You are on page 1of 10

Nunik Widya Ningrum / F1D 008 002

Reflective Essay Pemikiran Amartya Sen

Bercermin Dari Pemikiran Amartya Sen Dalam Mengkaji


Permasalahan Kelaparan di NTT
Salah satu masalah yang paling krusial bagi sebuah negara adalah
kemiskinan. Kemiskinan merupakan satu konsekuensi logis yang pasti ditemui ketika
sebuah pemerintah tidak dapat mengelola negaranya dengan baik. Hal ini senada
dengan pendapat Sen, bahwa dalam pemerintahan yang otoriter dan tidak terbukanya
kebebasan pers sangat mudah ditemukan kemunduran ekonomi dan kelaparan. Ini
merupakan kritikan tajam yang diberikan Sen kepada “hipotesa Lee”. BAPPENAS
(2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau
sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya
alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak
kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi
perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin
ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan
kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach),
pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan
objective and subjective1.
Amartya Sen telah memberikan kontribusi terhadap pemahaman dan
pengukuran kemiskinan, penjelasan lapar dan kelaparan. Sen juga menunjukkan
adanya keterlibatan antara etika moral, filsafat dan makna pembangunan. Hidup

1 Dikutip dari Artikel, Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan, Maret 2005, dalam situs
http://www.ekonomirakyat.org/galeri_opi/opini_9.php, diakses pada tanggal 8 September 2010 pukul.
09.14

1
Amartya Sen seakan sudah digariskan untuk hal-hal yang istimewa. Ia dilahirkan
dengan nama lengkap Amartya Kumar Sen, arti dari “Amartya” yaitu “dunia
transenden atau dapat dimaknai sebagai keabadian. Amartya adalah sebuah nama
yang diberikan khusus oleh Tagore seorang sastrawan India pemenang Nobel untuk
sastra tahun 1913. Amartya Sen adalah ekonom asal India yang mendapat hadiah
Nobel Ekonomi tahun 1998. Ia dilahirkan di Santineketan, sebuah kota kecil dekat
Calcuta, India, pada 3 November 1933. Sen pertama-tama belajar di sistem sekolah
dari Universitas Visva-Bharati, Kolese Presidency, Colcata, India dan di Sekolah
Ekonomi Delhi kemudian melanjutkan ke Trinity College, Cambridge, untuk
mendapatkan gelar BA pada 1956 dan kemudian Ph.D. Pada 1959 ia pernah mengajar
ekonomi di Universitas Calcutta, Universitas Jadavpur, Delhi, Oxford, Sekolah
Ekonomi London, Harvard dan menjadi Master dari Trinity College, Cambridge,
antara 1997 dan 2004. Pada Januari 2004, ia kembali ke Harvard untuk mengajar.
Nobel yang didapatkan Sen, berangkat dari pemikirannya mengenai
kemiskinan dan kelaparan yang terjadi di India sehingga menghasilkan konsep
ekonomi kesejahteraan dan mekanisme dari kemiskinan. Karya- karya Amartya Sen
antara lain: Poverty and Famines, Inequality Reexamined, dan Welfare Economics,
serta tidak lupa karyanya yang terbaru yaitu Development as Freedom (1999). Sen
bukan saja seorang ekonom melainkan juga sebagai filsuf yang bernafaskan sastra
India mengingat ia terlahir di lingkungan pengagum dunia sastra.
Berbicara tentang pemikiran Sen maka tidak terlepas dari fokus kajiannya
yaitu kemiskinan (poverty) yang di tuangkan ke dalam karyanya dengan judul
Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation (1981), disini Sen
mengemukakan beberapa temuannya mengenai penyebab-penyebab utama bencana
kelaparan. “Tidak ada bencana kelaparan yang muncul di negara-negara yang
demokratis dan memiliki pers bebas,” katanya. Sebuah situasi kelaparan baru menjadi
sebuah bencana ketika di negara-negara itu tidak ada demokrasi2. Oleh karena itu,

2 H.Witdarmono, Indonesia Abad XXI di Tengah Kepungan Perubahan Global (Jakarta: Kompas,
2000)hal.520
Sen sangat menolak apa yang disebut “Hipotesa Lee” yang mengatakan bahwa untuk
membangun ekonomi maka diperlukan sebuah pemerintahan yang otoriter.
Sen dalam karyanya Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and
Deprivation (1981) berkali-kali menuliskan bahwa bencana kelaparan adalah hasil
dari pemerintahan yang otoriter. Sen membuktikan dengan data empiris, bahwa
hampir semua bencana kelaparan terjadi karena untuk waktu yang cukup lama
kebijakan pemerintah tidak ada yang mengkritik. Satu hal lagi yang Sen tekankan
dalam gagasan ini yaitu, bencana kelaparan terjadi bukan karena tidak adanya
makanan. Sen melakukan penelitian secara intensif terhadap kasus bencana kelaparan
di berbagai negara seperti Bengali (tahun 1974), Ethiopia (tahun 1973 dan 1974),
Banglades (tahun 1974), dan negara-negara Sahara (tahun 1968-1973) yang pada
akhirnya ia menemukan bahwa bencana kelaparan lebih banyak disebabkan oleh
faktor-faktor sosial dan ekonomi, macam sistem administrasi dan pengelolaan
distribusi pangan, ketimbang karena kelangkaan persediaan pangan atau kegagalan
panen3.
Kelaparan atau bahkan permasalahan kemiskinan dapat teratasi apabila
adanya sebuah demokrasi substantif. Apabila demokrasi yang dijalankan hanya
bersifat formal dan prosedural saja yang tercermin pada pemilu berkala tanpa
mengedepankan aspek substansialnya maka tidak heran sebuah kemiskinan dapat
dengan mudah ditemukan. Demokrasi substansial yang menghendaki kekuasaan dan
kedaulatan rakyat dalam berbagai kehidupan belum berjalan secara optimal. Dalam
hal ini, bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal
pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran
sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan
menghidupinya.

Satu hal lagi menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan,

3 Agus Muhammad. Melihat Krisis Indonesia Lewat Analisa Amartya Sen, 13 Desember 2010 dalam
situs http://www.unisosdem.org/humanitarian.php, diakses pada tanggal 18 Desember 2010 pukul
20.23 Wib

3
ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas4. Dalam
hal ini, kemiskinan diakibatkan oleh keterbatasan akses. Masyarakat dibatasi
pilihanya dalam menentukan keberlangsungan untuk kehidupannya. Apabila manusia
dibatasi dan tidak diberikan akses maka itu artinya manusia hanya melakukan apa
yang terpaksa dilakukan bukan apa yang seharusnya dilakukan. atas dasar hal itu,
maka potensi untuk mengembangkan hidup menjadi terhambat dan pada akhirnya
menimbulkan kontribusi untuk menciptakan kesejahteraan bersama yang lebih kecil.
Tema yang menyatu dalam karya Sen menitikberatkan pada penciptaan potensi atau
kemampuan manusia, dan bagaimana kemampuan ini meningkatkan kesejahteraan di
dalam masyarakat dan keluarga. Ia telah melihat perkembangan kemampuan manusia
sebagai tujuan riil dari pertumbuhan ekonomi dan alasan utama untuk menjadi
seorang ahli ekonomi. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya
kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan,
dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.

Refleksi Pemikiran Amartya Sen Tentang Kemiskinan di Indonesia

Apabila pemikiran Amartya Sen direfleksikan ke dalam kondisi di


Indonesia maka sangatlah mudah untuk menenemukan benang merah yang
menghubungi antara kedua hal ini. Globalisasi di indonesia lahir pertama kali pada
tahun 1960-an saat Soeharto menanjak naik ke kursi kepresidenan. Ada banyak data
yang mengatakan bahwa naiknya Soeharto merupakan jalan mulus bagi tumbuhnya
globalisasi di bumi pertiwi ini. Betapa tidak, ini terangkum jelas dalam film
investigasi yang berjudul ”The Rules Of The World”. Adanya penanaman modal
asing di Indonesia mulai dibuka secara besar-besarn dan disahkan ketika Soeharto
memangku jabatan sebagai Presiden RI. Kurang lebih 32 tahun berkuasa dengan
kediktatorannya dalam memimpin, ini mengakibatkan banyak kesewenang-wenangan
yang merugikan bangsa Indonesia dan dosa itu terus diwariskan ke pemerintahan-

4Setyo Budiantoro, . “Manusia, Kebebasan dan Pembangunan” dalam situs www.ekonomirakyat.org


diakses pada tanggal 23 Desember 2010 pukul 02.21 Wib
pemerinatahan selanjutnya.

Dengan hutang yang teramat besar serta ditambah lagi dengan mental yang
korup dari para pejabat tinggi republik ini menghasilkan sebuah ’kecacatan’
pertumbahan dan pembangunan ekonomi negara. Meski bumi pertiwi ini subur dan
memiliki banyak kelimpahruahan alam yang tak terhingga, namun tetap saja hal itu
tidak dapat mengubah keadaan ekonomi bangsa ini yang terus berjalan dengan
merayap. Realita yang terjadi setelah Soeharto lengser terdapat 47,97 juta penduduk
miskin pada tahun 1999 dan 31 juta penduduk miskin pada tahun 2010 saat ini5.
Kemiskinan di sini diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat atas
sistem pemerintahan yang menyebabkan masyarakat berada pada posisi yang
tereksploitasi. Hal ini menggambarkan bahwa kemiskinan adalah sebagai suatu
kondisi dari pola hidup, budaya dan pola-pola interaksinya bukanlah sesuatu yang
terberi, namun tercipta karena adanya peran struktur yang menindas. Seseorang
menjadi miskin bukan karena malas, bodoh dan atau tidak punya etos kerja yang
tinggi, tetapi lebih karena terdapat struktur sosial yang timpang. Perspektif ini lebih
dikenal sebagai kemiskinan struktural.

Pemerintah saat ini mengklaim dirinya bahwa telah memiliki prestasi


dalam hal pengentasan kemiskinan. Seolah-olah data yang mengatakan bahwa ada
penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun lalu sebanyak kurang
lebih 1,5 Juta adalah sebuah prestasi yang sangat besar dan merupakan bukti sudah
tuntasnya tanggungjawab serta memberi kebanggaan bagi pemerintah sebagai
keberhasilan yang luar biasa6. Jika kita menengok kasus busung lapar yang terjadi di
Nusa Tenggara Timur (NTT), maka klaim keberhasilan pemerintah dalam menangani
kasus gizi buruk dan busung lapar menjadi kontradiktif. Menurut Laporan Gubernur
NTT (dalam rapat koordinasi dengan pemerintah daerah se-NTT pada 18 Juni 2005

5 Profil kemiskinan RI dalam situs http://tnp2k.wapresri.go.id/data/profil-kemiskinan-indonesia.html


diakses pada tanggal 24 Desember 2010 pukul 06.47 wib

6 Ibid.

5
lalu), jumlah balita penderita kurang gizi di NTT per 16 Juni 2005 sekitar 67.000, gizi
buruk sekitar 11.000 balita, busung lapar 302 balita, dan angka kematian akibat
busung lapar 5 balita (Kompas, 22/12/06). menurut data BPS (2006), lebih dari
sepertiga populasi anak-anak yang berusia balita mengalami kekurangan makan, gizi,
dan nutrisi akut. Situasi ini amat memprihatinkan mengingat usia balita adalah masa
penting bagi proses tumbuh-kembang anak.

Bagi balita, makanan yang bergizi adalah kebutuhan mutlak. Jika tidak,
kedepan negeri ini akan menghadapi problem the lost generation. Dari indeks
harapan hidup, angka risiko kematian paling tinggi di Indonesia ada pada kelompok
usia balita. Dari 1000 kelahiran hidup, 35 bayi mati tiap harinya. Sementara angka
kematian ibu yang melahirkan hingga kini juga masih tinggi, yakni sekitar 307 orang
untuk tiap 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2002). Berdasarkan kajian Institute for
Ecosoc Rights (2006), masalah kurang gizi, gizi buruk, dan busung lapar yang
mengemuka di Indonesia sejak pertengahan 2004 lalu, jumlah angka resminya
sebenarnya jauh di bawah fakta sesungguhnya. Meski masalah gizi buruk dan busung
lapar sudah sedemikian struktural dan laten sifatnya, di mana 72 persen
kabupaten/kota di Indonesia tercatat mengidap kasus gizi buruk tiap tahunnya, namun
pola penanganannya hingga kini masih bersifat darurat, karitatif, dan sporadis7.

Fakta tentang betapa banyaknya balita di NTT yang mengalami kondisi


mengenaskan senada dengan pemikiran Sen yang dituliskan ketika ia melihat sebuah
tatanan dunia saat ini dengan berbagai instrumen di dalamnya yang ditandai sejak
lahirnya globalisasi. Ia menuliskan bahwa:

“Dunia ini spektakuler kayanya sekaligus memprihatinkan miskinnya.


Tingkat kesejahteraan dunia saat ini belum ada presedennya.
Penguasaan besar-besaran atas sumberdaya, pengetahuan dan
teknologi yang kini kita anggap biasa akan suliit dibayangkan oleh

7 Launa, Menyoal Hak Gizi dan Pangan. Dalam Situs http://www.waspada.co.id/index.php?


option=com_content&view=article&id=12720: menyoal-hak-gizi-aamp-pangan-
rakyat&catid=25:artikel&Itemid=44.diakses pada tanggal 24 Desember 2010 Pukul 05.48 wib.
leluhur kita. Tapi dunia kita adalah juga dunia yang diwarnai oleh
kepapaan yang mengenaskan dan perampasan hak yang menyesakkan.
Anak-anak dalam jumlah mencengangkan kini di dera kurang pangan,
kurang sandang, kurang kasih sayang, serta buta huruf dan sakit yang
tak semestinya mereka derita. Jutaan orang meninggal setiap
minggunya terjangkit penyakit yang sesungguhnya bisa dibasmi sama
sekali, atau setidaknya bisa dicegah agar tidak membawa kematian
yang sia-sia. Anak dapat memperoleh sarana dan fasilitas
kesejahteraan, atau dapat pula meghadapi kemungkinan hidup yang
amat mengenaskan, bergantung di mana mereka lahir.”8
Jelas bahwa kondisi yang ada di Indonesia khususnya yang terjadi di
NTT sejak 2008 adalah cerminan dari apa yang dikatakan Sen. Namun
ironisnya, Koordinator ICW Danang Widoyoko mengatakan bahwa korupsi
yang menyebabkan NTT berada di urutan 31 dari 33 provinsi untuk kategori
tingkat kesejahteraan masyarakat. Don mengatakan, tiga pihak diduga
menyebabkan kondisi provinsi tersebut terpuruk. Birokrasi, penegak hukum, dan
kontraktor. Pengeluaran daerah NTT sebesar 52 persen untuk membiayai
aparatur atau birokrasi. Sedangkan belanja modal pembangunan sebesar 18,4
persen9. Menurut data (Transparency International Indonesia) TII tahun 2009,
Kupang, ibu Kota NTT merupakan daerah terkorup di Indonesia. Banyak juga
wilayah atau kabupaten di NTT yang mengalami kondisi yang memprihatinkan.
Pembangunan di NTT masih terbelakang. Ternyata masyarakat di NTT pun saat
ini di Kabupaten Sumba Timur, misalnya, sekitar 30 ribu warga 121 desa dari
seluruhnya 140 desa di kabupaten itu kini memakan pisang karena tidak
memiliki beras. Ini sebenarnya bukan masalah, karena pisang pun sumber
karbohidrat. Tapi penduduk yang sudah tidak punya pisang kini mulai memakan
putak, yang sebenarnya hanya layak dikonsumsi binatang10. Ini terjadi akibat

8 Amartya Sen, “Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas” (Tangerang : Marjin Kiri, 2007) hal. 155

9Businessreview, NTT "Jilid Ethopia" Rawan Pangan Pejabatnya Korup, 10 Mei 2010. Dalam situs
http://www.businessreview.co.id/artikel-majalah.html, diakses pada tanggal 23 Desember 2010 Pukul
07.05 wib

10 Ibid.

7
tidak tersalurnya bantuan dari pemerintah untuk rakyat serta kondisi geografis
dari NTT itu sendiri yang memiliki kondisi tanah yang tandus sehingga jika
datang musim kemarau maka sulit sekali bagi petani untuk mencari air dan
mempertahankan tanamannya untuk dijaga hingga bisa panen. Seharusnya
Pemda NTT beserta DPRD bisa mengantisipasinya karena faktor alam itu bisa
diprediksi. Membiarkan para petani padi gagal panen, sehingga jatuh miskin dan
tak mampu memenuhi kebutuhan makan yang layak, sungguh keterlaluan. Jauh
hari, Pemda NTT beserta DPRD mestinya telah membuat kebijakan untuk
menyelamatkan penduduk dari kejadian memilukan ini. Ditambah lagi karena
hampir sebagian besar mental pejabat disana adalah korup, hingga soal
pengadaan air dikorupsi, beras miskin dan pengadaan vaksin ada penyimpangan.
Ironi daerah miskin namun tingkat korupsinya tinggi. Ini adalah sebuah
‘kecacatan’ sistem yang tidak terelakkan lagi.

Adanya bencana kelaparan sebenarnya bukanlah demokrasi yang salah


bukan juga akibat adanya kelangkaan sumber daya alam atau kondisi cuaca
yang tidak baik melainkan yang salah dalam hal ini yaitu Pemerintah Daerah
Nusa Tenggara Timur yang ternyata lalai dalam merespon serta melakukan
penanganan langsung terhadap bencana yang terjadi. Apa yang dikatakan Sen
bahwa bencana kelaparan terjadi bukan karena kurangnya bahan makanan yang
ada namun faktor sosial politik, transparansi dan satu hal lagi yang sangat
penting yaitu faktor aksesibilitas. Dalam hal ini masyarakat NTT tidak diberi
akses serta kesempatan dan kebebasan dalam mengembangkan hidupnya.
Sebenarnya ketersediaan makanan melimpah ruah diseluruh wilayah. Akan
tetapi, yang jadi permasalahannya yakni tidak adanya akses masyarakat untuk
mendapatkan hal tersebut.

Otonomi yang dimiliki NTT tidak dijalankan dengan baik sesuai


aturan yang seharusnya. Kegagalan dalam menerapkan otonomi daerah yang
merupakan bagian dari sistem demokrasi itu sendiri. Kondisi NTT saat ini tidak
terbentuknya tatanan pemerintahan otonomi daerah yang sesuai asas demokrasi
seperti, kewenangan dalam mengurus rumah tangga, keuangan, dan sumber daya
alam secara mandiri membuat demokrasi tidak berjalan seperti seharusnya di
Provinsi NTT. Padahal Sen mengatakan bahwa kecenderungan sistem yang tidak
bisa menerapkan demokrasi secara substantif, akan cenderung pula jauh dari
pemerataan sumber daya alam (pangan). Selanjutnya yang menjadi PR bagi
pemerintah saat ini baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yaitu
bagaimana agar nilai-nilai demokrasi dan pelaksanaan demokrasi yang
substansial bukan hanya prosedural dapat diterapkan dengan baik agar tidak ada
lagi bencana kelaparan bahkan kemiskinan diharapkan tidak lagi tumbuh subur
di tanah air.

DAFTAR PUSTAKA

Literatur
Witdarmono, H. 2000, Indonesia Abad XXI di Tengah Kepungan Perubahan Global.
Jakarta: Kompas
Sen, Amartya. 2007, Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas. Tangerang : Marjin Kiri

9
Artikel dalam Situs
Businessreview, NTT "Jilid Ethopia" Rawan Pangan Pejabatnya Korup,
http://www.businessreview.co.id/artikel-majalah.html, diakses pada tanggal
23 Desember 2010 Pukul 07.05 wib
Sahdan, Gregorius. Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan,
http://www.ekonomirakyat.org/galeri_opi/opini_9.php, diakses pada : 8
September 2010 pukul. 09.14
Muhammad, Agus. Melihat Krisis Indonesia Lewat Analisa Amartya Sen,
http://www.unisosdem.org/humanitarian.php, diakses pada tanggal 18
Desember 2010 pukul 20.23 Wib
Budiantoro, Setyo. “Manusia, Kebebasan dan Pembangunan”,
www.ekonomirakyat.org diakses pada tanggal 23 Desember 2010 pukul 02.21
Wib
TNPK, Profil kemiskinan RI, http://tnp2k.wapresri.go.id/data/profil-kemiskinan-
indonesia.html diakses pada tanggal 24 Desember 2010 pukul 06.47 wib
Launa, Menyoal Hak Gizi dan Pangan, http://www.waspada.co.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=12720:menyoal-hak-gizi-aamp-
pangan-rakyat&catid=25:artikel&Itemid=44, diakses pada tanggal 24
Desember 2010 Pukul 05.48 wib.

You might also like