Professional Documents
Culture Documents
Dari zaman prasejarah sampai kedatangan orang Barat, sejarah Suma tera Barat dapat dikatakan identik
dengan sejarah Minangkabau. Walau pun masyarakat Mentawai diduga te lah ada pada masa itu, tetapi bukti-
bukti tentang keberadaan mereka masih sa ngat sedikit.
Daftar isi
• 1 Masa Prasejarah
• 2 Kerajaan-kerajaan Minangkabau
• 2.1 Kerajaan Malayu
• 2.2 Kerajaan Pagaruyung
• 2.3 Kerajaan Inderapura
• 3 Masuknya bangsa Eropa
• 4 Perang Padri
• 5 Dari Perang Padri sampai Perang Belasting
• 6 Gerakan Islam Modernis di Minangkabau
• 7 Gerakan Partai Komunis Indonesia
• 8 Sumatera Barat: 1930-an
• 8.1 Merebaknya partai-partai politik
• 8.2 Penumpasan
• 9 Pendudukan Jepang
• 10 Rujukan
• 11 Lihat pula
[sunting]Masa Prasejarah
Di pelosok desa Mahat, Suliki Gunung Mas,Kabupaten Lima Puluh Kota banyak ditemukan peninggalan
kebudayaan megalitikum. Bukti arkeologis yang dite mukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah
Lima Puluh Kota dan sekitarnya merupakan daerah pertama yang dihuni oleh nenek moyang orang
Minangkabau. Penafsiran ini ber alasan, karena dariluhak Lima Puluh Kota ini mengalir beberapa sungai
besar yang bermuara di pantai timur pu lau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi
sarana transportasi yang penting dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.
Nenek moyang orang Minang kabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (In
dochina) mengarungi Laut Cina Sela tan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian melayari sungai
Kampar, sungai Siak, dan sungai Inderagiri. Setelah melakukan perjalanan panjang, mereka tinggal dan
mengembangkan kebudayaan serta per adaban di wilayah Luhak nan Tigo (Lima Puluh Kota, Agam, Tanah
Datar) sekarang.
Percampuran dengan para penda tang pada masa-masa berikutnya me nyebabkan tingkat kebudayaan mere
ka jadi berubah dan jumlah mereka ja di bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan
akhirnya mereka merantau ke berba gai bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke utara,
menuju Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Sebagian lain pergi ke arah selatan menuju Solok, Sijunjung dan
Dharmasraya. Banyak pula di antara me reka yang menyebar ke bagian barat, teruta ma ke daerah pesisir,
seperti Tiku, Pariaman, dan Painan.
[sunting]Kerajaan-kerajaan Minangkabau
Menurut tambo Minangkabau, pada periode abad ke-1 hingga abad ke-16, banyak berdiri kerajaan-kerajaan
kecil di selingkaran Sumatera Barat. Kerajaan-kerajaan itu antara lainKesultanan Kuntu, Kerajaan
Kandis, Kerajaan Siguntur, Kerajaan Pasumayan Koto Batu, Bukit Batu Patah, Kerajaan Sungai
Pagu, Kerajaan Inderapura, Kerajaan Jambu Lipo, Kerajaan Taraguang, Kerajaan Dusun Tuo, Kerajaan
Bungo Setangkai, Kerajaan Talu, Kerajaan Kinali, Kerajaan Parit Batu, Kerajaan Pulau
Punjung dan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah berumur panjang, dan biasanya
berada dibawah pengaruh kerajaan-kerajaan besar, Malayu dan Pagaruyung.
[sunting]Kerajaan Malayu
Kerajaan Malayu diperkirakan pernah muncul pada tahun 645 yang diperkirakan terletak di hulu
sungai Batang Hari. Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, kerajaan ini ditaklukan olehSriwijaya pada
tahun 682. Dan kemudian tahun 1183 muncul lagi berdasarkan Prasasti Grahi di Kamboja, dan
kemudian Negarakertagama dan Pararaton mencatat adanya Kerajaan Malayu yang beribukota
di Dharmasraya. Sehingga muncullah Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275-1293 di bawah pimpinan Kebo
Anabrang dari Kerajaan Singasari. Dan setelah penyerahan Arca Amonghapasa yang dipahatkan di Prasasti
Padang Roco, tim Ekpedisi Pamalayu kembali ke Jawa dengan membawa serta dua putri Raja Dharmasraya
yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak dinikahkan oleh Raden Wijaya raja Majapahit pewaris
kerajaan Singasari, sedangkan Dara Jingga dengan Adwaya Brahman. Dari kedua putri ini
lahirlah Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit dan Adityawarman kemudian hari menjadi
raja Pagaruyung.
[sunting]Kerajaan Pagaruyung
Sejarah propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Adityawarman. Ra ja ini
cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya
sebagai Raja Minangkabau. Aditya warman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang di
percayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.
Adityawarman adalah tokoh pen ting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pe
merintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau.
Kon tribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Buddha. Agama ini pernah punya pengaruh
yang cukup kuat di Minangkabau. Ter bukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang
berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pa riangan, Padang Barhalo, Candi, Bia ro, Sumpur, dan Selo.
Sejarah Sumatera Barat sepe ninggal Adityawarman hingga perte ngahan abad ke-17 terlihat semakin
kompleks. Pada masa ini hubungan Su matera Barat dengan dunia luar, ter utama Aceh semakin intensif.
Sumate ra Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memo nopoli kegiatan
perekonomian di dae rah ini. Seiring dengan semakin inten sifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai
dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh
melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.
Syekh Burhanuddin dianggap sebagai pe nyebar pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan
aga ma Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.
[sunting]Kerajaan Inderapura
Jauh sebelum Kerajaan Pagaruyung berdiri, di bagian selatan Sumatera Barat sudah berdiri kerajaan
Inderapura yang berpusat di Inderapura (kecamatan Pancung Soal, Pesisir Selatansekarang ini) sekitar awal
abad 12. Setelah munculnya Kerajaan Pagaruyung, Inderapura pun bersama Kerajaan Sungai Pagu akhirnya
menjadi vazal kerajan Pagaruyung.
Setelah Indonesia merdeka sebagian besar wilayah Inderapura dimasukkan kedalam bagian wilayah provinsi
Sumatera Barat dan sebagian ke wilayah Provinsi Bengkulu yaitu kabupaten Pesisir Selatan sekarang ini.
Pengaruh politik dan ekonomi A ceh yang demikian dominan membuat warga Sumatera Barat tidak senang
kepada Aceh. Rasa ketidak puasan ini akhirnya diungkapkan de ngan menerima kedatangan orang Belanda.
Namun kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat. Kedatangan Belanda ke
daerah ini menjadikan Sumatera Barat memasuki era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.
Orang Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelan cong
berkebangsaan Perancis yang ber nama Jean Parmentier yang datang sekitar tahun 1529. Namun bangsa Ba
rat yang pertama datang dengan tu juan ekonomis dan politis adalah bang sa Belanda. Armada-armada
dagang Belanda telah mulai kelihatan di pan tai barat Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping
bangsa Belan da, bangsa Eropa lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu ju ga terdiri dari
bangsa Portugis dan Inggris.
[sunting]Perang Padri
Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku
Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda.
Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti
perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek
hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama
Islam.
Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan
Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian
diganti Tuanku Imam Bonjol.
Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan
setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.
Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir
Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838.
Berakhirnya perang Padri menandai perubahan besar di Minangkabau. Kerajaan Pagaruyung runtuh dan di
tempatnya berdiri pemerintahan Hindia Belanda.
Belanda memerintah diatur oleh perjanjian Plakat Panjang (1833). Di dalamnya Belanda berjanji untuk tidak
mencampuri masalah adat dan agama nagari-nagari di Minangkabau. Belanda juga menyatakan tidak akan
memungut pajak langsung. Hal ini menyebabkan para pemimpin Minangkabau membayangkan dirinya
sebagai mitra bukannya bawahan Belanda.
Penjajahan Belanda berpengaruh besar pada tatanan tradisional masyarakat Minangkabau. Di Sumatera Barat
Belanda membuat jabatan baru, seperti penghulu rodi. Kerapatan Nagari dijadikan sebagai lembaga
pemerintahan terendah, dan kepemimpinan kolektif para penghulu ditekan dengan keharusan memilih salah
seorang penghulu menjadi Kepala Nagari. Serikat nagari-nagari (laras, Bahasa Minang: lareh) yang
sebenarnya merupakan persekutuan longgar atas asas saling menguntungkan, dijadikan sebagai lembaga
pemerintahan yang setara dengan kecamatan.
Belanda juga berusaha mematikan jalur perdagangan tradisional Minangkabau ke pantai timur Sumatera
yang menyusuri sungai-sungai besar yang bermuara di Selat Malaka, dan mengalihkannya ke pelabuhan di
pantai Barat seperti Pariaman dan Padang. Pada tahun 1908 Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan
memberlakukan pajak langsung. Perang Belasting pun meletus.
Perlawanan terhadap Belanda di Sumatera Barat pada awal abad ke-20 memiliki warna Islam yang pekat.
Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya.
Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad
Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir
ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang
menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada
dakwah dan pendidikan. Abdullah Ahmad mendirikan majalah Al-Munir (1911-1916), dan beberapa ulama
kaum Muda lain sepertiH. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Muhammad Thaib ikut menulis di
dalamnya.
Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum Muda menantang konsep agama
tradisional yang sudah mapan, menentang taqlid buta, dan merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan
pidato mereka memicu pertentangan dan perdebatan sengit di ranah Minang.
Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau Jembatan Besi berdirilah
sekolah Sumatera Thawalib. Selain pendirinya H. Abdul Karim Amrullah guru lain yang berpengaruh di
sekolah ini adalah Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga mendirikan sekolah Diniyah. Berbeda dengan
Sumatera Thawalib yang terutama adalah perguruan agama sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan
umum, seperti matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini
berhubungan erat.
Banyak tokoh pergerakan atau ulama seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Djamaluddin Tamin, H. Dt.
Batuah, H.R. Rasuna Said dan Hamka merupakan murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang
Panjang ini.
Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada dasawarsa 1920-an sebuah gagasan baru
mulai menarik hati para murid sekolah Padang Panjang: komunisme. Di Padang Panjang pentolan komunis
ini terutama Djamaluddin Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini ditentang habis-habisan Haji Rasul
yang saat itu menjadi guru besar Sumatera Thawalib.
Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh ulama tradisional. Tahun 1930 ulama tradisional
mendirikan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) untuk mewadahi sekolah Islam Tradisional.
Djamaluddin Tamin sudah bergabung dengan PKI pada 1922. Dalam perjalanan singkat ke Aceh
dan Jawa pada tahun 1923 Datuk Batuah bertemu dengan Natar Zainuddin dan Haji Misbach. Agaknya ia
terkesan dengan pendapat Haji Misbach yang menyatakan komunisme sesuai dengan Islam. Bersama
Djamaluddin Tamin ia menyebarkan pandangan ini dalam koran Pemandangan Islam. Natar Zainuddin
kemudian kembali dari Aceh dan menerbitkan koran sendiri bernama Djago-djago. Akhir tahun itu juga
Djamaluddin Tamin, Natar Zainuddin dan Dt. Batuah ditangkap Belanda.
Setelah penangkapan tersebut pergerakan komunis malah menjadi-jadi. Tahun 1924 Sekolah Rakyat
didirikan di Padang Panjang, meniru model sekolah Tan Malaka di Semarang. Organisasi pemuda Sarikat
Rakyat, Barisan Muda, menyebar ke seluruh Sumatera Barat. Dua pusat gerakan komunis lain
adalah Silungkang dan Padang. Bila di Padang Panjang gerakan berakar dari sekolah-sekolah di Silungkang
pendukung komunis berasal dari kalangan saudagar dan buruh tambang.
Sulaiman Labai, seorang saudagar, mendirikan cabang Sarekat Islam di Silungkang, Sawahlunto pada 1915.
Pada tahun 1924 cabang ini diubah menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu berdiri juga cabang organisasi
pemuda komunis, IPO.
Di Padang basis PKI berasal dari saudagar besar pribumi. Salah satu pendiri PKI cabang Padang adalah
Sutan Said Ali, yang sebelumnya menjadi pengurus Sarikat Usaha Padang. Di bawah kepemimpinannya
mulai tahun 1923 PKI seksi padang meningkat anggotanya dari hanya 20 orang menjadi 200 orang pada
akhir 1925.
Pertumbuhan gerakan komunisme terhenti setelah pemberontakan di Silungkang 1927. Para aktivis komunis
ditangkap, baik yang terlibat pemberontakan ataupun tidak. Banyak di antaranya yang dibuang ke Digul.
Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum agama yang tak setuju dengan
ideologi baru itu pun tetap berkembang. Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam)
dengan tujuan mengumpulkan ulama-ulama di Sumatera Barat. Atas prakarsa H. Abdullah Ahmad
tahun 1924 berdirilah sekolah Normal Islam di Padang. Sekolah ini dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan,
lebih tinggi daripada Sumatera Thawalib yang merupakan sekolah rendah.
Setelah melawat ke Jawa tahun 1925 dan bertemu pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di sana Haji Rasul
turut mendirikan cabang Muhammadiyah. Pertama di Sungai Batang dan kemudian di Padang Panjang.
Organisasi ini dengan cepat menjalar ke seluruh Sumatera Barat.
Muhammadiyah berperan penting dalam menentang pemberlakuan Ordonansi Guru di Sumatera Barat
tahun 1928. Dengan ordonansi ini guru agama diwajibkan melapor kepada pemerintah sebelum mengajar.
Peraturan ini dipandang mengancam kemerdekaan menyiarkan agama. Sebelumnya Muhammadiyah di Jawa
sudah memutuskan meminta ordonansi ini dicabut. Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah rapat umum
yang kemudian memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.
Meskipun terlibat dalam penolakan Ordonansi Guru, berbeda dengan organisasi komunis seperti Sarikat
Rakyat, pada umumnya Muhammadiyah menghindari kegiatan politik. Penumpasan gerakan komunis tahun
1927 menyebabkan banyak anggota Sarekat Rakyat atau simpatisannya berpaling ke Muhammadiyah
mencari perlindungan. Para anggota yang lebih radikal ini tidak puas dan kemudian banyak yang keluar
untuk aktif dalam Persatuan Sumatra Thawalib. Organisasi ini pada tahun 1930 menjelma menjadi partai
politik bernama Persatuan Muslim Indonesia, disingkat Permi. Dengan asas Islam dan kebangsaan
(nasionalisme) Permi dengan cepat menjadi partai politik terkuat di Sumatera Barat, dan menyebar ke Aceh,
Tapanuli, Riau, Jambi dan Bengkulu. Partai ini menjadi wadah utama paham Islam modernis. Tokoh-tokoh
Permi yang terkenal antara lain Rasuna Said, Iljas Jacub, Muchtar Lutfi dan Djalaluddin Thaib.
Partai lain yang juga penting adalah PSII cabang Sumatera Barat yang berdiri tahun 1928, dan PNI Baru.
PSII Sumatera Barat seperti Permi sangat kuat sikap anti-penjajahannya. Namun tidak seperti Permi yang
berakar dari perguruan agama tokoh-tokoh PSII umumnya berasal dari pemimpin adat.
Cabang PNI Baru di Bukittinggi diresmikan Hatta tak lama setelah kepulangannya dari Belanda tahun 1932.
Sebelumnya cabang Padang Panjang sudah didirikan oleh Khatib Sulaiman.
PARI pimpinan Tan Malaka (didirikan di Bangkok 1929) punya pengaruh cukup besar, meskipun anggotanya
sendiri tidak banyak. Pengaruh PARI terutama lewat tulisan Tan Malaka yang disebarkan sampai tahun 1936.
[sunting]Penumpasan
Pada pertengahan 1933 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan berkumpul. Yang menjadi
sasaran utama di Sumatera Barat adalah Permi dan PSII. Sementara itu Rasuna Said sudah ditangkap oleh
Belanda dan dibuang ke Jawa. Tokoh-tokoh Permi dan PSII awalnya dilarang bepergian, kemudian kedua
partai dikenai larangan terbatas dalam mengadakan rapat umum. Pada akhirnya tokoh-tokoh Permi dan PSII
ditangkap dan dibuang ke Digul. Permi akhirnya bubar pada 18 Oktober 1937.
Pada saat yang sama di Batavia tokoh-tokoh Partindo dan PNI Baru juga ditangkap. Sukarno diasingkan
ke Flores, Hatta dan Sjahrir ke Digul. Pimpinan PNI Baru cabang Sumatera Barat sendiri dibiarkan bebas
karena mereka membatasi kegiatan politik partai. Sementara itu tokoh-tokoh PARI berhasil ditahan Belanda
yang bekerja sama dengan dinas IntelijenInggris. Tan Malaka, pimpinannya, lolos.
[sunting]Pendudukan Jepang
Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu berada di Padang berhasil
meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh nasionalis di Sumatera Barat agar mau bekerja sama dengan Jepang.
Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatera
Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatera Barat, Riau
dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat.
Tentara Sukarela ini kemudian menjadi inti Divisi Banteng.
[sunting]Rujukan
• (id)Kahin, Audrey (22 Desember 2010). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan
Politik Indonesia 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-519-6.
• (id) Buku Alam Takambang jadi Guru, AA.Navis, 1984
• (id) Historiografi Minangkabau
Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya
perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota
dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun.
A. LINTASAN SEJARAH MINANGKABAU
A.1. Pengantar
Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya
perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota
dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun.
Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar,
Suliki Gunung Emas, Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan Gadang,
Koto Tinggi, Ampang Gadang.
Seperti umumnya kebudayaan megalit lainnya berawal dari zaman batu tua dan berkembang sampai ke
zaman perunggu. Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong. Megalit seperti yang
terdapat disana juga tersebar ke arah timur, juga terdapat di Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu,
Birma dan Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong. Dengan perkataan lain
dapat dikatakan bahwa kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan
Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang sama pula.
Menurut para ahli bahwa pendukung kebudayaan Dongsong adalah bangsa Austronesia yang dahulu
bermukim di daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara dalam dua gelombang. Gelombang
pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi.
Gelombang kedua datang kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan menjadi nenek
moyang bangsa Indonesia sekarang.
Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut oleh para ahli dengan
bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Barak, Toraja, Dayak,
Nias, Mentawai dan lain-lain. Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu
Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis dan lain-lain.
Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau adalah bangsa
melayu muda dengan kebudayaan megalit yang mulai tersebar di Minangkabau kira-kira tahun 500 SM
sampai abad pertama sebelum masehi yang dikatakan oleh Dr. Bernet Bronson. Jika pendapat ini kita
hubungkan dengan apa yang diceritakan oleh Tambo mengenai asal-usul orang Minangkabau kemungkinan
cerita Tambo itu ada juga kebenarannya.
Menurut sejarah Iskandar Zulkarnain Yang Agung menjadi raja Macedonia antara tahun 336-323 s.m. Dia
seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan
penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan
barat dengan kebudayaan timur.
Tokoh Iskandar Zulkarnai dalam Tambo Minangkabau secara historis tidak dapat diterima kebenarannya,
karena dia memang tidak pernah sampai ke Minangkabau. Di samping di dalam sejarah Melayu, Hikayat
Aceh dan Bustanul Salatin Tokoh Iskandar Zulkarnain ini juga disebut-sebut, tetapi secara historis tetap saja
merupakan seorang tokoh legendaris.
Sebaliknya tokoh Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh Tambo sebagai salah seorang anak Iskandar
Zulkarnain, kemungkinan merupakan salah seorang Panglima Iskandar Zulkarnain yang ditugaskan
menguasai pulau emas (Sumatera), termasuk di dalamnya daerah Minangkabau. Dialah yang kemudian
menurunkan para penguasa di Minangkabau, jika kita tafsirkan apa yang dikatakan Tambo berikutnya.
Sayangnya Tambo tidak pernah menyebutkan tentang kapan peristiwa itu terjadi selain ”pada masa
dahulunya” yang mempunyai banyak sekali penafsirannya.
Tambo juga mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau dari puncak gunung merapi. Hal ini tidak
dapat diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi seperti kebiasaan orang Minangkabau sendiri harus dicari
tafsirannya, karena orang Minangkabau selalu mengatakan sesuatu melalui kata-kata kiasan, ”tidak tembak
langsung”. Tafsirannya kira-kira sebagai berikut: Sewaktu Maharajo Dirajo sedang berlayar menuju pulau
emas dalam mengemban tugas yang diberikan oleh Iskandar Zulkarnain, pada suatu saat dia melihat daratan
yang sangat kecil karena masih sangat jauh. Setelah sampai ke daratan tersebut ternyata sebuah gunung,
yaitu gunung merapi yang sangat besar. Tetapi oleh pewaris Tambo kemudian gunung Merapi sangat kecil
yang mula-mula kelihatan itulah yang dikatakan sebagai tanah asal orang Minangkabau. Selanjutnya cerita
Tambo yang demikian, juga masih ada sampai sekarang pada zaman kita ini.
Ada baiknya kita kutip apa yang dikatakan Tambo itu sebagai yang dikatakan oleh Sang Guno Dirajo: ”…
Dek lamo bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, yang sagadang talua itiak, sadang dilamun-lamun
ombak…” (sesudah lama berlayar akhirnya kelihatanlah pulau yang sangat kecil kira-kira sebesar telur itik
yang kelihatan hanya timbul tenggelam sesuai denga turun naiknya ombak).
Selanjutnya dikatakan:”…Dek lamo – bakalamoan aia lauik basentak turun, nan gosong lah basentak naiak,
kok dareklah sarupo paco, namun kaba nan bak kian, lorong kapado niniak kito, lah mendarek maso itu, iyo
dipuncak gunuang marapi…” (karena sudah lama berlayar dan pasang sudah mulai surut, gosong yang kecil
tadi makin besar, daratan yang kelihatan itu tak obahnya seperti perca, maka dinamakanlah daratan itu
dengan pulau perca yang akhirnya didarati oleh nenek moyang kita yang mendarat kira-kira di gunung
merapi).
Peristiwa inilah yang digambarkan oleh mamangan adat Minangkabau berbunyi “dari mano titiak palito, dari
telong nan barapi, dari mano asal niniak kito, dari puncah gunuang marapi” (dari mana titik pelita dari telong
yang berapi, dari mana datang nenek kita, dari puncak gunung merapi). Mamangan adat ini sampai sekarang
masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau..
Bagi kita yang menarik dari cerita Tambo ini bukanlah mengenai arti kata-katanya melainkan adalah cerita
itu memberikan indikasi kepada kita tentang nenek moyang orang Minangkabau asalnya datang dari laut,
(dengan berlayar) yang waktunya sangat lama. Kedatangan nenek moyang inilah yang dapat disamakan
dengan masuknya nenek moyang orang Minangkabau. Dengan demikian masuknya nenek moyang orang
Minangkabau dapat diperkirakan waktu kedatangannya: yaitu antara abad kelima sebelum masehi dengan
abad pertama sebelum masehi, sesuai dengan umur kebudayaan megalit itu sendiri.
Kembali kepada permasalahan pokok pada bagian ini, maka menurut Soekomo, tradisi Megalit pada
mulanya merupakan batu yang dipergunakan sebagai lambang untuk memperingati seorang kepala suku.
Sesudah kepala suku itu meninggal, akhirnya peringatan itu berubah menjadi penghormatan yang lambat
laun menjadi tanda pemujaan kepada arwah nenek moyang.
Bagaimana dengan megalit yang terdapat di Minangkabau? Barangkali fungsi pemujaan terhadap arwah
nenek moyang masih tetap berlanjut, seperti Menhir lainnya di Indonesia. Tetapi jika kita hubungkan Menhir
itu dengan kehidupan orang Minangkabau yang berkaitan dengan Medan Nan Bapaneh, yaitu tempat duduk
bermusyawarah dalam masyarakat Minangkabau sudah mulai berkembang pada zaman pra sejarah,
khususnya di zaman berkembangnya tradisi menhir di Minangkabau dan keadaan ini sudah berlangsung
semenjak sebelum abad masehi.
Dari peninggalan menhir dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemuka masyarakat sekarang di
tempat-tempat menhir itu terdapat seperti di Sungai Belantik, Andieng, Kubang Tungkek, Tiakat, Padang
Japang, Limbanang, Talang Anau, Padang Kandih, Balubus, Koto Tangah, Simalanggang, Taeh Baruh,
Talago, Ampang Gadang seperti yang dikatakan oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:
”Bahwa ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama
ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang. Di gelanggang ini dilakukan upacara,
yaitu semacam upacara selamatan untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah
membawa mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu Tagak yang
kemudian kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian berubah fungsi, sebahagian menjadi tanda
penghormatan kepada arwah nenek moyang dan sebahagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita
kenal dengan nama Medan nan Bapaneh”.
Karena sudah ada kehidupan bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat sudah hidup menetap
dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang utama. Hal ini sesuai pula dengan kehidupan
para pendukung kebudayaan Dongsong yang sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra
sejarah Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan ditemui peninggalan-
peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan bertani tersebut.
Diwaktu itu sudah dapat diperkirakan bahwa antara Adat Nan Sabana Adat sudah hidup di tengah-tengah
masyarakat Minangkabau, mengingat akan ajaran adat Minangkabau itu sendiri, yaitu Alam Takambang
jadikan guru. Sedangkan Adat Nan Sabana Adat berisi tentang hukum-hukum alam yang tidak berubah dari
dahulu sampai sekarang seperti dikatakan: Adat api mambaka, adat aia mamabasahi, adat tajam malukoi,
adat runciang mancucuak dan sebagainya (Adat api membakar, adat air membasahi, adat tajam melukai, adat
runcing mencucuk).
Demikian juga dengan Adat Nan Diadatkan sudah ada waktu itu, yaitu sebagai hukum yang berlaku dalam
masyarakat. Barangkali di zaman inilah berlakunya apa yang dikenal dengan hukum adat yang bersifat zalim
dan tidak boleh dibantah yaitu hukum adat yang bernama “Simumbang Jatuah” (simumbang jatuh),
mumbang kalau jatuh tidak dapat dikembalikan ke tempatnya lagi. Selanjutnya juga ada hukum yang
bernama “si gamak-gamak”, yaitu suatu aturan yang tidak dipikirkan masak-masak. Disamping itu juga
terdapat hukum yang dinamakan “Si lamo-lamo” yaitu siapa kuat siapa di atas persis seperti hukum rimba.
Barangkali hukum yang dinamakan “Hukum Tariak Baleh” juga berlaku di zaman ini. Hukum Tariak Baleh
hampir sama dengan hukum Kisas dalam agama Islam, misalnya orang yang membunuh harus di hukum
bunuh pula.
Keempat macam hukum adat itu memang sesuai dengan zamannya dimana belum terlalu banyak
pertimbangan terhadap suatu yang dihadapi dalam kehidupan. Sampai kapan berlakunya hukum ini mungkin
berlangsung sampai masuknya agama Islam pertama ke Minangkabau kira-kira abad ketujuh.
Zaman Purba Minangkabau berakhir dengan masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu kira-kira abad ketujuh,
dimana buat pertama kali di Sumatra Barat sudah didapati kelompok masyarakat Arab tahun 674. Kelompok
masyarakat Arab ini sudah menganut agama Islam, bagaimanapun rendahnya pendidikan waktu itu, tentu
sudah pandai tulis baca, karena ajaran Islam harus diperoleh dari Qur’an dan Hadist Nabi yang semuanya
sudah dituliskan dalam bahasa Arab. Dengan demikian diakhir bahagian ketiga abad ketujuh itu zaman purba
Minangkabau sudah berakhir.
Suku Minangkabau
Minangkabau
Adnan Saidi, Hatta, Yusof Ishak, Muszaphar Shukor,Natsir, Tan Malaka, Sutan
Sjahrir, Hamka, Yamin,Marah Roesli, Chairil Anwar, Agus Salim
Jumlah populasi
kurang lebih 5.475.000(2000) di Indonesia [1]
Bahasa
bahasa Minang, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu.
Agama
Islam.
Kelompok etnis terdekat
Melayu.
Minangkabau atau Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat
Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian
utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri
Sembilan di Malaysia[3]. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang
Padang, merujuk kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang.
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan
besar karena sistem monarki[4] serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem
kekeluargaan melalui jalur perempuan ataumatrilineal[5], walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai
ajaran agama Islam. Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di
dunia[6][7]. Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-
Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip
adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat
bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam[8].
Orang Minangkabau sangat menonjol dibidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka
merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan
dinamis.[9] Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang
perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar,
seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia,
etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.
Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat
digemari di Indonesiabahkan sampai mancanegara[10].
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Etimologi
• 2 Asal-usul
• 3 Adat dan budaya
• 3.1 Bahasa
• 3.2 Kesenian
• 3.3 Rumah adat
• 3.4 Perkawinan
• 4 Sosial kemasyarakatan
• 4.1 Persukuan
• 4.2 Nagari
• 4.3 Penghulu
• 4.4 Kerajaan
• 5 Minangkabau perantauan
• 5.1 Jumlah perantau
• 5.2 Gelombang rantau
• 5.3 Perantauan intelektual
• 5.4 Sebab merantau
• 5.4.1 Faktor budaya
• 5.4.2 Faktor ekonomi
• 5.4.3 Faktor perang
• 5.5 Merantau dalam sastra
• 6 Orang Minangkabau dan kiprahnya
• 7 Catatan kaki
• 8 Literatur
• 9 Lihat pula
• 10 Pranala luar
[sunting]Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas
Minang yang dikenal didalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing
(biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah
pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui
dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan
seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau
yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari
mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu
menginspirasikan masyarakat setempat memakai namaMinangkabau[11], yang berasal dari ucapan 'Manang
kabau' (artinya menang kerbau). Nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu
Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera
Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama[12] bertarikh 1365 M, juga telah ada
menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya.
Sedangkan nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan
Bukit yang bertarikh 682 Masehi dan berbahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri
kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" ...[13]. Beberapa ahli yang
merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya
tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai
kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar,
yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan[14]. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang
membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga
dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya[15]. Oleh karena itu
kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
[sunting]Asal-usul
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tambo Minangkabau dan Tombo Lubuk Jambi
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan
migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan
kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke
dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau[16]. Beberapa
kawasandarek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang
selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam,
dan Luhak Tanah Datar[5]. Kemudian seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk,
masyarakat Minangkabau terus menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan
tertentu menjadi kawasan rantau.
Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari
keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada
legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat
banyak.[4]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Adat Minangkabau dan Budaya Minangkabau
Sebuah pertunjukan randai
Adat dan budaya Minangkabau bercorakkan keibuan (matrilineal), dimana pihak perempuan bertindak
sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali
dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatangdan Datuk Ketumanggungan. Datuk
Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan
mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal
dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat
istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan
Tigo Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam
masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh
ketiga unsur itu secara mufakat[17].
[sunting]Bahasa
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan
pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa
yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan
bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri
yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-
Melayu.[18][19]
Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek
bergantung kepada daerahnya masing-masing.[20][21]
[sunting]Kesenian
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa
ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Diantara tari-tarian tersebut misalnya tari
pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan
rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian
dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang
diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah
berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai.
Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang[22], dalam randai ini juga terdapat
seni peran (acting) berdasarkan skenario[23].
Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata,
yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih
mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata
seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan
kontak fisik.[24].
Rumah Gadang
[sunting]Rumah adat
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah
milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun[25]. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk
empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang.[26] Umumnya berbahan kayu, dan
sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau
yang biasa disebut gonjong[27] dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng.
Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi penghuni rumah gadang.
Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota
kaum belum menikah, biasanya tidur di surau.
Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat
ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
Pakaian perempuan Minang dalam pesta adat atau perkawinan
[sunting]Perkawinan
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus
kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga
baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru,
yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam
penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang
umum dilakukan. Dimulai denganmaminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin
pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminangdan muncul kesepakatan manantuan
hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa
dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab
kabul di depan penghulu atautuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti
nama kecilnya.[28] Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar
panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di
kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
[sunting]Sosial kemasyarakatan
[sunting]Persukuan
Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat
pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalamBahasa Minang dapat
bermaksud satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat
dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut.
Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan
diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama[5].
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh
kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal
sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga.
Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana
jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang
mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung).
Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik(perut) biasanya tinggal
pada sebuah rumah gadang secara bersama-sama[29]
[sunting]Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan
tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di
sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari
dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut.
Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan
inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang
konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise.[30] Oleh
karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan
mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada
masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto
manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang
dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian
berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk
minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut[5].
[sunting]Penghulu
Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum-keluarga yang diangkat oleh
anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang
terpilih diantara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang
pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan ia
bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil
kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam
rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka
kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya,
anggota kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya
kepada keluarga lainnya yang sesuku.[31] Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam
suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri.
Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar
kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari
kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya
cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.[32]
[sunting]Kerajaan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Melayu , Dharmasraya , dan Kerajaan Pagaruyung
Dalam laporan de Stuers[33] kepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman
Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Tetapi yang
ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada
masa Yunani kuno. [34] Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman
Minangkabau, serta daritambo yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam
suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatra dan bahkan
sampai semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan
Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.
[sunting]Minangkabau perantauan
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar provinsi Sumatera
Barat, Indonesia. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar.
Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung
halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau,
biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling
kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan
penuntut ilmu agama.[35]
Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun
penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal
untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu
pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman
untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah,
memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau
biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun
pematang sawah.
[sunting]Jumlah perantau
Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil
studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang
berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %[36].
Berdasarkan sensus tahun 2000, etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 3,7 juta jiwa,
dengan perkiraan hampir sepertiga orang Minang berada di perantauan.[1]. Mobilitas migrasi orang
Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana
lebih 80 % perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa
kolonial Belanda[37]. Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos merantau
orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun 1930, perantau
Minangkabau hanya sebesar 10,5 % dibawah orang Bawean (35,9 %), Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).
Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang
ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat.
Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan.
[sunting]Gelombang rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada
abad ke-7, dimana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan
perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu.[38] Migrasi besar-besaran
terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka
mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri
Sembilan,Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan
masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim
di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee, Barus,
hingga Bengkulu.[39] Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga
Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai
pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal
keluarga Minangkabau di Sulawesi.[40] Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika
Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika
perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang
perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961 jumlah perantau Minang terutama di
kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya
3,7 kali[41], dan pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10 % dari jumlah penduduk
Jakarta waktu itu[42]. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.
[sunting]Perantauan intelektual
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam,
diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi
penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau
dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori
oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-
Minangkabawi.
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara
lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual
lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan
kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi
pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.[43]
[sunting]Sebab merantau
[sunting]Faktor budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal.
Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria
dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah
orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.
Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada
anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan
masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan
selalu diperolok-olok oleh teman-temannya.[31] Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih
untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami,
tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-
parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan
tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.[44] Semangat untuk merubah nasib dengan
mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah
babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena
dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
Salah satu motif tenun songket Minangkabau khas nagari Pandai Sikek
[sunting]Faktor ekonomi
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam
yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat
menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak
cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa
keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan
pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib
di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih
dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi
sebagai pedagang kecil.
Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan
berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau,
secara geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas,tembaga, timah, seng, merkuri, dan besi,
semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.[45] Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas)
yang muncul pada cerita legenda di India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera
karena hal ini.[46] Pedagang dariArab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau
Sumatera telah menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13
diketahui ada raja di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16
menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman
(Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri pada
sehiliran Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.
[47] Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas.
Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang[48] dan
sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung.
[49] Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia memasuki
pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja
Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya
adalah pendulang emas.[50] Sementara itu dari catatan para geologi Belanda, pada
sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta
di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas.[51] Sampai abad ke-19, legenda akan
kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia
tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.
[52]
[sunting]Faktor perang
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Padri dan Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia
Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari
daerah konflik, setelah perang Padri,[53] muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa
Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh menentang Belasting dan pemberontakan komunis
tahun 1926-1927.[54] Setelah kemerdekaan muncul PRRIyang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-
besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain.[42] Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini,
memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan
perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih memilih pergi meninggalkan
kampung halaman (merantau). Orang Sakai berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya
menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung.[55] Orang Kubu menyebut bahwa orang dari
Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang
yang melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mau menerima
perubahan yang terjadi di negeri mereka. De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa
masyarakat Padangsche Bovenlanden sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia
menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan orang Eropa. Ia merasakan
sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa,
malah ada penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok tersebut.[33]
[sunting]Merantau dalam sastra
Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para
pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman
hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang
lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang
kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk
bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Siti Nurbaya dan Salah
Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan
mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5
Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya
menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A.A
Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi
merantau.
Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat
budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga
dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.
Orang Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh
Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi,
penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari
penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian.
[37] Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di
abad ke-20 merupakan orang Minang.[56] 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra
Minangkabau.[57][58]
Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak dulu mereka
telah pergi merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei,
hingga Philipina. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina selatan.[59] Pada
abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk
negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang
diangkat pada tahun 1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang, Dato Ri Patimang,
dan Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkan kerajaan Gowa. Setelah gagal
merebut tahta Kesultanan Johor, pada tahun 1723 putra Pagaruyung yang bergelar Sultan Abdul Jalil
Rahmad Syah I mendirikan Kerajaan Siak di daratan Riau.[60]
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah mempengaruhi sistem pendidikan di
Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putribanyak melahirkan aktivis yang
banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas,
dan Djamaluddin Tamin.
Pada periode 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi
salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun 1923 Tan Malakaterpilih menjadi wakil Komunis
Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi
pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi
asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis.
Tokoh Minang lainnyaMohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah
kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad
Hatta,Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden
(Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi
menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi
orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain
etnis Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan,
di masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam
aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.
Di samping menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat, orang-orang Minangkabau juga
duduk sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin(Jawa Barat), Daan
Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan
Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani(Sumatra Selatan), Eni Karim (Sumatera
Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[61]
Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan
Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta,Masyumi oleh
Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain mendirikan partai
politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktifis
pergerakan. Buku-buku bacaan utama itu antara lain, Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Massa
Actie karya Tan Malaka, Alam Pikiran Yunanidan Demokrasi Kita karya Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita
Selecta karya Natsir, serta Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir.
Penulis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan
bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli,Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan A.A
Navis berkarya melalui penulisan novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis
novel Indonesia yang paling produktif.Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi.
Serta Sutan Takdir Alisjahbana, novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan modernisasi bahasa Indonesia
sehingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Siti
Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, danRobohnya Surau
Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.
Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis Minang.
Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Di samping Abdul Rivai yang
dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi
wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.
Tuanku Abdul Rahman, salah seorang tokoh Minang yang berpengaruh di kawasan rantau
Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha
ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan,
pendidikan, dan rumah sakit. Di antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief(pemilik TV
One), Basrizal Koto (pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan
mobil pertama di Indonesia), danTunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar Corporation Malaysia)
Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser, penyanyi,
maupun artis. Sebagai sutradara dan produser adaUsmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal.
Arizal bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-
kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkannya. Film-film karya sineas Minang,
seperti Lewat Djam Malam, Gita Cinta dari SMA, Naga Bonar, Pintar Pintar Bodoh, dan Maju Kena
Mundur Kena, menjadi film terbaik yang banyak digemari penonton.
Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah Ade Irawan, Dorce
Gamalama, Eva Arnaz, Nirina Zubir, dan Titi Sjuman. Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi
pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Karya-karya beliau seperti kuis Berpacu Dalam Melodi, Gita
Remaja, Siapa Dia, dan Tak Tik Boom menjadi salah satu acara favorit keluarga Indonesia. Di samping
mereka, Soekarno M. Noer beserta putranyaRano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di
Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993, Karno's Filmperusahaan film milik
keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman
Indonesia, Si Doel Anak Sekolahan.
Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenal kontribusinya. Di Malaysia dan Singapura, antara
lain Tuanku Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agungpertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden
pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), Sheikh
Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia), Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Adnan bin Saidi. Di
negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang
Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen.[62]. Di Arab Saudi, hanya Ahmad Khatib Al-
Minangkabawi, orang non-Arab yang pernah menjadi imam besar Masjidil Haram, Mekkah.
[sunting]Catatan kaki
1. ^ a b Suryadinata, Leo; Arifin, Evi Nurvidya; Ananta, Aris (2003). Indonesia's Population, Ethnicity
and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 981-
230-212-3.
2. ^ www.statistics.gov.my Sumber statistik rasmi Malaysia
3. ^ Josselin de Jong, P.E. de, (1960), Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Structure in
Indonesia, Jakarta: Bhartara
4. ^ a b Navis, A.A., (1984), Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau,
Jakarta: PT. Grafiti Pers.
5. ^ a b c d Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta:
Balai Pustaka.
6. ^ Evers, Hans-Dieter, Korff, Rüdiger, (2000), Southeast Asian Urbanism, LIT Verlag Münster,
Ed.2nd , hlm.188, ISBN 3-8258-4021-2
7. ^ Ong, Aihwa, Peletz, Michael G., (1995), Bewitching women, pious men: gender and body politics
in Southeast Asia, University of California Press, hlm. 51, ISBN 0-520-08861-1
8. ^ Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, and Mohamad, Maznah, (2009), Muslim-Non-Muslim
Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, Chaptep 6: Not Muslim, Not
Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina
Elvira, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 978-981-230-874-0
9. ^ Graves, Elizabeth E. (23 Desember 1981). The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule
Nineteenth Century. Itacha, NY: Cornell Modern Indonesia Project #60. hlm. 1.
10.^ Ramli, Andriati, (2008), Masakan Padang: Populer & Lezat, Niaga Swadaya, ISBN 978-979-
1477-09-3.
11.^ Djamaris, Edwar, (1991), Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
12.^ Brandes, J.L.A., (1902), Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara,
Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de
puri te Tjakranagara op Lombok.
13.^ Cœdès, George, (1930), Les inscriptions malaises de Çrivijaya,BEFEO
14.^ Purbatjaraka, R.M. Ngabehi, (1952), Riwajat Indonesia, I, Djakarta: Jajasan Pembangunan.
15.^ Casparis, J.G. de, (1956), Prasasti Indonesia II, Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung:
Masa Baru.
16.^ Graves (1981), p. 4.
17.^ Westenenk, L. C. (1918). De Minangkabausche Nagari. Weltevreden: Visser. hlm. 59.
18.^ Simanjuntak, Mengantar, (1982), Aspek bahasa dan pengajaran, Sarjana Enterprise.
19.^ Garry, J., Carl R., Rubino, G., (2001), Facts about the world's languages: an encyclopedia of the
world's major languages, past and present, H.W. Wilson, ISBN 0824209702.
20.^ Medan, Tamsin, (1985), Bahasa Minangkabau dialek Kubuang Tigo Baleh, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
21.^ Nadra, (2006), Rekonstruksi bahasa Minangkabau, Andalas University Press, ISBN 9793364556.
22.^ Phillips, Nigel, (1981), Sijobang: sung narrative poetry of West Sumatra, Cambridge University
Press, ISBN 978-0-521-23737-6.
23.^ Pauka K., (1998), Theater and martial arts in West Sumatra: Randai and silek of the
Minangkabau, Ohio University Press, ISBN 978-0-89680-205-6.
24.^ Suryadi (2010), Masa Depan Seni Bersilat Lidah Minangkabau, Padang Ekspres.
25.^ Graves, Elizabeth E., (2007), Asal-usul elite Minangkabau modern: respons terhadap kolonial
Belanda abad XIX/XX, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-661-1.
26.^ Azinar Sayuti, Rifai Abu, (1985), Sistem ekonomi tradisional sebagai perwujudan tanggapan aktif
manusia terhadap lingkungan daerah Sumatera Barat, hlm. 202, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
27.^ Navis, A.A., Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 3, Grasindo, ISBN 979-759-551-X.
28.^ Idris, Soewardi (2004). Sekitar Adat Minangkabau. Jakarta: Kulik-Kulik Alang, Himpunan Eks-
Siswa SMP Negeri Solok Masa Revolusi, 1946-1949,.
29.^ de Jong, P.E de Josselin (23 Desember 1960). Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political
structure in Indonesia. Djakarta: Bhartara. hlm. 10.
30.^ Graves (1981), p. 11.
31.^ a b Stibbe (23 Desember 1869). Het Soekoebestuur in de Padangsche Bovenlanden. hlm. 33.
32.^ Graves (1981), p. 25.
33.^ a b Laporan kepada Gubernur Jendral, 30 Agustus 1825, Exhibitum, 24 Agustus 1826, No. 41.
34.^ Bonner, Robert Johnson (1933). Aspects of Athenian democracy Vol 11. University of California
Press. hlm. 25-86.
35.^ Graves (1981), p. 40.
36.^ Naim, Mochtar. Merantau, Minangkabau Voluntary Migration, University of Singapore.
37.^ a b Kato, Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai
Pustaka. ISBN 979-690-360-1.
38.^ Munoz, Paul Michel (23 Desember 2010). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the
Malay Peninsula.
39.^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau
1784 – 1847.
40.^ www.rajaalihaji.com Melayu-Bugis-Melayu dalam Arus Balik Sejarah
41.^ Castles, Lance (1967). Religion, politics, and economic behaviour in Java: the Kudus cigarette
industry. Yale University.
42.^ a b Syamdani, (2009), PRRI, pemberontakan atau bukan, Media Pressindo, ISBN 978-979-788-
032-3.
43.^ Poeze, Harry A. In het Land van de Overheerser: Indonesiër in Nederland 1600-1950.
44.^ www.antara-sumbar.com Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Ma'arif, Satu Nomor Contoh Produk Tradisi
Merantau
45.^ Bemmelen Van R.W., (1970), The Geology of Indonesia, The Haque.
46.^ Wheatley P., (1961), The Golden Khersonese, Kuala lumpur, pp.177-184
47.^ Cortesao A., (1944), The Suma Oriental of Tome Pires, London:Hakluyt Society.
48.^ Marsden W., (1811), The History of Sumatra, London
49.^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
50.^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff.
40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39
51.^ Tobler A., (1911), Djambi-Verslag, Jaarboek van het Minjwezen in Nedelandsch Oost-Indie:
Verhandelingen, XLVII/3.
52.^ Raffles, Sophia, (1830), Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles,
London: J. Murray.
53.^ Nain, Sjafnir Aboe, (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
54.^ Kahin, Audrey R.,(2005), Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia,
1926-1998, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-519-5.
55.^ Suparlan, Parsudi (1995). hlm. 73.
56.^ . Majalah Tempo Edisi Khusus Tahun 2000. Kesalahan: waktu tidak valid.
57.^ Tim Wartawan Tempo, "4 Serangkai Pendiri Republik", Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
(2010)
58.^ Empat Pendiri Republik Indonesia adalah Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka
59.^ Naim, Mochtar. Merantau.
60.^ www.melayuonline.com Kerajaan Siak Sejarah Kerajaan Siak
61.^ www.posmetropadang.com Budaya Merantau Orang Minang (1) Kalaulah di Bulan Ada
Kehidupan[pranala nonaktif]
62.^ www.tempointeraktif.com Mengenang Sastrawan Rustam Effendi
[sunting]Literatur
• (de) Astrid Kaiser: Mädchen und Jungen in einer matrilinearen Kultur. Interaktionen und
Wertvorstellungen bei Grundschulkindern im Hochland der Minangkabau auf Sumatra. Kovac,
Hamburg 1996 ISBN 3-86064-419-X
• (de) Ute Marie Metje: Die starken Frauen. Gespräche über Geschlechterbeziehungen bei den
Minangkabau in Indonesien. Campus, Frankfurt am Main und New York 1995, ISBN 3-593-35409-8
• (de) Dieter Weigel: Reisemosaik bei den Minangkabau. Sumatra. Heiteres, Ernstes, Alltägliches,
Unglaubliches. Jahn und Ernst, Hamburg 1998, ISBN 3-89407-208-3(Erlebnisbericht)
• A.A. Navis, Curaian Adat Minangkabau
Berbeda dengan AA Navis, maka Prof. Mr. M. Nasroen membikin urutannya : Adat yang sebenarnya adat;
Adat yang diadatkan; Adat yang teradat dan Adat istiadat. Sebagai alasan dari Prof. Mr. M. Nasroen
membagi urutannya semacam itu ialah :
“Adat istiadat kalau telah dibiasakan akan meningkat menjadi Adat nan teradat dan Adat nan teradat ini
secara nyata dapat dijadikan Adat yang diadatkan dan Adat yang diadatkan ini menurut keyakinan dan
penerimaan masyarakat pada suatu massa dapat menempati tingkat Adat yang sebenar adat.
“Dan menurut perputaran zaman dan keadaan, bukanlah tidak mungkin ada dari Adat yang sebenar adat itu
sesuatunya yang akan merupakan Adat istiadat pula dan dengan demikian akan terbukalah pula permulaan
dari perputaran baru begitu seterusnya” (hlm. 45).
Berbeda dengan urutan AA Navis serta Prof. Mr. M. Nasroen maka penyusun membagi urutan sebagai
berikut : Adat yang sebenar adat; Adat yang teradat; Adat yang diadatkan dan Adat Istiadat.
Jadi, persamaannya dengan AA Navis dan Prof. Mr. M. Nasroen ialah yang pertamanya : Adat yang sebenar
Adat. Yang berbedanya dengan AA Navis ialah letak Adat istiadat menurut AA Navis pada urutan kedua,
sedang bagi penyusun termasuk yang keempat. Sedang yang ketiganya sama : Adat yang diadatkan.
Berbedanya penyusun dengan Prof. Mr. M. Nasroen dalam urutannya ialah letak Adat yang diadatkan
baginya pada urutan kedua, sedang bagi penyusun urutan ketiga. Sedang urutan keempat adalah sama.
Sebagai alasan dari penyusun untuk menyusunnya seperti itu, karena menurut mamangan yang dimaksud
dengan Adat istiadat itu “Besarnya karena diambak dan tingginya karena dianjung”. Dengan kata lain ia
bukanlah subjek yang melahirkan ketentuan-ketentuan hukum.
Berbeda dengan Adat istiadat, maka Adat yang teradat melahirkan peraturan-peraturan itu menjadi konsensus
masyarakat memakainya. Dari musyawarah dan mufakat itu juga lahir Undang-undang atau hukum yang bila
dilanggar ada sanksinya. Dengan kata lain Adat yang diadatkan, ada, setelah Adat yang teradat
menciptakannya. Barulah kemudian diatur cara-cara seremoni, misalnya mengenai upacara perkawinan.
Jelasnya urutan tersebut sebagai berikut :
Sebelum Islam masuk, Adat Minangkabau “bersendi alur dan patut”. Sesudah Islam masuk terjadi perubahan
: “Adat bersendi syarak dan syarak bersendi Kitabullah”. Berhubung dengan bergantinya sendi daripada Adat
(yaitu dari alur dan patut menjadi Kitabullah) maka ada yang mengatakan bahwa Adat yang sebenar adat itu
ialah Al Quran dan Hadis.
Yang terakhir ini tentu tidak bertentangan dengan pendapat Prof. Mr. M. Nasroen yang mengatakan : “….
Tuhan memberikan rakhmadnya kepada nenek-moyang orang Minangkabau, sebelum mereka beragama
Islam membaca ayat-ayat Tuhan yang terdapat pada alam dan berdasarkan ayat-ayat pada alam itu, maka
nenek-moyang orang Minangkabau menyusun Adat Minangkabau”. (hal. 25).
Bukankah di dalam kitab suci Al Quran terdapat ayat yang mengatakan bahwa banyak ayat-ayat Tuhan
terdapat pada alam bagi siapa yang pandai membacanya !.
Dengan kata lain yang dimaksud dengan Adat yang teradat ialah peraturan-peraturan yang lahir oleh
musyawarah dan mufakat atau telah menjadi konsensus masyarakat memakainya.
Jika termasuk dalam Adat yang teradat ungkapan “Patah tumbuh hilang berganti”, seperti kedudukan
Penghulu dari Ninik turun ke Mamak dan dari Mamak turun ke Kemenakan.
Keharusan setiap orang Minangkabau bersuku – bernagari dan sukunya menurut suku ibu menunjukkan
berlakunya sistem matrilinial. Mengenai sistem matrilinial ini ada orang yang mengatakan ia termasuk dalam
Adat yang sebenar adat. Padahal sistem matrilinial ini adalah sistem bikinan manusia. Ia pernah tidak ada,
kemudian ada dan telah menerima pula sistem patrilinial dari agama Islam, misalnya mengenai pembagian
warisan. Kenyataan lain sistem matrilinial itu terus digerogoti misalnya dengan di belakang nama seseorang
tidak dicantumkan nama ibunya, melainkan nama bapaknya.
Juga di dalam Adat yang diadatkan diatur hubungan manusia dengan manusia. Misalnya soal pewarisan, etik,
moral dan nilai-nilai. Panggilan Datuk bagi pria Silungkang yang lebih tua merupakan etika dan nilai sendiri.
Di nagari lain menurut Adat yang diadatkan mereka mengenai panggilan pria yang lebih tua ada dengan
“Uda”, “Ociek”, “Akak”, dan sebagainya.
Juga di dalam Adat yang diadatkan terdapat Undang-undang Luhak dan Rantau. Luhak Bapanghulu, Rantau
Barajo. Juga ada Undang-undang Nan 20 : Nan 8 mengenai jenis kejahatan (tikam-bunuh, upas racun,
samun-sakar, siar-bakar, maling-curi, daga-dagi, kicuh-kicung, sumbang-salah). Sedang Nan 12 terbagi dua :
yang 6 berisi alasan untuk dapat menangkap dan menghukum seseorang (tertumbang-terciak, tertanda-
terbukti, tercengang- teregas, terikat-terkebat, terlantar-terkejar, terhambat-terpukul). 6 yang lain dinamakan
Cemo (cemar). Sehingga ada alasan untuk memeriksa atau menangkapnya, yaitu bersurih bagai sipasin;
berjejak bagai bakiak; enggang lewat atal jatuh; kecendurangan mata orang banyak; menjual murah; berjalan
tergesa-gesa dibawa pikat dibawa lalat.
d. ADAT ISTIADAT
Adat istiadat ialah kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat umum. Ia besar karena diambak dan ia tinggi
karena dianjung. Yang termasuk dalam Adat istiadat ini ialah hal-hal yang bersifat seremoni, misalnya
mengenai upacara perkawinan. Juga termasuk dalam Adat istiadat tingkah laku dalam pergaulan yang bila
dilakukan akan dianggap baik.
Mawardi Yunus Dt. Rajo Mangkuto2) mengatakan untuk dapat dilestarikan Adat Minang itu, pertama-tama
harus jelas perbedaan mana yang dikatakan “Adat yang sabana adat, adat yang teradat, Adat istiadat dan Adat
yang diadatkan. Kalau tidak sanggup membedakannya, akan mendatangkan kesalahan pandang terhadap
nilai-nilai Adat Minangkabau itu sendiri. Di samping itu perlu ditambah dengan sejarah pertumbuhan
keluarga kaum serta proses terjadinya nagari masing-masing. Tanpa pengetahuan adat dan mengetahui
sejarah kaum dan nagari, sulit bagi seorang Ninik – Mamak untuk berperan di dalam kaum dan sukunya serta
di nagari pada umumnya. Bahkan sukar bagi Ninik – Mamak untuk berperan dalam melestarikan nilai-nilai
adat tersebut”.
Sumber : Buku Silungkang dan Adat Istiadat oleh Hasan St. Maharajo
Catatan kaki :
1. AA. Navis : “Alam terkembang jadi guru”, hlm 88 – 89.
2. Mawardi Yunus Dt. Rajo Mangkuto : “Peranan Ninik – Mamak dan era pembangunan” (Makalah
dalam Seminar Adat Minangkabau di Jakarta November 1984).