You are on page 1of 72

SEJARAH LSM

Makin meningkatnya pendidikan dan tingkat pendapatan, terutama ketika terjadi ketidakpuasan
di lapisan masyarakat, mulai timbul gejala baru dalam demokrasi, yaitu partisipasi. Dalam
sejarah Barat, partisipasi itu timbul dari bawah, di kalangan masyarakat yg gelisah. Gejala itulah
yg dilihat oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859) seorang pengamat sosial Prancis dalam
kunjungannya ke Amerika pada tahun 30-an abad ke 19 yakni timbulnya perkumpulan dan
perhimpunan sukarela (voluntary association).

Selain menyelenggarakan kepentingan mereka sendiri, dengan melakukan berbagai kegiatan


inovatif, perkumpulan dan perhimpunan itu juga bertindak sebagai pengimbang kekuatan negara
(as a counter-weights to state power). Ada 3 macam peranan yg dijalankan oleh perkumpulan
dan perhimpunan tersebut yaitu:

Pertama, menyaring dan menyiarkan pendapat dan rumusan kepentingan yang jika tidak
dilakukan pasti tidak akan terdengar oleh pemerintah atau kalangan masyarakat umumnya.
Kedua, menggairahkan dan menggerakkan upaya-upaya swadaya masyarakat daripada
menggantungkan diri pada prakarsa negara. Ketiga, menciptakan forum pendidikan
kewarganegaraan, menarik masyarakat untuk membentuk usaha bersama (co-operative ventures)
dan dengan demikian mencairkan sikap menyendiri (isolatif) serta membangkitkan tanggung
jawab sosial yg lebih luas.

Perkumpulan dan asosiasi itulah yg kemudian menjadi “sokoguru masyarakat" (civil society).
Dan apa yg disebut oleh Tocqueville itu tak lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
yg dalam masyarakat Barat dewasa ini disebut sebagai Non Government Organisation (ORNOP,
Organisasi non pemerintah) dan perkumpulan sukarela (voluntary association).

David Korten, seorang aktivis dan pengamat LSM memberikan gambaran perkembangan LSM.
Ia membagi LSM menjadi 4 generasi berdasarkan strategi yg dipilihnya. Generasi pertama,
mengambil peran sebagai pelaku langsung dalam mengatasi persoalan masyarakat.
Pendekatannya adalah derma, dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang kurang dalam
masyarakat. Generasi ini disebut sebagai "relief and welfare" . LSM generasi ini memfokuskan
kegiatannya pada kegiatan amal untuk anggota masyarakat yg menyandang masalah sosial.

Generasi kedua, memusatkan perhatiannya pada upaya agar LSM dapat mengembangkan
kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Peran LSM di sini bukan
sebagai pelaku langsung, tetapi sebagai penggerak saja. Orientasinya pada proyek2
pengembangan masy. Generasi ini disebut sebagai small scale, self reliance local development.
Generasi ini melihat masalah sosial dengan lebih kompleks. Tidak sekedar melihat soal yang
langsung kelihatan saja tapi juga mencari akar masalah. Fokusnya pada upaya membantu
masyarakat memecahkan masalah mereka, misal program-program peningkatan pendapatan,
industri kerajinan dan lain-lain. Semboyan yang populer adalah "Berilah Pancing dan Bukan
Ikannya!"

Generasi ketiga, keadaan di tingkat lokal dilihat sebagai kiblat saja dari masalah regional atau
nasional. Masalah mikro dalam masyarakat tidak dipisahkan dengan masalah politik
pembangunan nasional. Karena itu penanggulangan mendasar dilihat hanya bisa dimungkinkan
kalau ada perubahan struktural. Kesadaran seperti itulah yg tumbuh pada LSM generasi ini
bersamaan dgn otokritiknya atas LSM generasi sebelumnya sebagai "pengrajin sosial". LSM
generasi ini disebut sebagai "sustainable system development".

Generasi keempat disebut sebagai "people movement". Generasi ini berusaha agar ada
transformasi struktur sosial dalam masyarakat dan di setiap sektor pembangunan yang
mempengaruhi kehidupan. Visi dasarnya adalah cita2 terciptanya dunia baru yg lebih baik.
Karena itu dibutuhkan keterlibatan penduduk dunia. Ciri gerakan ini dimotori oleh gagasan dan
bukan organisasi yang terstruktur.

Perjalanan LSM di Indonesia pada awal kemunculannya melalui perspektif sejarah dan mengacu
pada pembagian generasi di atas, ada yang berpendapat bahwa cikal-bakal LSM di Indonesia
telah ada sejak pra-kemerdekaan. Lahir dalam bentuk lembaga keagamaan yang sifatnya
sosial/amal (dapat dikategorikan generasi pertama).

Tahun 50-an tercatat muncul LSM yg kegiatannya bersifat alternatif terhadap program
pemerintah, dua pelopornya misal LSD (Lembaga Sosial Desa) dan Perkumpulan Keluarga
Kesejahteraan Sosial.

Tahun 60-an lahir beberapa lembaga yg bergerak terutama dalam pengembangan pedesaan.
Pendekatan dengan proyek-proyek mikro menjadi ciri utama masa ini, terutama yang
menyangkut aspek sosial ekonomi pedesaan. Pada kurun waktu ini pula lembaga-lembaga ini
merintis jaringan kerjasama nasional misal lahir Yayasan Sosisal Tani Membangun yg kemudian
berkembang menjadi Bina Desa, Bina Swadaya.

Ciri LSM yg muncul dan berkembang pada th 70-an merupakan fenomena yang unik. Ini
dipengaruhi oleh ORBA. LSM merupakan reaksi sebagian anggota masyarakat atas kebijakan
pembangunan yang ditempuh saat itu. Dasar penggeraknya adalah motivasi untuk
mempromosikan peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. Meski juga
berorientasi pada proyek mikro, juga mengaitkan persoalan kebijaksanaan pada tingkat makro,
Contohnya LSM yang lahir pada generasi ini adalah LBH, YLKI, LP3ES.

Sejak masa itu sampai kini, perkembangan LSM di Indonesia sangat pesat. Visi, misi,
pendekatan dan isu beragam. Perkembangan LSM tidak bisa lagi dilihat secara linier dan
mengikuti urutan waktu generasi per generasi.

Perjalanan LSM di Indonesia sekitar tahun 1970-an disebut sebagai ORNOP yang merupakan
terjemahan dari NGO. Ornop/NGO bisa merupakan satu lembaga bisnis (swasta), organisasi
profesi, klub olah raga, kelompok artis, jama'ah aliran agama, lembaga dana, yang penting semua
organisasi yang bukan pemerintah. Interaksi antar kelompok ORNOP ini mempengaruhi tatanan
sosial politik masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Masing-masing memperjuangkan
kepentingannya dan pemerintah hanya berfungsi sebagai wasit (yang adil).

Segala sesuatu dimulai dari masyarakat dalam suasana yang hampir-hampir bebas dari intervensi
negara. Istilah ORNOP kemudian dirubah menjadi LSM karena di satu sisi, adanya kesan dan
anggapan bahwa istilah ORNOP memiliki konotasi negatif seakan-akan melawan pemerintah
(jaman ORBA alergi sekali dengan yg berbau oposisi, atau non-pemerintah). Di lain pihak,
dalam kalangan aktivisnya saat itu ada kesadaran bahwa gerakan mereka ini dilandasi oleh suatu
misi positif, yakni mengembangkan kemandirian dan membangun kesadaran, tidak semata-mata
"bukan pemerintah/non government". Pergeseran ORNOP menjadi LSM sebenarnya
menimbulkan perbedaan arti, landasan ORNOP adalah untuk "non governmentalism", sedangkan
LSM adalah "auto governmentalism" dengan kata lain yang dibangun oleh LSM bukan "non
kepemerintahan" tetapi keswadayaan dan kemandirian. Penggantian istilah ORNOP menjadi
LSM sesungguhnya telah memberikan perbedaan makna yang sangat mendasar. Formalisasi
kemudian dilakukan pemerintah terhadap LSM melalui UU. No. 4 tahun 1982 ttg pokok-pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (kemudian diatur pula dgn UU No. 8 tahun 1985 tentang
keormasan, dan Inmendagri No. 8 tahun 1990). Pada pasal 19 UU No. 4 tahun 1982 disebutkan :
"Lembaga Swadaya Masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan Lingkungan
Hidup", sedangkan dalam penjelasannya LSM mencakup antara lain:

a. Kelompok profesi yang berdasarkan profesinya tergerak menangani masalah lingkungan

b. Kelompok hobi yang mencintai kehidupan alam terdorong untuk melestarikannya

c. Kelompok minat yang berminat untuk membuat sesuatu bagi pengembangan lingkungan
hidup.

Batasan, fungsi dan peran LSM dibandingkan dengan pengertian aslinya (dalam arti NGO)
menjadi teredusir. Karena keberadaan LSM terutama saat ORBA sarat dgn intervensi pemerintah
maka ada beberapa LSM yg kemudian dalam pergerakannya memakai bentuk Yayasan, karena
Yayasan lebih fleksibel.

Dalam PBB, sejak tahun 1970-an, NGO memperoleh status resmi (consultative status). NGO
juga mempunyai kode etik yang berlaku secara internasional. Sampai sekarang hampir semua
kesempatan dalam pertemuan delegasi NGO berhak hadir dengan suara penuh/disediakan
forum2 khusus untuk NGO. Kehadiran NGO dalam sistem PBB ini telah pula dilembagakan
secara permanen, di bawah UNDP, di sebut NGO Forum, di Indonesia NGO Forum ini mungkin
karena kekaburan makna dan keunikan LSM kita, sering menjadi olok-olok "Gongo"
(Government NGO), atau LSM-LSM plat merah.

Perkembangan selanjutnya di Indonesia, UU No. 4 tahun 1982 digantikan oleh UU No. 23 tahun
1997 , UU ini tidak menjelaskan definisi LSM (tapi paling tidak UU ini mengakui environment
legal standing) sementara itu UU. No. 8 tahun 1985 telah dicabut diganti dgn UU politik Dji Sam
Soe/No. 2, 3, 4 yg tdk memuat mengenai LSM (jadi untuk sementara ini, LSM diatur dgn
Inmendagri, tapi logikanya Inmendagri ini juga tidak berlaku karena peraturan yg di atasnya
telah dicabut) dan kemudian di era Reformasi bentuk Yayasan pun mulai diintervensi pemerintah
dengan dikeluarkannya UU Yayasan.

Ada suatu wacana menarik bahwa kemudian NGO merupakan alat bagi neo liberalism, memang
bisa saja neo liberalism beroperasi dalam dua lini: ekonomi dan budaya politik, dua level: rezim
dan rakyat kelas bawah. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali pihak berduit/pihak asing
yang tertarik mendanai kegiatan-kegiatan yang dilakukan NGO di Indonesia dan tentunya ada
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh NGO untuk memperoleh dana tersebut. Yang
perlu menjadi catatan penting adalah sejauh mana tingkat independensi dan bargaining posisition
terhadap penyandang dana, terlebih lagi evaluasi kerja LSM dilakukan mereka. Dan bagaimana
pertanggungjawaban LSM terhadap masyarakat, sebab sampai saat ini tidak ada mekanisme
pertanggungjawaban LSM terhadap masyarakat, jadi masyarakat sendirilah yang menilai
keberadaan LSM di tengah-tengah mereka. Jangan kaget kalau suatu saat ada elemen masyarakat
yang berkata LSM itu Lembaga Suka Menipu, dan lain-lain. Hal itu merupakan serangkaian
pengalaman yang dialami masyarakat, karena ada LSM yang menyelewengkan dana JPS
misalnya.

Trend NGO

Oleh: Cut Famelia

NGO? Siapa sih yang tidak kenal dengan istilah yang kini sedang ngetop di Aceh ini? Istilah
NGO tentunya sudah sangat akrab di telinga masyarakat Aceh sejak datangnya bantuan yang
terus mengalir dari berbagai penjuru dunia bagi korban bencana alam dahsyat gempa bumi
tektonik dan gelombang Tsunami yang melanda bumi Nanggroe Aceh Darussalam, pada tanggal
26 Desember 2004. Sejak saat itulah, NGO bertaburan di Aceh baik yang bertaraf lokal,
nasional, maupun Internasional atau asing. Malah banyak NGO lokal/nasional yang lebih dikenal
dan ter-expose ke masyarakat Aceh justru setelah musibah gempa dan tsunami tersebut terjadi.

Apa sebenarnya NGO itu? NGO merupakan singkatan dari Non-Governmental Organization
yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Organisasi Non-Pemerintah atau
lebih dikenal dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). NGO adalah suatu
kelompok atau asosiasi nirlaba yang beraktifitas di luar struktur politik yang terinstitusionalisasi.
Pencapaian hal-hal yang menjadi minat atau tujuan anggotanya diupayakan melalui lobi,
persuasi, atau aksi langsung.NGO biasanya memperoleh sebagian pendanaannya dari sumber-
sumber swasta. Sampai seberapa besarkah dana yang dapat diperoleh oleh sebuah NGO?

Menyangkut pertanyaan tersebut, ada seorang aktifis NGO yang memberikan sebuah ungkapan
praktis, Di NGO, kita lah yang menggaji diri kita sendiri. Itu berarti bahwa semakin baik kinerja
dan produktifitas yang dihasilkan oleh sebuah NGO sehingga manfaat yang dirasakan oleh
masyarakat semakin besar, maka dana yang akan mengalir ke NGO tersebut tentunya akan
semakin besar pula. Itu menunjukkan bahwa kepercayaan dari pihak-pihak donatur untuk
mendanai sebuah NGO tentu saja semakin besar. Jadi, bukanlah suatu masalah atau hal yang
tidak realistis bagi mereka untuk memberikan dana yang relatif besar sesuai dengan jumlah yang
diajukan oleh sebuah NGO yang punya kualitas dan kredibilitas yang cukup baik serta manfaat
yang cukup besar bagi kemaslahatan masyarakat. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika
lebih besar dari jumlah yang pernah diberikan sebelumnya, asalkan track record NGO yang
bersangkutan cukup baik dan berpotensi untuk lebih baik lagi di masa berikutnya.

Namun, apa yang menyebabkan munculnya trend bekerja di NGO di kalangan masyarakat Aceh,
termasuk mahasiswa dan akademisi, khususnya dosen? Dengan sedikit ekstrim bisa kita katakan,
trend ini memang punya gengsi tersendiri di kalangan penduduk Serambi Mekkah ini. Kita
ketahui bahwa bantuan yang mengalir untuk korban Tsunami di Aceh, termasuk untuk proses
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, banyak yang berasal dari atau dikelola oleh NGO dengan
berbagai taraf dan level serta program dan tujuan.Sejak masa distribusi bantuan itulah, tidak
dapat dipungkiri bahwa banyak mahasiswa di Aceh yang menambah kesibukan atau karirnya
dengan bekerja di NGO, mulai dari posisi sebagai worker hingga policy maker. Bagi mahasiswa,
tentu saja honor/gaji yang diperoleh dengan bekerja di NGO relatif besar, bahkan sangat besar,
khususnya bagi mereka yang menjabat posisi sebagai policy maker. Apalagi di NGO asing atau
internasional, mahasiswa bisa kaya mendadak.

Penulis pernah bertanya tentang gaji di NGO pada seorang mahasiswa Universitas Syiah Kuala
yang sudah tiga tahun menjalankan aktifitas kuliahnya. Dia mengaku menerima gaji di atas 2,5
juta rupiah per-bulan dengan mengerahkan skill-nya untuk bekerja di sebuah NGO asing. Angka
yang cukup besar untuk level seorang worker dengan status mahasiswa yang sebenarnya masih
dikategorikan lulusan SMA. Apalagi jika dibandingkan dengan gaji PNS yang statusnya sarjana
bahkan master sekalipun, secara umum masih lebih besar. Walaupun masih berstatus mahasiswa,
tetapi dia sudah memiliki skill yang cukup untuk jenis pekerjaan yang ditawarkan.

Namun, tentu saja uang bukanlah segala-galanya meskipun merupakan faktor penting yang
mendorong kita untuk bekerja. Lebih dari itu, di sana mereka bisa memperoleh pengalaman yang
sangat berharga dan tak terlupakan, yaitu bagaimana rasanya bekerja dengan orang asing alias
bule yang berbeda karakter dan budaya, bekerja dalam suasana pluralisme, tanpa harus ke luar
negeri. Tentunya banyak pelajaran yang dapat diambil. Belum tentu kan mereka bisa
memperoleh pengalaman seperti itu di lain waktu setelah mereka menyelesaikan jenjang
perguruan tingginya?Lagipula, peluang kerja di NGO sudah ada di depan mata, kemampuan/skill
lebih kurang juga sudah dimiliki, jadi apa salahnya toh kuliah sambil bekerja? Hitung-hitung
menambah uang saku lah. Jadi, siapa sih yang nggak tergiur? Walaupun pada akhirnya kita lihat
sendiri bahwa kebanyakan dari mereka sering tidak masuk kuliah sehingga mempengaruhi
prestasi akademiknya.

Sebuah dampak yang negatif memang. Bahkan, ada yang rela menelantarkan skripsinya demi
memperoleh gaji yang besar dan pengalaman bekerja di NGO hingga akhirnya mereka terpaksa
menjadi mahasiswa abadi yang hanya sesekali muncul di kampus dan skripsinya pun tak kunjung
selesai.Memang sih tidak ada salahnya kuliah sambil bekerja asalkan mampu mengatur dan
membagi waktu dengan baik dan seimbang, misalnya dengan memilih bekerja part-time (paruh
waktu). Intinya, harus memilki management of time yang baik dan siap menanggung segala
resiko yang terkadang sering menimbulkan dilema di sana-sini. Malah dengan kuliah sambil
bekerja menunjukkan bahwa mereka sudah siap menghadapi dan bersaing di dunia kerja serta
mampu mengaplikasikan ilmu atau skill yang umumnya mereka peroleh dari perkuliahan untuk
kemaslahatan masyarakat banyak. Akan tetapi, kalau sampai menelantarkan kuliah? Mau jadi
mahasiswa abadi yang bikin pusing dan kecewa orang tua dan dosen? Bagi dosen sendiri, alasan
mereka menambah job di luar kampus rasanya tidak jauh berbeda dengan mahasiswa. Peluang
sudah tersedia di depan mata, kapasitas atau skill sudah cukup memadai, dan gaji yang diperoleh
lebih besar bahkan jauh lebih besar daripada gaji yang diperoleh dengan satus PNS yang relatif
kecil. Apalagi di international NGO yang gajinya bisa dibilang gila-gilaan. Ya, hitung-hitung
menambah penghasilan untuk meningkatkan kesejahteraan. Apalagi bagi mereka yang kondisi
perekonomiannya kurang baik, mencari penghasilan di luar PNS merupakan alternatif dan
peluang yang sangat berharga dan dibutuhkan.

Sekedar informasi, berdasarkan survey yang dilakukan oleh Aceh Institute melalui kuesioner
yang diedarkan kepada para peserta Semiloka Peran SDM Lokal dalam Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Aceh pada tanggal 18 maret 2006 yang diselenggarakan oleh Aceh Institute
sendiri, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 55% dari total responden mengaku bahwa
mereka menerima gaji sebesar 3 - 6 juta rupiah per-bulan. Sedangkan 10% dari total responden
menerima gaji senilai 10 - 15 juta rupiah. Ini adalah data berdasarkan responden yang rata-rata
masih muda dan umumnya bukan dosen. Jika diasumsikan bahwa kualifikasi dosen lebih tinggi
dari responden survey sederhana ini, dapat pula diasumsikan bahwa rata-rata staf LSM, terutama
LSM asing yang berasal dari kalangan dosen bisa lebih diatas gaji terbesar dalam survey
tersebut.

Namun, mungkin saja gaji besar bukanlah alasan utama bagi mereka. Tapi, dengan bekerja di
NGO mereka dapat mengembangkan diri serta mengaplikasikan ilmu yang dimiliki di dunia luar
kampus. Memang sih, bukan berarti NGO menjadi satu-satunya alternatif untuk maksud tersebut,
tapi fenomena yang terjadi dewasa ini menjadikan NGO sabagai alternatif yang punya banyak
nilai lebih dan terasa lebih membumi dan memasyarakat. Jadi, profil seorang dosen dengan
kapasitas sebagai intelektual dan akademisi memang seharusnya tidak hanya mampu dan
menghabiskan waktunya untuk bergelut di dunia kampus tanpa membuka mata dan responsif
terhadap dinamika yang terjadi di dalam masyarakat. Jika ilmu yang dimiliki hanya dapat
diaplikasikan dan diseminasikan di dunia kampus, tentu masih sempit bukan? Jadi, realistis toh
kalau sekarang ini dosen juga ikut terjun ke dunia NGO?

Akan tetapi, jika dengan aktifitas tersebut dosen menjadi tidak optimal dalam memfungsikan
statusnya alias sering meninggalkan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai seorang dosen,
misalnya jarang mengajar atau memberi kuliah, lebih sering digantikan oleh asisten, sering tidak
meluangkan waktunya untuk melayani mahasiswa yang memerlukan bimbingan akademik,
lantas bagaimana dengan nasib si mahasiswa? Tentu saja mereka tidak mau menjadi pihak yang
dirugikan gara-gara ulah si dosen.

Namun demikian, pada prinsipnya tidak menjadi masalah kalau dosen bekerja di NGO alias
menjadi double agent, asalkan komitmen serta kewajiban dan fungsinya sebagai seorang tenaga
pengajar dan pendidik tidak diabaikan dan ditelantarkan. Tentu saja dengan langkah dan cara
yang bijak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atau dizalimi. Resiko apapun yang akan
menghadang harus siap untuk diterima, dihadapi, dan disiasati dengan fair. Dari penjelasan di
atas, rasanya tidak salah jika kita menilai bahwa ternyata bekerja di NGO memiliki gengsi
tersendiri dan nilai lebih bagi masyarakat di Aceh, sehingga kini menjadi sebuah trend yang
banyak diminati, temasuk para intelektual dari kalangan mahasiswa dan dosen. NGO bukan saja
dapat memberi alternatif dan tambahan penghasilan, tapi juga menjadi alternatif sebagai media
aktualisasi diri bagi sejumlah intelektual muda Aceh. Bagi sebagian orang, NGO bahkan
memberi ruang gerak yang lebih leluasa untuk menjaga idealisme dari mesin birokrasi yang
jumud dan lembam. Tak salah jika sebagian dari kita merasa ada kebanggaan tersendiri kalau
bisa bekerja di NGO!
Working Paper:

Akuntabilitas Lembaga Swadaya Masyarakat:

Beberapa Observasi

Ridwan al-Makassary

Pengantar

Lembaga Swadaya Masyarakat (selanjutnya disingkat LSM) sedang menuai kritikan tajam. Selama tiga
hari, harian Kompas (16 April, 18 April dan 19 April 2007) menurunkan liputannya mengenai
akuntabilitas Lebaga Swadaya Masyarakat. Bermula dari sebuah diskusi publik bertema ”Perlunya
Mengaudit Agenda dan Sumber Dana Asing terhadap LSM yang merugikan Rakyat, Bangsa dan Negara”
di Jakarta (14 April 2007), akuntabilitas LSM digugat. Beberapa poin yang mengedepan dalam diskusi
tersebut adalah perlunya mengontrol LSM dengan audit publik dan membuat peraturan setingkat Undang-
Undang untuk mengatur tentang LSM sebagai pilar civil society. Ada juga polemik mengenai perlunya
LSM membuka laporan keuangannya kepada publik jika memperoleh dana donor luar negeri. Selain itu,
ada konstatasi bahwa partai politik lebih akuntabel dan transparan dari LSM. Bahkan, ada yang secara
sarkastik menuding beberapa LSM hanya bermodalkan kliping koran, dll.

Berdasar pada liputan Kompas tersebut, penulis mencoba mendiskusikan gagasan dan praktik
akuntabilitas LSM di Indonesia secara lebih berimbang. Bagian awal akan menjelaskan kerangka
konseptual tentang transparansi dan akuntabilitas bagi LSM. Selanjutnya, akan mendeskripsikan
sejarah pertumbuhan LSM di Indonesia, dan juga penyimpangan-penyimpangan aktivisme LSM.
Bagian akhir akan menjelaskan model ideal akuntabilitas LSM.

Kerangka konseptual: Transparansi dan Akuntabilitas


Akuntabilitas, yang sering dipahami sebagai akuntabilitas demokratis, berakar di dalam
pengetahuan, dan sebuah pemahaman terhadap kedua prinsip dasar demokrasi, yaitu, ajaran
mengenai mayoritas dan pemerintahan oleh rakyat. Akuntabilitas berarti kewajiban dasar bagi
sebuah badan (negara, bisnis, LSM) untuk memerhatikan masyarakat atau pemegang saham
untuk mengetahui berbagai kegiatan dan prestasi mereka. Prinsip ini mejamin masyarakat untuk
mengetahui siapa dan bagaimana keputusan sebuah badan ditetapkan dan alasan yang
mendasarinya. Pada saat yang sama, prinsip transparansi merujuk pada sikap terbuka sebuah
badan kepada masyarakat guna mendapatkan akses informasi yang benar, jujur dan adil, seraya
tetap melindungi hak-hak dasar dan kerahasiaan sebuah badan yang bekerja.[1]

Karenanya, akuntabilitas tidak saja terkait dengan pelaporan keuangan, melainkan juga persoalan
legitimasi. Karenanya, untuk mengukur derajat akuntabilitas LSM tidak cukup menyoroti
persoalan teknis, seperti keuangan dan program, tetapi juga partisipasi, konsultasi dan proses
demokratisasi internal LSM.[2]

Menurut Rustam Ibrahim, akuntabilitas LSM adalah proses yang menempatkan LSM
bertanggung jawab secara terbuka atas apa yang diyakininya, apa yang dilakukan dan tidak
dilakukannya kepada stake holder (kelompok sasaran, lembaga donor, sesama Ornop,
pemerintah dan masyarakat luas). Akuntabilitas diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting),
pelibatan (involving) dan cepat tanggap (responding). Singkatnya, pelaporannya dengan cara
transparan.[3]

Transparansi mengandung arti adanya keterbukaan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.


Artinya, setiap aktivitas selalu bisa dibuktikan melalui data yang kuat, sah, dan akurat.
Sedangkan akuntabilitas merupakan manifestasi rasa tanggung jawab yang menuntut
pelaksanaan tugas yang telah diamanahkan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Singkatnya,
konsep yang terakhir sejalan dengan efisiensi dan efektifitas.[4]
 

Sejarah Pertumbuhan Masyarakat Sipil: Sebuah Overview

Gagasan civil society menguat pada dua dasawarsa terakhir, terutama sejak berhembusnya angin
perubahan dan menguatnya gelombang demokratisasi dari daratan Amerika Latin dan Eropa Timur, yang
menyapu berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Civil society, pada dasarnya, memiliki motivasi
dasar untuk merestriksi absolutisme kekuasaan, meningkatkan kapasitas komunitas, mengurangi derajat
negatif ekonomi pasar, dan menuntut akuntabilitas politik serta menaikkan mutu dan sifat inklusif dari
tata kelola pemerintahan (good governance).[5]

Karenanya, intisari civil society adalah visi etik terhadap tatanan kehidupan sosial yang bertolak dari dua
perspektif. Perspektif pertama, terbangun dari tradisi berpikir marxist, yang menekankan basis ide civil
society berdasar pada ketegangan (tensions) antara perkembangan masyarakat dengan kenyataan yang
diperhadapkan oleh negara. Tradisi ini berpandangan masyarakat sebagai sebuah entitas yang mampu
mengatur dirinya sendiri dan memiliki hak dan kebebasan. Keadaan ini membutuhkan perlindungan dari
represi negara. Perspektif kedua, memandang civil society sebagai sebuah tipe ideal di mana organisasi
sosial berdiri sendiri dan merupakan institusi sukarela (voluntary association) serta bebas dari interferensi
negara. Keberadaan civil society merupakan entitas yang berhadapan dengan negara dan sektor swasta.[6]

Kedua pandangan tersebut sejatinya memiliki muara yang sama, yaitu civil society dapat
mengembangkan masyarakat yang lebih demokratis, menjunjung tinggi kemanusiaan (humanity) dan
merealisasikan keadilan sosial (social justice). Dengan demikian, pentingnya civil society merupakan
agenda masyarakat dunia sejak perang dingin (Cold War) berakhir sudah. Bahkan, terpatri keyakinan
bahwa negara akan lebih demokratis jika civil society berkembang.

Tidak ada definisi yang tunggal mengenai civil society. AS Hikam secara eklektik mendefinisikan civil
society sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan,
keswasembadaan dan keswadayaan. Kemandirian yang tinggi menghadapi negara dan keterikatan dengan
norma atau nilai hukum yang diipanuti oleh warganya.[7]
 

Sebagai ruang politik, civil society merupakan arena yang dapat menjamin terselenggaranya perilaku,
tindakan dan refleksi mandiri, yang tidak terkungkung oleh kondisi material, dan juga tidak terserap ke
dalam jaringan kelembagaan politik resmi. Berpegang pada penilaian seperti ini, maka civil society
mengejawantah ke dalam pelbagai organisasi/asosiasi yang dibentuk oleh masyarakat di luar pengaruh
negara. Karenanya, Organisasi non pemerintah (ornop), organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban, dan
juga kelompok kepentingan merupakan penjelmaan kelembagaan civil society.

Gerakan ornop, atau lebih populer dengan LSM di Indonesia, pada dasarnya juga terbentuk sebagai
pengimbang dominasi negara dalam proses rancang bangun pembangunan. Trend demikian sudah jamak
terjadi di berbagai belahan dunia, baik di Utara (negara-negara maju) maupun di Selatan (negara-negara
berkembang). Namun, di negara maju LSM sudah memainkan agensinya dalam menetapkan kebijakan
publik, oleh karena budaya demokrasi sudah maju, SDM yang mumpuni dan kemampuan finansial yang
tersedia. Sedangkan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, LSM masih berjuang sebagai
mitra pemerintah dalam proses pembanguan.

Sejarah keterlibatan LSM di Indonesia sudah bermula sejak tahun 1950-an. Namun, peran dan aktivitas
yang dijalankan secara umum masih berkutat pada upaya-upaya karitatif, terutama menanggulangi
kelaparan. Jadi, keberadaannya lebih sebagai “sinterklas”. Priode ini berlangsung hingga tahun 1960-an.
Menurut penulis, meskipun masa sudah berubah, dewasa ini kita masih menemukan LSM yang lebih
berfungsi sebagai sinterklas.

Tahun 1966 hingga 1970-an adalah formative years pertumbuhan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang berjuang untuk keluar dari formasi sinterklas. LSM masa ini mulai mengembangkan sikap kritis
terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.Terdapat tiga argumen yang mendasari perkembangan ini.
Pertama, munculnya inisiatif kalangan non-pemerintah untuk mendirikan organisasi-organisasi non-
pemerintah berbasis komunitas. Beberapa organisasi non-pemerintah seperti LP3ES didirikan atas
prakarsa tokoh-tokoh muda dari kalangan sipil. Kedua, pada fase ini mulai terjalin kontak yang intensif
antara LSM lokal dan internasional sekaligus menandai dimulainya kerjasama dan pengembangan
jaringan (networking) dengan mitra-mitra kerja di luar negeri. Ketiga, pemerintah mulai menyediakan
perangkat hukum sebagai aturan main lembaga-lembaga non-pemerintah tersebut.[8]

Namun, fase ini ditandai dengan local resources yang terbatas. Kalangan LSM lebih banyak bergantung
pada sumber-sumber pendanaan internasional, semisal USAID, The Ford Foundation, The Asia
Foundation, Toyota Foundation, FNS, NOVIB dll. LSM juga menerima bantuan dana dari lembaga
keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank. Selain berbentuk hibah
(grant), dana yang diterima dari sumber terakhir ini sebagian bersifat utang negara.[9]

Sejak tahun 1970-an, kalangan LSM benar-benar menikmati “surga” aliran dana tersebut dengan mudah
(easy money). Karenanya, mereka sering dituding menjadi perpanjangan tangan donor asing. Bahkan, ada
asumsi bahwa LSM-LSM tersebut bekerja untuk mendukung agenda donor asing ketimbang menunaikan
kepentingan domestik. LSM menjual kemiskinan, menjual negara, agen-agen kapitalis adalah di antara
aneka tuduhan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak yang merasa gerah dengan agenda LSM. Situasi
ini tidak jarang merepotkan para aktivis LSM, terutama dalam menegosiasikan agenda-agenda sosial
politik yang diperjuangkannya. Kesulitannya adalah bagaimana LSM meyakinkan pihak dalam negeri
bahwa agenda mereka bebas dari campur tangan pihak asing.[10]

Di sini tidak ingin dikembangkan suatu perspektif bahwa kerjasama dengan pihak asing merupakan
barang haram. Karena dalam dunia yang menglobal hubungan dan kerjasama dengan negara-negara
sahabat di Barat sungguh tak terelakkan. Apalagi bila hubungan tersebut berlandaskan komitmen untuk
menata dunia yang lebih adil, damai dan sejahtera. Ini juga mengingat sumberdana domestik tidak
mencukupi untuk membiayai agenda-agenda pembangunan. Memperoleh dana pemerintah dalam jumlah
besar sulit terwujud karena anggaran pemerintah yang terbatas. Selain itu, dana seperti ini beresiko
mengkooptasi kemandirian LSM dalam mengadvokasi kebijakan publik.

Sementara itu, penggalangan dana dari perusahaan dalam negeri, atau lebih dikenal dengan istilah
corporate social responsibility (CSR), juga problematik mengingat sebagian besar sektor swasta di
Indonesia menyumbang kontribusi besar dalam mencipta problematika sosial serta merusak lingkungan
alam. Pada masa Orde Baru, kalangan swasta, terutama perusahaan besar, seringkali bersekongkol dengan
penguasa untuk menguras kekayaan alam serta memanfaatkan akses-akses ekonomi politik secara
privilage demi kepentingan bisnis mereka. Salah satu ulah perusahaan besar adalah mengeksploitasi
sumberdaya alam dan ekonomi secara illegal dan membabi buta sehingga menyebabkan Indonesia
terjebak dalam krisis sosial dan kerusakan alam yang sangat parah. Demikianlah beberapa alasan
mengapa organisasi non-pemerintah tidak tertarik menggalang dana dari sektor swasta.[11]

Pada pungkasan 1970-an hingga 1990-an, minyak bumi andalan Indonesia mengalami kerugian dan
membumbungnya utang luar negeri yang sangat memprihatinkan tanah air. Bersamaan dengan itu, rejim
Orde Baru yang otoriter membuat isu-isu dunia seperti lingkungan hidup, demokratisasi, gender dan
HAM kuat berkumandang ke pelbagai sudut-sudut kehidupan. Dalam konteks ini, terjadi
mushroomingLSM yang karakternya bertujuan melakukan transformasi sosial. Fase ini juga masih
mengandalkan bantuan donor asing, yang mengakibatkan LSM menuai tudingan yang tidak sedap seperti
telah disinggung di atas.

Salah satu problem yang menghinggapi LSM dewasa ini adalah keberlanjutan finansial (financial
sustainability). Tidak saja berbagai LSM kecil yang menghayati kesulitan ekonomi, bahkan beberapa di
antaranya berguguran, tetapi juga beberapa LSM besar yang diterpa kesulitan finansial mengalami
kesulitan meneruskan agendanya. Misalnya, kita pernah dikejutkan dengan berita akan tutupnya Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) akibat kekurangan finansial. Kondisi itu tercipta setelah
beberapa lembaga donor menghentikan aliran dananya. Di sini tidak akan dibahas kenapa dana asing itu
distop, karena keterbatasan ruang.

Hasil penelitian Rustam Ibrahim pada tahun 2005 dengan mengambil sampel 25 organisasi, meskipun
tidak semua sampel itu tergolong LSM, karena sebagiannya adalah OSMS, menjustifikasi fenomena itu.
Mayoritas responden mengandalkan bantuan luar negeri yang mencapai 65 %, dan sumber dalam negeri
35 %.[12]

 
Sementara itu, beberapa tahun terakhir ada kecenderungan berkurangnya dana hibah akibat situasi dunia
yang berubah sehingga ikut mengubah prioritas dan kebijakan lembaga donor. Saya pernah mendengar
bahwa beberapa donor besar, seperti Ford Foundation mulai mengalihkan perhatiannya dari Indonesia
secara perlahan, dan mendorong penggalangan local resources. Akibatnya, berbagai upaya untuk sintas
(survive) sedang dan telah dilakukan oleh LSM dengan menggali local resources yang tersedia, baik
dengan menggalang dana secara masif dari masyarakat maupun melalui unit-unit usaha yang digiatkan
LSM.

Sejak pungkasan tahun 2000-an, terbit fenomena filantropi (kedermawanan) yang luar biasa di kalangan
masyarakat. Pada saat negara mengalami kegagalan mensejahterakan warganya, ketika bencana alam
datang bertalu-talu, animo masyarakat untuk berfilantropi atau berderma sangat kuat. Sayangnya,
filantropi untuk tujuan-tujuan publik atau juga kepada LSM sangat terbatas.[13] Bahkan, beberapa
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang banyak meraup dana publik enggan untuk bermitra dengan LSM dalam
menyalurkan filantropi untuk keadilan sosial.[14]

Penyimpangan-Penyimpangan Aktivisme LSM

Keberadaan LSM sebagai motor penggerak masyarakat sipil sering dimaknai negatif akibat perilaku
beberapa LSM atau pengurus LSM itu sendiri. Kastorius Sinaga mencotohkan penggelapan dana JPS
yang melibatkan sejumlah LSM tahun 2000; dugaan penyimpangan dana banjir oleh ICE on Indonesia
tahun 2002; tuduhan kolusi antara PLN dengan salah seorang pengurus YLKI tahun 2001 telah
mencoreng wajah LSM.[15]

Hasil observasi LP3ES beberapa waktu lalu di delapan Propinsi menunjukkan berbagai penyimpangan
LSM. Paling tidak ada empat bentuk aktivisme LSM menyimpang ini. Pertama, LSM yang memiliki
tautan yang kuat dengan lingkar kekuasaan, terutama dalam aktivitas dukung mendukung calon pejabat di
berbagai level. Kedua, LSM yang sengaja dibentuk untuk memperebutkan atau menampung proyek
pemerintah (daerah). Kehadiran LSM ini untuk menyahuti peluang kebijakan berbagai negara-negara
donor yang mensyaratkan peran serta masyarakat dalam proyek pembangunan. Umumnya LSM ini
dibentuk atau melibatkan pegawai Pemda setempat bersama kroninya. Ketiga, LSM yang bertujuan untuk
meraih keuntungan ekonomi dengan berkedok LSM yang melakukan kegiatan investigasi, mengkritik
dengan pendekatan wachtdog, namun ujung-ujungnya transaksi money politics digelar dibelakang layar.
Keempat, ada kelompok yang mengidentikkan diri sebagai LSM, yang justru mengabsahkan tindak
kekerasan dan anarkhi.[16]      

                 

Model Ideal Akuntabilitas Lembaga Swadaya Masyarakat

Memang harus diakui beberapa perilaku nakal LSM pada akhirnya hanya membuat bopeng wajah LSM
secara umum. Namun, di sini pentingnya untuk tidak menggeneralisasi atau gebyah uyah bahwa semua
LSM tidak akuntabel.

Implementasi akuntabilis LSM memang problematik di kalangan LSM. Menurut Greg Rooney, Civil
Society Program Advisor ACCES, sedikit sekali perhatian yang didedikasikan untuk membentuk
organisasi yang memiliki akuntabilitas dihadapan konstituennya. Bahkan, tidak banyak organisasi nirlaba
yang berupaya meningkatkan prosedur operasional (baik SOP dan AD/ART) yang mengatur
organisasinya. Bahkan, ada resistensi sejumlah LSM terutama yang menerima hibah donor asing untuk
tidak melaporkan keuangannya secara transparan.[17]

Akuntabilitas LSM memang lebih ditujukan kepada donor secara langsung dengan cara membuat laporan
akhir dan laporan keuangan. Donor tersebut yang akan melaporkan kepada publik. Namun, jika
memperoleh dari pemerintah, maka LSM wajib melaporkannya kepada masyarakat. Sejauh ini beberapa
LSM juga telah melaporkan kegiatan dan keuangannya kepada donor dan kepada publik. Ada yang
membuat laporan tahunannya secara reguler dan bisa diakses publik. Jadi, tidak benar sama sekali bahwa
tidak ada akuntabilitas LSM. Sebab jika itu benar, maka para donor juga enggan menggelontorkan dana
hibahnya. Yayasan Interseksi, misalnya, mengembangkan akuntabilitas publik dengan cara
mempublikasikan program risetnya melalui buku yang dapat dibeli di toko-toko buku. Bahkan, serpihan-
sepihan sebuah program yang berjalan diberi ruang untuk dimuat di website. Ini juga mungkin suatu cara
untuk menegaskan bahwa LSM bukanlah sarang “penyamun”, yang hanya sibuk mengkliping koran.
Dalam kasus Interseksi, publikasinya menerima resepsi yang meriah. Misalnya buku Hak Minoritas
Dilema Multikulturalisme di Indonesia, yang notabene hasil riset atas bantuan Yayasan Tifa, menjadi
bahan ajar di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.

Beberapa tahun terakhir, LSM telah mulai melirik pemberlakuan kode etik dan akreditasi/sertifikasi.
Aplikasi kode etik atau akreditasi bagi LSM akan ideal jika terbangun secara orisinil dari kalangan LSM
sendiri, dan tidak harus bersifat monolitik. Apalagi jika diatur dengan perangkat hukum untuk
membungkam LSM, yang selama ini dikenal kritis terhadap pemerintah dan pro aktif mengadvokasi
masyarakat terpinggirkan. Tolok ukur yang seragam dan elitis harus dijauhi dan juga tidak mudah
dicapai. Beberapa LSM sudah mengembangkan akuntabilitasnya. Upaya yang tengah digiatkan oleh
KPMM di Padang dan Sawarung di Bandung, contohnya, sangat penting untuk disokong secara kolektif.
Demikian juga, eksprimentasi LP3ES dalam merumuskan formula Kode Etik LSM di tingkat regional dan
nasional harus juga didukung.

Sebagai kesimpulan singkat, mari kita bersikap adil terhadap LSM. Jangan memojokkan LSM hanya
sebagai kedok untuk menutupi bopeng wajah sendiri atau manifestasi dari vested interest.

[1]Lusi Herlina, “Pengembangan Transparansi dan Akuntabilitas di KPMM, Sumbar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan
Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa,
2004, h. 197

[2]Zaim Saidi, “Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM” dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM:
Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 39

[3]Rustam Ibrahim dikutip dalam Hamid Abidin, “Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Problem dan Ikhtiar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin
Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC,
Ford Foundation dan Tifa, 2004, h.62.

[4]Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam: Gagasan dan Pengalaman, dalam buku Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan
Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005, h. 332-334.

[5] Rustam Ibrahim Dkk. Governance dan Akuntabilitas LSM Indonesia. 2004.
[6] AS.Hikam. Civil Society. LP3ES.

[7] Ibid.

[8]Wawancara Ridwan al-Makassary dengan Andy Agung Prihatna, Peneliti LP3ES, di Jakarta awal Januari 2005. Wawancara ini ketika itu
dilakukan untuk kepentingan penelitian riset ”Filantropi untuk Keadilan Sosial dalam Masyarakat Islam: Kasus Indonesia” CSRC UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

[9] Richard Holloway, Menuju Kemandirian Keuangan, Jakarta: Yayasan Obor, 2001

[10] Richard Holloway, Menuju Kemandirian Keuangan, Jakarta: Yayasan Obor, 2001, h. 17-18.

[11]Lihat, buku Sumbangan Sosial Perusahaan (penyunting Zaim Saidi dkk), Jakarta: PIRAC, 2003, h 23-24..

[12]Hamid Abidin, “Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Problem dan Ikhtiar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan
Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa,
2004, h. 66.

[13]Ridwan al-Makassary, “Pengarusutamaan Filantropi Islam untuk Keadilan Sosial di Indonesia: Proyek yang Belum Selesai” dalam Jurnal
Galang, vol 1, No.3, April 2006, h. 38-49. Lihat juga buku-buku Filantropi yang diterbitkan oleh CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
PIRAC. Keduanya beberapa tahun terakhir menggalakkan studi Filantropi untuk Keadilan Sosial (Philanthropy for Social Justice).

[14]Adi Chandra Utama, “Menyambung yang Terputus (Model Bagi Optimalisasi Potensi Kedermawanan Menuju Keadilan Sosial” dalam Jurnal
Galang, vol 1, No.3, April 2006, h.5-21.

[15]Kastorius Sinaga, “Melembagakan Transparansi dan Kontrol LSM di Indonesia” dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan
Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa,
2004, h. 85

[16]Zaim Saidi, “Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM” dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM:
Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 39

[17]Hamid Abidin, “Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Problem dan Ikhtiar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan
Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa,
2004, h. 62.

Kiprah Perempuan di Ranah Politik dari Masa ke


Masa
Written by Luky Sandra Amalia   
Wednesday, 30 June 2010 00:00
There are no translations available.

Secara kuantitas, perempuan di Indonesia berjumlah 101.625.816 jiwa atau menempati 51% dari
seluruh penduduk Indonesia (BPS, 2000). Tetapi, karena konstruksi budaya dalam masyarakat
membuat perempuan harus menempati posisi kedua setelah laki-laki. Pembagian kerja berbasis
jenis kelamin (gender based division of labor) telah melandasi terjadinya stratifikasi gender yang
membuat perempuan hanya bekerja di sektor domestik sedangkan laki-laki di wilayah publik.
Pekerjaan di sektor domestik seringkali dianggap lebih rendah daripada pekerjaan di wilayah
publik, disamping juga dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bernilai ekonomi (unpaid labor).

Oleh karena itu, aktivis perempuan tidak henti-hentinya berjuang untuk meningkatkan kesadaran
perempuan yang secara sadar atau tidak sadar telah mengadopsi praktek-praktek patriarki, bahkan
perempuan sendiri menerima keadaan tersebut sebagai kodrat (given). Sebenarnya, bagaimana
kiprah kaum perempuan di Indonesia, khususnya di bidang politik? Sejak kapan perjuangan
perempuan di ranah politik dimulai dan bagaimana bentuknya? Untuk itu, tulisan ini akan
menuturkan kiprah perempuan di ranah politik dari masa ke masa.

Perempuan dan Rezim

Perjuangan aktivis perempuan, sejatinya, telah dimulai jauh sebelum Republik Indonesia
merdeka. Hal ini ditunjukkan dengan berdirinya organisasi-organisasi perempuan yang
berkontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia. Misalnya, organisasi Pawijatan Wanito di
Magelang yang didirikan pada tahun 1915 dan PIKAT (Perantaraan Ibu kepada Anak Temurun)
yang dibentuk di Manado pada tahun 1917. Selain itu, di Surabaya juga ada organisasi
perempuan yang dikenal dengan Poetri Boedi sejak didirikan pada tahun 1919 (Suryochondro,
1999:3). Beberapa organisasi perempuan ini, setidaknya, memberikan inspirasi bagi gerakan
kaum perempuan yang terus menjamur pada masa selanjutnya, yaitu masa setelah kemerdekaan
hingga memasuki Orde Lama.

Perkembangan organisasi perempuan semakin tampak setelah lahirnya Kongres Wanita Indonesia
(Kowani) pada tahun 1945. Kowani merupakan “reinkarnasi” dari organisasi perempuan yang
didirikan pada tahun 1928, yaitu Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI).
Sayangnya, pada tahun 1965 Kowani menghadapi persoalan yang cukup serius, yaitu
pimpinannya memiliki keberpihakan kepada G 30 S/PKI. Namun demikian, keadaan ini telah
memunculkan organisasi perempuan baru sebagai bentuk respon atas peristiwa tersebut, yaitu
Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (Kawi). Tidak hanya itu, organisasi lain yang juga muncul
adalah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang beraliran komunis (Kompas,7 Oktober 1999).

Pada masa Orde Lama, selain organisasi juga muncul beberapa nama perempuan yang berkiprah
dalam bidang politik, antara lain Kartini Kartaradjasa dan Supeni, dua nama yang terkenal dari
Partai Nasional Indonesia (PNI). Tidak hanya itu, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) juga
memiliki tokoh perempuan yaitu Walandauw. Demikian halnya di Partai Nadhlatul Ulama juga
ada nama Mahmuda Mawardi dan HAS Wachid Hasyim. Sementara itu, Salawati Daud
merupakan tokoh perempuan terkenal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini menunjukkan
bahwa pada masa pemerintahan Orde Lama, keberadaan perempuan diperhitungkan di panggung
politik. Namun, semua itu sirna seiring dengan berakhirnya masa kekuasaan rezim Orde Lama
dan berganti dengan Orde Baru.

Masa transisi dari Orde Lama menuju Orde Baru merupakan saat yang sulit bagi pergerakan
perempuan di Indonesia. Organisasi perempuan dianggap sebagai salah satu elemen yang harus
diawasi dan dipasung atas nama kepentingan negara. Salah satu contoh nyata adalah gerakan
penghancuran hingga ke akar-akarnya yang dilakukan terhadap Gerwani pada tahun 1965.
Penghancuran ini dilakukan dengan cara politik pencitraan hingga di tingkat daerah dimana
Gerwani dicitrakan sebagai sekumpulan perempuan kejam yang kerapkali menyilet dan menyiksa
para korbannya.
Pada masa Orde Baru, organisasi perempuan disentralisasi oleh negara di bidang
“keperempuanan”. Perempuan berperan sebagai istri pendamping suami, pendidik anak dan
pembina generasi muda, serta pengatur ekonomi rumah tangga. Kalaupun ada perempuan yang
bekerja di luar rumah, hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Selain itu, kiprah
perempuan di luar rumah juga difokuskan pada aktivitas sosial dan penyumbang tenaga pada
masyarakat. Hal ini, tentu saja, semakin melanggengkan budaya patriarki.

Salah satu organisasi yang terkenal pada masa itu adalah Dharma Wanita yang berdiri pada tahun
1974 dan dikenal sebagai organisasi istri pegawai negeri. Organisasi ini juga terkenal dengan
programnya yang disebut PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Demikian halnya dengan
istri-istri ABRI juga tergabung dalam organisasi sesuai dengan bidang suaminya, antara lain
Persit (Persatuan Istri Tentara) Candra Kirana bagi istri angkatan darat, Jalasenastri untuk istri
angkatan laut, PIA Ardhya Garini bagi istri angkatan udara, dan Bhayangkari untuk istri anggota
Polri.

Namun demikian, pada tahun 1980-an banyak bermunculan organisasi perempuan yang mencoba
untuk keluar dari rumusan peran Orde Baru, diantaranya Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) di
Yogyakarta dan Yayasan Kalyanamitra di Jakarta. Yayasan ini bahkan memiliki jaringan hingga
ke LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), yakni LSM Solidaritas Perempuan dan LSM Rifka
Annisa. Perjuangan aktivis perempuan pada masa ini tidaklah mudah sebab di satu sisi mereka
harus mengubah mindset kaum perempuan terhadap kesetaraan gender, dan di sisi lain mereka
juga harus berhadapan dengan negara yang memiliki rumuan peran perempuan yang berbeda
dengan perjuangan mereka.

Perempuan dan Reformasi

Keberadaan organisasi perempuan semakin mendapat tempat seiring dengan runtuhnya rezim
otoriter Orde Baru. Perjuangan aktivis perempuan untuk memperjuangkan hak kaum perempuan
yang selama ini dipasung oleh pemerintah atas nama kepentingan negara semakin terbuka lebar.
Organisasi perempuan terus bermunculan dalam berbagai bentuk, tidak hanya dalam bentuk
ormas, yayasan, dan LSM, melainkan juga dalam bentuk women crisis center dan hotline. Tidak
hanya itu, partai politik pun tidak ketinggalan memasukkan unsur perempuan ke dalam bidang
organisasinya maupun sayap organisasi yang dipimpin langsung oleh perempuan. Misalnya,
Partai Golkar memiliki Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) memikili Wanita Persatuan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memiliki
Perempuan Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memiliki
Departemen Urusan Pemberdayaan Perempuan (DUPP), Partai Amanat Nasional (PAN) memiliki
Perempuan Amanat Nasional, dan masih banyak lagi.

Keberpihakan terhadap kaum perempuan juga ditunjukkan dengan amandemen UUD 1945 dan
memuat unsur kesetaraan gender dalam bentuk persamaan hak dan kewajiban antar sesama warga
negara dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang hukum dan pemerintahan.
Bahkan, pada saat pembentukan draft amandemen UUD 1945, organisasi perempuan juga
dilibatkan di bawah koordinasi Komite Perempuan untuk Perdamaian dan Demokrasi. Hal ini
diperkuat dengan UU RI Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 46, tentang Hak Asasi Manusia yang
menjamin keterwakilan perempuan, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang mengharuskan seluruh kebijakan
dan Program Pembangunan Nasional dirancang dengan perspektif gender (Anshor, 2008).
Sebelum itu, sebetulnya pemerintah Orde Baru telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women-CEDAW) yang
disahkan melalui UU R Nomor 7 Tahun 1984.

Namun demikian, perjuangan perempuan masih menemui jalan berliku karena hingga saat ini
untuk mencapai wilayah publik (lembaga legislatif) harus melalui pintu partai politik sebagai
satu-satunya mesin politik di Indonesia. Padahal, tidak semua partai politik berpihak kepada
perempuan. Artinya, dunia politik masih kental dengan budaya maskulinisme. Misalnya, rapat
partai dilakukan pada malam hari hingga menjelang subuh. Keadaan ini menyulitkan bagi
perempuan, yang secara tradisional terikat dengan beban kewajiban untuk menjaga anak dan
melayani suami. Sehingga, hal tersebut menghambat perempuan untuk berperan di bidang politik.
Contoh lain, mayoritas perempuan tidak mandiri secara ekonomi, artinya secara finansial masih
bergantung kepada suami. Oleh karena itu, perempuan harus seijin suaminya dalam hal
membelanjakan uangnya, termasuk untuk membelanjakan uangnya di bidang politik, terkait
dengan gerakannya di partai politik. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang mayoritas bertindak
sebagai pengambil keputusan berkaitan dengan posisinya sebagai kepala rumah tangga.

Bahkan, ketika aktivis perempuan berhasil mendesakkan tindakan afirmatif dalam UU Pemilu
yang memuat kuota 30% bagi keberadaan calon anggota legislatif perempuan, itu pun tidak
berjalan mulus mendudukkan perempuan sebagai wakil rakyat. Hal ini terkait dengan persoalan
teknis di lapangan, dimana kuota 30% bagi perempuan hanya diberlakukan di tataran pencalonan
dan tanpa sanksi bagi partai politik yang tidak mampu memenuhinya. Sedangkan, urusan
penomoran urutan caleg berada di tangan pimpinan partai politik yang didominasi oleh laki-laki.
Tidak hanya itu, sistem zipper yang sedianya dianggap mampu menaikkan keterwakilan
perempuan di parlemen justru harus “kandas” karena “dipatahkan” melalui Keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK).

Dengan demikian, perjuangan perempuan dalam upaya menegakkan kesetaraan gender masih
jauh dari harapan. Peningkatan jumlah anggota dewan perempuan dari periode ke periode belum
mampu mengentaskan kaumnya dari ketidaksetaraan gender yang dialami. Oleh karena itu,
perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender tidak dapat dilakukan oleh kaum
perempuan sendiri, melainkan diperlukan kerjasama dengan entitas sosial lain yang memiliki
kepekaan terhadap persoalan perempuan (gender sensitivity). Selain itu, perjuangan tersebut juga
memerlukan upaya yang sistematis, terprogram, dan berkesinambungan pada semua sisi
pembangunan. Disamping itu, perjuangan tersebut juga memerlukan komitmen bersama dari para
pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, kaum cendekiawan,
beserta seluruh elemen masyarakat dalam rangka mengeliminasi berbagai kendala kultural,
struktural, dan instrumental dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender di semua lini
kehidupan. (Luky Sandra Amalia)
Sekedar Bertutur...

Tulisan-tulisan disini sekedar menuturkan gumam, membahas cerita-cerita tentang masyarakat,


mencoba menautkannya dengan kajian kesejahteraan sosial walupun masih lemah berteori. Blog
ini merupakan sarana mendiskusikan hal sederhana yang ditemukan di ‘jalanan’, di
‘persimpangan’, hingga di 'pedalaman'. Jika mungkin layak bisa ditautkan dengan konteks
pengembangan masyarakat, CSR, kemiskinan atau atribusi lain.

Sabtu, 03 April 2010


VISI PEMBANGUNAN NASIONAL dan LUNTURNYA MODAL SOSIAL

Latar Belakang
Sejak dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, terjadi berbagai perubahan
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan,
dengan tidak dibuatnya lagi garis-garis besar haluan negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan
rencana pembangunan nasional. Disisi lain, Indonesia membutuhkan perencanaan pembangunan jangka
panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap
dalam upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dibuatlah Undang-undang terkait dengan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007
(UU No.17 tahun 2007)
RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Indonesia
yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangs dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam
bentuk rumusan, visi, misi dan arah pembangunan nasional.
Kurun waktu RPJP Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun. Pelaksanaan RPJP 2005-2025 terbagi
kedalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi perencanaan pembangunan jangka
menengah nasional  5 (lima) tahunan yang dituangkan dalam RPJM Nasional I Tahun 2005-2009, RPJM
Nasional II Tahun 2010-2014, RPJM Nasional III Tahun 2015-2019, dan RPJM Nasional IV Tahun 2020-
2024.
RPJP Nasional digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan RPJM Nasional.
Pentahapan pembangunan nasional disusun dalam masing-masing periode RPJM Nasional sesuai
dengan visi, misi dan Program Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. RPJM
Nasional memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program kementrian/
lembaga dan lintas kementrian/lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka
ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah
kebijakan fiskal dalam rencana kerja berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang
bersifat indikatif.
RPJMN memiliki peran strategis karena menjadi acuan dalam perjalanan bangsa, salah satu
aspek yang dikaji dalam makalah ini adalah mengenai salah satu visi pembangunan nasional yaitu
mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan
falsafah pancasila. Jika dirunut dari Visi dan misi pembangunan nasional, disebutkan bahwa Visi
pembangunan nasional harus dapat dukur untuk mengetahui  tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan
dan kemakmuran yang ingin dicapai. Secara mendasar kemandirian sesunguhnya mencerminkan sikap
sesorang atau sebuah bangsa mengenai dirinya, masyarakatnya, serta semangatnya dalam menghadpai
tantangan-tantangan. Karena menyangkut sikap, kemandirian pada dasarnya adalah masalah budaya
dalam arti seluas-luasnya. Sikap kemandirian harus dicerminkan dalam setiap aspek kehidupan, baik
hukum, ekonomi, politik, sosial budaya, maupun pertahanan kemanan.
Tingkat kemajuan suatu bangsa dinilai berdasarkan berbagai ukuran. Ditinjau dari indikator
sosial, tingkat kemajuan suatu negara diukur dari kualitas sumber daya manusianya. Suatu bangsa
dikatakan semakin maju apabila sumber daya manusianya memiliki kepribadian bangsa, berakhlak
mulia, dan berkualitas pendidikan yang tinggi. Tingginya kualitas pendidikan penduduknya ditandai oleh
makin menurunnya tingkat pendidikan terendah serta meningkatnya partisipasi pendidikan dan jumlah
tenaga ahli serta profesional yang dihasilkan sistem pendidikan.
Salah satu visi pembangunan nasional, yaitu Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,
bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah pancasila adalah memperkuat
jatidiri dan karakter bangsa melelui pendidikan yang bertujuan membentuk manusia bertakwa
kepada Tuhan yang Maha Esa, mematuhi aturan hukum, memelihara kerukunan internal dan
antar umat eragama, melaksanakan interaksi antarbudaya, mengembangkan modal sosial,
menerapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, dan memiliki kebanggan sebagai bangsa Indonesia
dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa.
Dalam arah, tahapan, dan prioritas pembangunan jangka panjang, terdapat ukuran tercapainya
indoneisia yang maju, mandiri, dan adil, pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang diarahkan
pada pencapaian sasaran-sasaran pokok  dalam hal ini pada aspek Terwujudnya Masyarakat Indonesia
Berakhlakmulia, Bermoral, Beretika, Berbudaya, dan Beradab ditandai oleh hal-hal berikut:
1.      Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral
berdasarkan falsafah pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan
masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
berbudi luhur, toleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis dan berorientasi
IPTEK.
2.      Makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat dan
martabat manusia Indonesia, dan menguatnya jati diri dan kepribadian bangsa.
Arah pembangunan jangka panjang dalam upaya mewujudkan masyarakat yang
berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab adalah sangat penting bagi
terciptanya suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis.
Disamping itu kesadaran akan budaya memberikan arah bagi perwujudan identitas nasonal yang
sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan menciptakan iklim kondusif dan harmonis
sehingga nilai-nilai kearifan lokal mampu mersespon modernisasi secara positif dan produktif
sejalan dengan nilai-nilai kebangsaaan;
1.      Pembangunan agama diarahkan untuk menetapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan
moral dan etika dalam pembangunan, membina akhlak mulia, memupuk etos kerja, menghargai
prestasi, dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam pembangunan.
Disamping itu pembangunan agama diarahkan pula untuk meningkatkan kerukunan hidup antar
umat beragama dengan meningkatkan rasa saling percaya dan harmonis antar keompok
masyarakat sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang penuh toeransi, tenggang rasa
dan harmonis.
2.      Pembangunan dan pemantapan jatidiri bangsa ditujukan untuk mewujudkan karakter bangsa dan
sisitem sosial yang berakar, unik, modern, dan unggul. Jatidiri tersebut merupakan kombinasi
antara nilai luhur bangsa seperti religus, kebersamaan dan persatuan, serta nilai modern yang
universal, mencakup etos kerja dan prinsip tata kepemerintahan yang baik. Pembangunan jatidiri
bangsa tersebut dilakukan melalui transformasi, revitalisasi, dan reaktualisasi tata nilai budaya
bangsa yang mempunyai potensi unggul dan memantapkan nilai modern yang membangun.
Untuk memperkuat jatidiri dan kebanggaan bangsa, pembangunan olah raga diarahkan pada
peningkatan budaya dan prestasi oleh raga.

Makalah ini secara khusus membahas mengenai visi pertama pembangunan nasional
yaitu Mewujudkan Masyarakat Berakhlak Mulia, Bermoral, Beretika, Berbudaya dan Beradab
Berdasarkan Falsafah Pancasila. Visi ini amatlah penting dikarenakan menjadi identitas
masyarakat Indonesia, ukuran ideal masyarakat Indonesia, juga menjadi pencerminan sikap
terhadap bangsa lain. Namun tantangan terhadap konsistensi dari visi ini sangatlah besar baik
dari sisi internal maupun eksternal, terlebih indikasi desakralisasi jatidiri bangsa terjadi begitu
massif seperti menjamurnya budaya demoralisasi seperti korupsi, kolusi dan nepotisme,
hilangnya rasa malu, pensyakralan hal-hal profan dan pemprofanan hal-hal yang sifatnya sakral.
Hal yang paling dihawatirkan saat ini adalah globalisasi telah membawa budaya lintas batas,
dimana secara kebudayaan masyarakat Indonesia telah dijajah budaya barat dan lebih menyukai
penetrasi budaya tersebut, yang secara tidak langsung telah berhasil membuat masyarakat
Indonesia kehilangan identitasnya.
Menjadi sebuah pertanyaan apakah RPJM Nasional yang yang didalamnya terdapat visi
Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan
falsafah pancasila, sudah siap dengan perubahan zaman, sudah memprediksi dan mempersiapkan
langkah prefentif tehadap ‘penajajahan kultural’ bangsa lain, atau malah visi RPJM hanya menjadi
sekedar simbol tertulis yang sama sekali tidak membumi, sehingga ada atau tidak ada visi tersebut tidak
ada pengaruhnya terhadap batas dberkasi antara identitas bangsa dengan penetrasi budaya luar.
Belum lagi aspek lain terkait identitas yang lebih pada ruang komunitas, yaitu pemerintah
sering tidak menyadari, jika program-program yang dilakukan mencerminkan nilai-nlai yang
jauh dari upaya mewujudkan akhlak mulia, bermoral dan bertetika, berbudaya dan beradab.
Karena beberapa program malah meluruhkan hal-hal tersebut, seperti halnya pada program
Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang lebih mengajarkan masyarakat untuk berlomba-lomba
merasa miskin atau menjadi bangga dengan kemiskinanya, membuat kecemburuan sosial
diantara warga, memunculkan mentalitas masyarkat yang tidak berdaya, semakin menguatkan
budaya kemisiknan, memberikan ikan bukan pancing.
Pada program pemerintah lainnya, yaitu Program Nasional Pemberdayaan Nasional
Mandiri (PNPM Mandiri) pada beberapa kasus telah memberikan kontribusi dalam
menurunkannya modal masyarakat Indonesia. PNPM yang dirancang memberdayakan
masyarakat, dengan konsep dasar membangun partisipasi, ternyata memberikan dampak negatif,
yaitu menumbuhkan rasa curiga mencurigai antar masyarakat terkait program yang  pada
akhirnya menjadi proyek yang diperebutkan warga, memunculkan keengganan masyarakat
bergotong royong dengan dalih sudah ada PNPM, mendidik masyarakat memanipulasi dan
mengkorupsi dana PNPM. Kondisi ini telah merubah struktur dan kultur masyarakat yang sudah
ada yaitu bentuk-bentuk kearifan lokal, berbuat tanpa pamrih, saling membantu, tenggang rasa
dan lain-lain.
Modal sosial merupakan identitas atau jati diri bangsa yang harus dipupuk dan dijaga,
selama bangsa ini ada. Sedangkan pemerintah atas dasar pembangunan mencoba memasukan
unsur eksternal pada kebudayaan lokal terlebih ada kaitan dengan nilai materi yang secara tidak
langsung merubah tatanan sosaial yang sudah ada.
Berdarkan dua kondisi diatas, perlu adanya upaya untuk menajga kemurnian visi
pembanguann nasional, dengan mengawal dan terus menerus mengevaluasi kondsi yang ada,
sehingga ketika ada aspek yang diperkirakan menggangu harus segera diantisipasi, bukan
dibiarkan dan dipelihara. Terkait itu perlu adanya kajian khusus mengenai modal sosial bangsa
Indonesia, dan bagaimana supaya terus terkuatkan sehingga tidak terjadi penurunan. Dalam
makalah ini sengaja dikaji mengenai modal sosial, tujuannya adalah agar menjadi  patokan dalam
upaya membentengi identitas bangsa dari ancaman pengaruh internal dan eksternal. Selain
menjadi pelengkap dalam indikator visi pertama pembangunan nasional.

Modal sosial
Para sosiolog, analis kebijakan dan pekerja sosial, belakang ini cukup sering membicarakan
mengenai modal dalam bentuk lain, seperti modal manusia, modal intelektual dan modal kultural atau
budaya, yang juga dapat digunakan untuk keperluan tertentu atau diinvestasikan untuk kegiatan di masa
yang akan datang. Modal manusia misalnya dapat meliputi keterampilan atau kemampuan yang dimiliki
orang untuk melakukan tugas tertentu. Modal intelektual mencakup kecerdasan atau ide-ide yang
dimilikii manusia untuk mengartikulasikan sebuah konsep atau pemikiran. Sedangkan modal kultural
meliputi pengetahuan dan pemahaman komunitas terhadap praktek dan pedoman-pedoman hidup
dalam masyarakat.  Konsep mengenai modal manusia, intelektual dan kultural lebih sulit diukur, karena
melibatkan pengetahuan yang dibawa orang dalam benaknya dan tidak mudah dihitung secara biasa.
Modal sosial yang juga konsep yang tidak gampang diidentifikasi dan apalgi diukur secara kuantitas dan
absolut. Modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks komunitas yang kuat (strong community),
masyarakat madani yang kokoh, maupun identitas negara bangsa (nation state identity). Modal sosial
termsuk elemen-elemennya seperti kepercayan, kohesivitas, altruisme, gotong royong, jaringan dan
kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam
mekanisme, seperti meningkatnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian
masyarakat, dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Suharto, 2008).
Dua tokoh utama yang mengembangkan konsep modal sosial , yaitu Putnam dan Fukuyama,
memberikan definisi modal sosial yang penting. Meskipun berbeda, definisi keduanya memiliki kaitan
yang erat, terutama menyangkut konsep kepercayaan (trust). Putnam mengartikan modal sosial sebagai
penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan dan dan kepercayaan yang memfasilitasi adanya
koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama. Menurut Fukuyama, modal sosial adalah
kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan dari sebuah komunitas.
Modal sosial dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi
antara orang-orang dalam satu komunitas. Namun demikian pengukuran modal sosial jarang
melibatkan interaksi itu sendiri. Melainkan,hasil dari interaksi tersebut, seperti terciptanya atau
terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. Sebuah interaksi dapat terjadi dalam skala
individual maupun institusional. Secara individual, interaksi terjadi manakala relasi intim antar
individu terbentuk satu sama lain yang kemudian melahirkan ikatan emosional. Secara
institusional, interaksi dapat lahir pada saat individu dan tujuan suatu organisasi memiliki
kesamaan dengan visi dan tujuan organisasi lainnya.
Meskipun interaksi terjadi karena berbagai alasan, orang-orang berinteraksi, berkomunikasi dan
kemudian menjalin kerjasama pada dasarnya dipengaruhi oleh keinginan untuk  berbagai cara mencapai
tujuan bersama yang tidak jarang berbeda dengan tujuan dirinya secara pribadi. Keadaan ini terutama
terjadi pada interaksi yang berlangsung relatif lama. Interaksi ini melahirkan modal sosial yaitu ikatan-
ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama, yang kemudian
menumbuhkan kepercayaan dan kemanan yang tercipta dari adanya relasi yang relatif panjang. Seperti
halnya modal finansial, modal sosial seperti ini dapat dilihat sebagai sumber yang dapat digunakan baik
untuk kegiatan atau proses produksi untuk saat ini, ataupun bagi kegiatan di masa depan.
Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi cenderung bekerja secara gotong-royong,
cenderung merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaan-perbedaan. Sebaliknya
masyarakat yang memiliki modal sosial rendah akan tampak adanya kecurigaan satu sama lain,
merebaknya ”kelompok kita” dan “kelompok mereka”, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan
sosial, serta sering munculnya kambing hitam.

Parameter Modal sosial


Modal sosial mirip bentuk-bentuk modal lainnya, dalam arti ia juga bersifat produktif. Modal
sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khsususnya relasi yang intim dan
konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada
produkstifitas masyarakat. Namun demikian modal sosial berbeda dengan modal finansial, karena modal
sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sndirinya (self reinforcing) (Putnam, 1993). Modal sosial
tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering
disebabkan oleh bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Berbeda denga modal
manuisa, modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain
(coleman 1988). Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia tersebut
menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur
(Fukuyama, 1995).
Merujuk pada Ridell (1997), ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-
norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks).
1.      Kepercayaan
Sebagaiman dijelaskan Fukuyama, kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah
masyarakat yang ditunjukkan oleh perilaku jujur, teratur, dan kerjasama yang dianut oleh norma-
norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial sosial merupakan penerapan terhadap
pemahaman ini. Cox (1995) kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat
kepercayaan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga
bersifat kerjasama. Kepercayaan sosial pada dasarnya produk dari modal sosial yang baik.
Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; modal
sosial melahirkan kehidupan yang harmonis (Putnam, 1995). Kerusakan modal sosial akan
menimbulkan anomie dan perilaku anti sosial (Cox, 1995).
2.      Norma
Norma terdiri dari pemahaman, nilai-nilai, harapan–harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan
dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan
moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma
dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan untuk
mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995). Norma-norma dapat merupakan
prakondisi maupun produk kepercayaan sosial.
3.      Jaringan
Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia
(Putnam, 1993). Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi,
memungkinkan tmbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat
cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu orang
dengan orang lain. Mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal
maupun informal. Putnam berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan
memperkuat perasaan kerjasama antar anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.

Bersandar pada parameter diatas, beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran
modal sosial antara lain (Suharto, 2006):
-          Perasaan identitas
-          Perasaan memiliki atau sebaliknya perasaan alienasi
-          Sistem kepercayaan dan ideologi
-          Nilai-nilai dan tujuan-tujuan
-          Ketakutan-ketakutan
-          Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat
-          Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya pekerjaan,
pendapatan, pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi dan jaminan sosial)
-          Opini mengenai kinerja pemerintah yang dilakukan terdahulu
-          Keyakinan pada lembag-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya
-          Tingkat kepercayaan
-          Harapan-harapan yang ingin dicapai dimasa depan

Dapat dikatakan bahwa modal sosial dilahirkan dari bawah (bottom up), tidak hirarkis
dan berdasar pada interaksi yang saling menguntungkan. Oleh karena itu modal sosial bukan
merupakan produk dari inisiatif dan kebijakan pemeritah. Namun demikian, modal sosial dapat
ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara melalui kebijakan publik.
Mengembangkan Modal sosial melalui Kebijakan Publik
Dalam konteks kebijakan publik, modal sosial pada intinya menunjuk pada political will
dan penciptaan jaringan-jaringan, kepercayaan dan nilai-nilai bersama, norma-norma dan
kebersamaan yang timbul dari adanya interaksi manusia di dalam sebuah masyarakat.
Pemerintah dapat mempengaruhi secara positif kepercayaan, kohesivitas, altruisme, gotong-
royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial dalam sebuah komunitas. Modal sosial pada
umumnya akan tumbuh dan berkembang bukan saja karena ada kesamaan tujuan dan
kepentingan, melainkan pula karena adanya kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi,
terjalinnya relasi yang berkelanjutan, serta terpeliharanya komunikasi dan dialog yang efektif.
Gambar berikut menunjukkan bagaimana kebijakan publik dapat mempengaruhi lingkaran modal
sosial yang pada gilirannya menjadi pendorong keberhasilan pembangunan, khususnya
pembangunan kesejahteraan sosial:
Interaksi efektif antar manusia

Berkembangnya gotong royong, altruism, kohesifitas, keyakinan untuk berpartisipasi

MODAL SOSIAL

Tumbuhnya niat baik, kepercayaan dan  norma

Tumbuhnya saling pengertian

KEBIJAKAN PUBLIK

PEMBANGUNAN SOSIAL

PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


 
Gambar Kebijakan Publik dan Modal Sosial

Strategi Kebijakan Publik dalam Pengembangan Modal Sosial


Beberapa strategi kebijakan publik yang dapat dirancang guna mempengaruhi tumbuh
kembangnya modal sosial adalah sebagai berikut:
1.      Memperkuat kepercayaan sosial (social trust) melalui:
-          Model integrasi dan relasi di dalam dan diluar lembaga-lembaga pemerintahan
-          Proses-proses yang mampu mengatasi konflik dan pertentangan berdasarkan prinsip ‘win-win
policy’
-          Desentralisasi dalam pengambilan keputusan
2.      Menumbuhkembangkan nilai-nilai kebersamaan, melalui:
-          Kurikulum pendidikan
-          Hukum dan kebijakan keteraturan
-          Perasaan bersama menganai identitas dan kepribadian sebagai satu negara bangsa
-          Peraturan yang mempromosikan nilai-nilai sosial positif, hak asasi manusia dan hak-hak publik
-          Kepastian standar
3.      Mengembangkan kohesifitas dan altruisme, melalui;
-          Pengurangan pajak bagi perorangan atau perusahaan yang melakukan kegiatan sosial atau
Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)
-          Registrasi dan pengorganisasian kegiatan kedermawanan sosial
4.      memperluas partisipasi lokal, melalui:
-          Pendanaan proyek-proyek kemasyarakatan
-          Dukungan bagi program pengembangan masyarakat (community development) guna
meningkatkan kapasitas masyarakat dan kepemimpinan lokal
-          Inisiatif-inisiatif yang memperkuat keluarga
5.      Menciptakan jaringan dan kolaborasi, melalui;
-          Kolaborasi diantara lembaga pemerintah dan antara lembaga pemerintah dan lembaga-Lembaga
Swadya Masayarakat (LSM) serta lembaga usaha
-          Dukungan terhadap organisasi-organiasi sukarela untuk membangun jaringan dan aliansi
6.      Meningkatkan keterlibatan masyarakat warga melalui proses tata pemerintahan yang baik (good
governance), melalui:
-          Kampanye agar orang terlibat dalam pemilihan pemerintah pusat dan daerah secara demokratis
-          Konsultasi dan advokasi kebijakan bagi warga masyarakat
-          Pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan dan penganalisisan implementasinya
-          Promosi dan sosialsiasi konsep mengenai masyarakat warga yang aktif
-          Penyediaan sarana informasi pemerintah yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat

Manfaat
Aapa manfaat yang dapat diperoleh melalui strategi kebijakan publik yang difokuskan pada
pengembangan modal sosial:
-          Meningkatnya partisipasi di dalam masyarakat sehingga terdapat kesempatan yang lebih luas
dan kemampuan yang lebih baik dalam mencapai tujuan bersama
-          Meningkatnya partisipasi dalam proses-proses demokrasi sehingga pemerintah pusat dan lokal
lebih akuntabel dan terbuka dalam mendengarkan beragam suara dan aspirasi masyarakat.
-          Menguatnya aksi bersama yang merefleksikan perasaan tanggungjawab bersama
-          Tumbuhnya dukungan bagi, dan kepercayaa daripada, individu dalam memenuhi kebutuhan dan
aspirasinya.
-          Menguatnya perasaan memiliki, identitas dan kebanggaan bersama sebagai satu warga
masyarakat
-          Menurunnya tingkat kejahatan, korupsi dan alienasi karena meningkatnya keterbukaan, kontrol
sosial, kerjasama dan harmoni
-          Meningkatnya hubungan dan jaringan antar sektor pemerintah, swasta, lembaga sukarela dan
keluarga
-          Terjadinya tukar menukar gagasan dan nilai diantara keragaman dan pluralitas warga
masyarakat
-          Rendahnya biaya-biaya transaksi karena adanya koordinasi dan kerjasama yang erat dan
memudahkan penyelasaian konflik
-          Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam merespon guncangan yang datang tiba-tiba
Karena adanya jaringan kerjasama yang erat diantara seluruh komponen masyarakat warga
-          Menguatnya kemampuan dan akses masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber-
sumber yanga da di sekitar mereka.

Pengembangan Masyarakat
Dalam Ife Terdapat pembahasan mengenai Perubahan Dari Bawah, dimana ketika berbicara
mengenai pembangunan masyarakat, maka harus memperhatikan beberapa aspek diantaranya:
1.      Menghargai Pengetahuan Lokal
Menghargai pengetahuan lokal adalah sebuah komponen esensial dari aktivitas pengembangan
masyarakat, dan ini dapat dirangkum dalam frase ‘masyarakat yang paling tahu’. Diatas
segalanya, anggota masyarakat memiliki pengalaman dari masyarakat tersebut, tentang
kebutuhan dan masalah-masalahnya, kekuatan dan kelebihannya, dan ciri-ciri khasnya. Jika kita
ingin terlibat dalam proses pengembangan masyarakat, ia harus dikerjakan daiatas pengetahuan
lokal. Dalam hal ini pekerja pengembangan masyarakat boleh memberikan pengaruh ketika
sudah lama menjadi anggota masyarakat.  Masyarakat lokalah yang memiliki kearifan,
pengetahuan, dan keahlian. Pekerja masyarakat harus mendengar dan belajar dari masyarakat,
bukan mengajari masyarakat tentang problem dan kebutuhan mereka.
2.      Menghargai kebudayaan lokal
Suatu kebudayaan lokal masyarakat bisa terkikis oleh pemaksaan nilai-nilai dominan dari luar,
dengan demikian tidak diperbolehkan menghilangkan nilai dan menganggap rendah pengalaman
masyarakat lokal. Hal yang paling penting adalah bahwa nilai-nilai kultur lokal adalah utama
dalam pengembangan masarakat, dan dengan demikian adalaha hakikat untuk seorang pekerja
pengembangan masyarakat adalah berupaya mengerti dan menerima kultur lokal seperti itu, dan
bila mungkin mengesahkan dan bekerja dengan kultur tersebut. Berupaya memaksankan suatu
nilai lain hanya karena pekerja lebih terbiasa dan nyaman dengan itu adaah bentuk imperialisme
cultural yang melemahkan dan berlawanan dengan prinsip pengembangan masyarakat.
3.      Menghargai sumber daya lokal
Salah satu prinsip penting dalam pengembangan masyarakat adalah keswadayaan, yang
diturunkan langsung dari prinsip ekologis keberlanjutan. Keswadayaan pada hakikatnya berarti
masyarakat bergantung pada sumber daya mereka sendiri, ketimbang sumber daya yang
diberikan secara eksternal. Prinsip mendasar yang menyangga pembentukan komunitas adalah
didasarkan atas pendekatan-pendekatan yang menekankan penentuan nasib sendiri dan
keswadayaan (yaitu bahwa masyarakat perlu diberdayakan untuk mengelola persoalan mereka
sendiri, yang mencakup merumuskan solusi-solusi mereka dan proses-proses untuk
mencapainya).
Permasalahan saat ini adalah bahwa hasil kebijakan dan program pembentukan komunitas terjadi
dalam lingkup suatu kerangka yang kuat dari prioritas pemerintah, kebijakan pemerintah dan
proses-proses pemerintah yang dipaksakan kepada masyarakat ketimbang yang berasal dari
mereka.
4.      Menghargai keterampilan Lokal
Hal yang paling penting dalam hal menghargai keterampilan lokal adalah, ia lebih
memberdayakan dibanding melemahkan. Seorang pekerja msyarakat dapat menghargai
keterampilan lokal dengan membuat daftar ketermpilan, sekedar mencari tahu keterampilan yang
dimiliki oleh setuip anggota masyarakat. Hal kadang yang menjadi tak terduga, karena tanpa
disadari banyak anggota masyarakat yang memiliki potensi ketramapilan, tanpa harus
menghadirka orang luar. Sedangkan tiding jarang pekerja sosial lebih memprioritaskan
mendatangkan orang luar untuk proses pengembangan masyarakat.
5.      Menghargai proses lokal
Proses-proses yang digunakan dalam pengembangan masyarakat tidak perlu diimpor dari luar,
karena mungkin terdapat proses-proses masyarakat lokal yang mengerti dan diterima dengan
baik oleh masyarakat lokal. Meskipun demikian, godaaan bagi seorang pekerja masyarakat
adalah mencoba mengadakan suatu proses yang telah ia pelajari dalam sebuah kursus, dari
sebuah buku, atau telah ia gunakan dengan berhasil pada sebuah konteks yang lain.
6.      Bekerja dalam solidaritas
Pengalaman masyarakat lokal harus disahkan dan digunakan sebagai titik awal bagi setiap
pekerja pengembangan masyarakat. Menyelonong masuk sebagai seorang pakar, bermaksud
untuk campur tangan dan membuat perubahan dari suatu posisi pengetahuan dan keterampilan
yang superior, merupakan jaminan kegagalan, dan hanya akan mempengaruhi struktur dan
wacana keadaan yang melemahkan masyaakat.
Pekerja masyarakat harus belajar melangkah mundur, mendengarkan, bertanya ketimbang
memberikan jwaban, belajar, dan mencoba mengerti. Pekerja masyarakat harus menghargai
bahwa para anggota masyarakat mengetahui lebih banyak tentang masyarakat. Masalahnya, isu,
kekuatan, kebutuhan dan cara-cara melakuka sesuatu dan bahwa setiap proses pengembangan
masyarakat harus merupakan milik mereka bukan milik pekerja pengembangan masyarakat.

Permasalahan
Dalam RPJMN mengenai salah satu point Visi Pembangunan Nasional “Mewujudkan
masyarakat berakhlak mulia, bermoral beretika, berbudaya, , dan beradab didasarkan etika
pancasila”.Pada dasarnya hanya memaparkan konsep ideal, tanpa memberikan gambaran dan
parameter yang jelas. Selain itu tidak dijelaskan bagaimana cara mempertahan kan identitas yang
tersebutkan dalam misi sehingga ketika ada permasalahan atau demoralisasi yang disebabkan
oleh berbagai permasalahn dari dalam bangsa maupun dari luar bisa jelas pentahapan dalam
mengatasinya.
Visi pembangunan nasional seolah-olah baru sekedar semboyan atau simbolisasi yang tidak
membumi, terlebih hanya memberikan tujuan tanpa memprioritaskan bagaimana proses untuk
mencapainya. Selain itu gejala demoralisasi semakin kentara saat ini, diantaranya sikap korupsi, kolusi
dan nepotesme seolah sudah menjadi budaya. Permasalahan lain adalah pemerintah terkadang tiak
konsisiten dalam mengimplementasikan visi tersebut malah terjebak pada program yang justru
meruntuhkan struktur sosial, kohesifitas sosial yang juga merupakan identitas dan karakteristik
masyarakat Indonesia. Beberapa program malah cenderung menyebabkan masyarakat menjadi
materialis, bukan memberdayakan malah melemahkan, menumbuhkan ketergantungan, dan
memunculkan bibit konflik pada level lokal.

Solusi
Modal sosial merupakan unsur yang terdapat dalam visi pembangunan nasional
“Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral beretika, berbudaya dan beradab
berdasarkan falsafah pancasila” diperlukan beberpa langkah dalam menjaga dan memelihara
vsisi tersebut, diantaranya dengan upaya memperkuat Memperkuat kepercayaan sosial (social
trust) melalui model integrasi dan relasi di dalam dan diluar lembaga-lembaga pemerintahan.
Modal integrasi antar lenbaga pemerintahan maupun pihak luar merupakan aspek terpenting,
janga sampai terjadi tumpang tindih atau tidak adanya kesamaan model antara satu lembaga
dengan lembaga lain padahal memiliki tujuan yang sama.
Diperlukan adanya proses-proses yang mampu mengatasi konflik dan pertentangan
berdasarkan prinsip ‘win-win policy’. Prinsip ini menekankan pada pentingnya kebijakan yang
membangun kebersamaan dengan prinsip saling menguntungkan. Jangan sampai sebuah
kebijakan dikeluarkan menguntungkan bagi satu pihak sedangkan pihak lain dirugikan,
sebagaimana kebijakan pemerintah menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kemudian
memberikan substitusi atau kompensasi berupa program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang
sebetulnya secara hakikat tidak memberikan dampak positif pada masyarakat.
      Solusi lainnya adalah perlunya desentralisasi dalam pengambilan keputusan, selama ini
terjadi penyeragaman dalam banyak aspek maulai dari program amupun kebijakan dimana satu
kebijakan disamaratakan tanpa melihat tingkat kebutuhan maupun heterogentas masayarakat
yang ada dibawah. Proses desentralisasi merupakan bagian dari upaya menghimpun aspirasi dan
keinginan masyarakat pada satu wilayah secara utuh.
Terkait dengan perlunya desentralisasi dalam pengambilan keputusan, perlu adanya
upaya menumbuhkembangkan nilai-nilai kebersamaan, melalui kurikulum pendidikan, hukum
dan kebijakan keteraturan, perasaan bersama menganai identitas dan kepribadian sebagai satu
negara bangsa, peraturan yang mempromosikan nilai-nilai sosial positif, hak asasi manusia dan
hak-hak publik dan kepastian akan suatu standar.
Selain itu upaya terus menerus dalam menjaga dan mempertahankan identitas adalah
melalui mengembangkan kohesifitas dan altruisme, karena dalam sejarah panjang masyarakat
Indonesia dua aspek ini merupakan kekayaan budaya bangsa. Upaya yang dilakuakan untuk
mengembangkan kohesifitas dan altruism adalah melalui, pengurangan pajak bagi perorangan
atau perusahaan yang melakukan kegiatan sosial atau Tanggungjawab Sosial Perusahaan
(Corporate Social Responsibility), jangan sampai perusahaan dihadapakan beban biaya pajak
yang tinggi, biaya loby, biaya bawah meja yang menjadi budaya oknum aparat pemerintah, disi
lain perusahaan ditekan untuk melngembangkan program CSR. Seiring dengan itu perlu adanya
registrasi dan pengorganisasian kegiatan kedermawanan sosial, sehingga program yang sifatnya
positif tidak berjalan masing-masing, dan tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Partisipasi masyarakat lokal perlu terus dikembangkan, hal ini untuk menumbuhkan
kesadaran dan rasa tanggungjawab masyarakat dalam proses pembangunan yang fokus
pembangunan tersbut adalah untuk masyarakat sendiri. Pembnguanan partsispasi dilakukan
melalui; pendanaan proyek-proyek kemasyarakatan yang didasarkan pada ‘kebetuhan’ bukan
pada ‘keinginan’ dengan catatan bantuan pendanaan tidak merubah struktur sosial dan kultur
masyarakat tersebut mendukung dengan menjaga keluhuran kearifan lokal. Dalam konteks
desentralisasi perlu diperkuatnya dukungan bagi program pengembangan masyarakat
(community development) guna meningkatkan kapasitas masyarakat dan kepemimpinan lokal
dan inisiatif-inisiatif yang memperkuat keluarga
Pada dasarnya pembangunan dan upaya menjaga kepribadian bangsa perlunnya
menciptakan jaringan dan kolaborasi, melalui sinergitas diantara lembaga pemerintah dan antara
lembaga pemerintah dan lembaga-Lembaga Swadya Masayarakat (LSM) serta lembaga usaha,
dan dukungan terhadap organisasi-organiasi sukarela untuk membangun jaringan dan aliansi
Solusi terakhir dalam upaya menjaga dan meningkatkan keterlibatan masyarakat adalah
melalui proses tata pemerintahan yang baik (good governance), yaitu dengan kampanye atau
sosialisasi agar orang terlibat dalam pemilihan pemerintah pusat dan daerah secara demokratis
menumbuhkan iklim konsultasi dan advokasi kebijakan bagi warga masyarakat, adanya pelibatan
masyarakat dalam perumusan kebijakan dan penganalisisan implementasinya, promosi dan
sosialsiasi konsep mengenai masyarakat warga yang aktif, dan penyediaan sarana informasi
pemerintah yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat.

Referensi:
-          Amrik, Mulya dan Sarosa Wicaksono (2008), CSR Untuk Penguatan Kohesi Sosial, Jakarta:
Yayasan Indonesia Business Link.
-          Ife, Jim dan Frank Tiserio (2008), Community Development, Alternatif Pengembangan
Masyarat Era Globalisasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
-          Lawang, Robert MZ (2004), Kapital Sosial, Dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar.
Jakarta: UI Press.
-          Suharto, Edi. (2008), Membangun Masyarakat Memberdayakan, Rakyat, Bandung: Alfabeta.
-          Suharto, Edi. (2008), Kebijakan sosial sebagai kebijakan publik, Bandung: Alfabeta.
-          Werthein, WF. (1999), Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Studi Perubahan sosial. 
Jogjakarta: Tiara Wacana

Ilmu kesejahteraan sosial


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kemiskinan merupakan pembahasan dari ilmu kesejahteraan sosial

Ilmu kesejahteraan sosial merupakan pengetahuan sistematis yang membahas isu kesejahteraan
dan upaya-upaya mencapai kesejahteraan.[rujukan?] Kemunculan disiplin ini merupakan hasil dari
perluasan pokok bahasan bidang pekerjaan sosial [1]

Definisi
Ilmu kesejahteraan sosial adalah ilmu terapan yang mengkaji dan mengembangkan kerangka
pemikiran, serta metodologi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat. [1]

Fokus dan Ruang Lingkup


Bila ilmu kedokteran menekankan pada diagnosis dan penyembuhan, disiplin ini menekankan
pada penilaian (‘’assessment’’) dan intervensi sosial. [2] Intervensi sosial merupakan metode
perubahan sosial terencana yang bertujuan memfungsikan kembali fungsi sosial seseorang,
kelompok, maupun masyarakat. [2] Ilmu kesejahteraan sosial dalam kaitannya dengan intervensi
sosial memiliki 3 ruang lingkup , yaitu mikro, mezzo, dan makro. [2] Level mikro membahas
intervensi sosial di tingkat individu, keluarga, dan kelompok kecil; level mezzo membahas
intervensi sosial di tingkat komunitas; dan level makro membahas intervensi sosial di tingkat
masyarakat yang lebih luas. [2]

Sejarah
Sebelum abad 16

Pada mulanya, usaha-usaha kesejahteraan sosial dilakukan oleh kelompok keagamaan. [3] Usaha-
usaha kesejahteraan yang dilakukan pada umumnya merupakan pelayanan sosial yang bersifat
amal.[4] Sebagaimana yang dituliskan Canda dan Furman dalam bukunya, Keberagaman Agama
dalam Praktek Pekerjaan Sosial (Spiritual Diversity in Social Work Practice: The Heart of
Helping), bahwa setiap agama (Budha, Hindu, Islam, Konghucu, Kristen, dan Yahudi) memiliki
kepercayaan dan nilai dasar yang berimplikasi pada penerapan atau praktek kerja sosial. [5]

Abad 13-18

Pada periode ini pemerintah Inggris mengeluarkan beberapa peraturan perundangan untuk
menangani masalah kemiskinan [3] Undang-undang Kemiskinan yang dikeluarkan oleh Ratu
Elizabeth (Elizabethan Poor Law) merupakan salah satu undang-undang yang paling terkenal
saat itu. Undang-undang tersebut dianggap sebagai cikal bakal intervensi pemerintah terhadap
kesejahteraan warga negaranya karena usaha kesejahteraan sosial sebelumnya lebih banyak
dilakukan oleh kelompok keagamaan, seperti pihak gereja. [3]

Usaha-usaha kesejahteraan sosial pada dasarnya berasal dari nilai-nilai humanitarianisme yang
percaya bahwa kondisi kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat adalah sesuatu yang tidak
seharusnya terjadi. [4] Kemudian muncul kelompok-kelompok (relawan) yang mengupayakan
pengembangan usaha kesejahteraan sosial untuk memperbaiki kondisi tersebut. [4] Usaha
kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh relawan yang didasari semangat filantropis selanjutnya
berkembang menjadi lebih terarah dan terorganisir. [4] Karena itu, baik di Inggris maupun
Amerika, sejarah pekerjaan sosial sangat terkait dengan para relawan dan organisasi para
relawan. [4] Organisasi para relawan inilah yang kemudian mendorong terciptanya beragam usaha
kesejahteraan sosial. [4]

Tahun 1869

Organisasi relawan bernama COS (Charity Organization Society) didirikan di London, Inggris. [4]
Organisasi relawan tersebut dikembangkan untuk menggalang dan mengkoordinasikan bantuan
dana dan material dari berbagai gereja serta kurang lebih 100 lembaga amal. [4] Perkembangan
organisasi relawan di Inggris berpengaruh pula terhadap perkembangan organisasi relawan di
Amerika. [4]

Tahun 1877

COS kemudian di kembangkan di Buffalo, New York. Dalam jangka waktu 10 tahun kemudian,
terbentuk 25 organisasi sosial di Amerika Serikat. [4]

Berkembangnya berbagai COS di Amerika membuat para relawan aktif yang terlibat di
dalamnya merasa perlu suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang materi yang
berhubungan dengan perilaku individu, serta permasalahan sosial dan ekonomi. [4] Oleh karena
itu, Mary Richmond, seorang praktisi pekerjaan sosial, berencana untuk mengembangkan
Sekolah Pelatihan Filantropi Terapan. [4] Lembaga ini menjadi cikal bakal kelas pekerjaan sosial
di New York pada tahun 1898. [4]

Perluasan pokok bahasan dalam sejarah perkembangan bidang pekerjaan sosial telah
memunculkan suatu kajian kesejahteraan sosial yang lebih luas. [4] Munculnya kajian
kesejahteraan sosial ini kemudian mendorong terbentuknya disiplin baru bernama ilmu
kesejahteraan sosial. [4]
Pendekatan
Menurut Midgley, terdapat empat pendekatan dalam mengupayakan kesejahteraan sosial :

Filantropi sosial

Filantropi terkait erat dengan upaya-upaya kesejahteraan sosial yang dilakukan para agamawan
dan relawan, yakni upaya yang bersifat amal (charity) dimana orang-orang ini menyumbangkan
waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. [6] Pelaku dari filantropi disebut sebagai
filantropis.

Filantropi sosial bertujuan mempromosikan kesejahteraan sosial dengan mendorong penyediaan


barang pribadi dan pelayanan kepada orang yang membutuhkan [6]. Ada beberapa karakteristik
pendekatan filantropi sosial, di antaranya [6]:

1. Amal, dimana pendekatan ini tidak memiliki kesinambungan. Artinya, tidak ada lagi interaksi
dengan penerima bantuan ketika bantuan selesai diberikan.
2. Penerima pasif, menggunakan pandangan bahwa masyarakat tidak mampu memenuhi
kebutuhan mereka, sehingga dalam penyelenggaraannya tidak melibatkan partisipasi penerima.
3. Acak, tidak memiliki metode atau tahapan khusus dalam pelaksanaannya.
4. Kemauan, ketergantungan upaya pada kemauan baik dari para donor dan kemauan pemerintah
untuk menggunakan uang pembayar pajak demi mendukung kegiatan-kegiatan amal.

Seiring dengan perkembangan filantropi, filantropi tidak lagi hanya berkaitan dengan penyediaan
bantuan kepada yang membutuhkan. [6] Selama abad ke-19, ketika kegiatan amal berkembang
dengan cepat di Eropa dan Amerika utara, beberapa pemimpin filantropis berusaha membawa isu
reformasi sosial dan peningkatan kondisi sosial. [6] Para pemimpin, yang sering berhubungan baik
dengan anggota kelas menengah atas, berusaha untuk menggunakan pengaruh mereka untuk
menjaring dukungan dari para pemimpin politik dan bisnis. [6] Mereka menggunakan koneksi
yang mereka miliki untuk membujuk pemerintah agar memperkenalkan layanan sosial yang
baru, membuat undang-undang yang mencegah eksploitasi dan diskriminasi, atau untuk tindakan
perlindungan terhadap kelompok rentan [6].

Pekerja sosial

Berbeda dengan pendekatan filantropi, pekerjaan sosial merupakan pendekatan yang terorganisir
untuk mempromosikan kesejahteraan sosial dengan menggunakan tenaga profesional yang
memenuhi syarat untuk menangani masalah sosial. [6] Namun, perkembangan pekerjaan sosial
tidak lepas dari perkembangan filantropi. [6] Sejak abad ke-19, pekerjaan sosial telah mengalami
pengembangan profesional dan akademik yang cukup pesat dan telah menyebar di seluruh dunia
[6]
.`

Administrasi sosial

Pendekatan administrasi sosial berusaha mempromosikan kesejahteraan sosial dengan


menciptakan program sosial pemerintah yang meningkatkan kesejahteraan warga negaranya
melalui penyediaan berbagai pelayanan sosial [6]. Pendekatan ini diselenggarakan langsung oleh
pemerintah. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah Undang-Undang tentang Kemiskinan
yang dikeluarkan oleh Ratu Elizabeth I. [6]

Pembangunan sosial

Pembangunan sosial merupakan suatu proses perubahan sosial terencana yang dirancang untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat secara utuh, di mana pembangunan ini dilakukan untuk
saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi. [6]

Referensi
1. ^ a b Adi,Isbandi Rukminto. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar Pada
Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan.Jakarta. FISIP UI Press. Hal. 11-20
2. ^ a b c d Adi,Isbandi Rukminto. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar
Pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan.Jakarta. FISIP UI Press. Hal. 141-145
3. ^ a b c (en) Zastrow, Charles. 1996. Introduction to Social Work and Social Welfare. Sixth
Edition. Pasific Grove: Brooks/Cole Publishing Company. Page 15.
4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Adi,Isbandi Rukminto. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial:
Pengantar Pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan.Jakarta. FISIP UI Press. Hal. 1-10
5. ^ (en) Canda,Edward R.,Leola Dyrud Furman.1999.Spiritual Diversity in Social Work
Practice:The Heart of Helping.New York:The Free Press. Hal. 143-147
6. ^ a b c d e f g h i j k l m (en) Migley, James.1995. Social Development:The Developmental
Perspective in Social Welfare. London:Sage Publications Ltd. Hal. 15-25

Definisi dan Ruang Lingkup Kebijakan Sosial

Abstrak
Kebijakan sosial merupakan kebijakan publik dalam bidang kesejahteraan sosial. Makna
kebijakan pada kata kebijakan sosial adalah kebijakan publik, sedangkan makna sosial menunjuk
pada bidang atau sektor yang menjadi garapannya, dalam hal ini adalah sektor atau bidang
kesejahteraan sosial (Suharto, 2008).
Kebijakan sosial pada dasarnya adalah gabungan dari dua aktivitas, menemukan (discovering)
dan mencari solusi (solve) suatu masalah sosial (Bessant, et al 2006:3).  Dalam hal ini, kebijakan
sosial dipadukan dalam kegiatan ilmiah akademik seperti penelitian untuk menemukan suatu
masalah sosial seperti kemiskinan, kriminalitas dan pengangguran, serta mencari tahu apa
penyebab masalah tersebut. Kemudian sebagai hasil dari penelitian tersebut menghasilkan
sebuah formula kebijakan yang disebut sebagai produk kebijakan sosial. (Huda, 2009)
Namun demikian kebijakan sosial memiliki berbagai definisi sebagaimana pandangan beberapa
ahli (Huda, 2009), diantaranya:
a.       Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki
dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial dan
bantuan keuangan. (Marshall).
b.      Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan
pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein).
c.       Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencana-rencana untuk
mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman).
d.      Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik
meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah seperti kebijakan ekonomi, transportasi,
komunikasi, pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih,
listrik). Kebijakan sosial merupakan suatu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan sosial. (Magill)
e.      Kebijakan sosial adalalh kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan (welfare), baik dalam
arti luas, yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun dalam arti sempit, yang menunjuk
pada beberapa jenis pemberian pelayanan kolektif tertentu guna melindungi kesejahteraan
rakyat. (Spicker)
f.        Kebijakan sosial adalah studi mengenai peran negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan
warganya. (Hill)

Sub bahasan lanjutan:


- Tujuan Kebijakan Sosial
- Ruang Lingkup Kebijakan Sosial

Daftar Pustaka:
Adi, Isbandi Rukminto. 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan
Sosial. Lembaga Penerbitan FEUI. Jakarta
Huda, Miftahul.2009. Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Pengantar. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Midgley, James. 2005. Pembangunan Sosial, Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan
Sosial. Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI. Jakarta.
Prayitno, Ujianto Singgih. 2009. Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia. Pusat
Pengkajian Data dan Informasi (P3DI). Sekretariat Jendral DPR RI. Jakarta
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. PT. Refika Aditama. Bandung
Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.
Suwarsono& SO, Alvin. 1999. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. LP3ES. Jakarata
Todaro, MP. 1989. Economic Development in The Third World. Longman Group Limited.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2009, Tentang Kesejahteraan Sosial.


Hubungan Antara Pekerjaan Sosial, Ilmu Kesejahteraan sosial dan Psikologi

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Sebagai mahasiswa program sarjana imu kesejahteraan sosial, sudah selayaknya mengetahui
bahwa manusia adalah makhluk biopsikososial yang harus dipelajari seluk beluknya untuk
mendukung pengembangan usaha-usaha kesejahteraan sosial. Bermula dari hal tersebut kita
harus mempelajari ilmu psikologi walaupun materi yang kita dapat tidak sedalam mahasiswa
psikologi, bahkan hanya sebagian kecil saja. Dalam praktiknya sarjana ilmu kesejahteraan sosial
berinteraksi dengan individu dan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Terlebih lagi dalam konteks praktisi sosial sebagai pekerja sosial yang sering dibatasi ruang
lingkupnya dalam level mikro dan mezzo yang harus bertatap muka secara langsung dengan
klien. Banyaknya klien yang harus kita hadapi dengan kondisi psikologis yang berbeda-beda
membuat materi psikologi wajib dikuasai agar program atau solusi yang kiat berikan dapat
berhasil secara tepat guna. Selain itu praktisi sosial juga wajib memperhatikan nilai dan prinsip
ilmu kesejahteraan sosial yang akan sangat menunjang kelancaran pelaksanaan program
sehingga tidak merugikan pihak pemberi layanan maupun klien. Pada awalnya layanan sosial
yang ada berasal dari kaum agamis dan bersifat charity atau sukarela. Pada perkembangannya
didirikan sekolah untuk menjadi pekerja sosial yang pertama di negara Inggris. Semakin banyak
dan luasnya cakupan masalah yang ada di masyarakat mendorong berkembangnya pekerjaan
sosial  ke arah ilmu kesejahteraan sosial. Hal ini berarti ada keterkaitan yang erat antara
psikologi, pekerjaan sosial dan ilmu kesejahteraan sosial.

2. TUJUAN

Tujuan penulisan dari makalah ini adalah:

1. Menjelaskan definisi atau pengertian dari Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu
Kesejahteraan Sosial
2. Menjelaskan hubungan antara Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Psikologi, Pekerjaan Sosial Dan Ilmu Kesejahteraan Sosial

Ø Pengertian Psikologi

Kata psikologi berasal dari dua kata yaitu psyche (jiwa) dan logos (ilmu) yang oleh banyak pihak
dimaknai secara berbeda-beda. Berikut ini terdapat beberapa definisi psikologi menurut beberapa
ahli:
1. Garden Murphy

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari respons yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap
lingkungannya

1. Morga, King, Weisz dan Schopler

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan, di dalamnya termasuk
aplikasi ilmu tersebut terhadap masalah yang dihadapi manusia (human problems)

1. Henry L. Roediger

Psikologi adalah studi yang sistematis mengenai tingkah laku dan kehidupan mental (mental life)

1. Clifford Morgan

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan

1. Edwin G. Boring

Psikologi adalah studi tentang hakikat manusia

1. Sarlito Wirawan

Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dan lingkungan

Dari definisi-definisi di atas diketahui bahwa psikologi secara umum mempelajari tingkah laku
manusia dan hewan yang terkait dengan lingkungannya serta aplikasinya terhadap masalah yang
dihadapi manusia.

Ø Pengertian Pekerjaan Sosial

Berikut ini adalah beberapa definisi pekerjaan sosial menurut para ahli:

1. Allen Pincus dan Anne Minahan

Pekerjaan sosial berurusan dengan interaksi antara orang-orang dan lingkungan sosial, sehingga
mereka mampu melaksanakan tugas-tugas kehidupannya, mengurangi ketegangan, dan
mewujudkan aspirasi dan nilai-nilai mereka.[1]

1. Max  Siporin

Pekerjaan sosial didefinisikan sebagai metode institusi sosial untuk membantu orang-orang guna
mencegah dan menyelesaikan masalah sosial dengan cara memperbaiki dan meningkatkan
keberfungsian sosialnya. [2]
1. Friedlander, Walter A. dan Apte, Robert Z.

Pekerjaan sosial adalah pelayanan profesional yang didasarkan pada pengetahuan dan
keterampilan ilmiah guna membantu individu, kelompok, maupun masyarakat agar tercapainya
kepuasan pribadi dan sosial serta kebebasan.[3]

1. Charles Zastrow

Pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional untuk membantu individu, kelompok atau
komunitas guna meningkatkan atau memperbaiki kapasitasnya untuk berfungsi sosial dan
menciptakan kondisi masyarakat guna mencapai tujuan-tujuannya.[4]

1. Leonora Scrafica-deGuzman.

Pekerjaan sosial adalah profesi yang bidang utamanya berkecimpung dalam kegiatan pelayanan
sosial yang terorganisasi, dimana tujuannya untuk memfasilitasi dan memperkuat relasi dalam
penyesuaian diri secara timbal balik dan saling menguntungkan antar individu dengan
lingkungan sosialnya, melalui penggunaan metode-metode pekerjaan sosial. [5]

Pekerjaan sosial merupakan sebuah profesi baru yang muncul pada awal abad ke 20, tetapi sudah
timbul sejak timbulnya revolusi industri. Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berusaha
menyatukan berbagai bidang ilmu atau spesialisasi dari berbagai lapangan praktik. Social worker
menangani klien dalam kaitannya dengan memberfungsikan kembali pihak yang mengalami
disfungsi sosial sehingga usaha-usaha yang dikembangkan membantu kliennya dalam
menjalankan fungsi sosialnya. Menurut Thelma Lee Mendoza disfungsi sosial dapat tejadi
karena:

 Ketidakmampuan individu atupun patologi yang membuat seseorang sulit menjalankan


tuntutan lingkungannya.
 Ketidakmampuan lingkungan yang di bawah kemampuan individu untuk mnyesuakan
diri.
 Ketidakmampuan personal dan situasional.

Disfungsi sosial tersebut dapat diatasi dengan tiga bentuk intervensi, yaitu:

 Intervensi yang dilakukan melalui individu


 Intervensi yang dilakukan melalui situasi atau lingkungannya melalui penyediaan fasilitas
dan pelayanan, serta
 Intervensi melalui individu dan juga lingkungannya

Jika dilihat dari hal di atas maka pekerjaan sosial mencakup area yang tidak terlalu luas yaitu
pada area mikro dan mezzo walaupun juga mencakup sedikit area makro tetapi tidak lebih
banyak dari ilmu kesejahteran sosial, dengan kata lain pekerjaan sosial berada dalam cakupan
ilmu kesejahteraan sosial.

Ø Pengertian Ilmu Kesejahteraan Sosial


Jika kita berbicara mengenai ilmu kesejahteraan sosial maka awalnya kita harus berbicara
mengenai kesejahteraan sosial itu sendiri. Di bawah ini ada beberapa definisi kesejahteraan
sosial menurut beberapa ahli.

1. Gertrude Wilson:

“Kesejahteraan sosial merupakan perhatian yang terorganisir dari semua orang untuk semua
orang”.

1. Walter Friedlander

“Kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari institusi dan pelayanan sosial
yang dirancang untuk membantu individu atau kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan
kesehatan yang lebih baik”.

1. Elizabeth Wickenden

“kesejahteraan sosial termasuk di dalamnya peraturan perundangan, program, tunjangan dan


pelayanan yang menjamin atau memperkuat pelayanan untuk memenuhi kebutuhan sosial yang
mendasar dari masyarakat serta menjaga ketentraman dalam masyarakat”.

1. Pre-conference working committee for the XVth International Conference of Social


Welfare

“Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan
utama untuk meningkatkan taraf hidup mayarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya
tercakup kebijakan dan pelayanan yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat
seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan  pendidikan, rekreasi, tradisi budaya,
dan lain sebagainya”.

Definisi-definisi di atas mengandung pengertian bahwa kesejahteraan sosial mencakup berbagai


usaha yang dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia manusia, baik itu di bidang
fisik, mental, emosional, sosial, ekonomi dan spiritual. Selain itu kesejahteran sosial
dianalogikan sebagai kesehatan jiwa yang dapat dilihat dari empat sudut pandang yaitu sebagai
keadaan, ilmu , kegiatan, dan gerakan.

Dalam kaitannya kesejahteraan sosial sebagai suatu ilmu, ilmu kesejahteraan sosial diartikan
sebagai suatu ilmu yang berusaha mengembangkan metodologi (termasuk aspek strategi dan
teknik) untuk menangani berbagai macam masalah sosial, baik di tingkat individu, kelompok,
keluarga, maupun masyarakat (baik lokal, regional maupun internasional).

Munculnya ilmu kesejahteraan sosial tidak bisa dilepaskan dari kajian sejarah pekerjaan sosial
sebagai cikal bakal adanya ilmu kesejahteraan sosial. Pekerjaan sosial yang berawal dari praktik-
praktik para relawan mempunyai sekolah khusus untuk pertama kalinya yang diprakarsai oleh
Marry Richmond. Selanjutnya dengan meluasnya masalah-masalah sosial yang timbul maka
perlu adanya kajian yang lebih luas dibandingkan kajian dalam pekerjaan sosial sehingga
muncullah ilmu kesejahteraan sosial yang menggabungkan berbagai ilmu yang lebih banyak
daripada pekerjaan sosial. Seperti sudah dikatakan di atas bahwa ilmu kesejahteraan sosial juga
mencakup penyelesaian masalah internasional yang berupa kebijakan dan peraturan
perundangan.

B. Hubungan Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial

Pekerjaan sosial merupakan sebuah profesi yang berusaha untuk menyatukan berbagai bidang
ilmu ataupun spesialisasi dari berbagai lapangan praktek. Masalah-masalah yang dihadapi
pekerjaan sosial erat kaitannya dengan masalah fungsi sosial, yaitu kemampuan seseorang untuk
menjalankan peranan berdasarkan status yang ia miliki sesuai dengan harapan masyarakat atau
lingkungannya. Pada intinya, pekerjaan sosial merupakan sebuah profesi yang secara langsung
atau tidak langsung membantu individu, kelompok ataupun masyarakat dalam memberfungsikan
kembali peranan yang ia atau mereka miliki.

Sebagai sebuah ilmu yang memiliki tujuan utama menciptakan masyarakat yang sejahtera,
diperlukan adanya suatu usaha kesejahteraan sosial untuk mencapai tujuan tersebut.  Menurut
Arthur Dunham , untuk mencapai peningkatan kualitas hidup melalui usaha kesejahteraan sosial,
dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas hidup di bidang kehidupan anak dan keluarga,
bidang kesehatan, kemampuan adaptasi dengan lingkungan sosial, pemanfaatan waktu luang, dll.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat dilihat bahwa usaha kesejahteraan sosial harus
memperhatikan berbagai unsusr dari kehidupan sosial manusia, yaitu individu, kelompok,
komunitas, ataupun unit sosial yang lebih luas.

Ilmu pekerjaan sosial sendiri pada intinya merupakan himpunan bagian dari ilmu kesejahteraan
sosial, atau dapat pula dikatakan bahwa ilmu kesejahteraan sosial adalah perluasan dari ilmu
pekerjaan sosial.

Ilmu pekerjaan sosial lebih memusatkan pada tiga metode pekerjaan sosial yang konvensional,
yaitu bimbingan sosial perseorangan, bimbingan sosial kelompok, serta pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat. Sedangkan ilmu kesejahteraan sosial, selain menggunakan ketiga
metode tersebut juga telah memperluas bidang kajiannya dengan bidang yang lebih makro
seperti perencanaan kesejahteraan sosial baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun
internasional; dan penelitian kesejahteraan sosial.

Dalam hal keterkaitan dengan bidang studi psikologi, pembahasan mengenai keterkaitan
pekerjaan sosial dan ilmu kesejahteraan sosial akan lebih dekat bila dilihat pada tingkat mikro. 
Keterkaitannya lebih banyak terlihat dalam hubungan dengan ketiga metode pekerjaan sosial
yang konvensional diatas.

Buku Applied Psychology For Social Workers yang dikarang Paula Nicolson dan Rowan Bayne
(Isbandi R. Adi, 1994)  mencoba menggambarkan mengapa psikologi diajarkan pada para
mahasiswa pekerjaan sosial, dan menyimpulkan area-area utama psikologi diterapkan pada
bidang praktek kesejahteraan sosial. Pada awal perkembangannya, pekerjaan sosial butuh untuk
menguatkan kerangka teoritis dan kebutuhan untuk mendefinisikan batasan serta cakupan
praktek pekerjaan sosial telah menjadi sumber perdebatan utama. Hal ini terlihat pada kursus
Certificate of Qualification in Social Work (CQSW) yang dikembangkan untuk melatih tenaga
professional yang baru dan diusulkan untuk melengkapi para mahasiswa agar dapat menangani
rentangan permasalahan sosial yang mempengaruhi berbagai macam kelompok klien. Secara
umum tujuan pelatihan pekerja sosial tersebut mengkonsentrasikan diri pada tiga bidang dibawah
ini :

1. Membuat pekerja sosial mampu memahami konteks sosial dan politik dari pekerjaannya.
2. Memberikan keterampilan untuk melakukan penilaian dan keterampilan untuk melakukan
terapi.
3. Mempertimbangkan pengetahuan teoritis mengenai perkembangan manusia, interkasi
sosial, dan luas lingkup disiplin profesionalnya sendiri serta displin professional lain.

Dalam melaksanakan pekerjaan sosial juga dibutuhkan ilmu Psikologi karena dapat memberikan
sumbangan dalam mencapai pemahaman pada :

1. Isu-isu praktis dan teoritis mengenai keterampilan wawancara, keterampilan melakukan


penilaian, dan ketrampilan melakukan terapi.
2. Perkembangan dan interkasi manusia.
3. Ruang lingkup psikologi terapan yang mendukung pekerjaan soisal dan berbagai layanan
kesejahteraan lainnya.

Pada tahun 1950-an terjadi perluasan dalam praktik pekerjaan sosial yang bergerak ke arah
pelatihan professional pada pekerja sosial di bidang psikiatri yang merupakan kelompok paling
professional dan mempunyai otonomi yang kuat diantara para pekerja sosial. Dalam sejarahnya,
mereka mendapat landasan teoritis dari para ahli terapi dan pekerja sosial di Amerika yang
berorientasi pada aspek psikodinamik. Mereka mengebangkan metode interfensi yang dikenal
dengan nama social case work. Metode ini fleksibel dalam menempatkan kerangka pemahaman
mengenai konteks sosial dan psikologi dari permasalahan klien and dapat beradaptasi dengan
perubahan alur  teori pekerjaan sosial karena metode ini merupakan kerangka teoritis pertama
yang mnedukung berkembang pekrejaan sosial sebagai suatu profesi. Dampaknya psikologi
disamakan dengan teori psikodinamik.

Dua alasan utama pendekatan ini diadaptasi oleh profesi pekerjaan sosial:

1. Teori psikodinamik secara jelas mengarah pada pemahaman proses emosional dan
psikologis yang terjadi pada kehidupan individu dan saat mereka berinteraksi.
2. Alur psikologi secara keseluruhan tidak menunjukkan minat secara utuh dalam
memberikan sumbangan terhadap pembentukan teori pekerjaan sosial atau pelatihan
pekerjaan sosial

Menurut Kurt Lewin dan Sigmund Freud pandangan dasar dari teori psikodinamika  umumnya
menggambarkan adanya kekuatan yang mempengaruhi dinamika perilaku seseorang. Perbedaan
yang mendasar dari pandangan Lewin dan Freud terlihat dari kekuatan yang mendorong perilaku
seseorang. Freud lebih memfokuskan pada aspek dalam diri seseorang sedangkan lewin lebih
menekankan kekuatan dari luar diri seseorang yang mempunyai nilai positif dan negative
terhadap individu walaupun lewin mengakui adanya dinamika dalam diri individu akibat
kekuatan dari unsur yang dalam diri individu.

Walaupun pada awalnya bidang pekerjaan sosial (terutama intervensi mikro) lebih terfokus pada
pandangan psikodinamika, dalam pertimbangannya pendekatan psikologi yang lain mulai
mendapat perhatian dari bidang pekerjaan sosial maupun ilmu kesejahteraan sosial dalam upaya
mengembangkan bidang pekerjaan sosial secara lebih utuh. Menurut Paula Nicolson dan Rowan
Bayne, pendekatan psikologi yang dapat diterapkan dibidang pekerjaan sosial adalah sebagai
berikut:

1. Ketrampilan yang berkaitan dengan kemampuan menjalin hubungan dengan individu,


kelompok, atapun individu dalam kelompok
2. Pendekatan yang terkait dengan isu perkembangan, hubungan antar individu, maupun
kehidupan sosial yang terkait dengan relasi antara pekerja sosial dengan klien
3. Pemahaman tentang konteks dalam pekerjaan sosial di tingkat mikro maupun makro

Selain itu materi psikologi memberikan sumbangan bagi penelitian di bidang kesejahteraan
sosial berupa metode kulitatif dan kuantitatif untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan. Hal
ini berarti memberikan alternatif dan variasi tambahan dibandingkan dengan masukan dari
disiplin kesehatan masyarakat, sosiologi, maupun antropologi. Psikologi juga membantu
pengembangan kemampuan organisasi dan administrasi lembaga kesejahteraan sosial serta
kepemimpinan dalam lembaga nirlaba.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Psikologi, pekerja sosial dan ilmu kesejahteraan sosial memiliki hubungan yang sangat erat. Hal
tersebut disebabkan karena psikologi merupakan salah satu ilmu dasar yang harus dipelajari oleh
pekerja sosial dan ilmu kesejahteraan sosial dalam praktek menyeleseikan masalah-masalah
sosial. Selain itu, dengan ilmu psikologi kita dapat lebih memahami kepribadian dan tingkah
laku klien sehingga kita dapat menyeleseikan masalah tersebut dengan sudut pandang yang
berbeda, yaitu kepribadian klien dan masalah yang sedang dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA

Definisi Pekerjaan sosial, Internet: http://blogs.unpad.ac.id/teguhaditya/script.php/read/definisi-


pekerjaan-sosial/, diakses pada 16 Februari 2008

Adi, Isbandi R. 1994. Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial : Dasar-dasar
Pemikiran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Adi, Isbandi R. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: FISIP UI Pers.
[1] Social Work Practice: Model and Methode, 1973 : 9 Itasca, Illinois: Peacock Publishers

[2] Introduction to Social Work Practice, 1975: 3

[3] A Concepts and Methods of Social Work, 1980: 4

[4] Introduction to Social Welfare Institutions: Social Problems, Service, and Current Issues.
1982: 12

[5] Fundamentals of social work, 1983: 3

Peranan Pekerja Sosial Dalam


Pendampingan
Written by Administrator   
Tuesday, 19 January 2010 04:13
Oleh: Sunandar Shodiq

Pemberdayaan masyarakat dapat didefinisikan sebagai tindakan sosial dimana penduduk sebuah
komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk
memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan
sumberdaya yang dimilikinya. Dalam kenyataannya, seringkali proses ini tidak muncul secara
otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan
pihak luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan dorongan karitatif maupun
perspektif profesional. Para pekerja sosial ini berperan sebagai pendamping sosial.

Pada saat melakukan pendampingan sosial ada beberapa peran pekerjaan sosial dalam
pembimbingan sosial. Ada beberapa peran di bawah ini sangat relevan untuk membantu dalam
pembimbingan tersebut Pendampingan sosial sangat menentukan kerberhasilan program
penanggulangan kemiskinan. Mengacu pada Ife (1995), peran pendamping umumnya mencakup
tiga peran utama, yaitu: fasilitator, pendidik, perwakilan masyarakat, dan peran-peran teknis bagi
masyarakat miskin yang didampinginya.

Fasilitator

Merupakan peran yang berkaitan dengan pemberian motivasi, kesempatan, dan dukungan bagi
masyarakat. Beberapa tugas yang berkaitan dengan peran ini antara lain menjadi model,
melakukan mediasi dan negosiasi, memberi dukungan, membangun konsensus bersama, serta
melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber.

Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan “fasilitator” sering disebut sebagai “pemungkin”
(enabler). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain. Seperti dinyatakan Parsons,
Jorgensen dan Hernandez (1994:188), “The traditional role of enabler in social work implies
education, facilitation, and promotion of interaction and action.” Selanjutnya Barker (1987)
memberi definisi pemungkin atau fasilitator sebagai tanggungjawab untuk membantu klien
menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional.

Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi: pemberian harapan,


pengurangan penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan,
pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial,
pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan
pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya (Barker, 1987:49).

Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan sosial bahwa “setiap perubahan terjadi pada dasarnya
dikarenakan oleh adanya usaha-usaha klien sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah
memfasilitasi atau memungkinkan klien mampu melakukan perubahan yang telah ditetapkan dan
disepakati bersama (Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994). Parsons, Jorgensen dan
Hernandez (1994:190-203) memberikan kerangka acuan mengenai tugas-tugas yang dapat
dilakukan oleh pekerja sosial:

    * Mendefinisikan keanggotaan atau siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan.
    * Mendefinisikan tujuan keterlibatan.
    * Mendorong komunikasi dan relasi, serta menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan.
    * Memfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem: menemukan kesamaan dan
perbedaan.
    * Memfasilitasi pendidikan: membangun pengetahuan dan keterampilan.
    * Memberikan model atau contoh dan memfasilitasi pemecahan masalah bersama: mendorong
kegiatan kolektif.
    * Mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan.
    * Memfasilitasi penetapan tujuan.
    * Merancang solusi-solusi alternatif
    * Mendorong pelaksanaan tugas.
    * Memelihara relasi sistem
    * Memecahkan konflik

Pendidik

Pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan positif dan direktif berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya serta bertukar gagasan dengan pengetahuan dan pengalaman
masyarakat yang didampinginya. Membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan
informasi, melakukan konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat adalah beberapa
tugas yang berkaitan dengan peran pendidik.

Perwakilan masyarakat

Peran ini dilakukan dalam kaitannya dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga-
lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat dampingannya. Pekerja sosial
dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media,
meningkatkan hubungan masyarakat, dan membangun jaringan kerja.
Mediator

Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya. Peran
ini sangat penting dalam paradigma generalis. Peran mediator diperlukan terutama pada saat
terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Lee dan
Swenson (1986) memberikan contoh bahwa pekerja sosial dapat memerankan sebagai “fungsi
kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang
menghambatnya.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi kontrak
perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik. Dalam
mediasi, upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai “solusi
menang-menang” (win-win solution). Hal ini berbeda dengan peran sebagai pembela dimana
bantuan pekerja sosial diarahkan untuk memenangkan kasus klien atau membantu klien
memenangkan dirinya sendiri.

Compton dan Galaway (1989: 511) memberikan beberapa teknik dan keterampilan yang dapat
digunakan dalam melakukan peran mediator:

    * Mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat konflik.


    * Membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi kepentingan pihak lain.
    * Membantu pihak-pihak yang bertikai dalam mengidentifikasi kepentingan bersama.
    * Hindari situasi yang mengarah pada munculnya kondisi menang dan kalah.
    * Berupaya untuk melokalisir konflik kedalam isu, waktu dan tempat yang spesifik.
    * Membagi konflik kedalam beberapa isu.
    * Membantu pihak-pihak yang bertikai untuk mengakui bahwa mereka lebih memiliki manfaat
jika melanjutkan sebuah hubungan ketimbang terlibat terus dalam konflik.
    * Memfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung mereka agar mau berbicara satu sama
lain.
    * Gunakan prosedur-prosedur persuasi.

Pembela

Dalam praktek PM, seringkali pekerja sosial harus berhadapan sistem politik dalam rangka
menjamin kebutuhan dan sumber yang diperlukan oleh klien atau dalam melaksanakan tujuan-
tujuan pendampingan sosial. Manakala pelayanan dan sumber-sumber sulit dijangkau oleh klien,
pekeja sosial haru memainkan peranan sebagai pembela (advokat). Peran pembelaan atau
advokasi merupakan salah satu praktek pekerjaan sosial yang bersentuhan dengan kegiatan
politik.

Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi kausal (cause
advocacy) (DuBois dan Miley, 1992; Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994). Apabila pekerja
sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara individual, maka ia berperan sebagai
pembela kasus. Pembelaan kausal terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial bukanlah
individu melainkan sekelompok anggota masyarakat.
Rothblatt (1978) memberikan beberapa model yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan
peran pembela dalam PM:

    * Keterbukaan – membiarkan berbagai pandangan untuk didengar.


    * Perwakilan luas – mewakili semua pelaku yang memiliki kepentingan dalam pembuatan
keputusan.
    * Keadilan – memiliki sesuah sistem kesetaraan atau kesamaan sehingga posisi-posisi yang
berbeda dapat diketahui sebagai bahan perbandingan.
    * Pengurangan permusuhan – mengembangkan sebuah keputusan yang mampu mengurangi
permusuhan dan keterasingan.
    * Informasi – menyajikan masing-masing pandangan secara bersama dengan dukungan
dokumen dan analisis.
    * Pendukungan – mendukung patisipasi secara luas.
    * Kepekaan – mendorong para pembuat keputusan untuk benar-benar mendengar,
mempertimbangkan dan peka terhadap minat-minat dan posisi-posisi orang lain.

Pelindung

Tanggungjawab pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum. Hukum tersebut
memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung (protector) terhadap
orang-orang yang lemah dan rentan. Dalam melakukan peran sebagai pelindung (guardian role),
pekerja sosial bertindak berdasarkan kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang
berisiko lainnya. Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan berbagai kemampuan yang
menyangkut: (a) kekuasaan, (b) pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial.

Prinsip-prinsip peran pelindung meliputi:

    * Menentukan siapa klien pekerja sosial yang paling utama.


    * Menjamin bahwa tindakan dilakukan sesuai dengan proses perlindungan.
    * Berkomunikasi dengan semua pihak yang terpengaruh oleh tindakan sesuai dengan
tanggungjawab etis, legal dan rasional praktek pekerjaan sosial.

Dalam proses pendampingan sosial, ada dua pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki
pekerja sosial:

   1. Pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen kebutuhan masyarakat (community needs


assessment), yang meliputi: (a) jenis dan tipe kebutuhan, (b) distribusi kebutuhan, (c) kebutuhan
akan pelayanan, (d) pola-pola penggunaan pelayanan, dan (e) hambatan-hambatan dalam
menjangkau pelayanan (lihat makalah penulis mengenai metode dan teknik pemetaan sosial untuk
mengetahu cara-cara mengidentifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat).
   2. Pengetahuan dan keterampilan membangun konsorsium dan jaringan antar organisasi.
Kegiatan ini bertujuan untuk: (a) memperjelas kebijakan-kebijakan setiap lembaga, (b)
mendefinisikan peranan lembaga-lembaga, (c) mendefinisikan potensi dan hambatan setiap
lembaga, (d) memilih metode guna menentukan partisipasi setiap lembaga dalam memecahkan
masalah sosial masyarakat, (e) mengembangkan prosedur guna menghindari duplikasi pelayanan,
dan (f) mengembangkan prosedur guna mengidentifikasi dan memenuhi kekurangan pelayanan
sosial.

Sumber: http://sunandars.blogspot.com/2009/02/peranan-pekerja-sosial-dalam_20.html
Last Updated on Tuesday, 19 January 2010 04:16

JARINGAN ALUMNI KESOS UI DEPOK

Email:
miftah_nawawi@yahoo.co.id
Situs Web:
http://www.ui.ac.id/id
Kantor:
Depok, Universitas Indonesia
Lokasi:
Margonda Raya

JARINGAN ALUMNI PASCA SARJANA KESOS UNIVERSITAS INDONESIA


Kategori:
Minat Bersama - Aktivitas
Keterangan:
Group ini adalah wahana silaturahmi antar alumni pasca sarjana Ilmu Kesejahetraan
Sosial Universitas Indonesia tahun 2002. pada waktu masuk jumlahnya sekitar 38 orang.
yang terdiri dari para dosen, birokrat, peneliti, LSM, lembaga PBB, dan aktivis pekerja
sosial, dan lain-lain. pada saat ini mereka mengabdi ke berbagai lembaga yang
membesarkan mereka. mereka sekarang betempat tinggal di Jakarta, Jogjakarta, Bogor,
dan lainnya. semoga dengan adanya group ini pesaudaraan diantara para alumni... (baca
selengkapnya)
Jenis Privasi:
Terbuka: Semua isi dapat dibaca umum.

Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 1


PENDIDIKAN PEKERJAAN SOSIAL
DI SELANDIA BARU
Disampaikan pada Workshop Program Pendidikan Spesialis-1 Pekerjaan Sosial, Sekolah
Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung 19 Januari 2006
Edi Suharto, PhD
Ketua Program Pascasarjana Spesialis Pekerjaan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan
Sosial (STKS) Bandung; Dosen STKS dan Unpas Bandung; Dosen Pascasarjana Magister
Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (IPB)-STKS Bandung dan
Interdisciplinary Islamic Studies-Social Work, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta; International Policy Fellow, Centre for Policy Studies (CPS), Hongaria; Social
Policy Expert, Galway Development Services International (GDSI), Irlandia
PEMBUKA
Selandia Baru atau New Zealand dalam Bahasa penduduk asli Maori disebut
Aotearoa yang berarti ‘tanah berawan putih yang berarak panjang’ (land of the long
white cloud). Bila dipetakan secara sederhana, Selandia Baru memiliki dua pulau
yang mirip Pulau Jawa dan Sumatera. Namun, jumlah penduduk total di kedua pulau
tersebut sangat lebih sedikit dibandingkan Jawa maupun Sumatera. Saat ini,
penduduk Selandia Baru diperkirakan belum mencapai lima juta orang. Industri
utama negeri ini bertumpu pada pertanian modern dan dairy product seperti daging,
susu, dan keju. Karenanya, jangan heran jika jumlah sapi dan kambingnya jauh
melampaui jumlah penduduknya, sekitar 50 juta dan 80 juta secara berturutan.
Meskipun jumlah universitas di Selandia Baru masih kurang dari 10 jari tangan,
semua universitasnya telah go-international. Bukan saja karena banyak dari dosen
dan mahasiswanya datang dari seantero penjuru dunia, melainkan pula sistem
pendidikan, riset dan ‘pengabdian masyarakatnya’ telah berorientasi untuk memenuhi
kebutuhan, meminjam istilah MacLuhan, ‘kampung global’ (global village). Selandia
Baru memiliki tujuh universitas: Auckland University yang berada di kota terbesar
Auckland, Massey University di kota kecil Palmerston North, Victoria University
terletak di jantung Ibu Kota Wellington, Waikato University di Hamilton, Otago
University di Dunedin, Canterbury University di Chirschurch dan Lincoln University di
kota kecil Lincoln dekat Chirschurch. Empat universitas yang disebut pertama berada
di pulau utara dan tiga yang terakhir di pulau selatan. Auckland University, Massey
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 2
University dan Victoria University merupakan universitas terbesar. Ketiganya
menyelenggarakan pendidikan pekerjaan sosial.
Tulisan ini membahas sistem pendidikan pekerjaan sosial di Selandia Baru yang
mencakup sejarah singkat, isu-isu kontemporer, model pendidikan dan kurikulum.
Lensa teropong akan difokuskan ke Massey University, tempat penulis pernah
belajar, meskipun sejarah dan kejadian-kejadian penting didasari perkembangan
pendidikan di seluruh negeri ini.
SEJARAH SINGKAT
While social work may be heir to its own history, it is the child of contemporary politics
(Harris, 1997: 28). Di Selandia Baru, sejarah pendidikan pekerjaan sosial berjalan
seiring dengan perkembangan pekerjaan sosial sebagai sebuah profesi yang tengah
mendifinisikan dirinya sendiri. Situasi politik, ekonomi dan sosial sangat menentukan
wajah pekerjaan sosial di Selandia Baru. Sebagaimana dinyatakan Harris, pekerjaan
sosial memiliki sejarahnya sendiri. Tetapi, pekerjaan sosial di Selandia Baru, seperti
juga di negara-negara lain, merupakan ‘anak’ dari politik kontemporer (modern).
Pendidikan pekerjaan sosial di Selandia Baru dimulai sejak tahun 1949. Ini tidak
berarti bahwa tidak ada pekerjaan sosial sebelum itu, melainkan karena belum ada
pendidikan pekerjaan sosial profesional di negeri ini sebelum tahun 1949. Secara
ringkas, perjalanan pendidikan pekerjaan sosial di Selandia Baru dapat di bagi
menjadi tiga babak: antara tahun 1949-1972; antara tahun 1973 – 1986 dan antara
tahun 1987 – 2006 (lihat Nash dan Munford, 2004).
Periode 1949 - 1972
Program dan kurikulum: sejak tahun 1947, terdapat satu program pascasarjana
dengan kurikulum berdasarkan model Inggris yang memfokuskan pada
casework/administrasi sosial. Pekerjaan sosial menjadi sebuah disiplin akademis dan
terapan di Victoria University.
Standar kompetensi: etika pelayanan publik mengakui otonomi profesional dan
diasumsikan bahwa pekerja sosial yang menjadi pegawai negeri dianggap kompeten.
Pengaruh Maori, pengembangan masyarakat, dan isu jender: pengakuan formal
terhadap isu Maori dan kelompok kurang beruntung (termasuk wanita) masih jarang
ditemukan pada kurikulum.
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 3
Arah perkembangan pendidikan pekerjaan sosial: periode tradisional dan statis.
Hanya sedikit mahasiswa, sedikit permintaan dari perusahaan, dan para lulusan
cenderung menduduki posisi manajerial. Para pekerja sosial memiliki kesamaan
kepentingan mengenai profesionalisme, Asosiasi Pekerja Sosial Selandia Baru
(NZASW – The New Zealand Association of Social Workers) dibentuk.
Periode 1973 – 1986
Program dan kurikulum: pendidikan setingkat universitas terus bermunculan di awal
periode ini, antara lain program Bachelor of Social Work di Massey University. Pada
akhir periode ini, satu program pekerjaan sosial profesional kemudian berdiri di
Auckland Teacher College (sebelum jadi universitas, metamorfosa Auckland
University mirip IKIP Bandung yang kemudian menjadi UPI).
Standar kompetensi: standar kompetensi bagi pekerja sosial mulai diperkenalkan
oleh sektor kesehatan dan kemudian oleh Dewan Pelatihan Pekerjaan Sosial
Selandia Baru (The New Zealand Social Work Training Council – NZSWTC).
Manajemen pelayanan sosial umumnya dipegang oleh pekerja sosial.
Pengaruh Maori, pengembangan masyarakat, dan isu jender: laporan Departmen
Kesejahteraan Sosial mengenai perspektif Maori dipublikasikan. Wanita dan
kelompok-kelompok kemasyarakatan berjuang untuk memperoleh pengakuan dan
sumber-sumber dalam pendidikan pekerjaan sosial.
Arah perkembangan pendidikan pekerjaan sosial: NZSWTC menetapkan standar
minimum untuk akreditasi. Sektor kesehatan mulai tertarik mempekerjakan pekerja
sosial qualified. Pekerjaan sosial profesional semakin terkonsolidasi, tetapi
kecenderungan ini ditentang oleh kelompok-kelompok radikal yang memandang
bahwa pekerjaan sosial semakin elitis dan otoriter.
Periode 1987 - 2006
Program dan kurikulum: program pendidikan multi-level dan part-time dalam bidang
pekerjaan sosial komunitas bermunculan di beberapa politeknik dan universitas.
Standar kompetensi: New Zealand Qualification Authority (NZQA) dan kurikulum
berbasis kompetensi semakin kuat. Pendekatan manajemen (seperti efisiensi, Total
Quality Management, consumer satisfaction) mulai diperkenalkan sebagai basis
kompetensi.
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 4
Pengaruh Maori, pengembangan masyarakat, dan isu jender: Maori dan kelompokkelompok
kemasyarakatan memperoleh pengakuan dalam sistem pendidikan
pekerjaan sosial.
Arah perkembangan pendidikan pekerjaan sosial: New Zealand Council for Education
and Training in the Social Services – NZCETSS) mempublikasikan standar dan
pedoman baru untuk akreditasi yang secara universal diterima. Pendidikan pekerjaan
sosial dalam berbagai tingkatan memperoleh pengakuan.
ISU-ISU KONTEMPORER
Seperti di tempat kelahirannya, Inggris, pekerjaan sosial di Selandia Baru sangat
dekat dengan negara. Ini terutama dikarenakan ‘government departments such as
education, health and social welfare are part of the state sector.’ (Nash dan Munford,
2004: 28). Pendidikan pekerjaan sosial juga tumbuh sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan akan pegawai negeri yang memiliki keahlian profesional pekerjaan sosial.
Sebagai contoh, tahun 1972 Departemen Kesejahteraan Sosial dibentuk untuk
menjalankan administrasi, koordinasi dan mengembangkan kebijakan dan pelayanan
kesejahteraan sosial yang lebih efektif. Satu tahun kemudian, NZSWTC didirikan
untuk memberi masukan kepada Menteri Kesejahteraan Sosial mengenai pelatihanpelatihan
pekerjaan sosial.
Sebuah inisiatif penting terjadi tahun 1975 ketika sebuah pendidikan pekerjaan sosial
dibuka di Department of Sociology, Massey University, Palmerston North. Presiden
pertama Asosiasi Pekerja Sosial Selandia Baru (The New Zealand Association of
Social Workers) yang dibentuk tahun 1964, Merv Hancock, menjabat sebagai ketua
jurusan pekerjaan sosial di universitas ini. Sebagaimana dicatat Nash dan Munford
(2004: 25):
It introduced an innovative undergraduate Bachelor of Social Work
degree course for school leavers and provided an opportunity for the
department of a diverse range of programmes, including part-time and
distance education, to accommodate all kinds of students. It challenged
much of the taken for granted ‘wisdom’ around social work education in
Aotearoa New Zealand.
Kurikulumnya dikembangkan secara cermat melalui konsultasi dengan para
pemimpin Maori dan NZSWTC. Adalah Hancock yang kemudian mendesak untuk
melakukan reviu terhadap NZSWTC yang dianggapnya mulai kehilangan arah dan
dukungan. Hancock mengajukan sebuah dewan baru dengan kriteria keanggotaan
baru. Ia mengusulkan bahwa agar dewan pendidikan dan pelatihan pekerjaan sosial
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 5
mendapat dukungan yang lebih luas, dewan tersebut harus inklusif dan melibatkan
semua yang bekerja dalam pelayanan sosial (Nash dan Munford, 2004:25).
Pada akhir tahun 1980an, sektor pemerintahan di Selandia Baru mengalami
perubahan. Peranan negara dalam memberikan pelayanan langsung semakin
dikurangi. Motivasi ekonomi menjadi pendorong utama reformasi ini. Sejalan dengan
minimalisasi peran pelayanan sosial negara terjadi residualisasi dalam sistem
pemberian pelayanan sosial di Selandia Baru. Semakin banyaknya pekerja sosial
yang bekerja di sektor swasta juga semakin memperkuat pengaruh manajemen
terhadap pendidikan pekerjaan sosial yang menekankan pentingnya kompetensi,
akuntabilitas dan kepuasan konsumen. Selain itu, kuatnya desakan untuk
menghormati Treaty of Waitangi membuat pendidikan pekerjaan sosial di Selandia
Baru harus menghargai budaya Maori dan model-model praktek yang berbasis
kearifan lokal. Treaty of Waitangi adalah naskah perjanjian damai dan pembagian
kekuasaan yang ditandatangani petinggi Inggris dan kepala suku Maori pada tahun
1840. Naskah ini merupakan dokumen yang menjamin hak-hak Maori dan memiliki
pengaruh penting terhadap pekerjaan sosial di Selandia Baru.
Asosiasi profesi dan pendidikan pekerjaan sosial memiliki kaitan erat. Motif pribadi
untuk memperoleh pengakuan atas keahliannya, di satu pihak, dan tuntutan
masyarakat guna meningkatkan kualitas pelayanan terhadap konsumennya, di pihak
lain, mendorong para pekerja sosial untuk berjuang mencapai status profesionalnya.
Selain memiliki NZASW sejak tahun 1964 dan NZSWTC yang didirikan tahun 1973,
Selandia Baru juga memiliki Te Kaiawhina Ahumahi (the social work Industry Training
Organisation - ITO), dibentuk tahun 1995, sebuah lembaga yang bertanggungjawab
mengembangkan kualifikasi pekerjaan sosial dalam beberapa tingkatan profesional.
Lembaga ini memberi akreditasi terhadap pendidikan pekerjaan sosial di lembaga
pelatihan swasta dan politeknik, tetapi tidak untuk tingkat universitas. NZASW,
NZSWTC dan ITO sangat mempengaruhi kurikulum pendidikan pekerjaan sosial di
Selandia Baru sehingga memiliki standar kualifikasi, meskipun tidak menuntut
keseragaman (Nash dan Munford, 2004: 27).
Sebagaimana dicatat Lawrence (1976), pendidikan pekerjaan sosial di Selandia Baru
relatif sama dengan di Australia. Namun demikian, para pekerja sosial Australia
menetapkan kontrol yang lebih ketat terhadap kriteria dengan mana seseorang
menyebut dirinya sebagai pekerja sosial dengan kualifikasi profesional. Sementara
itu, Selandia Baru menerapkan pendekatan egalitarian dan inklusif (Nash dan
Munford, 2004). Sebagai ilustrasi, Professor McCreary, salah seorang anggota
NZASW menentang kebijakan yang menolak para praktisi di bidang kesejahteraan
sosial sebagai anggota NZASW. Alasannya, mereka mempraktekkan pekerjaan
sosial, meskipun tidak berlatarbelakang pendidikan pekerjaan sosial (Nash dan
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 6
Hancock, 2004: 27). Debat mengenai standar kompetensi dan profesionalisme
pekerjaan sosial dengan baik diberikan secara ringkas oleh Ehrenreich, 1985: 230):
To the extent that profesionalism represents a real effort to maintain
competence and high ethical standards – a commitment to client needs even
when they conflict with agency rules, a commitment to opennes and collegiality,
a commitment to the goal of social justice, which is at the core of social work’s
reason for its existence – it needs no defence. But if professionalism does not
measure up to, or conflicts with, these standards, it should be discarded without
regret.
Seperti akan didiskusikan di bawah ini, model pendidikan pekerjaan sosial tingkat
pascasarjana di Massey University, menganut pendekatan inklusif, artinya ia
menerima sarjana lulusan pendidikan pekerjaan sosial, maupun lulusan ilmu sosial
yang serumpun. Ini terlihat jelas pada prasyarat mahasiswa (entry requirements)
yang akan mendaftar di program ini.
MODEL PENDIDIKAN PASCASARJANA PEKERJAAN SOSIAL
DI MASSEY UNIVERSITY
Pendidikan pekerjaan sosial tingkat pascasarjana di Massey University
diselenggarakan hingga program doktoral. Sesuai dengan tujuan workshop ini, yakni
menemukenali model pendidikan spesialis-1 pekerjaan sosial, pembahasan akan
difokuskan pada tingkat magister saja. Ada dua program magister pekerjaan sosial
yang diselenggarakan di Massey University, yaitu Program Master of Social Work
(MSW) dan Master of Social Work Applied (MSW Applied).
Master of Social Work
Program MSW diperuntukkan bagi mahasiswa yang ingin memiliki gelar pascasarjana
yang mengkhususkan pada teori dan praktek pekerjaan sosial. Kurikulum MSW terdiri
dari 200 poin (semacam SKS) mata kuliah berbasis penelitian lanjutan (advanced
research) bagi mahasiswa yang memiliki latar belakang atau bekerja dalam bidang
pelayanan sosial dan ingin mengembangkan ‘an area of specialism’. Seperti
dinyatakan dalam Buku Panduan Massey University, Master of Social Work (2006:1),
entry requirements (persyaratan masuk) bagi program ini adalah:
A Bachelor of Social Work, or a Bachelor degree in a relevant area, and
have professional experience in the social services.
Mata kuliah yang ditawarkan bisa dilihat di lampiran.
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 7
Master of Social Work (applied)
Program yang relatif baru ini diselenggarakan untuk memungkinkan mahasiswa
memperoleh kualifikasi profesional dalam bidang pekerjaan sosial setingkat master.
Semakin banyaknya lulusan ilmu sosial yang ingin memperoleh kualifikasi
profesional di bidang pekerjaan sosial merupakan pendorong utama
diselenggarakannya program ini. Persyaratan masuknya adalah (Massey University,
2006:2):
An appropriate Bachelor’s degree which should include relevant papers
in the fields of human development, social research and New Zealand
Society.
Sejak awal berdirinya tahun 1995, perbedaan antara program MSW dan MSW
Applied telah cukup jelas (Massey University-Socieal Science, Postgraduate Courses
and Research terbitan tahun 1996, halaman 5):
The MSW (Applied) option is appropriate for those who wish to study for
a professional qualification in social work while the MSW is appropriate
for candidates who have completed a professional undergraduate
qualification in social work. Students follow a prescribed course of study
and undertake a research project.
Pada tahun 1995, program MSW applied diberikan hanya di Kampus Albany (dekat
Auckland). Pada tahun 1996, diselenggarakan baik di kampus Albany maupun
Palmerston North. Di Albany, program ini diselenggarakan secara full-time selama 2
tahun atau maksimum 4 tahun secara part-time. Di Palmerston North, program ini
hanya diselenggarakan secara part-time. Seperti pada program MSW, jumlah poin
(SKS) MSW applied juga sebesar 200 poin. Namun, jumlah mata kuliahnya lebih
sedikit, karena bobot ‘kredit’nya lebih besar dan menekankan pentingnya praktikum.
Ada 7 mata kuliah wajib dengan bobot 25 poin dan 2 kali praktikum dengan bobot
masing-masing 12,5 poin. Struktur program di bawah ini memperjelas perbedaan
keduanya (lihat lampiran):
Programme Structure, MSW: 200 points normally consisting of 100 points of papers
and a thesis to the value of 100 points or papers to a value of 125 points plus a thesis
to a value of 75 points.
Programme Structure, MSW (Applied): 200 points consisting of seven 25-point
compulsory papers and two 12.5-point fieldwork placement.
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 8
PENUTUP
Sistem pendidikan spesialis pekerjaan sosial patut menengok model yang diterapkan
di Selandia Baru. Di Massey University, baik program MSW maupun MSW applied,
keduanya dinyatakan sebagai program pendidikan spesialisasi pekerjaan sosial.
Namun demikian, melihat isi kurikulum dan bobot poin (SKS), pendidikan spesialis-1
pekerjaan sosial di STKS Bandung bisa lebih merapat pada program MSW applied.
Berkaca pada Massey University, pendidikan pascasarjana pekerjaan sosial yang
bersifat inklusif ternyata bukan hal absurd. Tentu saja, dalam menentukan
pendekatan inklusif atau ekslusif ini, kita bisa memilih jalan mana yang cocok dengan
kondisi Indonesia. Yang jelas, jalan yang kita pilih harus memperhatikan secara
cermat bukan saja harapan ideal, melainkan pula kenyataan real. Pertanyaannya
bukan saja terfokus pada ‘apakah kita akan memasarkan apa yang bisa kita
produksi’, melainkan pula, dan ini yang lebih penting, ‘apakah kita akan memproduksi
apa yang bisa kita pasarkan’. Harap dicatat, makna ‘pasar’ di sini tidak perlu
didefinisikan secara sempit sebagai hal yang berbau komersial saja. Dalam konteks
perkembangan dan kontribusi praktek pekerjaan sosial, sukma ‘pasar’ menunjuk
pada kebutuhan dan kepuasan masyarakat – penentu utama eksistensi pekerjaan
sosial.
BAHAN BACAAN
Ehrenreiceh, J. H. (1985), The Altruistic Imaginatio: A History of Social Work and
Social Policy in the United States, Itahaca and London: Cornell University
Press
Lawrence, R. J. (1976), “Australian Social Work in Historical, International dan Social
Welfare Context” dalam P. Boas dan J. Crawley (eds), Social Work in Australia,
Melbourne: Australia International Press dan Pty Ltd
Massey University (2006), Massey University, Master of Social Work,
www.http://study.massey.ac.nz (diakses 18 Januari 2006)
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 9
Massey University-Social Sciences (1996) Postgraduate Courses and Research,
Palmerston North: Massey University Press
Nash, Mary dan Robyn Munford (2004), “Unresolved Struggles: Educating Social
Workers in Aotearoa New Zealand, Social Work Education, Vol. 20, No. 4,
halaman 21-34
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 10
MASSEY UNIVERSITY, NEW ZEALAND
Master of Social Work (MSW) (2006)
The MSW is a 200-point advanced research qualification for
students who have a background in the social services and
wish to develop an area of specialism.
Entry requirements
A Bachelor of Social Work, or a Bachelors degree in a
relevant area, and have professional experience in the
social services.
Programme structure
200 points normally consisting of 100 points of papers and a
thesis to the value of 100 points or papers to a value of 125
points, plus a thesis to a value of 75 points.
Honours
Students who complete within two years of first enrolling for
full-time study or within five years of first enrolling for parttime
study may be eligible for Honours.
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 11
ogy, Social Policy and Social Work
Welcome!
The School of Sociology, Social Policy and Social Work offers programmes in:
Social Policy
Social Work
Sociology
Women's Studies
Disability Studies
Police Studies
at its Palmerston North and Wellington campuses and extramurally.
The School also offers the largest range of University-based courses in social policy and social
work in
New Zealand.
Social and community workers help to bring
about solutions to individual and social
difficulties and encourage policy options which
provide a more favourable environment in
which to live. These activities call for skills
based on a thorough knowledge of human
development, detailed study of social
institutions and policies and a personal
capacity to effectively assist others.
Many people take society for granted; Sociologists don't.
Sociologists are interested in how our lives are situated
both historically and socially. Sociologists see society as
made up of complex relationships between groups that can
be examined, questioned and explained. Sociology is a
discipline that can be applied to all aspects of everyday
lives, including for example, work, nationalism, gender,
popular culture, the environment and even death?
Women's Studies at Massey University offers a
core of interdisciplinary papers that explore a
variety of explanations about social and
cultural issues affecting women and men. The
programme incorporates fourteen disciplinary
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 15
areas in the Colleges of Education, Business
Studies and Humanities and Social Sciences.
Women's Studies is also engaged in the
analysis of women's symbolic and cultural
construction through cultural media produced
by or depicting women.
Police Studies offers a theoretical and practical background to modern policing and its social
context
and to police administration. It would be especially useful to those working in organisations
responsible
for the enforcement of criminal justice, whether governmental, non-governmental or private.
The School of Sociology, Social Policy & Social Work operates from two campus sites:
Palmerston North and Wellington and offers courses nationwide through extramural (distance)
studies.
There are currently over 35 academic and research staff spread across the campus sites.
ANZASW was formed in 1964. As an incorporated society, ANZASW is recognised as the
primary body
that represents the interests of social workers in Aotearoa New Zealand. It provides a structure
for the
accountability of social workers to their profession, consumers and the public.
ANZASW is affiliated to the International Federation of Social Workers (IFSW) an international
body that
draws its membership from over 70 member countries. ANZASW is also a foundation member
of the
Commonwealth Organisation for Social Workers (COSW). Through these organisations
ANZASW has access
to a substantial body of international knowledge and experience in the field of social work.
ANZASW
actively participates in the affairs of the International Federation with one member currently
elected to
the IFSW executive committee.
In 1990, ANZASW established a set of practice standards for the profession and in 1993, revised
its
Code of Ethics to take into account the International Code of Ethical Principles adopted by
IFSW. These
practice standards have formed the basis of the current process by which professional
membership of
the Association is gained by practitioners through competency assessment, which is renewed
every five
years. The standards reflect the Association’s commitment to high quality professional practice,
Te Tiriti
O Waitangi and the promotion of bicultural social work practice. ANZASW’s work in this area
has been
internationally recognised and is regarded as a leading national Association in the development
of
indigenous models of social work practice.
The Association presently consists of 13 Branches and 7 Roopu Maori and is managed by an
elected
National Executive Committee, National Council and several Standing Committees including:
Tangata
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 16
Whenua Takawaenga O Aotearoa (the national Maori caucus); the Board of Competency; Course
Approvals Board; Ethics and Judicial Committees; Education and Training Committee,
Professional
Standards Committee and Publications Committee. ANZASW has its National Office in Dunedin
and
employs a full-time Executive Officer and three part-time administration staff. The National
Council is
accountable to the membership of the Association through an Annual General Meeting.
ANZASW has a busy schedule of work-in-progress.
AIM
(a) To promote an indigenous identity for social work in Aotearoa New Zealand and to assist
people to
obtain services adequate to their needs.
(b) To ensure that social work in Aotearoa New Zealand is conducted in accordance with the
articles
contained in Te Tiriti O Waitangi.
(c) To advocate for full social justice in Aotearoa New Zealand and address oppression on the
grounds
of race, gender, disability, sexual orientation, economic status and age.
(d) To promote and maintain, for its members, formal qualifications in social work, and such
other
professional or educational awards deemed appropriate.
(e) To provide and promote a system of competency assessment in social work for all members
of the
Association.
(f) To ensure the continuing development of professional standards, satisfactory conditions of
employment, and to protect the interests and public standing of its members.
(g) To promote a forum for social workers to discuss matters of common concern.
(h) To encourage and promote research on all matters relating to social work.
(i) To publish such journals, monographs, directories, or other publications as the National
Council shall,
from time to time, decide.
(j) To co-operate wherever possible with kindred organisations.
(k) To form affiliations with such other National and International social work organisations as
may be
determined by the membership of the Association.
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 17
(l) To ensure the maintenance of appropriate professional and ethical standards and conduct of
members by the formation of an Ethics Committee and a Judicial Committee.
(m) To mediate, and/or adjudicate in disputes and/or complaints between members, and between
members and the public.
(n) To discipline members in appropriate circumstances, following due inquiry by its Judicial
Committee.
The TEN PRACTICE STANDARDS
Competence is about standards or levels of performance. The standards that follow have been
drawn
from the objects of ANZASW and include value statements, specific skills and knowledge that
can be
observed and demonstrated. The standards form the basis of the competency assessment
undertaken by
Provisional members to achieve Full membership status within ANZASW and the five-yearly
recertification
of Full members.
1. The social worker adheres to the Code of Ethics and the Objects of the Aotearoa New
Zealand Association of Social Workers.
2. The social worker demonstrates a commitment to practicing social work in accordance with
the Bi-cultural Code of Practice and an understanding of Te Tiriti O Waitangi.
3. The social worker establishes an appropriate and purposeful working relationship with clients,
taking into account individual differences and the cultural and social context.
4. The social worker acts to secure the client's participation in the working relationship.
5. The social worker's practice assists clients to gain control over her/his own circumstances.
6. In working with clients the social worker is aware of and uses her/his personal attributes
appropriately.
7. The social worker has knowledge about social work methods and social policy, social
services,
resources and opportunities and acts to ensure access for clients.
8. The social worker only works where systems of accountability are in place in respect of
her/his agency, clients and the social work profession.
9. The social worker constantly works to make the organisation and systems, which are part of
the social work effort, responsive to the needs of those who use them.
10. The social worker uses membership of the Aotearoa New Zealand Association of Social
Workers to influence and reinforce competent practice.
COMPLAINTS
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 18
Complaints regarding the social work practice of individual members may be made to the Ethics
Committee of ANZASW. Complaints about non-members of the Association cannot be
investigated.
However, suggestions will be given to the complainant regarding where any concerns may be
directed.
Complaints need to be made in writing stating times, dates and issues. All relevant
correspondence will
be shared between the person making the complaint and the person who is the subject of the
complaint. A Judicial committee has the right to apply sanctions where complaints against
members are
upheld. Under ANZASW rules serious breaches of the Code of Ethics or practice standards can
lead to
penalties or the termination of membership.
Processes used to address complaints include making written responses back to complainants,
and
mediation between parties if appropriate. Formal judicial procedures may eventuate if the
substance of
the complaint cannot be addressed satisfactorily by using less intrusive means. The process is
guided by
the Convenor of the Ethics committee, and decisions regarding appropriate sanctions and courses
of
action relating to complaints are made by the whole committee in conjunction with ANZASW's
legal
counsel.
Complaints should be addressed to "Convenor of Ethics Committee" and posted directly to the
ANZASW
National Office. All correspondence regarding a complaint should be marked confidential.
Click here to download a copy of the Complaints Procedures Brochure.
POLICY STATEMENT ON SUPERVISION
ADOPTED AT THE NATIONAL COUNCIL MEETING MAY 1998
Preamble
Social work in Aotearoa New Zealand has become a profession with its own distinctive tradition
and
perspectives. While overseas countries have contributed much to the development of social work
in the
last twenty years there has been a growing desire to find an indigenous expression of social
work practice. The Association has been in the forefront in New Zealand of a search for a
professional
identity which puts emphasis on empowerment, partnership and biculturalism. These principles
have
been embedded in the Code of Ethics adopted in 1993.
The policy commitments that lie within the Code need to be reflected in the practice of members
of
the Association. The Board of Competency of the Association has set standards for practice
which apply
regardless of fields of practice. All members of the Association are assessed in relation to these
basic
standards. Supervision is of fundamental importance for social workers in that it addresses safety
and
accountability in practice.
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 19
Professional Social Work Supervision
Definition:
Supervision is a process in which the supervisor enables, guides and facilitates the social
worker(s) in
meeting certain organisational, professional and personal objectives. These objectives are:
competency, accountable practice, continuing professional development, and education and
personal
support.
Principles of Supervision
 all social workers require supervision
 the best interest of the client must always come first except where there are threats to
safety
 supervision is mandated by agency policy
 supervision is culturally safe and gender appropriate for the participants
 supervision is a shared responsibility
 supervision is based on a negotiated agreement which has provision for conflict resolution
 supervision is regular and uninterrupted
 supervision promotes competent, accountable, and empowered practice
 supervision promotes anti-discriminatory practice
 supervision is based on an understanding of how adults learn
 supervision provides for appropriate consultation when needed in regard to issues related to
specialist knowledge, gender, culture, sexual orientation and identity, disability, religion, or
age.
Purposes of Supervision
 to ensure the worker is clear about roles and responsibilities
 to encourage the worker to meet the professions objectives
 to encourage quality of service to clients
 to encourage professional development and provide personal support
 to assist in identifying and managing stress
 to consider the resources the worker has available to do their job and discuss issues arising
where they are inadequate
 to provide a positive environment within which social work practice can be discussed and
reviewed.
Core Supervision and Fields of Social Work
Core social work supervision includes the roles and commitment to the profession and its
objectives and
knowledge base; however it is acknowledged that specialised supervision is necessary in some
instances.
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 20
Forms of Supervision
 supervision / consultation within the agency
 supervision / consultation on behalf of the agency by an external supervisor / consultant
 supervision / consultation provided by an external supervisor contracted by the worker
Independent practitioners will have a supervisor/consultant who is either a colleague in a shared
practice or one in an external agency/practice.
Supervision can occur on an individual, group or collective (peer interactive) basis.
ANZASW expectations of a Supervisee
 adherence to the NZASW Code of Ethics and Bicultural Code of Practice
 commitment to an explicit contract with supervisor/consultant which is acknowledged by
agency, client and other colleagues
 regular participation with a supervisor/consultant in making the interaction one that is goal
directed, leading to educational, administrative, personal, and professional development
 is supervised by a member of NZASW.
ANZASW expectations of a Supervisor / Consultant
 adherence to the Code of Ethics and objectives of NZASW and demonstrates a commitment to
the standards of practice including the Bicultural Code of Practice
 is a member of NZASW
 is currently receiving supervision
 has at least two years of practice supervision
 has been recognised as a supervisor/consultant by employing agency
 highly desirable to have undertaken training in social work supervision.
ANZASW Expectations
For a member to be assessed as competent it is expected that:
 in the first year of practice the member has a minimum of one hour social work supervision
per week
 during the following four years the member will be engaged in fortnightly social work
supervision
Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru/EdiSuharto2006® 21
 fully competent, experienced social workers will still be involved in a supervisory arrangement
that occurs at least monthly and which focuses on their work and their accountability: this
may be collegial/consultative/peer supervision or individual
 frequency of supervision maybe varied for part-time workers.

Mengembangkan Profesi Pekerja Sosial Indonesia: Isu Pendidikan


Profesi
24 Aug 2009

Dorita Setiawan | fasilitator-masyarakat.org

Indonesia adalah salah satu negara modern dengan dampak urbanisasi dan  industrialisasi yang
begitu terasa.  Kemiskinan dan masalah pribadi menjadi dampak yang tak terelakkan akibat
modernitas itu. Ditambah lagi dengan perubahan ekonomi, politik yang kian rumit telah
berdampak pada makin banyaknya terungkap masalah sosial di Indonesia yang perlu dipecahkan.
Bencana alam yang beruntun menuntut solusi yang jelas dan tegas serta berkesinambungan.
Pekerja sosial serta  pendidikan profesi-nya kembali banyak mendapatkan perhatian. Inilah
saatnya profesi pekerja sosial kembali harus berbenah diri untuk menentukan kemana arah yang
akan dituju, pendidikan pekerja sosial adalah kuncinya.

Siapa saja yang bisa dianggap pekerja sosial professional?

Maraknya institusi tinggi yang menyelenggarakan Pendidikan pekerjaan sosial di Indonesia,


merupakan salah satu pertanda baik akan meningkatnya kesadaran lingkar akademik akan
tuntutan masyarakat akan profesi ini. Dinamika pendidikan profesi pekerja sosial di Indonesia
berada pada titik yang positif dimana diskusi yang ada mengarah pada kejelasan akan status
profesi pekerjaan sosial di tanah air. Ini adalah proses perubahan yang harus dilewati profesi
peksos di Indonesia, proses ini bukanlah hal unik yang hanya dialami Indonesia, Jepang, China
dan Vietnam adalah beberapa negara yang mengalami perjalanan yang serupa  dalam
menghadirkan profesi ini.

Namun sejauh mana pendidikan tinggi mampu menghadirkan profesi ini yang berkualitas dan
memenuhi syarat adalah pertanyaan yang harus kita jawab bersama. Tulisan ini tentunya
hanyalah sebagai titik awal bagi kita untuk  memutuskan apakan pekerjaan sosial adalah profesi
yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia? kalau iya, bentuk pekerjaan sosial seperti apakah yang
sesuai? Apakah pekerjaan sosial di Indonesia dapat menjadi sebuah profesi? apakah kurikulum
pendidikan peksos yang ada dapat dikoordinasikan sehingga terjadi keseragaman?

Selayang pandang lahirnya Pekerjaan Sosial di Amerika

Pekerjaan sosial adalah profesi yang sangat berhubungan erat dengan konteks dimana profesi ini
dibangun. Dalam diskursus profesi secara umum, sebuah profesi yang ideal adalah sebuah
profesi yang merespon kebutuhan masyarakat akan suatu keahlian, contohnya  pekerja sosial
dalam konteks Amerika Utara, profesi ini adalah respon dari dampak negatif yang diakibatkan
oleh Industrialisi dan Urbanisasi pada tahun 1880-an, (R Lubove – 1965, Wenocur, 2001 and
Ehrenreich, 1985) Ehrenreich (1985) menyebut era ini sebagai  the Progressive Era (sekitar 1880
hingga 1920), dua dekade sebelum Perang Dunia I dimana krisis melanda Amerika secara
ekonomi, sosial dan politik.

Perubahan ini berdampak pada hidup orang banyak dan institusi sosial seperti perubahan
masyarakat pedesaan menjadi lebih Urban, Imigrasi besar-besaran karena industrialisasi, pada
masa ini muncul banyak nya pertanyaan kepada pemerintah akan tanggung jawabnya kepada
warga Negara dan hubungan antara individu dan masyarakatnya.  Pekerjaan sosial moderen
muncul karena tuntutan solusi yang lebih sistemik terhadap masalah-masalah pribadi yang lebih
rumit yang diakibatkan oleh kemiskinan dan stress.

Pada bentuk awalnya, peran pekerjaan sosial di Amerika utara adalah melayani mereka yang
dianggap tidak dapat berpartisipasi pada proses industrialisasi disebabkan oleh masalah fisik dan
mental atau ketidakmampuan untuk mengakses sumber-sumber yang ada agar dapat
berpartisipasi ke dalam pasar kerja yaitu kemiskinan dan munculnya masalah-masalah pribadi
seperti depresi yang tidak lagi dapat ditangani oleh keluarga  dikarenakan fungsi keluarga besar
yang melemah dan tidak dapat pula ditangani oleh institusi masyarakat, karena  lemahnya sistem
yang dimiliki oleh insitusi semacam ini hingga tidak mampu menampung, mengatasi dan
mengatur banyaknya kasus.

Profesi pekerjaan sosial muncul dengan menawarkan perspektif akademis sehingga pelayanan
terhadap masyarakat memiliki mekanisme yang jelas, teratur dan dapat dievaluasi. Menurut
seperti yang dikutip oleh Ehrenreich, secara historis pekerjaan sosial memiliki dua komitmen
besar, pertama adalah komitmen untuk meningkatkan fungsi individu dan secara bersamaan
komitmen untuk mempromosikan masyarakat yang lebih baik dan sumber sumber yang ada
disekitar mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Perdebatan tajam antara pekerjaan
sosial dan kesejahteraan sosial/kebijakan sosial tidak sejalan dengan kedua komitmen awal
profesi pekerjaan sosial.

Pekerjaan Sosial atau Ilmu Kesejahteraan Sosial?

Yang menarik adalah perbedaan nama antara Pekerjaan sosial dan Ilmu Kesejahteraan sosial.
Ada beberapa dua perspektif  dalam melihat kedua kata ini. Sebagai pemahaman definisi,
pekerjaan sosial memiliki sejarah yang berakar dari tradisi philantropi atau charity movement
yang lahir pada era progresif di Amerika tahun 1880-an. Pendekatan yang dilakukan Peksos,
lebih bersifat klinis (beberapa menyebutnya generalis), ranah-ranah yang ada dalam pekerjaan
sosial pun sangat spesifik beberapa diantaranya adalah asesmen keluarga dan perlindungan anak.

Yang menarik dari hal ini adalah, di Indonesia banyak yang menganggap bahwa pendekatan
klinis bukanlah pendekatan yang relevan yang dapat diterapkan pada konteks Indonesia.  Namun
keterampilan ini sebenarnya merupakan elemen yang sangat penting bagi Indonesia, karena trend
intervensi sosial yang ada di Indonesia  lebih bergerak menuju layanan yang berbentuk
pencegahan berbasis masyarakat (community-based prevention) dibanding dengan model insitusi
untuk memecahkan persoalan yang akut.

Lain hal nya dengan Kesejahteraan Sosial (Social Welfare), kata ini lebih bersifat umum dan
general, gerakan ini muncul dari pergerakan settlement house yang dibidani oleh Jane Adams,
dimana lebih bersifat pada community organizing, aktifisme , advokasi dan juga kebijakan.
Karena kesejahteraan sosial berkait dengan well-being masyarakat, maka pelaku di dalam ranah
ilmu kesejahteraan sosial ini tidak melulu harus Pekerja sosial tapi bisa juga ekonom, politisi,
semua profesi yang berhubungan dengan kesejahteraan orang banyak. Namun seorang pekerja
sosial yang mendalami Ilmu Kesejahteraan Sosial akan berbeda dengan mereka yang datang dari
profesi lain. Misalnya, analisis kebijakan kemiskinan seorang peksos akan lebih menggunakan
pisau analisis kelayakan (kualitas hidup) dan teori PIE (people in environment) yang melihat
dukungan keluarga, lingkungan dan masyarakat sedangkan seorang ekonom lebih menggunakan
pendapatan (income dan earnings) untuk menganalisa satu phenomena kemiskinan yang ada di
masyarakat. Tentu saja contoh ini sangat ‘sederhana’ dibanding dari proses analisa yang
dilakukan di lapangan yang lebih rumit.

Perspektif ke dua adalah, penamaan pekerjaan sosial dan Ilmu kesejahteraan sosial pada
universitas adalah masalah ‘hubungan publik’ artinya, penamaan ini terkait dengan pesan apa
yang ingin disampaikan oleh suatu program pekerjaan sosial. Di Jepang misalnya pada masa
awal pembentukan program pendidikan pekerjaan sosial, untuk alasan politis dan melihat pasar,
nama ilmu Kesejahteraan sosial lebih dipilih karena stigma akan pekerjaan sosial sangat kental di
masyarakat. Namun ketika profesi ini sudah lebih dikenal beberapa program kembali
menggunakan kata pekerjaan sosial (Mandinberg, 2009). Di Amerika sendiri, tidak semua
program yang menyelenggarakan pendidikan pekerjaan sosial menggunakan kata Social Work
(Columbia University School of Social Work, University of Michigan) tetapi juga Social
Welfare (UCLA Berkeley dan University of Washington in St Louis), namun mereka bernaung
di bawah CSWE (Council of social Work Education) atau badan pendidikan pekerjaan sosial.
Amerika Serikat dan Kanada serta Inggris –walaupun sedikit berbeda dengan latar belakang
historis yang berbeda- memiliki trend yang sama akan penamaan program mereka.

Standarisasi Kurikulum

Wenocur dan Reisch memandang profesionalisasi pekerjaan sosial sebagai suatu kepemilikan
komoditas layanan yang spesifik yang jelas yang monolistik (yang hanya dimiliki oleh pekerjaan
sosial) dengan ‘reward’ materi juga status.  ( “another monopolistic hold on a distribution of a
particular service commodity with concomitant materials and status rewards”. )
Jadi ketika membicarakan pendidikan pekerjaan sosial , kita harus dapat menjawab  pertanyaan
penting, sebagai pekerja sosial hal apa yang harus kita ketahui? Dan apa yang yang diharapkan
dari seorang pekerja sosial?  Tentu saja hal ini banyak mengundang perdebatan antara mereka
yang terlibat di lapangan layanan sosial, para pendidik pekerjaan sosial, pembuat kebijakan,
akademisi dan semua orang yang merasa terlibat. Perbedaan antara apa dan bagaimana
menamakan pekerjaan sosial sebagai sebuah disiplin adalah dinamika awal terbentuknya
pekerjaan sosial di Amerika. Di Indonesia, hal ini sedang berlangsung, kita semua sedang
mencari bentuk dan formula untuk membentuk sebuah pekerjaan sosial yang dianggap ideal.

Namun, tentunya kita harus dapat bergerak cepat dan tidak berputar-putar dalam pembentukan
sebuah nama, namun mencari titik persamaan akan bagian apa yang dapat kita lakukan. Dengan
berjalannya waktu, ketika tuntutan profesi pekerjaan sosial kian menuntut keahlian yang spesifik,
jelas dan sustainable, profesi pekerja sosial di Indonesia dituntut untuk memiliki tingkat
akademik yang cukup hingga dapat menghasilkan tenaga professional dengan kemampuan
spesifik dan berkualitas sehingga dapat berkompetisi dengan profesi yang lainnya.

Ketika hal ini tidak dilakukan, lahan pekerja sosial menjadi lahan yang dapat diserbu siapa saja.
Yang dimaksud lahan disini adalah ranah pekerjaan dimana dibutuhkan keahlian yang sangat
spesifik dan itu hanya bisa dilakukan oleh pekerja sosial. Ini bukan hal yang mudah. Ini bukan
berarti kita dapat melabel satu produk yang bukan milik kita. Di Aceh pasca tsunami misalnya,
banyak orang yang melihat pekerja sosial professional melakukan pekerjaan yang sangat berbeda
dibanding dengan mereka yang tidak professional, misalnya, ‘produk’ yang dimiliki oleh pekerja
sosial professional adalah produk dengan rangkaian sistematis, terarah dan terukur.

Keahlian ini tentu saja tidak bisa dilakukan dengan tingkatan pelatihan. (training vs pendidikan
tinggi). Contoh yang tepat adalah usaha penting yang dilakukan oleh SWPRC dalam
perlindungan anak yang diawali dari Aceh, pasca tsunami dan beberapa daerah di Indonesia
lainnya. Perlindungan anak adalah salah area yang seharusnya dapat diklaim sebagai area
andalan pekerjaan sosial di Indonesia yang bisa kita jadikan titik awal spesialisasi yang bisa
dilakukan oleh peksos professional di Indonesia.

Standarisasi kurikulum adalah tuntutan dari munculnya beberapa program kesejahteraan sosial di
Indonesia .  Standarisasi adalah suatu proses yang tidak terelakan.  Standarisasi adalah
kepentingan profesi , penting bagi kita untuk memiliki titik persamaan untuk jangka panjang,
walaupun standarisasi bukanlah hal yang besar bagi konsumen dan pasar karena bila produk
yang dihasilkan memiliki kualitas baik, pasar tidak terlalu melihat standarisasi sebagai ukuran
(Mandinberg, 2009).

Salah satu cara standarisasi yang dapat diambil oleh profesi pekerjaan sosial, yaitu mengadakan
konsorsium yang terdiri dari para ahli pekerjaan sosial, akademisi, pemerintah, organisasi-
organisasi yang menyerap tenaga peksos dan beberapa tokoh masyarakat. Langkah ini diambil
agar pekerjaan sosial memiliki tolok ukur akan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan
peksos. Mengambil contoh di beberapa negara yang telah memiliki profesi pekerjaan sosial lebih
awal dari Indonesia, misalnya CSWE (the Council of Social Work Education) yang berada di
Amerika utara, adalah badan pendidikan peksos yang menentukan isi kurikulum inti pekerjaan
sosial universitas.
Namun tolok ukur ini bukanlah ukuran yang baku yang harus diikuti mentah-mentah. Setiap
universitas memiliki otoritas masing-masing bagaimana mereka ingin menyelenggarakan
kurikulum-nya. Pertanyaan selanjutnya, tentang apa saja yang harus dimasukan sebagai isi
kurikulum tersebut, tentu saja harus disesuaikan dengan konteks kebutuhan dan ‘pasar’ dari
sosial work itu sendiri, di Vietnam, misalnya memasukan keterampilan komunikasi sebagai salah
satu inti dari kurikulum mereka (Hugman, 2009).  Keseragaman menjadi penting bagi
pendidikan peksos di Indonesia, karena kalau tidak, peksos sangat mustahil untuk diterima
sebagai profesi, karena setiap lulusan tidak memiliki titik persamaan sama sekali.

Di luar universitas,  standarisasi lainnya adalah menyelenggarakan  bar exam dan grandfathering.
Bar exam artinya semua orang yang ingin memiliki lisensi pekerjaan sosial harus melewati ujian
ini dan lulus. Sedangkan grandfathering adalah pemberikan lisensi profesi bagi mereka yang
memang sudah lama terjun di profesi ini tanpa melalui test. Di Amerika serikat, bar exam dan
grandfathering diberlakukan berbeda di negara-negara bagian.  Di California, semua orang dapat
mengikuti ujian ini, sedangkan New York hanya membatasi ujian ini bagi mereka yang memang
lulusan pekerjaan sosial. Lain halnya dengan Jepang hanya karena memberlakukan bar exam,
banyak mereka yang bekerja di area peksos dan sangat senior tidak memiliki lisensi, sekalipun
mereka adalah professor senior di program peksos. Pertanyaan selanjutnya, bagi konteks
Indonesia, apakah kita sudah saatnya melakukan ini ? keputusan tentunya ada di  tangan kita.

Berusaha untuk memahami  ‘nature’ pendidikan profesi pekerjaan sosial di Indonesia, -pekerjaan
sosial terapan dan pekerjaan sosial akademis- penting bagi kita untuk kembali melihat sejarah
profesi ini secara runtut dan menyeluruh. Lahirnya STKS (KDSA pada tahun 1987) sebagai
lembaga pendidikan pekerja sosial di Indonesia ini menjadi begitu menarik untuk dibahas .
Keterlibatan pemerintah secara langsung mendirikan badan pelatihan sebuah profesi adalah
bagian secara sejarah dari banyak profesi di negara berkembang seperti China dan Turki.
Keterlibatan pemerintah ini adalah salah satu langkah jarak pendek untuk dapat menyediakan
pekerja sosial yang terlatih yang dapat memenuhi perangkat tuntutan struktural dalam
pengembangan satu negara kesejahteraan (welfare state).

Salah satu spesifik yang dialami di Indonesia, adalah posisi pendidikan pekerjaan sosial yang
berada pada Departemen yang berbeda. STKS yang dinaungi oleh DEPSOS, misalnya lebih
berorientasi pada program praktek, terlihat dari beberapa tulisan-thesis, skripsi dan makalah yang
ada- yang telah dilakukan oleh lulusan  STKS yang memiliki komitmen riset yang lebih berbasis
apa yang terjadi di lapangan (practicum related-practice). Sedangkan UI, UIN dan lainnya berada
di bawah Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, yang isu nya lebih
mengarah pada perbedaan ilmu dan profesi.

Untuk di UI (Haffey, 2009) program yang berada di bawah departemen pendidikan lebih
mendalami analisa masalah dan kurang memiliki penekanan pada profesi pendidikan pekerjaan
sosial. Untuk di UIN paling tidak ada isu mendasar yaitu peraturan pemerintah tentang
persyaratan yang harus dimiliki seorang lulusan, tuntutan universitas mengharuskan mahasiswa
untuk memiliki pengetahun akademis (beban sks) tertentu sedangkan tuntutan profesi menuntut
mahasiswa untuk memiliki kredit praktikum yang tidak sedikit.  Jadi yang menjadi isu disini
bukanlah pada universitas yang tidak menekankan pada isu praktikum namun lebih pada sistem
‘manajemen’ yang berbeda, untuk kasus UIN Jakarta, misalnya, 800 jam praktik sudah mulai di
terapkan namun supervise masih menjadi kendala terbesar selain isu –isu lainnya.

Penutup

Pengembangan pendidikan pekerjaan sosial di Indonesia, adalah bagian yang penting dalam
proses terbentuknya profesi pekerja sosial  mengalami beberapa tantangan yang saling
berhubungan satu dengan yang lain. Tantangan yang pertama adalah pendidikan profesi
pekerjaan sosial yang ideal membutuhkan pendidik dengan kualifikasi peksos dan pengalaman,
tidak hanya sebagai tenaga pengajar tetapi juga dapat melakukan supervisi praktikum, kalau
tidak, pendidikan profesi ini kekurangan mereka yang memiliki persyaratan tersebut.

Tantangan kedua adalah, kesesuaian kultur, bila tantangan pertama dipecahkan dengan
mendatangi para ahli yang datang dari tradisi pekerjaan sosial  yang berbeda, akan sangat
mungkin bila peksos yang diperkenalkan adalah praktik dan alur berpikir yang sesuai dengan
konteks dimana ahli ini berasal dan belum tentu sesuai untuk Indonesia. Kenyataannya adalah
peksos memiliki wujud yang berbeda di seluruh dunia dengan adaptasi sesuai dengan konteks
yang berlaku. Contohnya bila, perlindungan anak menjadi salah satu area praktik yang dapat
diklaim di Indonesia, karakter perlindungan anak di Indonesia tentunya adalah karakter unik
dibandingkan dengan negara lain dengan menggunakan pendekatan yang berbeda dan sesuai
dengan konteks di Indonesia.

Namun tantangan pendidikan profesi pekerjaan sosial di Indonesia yang ada sekarang adalah
tantangan serupa yang dihadapi di tempat lain. Walaupun ada beberapa masalah spesifik yang
dialami Indonesia, kita masih dapat belajar dari negara-negara yang telah memiliki profesi
peksos yang mapan dan juga negara yang masih pada tingkat perkembangan profesi ini.  Pada
saat yang bersamaan, kita dapat menciptakan visi kita sendiri akan profesi ini dan akhirnya
mampu menciptakan bentuk baru pekerjaan sosial Indonesia yang unik yang dapat kita
kembangkan.

Dorita Setiawan, MSW

Doctorate student at Columbia University School of Social Work

Aspek Sosial Budaya: Tugas Pekerja Sosial

Sebagai sebuah negara, Indonesia tentu terdiri dari ragam masyarakat dengan lapisan ekonomi
yang beragam. Menjamurnya pulau-pulau di Indonesia memang menjadi kekayaan tersendiri
bagi Indonesia, namun di sisi lain juga melahirkan karakter Indonesia yang beragam.
Berangkat dari sini, masalah sosial pun seringkali tak dapat dielakan. Terkadang menuai konflik
dan problematika lainnya. Mulai dari masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya, agama,
dan politik kerap menjadi masalah sosial yang harus dihadapi bersama.

Pemerintah lewat Dinas Sosial, tentu tidak akan mampu menyelesaikan masalah ini sendiri.
Maka dari itu, peran para pekerja sosial yang ikhlas membantu menyelesaikan masalah saudara-
saudaranya di lapangan masih sangatlah dibutuhkan. Keberadaannya merupakan ujung tombak
pemerintah.

Apalagi kita tahu, bahwa masalah pendidikan, bencana, kesehatan, kelaparan, konflik budaya
dan agama, dan masalah yang berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat di Indonesia, dari hari
ke hari kian marak saja.

Tugas Pokok

Banyak sekali ragam fungsi dari peran para pekerja sosial. Namun secara garis besar keberadaan
para pekerja sosial mengemban amanah sesuai dengan fungsinya masing-masing. Adapun tugas
yang biasa dilakukan di lapangan adalah sebagai berikut.

•    Fasilitator

Para pekerja sosial yang menjadi fasilitator bertugas melakukan aksi-aksi yang erat hubungannya
dalam hal memberikan kesempatan, mendongkrak semangat, dan daya dukungan bagi hajat
hidup masyarakat. Lewat fasilitator, problem masyarakat akan mendapat semacam model yang
akan menjembatani mereka pada solusi yang diharapkan.

•    Pendidik

Para pekerja sosial pun haruslah mampu menjadikan dirinya sebagai pendidik. Dalam arti
bukanlah menjadi guru, tetapi mengajarkan hal-hal yang selama ini tidak benar di tengah
masyarakat. Pekerja sosial harus mengaktifkan diri dalam memberikan input positif dan langsung
berdasarkan kemampuannya. Salah satu tugas pekerja sosial sebagai pendidikan adalah mampu
menyampaikan informasi, membangun kesadaran kolektif, menggelar pelatihan yang tepat dan
bermanfaat bagi masyarakat, bahkan harus mampu melakukan konfrontasi.

•    Mediator

Sekali lagi, para pekerja sosial harus mampu menjadi mediator dalam menjembatani masalah dua
kelompok sosial yang akan mengarah pada konflik. Mereka inilah yang disebut dengan
kelompok ketiga. Mereka harus mampu melakukan mediasi dengan para anggota kelompok,
termasuk mampu menembus sistem-sistem yang menghambat dan berpotensi menimbulkan
konflik.

•    Pendampingan 
Pendampingan ini tak hanya dilakukan semata menampung aspirasi dari masyarakat bermasalah.
Tetapi lebih dari itu, tugas seorang pekerja sosial sebagai pendamping masyarakat sangatlah luas
cakupannya. Para pendamping harus mampu menjalin hubungan harmonis dengan lembaga-
lembaga pendukung kepentingan masyarakat. Adapun tugas yang biasa dilakukan adalah
menelisik sumber potensi, menyiapkan pembelaan, merangkul media, dan memperluas jejaring
kerja.

Demikianlah, garis besar tugas para pekerja sosial. Sekali lagi kondisi Indonesia yang rentan
konflik, tentunya menghajatkan para pekerja yang ikhlas dan solid. Keberadaan mereka adalah
partner pemerintah. Tinggal bagaimana pemerintah sebenarnya menunjukan sikap
keseriuasannya. Selamat bertugas.

You might also like