Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
1.2. Rumusan Masalah
Untuk membatasi pembahasan, penulis hanya membahas beberapa rumusan
masalah yaitu:
1. Bagaimana Pengertian, makna filosofis serta Macam-macam
Galungan?
2. Bagaimana Rangkaian Perayaan hari raya Galungan Tersebut?
3. Bagaimana pelaksanaan Galungan di India?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara
meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba
entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu
dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk
pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan
dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah
datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif
pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada
tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat
terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada
lontar Sri Jayakasunu.
Dalamn lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa
heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur
pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan
tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilahDewa Sraya artinya
mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri,
tak jauh dari Pura Besakih.
Karena kesungguhannya melakukan tapa brata. Raja Sri Jayakasunu
mendapatkan pawisik atau“bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa
Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa
leluhurnya selalu berumur pendekkarena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali
merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang
pernah berlaku. Disamping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu
memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah
melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan
kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.
Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu,
Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali
4
Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari
pustaka-pustaka, diantaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad
ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman
akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah
diadakan. Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa
Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang.
Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan
mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/
Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang
ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya
ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya.
Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang
Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.
Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda
jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi. Yang terpenting,
dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin.
Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya
ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat.
Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin.
Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan
bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing
Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan
dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka
adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang,
bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma.
Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Memilik
nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:
Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.
Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan
bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala)
yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.
5
Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata
Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat
Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat.
Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia
besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana
Alit).
Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan
akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai
kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah
Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung
jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati
agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati
tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang
dilakukan pada hari Penampahan itu.
Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida
Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian
batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan
keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya
Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan
bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas
anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena
Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di
tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.
Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia
adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida
Sang Hyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-
mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu
lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian
seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang
(secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai
momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang
6
pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita
pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua
karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan
rasa Parama suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik
yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang
dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan
kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang
dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan
kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama.
Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan
agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra,
mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak
kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak
sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa,
kala dan patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan
persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan,
misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan
Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini
dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi.
Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada
semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur,
di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan
rumah dan lain-lain. Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra
(Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di
perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.
Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng
penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang
payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan)
dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan
pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau
ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan upacara
7
dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingan
sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan,
sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya
mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan
diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida
Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari
Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida
Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk
melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan
sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai
manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan
sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada
umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi
nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang
melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua. Demikian secara
singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan
Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin..
8
Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan
dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama
dijelaskan sebagai berikut:
9
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa
turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan
anyekung Jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha
Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang
pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari
ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam
lontar disebutkan, “Pangastawaningsang ngamongyoga samadhi.”
Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan
Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha
Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut
pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi
sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini
hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya
Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan.
Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat
pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-
tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak
saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari
Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan
meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaituhidup sehat panjang umur.
Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta
gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata,
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan.
Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan.
Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan
Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).
10
Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar
Sunarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya
dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah
hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara
“diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maringSwarga).
Hari Raya Kuningan atau sering disebut Tumpek Kuningan jatuh pada
hari Sabtu, Kliwon, wuku Kuningan. Pada hari ini umat melakukan pemujaan
kepada para Dewa, Pitara untuk memohon keselamatan, kedirgayusan,
perlindungan dan tuntunan lahir-bathin. Pada hari ini diyakini para Dewa,
Bhatara, diiringi oleh para Pitara turun ke bumi hanya sampai tengah hari saja,
sehingga pelaksanaan upacara dan persembahyangan Hari Kuningan hanya
sampai tengah hari saja. Sesajen untuk Hari Kuningan yang dihaturkan di
palinggih utama yaitu tebog, canang meraka, pasucian, canang burat wangi. Di
palinggih yang lebih kecil yaitu nasi selangi, canang meraka, pasucian, dan
canang burat wangi. Di kamar suci (tempat membuat sesajen/paruman)
menghaturkan pengambeyan, dapetan berisi nasi kuning, lauk pauk dan daging
bebek. Di palinggih semua bangunan (pelangkiran) diisi gantung-gantungan,
tamiang, dan kolem. Untuk setiap rumah tangga membuat dapetan, berisi
sesayut prayascita luwih nasi kuning dengan lauk daging bebek (atau ayam).
Tebog berisi nasi kuning, lauk-pauk ikan laut, telur dadar, dan wayang-
wayangan dari bahan pepaya (atau timun). Tebog tersebut memaki dasar
taledan yang berisi ketupat nasi 2 buah, sampiannya disebut kepet-kepetan.
Jika tidak bisa membuat tebog, bisa diganti dengan piring.
Sesayut Prayascita Luwih : dasarnya kulit sesayut, berisi tulung agung
(alasnya berupa tamas) atasnya seperti cili. Bagian tengahnya diisi nasi, lauk-
pauk, di atasnya diisi tumpeng yang ditancapkan bunga teratai putih, kelilingi
dengan nasi kecil-kecil sebanyak 11 buah, tulung kecil 11 buah, peras kecil,
pesucian, panyeneng, ketupat kukur 11 buah, ketupat gelatik, 11 tulung kecil,
kewangen 11 pasucian, panyeneng, buah kelapa gading yang muda (bungkak),
lis bebuu, sampian nagasari, canang burat wangi berisi aneka kue dan buah.
Sesajen ini dapat juga dipakai untuk sesajen Odalan, Dewa Yadnya, Resi
Yadnya dan Manusa Yadnya.
11
Beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan
sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol
penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang
Widhi, para Dewa dan leluhur kita.
Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat
Wakan yang merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya
Galungan-Kuningan. Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut
Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
demikian berakhirlah semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama
42 hari, terhitung sejak hari Sugimanek Jawa. (Iloveblue)
Jadi inti dari makna hari raya kuningan adalah memohon keselamatan,
kedirgayusan, perlindungan dan tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa,
Bhatara, dan para Pitara.
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut
pelaksanaan upacaranya.
12
Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar
menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau
Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan,
saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
b. Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan
lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang
jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka
(882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan
pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya
perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa
adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang
merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara
agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan
melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotoninatau upacara
hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama
mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah.
Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang
diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya
terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu
Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi.
Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10
tahun sekali.
c. Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau
sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:
"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga,
rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran. “
Artinya:
13
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungarniya
dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara
Mangsa namanya.
14
dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak
menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa
justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur
keladi.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara
Galungan di Bali biasanya diiiustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang
diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan
antara aharma melawan adharma.
Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma
dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang
tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara
agama.
15
Hari Raya Galungan dan Kuningan di India dikenal dengan berbagai
nama, di antaranya adalah Śraddha Vijaya Daśami, Durgapuja atau Mahanavami.
Berdasarkan data prasasti yang ditemukan di Bali, yakni Turunan Prasasti yang
berasal dari tahun 813 Saka (891 M) yang menyebutkan haywahaywan di magha
mahanavami (Goris, 1954: 56). Dalam bahasa Bali dewasa ini kata
mahaywahaywa (dari kata mahayu-hayu) berarti merayakan. Haywahaywan di
magha mahanavami berarti perayaan Magha Mahanavami. Di India Mahanavami
identik dengan Dasara yakni hari pemujaan ditujukan kepada para leluhur
(Dubois, 1981:569). Swami Sivananda (1991:8) mengidentikkan Dasara dengan
Durgapuja yang dirayakan dua kali setahun, yakni Ramanavaratri atau
Ramanavami pada bulan Caitra (April-Mei), dan Durganavaratri atau
Durganavami pada bulan Asuji (September-Oktober). Perayaan ini disebut juga
Vijaya Dasami atau Sraddha Vijaya Dasami yang dirayakan selama sepuluh hari,
seperti halnya Hari Raya Galungan dan Kuningan di Indonesia. Hari Raya
Galungan sudah dirayakan terlebih dahulu di tanah Jawa, ini sesuai dengan lontar
berbahasa Jawa Kuno yaitu : Kidung Panji Amalat Rasmi. Di Bali Hari Raya
Galungan untuk pertama kali dilaksanakan pada Hari Purnama Kapat , Budha
Kliwon Dungulan tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi ini sesuai dengan lontar
"Purana Bali Dwipa".
16
2. SUGIHAN JAWA atau SUGIHAN JABA yaitu; Sebuah kegiatan
rohani dalam rangka menyucikan bhuana agung (makrocosmos) yang jatuh
pada hari Kamis Wage Sungsang. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi
yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, dalam lontar
Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan "Pasucian dewa
kalinggania pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari
penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan
alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di
masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan
badan fisik dari debu kotoran dunia maya, agar layak dihuni oleh Sang
Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.
17
pemenuhan akan kebutuhan semua indriya tidak jatuh ke dalam kubangan
dosa; pikiran yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berperilaku bijak,
mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain,
agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi
tidak hanya “nyekeb” pisang atau tape untuk banten.
18
7. GALUNGAN; Budha Kliwon Galungan; Hari kemenangan dharma
terhadap adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama
perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa
mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai ananda atau
jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang
berwiweka.
19
2.3.Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarunganantara
adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan
kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi
atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat
dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan”
dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti
perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan
Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di
sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam).
Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat
khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih
menekankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma.
Nawa Ratri itu dilakukan dengan mumuja Dewi Durgha selama tiga hari. Tiga
hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga hari terakhir memuja Dewi
Laksmi. Tiga hari memuja Dewi Durgha bertujuan untuk membangun niat baik
dalam hati nurani. Membangun niat baik inilah pekerjaan yang paling sulit. Tiga
hari memuja Dewi Saraswati artinya untuk meningkatkan kemampuan kita
menguasai ilmu pengetahuan. Niat baik saja tidak cukup. Niat baik itu hartus
disertai dengan kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan untuk menuntun
hidup manusia. Tiga hari terakhir memuja Dewi Laksmi.
Ini artinya puncak dari perjuangan membangun niat baik dan menguasai
ilmu pengetahuan adalah hidup sejahtra lahir batin. Niat baik dan ilmu
pengetahuan itu tidak ada apa-apanya kalau tidak menghasilkan hidup sejahtra
lahir batin. Pemujaan pada dewi Laksmi ini bertujuan agar niat baik dan ilmu
pengetahuan itu benar-benar diarahkan untuk mewujudkan hidup sejahtra Sekala
dan Niskala. Untuk membangun hidup sejahtra itu tidak mudah,karena itu harus
dilakukan upaya spiritual dengan memuja Tuhan sebagai Dewi Laksmi pada tiga
hari terakhir dari Nawa Ratri tersebut.
20
Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara.
Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan
kesemarakan untuk masyarakat luas. Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali
setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika
(Oktober) dan bulan Waisaka (April).
Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha
Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan
dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati
(Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh
Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang,
maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi
yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih
sayang dan amat sakti.
Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi.
Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda
dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi
angker, seram, sangat menakutkan.
Parayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih
sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling
tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan
berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang
paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut
Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama
sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan
keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan
kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh
atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari
kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual
panah sebagai lambang kenenangan.
Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna
atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai.
21
Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang
terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Hanuman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan
anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu
diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri
Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-
sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita,
Laksmana dan Hanuman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat
Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan
panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali
setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika)
adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan.
Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat
untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika
pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai
dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan
fllosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan
perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan
yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan
dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu
kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita
wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh
setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan,
umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.
22
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual
agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan
mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan
sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan
Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa
bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan
Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum
Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa
itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian
Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah
dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing
tempat suci.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan.
Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan.
Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan
Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).
3.2. Saran
Dalam menyambut dan merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas
anugrah Hyang Widhi dalam batas-batas kesusilaan agama dan keprihatinan
bangsa. Terangkan hati, agar menjadi Çura, Dira dan Deraka (berani, kokoh dan
kuat), dalam menghadapi hidup di dunia. Hemat dan sederhanalah dalam
mempergunakan biaya. Terakhir dan bahkan yang terpenting ialah mohon anugrah
Hyang Widhi dengan ketulusan hati.
23
DAFTAR PUSTAKA
ℑ http://sanggrahanusantara.blogspot.com/2009/10/makna-hari-raya-
galungan-dan-kuningan.html
ℑ www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel.../2812.htm
ℑ www.parisada.org/index.php?option=com
24