You are on page 1of 36

Opini

BURUH DI INDONESIA: DILEMAHKAN DAN


DITINDAS
A. S.
Finawati

Membicarakan perlindungan terhadap buruh haruslah bermula


dari pemahaman terhadap hubungan yang terjadi antara
buruh-majikan. Dalam hubungan buruh-majikan, posisi buruh selalu
subordinatif dengan majikan. Hal ini merupakan kesejatian akibat
tidak seimbangnya kekuasaan ekonomi (yang pada akhirnya
menimbulkan ketidakseimbangan kekuasaan politik) yang melekat
pada buruh dan pada majikan. “Sosiologis buruh adalah tidak
bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain
daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain.
Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat
kerja itu.”[1] Atau yang dalam hubungan-hubungan pribadi
disebut sebagai kelemahan struktural.[2] Secara sederhana
ketidakseimbangan hubungan buruh- majikan ini dapat diilustrasikan
dengan pengalaman setiap orang saat melamar pekerjaan. Orang
yang melamar pekerjaan pasti membutuhkan pekerjaan karenanya
tidak berani dan tidak dapat menentukan syarat-syarat kerja.
Apabila ada yang berani menentukan syarat-syarat kerja semisal
gaji, maka resiko tidak diterima apabila pengusaha tidak setuju
dengan penawaran dari pelamar kerja tersebut, harus ditanggung
oleh si pelamar tersebut. Dengan demikian sebenarnya tidak pernah
ada
kekebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja.

A. Peran Negara Dalam Hubungan Perburuhan


Konsekuensi dari hubungan subordinatif tersebut adalah
diperlukannya suatu faktor untuk menyeimbangkannya. Walaupun
konsep keadilan sangat abstrak, namun cukup dapat diterima
secara umum bahwa “adil” tidaklah berarti kesamaan dalam segala
tindakan melainkan proporsional tergantung pada kebutuhannya. Bila
www.pemantauperadilan. 1
com
Opini

dianalogikan dengan kebutuhan baju, maka tidak adil bila orang


gemuk dan kurus diberikan bahan baju yang sama banyaknya. Yang
gemuk tentu membutuhkan lebih

com 2
Opini

banyak bahan dibandingkan dengan seorang yang kurus.


Demikian pula halnya
dengan buruh dan pengusaha, karena buruh lebih lemah secara
ekonomi yang otomatis mengakibatkan lemahnya posisi tawar dalam
bidang kehidupan lainnya, maka justru tidak adil bila terdapat
kesamaan perlindungan bagi buruh dan pengusaha. Yang lemah
haruslah dilindungi lebih. Dan tugas tersebut tentunya terletak pada
tangan Negara. Commons dan Andrews mengatakan “where the
parties are unequal (and public purpose is shown) then the state
which refuses to redress the unequality is actually denying to the
weaker party the equal protection of the laws.”[3]
Perlindungan terhadap yang lemah ini ternyata menjiwai UUD
1945 dalam wujud keadilan sosial yang berdasar kekeluargaan. DR.
K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua BPUPKI dalam sidang
pembentukan Undang-Undang Dasar mengatakan “Saya kira, saya
boleh mengatakan bahwa semua anggota-anggota telah
memufakati dasar yang dibicarakan di dalam sidang pertama
daripada Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, yaitu dasar kekeluargaan
atau dasar yang saya namakan dasar gotong-royong”.[4]
Muhammad Hatta pun yang dengan gigih meminta dimasukkannya
hak asasi manusia dalam UUD, yang dikatakan oleh anggota yang
lain berasal dari paham liberalisme, juga mengatakan “Memang kita
harus menentang individualisme dan saya sendiri boleh dikatakan
lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita
mendirikan negara baru di atas dasar gotong royong dan hasil
usaha bersama.”[5] Akibatnya paham kapitalisme dan liberalisme
ditolak. Hal ini tergambar dalam sidang kedua BPUPKI, saat
Soekarno sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD diminta oleh
ketua BPUPKI untuk menerangkan tentang UUD:

Kita semuanya mengetahui bahwa faham atau dasar falsafah


individualisme telah menjadi sumber ekonomisch liberalisme
Adam Smith dengan bukunya yang terkenal yagn sebenarnya
tidak lain tidak bukan menjalankan teori-
com 3
Opini

teori ekonomi di atas dasar-dasar falsafah yang


individualistis. Tetapi kita
mengenal apakah hasil ekonomi individualisme, dengan
adanya persaingan merdeka. Dengan adanya ekonomisch
liberalisme, yang bersemboyan : “laissez faire, laissez
passer” dengan persaingan merdeka, timbullah kapitalisme
yang sehebat-hebatnya di negeri-negeri yang merdeka.
Timbullah itu oleh karena ekonomisch liberalisme itu sistem
yang memberi hak sepenuh-penuhnya kepada beberapa
orang manusia saja, untuk menghisap, memeras, menindas
sesama yang lain. (Hal. 255)

Kita menghendaki keadilan sosial. … . Buat apa kita membikin


grondwet, apa
guna grondwet itu kalau ia tidak mengisi perut orang yang
hendak mati kelaparan. … . Maka oleh karena itu, jikalau
kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada
faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong
royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran,
tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya.
(Hal.
259-
260)

Dengan kata lain “UUD 1945 itu sebenarnya juga menjadi


hukum dasar bagi kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan di
Indonesia[6].” Konsekuensi dari pengaturan ekonomi dalam UUD
1945 tersebut adalah

… tidaklah rasional untuk membatasi cakupan makna


kedaulatan rakyat sebagai konsep kekuasaan tertinggi, hanya
dalam bidang politik saja. Karena, baik aspek politik
maupun aspek ekonomi, secara potensial, dapat saja
www.pemantauperadilan. 4
com
Opini

menjadi objek kekuasaan. … . Orang yang memiliki benda


milik tertentu, memiliki kekuasaan (ekonomi) atas benda itu,
seperti halnya orang yang memiliki budak, mempunyai
kekuasaan (politik) atas budak yang dimilikinya. Begitu
juga hubungan atasan-bawahan dalam pengertian

com 5
Opini

otoriter, meskipun derajat hubungannya lebih lunak


dibandingkan antara
tuan dan budak, tetapi atasan dalam pengertian
tradisional mempunyai kekuasaan dan kewenangan tertentu
terhadap bawahannya. Karena itu, dalam hubungan dengan
gagasan kedaulatan rakyat, dapat dikatakan bahwa bidang
ekonomi maupun politik sama-sama merupakan kategori dari
objek kekuasaan yang dimiliki rakyat.[7]

Lebih lanjut, sikap Negara terhadap hubungan buruh-majikan


serta tanggung
jawab yang harus diembannya dapat dilihat dari sikap pembentuk
Negara (founding fathers-mothers). Dalam rapat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945, panitia kecil
yang ditunjuk Ketua PPKI, Soekarno, yang tugasnya membuat
rancangan departemen-departemen, mengusulkan 13
Kementerian, salah satunya adalah Kementerian Kesejahteraan
yang terbagi atas :
a.
Perburuhan
b. Perawatan fakir-miskin dan anak
yatim piatu c. Zakat fitrah[8]

Kementerian Kesejahteraan ini kemudian diputuskan menjadi


Departemen
Sosial dengan tugas “mengurus hal-hal perburuhan, fakir miskin
dan lain-lain.”[9] Konteks pengaturan departemen ini sangat jelas yaitu
melihat buruh sebagai pihak yang lemah dan karenanya harus
dilindungi.

B. Politik Hukum Perburuhan Indonesia, Orde Lama VS


Orde Baru
Tujuan dari para pendiri Negara seperti yang tergambar dalam
pemaparan sebelumnya, dalam kehidupan bernegara selanjutnya
www.pemantauperadilan. 6
com
Opini

sayangnya tidak bertahan lama. Pada masa Orde Lama, memang UU


yang menyangkut perburuhan mengatur lebih lanjut perlindungan
yang dimaksud oleh UUD 1945. Tercatat sejumlah UU yang amat
pro buruh yaitu UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya

com 7
Opini

UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 2 Tahun 1951 tentang


berlakunya UU
No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja, UU 3 Tahun 1951
tentang Pernyataan
Berlakunya UU No. 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan,
UU 21 Tahun
1954 tentang Perjanjian Perburuhan, UU No. 18 Tahun 1956 tentang
Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-
dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama,
UU 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan
UU 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan
Swasta.

NO. UNDANG-UNDANG KONSEP PERLINDUNGAN


1. UU No. 1 Tahun · Larangan mempekerjakan anak
1951 tentang · Pembatasan waktu kerja 7 jam
Pernyataan sehari, 40 jam seminggu
Berlakunya UU No. · Waktu istirahat bagi buruh
12 · Larangan mempekerjakan buruh pada hari
Tahun 1948 libur
tentang · Hak cuti haid
Kerj · Hak cuti melahirkan/keguguran
a · Sanksi pidana untuk pelanggaran
ketentuan dalam
2. UU No. 2 Tahun · Jaminan atas kecelakaan kerja
1951 tentang · Hak pegawai pengawas untuk menjamin
berlakunya UU No. pelaksanaan jaminan kecelakaan
33 Tahun 1947 kerja
tentang Kecelakaan · Sanksi pidana untuk pelanggaran
Kerja ketentuan dalam
UU ini
3. UU 3 Tahun 1951 · Kewajiban Negara untuk melakukan
tentang Pernyataan pengawasan terhadap pelaksanaan UU
Berlakunya UU No. dan peraturan perburuhan
23 tahun 1948 · Hak pegawai pengawas memasuki dan
tentang memeriksa
Pengawasan tempat usaha
Perburuha · Kewajiban majikan untuk memberikan
n keterangan lisan dan tertulis kepada
pegawai pengawas
· Sanksi pidana untuk pelanggaran
4. UU 21 Tahun 1954 · Jaminan perjanjian perburuhan tetap
tentang Perjanjian berlaku walau serikat buruh kehilangan
Perburuhan anggotanya
comantara 8
Opini

Serikat Buruh dan · Jaminan perjanjian perburuhan tetap


Majikan berlaku walau serikat buruh bubar
· Aturan tentang perjanjian perburuhan
lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan
dengan perjanjian kerja antara seorang
buruh dengan majikan
· Pembatasan untuk majikan tidak boleh
membuat perjanjian perburuhan
dengan serikat buruh lain yang lebih
rendah syarat kerjanya dengan perjanjian
perburuhan yang sudah pernah dibuatnya
5. UU No. 18 Tahun Perlindungan hak
1956 tentang berserikat
Persetujuan (1) larangan diskriminasi karena
Konvensi ILO No. 98 menjadi anggota serikat
mengenai buruh dan melakukan aktivitas sebagai
Berlakunya Dasar- anggota serikat
dasar dari hak untuk buruh
berorganisasi dan
(2) larangan mendominasi atau melakukan
untuk berunding
kontrol
6. bersama
UU 22 Tahun 1957 · Definisi mogok yang cukup luas :
tentang (1) tindakan kolektif menghentikan atau
Penyelesaian memperlambat jalannya pekerjaan
Perselisihan (2) akibat perselisihan perburuhan
Perburuha (3) maksud untuk menekan majikan atau
n membantu golongan buruh lain
menekan
majika
n
(4) agar menerima hubungan kerja,
syarat-syarat kerja dan/atau keadaan
perburuhan
· Pembentukan P4D/P yang terdiri dari 3
pihak secara berimbang jumlahnya :
pemerintah, wakil buruh dan wakil
pengusaha
· Ketentuan putusan P4D/P bersifat
mengikat dan dapat dimintakan eksekusi
ke
pengadilan negeri
7. UU 3 Tahun 1958 · Pengaturan dan pembatasan
tentang mempekerjakan tenaga kerja asing yang
Penempatan Tenaga berarti
Asing perlindungan terhadap jaminan
8. UU 12 Tahun pekerjaan pengusaha
· Ketentuan bagi harus
1964 tentang mengusahakan tidak terjadi PHK
Pemutusan

com 9
Opini

Hubungan Kerja di · Larangan PHK karena sakit selama tidak


Perusahaan Swasta melebihi 12
bulan secara terus menerus
dan karena menjalankan kewajiban
negaradan
ibadah agama
· Kewajiban pengusaha merundingkan
maksud PHK
kepada serikat buruh/buruh
· PHK hanya dengan izin P4D/P
· PHK tanpa izin batal karena hukum
· Selama belum ada izin pengusaha dan
buruh harus menjalankan kewajibannya

Kondisi ini berubah sejak pemerintah Orde baru


mengeluarkan sejumlah
peraturan dan kebijakannya. UU yang dikeluarkan pada awal Orde
baru berkuasa yaitu UU 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Mengenai Tenaga Kerja memang memuat jaminan hak
berserikat serta membuat perjanjian perburuhan. Tetapi apabila
dicermati, mulai terjadi pergeseran paradigma. Kata “buruh” diganti
dengan “tenaga kerja” diikuti dengan pasal-pasal yang memuat tidak
lagi hanya perlindungan dalam konteks hubungan perburuhan tetapi
juga pasal-pasal seputar hubungan industrial. Misalnya peran
pemerintah untuk mengatur penyebaran dan penggunaan tenaga
kerja dengan tekanan pada produktifitas dan pencapaian manfaat
yang sebesar-besarnya.
Peraturan dan kebijakan pemerintah tentang perburuhan
selanjutnya secara garis besar dapat dikategorikan menjadi 2 besaran,
yang menyangkut hak ekonomi dan hak politik buruh. Walaupun
pembagian ini sebetulnya bias, karena soal-soal kesejahteraan bagi
buruh tidak berarti persoalan ekonomi semata karena bila secara
politik buruh lemah/dilemahkan maka otomatis hak ekonominya akan
lemah pula, tetapi pembagian ini selain untuk memudahkan
pengelompokkan justru untuk menunjukkan hubungan tak terpisahkan
antara hak ekonomi dan hak politik buruh.

com 1
0
I. Menyangkut Hak Politik Buruh
Secara sederhana dalam, hak politik buruh berarti peraturan-
peraturan yang menyangkut kegiatan berserikat. Seperti hak
berserikat itu sendiri, hak untuk melakukan perundingan (pembuatan
kesepakatan kerja bersama) dan hak mogok. Tercatat beberapa
Peraturan Menteri Tenaga Kerja yaitu :

NO. PERATURAN/KEBIJAKAN ISI KETENTUAN

1. Permenaker Pembatasan serikat buruh yang


1/MEN/1975
dapat didaftar di Departemen Tenaga
Kerja, Transmigrasi dan Koperasi yaitu
gabungan serikat buruh yang
mempunyai pengurus daerah min.
di 20 daerah Tk. I dan
beranggota 15 SB
2. Permenaker · iuran serikat buruh dipungut
1/MEN/1977
melalui pengusaha
· serikat buruh
wajib mempertanggungjawabkan
keuangan organisasi tingkat basis
pabrik kepada Menteri Tenaga kerja,
Transmigrasi dan Koperasi[10]

3. Permenaker Iuran buruh dipungut secara


5/MEN/1984
kolektif oleh perusahaan

4. Permenaker · Penyeragaman pola KKB


1/MEN/1985
· Syarat yang membatasi SB dapat
membuat KKB yaitu memiliiki
anggota sekurang- kurangnya 50%
dari jumlah buruh di perusahaan

5. Permenaker Persyaratan organisasi yang dapat


5/MEN/1987 didaftarkan
ke Depnaker

6. Kepmenaker · Pengakuan tunggal Negara hanya


pada FSPSI
15A/MEN/1994
untuk
perundingan perselisihan perburuhan
7. Permenaker · Pendaftaran SP yang sebenarnya
5/MEN/1998
merupakan bentuk
perizinan
· Penyeragaman asas organisasi

Selain itu masih ada “13 surat keputusan menteri …, 8 di


antaranya bersifat
campur tangan untuk menghegemoni buruh, dan selebihnya (5) yang
secara lebih tegas membatasi, melarang dan menekan buruh.”[11] Dari
delapan yang bersifat campur tangan tersebut di antaranya adalah
Kepmen No. 645/Men/1985 tentang pelaksanaan Hubungan Industrial
Pancasila. HIP yang berasal dari Hubungan Perburuhan Pancasila
(HPP) hakekatnya adalah melemahkan gerakan buruh maupun
serikat buruh. Dengan “… menentang konflik, dalam praktek juga
menolak hak untuk melakukan aksi mogok karena dianggap tidak
selaras dengan prinsip kekeluargaan yang melandasi Pancasila.”[12]
Sedangkan ketentuan yang tegas membatasi antara lain Kepmen
4/Men/1986 yang menekan hak mogok dan kebebasan membentuk
serikat buruh, kepmen 342/Men/1986 yang menentukan aparat
keamanan (Korem, kodim, Kores) boleh ikut campur menangani
perselisihan perburuhan.[13]
Dengan aturan-aturan di atas, kedudukan buruh dipastikan akan
lemah. Rupanya Pemerintah Orde Baru amat paham bila kekuatan
buruh terletak pada persatuannya yang terwujud pada serikat buruh.
Secara garis besar yang dilakukan aturan-aturan menyangkut hak
politik buruh tersebut adalah secara sistematis menghambat
pembentukan serikat buruh dan membuat kebijakan hanya
memungkinkan adanya satu serikat buruh yang diakui oleh
pemerintah. Kemudian
satu serikat buruh, yang menjadi mudah dikontrol ini, dipreteli pula
hak asasinya

yaitu hak mogoknya. Padahal “… hak mogok adalah salah satu


sarana prinsip dimana para pekerja dan serikat buruh mereka dapat
mempromosikan dan membela kepentingan ekonomi dan sosial
mereka secara sah (ILO, 1996d, ayat 473 - 475).”[14]

II. Menyangkut Hak Ekonomi Buruh


Hak ekonomi buruh secara sederhana diartikan sebagai
peraturan-peraturan yang menyangkut kesejahteraan secara langsung
bagi buruh. Beberapa di antaranya adalah

NO. PERATURAN/KEBIJAKAN ISI KETENTUAN

1. PP 8 Tahun 1981 · Perlindungan pembayaran upah


tentang
· Asas no work no pay
Perlindungan Upah
· Daluwarsa tuntutan yang berkaitan
dengan hubungan kerja selama 2
tahun
2. Permenaker Aturan tentang pekerja harian lepas
6/Men/1985
3. Permenaker Aturan mengenai
kesepakatan kerja waktu
5/MEN/1986, diganti
tertentu (pekerja kontrak)
dengan Permenaker
4. Permenaker · Ketentuan tentang mangkir bagi
buruh
4/MEN/1986, diganti
· Mereduksi kewajiban untuk
Permenaker
menjalankan hak dan kewajiban
3/MEN/1996
akhirnya buruh-majikan selama proses PHK

menjadi dalam UU dengan adanya skorsing


Kepmenaker terhadap buruh
150/MEN/2000 tentang · Aturan PHK karena kesalahan berat
Penyelesaian PHK dan (tidak mendapat pesangon)
Penetapan pesangon, · Aturan pemberian SP (surat
Uang Jasa dan Ganti peringatan) bagi buruh
Ketentuan tentang besarnya pesangon

5. Permenaker Aturan tentang Upah minimum

5/Men/1989 diganti

Permenaker
1/MEN/1996
akhirnya

Secara sekilas peraturan-peraturan tersebut memang berisi


perlindungan
terhadap buruh. Tetapi bila ditelaah lebih dalam, berbagai peraturan
tersebut justru mengurangi hak-hak buruh. Aturan tentang pekerja
harian lepas misalnya, tidak hanya melegitimasi jenis hubungan kerja
harian lepas tetapi perlindungan yang ada dalam permenaker
tersebut yaitu ketentuan jumlah bulan dan hari dalam sebulan untuk
pekerja harian lepas (tidak boleh melebihi 3 bulan berturut-turut dan
20 hari kerja dalam setiap bulannya) membuka peluang untuk
mengeksploitasi buruh dan membuatnya tetap pada status buruh
harian lepas. Dalam sebuah kasus yang ditangani oleh Serikat Buruh
Jabotabek Perjuangan (SBJ P), pengusaha mempekerjakan buruh
selama bertahun-tahun pada tempat dan jenis pekerjaan yang sama,
tetapi tidak pernah selama 3 bulan berturut-turut. Akibatnya buruh
tersebut tetap berstatus harian lepas yang tentu saja hak-haknya
lebih buruk dari buruh tetap. Kasus menuntut status ini, dalam
putusan P4P mengalahkan buruh dengan alasan formalitas mengacu
pada ketentuan Permenaker 6/Men/1985.
Hal serupa mengenai aturan Kesepakatan Kerja Waktu
Tertentu (KKWT) yang telah meluaskan praktek kerja kontrak.
Pelanggaran tidak hanya untuk ketentuan waktu kontrak (yang tidak
boleh melebihi 2 tahun dan perpanjangan 1 kali dengan total
keseluruhan masa kontrak tidak boleh melebihi 3 tahun) tetapi juga
untuk jenis pekerjaan yang boleh dikontrak.
“Dari data lapangan dapat dilihat bahwa ternyata
pemberlakuan KKWT
sudah merupakan kondisi umum dari hubungan industrial. Hal
ini bukan saja terjadi di perusahaan swasta, namum juga terjadi
pada Badan Usaha Milik Negara. … data lapangan menunjukkan
bahwa sistem kerja kontrak inipun hampir terjadi di semua jenis
pekerjaan. Dari bagian kebersihan, keamanan sampai ke bagian
pembukuan/accounting, marketing, perencanaan serta
penjualan. Dari segi jabatan pun dapat dilihat, bahwa sistem
kerja kontrak juga terjadi dari posisi yang paling rendah
seperti office boy, satpam sampai ke supervisor bahkan
manager.”[15]

Kondisi yang sedikit berbeda pada Kepmenaker 150/Men/2000


adalah apabila
dua peraturan menteri tentang pekerja harian lepas dan kontrak
membuka peluang penyelundupan hukum, maka pengaturan tentang
pesangon ini dalam ketentuannya memang sudah melemahkan dan
mengurangi perlindungan terhadap buruh yang ada dalam undang-
undang. Selain sering dikatakan melanggar asas praduga tak bersalah
(karena pengusaha diberi hak melakukan skorsing tanpa
melalui mekanisme seperti permintaan izin PHK), aturan ini juga
mengenalkan kesalahan berat sebagai alasan PHK (dengan
konsekuensi tidak mendapat pesangon) tanpa penyebutan mekanisme
pembuktian yang jelas. Akibatnya, P4D/P merasa diberi kewenangan
untuk memutus hal-hal yang sebetulnya merupakan lingkup tindak
pidana yang seharusnya hanya menjadi kewenangan peradilan.
Hal serupa pada aturan tentang upah minimum yang pada
kenyataannya justru menjadi ‘aturan upah maksimum.’ Selain
mendasarkan pada kebutuhan fisik minimum/KFM padahal lebih layak
dengan kebutuhan hidup minimum/KHM (ditambah lagi pada
prakteknya sering tidak sesuai dengan perhitungan KFM),
ketidakjelasan aturan ini menyebabkan buruh dengan masa kerja
bertahun-tahun juga mendapat upah sebesar upah minimum, sama
dengan buruh yang baru masuk bekerja. Tidak heran masalah “upah
sundulan” kerap menjadi sumber perselisihan
antara buruh dengan pengusaha. Belum lagi masalah
tidak pernah
diperhitungkannya kebutuhan buruh perempuan yang karena organ
reproduksinya membutuhkan lebih banyak kebutuhan serta. Begitu
pula dengan kebutuhan buruh yang telah berkeluarga yang tidak
masuk dalam perhitungan upah minimum.
Dari paparan di atas, walau undang-undang perburuhan banyak
memberikan perlindungan, dalam praktek perlindungan tersebut
hilang akibat aturan-aturan di bawahnya

“… kelonggaran yang diberikan kepada buruh oleh undang-


undang justru dijegal oleh peraturan-peraturan pelaksanaan di
bawahnya. … . Selain itu banyaknya peraturan di bawah
undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang di
atasnya yang dihasilkan pada masa ini juga menunjukkan usaha
pemerintah yang semakin intensif untuk memanfaatkan
‘lubang- lubang’ kelemahan undang-undang perburuhan, karena
pemerintah merasa berkepentingan untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi, … .”[16]

Pelemahan serikat buruh ternyata membuat buruh harus


kehilangan
kesejahteraannya. Selain tidak mampu mempengaruhi kebijakan-
kebijakan Negara (misal yang menyangkut kesejahteraan), buruh juga
tidak mampu memaksa pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan
aturan yang ada (misal ketentuan tentang pengawasan perburuhan
yang seharusnya dilakukan pemerintah terhadap pelanggaran UU
perburuhan).

C. Keadaan
Saat ini
Sejak berlakunya UU No. 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan, yang dimaksud sebagai pengganti serta kompilasi
seluruh aturan perburuhan, gagal untuk diberlakukan dan harus
ditunda setelah gelombang demonstrasi besar-besaran penolakannya.
Pemerintah merubah strategi dengan “ menawarkan turunan dari UU
tersebut ke dalam paket 3 RUU Perburuhan, … UU 21/2000
tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, RUU Perlindungan Pembinaan
Ketenagakerjaan (PPK) dan
RUU PPHI … .” [17]

Bila kebijakan perburuhan Orde Baru yang membatasi buruh


berideologi
pembangunanisme[18], maka dengan UU 25 Tahun 1997 dan tiga
undang-undang turunannya tersebut, kebijakan ini dilanggengkan
dengan tambahan motivasi dari tekanan lembaga keuangan
internasional untuk kepentingan pasar. Sebagai prasyarat untuk
mencairkan dana talangan yang disediakan IMF itu, pemerintah
Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan sejumlah agenda
ekonomi neoliberal melalui penandatangan Letter of Intent (LOI).[19]
Agenda ekonomi neoliberal ini memiliki prasyarat untuk
keberlakuannya. Arahnya adalah peran aktif pemerintah diganti
dengan peran yang minimalis serta non intervensionis.[20] Hal ini tentu
berlaku untuk semua bidang kehidupan, perburuhan tidak luput
daripadanya. Kebijakan tersebut tentu perlu infrastruktur dan undang-
undang alat yang paling tepat untuk melegitimasinya. Karenanya
tidak heran bila filosofi dasar tiga undang- undang perburuhan
tersebut memiliki kesamaan yaitu mengurangi bahkan melepaskan
peran Negara dalam hubungan buruh-majikan. Dengan asumsi
liberalisasi pasar maka intervensi pemerintah dalam bentuk
perlindungan terhadap buruh akan menjadi hambatan. Karenanya
nasib buruh diserahkan pada mekanisme pasar atau dengan kata lain
buruh yang bisa dianalogikan sebagai semut harus bertarung dengan
gajah dengan senjata yang harus sama.
Nuansa kental kepentingan agenda neoliberal pada
pembentukan UU perburuhan ini secara gamblang diungkapkan oleh
Ketua Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) Sofyan Wanandi
saat mengomentari RUU Ketenagakerjaan “Kesepakatan yang telah
diparaf bersama tersebut hendaknya tidak diubah sepihak oleh
Menakertrans secara mendadak. Apalagi kesepakatan tripartit telah
mengadopsi kepentingan pasar global, karena masalah
ketenagakerjaan
menjadi pertimbangan investasi, baik pengusaha nasional maupun
asing.”[21] Lihat
pula komentar Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra
pada sidang judicial review UU Ketenagakerjaan 11 Desember 2003
saat menjawab argumentasi pemohon bila pembuatan undang-
undang tersebut bukan dilatari kepentingan rakyat melainkan
kepentingan IMF: “dalam Letter of Intent disepakati tanggal
tanggal berapa saja undang-undang apa harus sudah disepakati. Hal
ini karena pemerintah meminjam uang atau berhutang.”[22]

UU 21 Tahun 2000 tentang Serikat


Pekerja/Serikat Buruh
Secara formalitas undang-undang ini memang mengakui serta
menjamin kebebasan buruh untuk berserikat. Tetapi jaminan
tersebut direduksi oleh pasal- pasal berikutnya. Pencatatan yang
seharusnya berfungsi administratif pada prakteknya menjadi legalisasi
sah tidaknya suatu serikat buruh. Hal ini karena pencantuman hak-hak
serikat buruh selalu diembel-embeli dengan “serikat buruh yang telah
mencatatkan serta mempunyai nomor bukti berhak … .” Hal ini jelas
merupakan pembatasan bagi serikat buruh yang tidak mencatatkan
diri. Lebih buruk lagi dalam praktek, nomor bukti pencatatan ini selalu
ditanyakan baik oleh pihak Departemen Tenaga Kerja maupun
lembaga penyelesaian perslisihan perburuhan (P4D/P). Sehingga
stigma serikat buruh illegal sebelum adanya UU 21 tahun 2000 ini
belum bisa lepas dari serikat buruh yang memilih untuk tidak
mencatatkan diri. Dalam hal ini kebebasan berserikat yang dijamin
oleh UUD jelas telah dilanggar.
Kesan undang-undang ini hanyalah lip service Negara diperkuat
dengan tidak
dapat diimplementasikannya aturan-aturan perlindungan terhadap
kebebasan berserikat. Walaupun memuat ancaman hukuman penjara
selama 1 – 5 tahun dan/atau denda sebesar 100 – 500 juta, pada
kenyataannya tidak ada satupun pelaku pelanggaran berserikat yang
dikenai hukuman bahkan tidak ada satupun kasus pelanggaran
berserikat yang sampai ke meja hijau untuk diadili. Kasus-kasus
di bawah ini hanya bersumber dari kasus-kasus yang masuk ke LBH
Jakarta, sehingga
bisa dipastikan ada lebih banyak kasus pelanggaran berserikat yang
dilaporkan dan
tidak ditindaklanjuti.

NO NAMA KASUS TEMPAT WAKTU STATUS KETERANGAN


PELAPORAN PELAPORAN PELAPORAN
1. Serikat PHK Polda Metro Januari 2001 Tidak Telah ada
Pekerja massal Jaya rekomendasi
Mandiri terhadap ada tindak ILO bulan Juni
799 orang lanjut 2002 yang
dan penangana menyatakan
gugatan n kasus. bahwa
Alasan tidak
perdata
jelas. terjadi
terhadap 7
pelanggaran
orang
Konvensi ILO
pengurus
No.
SB
87
2. Serika PHK Polda Metro Awal 2001 Tidak Setelah
t beruntun jaya ada
Pekerj dan ada tindak pengaduan,
a Bank lanjut justru terjadi
Panin massal penangana kriminalisasi
terhada n kasus. terhadap
p Alasan tidak Ketua Umum
penguru jelas. SPBP,
s Imam
dan aktivis Sutrisno
3. Serikat PHK Polres Desember Tidak dan
Polisi sempat
Buruh beruntun Tangerang 2001 bertanya
Nusantar dan ada tindak tentang tindak
a skorsing lanjut pidana yang
penangana dilaporkan dan
menuju
n kasus. mengaku tahu
PHK
Alasan tidak serta tidak
terhada
p memiliki UU
ada juklak 21
belasan
teknis Tahun
penguru
penangana 2000.
s
n kasus
dan aktivis Akhirnya 1
semacam
SB, kopi
ini.
termasu UU 21
k Tahun
kriminalisa 2000
si ketua ditinggalkan
SBN,
untuk
Advokas
i, Sujito
4. SPTP Skorsin Penyidik Desember Tidak Pihak
PT. g Pegawai negeri 2001
Koinus menuju Sipil ada tindak pengusaha
Jaya PHK (PPNS) lanjut akhirnya
Garment terhadap 9 Kandepnakertr penangana mencabut
orang ans Tangerang n kasus. skorsing
pengurus Alasan tidak terhadap
SB yang jelas. 9 orang
memimpin pengurus SB
aksi tersebut
menuntut setelah ada
pelaksana pelaporan ke
an UMP Kandepnakertra
ns Tangerang.
2002,
pemberian
cuti
haid dan
5. SP cuti
PT. Skorsin Polres Cilegon Pertengahan Tidak Pengusaha
Setia g 2001 berkeras
Kawan menuju ada tindak mengajukan
Menara PHK lanjut PHK terhadap
Motor terhada penangana Ahmad
p n kasus. Syahbana
ketua SB Alasan tidak
Ahmad jelas.
6. PUK SPSI Skorsin Polda metro Mei 2002 Tidak Justru
FARKES g jaya terjadi
RS menuju ada tindak kriminalisasi
Pondok PHK lanjut terhadap Edi
Indah terhada penangana Waluyo
p n kasus.
Aktivis SB, Alasan tidak dengan alasan
Muchsin jelas. menganiaya
Rasjid dan atasan. Setelah
Ketua SB, diputus
Edi Waluyo bersalah di PN
Jakarta Selatan
saat ini sedang
menunggu
*) Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2002 LBH Jakarta
UU
Ketenagakerjaan
Setelah bertahun-tahun melewati proses pembahasan serta
beberapa kali mengalami pengunduran pengesahan akibat penolakan
buruh, akhirnya undang- undang ini disahkan dalam rapat paripurna
DPR tanggal 25 Februari 2003. Melengkapi substansi undang-undang
ini yang bermasalah, proses pembahasan bahkan pengesahan serta
pengundangannya juga bermasalah.
Setelah beberapa kali penolakan besar-besaran oleh buruh
terhadap rencana pengesahan RUU Ketenagakerjaan (saat itu masih
bernama RUU PPK) antara lain akhir Juli 2002 dan 23 September
2002[23], untuk melegitimasi bila undang-undang ini disetujui oleh
buruh, maka DPR melibatkan serikat buruh secara intensif dan
akhirnya membentuk tim kecil yang terdiri dari beberapa orang
anggota serikat buruh. Tugasnya adalah membahas substansi
undang-undang. Persetujuan mereka yang tergabung dalam tim kecil
terhadap RUU Ketenagakerjaan ini kemudian dilegitimasi sebagai
persetujuan seluruh buruh. Selain masalah pendanaan tim kecil yang
tidak jelas asal usulnya, pembentukan tim kecil yang manipulatif,
tidak partisipatif serta transparan, menyebabkan keanggotaan orang-
orang dalam tim kecil ini akhirnya ditolak serikat buruh di mana
mereka menjadi anggota. Bahkan serikat buruh mereka ikut menjadi
pemohon dalam judicial review UU Ketenagakerjaan.
Pasca pengundangan, yang terjadi secara otomatis karena 30
hari telah lewat
dari disahkannya tanpa penandatanganan presiden, terungkap bila
terjadi perubahan dari naskah yang disahkan DPR dengan naskah
yang diundangkan oleh sekretariat Negara. Tercatat ada 4 pasal yang
mengalami perubahan yaitu pasal 159, pasal 170, pasal 171, dan
pasal 172. Pasal 159 diubah dari 4 ayat menjadi 1 ayat saja.
Sedangkan pasal lainnya mengalami perubahan redaksional.
“Misalkan, pasal 172 RUU Ketenagakerjaan versi DPR antara lain
menyebutkan bahwa pekerja/buruh yang mengalami sakit
berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak
dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan
dapat mengajukan PHK dan diberikan uang pesangon dua kali
ketentuan Pasal 159 ayat (2).”[24] Naskah
ini salah karena ketentuan pesangon dalam UU Ketenagakerjaan
tidak diatur dalam
pasal 159 ayat (2) melainkan dalam pasal 156 ayat (2). “Kesalahan
tersebut kemudian dikoreksi, sehingga pasal 172 tidak lagi mengacu
kepada pasal 159 melainkan pada pasal 156 UU No.13/2003.”[25]
Diluar masalah prosedural, substansi pasal-pasal undang-
undang ini sangat jelas menggambarkan upaya sistematis untuk
melepaskan tanggung jawab Negara akan kewajiban melindungi
buruh. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengurangi atau
menghilangkan perlindungan yang telah ada dalam undang-
undang sebelumnya. DIbawah ini akan dibandingkan beberapa
aturan yang ada dalam UU
13/2003 dengan aturan yang lama untuk
menggambarkan hal tersebut

No. Masalah Ketentuan UU 13/2003 Ketentuan Peraturan Lama


1. Hubungan a. Definisi buruh terdiri a. Definisi buruh terdiri
Kerja dari dari 3 unsur : bekerja,
2 unsur : bekerja dan pada majikan dan
menerima menerima upah (UU
upah/imbalan dalam 22/195
bentuk lain (ps. 1 ayat 7)
3) Tidak ada
b. Membedakan pembedaan,
pembedaan ini
pemberi berkaitan dengan
kerja (pasal 4) dan aturan outsorcing Tidak
pengusaha (pasal 5) ada aturan
c. eksplisit tentang
Outsorcing/subkontrak outsorcing/subkontrak
diperbolehkan (pasal akibatnya outsorcing
64) illegal
d. Perjanjian kerja untuk d. Hal ini tidak ada.
waktu tertentu Penambahan ini malah
didasarkan membingungkan karena
atas jangka waktu tidak konsisten dengan
atau selesainya pasal berikutnya ang
pekerjaan tertentu membatasi perjanjian
kerja waktu tertentu
hanya untuk pekerjaan
yang jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya
2. Mogok a. Definisi mogok a. Definisi mogok lebih
dibatasi sebagai luas : sebagai akibat
akibat gagalnya perselisihan perburuhan,
perundingan (pasal bisa untuk menekan
137) majikan lain, agar
b. Harus dilakukan majikan menerima
sah, tertib dan hubungan kerja, syarat-
damai (pasal syarat kerja dan/atau
137) keadaan perburuhan (UU
c. Pembakuan 22 Tahun 1957)
isi pemberitahuan b. Tidak ada ketentuan
mogok : waktu dimulai sah, tertib dan damai
dan diakhiri, tempat c. Pemberitahuan hanya
mogok, alasan mogok harus
tanda tangan ketua memasukkan telah
dan sekretaris SB dilakukan perundingan
sebagai PJ (pasal 140 tentang pokok
ayat 2) perselisihan atau
d. Mogok tidak permintaan berunding
sesuai prosedur = ditolak oleh pihak lain
mogok tidak sah atau telah 2X dalam
e. Mogok yang tidak waktu 2 minggu gagal
sesuai prosedur : mengajak berunding
(1) Perusahaan pihak lain.
dapat mengambil d. Tidak ada ketentuan
tindakan sementara : eksplisit mogok tidak
melarang buruh sesuai prosedur = mogok
yang mogok berada tidak sah
di lokasi kegiatan e. Mogok yang tidak
proses produksi atau sesuai prosedur diancam
di lokasi perusahaan hukuman kurungan max.
(2) Akibat hukum diatur 3 bulan atau denda Rp.
dalam 10.000

Keputusan
Menteri

3. Lock Out a. Definisi lock a. Definisi lock out lebih


out dibatasi hanya luas : sebagai akibat
sebagai akibat perselisihan
gagalnya perburuhan, dapat
perundingan (Pasal untuk membantu
146 ayat 1) majikan lain, agar
b. Pembakuan buruh menerima
isi pemberitahuan hubungan kerja, syarat
lock out: kerja dan/atau keadaan
waktu dimulai dan perburuhan (UU 22
diakhiri, alasan lock 1957
out, tanda )
tangan b. Pemberitahuan hanya
pengusaha/pimpinan harus memasukkan
perusahaan (pasal telah
140 ayat dilakukan perundingan
2) tentang pokok
c. Tidak ada akibat perselisihan atau
hukum permintaan berunding
bagi lock out yang ditolak oleh pihak lain
tidak sesuai atau telah 2X dalam
prosedur (berbeda waktu 2 minggu gagal
dengan mogok yang mengajak berunding
dilakukan buruh) pihak lain.
d. Lock out boleh c. Lock out tidak
tidak sesuai
sesuai prosedur : prosedur diancam
(1) buruh mogok hukuman kurungan
tidak sesuai max. 3 bulan atau
prosedur denda Rp. 10.000
(2) buruh (Hukuman ini sama
dengan
melanggar pelanggaran prosedur
ketentuan mogok)
normatif d. Tidak ada
Pasal 149 ayat (6) a dan ketentuan diskriminatif
4. PHK a. Keharusan a. Selama izin PHK dari
menjalankan hak dan lembaga penyelesaian
kewajiban selama izin perselisihan belum ada,
PHK dari lembaga buruh dan pengusaha
penyelesaian harus menjalankan hak
perselisihan belum dan kewajibannya tanpa
ada, disimpangi kecuali (UU 12 Tahun
dengan ketentuan 1964 pasal 11).
skorsing (pasal 155 Skorsing pada aturan lalu
ayat 2 dan 3). ada pada keputusan
Aturan skorsing ini menteri tenaga kerja yang
melegitimasi ‘kesesata sebetulnya aturan yang
n’ tidak sesuai dengan aturan
aturan skorsing sebelum yang ada di atasnya karena
UU UU tidak membolehkanya.
13 Tahun 2003. b. Ketentuan ini tidak
b. PHK boleh tanpa izin ada
bila buruh melakukan (alasan kesalahan berat
kesalahan berat (pasal bagi PHK buruh tetap
158 jo. pasal 171) harus melalui proses izin)
c. Kesalahan berat c. Ketentuan ini tidak
ada.
ata
u
(2) pengakuan
buruh yang

bersangkutan
ata
u
(3) laporan
kejadian
yang dibuat
pihak
berwenang di
perusahaan dan
didukung min.2
saksi
Pasal 158 ayat
(2)
Aturan ini pelanggaran
dari
asas praduga tak
bersalah yang ada
dalam UUD 1945 dan
UU 14/1970

UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


Bagian terakhir dari tiga paket UU perburuhan yang merupakan
turunan dari UU 25 Tahun 1997 adalah UU penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Undang-undang ini dapat
disebut sebagai hukum acara dari aturan materil yang ada dalam 2
undang-undang sebelumnya.
Perubahan besar yang akan terjadi dengan diberlakukannya UU
PPHI adalah menghilangkan corak perselisihan perburuhan yang
istimewa berbeda dari perselisihan lainnya. Sesuai hakekat hubungan
perburuhan yaitu tidak seimbangnya posisi buruh-majikan,
perselisihan perburuhan selama ini dibuat bersifat kolektif (tidak
individual) dan semi peradilan yaitu tidak sepenuhnya berada di
bawah kekuasaan yudikatif tapi mempunyai kekuatan hukum tetap
(yang karenanya dapat dimintakan eksekusi ke pengadilan negeri).
Demi keperluan cepat, tepat, adil dan murah, perselisihan
perburuhan yang selama ini diselesaikan di Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P) akan di bawa ke
pengadilan negeri. Alasan yang jelas menimbulkan pertanyaan karena
sistem perselisihan selama ini tidak membutuhkan biaya apapun bagi
buruh. Lain persoalan bila biaya yang dimaksud dalam sistem
perselisihan perburuhan selama ini adalah biaya-biaya siluman
seperti suap kepada
petugas. Demikian pula dengan keluhan lamanya perselisihan
perburuhan saat ini
yang sebetulnya bukan disebabkan oleh UU 22/1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tapi karena UU 5/1986 tentang
PTUN memasukkan dalam penjelasannya P4P sebagai banding
administrasi karenanya putusannya dapat dijadikan obyek gugatan.
Karenanya UU PPHI tidak menjawab masalah yang ada dan hanya
akan menimbulkan masalah baru. Bagaimana dengan mafia
peradilan yang belum juga tuntas hingga saat ini. Demikian pula
dengan tumpukan perkara di Mahkamah Agung yang masih menjadi
keluhan para Hakim Agung hingga saat ini. Optimisme berlebihan
akan sistem baru ini benar-benar mengabaikan realitas saat ini, lihat
misalnya peradilan kepailitan yang tidak mampu memenuhi ketentuan
limitasi waktu dalam prosesnya. Lagi-lagi pemerintah mengulangi
kesalahannya dengan tidak menyelesaikan akar masalah tapi
melarikan pada persoalan lain. Atau memang menghilangkan korupsi
menjadi sesuatu yang dihindari oleh pemerintah?
Diluar masalah tersebut, UU PPHI mempunyai agenda
tersembunyi melemahkan gerakan serikat buruh. Lihat saja lingkup
kewenangannya yang salah satunya adalah perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh. Modus operandi membentuk serikat buruh
tandingan yang seringkali dilakukan pengusaha untuk membendung
gerakan serikat buruh mensejahterakan anggotanya, diberikan tajinya
dengan masuknya perselisihan antar serikat buruh dalam salah satu
kewenangan pengadilan hubungan industrial. Serikat buruh akan
kelelahan serta habis energinya untuk berselisih satu sama lain.
Akibatnya, tujuan semula mengurus kesejahteraan anggota akan
tersisihkan.
Dari paparan kondisi terkini, dapat dilihat bila dulu pelemahan
dan penindasan buruh dilakukan melalui peraturan di bawah undang-
undang, “yang memberikan indikasi bahwa rezim eksekutif
semakin leluasa dan tidak terkontrol”[26], maka saat ini pelemahan
dan penindasan tersebut justru dilakukan melalui undang-undang
yang berarti terjadi peningkatan serta perluasan instrumen negara
yang melakukan pelemahan serta penindasan tersebut, karena
undang-
undang adalah produk legislatif dan eksekutif. Dalam situasi
seperti ini harapan

mungkin hanya dapat digantungkan pada mahakamah


konstitusi atau rakyat diharuskan menentukan sejarahnya sendiri.

Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan. (Jakarta:


[1]

Djambatan, 2003),
hal.
8.

Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi


[2]

Hukum Buku III,


Editor A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto. (Jakarta, 1990,
Sinar Harapan),
hal. 69.
[3]
Soepomo, Op. Cit hal. 12
[4]
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia 1995), hal.255
[5]
ibid, hal. 259-260
[6]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Politik dan Konstitusi Ekonomi
dalam Studi Hukum Tata Negara (Jakarta: Kapita Selekta Teori
Hukum Kumpulan Tulisan Tersebar, 2000), hal. 148.
[7]
Ibid., hal. 160.
[8]
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia 1995), hal. 478.
[9]
Ibid., hal. 511.
[10]
Billah, Strategi Pengendalian Negara Atas Buruh: Studi
Awal Masalah Perburuhan di Indonesia Pasca 1965 dari Perspektif
Althusserian dan Gramscian, (Tesis Bidang Studi Sosiologi Program
Pasca Sarjana, 1995), hal. 88.
Billah, Op. Cit., hal. 119
[11]
Vedi R. Hadiz, Buruh dalam Penataan Politik Awal Orde Baru
[12]

(Prisma: 7
Juli 1996), hal. 7.
Billah, Op. Cit., hal. 120
[13]

Bernard Gernigon, Alberto Odero dan Horacio Guido, Prinsip-


[14]

Prinsip ILO tentang Hak Mogok. Kantor Perburuhan Internasional


(Jakarta: Kantor Perburuhan International, 2002), hal. 11.
Adi
[15]
Haryadi dan Timboel Siregar, Penelitian Pekerja
Kontrak di 5 Kota Besar di Indonesia : Quo Vadis Pekerja Kontrak.
Kerja sama AIRC (ASPEK Indonesia Research Centre) dan ACILs
(American Centre for International Labor Solidarity).
Billah, Op. Cit., hal. 189.
[16]

Release Komite Anti Penindasan Buruh (KAPB).


[17]
KAPB
beranggotakan puluhan serikat buruh (dari tingkat federasi hingga
tingkat perusahaan) dan LSM perburuhan dengan sekretariat di LBH
Jakarta.
Lihat Billah dan Vedi R. Hadiz
[18]

Revrisond Baswir, Makalah Bahaya Globalisasi Neoliberal


[19]

Bagi Negara- negara Miskin. Hal. 6.


Stiglitz, Washington Consensus Arah Menuju Jurang
[20]

Kemiskinan (INFID :
2002), hal. 33.
Kompas Cyber Media : 22 Februari 2003.
[21]

Kutipan bebas penulis dari pernyataan Menteri Kehakiman


[22]

dan HAM pada sidang judicial review UU Ketenagakerjaan di


Mahkamah Konstitusi, 11 Desember
2003.
Kompas Cyber Media
[23]

Hukumonline : 24 April 2003


[24]

Ibid
[25]

Billah, Op. Cit., hal. 177


[26]

You might also like