You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perayaan Galungan bagi umat Hindudi Bali sudah sangat memasyarakat
dari abad keabad. Tetapi sangat kita sayangkan memasyarakatnya Galungan
tersebut sangat tidak seimbang antara Tattwa atau kasuksman Galungan,Susila
dengan Upakaranya. Artinya antara Tattwa yang tercamtum dalam teks pustaka
Sundaraigama dengan wujud susila dan upakara Galungan dalam kehidupan
empirisnya sampai saat ini masih tidak nyambung. Bahkan kadang-kadang
bertentangan.antara Tattwa Galungan yang demikian luhur dan idial dinyatkan
dalam teks Pustakanya dengan kenyataan perayaan Galungan dalamkehidupan
empiris setiap dalam kehidupan empiris setiap perayaan Galungan yang dirayakan
setiap enam bulan wuku (210 hari).
Ada kalanya disuatu waktu dan tempat perayaan Galungan lebih
menonjolkan perayaan Galungan dengan pesta-pesta pora yang bersifat hedonis.
Makan masakan khas daerah yang lebih nikmat dari sehari-harinya.Demikian pula
Galungan diwujudkan dengan berpakaian serba baru,pergi ketempat-tempat
hiburan dan melakukan hal-hal yang lebih menekankan keikmatan indria.
Pada hal Galungan adalah sebagai suatu peringatan untuk menajamkan
daya spiritual untuk mensinergikan penerapan Jnyana atau ilmu pengetahuan suci
untuk mencerahkan hati nurani umat sehingga dapat membangun kehidupan yang
cerah dan bergaiarah untuk mengamalkan Dharma. Galungan bukan sebagai
media untuk lebih mendinamisir dominasi indria dalam diri. Sesungguhnya untuk
mengimplementasikan Tattwa Galungan banyak hal yang dapat kita perbuat
dengan mengembangkan Tattwa Galungan kedalam berbagai program nyata
sehingga Tattwa Galungan menjadi nyata dalam wujud susila dan upakara nya,
Inilah tujuan utama penulisan tentang Galungan dan Kuningan dalam tulisan
singkat ini.

1
1.2. Rumusan Masalah
Untuk membatasi pembahasan, penulis hanya membahas beberapa rumusan
masalah yaitu:
1. Bagaimana Pengertian, makna filosofis serta Macam-macam
Galungan?
2. Bagaimana Rangkaian Perayaan hari raya Galungan Tersebut?
3. Bagaimana pelaksanaan Galungan di India?

1.3. Tujuan Penulisan


Ada pun tujuan dari penulisan paper ini yaitu:
1. Memahami Pengertian, makna filosofis serta Macam-macam
Galungan.
2. Memahami Rangkaian Perayaan hari raya Galungan Tersebut.
3. Mengetahui Galungan di India.
4. Memenuhi tugas mata kuliah acara Hindu II.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian, makna filosofis serta Macam-macam Galungan.


2.1.1. Pengertian umum
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang
atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti
menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan,
sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya
berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian
pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya
sama : manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan
ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama
di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra
(mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama
RI)memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia
sebelum hari raya itu popular dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan
pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.
Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah
namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut
lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama
Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi.
Dalam lontar itu disebutkan:
"Punang act Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15,
isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya",
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari
Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka.
Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

3
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara
meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba
entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu
dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk
pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan
dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah
datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif
pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada
tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat
terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada
lontar Sri Jayakasunu.
Dalamn lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa
heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur
pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan
tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilahDewa Sraya artinya
mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri,
tak jauh dari Pura Besakih.
Karena kesungguhannya melakukan tapa brata. Raja Sri Jayakasunu
mendapatkan pawisik atau“bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa
Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa
leluhurnya selalu berumur pendekkarena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali
merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang
pernah berlaku. Disamping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu
memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah
melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan
kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.
Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu,
Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali

4
Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari
pustaka-pustaka, diantaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad
ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman
akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah
diadakan. Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa
Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang.
Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan
mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/
Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang
ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya
ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya.
Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang
Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.
Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda
jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi. Yang terpenting,
dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin.
Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya
ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat.
Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin.
Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan
bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing
Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan
dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka
adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang,
bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma.
Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Memilik
nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:
Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.
Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan
bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala)
yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.

5
Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata
Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat
Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat.
Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia
besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana
Alit).
Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan
akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai
kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah
Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung
jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati
agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati
tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang
dilakukan pada hari Penampahan itu.
Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida
Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian
batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan
keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya
Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan
bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas
anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena
Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di
tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.
Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia
adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida
Sang Hyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-
mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu
lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian
seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang
(secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai
momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang

6
pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita
pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua
karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan
rasa Parama suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik
yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang
dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan
kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang
dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan
kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama.
Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan
agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra,
mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak
kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak
sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa,
kala dan patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan
persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan,
misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan
Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini
dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi.
Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada
semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur,
di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan
rumah dan lain-lain. Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra
(Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di
perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.
Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng
penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang
payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan)
dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan
pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau
ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan upacara

7
dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingan
sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan,
sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya
mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan
diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida
Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari
Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida
Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk
melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan
sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai
manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan
sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada
umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi
nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang
melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua. Demikian secara
singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan
Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin..

2.1.2. Makna Filosofis Galungan dan Kuningan


Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan
spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari
adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma)
dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan
kecendrungan karaksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa
sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah
hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan
keraksasaan. Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk
mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan
Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma.

8
Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan
dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama
dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi,


galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya
mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan
pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat
pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang
inilah wujuddharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu
(byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama
inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan
menangnya dharma melawan adharma.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang
dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut
Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya
luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari
manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang,
enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa
pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista
batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan
peralatan upacara di masing-masing tempat suci.
Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan:
Kalinggania amretista raga tawulan (Olehkarenanya menyucikan badan
jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri
sendiri. Kata Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam
diri. Dan itulah yang disucikan.

9
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa
turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan
anyekung Jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha
Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang
pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari
ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam
lontar disebutkan, “Pangastawaningsang ngamongyoga samadhi.”
Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan
Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha
Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut
pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi
sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini
hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya
Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan.
Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat
pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-
tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak
saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari
Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan
meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaituhidup sehat panjang umur.
Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta
gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata,
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan.
Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan.
Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan
Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).

10
Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar
Sunarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya
dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah
hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara
“diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maringSwarga).
Hari Raya Kuningan atau sering disebut Tumpek Kuningan jatuh pada
hari Sabtu, Kliwon, wuku Kuningan. Pada hari ini umat melakukan pemujaan
kepada para Dewa, Pitara untuk memohon keselamatan, kedirgayusan,
perlindungan dan tuntunan lahir-bathin. Pada hari ini diyakini para Dewa,
Bhatara, diiringi oleh para Pitara turun ke bumi hanya sampai tengah hari saja,
sehingga pelaksanaan upacara dan persembahyangan Hari Kuningan hanya
sampai tengah hari saja. Sesajen untuk Hari Kuningan yang dihaturkan di
palinggih utama yaitu tebog, canang meraka, pasucian, canang burat wangi. Di
palinggih yang lebih kecil yaitu nasi selangi, canang meraka, pasucian, dan
canang burat wangi. Di kamar suci (tempat membuat sesajen/paruman)
menghaturkan pengambeyan, dapetan berisi nasi kuning, lauk pauk dan daging
bebek. Di palinggih semua bangunan (pelangkiran) diisi gantung-gantungan,
tamiang, dan kolem. Untuk setiap rumah tangga membuat dapetan, berisi
sesayut prayascita luwih nasi kuning dengan lauk daging bebek (atau ayam).
Tebog berisi nasi kuning, lauk-pauk ikan laut, telur dadar, dan wayang-
wayangan dari bahan pepaya (atau timun). Tebog tersebut memaki dasar
taledan yang berisi ketupat nasi 2 buah, sampiannya disebut kepet-kepetan.
Jika tidak bisa membuat tebog, bisa diganti dengan piring.
Sesayut Prayascita Luwih : dasarnya kulit sesayut, berisi tulung agung
(alasnya berupa tamas) atasnya seperti cili. Bagian tengahnya diisi nasi, lauk-
pauk, di atasnya diisi tumpeng yang ditancapkan bunga teratai putih, kelilingi
dengan nasi kecil-kecil sebanyak 11 buah, tulung kecil 11 buah, peras kecil,
pesucian, panyeneng, ketupat kukur 11 buah, ketupat gelatik, 11 tulung kecil,
kewangen 11 pasucian, panyeneng, buah kelapa gading yang muda (bungkak),
lis bebuu, sampian nagasari, canang burat wangi berisi aneka kue dan buah.
Sesajen ini dapat juga dipakai untuk sesajen Odalan, Dewa Yadnya, Resi
Yadnya dan Manusa Yadnya.

11
Beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan
sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol
penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang
Widhi, para Dewa dan leluhur kita.
Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat
Wakan yang merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya
Galungan-Kuningan. Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut
Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
demikian berakhirlah semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama
42 hari, terhitung sejak hari Sugimanek Jawa. (Iloveblue)
Jadi inti dari makna hari raya kuningan adalah memohon keselamatan,
kedirgayusan, perlindungan dan tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa,
Bhatara, dan para Pitara.
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut
pelaksanaan upacaranya.

2.1.3. Macam-macam Galungan


Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat
wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan
sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke
abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu:
a. Galungan (tanpa ada embel-embel),
b. Galungan Nadi dan
c. Galungan Nara Mangsa.

Penjelasannya adalah sebagai berikut:


a. Galungan
Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan
kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar
Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.”
Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan.

12
Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar
menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau
Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan,
saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
b. Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan
lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang
jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka
(882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan
pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya
perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa
adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang
merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara
agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan
melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotoninatau upacara
hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama
mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah.
Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang
diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya
terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu
Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi.
Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10
tahun sekali.
c. Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau
sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:

"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga,
rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran. “
Artinya:

13
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungarniya
dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara
Mangsa namanya.

Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang


hampir sama sebagai berikut:
"Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali
elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang
tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau
ngaranya yon mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan
anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu,
sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten
caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring
Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah".
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (liari buruk)
bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu
bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu,
tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bi]a demikian tidak
dibenarkan menghaturkan sesajen yang berjsi tumpeng. Dan bila
bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan
sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya
orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan
dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam
(maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.

Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna


menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama
disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa
Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir.
Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan
daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak

14
dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak
menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa
justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur
keladi.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara
Galungan di Bali biasanya diiiustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang
diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan
antara aharma melawan adharma.
Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma
dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang
tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara
agama.

2.2.Rangkaian Perayaan hari raya Galungan dan kuningan


Setiap 210 hari sekali berdasarkan penanggalan Bali-Jawa (Javano-
Balinese Calender) yakni pada hari Budha Kliwon Wuku Dungulan Umat Hindu
di Indonesia merayakan Hari Raya Galungan dan sepuluh hari kemudian akan
disusul dengan perayaan Kuningan. Galungan adalah suatu upacara sakral yang
memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup
yang berasal dari Adharma dan mana dari Budhi Atma yaitu : Suara Kebenaran
(Dharma) dalam diri manusia. Disamping itu juga berarti kemampuan untuk
membedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan
kedewaan (daiwa sampad), karena hidup yang berbahagia atau ananda adalah
hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Dalam lontar Sunarigama dijelaskan rincian upacara Hari Raya Galungan
sebagai berikut : "Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya
rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala
kekacauan pikiran" Jadi inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar
mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran
yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran
(byaparaning idep) adalah wujud Adharma.

15
Hari Raya Galungan dan Kuningan di India dikenal dengan berbagai
nama, di antaranya adalah Śraddha Vijaya Daśami, Durgapuja atau Mahanavami.
Berdasarkan data prasasti yang ditemukan di Bali, yakni Turunan Prasasti yang
berasal dari tahun 813 Saka (891 M) yang menyebutkan haywahaywan di magha
mahanavami (Goris, 1954: 56). Dalam bahasa Bali dewasa ini kata
mahaywahaywa (dari kata mahayu-hayu) berarti merayakan. Haywahaywan di
magha mahanavami berarti perayaan Magha Mahanavami. Di India Mahanavami
identik dengan Dasara yakni hari pemujaan ditujukan kepada para leluhur
(Dubois, 1981:569). Swami Sivananda (1991:8) mengidentikkan Dasara dengan
Durgapuja yang dirayakan dua kali setahun, yakni Ramanavaratri atau
Ramanavami pada bulan Caitra (April-Mei), dan Durganavaratri atau
Durganavami pada bulan Asuji (September-Oktober). Perayaan ini disebut juga
Vijaya Dasami atau Sraddha Vijaya Dasami yang dirayakan selama sepuluh hari,
seperti halnya Hari Raya Galungan dan Kuningan di Indonesia. Hari Raya
Galungan sudah dirayakan terlebih dahulu di tanah Jawa, ini sesuai dengan lontar
berbahasa Jawa Kuno yaitu : Kidung Panji Amalat Rasmi. Di Bali Hari Raya
Galungan untuk pertama kali dilaksanakan pada Hari Purnama Kapat , Budha
Kliwon Dungulan tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi ini sesuai dengan lontar
"Purana Bali Dwipa".

Rangkaian perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan merupakan


rangkaian perayaan yang paling panjang di antara hari-hari raya Agama Hindu, di
antaranya:

1. TUMPEK PENGARAH atau PENGATAG, inilah rangkaian awal


dari perayaan Galungan, jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga,
tepatnya 25 hari sebelum Hari Raya Galungan dan persembahan ditujukan
kepada Dewa Sangkara (nama lain Dewa Śiva) sebagai penguasa tumbuh-
tumbuhan dengan mempersembahkan sesajen pada pohon-pohon kayu
yang menghasilkan buah, daun, dan bunga yang akan digunakan pada Hari
Raya Galungan.

16
2. SUGIHAN JAWA atau SUGIHAN JABA yaitu; Sebuah kegiatan
rohani dalam rangka menyucikan bhuana agung (makrocosmos) yang jatuh
pada hari Kamis Wage Sungsang. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi
yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, dalam lontar
Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan "Pasucian dewa
kalinggania pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari
penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan
alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di
masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan
badan fisik dari debu kotoran dunia maya, agar layak dihuni oleh Sang
Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.

3. SUGIHAN BALI; Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan


yang ada dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan
diri sendiri sesuai dengan lontar sunarigama: "Kalinggania amrestista raga
tawulan" (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-
masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan
/penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan fisik, tetapi juga badan
rohani (Suksma Sarira; ahamkara, manah, buddhi, chitta dan indriya).
Persiapan secara jasmani dan rohani adalah modal awal yang harus
diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk
menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.

4. PANYEKEBAN; Jatuh pada hari Minggu Pahing Dungulan.


Panyekeban artinya mengendalikan semua indrya dari pengaruh negatif,
karena hari ini Sang Kala Tiga Wisesa turun ke dunia untuk mengganggu
dan menggoda kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari Galungan.
Dalam Lontar Sunarigama disebutkan : "Anyekung Jnana" artinya
mendiamkan pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga
disebutkan "Nirmalakena" (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan
dimasuki oleh Bhuta Galungan. Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan
umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga

17
pemenuhan akan kebutuhan semua indriya tidak jatuh ke dalam kubangan
dosa; pikiran yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berperilaku bijak,
mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain,
agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi
tidak hanya “nyekeb” pisang atau tape untuk banten.

5. PENYAJAAN; Penyajaan dalam lontar Sunarigama disebutkan :


"Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi", artinya hari ini umat
mengadakan Tapa Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata.
Upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka
dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian
memilih mana yang benar dan mana yang salah. Bukan semata-mata
membuat “jaja” (kue) untuk upacara.

6. PENAMPAHAN; Anggara Wage Galungan; Penampahan berasal


dari kata “tampa” yang artinya menerima atau menyambut, pada hari ini
umat menancapkan Penjor Galungan sebagai lambang kemakmuran jagat.
Atau ada pula yang memaknainya dari kata “tampah” yang artinya
sembelih artinya ; bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran
melawan Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan
upacara pokok yakni Mabyakala yaitu memangkas dan mengeliminir sifat-
sifat kebinatangan yang ada pada diri kita, bukan semata-mata membunuh
hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri, bukan di luar
termasuk sifat hewani tersebut. Ini sesuai dengan lontar Sunarigama yaitu ;
"Pamyakala kala malaradan". Inilah puncak dari Brata umat Hindu,
bertempur melawan semua bentuk Ahamkara - kegelapan yang bercokol di
dalam diri masing-masing. Selama ini justru sebagian besar dari kita malah
berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk.
Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita
akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri (maaf, bukan bermaksud kasar).

18
7. GALUNGAN; Budha Kliwon Galungan; Hari kemenangan dharma
terhadap adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama
perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa
mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai ananda atau
jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang
berwiweka.

8. MANIS GALUNGAN; Wrehaspati Umanis Galungan; Setelah


merayakan kemenangan , manusia merasakan nikmatnya (manisnya)
kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara dengan penuh keceriaan,
berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa
meneguk kemenangan. Jadi hari ini umat Hindu wajib mewartakan Weda
—menyampaikan pesan dharma kepada semua manusia, inilah misi umat
Hindu: Dharmacara- menyampaikan ajaran kebenaran dengan Satyam
Vada – mengatakan dengan kesungguhan dan kejujuran.

9. PAMARIDAN GURU; Saniscara Pon Dungulan, pada hari ini


dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugerah
berupa kadirghayusan yaitu ; hidup sehat, umur panjang, dan hari ini umat
menikmati waranugraha dari dewata. Demikian makna Hari Raya
Galungan sebagai hari pendakian spiritual dalam mencapai
kemenangan /wijaya dalam hidup ini ditinjau dari sudut pelaksanaan
upacara dan filosofisnya.

10. KUNINGAN; Saniscara Kliwon Kuningan; Sepuluh hari setelah


Galungan disebut Kuningan merupakan tonggak kembalinya para dewata
dan roh suci leluhur menuju kahyangan stana-Nya masing-masing yang
diyakini tempatnya di svargaloka (alam surga). Kuningan merupakan hari
kasih sayang, dan melaksanakan pitrapuja untuk mendoakan dan
menghatarkan para leluhur, semoga beliau senantiasa ada dalam
kedamaian di mana pun tingkatan alam yang dicapainya sekarang.

19
2.3.Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarunganantara
adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan
kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi
atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat
dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan”
dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti
perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan
Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di
sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam).
Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat
khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih
menekankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma.
Nawa Ratri itu dilakukan dengan mumuja Dewi Durgha selama tiga hari. Tiga
hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga hari terakhir memuja Dewi
Laksmi. Tiga hari memuja Dewi Durgha bertujuan untuk membangun niat baik
dalam hati nurani. Membangun niat baik inilah pekerjaan yang paling sulit. Tiga
hari memuja Dewi Saraswati artinya untuk meningkatkan kemampuan kita
menguasai ilmu pengetahuan. Niat baik saja tidak cukup. Niat baik itu hartus
disertai dengan kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan untuk menuntun
hidup manusia. Tiga hari terakhir memuja Dewi Laksmi.
Ini artinya puncak dari perjuangan membangun niat baik dan menguasai
ilmu pengetahuan adalah hidup sejahtra lahir batin. Niat baik dan ilmu
pengetahuan itu tidak ada apa-apanya kalau tidak menghasilkan hidup sejahtra
lahir batin. Pemujaan pada dewi Laksmi ini bertujuan agar niat baik dan ilmu
pengetahuan itu benar-benar diarahkan untuk mewujudkan hidup sejahtra Sekala
dan Niskala. Untuk membangun hidup sejahtra itu tidak mudah,karena itu harus
dilakukan upaya spiritual dengan memuja Tuhan sebagai Dewi Laksmi pada tiga
hari terakhir dari Nawa Ratri tersebut.

20
Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara.
Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan
kesemarakan untuk masyarakat luas. Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali
setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika
(Oktober) dan bulan Waisaka (April).
Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha
Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan
dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati
(Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh
Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang,
maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi
yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih
sayang dan amat sakti.
Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi.
Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda
dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi
angker, seram, sangat menakutkan.
Parayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih
sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling
tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan
berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang
paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut
Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama
sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan
keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan
kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh
atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari
kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual
panah sebagai lambang kenenangan.
Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna
atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai.

21
Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang
terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Hanuman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan
anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu
diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri
Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-
sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita,
Laksmana dan Hanuman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat
Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan
panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali
setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika)
adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan.
Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat
untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika
pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai
dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan
fllosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan
perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan
yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan
dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu
kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita
wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh
setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan,
umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.

22
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual
agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan
mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan
sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan
Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa
bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan
Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum
Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa
itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian
Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah
dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing
tempat suci.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan.
Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan.
Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan
Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).

3.2. Saran
Dalam menyambut dan merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas
anugrah Hyang Widhi dalam batas-batas kesusilaan agama dan keprihatinan
bangsa. Terangkan hati, agar menjadi Çura, Dira dan Deraka (berani, kokoh dan
kuat), dalam menghadapi hidup di dunia. Hemat dan sederhanalah dalam
mempergunakan biaya. Terakhir dan bahkan yang terpenting ialah mohon anugrah
Hyang Widhi dengan ketulusan hati.

23
DAFTAR PUSTAKA

ℑ http://sanggrahanusantara.blogspot.com/2009/10/makna-hari-raya-

galungan-dan-kuningan.html

ℑ www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel.../2812.htm

ℑ www.parisada.org/index.php?option=com

24

You might also like