You are on page 1of 68

METODE PEMBELAJARAN; KAJIAN

TAFSIR TARBAWI
April 27, 2009 pada 2:01 am (Islam, pendidikan)
Tags: Tafsir Tarbawi

METODE PEMBELAJARAN DAN PENGAJARAN


DALAM SURAT AL-QUR’AN
( Kajian Surat Al-Maidah Ayat 67 dan An-Nahl ayat 125 )

Disusun Oleh : Ibrohim1*

A. PENDAHULUAN
Metode merupakan hal yang sangat penting dalam proses belajar mengajar di lembaga
pendidikan. Apabila proses pendidikan tidak menggunakan metode yang tepat maka akan
sulit untuk mendapatkan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Sinyalemen ini seluruh
pendidik sudah maklum, namun masih saja di lapangan penggunaan metode mengajar ini
banyak menemukan kendala.
Kendala penggunaan metode yang tepat dalam mengajar banyak dipengaruhi oleh
beberapa faktor ; keterampilan guru belum memadai, kurangnya sarana dan prasarana,
kondisi lingkungan pendidikan dan kebijakan lembaga pendidikan yang belum
menguntungkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang variatif.
Apa yang ditemukan oleh Ahmad Tafsir (1992 : 131) mengenai kekurangtepatan
penggunaan metode ini patut menjadi renungan. Beliau mengatakan pertama, banyak
siswa tidak serius, main-main ketika mengikuti suatu meteri pelajaran, kedua gejala
tersebut diikuti oleh masalah kedua yaitu tingkat penguasaan materi yang rendah, dan
ketiga para siswa pada akhirnya akan menganggap remeh mata pelajaran tertentu1.
Kenyataan ini menunjukan betapa pentingnya metode dalam proses belajar mengajar.
Tetapi betapapun baiknya suatu metode tetapi bila tidak diringi dengan kemampuan guru
dalam menyampaikan maka metode tinggalah metode. Ini berarti faktor guru juga ikut
menentukan dalam keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar. Sepertinya kedua hal
ini saling terkait. Metode yang baik tidak akan mencapai tujuan bila guru tidak lihai
menyampaikannya. Begitu juga sebaliknya metode yang kurang baik dan konvensional
akan berhasil dengan sukses, bila disampaikan oleh guru yang kharismatik dan
berkepribadian, sehingga peserta didik mampu mengamalkan apa yang disampaikannya
tersebut.
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam di dalamnya memuat berbagai informasi tentang
seluruh kehidupan yang berkaitan dengan manusia. Karena memang Al-Qur’an
diturunkan untuk umat manusia, sebagai sumber pedoman, sumber inspirasi dan sumber
ilmu pengatahuan. Salah satunya adalah hal yang berkaitan dengan pendidikan.
B. PEMBELAJARAN DAN PENGAJARAN DALAM PRESFEKTIF AL-QUR’AN
Metode pembelajaran dan mengajar dalam Islam tidak terlepas dari sumber pokok ajaran
yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai tuntunan dan pedoman bagi umat telah memberikan
garis-garis besar mengenai pendidikan terutama tentang metode pembelajaran dan
metode mengajar. Di bawah ini dikemukakan beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan

1
dengan metode pembelajaran dan mengajar dalam presfektif Al-Qur’an terutama dalam
Surat Al-Maidah ayat 67 dan Surat An-Nahl ayat 125.
1. Surat Al-Maidah ayat 67

َ‫ل َيْهِدي اْلَقْوم‬


َ ‫ل‬ َّ ‫ن ا‬
ّ ‫س ِإ‬
ِ ‫ن الّنا‬
َ ‫ك ِم‬
َ ‫صُم‬
ِ ‫ل َيْع‬
ُّ ‫ساَلَتُه َوا‬
َ ‫ت ِر‬
َ ‫ل َفَما َبّلْغ‬
ْ ‫ن َلْم َتْفَع‬
ْ ‫ك َوِإ‬
َ ‫ن َرّب‬
ْ ‫ك ِم‬
َ ‫ل ِإَلْي‬
َ ‫ل َبّلْغ َما ُأْنِز‬
ُ ‫سو‬
ُ ‫َياَأّيَها الّر‬
67) ‫ن‬ َ ‫)اْلَكاِفِري‬

a. Mufrodat

ُ ‫سو‬
‫ل‬ ُ ‫ = َياَأّيَها الّر‬Hai Rasul
ْ‫ = َبّلغ‬sampaikanlah
َ ‫ل ِإَلْي‬
‫ك‬ َ ‫ = َما ُأْنِز‬apa yang di turunkan kepadamu
َ ‫ن َرّب‬
‫ك‬ ْ ‫ = ِم‬dari Tuhanmu.
ْ ‫ن َلْم َتْفَع‬
‫ل‬ ْ ‫ = َوِإ‬Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu)
َ ‫ = َفَما َبّلْغ‬kamu tidak menyampaikan
‫ت‬
‫ساَلَته‬َ ‫= ُ ِر‬ amanat-Nya
َ ‫صُم‬
‫ك‬ ِ ‫ل َيْع‬ ُّ ‫ = َوا‬Allah memelihara kamu
ِ ‫ن الّنا‬
‫س‬ َ ‫ = ِم‬dari (gangguan) manusia.
َّ ‫ن ا‬
‫ل‬ ّ ‫ = ِإ‬. Sesungguhnya Allah
‫ل َيْهِدي‬ َ = tidak memberi petunjuk
َ ‫ = اْلَقْوَم اْلَكاِفِري‬kepada orang-orang yang kafir
‫ن‬

b. Artinya
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-
Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” 2.

b. Asbabun Nuzul
Ada beberapa riwayat dengan turunnya surat Al-Maidah ayat 67 ini diantaranya:
“Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulallah Saw pernah bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah mengutusku dengan risalah kerasulan. Hal tersebut
menyesakkan dadaku karena aku tahu bahwa orang-orang akan mendustakan risalahku.
Allah memerintahkan kepadaku, untuk menyampaikannya dan kalau tidak, Allah akan
menyiksaku”. Maka turunlah ayat ini ( S.5 : 67) yang mempertegas perintah penyampaian
risalah disertai jaminan akan keselamatannya3.
Dalam riwayat yang lain dikemukakan bahwa Siti Aisyah menyatakan bahwa nabi SAW
biasanya dijaga oleh para pengawalnya sampai turun ayat “wallahu ya’shimuka
minnannas’ (S.5 : 67) Setelah ayat itu turun Rasulullah menampakan dirinya dari kubbah
sambil berkata ; “wahai saudar-saudaraku pulanglah kalian, Allah telah menjamin
keselamatanku dalam menyebarkan dakwah ini. Sesungguhnya malam seperti ini baik
untuk tidur di tempat tidur masing-masing. 4

c. Pembahasan
Tersirat dalam Surat Al-Maidah ini mengandung makna bahwa menyampaikan risalah itu
merupakan perintah Tuhan. Allah memerintahkan Nabi untuk menyampaikan risalah

2
kenabian kepada umatnya jika tidak maka nabi termasuk orang yang tidak
menyampaikan amanat. Peringatan Allah kepada nabi mengakibatkan beliau sangat
ketakutan sehingga dada nabi terasa sesak, saking beratnya tugas ini.
Kata-kata “baligh” dalam bahasa Arab itu merupakan pernyataan yang sangat jelas
apalagi bentuknya fi’il “amr”. Dalam tafsir Al-Jalalin lafadz “baligh” terselip kandungan
‫( جميع‬seluruhnya)5. Berarti nabi harus menyampaikan secara keseluruhan yang telah
diterima dari Allah SWT. Tidak boleh ada yang disembunyikan sedikitpun dari Nabi (‫ول‬
6 ( ‫تكتم شيئا منه‬. Dalam Tafsir Ibnu Katsir juga dijelaskan bahwa makna “baligh” dalam
surat Al-Maidah merupakan fiil amr yang terkandung makna untuk menyampaikan
seluruh yang diterima dari Allah SWT. Ibnu Katsir menulis :

‫يقول تعالى مخاطبا عبده ورسوله محمدا – صلى ال عليه وسلم – باسم الرساله وآمرا له بإبلغ جميع ما أرسله‬
7 ‫ال به‬

(Allah berkata pada hamba dan rasulnya yaitu Muhammad SAW dengan konteks
kerisalahan dan memerintahkan untuk menyampaikan seluruh yang datang dari Allah)
Bagi nabi tugas ini sangat berat karena merupakan tanggung jawab dunia akherat. Saking
beratnya perintah ini, dalam peristiwa “haji wada”, nabi sekali lagi menegaskan tentang
tugas beliau yang telah dipikulkan padanya. Ini artinya sebuah perintah harus
dipertangggungjawabkan. Bagi seorang guru pada akhir tugas pembelajaran harus ada
pertanggungjawaban sehingga diketahui oleh public atau masyarakat umum. Kisah ini
diceritakan sangat indah oleh Ibnu Katisr dalam menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 67
ini. Beliau menguraikan :

‫قال الزهري من ال الرسالة وعلى الرسول البلغ وعلينا التسليم وقد شهدت له أمته بإبلغ الرسالة وأداء المانة‬
‫واستنطقهم بذلك فى أعظم المحافل في خطبته يوم حجة الوداع وقد كان هناك من أصحابه نحو من أربعين ألفا كما‬
‫”ياأيها‬:‫ثبت في صحيح مسلم عن جابر بن عبد ال أن رسول ال – صلى ال عليه وسلم – قال في خطبته يومئذ‬
‫الناس إنكم مسئولون عني فما أنتم قائلون؟ قالوا نشهد أنك قد بلغت وأديت ونصحت فجعل يرفع أصبعه إلى السماء‬
8 ‫منكسها إليهم ويقول اللهم هل بلغت‬

Pada awalnya Nabi merasa takut untuk menyampaikan risalah kenabian. Namun karena
ada dukungan lansung dari Allah maka keberanian itu muncul. Dukungan dari Allah
sebgai pihak pemberi wewenang menimbulkan semangat dan etos dakwah nabi dalam
menyampaikan risalah. Nabi tidak sendirian, di belakangnya ada semangat “Agung”, ada
pemberi motivasi yang sempurna yaitu Allah SWT. Begitu pun dalam proses
pembelajaran harus ada keberanian, tidak ragu-ragu dalam menyampaikan materi. Sebab
penyampaian materi sebagai pewarisan nilai merupakan amanat agung yang harus
diberikan. Bukankah nabi berpesan ; “yang hadir hendaknya menyampaikan kepada yang
tidak hadir” . Sehingga Allah berfirman sebagai penegasan dukungan keselamatan :
ِ ‫ن الّنا‬
‫س‬ َ ‫صُمكَ ِم‬
ِ ‫ل َيْع‬
ُّ ‫ = َوا‬Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia
Imam AL-Qurtubi memperjelas dalam konteks kerisalahan nabi sebagai rasul. Beliau
mengungkapkan sebab rasul tidak berani menyampaikan risalah kenabian secara terang-
terangan. Beliau menulis dalam tafsirnya :
‫ وأعلمه‬,‫ ثم أمر بإظهاره في هذه الية‬,‫ معناه أظهر التبليغ; لنه كان في أول السلم يخفيه خوفا من المشركين‬:‫قيل‬
9 .‫ال أنه يعصمه من الناس‬
Arti “baligh” menurut Imam Al-Qurtubi lebih menampakan pada proses penyampaian

3
amanah kapada masyarakat. Karena di awal penyebaran agama Islam nabi khawatir
kepada orang-orang musyrik Makkah. Kemudian Allah memerintahkan untuk
menampakan kerisalahan tersebut dengan diturunkannya ayat ini. Dan Allah
memberitahu kepada nabi bahwa Allah akan menjaga keselamatannya. Bahkan bila nabi
tidak menyampaikan ayat, menyembunyikan risalah dan amanat tersebut maka nabi
dikatakan sebagai orang yang “kadzab”, berdusta. 10

Dalam Al-Qur’an banyak memuat istilah-istilah komunikasi sebagai salah satu metode
pembelajaran. Istilah-istilah tersebut adalah ; Qaulan sadidan (QS 4 : 9), Qaulan
maysuran (QS 17 : 28), Qaulan Layinan (QS 20 : 44), Qaulan kriman (QS 17 : 23),
Qaulan Mau’rufan ( QS 4 : 5 ) dan istilah ” Qaulan Balighon” ( Qs 4 : 63 ) 11
Kata Qaulan Balighan di dalam Al-qur’an terdapat pada surat An-Nisaa ayat 63. Ayat ini
mengisyaratkan mengenai prinsip-prinsip komunikasi sebagai sarana pembelajaran dan
menyampaikan amanah. Ayat tersebut adalah :
63)‫سِهْم َقْوًل َبِليًغا‬
ِ ‫ظُهْم َوُقْل َلُهْم ِفي َأْنُف‬
ْ‫ع‬ِ ‫عْنُهْم َو‬
َ ْ‫عِرض‬
ْ ‫ل َما ِفي ُقُلوِبِهْم َفَأ‬
ُّ ‫ن َيْعَلُم ا‬
َ ‫ك اّلِذي‬
َ ‫)ُأوَلِئ‬
Artinya : Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati
mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan
katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka12.

Kata “Baligh” dalam bahasa Arab atinya sampai, mengenai sasaran, atau mencapai
tujuan. Bila dikaitkan dengan qawl (ucapan), kata balig berarti fasih, jelas maknanya,
terang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena itu prinsip qaulan balighan
dapat diterjemahkan sebgai prinsip komunikasi yang effektif. Komunikasi yang efektif
dan efisien dapat diperoleh bila memperhatikan pertama, bila dalam pembelajaran
menyesuaikan pembicaranya dengan sifat khalayak. Istilah Al-Quran “fii anfusihiim”,
artinya penyampaian dengan “bahasa” masyarakat setempat. Hal yang kedua agar
komunikasi dalam proses pembelajaran dapat diterima peserta didik manakala
komunikator menyentuh otak atau akal juga hatinya sekaligus13.
Tidak jarang di sela khotbahnya nabi berhenti untuk bertanya atau memberi kesempatan
yang hadir untuk bertanya, terjadilah dialog. Khutbah nabi pendek tetapi padat penuh
makna sehingga menyentuh dalam setiap sanubari pendengarnya.
2. Surat An-Nahl ayat 125

َ‫سِبيِلِه َوُهو‬َ ‫ن‬ ْ‫ع‬َ ‫ضّل‬


َ ‫ن‬
ْ ‫عَلُم ِبَم‬
ْ ‫ك ُهَو َأ‬
َ ‫ن َرّب‬
ّ ‫ن ِإ‬
ُ‫س‬َ ‫ح‬
ْ ‫ي َأ‬
َ ‫جاِدْلُهْم ِباّلِتي ِه‬
َ ‫سَنِة َو‬
َ ‫ح‬
َ ‫ظِة اْل‬
َ‫ع‬ِ ‫حْكَمِة َواْلَمْو‬
ِ ‫ك ِباْل‬
َ ‫سِبيِل َرّب‬
َ ‫ع ِإَلى‬
ُ ‫اْد‬
‫عَلُم ِباْلُمْهَتِدين‬
ْ ‫َأ‬

a. Mufrodat

ُ‫ = اْدع‬Serulah (manusia)
َ ‫ل َرّب‬
‫ك‬ ِ ‫سِبي‬َ ‫ = ِإَلى‬kepada jalan Tuhanmu
‫حْكَمِة‬ ِ ‫ = ِباْل‬dengan hikmah
‫سَنِة‬َ‫ح‬ َ ‫ظةاْل‬َ‫ع‬ِ ‫ = َواْلَمْو‬dan pelajaran yang baik
‫جاِدْلُهْم‬ َ ‫ = َو‬bantahlah mereka
ُ‫س‬
‫ن‬ َ‫ح‬ ْ ‫ي َأ‬َ ‫ = ِباّلِتي ِه‬dengan cara yang baik
َ ‫ن َرّب‬
‫ك‬ ّ ‫ = ِإ‬Sesungguhnya Tuhanmu
‫عَلُم‬ ْ ‫ = ُهَو َأ‬Dialah yang lebih mengetahui

4
ّ‫ضل‬ َ ‫ن‬ ْ ‫ = ِبَم‬tentang siapa yang tersesat
‫سِبيِلِه‬
َ ‫ن‬ ْ‫ع‬ َ = dari jalan-Nya
‫عَلُم‬ْ ‫ = َوُهَو َأ‬Dialah yang lebih mengetahui
َ ‫ = ِباْلُمْهَتِدي‬orang-orang yang mendapat petunjuk.
‫ن‬

b. Artinya
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.”

c. Makna Jumal
Makna umum dari ayat ini bahwa nabi diperintahkan untuk mengajak kepada umat
manusia dengan cara-cara yang telah menjadi tuntunan Al-Qur’an yaitu dengan cara Al-
hikmah, Mauidhoh Hasanah, dan Mujadalah. Dengan cara ini nabi sebagai rasul telah
berhasil mengajak umatnya dengan penuh kesadaran. Ketiga metode ini telah mengilhami
berbagai metode penyebaran Islam maupun dalam konteks pendidikan.
Proses serta metode pembelajaran dan pengajaran yang berorientasi filsafat lebah (An-
Nahl) berarti membangun suatu sistem yang kuat dengan “jaring-jaring” (networking)
yang menyebar ke segala penjuru. Analogi ini bisa menyeluruh ke peserta didik, guru,
kepala sekolah, wali murid, komite sekolah dan instasi lain yang terkait. Sehingga
menjadi komponen pendidikan yang utuh, menjadi satu sistem yang tidak bisa dipisahkan
satu dengan yang lain.

d. Pembahasan
Pada awalnya ayat ini berkaitan dengan dakwah Rasulullah SAW. Kalimat yang
digunakan adalah fiil amr “ud’u” (asal kata dari da’a-yad’u-da’watan) yang artinya
mengajak, menyeru, memanggil14. Dalam kajian ilmu dakwah maka ada prinsip-prinsip
dalam menggunakan metode dakwah yang meliputi hikmah, maudhoh hasanah,
mujadalah. Metode ini menyebar menjadi prinsip dari berbagai system, berbagai metode
termasuk komunikasi juga pendidikan. Seluruh dakwah, komunikasi dan pendidikan
biasanya merujuk dan bersumber pada ayat ini sebagai prinsip dasar sehingga terkenal
menjadi sebuah “metode”.
Secara etimologi metode berasal dari bahasa Greeka, yaitu “Metha” artinya melalui atau
melewati dan “Hodos” artinya jalan atau cara15.Dalam kajian keislaman metode berarti
juga “Thoriqoh”16, yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk
melakukan suatu pekerjaan. Dengan demikian metode mengajar dapat diartikan sebagai
cara yang digunakan oleh guru dalam membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya
proses pembelajaran.
Adapun secara terminologi, para ahli pendidikan mendefinisikan metode sebagai berikut :
1). Hasan Langgulung mendefinisikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus
dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan. 2). Abd. Al – Rahman Ghunaimah
mendefinisikan bahwa metode adalah cara-cara yang praktis dalam mencapai tujuan
pengajaran. 3). Ahmad Tafsir mendefinisikan metode mangajar adalah cara yang paling
tepat dan cepat dalam mengajarkan mata pelajaran17
Ada beberapa landasan dasar dalam menentukan metode yang tepat dalam mengajar

5
diantaranya diulas oleh Abu Ahmadi, beliau mengatakan bahwa landasan untuk
pemilihan metode ialah : 1). Sesuai dengan tujuan pengajaran agama. 2). Sesuai dengan
jenis-jenis kegiatan. 3). Menarik perhatian murid.4). Maksud metodenya harus dipahami
siswa. 5). Sesuai dengan kecakapan guru agama yang bersangkutan18.
Dalam tafsir Al-Maroghi dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW dianjurkan untu
meniru Nabi Ibrohim yang memiliki sifat-sifat mulia, yang telah mencapai puncak derajat
ketinggian martabat dalam menyampaikan risalanya19. Allah berfirman :
‫ن اّتِبْع مِّلَة ِإْبَراِهيَم‬ِ ‫ك َأ‬َ ‫حْيَنا ِإَلْي‬
َ ‫ُثّم َأْو‬
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang
yang hanif.” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Dalam surat An-Nahl (lebah) ayat 125 ini, terdapat tiga prinsip dalam implementasi
metode penyampaian (dakwah, pembelajaran, pengajaran, komunikasi dan sebagainya)
yaitu ;
1. Al-Hikmah
Dalam bahasa Arab Al-hikmah artinya ilmu, keadilan, falsafah, kebijaksanaan, dan uraian
yang benar20. Al-hikmah berarti mengajak kepada jalan Allah dengan cara keadilan dan
kebijaksanaan, selalu mempertimbangkan berbagai faktor dalam proses belajar mengajar,
baik faktor subjek, obyek, sarana, media dan lingkungan pengajaran. Pertimbangan
pemilihan metode dengan memperhatikan audiens atau peserta didik diperlukan kearifan
agar tujuan pembelajaran tercapai dengan maksimal.
Imam Al-Qurtubi menafsirkan Al-hikmah dengan “kalimat yang lemah lembut”. Beliau
menulis dalam tafsirnya :
‫ وهكذا ينبغي أن يوعظ المسلمون إلى يوم‬,‫وأمره أن يدعو إلى دين ال وشرعه بتلطف ولين دون مخاشنة وتعنيف‬
21 ‫القيامة‬
Nabi diperintahkan untuk mengajak umat manusia kepada “dienullah” dan syariatnya
dengan lemah lembut tidak dengan sikap bermusuhan. Hal ini berlaku kepada kaum
muslimin seterusnya sebagai pedoman untuk berdakwah dan seluruh aspek penyampaian
termasuk di dalamnya proses pembelajaran dan pengajaran. Hal ini diinspirasikan dari
ayat Al-Qur’an dengan kalimat “qaulan layinan”. Allah berfirman :
44)‫شى‬ َ ‫خ‬ ْ ‫َفُقوَل َلُه َقْوًل َلّيًنا َلَعّلُه َيَتَذّكُر َأْو َي‬
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan lancar manakala ada interaksi
yang kondusif antara guru dan peserta didik. Komunikasi yang arif dan bijaksana
memberikan kesan mendalam kepada para siswa sehingga “teacher oriented” akan
berubah menjadi “student oriented”. Guru yang bijaksana akan selalu memberikan
peluang dan kesempatan kapada siswanya untuk berkembang.
Al-Hikmah dalam tafsir At-Tobari adalah menyampaikan sesuatu yang telah diwahyukan
kepada nabi. Ath-Thobari menguraikan :
22 ‫ وكتابه الذى نزله عليك بالحكمة‬,‫) يقول بوحى ال الذى يوحيه اليك‬
Hal ini hampir senada dengan Mustafa Al-Maroghi bahwa Al-Hikmah cenderung
diartikan sebagai sesuatu yang diwahyukan. 23 Demikian pula dalam tafsir Al-Jalalain
Al-hikmah diartikan dengan Al-Qura’nul kariem sebagai sesuatu yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW. An-Naisaburi menegaskan bahwa yang dimaksud Al-
hikmah adalah tanda atau metode yang mengandung argumentasi yang kuat (Qoth’i)
sehingga bermanfaat bagi keyakinan. Beliau menulis :

6
(24 ‫بالحكمة ( اشارة الى استعمال الحجج القطعية المفيدة لليقين‬
Nampak dengan gamblang sebenarnya yang dimaksud dengan penyampaian wahyu
dengan hikmah ini yaitu penyampaian dengan lemah lembut tetapi juga tegas dengan
mengunakan alasan-dalil dan argumentasi yang kuat sehingga dengan proses ini para
peserta didik memiliki keyakinan dan kemantapan dalam menerima materi pelajaran.
Materi pembelajaran bermanfaat dan berharga bagi dirinya, merasa memperoleh ilmu
yang berkesan dan selalu teringat sampai masa yang akan datang.
2. Mauidzah Hasanah
Maudzah hasanah terdiri dari dua kata “al-Maudzah dan Hasanah”. Al-mauidzah dalam
tinjauan etimologi berarti “pitutur, wejangan, pengajaran, pendidikan, sedangkan hasanah
berarti baik. Bila dua kata ini digabungkan bermakna pengajaran yang baik. Ibnu Katsir
menafsiri Al-mauidzah hasanah sebagai pemberian peringatan kepada manusia,
mencegah dan menjauhi larangan sehingga dengan proses ini mereka akan mengingat
kepada Allah. Ibnu Katsir menulis sebagai berikut :
25 ‫والموعظة الحسنة أي بما فيه من الزواجر والوقائع بالناس ذكرهم بها ليحذروا بأس ال تعالى‬
At-Thobari mengartikan mauidzah hasanah dengan “Al-ibr al-jamilah” yaitu
perumpamaan yang indah bersal dari kitab Allah sebagai hujjah, argumentasi dalam
proses penyampaian.26 Pengajaran yang baik mengandung nilai-nilai kebermanfaatan
bagi kehidupan para siswa. Mauidzah hasanah sebagai prinsip dasar melekat pada setiap
da’i (guru, ustadz, mubaligh) sehingga penyampaian kepada para siswa lebih berkesan.
Siswa tidak merasa digurui walaupun sebenarnya sedang terjadi penstranferan nilai.
Al-Imam Jalaludin Asy-Syuyuti dan Jalaludin Mahali mengidentikan kata “Al-Mauidah”
itu dengan kalimat ‫ مواعظه أو القول الرقيق‬artinya perkataan yang lembut27. Pengajaran yang
baik berarti disampaikan melalui perkataan yang lembut diikuti dengan perilaku hasanah
sehinga kalimat tersebut bermakna lemah lembut baik lagi baik.
Dengan melalui prinsip maudzoh hasanah dapat memberikan pendidikan yang
menyentuh, meresap dalam kalbu. Ada banyak pertimbangan (multi approach) agar
penyampaian materi bisa diterima oleh peserta didik diantaranya : a).Pendekatan
Relegius, yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk relegius dengan bakat-bakat
keagamaan. Metode pendidikan Islam harus merujuk pada sumber ajaran Islam yaitu Al-
Qur’an dan Al-Hadits, b). Dasar Biologis, pertumbuhan jasmani memegang peranan yang
sangat penting dalam proses pendidikan, c).Dasar Psikologis, metode pendidikan Islam
bisa effektif dan efesien bila didasarkan pada perkembangan psikis meliputi motivasi,
emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat dan kecakapan akal intelektual, d).
Dasar Sosiologis, pendekatan social interaksi antar siswa, guru dengan siswa sehingga
memberikan dampak positif bagi keduanya.
3. Mujadalah
Kata mujadalah berasal dari kata “jadala” yang makna awalnya percekcokan dan
perdebatan28. Kalimat “jadala” ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an diantaranya dalam
surat Al-Kahhfi ayat 54 ‫ل‬ ً ‫جَد‬
َ ‫يٍء‬ْ ‫ش‬
َ ‫ن َأْكَثَر‬
ُ ‫سا‬
َ ‫لْن‬
ِْ ‫ن ا‬
َ ‫))َوَكا‬, dalam surat Az-Zukhruf ayat : 56, (َ‫َقاُلوا‬
َ ‫صُمو‬
‫ن‬ ِ ‫خ‬
َ ‫ل ُهْم َقْوٌم‬
ْ ‫ل َب‬
ً ‫جَد‬
َ ‫ل‬
ّ ‫ك ِإ‬
َ ‫ضَرُبوُه َل‬
َ ‫خْيٌر َأْم ُهَو َما‬
َ ‫)َأآِلَهُتَنا‬. Kalimat “jadala” dengan berbagai
variasinya juga bertebaran dalam Al-Qur’an, seperti pada surat (2:197), (4:107,109),
(6:25, 121), ( 7 : 71), ( 11:32,74), (13:13), (18:54,56(, (22:8,68), (29:46), (31;20), (40 :
4,5,32,56,69), 24:35), (43:58), (58:1). Bahkan ada surat yang bernama “Al-Mujaadilah”
( perempuan-perempuan yang mengadakan gugatan)
Mujadalah dalam konteks dakwah dan pendidikan diartikan dengan dialog atau diskusi

7
sebagai kata “ameliorative” berbantah-bantahan. Mujadalah berarti menggunakan metode
diskusi ilmiyah yang baik dengan cara lemah lembut serta diiringi dengan wajah penuh
persahabatan sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah SWT29.
Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirmya bahwa mujadalah ini
adalah cara penyampaian melalui diskusi dengan wajah yang baik kalimat lemah lembut
dalam berbicara, seperti firman Allah :
“‫ول تجادلوا أهل الكتاب إل بالتي هي أحسن إل الذين ظلموا منهم” الية‬
‫فأمره تعالى بلين الجانب كما أمر به موسى وهارون عليهما السلم حين بعثهما إلى فرعون في قوله “فقول له قول‬
30 ‫لينا لعله يتذكر أو يخشى‬″.
Metode penyampaian ini dicontohkan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ketika berdialog-
diskusi dan berbantahan dengan Fir’aun. Sedangkan hasil akhirnya dikembalikan kepada
Allah SWT. Sebab hanya Allahlah yang mengetahui orang tersebut mendapat petunjuk
atau tidak.
Metode diskusi yaitu cara penyampaian bahan pelajaran dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk membicarakan, menganalisa guna mengumpulkan pendapat,
membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternative pemecahan masalah. Dalam
kajian metode mengajar disebut metode “hiwar” (dialog). Diskusi memberikan peluang
sebesar-besarnya kepada para siswa untuk mengeksplor pengetahuan yang dimilikinya
kemudian dipadukan dengan pendapat siswa lain. Satu sisi mendewasakan pemikiran,
menghormati pendapat orang lain, sadar bahwa ada pandapat di luar pendapatnya dan
disisi lain siswa merasa dihargai sebagai individu yang memiliki potensi, kemampuan
dan bakat bawaannya.
An-Naisaburi memberikan ilustrasi bahwa mujadalah itu adalah sebuah metode “‫أي‬
‫”بالطريقة‬. Diskusi (mujadalah) tidak akan memperoleh tujuan apabila tidak memperhatikan
metode diskusi yang benar, yang hak sehingga diskusi jadi “bathal” tidak didengarkan
oleh mustami’in31.
Metode mujadalah lebih menekankan kepada pemberian dalil, argumentasi dan alasan
yang kuat. Para siswa berusaha untuk menggali potensi yang dimilikinya untuk mencari
alasan-alasan yang mendasar dan ilmiyah dalam setiap argumen diskusinya. Para guru
hanya bertindak sebagai motivator, stimulator, fasilitator atau sebagai instruktur. Sistem
ini lebih cenderung ke “Student Centre” yang menekankan aspek penghargaan terhadap
perbedaan individu para peserta didik (individual differencies) bukan “Teacher Centre”.
C. PENUTUP
Al-Quran sebagai sumber segala sumber pedoman menjadikannya inspirator yang sangat
kental dalam setiap gerak pemikiran umat Islam. Dalam berbagai bidang masyarakat
muslim yang relegius akan selalu merujuk kepada wahyu sebagai firman Tuhan yang
disampaikan melaluinya nabi-NYA.
Pendidikan merupakan salah satu sendi dalam beragama. Ajaran Islam bisa bertahan
sampai saat ini salah satunya karena ada proses pendidikan disamping dakwah tentunya.
Islam berkambang dan hidup mencapai masa keemasan (Islam Kalsik) karena ada tradsisi
ilmiyah, tradisi intelektual dengan semangat mengamban amanat suci menyebarkan
ajaran Islam ke penjuru dunia. Para da’i yang menyebar ke seluruh penjuru dunia tersebut
menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman baik dari segi orientasi, tujuan, cara atau
metode penyampaian, media dan alat bahkan materi yang terkandung dalam
penyampaiannya pun diambil dari Al-Quran.
Dalam surat Al-Maidah ayat 67 mengandung unsur perintah untuk menyebarkan agama

8
Islam sebagai pedoman hidup. Ayat inilah yang memberikan motivasi kepada nabi untuk
menyampaikan risalah kenabian. Ada ungkapan “Sampaikan ajaran Islam ini walaupun
satu ayat”. ( ‫)بلغوا عنى ولو اية‬. Walaupun pada awalnya nabi merasa khawatir kepada kaum
musyrikin Makkah namun karena ada dorongan dan perintah Tuhan (dan Tuhan telah
memberikan jaminan keselamatan) maka nabi dengan keberanian menyampaikan risalah
kenabian tersebut kepada umatnya.
Dalam menyampaikan risalah tersebut Nabi Muhammad SAW memperoleh pedoman
yang sangat berharga yaitu berupa prinsip-prinsip dasar dalam metode menyampaikan
materi ajaran Islam yang tercantum dalam surat An-Nahl ayat 125. Ayat ini memuat
tentang prisnsip-prinsip berdakwah ( mengajar, mendidik ) yang terdiri dari Al-Hikmah
(arif-bijaksana bersumber dari Al-Qur’an), Maudzoh Hasanah (perkataan yang baik,
lemah lembut) dan Mujadalah (diskusi, dialog bila perlu berdebat ).
Prinsip dasar ini berkembang menjadi beberapa inspirasi dalam konteks kekinian baik
dalam bidang dakwah, komunikasi, public relition, pendidikan dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan interaksi sesama manusia. Pendidikan sebagai salah satu bagian dari
dakwah yaitu mengajak manusia dalam hal kebaikan dan mencegah keburukan tidak
terlepas dari penggunaan beberapa prinsip tersebut di atas. Sehingga peserta didik bisa
mendapatkan ilmu serta terjadi perubahan tingkah laku yang diharapkan dari setiap
proses kegiatan belajar mengajar.

FOOTNOTE

*Mahasiswa program Pascasarjana STAIN Cirebon konsentrasi Psikologi Pendidikan


Islam , Tinggal di Indramayu
1.Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, ( Bandung : Remaja Rosda
Karya, 1992), hlm. 131
2. Untuk memudahkan penerjemahan dan standarisasi pemahaman lihat dan bandingkan
dengan Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya ;Dengan Transliterasi,
( Semarang : Karya Toha puta, tt), hlm. 221-222
3. K.H.Qamaruddin Shaleh DKK, Asbabun Nuzul ; Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat-Ayat Al-Qur’an, ( Bandung : CV. Diponegoro , 1992), hal.189
4.Ibid. Untuk lebih jelasnya, baca lebih jauh Asbabun Nuzul Surat Al-Maidah ini dalam
halaman 189–191. Di sini banyak riwayat yang menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat
ini dengan berbagai versinya. Termasuk cerita ketika nabi sedang istirahat berteduh di
bawah pohon, pedang beliau digantungkan di pohon. Maka datanglah seorang laki-laki
dan mengambil pedang tersebut sambil berkata : Siapa yang menghalangi Engkau dariku
wahai Muhammad ?. Nabi bersabda : Allah yang akan melindungiku dari godaanmu.
Ketika pedang itu diletakannya kembali maka turunlah ayat ini ( S.5 : 67 ) yang
menegaskan jaminan keselamatan jiwa Rasulullah dari tangan usil manusia.
5.Al-Imamul Jalalain, Tafsir Al-Quranul Adzim, ( Indonesia, Maktabah Dar ihya al-kutub
al-arabiyah, tt), hlm. 104. Kitab tafsir ini terkenal dengan nama tafsir “Jalalain”, artinya
dua Jalal. Yang dimaksud dengan dua Jalal adalah nama tokoh ilmuwan Islam dalam
bidang tafsir yaitu Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Mahalli dan Jalaluddin
Abdurahaman ibn Abi bakr Asy-Syuyuti. Di pesantren kitab tafsir ini menjadi salah satu
kitab tafsir wajib yang harus dipelajari bagi setiap santri ( menjadi kontens kurikullumnya
pesantren)

9
6. Ibid.
7.Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katstir ( CD. Holly Qur,an ).
8.Ibid.,Pertanggungjawaban nabi disampaikan ketika nabi menjalankan ibadah haji
(terkenal dengan haji wada’ karena haji itu adalah haji terakhir nabi; haji perpisahan).
Disaksikan sekitar 40 ribu orang. Beliau berkata ; Wahai manusia….dst. Inti dari
pertanggungjawaban nabi adalah tentang amanat kerisalahan yang dibebankan Allah
kepadanya. Para sahabat (manusia) menjawab : Kami bersaksi bahwa Engkau telah
menyampaikan risalah, menjalankan amanah. Beliau mengangkat kedua tangannya ke
atas langit sambil berdoa (simbol kesaksian) “Allahuma hal Balagta…..Kemudian Beliau
berpesan bahwa yang hadir untuk menyampaikan kepada yang tidak hadir sebagai
kesinambungan proses risalah kenabian.
9.Nama Aslinya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Ahmad Anshori Al-Qurtubi.
Terkenal dengan sebutan Imam Al-Qurtubi, Al-Jami’ul Ahkam Al-Qur’an, ( Bairut-
Libanon : Darulkutub al-ilmiyah, 1413 H/1993 M), hlm. 131
10.Ibid. ‫ “يا أيها الرسول‬:‫من حدثك أن محمدا صلى ال عليه وسلم كتم شيئا من الوحى فقد كذب; وال تعالى يقول‬
‫ إنه صلى ال عليه وسلم كتم‬:‫بلغ ما أنزل إليك من ربك وإن لم تفعل فما بلغت رسالته” وقبح ال الروافض حيث قالوا‬
‫شيئا مما أوحى إليه كان بالناس حاجة إليه‬.
11. Jalaludin Rahmat, Islam Aktual, ( Bandunng : Mizan, 1992 ), hlm. 77.
12. Bandingkan dengan terjemahan Al-Qur’an Departemen Agma RI., Op., Cit. hlm. 163
13.Jalaudin Rahmat Op., Cit., hlm. 78
14.Faisal Ismail, Dakwah pembangunan ; Metodologi Dakwah, ( Yogyakarta : Penerbit
Prop. DIY, 1992), hlm. 199
15.Abu Ahmadi, Metodik Pengajaran (Bandung : Pustaka Setia, 1985), hlm. 9
16.Ramayulis, Pendidikan Agama Islaam ( Jakarta : Kalam Mulia, 2006), hlm. 184
17.Ibid., hlm. 184-185
18.Abu Ahmadi., Op Cit., hal 104
19.Ahmad Mustofa Al-Maroghi, Tafsir Al-Maroghi, (terjemah), ( Semarang : Toha Putra,
1987), hlm. 289
20. Husen Al-Habsy, Kamus Arab Lengkap, ( Bangil : YAPPI, 1989), hlm. 64
21.Imam Al-Qurtubi., Loc.,Cit,.
22.Ja’far Muhmaad ibn Jarir Ath-Thobarii, Tafsir Ath-Thobari ; Jami’ul BAyan Ta’wilul
Qur’an, ( Bairut-Libanon : Darul kutubul Ilmiuah, 1996), hlm. 663.
23. Al-Mustofa Al-Maroghi, Loc.Cit,
24. An-Naisaburi, Tafsir Ghoroibil Qur’an wa roghoibil Furqon, ( Bairut-Libanon : Darul
kutubul Ilmiuah, 1996), hlm. 316
25. Ibnu Katisr., Loc., Cit.
26. Ath-Thobari, Loc. Ci.
27. Jalaludin Asy-Syuyuti daan Jalaluddin Mahalli, Loc., Cit.
28. Husen Al-HAbsyi., Op.Cit., hlm. 43
29. Imam Al-Baidhowi, Tafsir Al-Baidhowi ; Anwarul Tanzil wa Asrarul Ta’wil ( Bairut-
Libanon : Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1408 H/1988M), hlm. 571. Nama lengkap Al-Imam
Al-Baidwowi adalah NAshiruddin Abi said Ibn Umar Muhammad ASy-yaeroji Al-
Baidhowi
30. Ibnu Katsir., Loc.,Cit.
31. An-NAisaburi, Loc., Cit.

10
Tafsir Tarbawi, Pendidikan Dalam Perspektif al-
Qur’an
Pendidikan memiliki peran penting pada era sekarang ini. Karena tanpa melalui
pendidikan proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk
diwujudkan. Demikian halnya dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam
pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Yaitu melalui
metodologi dan kerangka keilmuan yang teruji. Karena tanpa melalui proses ini
pengetahuan yang didapat tidak dapat dikatakan ilmiah.

Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja,
melainkan dilakukan sepanjang usia (long life education). Islam memotivasi pemeluknya
untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan. Tua atau muda, pria atau
wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi sama dalam pandangan Islam dalam
kewajiban untuk menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait
urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait
dengan urusan duniawi juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari
kelak tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini.

Islam juga menekankan akan pentingnya membaca, menelaah, meneliti segala sesuatu
yang terjadi di alam raya ini. Membaca, menelaah, meneliti hanya bisa dilakukan oleh
manusia, karena hanya manusia makhluk yang memiliki akal dan hati. Selanjutnya
dengan kelebihan akal dan hati, manusia mampu memahami fenomena-fenomena yang
ada di sekitarnya, termasuk pengetahuan. Dan sebagai implikasinya kelestarian dan
keseimbangan alam harus dijaga sebagai bentuk pengejawantahan tugas manusia sebagai
khalifah fil ardh.

Dalam makalah ini akan dipaparkan pandangan Islam tentang pendidikan, pemerolehan
pengetahuan (pendidikan), dan arah tujuan pemanfaatan pendidikan.

Pendidikan Menurut al-Qur’an

al-Qur’an telah berkali-kali menjelaskan akan pentingnya pengetahuan. Tanpa


pengetahuan niscaya kehidupan manusia akan menjadi sengsara. Tidak hanya itu, al-
Qur’an bahkan memposisikan manusia yang memiliki pengetahuan pada derajat yang
tinggi. al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11 menyebutkan:

“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang


yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”.

al-Qur’an juga telah memperingatkan manusia agar mencari ilmu pengetahuan,


sebagaimana dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 122 disebutkan:

11
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya”.

Dari sini dapat dipahami bahwa betapa pentingnya pengetahuan bagi kelangsungan hidup
manusia. Karena dengan pengetahuan manusia akan mengetahui apa yang baik dan yang
buruk, yang benar dan yang salah, yang membawa manfaat dan yang membawa
madharat.

Dalam sebuah sabda Nabi saw. dijelaskan:

“Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam mewajibkan kepada seluruh pemeluknya


untuk mendapatkan pengetahuan. Yaitu, kewajiban bagi mereka untuk menuntut ilmu
pengetahuan.

Islam menekankan akan pentingnya pengetahuan dalam kehidupan manusia. Karena


tanpa pengetahuan niscaya manusia akan berjalan mengarungi kehidupan ini bagaikan
orang tersesat, yang implikasinya akan membuat manusia semakin terlunta-lunta kelak di
hari akhirat.

Imam Syafi’i pernah menyatakan:

“Barangsiapa menginginkan dunia, maka harus dengan ilmu. Barangsiapa


menginginkan akhirat, maka harus dengan ilmu. Dan barangsiapa menginginkan
keduanya, maka harus dengan ilmu”.

Dari sini, sudah seyogyanya manusia selalu berusaha untuk menambah kualitas ilmu
pengetahuan dengan terus berusaha mencarinya hingga akhir hayat.

Dalam al-Qur’an surat Thahaa ayat 114 disebutkan:

12
“Katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.”

Pemerolehan Pengetahuan dan Objeknya (Proses Pendidikan)

Pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berkenaan dengan cara memperoleh dan
mengembangkan pengetahuan serta pengalaman. Anggapan dasarnya ialah setiap
manusia dilahirkan dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi dan
kemampuan yang berbeda dari manusia lainnya. Dengan bekal itu kemudian dia belajar:
mula-mula melalui hal yang dapat diindra dengan menggunakan panca indranya sebagai
jendela pengetahuan; selanjutnya bertahap dari hal-hal yang dapat diindra kepada yang
abstrak, dan dari yang dapat dilihat kepada yang dapat difahami. Sebagaimana hal ini
disebutkan dalam teori empirisme dan positivisme dalam filsafat. Dalam firman Allah
Q.s. an-Nahl ayat 78 disebutkan:

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu
bersyukur”.[1]

Dengan pendengaran, penglihatan dan hati, manusia dapat memahami dan mengerti
pengetahuan yang disampaikan kepadanya, bahkan manusia mampu menaklukkan semua
makhluk sesuai dengan kehendak dan kekuasaannya. Dalam al-Qur’an surat al-Jatsiyah
ayat 13 disebutkan:

“Dan dia menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.

Namun, pada dasarnya proses pemerolehan pengetahuan adalah dimulai dengan


membaca, sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (1), Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha

13
Pemurah (3), Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4), Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)”.

Dalam pandangan Quraish Shihab kata Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun tidak.

Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an
menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam
arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah
ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang
tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya.[2]

Sebagaimana dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 101 disebutkan:

“Katakanlah: ‘Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi”.

Al-Qur’an membimbing manusia agar selalu memperhatikan dan menelaah alam


sekitarnya. Karena dari lingkungan ini manusia juga bisa belajar dan memperoleh
pengetahuan.

Dalam al-Qur’an surat asy-Syu’ara ayat 7 juga disebutkan:

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan
di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?”.

Demikianlah, al-Qur’an secara dini menggarisbawahi pentingnya “membaca” dan


keharusan adanya keikhlasan serta kepandaian memilih bahan bacaan yang tepat.[3]

Namun, pengetahuan tidak hanya terbatas pada apa yang dapat diindra saja. Pengetahuan
juga meliputi berbagai hal yang tidak dapat diindra. Sebagaimana tertuang dalam al-
Qur’an surat Al-Haqqah ayat 38-39:

“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat (38). Dan dengan apa yang tidak
kamu lihat (39)”.

14
Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan nonmateri, fenomena dan
nonfenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun
tidak. Dalam al-Qur’an surat Al-Nahl ayat 8 disebutkan:

“Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”.[4]

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, dalam pengetahuan manusia tidak hanya sebatas
apa yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia, namun juga semua
pengetahuan yang dapat menyelamatkannya di akhirat kelak.

Islam mengehendaki pengetahuan yang benar-benar dapat membantu mencapai


kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia. Yaitu pengetahuan terkait urusan
duniawi dan ukhrowi, yang dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan hidup
manusia di dunia dan di akhirat.

Pengetahuan duniawi adalah berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan urusan


kehidupan manusia di dunia ini. Baik pengetahuan moderen maupun pengetahuan klasik.
Atau lumrahnya disebut dengan pengetahuan umum. Sedangkan pengetahuan ukhrowi
adalah berbagai pengetahuan yang mendukung terciptanya kemakmuran dan
kesejahteraan hidup manusia kelak di akhirat. Pengetahuan ini meliputi berbagai
pengetahuan tentang perbaikan pola perilaku manusia, yang meliputi pola interaksi
manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Atau biasa
disebut dengan pengetahuan agama.

Pengetahuan umum (duniawi) tidak dapat diabaikan begitu saja, karena sulit bagi
manusia untuk mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui kehidupan dunia ini yang
mana dalam menjalani kehidupan dunia ini pun harus mengetahui ilmunya. Demikian
halnya dengan pengetahuan agama (ukhrowi), manusia tanpa pengetahuan agama niscaya
kehidupannya akan menjadi hampa tanpa tujuan. Karena kebahagiaan di dunia akan
menjadi sia-sia ketika kelak di akhirat menjadi nista.

Islam selalu mengajarkan agar manusia menjaga keseimbangan, baik keseimbangan


dhohir maupun batin, keseimbangan dunia dan akhirat. Dalam Qs. Al-Mulk ayat 3
disebutkan:

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang! Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”.

Dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 8 juga disebutkan:


15
“Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran”.

Dari sini dapat dipahami bahwa Allah selalu menciptakan segala sesuatu dalam keadaan
seimbang, tidak berat sebelah. Demikian halnya dalam penciptaan manusia. Manusia juga
tercipta dalam keadaan seimbang. Dari keseimbangan penciptaannya, manusia
diharapkan mampu menciptakan keseimbangan diri, lingkungan dan alam semesta.
Karena hanya manusia yang mampu melakukannya sebagai bentuk dari kekhalifahan
manusia di muka bumi.

Dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77 disebutkan:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Manusia tidak dianjurkan oleh Islam hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi
pada urusan akhirat saja. Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan pengetahuan
tentang urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah permainan dan
senda gurau belaka, atau hanyalah sebuah sandiwara raksasa yang diciptakan oleh Tuhan
semesta alam. Namun, pada dasarnya manusia diharapkan mampu menjaga
keseimbangan dirinya dalam menjalani realita kehidupan ini, termasuk dalam mencari
pengetahuan.

Al-Qur’an surat al-An’aam ayat 32 menyebutkan:

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka
tidakkah kamu memahaminya?”.

Islam menghendaki agar pemeluknya mempelajari pengetahuan yang dipandang perlu


bagi kelangsungan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak. Dalam al-Qur’an surat al-
Baqoroh ayat 201 disebutkan:

16
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan
di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.

Kebaikan (hasanah) dalam bentuk apapun tanpa didasari ilmu, niscaya tidak akan
terwujud. Baik berupa kebaikan duniawi yang berupa kesejahteraan, ketenteraman,
kemakmuran dan lain sebagainya. Apalagi kebaikan di akhirat tidak akan tercapai tanpa
adanya pengetahuan yang memadai. Karena segala bentuk keinginan dan cita-cita tidak
akan terwujud tanpa adanya usaha dan pengetahuan untuk mencapai keinginan dan cita-
cita itu sendiri.

Pemanfaatan Pengetahuan (Orientasi Pendidikan)

Manusia memiliki potensi untuk mengetahui, memahami apa yang ada di alam semesta
ini. Serta mampu mengkorelasikan antara fenomena yang satu dan fenomena yang
lainnya. Karena hanya manusia yang disamping diberi kelebihan indera, manusia juga
diberi kelebihan akal. Yang dengan inderanya dia mampu memahami apa yang tampak
dan dengan hatinya dia mampu memahami apa yang tidak nampak. Dalam al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:

“Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya”.

Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini
berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya.

Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan
alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan
ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya, semua
itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan
Tuhan.[5]

Namun, di sisi lain manusia juga memiliki nafsu yang cenderung mendorong manusia
untuk menuruti keinginannya. Nafsu jika tidak terkontrol maka yang terjadi adalah
keinginan yang tiada akhirnya. Nafsu juga tidak jarang menjerumuskan manusia dalam
lembah kenistaan. Dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 53 disebutkan:

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi
rahmat oleh Tuhanku”.

al-Qur’an menandaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik, yang mampu
menciptakan lingkungan yang baik, kondusif, yang bermanfaat bagi seluruh alam. Karena
sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.

17
Dalam al-Qur’an surat Ali Imron ayat 110 disebutkan:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.

Sabda Nabi saw.:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat”.

Pisau akan sangat berguna ketika digunakan oleh orang yang berpikiran positif dan ahli
dalam menggunakan pisau. Sebaliknya, ketika pisau digunakan oleh orang yang
berpikiran negatif, niscaya bukan kemanfaatan dan kemaslahatan yang akan dihasilkan
dari pisau itu, melainkan kemadharatan.

Demikian halnya dengan pengetahuan, ketika penggunaannya bertujuan untuk mencapai


kemanfaatan niscaya pengetahuan itu pun akan bermanfaat. Namun sebaliknya, ketika
pengunaan pengetahuan digunakan untuk kemadharatan, maka kemadharatan itulah
yang akan didapat.

Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan antara pancaindera, akal dan wahyu. Dengan
pancaindera dan akal (hati), manusia bisa menilai sebuah kebenaran (etika) dan
keindahan (estetika). Karena dua hal ini adalah piranti utama bagi manusia untuk
mendapatkan pengetahuan. Namun, disamping memiliki kelebihan, kedua piranti ini
memiliki kekurangan. Sehingga keduanya masih membutuhkan penolong untuk
menunjukkan tentang hakikat suatu kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia
dapat memahami posisinya sebagai khalifah fil ardh.[6]

Wahyu yang diturunkan kepada manusia tidak hanya berisikan perintah dan larangan
saja, akan tetapi lebih dari itu al-Qur’an juga membahas tentang bagaimana seharusnya
hidup dan menghargai kehidupan. Dan tidak terlepas juga di dalam al-Qur’an dikaji
tentang sains dan teknologi sehingga tidaklah berlebihan jika kita menyebutnya sebagai
kitab sains dan medis[7].

Namun, berbagai bentuk kemajuan sains dan teknologi serta ilmu pengetahuan tanpa
didasari tujuan yang benar, niscaya hanya akan menjadi sebuah bumerang yang
menghancurkan kehidupan manusia. Karena tidak jarang saat ini manusia malah
mengalami kejenuhan, kehampaan jiwa, hedonisme, materialisme bahkan dekadensi
moral yang tidak jarang pula implikasinya merugikan diri mereka sendiri bahkan
lingkungan sekitar. Padahal dengan adanya kemajuan sains dan teknologi kehidupan
manusia diharapkan menjadi lebih mudah, efisien, instan, yang bukan malah
menimbulkan tekanan jiwa dan kerusakan lingkungan.

18
Dalam Islam telah digariskan aturan-aturan moral penggunaan pengetahuan. Apapun
pengetahuan itu, baik kesyaritan maupun lainnya, teoritis maupun praktis, ibarat pisau
bermata dua yang dapat digunakan pemiliknya untuk berlaku munafik dan berkuasa atau
berbuat kebaikan dan mengabdi kepada kepentingan umat manusia. Pengetahuan tentang
atom umpamanya, dapat digunakan untuk tujuan-tujuan perdamaian dan kemanusiaan,
tapi dapat pula digunakan untuk menghancurkan kebudayaan manusia melalui senjata-
senjata nuklir.[8]

Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi adalah akibat dari ulah
manusia sendiri. Dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 41 disebutkan:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan
manusia”.

Manusia adalah makhluk yang memiliki tanggung jawab, yaitu tanggung jawab menjadi
khalifah fil ardh. Kekhalifahan manusia adalah salah satu bentuk dari ta’abbud-nya
kepada sang Khalik. Sedangkan ta’abbud adalah tugas pokok dari penciptaan manusia,
sekaligus menggali, mengatur, menjaga dan memelihara alam semesta ini. Sebagaimana
telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyat ayat 56:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”.

Dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 85 disebutkan:

“Sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia
barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
betul-betul kamu orang-orang yang beriman“.

Pemanfaatan pengetahuan harus ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari


pengetahuan itu sendiri, menjaga keseimbangan alam semesta ini dengan melestari-kan
kehidupan manusia dan alam sekitarnya, yang sekaligus sebuah aplikasi dari tugas
kekhalifahan manusia di muka bumi. Dan pemanfaatan pengetahuan adalah bertujuan
untuk ta’abbud kepada Allah swt., Tuhan semesta alam. Wallahu a’lam.

19
Kesimpulan

Dari deskripsi singkat di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an telah memberikan rambu-
rambu yang jelas kepada kita tentang konsep pendidikan yang komperehensif. Yaitu
pendidikan yang tidak hanya berorientasi untuk kepentingan hidup di dunia saja, akan
tetapi juga berorientasi untuk keberhasilan hidup di akhirat kelak. Karena kehidupan
dunia ini adalah jembatan untuk menuju kehidupan sebenarnya, yaitu kehidupan di
akhirat.

Manusia sebagai insan kamil dilengkapi dua piranti penting untuk memperoleh
pengetahuan, yaitu akal dan hati. Yang dengan dua piranti ini manusia mampu
memahami “bacaan” yang ada di sekitarnya. Fenomena maupun nomena yang mampu
untuk ditelaahnya. Karena hanya manusia makhluk yang diberi kelebihan ini.

Pengetahuan yang telah didapat manusia sudah seyogyanya diorientasikan untuk


kepentingan seluruh umat manusia. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia seluruhnya. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa manusia juga
hidup berdampingan dengan lingkungan, sehingga tidak bisa serta merta kemajuan
pengetahuan pengetahuan dan teknologi malah menghancurkan dan merusak
keseimbangan alam. Karena sudah menjadi tugas manusia untuk melestarikan alam ini
sebagai pengejawantahan kekhalifahan manusia sekaligus bentuk ta’abbudnya kepada
Allah swt.

Daftar Pustaka

Ahmad, al-Hajj, Yusuf. al-Qur’an Kitab Sains dan Medis. Terj. Kamran Asad Irsyadi.
Grafindo Khazanah Ilmu. Jakarta. 2003.

al-Qardawi, Yusuf. Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Terj. Abad


Badruzzaman. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta. 2001.

Aly, Noer, Hery & Suparta, Munzier. Pendidikan Islam Kini dan Mendatang. CV.
Triasco. Jakarta. 2003.

Habib, Zainal. Islamisasi Sains. UIN-Malang Press. Malang. 2007.

Shihab, Quraish, M. Membumikan al-Qur’an. Mizan. Bandung. 2004.

_______________. Wawasan al-Qur’an. Mizan. Bandung. 2001.

Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Lintas Pustaka. Jakarta. 2006.

[1]Hery Noer Aly & Munzier Suparta, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, (Jakarta:
CV. Triasco, 2003), h. 109.

20
[2]M. Qusraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), h. 433.

[3]________________, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004), h. 168.

[4]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), h. 436.

[5]Ibid, h. 442.

[6]Lihat Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad
Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 117-121.

[7]Lihat Yusuf al-Hajj Ahmad, al-Qur’an Kitab Sains dan Medis, terj. Kamran Asad
Irsyadi, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2003), cet.II.

[8]Hery Noer Aly & Munzier Suparta, op.cit., h. 109-110. Bandingkan dengan Zainal
Habib, Islamisasi Sains, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 14-18.

Posted in Keislaman | Tags: al-Qur'an, Pendidikan Islam

TAFSIR TARBAWY
A. JUDUL BUKU
TAFSIR TARBAWY

B. LATAR BELAKANG PENULISAN BUKU

Al-Qur`an adalah Kitab Pendidikan. Demikian term yang menggema disetiap pemikiran
para sarjana dan umat islam pada umumnya.

Pendidikan menurut Al-Qur`an jelas berbeda dengan pendidikan yang ada dalam
masyarakat. Baik dalam wilayah teoritis maupun praktis, akibatnya melahirkan istilah-
istilah pendidikan yang beragam dan berbeda pula.

Sebagian istilah pendidikan yang keberadaannya seringkali menjadi perdebatan panjang


adalah kata Tarbiyah dan Ta`lim.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan
menulis buku dengan judul "Tafsir Tarbawi" ( Memahami Ayat-Ayat Al-Qur`an Yang
Mengandung Kata Kunci Tarbiya dan Ta`lim" )

C. TUJUAN PENULISAN BUKU

1) Untuk menjelaskan ma`na "Tarbiyah" dan "Ta`lim"


2) Untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur`an yangmengandung kata kkunci "Tarbiyah" dan
"Ta`lim"
3) Untuk menyusun teori pendidikan islam berdasarkan ayat-ayat Al-Qur`an yang
mengandung kata kunci "Tarbiyah" dan "Ta`lim"

21
4) Untuk menjelaskan metode memahami Al-Qur`an
5) Untuk menjelaskan keterkaitan Al-Qur`an dengan pendidikan

D. MANFAAT PENULISAN BUKU

1) Memberikan informasi tentang ma`na "Tarbiyah" da "Ta`lim"


2) Memberikan informasi tentang tafsir ayat-ayat Al-Quran yang mengandung kata kunci
"Tarbiyah" dan "Ta`lim"
3) Memberikan informasi tentang konsep pendidikan islam berdasarkan ayat-ayat Al-
Qur`an yang mengandung kata kunci "Tarbiyah" dan "Ta`lim"
4) Memberikan informasi tentang metode memahami Al-Qur`an
5) Memberikan informasi tentang keterkaitan Al-Qur`an dengan pendidikan

E. SASARAN PEMBACA

1) Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan


2) Orang-orang yang bergelut di bidang pendidikan
3) Orang-orang yang tertarik dengan Tafsir Al-Qur`an
4) Para da`i dan Kiyai
5) Semua umat islam
6) Para pecinta

F. METODE PENELITIAN

1) Sumber data
Sumber data primer berupa Al-Qura`an dan sumber data sekunder berupa kitab-kitab
tafsir, kitab-kitab hadits, buku-buku, majalah, dan dokumen-dokumen lainnya

2) Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah metode dokumentasi

3) Metode analisis data yang penulis gunakan adalah metode " kajian isi"

G. SISTIMATIKA PENULISAN BUKU

BAB SATU
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


B. Penegasan Istilah
C. Alasan pemilihan judul
D. Pokok masalah
E. Tujuan penelitian
F. Manfaat penelitian
G. Metode penelitian

22
BAB DUA
AL-QUR`AN DAN METODE MEMAHAMI AL-QUR`AN

A. Al-Qur`an
1) Pengertian Al-Qur`an
2) Sejarah Al-Qur`an
3) Kandungan Al-Qur`an
4) Fungsi Al-Qur`an

B. Metode Memahami Al-Qur`an


1) Pengertian Tafsir dan Ta`wil
2) Pendekatan dalam penafsiran
3) Metode penafsiran Al-Qur`an
4) Metode memahami Al-Qur`an

C. Fungsi Al-Qur`an
1) Al-Qur`an sebagai dasar pendidikan islam
2) Al-Qur`an sebagai kitab pendidikan

BAB TIGA
TAFSIR "TARBIYAH" DAN "TA`LIM"

A. Tafsir "Tarbiyah"
Penafsiran terhadap surat Al-Isra`

B. Tafsir Ta`lim
1) Tafsir surat Al-Baqarah ayat 31-32, 102, 129, 151, 239, 251, 282
2) Tafsir surat Ali `Imran ayat 48, 79, 164
3) Tafsir surat An-Nisa ayat 113
4) Tafsir surat Al-Maidah ayat 4, 10
5) Tafsir surat Al-An`am ayat 91
6) Tafsir surat Yusuf ayat 6, 21, 37, 68, 101
7) Tafsir surat An-Nahl ayat 103
8) Tafsir surat Al-Kahfi ayat 65-66
9) Tafsir surat Thaha ayat 71
10) Tafsir surat Al-Anbiya` ayat 80
11) Tafsir surat Ad-Dukhan ayat 14
12) Tafsir surat An-Najm ayat 5
13) Tafsir surat Ar-Rahman ayat 2, 4
14) Tafsir surat Al-Jum`ah

BAB EMPAT
TAFSIR "TARBIYAH" DAN "TA`LIM" DENGAN PENDEKATAN ILMU
PENDIDIKAN ISLAM

A. Tafsir "Tarbiyah"

23
1) Pengertian "Tarbiyah"
2) Pendidikan
3) Anak didik
4) Tujuan pendidikan
5) Dasar pendidikan
6) Fungsi pendidikan
7) Kurikulum pendidikan
8) Metode pendidikan

B. Tafsir "Ta`lim"
1) Pengertian "ta`lim"
2) Pengajaran
3) Pelajaran
4) Tujuan pengajaran
5) Dasar pengajaran
6) Fungsi pengajaran
7) Kurikulum pengajaran
8) Metode pengajaran

BAB LIMA
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran-Saran
C. Penutup

Tafsir Surat Al-Fatihah


Posted on Maret 19, 2008 by yuari

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,[1].Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam,[2].

Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,[3].

Yang menguasai hari pembalasan,[4].

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan,[5].

Tunjukilah kami jalan yang lurus,[6].

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka;
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat[7].”

24
Beberapa Penjelasan

A. Status Surat
Surat ini adalah surat Makkiyyah berdasarkan pendapat mayoritas ulama. (Tafsîr al-
Baghawiy:1/16; al-Muharrir al-Wajîz:1/61)

B. Nama Surat
Surat ini memiliki nama yang banyak sekali dan ini menunjukkan kemuliaan dan
keagungannya, sebab banyak nama menunjukkan kemuliaan si empunya nama itu.

Diantara nama-namanya yang masyhur:


- Fâtihah al-Kitâb
- Ummul Kitâb
- Al-Qur`ân al-’Azhîm
- Ummul Qur`ân
- As-Sab’ul Matsâniy

C. Keutamaannya
Surat ini memiliki keutamaan yang agung dan telah dijelaskan mengenainya oleh banyak
hadits, diantaranya:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubâdah bin ash-Shâmit dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi
Wa Sallam yang bersabda, “Tidak (sah/sempurna) shalat seorang yang tidak membaca
Fâtihah al-Kitab (Pembuka Kitabullah, al-Fâtihah).” (Shahîh al-Jâmi’, kitab al-
Adzân:1/184)

2. Dari Abu Hurairah radliyallâhu ‘anhu, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku telah membagi
shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku dengan dua bagian; separuhnya untuk-Ku dan
separuhnya lagi untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.

Bila seorang hamba mengucapkan, ‘al-Hamdulillâhi Rabbil ‘Alamîn.’ Allah Ta’ala


menjawab, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’

Dan bila dia mengucapkan, ‘ar-Rahmânir Rahîm.’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku
telah menyanjung-Ku.’

Dan bila dia mengucapkan, ‘Mâliki Yawmid Dîn.’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku
telah mengagungkan-Ku.’

Dan bila dia mengucapkan, ‘Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în.’ Allah Ta’ala menjawab,
‘Inilah (bagian) yang diantara-Ku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang
dimintanya.’

25
Dan bila dia mengucapkan, ‘Ihdinash Shirâthal Mustaqîm Shirâthal Ladzîna An’amta
‘alaihim Ghairil Maghdlûbi ‘alaihim wa ladl Dlâllîn.’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Inilah
yang buat hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya.” (HR.Muslim)

Dan banyak lagi hadits lainnya yang shahih mengenai keutamaan surat ini.

D. Keutamaan Ucapan ” Amîn ”


Di dalam kitab Shahîh al-Bukhâriy, terdapat hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah
bahwasanya Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Bila Imam mengucapkan
‘Waladl Dlâllîn’, maka katakanlah ‘Amîn’, sebab siapa saja yang pengaminannya
bertepatan dengan pengaminan Malaikat, maka akan diampuni baginya dosa-dosa
terdahulu.” (HR.al-Bukhâriy)

Sedangkan di dalam Shahîh Muslim, disebutkan, “Bila Imam mengucapkan ‘Waladl


Dlâllin’, maka katakanlah ‘Amîn’, niscaya Allah akan menjawab (mengabulkan bagi)
kamu.” (HR.Muslim)

E. Membacanya Di Dalam Shalat


Membaca al-Fâtihah wajib hukumnya bagi setiap Muslim pada setiap raka’at shalat dan
tidak dapat diganti dengan membaca terjemahan atau lainnya.

Membacanya adalah termasuk rukun shalat, baik yang fardlu maupun sunnah dan
hendaknya bagi makmum pada shalat Jahriyyah (yang dinyaringkan bacaannya),
membacanya dengan Sirr (pelan, tidak nyaring).

(Mengenai hukum membaca surat al-Fâtihah dalam shalat ini terdapat perbedaan
pendapat di kalangan para ulama-red.,)

F. Makna Kalimat
“Alhamdu” artinya sanjungan/pujian atas Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan dan
sifat-sifat yang memang Dia layak atasnya.

“Lillâhi” artinya Dia-lah Yang dituhankan dan disembah, Yang berhak untuk diesakan di
dalam beribadah terhadap-Nya.

“Rabb” artinya al-Murabbi, yaitu al-Mâlik (Pemilik). “Rabb” adalah nama dari nama-
nama Allah Ta’ala dan penggunaan kata ini di dalam bahasa Arab untuk selain-Nya
hanya dalam bentuk Mudlâf (Majemuk), seperti ungkapan, “Rabbud Dâr” (pemilik/tuan
rumah), dan sebagainya.

“al-’Alamîn” artinya semua yang selain Allah (alam semesta)

“ar-Rahmânir Rahîm” yaitu dua nama yang menunjukkan bahwa Dia Ta’ala adalah
Pemilik rahmat (Maha pengasih) yang amat luas dan agung.

26
“Mâliki Yawmid Dîn” yakni hari Kiamat. Dinamakan dengan Yawmud Dîn karena Allah
Ta’ala menyuruh mereka beribadah dengan amal-amal mereka; bila baik, maka baik
balasannya dan bila buruk, maka buruk balasannya. Dan makna Mâliki Yawmid Dîn
adalah bahwa semua perintah itu adalah hanya untuk Allah dan amat tampak sekali
secara sempurna bagi para makhluk kesempurnaan kepemilikan-Nya dan terputusnya
kepemilikan para makhluk.

“Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în” yakni kita tidak menyembah kecuali Allah semata
dan kita tidak meminta pertolongan kecuali kepada-Nya, sehingga kita
mengkhususkannya di dalam beribadah dan meminta pertolongan serta meninggalkan
selain-Nya. ‘Ibadah adalah sebutan yang mencakup setiap perkataan, perbuatan lahir dan
batin yang dicintai Allah dan diridlai-Nya. Sedangkan arti Isti’ânah (minta tolong) adalah
berpegang kepada Allah di dalam mendapatkan manfa’at dan menolak hal yang
membahayakan disertai kepercayaan terhadap-Nya di dalam mendapatkan hal itu.
sedangkan kenapa ‘ibadah didahulukan atas Isti’ânah adalah sebagai bentuk perhatian di
dalam mendahulukan hak-Nya di atas hak hamba-Nya.

“Ihdinash Shirâthal Mustaqîm” yakni tunjukkan dan berilah kami petunjuk serta taufiq.
Ash-Shirâth al-Mustaqîm adalah jalan yang dijelaskan dan menyampaikan kepada Allah,
yaitu Islam dan jalan orang-orang yang diberi nikmat kepada mereka, yaitu dari kalangan
para Nabi, orang-orang yang jujur, syuhada dan orang-orang yang shalih.

“Ghairil Maghdlûbi ‘Alaihim” yaitu orang-orang yang mengenal al-Haq namun


meninggalkannya seperti orang-orang Yahudi dan orang-orang yang menyerupai mereka
dari kalangan orang-orang yang berilmu namun tidak mengamalkannya.

“Waladl Dlâllîn” , yaitu orang-orang Nashrani dan siapa saja yang menyembah Allah
dalam kondisi jahil dan sesat. v “Amîn” , ini tidak termasuk ayat dalam surat al-Fâtihah,
maknanya adalah Ya Allah, perkenankanlah. Dianjurkan bagi Imam untuk
mengucapkannya, demikian juga dengan Makmum dan orang yang shalat sendirian.

Sekalipun surat ini ringkas namun mengandung hal yang tidak satu suratpun dari surat-
surat di dalam al-Qur’an mengandungnya. Ia mengandung jenis-jenis tauhid; tauhid
Rubûbiyyah, yaitu pada firman-Nya “Rabbil ‘Alamîn”; tauhid Ulûhiyyah, yaitu diambil
dari lafazh al-Jalâlah “Allâh” dan dari firman-Nya “Iyyâka Na’budu Wa Iyyâka
Nasta’în”; tauhid Asmâ` dan Shifât , yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi
Allah. Dalam hal ini melalui penetapan pujian terhadap-Nya dan hal lainnya.

G. Kandungan Surat

Penetapan tiga jenis tauhid.


Penetapan kenabian, yaitu pada firman-Nya “Ihdinash Shirâthal Mustaqîm” sebab hal ini
tidak mungkin dicapai tanpa adanya risalah (kerasulan).

Penetapan adanya balasan dan hisab terhadap amal-amal, yaitu pada firman-Nya “Mâliki
Yawmid Dîn”.

27
Bahwa shalat yang tidak dibaca di dalamnya surat al-Fâtihah dianggap kurang (Khidâj).

Surat ini mengandung doa-doa yang paling komplit dan paling bermanfa’at bagi seorang
hamba, yaitu “Ihdinash Shirâthal Mustaqîm”. Oleh karena itu, seseorang wajib berdoa
kepada Allah pada setiap raka’at dari shalatnya karena dia menghajatkan hal itu.

sumber : Silsilah Manâhij Dawrâh al-’Ulûm asy-Syar’iyyah -at-Tafsîr- karya Dr.


Ibrâhim bin Sulaiman al-Huwaimil, h.30-35)alsofwa.or.id

Tafsir Surat Al-Fatihah


Kategori Al-Quran | 12-05-2008 | 25 Komentar

Keutamaan Surat Al-Fatihah

Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang
yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari
Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)

Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak
membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR.
Muslim)

Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak
lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik,
Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat
bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat
tanpanya.

Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran

Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat
paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau
pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka
aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu
sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah)
Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh
ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang
dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus
Salam, hal. 270)

Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah

28
Makna bacaan Ta’awwudz

‫جْيِم‬
ِ ‫ن الّر‬
ِ ‫طا‬
َ ‫شْي‬
َّ ‫ن ال‬
َ ‫ل ِم‬
ِ ‫عْوُذ ِبا‬
ُ ‫َأ‬

Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”

Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak
menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu
menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri
kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan
umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,

‫عَباَدكَ ِمْنُهُم اْلُم‬


ِ ‫ل‬
ّ ‫ن ِإ‬
َ ‫جَمِعي‬
ْ ‫غِوَيّنُهْم َأ‬
ْ‫ل‬
َُ ‫ك‬
َ ‫ل َفِبِعّزِت‬
َ ‫َقا‬

“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-
hamba-Mu yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)

Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang
yang ikhlas.

Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak


boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah
adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-
kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam
yang demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,

ً ‫صَناَم‬
ْ ‫ل‬
َ ‫ي َأن ّنْعُبَد ا‬
ّ ‫جُنْبِني َوَبِن‬
ْ ‫َوا‬

“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim:
35)

Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam
hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang
benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri
dari golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat
yang artinya,

‫غُرورًا‬
ُ ‫ل‬
ِ ‫ف اْلَقْو‬
َ ‫خُر‬
ْ ‫ض ُز‬
ٍ ‫ضُهْم ِإَلى َبْع‬
ُ ‫حي َبْع‬
ِ ‫ن ُيو‬
ّ‫ج‬
ِ ‫س َواْل‬
ِ ‫لن‬
ِ ‫نا‬
َ ‫طي‬
ِ ‫شَيا‬
َ ‫عُدّوا‬
َ ‫ي‬
ّ ‫ل ِنِب‬
ّ ‫جَعْلَنا ِلُك‬
َ ‫ك‬
َ ‫َوَكَذِل‬

“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa)
syaithan dari golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada
sebagian yang lain ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al
An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin
Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).

Makna bacaan Basmalah

29
‫حيِم‬
ِ ‫ن الّر‬
ِ ‫حم‬
ْ ‫ل الّر‬
ِ ‫سِم ا‬
ْ ‫ِب‬

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”

Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut
seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan
peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah
memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik
manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu
Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).

Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta,
takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman
dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang
dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung.
Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-
Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi
dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu
rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang
tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan
rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).

Penjelasan Kandungan Surat

Makna Ayat Pertama

‫ب اْلَعاَلِم‬
ّ ‫ل َر‬
ّ ‫حْمُد‬
َ ‫اْل‬

Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”

Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan
juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan
karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah
yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah
sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada
Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan
bukanlah pujian yang sempurna.

Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara).
Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah.
Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan
nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum
yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang
khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka. Di
samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang
khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain

30
itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan
rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang
abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari
hal-hal yang dibenci oleh syariat.

Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul
‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur,
pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang
ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya,
baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka
mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir
Lathiifil Mannaan, hal. 20).

Makna Ayat Kedua

‫حيِم‬
ِ ‫ن الّر‬
ِ ‫حمـ‬
ْ ‫الّر‬

Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”

Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah
wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,

“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan
menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)

Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan
sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah.
Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3
golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.

Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat


makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan
sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun
Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka
terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan).
Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan
nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga
mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan
Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa
menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka
yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang
artinya,

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul

31
Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).

Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan
penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun
namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha
Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan.
Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan
kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu
sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak
mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah
berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan
Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela
daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya
dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-
Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang
Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.

Makna Ayat Ketiga

ِ ‫ك َيْوِم الّدي‬
‫ن‬ ِ ‫َماِل‬

Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”

Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk
memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga
yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah
yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya
menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan
memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya
penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.

Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu
seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka
kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia
kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali
kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja
dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari jabatannya. Hanya
tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun
rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan
kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya.
Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat
khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di
dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari
pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada.

32
Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir
Karimir Rahman, hal. 39).

Makna Ayat Keempat

ُ ‫سَتِعي‬
‫ن‬ ْ ‫ك َن‬
َ ‫ك َنْعُبُد وِإّيا‬
َ ‫ِإّيا‬

Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami
meminta pertolongan.”

Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-
Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya
adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek
kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan
pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh
menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami
menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-
Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.

Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa
perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang
tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan
larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan
diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak
cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di antara
bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau
perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta
pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah
di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah


sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum
sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala
di atas hak hamba-Nya….”

Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu
merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah
sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan
menuju keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap
benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan
hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa
dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah padahal
isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu
membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya.
Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk

33
melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu
tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).

Makna Ayat Kelima

‫ط الُمسَتِقيَم‬
َ ‫صَرا‬
ّ ‫اهِدَنــــا ال‬

Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”

Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti
shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan
jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan
berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah
memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami
menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan
hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan
meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah
hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan
begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai
macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan
wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain
dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir
Karimir Rahman, hal. 39).

Makna Ayat Keenam

‫عَليِهْم‬
َ ‫ت‬
َ ‫ن َأنَعم‬
َ ‫ط اّلِذي‬
َ ‫صَرا‬
ِ

Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”

Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan
bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para
pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan
ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah keimanan
kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya,
mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk
melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah
murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala.
Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai
dengan menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini
kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah
nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun
sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir,
hal. 12).

Makna Ayat Ketujuh

34
َ ‫ضاّلي‬
‫ن‬ ّ ‫عَليِهْم َولَ ال‬
َ ‫ب‬
ِ ‫ضو‬
ُ ‫غيِر الَمغ‬
َ

Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-
orang yang tersesat.”

Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak
mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan
orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara
kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan
semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita
supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita
untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat
Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).

Kesimpulan Isi Surat

Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang
tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat
ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin
terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam
hal perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di
dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah. Tauhid
uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya kepada-Nya.
Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa
sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-
sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri.
Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah
mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-
benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang
nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun
menyerupakannya dengan sifat makhluk.

Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat
Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh
hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga
menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari
ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari
ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan
prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik
untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir,
bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh
kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang
benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana
keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu
terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena
pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti

35
menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya.
Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam
beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi
ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin
(disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).

Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al
Quran.

Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan
orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi
Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.

***

Penyusun: Abu Muslih Ari Wahyudi


Artikel www.muslim.or.id

Urutan Turunnya Wahyu Al-Qur’an


Al-Qur’an terkadang diturunkan untuk menanggapi berbagai peristiwa dan kejadian.
Kadang wahyu turun ketika Nabi Muhammad SAW dihadapkan pada banyak pertanyaan
baik dari kaum muslimin maupun orang-orang kafir. Di lain waktu turunnya firman Allah
untuk memberikan panduan untuk mengatur masalah sosial, ekonomi, politik dan bidang
kehidupan lainnya.

Ayat yang turun pertama kali, menurut pendapat yang paling kuat dari ulama, adalah 5
ayat pertama surat Al-’Alaq yang merupakan surat ke-96 dari 114 surat dalam Al-Qur’an.

Ulama sepakat bahwa susunan ayat dalam setiap surat adalah dilakukan atau
diperintahkan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW mengikuti petunjuk dari Allah SWT.
Rasulullah SAW suatu ketika berkata pada para sahabat setelah pada Nabi turun suatu
ayat, bahwasanya malaikat Jibril menunjukkan padanya suatu urutan tertentu dari ayat-
ayat.

Banyak terdapat kisah dalam kitab-kitab hadits yang menerangkan bagaimana Rasulullah
SAW membaca Al-Qur’an dalam sholat. Para sahabat selama sholat di belakang Nabi
SAW. Nabi dalam sholatnya membaca Al-Qur’an dalam urutan yang diberikan Allah.
Mereka menggunakan urutan ini untuk belajar, membaca dan menghafal Al-Qur’an.

Tidak pernah ditemukan para sahabat membaca Al-Qur’an dengan urutan yang
menyalahi petunjuk susunan ayat dari Nabi. Urutan surat dalam Al-Qur’an juga disusun
menurut petunjuk Allah SWT. Selama hidupnya Rasulullah SAW melakukan 24 kali
review bacaan Al-Qur’an bersama malaikat Jibril setiap bulan Ramadhan.

36
Ada pertanyaan mengapa bukan surat Al-’Alaq yang ditempatkan sebagai surat pertama
di mushaf (lembar Al-Qur’an). Bila dilihat lebih mendalam, akan dtemui bahwa urutan
susunan ayat dan surat dalam mushaf memiliki suatu tujuan dan urutan turunnya wahyu
juga memiliki suatu tujuan.

Selama 13 tahun awal perjalanan Islam, tujuan utama misi Rasulullah SAW adalah
memanggil manusia untuk masuk dalam Islam. Dalam masa ini wahyu banyak berbicara
tentang keesaan Allah.

Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, komunitas Islam mulai bergerak ke arah
mapan dan tantangan baru mulai muncul. Fokus misi Islam saat itu adalah pengaturan
kehidupan keum muslimin melalui penjelasan yang rinci mengenai, ibadah, hukuman
bagi kejahatan dan lainnya.

Ini menunjukkan kepada kita bahwa turunnya wahyu di masing-masing dari dua masa
tersebut memilki suatu tujuan. Ketika wahyu telah turun secara lengkap, keseluruhan isi
pesan Al-Qur’an telah dimasukkan ke dalam suatu susunan urutan yang akan tetap
demikian hingga hari kiamat.

Bila Anda membuka Al-Qur’an dan menemukan surat pembuka, Al-Fatihah, Anda akan
mengira surat tersebut merupakan ringkasan dari Al-Qur’an. Menjadi induk dari Al-
Qur’an, Al-Fatihah membawa semua tema dalam Al-Qur’an dan merangkumnya. Hal
yang sama juga berlaku untuk surat Al-Baqarah. Ayat-ayat pertama berbicara mengenai
tidak adanya keraguan sedikitpun pada Kitabullah ini.

Semua tema dan pesan tidak diletakkan kecuali dalam urutan logis sebagaimana petunjuk
dari Allah. Bila saja surat seperti Al-’Alaq yang ditempatkan pada permulaan Al-Qur’an,
bukan Al-Fatihah, ia tetap akan membawa suatu makna dan pesan. Tetapi tidak
sepenuhnya indah seperti urutan ayat dan surat yang kita dapati saat ini dimana surat Al-
Fatihah yang menjadi surat pembuka.

Urutan Turunnya Wahyu Al-Qur’an (Tabel)


[Baca pula artikel : Urutan Turunnya Wahyu Al-Qur'an]

Urutan Turun No. Surat Nama Surat Jumlah Ayat Tempat Turun
1 96 Al-'Alaq 19 Makkiyah
2 68 Al-Qalam 52 Makkiyah
3 73 Al-Muzzammil 20 Makkiyah
4 74 Al-Muddatstsir 56 Makkiyah
5 1 Al-Faatihah 7 Makkiyah
6 111 Al-lahab 5 Makkiyah
7 81 At-Takwiir 29 Makkiyah
8 87 Al-A'laa 19 Makkiyah

37
Urutan Turun No. Surat Nama Surat Jumlah Ayat Tempat Turun
9 92 Al-Lail 21 Makkiyah
10 89 Al-Fajr 30 Makkiyah
11 93 Adh-Duhaa 11 Makkiyah
12 94 Al-insyirah 8 Makkiyah
13 103 Al-'Ashr 3 Makkiyah
14 100 Al-'Aadiyaat 11 Makkiyah
15 108 Al-Kautsar 3 Makkiyah
16 102 At-Takaatsur 8 Makkiyah
17 107 Al-Maa'uun 7 Makkiyah
18 109 Al-Kaafiruun 6 Makkiyah
19 105 Al-Fiil 5 Makkiyah
20 113 Al-Falaq 5 Makkiyah
21 114 An-Naas 6 Makkiyah
22 112 Al-Ikhlas 4 Makkiyah
23 53 An-Najm 62 Makkiyah
24 80 Abasa 42 Makkiyah
25 97 Al-Qadr 5 Makkiyah
26 91 Asy-Syams 15 Makkiyah
27 85 Al-Buruuj 22 Makkiyah
28 95 At-Tiin 8 Makkiyah
29 106 Quraisy 4 Makkiyah
30 101 Al-Qaari'ah 11 Makkiyah
31 75 Al-Qiyaamah 40 Makkiyah
32 104 Al-Humazah 9 Makkiyah
33 77 Al-Mursalaat 50 Makkiyah
34 50 Qaaf 45 Makkiyah
35 90 Al-Balad 20 Makkiyah
36 86 Ath-Thaariq 17 Makkiyah
37 54 Al-Qamar 55 Makkiyah
38 38 Shaad 88 Makkiyah
39 7 Al-A'raaf 206 Makkiyah
40 72 Al-Jin 28 Makkiyah
41 36 Yaasiin 83 Makkiyah
42 25 Al-Furqaan 77 Makkiyah
43 35 Faathir 45 Makkiyah
44 19 Maryam 98 Makkiyah
45 20 Thaahaa 135 Makkiyah

38
Urutan Turun No. Surat Nama Surat Jumlah Ayat Tempat Turun
46 56 Al-Waaqi'ah 96 Makkiyah
47 26 Asy-Syu'araa' 227 Makkiyah
48 27 An-Naml 93 Makkiyah
49 28 Al-Qashash 88 Makkiyah
50 17 Al-Israa' 111 Makkiyah
51 10 Yunus 109 Makkiyah
52 11 Huud 123 Makkiyah
53 12 Yusuf 111 Makkiyah
54 15 Al-Hijr 99 Makkiyah
55 6 Al-An'am 165 Makkiyah
56 37 Ash-Shaaffat 182 Makkiyah
57 31 Luqman 34 Makkiyah
58 34 Saba ' 54 Makkiyah
59 39 Az-Zumar 75 Makkiyah
60 40 Al-Mu'min 85 Makkiyah
61 41 Fushshilat 54 Makkiyah
62 42 Asy-Syuura 53 Makkiyah
63 43 Az-Zukhruf 89 Makkiyah
64 44 Ad-Dukhaan 59 Makkiyah
65 45 Al-Jatsiyaah 37 Makkiyah
66 46 Al-Ahqaaf 35 Makkiyah
67 51 Adz-Dzariyaat 60 Makkiyah
68 88 Al-Ghaasyiyah 26 Makkiyah
69 18 Al-Kahfi 110 Makkiyah
70 16 An-Nahl 128 Makkiyah
71 71 Nuh 28 Makkiyah
72 14 Ibrahim 52 Makkiyah
73 21 Al-Anbiyaa' 112 Makkiyah
74 23 Al-Mu'minuun 118 Makkiyah
75 32 As-Sajdah 30 Makkiyah
76 52 At-Thuur 49 Makkiyah
77 67 Al-Mulk 30 Makkiyah
78 69 Al-Haaqqah 52 Makkiyah
79 70 Al-Ma'aarij 44 Makkiyah
80 78 An-Naba' 40 Makkiyah
81 79 An-Nazi'at 46 Makkiyah

39
Urutan Turun No. Surat Nama Surat Jumlah Ayat Tempat Turun
82 82 Al-Infithaar 19 Makkiyah
83 84 Al-Insyiqaaq 25 Makkiyah
84 30 Ar-Ruum 60 Makkiyah
85 29 Al-'Ankabuut 69 Makkiyah
86 83 Al-Muthaffifiin 36 Makkiyah
87 2 Al-Baqarah 286 Madaniyah
88 8 Al-Anfaal 75 Madaniyah
89 3 Ali 'Imran 200 Madaniyah
90 33 Al-Ahzab 73 Madaniyah
91 60 Al-Mumtahanah 13 Madaniyah
92 4 An-Nisaa' 176 Madaniyah
93 99 Al-Zalzalah 8 Madaniyah
94 57 Al-Hadiid 29 Madaniyah
95 47 Muhammad 38 Madaniyah
96 13 Ar-Ra'd 43 Madaniyah
97 55 Ar-Rahmaan 78 Makkiyah
98 76 Al-Insaan 31 Madaniyah
99 65 Ath-Thalaaq 12 Madaniyah
100 98 Al-Bayyinah 8 Madaniyah
101 59 Al-Hasyr 24 Madaniyah
102 24 An-Nuur 64 Madaniyah
103 22 Al-Hajj 78 Madaniyah
104 63 Al-Munaafiquun 11 Madaniyah
105 58 Al-Mujaadilah 22 Madaniyah
106 49 Al-Hujuraat 18 Madaniyah
107 66 At-Tahriim 12 Madaniyah
108 64 At-Taghaabun 18 Madaniyah
109 61 Ash-Shaff 14 Madaniyah
110 62 Al-Jumu'ah 11 Madaniyah
111 48 Al-Fath 29 Madaniyah
112 5 Al-Maa-idah 120 Madaniyah
113 9 At-Taubah 129 Madaniyah
114 110 An-Nashr 3 Madaniyah

Memahami Huruf Pembuka Surah Al-Qur’an

40
”Sesungguhnya, bagi setiap kitab ada sari patinya dan sari pati kitab (Al-Qur’an) ini
adalah huruf-huruf ejaannya.”

Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Di
dalamnya terkandung berbagai petunjuk bagi umat manusia (Albaqarah [2]: 2, 185; Al-
A’raf [7]: 203; Fushilat [41]: 44; Al-Isra [17]: 9) dalam menjalankan tugasnya sebagai
khalifah di muka bumi (QS Albaqarah [2]: 30; Annaml [27]: 62; Fathir [35]: 39; Al-A’raf
[7]: 129; dan Shaad [38]: 26), agar manusia tidak tersesat dan senantiasa berada di jalan
yang lurus (Alfatihah [1]: 5; Azzumar [39]: 23; Asysyura [42]: 52; Al-An’am [6]: 153;
Lukman [31]: 32; Almaidah [5]: 16).

Al-Qur’an juga merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW bagi umat manusia.
Tak ada keraguan sedikit pun dalam Al-Qur’an (AlBaqarah [2]: 2, 23; Yunus [10]: 37;
Hud [11]: 17, 110; Al-An’am [6]: 114; Assajdah [32]: 2). Dan, bagi yang ragu terhadap
kebenaran Al-Qur’an, Allah menantang mereka untuk mendatangkan beberapa surat atau
ayat yang serupa dengan Al-Qur’an (Albaqarah [2]: 23). Dan, kendati mereka membawa
sejumlah penolong (selain Allah), pastilah mereka tidak akan sanggup untuk
membuatnya.

Al-Qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan. Di dalamnya dibahas berbagai hal, baik
akidah, ibadah, akhlak, maupun ilmu pengetahuan lainnya, seperti fisika, kimia, biologi,
astronomi, dan sebagainya. Andai manusia itu menulis sejumlah ilmu Allah, mereka tidak
mampu menuliskannya. Karena, ilmu Allah sangat luas (Albaqarah [2]: 255; Almu’min
[40]: 7; Almulk [67]: 1) dan tidak ada yang cacat sedikit pun (Al-Mulk [67]: 4). Bahkan,
andaikan lautan atau samudra dijadikan tinta niscaya manusia tidak akan mampu
menuliskannya kendati ditambahkan tujuh lautan lagi (Alkahfi [18]: 109, Luqman [31]:
27).

Karena itu, tak ada kitab suci yang serupa dengan Al-Qur’an. Bahkan, dalam hal
bacaannya, gunung-gunung pun turut berguncang karena kebesaran dan
kemukjizatannya. ”Dan, sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu
gunung-gunung dapat diguncangkan atau bumi menjadi terbelah atau oleh karena itu
orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah itu hanya Al-Qur’an saja).
Sebenarnya, segala urusan itu adalah kepunyaan Allah. Sesungguhnya, Allah tidak
menyalahi janji.” (Arra’du [13]: 31).

Bahkan, kulit pun akan gemetar dengan bacaan Al-Qur’an karena takut kepada Allah
(Azzumar [39]: 23). ”Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, (yaitu) Al-
Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit
orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati
mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah. Dengan kitab itu, Dia
menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, barang siapa yang disesatkan Allah niscaya
tak ada baginya seorang pemimpin pun.”

41
Al-Qur’an adalah samudra ilmu. Ia tak akan pernah habis dibahas dan digali.
Keistimewaan Al-Qur’an tak hanya dari kandungan isinya yang meliputi segala hal.
Dalam gaya bahasa (uslub) atau gramatika (tata bahasa)-nya, Al-Qur’an juga memiliki
kelebihan.

Bahkan, dalam bidang Ulum Al-Qur’an (ilmu-ilmu yang membahas Al-Qur’an), sudah
banyak dibahas oleh para ulama dan sarjana masa lalu, termasuk pada sahabat Rasulullah
SAW hingga ilmuwan masa kini, yang berupaya menggali kandungan isi Al-Qur’an. Ada
yang mencoba mengelaborasi dan melakukan eksplorasi lewat perspektif keimanan,
historis, bahasa dan sastra, pengkodifikasian, kemukjizatan, penafsiran, serta telaah
kepada huruf-hurufnya.

Kondisi semacam itu bukan hanya merupakan artikulasi tanggung jawab seorang Muslim
untuk memahami bahasa-bahasa agamanya. Namun, sudah berkembang kepada nuansa
lain yang menitikberatkan pada studi yang bersifat ilmiah, yang memberikan kontribusi
dalam perkembangan pemikiran dalam dunia Islam. Kalangan sarjana Barat banyak yang
melibatkan diri dalam pengkajian Al-Qur’an dengan motivasi dan latar belakang kultural
atau intelektual yang berbeda-beda.

Fawatih al-suwar
Al-Qur’an, dari mana pun menggali dan memahaminya, ia selalu memberikan
pemahaman yang sangat komprehensif dan menyeluruh. Baik kandungan isinya, jumlah
surah, kombinasi ayat-ayatnya, maupun keseimbangan huruf-huruf Al-Qur’an,
menunjukkan keistimewaan yang sangat mengagumkan antara ayat yang satu dan yang
lain, mereka saling berkaitan.

Salah satu di antaranya adalah surah-surah yang dimulai dengan huruf inisial yang
dikenal dengan nama ayat-ayat Fawatih al-Suwar (pembuka surah). Seperti surah yang
dimulai dengan inisial huruf Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Tha Ha, Ha Mim, Shad, Qaf,
Nun, Ya Sin, Tha Sin Mim, dan sebagainya.

Al-Qur’an yang terdiri atas 114 surat, yang diawali dengan beberapa macam pembukaan
(Fawatih al-Suwar), di antara macam pembuka surah yang tetap aktual pembahasannya
hingga sekarang ini adalah huruf muqaththa’ah. Surah-surah yang termasuk kategori ini
dimulai dengan huruf inisial, seperti surah yang dimulai dengan huruf Alif Lam Mim,
Alif Lam Ra, Tha Ha, Ha Mim, Shad, Qaf, Nun, Ya Sin, Tha Sin Mim, dan sebagainya.

Menurut sejumlah pakar matematika Islam, huruf-huruf yang terdiri atas huruf-huruf
alfabet (hijaiyah) ini, selain mandiri, juga mengadung banyak kemisteriusan yang belum
tergali secara optimal. Karena itu, ia sangat istimewa sebab hanya ditemukan pada surah-
surah tertentu dan menggunakan inisial huruf tertentu pula.

Ibnu Abi Al-Asba’ dalam kitabnya Al-Khaqathir Al-Sawanih fi Asrar Al-Fawatih


membagi beberapa kategori dari huruf-huruf inisial yang membuka surah tersebut.
Pertama, pujian terhadap Allah SWT yang dinisbahkan kepada sifat-sifat kesempurnaan
Tuhan. Kedua, yang menggunakan huruf-huruf hijaiyah terdapat pada 29 surah. Ketiga,

42
dengan mempergunakan kata seru (ahrufun nida), terdapat dalam sepuluh surah. Lima
seruan ditujukan kepada rasul secara khusus. Dan, lima yang lain ditujukan kepada umat.
Keempat, kalimat berita (jumlah khabariyah) terdapat dalam 23 surah. Kelima, dalam
bentuk sumpah (Al-Aqsam) terdapat dalam 15 surah.

Menurut As-Suyuti dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, pembukaan-pembukaan surah


(awail Al-suwar) atau huruf-huruf potongan (Al-huruf Al-Muqatta’ah) ini termasuk ayat-
ayat mutasyabihat. Karena itu, pengetahuan yang benar tentang ayat-ayat atau huruf-
huruf tersebut hanya dimiliki Allah yang Maha Mengetahui. As-Suyuti memandang
pendapat ini sebagai pendapat yang mukhtar (terpilih).

Ibnu Al-Munzir meriwayatkan bahwa ketika Al-Syabi ditanya tentang pembukaan-


pembukaan surah, ia mengutip pendapat Ali bin Abi Thalib RA. Ia berkata,
”Sesungguhnya, bagi setiap kitab ada sari patinya dan sari pati kitab (Al-Qur’an) ini
adalah huruf-huruf ejaannya.”

Hal yang sama juga diungkapkan Abu Bakar Al-Shiddiq RA. Menurut khalifah pertama
ini, ”Pada setiap kitab, ada rahasia dan rahasianya dalam Al-Qur’an adalah permulaan-
permulaan surahnya.”

Karena itu, hanya orang-orang berakal yang bisa mengambil pelajaran. Wa Allahu
A’lam. sya/berbagai sumber

Sumber: Dialog Jum’at Harian Republika 23/8/09

Ibnu Katsir (Biografi Singkat)


Ibnu Katsir dikenal luas oleh umat Islam melalui kitab tafsir Al-Qur’an. Buku Tafsir Ibnu
Katsir mudah ditemukan di toko-toko buku dengan beragam model dan oleh berbagai
penerbit. Tafsir Ibnu Katsir juga tersedia dalam beragam format digital yang bisa
didapatkan di situs-situs online. Tafsir Ibnu Katsir juga menjadi rujukan bagi penyusunan
tafsir yang ditulis setelahnya. Siapa sebenarnya Ibnu Katsir? Tulisan berikut secara
ringkas memaparkan riwayat hidupnya.

Nama lengkapnya adalah Isma’il bim ‘Amr Al-Quraisy bin Katsir Al-Basri ad-Dimasqi
‘Imaduddin Abul Fida’ al-Hafidz al-Muhaddits asy-Syafi’i. Lahir pada tahun 705 H dan
wafat pada 774 H. Ibnu Katsir menempuh perjalanan panjang yang sarat dengan
keilmuan. Ia adalah pakar fiqih yang sangat ahli, mufasir yang paripurna, ahli hadits yang
cerdas, dan sejarawan yang ulung. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan, “Ia adalah seorang
ahli hadits yang faqih. Karangan-karangannya tersebar luas di berbagai negeri semasa
hidupnya dan dimanfaatkan orang banak setelah wafatnya.”

Diantara Karya Tulis Ibnu Katsir

• Al-Bidayah wan Nihayah dalam bidang Sejarah, merupakan rujukan terpenting


bagi para sejarawan

43
• Al-Kawakibud Darari dalam bidang Sejarah, cuplikan pilihan dari al-Bidayah wan
Nihayah
• Tafsirul Qur’an, al-Ijtihad fi Talabil Jihad
• Jami’ul Masanid, as-Sunanul Hadi li Aqwami Sunan
• Al-Wadihun Nafis fi Manaqibil Imam Muhammad ibn Idris

Tafsir Ibnu Katsir

Tentang Tafsir Ibnu Katsir ini Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan:

Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap
apa yang diriwayatkan dari para mufasir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan
hukum-hukumnya serta menjauhi pembahasan i’rab dan cabang-cabang balaghah yang
pada umumnya dibicarakan dibicarakan panjang lebar oleh para mufasir; juga menjauhi
pemicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami
Qur’an secara umum atau memahami hukum dan nasehat-nasehatnya secara khusus.

Di antara ciri khas atau keistimewaannya ialah perhatiannya yang cukup besar terhadap
apa yang mereka namakan “tafsir Qur’an dengan Qur’an.” Dan sepanjang pengetahuan
kami, tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau memaparkan ayat-ayat
yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan (penafsiran ayat dengan) hadits-
hadits marfu’ yang ada relevansinya dengan ayat (yang sedang ditafsirkan) serta
menjelaskan apa yang dijadikan hujjah dari ayat tersebut. Kemudian diikuti pula dengan
asar para sahabat dan pendapat tabi’in dan ulama salaf sesudahnya.

Termasuk keistimewaannya pula ialah disertakannya selalu peringatan akan cerita-cerita


Isra’iliyat tertolak (munkar) yang banyak tersebar dalam tafsir-tafsir bilma’sur, baik
peringatan itu secara global maupun mendetail. Namun alangkah akan lebih baik lagi
andaikan ia menyelidikinya secara tuntas, atau bahkan tidak memuatnya sama sekali jika
tidak untuk keperluan penyaringan atau penelitian.

Mengapa al qur'an diturunkan ayat 1-144 secara tidak


urut penempatannya di al qur'an?
dikatan bahwa surat pertama adalah surat al -alaq tapi di dalam alqur'an waktu dibuka
yang pertama kok al fatikhah please.....! bantu aku

• 3 bulan lalu

Lapor Penyalahgunaan

by temuyin
Anggota sejak:
23 Maret 2010
Total poin:

44
1016 (Tingkat 3)

• Tambahkan ke Kontak Saya


• Blokir Pengguna

Jawaban Terbaik - Dipilih oleh Suara Terbanyak


Rangkuman :
1. Al Qur'an disusun menurut dikte Jibril as
2. Al Fatihah diletakkan di awal susunan, karena sebagai Preambule, Pembukaan,
Pendahuluan sesuai fungsi Ummul Qur'an
3. Susunan Al Qur'an mengandung keilmuan yang tinggi, tidak berdasarkan logika karya
tulis yang urut.
4. Baca Al Qur'an mulai dari Surat manapun tidak dilarang. Dahului dengan membaca Al
Fatihah.

Orang-orang Kristen sering bertanya kepada umat Islam dalam berbagai kesempatan,baik orang
per orang, dalam diskusi terbuka, di Internet maupun dalam buku-buku yang menghujat Islam.
Dalam diskusi kami di Arimatea Pusat di Bambu Apus dengan orang-orangsekolah Theologi
Kristen, mereka bertanya mengapa al-Qur'an susunannya tidak beraturan, atau dalam bentuk
pertanyaan lain yang lebih halus :
Kami ingin mengetahui, berdasarkan apakah al-Qur'an disusun? karena
kalau kami amati, surat pertama dalam al-Qur'an adalah surat al-fatihah
yang termasuk surat pendek, kemudian disusul surat al-Baqarah yang
cukup panjang, tetapi surat terakhir justru surat yang masuk dalam
katagori surat yang sangat pendek. Jadi menurut pendapat kami al-Qur'an
tidaklah disusun berdasarkan panjang pendeknya surat, dan menurut
pengamatan kami, al-Qur'an tidak pula disusun berdasarkan urutan
turunnya surat, karena surat al-Fatihah bukanlah surat yang pertama
kali turun tetapi ditempatkan pada urutan pertama, dan surat yang
pertama kali turun justru ditempatkan pada akhir-akhir al-Qur'an. Mohon
dijelaskan atas dasar apakah penyusunan al-Qur'an itu ?
Pertanyaan seperti itu memang sangat wajar dilontarkan oleh orang-orangKristen, karena
memang kitab mereka disusun berurutan sama persisdengan kitab sejarah yang disusun
berdasarkan urutan waktu.
Kalau kita tengok kitab orang Kristen, pasal pertama adalah tentangsilsilah Yesus, kemudian
disusul tentang kelahiran Yesus, kemudianpembaptisan Yesus, dakwah Yesus, pengejaran
Yesus dan akhirnya tentangterangkatnya Yesus ke langit, hampir sama dengan kitab
otobiographiorang- orang terkenal yang disusun sejak lahirnya hingga masa tuanya(matinya) .
Tetapi tidak sama dengan al-Qur'an, karena al-Qur'an bukanlah kitabsejarah, al-Qur'an adalah
kitab petunjuk hidup, al-Qur'an adalah kitabyang berisi hukum-hukum, pelajaran-pelajaran dan
lain sebagainya.
Marilah kita kaji rahasia dibalik susunan ayat-ayat al-Qur'an yang menurut orang-orang Orientalis
dan Kristen tidak beraturan.
SUSUNANNYA DARI ALLAH SWT
Bahwa susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Qur'an seperti yangsekarang ini ada adalah
susunan yang dibuat oleh nabi Muhammad saw yangmendapat mandat dan pengawasan dari
Allah SWT melalui malaikat Jibril.Bukan atas kesepakatan para sahabat atau umat Islam.
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. QS.75:17
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. QS. 75:18

45
Bila Malaikat jibril membacakan wahyu dari Allah SWT maka nabi Muhammaddiperintah
mendengarkannya dan bila Malaikat Jibril telah selesaimembacakanny a maka nabi Muhammad
saw diperintah untuk mengikuti bacaansesuai yang dibacakan malaikat Jibril .
Malaikat Jibril setiap tahun pada bulan Ramadhan datang menemui nabi untuk menjaga bacaan
dan susunan al-Qur'an :
Fatimah berkata :"Nabi Muhammad memberitahukan kepadaku secara
rahasia, Malaikat Jibril hadir membacakan al-Qur'an padaku dan saya
membacakannya sekali setahun, hanya tahun ini ia membacakan seluruh isi
kandungan al-Qur'an selama dua kali. Saya tidak berpikir lain kecuali,
rasanya, masa kematian sudah semakin dekat. HR. Bukhari bab Fada'il al-Qur'an
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw berjumpa dengan
malaikat Jibril setiap malam selama bulan Ramadhan hingga akhir bulan,
masing-masing membaca al-Qur'an silih berganti. HR. Bukhari bab shaum
Hadith - hadith diatas dan beberapa hadith yang lainnya memberikangambaran bahwa sistem
bacaan antara nabi Muhammad saw dengan malaikat Jibril adalah menggunakan sistem
Mu'arada yaitu malaikat Jibril membaca satu kali dan nabi Muhammad saw mendengarkannya
begitu pula sebaliknya.
Dengan sistem tersebut yang secara periodik dilakukan setiap bulan Ramadhan, memberikan
jaminan bahwa susunan al-Qur'an yang sampai kepadaumat Islam di seluruh dunia hingga saat
ini adalah susunan yang sesuaidengan susunan yang Allah SWT kehendaki.
SUSUNANNYA UNIK, ITULAH KETERATURANNYA.
Kata orang-orang Orientalis dan orang-orang Kristen, al-Qur'an susunannya tidak beraturan,
tidak berdasarkan urutan waktu turunnya,tidak berdasarkan panjang pendeknya surat, tidak
berdasarkan tempatturunnya dan tidak pula berdasarkan pokok bahasan. Semua anggapan
itubenar adanya, memang tidak atas dasar itu semua, susunan al-Qur?an atasdasar apa yang
tahu hanya yang membuat al-Qur'an yaitu Allah SWT.
Namun, susunan yang dikatakan tidak beraturan tersebut, bagi yangmengkaji al-Qur'an justru
akan menjumpai kemudahan-kemudahan menjadikanal- Qur'an sebagai tuntunan hidup, coba
saja simak dengan hati yangjujur, ustadz-ustadz yang berdakwa jarang sekali yang membawaal-
Qur'an, mereka dengan mudahnya menunjukkan ayat-ayat yang sesuaidengan pokok bahasan.
Bila ada orang yang bertanya tentang sebuahmasalah, seorang ustadz de-ngan mudahnya
menunjukkan dalilnya darial-Qur'an, inilah rahasia susunan al-Qur'an yang dibilang olehorang-
orang mereka tidak beraturan.
Satu lagi mukjizat dari al-Qur'an yang dibilang tidak beraturantersebut, berjuta-juta manusia
dengan mudahnya menghafal al-Qur'an,baik tua, muda, laki-laki, perempuan, anak-anak, orang
Arab ataupunorang Indonesia, bahkan orang China sekalipun yang mempunyai strukturbahasa
sangat berbeda dengan bahasa Arab, bukankah ini mukjizatal-Qur'an yang menurut penilaian
manusia tidak beraturan, bukankah yangtidak beraturan akan sulit dihafal ?, tetapi al-Qur'an
mudah sekalidihafal, itu artinya al-Qur'an sangat beraturan susunannya, hanyamanusialah yang
tidak mempunyai ilmu mengetahui keteraturan al-Qur'an.
Tetapi pertanyaan bisa kita kembalikan kepada orang-orang Orientalis dan orang-orang Kristen,
mengapa tidak seorangpun dari mereka yanghafal kitab mereka yang mereka aku-aku disusun
secara beraturan ?
Tentu setiap orang bila tanya mana yang lebih mudah dihafalkan, apakah kalimat yang disusun
secara beraturan atau kalimat yang disusun acak tidak beraturan, tentu setiap orang akan
menjawab tentu akan mudahmeng-hafal kalimat yang disusun beraturan, kalau memang
jawabannya demikian berarti al-Qur'an telah disusun dengan beraturan, terbuktial-Qur'an telah
dihafal oleh jutaan manusia dari dulu hingga sekarang,dari Arab sampai ke China. Tetapi kita
tidak mendapati seorangpun yanghafal Bible dari dulu hingga sekarang dari Israel hingga
Indonesia.
Satu lagi bukti, bahwa keunikan al-Qur'an adalah sebuah mukjizat,apakah ada orang yang
berhasil memalsukan al-Qur'an, padahal kalaual-Qur'an susunannya dibilang tidak beraturan,
tentunya orang akanlebih mudah menyisipkan satu kata ke dalam al-Qur'an, tetapi
ternyatasemua tidak ada yang berhasil, baik orang-orang Orientalis maupunorang- orang
Indonesia seperti yang pernah terjadi di Padang dan diJogja.
BUMI SEBAGAI ANALOGI

46
Bila kita cermati bumi yang kita tempati ini, di mana-mana ada gunung,laut, daratan, hutan,
danau, emas, batu-bara, mangga, apel, jeruk,durian dan lain sebagainya.
Kalau hukum keteraturan seperti yang diinginkan oleh orang-orang Orientalis dan orang-orang
Kristen, maka susunan gunung, daratan,lautan, danau, buah-buahan, hewan yang ada di bumi
dapat dikatakansemrawut tidak terkelompokkan.
Padahal susunan bumi yang seperti itulah yang menjadikan kehidupan dibumi ini harmonis dan
seimbang baik secara geografis maupun secaraekosistem.
Bisa anda bayangkan andaikata bumi ini diciptakan dengan susunanmenurut otaknya orang-
orang Orientalis di mana gunung-gunungditemp atkan di satu tempat, lautan mengumpul di
tempat yang lainnya,daratan ditempat yang lain lagi, maka bumi ini akan berhenti berputarkarena
kehilangan keseimbangannya. Bukankah ketidakteraturan susunangunung- gunung, lautan,
daratan, lembah itulah yang justru menjadikanbumi berputar?.
Bukankah adanya buah-buahan, hewan, ikan dan lain sebagainya diseluruhbelahan bumi ini
menjadikan kehidupan dunia ini seimbang dan harmonis,bisa anda bayangkan andaikan di
Indonesia ini tumbuh buah durian saja,di Thailan tumbuh beras saja, di Australia tumbuh gandum
saja, diAmerika yang ada batu bara saja tidak ada hewan, buah-buahan dan air,maka tidak ada
lagi keseimbangan dalam kehidupan di bumi ini.
Seperti yang pernah terjadi pada kaumnya nabi Musa as, di mana mereka tidak bisa tahan
dengan satu makanan saja :
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata:"Hai Musa, kami tidak bisa sabar
(tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk
kami kepada Rabbmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang
ditumbuhkan bumi, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya,
kacang adasnya, dan bawang merah-nya"?? . QS. 2:61
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna
bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengi-saran angin dan awan
yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat)
tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. QS. 2:164
Begitulah Allah SWT menciptakan bumi yang harmonis yang tumbuhbuah-buahan dan
menyebarkan bermacam-macam hewan di seluruh belahanbumi ini sehingga tercipta
keharmonisan dan keseimbangan.
Seperti itu juga al-Qur'an disusun, ada kisah nabi Adam pada surat AliImran, Al-Mai-dah, al-
A'raaf dan seterusnya, begitu juga tentangayat- ayat aklaq, akidah, ilmu pengetahuan dan lain
sebagainya menyebardi beberapa surat. Hanya Allah SWT yang mengetahui secara persi
letakketeraturan dan keharmonisan al-Qur'an.
Pada halaman empat terdapat dua contoh penempatan ayat yang sepintasnampak tidak teratur
tetapi setelah dikaji justru penempatan tersebutsangat mengagumkan.
CONTOH-CONTOH RAHASIA PENEMPATAN AYAT-AYAT AL-QUR'AN
Mari kita ambil satu contoh ayat dan penempatannya :
Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, QS.2:2
Allah SWT menegaskan pada awal-awal al-Qur'an dengan menyebut bahwaAl-Qur'an adalah
kitab yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya,padahal Allah SWT bisa saja menyebutkan
al-Qur'an sebagai kitab yangAgung, Mulya dan lain sebagainya pada awal-awal al-Qur'an.
Hal ini sebagai jaminan dari Allah dan jaminan harus diletakkan pertamakali agar orang-orang
yang ingin mempelajari kandungan al-Qur'an lebihjauh mempunyai keyakinan bahwa al-Qur'an
adalah kitab yang isinya tidakada keragu-raguan sedikitpun, jaminan ini diperlukan karena al-
Qur'an adalah kitab petunjuk yang tentunya tidak boleh ada keraguan sedikit pun dalam petunjuk
tersebut.
Mari kita ambil lagi susunan ayat yang oleh orang-orang Orientalis dan orang-orang Kristen
dibilang tidak beraturan :
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam
binatang buas,kecuali yang sem-pat kamu menyembelihnya, dan (diharam-kan bagimu)

47
yangdisembelih untuk berhala. Dan (di-haramkan juga) mengundi nasib dengananak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah ke-fasikan.
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlahkepada- Ku.
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telahKucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadiagamamu.
Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS. 5:3
Wahyu-wahyu tersebut tersusun dalam satu ayat, namun wahyu-wahyu tersebut tidak turun
dalam waktu yang bersamaan, paragraf ketiga adalahwahyu yang turun terakhir, sementara
paragrap pertama, kedua dan keempat turun jauh sebelumnya.
Menurut orang-orang Orintalis dan orang-orang Kristen susunan tersebutamburadul, lihat saja
dari paragraf pertama yang bicara soal halal haram langsung loncat ke masalah tidak boleh takut
kepada orang-orang kafir pada paragraf kedua, lalu disusul tentang kesempurnaan agama
dannikmat lalu loncat ke masalah makanan.
Sepintas sepertinya benar tuduhan mereka tentang ketidak-teraturan susunan al-Qur'an, tetapi
justru susunan tersebut sangat teratur dan harmonis, lihat keteraturan ayat tersebut berikut ini :
Bahwa nabi Muhammad saw diutus untuk memperbaiki aklaq manusia dimana mereka saat itu
salah satunya adalah terbiasa memakan bangkai,mencekik hewan untuk dimakan supaya nikmat
karena ada darahnya,mengundi nasib, seperti paragrap pertama.
Terhadap misi Rasulullah tersebut orang-orang kafir berusaha menghalang- halangi, lalu Allah
memberikan kemenangan atas Rasulullah sehingga orang-orang kafir berputus asa untuk
menghalangi misiRasulullah tersebut, seperti paragraf kedua.
Atas kemenangan tersebut Allah SWT menurunkan wahyu -wahyu yang terakhir kali turun-
bahwa telah sempurna agama dan nikmat yang Allah berikan seperti yang termuat dalam
paragraf ketiga,
Kemudian dalam paragraf ke empat di terangkan bila karena syariat AllahSWT (hukum halal-
Haram) orang menjadi kelaparan dan memakan yang haramkarena terpaksa maka Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang.
Bukankah susunan seperti itu adalah susunan seperti gunung-gunung, daratan, lautan, hutan
yang menyebar di seluruh permukaan bumi, yangterkesan tidak teratur tetapi sejatinya harmonis
dan seimbang.
Bukankah susunan ayat tersebut terkesan tidak teratur tetapi sejatinya sangat sempurna dan
mengagumkan susunannya sebagai petunjuk hidup ?,seperti itu juga ayat-ayat lainnya di susun
pada tempat dan urutan yangsangat tepat.
Semoga tulisan ini dapat menambah keimanan kita akan kemurnian Al-Qur'an. Amin.
dari : al-islahonline.com

Sejarah Huruf Hijaiyyah

Salah satu pembahasan yang terpenting dalam kajian Metode Struktur dan Format Al
Quran adalah struktur abjad (huruf hijaiyyah).

Struktur huruf menurut prespektif kajian ini merupakan representasi dari organ atau titik-
titik (sub struktur) dalam tubuh manusia secara fisik namun lebih lengkap dan detil
dibandingkan dengan struktur 'ain. Karena struktur 'ain hanya representasi dari organ-
organ vital manusia.

48
Pada awalnya, pemaknaan masing-masing huruf menjadi sebuah representasi dari organ
tertentu, memang menggunakan pendekatan mistis, tetapi kemudian dikembangkan dan
diterapkan sehingga bersifat empiris.

Riwayat Sejarah

1. Dari Abdurrahman bin Usman, dari Qasim bin Asbagh, dari Ahmad bin Zuhair, dari al
Fadl bin Dakkin, dari Wail dari Jabir dari Amir dari Samurah bin Jundab, ia berkata:
"Saya telah melakukan pengkajian terhadap asal muasal tulisan Arab. Saya temukan
tulisan Arab telah ada dan digunakan suku Al Anbar sebelum suku Hiyarah
mempergunakanya”.

2. Dari Ibnu Affan dari Qasim dari Ahmad dari az Zubair bin Bakkar, dari Ibrahim bin al
Mundzir, dari Abdul Aziz bin lmran, dari Ibrahim bin Ismail bin Abi Hubaib dari Dawud
bin Husain dari lkrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata: "Orang yang pertama kali
mengucapkan bahasa Arab dan membuat tulisan lafalnya adalah Ismail bin Ibrahim."

3. Dari Ahmad bin Ibrahim bin Faras Al Makky, dan Abdurrahman bin Abdullah bin
Muhammad, dari kakeknya, dari Sufyan bin 'Uyainah dari Mujalid, dari as Sya'by, ia
berkata: "Kami ditanya orang-orang muhajirin: "dari mana kalian belajar menulis?
Kami menjawab: "dari penduduk suku Hiyarah. Kemudian orang-orang Muhajirin
mengklarifikasi berita itu kepada penduduk Hiyarah. Mereka bertanya: "Dari mana
kalian belajar menulis? Penduduk suku Hiyarah menjawab: "Kama belajar dari: suku
Anbar".

Abu 'Amr mengatakan: "Dalam kitab Muhammad bin Sahnun terdapat riwayat sebagai
berikut: Dari Abul Hajjaj yang mempunyai nama asli Sakan bin Tsabit berkata: dad.
Abdullah bin Farukh dari Abdur Rahman bin Ziyad bin An'am al Mu'afiry dari ayahnya
Ziyad bin An'am ia berkata: "saya berkata kepada Abdullah bin Abbas: "Wahai suku
Quraisy, apakah kalian pada zaman jahiliyyah menulis dengan tulisan Arab seperti ini,
kalian menggabungkan huruf tertentu dan memisah huruf tertentu, ada alif, lam, mim,
syakl, qath' dan lain-lain sebelum Allah mengutus Nab' SAW?"

Ia menjawab: “ya”,

49
Lalu aku berkata: ‘Siapa yang mengajari kalian menulis?”.

Ia menjawab: “Harb bin `Umayyah”.

Aku bertanya lagi: "Lalu siapa yang mengajari Harb bin Umayyah?”.

Ia menjawab: “Abdullah bin Jud'an”.

Aku bertanya lagi: “Siapa yang mengajari Abdullah bin Jud'an?”.

Ia menjawab: "Penduduk Al Anbar".

Aku bertanya lagi: “Siapa yang mengajari penduduk Al Anbar?”.

Ia menjawab: “Seseorang yang datang dari tanah Yaman, dari suku Kindah”.

Aku bertanya lagi: “Lalu siapakah yang mengajarkan seseorang tersebut?”.

Ia menjawab: "Al Juljan bin Al Muhim, ia adalah sekretaris nabi Hud as untuk
menuliskan Wahyu dari Allah SWT."

Dari Ibnu Affan, dari Qasim, dari Ahmad bin Abi Khaitsamah ia berkata: "Huruf
Hijaiyyah berjumlah 29 huruf, semua lafal dan tulisan Arab tidak bisa lepas dari huruf
tersebut."

Dari Ibrahim bin Al Khattab al Lama'iy, dari Ahmad bin Khalid, dari Salamah bin Al
Fadl, dari Abdullah bin Najiyah dari Ahmad bin Musa bin Ismail al Anbary dari
Muhammad bin Hatim Al Muaddib dari Ahmad bin Ghassan dari Hamid bin Al Madainy
dari Abdullah bin Said, ia berkata: “Telah sampai kepada kita sebuah riwayat bahwa
ketika huruf-huruf Mu'jam yang berjumlah 29 menghadap Yang Maha Pengasih, huruf
Alif merendahkan diri dihadapan-Nya. Allah terkesan dengan sikap rendah hatinya, lalu
Dia menjadikan alif sebagai awalan dari nama-Nya (Allah)”.

Abu Amr berkata: “Sebagian ahli bahasa mengatakan alasan alif menempati urutan
pertama karena alif merupakan representasi dari hamzah yang menjadi awal kalimat,
alif layyinah, dan hampir semua hamzah.”

50
Kemudian alif hanya menjadi awal kalimat tatkala huruf yang lain yaitu wawu dan yaa
ikut merepresentasikan dirinya yang pada keadaan yang lain berbentuk hamzah di tengah
dan di akhir.

Abu Amr berkata “Alasan kenapa setelah huruf alif adalah huruf baa, taa, tsaa adalah
karena huruf tersebut adalah huruf yang paling banyak menyerupai huruf yang lain, di
mana jika huruf yaa dan nuun terletak pada awal kalimat atau di tengah kalimat maka
akan menyerupainya sehingga kalau di jumlah ada 5 huruf yang berkarakter sama. Oleh
karena itu untuk mengantisipasi dan mencari jalan keluamya adalah dengan
mendahulukan urutannya. Kemudian urutan setelah baa, taa, tsaa adalah jiim, haa,
khaa."

Tertib urutan huruf yang serupa (mutasyabihat) dan Mazdujat (dal, dzal, ra' dan lain-
tain) adalah sesuai dengan sedikit atau banyaknya frekwensi dipergunakan dalam
percakapan. Jadi semakin depan urutannya, semakin banyak digunakan dalam
percakapan. Kecuali untuk huruf nun dan yaa sekalipun kedua huruf tersebut diakhirkan
namun ia mempunyai derajat yang sama dengan huruf yang menempati urutan di depan
karena huruf yang menyerupai karaktemya telah di tempatkan di depan (ba, ta, tsa).

Selanjutnya Abu Amr mengatakan diantara huruf ada juga yang tidak bisa disambung
dengan huruf yang lain setelahnya. Jumlahnya ada 6 yaitu : alif, dal, dzal, ra, za, dan
wawu.

Alasan kenapa huruf tersebut tidak bisa disambung dengan huruf yang lain juga sama
dengan di atas yaitu untuk menghindari keserupaan antar huruf. Andaikata alif bisa
disambung dengan huruf lain setelahnya, akan serupa dengan huruf lam, dan wawu akan
sama dengan huruf fa dan qaf, dan dal, dzal, ra, za akan sama dengan yaa dan ta.

Alasan lain yang dikemukakan Abu Amr tentang rahasia di batik urutan huruf hijaiyyah
adalah: Alif menempati urutan pertama karena dua alasan yaitu berdasarkan Khabar
(tentang sikap rendah diri Alif di hadapan Allah) dan Nadzar (pemyataan ahli bahasa
yang telah dijelaskan di atas).

51
Selain itu karena Alif menjadi awal dari ayat surat Al Fatihah yang merupakan induk Al
Quran dan karena seringnya digunakan dalam tulisan dan percakapan.

Bisa disimpulkan huruf alif adalah huruf yang hampir seluruh kata tidak bisa dan tidak
mungkin terlepas darinya dan paling banyak diulang dan digunakan dalam percakapan.

Kemudian huruf setelah alif adalah huruf baa, taa, tsaa. Oleh karena ketiga huruf
tersebut yang terbanyak mempunyal karakter yang sama maka tradisi pun mengikutinya
untuk menulisnya setelah alif.

Alasan kenapa huruf ba terletak setelah huruf alif adalah karena huruf ba menjadi awal
dari Basmalah setelah sebelumnya huruf alif menjadi awal Ta'awwudz. Selain itu, ba
menempati urutan kedua setelah alif dalam rumusan huruf Arab (hija) kuno yaitu lafal
AB' JADIN.

Alasan lain yaitu karena ba bertitik satu, ta bertitik dua, dan tsa bertitik tiga. Jadi sesuai
dengan urutan angka. Oleh karena itu ba menempati urutan pertama, ta kedua dan tsa
ketiga.

Ada juga yang mengatakan alasannya adalah karena sedikit atau banyaknya frekwensi
penggunaannya dalam kalimat sehingga yang didahulukan adalah yang paling banyak
frekwensinya.

Kemudian huruf jim, ha, dan kha. Ketiganya paling banyak mempunyai karakter
dibanding huruf yang lain. Alasan setelah tsa dan jim adalah karena bersambungnya
huruf jim setelah ba pada lafal ABI JAD.

Selain itu ha diletakkan sebelum kha karena sesuai dengan urutan makhraj (tempat
keluarnya huruf) dimana huruf ha keluar dari tengah tenggorokan dan kha dari
tenggorokan bagian atas. Sehingga ha diletakan lebih dulu dari kha.

52
Setelah itu huruf dal dan dzal. Keduanya berkarakter sama. Dal ditempatkan lebih dulu
karena terletak setelah huruf jim pada lafal ABI JAD.

Kemudian ra dan za. Keduanya juga mempunyai karakter sama. Semua huruf yang
berpasangan diletakkan secara berurutan dengan alasan yang sama.

Sampai disini urutan penulisan huruf hijaiyyah tidak mengalami perbedaan, baik pada
penduduk Masyriq dan Maghrib.

Setelah huruf ra dan za penduduk Masyriq dan Maghrib berbeda pendapat tentang urutan
huruf setelahnya. Penduduk Masyriq menulis setelah huruf ra dan za adalah sin dan syin
dengan alasan za dan sin mempunyai sifat yang sama: as Shafir.

Sin terletak lebih dahulu ketimbang syin karena yang asal adalah huruf tanpa titik
sehingga huruf yang sama karaktemya namun bertitik diletakkan sesudahnya. Yang asal
selalu diletakkan pertama dan lebih dahulu ketimbang yang sifatnya far'i (cabang).

Setelah sin dan syin adalah shad dan dhad. Huruf ini pun berkarakter sama dan
diletakkan setelah sin karena huruf shad mempunyai sifat sama dengan sin yaitu shafir
dan hams.

Kemudian tha dan dza. Keduanya mempunyai karakter yang sama dan sebagaimana
huruf-huruf yang lalu tha dan dza mempunyai sifat yang sama yaitu ithbaq dan isti'la.

Tha terletak lebih dahulu karena tha adalah yang asal (tanpa titik). Selain itu dalam lafal
ABI JAD tha lebih dahulu.

Huruf selanjutnya adalah ain dan ghain, sebagaimana huruf-huruf Mazduj (berpasangan)
yang lain. Ain didahulukan dari ghain dengan alasan Thariqul Makhraj (urutan tempat
keluarnya huruf) dan Jihatul I'jam (yang tidak bertitik didahulukan).

53
Setelah huruf-huruf yang berpasangan adalah huruf-huruf yang terpisah (tidak
berpasangan). Yaitu fa' dan qaf. Fa' dalam lafal ABI JAD ditulis setelah Ain begitu juga
dengan qaf.

Kemudian huruf kaf, lam, mim, dan nun sesuai dengan urutan penulisannya dalam lafal
KALAMUN. Urutan huruf tersebut juga sesuai dengan urutan tempat keluarnya huruf
mulai dari tenggorokan bagian atas.

Lam diletakkan terlebih dahulu ketimbang mim dan nun karena lam sama karaktemya
dengan huruf alif yang berada pada urutan pertama.

Mim terletak sebelum nun karena mim lebih dominan dan tampak dalam pengucapan,
tidak seperti nun yang misalnya dengan hukum idhgham pengucapannya tidak nampak
bahkan hilang (Khaisyum).

Selain itu mim sama makhrajnya dengan huruf ba yang menempati urutan kedua setelah
alif dan nun akan hilang pengucapannya jika bertemu ba.

Setelah itu huruf wawu, ha, dan yaa. Wawu diletakkan lebih dahulu karena wawu
mempunyai kemiripan karakter dengan huruf fa'. Ha terletak sebelum yaa karena lebih
dahulu dalam lafal ABI JAD.

Ya menempati urutan terakhir dalam huruf hijaiyyah karena uniknya huruf yaa tersebut
ketika terletak pada akhir kalimat berbeda dengan ketika berada di awal dan di tengah.

Penduduk Maghrib menuliskan setelah ra adalah huruf za, tha dan dza. Karena tha sama
makhrajnya dengan huruf dal dan dza dengan dzal, Tha terletak sebelum dza karena
alasan Plain (sama dengan argumentasi penduduk Masyriq di atas).

54
Kemudian kaf, lam, mim, dan nun sesuai dengan urutan lafal kalimna dan sesuai dengan
lafal ABI JAD.

Setelahnya adalah shad dan dhad sesuai dengan urutan penulisan lafal setelah
KALAMUN yaitu SHA'AFADHUN. Selain itu karena shad asli dan tidak bertitik. 'Ain
dan ghain, fad dan qaf, sin dan syin, alasannya adalah karena masalah makhraj dan
i'jam.

Terakhir adalah ha, wawu, dan yaa. Ha terletak lebih dahulu sebelum wawu dan yaa
karena ha berada di awal pada Lafal HAWAZUN. Begitu juga wawu pada lafal
HATHIYYUN.

Dari Ibrahim bin Khuttab, dari Ahmad bin Khalid, dari Salamah bin Al Fadl, dari
Abdullah bin Najiyah, dari Ahmad bin Badil Al Ayyamy, dari Amr bin Hamid hakim
kota ad Dainur, dari Farat bin as Saib dari Maimun bin Mahran, dari Ibnu Abbas, ia
berkata: “Segala sesuatu ada penjelasan (tafsir)nya yang diketahui oleh orang yang
mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya”.

Kemudian ia menjelaskan makna dari:

• ABU JAD (aba adamu at ta'ah / Adam enggan taat dan bersikukuh untuk
memakan buah pohon larangan),
• HAWAZUN (zalla fa hua minas samai wal ardl/ tereliminasi dari langit dan
bumi),
• HATHIYYUN (hutthath 'anhu khatayahu / Adam diampuni kesalahannya),
• KALAMUN (akalaminas syajarah wa munna `alaihi bit taubah/ memakan buah
dari pohon larangan dan dianugerahi ampunan),
• SHA'AFADHUN (asha fa akhraja minan na'im ilan nakdy / ia berbuat maksiat
sehingga Allah mengeluarkannya dari kenikmatan (surga) menuju kepayahan
(dunia),
• QURAISIYAT (aqarra bidz dzanbi fa amanal 'uqubah/ ia mengakui kesalahan-
nya dan akhirnya selamat dari siksa).

Dari Abdur Rahman bin Ahmad al Harwy dalam kitabnya, dari Umar bin Ahmad bin
Syahin dari Musa bin Ubaidillah dari Abdullah bin Abi Sa'id dari Muhammad bin Hamid

55
dad Salamah bin Al fadl dad Abu Abdillah al Bajaly, ia berkata: “Abu Jad, Hawaz,
Hathy, Kalamun, Sha'afadlun dan Quraisiyat adalah nama-nama raja Madyan”.

Adapun nama raja Madyan yang ada pada kisah dalam Al Quran pada zaman Nabi
Syu'aib yang terkenal dengan tragedi yaumudz dzullah adalah Kalamun.

Abu Amr berkata: “Sebagian ahli nahwu mengatakan bahwa lafal Abu Jad, Hawaz,
Hathiy, adalah lafal Arab seperti halnya lafal Zaid dan Amr dalam hal tashrif. Adapun
Kalamun, Sha'afashun dan Quraisiyat bahasa Arab sehingga tidak bisa ditashrif, kecuali
untuk fatal Quraisiyat bisa ditasrif seperti lafal Arafat dan Adzri'at”

Ibnu an Nadim pada salah satu bab berjudul Al Kalam ala al Qalamil 'Araby dalam kitab
At Fihrist mengatakan: “Terdapat perbedaan pendapat tentang siapakah yang pertama
kali membuat tulisan Arab”.

Hisyarn al Kalby mengatakan: “Orang yang pertama kali membuatnya adalah sebuah
kaum dari Arab, 'Aribah yang singgah pada kabilah 'Adnan bin Ad. Nama-nama mereka
adalah Abu Jad, Hawaz, Hathiy, Kalamun, Sha'afasadlun, Quraisat”, demikianlah
menurut Ibnul Kufy.

Kemudian mereka membuat tulisan yang didasarkan kepada sama-nama mereka.


Kemudian mereka menemukan huruf-huruf yang tidak ada dalam nama mereka yaitu
tsaa ‫ﺙ‬, khaa ‫ﺥ‬, dzal, dza, syin dan ghain.

Mereka menamakan huruf-huruf ini dengan istilah ar Rawadif (yang sama). Ia berkata:
“Mereka adalah nama raja-raja Madyan. Mereka binasa pada tragedi yaumudz dzullah
pada zaman Nabi Syu'aib”.

Quthrub mengatakan dalam penulisan Abu tidak memakai wawu dan Jad tidak memakai
alif. Ada sebagian orang yang pantang mengulang huruf yang telah disebutkan (alif).

56
Karena pada dasarnya penulisan wawu pada Abu dan alif pada Jad adalah sebagai
penambahan dalam cara baca. Oleh karena itu bagi yang sudah tahu tidak perlu
menuliskannya demi menjaga keotentikan lafal tersebut.

32 Huruf dalam Metode Struktur dan Format Al Quran

Orang yang pertama kali mengembangkan huruf hijaiyyah menjadi 32 huruf adalah
ilmuwan muslim berkebangsaan India bemama Fadlullah Astarabadi pada akhir abad ke
14.

Sejarah membuktikan antara angka Arab dan India mempunyai kaitan erat. Misalnya
angka Nol yang memungkinkan terbentuknya operasi matematika yang sangat rumit.
Jauh sebelum Ilmuwan Islam mengenal nol, bangsa India telah mengenalnya sebagai
"Shunya" atau kekosongan.

Dalam kajian metode struktur dan Format Al Quran, kita mengenal 32 huruf hijaiyyah.
Huruf ke 31, dalam kajian ini karakter huruf lam dan alif [‫ ]ال‬yaitu huruf ke 27
dikembangkan melalui sebuah kajian yang intensif dan bersifat empiris spiritual dengan
meletakan alif yang asalnya di depan menjadi di belakang dan diletakkan dalam urutan
huruf ke 31.

Sedangkan huruf ke 32, Ta' marbuthah merupakan pengembangan karakter huruf Ta'
maftuhah (huruf ke 3) ketika terletak di belakang kata.

Uniknya, sekalipun huruf hijaiyyah sudah dikembangkan sedemkian rupa menjadi 32


huruf tetap saja imbang. Artinya, 16 huruf mu'jam (bertitik) dan 16 huruf Ghairul
Mu'jam (tanpa titik). Semoga bermanfaat.

Keterangan:

57
• Makhraj-Makhraj Huruf

Makhraj ialah tempat menahan/menyekat udara ketika bunyi huruf dilafazkan. Huruf
yg dimaksudkan ialah huruf Hija'iyah bahasa arab yg mengandungi 28 huruf.
Menurut pendapat Imam Al-Khalil Bin Ahmad dan kebanyakan Ahli Qiraat serta
Ulama Nahu antaranya Imam Ibnu Al-Jazari. Jumlah bilangan makhraj yg umum
terbahagi kepada 5 Bagian.

o Bagian rongga mulut dan rongga kerongkong ( Al-Jauf )

o Bagian kerongkong ( Al-Khalk )

o Bagian lidah ( Al-Lisan )

o Bagian bibir mulut ( Asy-Syafatan )

o Bagian hidung ( Al-Khaisyum )

Bentuk Lahiri AL-QUR’AN: Kajian Atas Ayat dan


Surat AL-QUR’AN
Dalam konteks sejarah awal kaum muslim, teks al-Qur’an merupakan yang berupa
mushaf seperti yang dapat dilihat sekarang ini adalah ayat-ayat yang terpisah dan
berserakan. Ayat-ayat yang turun selama masa kerasulan Muhammad saw—yang antara
satu atau beberapa ayat dengan ayat yang lain diselingi beberapa waktu—tidaklah segera
dikodifikasikan pada masa itu. Tetapi, atas perintah Nabi, di samping menyuruh hafalkan
kepada para sahabat, ayat-ayat tersebut ditulis di atas pelepah-pelepah kurma, batu-batu
dan tulang-tulang unta (al-Shabuni, 1985: 53). Penulisan ini, seperti yang diceritakan
Ibnu Ishaq, langsung diharapan Rasul sendiri (al-Zanjani, 1986: 65). Tiba pada masa
khalifah Abu Bakar, dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin Khatab atas
banyaknya huffazh yang syahid, ayat-ayat yang berserakan tersebut lalu dikumpulkan
dan di tulis kembali hingga menjadi sebuah mushaf al-Qur’an.
Mushaf al-Qur’an ini terdiri sejumlah surat dengan nama-nama tersendiri dan juga
sejumlah ayat dengan nomor urut tersendiri. Pembagian al-Qur’an ke dalam surat dan
ayat tentu memiliki makna yang jelas. Setidaknya di samping menjadi lebih sistematis,
akan memudahkan orang untuk membaca, mempelajari dan menghafalnya al-Qur’an.
Sunnah mengharuskan orang yang shalat atau khutbah untuk membaca ayat al-Qur’an
yang tidak boleh kurang dari satu ayat tidaklah menjadi sulit, tetapi malah sebaliknya
akan dapat terpenuhi dengan mudah. Demikian juga dengan keharusan bagi orang yang
belum mampu membaca al-Fatihah dalam shalatnya, maka ia dengan mudah dapat
membaca tujuh ayat lainnya.
Di samping pembagian ke dalam surat dan ayat, al-Qur’an juga dibagi dalam bagian-
bagian atau juz yang sama yang keseluruhannya berjumlah 30 juz. Pembagian al-Qur’an

58
menjadi 30 juz berkaitan dengan jumlah hari dalam bulan Ramadhan, ketika satu juz al-
Qur’an dibaca setiap harinya. Tetapi, bagian atau juz al-Qur’an tampaknya kurang
diperhitungkan untuk menjadi pembicaraan dalam pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an.
Berbeda dengan pembicaraan tentang surat dan ayat, banyak persoalan dan komentar
tentangnya bahkan satu sama lain saling berbeda bahkan bertolak belakang.
Tulisan ini mencoba menyajikan persoalan dan komentar ulama sekitar surat dan ayat-
ayat al-Qur’an. Tetapi tulisan ini tidak disajikan seluas mungkin hingga menghabiskan
banyak halaman. Karena keterbatasan tempat, tulisan ini hanya menyajikan bagian-
bagian dirasa cukup penting seperti batasan ayat dan surat, jumlah, susunan surat dan
ayat, huruf-huruf muqatha’ah dan lain-lain.

BATASAN SURAT DAN AYAT


Dalam leksikologi Arab, kata surat (jamak: suwar) mengandung banyak arti, yaitu:
bangunan yang menjulang tinggi ke langit, kedudukan/tempat dan keutamaan (Louis
Ma’luf, tt: 362). Juga bisa berarti pagar jika terambil dari kata ‫ سور‬. Seperti yang
dikatakan W. Montgomery Watt yang dikutipnya dari CF. Jeffery, bahwa pandangan
umum asal kata ini adalah bahasa Ibrani, surah, yang berarti suatu deretan bekas batu bata
di dinding dan bekas pepohonan anggur. (Watt, 1991: 90). Dari makna ini surat
disimpulkan menjadi “serangkaian bagian” atau “bab” (Inggris: chapter). Tetapi,
meskipun penyimpulan ini relevans, Watt mencari alternatif lain. Karena dari beberapa
tantangan yang dimajukan, al-Qur’an meminta orang yang tidak membenarkan dirinya
mendatangkan sebuah surat (QS. 10: 38), sepuluh surat (QS. 11: 13) dan sebuah kitab
(QS. 28: 49) yang semisal dengannya. Dari beberapa permintaan al-Qur’an ini jelas
bahwa makna yang dimaksudkan adalah sesuatu yang seperti wahyu atau kitab suci.
Alternatif yang diajukan Watt adalah bahwa kata surat terambil dari bahasa Siria, surta
yang bermakna “tulisan teks kitab suci”, atau bahkan “kitab suci”. (Watt: 1991: 90).
Alternatif Watt yang menyatakan bahwa surat yang bermakna tulisan atau teks kitab suci
mungkin dapat diterima, tetapi bila itu diartikan kitab suci secara sebagai suatu kesatuan
tentu saja kita akan mengalami kesulitan bila al-Qur’an meminta untuk didatangkan
sepuluh surat berarti yang dimaksud adalah sepuluh kitab suci yang sama. Sungguh
tantangan yang vulgar tak masuk akal dan tak dapat diterima. Padahal tantangan al-
Qur’an merupakan tantangan yang sunguh-sungguh.
Pada sisi terminologis, kita tidak melihat batasan surat dalam perspektif yang berbeda.
Pada umumnya memberikan batasan yang sama tentu dengan sedikit penjelasan
tambahan yang berbeda. Al-Zarkasyi misalnya menjelaskan pengertian surat dengan
“sekelompok ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan penutup” (al-Zarqasyi,
t.t: I, 263). Al-Zarqani memberikan sedikit tambahan bahwa sekelompok ayat-ayat al-
Qur’an yang mempunyai permulaan dan akhir itu adalah berdiri sendiri (Al-Zarqani,
1988: I, 350). Tetapi, meskipun sekelompok ayat dimaksud berdiri sendiri, namun satu
sama lain dipercaya berhubungan erat saling melengkapi, sehingga ada yang mengatakan
bahwa surat al-Fatihah adalah pengatra surat al-Baqarah, dan surat al-Baqarah adalah
pengantar surat al-Nisa’ dan seterusnya.
Batasan surat yang dikemukakan oleh pakar-pakar ilmu al-Qur’an sebagai sekelompok
ayat-ayat tampaknya cukup beralasan. Karena al-Qur’an sendiri tampaknya menghendaki
pengertian demikian. Al-Qur’an menggunakan kata surat dalam ungkapannya sebanyak 7
kali dalam bentuk mufrad yang tersebar 3 surat, yaitu surat al-Tawbah: 64, 86, dan 124,

59
surat al-Nur: 1 dan surat Muhammad: 20 dengan dua kali penyebutan. Sedang bentuk
jamaknya hanya satu kali digunakan al-Qur’an dalam surat Hud: 13. Penggunaan kata
surat adalah dalam pengertian yang sama yakni merujuk pada sekumpulan ayat-ayat al-
Qur’an.
Surat-surat al-Qur’an antara satu sama lainnya, baik dalam mushaf yang ditulis tangan
maupun cetak, dipisahkan dengan sebuah muqaddimah yang diletakkan di awal surat.
Dalam muqaddimah ini, biasanya pertama-tama disebutkan nama surat, kemudian
pernyataan tentang penanggalannya, yakni diskripsi sederhana tentang surat tersebut
apakah sebagai surat Makiyah atau Madaniyah , dan diakhiri dengan catatan tentang
jumlah ayat. Muqaddimah ini seperti yang dikatakan Watt hanya perlengkapan
keserjanaan belaka (Watt, 1991: 93). Setelah muqaddimah disusul dengan basmalah (‫بسم‬
‫ )ال الرحمن الرحيم‬pada setiap surat. Pengecualian penggunanaan frase tersebut hanya pada
surat 9. Penulisan basmalah pada setiap surat tentu tak dapat dipandang sebagai hasil
penyuntingan yang belakangan, tetapi merupakan bentuk asli yang datang dari
Muhammad saw. Hal ini cukup beralasan karena pada surat 27 atau surat al-Naml ayat 30
dimana Sulaiman mengirim sepucuk surat kepada Ratu Balqis, ungkapan basmalah
mengawali suratnya seakan-akan kepala yang memadai untuk sebuah dokumen yang
berasal dari seorang nabi.
Panjang pendek surat-surat al-Qur’an sangat beragam, tetapi dalam susunannya setelah
surat al-Fatihah (pembukaan) surat-surat al-Qur’an dimulai dengan surat yang sangat
panjang dengan ayat-ayat yang panjang, kemudian semakin lama semakin pendek dengan
ayat-ayat yang pendek pula. Surat al-Baqarah yang terletak sesudah surat al-Fatihah
merupakan surat yang terpanjang dengan jumlah ayat sebanyak 286 ayat atau lebih dari
dua juz, sedangkan surat terpendek surat al-Kawtsar dengan 3 ayat yang pendek-pendek.
Walaupun surat al-Kawtsar ini adalah surat yang terpendek dengan ayat-ayatnya yang
pendek namun tidaklah terletak pada penghujung atau penutup surat-surat al-Qur’an,
tetapi menempati nomor urut 108 dari 114 surat semuanya.
Sementara itu, kata ayat yang juga digunakan oleh al-Qur’an beberapa kali merujuk pada
makna yang berbeda-beda. Di antara makna-makna etimologis ayat tersebut adalah: tanda
(QS. al-Hijr: 77; al-Nahl: 11, 13, 65, 67, dan 69; al-Baqarah, 248); mukjizat (QS. al-
Baqarah: 211); ibrah atau pelajaran (QS. Hud: 102, 103 dan al-Furqan: 37); sesuatu yang
menakjubkan (QS. al-Mukmin: 50); bukti atau dalil (QS. al-Rum: 20, 21, 23, dan 24).
Akan tetapi, secara terminologis para ulama memberi batasan ayat dengan sekelompok
kata yang mempunyai permulaan dan akhir yang berada dalam suatu surat al-Qur’an (al-
Zarqani, 1988: I, 350). Batasan ini didukung oleh al-Qur’an sendiri yang mengungkapkan
ayat dengan pengertian tersebut sehingga makana etimologis tetap relevans dengan
pengertian terminologis. Salah satunya adalah dalam surat Yusuf ayat 1:
‫الر تلك ءايات الكتاب المبين‬
Alif lam ra. Ini adalah ayat-ayat kitab (al-Qur’an) yang nyata (dari Allah)
Seperti halnya surat, panjang pendek ayat juga sangat beragam. Dalam beberapa surat,
pada umumnya surat-surat panjang, ayat-ayat pun yang panjang dan menggugah.
Sedangkan dalam surat-surat pendek yang terletak di bagian akhir al-Qur’an, surat-
suratnya pun pendek, padat dan mengena. Namun kenyataan seperti itu bukanlah aturan
yang mutlak. Sebab, surat 98 atau surat al-Baiyinah berisi 6 ayat panjang untuk ukuran
surat-surat yang bersamanya. Demikian pula pada surat 26 atau surat al-Syu’ara yang
tergolong surat yang panjang berisi lebih dari 100 ayat yang pendek-pendek. Pada ayat-

60
ayat yang panjang yang terdapat dalam surat yang panjang, bentuk ungkapannya sangat
beragam, tak dapat ditentukan matra yang baku, baik pada suku-suku kata atau pada
tekanan. Pada umumnya akhiran-akhiran dari ayat tersebut adalah bunyi yang dibentuk
dengan akhiran kata benda dan kata kerja berbentuk jamak, -un dan –in, diselang-seling
dengan kata bentukan yang secara teknis disebut fail, salah satu bentuk yang paling
umum di dalam bahsa Arab. Sebagai contoh ‫ يتفكرمن‬،‫ تعقلون‬dan ‫ كافرون‬،‫ظالمون‬. Dan inilah
bentuk yang umum dan paling banyak digunakan. Tetapi juga terkadang dengan akhiran
vokal panjang a. Sedangkan pada ayat-ayat yang pendek-pendek memiliki irama dan
ritma yang juga sangat bervariasi. Terkadang semua atau sebagian besar ayat-ayatnya
berakhiran ud, ha dan lain-lain.
PENAMAAN SURAT
Surat-surat al-Qur’an tersebut memiliki nama-nama tersendiri. Sebuah surat boleh jadi
mempunyai satu atau beberapa nama. Surat al-Tawbah misalnya, disebut juga dengan
surat al-Bara’ah, dan al-Buhus. Surat al-Insan dinamai pula dengan surat al-Dahr, dan
lain-lain. Tetapi, nama-nama surat tersebut tidaklah menunjukan judul atau tema pokok
dari surat-surat tersebut—meskipun tak dapat dipungkiri bahwa setiap surat mempunyai
tema—tetapi hanya dijadikan sebagai alat metode identifikasi. Nama-nama surat ini
diambil dari kata yang mencolok atau tidak lazim di dalamnya. Biasanya kata ini muncul
hampir di awal surat, tetapi tidak demikian selamanya. Surat 16 misalnya, diberi nama
dengan surat al-Nahl (lebah) tetapi tidak disebutkan di dalamnya hingga pada ayat 68
lebih separuh dari surat tersebut; bahkan ayat ini (16: 68) merupakan satu-satunya bagian
dari al-Qur’an yang berbicara tentang al-Nahl. Senada dengan ini, surat 26 diberi nama
dengan al-Syu’ara, kata yang disebutkan al-Qur’an di dalam ayat 224 surat tersebut dan
merupakan bagian paling akhir dari surat tersebut.
Jelas sekali bahwa nama-nama surat ini tidak berasal dari al-Qur’an, tetapi diperkenalkan
oleh para-pakar al-Qur’an. Tampaknya tidak ada aturan yang umum dalam pemilihan
nama-nama surat tersebut. Orang-orang menggunakan kata apa saja yang paling
menonjol dalam suatu surat. Sebagian ulama mengasumsikan bahwa nama-nama surat al-
Qur’an ini adalah petunjuk Rasul (tawqifi). (petunjuk Rasul). Sedangkan sebagian lagi
percaya bahwa penamaan surat tersebut berdasarkan jitihad sahabat yang diambil dari
pokok pembicaraan dalam surat itu. (Ismail, tt: 66). Tetapi, tampaknya yang lebih masuk
akal adalah bahwa Nabi sangat berperan dalam mensosialisasikan nama-nama surat.
Tidak mungkin Nabi saw sebagai transmiter dan penerjemah al-Qur’an untuk para
sahabat tidak memiliki nama-nama surat sebagai alat identifikasi. Yang jelas sejak masa
yang paling awal Nabi dan sahabat-sahabat telah mengetahui dan mempopulerkan nama-
nama surat al-Qur’an.
Di samping nama-nama yang secara an sich diberikan kepada surat-surat al-Qur’an untuk
kepentingan identifikasi, juga diberi nama-nama kelompok untuk surat al-Qur’an, baik
yang terkait dengan periode kerasulan Muhammad seperti surat Makiyah dan surat
Madaniyah, ataupun panjang pendeknya surat-surat al-Qur’an tersebut. Pengelompokan
surat-surat al-Qur’an yang terkait dengan periode kerasulan dimaksudkan untuk
kepentingan kronologis turunnya surat atau ayat untuk kepentingan penafsiran al-Qur’an,
seperti yang akan dijelaskan selanjutnya. Sementara penamaan surat-surat yang
berdasarkan panjang pendeknya surat tampaknya hanya untuk identifikasi dalam
kerangka yang lebih luas. Al-thiwal, misalnya adalah surat-surat yang dikenal dengan
tujuh surat yang panjang yang terdapat pada permulaan mushaf, yaitu surat 2 – 8 (surat

61
al-Baqarah, Ali Imran, al-Maidah, al-Nisa’, al-An’am, al-A’raf dan al-Anfal). Al-mi’un
adalah nama yang diberikan kepada surat-surat yang ayatnya seratus atau lebih sedikit.
Al-matsani, dikenal sebagai surat-surat yang jumlah ayatnya yang tidak mencapai 100
ayat. Sedangkan al-mufashshal adalah surat-surat yang lebih pendek. Disebut dengan
mufashshal karena banyak fashal (pemisah) di antara surat-surat tersebut dengan
basmalah (al-Zarqani, 1988 : I, 352).

JUMLAH SURAT DAN AYAT


Tampaknya tidak banyak pendapat yang bermunculan tentang jumlah surat al-Qur’an di
banding dengan pendapat tentang jumlah ayat al-Qur’an. Hal ini mungkin disebabkan
karena pada setiap surat dipisahkan dengan basmalah yang menjadi bagian awal setiap
surat (Abu Syuhbah, 1996: 276). Sedangkan dalam menentukan jumlah ayat terdapat
peluang berbeda pendapat yang bertolak dari penentuan basmalah sebagai ayat dari setiap
surat dan fashilah serta ra’s al-ayat seperti yang akan dikemukakan berikutnya.
Pendapat yang paling umum diterima, jumlah surat al-Qur’an seperti dalam mushaf
Usman adalah 114 surat. Tetapi pendapat yang diterima dari Mujahid surat al-Qur’an
adalah 113 surat dengan menggabungkan surat al-Anfal dengan surat al-Tawbah menjadi
satu surat. Hasan, ketika ditanya apakah surat al-Bara’ah dan surat al-Anfal itu satu surat
atau dua surat, menjawab “satu surat”. Ibnu Mas’ud dalam mushafnya terdapat 112 surat.
Ini karena ia tidak memasukan dua surat terakhir (mu’awidzatani) (al-Sayuthi, t.t: 67;
Abu Syuhbah, 1996: 288) yang oleh Montgomery Watt dikatakan sebagai jimat-jimat
pendek (Watt, 1991: 91). Sementara sebagian di antara ulama Syi’ah menetapkan bahwa
jumlah surat al-Qur’an 116. Hal ini karena mereka memasukan surat qunut yang dinamai
surat al-khaf dan al-hafd yang oleh ditulis oleh Ubay di kulit al-Qur’an. (Ash-Shiddieqy,
1984: 58).
Mengenai jumlah ayat, secara umum dapat dinyatakan bahwa para ulama menghitungnya
tidak kurang dari 6200 ayat. Tetapi, secara rinci mereka berbeda pendapat. Orang-orang
Madinah menyuguhkan dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa seluruh ayat
al-Qur’an berjumlah 6217 ayat. Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa
seluruhnya berjumlah 6214 ayat. Orang-orang Mekah menghitung ayat al-Qur’an secara
keseluruhan sebanyak 6220 ayat. Sedang orang-orang Kufah menyatakan 6226 ayat dan
orang-orang Basrah menyatakan jumlah ayat al-Qur’an seluruhnya adalah 6205 ayat.
Sementara pendapat yang beredar di masyarakat awam bahwa ayat al-Qur’an seluruhnya
berjumlah 6666 ayat tampaknya kurang dapat diterima. Angka ini barangkali lebih
bernuansa mitos atau keramat dibanding dengan realita konkrit.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa perbedaan penetapan basmalah sebagai
ayat dari surat-surat al-Qur’an atau tidak menyebabkan ulama berbeda pendapat dalam
menentukan jumlah ayat al-Qur’an. Seperti yang dinyatakan oleh Hamka, ada dua
pendapat tentang basmalah ini. Sebagian besar sahabat dan ulama salaf berpendapat
bahwa basmalah adalah ayat pertama dari setiap surat. Dari golongan sahabat yang
berpendapat demikian antara lain: Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibn Umar
dan Abu Hurairah. Sedangkan dari golongan ulama salaf antara lain: Ibnu Katsir, al-
Kasa’i, al-Syafi’i, al-Tsauri dan Ahmad. Sedangkan sebagian lagi menyatakan bahwa
basmalah bukan ayat pertama dari setiap surat, tetapi hanya sebagai pemisah antara satu
surat dengan surat lainnya. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Imam
Malik dan al-Auza’i. (Hamka, 1982: 74).

62
Di samping itu, serta penentuan fashilah dan ra’s al-ayat juga menjadi sebab perbedaan
pendapat ulama dalam menghitung jumlah ayat. Fashilah adalah istilah yang diberikan
kepada kalimat yang mengakhiri ayat dan merupakan akhir ayat. Sedangkan ra’s al-ayat
adalah akhir ayat yang padanya diletakkan tanda fashal (pemisah) antara ayat yang satu
dengan ayat yang lain. Fashilah ini terkadang berupa ra’s al-ayat dan terkadang tidak.
Dengan demikian, setiap ra’s al-ayat adalah fashilah dan tidak setiap fashilah adalah ra’s
al-ayat (Manna’ al-Qaththan, tt: 153). Fashilah dan ra’s al-ayat ini mungkin mirip dengan
sajak, seperti yang dikenal dalam ilmu Badi’ (stalistik). Tetapi ulama tidak menggunakan
istilah sajak karena al-Qur’an bukan karya sastrawan atau ungkapan para nabi, tetapi
adalah wahyu Allah yang tentu lebih tinggi kedudukannya dibanding sajak. Di samping
itu, fashilah yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah meruntutkan makna dan bukan
fashilah itu sendiri yang dimaksud. Sementara sajak, maka sajak itu sendiri yang
dimaksudkan (dalam suatu perkataan) dan baru kemudian arti perkataan itu dialihkan
kepadanya, sebab hakikat sajak ialah menguntai kalimat dalam satu irama.

SUSUNAN SURAT DAN AYAT


Para ulama berbeda pendapat tentang susunan surat-surat al-Qur’an. Ada tiga pendapat
yang muncul tetang persoalan ini, yaitu: pertama, susunan surat-surat al-Qur’an
seluruhnya berdasarkan petunjuk Rasul (tawqifi). Kedua, susunan surat-surat al-Qur’an
adalah ijtihad para sahabat; dan ketiga, susunan surat-surat al-Qur’an sebagian bersifat
tawqifi dan sebagian lagi adalah ijtihad sahabat.
Pendapat yang pertama ini didukung oleh ulama-ulama seperti Abu Ja’far bin Nuhas,
Ibnu al-Hasr dan Abu Bakar al-Anbari (Abu Syuhbah, 1996: 293). Alasan yang
mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Syaibah bahwa Nabi pernah membaca
beberapa surat al-mufashshal dalam satu rakaat menurut susunan mushaf al-Qur’an. Di
samping itu juga pernyataan Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa ia
pernah menyebutkan surat Makiyah, surat Bani Israil, al-Kahfi, Maryam, Thaha dan al-
Anbiya’ yang pertama kali ia pelajari—secara beruntut seperti urutan sekarang ini
(Manna’ Qathahan, tt: 141). Al-Zarqani menambahkan alasan golongan ini dengan
mengatakan bahwa para sahabat telah sepakat terhadap mushaf Usman dan tidak ada
seorang pun dari sahabat yang berkeberatan atau menyangkalnya. Kesepakatan ini tak
terjadi kecuali karena pengumpulan ini sifatnya tawqifi. Sebab bila seandainya
berdasarkan ijtihad maka para sahabat tentu akan berpegang teguh pada pendapat mereka
yang berlainan. (al-Zarqani, 1988: I, 355).
Pendapat kedua dinisbahkan kepada imam Malik (Muhammad Bakar Al- Ismail, tt: 67).
Dan al-Zarqani menyebut bahwa pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama dan
termasuk di dalamnya seperti al-Qadhi dan Abu Bakar (Al-Zarqani, 1988: I, 355 )
Argumen pendapat ini adalah adanya beberapa mushaf pribadi beberapa orang sahabat
yang sistematika surat tersebut saling berbeda satu sama lain. Mushaf Ibnu Mas’ud
misalnya, dimulai dengan surat al-fatihah, al-Baqarah, an-Nisak, Ali Imran dan
seterusnya. Demikian juga dengan mushaf Ubay. Mushaf Ali disusun berasarkan urutan
turunnya ayat, karenanya dimulai dengan surat al-Alaq, kemudian al-Mudaststir, Nun,
Qalam dan seterusnya(Manna al-Qattan, tt: 142).
Ketika Usman ditanya oleh para sahabat, kenapa ia mengambil kebijaksanaan untuk
menggabungkan surat al-Anfal dengan surat al-Bara’ah menjadi satu dengan tidak
meletakkan basmalah di antara kedua surat tersebut, ia menjawab bahwa itu hanya

63
perkiraannya karena kisah yang terdapat dalam surat al-Anfal serupa dengan kisah dalam
surat al-Bara’ah. Dan Rasulullah sampai akhir hayatnya tidak menjelaskan bahwa surat
al-Bara’ah merupakan bagian dari surat al-Anfal (al-Zarqani,1988: I, 354).
Pendapat ketiga beralasan dengan adanya beberapa hadis yang menunjukkan bahwa
sebagian surat-surat al-Qur’an tertibnya berdasarkan petunjuk Rasul dan juga pada sisi
lain terdapatnya beberapa mushaf sahabat yang susunan surat-suratnya berlainan. Abu
Muhammad Ibnu Athiyah mengatakan bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an
diketahui susunannya pada masa nabi seperti al-Sab’u al-Thiwal dan Mufasshal,
sedangkan sebagian lain adalah berdasarkan ijtihad para sahabat nabi (al-Zarqani, 1988:
I, 357).
Dari ketiga pendapat yang dikemukakan di atas Manna’ al-Qaththan cenderung pada
pendapat yang pertama, karena menurutnya pendapat ini lebih kuat dari pendapat lainnya.
Terhadap argumen pendapat kedua ia mengatakan bahwa adanya beberapa mushaf
pribadi sebagian sahabat yang berbeda itu merupakan hasil ikhtiar mereka sendiri
sebelum al-Qur’an dikumpulkan (Manna’ al-Qaththan, tt: 144).
Tetapi penulis secara pribadi cenderung pada pendapat al-Baihaqi yang juga diikuti oleh
al-Sayuthi (t.t: 65) yang mengatakan bahwa susunan surat al-Qur’an pada dasarnya
adalah tawqifi, hanya surat al-Anfal dan al-Bara’ah yang hanya ijtihad para sahabat. Hal
ini karena secara jelas terlihat adanya ijtihad Usman seperti yang disebutkan dalam hadis
di atas. Di samping itu al-Qur’an sebelumnya telah turun ke lauh mahfudh dan telah
berupa kitabyang tentunya tersusun secara sistematis. Namun demikian, terlepas dari
perbedaan tertib surat tersebut, sistematika surat tidaklah mengindikasikan suatu
kemestian dan keharusan orang membaca dan mempelajari sesuai dengan susunan surat
tersebut.
Adapun tertib ayat al-Qur’an oleh ulama seperti yang dikatakan al-Sayuthi—disepakati
urutannya berdasarkan tawqifi dari Rasul. Karena setiap kali turun ayat nabi selalu
memberikan petunjuk supaya meletakkan ayat tersebut pada tempat tertentu atau pada
surat yang di dalamnya disebutkan seperti ini. Usman bin Abi al-Ash mengatakan:
Saya duduk di samping Rasul, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti
semula kemudian memerintahkan aku meletakan ayat ini di tempat ini surat ini.
Ibnu Zubair berkata, aku mengatakan kepada Usman bahwa ayat 23 surat al-Baqarah
telah dimansukhkan oleh ayat lain, tetapi mengapa anda menuliskannya atau
membiarkannya dituliskan. Beliau menjawab: “Kemenakanku, aku tidak mengubah
sesuatu pun dari tempatnya”.
Di samping itu diriwayatkan pula bahwa Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa al-
Qur’an yang telah disampaikannya kepada Muhammad setiap tahun pada bulan
Ramadhan, bahkan sampai dua kali pada tahun-tahun terakhir hidup Muhammad saw.
Pengulangan Jibril terkahir ini adalah seperti susunan surat-surat al-Qur’an yang dikenal
sekarang.
Baik surat-surat maupun ayat-ayat, selalu mempunyai korelasi (munasabah). Penjelasan
tentang korelasi surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an biasanya dapat dilihat dalam kitab-
kitab tafsir.

SURAT DAN AYAT YANG PERTAMA TURUN


Tampaknya tak ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang bulan turunnya al-
Qur’an pertama kali. Semua mereka sepakat menyatakan bahwa al-Qur’an turun pada

64
bulan Ramadhan. Surat al-Baqarah 185, surat al-Dukhan 1-6 dan surat al-Qadr menuntun
para pakar ilmu al-Qur’an menyatakan al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan. Akan
tetapi mereka berbeda pendapat tentang ayat dan surat yang pertama sekali turun.
Setidaknya ada empat pendapat yang berkembang tentang ini.
Pendapat pertama, yang dipandang oleh Manna’ al-Qaththan sebagai pendapat yang
terkuat, mengatakan bahwa ayat al-Qur’an yang pertama kalinya diturunkan adalah ayat 1
sampai 5 surat al-‘Alaq, yang turun di Gua Hira. Pendapat ini didukung oleh hadis
Aisyah yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadis—Bukhari dan Muslim—serta ahli
hadis lainnya. Pendapat kedua, ayat yang pertama kali turun adalah ayat-ayat surat al-
Mudatsir. Pendapat ini juga berdasarkan hadis, yakni hadis dari Abu Salamah bin
Abdurrahman dari Jabir ketika ia ditanya tentang ayat yang pertama diturunkan. Ia
menjawab al-Mudatsir. Hadis ini juga diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadis. Pendapat
ketiga menyatakan ayat yang pertama kali turun adalah surat al-Fatihah. Sedangkan
pendapat keempat menyatakan basmalah sebagai ayat yang pertama sekali turun, dengan
alasan karena basmalah merupakan turun mendahului setiap surat. (Manna’ Qaththan:
67).
Pendapat pertama tampaknya memang lebih kuat sebab boleh jadi Jabir tidak mendengar
kisah permulaan turunnya wahyu sehingga ia menyangka bahwa surat al-Mudatstsir
adalah ayat al-Qur’an yang pertama turun. Sebab surat al-Mudatstsir adalah surat yang
turun setelah ayat 1-5 surat al-‘Alaq—setelah wahyu terhenti beberapa lama. Di samping
itu, hadis Jabir sendiri juga mengindikasikan bahwa al-Mudatstsir turun setelah peristiwa
yang terjadi di Gua Hira. Nabi melihat malaikat yang pernah datang kepadanya di langit.
Karena ketakutan ia segera pulang dan meminta Khadijah untuk menyelimutinya dan
kemudian turunlah ayat: “Wahai orang berselimut; bangkitlah, lalu berilah peringatan”.
Sedangkan dalam menetapkan ayat yang terakhir turun para ulama juga tidak sepakat.
Dari beberapa pendapat yang banyak berkembang dapat dicatat bahwa ayat yang terakhir
turun adalah: surat al-Baqarah ayat 278, 281, 282; Ali Imran ayat 190; al-Nisa’ ayat 93,
176; al-Maidah ayat 3; al-Tawbah ayat 128 dan surat al-Nashr.
Menarik untuk diamati bahwa komentar-komentar sekitar ayat yang terakhir turun
disandarkan kepada hadis-hadis sahabat (hadis mawquf). Mungkin sekali ini adalah apa
yang mereka dengar dari Rasul, tetapi juga mungkin ijtihad mereka sendiri. Akan tetapi,
surat al-Maidah ayat 3 tampaknya paling tepat untuk menunjukan ayat terakhir kali turun
dari seluruh ayat-ayat al-Qur’an. Sebab pada lahirnya ayat ini mengindikasikan telah
sempurnanya agama dalam artian seluruh perundang-undangan telah ditetapkan. Dan
telah dinyatakan pula Allah telah mencukupkan nikmat-Nya serta telah redha pada Islam,
agama yang dibawa Muhammad saw. Sedangkan ayat-ayat lain yang dinyatakan sebagai
ayat yang terakhir turun selain surat al-Maidah tersebut di atas mungkin sekali terkait
dengan sesuatu konteks seperti ayat terakhir turun tentang riba, perundang-undangan, dan
lain-lain sebagainya.

SURAT/AYAT MAKIYYAH DAN MADANIYYAH


Seperti yang telah dikemukakan, bahwa alat identifikasi kronologis surat atau ayat untuk
kepentingan penafsiran dan pemahaman adalah Makiyyah dan Madaniyyah. Persoalan ini
tampaknya bagian yang penting dan tak dapat diabaikan begitu saja. Itu sebabnya pakar-
pakar tafsir diharuskan untuk memiliki pengetahuan tentang surat atau ayat Makiyyah
dan Madaniyyah. Dapat ditegaskan bahwa surat atau ayat Makiyyah adalah surat atau

65
ayat yang diturunkan sebelum hijrah, meskipun ayat atau surat tersebut turun di luar
Mekah, termasuk dalam kategori ini adalah ayat yang turun dalam perjalanan hijrah.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah adalah ayat-ayat diturunkan setelah hijrah, meskipun
turunnya di luar Madinah, termasuk dalam kategori ini adalah ayat-ayat yang turun dalam
perjalanan dari Hudaibiyah (Abu Syuhbah, 1992, 198).
Pada mushaf Usman istilah Makiyyah dan Madaniyyah lebih ditujukan kepada surat-surat
al-Qur’an, bukan ayat-ayatnya, meskipun sebenarnya yang menjadikannya surat
Makiyyah dan Madaniyyah adalah ayat-ayatnya. Identifikasi yang lebih ditujukan kepada
surat-surat dan bukan kepada ayat-ayat dapat diterima dan tampaknya cukup relevan
untuk surat-surat pendek yang terdiri dari 3 sampai 10 ayat. Tetapi untuk surat-surat yang
panjang tampaknya tidak dapat digeneralisir, karena dalam surat Makiyyah boleh jadi
terdapat ayat-ayat Madaniyyah. Dalam surat al-An’am misalnya, yang diidentifikasi
sebagai surat Makiyyah terdapat ayat Madaniyyah yang menurut keterangan Ibnu Abbas
adalah ayat 151-153. (Manna’ al-Qaththan, t.t: 155).
Kajian kronologis ayat juga menarik perhatian para orientalis semisal Theodor Noldeke,
Friedrich Schwally, dan lain-lain hingga menjadi bahan kajian serius. Tetapi, menurut
Watt, terdapat perbedaan pijakan utama untuk penanggalan ayat-ayat al-Qur’an oleh
mereka dengan para sarjana muslim. Jika sarjana muslim adalah hadis-hadis dan
pernyataan para pengkaji al-Qur’an yang belakangan, maka teori kesarjanaan Barat
dalam menyusun kronologi surat atau ayat-ayat dilakukan dengan memperhatikan bukti-
bukti, yaitu rujukan yang tampak dalam al-Qur’an sendiri. Menurut Watt, pijakan utama
sarjana Muslim sangat tradisional dan memilik banyak kelemahan. Ia mengemukakan
hadis yang tampaknya tidak kosisten dalam menentukan ayat yang pertama turun yakni
hadis Aisyah dan Jabir seperti yang telah dijelaskan di atas. (Watt, 1991: 173-175).
Pernyataan Watt ini tentu tak dapat diterima sepenuhnya. Pertama, sarjana muslim
tidaklah mengabaikan bukti-bukti internal dan hanya berpijak pada hadis-hadis atau
pernyataan sarjana yang datang belakangan. Hal ini terlihat pada kesimpulan mereka
bahwa perbedaan ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah juga dilihat dari sisi gaya bahasa
al-Qur’an, seperti ayatnya pendek-pendek dan berirama. Kedua, Watt tampaknya
mengambil kesimpulan atas kajiannya yang belum selesai dan tuntas, atau sama sekali
tak pernah melakukan kajian atas hadis Aisyah dan Jabir tersebut, seperti apa yang
disuguhkan oleh sarjana-sarjana muslim.

HURUF-HURUF MUQATHTHA’AH
Satu hal yang menjadi ciri khas al-Qur’an adalah adanya huruf-huruf muqaththa’ah
(huruf-huruf yang terpisah) yang memulai suatu surat (fawatih al-suwar). Dalam al-
Qur’an terdapat 29 surat yang menggunakan huruf-huruf tersebut sebagai pembuka surat.
Huruf-huruf ini hanya muncul sekali secara tunggal, namun huruf-huruf ini juga muncul
bersama dengan huruf lain sebagai pembuka surat yang lain. Dari 29 huruf hijaiyah,
hanya 14 huruf yang digunakan sebagai pembuka surat, yaitu: ‫ا ج ر ع س ص ط ق ك ل م ن هـ‬
‫ ي‬dalam 29 surat. Dari 14 huruf ini 3 huruf yang berdiri sendiri sebagai pembuka surat,
yakni ‫ ص‬pada surat Shad, ‫ ق‬pada surat Qaf dan ‫ ن‬pada surat al-Qalam Sedang selebihnya
merupakan kombinasi dari beberapa huruf. Lebih jelasnya perhatikan tabel di bawah ini:
Tabel Fawatih al-Suwar pada Surat al-Qur’an
Fawatih al-Suwar Nama Surat
‫ الم‬Al-Baqarah, Ali Imran, al-Ankabut, al-Rum, Luqman dan al-Sajadah

66
‫ المص‬Al-A’raf
‫ الر‬Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, al-Hijr
‫ المر‬Al-Ra’d
‫ كهيعص‬Maryam
‫ طه‬Tha ha
‫ طسم‬Al-Syu’ara, al-Qashahs
‫ طس‬Al-Naml
‫ يس‬Yasin
‫ ص‬Shad
‫ حم‬Al-Mu’min, Fushshilat, al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf
‫ حمعسق‬Al-Syura
‫ ق‬Qaf
‫ ن‬Al-Qalam
Sebagian orang percaya bahwa huruf-huruf tersebut merupakan simbol rahasia antara si
pembicara dengan si pendengar, yaitu Tuhan dan Nabi saw, sebagai suatu yang berada di
luar pemahaman orang awam. Contoh ini dapat dilihat pada kode-kode yang disusun
antara dua orang yang tidak ingin orang lain mengetahui masalah apa yang mereka
bicarakan. Pendapat lain mengatakan bahwa huruf ini adalah nama dari surat-surat yang
bersangkutan. Ada juga yang menyatakan bahwa huruf-huruf tersebut merupakan sumpah
yang diucapkan atas nama huruf-huruf pendek sebagaimana disebut dalam al-Qur’an
nama wujud lain dari ciptaan Tuhan seperti matahari, bulan, bintang, malam, siang dan
lain-lain sebagainya (Muthahari, 1992: 42).
Orientalis seperti Hirschfeld, dalam keputusasannya, mencoba menemukan makna huruf-
huruf ini. Ia memandang bahwa huruf-huruf tersebut sebagai singkatan dari nama-nama
sahabat. Huruf ‫ ص‬adalah singkatan dari nama Hafsah,‫ ك‬dari nama Abu Bakar, dan ‫ م‬dari
Usman. Tetapi, seperti yang dikatakan Watt bahwa penjelasan seperti ini menjadi lebih
pelik Sebab untuk surat dua dan tiga yang dimulai dengan huruf dikatakan Hirschfeld
sebagai singkatan dari nama al-Mughirah sebagai orang yang mengumpulkannya, dan
kenapa pengumpulannya bergantung hanya pada satu orang (Watt: 98).
Tampaknya dari berbagai penafsiran terhadap huruf-huruf ini tak ada yang memuaskan
dan tak mempunyai alasan yang cukup kuat. Karena itu penulis menyatakan bahwa
huruf-huruf ini tampaknya tetap menjadi huruf-huruf misterius.

PENUTUP
Meskipun terdapat perbedaan pendapat ulama seputar surat-surat dan ayat al-Qur’an baik
dari segi jumlah maupun susunan surat-surat atau ayat tidak mengurangi validitas al-
Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang orisinil. Demikian juga pembagian al-Qur’an ke dalam
surat dan ayat yang tidak sama panjang dan pendeknya, surat-surat yang paling pendek
sekalipun seperti surat al-Kawtsar yang hanya terdiri dari tiga ayat, tidaklah mengurangi
kemukjizatannya. Semua surat-surat al-Qur’an, baik yang panjang maupun yang pendek
sama dalam hal kemukjizatannya.
Di sisi lain, perlu dicatat di akhir tulisan ini bahwa sistematika mushaf Usman harus
mendapat tempat yang lebih tinggi dari sistematika mushaf pribadi, yang berbeda
sistematikanya, karena telah diyakini bahwa sistematika mushaf Usman merupakan ijmak
pada sahabat dan telah nyata pula tak ada sahabat yang membantahnya.

67
DAFTAR RUJUKAN
Manna’ Qaththan, tt: 126; al-Zanjani, 1986: 85).
al-Zarqani,1988: I, 352.
Manna’ al-Qaththan, tt: 154).

SURAT AL-FATIHAH

Surat Al-Fatihah adalah bagian pembukaan Al-Qur’an. Bagian ini


memiliki makna yang sangat penting ditinjau dari berbagai alasan:

1. Merupakan Surat yang pertama kali diturunkan secara utuh kepada


Nabi Muhammad SAW, karenanya disebut “Fatihul-Kitab” (pembukaan
kitab)
2. Disebut juga “Penghargaan Al-Qur’an”, “Ummul-kitab”(Ibu Kitab)
dan “Ummul-Qur’an”(Ibu Al-Quran). Abu Hurairah RA meriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Demi Tuhan yang nyawaku ada
dalam genggaman-Nya aku bersumpah, bahwa belum ada surat
serupa ini didalam Taurat (Perjanjian Lama), Injil (Perjanjian baru),
Kitab Daud AS, bahkan didalam Al-Qur’an.” (Muslim & Timidzi)
3. Anas RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Diantara
semua surat didalam Al-Qur’an, Surat Al-Fatihah adalah yang tertinggi
dan utama.
4. Disebut juga ‘Suratusy-syifa’ (Surat Penyembuh)
Sekarang marilah kita mulai dengan sedikit demi sedikit memahami
makna dari Surat Al-Fatihah.

68

You might also like