You are on page 1of 42

Sejarah Sumatera Barat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dari zaman prasejarah sampai kedatangan orang Barat, sejarah Suma tera Barat dapat dikatakan identik
dengan sejarah Minangkabau. Walau pun masyarakat Mentawai diduga te lah ada pada masa itu, tetapi bukti-
bukti tentang keberadaan mereka masih sa ngat sedikit.

Daftar isi
• 1 Masa Prasejarah
• 2 Kerajaan-kerajaan Minangkabau
• 2.1 Kerajaan Malayu
• 2.2 Kerajaan Pagaruyung
• 2.3 Kerajaan Inderapura
• 3 Masuknya bangsa Eropa
• 4 Perang Padri
• 5 Dari Perang Padri sampai Perang Belasting
• 6 Gerakan Islam Modernis di Minangkabau
• 7 Gerakan Partai Komunis Indonesia
• 8 Sumatera Barat: 1930-an
• 8.1 Merebaknya partai-partai politik
• 8.2 Penumpasan
• 9 Pendudukan Jepang
• 10 Rujukan
• 11 Lihat pula
[sunting]Masa Prasejarah

Di pelosok desa Mahat, Suliki Gunung Mas,Kabupaten Lima Puluh Kota banyak ditemukan peninggalan
kebudayaan megalitikum. Bukti arkeologis yang dite mukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah
Lima Puluh Kota dan sekitarnya merupakan daerah pertama yang dihuni oleh nenek moyang orang
Minangkabau. Penafsiran ini ber alasan, karena dariluhak Lima Puluh Kota ini mengalir beberapa sungai
besar yang bermuara di pantai timur pu lau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi
sarana transportasi yang penting dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.

Nenek moyang orang Minang kabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (In
dochina) mengarungi Laut Cina Sela tan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian melayari sungai
Kampar, sungai Siak, dan sungai Inderagiri. Setelah melakukan perjalanan panjang, mereka tinggal dan
mengembangkan kebudayaan serta per adaban di wilayah Luhak nan Tigo (Lima Puluh Kota, Agam, Tanah
Datar) sekarang.

Percampuran dengan para penda tang pada masa-masa berikutnya me nyebabkan tingkat kebudayaan mere
ka jadi berubah dan jumlah mereka ja di bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan
akhirnya mereka merantau ke berba gai bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke utara,
menuju Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Sebagian lain pergi ke arah selatan menuju Solok, Sijunjung dan
Dharmasraya. Banyak pula di antara me reka yang menyebar ke bagian barat, teruta ma ke daerah pesisir,
seperti Tiku, Pariaman, dan Painan.

[sunting]Kerajaan-kerajaan Minangkabau

Menurut tambo Minangkabau, pada periode abad ke-1 hingga abad ke-16, banyak berdiri kerajaan-kerajaan
kecil di selingkaran Sumatera Barat. Kerajaan-kerajaan itu antara lainKesultanan Kuntu, Kerajaan
Kandis, Kerajaan Siguntur, Kerajaan Pasumayan Koto Batu, Bukit Batu Patah, Kerajaan Sungai
Pagu, Kerajaan Inderapura, Kerajaan Jambu Lipo, Kerajaan Taraguang, Kerajaan Dusun Tuo, Kerajaan
Bungo Setangkai, Kerajaan Talu, Kerajaan Kinali, Kerajaan Parit Batu, Kerajaan Pulau
Punjung dan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah berumur panjang, dan biasanya
berada dibawah pengaruh kerajaan-kerajaan besar, Malayu dan Pagaruyung.

[sunting]Kerajaan Malayu

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Dharmasraya

Kerajaan Malayu diperkirakan pernah muncul pada tahun 645 yang diperkirakan terletak di hulu
sungai Batang Hari. Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, kerajaan ini ditaklukan olehSriwijaya pada
tahun 682. Dan kemudian tahun 1183 muncul lagi berdasarkan Prasasti Grahi di Kamboja, dan
kemudian Negarakertagama dan Pararaton mencatat adanya Kerajaan Malayu yang beribukota
di Dharmasraya. Sehingga muncullah Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275-1293 di bawah pimpinan Kebo
Anabrang dari Kerajaan Singasari. Dan setelah penyerahan Arca Amonghapasa yang dipahatkan di Prasasti
Padang Roco, tim Ekpedisi Pamalayu kembali ke Jawa dengan membawa serta dua putri Raja Dharmasraya
yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak dinikahkan oleh Raden Wijaya raja Majapahit pewaris
kerajaan Singasari, sedangkan Dara Jingga dengan Adwaya Brahman. Dari kedua putri ini
lahirlah Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit dan Adityawarman kemudian hari menjadi
raja Pagaruyung.

[sunting]Kerajaan Pagaruyung

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Pagaruyung

Sejarah propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Adityawarman. Ra ja ini
cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya
sebagai Raja Minangkabau. Aditya warman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang di
percayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.

Adityawarman adalah tokoh pen ting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pe
merintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau.
Kon tribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Buddha. Agama ini pernah punya pengaruh
yang cukup kuat di Minangkabau. Ter bukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang
berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pa riangan, Padang Barhalo, Candi, Bia ro, Sumpur, dan Selo.

Sejarah Sumatera Barat sepe ninggal Adityawarman hingga perte ngahan abad ke-17 terlihat semakin
kompleks. Pada masa ini hubungan Su matera Barat dengan dunia luar, ter utama Aceh semakin intensif.
Sumate ra Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memo nopoli kegiatan
perekonomian di dae rah ini. Seiring dengan semakin inten sifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai
dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh
melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.

Syekh Burhanuddin dianggap sebagai pe nyebar pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan
aga ma Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.

[sunting]Kerajaan Inderapura

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Inderapura

Jauh sebelum Kerajaan Pagaruyung berdiri, di bagian selatan Sumatera Barat sudah berdiri kerajaan
Inderapura yang berpusat di Inderapura (kecamatan Pancung Soal, Pesisir Selatansekarang ini) sekitar awal
abad 12. Setelah munculnya Kerajaan Pagaruyung, Inderapura pun bersama Kerajaan Sungai Pagu akhirnya
menjadi vazal kerajan Pagaruyung.

Setelah Indonesia merdeka sebagian besar wilayah Inderapura dimasukkan kedalam bagian wilayah provinsi
Sumatera Barat dan sebagian ke wilayah Provinsi Bengkulu yaitu kabupaten Pesisir Selatan sekarang ini.

[sunting]Masuknya bangsa Eropa

Pengaruh politik dan ekonomi A ceh yang demikian dominan membuat warga Sumatera Barat tidak senang
kepada Aceh. Rasa ketidak puasan ini akhirnya diungkapkan de ngan menerima kedatangan orang Belanda.
Namun kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat. Kedatangan Belanda ke
daerah ini menjadikan Sumatera Barat memasuki era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.

Orang Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelan cong
berkebangsaan Perancis yang ber nama Jean Parmentier yang datang sekitar tahun 1529. Namun bangsa Ba
rat yang pertama datang dengan tu juan ekonomis dan politis adalah bang sa Belanda. Armada-armada
dagang Belanda telah mulai kelihatan di pan tai barat Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping
bangsa Belan da, bangsa Eropa lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu ju ga terdiri dari
bangsa Portugis dan Inggris.

[sunting]Perang Padri

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Padri

Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku
Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda.

Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti
perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek
hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama
Islam.

Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan
Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian
diganti Tuanku Imam Bonjol.
Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan
setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.

Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir
Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838.

[sunting]Dari Perang Padri sampai Perang Belasting

Berakhirnya perang Padri menandai perubahan besar di Minangkabau. Kerajaan Pagaruyung runtuh dan di
tempatnya berdiri pemerintahan Hindia Belanda.

Belanda memerintah diatur oleh perjanjian Plakat Panjang (1833). Di dalamnya Belanda berjanji untuk tidak
mencampuri masalah adat dan agama nagari-nagari di Minangkabau. Belanda juga menyatakan tidak akan
memungut pajak langsung. Hal ini menyebabkan para pemimpin Minangkabau membayangkan dirinya
sebagai mitra bukannya bawahan Belanda.

Sebagaimana di daerah lain di Hindia Belanda pemerintah kolonial memberlakukan Tanam


Paksa (cultuurstelsel) di Sumatera Barat. Sistem ini menjadikan para pemimpin adat sebagai agen kolonial
Belanda.

Penjajahan Belanda berpengaruh besar pada tatanan tradisional masyarakat Minangkabau. Di Sumatera Barat
Belanda membuat jabatan baru, seperti penghulu rodi. Kerapatan Nagari dijadikan sebagai lembaga
pemerintahan terendah, dan kepemimpinan kolektif para penghulu ditekan dengan keharusan memilih salah
seorang penghulu menjadi Kepala Nagari. Serikat nagari-nagari (laras, Bahasa Minang: lareh) yang
sebenarnya merupakan persekutuan longgar atas asas saling menguntungkan, dijadikan sebagai lembaga
pemerintahan yang setara dengan kecamatan.

Belanda juga berusaha mematikan jalur perdagangan tradisional Minangkabau ke pantai timur Sumatera
yang menyusuri sungai-sungai besar yang bermuara di Selat Malaka, dan mengalihkannya ke pelabuhan di
pantai Barat seperti Pariaman dan Padang. Pada tahun 1908 Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan
memberlakukan pajak langsung. Perang Belasting pun meletus.

[sunting]Gerakan Islam Modernis di Minangkabau

Perlawanan terhadap Belanda di Sumatera Barat pada awal abad ke-20 memiliki warna Islam yang pekat.
Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya.

Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad
Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir
ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang
menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada
dakwah dan pendidikan. Abdullah Ahmad mendirikan majalah Al-Munir (1911-1916), dan beberapa ulama
kaum Muda lain sepertiH. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Muhammad Thaib ikut menulis di
dalamnya.
Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum Muda menantang konsep agama
tradisional yang sudah mapan, menentang taqlid buta, dan merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan
pidato mereka memicu pertentangan dan perdebatan sengit di ranah Minang.

Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau Jembatan Besi berdirilah
sekolah Sumatera Thawalib. Selain pendirinya H. Abdul Karim Amrullah guru lain yang berpengaruh di
sekolah ini adalah Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga mendirikan sekolah Diniyah. Berbeda dengan
Sumatera Thawalib yang terutama adalah perguruan agama sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan
umum, seperti matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini
berhubungan erat.

Banyak tokoh pergerakan atau ulama seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Djamaluddin Tamin, H. Dt.
Batuah, H.R. Rasuna Said dan Hamka merupakan murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang
Panjang ini.

Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada dasawarsa 1920-an sebuah gagasan baru
mulai menarik hati para murid sekolah Padang Panjang: komunisme. Di Padang Panjang pentolan komunis
ini terutama Djamaluddin Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini ditentang habis-habisan Haji Rasul
yang saat itu menjadi guru besar Sumatera Thawalib.

Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh ulama tradisional. Tahun 1930 ulama tradisional
mendirikan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) untuk mewadahi sekolah Islam Tradisional.

[sunting]Gerakan Partai Komunis Indonesia

Djamaluddin Tamin sudah bergabung dengan PKI pada 1922. Dalam perjalanan singkat ke Aceh
dan Jawa pada tahun 1923 Datuk Batuah bertemu dengan Natar Zainuddin dan Haji Misbach. Agaknya ia
terkesan dengan pendapat Haji Misbach yang menyatakan komunisme sesuai dengan Islam. Bersama
Djamaluddin Tamin ia menyebarkan pandangan ini dalam koran Pemandangan Islam. Natar Zainuddin
kemudian kembali dari Aceh dan menerbitkan koran sendiri bernama Djago-djago. Akhir tahun itu juga
Djamaluddin Tamin, Natar Zainuddin dan Dt. Batuah ditangkap Belanda.

Setelah penangkapan tersebut pergerakan komunis malah menjadi-jadi. Tahun 1924 Sekolah Rakyat
didirikan di Padang Panjang, meniru model sekolah Tan Malaka di Semarang. Organisasi pemuda Sarikat
Rakyat, Barisan Muda, menyebar ke seluruh Sumatera Barat. Dua pusat gerakan komunis lain
adalah Silungkang dan Padang. Bila di Padang Panjang gerakan berakar dari sekolah-sekolah di Silungkang
pendukung komunis berasal dari kalangan saudagar dan buruh tambang.

Sulaiman Labai, seorang saudagar, mendirikan cabang Sarekat Islam di Silungkang, Sawahlunto pada 1915.
Pada tahun 1924 cabang ini diubah menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu berdiri juga cabang organisasi
pemuda komunis, IPO.

Di Padang basis PKI berasal dari saudagar besar pribumi. Salah satu pendiri PKI cabang Padang adalah
Sutan Said Ali, yang sebelumnya menjadi pengurus Sarikat Usaha Padang. Di bawah kepemimpinannya
mulai tahun 1923 PKI seksi padang meningkat anggotanya dari hanya 20 orang menjadi 200 orang pada
akhir 1925.
Pertumbuhan gerakan komunisme terhenti setelah pemberontakan di Silungkang 1927. Para aktivis komunis
ditangkap, baik yang terlibat pemberontakan ataupun tidak. Banyak di antaranya yang dibuang ke Digul.

[sunting]Sumatera Barat: 1930-an

[sunting]Merebaknya partai-partai politik

HR Rasuna Said, aktivis Permi

Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum agama yang tak setuju dengan
ideologi baru itu pun tetap berkembang. Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam)
dengan tujuan mengumpulkan ulama-ulama di Sumatera Barat. Atas prakarsa H. Abdullah Ahmad
tahun 1924 berdirilah sekolah Normal Islam di Padang. Sekolah ini dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan,
lebih tinggi daripada Sumatera Thawalib yang merupakan sekolah rendah.

Setelah melawat ke Jawa tahun 1925 dan bertemu pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di sana Haji Rasul
turut mendirikan cabang Muhammadiyah. Pertama di Sungai Batang dan kemudian di Padang Panjang.
Organisasi ini dengan cepat menjalar ke seluruh Sumatera Barat.

Muhammadiyah berperan penting dalam menentang pemberlakuan Ordonansi Guru di Sumatera Barat
tahun 1928. Dengan ordonansi ini guru agama diwajibkan melapor kepada pemerintah sebelum mengajar.
Peraturan ini dipandang mengancam kemerdekaan menyiarkan agama. Sebelumnya Muhammadiyah di Jawa
sudah memutuskan meminta ordonansi ini dicabut. Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah rapat umum
yang kemudian memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.

Meskipun terlibat dalam penolakan Ordonansi Guru, berbeda dengan organisasi komunis seperti Sarikat
Rakyat, pada umumnya Muhammadiyah menghindari kegiatan politik. Penumpasan gerakan komunis tahun
1927 menyebabkan banyak anggota Sarekat Rakyat atau simpatisannya berpaling ke Muhammadiyah
mencari perlindungan. Para anggota yang lebih radikal ini tidak puas dan kemudian banyak yang keluar
untuk aktif dalam Persatuan Sumatra Thawalib. Organisasi ini pada tahun 1930 menjelma menjadi partai
politik bernama Persatuan Muslim Indonesia, disingkat Permi. Dengan asas Islam dan kebangsaan
(nasionalisme) Permi dengan cepat menjadi partai politik terkuat di Sumatera Barat, dan menyebar ke Aceh,
Tapanuli, Riau, Jambi dan Bengkulu. Partai ini menjadi wadah utama paham Islam modernis. Tokoh-tokoh
Permi yang terkenal antara lain Rasuna Said, Iljas Jacub, Muchtar Lutfi dan Djalaluddin Thaib.

Partai lain yang juga penting adalah PSII cabang Sumatera Barat yang berdiri tahun 1928, dan PNI Baru.
PSII Sumatera Barat seperti Permi sangat kuat sikap anti-penjajahannya. Namun tidak seperti Permi yang
berakar dari perguruan agama tokoh-tokoh PSII umumnya berasal dari pemimpin adat.

Cabang PNI Baru di Bukittinggi diresmikan Hatta tak lama setelah kepulangannya dari Belanda tahun 1932.
Sebelumnya cabang Padang Panjang sudah didirikan oleh Khatib Sulaiman.

PARI pimpinan Tan Malaka (didirikan di Bangkok 1929) punya pengaruh cukup besar, meskipun anggotanya
sendiri tidak banyak. Pengaruh PARI terutama lewat tulisan Tan Malaka yang disebarkan sampai tahun 1936.

[sunting]Penumpasan

Pada pertengahan 1933 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan berkumpul. Yang menjadi
sasaran utama di Sumatera Barat adalah Permi dan PSII. Sementara itu Rasuna Said sudah ditangkap oleh
Belanda dan dibuang ke Jawa. Tokoh-tokoh Permi dan PSII awalnya dilarang bepergian, kemudian kedua
partai dikenai larangan terbatas dalam mengadakan rapat umum. Pada akhirnya tokoh-tokoh Permi dan PSII
ditangkap dan dibuang ke Digul. Permi akhirnya bubar pada 18 Oktober 1937.

Pada saat yang sama di Batavia tokoh-tokoh Partindo dan PNI Baru juga ditangkap. Sukarno diasingkan
ke Flores, Hatta dan Sjahrir ke Digul. Pimpinan PNI Baru cabang Sumatera Barat sendiri dibiarkan bebas
karena mereka membatasi kegiatan politik partai. Sementara itu tokoh-tokoh PARI berhasil ditahan Belanda
yang bekerja sama dengan dinas IntelijenInggris. Tan Malaka, pimpinannya, lolos.

[sunting]Pendudukan Jepang

Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu berada di Padang berhasil
meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh nasionalis di Sumatera Barat agar mau bekerja sama dengan Jepang.

Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatera
Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatera Barat, Riau
dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat.
Tentara Sukarela ini kemudian menjadi inti Divisi Banteng.

[sunting]Rujukan

• (id)Kahin, Audrey (22 Desember 2010). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan
Politik Indonesia 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-519-6.
• (id) Buku Alam Takambang jadi Guru, AA.Navis, 1984
• (id) Historiografi Minangkabau

A. Lintasan Sejarah Minangkabau


Pengantar Sejarah Alam Minangkabau

Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya
perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota
dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun.
A. LINTASAN SEJARAH MINANGKABAU
A.1. Pengantar
Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya
perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota
dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun.
Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar,
Suliki Gunung Emas, Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan Gadang,
Koto Tinggi, Ampang Gadang.
Seperti umumnya kebudayaan megalit lainnya berawal dari zaman batu tua dan berkembang sampai ke
zaman perunggu. Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong. Megalit seperti yang
terdapat disana juga tersebar ke arah timur, juga terdapat di Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu,
Birma dan Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong. Dengan perkataan lain
dapat dikatakan bahwa kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan
Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang sama pula.
Menurut para ahli bahwa pendukung kebudayaan Dongsong adalah bangsa Austronesia yang dahulu
bermukim di daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara dalam dua gelombang. Gelombang
pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi.
Gelombang kedua datang kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan menjadi nenek
moyang bangsa Indonesia sekarang.
Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut oleh para ahli dengan
bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Barak, Toraja, Dayak,
Nias, Mentawai dan lain-lain. Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu
Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis dan lain-lain.
Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau adalah bangsa
melayu muda dengan kebudayaan megalit yang mulai tersebar di Minangkabau kira-kira tahun 500 SM
sampai abad pertama sebelum masehi yang dikatakan oleh Dr. Bernet Bronson. Jika pendapat ini kita
hubungkan dengan apa yang diceritakan oleh Tambo mengenai asal-usul orang Minangkabau kemungkinan
cerita Tambo itu ada juga kebenarannya.
Menurut sejarah Iskandar Zulkarnain Yang Agung menjadi raja Macedonia antara tahun 336-323 s.m. Dia
seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan
penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan
barat dengan kebudayaan timur.
Tokoh Iskandar Zulkarnai dalam Tambo Minangkabau secara historis tidak dapat diterima kebenarannya,
karena dia memang tidak pernah sampai ke Minangkabau. Di samping di dalam sejarah Melayu, Hikayat
Aceh dan Bustanul Salatin Tokoh Iskandar Zulkarnain ini juga disebut-sebut, tetapi secara historis tetap saja
merupakan seorang tokoh legendaris.
Sebaliknya tokoh Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh Tambo sebagai salah seorang anak Iskandar
Zulkarnain, kemungkinan merupakan salah seorang Panglima Iskandar Zulkarnain yang ditugaskan
menguasai pulau emas (Sumatera), termasuk di dalamnya daerah Minangkabau. Dialah yang kemudian
menurunkan para penguasa di Minangkabau, jika kita tafsirkan apa yang dikatakan Tambo berikutnya.
Sayangnya Tambo tidak pernah menyebutkan tentang kapan peristiwa itu terjadi selain ”pada masa
dahulunya” yang mempunyai banyak sekali penafsirannya.
Tambo juga mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau dari puncak gunung merapi. Hal ini tidak
dapat diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi seperti kebiasaan orang Minangkabau sendiri harus dicari
tafsirannya, karena orang Minangkabau selalu mengatakan sesuatu melalui kata-kata kiasan, ”tidak tembak
langsung”. Tafsirannya kira-kira sebagai berikut: Sewaktu Maharajo Dirajo sedang berlayar menuju pulau
emas dalam mengemban tugas yang diberikan oleh Iskandar Zulkarnain, pada suatu saat dia melihat daratan
yang sangat kecil karena masih sangat jauh. Setelah sampai ke daratan tersebut ternyata sebuah gunung,
yaitu gunung merapi yang sangat besar. Tetapi oleh pewaris Tambo kemudian gunung Merapi sangat kecil
yang mula-mula kelihatan itulah yang dikatakan sebagai tanah asal orang Minangkabau. Selanjutnya cerita
Tambo yang demikian, juga masih ada sampai sekarang pada zaman kita ini.
Ada baiknya kita kutip apa yang dikatakan Tambo itu sebagai yang dikatakan oleh Sang Guno Dirajo: ”…
Dek lamo bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, yang sagadang talua itiak, sadang dilamun-lamun
ombak…” (sesudah lama berlayar akhirnya kelihatanlah pulau yang sangat kecil kira-kira sebesar telur itik
yang kelihatan hanya timbul tenggelam sesuai denga turun naiknya ombak).
Selanjutnya dikatakan:”…Dek lamo – bakalamoan aia lauik basentak turun, nan gosong lah basentak naiak,
kok dareklah sarupo paco, namun kaba nan bak kian, lorong kapado niniak kito, lah mendarek maso itu, iyo
dipuncak gunuang marapi…” (karena sudah lama berlayar dan pasang sudah mulai surut, gosong yang kecil
tadi makin besar, daratan yang kelihatan itu tak obahnya seperti perca, maka dinamakanlah daratan itu
dengan pulau perca yang akhirnya didarati oleh nenek moyang kita yang mendarat kira-kira di gunung
merapi).
Peristiwa inilah yang digambarkan oleh mamangan adat Minangkabau berbunyi “dari mano titiak palito, dari
telong nan barapi, dari mano asal niniak kito, dari puncah gunuang marapi” (dari mana titik pelita dari telong
yang berapi, dari mana datang nenek kita, dari puncak gunung merapi). Mamangan adat ini sampai sekarang
masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau..
Bagi kita yang menarik dari cerita Tambo ini bukanlah mengenai arti kata-katanya melainkan adalah cerita
itu memberikan indikasi kepada kita tentang nenek moyang orang Minangkabau asalnya datang dari laut,
(dengan berlayar) yang waktunya sangat lama. Kedatangan nenek moyang inilah yang dapat disamakan
dengan masuknya nenek moyang orang Minangkabau. Dengan demikian masuknya nenek moyang orang
Minangkabau dapat diperkirakan waktu kedatangannya: yaitu antara abad kelima sebelum masehi dengan
abad pertama sebelum masehi, sesuai dengan umur kebudayaan megalit itu sendiri.
Kembali kepada permasalahan pokok pada bagian ini, maka menurut Soekomo, tradisi Megalit pada
mulanya merupakan batu yang dipergunakan sebagai lambang untuk memperingati seorang kepala suku.
Sesudah kepala suku itu meninggal, akhirnya peringatan itu berubah menjadi penghormatan yang lambat
laun menjadi tanda pemujaan kepada arwah nenek moyang.
Bagaimana dengan megalit yang terdapat di Minangkabau? Barangkali fungsi pemujaan terhadap arwah
nenek moyang masih tetap berlanjut, seperti Menhir lainnya di Indonesia. Tetapi jika kita hubungkan Menhir
itu dengan kehidupan orang Minangkabau yang berkaitan dengan Medan Nan Bapaneh, yaitu tempat duduk
bermusyawarah dalam masyarakat Minangkabau sudah mulai berkembang pada zaman pra sejarah,
khususnya di zaman berkembangnya tradisi menhir di Minangkabau dan keadaan ini sudah berlangsung
semenjak sebelum abad masehi.
Dari peninggalan menhir dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemuka masyarakat sekarang di
tempat-tempat menhir itu terdapat seperti di Sungai Belantik, Andieng, Kubang Tungkek, Tiakat, Padang
Japang, Limbanang, Talang Anau, Padang Kandih, Balubus, Koto Tangah, Simalanggang, Taeh Baruh,
Talago, Ampang Gadang seperti yang dikatakan oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:
”Bahwa ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama
ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang. Di gelanggang ini dilakukan upacara,
yaitu semacam upacara selamatan untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah
membawa mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu Tagak yang
kemudian kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian berubah fungsi, sebahagian menjadi tanda
penghormatan kepada arwah nenek moyang dan sebahagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita
kenal dengan nama Medan nan Bapaneh”.
Karena sudah ada kehidupan bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat sudah hidup menetap
dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang utama. Hal ini sesuai pula dengan kehidupan
para pendukung kebudayaan Dongsong yang sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra
sejarah Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan ditemui peninggalan-
peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan bertani tersebut.
Diwaktu itu sudah dapat diperkirakan bahwa antara Adat Nan Sabana Adat sudah hidup di tengah-tengah
masyarakat Minangkabau, mengingat akan ajaran adat Minangkabau itu sendiri, yaitu Alam Takambang
jadikan guru. Sedangkan Adat Nan Sabana Adat berisi tentang hukum-hukum alam yang tidak berubah dari
dahulu sampai sekarang seperti dikatakan: Adat api mambaka, adat aia mamabasahi, adat tajam malukoi,
adat runciang mancucuak dan sebagainya (Adat api membakar, adat air membasahi, adat tajam melukai, adat
runcing mencucuk).
Demikian juga dengan Adat Nan Diadatkan sudah ada waktu itu, yaitu sebagai hukum yang berlaku dalam
masyarakat. Barangkali di zaman inilah berlakunya apa yang dikenal dengan hukum adat yang bersifat zalim
dan tidak boleh dibantah yaitu hukum adat yang bernama “Simumbang Jatuah” (simumbang jatuh),
mumbang kalau jatuh tidak dapat dikembalikan ke tempatnya lagi. Selanjutnya juga ada hukum yang
bernama “si gamak-gamak”, yaitu suatu aturan yang tidak dipikirkan masak-masak. Disamping itu juga
terdapat hukum yang dinamakan “Si lamo-lamo” yaitu siapa kuat siapa di atas persis seperti hukum rimba.
Barangkali hukum yang dinamakan “Hukum Tariak Baleh” juga berlaku di zaman ini. Hukum Tariak Baleh
hampir sama dengan hukum Kisas dalam agama Islam, misalnya orang yang membunuh harus di hukum
bunuh pula.
Keempat macam hukum adat itu memang sesuai dengan zamannya dimana belum terlalu banyak
pertimbangan terhadap suatu yang dihadapi dalam kehidupan. Sampai kapan berlakunya hukum ini mungkin
berlangsung sampai masuknya agama Islam pertama ke Minangkabau kira-kira abad ketujuh.
Zaman Purba Minangkabau berakhir dengan masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu kira-kira abad ketujuh,
dimana buat pertama kali di Sumatra Barat sudah didapati kelompok masyarakat Arab tahun 674. Kelompok
masyarakat Arab ini sudah menganut agama Islam, bagaimanapun rendahnya pendidikan waktu itu, tentu
sudah pandai tulis baca, karena ajaran Islam harus diperoleh dari Qur’an dan Hadist Nabi yang semuanya
sudah dituliskan dalam bahasa Arab. Dengan demikian diakhir bahagian ketiga abad ketujuh itu zaman purba
Minangkabau sudah berakhir.

A.2. Zaman Mula Sejarah Minangkabau


Yang dimaksud dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang meliputi kurun waktu antara
abad pertama Masehi dengan abad ketujuh. Dalam masa tersebut masa pra Sejarah masih berlanjut, tetapi
masa itu dilengkapi dengan adanya berita-berita tertulis tertua mengenai Minangkabau seperti istilah San-Fo
Tsi dari berita Cina yang dapat dibaca sebagai Tambesi yang terdapat di Jambi. Di daerah Indonesia lainnya
juga sudah terdapat berita atau tulisan seperti kerajaan Mulawarman di Kutai Kalimantan dan Tarumanegara
di Jawa Barat. Namun dari berita-berita itu belum banyak yang dapat kita ambil sebagai bahan untuk
menyusun sebuah ceritera sejarah, karena memang masih sangat sedikit sekali dan masing-masingnya
seakan-akan berdiri sendiri tanpa ada hubungan sama sekali. Untuk zaman ini Soekomono memberikan
nama zaman Proto Sejarah Indonesia, yaitu peralihan dari zaman Prasejarah ke zaman sejarah.
Berita dai Tambo dan ceritera rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara semu mengenai hal ini,
yaitu hanya menyebutkan tentang kehidupan orang Minangkabau zaman dahulu. Dalam hal ini Tambo
mengemukakan sebagai berikut: ”…tak kalo maso dahulu…”…(Diwaktu zaman dahulu),. ”…dari tahun
musim baganti, dek zaman tuka – batuka, dek lamo maso nan talampau, tahun jo musim nan balansuang…”
(Karena tahun musim berganti, karena zaman bertukar-tukar, karena masa yang telah lewat, tahun dengan
musim yang berlangsung),”… Antah barapo kalamonyo…”(entah berapa lamanya), dari ungkapan waktu
yang demikian memang sulit sekali menentukan kapan terjadinya. Pengertian zaman dahulu itu saja sudah
mengandung banyak kemungkinan tafsiran dan sangat relatif.
Barangkali kehidupan zaman mula sejarah Minangkabau ini hampir sama dengan kehidupan pada zaman Pra
sejarahnya, hanya saja di akhir zaman mula sejarah ini agama Islam sudah masuk ke Minangkabau dan sudah
ada berita-berita dari Cina. Dapat dikatakan, bahwa cerita sejarah untuk zaman mula sejarah Minangkabau
ini sangat sedikit sekali, bahkan dapat dikatakan merupakan zaman yang paling gelap dalam sejarah
Minangkabau. Demikian gelapnya untuk menghubungkan zaman Pra Sejarah dengan zaman sejarahnya kita
tidak mempunyai sumber sama sekali, bukan lagi kabur, tetapi sudah gelap gulita.

A.3. Zaman Minangkabau Timur


Istilah ini dipinjam dari istilah yang dikemukakan oleh Drs. M. D. Mansoer dkk, dalam bukunya, Sejarah
Minangkabau, dikatakannya Minangkabau mengalami dua periode, yaitu periode Minangkabau Timur yang
berlangsung antara abad ketujuh sampai kira-kira tahun 1350 dan periode Minangkabau Pagaruyung antara
tahun 1347-1809.
Dikatakannya, bahwa kerajaan-kerajaan lama, pusat perdagangan lada, pusat perekonomian, politik dan
budaya yang pertama timbul dan berkembang di Minangkabau adalah di lembah aliran Batang Hari dan
Sungai Dareh. Daerah itu berkembang pada abad ke tujuh sampai pertengahan abad keempat belas.
Secara geografis memang pantai timur pulau Sumatera lebih memungkinkan untuk dilayari oleh kapal-kapal
dagang yang dapat berlayar sampai masuk jauh kepedalaman. Daerah pantai Sumatera Timur ini pulalah
yangdahulu didatangi oleh nenek moyang orang Minangkabau yang berlayar sampai ke daerah Mahat di
Kabupaten Lima Puluh Kota sebelah Utara. Pedagang-pedagang Islam yang mula-mula ke Minangkabau
juga melalui daerah ini, sehingga perdagangan diwaktu periode Minangkabau ini menjadi sangat ramai
sekali, bukan itu saja, Islam pertama pun masuk dari sini, baik yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari
Arab sendiri, maupun yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Persia, Hindustan, Cina, India dan lain-
lain.
Pada permulaan abad Masehi perpindahan bangsa-bangsa dari utara ke selatan telah berakhir. Mereka telah
menetap di sepanjang pantai kepulauan Nusantara. Setelah mereka menempati kepulauan Nusantara dan
hidup secara terpisah, akhirnya karena lingkungan alam kehidupan bahasa yang mereka pergunakan pun
mengalami perubahan seperti yang kita kenal sekarang dengan suku-suku bangsa Minangkabau, Jawa, Bugis,
Madura, Sunda, Bali dan lain-lain.
Pada zaman purbakala, di Asia terdapat dua jalan perdagangan yang ramai antara Barat dan Timur, yaitu
melalui darat dan laut, jalan yang melalui darat disebut jalan Sutera, mulai dari daratan Cina melalui Asia
Tengah sampai ke Laut Tengah. Perhubungan darat ini sudah mulai semenjak abad kelima sebelum Masehi.
Waktu dimulainya perpindahan bangsa Melayu Muda ke arah selatan. Perhubungan darat ini terutama
menghubungkan antara Cina dengan Benua Eropah (Romawi) diwaktu itu dibawah raja Iskandar Zulkarnain
dan selanjutnya dengan menyinggahi daerah sepanjang perjalanan seperti India, Persia dan lain-lain.
Perhubungan laut ialah dari Cina dan Indonesia melalui selat Malaka terus ke Teluk Persia dan Laut Tengah.
Perhubungan laut ini menjadi sangat ramai pada awal abad pertama Masehi, karena jalan darat mulai tidak
aman lagi. Sejak waktu itulah daerah-daerah di Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa menjadi
daerah perhubungan antara perdagangan Arab, India dan Cina. Keadaan ini memungkinkan pedagang-
pedagang Indonesia, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang Minangkabau ikut aktif berdagang.
Dengan aktifnya pedagang-pedagang Minangkabau dalam perdagangan dengan India, maka terbuka pulalah
perhubungan antara kebudayaannya. Dari sini dapat kita lihat masuknya pengaruh Hindu ke Minangkabau
melalui daerah pantai timur pulau Sumatera. Dalam abad kedua setelah Indonesia mempunyai perhubungan
dengan India dan selama enam abad berturut-turut pengaruh Hindu di Indonesia besar sekali.
Jadi karena keadaan, pedagang-pedagang Minangkabau ikut terlibat dalam kancah lalu lintas perdagangan
yang ramai di Asia. Keadaan itu pulalah yang menyebabkan Minangkabau di daerah aslinya sendiri yang
jauh terletak di pedalaman.
Karena selat Malaka sangat ramai dilalui oleh kapal-kapal dagang dari Cina dan India maka salah satu
bandar diselat itu bertumbuh dengan pesatnya sehingga akhirnya umbuh menjadi kerajaan Melayu. Kerajaan
Melayu ini menurut para ahli berpusat di daerah Jambi yang sekarang dan diperkirakan berdirinya pada awal
abad ketujuh Masehi. Nama Melayu pertama kalinya muncul dalam cerita Cina. Dalam buku Tseh Fu-ji
Kwei diterangkan bahwa pada tahun 664 dan 665 kerajaan Melayu mengirimkan utusan kenegeri Cina untuk
mempersembahkan hasilnya pada raja Cina. Pada waktu itu daerah Minangkabau merupakan daerah
penghasil merica yang utama di dunia.
Rupanya Minangkabau Timur tidak lama memegang peranan dalam perdagangan di Selat Malaka, kareana
sesudah muncul kerajaan Melayu dan kemudian sesudah kerajaan Melayu jatuh di bawah kekuasaan
Sriwijaya, Minangkabau Timur menjadi bahagian dari kerajan Sriwijaya.
Dengan berdirinya kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya kelihatan peranan Minangkabau Timur tidak ada
lagi, karena berita-berita dari Cina hanya ada menyebut tentang Melayu dan Sriwijaya saja.
Dalam satu buku yang disusun oleh It-Tsing dapat kita ketahui bahwa dalam tahun 690 Masehi, Sriwijaya
meluaskan daerah kekuasaannya dan kerajaan Melayu dapat ditaklukannya sebelum tahun 692 Masehi.
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai, negara perniagaan dan perdagangan internasional
dari Asia Timur ke Asia Barat. Selama lebih kurang enam abad kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan
utama di daerah nusantara waktu itu. Namun sementara itu di Jawa mulai timbul kerajaan-kerajaan baru yang
lama-kelamaan menjadi saingan utama dari kerajaan Sriwijawa dalam merebut hegemoni perdagangan di
wilayah nusantara yang menyebabkan lemahnya Sriwijaya.
Dalam hal ini lawan kerajaan Sriwijaya yang utama adalah kerajaan Kediri di Jawa Timur dan Kerajaan
Colamandala di India selatan. Dari kelemahan Sriwijaya itu, rupanya kerajaan Melayu dapat melepaskan diri
dari Sriwijaya dan dapat memperkuat diri kembali dengan memindahkan ibu kota kerajaan ke daerah hulu
Sungai Batang Hari. Kerajaannya dinamakan dengan Darmasraya. Hal ini dapat diketahui dari prasasti
Padang Candi tahun 1286 yang terdapat di Sungai Langsat Si Guntur dekat Sungai Dareh dalam Propinsi
Sumatera Barat sekarang.
Pada tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari (kerajaan yang menggantikan kekuasaan Kediri
di Jawa Timur) mengirimkan suatu ekspedisi militer ke Sumatera dalam rangka melemahkan kekuasaan
Sriwijaya dan memperluas pengaruhnya di Nusantara. Ekspedisi ini dikenal dalam sejarah Indonesia dengan
nama ekspedisi Pamalayu.
Sebagai hasil dari ekspedisi itu, maka Kertanegara pada tahun 1286 mengirimkan acara Amogapasa ke
Sumatera sebagai hadiah untuk raja dan rakyat kerajaan Melayu. Dengan kejadian ini dapat diartikan, bahwa
semenjak peristiwa itu kerajaan Melayu sudah mengikuti kerajaan Singosari dan menjadi daerah tumpuan
untuk menghadapi kemungkinan serangan dari negeri Cina akibat peristiwa penghinaan terhadap utusan Cina
sebelumnya.
A.4. Maharajo Dirajo
Dalam hal ini timbul suatu kontradiksi keterangan-keterangan, yaitu nama Maharajo Dirajo sudah disebutkan
sebelumnya sebagai salah seorang panglima Iskandar Zulkarnain yang tugaskan menguasai Pulau Emas.
Kalau memang demikian keadaannya, lalu bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang kita bicarakan
ini yang waktunya sudah sangat jauh berbeda. Dalam hal ini kita tidak dapat memberikan jawaban yang
pasti. Maharajo Dirajo yang sudah kita bicarakan hanya merupakan perkiraan saja dan belum tentu benar.
Tetapi berdasarkan logika berfikir kira-kira diwaktu itulah hidupnya Maharajo Dirajo jika dihubungkan
dengan nama Iskandar Zulkarnain. Sedangkan Maharajo Dirajo yang sedang dibicarakan sekarang ini adalah
seperti yang dikatakan Tambo Alam Minangkabau yang mana yang benar perlu penelitian lebih lanjut.
Dalam kesempatan ini kita hanya ingin memperlihatkan betapa rawannya penafsiran dari data yang diberikan
Tambo Alam Minangkabau.
Maharajo Dirajo yang sekarang dibicarakan adalah Maharajo Dirajo seperti yang dikatakan Tambo. Dalam
hal ini kita ingin mengangkat data dari Tambo menjadi Fakta sejarah Minangkabau.
Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu Maharajo Alif, Maharajo
Dipang, dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi), tetapi Josselin de Jong
mengatakan, menjadi raja di Turki. Maharajo Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharajo
Dirajo menjadi raja di Pulau Emas (Sumatera).
Kalau kita melihat kalimat-kalimat Tambo sendiri, maka dikatakan sebagai berikut: “…Tatkala maso dahulu,
batigo rajo naiek nobat, nan sorang Maharajo Alif, nan pai ka banua Ruhun, nan sorang Maharajo Dipang
nan pai ka Nagari Cino, nan sorang Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko…” (pada masa dahulu
kala, ada tiga orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke negeri Ruhun,
yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina, dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang
menepat ke pulau Sumatera).
Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka tahunnya hanya dengan istilah “Masa dahulu kala”
itulah yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama sekali,
sedangkan waktu yang mencakup zaman dahulu kala itu sangat banyak sekali dan tidak ada kepastiannya.
Kita hanya akan bertanya-tanya atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat jawaban yang pasti. Di
kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar, tetapi raja mana yang dimaksudkan
oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka
tahun selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.
Percantuman raja Romawi dalam Tambo menurut hemat kita hanya usaha dari pembuat Tambo untuk
menyetarakan kemasyhuran raja Minangkabau dengan nama raja di luar negeri yang memang sudah sangat
terkenal di seantero penjuru dunia.
Dengan mensejajarkan kedudukan raja-raja Minangkabau dengan raja yang sangat terkenal itu maka
pandangan rakyat Minangkabau terhadap rajanya sendiri akan semakin tinggi pula. Disini kita bertemu
dengan satu kebiasaan dunia Timur untuk mendongengkan tuah kebesaran rajanya kepada anak cucunya.
Gelar Maharajo Dirajo sendiri terlepas ada tidaknya raja tersebut, menunjukan kebesaran kekuasaan rajanya,
karena istilah itu berarti penguasa sekalian raja-raja yang tunduk di bawah kekuasaannya. Josselin de Jong
mengatakan Lord of the Word atau Raja Dunia.
Dalam sejarah Indonesia gelar Maharaja Diraja tidak hanya menjadi milik orang Minangkabau saja,
melainkan juga ada raja lain yang bergelar demikian seperti Karta Negara dari Singasari dengan gelar
Maharaja Diraja seperti yang tertulis pada arca Amogapasa tahun 1286 sebagai atasan dari Darmasraya yang
bernama raja Tribuana.
Tambo mengatakan bahwa Maharajo Dirajo adalah raja Minangkabau pertama. Tetapi ada pendapat lain
yang mengatakan bahwa Srimaharaja Diraja yang disebut dalam tambo sebagai raja Minangkabau yang
pertama itu tidak lain dari Adityawarman sendiri yang menyebut dirinya dengan Maraja Diraja. Tentang
Adityawarman mempergunakan gelar Maharaja Diraja memang semua ahli sudah sependapat, karena
Adityawarman sendiri telah menulis demikian dalam prasasti Pagaruyung.
Dari gelar Maharaja Diraja yang dipakai Adityawarman menunjukan kepada kita bahwa sewaktu
Adityawarman berkuasa di Minangkabau tidak ada lagi kekuasaan lain yang ada di atasnya, atau dengan
perkataan lain dapat dikatakan pada waktu itu Minangkabau sudah berdiri sendiri, tidak berada di bawah
kekuasaan Majapahit atau sudah melepaskan diri dari Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah ahli waris dari
Singasari. Sedangkan Singasari pernah menundukkan melayu Darmasraya, tentu berada di bawah kekuasaan
Singasari – Majapahit itu, maka untuk melepaskan diri dari Singasari – Majapahit itu Adiyawarman
memindahkan pusat kekuasaannya kepedalaman Minangkabau dan menyatakan tidak ada lagi yang berkuasa
di atasnya dengan memakai gelar Maharaja Diraja.
Ada sesuatu pertanyaan kecil yang perlu dijawab, yaitu apakah tidak ada lagi kemungkinan bahwa gelar
Maharajo Dirajo itu merupakan gelar keturunan bagi raja-raja Minangkabau, sehingga diwaktu
Adityawarman menjadi raja di Minangkabau dia merasa perlu mempergunakan gelar tersebut agar dihormati
oleh rakyat Minangkabau. Kalau memang demikian, maka kita akan dapat menghubungkannya dengan
Maharajo Dirajo yang kita bicarakan kehidupannya sebelum abad Masehi. Tetapi hal ini kembali hanya
berupa dugaan saja yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Kalau kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Maharaja Diraja itu sama dengan Adityawarman,
maka satu kepastian dapat dikatakan bahwa kerajaan Minangkabau baru bermula pad tahun 1347, yaitu pada
waktu Adityawarman menjadi raja di Minangkabau yang berpusat di Pagaruyuang. Logikanya tentu sebelum
Adityawarman, belum ada raja di Minangkabau, kalau ada baru merupakan daerah-daerahyang dikuasai oleh
seorang kepala suku saja. Kalau pendapat itu tidak dapat diterima kebenarannya, maka tokoh Maharajo
Dirajo yang disebut di dalam Tambo itu masih tetap merupakan seorang tokoh legendaris dalam sejarah
Minangkabau dan hal ini akan tetap mengundang bermacam-macam pertanyaan yang pro dan kontra.
Kemungkinan gelar Maharajo sudah dipergunakan sebelum kedatangan Adityawarman memang ada. Tetapi
apakah gelar itu merupakan gelar keturunan dari raja-raja Minangkabau masih belum lagi dapat diketahui
dengan pasti. Yang jelas pada waktu sekarang ini, banyak gelar para penghulu di Sumatera Barat yang
memakai gelar Maharajo sebagai gelar kepenghulunya disamping nama lainnya, seperti Dt. Maharajo, Dt.
Marajo, Dt. Maharajo Basa, Dt. Maharajo Dirajo.
Kelihatan gelar tersebut dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai gelar pusaka yang turun-
menurun. Sebaliknya raja-raja Pagaruyung sendiri tidak mempergunakan gelar tersebut sebagai pusaka
kerajaannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gelar Maharajo Dirajo tersebut merupakan gelar pusaka
Minangkabau dan sudah ada sebelum Adityawarman menjadi raja di Pagaruyung. Barangkali memang gelar
itu diturunkan dari Maharajo dirajo seperti disebutkan dalam Tambo itu.
A.5. Suri Dirajo, Cati Bilang Pandai Dan Indo Jati
Ketiga nama ini hanya terdapat dalam Tambo atau kaba yang banyak terdapat dalam masyarakat Sumatera
Barat sekarang ini. Dari situlah bersumbernya ketiga nama tersebut, sedangkan sumber-sumber sejarah
lainnya seperti prasasti dan tulisan lainnya tidak ada menyebut ketiga nama tersebut. Namun, sama halnya
dengan nama Iskandar Zulkarnaen rakyat Sumatera Barat mempercayai ketiga nama tersebut sebagai cikal
bakal orang Minangkabau.
Menurut Tambo Zuriat Sultan Iskandar Zulkarnaen, sewaktu Maharajo bertolak dari Tanah Basa, (India
Selatan) memimpin satu rombongan yang terdiri dari: Suri Dirajo, Indo Jati, Cati bilang Pandai, dan
beberapa rombongan dari Campa, Siam, Kambai dan lain-lain berlayar mengarungi lautan Indonesia lalu
menetap ke gunung Merapi. P. E. Josselin de Jong juga menyebutkan nama Cati Bilang Pandai sebagai
penasehat dari Maharajo.
Perlu dijelaskan bahwa nama Indo Jati sering disebutkan dengan sebutan yang berbeda, walaupun orangnya
itu juga. Hamka menyebutkan dengan nama Indo Jelita atau dengan nama lain Ceti Reno Sudah. PE Josselin
de Jong menyebut dengan nama Indo Calita. Sedangkan untuk kedua nama yang lain tidak ada perbedaan
sebutan. Sekarang timbul pertanyaan: Apakah ketiga nama itu betul-betul merupakan nenek moyang orang
Minangkabau di zaman dahulu dengan pengertian benar-benar ada dalam sejarah Minangkabau.
Jawabannnya mudah saja, karena tidak ada bukti-bukti lain yang akan mendukung, maka secara historis
ketiga tokoh ini hanya merupakan tokoh legendaris belaka dalam sejarah Minangkabau. Keberadaannya
sebagai tokoh sejarah tidak dapat dibuktikan.
Namun demikian, hampir semua Tambo Minangkabau sependapat mengatakan bahwa Suri Dirajo dan Cati
Bilang Pandai adalah tokoh yang melambangkan orang pandai, ahli pikir, baik di bidang pemerintahan
maupun di bidang kemasyarakatan. Segala sesuatu yang dikerjakan, terlebih dahulu harus mendapat
persetujuan dari salah seorang kedua tokoh itu, demikian besar pengaruhnya di samping Maharajo Dirajo
sendiri.
Sedangkan menurut Hamka, tokoh Indo Jati yang disebutnya sebagai Indra Jati melambangkan sesuatu yang
luhur asal-usulnya. Dalam kepercayaan Hindu nama Indra adalah nama seorang dewa yang merupakan salah
seorang dewa utama Trimurti. Indra adalah salah satu penjelmaan Wisnu sebagai Dewa Matahari. Gelar
dewa jelas menunjukkan seorang kesatria yang berdarah luhur. Jadi tokoh Indo Jati adalah salah seorang
tokoh wanita kesatria dari rombongan Maharajo Dirajo.
A.6. Datuk Ketumanggungan Dan Datuk Perpatih Nan Sabatang
Siapa tokoh ini?. Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris sejarah Minangkabau?. Atau apakah
keduanya merupakan tokoh historis sejarah Minangkabau yang benar-benar ada dan hidup dalam sejarah
Minangkabau pada masa dahulu. Penjelasan berikut ini dapat menjawab beberapa pertanyaan itu.
Suku bangsa Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan penuh keyakinan, bahwa
kedua orang tokoh itu merupakan pendiri Adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang
masih hidup subur di dalam masyarakat Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat sendiri maupun
yang ada diperantauan.
Demikian kokohnya sendi-sendi kedua adat itu sehingga tidak dapat digoyahkan oleh bermacam-macam
pengaruh dari luar, dengan pengertian akan segera mengadakan reaksi membalik apabila terjadi perbenturan
terhadap unsur-unsur pokok adat itu. Hal ini telah dibuktikan oleh perputaran masa terhadap kedua adat itu.
Ada petunjuk bagi kita bahwa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah Minangkabau. Pitono
mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh
adat Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan tokoh Dewa Tuhan Perpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu
tokoh yang sama.
Dijelaskan selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai salah seorang terkemuka
dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang
terdapat di Padang Candi itu adalah sama dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.
Kalau pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa tokoh Datuk Perpatih Nan Sabatang
itu adalah merupakan salah seorang tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, karena namanya juga tertulis
pada salah satu prasasti sebagai peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada.
Bukti lain mengenai kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah Minangkabau adalah dengan adanya Batu
Batikam di Dusun Tuo Lima Kaum, Batusangkar. Dikatakan dalam Tambo, bahwa sebagai tanda persetujuan
antara Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang
menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini sebagai peringatan bagi anak cucunya dikemudian hari.
Sebelum peristiwa ini terjadi antara kedua tokoh adat itu terjadi sedikit kesalah pahaman. Adanya Batu
Batikam itu yang sampai sekarang masih terawat dengan baik, dan ini membuktikan kepada kita bahwa
kedua tokoh itu memang ada dalam sejarah Minangkabau, bukan sekedar sebagai tokoh dongeng saja
sebagaimana banyak ahli-ahli barat mengatakannya.
Bukti lain dalam hikayat raja-raja Pasai. Dikatakan bahwa dalam salah satu perundingan dengan Gajah Mada
yang berhadapan dari Minangkabau adalah Datuk Perpatih Nan Sabantang tersebut. Hal ini membuktikan
pula akan kehadiran tokoh itu dalam sejarah Minangkabau.
Di Negeri Sembilan, sebagai bekas daerah rantau Minangkabau seperti dikatakan Tambo, sampai sekarang
juga dikenal Adat Perpatih. Malahan peraturan adat yang berlaku di rantau sama dengan peraturan adat yang
berlaku di daerah asalnya. Hal ini juga merupakan petunjuk tentang kehadiran Datuk Parpatih Nan
Sabantang dalam sejarah Minangkabau. Menurut pendiri adat Koto Piliang oleh Datuk Ketumanggungan dan
Adat Budi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Sesudah ternyata terbukti bahwa kedua tokoh itu benar-benar hadir dalam sejarah Minangkabau, maka ada
hal sedikit yang kurang benar yang dikemukakan oleh Pinoto. Dia mengatakan bahwa kedua tokoh itu
merupakan pembesar dengan kedudukan menteri dalam kerajaan Adiyawarman. Tetapi pencantuman kedua
tokoh itu dalam Prasasti Adityawarman tidaklah berarti bahwa menjadi menterinya, melainkan untuk
menghormatinya, karena sebelum Adityawarman datang, kedua tokoh itu sudah ada di Minangkabau yang
sangat dihormati oleh rakyatnya. Maka oleh Adityawarman untuk menghormati kedudukan kedua tokoh itu
dicantumkan nama mereka pada prasastinya. Tidak sembarang orang yang dapat dicantumkan di dalam
prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul sangat terhormat.
Walaupun Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan sudah merupakan tokoh historis dalam
sejarah Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti yang dikemukakan, akan tetapi keduanya bukanlah
merupakan raja Minangkabau, melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang
hidup dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini, yaitu adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago, bagi
masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang sedemikian, jauh lebih tinggi martabatnya dari kedudukan
seorang raja yang manapun.
Antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan adalah dua orang bersaudara satu Ibu
berlainan Ayah. Karena ada sedikit perbedaan dari apa yang dikatakan Tambo mengenai siapa ayah dan ibu
dari kedua orang itu, rasanya pada kesempatan ini tidak perlu dibicarakan perbedaan itu. Tetapi dari apa yang
dikatakan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa ayah Datuk Ketumanggungan adalah suami pertama ibunya
(Indo Jati). Berasal dari yang berdarah luhur atau dari keturunan raja-raja. Sedangkan ayah dari Datuk
Parpatih Nan Sabatang adalah Cati Bilang Pandai suami kedua ibunya yang berasal dari India Selatan juga.
Perbedaan darah leluhur dari keduanya itu menyebabkan nantinya ada sedikit perbedaan dalam ajaran yang
disusun mereka. Kesimpulannya adalah bahwa kedua orang itu yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk
Parpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, bukan tokoh legendaris
sebagaimana yang dianggap oleh kebanyakan penulis-penulis barat.
A.7. Masa Pemerintahan Adityawarman
Adityawarman bukan raja di Minangkabau, melainkan adalah raja di kerajaan Pagaruyung yang merupakan
salah satu periode dari sejarah Minangkabau yang sangat panjang. Agar tidak mendatangkan keraguan
kepada kita, maka kerajaan yang diperintahkan oleh Adityawarman kita namai kerajaan Pagaruyung saja.
Untuk mengetahui siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil dari ekspedisi Pamalayu
oleh Kartanegara pada tahun 1275, bukan hasil secara keseluruhan melainkan hasil yang berhubungan
dengan asal-usul Adityawarman saja.
Setelah ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu rombongan ekspedisi kembali ke Jawa, mereka membawa Dara
Jingga dan Dara Petak. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah diganti oleh kerajaan Majapahit. Maka
Dara Petak diambil sebagai selir oleh Raden Wijaya yang menjadi raja pertama kerajaan Majapahit. Dari
perkawinan ini nanti akan melahirkan seorang putra yang pada waktunya akan menjadi raja di Majapahit.
Puteranya tersebut bernama Jayanegara.
Dara Jingga kawin dengan salah seorang pembesar kerajaan Majapahit dan melahirkan seorang putera yang
nama kecilnya. Aji Mantrolot. Aji Mantrolot ini yang kemudian dikenal sebagai Adityawarman. Dengan
demikian Adityawarman merupakan keturunan dari dua darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan
Sumatera dan satu darah bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua yaitu Jayanegara adalah saudara
sepupu dari Adityawarman.
Mengenai asal-usul Adityawarman ini, Muhammad Yamin mengatakan bahwa Adityawarman berasal dari
tanah Minangkabau di Pulau Sumatera. Tempat lahirnya terletak di Siguntur dekat nagari Sijunjung. Diwaktu
muda dia berangkat ke Majapahit, tempat dia dididik disekeliling pusat pemerintahan dalam suasan keraton
Majapahit. Kesempatan yang diperdapatnya itu berasal dari turunannya. Ayah bundanya mempunyai
hubungan darah dengan permaisuri raja Majapahit yang pertama.
Pendapat Muhammad Yamin mengenai tempat kelahiran Adityawarman dan hubungan kekeluargaannya
dengan Kerajaan Majapahit diperkuat oleh Pinoto yang mengatakan, bahwa Adityawarman adalah seorang
putera Sumatera yang lahir di daerah aliran Sungai Kampar dan besar kemungkinan dalam tubuhnya
mengalir darah Majapahit. Hubungan dengan kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan politis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Adityawarman dilahirkan di Kerajaan Melayu atau
Minangkabau dan dibesarkan di Kerajaan Majapahit. Di keraton Majapahit Adityawarman di didik bersama
saudara sepupunya Jayanegara yang kemudian menjadi raja Majapahit yang kedua. Di keraton Majapahit
kedudukan Adityawarman sangat tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah seorang menteri atau perdana
menteri yang diperolehnya bukan saja karena hubungan darahnya dengan raja Majapahit tetapi juga berkat
kecakapannya sendiri. Tahun 1325 raja Jayanegara mengirim Adityawarman segbagai utusan ke negeri Cina
yang berkedudukan sebagai duta. Bersama dengan Patih Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas
wilayah kekuasaan Majapahit di Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan pemberontakan
Sadeng dengan suatu perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim kembali menjadi utusan ke negeri Cina
dengan kedudukan sebagai duta. Pada tahun 1334 Adityawarman pulang kembali ke negeri asalnya. Karena
dengan lahir dan menjadi besarnya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman utnuk
menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat.
Adityawarman adalah cucu dari raja Melayu karena ibunya Dara Jingga adalah anak Tribuana raja
Mauliwarmadewa, raja kerajaan Melayu. Oleh karena itu, Adityawarman berhak atas takhta kerajaan Melayu
tersebut. Timbulnya keinginan Adityawarman untuk mendirikan kerajaan Melayu yang mandiri, disebabkan
karena kegagalan usaha patih Gajah Mada menguasai selat malaka. Pada tahun 1347 Adityawarman menjadi
raja kerajaan Melayu yang dipusatkan di Darmasraya. Hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti yang
dipahatkan pada bagian belakan arca Amogapasa dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu Adityawarman
memakai nama : “Udayadityawarman Pratakramarajendra Mauliwarmadewa” dan bergelar “Maharaja
Diraja” dengan memakai gelar tersebut rupanya Adityawarman hendak menyatakan bahwa dia merupakan
raja yang berdiri sendiri dan tidak ada lagi raja yang berada di atasnya. Dengan demikian dia sudah bebas
dari Majapahit. Sebagai realisasi dari pernyataan tersebut, maka Adityawarman pada tahun 1349
memindahkan pusat kerajaan dari Darmasraya ke Pagaruyung di Batusangkar.
Selama pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa kerajaan Pagaruyung ke puncak kejayaannya.
Dalam usaha memajukan kerajaan itu Adityawarman mengadakan hubungan dengan luar negeri, yaitu
dengan Cina. Tahun 1357, 1375, 1376 Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Selama masa
pemerintahannya di Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai 1376, kerajaan Pagaruyung
berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat dikatakan pada waktu itu Indonesia bagian barat dikuasai
kerajaan Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit.
Adityawarman sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di Majapahit serta telah pula pernah menjabat
beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, tentulah paham betul dengan seluk beluk pemerintahan di
Majapahit. Dengan demikian corak pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada
corak pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung. Hal ini ternyata pada prasasti yang ditinggalkan
Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang oleh Pinoto dibaca Datuk
Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.
Menurut Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung, sedangkan daerah lain di
Minangkabau masih tetap berada dibawah pengawasan Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk
ketumanggungan dengan pemerintahan adatnya. Dengan demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat
dianggap sebagai lambang kekuasaan saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya tetap berada di tangan kedua
tokoh pemimpin adat tersebut, sehingga hal ini menyebabkan kemudian pengaruh budha yang dibawa ke
Pagaruyung tidak dapat tempat di hati rakyat Minangkabau, karena prinsipnya rakyat Minangkabau sendiri
secara langsung tidak berkenalan dengan pengaruh-pengaruh tersebut. Disamping itu, selama menjadi raja
Pagaruyung yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau tetap hukum Adat Koto Piliang dan Bodi
Caniago. Dalam hal ini Tambo mengatakan bahwa Adityawarman walaupun sudah menjadi raja yang besar,
tetap saja merupakan seorang sumando di Minangkabau, artinya kekuasaannya sangat terbatas.
Barangkali hal ini memang disengaja oleh Datuk yang berdua itu, mengingat pada mulanya kekuasaan
Adityawarman yang sangat besar sekali. Agar kehidupan masyarakat Minangkabau jangan terpengaruh oleh
kebiasaan yang dibawa oleh Adityawarman maka kedua Datuk itu memagarinya dengan pengaturan
kekuasaan, Adityawarman boleh menjadi raja yang sangat besar, tetapi kekuasaannya hanya terbatas di
sekitar istana saja, sedangkan kekuasaan langsung terhadap masyarakat tetap dipegang oleh mereka. Sesudah
meninggalnya Adityawarman yang memang merupakan seorang raja yang besar dan kuat, kekuasaan
kerajaan Pagaruyung mulai luntur. Kelihatannya dengan pengaturan yang dilakukan oleh Datuk Perpatih Nan
Sabatang berdua dengan Datuk Ketumanggungan tidak memberi kesempatan kepada pengganti
Adityawarman yang menganut agama budha untuk berkuasa seterusnya.
Adityawarman sebagai raja Pagaruyung merupakan seorang raja yang paling banyak meninggalkan prasasti.
Hampir dua puluh buah prasasti yang ditinggalkannya. Diantaranya yang telah dibaca seperti Prasasti Arca
Amogapasa, Kuburajo, Saruaso I dan II, Pagaruyung, Kapalo Bukit Gambak I dan II, Banda Bapahek, dan
masih banyak lagi yang belum dapat dibaca.
Diantara yang telah dapat dibaca itu menyatakan kebesaran dan kemegahan kerajaan Pagaruyung, barangkali
diantara raja-raja yang pernah ada di Indonesia tidak ada seorang pun yang pernah meninggalkan prasasti
sebanyak yang telah ditinggalkan oleh Adityawarman. Sayangnya di Minangkabau kebiasaan seperti itu
hanya dilakukan oleh Adityawarman seorang raja. Sebelum dan sesudahnya Adityawarman tidak ada yang
membiasakan sehingga sampai sekarang kebanyakan data sejarah Minangkabau agak gelap.
Sesudah Adityawarman meninggal kerajaan Pagaruyung yang tidak lagi mempunyai raja yang merupakan
keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan Ananggawarman yang dikatakan dalam salah satu
prasasti Adityawarman sebagai anaknya tidak pernah memerintah, karena kekuasaan Adityawarman
langsung digantikan oleh Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam. Dari sebutan raja itu saja, kelihatannya
sesudah Adityawarman raja yang menggantikannya sudah menganut agama Islam.
Adanya Sultan Bakilap Alam sebagai raja Minangkabau Pagaruyung dijelaskan oleh Tambo Minangkabau.
Dengan sudah dianutnya agama Islam oleh pengganti Adityawarman, maka hilang pulalah pengaruh agama
Budha yang dianut Adityawarman di Minangkabau.
Sampai dengan pertengahan abad ke-16 sesudah Adityawarman kita tidak memperoleh keterangan yang
lengkap mengenai kerajaan Pagaruyung. Rupanya sesudah Adityawarman meninggal, kerajaan Majapahit
kembali berusaha untuk menguasai Pagaruyung serata Selat Malaka. Tetapi usaha tersebut gagal kaena
angkatan perang kerajaan Majapahit yang datang dari arah pantai timur dikalahkan oleh tentara Pagaruyung
dalam pertempuran di Padang Sibusuk tahun 1409.
Akibat pertempuran Padang Sibusuk itu membawa akibat yang sangat besar dalam struktur pemerintahan
kerajaan Pagaruyung selanjutnya. Semasa Adityawarman menjadi raja, pemerintahan bersifat sentralisasi
menurut sistem di Majapahit. Tetapi sesudah pertempuran Padang Sibusuk itu, nagari-nagai di Minangkabau
membebaskan diri dari kekuasaan yang berpusat di Pagaruyung.
A.8. Kerajaan Pagaruyung Sesudah Adityawarman
Dari berita Tambo Pagaruyung dapat diketahui bagaiman keadaan Pagaruyung sesudah Adiyawarman
demikian pula wawancara dengan S.M. Taufik Thaib SH. Dikatakan mengenai silisilah raja-raja Pagaruyung
adalah sebagai berikut:
1. Adityawarman (1339-1376)
2. Ananggawarman (1376)
3. Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam
4. Yang Dipertuan Sultan Pasambahan
5. Yang Dipertuan Sultan Alif gelar Khalifafullah
6. Yang Dipertuan Sultan Barandangan
7. Yang Dipertuan Sultan Patah (Sultan Muning II)
8. Yang Dipertuan Sultan Muning III
9. Yang Dipertuan Sultan Sembahwang
10.Yang Dipertuan Sultan Bagagar Syah
11.Yang Dipertuan Gadih Reni Sumpur 1912
12.Yang Dipertuan Gadih Mudo (1912-1915)
13.Sultan Ibrahim 1915-1943 gelar Tuanku Ketek
14.Drs. Sultan Usman 1943 (Kepala Kaum Keluarga Raja Pagaruyung)
Dari data ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sesudah Adityawarman raja-raja di Pagaruyung sudah
menganut agama Islam sesuai dengan sebutan Sultan (pengaruh Islam).
Bila Sultan Bakilap Alam memerintah tidak disebutkan oleh tambo tersebut, tetapi dapat diperkirakan
sesudah tahun 1409, karena sampai 1409 pemerintahan Pagaruyung masih bersifat sentralisasi seperti
sewaktu pemerintahan Adityawarman. Sesudah tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah desentralisasi
dengan pengertian bahwa nagari-nagari sudah mempunyai otonom penuh dan pemerintahan di Pagaruyung
sudah mulai melemah.
Selanjutnya dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari terlihat adanya dua tingkat pemerintahan
yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo Tigo Selo dimaksudkan adalah tiga orang raja yang
sekaligus berkuasa di bidang masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk
pimpinan, Raja Adat berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas kerajaan dibidang adat. Raja
Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan melaksanakan urusan keagamaan kerajaan. Gambaran ini adalah
lembaga pemerintahan di tingkat raja.
Sedangkan ditingkat Menteri dan Dewan Menteri yang dimaksud dengan Basa Ampek Balai terdiri dari:
1. Bandaro (Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri
2. Tuan Kadi di Padang Ganting yang mengurus masalah Agama
3. Indomo di Saruaso mengurus masalah keuangan
4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan rantau
Masyarakat nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik sampai ketingkat kerajaan. Dibidang adat
dari nagari terus ke Bandaro dan kalau tidak putus juga diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau tidak
putus juga masalahnya diteruskan lagi kepada Raja Alam di Pagaruyung yang akan memberikan kata putus.
Begitu juga dalam bidang agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di Padang Ganting, terus kepada raja
Ibadat di Sumpur Kudus, dan bula tidak selesai juga akhirnya sampai kepada raja Alam yang akan
memberikan kata putusnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk bersama dengan pembentukan Lembaga
Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai bersamaan pula dengan
pengangkatan dan pengiriman “Sultan Nan Salapan” ke daerah rantau Minangkabau yaitu daerah-daerah:
Aceh, Palembang, Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Indra Pura, Rembau Sri Menanti dan
lain-lain. Pengangkatan dan pelantikan itu dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam.
Dalam hal ini Bahar Dt Nagari Basa, mengatakan bahwa Basa Ampek Balai pada mulanya terdiri dari
Bandaro di Sungai Tarap, yang menjadi Payung Panji Koto Piliang; Datuk Makhudum di Sumanik yang
menjadi Pasak Kungkung Koto Piliang; Indomo di Saruaso yang menjadi Amban Puruak (bendahara) Koto
Piliang; Tuan Gadang di Batipuah yang menjadi Harimau Campo Koto Piliang, yaitu Menteri Pertahanan
Koto Piliang. Kemudian setelah Islam masuk ke Minangkabau dimasukkan Tuan Kadhi sebagai anggota
Basa Ampek Balai dan “Tuan Gadang” di Batipuh ke luar dari keanggotaan itu dengan berdiri sendiri sebagai
orang yang bertanggung jawab dalam masalah pertahanan Koto Piliang. Semuanya itu terdapat di Tanah
Datar yang merupakan pucuk pimpinan di Minangkabau. Selanjutnya dikatakan yang menjadi kebesaran
Luhak Agam adalah Parik Paga dan Kebesaran Lima Puluh Kota adalah Penghulu.
Dari keterangan itu yang dapat diambil kesimpulan bahwa Lembaga Basa Ampek Balai sudah ada sebelum
Islam masuk ke Minangkabau dengan bukti seperti yang dikatakan oleh Datuk Nagari Basa dengan susunan
yang sedikit berbeda dari apa yang kita kenal kemudian. Baru sesudah Islam masuk ke Minangkabau
kedudukan Tuan Kadhi diserahkan untuk mengurus masalah agama Islam. Selanjutnya susunan Basa Ampek
Balai dengan Tuan Gadang sudah seperti yang kita kenal sekarang ini.
Mengenai susunan pemerintahan Pagaruyung sesudah Adityawarman ini diuraikan dengan lengkap dalam
cerita Cindua Mato. Cindua Mato (Candra Mata) adalah sebuah cerita rakyat Minangkabau yang
menggambarkan tentang keadaan pemerintahan Minangkabau Pagaruyung di zaman kebesarannya.
Walaupun dalam cerita ini mengenai raja-raja yang diceritakan sudah ada unsur legendanya, tetapi yang
mengenai masalah lainnya sama dengan apa yang dikatakan Tambo.
Menurut Tambo, Basa Ampek Balai pernah memegang kedudukan Raja Alam yaitu sesudah Sultan Alif
meninggal, karena orang yang akan menggantikan Sultan Alih masih belum dewasa. Buat sementara
dipegang oleh Basa Ampek Balai.
A.9. Kedatangan Bangsa Barat Ke Minangkabau
Hubungan Minangkabau dengan bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan bangsa Portugis. Menurut
berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan Melayu yang datang ke Malaka. Kedatangan
utusan tersebut adalah untuk membicarakan masalah perdagangan dengan bangsa Portugis yang waktu itu
menguasai Malaka. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau Sumatera, maka hubungan
dagang dengan Portugis itu terputus.
Dengan bangsa Belanda hubungan Minangkabau terjadi pertama kali kira-kira tahun 1600, diwaktu Pieter
Both memerintahkan Laksamana Muda Van Gaedenn membeli lada ke pantai barat pulau Sumatera. Waktu
itu beberapa pelabuhan yang ada disana menolak permintaan Belanda dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh.
Pada waktu Sultan Iskandar Muda dari kerajaan Aceh meninggal dunia, maka kekuasaan kerajaan Aceh
menjadi lemah, sehingga mulai tahun 1636 sewaktu Iskandar Muda meninggal dunia, daerah-daerah Pesisir
Barat kerajaan Pagaruyung mulai membebaskan diri dari kekuasaan Aceh dan melakukan hubungan dagang
langsung dengan Belanda, seperti yang dilakukan oleh raja-raja Batang Kapas, Salido, Bayang di Pesisir
Selatan.
Pada tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis dan semenjak itu Belanda mulai memperbesar
pengaruhnya di pesisir barat Sumatera untuk menggantikan kerajaan Aceh. Mula-mula Belanda mendirikan
kantor dagangnya di Inderapura terus ke Salido. Kemudian di Pulau Cingkuak juga didirikan lojinya pada
tahun 1664 untuk mengatasi perlawanan rakyat pesisir yang dikoordinir oleh Aceh.
Untuk melepaskan pesisir barat pulau Sumatera dari pengaruh Aceh, maka Belanda melakukan perjanjian
dengan raja Pagaruyung yang merupakan pemilik sesungguhnya dari daerah tersebut. Oleh raja Pagaruyung
Belanda diberikan kebebasan untuk mengatur perdagangannya pada daerah tersebut. Perjanjian itu dilakukan
pihak Belanda dengan Sultan Ahmad Syah pada tahun 1668.
Mulai saat itu Belanda, melangkah selangkah demi selangkah menanamkan pengaruhnya di Sumatera Barat
dengan jalan politik pecah belahnya yang terkenal itu. Disatu pihak mereka menimbulkan perlawanan
rakyatnya terhadap raja atau pemimpinnya sesudah itu mereka datang sebagai juru selamat dengan mendapat
imbalan yang sangat merugikan pihak Minangkabau, sehingga akhirnya seluruh Minangkabau dapat dikuasai
Belanda.
Semenjak abad ke 17 terjadi persaingan dagang yang sangat memuncak antara bangsa Belanda dengan
bangsa Inggris di Indonesia. Pada tahun 1684 Belanda dapat mengusir Inggris berdagang di Banten.
Sebaliknya Inggris masih dapat bertahan di daerah Maluku dan menguasai perdagangan di daerah pesisir
Sumatera Bagian Barat. Pada tahun 1786 berhasil menguasai pulau Penang di Selat Malaka sehingga mereka
dapat mengontrol jalan dagang diseluruh pulau Sumatera. Sumatera mulai dibanjri oleh barang-barang
dagang Inggris. Tentu saja hal ini sangat merugikan pihak Belanda.
Tahun 1780-1784 pecah perang antara Inggris dan Belanda di Eropa. Peperangan ini merambat pula sampai
ke daerah-daerah koloni yang mereka kuasai di seberang lautan. Pada tahun 1781 Inggris menyerang
kedudukan Belanda di Padang dari pusat kedudukannya di Bengkulu, dan Padang serta benteng Belanda di
Pulau Cingkuak di hancurkan.
Dengan demikian pusat perdagangan berpindah ke Bengkulu. Setelah terjadi perjanjian antara kerajaan
Belanda dengan kerajaan Inggris maka Inggris terpaksa mengembalikan seluruh daerah yang sudah
direbutnya.
Bangsa Prancis yang pernah datang ke Sumatera Barat, yaitu ketika bajak laut yang dipimpin oleh Kapten Le
Me dengan anak buahnya mendarat di Pantai Air Manis Padang. Hal ini terjadi pada tahun 1793. mereka
dapat merebut Kota Padang dan mendudukinya selama lima hari. Setelah mereka merampok kota, mereka
pergi lagi. Pada tahun 1795 Inggris merebut Padang lagi, karena terlibat perang lagi dengan Belanda.
A.10. Pembaharuan oleh Agama Islam
Seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa pada pertengahan abad ke tujuh agama Islam
sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun pada waktu itu perkembangan Islam di Minangkabau masih
boleh dikatakan merupakan usaha yang kebetulan saja, karena adanya pedagang-pedagang yang beragama
Islam datang ke Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya terbatas pada daerah-daerah yang didatangi oleh
pedagang-pedagang Islam, yaitu di sekitar kota-kota dagang di pantai Timur Sumatera.
Masuknya agama Islam itu ada yang secara langsung dibawa oleh pedagang Arab dan ada yang dibawa oleh
Pedagang India atau lainnya, artinya tidak langsung datang dari negeri Arab. Perkembangan yang demikian
berlangsung agak lama juga, karena terbentur kepentingan perkembangan Politikk Cina dan Agama Budha.
Di kerajaan Pagaruyung sampai dengan berkuasanya Adityawarman, agama yang dianut adalah agama
Budha sekte Baiwara dan pengaruh agama Budha ini berkisar di sekitar lingkungan istana raja saja. Tidak
ada bukti-bukti yang menyatakan kepada kita bahwa rakyat Minangkabau juga menganut agama tersebut.
Secara teratur agama Islam pada akhir abad ke tiga belas yang datang dari Aceh. Pada waktu itu daerah-
daerah pesisir barat pulau Sumatera dikuasai oleh kerajaan Aceh yang telah menganut agama Islam.
Pedagang Islam sambil berdagang sekaligus mereka langsung menyiarkan agama Islam kepada setiap
langganannya. Dari daerah pesisir ini, yaitu daerah-daerah seperti Tiku, Pariaman, Air Bangis dan lain-lain
dan kemudian masuk daerah perdalaman Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau terjadai
secara damai dan nampaknya agama Islam lebih cepat menyesuaikan diri dengan anak nagari. Barangkali
itulah sebabnya bekas-bekas peninggalan Hindu dan Budha tidak banyak kita jumpai di Minangkabau,
karena agama itu tidak sampai masuk ketengah-tengah masyarakat, tetapi hanya disekitar istana saja. Habis
orang-orang istana itu, maka habis pulalah bekas-bekas pengaruh Hindu dan Budha.
Perkembangan agama Islam menjadi sangat pesat setelah di Aceh diperintah oleh Sultan Alaudin Riayat
Syah Al Kahar (1537-1568 ), karena Sultan tersebut berhasil meluaskan wilayahnya hampir ke seluruh pantai
barat Sumatera.
Pada permulaan abad ketujuh belas, seorang ulama dari golongan Sufi penganut Tarikat Naksabandiyah
mengunjungi Pariaman dan Aceh. Kemudian beberapa lama menetap di Luhuk Agam dan Lima Puluh Kota.
Juga dalam ke abad ke-17 itu di Ulakan Pariaman bermukim seorang ulama Islam yang bernama Syeh
Burhanuddin, murid dari Syeh Abdurauf yang berasal dari Aceh. Syeh Burhanuddin adalah penganut Tarikat
Syatariah.
Murid-murid Syeh Burhanuddin itulah yang menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau dan
mendirikan pusat pengajian di Pamansiangan Luhak Agam. Sebaliknya ulama-ulama dari Luhak Agam ini
pergi memperdalam ilmunya ke Ulakan Pariaman, yaitu tempat yang dianggap sebagai pusat penyebaran dan
penyiaran Islam di Minangkabau. Dari Luhak Agam inilah nanti lahir ulama-ulama besar yang akan
membangun agama Islam selanjutnya di Minangkabau seperti Tuanku Nan Tuo dari daerah Cangkiang Batu
Taba Ampek Angkek Agam. Tuanku Imam Bonjol sendiri merupakan salah seorang murid Tuanku Nan
Renceh Kamang Mudiak Agam.
Pada awalnya agama Islam di Minangkabau tidak dijalankan secara ketat, karena disamping melaksanakan
agama Islam para penganut juga masih menjalankan praktek-praktek adat yang pada dasarnya bertentangan
dengan ajaran agama Islam itu sendiri.
Keadaan ini ternyata kemudian setelah datangnya beberapa orang ulama Islam dari Mekkah yang menganut
paham Wahabi. Yaitu suatu paham dimana penganut-penganutnya melaksanakan ajaran Islam secara murni.
Di tanah Arab sendiri tujuan gerakan kaum Wahabi adalah utnuk membersihkan Islam dari Anasir-anasir
bid’ah. Kaum Wahabi menganut Mazhab Hambali dan bertujuan kembali kepada pelaksanaan Islam
berdasarkan Qur’an dan Hadist.
Pada waktu beberapa ulama di Minangkabau, seperti Tuanku Pamansiangan, Tuanku Nan Tuo di Cangkiang,
Tuanku Nan Renceh dan lain-lain juga sudah melihat ketidak beresan dalam pelaksanaan praktek ajaran
Islam di Minagkabau dan ingin melakukan pembersihan terhadap hal tersebut, tetapi mereka belum
menemukan bagaimana caranya yang baik. Baru pada tahun 1803 dengan kembalinya tiga orang haji dari
Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, sesudah mereka itu menceritakan bagaimana
yang dilakukan oleh gerakan Wahabi disana (di Makkah).
Untuk melaksanakan pembersihan terhadap ajaran agama Islam itu Tuanku Nan Renceh membentuk suatu
badan yang dinamakan “Harimau Nan Salapan” terdiri dari delapan orang tuanku yang terkenal pada waktu
itu di Minangkabau. Diakhir tahun 1803 mereka memproklamirkan berdirinya gerakan Paderi dan mulai saat
itu mereka melancarkan gerakan permurnian agama Islam di Minangkabau.
Mula-mula Paderi memulai gerakan pembersihannya di daerah Luhak Agam yang tidak terlalu lama telah
mereka kuasai, dengan berpusat di Kamang Mudik. Selanjutnya gerakan Paderi melancarkan kegiatannya ke
daerah Lima Puluh Kota dan di daerah ini mereka mendapat sambutan yang baik dari rakyat Lima Puluh
Kota.
Gerakan kaum paderi baru mendapat perlawanan yang berat dalam usahanya di Luhak Tanah Datar, karena
pada waktu itu Luhak Tanah Datar masih merupakan pusat kerajaan Pagaruyung yang mempunyai
kebiasaan-kebiasaan tertentu secara tradisional. Tetapi berkat kegigihan para pejuiang paderi akhirnya daerah
Luhak Tanah Datar dapat juga diperbaharui ajaran Islam nya berdasarkan Qur’an dan Hadist, selanjutnya
gerakan kaum paderi mulai meluas ke daerah rantau.
Pada waktu itu di daerah Pasaman muncul seorang ulama besar yang membawa rakyatnya ke arah
pembaharuan pelaksanaan ajaran Islam sesuai dengan Alquran dan Hadist Nabi. Karena gerakannya berpusat
di Benteng Bonjol maka ulama tersebut akhirnya terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol, yang
semulanya terkenal dengan nama Ahmad Sahab Peto Syarif.
Setelah di daerah Minangkabau dapat diperbaharaui ajaran Islamnya oleh kaum paderi, maka gerakan
selanjutnya menuju keluar daerah Minangkabau, yaitu ke daerah Tapanuli Selatan yang akhirnya juga dapat
dikuasai dan menyebarkan ajaran Islam di sana.
Setelah Tuanku Nan Renceh meninggal tahun 1820, maka pimpinan gerakan paderi diserahkan kepada
Tuanku Imam Bonjol dan diwaktu itu gerakan paderi sudah dihadapkan kepada kekuasaan Belanda yang
semenjak tahun 1819 sudah menerima kembali daerah Minangkabau dari tangan Inggris.
Karena terjadinya perbenturan kedua kekuatan di Minangkabau yaitu antara kekuatan paderi di satu pihak
yang berusaha dengan sekuat tenaga menyebarkan agama Islam secara murni dengan kekuatan Belanda di
lain pihak yang ingin meluaskan pengaruhnya di Minangkabau maka terjadilah ketegangan antara kedua
kekuatan itu dan akhirnya terjadi perang antara kaum paderi dengan Belanda di Minangkabau. Perang ini
terjadi antara tahun 1821-1833. pada akhirnya rakyat Minangkabau melihat bahwa kekuatan Belanda tidak
hanya ditujukan kepada gerakan kaum paderi saja, maka pada tahun 1833 rakyat Minangkabau secara
keseluruhannya juga mengangkat senjata melawan pihak Belanda. Perang ini berlangsung sampai tahun
1837.
Tetapi karena kecurangan dan kelicikan yang dilakukan pihak Belanda akhirnya peperangan itu dapat
dimenangkan Belanda, dalam arti kata semenjak tahun 1837 itu seluruh daerah Minangkabau jatuh ke bawah
kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Dari masa inilah Minangkabau di rundung duka yang dalam, karena menjadi anak jajahan Belanda. Tuanku
Imam ditangkap Belanda dengan tipu muslihat, dikatakan untuk berunding tetapi nyatanya Belanda
menangkap beliau, dibuang semula ke Betawi, tinggal di Kampung Bali, selanjutnya dipindahkan ke
Menado. Ditempat yang sangat jauh dari kampung halaman, badan yang telah sangat tua itu akhirnya
dihentikan Tuhan Dari penderitaan yang berat, berpulanglah seorang Patriot Islam Minangkabau dirantau
orang.
Beliau telah berjuang sekuat tenaga menegakkan Syiar Islam di Ranah Minangkabau tercinta ini, jasatnya
terbujur disebuah desa kecil yang sepi bernama “Lotak” nun jauh diujung pulau Selebes, harapannya kepada
kita semua anak Minangkabau, lanjutkan perjuangan beliau dengan menegakkan akidah Islam dalam
kehidupan sehari-hari, jawabnya barangkali yang paling tepat bagi kita sekarang, ” Mari kita berbenar-benar
menegakkan Adat Basandi Syarak-syarak Basandi Kitabullah “ dalam kehidupan kita.

Suku Minangkabau

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Minangkabau

Adnan Saidi, Hatta, Yusof Ishak, Muszaphar Shukor,Natsir, Tan Malaka, Sutan
Sjahrir, Hamka, Yamin,Marah Roesli, Chairil Anwar, Agus Salim
Jumlah populasi
kurang lebih 5.475.000(2000) di Indonesia [1]

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan


Sumatra Barat, Indonesia: 3.747.343.

Jabotabek, Indonesia: 636.000.


Riau, Indonesia: 534.854.
Jambi, Indonesia: 385.734.
Sumatera Utara, Indonesia: 306.550.
Kepulauan Riau, Indonesia: 111.463.
Bengkulu, Indonesia: 66.861.
Sumatera Selatan, Indonesia: 64.215.
Negeri Sembilan, Malaysia: 450.000[2].

Bahasa
bahasa Minang, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu.
Agama
Islam.
Kelompok etnis terdekat
Melayu.
Minangkabau atau Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat
Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian
utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri
Sembilan di Malaysia[3]. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang
Padang, merujuk kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang.

Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan
besar karena sistem monarki[4] serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem
kekeluargaan melalui jalur perempuan ataumatrilineal[5], walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai
ajaran agama Islam. Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di
dunia[6][7]. Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-
Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip
adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat
bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam[8].

Orang Minangkabau sangat menonjol dibidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka
merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan
dinamis.[9] Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang
perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar,
seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia,
etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.

Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat
digemari di Indonesiabahkan sampai mancanegara[10].
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Etimologi
• 2 Asal-usul
• 3 Adat dan budaya
• 3.1 Bahasa
• 3.2 Kesenian
• 3.3 Rumah adat
• 3.4 Perkawinan
• 4 Sosial kemasyarakatan
• 4.1 Persukuan
• 4.2 Nagari
• 4.3 Penghulu
• 4.4 Kerajaan
• 5 Minangkabau perantauan
• 5.1 Jumlah perantau
• 5.2 Gelombang rantau
• 5.3 Perantauan intelektual
• 5.4 Sebab merantau
• 5.4.1 Faktor budaya
• 5.4.2 Faktor ekonomi
• 5.4.3 Faktor perang
• 5.5 Merantau dalam sastra
• 6 Orang Minangkabau dan kiprahnya
• 7 Catatan kaki
• 8 Literatur
• 9 Lihat pula
• 10 Pranala luar
[sunting]Etimologi

Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas
Minang yang dikenal didalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing
(biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah
pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui
dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan
seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau
yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari
mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu
menginspirasikan masyarakat setempat memakai namaMinangkabau[11], yang berasal dari ucapan 'Manang
kabau' (artinya menang kerbau). Nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu
Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera
Barat.

Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama[12] bertarikh 1365 M, juga telah ada
menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya.
Sedangkan nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan
Bukit yang bertarikh 682 Masehi dan berbahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri
kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" ...[13]. Beberapa ahli yang
merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya
tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai
kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar,
yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan[14]. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang
membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga
dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya[15]. Oleh karena itu
kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.

Bendera atau merawa yang digunakan suku Minangkabau

[sunting]Asal-usul

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tambo Minangkabau dan Tombo Lubuk Jambi

Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan
migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan
kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke
dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau[16]. Beberapa
kawasandarek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang
selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam,
dan Luhak Tanah Datar[5]. Kemudian seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk,
masyarakat Minangkabau terus menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan
tertentu menjadi kawasan rantau.

Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari
keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada
legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat
banyak.[4]

[sunting]Adat dan budaya

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Adat Minangkabau dan Budaya Minangkabau
Sebuah pertunjukan randai

Adat dan budaya Minangkabau bercorakkan keibuan (matrilineal), dimana pihak perempuan bertindak
sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali
dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatangdan Datuk Ketumanggungan. Datuk
Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan
mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal
dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.

Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat
istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan
Tigo Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam
masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh
ketiga unsur itu secara mufakat[17].

[sunting]Bahasa

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bahasa Minangkabau

Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan
pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa
yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan
bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri
yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-
Melayu.[18][19]

Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek
bergantung kepada daerahnya masing-masing.[20][21]
[sunting]Kesenian

Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa
ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Diantara tari-tarian tersebut misalnya tari
pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan
rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian
dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang
diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.

Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah
berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai.
Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang[22], dalam randai ini juga terdapat
seni peran (acting) berdasarkan skenario[23].

Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata,
yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih
mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata
seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan
kontak fisik.[24].

Rumah Gadang

[sunting]Rumah adat

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Rumah Gadang

Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah
milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun[25]. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk
empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang.[26] Umumnya berbahan kayu, dan
sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau
yang biasa disebut gonjong[27] dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng.

Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi penghuni rumah gadang.
Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota
kaum belum menikah, biasanya tidur di surau.

Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat
ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
Pakaian perempuan Minang dalam pesta adat atau perkawinan

[sunting]Perkawinan

Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus
kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga
baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru,
yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam
penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.

Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang
umum dilakukan. Dimulai denganmaminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin
pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminangdan muncul kesepakatan manantuan
hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa
dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab
kabul di depan penghulu atautuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti
nama kecilnya.[28] Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar
panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di
kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.

[sunting]Sosial kemasyarakatan

[sunting]Persukuan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar Suku-suku Minang

Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat
pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalamBahasa Minang dapat
bermaksud satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat
dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut.
Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan
diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama[5].

Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh
kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal
sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga.
Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana
jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang
mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.

Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung).
Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik(perut) biasanya tinggal
pada sebuah rumah gadang secara bersama-sama[29]

Pakaian khas suku Minangkabau di tahun 1900-an

[sunting]Nagari

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nagari

Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan
tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di
sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari
dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut.
Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan
inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.

Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang
konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise.[30] Oleh
karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan
mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada
masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto
manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang
dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian
berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk
minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut[5].
[sunting]Penghulu

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Penghulu dan Datuk

Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum-keluarga yang diangkat oleh
anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang
terpilih diantara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang
pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan ia
bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil
kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam
rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.

Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka
kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya,
anggota kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya
kepada keluarga lainnya yang sesuku.[31] Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam
suatu nagari.

Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri.
Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar
kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari
kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya
cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.[32]

Istano Pagaruyung sebuah legitimasi institusi kerajaan pada suku Minangkabau

[sunting]Kerajaan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Melayu , Dharmasraya , dan Kerajaan Pagaruyung

Dalam laporan de Stuers[33] kepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman
Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Tetapi yang
ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada
masa Yunani kuno. [34] Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman
Minangkabau, serta daritambo yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam
suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatra dan bahkan
sampai semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan
Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.
[sunting]Minangkabau perantauan

Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar provinsi Sumatera
Barat, Indonesia. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar.
Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung
halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau,
biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling
kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan
penuntut ilmu agama.[35]

Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun
penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal
untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu
pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.

Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman
untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah,
memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau
biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun
pematang sawah.

[sunting]Jumlah perantau

Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil
studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang
berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %[36].
Berdasarkan sensus tahun 2000, etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 3,7 juta jiwa,
dengan perkiraan hampir sepertiga orang Minang berada di perantauan.[1]. Mobilitas migrasi orang
Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana
lebih 80 % perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa
kolonial Belanda[37]. Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos merantau
orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun 1930, perantau
Minangkabau hanya sebesar 10,5 % dibawah orang Bawean (35,9 %), Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).

Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang
ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat.
Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan.

[sunting]Gelombang rantau

Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada
abad ke-7, dimana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan
perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu.[38] Migrasi besar-besaran
terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka
mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri
Sembilan,Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan
masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim
di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee, Barus,
hingga Bengkulu.[39] Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga
Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai
pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal
keluarga Minangkabau di Sulawesi.[40] Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika
Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.

Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika
perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang
perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961 jumlah perantau Minang terutama di
kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya
3,7 kali[41], dan pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10 % dari jumlah penduduk
Jakarta waktu itu[42]. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.

[sunting]Perantauan intelektual

Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam,
diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi
penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau
dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori
oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-
Minangkabawi.

Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara
lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual
lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan
kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi
pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.[43]

[sunting]Sebab merantau

[sunting]Faktor budaya

Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal.
Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria
dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah
orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.

Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada
anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan
masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan
selalu diperolok-olok oleh teman-temannya.[31] Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih
untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami,
tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.

Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-
parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan
tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.[44] Semangat untuk merubah nasib dengan
mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah
babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena
dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.

Salah satu motif tenun songket Minangkabau khas nagari Pandai Sikek

[sunting]Faktor ekonomi

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pedagang Minangkabau

Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam
yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat
menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak
cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa
keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan
pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib
di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih
dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi
sebagai pedagang kecil.

Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan
berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau,
secara geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas,tembaga, timah, seng, merkuri, dan besi,
semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.[45] Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas)
yang muncul pada cerita legenda di India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera
karena hal ini.[46] Pedagang dariArab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau
Sumatera telah menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13
diketahui ada raja di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16
menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman
(Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri pada
sehiliran Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.
[47] Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas.
Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang[48] dan
sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung.
[49] Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia memasuki
pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja
Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya
adalah pendulang emas.[50] Sementara itu dari catatan para geologi Belanda, pada
sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta
di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas.[51] Sampai abad ke-19, legenda akan
kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia
tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.
[52]

[sunting]Faktor perang

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Padri dan Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia

Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari
daerah konflik, setelah perang Padri,[53] muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa
Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh menentang Belasting dan pemberontakan komunis
tahun 1926-1927.[54] Setelah kemerdekaan muncul PRRIyang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-
besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain.[42] Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini,
memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan
perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih memilih pergi meninggalkan
kampung halaman (merantau). Orang Sakai berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya
menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung.[55] Orang Kubu menyebut bahwa orang dari
Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang
yang melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mau menerima
perubahan yang terjadi di negeri mereka. De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa
masyarakat Padangsche Bovenlanden sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia
menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan orang Eropa. Ia merasakan
sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa,
malah ada penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok tersebut.[33]
[sunting]Merantau dalam sastra

Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para
pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman
hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang
lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang
kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk
bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Siti Nurbaya dan Salah
Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan
mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5
Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya
menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A.A
Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi
merantau.

Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat
budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga
dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.

[sunting]Orang Minangkabau dan kiprahnya

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar tokoh Minangkabau

Imam Bonjol, Mohammad Hatta, Sjahrir, Fahmi Idris

Orang Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh
Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi,
penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari
penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian.
[37] Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di
abad ke-20 merupakan orang Minang.[56] 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra
Minangkabau.[57][58]

Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak dulu mereka
telah pergi merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei,
hingga Philipina. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina selatan.[59] Pada
abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk
negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang
diangkat pada tahun 1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang, Dato Ri Patimang,
dan Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkan kerajaan Gowa. Setelah gagal
merebut tahta Kesultanan Johor, pada tahun 1723 putra Pagaruyung yang bergelar Sultan Abdul Jalil
Rahmad Syah I mendirikan Kerajaan Siak di daratan Riau.[60]

Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah mempengaruhi sistem pendidikan di
Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putribanyak melahirkan aktivis yang
banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas,
dan Djamaluddin Tamin.

Pada periode 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi
salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun 1923 Tan Malakaterpilih menjadi wakil Komunis
Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi
pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi
asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis.
Tokoh Minang lainnyaMohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah
kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad
Hatta,Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden
(Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi
menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi
orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain
etnis Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan,
di masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam
aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.

Di samping menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat, orang-orang Minangkabau juga
duduk sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin(Jawa Barat), Daan
Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan
Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani(Sumatra Selatan), Eni Karim (Sumatera
Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[61]

Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan
Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta,Masyumi oleh
Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain mendirikan partai
politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktifis
pergerakan. Buku-buku bacaan utama itu antara lain, Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Massa
Actie karya Tan Malaka, Alam Pikiran Yunanidan Demokrasi Kita karya Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita
Selecta karya Natsir, serta Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir.

Penulis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan
bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli,Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan A.A
Navis berkarya melalui penulisan novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis
novel Indonesia yang paling produktif.Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi.
Serta Sutan Takdir Alisjahbana, novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan modernisasi bahasa Indonesia
sehingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Siti
Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, danRobohnya Surau
Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.

Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis Minang.
Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Di samping Abdul Rivai yang
dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi
wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.

Tuanku Abdul Rahman, salah seorang tokoh Minang yang berpengaruh di kawasan rantau

Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha
ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan,
pendidikan, dan rumah sakit. Di antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief(pemilik TV
One), Basrizal Koto (pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan
mobil pertama di Indonesia), danTunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar Corporation Malaysia)

Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser, penyanyi,
maupun artis. Sebagai sutradara dan produser adaUsmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal.
Arizal bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-
kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkannya. Film-film karya sineas Minang,
seperti Lewat Djam Malam, Gita Cinta dari SMA, Naga Bonar, Pintar Pintar Bodoh, dan Maju Kena
Mundur Kena, menjadi film terbaik yang banyak digemari penonton.

Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah Ade Irawan, Dorce
Gamalama, Eva Arnaz, Nirina Zubir, dan Titi Sjuman. Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi
pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Karya-karya beliau seperti kuis Berpacu Dalam Melodi, Gita
Remaja, Siapa Dia, dan Tak Tik Boom menjadi salah satu acara favorit keluarga Indonesia. Di samping
mereka, Soekarno M. Noer beserta putranyaRano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di
Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993, Karno's Filmperusahaan film milik
keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman
Indonesia, Si Doel Anak Sekolahan.
Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenal kontribusinya. Di Malaysia dan Singapura, antara
lain Tuanku Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agungpertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden
pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), Sheikh
Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia), Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Adnan bin Saidi. Di
negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang
Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen.[62]. Di Arab Saudi, hanya Ahmad Khatib Al-
Minangkabawi, orang non-Arab yang pernah menjadi imam besar Masjidil Haram, Mekkah.

[sunting]Catatan kaki

1. ^ a b Suryadinata, Leo; Arifin, Evi Nurvidya; Ananta, Aris (2003). Indonesia's Population, Ethnicity
and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 981-
230-212-3.
2. ^ www.statistics.gov.my Sumber statistik rasmi Malaysia
3. ^ Josselin de Jong, P.E. de, (1960), Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Structure in
Indonesia, Jakarta: Bhartara
4. ^ a b Navis, A.A., (1984), Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau,
Jakarta: PT. Grafiti Pers.
5. ^ a b c d Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta:
Balai Pustaka.
6. ^ Evers, Hans-Dieter, Korff, Rüdiger, (2000), Southeast Asian Urbanism, LIT Verlag Münster,
Ed.2nd , hlm.188, ISBN 3-8258-4021-2
7. ^ Ong, Aihwa, Peletz, Michael G., (1995), Bewitching women, pious men: gender and body politics
in Southeast Asia, University of California Press, hlm. 51, ISBN 0-520-08861-1
8. ^ Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, and Mohamad, Maznah, (2009), Muslim-Non-Muslim
Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, Chaptep 6: Not Muslim, Not
Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina
Elvira, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 978-981-230-874-0
9. ^ Graves, Elizabeth E. (23 Desember 1981). The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule
Nineteenth Century. Itacha, NY: Cornell Modern Indonesia Project #60. hlm. 1.
10.^ Ramli, Andriati, (2008), Masakan Padang: Populer & Lezat, Niaga Swadaya, ISBN 978-979-
1477-09-3.
11.^ Djamaris, Edwar, (1991), Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
12.^ Brandes, J.L.A., (1902), Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara,
Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de
puri te Tjakranagara op Lombok.
13.^ Cœdès, George, (1930), Les inscriptions malaises de Çrivijaya,BEFEO
14.^ Purbatjaraka, R.M. Ngabehi, (1952), Riwajat Indonesia, I, Djakarta: Jajasan Pembangunan.
15.^ Casparis, J.G. de, (1956), Prasasti Indonesia II, Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung:
Masa Baru.
16.^ Graves (1981), p. 4.
17.^ Westenenk, L. C. (1918). De Minangkabausche Nagari. Weltevreden: Visser. hlm. 59.
18.^ Simanjuntak, Mengantar, (1982), Aspek bahasa dan pengajaran, Sarjana Enterprise.
19.^ Garry, J., Carl R., Rubino, G., (2001), Facts about the world's languages: an encyclopedia of the
world's major languages, past and present, H.W. Wilson, ISBN 0824209702.
20.^ Medan, Tamsin, (1985), Bahasa Minangkabau dialek Kubuang Tigo Baleh, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
21.^ Nadra, (2006), Rekonstruksi bahasa Minangkabau, Andalas University Press, ISBN 9793364556.
22.^ Phillips, Nigel, (1981), Sijobang: sung narrative poetry of West Sumatra, Cambridge University
Press, ISBN 978-0-521-23737-6.
23.^ Pauka K., (1998), Theater and martial arts in West Sumatra: Randai and silek of the
Minangkabau, Ohio University Press, ISBN 978-0-89680-205-6.
24.^ Suryadi (2010), Masa Depan Seni Bersilat Lidah Minangkabau, Padang Ekspres.
25.^ Graves, Elizabeth E., (2007), Asal-usul elite Minangkabau modern: respons terhadap kolonial
Belanda abad XIX/XX, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-661-1.
26.^ Azinar Sayuti, Rifai Abu, (1985), Sistem ekonomi tradisional sebagai perwujudan tanggapan aktif
manusia terhadap lingkungan daerah Sumatera Barat, hlm. 202, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
27.^ Navis, A.A., Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 3, Grasindo, ISBN 979-759-551-X.
28.^ Idris, Soewardi (2004). Sekitar Adat Minangkabau. Jakarta: Kulik-Kulik Alang, Himpunan Eks-
Siswa SMP Negeri Solok Masa Revolusi, 1946-1949,.
29.^ de Jong, P.E de Josselin (23 Desember 1960). Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political
structure in Indonesia. Djakarta: Bhartara. hlm. 10.
30.^ Graves (1981), p. 11.
31.^ a b Stibbe (23 Desember 1869). Het Soekoebestuur in de Padangsche Bovenlanden. hlm. 33.
32.^ Graves (1981), p. 25.
33.^ a b Laporan kepada Gubernur Jendral, 30 Agustus 1825, Exhibitum, 24 Agustus 1826, No. 41.
34.^ Bonner, Robert Johnson (1933). Aspects of Athenian democracy Vol 11. University of California
Press. hlm. 25-86.
35.^ Graves (1981), p. 40.
36.^ Naim, Mochtar. Merantau, Minangkabau Voluntary Migration, University of Singapore.
37.^ a b Kato, Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai
Pustaka. ISBN 979-690-360-1.
38.^ Munoz, Paul Michel (23 Desember 2010). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the
Malay Peninsula.
39.^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau
1784 – 1847.
40.^ www.rajaalihaji.com Melayu-Bugis-Melayu dalam Arus Balik Sejarah
41.^ Castles, Lance (1967). Religion, politics, and economic behaviour in Java: the Kudus cigarette
industry. Yale University.
42.^ a b Syamdani, (2009), PRRI, pemberontakan atau bukan, Media Pressindo, ISBN 978-979-788-
032-3.
43.^ Poeze, Harry A. In het Land van de Overheerser: Indonesiër in Nederland 1600-1950.
44.^ www.antara-sumbar.com Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Ma'arif, Satu Nomor Contoh Produk Tradisi
Merantau
45.^ Bemmelen Van R.W., (1970), The Geology of Indonesia, The Haque.
46.^ Wheatley P., (1961), The Golden Khersonese, Kuala lumpur, pp.177-184
47.^ Cortesao A., (1944), The Suma Oriental of Tome Pires, London:Hakluyt Society.
48.^ Marsden W., (1811), The History of Sumatra, London
49.^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
50.^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff.
40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39
51.^ Tobler A., (1911), Djambi-Verslag, Jaarboek van het Minjwezen in Nedelandsch Oost-Indie:
Verhandelingen, XLVII/3.
52.^ Raffles, Sophia, (1830), Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles,
London: J. Murray.
53.^ Nain, Sjafnir Aboe, (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
54.^ Kahin, Audrey R.,(2005), Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia,
1926-1998, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-519-5.
55.^ Suparlan, Parsudi (1995). hlm. 73.
56.^ . Majalah Tempo Edisi Khusus Tahun 2000. Kesalahan: waktu tidak valid.
57.^ Tim Wartawan Tempo, "4 Serangkai Pendiri Republik", Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
(2010)
58.^ Empat Pendiri Republik Indonesia adalah Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka
59.^ Naim, Mochtar. Merantau.
60.^ www.melayuonline.com Kerajaan Siak Sejarah Kerajaan Siak
61.^ www.posmetropadang.com Budaya Merantau Orang Minang (1) Kalaulah di Bulan Ada
Kehidupan[pranala nonaktif]
62.^ www.tempointeraktif.com Mengenang Sastrawan Rustam Effendi
[sunting]Literatur

• (de) Astrid Kaiser: Mädchen und Jungen in einer matrilinearen Kultur. Interaktionen und
Wertvorstellungen bei Grundschulkindern im Hochland der Minangkabau auf Sumatra. Kovac,
Hamburg 1996 ISBN 3-86064-419-X
• (de) Ute Marie Metje: Die starken Frauen. Gespräche über Geschlechterbeziehungen bei den
Minangkabau in Indonesien. Campus, Frankfurt am Main und New York 1995, ISBN 3-593-35409-8
• (de) Dieter Weigel: Reisemosaik bei den Minangkabau. Sumatra. Heiteres, Ernstes, Alltägliches,
Unglaubliches. Jahn und Ernst, Hamburg 1998, ISBN 3-89407-208-3(Erlebnisbericht)
• A.A. Navis, Curaian Adat Minangkabau

Adat Minangkabau terbagi dalam 4 kategori. Menurut AA Navis1)


urutan kategorinya ialah : Adat yang sebenar adat; Adat istiadat; Adat yang diadatkan dan Adat yang teradat.

Berbeda dengan AA Navis, maka Prof. Mr. M. Nasroen membikin urutannya : Adat yang sebenarnya adat;
Adat yang diadatkan; Adat yang teradat dan Adat istiadat. Sebagai alasan dari Prof. Mr. M. Nasroen
membagi urutannya semacam itu ialah :

“Adat istiadat kalau telah dibiasakan akan meningkat menjadi Adat nan teradat dan Adat nan teradat ini
secara nyata dapat dijadikan Adat yang diadatkan dan Adat yang diadatkan ini menurut keyakinan dan
penerimaan masyarakat pada suatu massa dapat menempati tingkat Adat yang sebenar adat.

“Dan menurut perputaran zaman dan keadaan, bukanlah tidak mungkin ada dari Adat yang sebenar adat itu
sesuatunya yang akan merupakan Adat istiadat pula dan dengan demikian akan terbukalah pula permulaan
dari perputaran baru begitu seterusnya” (hlm. 45).

Berbeda dengan urutan AA Navis serta Prof. Mr. M. Nasroen maka penyusun membagi urutan sebagai
berikut : Adat yang sebenar adat; Adat yang teradat; Adat yang diadatkan dan Adat Istiadat.

Jadi, persamaannya dengan AA Navis dan Prof. Mr. M. Nasroen ialah yang pertamanya : Adat yang sebenar
Adat. Yang berbedanya dengan AA Navis ialah letak Adat istiadat menurut AA Navis pada urutan kedua,
sedang bagi penyusun termasuk yang keempat. Sedang yang ketiganya sama : Adat yang diadatkan.
Berbedanya penyusun dengan Prof. Mr. M. Nasroen dalam urutannya ialah letak Adat yang diadatkan
baginya pada urutan kedua, sedang bagi penyusun urutan ketiga. Sedang urutan keempat adalah sama.

Sebagai alasan dari penyusun untuk menyusunnya seperti itu, karena menurut mamangan yang dimaksud
dengan Adat istiadat itu “Besarnya karena diambak dan tingginya karena dianjung”. Dengan kata lain ia
bukanlah subjek yang melahirkan ketentuan-ketentuan hukum.

Berbeda dengan Adat istiadat, maka Adat yang teradat melahirkan peraturan-peraturan itu menjadi konsensus
masyarakat memakainya. Dari musyawarah dan mufakat itu juga lahir Undang-undang atau hukum yang bila
dilanggar ada sanksinya. Dengan kata lain Adat yang diadatkan, ada, setelah Adat yang teradat
menciptakannya. Barulah kemudian diatur cara-cara seremoni, misalnya mengenai upacara perkawinan.
Jelasnya urutan tersebut sebagai berikut :

a. ADAT YANG SEBENARNYA ADAT


Adat yang sebenar adat tidak lapuk oleh hujan tidak lekang oleh panas. Ia adalah hukum alam itu sendiri.
Dalam alam semesta ini tiap sesuatu tentu ada sebabnya (bakarano bakajadian). Hukum alam menunjukkan
bahwa setiap materi yang terdapat dalam alam semesta ini senantiasa dalam keadaan gerak. Setiap gerak
membawa perubahan : perubahan kwantitatif ke perubahan kwalitatif. Dengan perubahan terjadilah negasi
dari negasi. Gerak terjadi karena terdapatnya kontradiksi dalam setiap materi. Hukum gerak itu abadi. Seperti
juga sifat air membasahi, sifat api menghanguskan ia tetap akan berlaku demikian. Hukum itu dicabut tidak
akan mati, diasak tidak akan layu.

Sebelum Islam masuk, Adat Minangkabau “bersendi alur dan patut”. Sesudah Islam masuk terjadi perubahan
: “Adat bersendi syarak dan syarak bersendi Kitabullah”. Berhubung dengan bergantinya sendi daripada Adat
(yaitu dari alur dan patut menjadi Kitabullah) maka ada yang mengatakan bahwa Adat yang sebenar adat itu
ialah Al Quran dan Hadis.

Yang terakhir ini tentu tidak bertentangan dengan pendapat Prof. Mr. M. Nasroen yang mengatakan : “….
Tuhan memberikan rakhmadnya kepada nenek-moyang orang Minangkabau, sebelum mereka beragama
Islam membaca ayat-ayat Tuhan yang terdapat pada alam dan berdasarkan ayat-ayat pada alam itu, maka
nenek-moyang orang Minangkabau menyusun Adat Minangkabau”. (hal. 25).
Bukankah di dalam kitab suci Al Quran terdapat ayat yang mengatakan bahwa banyak ayat-ayat Tuhan
terdapat pada alam bagi siapa yang pandai membacanya !.

b. ADAT YANG TERADAT


Untuk mengamalkan Adat yang sebenar adat dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tentu
diperlukan musyawarah- musyawarah. Sebagai buah dari musyawarah- musyawarah itu lahirlah peraturan-
peraturan atau konsensus masyarakat memakainya. Misalnya di Silungkang tempo dulu sebagai hasil
musyawarah tercapai konsensus bahwa wanitanya tak boleh bersuamikan pria luar. Jika ketentuan itu
dilanggar tentu ada sanksinya.

Dengan kata lain yang dimaksud dengan Adat yang teradat ialah peraturan-peraturan yang lahir oleh
musyawarah dan mufakat atau telah menjadi konsensus masyarakat memakainya.

Jika termasuk dalam Adat yang teradat ungkapan “Patah tumbuh hilang berganti”, seperti kedudukan
Penghulu dari Ninik turun ke Mamak dan dari Mamak turun ke Kemenakan.

c. ADAT YANG DIADATKAN


Yang dimaksud dengan Adat yang diadatkan ialah Adat yang telah dijadikan Undang-undang atau hukum
yang berlaku. Dalam Undang-undang atau hukum yang berlaku ada yang mengatur hubungan manusia
dengan Nagari, misalnya keharusan bahwa nagari itu babalai – bamusajik; basuku – banagari; bakorong –
bakampuang; bahuma – babendang; balabuah – batapian; basawah – baladang; bahalaman bapamedanan.

Keharusan setiap orang Minangkabau bersuku – bernagari dan sukunya menurut suku ibu menunjukkan
berlakunya sistem matrilinial. Mengenai sistem matrilinial ini ada orang yang mengatakan ia termasuk dalam
Adat yang sebenar adat. Padahal sistem matrilinial ini adalah sistem bikinan manusia. Ia pernah tidak ada,
kemudian ada dan telah menerima pula sistem patrilinial dari agama Islam, misalnya mengenai pembagian
warisan. Kenyataan lain sistem matrilinial itu terus digerogoti misalnya dengan di belakang nama seseorang
tidak dicantumkan nama ibunya, melainkan nama bapaknya.

Juga di dalam Adat yang diadatkan diatur hubungan manusia dengan manusia. Misalnya soal pewarisan, etik,
moral dan nilai-nilai. Panggilan Datuk bagi pria Silungkang yang lebih tua merupakan etika dan nilai sendiri.
Di nagari lain menurut Adat yang diadatkan mereka mengenai panggilan pria yang lebih tua ada dengan
“Uda”, “Ociek”, “Akak”, dan sebagainya.

Juga di dalam Adat yang diadatkan terdapat Undang-undang Luhak dan Rantau. Luhak Bapanghulu, Rantau
Barajo. Juga ada Undang-undang Nan 20 : Nan 8 mengenai jenis kejahatan (tikam-bunuh, upas racun,
samun-sakar, siar-bakar, maling-curi, daga-dagi, kicuh-kicung, sumbang-salah). Sedang Nan 12 terbagi dua :
yang 6 berisi alasan untuk dapat menangkap dan menghukum seseorang (tertumbang-terciak, tertanda-
terbukti, tercengang- teregas, terikat-terkebat, terlantar-terkejar, terhambat-terpukul). 6 yang lain dinamakan
Cemo (cemar). Sehingga ada alasan untuk memeriksa atau menangkapnya, yaitu bersurih bagai sipasin;
berjejak bagai bakiak; enggang lewat atal jatuh; kecendurangan mata orang banyak; menjual murah; berjalan
tergesa-gesa dibawa pikat dibawa lalat.

d. ADAT ISTIADAT
Adat istiadat ialah kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat umum. Ia besar karena diambak dan ia tinggi
karena dianjung. Yang termasuk dalam Adat istiadat ini ialah hal-hal yang bersifat seremoni, misalnya
mengenai upacara perkawinan. Juga termasuk dalam Adat istiadat tingkah laku dalam pergaulan yang bila
dilakukan akan dianggap baik.

Mawardi Yunus Dt. Rajo Mangkuto2) mengatakan untuk dapat dilestarikan Adat Minang itu, pertama-tama
harus jelas perbedaan mana yang dikatakan “Adat yang sabana adat, adat yang teradat, Adat istiadat dan Adat
yang diadatkan. Kalau tidak sanggup membedakannya, akan mendatangkan kesalahan pandang terhadap
nilai-nilai Adat Minangkabau itu sendiri. Di samping itu perlu ditambah dengan sejarah pertumbuhan
keluarga kaum serta proses terjadinya nagari masing-masing. Tanpa pengetahuan adat dan mengetahui
sejarah kaum dan nagari, sulit bagi seorang Ninik – Mamak untuk berperan di dalam kaum dan sukunya serta
di nagari pada umumnya. Bahkan sukar bagi Ninik – Mamak untuk berperan dalam melestarikan nilai-nilai
adat tersebut”.

Sumber : Buku Silungkang dan Adat Istiadat oleh Hasan St. Maharajo

Catatan kaki :
1. AA. Navis : “Alam terkembang jadi guru”, hlm 88 – 89.
2. Mawardi Yunus Dt. Rajo Mangkuto : “Peranan Ninik – Mamak dan era pembangunan” (Makalah
dalam Seminar Adat Minangkabau di Jakarta November 1984).

You might also like