You are on page 1of 9

MADRASAH

PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK MADRASAH


Pengertian Madrasah
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" dari akar
kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar",
atau "tempat untuk memberikan pelajaran".1

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah"
kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia,
2
melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal,
madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas
dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah
agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran tentang seluk-beluk
3
agama dan keagamaan Islam.
Madrasah dan sekolah islam saat ini, dari segi substansi sama saja, karena masing-
masing mengajarkan agama dan bahasa arab, sedangkan kurikulum lain mengikuti standar
nasional yang di tetapkan Badan Nasional Standar Pendidikan. 4

Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu


keagamaan , juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain
itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang
biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa
Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih
memahami "madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar
agama" atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan". 5
1

Karakteristik Madrasah di Indonesia

Madrasah memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda
dengan sekolah. madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai

1 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam,
.
Edisi Indonesia
(Surabaya: Risalah Gusti: 1996),h. 66
2
H.A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998),h. 111
3
Ibid..,h. 112.
4.
Fadlullah,Dinamika Sistem pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta:Diadit Media,2008),h.132
5
A.LTibawi "Origin and Character of Al-Madrasah", Bulletin of The School of Oriental and African Studies 25 (1962): h. 227; dan
Mehdi Nakosteen, loc., cit.
religiusitas masyarakatnya. Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan umum
dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pencerahan Barat.
Perbedaan karakter antara madrasah dengan sekolah itu dipengaruhi oleh perbedaan
tujuan antara keduanya secara historis.
Tujuan dari pendirian madrasah ketika untuk pertama kalinya diadopsi di Indonesia ialah
untuk mentransmisikan nilai-nilai Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan modernisasi
pendidikan,6 sebagai jawaban atau respon dalam menghadapi kolonialisme dan Kristen, 7 di
samping untuk mencegah memudarnya semangat keagam 2aan penduduk akibat meluasnya
lembaga pendidikan Belanda itu.
Sekolah untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada sekitar
dasawarsa 1870-an bertujuan untuk menyiapkan calon pegawai pemerintah kolonial, 8
dengan maksud untuk melestarikan penjajahan. 9 Dalam lembaga pendidikan yang didirikan
Kolonial Belanda itu, tidak diberikan pelajaran agama sama sekali. Karena itu tidak heran jika
di kalangan kaum pribumi, khususnya di Jawa, ketika itu muncul resistensi yang kuat
terhadap sekolah, yang mereka pandang sebagai bagian integral dari rencana pemerintah
kolonial Belanda untuk "membelandakan" anak-anak mereka.10

a. Perkembangan Madrasah
Madrasah seperti kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem
pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya
menggabungkan hal-hal yang positif dari pendidikan pesantren dan sekolah itu.
Lembaga pendidikan madrasah ini secara berangsur-angsur diterima sebagai salah
satu institusi pendidikan Islam yang juga berperan dalam perkembangan peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia.11
3

Madrasah di Indonesia merujuk pada pendidikan dasar sampai menengah, sementara


pada masa klasik Islam madrasah merujuk pada lembaga pendidikan
tinggi.12Perbedaan tersebut pada gilirannya bukan hanya merupakan masalah
perbedaan definisi, tapi juga menunjukkan perbedaan karakteristik antara keduanya.

26"Hanun Asrohah, op,cit., h. 192-193.


7
Azyumardi Azra, "Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan", Kata Pengantar untuk buku Nurcholish Madjid, op. cit., h.
Xiv
8
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985), h.47.
9
Ibid., h. 49.
10

311 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), Get. 1,
h. 160.
12
Azyumardi Azra, madrasah sebagai lembaga pendidikan tinggi ini tidak bisa disamakan artinya dengan universitas
dalam arti lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Dalam tradisi
pendidikan Islam, lembaga pendidikan tinggi lebih dikenal dengan nama al-jami'ah, yang secara historis dan
kelembagaan berkaitan dengan masjid jami'—masjid besar tempat berkumpul jama'ah untuk menunaikan shalat
Jum'at. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos,
1999), h. viii.
13
Nakosteen, op. cit.
Merujuk pada penjelasan Nakosteen,13motif pendirian madrasah pada masa klasik
Islam ialah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum (sekuler),
yang dianggap kurang memadai jika dilakukan di dalam masjid, sebab masjid
merupakan tempat ibadah.
Namun, upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum itu di
madrasah sejak awal perkembangannya telah mengalami kegagalan. Sebab,
penekanan pada ilmu-ilmu agama (al-'ulum al-dmiyyah) terutama pada bidang fikih,
tafsir, dan hadits, ternyata lebih dominan, sehingga ilmu-ilmu non-agama khususnya
ilmu-ilmu alam dan eksakta, tetap berada dalam posisi pinggiran atau marjinal. 14 Hal
itu berbeda dengan madrasah di Indonesia yang sejak awal pertumbuhannya telah
dengan sadar menjatuhkan pilihan pada (a) madrasah yang didirikan sebagai lembaga
pendidikan yang semata-mata untuk mendalami agama (li tafaqquh fiddin), yang biasa
disebut madrasah diniyah salafiyah; dan (b) madrasah yang didirikan tidak hanya
untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, tapi juga memasukkan
pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan
pemerintah Hindia Belanda, seperti madrasah Adabiyah di Sumatera Barat, dan
madrasah yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan PUI di
Majalengka.15
Dari keterangan di atas menarik untuk dicatat bahwa salah satu karakteristik
madrasah yang cukup penting di Indonesia pada awal pertumbuhannya ialah bahwa di
dalamnya tidak ada konflik atau upaya mempertentangkan ilmu-ilmu agama dengan
ilmu-ilmu umum.
Madrasah di Indonesia secara historis juga memiliki karakter yang sangat populis
(merakyat), berbeda dengan madrasah pada masa klasik Islam. Sebagai lembaga
pendidikan tinggi madrasah pada masa klasik Islam terlahir sebagai gejala urban atau
kota. Madrasah pertamakali didirikan oleh Dinasti Samaniyah (204-395 H/819-1005 M)
di Naisapur kota yang kemudian dikenal sebagai daerah kelahiran madrasah.16
madrasah dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah Sistem
Pendidikan Nasional dan berada di bawah pembinaan Departemen Agama.
4

 Perkembangan Madrasah pada masa pra kemerdekaan


Pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat
reformasi yang dilakukan masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang
melatarbelakangi kemunculan madrasah. Pertama, adanya pandangan yang
mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa
memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas
kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan akan menimbulkan
pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan

414Azyumardi Azra, Pendidikan Islam..., op. cit., h. ix.


15
H.A. Malik Fadjar, op. cit., h. 116.
16
Adam Mez, The Renaissance ofhlam,Ted S. Khuda Buksh dan DS Margoliuth, NY: AMS Press 1975, h. 179; Builiet, The
Patrician of Nisyapur, Cambridge: Mass. Harvard Univ. Press. 1972, h. 249-255.
sekulerisme, para reformis kemudian memasukkan pendidikan Islam dalam
persekolahan melalui pembangunan madrasah.

Pemerintah kolonial, ketika itu sangat khawatir madrasah akan melahirkan generasi
yang menjadi penentang kekuasaannya. Tidak heran kalau kebijakan yang
dikeluarkan pemerintahan kolonial, merupa-kan bagian dari usahanya untuk
mengkooptasi madrasah. Misalnya, guru madrasah wajib mempunyai izin dari
penguasa, dan di bidang kurikulum, pelajaran yang diajarkan harus dilaporkan pada
penguasa minta persetujuannya.

Kebijakan pembatasan yang dilakukan pemerintah kolonial tersebut tentunya


mendapat reaksi dari kalangan Muslim. Paling tidak ada tiga reaksi, yaitu bertahan,
menolak, dan progresif. Kelompok yang ber-tahan kemudian membuat madrasah
secara sembunyi-sembunyi di daerah yang jauh dari jangkauan penguasa. Kelompok
progresif bersikap lunak pada pemerintah kolonial dan mengikuti aturan mainnya.

Di bawah tekanan dan pengawasan ketat dari pemerintahan kolonial, madrasah


ternyata mampu memantapkan eksistensinya di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Perkembangan itu akan lebih maju lagi terutama di daerah-daerah pe-losok yang
jauh dari pengawasan penguasa.23

 Perkembangan Madrasah pada masa orde lama

Mempelajari perkembangan madrasah terkait erat dengan peran Departemen


Agama sebagai andalan politis yang dapat mengangkat posisi madrasah sehingga
memperoleh perhatian yang terus menerus dari kalangan pengambil kebijakan.
Tentunya, tidak juga melupakan usaha-usaha keras yang sudah dirintis oleh sejumlah
tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan Mahmud Yunus. Dalam hal ini,
Departemen Agama secara lebih tajam mengembangkan program-program perluasan
dan peningkatan mutu madrasah.
Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal
pada tahun 1950. Undang-Undang No. 4 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan bahwa belajar di sekolah agama yang telah
mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah dianggap memenuhi kewajiban
belajar24. Untuk mendapat pengakuan dari Departemen Agama, madrasah harus
memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit enam jam
seminggu secara teratur disamping mata pelajaran umum.25

524Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta : PT. Puasaka LP3ES, 1994),, hlm 98

25
Tim Penyusun Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : DEPAG RI, 1986), hlm. 77
Jenjang pendidikan dalam system madrasah terdiri dari tiga jenjang. Pertama, Madrasah
Ibtidaiyah dengan lama pendidikan 6 tahun. Kedua, Madrasah Tsanawiyah Pertama
untuk 4 tahun. Ketiga, Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 4 tahun. 26 Sedangkan kurikulum
yang diselenggarakan terdiri dari sepertiga pelajaran agama dan sisanya pelajaran
umum. 27
Perkembangan madrasah yang cukup penting pada masa Orde Lama adalah berdirinya
madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).
Tujuan pendiriannya untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap
mengembangkan madrasah sekaligus ahli keagamaan yang profesional.28 PGA pada
dasarnya telah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Khususnya di wilayah
Minangkabau, tetapi pendiriannya oleh Departemen Agama menjadi jaminan strategis
bagi kelanjutan madrasah di Indonesia.

Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdapat
776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan di tingkat berikutnya atau Madrasah
Aliyah (MA) terdapat 16 madrasah dengan 1.881 siswa. Jumlah peserta pendidikan ini
merupakan angka yang luar biasa bagi sejarah pendidikan di Indonesia. 29
6

Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah swasta berubah statusnya menjadi


madrasah negeri. Alhasil, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang menjadi madrasah
negeri. Konsekuensi, manajemen madrasah secara total bergeser dari masyarakat ke
pemerintah. Mes-kipun demikian, sekitar 90 persen madrasah masih dikelola
masyarakat setempat dengan bentuk yayasan.

 Perkembangan madrasah pada masa orde baru

Sejak awal pemerintahan Orde Baru (1966), Indonesia mengembangkan dua sistem
pendidikan, yaitu pendidikan umum dan keagamaan. Menurut Dr Fasli Jalal dalam tulis-
annya yang berjudul Partnership Between Government and Religious Groups. The Role of
Madrasah in Basic Education in Indonesia, dualisme sistem pendidikan ini sebenarnya
produk dari masa kolonialis Belanda. Sistem pendidikan ini pula yang melahirkan dua dasar
politik utama, yaitu kekuatan Islam dan nasionalisme. Pada perkembangannya, Pemerintah
Indonesia berusaha menyatukannya dalam satu ideologi Pancasila.

26
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta : CV. Rajawali, 1983), hlm. 55

27
Karel A. Steenbrink, Op.Cit., nlm. 97-98

628Maksum, Op.Cit., hlm. 124

29
ImamPrihadiyoko (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0109/22/dikbud/pend08.htm )
Pada awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang dijalankannya tidak
memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden Suharto mengeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor
15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud)-sebelumnya, dikelola Menteri Agama.

Reaksi yang muncul di kalangan muslim sangat keras. Kebijakan itu dinilai sebagai usaha
sekulerisme dan menghilangkan madrasah dari sistem pendidikan di Indonesia. Untuk
menenangkan reaksi tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan bersama
antara Mendikbud, Menteri Agama (Menag), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Isinya,
mengembalikan status pengelolaan madrasah di bawah Men-teri Agama, tetapi harus
memasukkan kurikulum umum yang sudah ditentukan pemerintah.

Muchtar menilai, kurikulum yang diterapkan ini bersifat sentralistik. Akibatnya, segenap
variabilitas yang lahir dari budaya lokal diabaikan. Otoritas pendidikan juga meng-abaikan
berbagai persepsi serta preferensi yang hidup di luar dirinya. Tidak heran kalau masyarakat
sebagai bagian dari komunitas pendidikan makin lama semakin menghilang.

Dewasa ini madrasah yang berfungsi sebagai sekolah agama disebut madrasah diniyah.
Madrasah Diniyah terdiri dari 3 jenjang, yaitu : Madrasah Diniyah Awaliyah, Madrasah
Diniyah Wustho dan Madrasah Diniyah Ulya. Sedangkan madrasah tanpa embel-embel
diniyah mulai tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah menurut UU Sistem Pendidikan
Nasional No.2 tahun 1989 adalah sekolah umum berciri khas agama islam dengan
komposisi kurikulum 100 % sama dengan sekolah umum pada semua jenjang SD, SMP, dan
SMA. 30
Pada tingkat pendidikan dasar sistem pendidikan madrasah didominasi oleh swasta.
Padahal, jumlah SD swasta yang dikelola Depar-temen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
hanya enam persen. Sementara di tingkat lanjutan pertama, sekolah swasta hanya 46
persen.
Angka ini menjadi bukti bahwa peran masyarakat di ma-drasah sebenarnya masih sangat
besar. Namun, masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengelola dengan caranya
sendiri, karena hampir semua hal yang berkaitan dengan pendidikan sudah ditentukan oleh
pemegang otoritas pendidikan.
7

730 .Fadlullah,Dinamika Sistem pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta:Diadit Media,2008),h. 127


Harus diakui bahwa jika pemerintah ingin menyukseskan wajib belajar sembilan tahun,
maka peran madrasah swasta tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Saat ini, 15 persen
lembaga penyelenggara pendidikan dengan kurikulum umum adalah madrasah dan sekitar
91,1 persennya dikelola swasta. 31

Berdasarkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG


SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL BAB VI TENTANG JALUR, JENJANG, DAN JENIS
PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum

Pasal 13
Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya.
Pasal 14
Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
Pasal 15
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,
keagamaan, dan khusus.

Bersadarkan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2007


TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan
pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang
dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan
peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut
penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi
ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.

Pasal 11
(1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar
dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang
setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah
Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah

831ImamPrihadiyoko (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0109/22/dikbud/pend08.htm)
Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk
lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan.

PENUTUP

Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud


dengan madrasah adalah tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran
tentang seluk-beluk agama dan keagamaan Islam. Madrasah memiliki kurikulum, metode
dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah. madrasah memiliki karakter
tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya.
Madrasah seperti kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem
pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya
menggabungkan hal-hal yang positif dari pendidikan pesantren dan sekolah itu.
Sedaangkan pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari
semangat reformasi yang dilakukan masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang
melatarbelakangi kemunculan madrasah. Pertama, adanya pandangan yang mengatakan
bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan
pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan
persekolahan Belanda yang akan akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat.
Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara
formal pada tahun 1950. Undang-Undang No. 4 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan bahwa belajar di sekolah agama yang telah
mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar.
Pada dewasa ini madrasah yang berfungsi sebagai sekolah agama disebut madrasah
diniyah. Madrasah Diniyah terdiri dari 3 jenjang, yaitu : Madrasah Diniyah Awaliyah,
Madrasah Diniyah Wustho dan Madrasah Diniyah Ulya. Sedangkan madrasah tanpa embel-
embel diniyah mulai tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah
DAFTAR PUSTAKA

Nakosteen, Mehdi : Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat:


Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.

Fadjar, A.Malik : Visi Pembaruan Pendidikan Islam , Jakarta: LP3NI, 1998.

Fadlullah : Dinamika Sistem pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta:Diadit


Media,2008.

Suminto, Aqib, : Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985.


Steenbrink, Karel A, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia, Jakarta:
Bulan Bintang, 1982.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju


Milenium Baru,Jakarta: Logos, 1999.

Tim Penyusun Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta :


DEPAG RI, 1986.

Noer, Deliar, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali, 1983.

ImamPrihadiyoko (http://www2.kompas.com/kompas-
cetak/0109/22/dikbud/pend08.htm)

You might also like