Professional Documents
Culture Documents
c. Akhir Perlawanan
Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda,
serangan ditujukan langsung ke benteng Bonjol. Membaca situasi yang
gawat ini, Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai.
Belanda mengharapkan, bahwa perdamaian ini disertai dengan
penyerahan. Tetapi Imam Bonjol berpendirian lain. Perundingan
perdamaian ini adalah siasat mengulur waktu, agar dapat mengatur
pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan
pertahanan dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk
mengetahui kekuatan musuh di luar benteng. Kegagalan perundingan ini
menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12 Agustus
1837.
Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki
benteng Bonjol, yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-
meriam Benteng Bonjol tidak banyak menolong, karena musuh berada
dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu tidak dapat dihindarkan
lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Pasukan Padri terdesak
dan benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan Belanda menyebabkan
Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah pada tanggal 25
Oktober 1937. Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak
berarti perlawanan kaum Padri telah dapat dipadamkan. Perlawanan masih
terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi pada tahun 1838.
Setelah itu berakhirlah perang Padri dan daerah Minangkabau dikuasai
oleh Belanda.
3. Perlawanan Diponegoro (1825-1830)
Perlawanan rakyat Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro
merupakan pergolakan terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di
Jawa. Pemerintah kolonial Belanda mengalami kesulitan mengatasi
perlawanan ini dan menanggung biaya yang sangat besar. Adapun sebab-
sebab terjadinya Perang Diponegoro dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebab
umum dan sebab khusus.
a. Sebab-sebab Umum
1) Wilayah Mataram semakin dipersempit dan terpecah
Karena ulah penjajah, kerajaan Mataram yang besar, di bawah Sultan
Agung Hanyokrokusumo, terpecah belah menjadi kerajaan yang kecil.
Melalui perjanjian Gainti 1755, Kerajaan Mataram dipecah menjadi
Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayoyakarta. Dengan
perjanjian Salatiga 1757 muncullah kekuasaan baru yang disebut
Mangkunegeraan dan pada tahun 1813 muncul kekuasaan Pakualam.
Kenyataan inilah yang dihadapi oleh Diponegoro.
b. Sebab Khusus
Sebab yang meledakkan perang ialah provokasi yang dilakukan
penguasa Belanda seperti merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah
Pangeran Diponegoro dan membongkar makam keramat. Sebagai protes
patok-patok (tanda dari tongkat kayu pendek) untuk pembuatan jalan
dicabut dan diganti dengan tombak-tombak. Residen Smissaert berusaha
mengadakan perundingan tetapi, Pangeran Diponegoro tidak muncul,
hanya mengirim wakilnya, Pangeran Mangkubumi. Asisten Chevallier
untuk menangkap kedua pangeran, digagalkan oleh barisan rakyat di
Tegalreja. Mereka telah meninggalkan tempat. Pangeran Diponegoro
pindah ke Selarong tempat ia memimpin perang.
Pangeran Diponegoro minta kepada Residen agar PatihDanurejo
dipecat. Surat baru mulai ditulis mendadak rumah Pangeran Diponegoro
diserbu oleh serdadu Belanda di bawah pimpinan Chevailer. Diponegoro
menyingkir dari Tegalrejo beserta keluarganya. Rumah Pangeran
Diponegoro dibakar habis. Dia diikuti oleh Pangeran Mangkubumi.
Pergilah mereka ke Kalosoka dan dari sanalah meletus perlawanan
Pangeran Diponegoro (20 Juli 1825). Banyak para pangeran dan rakyat
menyusul Pangeran Diponegoro ke Kalisoka untuk ikut melakukan
perlawanan dengan berlandaskan tekad perang suci membela agama Islam
(Perang Sabil) menentang ketidakadilan. Dari Kalisoka pengikut Pangeran
Diponegoro tersebut dibawa ke Goa Selarong, jaraknya 7 pal (13 km) dari
Yogyakarta. Pasukan Belanda yang mengejar Pangeran Diponegoro dapat
dibinasakan oleh pasukan Pangeran Diponegoro di bawah pimpinan Mulya
Sentika. Yogyakarta menjadi kacau, prajurit Belanda dan Sultan
Hamengku Buwana V menyingkir ke Benteng Vredenburg.
c. Jalan Perlawanan
Dari Selarong, tentara Diponegoro mengepung kota Yogyakarta
sehingga Sultan Hamengku Buwana V yang masih kanak-kanak
diselamatkan ke Benteng Belanda. Perang berpindah dari satu daerah ke
daerah lainnya dengan siasat perang gerilya dan mendadak menyergap
musuh. Pangeran Diponegoro ternyata seorang panglima perang yang
cakap. Berkali-kali pasukan Belanda terkpeung dan dibinasakan. Belanda
mulai cemas. Dipanggillah tentaranya yang berada di Sumatera, Sulawesi,
Semarang, dan Surabaya untuk menghadapi lascar Diponegoro. Namun,
usaha itu sia-sia.
Di Plered, Pangeran Diponegoro sempat dinobatkan menjadi sultan
dengan gelar Sultan Abdul Hamid Herucakra Amirul Mukminin Sayidin
Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa, berpusat di Plered. Tanggal 9 Juni
1862 Plered diserbu Belanda. Pertahanan dipimpin oleh Kerta Pengalasan.
Dalam perang tersebut, Pangeran Diponegoro dibantu seorang yang gagah
berani, bernama Sentot dengan gelar Alibasyah Prawirodirjo, putra dari
Bupati Madiun Raden Ronggo Prawirodirjo. Dari Plered, pertahanan
Pangeran Diponegoto dipindahkan lagi ke Deksa.
Belanda mengalami kesulitan dalam menghadapi pasukan
Diponegoro. Belanda terpaksa mendatangkan pasukan tambahan dari
negeri Belanda. Namun, pasukan tambahan Belanda tersebut dapat
dihancurkan oleh pasukan Diponegoro.
Akibat berbagai kekalahan perang pada periode tahun 1825-1826
Belanda pada tahun 1827 mengangkat Jenderal De Kock menjadi seluruh
pasukan Belanda di Jawa. Belanda menggunakan siasat perang baru yang
dikenal dengan “Benteng Stelsell”, yaitu setiap daerah yang dikuasai
didirikan benteng untuk mengawasi daerah sekitarnya. Antara benteng
yang satu dan benteng lainnya dihubungkan oleh pasukan gerak cepat.
Benteng Stelsell atau Sistem Benteng ini mulai dilaksanakan oleh
Jenderal De Kock pada tahun 1827. Tujuannya adalah untuk
mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan jalan mendirikan
pusat-pusat pertahanan berupa benteng-benteng di daerah-daerah yang
telah dikuasainya.