You are on page 1of 6

POSTMODERNISME DALAM PANDANGAN JEAN FRANCOIS LYOTARD

A. PENDAHULUAN
Istilah postmodernist muncul pada tahun 1930-an, yang pertama kali
dikenalkan oleh Arnold Toynbee. Postmodern merupakan reaksi dari
modernism. Walaupun sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam
pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik perhatian orang
banyak. Banyak versi dalam memberikan penjelasan mengenai istilah
postmodern. Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard beranggapan
bahwa, postmodernisme merupakan lawan dari modernisme yang dianggap
tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Sedang sebagian lagi
seperti Jamenson beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari
modernitas, seperti diungkap Bryan S. Turner dalam Theories of modernity and
Post-Modernity.

Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A report on


Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara
lengkap mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas.
Lyotard memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah
modernisme, dan merupakan sisi yang berlawanan dengan modernisme. Hal
ini diperkuat oleh pendapat Flaskas yang mengatakan bahwa postmodernisme
adalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa diantaranya adalah gerakan
perpindahan dari fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori
besar (grand theory) menuju teori spesifik, dari sesuatu yang universal menuju
ke sesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju
kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut adalah mencerminkan
tantangan postmodernist kepada modernist.

Pemahaman pemikiran postmodernis menjadi penting untuk memahami


berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang tidak lagi
memadai untuk dianalisis hanya berdasarkan paradigma ilmiah modern yang
lebih menekankan kesatuan, homogenitas, objektivitas, dan universalitas.
Sementara ilmu pengetahuan dalam pandangan postmodernis lebih
menekankan pada pluralitas, perbedaan, heterogenitas, budaya lokal/etnis,
dan pengalaman hidup sehari-hari.

B. POKOK PIKIRAN JEAN FRANCOIS LYOTARD


Memahami tentang postmodernisme berarti mengasumsikan pertanyaan
tentang hilangnya kepercayaan pada proyek modernitas, munculnya semangat
pluralisme, skeptisme, terhadap ortodoksi tradisional, serta penolakan terhadap
pandangan bahwa dunia merupakan suatu toalitas yang universal, pendekatan
terhadap harapan akan solusi akhir dan jawaban yang sempurna. Maka untuk
memahaminya diperlukan kekayaan makna dan keluasan wawasan dan bukan
model berpikir hitam putih, akan tetapi membuat tingkatan makna, mencari
kombinasi dari berbagai fokus (perspektif).

1. Pengertian Postmodern
Menurut Jean Francois Lyotard, bahwa awalan post pada postmodern,
merupakan elaborasi keyakinan modern, sebagai upaya untuk memutuskan
hubungan dengan tradisi modern dengan cara memunculkan cara-cara
kehidupan dan pemikiran yang baru sama sekali. Pemutusan dengan masa
lalu (jama modern) merupakan jalan untuk melupakan dan merepresi masa
lalu. Dalam pandangan modernisme, ilmu pengetahuan berkembang
sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar dari mitos-mitos yang
digunakan masyarakat primitif menjelaskan fenomena alam, dan
modernitas adalah proyek intelektual yang mencari kesatuan berdasarkan
fondasi sebagai jalan menuju kemajuan. Mitos politik ini menganggap sains
modern sebagai alat untuk kebebasan dan humanisasi. Sementara dalam
pandangan Postmodernism, sains tidak mampu menghilangkan mitos-mitos
dari wilayah ilmu pengetahuan. Sementara metanarasi itu berfungsi sebagai
mitos baru bagi masyarakat modern.

Bagi postmodernism ide rasionalitas dan humanisme merupakan konstruksi


historis, konstruksi sosial budaya dan bukan sesuatu yang bersifat alami
(kodrat) dan universal. Sehingga kedua hal tersebut tidak dapat
diseragamkan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-historis serta
budaya lokal. Keanekaragaman pemikiran menurut Lyotard hanya dapat
dicapai dengan melakukan penolakan terhadap kesatuan (unity), dengan
mencari disensus (ketidaksepakatan) secara radikal.
Jean Francois Lyotard merupakan pemikir postmodern yang penting karena
memberikan pendasaran filosofis pada gerakan postmodern. Penolakannya
terhadap konsep narasi agung (grand native) serta pemikirannya yang
mnengemukakan konsep perbedaan dan language game sebagai alternatif
terhadap kesatuan (unity).

2. Penolakan terhadap Grand Native (Narasi Besar, Narasi Agung, Meta


Narasi)
Bagi Lyotard, penolakan posmodern terhadap narasi agung merupakan
salah satu ciri utama dari postmodern, dan menjadi dasar baginya untuk
melepaskan diri dari Grand-Narative (Narasi Agung, Narasi besar, Meta
Narasi) . Baginya Ilmu Pengetahuan pramodern dan modern mempunyai
bentuk kesatuan (unity) yang didasarkan pada ceritacerita besar (Grand-
Naratives) yang menjadi kerangka untuk menjelaskan berbagai
permasalahan penelitian dalam skala mikro bahkan terpencil sekalipun.
Cerita Besar itu menjadi kerangka penelitian ilmiah dan sekaligus sebagai
justifikasi keilmiahan. Grand Naratives (Meta-narasi) adalah teori-teori atau
konstruksi dunia yang mencakup segala hal dan menetapkan kriteria
kebenaran dan objektifias ilmu pengetahuan. Dengan konsekuensi bahwa
narasi-narasi lain diluar narasi besar dianggap sebagai narasi nonilmiah.

Penolakan terhadap metanarasi/grandnarasi berarti menolak penjelasan


yang sifatnya unifersal/global tentang realitas, tentang tingkah laku dan
sebagainya. Lyotard juga menyatakan bahwa pengetahuan tidak bersifat
metafisis, universal, atau transendental (esensialis), melainkan bersifat
spesifik, terkait dengan ruang-waktu (historis). Bagi pemikir postmodern
ilmu pengetahuan memiliki sifat prespektifal, posisional dan tidak mungkin
ada satu prespektif yang dapat menjangkau karakter dunia secara objektif-
universal.

Memudarnya kepercayaan terhadap metanarasi disebabkan oleh proses


delegitimasi atau krisis legitimasi, di mana fungsi legitimasi narasi-narasi
besar mendapatkan tantangan berat. Contoh delegitimasi adalah apa yang
dialami oleh sains sejak akhir abad ke-19 sebagai akibat perkembangan
teknologi dan ekspansi kapitalisme. Dalam masyarakat pascaindustri, sains
mengalami delegitimasi karena terbukti tidak bisa mempertahankan dirinya
terhadap legitimasi yang diajukannya sendiri. Legitimasi sains pada narasi
spekulasi yang mengatakan bahwa pengetahuan harus dihasilkan demi
pengetahuan di masa capitalist technoscience tidak bisa lagi dipenuhi.
Pengetahuan sains tidak lagi dihasilkan demi pengetahuan melainkan demi
profit di mana kriterium yang berlaku bukan lagi benar/salah, melainkan
kriterium performatif: maximum output with a minimum input (menghasilkan
semaksimal mungkin dengan biaya sekecil mungkin).

Sains adalah permainan bahasa yang di dalamnya terkandung aturan-


aturan normatif (misalnya pembuat proposisi tidak boleh membuat proposisi
tanpa menyediakan bukti yang memperkuat proposisinya, pihak kedua tidak
bisa memberikan bukti melainkan hanya memberi persetujuan atau
penolakannya). Sains dihadapkan pada kenyataan bahwa ia tidak bisa
memberlakukan aturan mainnya secara universal hingga berhak menilai
mana pengetahuan absah dan mana yang tidak. Lyotard yakin bahwa kita
memasuki fase di mana logika tunggal yang diyakini kaum modernis sudah
mati digantikan oleh pluralitas logika atau paralogi.

Perspektivisme tentang ilmu pengetahuan yang berasal dari Nietzche


digunakan Lyotard untuk menolak pandangan ilmu pengetahuan yang
universal dan total. Menurutnya tidak ada perspektif tunggal tentang realitas
objektif yang universal. Manusia tidak memiliki akses untuk melihat dunia
sebagaimana nyatanya, anggapan dan keinginan untuk mencapai itu
adalah sia-sia. Kebutuhan dan keinginan untuk menemukan kebenaran ilmu
pengetahuan, sesungguhnya hanyalah sekedar istilah yang mengacu pada
wacana (discourse) yang berhasil dan bermanfaat. Ini berlaku bagi semua
pengetahuan dan logika yang selalu bersifat profesional dan perspektif.

Pada situasi postmodern ini ilmu pengetahuan dan filsafat bertujuan bukan
lagi untuk penemuan kebenaran (apalagi kebenaran tunggal) akan tetapi
lebih pada tujuan performatif dan nilai-nilai pragmatis. Dalam pandangan
Lyotard relativisme dan kebenaran absolut sama-sama memiliki kelemahan.
Kelemahan pandangan kebenaran absolut-universal adalah karena pada
kenyataannya ilmuwan memiliki keterbatasan ketika menghadapi (meneliti)
realitas. Apalagi kebenara teori juga bersifat tentatif atau propabilitas,
sehingga pandangan bahwa teori bersifat benar secara absolut-universal
tidak dapat dibenarkan. Di sisi lain perspektivisme mengarahkan kita pada
relativisme ilmiah, tetapi relativisme ilmiah ini tidak identik dengan
penolokan akan kebenaran, akan tetapi mengakui kebenaran ilmu yang
relatif, yaitu kebenaran sesuai dengan perspektif/paradigma yang
digunakan. Bisa jadi perspektif tertentu dianggap lebih memilki
kesempurnaan dibanding perspektif yang lain karena lebih akurat, lebih
mendekati kebenaran dan lebih berguna

3. Language Games
Jean Francois Lyotard menolak untuk menyusun sebuah cara pandang
tunggal (paradigma tunggal) yang menyatakan tentang adanya berbagai
paradigma, perspektif dalam melihat realitas (dunia). Pandangan modern
digantikan dengan postmodern, ilmu pengetahuan digantikan oleh
hermeneutika (penafsiran) tentang realitas. Kebenaran ilmu mengacu pada
spesifikalitas, historisitas, dan linguistikalitas.

Sains setelah mengalami krisis legitimasi terbukti bukan lagi pemonopoli


kebenaran tunggal, karena dihadapkan pada kenyataan sekedar satu dari
sekian banyak permainan bahasa. Permainan bahasa sains adalah
permainan bahasa denotatif. Aturan main permainan bahasa denotatif
adalah sebuah pernyataan untuk meyakinkan pihak kedua sebagai pihak
yang wajib memberikan persetujuan atau penolakan berdasarkan bukti
yang diajukan pihak pertama.

Terjadinya pergantian paradigma ilmiah dari mono-paradigma menjadi


multi-paradigma ini dianggap sebagai terjadinya keterputusan epistimologis.
Ia kemudian membatasi ilmu pengetahuan sebagai permainan bahasa dan
mengungkapkan konsep Language games yang mengacu pada
keanekaragaman penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari,
dimana masing-masing bahasa menggunakan aturannya sendiri-sendiri.
Konsep permainan bahasa merupakan pergeseran dari bahasa sebagai
cermin realitas kepada bahasa sebagai suatu permainan, yang memiliki
aturan sebagai berikut:
a) Pernyataan atau proposisi ilmiah adalah pernyataan denotatif
(deskriptif);
b) Proposisi ilmiah berbeda dengan proposisi yang menekankan ikatan
sosial atau yang terkait dengan asal-usul;
c) Kompetensi hanya diperlukan pada pengirim bukan pada penerima;
d) Proposisi ilmiah adalah sekumpulan pertanyaan yang dapat diuji oleh
bukti dan argumen;
e) Berkaitan dengan 4 (empat) poin tersebut, konsep ini mengharuskan
pemahaman tentang situasi pengetahuan ilmiah yang sedang
berlangsung. Untuk legitimasi ilmiah, ilmu pengetahuan tidak
memerlukan satu narasi (meta narasi) karena aturan-aturan ilmiah
bersifat imanen dalam permainannya (paradigmanya sendiri). (Leche,
1994, sebagaimana dikutip oleh Lubis, 2006)

4. Antifondasionalisme
Antifundasionalisme dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan
bahwa metanarasi (metode, humanisme, sosialisme, universalisme) yang
dijadikan fundasi dalam modernitas barat dan hak-hak istimemewanya
adalah cacat.

Antifundasionalisme itu dapat dimengerti sebagai berikut :


a) Antifundasionalis dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan
bahwa meta narasi yang dijadikan fundasi dalam modernitas Barat
dengan universalitas dan hak-hak istimewanya adalah cacat. Maka
harus ada mode pengetahuan yang lebih sensitif terhadap perbedaan.
b) Pemberian hak istimewa pada hal-hal yang bersifat lokal dan vernakuler
ini diterjemahkan sebagai seorang demokrat dan populis yang
mengharuskan hirarkhi simbolik dikalangan akademik, intelektual dan
seni.
c) Peralihan dari bentuk upaya diskursif ke arah bentuk budaya figural
yang tampak dalam penekanan dan imajinasi visual dan bukan kata-
kata, proses primer ego dan bukan proses skunder, apresiasi dengan
cara melibatkan diri bukan mengambil jarak dengan penonton yang tidak
memihak.
d) Aspek ini ditangkap sebagai fase budaya dangkal postmodern.

Pandangan ini sejalan dengan Anderson yang mengemukakan ciri kaum


postmoernis dengan tidak adanya kemutlakan dalam ilmu pengetahuan dan
budaya. Namun justru mendukung pluralisme dengan menyatakan bahwa
kita harus berhadapan satu sama lain sebagai orang-orang dengan
informasi yang berbeda, cerita dan visi-visi yang berbeda. Postmodern
percaya perbedaan dan keanekaragaman tidak akan menimbulkan konflik
dan pertentangan. (Aderson, 1980). Keanekaragaman akan membuat
kehidupan semakin indah asal saja pluralisme dan heterogenitas itu
dihadapi dengan keterbukaan, dialog, solidaritas dan bukan egoisme dan
anarkisme kelompok.

Kebebasan memilih paradigma dan metode sejalan dengan anti


fondasionalisme dan postmodernisme. Dalam ilu pengetahuan refleksi
tentang teori (metanarasi) dan antifondasionalisme merupakan hal yang
penting dalam ilmu pengetahuan postmodern. Metateori itu sendiri bersifat
antifondasional, karena seluruh teori yang kuat dan lemah sama-sama
berperan dalam kehidupan sosial. Maka metateori bersifat inheren dalam
postmodern.

C. KESIMPULAN
Pemikiran Lyotard sebagai postmodern secara umum sejalan dengan
pemikiran para postmodernist lainnya yaitu menawarkan intermediasi dari
determinasi, perbedaan (diversity) dari pada persatuan (unity).
Antifondasionalis dalam filsafat dan ilmu pengetahuan sosial budaya
menegaskan bahwa metanarasi yang dijadikan fondasi ilmu pengetahuan,
humanisme, sosialisme dan lain-lain, adalah cacat. Untuk itu metode
pengetahuan harus lebih sensitif terhadap berbagai perbedaan. Peran para
intelektual sebagai legislator kepercayaan digantikan dengan interpreter.

Konsep perbedaan, perspektif, multivokalitas, languge game dan hal-hal yang


bersifat lokal lainnya menjadi perhatian khusus dalam pemikiran postmodern
menurut Lyotard.

Budaya dangkal postmodern sebagai salah satu pengakuan terhadap


keterbatasan ilmuwan dalam menemukan esensi realitas (kebenaran objektif
universal). Pandangan esensialisme yang didukung oleh paradigma
positivisme dianggap tidak realistis dan tidak mampu menjelaskan fenomena
sosial budaya yang begitu beraneka ragam (heterogen). Sehingga pemikiran
dan konsep-konsep tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian sosial-budaya.

You might also like