan waktu-waktu kita di dapur untuk menjadi sarana mendekatkan diri
kita kepada-Nya.
Berikut ini hikmah-hikmah yang bisa kita gali dari aktivitas memasak kita sehari-hari:
1. Saat masakan kita telah matang, maka hadirkanlah dalam benak kita betapa Allah telah
menganugerahkan kepada kita nikmat untuk bisa menyelesaikan pekerjaan kita.
2. Saat memasak, cobalah untuk mengingat bahwa di luar sana masih banyak dapur-dapur
yang tidak mengepul. Alangkah indahnya jika kita biasakan untuk selalu mengingat nasib
fakir miskin, anak yatim, dan orang-orang yang membutuhkan yang ada di lingkungan
tempat tinggal kita. Jika memungkinkan, kita bisa menyisakan sedikit dari jatah makan kita
untuk mereka sebagai bentuk kepedulian kita terhadap mereka.
3. Ketika mencium aroma sedap masakan kita, saat itu ingatlah tetangga kita. Sebab bisa jadi
tetangga kita juga turut mencium aroma masakan tersebut. Akan lebih baik lagi jika kita
menghadiahkan sebagian masakan tersebut kepada mereka, khususnya untuk masakan-
masakan spesial yang kita masak. Dengan hal ini akan mengakibatkan tumbuhnya rasa
cinta, saling menghargai dan memperbaiki hubungan tetangga.
4. Dampak yang bisa kita peroleh dari sini adalah tetangga kita akan menghormati dakwah ini.
Inilah di antara sarana yang paling sukses dan paling sederhana untuk memperkuat tali
hubungan sosial dan menyuburkan sensitivitas perasaan hati kita. Bukankah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, maka
kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
5. Bagi yang sudah memiliki anak, mulailah untuk membiasakan mereka untuk ikut serta
membantu kita memasak. Misalnya bisa dengan mempersiapkan bahan-bahan memasak,
sehingga mereka benar-benar terampil. Di samping untuk mengenalkan apa-apa yang ada di
dapur, hal ini juga untuk membuat mereka turut merasakan beban berat yang kita pikul.
Sehingga mereka akan memberi penghormatan dan akan mudah memahami diri kita.
6. Ketika mengunjungi kerabat dan teman-teman dekat, kita bisa memilih masakan karya kita
sendiri sebagai oleh-oleh untuk mereka.
Terakhir, sebelum melakukan kegiatan memasak, ada aktivitas lain yang biasa sering kita lakukan
yakni berbelanja di pasar. Bila kita cermati, kegiatan belanja ini bisa kita gunakan sebagai
perkenalan dengan para penjual langganan kita. Ini juga sebagai sarana untuk menjalin tali
persaudaraan dengan mereka, atau sebagai bentuk interaksi kita dengan masyarakat, dengan catatan
kita tetap harus memperhatikan adab-adab berinteraksi dengan penjual. Kesempatan ini bisa pula
menjadi sarana dakwah kita kepada mereka. Di sela-sela interaksi dengan mereka, kita dapat
mengenalkan hal-hal yang halal dan haram dalam masalah jual beli, dan hal-hal lain yang mungkin
sering dipertanyakan banyak orang.
Mulailah Belajar
Bagi sebagian yang lain, memasak mungkin menjadi masalah bagi mereka. Ada beberapa faktor
yang membuat seorang muslimah enggan untuk memasak. Salah satunya adalah rasa malas untuk
belajar, di samping juga faktor kesibukan di luar rumah serta banyaknya warung makan yang
menawarkan jasa catering untuk mereka yang tidak sempat memasak.
Jika hal tersebut berlangsung terus menerus apakah tidak boros? Bagaimana jika suami atau anak-
anak berkeinginan mencoba hasil masakan kita. Apa kita masih akan memilih makanan dari luar
terus? Tentu kita tidak ingin seperti itu. Untuk itu, bagi yang belum pintar masak, buanglah rasa
malas dan teruslah berlatih. Setelah terbiasa, nanti akan terbukti bahwa memasak itu bukanlah hal
yang sulit, apalagi jika diniatkan untuk ibadah.
Untuk memasak kita memang akan sedikit repot. Mempersiapkan segala sesuatunya, dari perapian,
peralatan sampai bahan, belum nanti jika sudah selesai harus membersihkan atau membereskan
semuanya. Agak melelahkan memang. Namun kelelahan itu akan segera berganti kebanggaan dan
kebahagiaan ketika suami dan anak-anak kita menyantap masakannya dengan lahap.
Nah, bagaimana saudariku? Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama bagi
penulis sendiri. Kita memohon pertolongan Allah agar selalu memberi kita kemudahan dalam
menunaikan tugas-tugas kita sebagai muslimah. Allahu Ta’ala a’lam.
Maroji’:
1. Inilah Kriteria Muslimah Dambaan Pria (terj.), Abu Maryam Majdi bin Fathi As-Sayyid,
Pustaka Salafiyyah.
2. Manajemen Istri Shalihah (terj.), Muhammad Husain Isa, Ziyad Books Surakarta.
3. Majalah Nikah vol. 5, No. 11 Edisi Muharram 1428 H.
***
Artikel www.muslimah.or.id
Bagi suami yang suka memanjakan selera makan, pandai memasak mungkin menjadi ‘keharusan’
bagi istrinya. Begitu juga bagi para suami yang mempunyai kecenderungan melirik ‘barang bagus’
di jalan, pandai berdandan juga menjadi hal yang mutlak bagi istrinya. Tapi di luar kedua
kepandaian di atas, tidak adakah kepandaian lain yang bisa dihadirkan seorang istri pada suaminya?
ADA. Tidak semua laki-laki terpesona oleh kepandaian seorang perempuan memasak atau
berdandan. Ada juga sosok laki-laki yang mencintai istrinya apa adanya dengan segenap potensi
yang ada pada diri si belahan jiwa. Laki-laki ini tak menuntut si istri untuk pintar memasak apalagi
berdandan. Tipe suami jenis ini sudah merasa bersyukur dengan keberadaan istri yang mampu
menjadi partner diskusi dan tempat berbagi yang asyik.
….Sosok laki-laki yang bersyukur dan mencintai istri apa adanya dengan segenap potensi yang ada
pada diri si belahan jiwa….
Suami jenis ini tak meributkan rasa makanan yang ada. Biarpun sayur yang disajikan istri rasanya
terlalu asin atau bahkan terlalu manis, ia selalu tersenyum dan mengucap terima kasih. Bilapun tak
menyukai masakan jenis tertentu, ia tak mencela. Ia selalu menjaga perasaan istri dan berusaha
membahagiakan semampunya.
Ia tak pernah menuntut istri berdandan karena menurutnya si istri sudah terlihat cantik dengan
pesona shalihah yang ada pada dirinya. Tampil alami tanpa riasan membuatnya semakin cinta pada
istri karena di luar sana, ia sudah muak dengan tebalnya riasan para wanita. Lagipula bukan karena
riasan, dandanan atau ‘make up’ itu yang membuatnya mencintai si istri, tapi keutuhan pribadi
sebagai seorang muslimah shalihahlah yang telah menawan hatinya. Jadi cukup itu saja yang ia
mau dari perempuan yang telah menjadi belahan jiwanya itu.
….Laki-laki shalih yang menjadikan Muhammad sebagai cermin hidupnya, akan memuliakan
perempuan terutama istrinya dengan seluruh kelebihan dan kekurangannya….
Jadi, untuk para muslimah yang saat ini masih belum terampil memasak dan berdandan, tak usah
berkecil hati. Masih ada stock laki-laki shalih yang tak menuntut pada istri. Sebaliknya, ia
menghargai sekali keistimewaan pada diri pasangannya yang itu tidak selalu berupa kepandaian
memasak dan berdandan. Kualitas seperti ini hanya ada pada diri laki-laki yang menjadikan
Muhammad sebagai cermin hidupnya. Laki-laki shalih yang akan memuliakan perempuan terutama
istrinya dengan seluruh kelebihan dan kekurangannya. Berdoa saja semoga di antara kalian
mendapat salah satu dari laki-laki (suami) idaman ini. Insya Allah ^_^ [ria fariana/voa-islam.com]