You are on page 1of 10

Definisi Hak http://islamfeminis.wordpress.

com/2007/04/19/menjawab-mis-
undertanding-antara-anjuran-dan-kewajiban-versi-imam-khumaini-ra-1-relasi-hak-dan-
kewajiban/

Dalam teks-teks ilmu ushul dan fikih, terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan
kata “hak”. Di antaranya, ada yang mengartikan hak sebagai sebuah kepemilikan
(milkiyah), kepenguasaan (sulthaniyah), sesuatu yang bersifat abstrak, dan sebagian
lainnya mengartikan sebagai kebebasan (ikhtiyar) dalam bertindak. Namun, dapat
dikatakan definisi hak yang terbaik adalah bahwa hak merupakan sebuah penguasaan
(sulthaniyah), bukan suatu kepemilikan (milkiyah). Kita dapat mencermati hal ini dari
definisi hak yang terdapat dalam fikih yang memiliki makna kepenguasaan, “Alhaqqu
sulthanatun fi’liyatun la yu’qal tharafaiha bi asy-syakhsyin wahidin , la yajra li ahadin illa
jaraa alaihi wa la yajraa alaihi illa jaraa lahu” (Hak adalah penguasaan realistis yang
kedua sisinya tidak dapat diterima jika terdapat dalam satu pribadi. Tidak akan terlaksana
pada satu pribadi, kecuali telah dilaksanakan atasnya. Dan tidak akan dilaksanakan
atasnya, kecuali telah terlaksana baginya).

Jadi jelas bahwa hak merupakan kekuasaan atas sesuatu yang tidak mungkin dapat
diterapkan kedua sisinya pada satu orang. Akan tetapi, ia harus berdiri tegak pada dua
orang: orang pertama sebagai pemilik hak yang dapat mengambil manfaat dan orang
kedua sebagai pemenuh hak orang lain. Oleh karena itu, secara fikih, hak tidak bisa
dimasukkan pada kategori kepemilikan. Karena ada tiga perbedaan mendasar antara hak
dan kepemilikan. Pertama, selain pemilik hak dapat memakai dan meninggalkan haknya
tersebut, iapun dapat pula menggugurkan haknya tersebut. Atas dasar tersebut, maka
dikatakan; “li kulli dzi haqqin an yusqoth haqqahu” (setiap pemilik hak dapat
menggugurkan haknya). Perbedaan kedua, obyek hak selalu berupa pekerjaan, sedang
kepemilikan bisa juga berbentuk selain pekerjaan, termasuk kepemilikan atas benda.
Perbedaan ketiga adalah, kepemilikan masuk dalam kategori kekuasaan secara penuh dan
bersifat kuat, tidak seperti hak. Maksudnya, pemilik sesuatu dapat membelanjakan
apapun yang dimilikinya selama tidak bertentangan dengan syariat, sedang hak hanya
dapat dilaksanakan pada hal-hal tertentu yang berkaitan dengannya saja.[4]

Hak-hak dan Kewajiban Suami dan Istri dalam Perspektif Hukum Fikih

Dalam pembahasan ini, penulis tidak berusaha untuk membahas beberapa kewajiban dan
hak-hak suami istri berdasarkan fikih argumentatif, tetapi akan membawakan bahasan
fikih praktis salah satu marja. Sebagaimana kita ketahui, dalam madzhab Syi’ah terdapat
konsep taqlid dan berdasarkan konsep tersebut, orang-orang yang belum mencapai
derajat ijtihad, harus merujuk kepada ijtihad salah satu marja yang telah memenuhi
semua syarat yang telah ditentukan dalam praktek dan pelaksanaan hukum kesehariannya
(Jami’ li as-Syara’ith). Dengan berbagai argumen, penulis hanya akan membawakan
pendapat imam Khameini tentang masalah ini, di antaranya: Pertama, karena beliau
adalah pencetus revolusi Islam
Iran yang nota bene Syiah. Kedua, beliau merupakan sosok yang cukup dikenal di dunia.

Hak-hak Istri atas Suami:


Di mana ada hak, di situ ada kewajiban. Di bawah ini adalah hak-hak istri yang menjadi
kewajiban bagi suami.

1. Memberi nafkah, yang mencakup:

a. Pangan (makan).
b. b. Sandang (pakaian).

c. Papan (tempat tinggal).

2. Memaafkan Kesalahan Istri

Dalam Tahrir al-Wasilah imam Khameini menjelaskan: “Memaafkan kesalahan Istri, jika
kesalahan tersebut dilakukan karena ketidaktahuan(jahl)”.[16]

3. Berlaku Baik terhadap Istri

“Diwajibkan atas suami untuk berlaku baik terhadap istrinya, dan bertutur sapa dengan
baik sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis…”.[17] “Suami tidak berhak
memaksa istrinya, untuk melakukan pekerjaan rumah”.[18]

4. Hak untuk mendapatkan Nafkah Batin (Hubungan Biologis)

“Seorang suami tidak boleh meninggalkan hubungan biologis dengan istrinya lebih dari
empat bulan, bahkan untuk nikah mut’ah sekalipun. Kecuali istrinya merelakannya, atau
karena ada uzur (halangan) yang dapat membahayakan suami atau istri. Salah satu uzur
adalah suami tidak dapat berhubungan karena terdapat gangguan dalam alat kelamin.
Adapun meninggalkan hubungan biologis atas dasar tidak ada uzur seperti hal-hal yang
disebutkan di atas, maka bagi seseorang yang tidak musafir (tidak bepergian) wajib untuk
melaksanakannya. Adapun, bagi orang yang musafir, selama kepergian adalah untuk
keperluan darurat menurut pandangan umum (urf), seperti untuk berdagang, berziarah,
belajar dan sebagainya, maka ia dapat meninggalkan kewajibannya tersebut. Tetapi, jika
kepergiannya bukan karena urusan darurat, seperti untuk berrekreasi dan bersenang-
senang, maka ia harus melakukan kewajiban tersebut”.[19]
“Seorang suami tidak dapat membiarkan istrinya sehingga ia seperti seorang perempuan
yang tidak dapat dikatakan bersuami juga tidak dapat dikatakan tidak bersuami. Tapi,
walaupun demikian tidak harus tinggal bersama istrinya sekali dalam empat malam”.[20]
“Jika istrinya seorang gadis, maka pada tujuh hari pertama pernikahannya, suami harus
tidur bersama istrinya Namun jika istrinya seorang janda, maka hanya pada tiga hari
pertama saja, kecuali istrinya merelakannya hak-haknya”.[21]
http://www.enjoylecture.co.cc/2010/02/hak-dan-pendukungnya.html
Muhammad Handoko
Muhammad Ulil Husaini

1. Pengertian Hak
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan, bahwa:
Hak secara Etimologi berarti milik, ketetapan dan kepastian, sebagaimana disebutkan
dalam al-Quran:
Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan
mereka, karena mereka tidak beriman (Yasiin: 7).

Hak diartikan pula dengan menetapkan dan menjelaskan sebagaimana terdapat dalam
Surat al-Anfaal: 8
Agar Allah menetapkan yang hak (lslam) dan membatalkan yang batil (syirk)... (al-
Anfaal: 8).

Hak berarti juga dengan bagian (kewajiban yang terbatas) sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah:
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) muth'ah
menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa (al-Baqarah:
241).

Hak juga berarti kebenaran, yaitu lawan dari kebatilan, sebagaimana firman Allah:
Dan katakanlah: "Yang benar telah datang, dan yang batil telah lenyap.... (al-lsra': 81).

Hak juga berarti adil, lawan dari zalim, seperti firman Allah:
Dan Allah menghukum dengan keadilan... (al-Mu'min: 20).

Hak juga berarti bagian tertentu, seperti firman Allah:


Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang
meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta) (al-
Ma'arij: 24-25).

Setelah kita perhatikan pengertian-pengertian yang telah disebutkan di atas, maka jelas
berbeda dengan pengertian yang dipergunakan sehari-hari, baik hak yang bersifat materi
maupun non-materi.
Lebih lanjut akan dijelaskan pengertian hak, menurut ulama Fikih (Terminologi):
1) Menurut sebagian para ulama mutaakhkhirin:

"Hak adalah suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara".

2) Menurut Syekh Ali Al-Khafifi (Asal Mesir):

"Hak adalah kemaslahatan yang diperoleh secara Syara".


3) Ustadz Mustafa Ahmad Az-Zarqa' (Ahli Fikih Yordania asal Suriah) mengatakan:
“Hak adalan suatu kekhususan yang padanya di tetapkan syara, suatu kekuasaan atau
taklif”.
4) Ibnu Nujaim (Ahli Fikih Mazhab Hanafi) mengatakan:

"Hak adalah suatu kekhususan yang terlindungi".


Menurut Wahbah az-Zuhaili (ahli fikih Suriah), bahwa definisi yang dikemukakan oleh
Ibnu Nujaim dan Mustafa Ahmad az-Zarqa' adalah definisi yang komprehensif, karena
dari kedua definisi itu tercakup berbagai macam hak, seperti hak Allah terhadap hamba-
Nya (shalat, puasa, dan lain-lain), hak-hak yang menyangkut perkawinan, hak-hak umum
(hak negara dan hak harta benda) dan hak yang non-materi (hak perwalian atas
seseorang).

2. Rukun Hak
Menurut ulama fikih, ada dua rukun hak, yaitu pemilik hak dan objek hak, baik yang
bersifat materi maupun utang. Dalam pandangan Islam, yang menjadi pemilik hak adalah
Allah SWT., baik yang menyangkut hak-hak keagamaan, hak-hak pribadi atau hak-hak
secara hukum, seperti Perserikatan atau Yayasan. Dalam istilah fikih disebut Asy-Sakh-
Syiah al-‘Itibariyah Seorang manusia menurut ketetapan Syara' telah memiliki hak-hak
pribadi sejak ia masih janin dan hak-hak itu dapat dimanfaatkannya dengan penuh,
apabila janin lahir ke dunia dengan selamat. Namun hak-hak pribadi yang diberikan
Allah ini akan habis, bila pemilik hak itu meninggal dunia.

3. Macam-macam Hak
Ulama fikih mengemukakan, bahwa macam-macam hak dilihat dari berbagai segi:
1) Dari segi pemilik hak

Dilihat dari segi ini, hak terbagi menjadi 3 (tiga) macam:


(1) Hak Allah SWT. yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah
mengagungkan-Nya, seperti melalui berbagai macam ibadah, jihad, amar ma'ruf nahi
munkar. Demikian juga halnya seperti untuk mencapai kepentingan dan kemaslahatan
umum di alam ini, seperti penanggulangan bermacam persoalan yang berhubungan
dengan tindak pidana serta sanksi-sanksinya (jarimah) dan pemeliharaan terhadap
perangkat-perangkat kepentingan umum.
Hak-hak Allah ini tidak dapat dikaitkan dengan hak-hak pribadi. Hak-hak Allah ini,
disebut juga dengan hak masyarakat. Seluruh hak Allah tidak dapat digugurkan, baik
melalui perdamaian (Ash-Shulh), maupun pemaafan dan tidak boleh diubah. Lebih lanjut
ulama fikih mengatakan, bahwa hak-hak Allah ini tidak dapat diwariskan kepada ahli
waris.
Sehubungan dengan hak Allah ini, tidak boleh menggugurkannya dengan memaafkannya,
atau berdamai dan bahkan tidak boleh mengubahnya, seperti potong tangan bagi pencuri,
tidak boleh memaafkannya dan tidak boleh berdamai dengan pencuri itu, bila telah
sampai persoalannya kepada hakim (pengadilan). Demikian juga halnya seperti kasus
perzinaan tidak dibenarkan menggugurkan had (hukumnya), bila sudah sampai kepada
pengadilan. Umpamanya: Seorang suami memaafkan isterinya yang berzina, atau seorang
wanita yang membolehkan dia digauli atas dasar suka sama suka.
Namun, hendaknya jangan dipahami, bahwa sebelum sampai persoalannya kepada hakim
(pengadilan), boleh memaafkannya atau boleh berdamai. Sepanjang menyangkut hak
Allah, manusia tidak boleh mencampurinya.

(2) Hak manusia, yang pada hakikatnya untuk memelihara kemaslahatan setiap pribadi
manusia. Hak ini ada yang bersifat umum seperti menjaga (menyediakan) sarana
kesehatan, menjaga ketenteraman, melenyapkan tindakan kekerasan (pidana) dan
tindakan-tindakan lain yang dapat merusak tatanan pada umumnya.
Kemudian ada lagi hak manusia yang bersifat khusus, menjamin hak milik seseorang, hak
isteri mendapatkan nafkah dari suaminya, hak ibu memelihara anaknya, hak bapak
rnenjadi wali dari anak-anaknya, dan hak berusaha (berikhtiar) dan lain-lain yang sifatnya
untuk pribadi (individu).
Mengenai hak manusia ini, seseorang boleh menggugurkan haknya, memaafkannya dan
mengubahnya dan boleh pula mewariskannya kepada ahli waris. Jadi, ada kebebasan
berbuat dan bertindak atas dirinya sendiri.

(3) Hak berserikat (gabungan) antara hak Allah dan hak manusia.
Mengenai hak gabungan ini, adakalanya hak Allah yang lebih dominan (lebih berperan)
dan adakalanya hak manusia yang lebih dominan. Umpamanya: dalam masalah "idah"
terdapat dua hak, yaitu hak Allah berupa pemeliharaan terhadap nasab janin dari ayahnya,
agar tidak bercampur dengan nasab suami kedua. Disamping itu terdapat juga hak
manusia, yaitu pemeliharaan terhadap nasab anaknya. Dalam kasus ini, hak Allah lebih
dominan, karena pemeliharaan terhadap nasab seseorang merupakan kepentingan setiap
orang dan termasuk hak masyarakat. Karena itu hak-hak tersebut tidak dapat dimaafkan,
digugurkan atau diubah.

Contoh lain adalah: menjaga atau melindungi manusia (hidupnya, akalnya, kesehatannya
dan hartanya). Dalam masalah ini ada dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia, tetapi
hak Allah lebih dominan, karena manfaatnya menyeluruh kepada masyarakat banyak.
Kepentingan umum didahulukan dari kepentingan individu.
Dalam kasus qishash, juga terdapat dua hak, yaitu hak Allah berupa tindakan pencegahan
(preventif) bagi masyarakat dalam tindak pidana pembunuhan. Di samping itu ada hak
manusia, yaitu sebagai pengobat penawar kemarahannya dengan membunuh
(menghukum) pelaku pembunuhannya. Dalam masalah ini yang dominan adalah hak
manusia, sehingga dia boleh memaafkan, menggugurkan atau mengubah hukumnya.
Bahkan dipandang terpuji, bila dapat dimaafkan atau diadakan perdamaian (Ash-Sulh),
sebagaimana firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, bamba dengan bamba, dan
wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah keinginan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat……..
(al-Baqarah: 178).
Firman Allah:
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim,
maka sesunguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam rnembunuh. Sesunguhnya dia adalah
orang yang mendapat pertolongan (al-lsra': 33).

Kemudian hak manusia ada yang dapat digugurkan dan ada yang tidak dapat digugurkan:
a. Hak manusia yang dapatdigugurkan.
Pada dasarnya, seluruh hak yang berkaitan dengan pribadi, bukan yang berkaitan dengan
harta benda (materi), dapat digugurkan. Umpamanya: Hak qishash, hak syuf’ah dan hak
khiyar. Pengguguran hak pribadi ini dapat dilakukan dengan membayar ganti rugi, atau
tanpa ganti rugi.

b. Hak manusia yang tidak dapat digugurkan.


(1) Hak yang belum tetap, seperti hak isteri atas nafkah yang akan datang, atau seperti
hak khiyar pembeli sebelum melihat barang (obyek) yang dibeli, atau hak syuf’ah bagi
perima syuf’ah sebelum terjadi jual-beli.
(2) Hak yang dimiliki seseorang secara pasti berdasarkan atas ketetapan Syara', seperti
ayah atau kakek menggugurkan hak mereka untuk menjadi wali dari anakyang masih
kecil, atau hak wakaf atas benda yang diwakafkannya, karena hak wakaf itu berasal dari
miliknya.
(3) Hak-hak, yang apabila digugurkan berakibat berubah hukum-hukum Syara', seperti
suami menggugurkan haknya untuk kembali (rujuk) kepada isterinya dan seseorang
menggugurkan hak pemilikannya terhadap suatu benda (menggugurkan hak hibah dan
wasiat).
(4) Hak-hak, yang di dalamnya terdapat hak orang lain, seperti ibu menggugurkan haknya
dalam mengasuh anak, suami menggugurkan idah isteri yang ditalaknya; orang yang
dicuri hartanya menggugurkan hak hukuman potong tangan bagi si pencuri. Sebab semua
hak ini berserikat (gabungan). Apabila ada orang yang menggugurkan haknya, maka
tidak dibenarkan dia menggugurkan hak orang lain (hak Allah dan hak manusia dalam
kasus pencuri).

Kemudian para Ulama Fikih juga membagi hak pewarisan, yaitu:

a. Hak yang dapat diwariskan.


Hak yang dapat diwariskan menurut ulama fikih, di antaranya adalah hak-hak yang
dimaksudkan sebagai suatu jaminan atau kepercayaan, seperti hak menahan harta yang
dijadikan jaminan utang, menahan barang yang dijual sampai dibayarkan oleh
pembelinya.

b. Hak-hak yang tidak dapat diwariskan.


Mengenai hak-hak yang tidak dapat diwariskan, ulama fikih berbeda pendapat. Mazhab
Hanafi berpendapat, bahwa hak dan manfaat tidak dapat diwariskan, karena yang dapat
diwariskan hanya soal materi (harta benda) saja, sedangkan hak dan manfaat, tidak
termasuk materi. Akan tetapi jumhur ulama fikih berpendapat, bahwa warisan itu tidak
hanya materi saja, hak dan manfaat juga mempunyai nilai sama dengan harta benda.

2) Dari segi obyek hak

Menurut ulama fikih, dari segi obyeknya, hak terbagi atas:

a. Haqq Maali (hak yang berhubungan dengan harta), seperti hak penjual terhadap
harga barang yang dijualnya dan hak pembeli terhadap barang yang dibelinya.
Demikian juga hak orang yang menyewakan terhadap benda yang disewakannya
dan hak penyewa terhadap barang yang disewanya (manfaatnya, tidak memiliki).

b. Haqq ghairu maali adalah hak-hak yang tidak terkait dengan harta benda
(materi), seperti hak qishash, seluruh hak asasi manusia, hak wanita dalam talak
karena suaminya tidak memberi nafkah, hak suami untuk mentalak isterinya
karena mandul, karena ada aib, buruk perilaku, menghilang atau karena dipenjara,
hak hadhanah (pemeliharaan anak), hak perwalian terhadap seseorang dan hak-
hak politik (bebas menggunakan pendapat).
c. Haqq asy-sakhsyi adalah hak-hak yang ditetapkan Syara’ bagi pribadi berupa
kewajiban terhadap orang lain, seperti hak penjual untuk menerima harga barang
yang dijualnya, dan hak pembeli terhadap barang yang dibelinya. Demikian juga
hak seseorang terhadap utang, hak seseorang untuk menerima ganti rugi, karena
hartanya dirampas atau dirusak, dan hak isteri atau kerabat untuk menerima
nafkah.
d. Haqq al-'aini, adalah hak seseorang yang ditetapkan Syara' terhadap suatu zat,
sehingga ia memiliki kekuasaan penuh untuk menggunakan dan mengembangkan
haknya itu, seperti hak memiliki suatu benda, hak irtifaaq (pemanfaatan sesuatu
seperti jalan, saluran air) dan hak terhadap benda yang dijadikan sebagai jaminan
utang.

Berkenaan dengan haqq al-'aini dan haqq asy-Sakhsyi (no c dan d) ulama fikih
mengemukakan beberapa keistimewaan masing-masing.

1) Haqq al-'aini adalah bersifat permanen dan mengikuti pemiliknya, sekalipun benda itu
berada di tangan orang lain. Umpamanya: Apabila harta seseorang dicuri, kemudian
dijual kepada orang lain, maka hak pemilik barang yang dicuri itu tetap ada dan dia
berhak untuk menuntut agar hartanya itu dikembalikan. Sedangkan hak seperti ini tidak
berlaku dalam haqq asy-Sakhsyi. Perbedaan antara kedua hak tersebut adalah, hak
seseorang dalam haqq al-'aini, sedangkan haqq asy-Syakhsyi merupakan hak yang
berkaitan dengan tanggung jawab seseorang yang telah mukallaf (dewas/sudah dapat
bertanggung jawab). Materi (benda) dalam haqq al-'aini dapat berpindah tangan,
sedangkan haqq asy-Syakhsyi tidak dapat berpindah tangan dari pemiliknya.
2) Haqq al-'aini menjadi gugur apabila materinya hancur (musnah), sedangkan haqq
asy-syakhsyi tidak dapat digugurkan, karena hak itu terdapat dalam diri seseorang,
kecuali pemilik hak itu meninggal. Umpamanya: haqq Syakhsyi yang berkaitan
dengan uangnya, yang dipinjam musnah (habis), haqq Syakhsyi pemberi utang tetap
utuh, tidak gugur dengan musnah hak milik orang yang berutang. Hal ini disebabkan,
utang itu berkaitan dengan tanggung jawab seseorang untuk membayarnya, bukan
berkaitan langsung. Hal ini berarti, bahwa tanggung jawab tidak boleh digugurkan.

e. Hak mujarrad dan ghairu mularrad

1) Haqq mujarrad adalah hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila
digugurkan melalui perdamaian atau pemaafan. Umpamanya dalam persoalan
utang. Jika pemberi utang menggugurkan utang tersebut, dalam pengertian tidak
menuntut pengembalian utang itu, maka hal itu tidak memberi bekas sedikitpun
bagi yang berutang.

2) Haqq ghairu mujarrad adalah suatu hak yang apabila digugurkan atau dimaafkan
meninggalkan bekas terhadap orang yang dimaafkan, Umpamanya: dalam hak
qishash. Apabila ahli waris terbunuh memaafkan pembunuh, maka pembunuh
yang tadinya berhak dibunuh menjadi tidak berhak lagi. Hal ini berarti bahwa
pembunuh yang tadinya halal dibunuh, menjadi haram, karena telah dimaafkan
oleh ahli warisnya. Inilah yang dimaksudkan berbekas (berpengaruh) bagi yang
dimaafkan. Dalam haqq ghairu mujarrad ini boleh dilakukan perdamaian dengan
pemberian ganti rugi (diat). Sedangkan dalam haqq mujarrad, tidak boleh
dilakukan perdamaian dengan ganti rugi (Mazhab Hanafi). Namun, jumhur ulama
membolehkannya.

3) Dari segi kewenangan pengadilan (hakim) terhadap hak tersebut.

Dari segi ini ulama fikih membaginya kepada dua macam:

(1) Haqq diyaani (keagamaan), yaitu hak-hak yang tidak boleh dicampuri (intervensi)
oleh kekuasaan kehakiman. Umpamanya: dalam persoalan utang yang tidak dapat
dibuktikan oleh pemberi utang, karena tidak cukup alat-alat bukti di depan
pengadilan. Sekalipun tidak dapat dibuktikan di depan pengadilan, maka tanggung
jawab yang berutang di hadapan Allah tetap ada dan dituntut pertanggungjawabannya
di akhirat kelak. Oleh sebab iru, bila lepas dari hak kekuasaan kehakiman, seseorang
tetap dituntut di hadapan Allah dan dituntut hati nuraninya sendiri.

(2) Haqq qadhaai, adalah seluruh hak di bawah kekuasaan pengadilan (hakim) dan
pemilik hak itu mampu membuktikan haknya di depan hakim.

Perbedaan antara haqq diyaani dan haqq qadhaai terletak pada persoalan zahir (lahir)
dan batin. Hakim hanya dapat menangani hak-hak yang lahir (tampak nyata), atau
yang dapat dibuktikan saja. Sedangkan haqq diyaani menyangkut persoalan-persoalan
yang tersembunyi dalam hati yang tidak terungkap di depan pengadilan.
Dalam kaitan dengan kedua hak inilah ulama fikih membuat kaidah yang
menyatakan: "Hakim hanya menangani persoalan-persoalan yang nyata saja,
sedangkan Allah akan menangani persoalan-persoalan yang tersembunyi (yang
sebenarnya) dalam hati.

Untuk lebih jelas, dikemukakan contoh: Seseorang yang mentalakkan isterinya dalam
keadaan salah, yaitu dia tidak bermaksud menjatuhkan talak. Seorang hakim dalam
hal ini menetapkan talak itu jatuh, karena melihat lahirnya dan tidak mengetahui
hakikatnya (batin) orang itu. Sedangkan bila dilihat dari haqq diyaani, talak itu tidak
jatuh, dan dalam hal ini sangat bergantung antara orang itu dengan Allah, karena
memang pada hakikatnya dia tidak mentalakkan isterinya.

4. Sumber atau Sebab Hak

Ulama fikih telah sepakat menyatakan, bahwa sumber atau sebab hak adalah Syara'.
Namun, adakalanya Syara' menerapkan hak-hak itu secara langsung tanpa sebab dan
adakalanya melalui suatu sebab.

Syara' yang menetapkan hak-hak secara langsung tanpa sebab, adalah seperti perintah
untuk melaksanakan berbagai ibadah, memberikan nafkah kepada karib kerabat,
larangan melakukan dalam berbagai bentuk tindak pidana, larangan menkonsumsi
barang yang diharamkan Syara' dan kebolehan memanfaatkan semua yang baik-baik.

Sedangkan Syara' yang menetapkan hak melalui sebab, umpamanya: dalam persoalan
perkawinan, muncullah hak dan kewajiban memberi nafkah. Isteri mempunyai hak
untuk dinafkahi suami. Sebagai akibatnya muncul pula hak waris-mewarisi suami dan
isteri.
Sebagai akibat dari jual-beli, muncullah hak menerima harga bagi penjual dan hak
menerima barang bagi pembeli. Sebagai akibat dari tindakan perampasan barang
seseorang, perampas harus menjamin kerusakan itu, yaitu pemilik barang harus
dijamin haknya.

Ulama Fikih menetapkan, bahwa yang dimaksudkan dengan sebab dan penyebab
disini adalah sebab-sebab langsung yang berasal dari Syara’ atau diakui oleh Syara’.

Atas dasar itu, menurut ulama fikih, sumber hak itu ada 5 (lima):
a. Syara’, seperti berbagai ibadah yang diperintahkan.
b. Akad, seperti akad jual beli, hibah dan wakaf pemindahan hak milik.
c. Kehendak pribadi, seperti nazar atau janji.
d. Perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi utang orang lain.
e. Perbuatan yang menimbulkan mudarat bagi orang lain, seperti mewajibkan
seseorang membayar ganti rugi akibat kelalaian mengggunakan milik seseorang.
Definisi Nafkah:

Nafkah menurut istilah ialah mengeluarkan belanja atau sara hidup kepada mereka yang
wajib atas seseorang itu untuk membiayainya. Biaya yang dimaksudkan ialah semua hajat
dan keperluan pelajaran, makanan, ibadat, tempat tinggal dan sebagainya.(al-
Syarbini.425). Hak nafkah yang wajib diberikan kepada isteri boleh dibahagikan kepada
dua jenis, nafkah zahir dan nafkah batin

Bibliography for Right and Obligation in Marriage


- Abu Dawud al-Sajastani, Sulayman bin al-asycath. Sunan Abi Dawud maca
macalim al-sunan al-khatabiy.1973. Humus : Dar al-Hadith.
- Ahmad, Idris. Fiqh Syafii.1995.pustaka Antara Sdn. Bhd. Kuala Lumpur
- al-Bukhary, Muhammad ibn Ismail Abu Abdallah.1987.Sahih al-Bukhary.
Bayrut :Dar Ibn Kathir.
- al-cAk, Khalid Abul Rahman.Adab al-Hayat al-Zaujiyyah fi dawk al-Quran wa al-
Sunnah.1997.Bayrut :Dar al-makrifah.
- Al-Nawawi, Muhy al-Din Abi Zakariyya Yahya ibn Syaraf. Raudhatul at-Talibin.
Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
- Al-Syarbini, Muhammad. Mughni al-Muhtaj ila ma’rifat macani Alfaz al-Minhaj.
Mesir: syirkah Mustafa al-Babiy al-Halabiy.
- Al-Tirmidhi, Muhammad bin Isa.Al-Sunan. Bayrut : Dar al-Turath al-cArabi.
- Ibn Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Qurtubi al-Andalusi.
Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtasid.1995.Bayrut: Dar al-Fikr.
- Muslim, Ibn al-Hajjaj Abu al-Husayn al-Qusyairiy al-Naysaburi. 1954/1374H.
Sahih Muslim. Bayrut : Dar Ihya’ al-Turath al-cArabi.
- Talib, Muhammad.20 kesilapan suami.1997. Kuala Lumpur: Darul Nu’man
- Zaydan, Abudul Kareem.al-Mufassal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bayt al-Muslim fi
al-syariah Islamiyyah.1997.Bayrut: Mu’assasah al-Risalah.
- Zuhayliy, Wahbah. Fiqh islami wa adillatuhu .1985. Dimasyq:Dar-al-Fikr

You might also like