Professional Documents
Culture Documents
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah"
kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia,
2
melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal,
madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas
dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah
agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran tentang seluk-beluk
3
agama dan keagamaan Islam.
Madrasah dan sekolah islam saat ini, dari segi substansi sama saja, karena masing-
masing mengajarkan agama dan bahasa arab, sedangkan kurikulum lain mengikuti standar
nasional yang di tetapkan Badan Nasional Standar Pendidikan. 4
Madrasah memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda
dengan sekolah. madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai
1 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam,
.
Edisi Indonesia
(Surabaya: Risalah Gusti: 1996),h. 66
2
H.A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998),h. 111
3
Ibid..,h. 112.
4.
Fadlullah,Dinamika Sistem pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta:Diadit Media,2008),h.132
5
A.LTibawi "Origin and Character of Al-Madrasah", Bulletin of The School of Oriental and African Studies 25 (1962): h. 227; dan
Mehdi Nakosteen, loc., cit.
religiusitas masyarakatnya. Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan umum
dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pencerahan Barat.
Perbedaan karakter antara madrasah dengan sekolah itu dipengaruhi oleh perbedaan
tujuan antara keduanya secara historis.
Tujuan dari pendirian madrasah ketika untuk pertama kalinya diadopsi di Indonesia ialah
untuk mentransmisikan nilai-nilai Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan modernisasi
pendidikan,6 sebagai jawaban atau respon dalam menghadapi kolonialisme dan Kristen, 7 di
samping untuk mencegah memudarnya semangat keagam 2aan penduduk akibat meluasnya
lembaga pendidikan Belanda itu.
Sekolah untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada sekitar
dasawarsa 1870-an bertujuan untuk menyiapkan calon pegawai pemerintah kolonial, 8
dengan maksud untuk melestarikan penjajahan. 9 Dalam lembaga pendidikan yang didirikan
Kolonial Belanda itu, tidak diberikan pelajaran agama sama sekali. Karena itu tidak heran jika
di kalangan kaum pribumi, khususnya di Jawa, ketika itu muncul resistensi yang kuat
terhadap sekolah, yang mereka pandang sebagai bagian integral dari rencana pemerintah
kolonial Belanda untuk "membelandakan" anak-anak mereka.10
a. Perkembangan Madrasah
Madrasah seperti kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem
pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya
menggabungkan hal-hal yang positif dari pendidikan pesantren dan sekolah itu.
Lembaga pendidikan madrasah ini secara berangsur-angsur diterima sebagai salah
satu institusi pendidikan Islam yang juga berperan dalam perkembangan peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia.11
3
311 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), Get. 1,
h. 160.
12
Azyumardi Azra, madrasah sebagai lembaga pendidikan tinggi ini tidak bisa disamakan artinya dengan universitas
dalam arti lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Dalam tradisi
pendidikan Islam, lembaga pendidikan tinggi lebih dikenal dengan nama al-jami'ah, yang secara historis dan
kelembagaan berkaitan dengan masjid jami'—masjid besar tempat berkumpul jama'ah untuk menunaikan shalat
Jum'at. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos,
1999), h. viii.
13
Nakosteen, op. cit.
Merujuk pada penjelasan Nakosteen,13motif pendirian madrasah pada masa klasik
Islam ialah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum (sekuler),
yang dianggap kurang memadai jika dilakukan di dalam masjid, sebab masjid
merupakan tempat ibadah.
Namun, upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum itu di
madrasah sejak awal perkembangannya telah mengalami kegagalan. Sebab,
penekanan pada ilmu-ilmu agama (al-'ulum al-dmiyyah) terutama pada bidang fikih,
tafsir, dan hadits, ternyata lebih dominan, sehingga ilmu-ilmu non-agama khususnya
ilmu-ilmu alam dan eksakta, tetap berada dalam posisi pinggiran atau marjinal. 14 Hal
itu berbeda dengan madrasah di Indonesia yang sejak awal pertumbuhannya telah
dengan sadar menjatuhkan pilihan pada (a) madrasah yang didirikan sebagai lembaga
pendidikan yang semata-mata untuk mendalami agama (li tafaqquh fiddin), yang biasa
disebut madrasah diniyah salafiyah; dan (b) madrasah yang didirikan tidak hanya
untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, tapi juga memasukkan
pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan
pemerintah Hindia Belanda, seperti madrasah Adabiyah di Sumatera Barat, dan
madrasah yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan PUI di
Majalengka.15
Dari keterangan di atas menarik untuk dicatat bahwa salah satu karakteristik
madrasah yang cukup penting di Indonesia pada awal pertumbuhannya ialah bahwa di
dalamnya tidak ada konflik atau upaya mempertentangkan ilmu-ilmu agama dengan
ilmu-ilmu umum.
Madrasah di Indonesia secara historis juga memiliki karakter yang sangat populis
(merakyat), berbeda dengan madrasah pada masa klasik Islam. Sebagai lembaga
pendidikan tinggi madrasah pada masa klasik Islam terlahir sebagai gejala urban atau
kota. Madrasah pertamakali didirikan oleh Dinasti Samaniyah (204-395 H/819-1005 M)
di Naisapur kota yang kemudian dikenal sebagai daerah kelahiran madrasah.16
madrasah dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah Sistem
Pendidikan Nasional dan berada di bawah pembinaan Departemen Agama.
4
Pemerintah kolonial, ketika itu sangat khawatir madrasah akan melahirkan generasi
yang menjadi penentang kekuasaannya. Tidak heran kalau kebijakan yang
dikeluarkan pemerintahan kolonial, merupa-kan bagian dari usahanya untuk
mengkooptasi madrasah. Misalnya, guru madrasah wajib mempunyai izin dari
penguasa, dan di bidang kurikulum, pelajaran yang diajarkan harus dilaporkan pada
penguasa minta persetujuannya.
524Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta : PT. Puasaka LP3ES, 1994),, hlm 98
25
Tim Penyusun Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : DEPAG RI, 1986), hlm. 77
Jenjang pendidikan dalam system madrasah terdiri dari tiga jenjang. Pertama, Madrasah
Ibtidaiyah dengan lama pendidikan 6 tahun. Kedua, Madrasah Tsanawiyah Pertama
untuk 4 tahun. Ketiga, Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 4 tahun. 26 Sedangkan kurikulum
yang diselenggarakan terdiri dari sepertiga pelajaran agama dan sisanya pelajaran
umum. 27
Perkembangan madrasah yang cukup penting pada masa Orde Lama adalah berdirinya
madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).
Tujuan pendiriannya untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap
mengembangkan madrasah sekaligus ahli keagamaan yang profesional.28 PGA pada
dasarnya telah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Khususnya di wilayah
Minangkabau, tetapi pendiriannya oleh Departemen Agama menjadi jaminan strategis
bagi kelanjutan madrasah di Indonesia.
Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdapat
776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan di tingkat berikutnya atau Madrasah
Aliyah (MA) terdapat 16 madrasah dengan 1.881 siswa. Jumlah peserta pendidikan ini
merupakan angka yang luar biasa bagi sejarah pendidikan di Indonesia. 29
6
Sejak awal pemerintahan Orde Baru (1966), Indonesia mengembangkan dua sistem
pendidikan, yaitu pendidikan umum dan keagamaan. Menurut Dr Fasli Jalal dalam tulis-
annya yang berjudul Partnership Between Government and Religious Groups. The Role of
Madrasah in Basic Education in Indonesia, dualisme sistem pendidikan ini sebenarnya
produk dari masa kolonialis Belanda. Sistem pendidikan ini pula yang melahirkan dua dasar
politik utama, yaitu kekuatan Islam dan nasionalisme. Pada perkembangannya, Pemerintah
Indonesia berusaha menyatukannya dalam satu ideologi Pancasila.
26
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta : CV. Rajawali, 1983), hlm. 55
27
Karel A. Steenbrink, Op.Cit., nlm. 97-98
29
ImamPrihadiyoko (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0109/22/dikbud/pend08.htm )
Pada awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang dijalankannya tidak
memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden Suharto mengeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor
15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud)-sebelumnya, dikelola Menteri Agama.
Reaksi yang muncul di kalangan muslim sangat keras. Kebijakan itu dinilai sebagai usaha
sekulerisme dan menghilangkan madrasah dari sistem pendidikan di Indonesia. Untuk
menenangkan reaksi tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan bersama
antara Mendikbud, Menteri Agama (Menag), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Isinya,
mengembalikan status pengelolaan madrasah di bawah Men-teri Agama, tetapi harus
memasukkan kurikulum umum yang sudah ditentukan pemerintah.
Muchtar menilai, kurikulum yang diterapkan ini bersifat sentralistik. Akibatnya, segenap
variabilitas yang lahir dari budaya lokal diabaikan. Otoritas pendidikan juga meng-abaikan
berbagai persepsi serta preferensi yang hidup di luar dirinya. Tidak heran kalau masyarakat
sebagai bagian dari komunitas pendidikan makin lama semakin menghilang.
Dewasa ini madrasah yang berfungsi sebagai sekolah agama disebut madrasah diniyah.
Madrasah Diniyah terdiri dari 3 jenjang, yaitu : Madrasah Diniyah Awaliyah, Madrasah
Diniyah Wustho dan Madrasah Diniyah Ulya. Sedangkan madrasah tanpa embel-embel
diniyah mulai tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah menurut UU Sistem Pendidikan
Nasional No.2 tahun 1989 adalah sekolah umum berciri khas agama islam dengan
komposisi kurikulum 100 % sama dengan sekolah umum pada semua jenjang SD, SMP, dan
SMA. 30
Pada tingkat pendidikan dasar sistem pendidikan madrasah didominasi oleh swasta.
Padahal, jumlah SD swasta yang dikelola Depar-temen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
hanya enam persen. Sementara di tingkat lanjutan pertama, sekolah swasta hanya 46
persen.
Angka ini menjadi bukti bahwa peran masyarakat di ma-drasah sebenarnya masih sangat
besar. Namun, masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengelola dengan caranya
sendiri, karena hampir semua hal yang berkaitan dengan pendidikan sudah ditentukan oleh
pemegang otoritas pendidikan.
7
Pasal 13
Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya.
Pasal 14
Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
Pasal 15
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,
keagamaan, dan khusus.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan
pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang
dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan
peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut
penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi
ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Pasal 11
(1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar
dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang
setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah
Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah
831ImamPrihadiyoko (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0109/22/dikbud/pend08.htm)
Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk
lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan.
PENUTUP
ImamPrihadiyoko (http://www2.kompas.com/kompas-
cetak/0109/22/dikbud/pend08.htm)