Professional Documents
Culture Documents
Andi Yusuf1
Awal abad ke-16 sebuah perjalanan pelaut Inggris melaporkan dalam catatan
Kerajaan Wajo yang dikunjungi pada masa itu dilukiskan sebagai kerajaan
mengenai Kerajaan Wajo pada masa itu tentang bentuk Negara dan Pemerintahan
di Kerajaan tersebut yang mirip dengan sistem demokrasi apalagi dengan bentuk
Tak ada jabatan dalam kerajaan yang dianggap sebagai warisan mutlak, bisa
saja hanya menjabat dalam waktu periode tertentu, meskipun tidak sedikit dari
kalangan bangsawan atau keturunan raja yang mewarisinya. Orang-orang yang akan
1
Mahasiswa Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.
2
Kutipan Christian Pelras mengenai laporan perjalanan James Brooke di Kerajaan Wajo dalam
bukunya Manusia Bugis (2006)
1
pemilihan khusus yang berdasarkan berbagai kriteria seperti garis keturunan,
hubungan dengan pejabat sebelumnya, kualitas pribadi, dan pengaruh yang dinilai
Pada masa Kerajaan Wajo, dimana dalam catatan sejarah ditemukan model
kekuasaannya terbagi. Seorang penguasa dinamai atau disebut Arung Matoa (raja
para matoa) yang umumnya selalu diduduki oleh seorang laki-laki, ia dibantu oleh
dan tiga orang Baté Lompo (pemegang panji). Lembaga pimpinan tertinggi kerajaan
Wajo ini di bantu oleh Arung Mabbicara sebagai lembaga pembuat undang-undang.
Disamping itu juga terdapat lembaga yang disebut Suro ri Bateng yang
beranggotakan tiga orang yang berasal dari 3 wanua asal yang 3 tugas yaitu untuk
hasil permufakatan dan perintah dari Petta Wajo. Jadi terdapat 40 orang dalam
lembaga pemerintahan Tana Wajo, yang terdiri atas 1 orang Arung Matoa, 6 orang
yang empat puluh) yang bentuknya menyerupai sistem parlemen. Bentuk atau
1995:408) :
2
“ … Pola kepemimpinan Wajo dapat disebut lebih dekat
kepada sistem patrimonial yang bersifat tradisional, pada
kelompok persekutuan tetapi pada pucuk pimpinan yakni
Arung Matoa Wajo berlaku pola-pola kepemimpinan
rasional yang didasarkan kepada kemampuan pribadi dan
penerimaan dari Perwakilan Rakyat (secara terbatas)”
dalam ranah modern kedalam struktur dan sistem baru dan telah jauh
pemerintahan kerajaan Wajo pada masa penjajahan Hindia Belanda, dimana Arung
Patappuloe’ tidak lagi memegang peranan penting dalam kekuasaan tetapi hanya
menjadi simbol bagi rakyat Wajo dan larangan mengadakan hubungan diplomatik
dengan negara-negara lain pada masa itu, hal ini disebabkan karena kekakalahan
perang pada tahun 1905 - 1906 yang menyebabkan Wajo’ harus tunduk dan menaati
Setelah Perang Kemerdekaan tahun 1957, daerah bekas kerajaan atau daerah
swapraja4 seperti Luwu, Bone, Soppeng, Gowa serta Wajo dijadikan daerah
kabupaten yaitu daerah tingkat II biasa yang di kepalai oleh Bupati Kepala Daerah
yang merupakan pembagian wilayah setelah Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur.
Saat ini beberapa bekas kerajaan di Sulawesi Selatan termasuk Wajo telah menjadi
salah satu kabupaten yang berstatus administratif sama dengan kabupaten lainnya
3
Dalam Mattulada (1995) disebutkan sebagai wilayah di bawah pemerintahan seorang Assistant
Resident Belanda yang berkedudukan di Bone.
4
Daerah/ wilayah bekas zelbestur yang dijadikan Belanda sebagai bagian dari Negara Indonesia
Timur yang merupakan bentukan Belanda juga.
3
yang subur di Indonesia saat ini juga mengantarkan sistem politik dunia turut
genre ideologi politik lainnya telah banyak didengungkan sejak awal kemerdekaan
Indonesia hingga saat ini sedang dalam pengembangan model pranata politik
di Indonesia.
menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto yang telah
berkuasa selama kurun waktu 32 tahun. Perihal ini kemudian memberikan kondisi
dalam sistem politik dan pembagian kekuasaan di Indonesia. Beberapa daerah yang
Indonesia. Meskipun aksi-aksi ini hanya bersifat aksidental dari eforia reformasi
pada awalnya, namun justru menjadi isu yang sangat sensitif dan mendesak untuk
4
Hal menarik di Indonesia saat ini yang terdiri dari berbagai suku bangsa
ini merupakan wujud dari ide “Trias Politica” yang dikemukakan oleh Motesqueui
dan Jhon Locke dimana pembagian kekuasaan negara sampai pemerintahan tingkat
daerah terbagi kedalam 3 lembaga negara. Miriam Budiardjo (2004, hal: 315)
undang). Pada masa Orde Baru, bentuk pembagian kekuasaan seperti diatas di nilai
oleh banyak kalangan hanya menjadi sekedar jargon belaka tetapi sebenarnya tidak
pranata politik yang ada mulai ramai di kaji kembali dan upaya para ilmuwan sosial
maupun praktisi politik untuk menempatkan dan menerapkan secara benar sistem
demokrasi dalam tatanan negara sehingga wujud dan perannya dapat berfungsi
dengan baik.
politik di tingkat lokal. Hal ini ditandai dengan penerapan konsep chek and
balances kekuatan politik lokal antara legislatif dan eksekutif. Peran dan fungsi
lembaga legislatif daerah (DPRD) menjadi lebih besar dibandingkan pada masa
Orde Baru. Partisipasi politik lokal semakin meningkat secara signifikan dengan
dadakan” di setiap daerah dalam ranah politik, kondisi yang dimanfaatkan untuk
5
demokrasi - yang secara harafiah bermakna bahwa rakyat (demos) itulah yang merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi (kratein)
5
mencapai kekuasaan baik itu ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota guna
Pemerintah Daerah, melalui mekanisme pemilihan umum dan partai politik para
Bercermin dari pranata politik dan pembagian kekuasaan yang ada di daerah
saat ini mengingatkan kita tentang sistem politik kerajaan di Wajo dimasa lalu
seperti yang penulis utarakan diawal, dimana kekuasaan tidak berada di tangan raja
secara individu tetapi peran setiap wanua yang ada di wilayah kerajaan menjadi
bagian dalam pengambilan keputusan politik, baik masalah konflik, perang maupun
hal yang berkaitan dengan sumber daya ekonomi. Sedangkan budaya politik sebagai
turun temurun berupa tatanan nilai dan norma perilaku. Sementara itu, lingkungan
(dalam praktik politik) dan kekuasaan saat ini. Tak lepas dari nilai-nilai yang selama
ini menjadi pegangan orang bugis Wajo dalam ruang lingkup kebudaayannya yang
terwarisi secara turun menurun kemudian tercermin dalam kondisi politik di daerah
yang ada saat ini. Mengungkap berbagai aspek dan nilai budaya lokal 6 masyarakat
pada era reformasi dewasa ini memerlukan pengamatan yang cermat, apalagi
6
Muhammad Ramli (2008:1) memberikan pendapat tentang pentingnya aspek nilai-nilai kearifan
lokal yakni pappaseng to riolo atau pesan tokoh dalam sejarah Bugis untuk diterapkan dalam
implementasi kebijakan publik.
6
menginginkan suatu konsep budaya yang dianggap masih dipegang teguh oleh
Berkaitan dengan itu, fenomena sosial yang sangat aktual dalam kegiatan
politik dewasa ini yang dialami oleh masyarakat pada umumnya dan masyarakat
Bugis pada khususnya adalah berkaitan dengan pranata politik dan pembagian
lembaga legislatif daerah (DPRD) misalnya yang bertanggung jawab penuh dalam
beberapa tulisan terkait masalah politik dan kekuasaan, serta masukan dari dosen
dalam latar belakang. Dengan tidak hanya melihat sisi politik dengan formalitasnya
dalam tatanan negara, tetapi penting bagi penulis untuk mengungkapkan sisi-sisi
lainnya seperti tatanan nilai-nilai, perilaku dan budaya yang selalu selalu bertautan
dengan aspek politik. Seperti Mattulada (1995) yang menitikberatkan pada nilai-
nilai budaya, adat istiadat dalam penyelenggaraan negara pada orang Bugis,
Mattulada mencoba memahami kedudukan jalan pikiran dan sikap hidup orang