You are on page 1of 7

KEDISIPLINAN SISWA

Program layanan bimbingan dan konseling di sekolah yang baik adalah yang
mampu memberikan dukungan besar kepada para siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas
perkembangan mereka. Sehubungan dengan upaya peningkatan kemampuan untuk
menerima dan melakukan peraturan tata tertib siswa, setiap guru sekolah selayaknya
memahami seluruh proses perkembangan sosial dan moral siswa, khususnya yang
berkaitan dengan masa prayuwana dan yuwana, yakni anak-anak dan remaja yang duduk di
sekolah menengah. Pengetahuan mengenai proses perkembangan sosial dan moral siswa
dengan segala aspeknya perlu dipahami sebagai bahan pertimbangan pokok dalam
mengupayakan peningkatan kemampuan untuk menerima dan melakukan peraturan tata
tertib siswa.
Apabila kita meneliti dunia pendidikan dalam praktek, masih banyak kita jumpai
guru-guru yang beranggapan, bahwa pekerjaan mereka tidak lebih dari menumpahkan air
ke dalam botol kosong. Guru yang benar-benar dapat berhasil adalah guru yang menyadari
bahwa dia mengajarkan sesuatu kepada manusia-manusia yang berharga dan berkembang.
Dengan bekal kesadaran semacam itu di kalangan para pendidik, hal ini sudah memberikan
harapan agar guru-guru menghormati pekerjaan mereka sebagai guru. Pekerjaan guru
adalah lebih bersifat psikologis dari pada pekerjaan seorang dokter, insiyur, atau ahli
hukum. Untuk itu, guru hendaknya mengenal anak didik serta menyelami kehidupan
kejiwaan anak didik sepanjang waktu. Guru hendaknya tidak jemu dengan pekerjaannya,
meskipun dia tidak dapat menentukan atau meramalkan secara tegas tentang bentuk
manusia yang bagaimanakah yang akan dihasilkannya di kelak kemudian hari. Ini menjadi
kenyataan, bahwa guru tak pernah mengetahui hasil akhir dari pekerjaannya.
Sekolah-sekolah yang menekankan disiplin ketat terhadap murid-murid di sekolah
serta menjadikan disiplin sebagai alat vital untuk menyampaikan bahan pelajaran kepada
murid-murid, maka sekolah-sekolah semacam itu belum memberi tempat yang terhormat
terhadap psikologi dalam pendidikan. Disiplin pada hakikatnya hanya salah satu metode
dalam pengajaran guna menumbuhkan kepatuhan ekstrinsik pada anak didik. Kita perlu
merenungkan, bahwa kepatuhan ekstrinsik dapat merupakan perintang bagi perkembangan
pribadi anak didik.
Dalam psikologi, kepatuhan yang datang dari luar merupakan isyarat adanya
konflik antara otoritarianisme dan demokrasi. Dalam pendidikan, kepatuhan memang
perlu, tetapi kepatuhan itu sendiri hendaknya tidak sepihak. Kepatuhan sebaiknya terjadi
secara timbal balik di antara semua pihak yang terlibat di dalam pendidikan, baik itu anak
didik, orang tua dan masyarakat, maupun tenaga pendidik. Semua pihak yang terlibat
dalam proses pendidikan perlu mengarahkan perhatian kepada sifat dan hakikat anak didik,
sehingga pelayanan pengajaran membuahkan pribadi-pribadi yang berkembang secara
wajar dan efektif. Dalam hal ini penerapan psikologi kepribadian terutama perkembangan
sosial dan moral memerlukan pemikiran yang mendalam, agar pelayanan atau perlakuan
pendidik terhadap anak didik sesuai dengan sifat hakikat anak didik.
Pendidikan, ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan), adalah
upaya penumbuhkembangan sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal
(hubungan antarpribadi) yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang
terorganisasi, dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga. Sedangkan dalam
merespon perilaku di sekolah misalnya, siswa bergantung pada persepsinya terhadap
tenaga pendidikan di sekolah dan teman-teman sebaya. Positif atau negatifnya persepsi
siswa terhadap guru dan teman-temannya itu sangat mempengaruhi kualitas hubungan
sosial para siswa dengan lingkungan sosial di sekolah dan bahkan kualitas moral siswa.
Selanjutnya pendidikan baik yang berlangsung secara formal di sekolah maupun
yang berlangsung secara informal di lingkungan keluarga memiliki peranan penting dalam
mengembangkan psikososial siswa. Perkembangan psikososial siswa, atau sebut saja
perkembangan sosial siswa, adalah proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang
anggota masyarakat dalam hubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung
sejak masa bayi hingga akhir hayatnya.
Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan juga perkembangan moral, sebab
prilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial.
Seorang siswa hanya akan mampu berperilaku sosial dalam situasi sosial tertentu secara
memadai apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk situasi
sosial tersebut.
Seperti dalam proses-proses perkembangan lainnya, proses perkembangan sosial
dan moral siswa juga selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas
hasil perkembangan sosial siswa sangat bergantung pada kualitas proses belajar
(khususnya belajar sosial) siswa tersebut, baik di lingkungan sekolah dan keluarga maupun
di lingkungan yang lebih luas. Ini bermakna bahwa proses belajar itu amat menentukan
kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral
agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral lainnya yang berlaku dalam
masyarakat siswa yang bersangkutan.
Secara umum, proses dapat diartikan sebagai runtutan perubahan yang terjadi dalam
perkembangan sesuatu. Adapun maksud kata proses dalam perkembangan siswa ialah
tahapan-tahapan perubahan yang dialami seorang siswa, baik yang bersifat jasmaniah
maupun yang bersifat rohaniah. Proses dalam hal ini juga berarti tahapan perubahan
tingkah laku siswa, baik yang terbuka maupun yang tertutup. Proses bisa juga berarti cara
terjadinya perubahan dalam diri siswa atau respon/reaksi yang ditimbulkan oleh siswa
tersebut.
Adalah hal yang pasti bahwa setiap fase atau tahapan perkembangan kehidupan
manusia senantiasa berlangsung seiring dengan kegiatan belajar. Kegiatan belajar dalam
hal ini tidak berarti merupakan kegiatan belajar yang ilmiah. Dalam rangka memfungsikan
tahap-tahap perubahan yang menyertai perkembangannya, manusia harus belajar
melakukan kebiasaan-kebiasaan tertentu umpamanya belajar melakukan kebiasaan-
kebiasaan berperilaku positif yang sesuai norma sosial di sekolah pada saat atau masa
perkembangan usia sekolah dipandang berkaitan langsung dengan perkembangan sosial
dan moral siswa pada fase perkembangan berikutnya. Perkembangan sosial dan moral
tersebut seyogianya selalu diperhitungkan secara cermat oleh para orang tua dan guru
sebagai sesuatu yang harus terjadi secara ilmiah dan tepat pada waktunya. Perhatian orang
tua dan juga guru (khususnya untuk fase masa sekolah) amat diperlukan, mengingat
keberhasilan pelaksanaan tugas perkembangan pada suatu fase akan sangat menunjang
keberhasilan tugas perkembangan pada fase-fase berikutnya.
Masa remaja (adolescence) menurut sebagian ahli psikologi terdiri atas sub-sub
masa perkembangan sebagai berikut: 1) subperkembangan prepuber selama kurang lebih
dua tahun sebelum masa puber; 2) subperkembangan puber selama dua setengah sampai
tiga setengah tahun; 3) subperkembangan post-puber, yakni saat perkembangan biologis
sudah lambat tapi masih terus berlangsung, pada bagian-bagian organ tertentu. Saat ini
merupakan akhir masa puber yang mulai menampakkan tanda-tanda kedewasaan.
Proses perkembangan pada masa remaja lazimnya berlangsung selama kurang lebih
11 tahun, mulai usia 12-21 pada wanita dan 13-22 tahun pada pria. Masa perkembangan
remaja yang panjang ini dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran dan persoalan, bukan
saja bagi si remaja sendiri melainkan juga bagi para orang tua, guru, dan masyarakat
sekitar. Bahkan, tak jarang para penegak hukum pun turut direpotkan oleh ulah dan tindak-
tanduknya yang dipandang menyimpang.
Mengapa demikian? Secara singkat jawabannya ialah karena individu remaja
sedang berada di persimpangan jalan antara dunia anak-anak dan dunia dewasa.
Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa segala sesuatu yang sedang
mengalami atau dalam keadaan transisi (masa peralihan) dari suatu keadaan ke keadaan
lainnya selalu menimbulkan gejolak, goncangan, dan benturan yang kadang-kadang
berakibat sangat buruk bahkan fatal (mematikan).
Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja pada umumnya meliputi
pencapaian dan persiapan segala hal yang berhubungan dengan kehidupan masa dewasa:
1. Mencapai pola hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya yang
berbeda jenis kelamin sesuai dengan keyakinan dan etika moral yang berlaku di
masyarakat.
2. Mencapai peranan sosial sebagai seorang pria (jika ia seorang pria) dan peranan
sosial seorang wanita (jika ia seorang wanita) selaras dengan tuntutan sosial dan kultur
masyarakatnya.
3. Menerima kesatuan organ-organ tubuh sebagai pria (jika ia seorang pria) dan
kesatuan organ-organ sebagai wanita (jika ia seorang wanita) dan menggunakannya
secara efektif sesuai dengan kodratnya masing-masing.
4. Keinginan menerima dan mencapai tingkah laku sosial tertentu yang bertanggung
jawab di tengah-tengah masyarakatnya.
5. Mencapai kemerdekaan/kebebasan emosional dari orang tua dan orang-orang
dewasa lainnya dan mulai menjadi seorang “person” (menjadi dirinya sendiri).
6. Mempersiapkan diri untuk mencapai karier (jabatan dan profesi) tertentu dalam
bidang kehidupan ekonomi.
7. Mempersiapkan diri untuk memasuki dunia perkawinan (rumah tangga) dan
kehidupan berkeluarga yakni sebagai suami (ayah) dan istri (ibu).
8. Memperoleh seperangkat nilai dan system etika sebagai pedoman bertingkah laku
dan mengembangkan ideologi untuk keperluan kehidupannya.
Piaget dan Kohlberg menekankan bahwa pemikiran moral seorang anak, terutama
ditentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sedangkan di sisi lain, lingkungan
sosial merupakan pemasok materi mentah yang akan diolah oleh ranah kognitif anak
tersebut secara aktif. Dalam interaksi sosial dengan teman-teman sepermainan sebagai
contoh, terdapat dorongan sosial yang menantang anak tersebut untuk mengubah orientasi
moralnya.
Dalam tahap perkembangan kognitif formal-operasional, anak yang sudah
menjelang atau sudah menginjak masa remaja, yakni usia 11 tahun sampai dengan 15
tahun, akan dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran konkret-operasional. Dalam
perkembangan kognitif tahap akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan
mengkoordinasikan baik secara simultan (serentak) maupun berurutan dua ragam
kemampuan kognitif, yakni kapasitas menggunakan hipotesis dan kapasitas menggunakan
prinsip-prinsip abstrak. Dengan kapasitas menggunakan hipotesis (anggapan dasar),
seorang remaja akan mampu berfikir hipotesis, yakni berfikir mengenai sesuatu khususnya
dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan
lingkungan yang ia respon.
Dua macam kapasitas kognitif yang sangat berpengaruh terhadap kualitas skema
kognitif itu tentu telah dimiliki pula oleh orang-orang dewasa. Oleh karenanya, seorang
remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses perkembangan formal-operasional
secara kognitif dapat dianggap telah mulai dewasa. Selanjutnya, seorang remaja pelajar
yang telah berhasil menjalani tahap perkembangan formal-operasional akan dapat
memahami dan mengungkapkan prinsip-prinsip abstrak. Prinsip-prinsip tersembunyi ini,
pada gilirannya akan dapat mengubah perhatian-perhatian sehari-hari secara dramatis
dengan pola yang terkadang sama sekali berbeda dari pola-pola perhatian sebelumnya. Dia
mungkin menjadi asyik dengan konsep-konsep abstrak tertentu, seperti etika ideal,
keserasian, keadilan, kemurnian, dan masa depan.
Pada tahap perkembangan kognitif yang memungkinkan sikap dan perilaku
egosentrisme seorang anak berkurang, lazimnya pertimbangan moral (moral reasoning)
anak tersebut menjadi lebih matang. Sebaliknya, anak-anak yang masih diliputi sikap dan
perilaku mementingkan diri sendiri itu hanya akan mampu memahami kaidah sosial yang
hanya menguntungkan diri sendiri. Oleh karenanya, agar anak-anak yang egois menyadari
kesalahan sosialnya dan sekaligus berperilaku moral secara memadai, pengenalan mereka
terhadap wewenang orang dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu
ditanamkan.
Menurut Piaget perkembangan moral anak dan remaja itu terjadi dalam dua tahap,
yang antara tahap pertama dan kedua diselingi dengan masa transisi, yakni pada usia 7
tahun sampai 10 tahun. Tahap-tahap perkembangan moral versi Piaget selalu dikaitkan
dengan tahap-tahap perkembangan kognitif. Tahap perkembangan moral yang pertama,
misalnya, bersamaan rentang waktunya dengan tahap perkembangan kognitif pra-
operasional. Tahap perkembangan yang berlangsung antara usia 4 tahun sampai 7 tahun itu
merupakan tahap realisme moral, artinya anak-anak menganggap moral sebagai suatu
kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial, dengan ciri khas: 1) memusatkan pada akibat-
akibat perbuatan; 2) aturan-aturan tak berubah; 3) hukuman atas pelanggaran bersifat
otomatis.
Antara tahap pertama dan kedua diselingi dengan masa transisi bersamaan rentang
waktunya dengan tahap perkembangan kognitif konkret-operasional, yakni pada usia 7
tahun sampai 10 tahun, dengan ciri khas perubahan secara bertahap ke pemilikan moral
tahap kedua. Sedangkan tahap kedua, perkembangan moral yang bertepatan dengan tahap
perkembangan kognitif formal operasional itu menunjukkan bahwa manusia pada awal
masa yuwana dan pascayuwana, yaitu masa remaja awal dan masa setelah remaja sudah
memiliki persepsi yang jauh lebih maju dari pada sebelumnya. Para yuwana dan
pascayuwana memandang moral sebagai sebuah perpaduan yang terdiri atas otonomi moral
(sebagai hak pribadi), realisme moral (sebagai kesepakatan sosial), dan resiprositas moral
(sebagai aturan timbal balik). Ciri khas pada tahap kedua ini adalah: 1) mempertimbangkan
tujuan-tujuan perilaku moral; 2) menyadari bahwa aturan moral adalah kesepakatan tradisi
yang dapat berubah.
Selanjutnya, pengikut Piaget, Lawrence Kohlberg menemukan tiga tingkat
pertimbangan moral yang dilalui manusia prayuwana, yuwana, dan pascayuwana. Setiap
tingkat perkembangan terdiri atas dua tahap perkembangan, sehingga secara keseluruhan
perkembangan moral menusia itu terdiri dalam enam tahap.
Tingkat perkembangan pertimbangan moralitas yang pertama (moralitas
prakonvensional), yaitu ketika manusia berada dalam perkembangan prayuwana (usia 4-10
tahun) yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial. Pada tingkat
moralitas prakonvensional tahap pertama, manusia memperhatikan ketaatan dan hukum
dengan konsep moral: 1) anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat
hukuman akibat keburukan tersebut; 2) perilaku baik dihubungkan dengan penghindaran
dari hukuman. Sedangkan tahap kedua, manusia memperhatikan pemuasan kebutuhan
dengan konsep moral, perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan
kebutuhan tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
Tingkat perkembangan pertimbangan moralitas yang kedua (moralitas
konvensional), yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan
yuwana (usia 10-13 tahun) yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi
sosial. Pada tingkat moralitas konvensional tahap ketiga, manusia memperhatikan citra
”anak baik” dengan konsep moral: 1) anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan
dan patokan moral agar memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari
hukuman; 2) perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya. Jadi, ada
perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan. Sedangkan tahap keempat, manusia
memperhatikan hukum dan peraturan dengan konsep moral: 1) anak dan remaja memiliki
sikap pasti terhadap wewenang dan aturan; 2) hukum harus ditaati oleh semua orang.
Tingkat perkembangan pertimbangan moralitas yang ketiga (moralitas
pascakonvensional), yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan
pascayuwana (usia 13 tahun ke atas) yang memandang moral lebih dari sekedaar
kesepakatan tradisi sosial. Pada tingkat moralitas pascakonvensional tahap kelima,
manusia memperhatikan hak perseorangan dengan konsep moral: 1) remaja dan dewasa
mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan dan patokan sosial; 2)
perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan untuk mencapai hal-hal yang
paling baik; 3) pelanggaran hukum dan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Sedangkan tahap keenam, manusia memperhatikan prinsip-prinsip etika dengan konsep
moral: 1) keputusan mengenahi perilaku-perilaku sosial didasarkan atas prinsip-prinsip
moral pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum
dan kepentingan orang lain; 2) kenyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap
melekat, meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk
mengekalkan aturan sosial.
Perkembangan sosial dan moral menurut teori belajar sosial yang merupakan teori
belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Salah
seorang tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura, seorang psikolog pada Universitas
Stanford Amerika Serikat, yang oleh banyak ahli dianggap sebagai seorang behavioris
masa kini yang moderat. Tidak seperti rekan-rekannya sesama penganur aliran
behavioresme, Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks
otomatis atau stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat rekasi yang timbul akibat
interaksi antara ligkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan moral.
Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan
penyajian contoh perilaku (modeling). Dalam hal ini, seorang siswa belajar mengubah
perilakunya sendiri melalui penyaksian cara orang atau sekelompok orang mereaksi atau
merespons sebuah stimulus tertentu. Siswa ini juga dapat mempelajari respons-respons
baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya guru atau
orang tuanya.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral
siswa ditentukan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation
(peniruan). Penjelasan lebih lanjut mengenahi prosedur-prosedur belajar sosial dan moral
tersebut adalah sebagai berikut.
Conditioning. Menurut prinsip-prinsip kondisioning, prosedur belajar dalam
mengambangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar
dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan ”reward”
(ganjaran/memberi hadiah atau ganjaran) dan punishment (hukuman/memberi hukuman).
Dasar pemikirannya ialah sekali seorang siswa mempelajari perbedaan antara perilaku
yang menghasilkan ganjaran dengan perilaku yang mengakibatkan hukuman, ia senantiasa
berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu ia perbuat.
Sehubungan dengan hal di atas, komentar-komentar yang disampaikan orang tua
atau guru ketika mengajar/menghukum siswa merupakan faktor yang penting untuk proses
internalisasi atau penghayatan siswa tersebut terhadap moral standards (patokan-patokan
moral). Orang tua dan guru dalam hal ini sangat diharapkan memberi penjelasan agar siswa
tersebut benar-benar paham mengenahi jenis perilaku mana yang menghasilkan ganjaran
dan jenis perilaku mana yang menimbulkan sangsi.
Reaksi-reaksi seorang siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari
adanya pembiasaan merespons sesuai dengan kebutuhan. Melalui proses pembiasaan
merespons (conditioning) ini, juga ia menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari
hukuman dengan memohon maaf yang sebaik-baiknya agar kelak terhindar dari sangsi.
Imitation. Prosedur lain yang juga penting dan menjadi bagian yang integral dengan
prosedur-prosedur belajar menurut teori Social learning, ialah proses imitasi atau peniruan.
Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogyanya memainkan peran penting sebagai seorang
model atau tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa.
Kualitas kemampuan siswa dalam melakukan perilaku sosial hasil pengamatan
terhadap model tersebut, antara lain bergantung kepada ketajaman persepsinya menganahi
ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari
model tadi. Selain itu, tingkat kualitas imitasi tersebut juga bergantung pada persepsi siswa
”siapa” yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan berwibawa seorang model,
semakin tinggi pula kualutas imitasi perilaku sosial dan moral siswa tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, pengetahuan psikologi tentang anak didik menjadi hal
yang sangat penting dalam pendidikan. Karena itu, pengetahuan tentang psikologi dalam
hal ini tentang perkembangan sosial dan moral seharusnya menjadi kebutuhan bagi para
pendidik, bahkan bagi setiap orang yang menyadari peranannya sebagai pendidik.
Perilaku moral merupakan kemampuan untuk menerima dan melakukan peraturan,
nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti seruan untuk berbuat
baik, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak
orang lain dan larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan
berjudi. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai
dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya, seperti halnya
kemampuan siswa untuk menerima dan melakukan tata tertib siswa di sekolah.
Sehubungan dengan upaya peningkatan kemampuan untuk menerima dan
melakukan peraturan tata tertib siswa, faktor lingkungan sosial anak didik besar
pengaruhnya dalam mengembangkan moral seorang anak, peranan orang tua dan guru
sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Dengan demikian dalam hal
mengupayakan peningkatan ketaatan terhadap tata tertib siswa di sekolah dapat
berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut:
1. Pendidikan Langsung
Yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah,
atau baik dan buruk oleh orang tua, guru atau orang dewasa lainnya. Di samping itu,
keteladanan dari orang tua, guru atau orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-
nilai moral.
Kepribadian adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia, disamping ia berperan
sebagai pembimbing dan pembantu, guru juga berperan sebagai anutan. Kepribadian
guru akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak
didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik
terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang
sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Untuk mengatisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa, seperti
pelanggaran pada tata tertib siswa, guru dituntut untuk terlebih dahulu menunjukkan
sikap positif terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Dalam hal bersikap
positif terhadap suatu peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral, seperti seruan
untuk berbuat baik, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan
memelihara hak orang lain di sekolah, seorang guru sangat dianjurkan untuk senantiasa
menghargai dan mencintai profesinya. Guru yang demikian tidak hanya bisa
memberikan bimbingan kepada murid agar mereka memahami tentang tingkah laku
yang benar dan salah, atau baik dan buruk, tetapi juga mampu meyakinkan kepada para
siswa kesadaran terhadap perlunya aturan bagi kehidupan mereka. Dengan meyakini
terhadap perlunya aturan, maka akan timbul kesadaran dan sikap positif terhadap suatu
peraturan atau tata tertib sekaligus terhadap guru yang membimbingnya.
Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi sikap dan perilaku moral
ialah orangtua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orangtua, praktik pengelolaan
keluarga, dan ketegangan keluarga, semuanya dapat memberi dampak baik atau buruk
terhadap moralitas siswa. Dalam hal ini kelalaian orang tua dalam mendidik anaknya
dapat menimbulkan dampak lebih buruk lagi, bahkan bisa cenderung berperilaku
menyimpang.
2. Identifikasi
Yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku
moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orang tua, guru, kyai, artis atau orang
dewasa lainnya). Prosedur lain yang dapat berlangsung dan juga penting dan menjadi
bagian integral dengan prosedur-prosedur dalam pengembangan moral anak menurut
teori social learning, ialah proses imitasi atau peniruan. Dalam hal ini, orangtua dan
guru seyogyanya memainkan peran penting sebagai seorang model atau tokoh yang
dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa.
Mula-mula seorang siswa mengamati model orang tua dan gurunya sendiri yang
sedang melakukan sebuah perilaku sosial, lalu perbuatan yang dilakukan model itu
diserap oleh memori siswa tersebut. Cepat atau lambat siswa tersebut akan meniru
perbuatan sosial dan moral yang dicontohkan oleh modelnya itu.
3. Proses Coba-coba (trial & error)
Yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba.
Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan,
sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.
Menurut prinsip-prinsip kondisioning, prosedur belajar dalam mengembangkan
perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam
mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan ”reward”
(ganjaran/pujian/penghargaan) dan punishment (hukuman). Dasar pemikirannya ialah
sekali seorang siswa mempelajari perbedaan antara perilaku yang menghasilkan
ganjaran denga perilaku yang mengakibatkan hukuman, ia senantiasa berfikir dan
memutuskan perilaku sosial mana yang perlu ia perbuat.
Sehubungan dengan hal di atas, komentar-komentar yang disampaikan orangtua
atau guru ketika mengganjar/menghukum siswa merupakan faktor yang penting untuk
proses internalisasi atau penghayatan siswa tersebut terhadap moral standards
(patokan-patokan moral). Orangtua dan guru dalam hal ini sangat diharapkan memberi
penjelasan agar siswa tersebut benar-benar paham mengenai jenis perilaku mana yang
menghasilkan ganjaran dan jenis perilaku mana yang menimbulkan sangsi.

You might also like