You are on page 1of 14

SHOLAT FARDHU DAN SUJUD SAHWI

Oleh :
Angger Rakhmatulhuda (08110070)
Mulyo Dianto (08110092)
M. Lutfil Hakim (08110084)
Effendi M. Hasan (06110003)
Thoriq Al-Aqorib (06110228)

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Abstrak
Shalat Fardhu adalah shalat yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim di seluruh
dunia, jika ditinggalkan maka hukumnya adalah dosa. Perintah shalat wajib diterima oleh
Nabi Muhammad saw ketika mi’raj. Shalat fardhu sendiri terbagi menjadi 2, yakni: Shalat
Fardu 'Ain, shalat wajib yang dilakukan setiap hari, dalam 5 waktu sebanyak 17 rakaat.
Dan Shalat Fardu Kifayah, yaitu shalat wajib yang apabila sudah dikerjakan oleh sebagian
umat Islam, maka umat islam yang lainnya terbebas dari kewajiban tersebut. Sujud sahwi
artinya sujud kerana terlupa mengerjakan sesuatu yang sunnah atau hal yang salah lainnya
tanpa sengaja

1.2 Keyword : Shalat Fardhu, Shalat Fardu Kifayah, Shalat Fardu Kifayah, dan Sujud
sahwi

BAB II PEMBAHASAN
2.1. SHALAT FARDHU
2.1.1. Pengertian Shalat Fardhu
Asal makna shalat menurut bahasa Arab ialah “doa”, tetapi yang dimaksud di sini
ialah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan
takbir dan diakhiri dengan membaca salam. shalat yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang
dewasa dan berakal ialah lima kali sehari-semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib
shalat itu ialah pada malam isra’, setahun sebelum tahun hijriah. (Rasjid, 2005. Hal 53).
2.1.2. Syarat-syarat Wajib Menjalankan Shalat Fardhu

Shalat tidak wajib dikerjakan kecuali oleh mereka yang memenuhi syarat-
syarat berikut: (abd Qadir, 2007: 169)

a. Islam. Maka, tidak diwajibkan atas orang-orang kafir sekalipun ia disiksa


dengan siksaan yang berat karena tidak mengerjakannya. (abd Qadir, 2007: 169)

b. Berakal sehat. Tidak diwajibkan atas orang gila dan pingsan. Jika gila atau
pingsannya itu berlangsung terus selama dua waktu shalat yang bias dijama’.
Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa, jika seseorang gila atau pingsan selama
satu waktu shalat penuh, gugurlah kewajiban shalatnya. Sedangkan menurut
hanafiah, kewajiban shalat tidak gugur dari seseorang kecuali jika ia gila atau
pingsan selama enam waktu, maka ketika itu gugur pula kewajibannya untuk
shalat. (abd Qadir, 2007: 169)

c. Balig atau dewasa. Maka shalat tidak diwajibkan bagi anak kecil yang belum
balig. Tetapi bagi walinya hendaklah menyuruhnya mengerjakan salat bila anak
itu telah menginjak umur tujuh tahun, dan boleh memukulnya jika tidak
mengerjakannya ketika berusia sepuluh tahun. Hal ini agar setelah balig nanti ia
terbiasa atau sudah terlatih mengerjakannya. (abd Qadir, 2007: 169)

d. Sampai dakwah atau seruan dari Nabi, sesuai firman Allah dalam surat Al Isra
ayat 15 (abd Qadir, 2007: 169)

e. Suci dari haid dan nifas. Hal ini karena wanita yang sedang haid atau nifas tidak
diwajibkan melakukan salat, baik secara ada’(dikerjakan pada waktunya)
maupun qada’. Berbeda dengan puasa, mereka wajib mengqada’nya. (abd
Qadir, 2007: 169)

f. Sehat jasmani dan rohani. Karena itu bagi orang yang dilahirkan dan dibesarkan
dalam keadaan buta tuli tidak diwajibkan shalat. (abd Qadir, 2007: 169)

2.1.3. Macam-macam Shalat Fardhu

Shalat fardhu sendiri terbagi menjadi 2, yakni:

A. Shalat Fardu 'Ain, shalat wajib yang dilakukan setiap hari, dalam 5 waktu sebanyak
17 rakaat, ke lima shalat 5 waktu tersebut adalah; Shalat Shubuh, Shalat Dzuhur,
Shalat 'Ashar, Shalat Maghrib, Shalat Isya' dan juga Shalat Jum'at (hanya
diwajibkan untuk kaum laki-laki, dilakukan setiap hari jumat, pada waktu adzan
dzuhur). (Rasjid, 2005: hal 60)

B. Fardu Kifayah, yaitu shalat wajib yang apabila sudah dikerjakan oleh sebagian umat
Islam, maka umat islam yang lainnya terbebas dari kewajiban tersebut. Di antaranya
adalah Shalat Jenazah dan Shalat Ghaib. (Rasjid, 2005: hal 60)

2.1.4. Waktu Shalat

Salat fardu memiliki waktu-waktu tertentu, saat kapan salat itu harus dikerjakan,
berdasarka firman Allah:

       


        
     
Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu
duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah
shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya

atas orang-orang yang beriman. (Q. S. an-Nisa’, 103)

Maksudnya, suatu kewajiban yang sangat penting dan pasti seperti Kitab Suci.
Qur’an telah mengisyaratkan waktu-waktu salat ini, sesuai dengan firman-Nya:

        


       
Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian
permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
(dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (Q.S.

Hud, 114)

       


       
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula

shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (al-Isra’, 78)

        


        
   
Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu,
sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di

malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang, (Taha, 130)

Inilah waktu-waktu salat yang diisyaratkan Qur’an. Sedangkan mengenai


batas ketentuannya ditetapkan oleh sunnah. Untuk ini dapat dikutip pada sebuah
hadist oleh Bukhari yang dinilai sebaai hadis yang paling sahih. Hadis tersebut
bersumber dari Jabir, yang artinya: (abd Qadir, 2007: 169)

“Jibril dating kepada Nabi lalu berkata: ‘Bangun dan salatlah!’ Maka Nabi
mengerjakan salat zuhur disaat matahari tergelincir. Kemudian ia dating lagi
diwaktu asar, katanya: ‘bangun dan salatlah!’ beliaupun mengerjakan salat asar
ketika baying-bayang sesuatu sama panjang dengan bendanya. Lalu ia dating lagi
diwaktu magrib dan katanya: ‘bangun dan salatlah!’ Nabipun mengerjakan salat
magrib saat matahari terbenam. Kemudian ia dating pula pada waktu isya dan
berkata: ‘bangun dan salatlah!’ maka nabi segera salat isya ketika mega merah
telah lenyap. Akhirnya ia dating lagi di waktu fajar ketika fajar telah bercahaya…”
(Hadis Ahmad, Nasa’I dan Tirmizi)

Waktu-waktu yang dijelaskan dalam hadist di aas adalah waktu-waktu


jawaz, yakni waktu salat dalam situasi normal. Sedang dalam keadaan darurat atau
ada halngan, maka waktu-waktu tersebut menjadi lebih panjang dari itu. Setiap
waktu meluas panjang sampai dengan waktu berikutnya, kecuali suuh yang berakhir
dengan terbitnya matahari. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bi ‘Amr bi ‘As,
Bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya: (abd Qadir, 2007: 169)
“Waktu zuhur ialah bila matahari tergelincir hingga bayang-bayang seseorang
sama panjang dengan badannya selama waktu asar belum tiba.; waktu asar ialah
selama belum menguning sinar matahari; waktu salat magrib ialah selama mega
merah belum lenyap; dan waktu salat isya ialah sampaitengah malam kedua;
sedangkan waktu salat subuh mulai sejak terbit fajar sampai matahari terbit. Jika
matahari telah terbit maka hentikanlah salat, karena ia terbit di antara dua tanduk
setan.” (Hadis Muslim)

2.1.5. Syarat-syarat sah Shalat


Shalat mempunyai beberapa syarat, jika tidak terpenuhi, shalat itu tidak sah,
kecuali karena ada sesuatu halangan syar’i. syarat-syarat tersebut yaitu:
1. Mengetahui masuknya waktu shalat
2. Suci dari hadas kecil dan hadas besar, berdasarkan firman Allah surat al-Maidah:6
      
    
      
   
Atinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah”, (al-
maidah: 6).
3. Suci pakaian, badan, tempat shalat dari najis
4. Menutup aurat, batas aurat laki-laki ialah bagian tubuh yang terletak diantara pusar
dengan lutut, adapun batasan aurat wanita merdeka ialah seluruh tubuhnya, kecuali
muka. Dalam hal ini golongan Syafi’i dan Hambali menambahkan kecuali kedua
telapak tangan, maka keduanya itu bukan aurat. Demikian juga menurut golongan
Hanafi punggung telapak kaki bukanlah aurat. Hal ini berdasarkan firman Allah
surat an-Nur: 31

       


Artinya: “dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya”. (an-nur: 31)
5. Menghadap kiblat, berdasarkan firman Allah
        
Artinya: dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah wajahmu
ke arah Masjidil haram, (al-Baqarah: 149)
6. Niat, menurut golongan Hanafi dan Hambali, niat adalah syarat. Sedang menurut
golongan Maliki dan Syafi’i, niat adalah rukun. Perbedaan antara syarat dengan
rukun ialah, bahwa syarat boleh dilakukan sebelum amal, sehingga seandainya
seseorang keluar dari rumah atau tokonya sambil niat hendak shalat dan antara niat
dengan shalatnya itu tidak terselang oleh jarak lama atau pekerjaan lain, maka
sahlah shalatnya itu. Sedang rukun adalah bagian dari amal sendiri. Karena itu tidak
boleh dilakukan sebelum amal, meskipun dengan tenggang waktu yang relative
sangat singkat. Karena itulah niat shalat harus dikerjakan bersama dengan membaca
takbiratul ihram. (ar-Rahbawi, 2008: hal 195-203)
2.1.6. Salat Menurut Empat Mazhab
A. Rukun Shalat menurut Empat Mazhab
a. Mazhab Hanafi
1. Takbiratul Ihram
2. Berdiri
3. Membaca Al-Fatihah
4. Ruku’ (Sunnah membaca tasbih)
5. Sujud
6. Duduk Tasyahud Akhir
b. Mazhab Maliki
1. Niat
2. Takbiratul Ihram
3. Berdiri
4. Membaca Al-Fatihah
5. Ruku’ (Sunnah membaca tasbih)
6. I’tidal/Bangun dari ruku’
7. Sujud
8. Duduk antara dua sujud
9. Duduk Tasyahud Akhir
10. Membaca Tasyahud Akhir
11. Membaca Shalawat Nabi
12. Salam
13. Tertib
14. Tuma’ninah
c. Mazhab Hambali
1. Takbiratul Ihram
2. Berdiri
3. Membaca Al-Fatihah
4. Ruku’ (Sunnah membaca tasbih)
5. I’tidal/Bangun dari ruku’
6. Sujud
7. Duduk antara dua sujud
8. Duduk Tasyahud Akhir
9. Membaca Tasyahud Akhir
10. Membaca Shalawat Nabi
11. Salam
12. Tertib
13. Tuma’ninah
d. Mazhab Syafi’i
1. Niat
2. Takbiratul Ihram
3. Berdiri
4. Membaca Al-Fatihah
5. Ruku’ (Sunnah membaca tasbih)
6. I’tidal/Bangun dari ruku’
7. Sujud
8. Duduk antara dua sujud
9. Duduk Tasyahud Akhir
10. Membaca Tasyahud Akhir
11. Membaca Shalawat Nabi
12. Salam
13. Tertib

Sesuai dengan uraian rukun Shalat menurut empat mazhab, maka agar lebih mudah
dipahami dapat dibuat secara bagan sebagai berikut:
No Rukun Hanafi Maliki Hambali Syafi’i
1 Niat √ √
2 Takbiratul Ihram √ √ √ √
3 Berdiri √ √ √ √
4 Membaca Al-Fatihah √ √ √ √
5 Ruku’ √ √ √ √
6 I’tidal/Bangun dari
√ √ √
ruku’
7 Sujud √ √ √ √
8 Duduk antara dua
√ √ √
sujud
9 Duduk Tasyahud
√ √ √ √
Akhir
10 Membaca Tsyhud √ √ √
Akhir
11 Membaca Shalawat
√ √ √
Nabi
12 Salam √ √ √
13 Tertib √ √ √
14 Tuma’ninah √ √
Total 6 14 13 13

B. Hukum Melafalkan Niat Untuk Sholat


a. Mazhab Hanafi :
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk
melaksanakan sholat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan
melafadhkannya dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunah hukumnya,
sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis sholat dalam
niat adalah lebih afdlal. (al-Badai’ I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir
I/185 dan al-lubabI/66)

b. Mazhab Maliki :
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melaksanakan
sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat, dan
sebaiknya tidak melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib
bersama Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan (al-
Syarhu al-Shaghir wa- Hasyiyah ash-Shawy I/303-305. al-Syarhu al-Kabir ma’ad-
Dasuqy I/233 dan 520).

c. Mazhab Hambali :
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan
ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan dirikepada Allah. Sholat tidak sah tanpa
niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula
menentukan jenis sholat serta tujuan mengerjakannya. (al-Mughny I/464-469, dan
II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’ I364-370).

d. Syafi’i :
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud melaksanakan
sesuatu yang disertai dengan perbuatan. Letaknya dalam hati. Niat sholat disunnahkan
melafadzkan menjelang Takbiratul Ihram dan wajib menentukan jenis sholat yang
dilakukan. (Hasyiyah al-Bajury I/149. Mughny al-Muhtaj I/148-150. 252-253)

B. Hukum Membaca Basmalah Dalam Fatihah Sholat

a. Maliki: Tidak memakai Bismillah karena Bismillah bukan ayat dari Surat Al-
Fatihah. Dari Aisyah r.a : “Sesungguhnya Rosulullah memulai sholat dengan takbir
dan membaca alhamdulillahi robbil’alamin (Riwayat Muslim). (Subulus Salam I/333).

b. Hanafi: Membaca Basmalah dalam Fatihah sholat itu hukumnya wajib namun
dengan suara pelan. Dalam riwayat lain bagi Ibnu Huzaimah : “Mereka membaca
Bismillahirrahmaanir-raahiim”membacanya dengan pelan”. (Subulus Salam I/333).

c. Hambali Membaca Basmallah dengan pelan dan tidak sunat untuk dikeraskan.

d. Syafi’i : Wajib membaca Basmallaha. Abu Hurairoh r.a, Nabi Muhammad SAW:
Sesungguhnya rosulluloh telahbersabda “Jika kalian membaca alhamdulillahi
robbil’alamin, makabacalah bismillaahir rohmaanir rohiim. Sesungguhnya itu ummul
Qur’an, ummul kitab, dan sab’ul matsani (tujuh ayat yang dibaca berulangulang), dan
bismillaahir rohmaanir rohiim termasuk salah satu ayat surat Al-Fatihah. (Riwayat
Daruqutni dari Hadits Abdul Hamid bin Za’far dari Nuh bin Abi Bilal dari Sa’id bin
Sa’id Al-Maqburi dari Abu Hurairoh r.a)
Hadits Anas r.a, sesungguhnya ia ditanya tentang bacaan rosululloh SAW dalam sholat,
jawab Anas “Sesungguhnya rosululloh memanjangkan bacaannya... seterusnya beliau
membaca bismillaahir rohmaanir rohiim alhamdulillahir robbil’alamiin maaliki
yaumid diin…” (riwayat Bukhori)

C. Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Bagi Makmum


a. Ulama Hanafiyah melarang makmum membaca fatihah secara mutlaq Dengan alasan:
(http://AnneAhira.blogspot.com)
1. Nash Al-Qur’an yaitu firman Allah SWT :“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an,
maka dengarlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat.” (QS. Al-A’raf (7) : 204)
2. . Hadits yang diriwayatkan oleh abu Hanifah dari Abdullah bin Syaddaad dari Jabir
bin Abdullah r.a, bahwa rosululloh SAW, bersabda : Man sholla kholfa imaamin fa
inna qiroo’atal imaami lahu qiroo’atun.
Artinya :“Barangsiapa yang mengerjakan sholat dibelakang imam (bermakmum),
maka sesungguhnya bacaan imam adalah menjadi bacaannya.”
b. Syafi’iyah mewajibkan secara mutlaq. (http://AnneAhira.blogspot.com)
1. . Firman Allah SWT :“Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an.” (QS. Al-
Muzzammil (83) : 20)

2. . Al-Hadits
a. Sesungguhnya rosululloh SAW, bersabda :
“Laa sholaata illa biqiroo’atin“
Artinya : “Tidaklah sah sholat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul
Kitab.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
b. Rosululloh SAW, bersabda:
“Laa sholaata liman lam yaqro bifaatihatil kitaab “
Artinya :“Tidak ada sholat (tidak sah), kecuali dengan bacaan Fatihah”(HR. Al-
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tarmidzi, An-Nasa’I, Ibnu Majah, dan Imam
Ahmad dari ‘Ubaadah bin Shamit). (http://AnneAhira.blogspot.com)
c. Juga ulama Syafi’iyah yang berpegang lagi dengan Hadits Abu Hurairoh, yang
diangkatnya : “Barangsiapa yang sholat yang didalamnya tanpa membaca
ummul kitab (fatihah), maka sholat itu kurang, tegasnya tidak
sempurna.”Perawi Hadits itu berkata : “Wahai Abu Hurairoh! Sungguh
kadangkadang aku sholat dibelakang imam.” Lalu Abu Hurairoh memegang
lenganku dan berkata, “Wahai Farisy, bacalah fatihah untuk dirimu.”Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud.
d. Hadits ‘Ubaadah bin Shamit, ia berkata “Rasululloh SAW. Sholatsubuh dan
beliau mengeraskan bacaannya. Setelah selesai sholat, beliau bersabda “Saya
melihat kalian membaca dibelakang imam?” kami menjawab, “Benar, demi
Allah , wahai rosululloh.” Kemudian rosululloh SAW, bersabda : “ Laa
taf’aluu illa biummil qur’ani fainnahu laa sholaata liman lam yaqro’biha “
Artinya :“Janganlah kamu semua lakukan, kecuali dengan ummul Qur’an
(S.Alfatihah, karena sesungguhnya tidak ada sholat bagi orang yang tidak
membacanya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Hadits-Hadits ini khusus mengenai
bacaan makmum, dan semuanya tegas tentang fardu membaca fatihah. Menurut
Syafi’iyah berpendapat bahwa membaca fatihah itu merupakan salah satu rukun sholat,
maka ia tidak dapat gugur dari makmum sebagaimana rukun-rukun lainnya.
(http://AnneAhira.blogspot.com)
c. Malikiyah tidak mewajibkan dan tidak juga melarang. Hanya pada sholat sir
disunatkan membacanya. (http://AnneAhira.blogspot.com)
d. Ulama Hanabilah tidak mewajibkan dan tidak melarang pada saat tidak terdengar
bacaan imam, maka sunat membaca bagi makmum. (http://AnneAhira.blogspot.com)

D. Qunut Subuh
Maliki berpendapat, bahwa qunut subuh itu mustahab (sesuatu perbuatan yang disukai
nabi, tetapi tidak dibiasakannya). Adapun dalil bagi orang yang mengatakan, bahwa
qunut subuh itu tidak ada ialah : (http://AnneAhira.blogspot.com)
Dari Abu Hurairoh r.a bahwasannya Nabi SAW pernah qunut disembahyang
subuh, hingga katanya : “Kemudian sampai kabar kepada kami, bahwa qunut itu telah
ditinggalkannya tatkala turun ayat “Laisalaka minal amri syaiun au yatuubu ‘alaihim
wa yu’adzdzibahum fa innahum dhoolimuun” yang artinya “Itu bukan urusan engkau
hai Muhammad apa Allah memberi taubat mereka, atau mengazab mereka sebab
mereka orang yang aniaya.” (HR. Muslim).
Juga hadits : ‘An anasin rodliyallohu ‘anhu anna nabiyyu sholallahu ‘alaihi
was salama qonata syahron ba’dar rukuuyad’uu ‘alaa ahyaai minal ‘arobi tsumma
tarkahu .( rowahu bukhori muslim )
Dari Anas r.a, “Bahwasannya Nabi SAW pernah qunut sebulan lamanya
sesudah rukuk, yang mendoakan suku-suku Arab, kemudian meninggalkannya.” ( HR.
Bukhori dan muslim )
Tentang Hadits-Hadits diatas dijawab oleh Ulama Syafi’iyah. “Bahwa qunut
yang ditinggalkan oleh Nabi itu, hanyalah qunut Nazilah yang sifatnya mengutuk,
berdasarkan Hadits-Hadits diatas. Adapun qunut yang sifatnya tidak mengutuk tidak
ada keterangan yang jelas bahwa Nabi meninggalkannya, terutama sekali qunut subuh.
Hadits Anas r.a : ‘An anasin rodliyallohu ‘anhu qoola: maa zaala rosuulullohi
sholallohi‘alaihi wasallam yaqnutu fish shubhi hatta faaroqod dunya. (HR oleh
Jama’atul huffaz ).
“Senantiasalah rosululloh SAW melakukan qunut dalam sembahyang subuh
sehingga beliau meninggal dunia”. (diriwayatkan oleh Jama’atul Huffadz).
Dan ditambah pula dengan hadits dengan sanad yang shahih sebagai berikut :
Dari Anas r.a “Bahwasannya Nabi SAW pernah qunut sebulan lamanya yang
mendoakan suku-suku Arab, kemudian ditinggalkannya. Adapun qunut subuh
senantiasa dilakukannya sampai meninggal dunia.” (riwayat HR. Hakim, Baehaqi dan
Darulqutni)

2.2. SUJUD SAHWI


Sujud sahwi hukumnya wajib menurut pendapat Hanafi, dan jika ditinggalkan
berdosa tetapi tidak membatalkan shalat. Dikecualikan sujud sahwi dalam shalat jum’at dan
shalat dua hari raya, maka yang lebih utama tidak dilakukan dalam shalat-shalat ini. Ulama
mazhab Syafi’i dan Hanbali sependapat dengan mereka mengenai makmum yang imamnya
melakukan sujud. Maka dalam keadaan demikian ia wajib sujud sahwi karena mengikuti
imam. Dan selain ini hukumnya adalah sunah. (Abd. Qadir, 2008. Hal 370).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : “Kapan wajibnya sujud


sahwi, sebelum atau sesudah salam ..?Sujud sahwi adalah dua kali sujud yang dilakukan
orang shalat untuk menambali kekurang sempurnaan shalatnya lantaran kena lupa. Sebab
kelupaan ada 3 yaitu ; kelebihan, kekurangan dan keraguan. (Abd. Qadir, 2008. Hal 370).
Kelebihan (tambah) : Jika yang shalat sengaja menambahkan berdiri, duduk, ruku’
atau sujud, batallah shalatnya. Jika ia lupa akan kelebihannya dan baru sadar ketika sudah
selesai, maka ia wajib sujud sahwi. Jika sadarnya itu terjadi di tengah-tengah shalat,
hendaklah ia kembali ke shalatnya lalu sujud sahwi. Contohnya, jika ia lupa shalat Zuhur
lima raka’at dan baru ingat sedang tasyahud, hendaklah ia sujud sahwi dan salam. Jika
ingatnya itu di tengah-tengah raka’at kelima, hendaklah langsung duduk tasyahud dan
salam. setelah itu sujud sahwi dan salam. (Abd. Qadir, 2008. Hal 370).
Cara di atas bersumber kepada hadits dari Abdullah bin Mas’ud yang menerangkan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah shalat Zhuhur lima rakaat. Lalu ditanyakan
apakah ia menambahkan raka’at shalat .? Maka setelah para sahabat menjelaskan bahwa
beliau shalat lima raka’at, beliau langsung bersujud dua kali setelah salam (shalat). Riwayat
lain menjelaskan bahwa ketika itu beliau berdiri membelahkan kedua kakinya sambil
menghadap kiblat lalu sujud dua kali dan salam. (Abd. Qadir, 2008. Hal 370).
Sujud sahwi terkadang dilakukan sebelum salam dalam dua tempat.
Pertama. Jika seseorang kekurangan dalam shalatnya, berdasarkan hadits Abdullah
bin Buhainah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud sahwi
sebelum salam ketika lupa tasyahud awal. Kedua. Ketika yang shalat ragu-ragu atas dua
hal dan tak mampu mengambil yang lebih diyakininya, seperti yang dijelaskan oleh hadits
Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu tentang orang yang ragu-ragu dalam shalatnya,
apakah tiga atau empat raka’at. Ketika itu, orang tersebut disuruh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam agar sujud dua kali sebelum salam. Hadits-hadits yang barusan telah
dikemukakan lafaznya dalam bahasan sebelumnya. (Abd. Qadir, 2008. Hal 371).
Sedangkan sujud sahwi sesudah salam, dilakukan dalam dua hal :
Pertama. Ketika kelebihan sesuatu dalam shalat sebagaimana yang terdapat dalam
hadits Abdullah bin Mas’ud tentang shalat Zuhur lima raka’at yang dialami Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau sujud sahwi dua kali ketika sudah diberitahu oleh para
sahabat. Ketika itu beliau tidak menjelaskan bahwa sujud sahwinya dilakukan setelah salam
(selesai) karena beliau tidak tahu kelebihan. Maka hal ini menunjukkan bahwa sujud sahwi
karena kelebihan dalam shalat dilaksanakan setelah salam shalat, baik kelebihannya itu
diketahui sebelum atau sesudah salam. (Abd. Qadir, 2008. Hal 371).
Contoh lain, jika orang lupa membaca salam padahal shalatnya belum sempurna,
lalu ia sadar dan menyempurnakannya, berarti ia telah menambahkan salam di tengah-
tengah shalatnya. Karena itu, ia wajib sujud sahwi setelah salam berdasarkan hadits Abu
Hurairah yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Zuhur
atau Ashar sebanyak dua raka’at. Maka setelah diberitahukan, beliau menyempurnakan
shalatnya dan salam. Dan setelah itu sujud sahwi dan salam. (Abd. Qadir, 2008. Hal 371).
Kedua. Jika ragu-ragu atas dua hal namun salah satunya diyakini. Hal ini telah
dicontohkan dalam hadits Ibnu Mas’ud sebelumnya. Jika terjadi dua kelupaan, yang satu
terjadi sebelum salam dan yang kedua sesudah salam, maka menurut ulama yang terjadi
sebelum salamlah yang diperhatikan lalu sujud sahwi sebelum salam. Contohnya,
umpamanya seseorang shalat Zuhur lalu berdiri menuju raka’at ketiga tanpa tasyahud awal.
Kemudian pada raka’at ketiga itu ia duduk tasyahud karena dikiranya raka’at kedua dan
ketika itu ia baru ingat bahwa ia berada pada raka’at ketiga, maka hendaklah ia bediri
menambah satu rakaat lagi, lalu sujud sahwi serta salam. Yakni dari contoh di atas
diketahui bahwa lelaki tersebut telah tertinggal tasyahud awal dan sujud sebelum salam. Ia-
pun kelebihan duduk pada raka’at ketiga dan hendaknya sujud (sahwi) sesudah salam. Oleh
sebab itu, apa yang terjadi sebelum salam diunggulkan. Wallahu ‘alam (Abd. Qadir, 2008.
Hal 371).

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir ar-Rahbawi, 2007, Salat Empat Mazhab, Pustaka Litera AntarNusa- Halim
Jaya, Bogor.
Anne Ahira, Shalat Fardhu, Rabu 11 Agustus 2010, [tersedia]
http://AnneAhira.blogspot.com, (online) Jum’at , 24 September 2010.

Rasjid, sulaiman. 2008. Fiqih islam. Sinar baru Algensindo : Bandung

You might also like