You are on page 1of 3

Selasa, 11 September 2007

Apakah Guru Suatu Profesi?


Oleh Leo Sutrisno

JIKA tidak ada perubahan, bulan September 2007 ini merupakan awal dari perubahan
posisi guru. Menurut Zen Rschmat Sugito (Kompas, 1 September 2007), kata ‘guru’
berasal dari bahasa Sanskerta, ’gur-u’ yang berarti mulia, bermutu, memiliki kehebatan.
Kata ‘gur-u’ bertemu dengan kata ‘as’ maka guru selanjutnya dimaknai sebagai mengajar.
Namun, tetap harus memenuhi sifat yang mulia dan berakhlak. Seorang pengajar
dianggap baik jika menghasilkan siswa yang pintar. Guru yang baik jika membuat
siswanya menjadi orang yang baik. Karena itu, guru dituntut lebih dari sekedar
menguasai pengetahuan yang diajarkan. Ia juga harus menjadi teladan sebagai orang yang
baik. Dengan begitu, guru diharapkan dapat menjadikan seseorang menjadi manusia yang
baik. Jadi, dalam kerangka lama, guru adalah seseorang yang dapat membuat orang lain
pintar dan baik (baca: berbudi).

Dalam Undang-undang Guru dan Dosen, yang diundangkan dua tahun yang lalu,
disebutkan bahwa ’guru’ adalah pendidik profesional. Sayang tidak ada penjelasan
tentang arti ’pendidik’. Apakah sama dengan ’pengajar’, orang yang mengajar, orang
yang mebuat orang lain menjadi pintar atau yang lain lagi? Cuma disebutkan bahwa tugas
utama pendidik profesional adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik (baca: murid/siswa). Dengan demikian,
guru menurut undang-undang sesungguhnya masih sama dengan ’guru’ dalam pengertian
yang lama.

Apa yang berbeda? Ada tambahan kata ’profesional’. Apa arti ’profesional’?. Sekali lagi,
menurut Undang-undang Guru dan Dosen, profesional diartikan sebagai pekerjaan yang
dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan, yang memerlukan
kahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu
serta memerlukan pendidikan profesi. Dengan begitu, guru adalah profesi.

Apa Arti Profesi?

Ada dua model yang digunakan para sosiolog untuk mendeskripsikan kosep ’profesi’.
Pertama, yang paling sederhana, didasarkan pada sifat-sifatnya. Secara internasional ada
dua organisasi profesi yang selalu menjadi acuan, yaitu: dokter dan lawyer. Dua
organisasi ini dianggap sebagai organisasi profesi yang telah ’mantap’, telah ’jadi’. Ciri-
cirinya adalah: (1) ketrampilan didasarkan pada pengetahuan abstrak, (2) memiliki diklat,
(3) sertifikasi yang didasarkan pada uji kompetensi, ( 4) memiliki oraganisasi formal
(misal IDI), (5) berusaha memenuhi kode etis, (6) penekanan pada pelayanan. Pertanyaan
saat ini adalah, kalau guru ditetapkan sebagai profesi maka apakah juga harus memiliki
sifat-sifat tersebut? Jawaban yang diberikan oleh para perancang ’ya’. Karena itu, selain
pendidikan di LPTK, akan disiapkan juga diklat profesi guru, dilaksanan uji sertifikasi
(oleh pemerintah?), dilakukan revitalisasi PGRI (agar sekuat IDI), disusun kode etik guru
dan dosen, serta ditngkatkan ’semangat’ pelayanan. Tetapi, apakah ke-enam hal itu yang
sungguh membuat menjadi profesi. Kalau bukan itu apakah bukan profesi? Pertanyaan itu
dapat menjadi debat panjang. Yang jelas keenam ciri itu ada pada profesi dokter dan
profesi lawyer. Mungkin juga tidak perlu ada pada profesi yang lain.

Deskripsi kedua tentang profesi merupakan hasil dari pengembangan teori struktural-
fungsional yang bekembang tahun 1950-60an. Telaah detail tentang ciri-ciri utama dari
profesi tersebut menemukan bahwa satu dengan yang lain itu berakar pada asumsi untuk
melindungi masyarakat umum. Hanya dokterlah yang boleh menentukan seseorang masih
hidup atau sudah meninggal karena ia memiliki keahlian. Hanya ’lawyer’ yang boleh
mengatakan ini melanggar hukum atau tidak karena mereka yang ahli. Namun, jika ditilik
lebih mendalam akan tampak bahwa profesi itu dipakai untuk ’memproteksi’
pekerjaannya. Tidak akan mungkin seseorang tanpa pendidikan (yang panjang dan
melelahkan) kedokteran boleh menjadi dokter. Demikian juga, hanya mereka yang telah
mengikuti pendidikan ilmu hukum dan mengikuti berbagai pelatihan boleh mengaku
sebagai ’lawyer’. Dengan cara itu terjadilah spesialisasi yang makin lama makin
meruncing. Misal ada jenjang dokter dari dokter umum, dokter spesialis, dan dokter sub-
spesialis. Semakin tinggi jenjang spesialisasi yang dimiliki semakin sedikit kawan
sejawatnya, sehingga semakin dapat ’memonopoli’ bidangnya. Pertanyaan yang muncul,
kalau guru adalah profesi, maka ada spesialisasi, ada monolopi. Hanya mereka yang
mengenyam pendidikan yang panjang dan melelahkan dalam bidan pendidikan yang
boleh menjadi guru. Benarkah? Hingga kini siapapun boleh menjadi guru dan dosen.
Siapaun boleh melakukan kegiatan sebagai guru (dan dosen). Ada dokter yang tidak
pernah belajar kependidikan dapat diterima sebagai dosen. Ada lawyer yang dibolehkan
menjadi guru walaupun tidak pernah mengikuti pendidikan kependidikan. Bahkan, semua
orang boleh menjadi guru, menjadi pendidik bagi anak-anaknya. Dengan demikian, teori
struktural-fungsional sulit diimplementasikan pada guru.

Selain itu. Gerak kearah spesialisasi ini saat ini sudah melewati titik balik. Kemajuan
teknologi yang ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi serta teknologi komunikasi
telah membalikkan para pengagum spesialisasi. Akibatnya, otomatisasi dalam banyak
bidang menyebabkan pekerjaan yang rumit dan memerlukan keahlian telah digantikan
oleh ’robot’ dan mesin yang lain. Para ahli saat ini bertugas sebagai operator mesin.
Tekan tombol ini tombol itu selanjutnya tinggal menunggu hasil. Ada proses
despesialisasi, deprofesionalisasi. Proses ini dalam bidang tertentu telah tampak,
misalnya pesawat pengintai tanpa awak, alat-alat lab yang tidak manual lagi.

Pekerjaan guru juga sudah mulai diterobos. Media belajar, sumber belajar, metode belajar
telah tersedia di internet. Orang biasa, tidak perlu menjai profesor pendidikan langsung
dapat menjadi guru yang handal. Contohnya, lihat perkembangan ’homeschooling’.
Semua orang dapat mengajar dengan baik.

Proses ini dipercepat lagi oleh gerakan yang mengubah pendidika dari usaha
memanusiakan manusia menjadi usaha korporasi. Pendidikan dibawa ke arah usaha padat
modal. Guru bukan guru lagi tetapi istruktur bimbingan belajar. Guru tidak lagi melatih
seseorang akar menjadi lebih kreatif dan lebih arif tetapi lebih ke arah menjadi tenaga
operator. Guru menjadi tidak lebih dari seorang karyawan dari suatu perusahaan multi
nasional.

Melihat keadaan ini, proses despesialisasi, deprofesionalisasi yang bergerak secara


internasional lewat usaha multinasional kiranya keinginan kita menjadikan guru (dan
dosen) sebagai profesi akan menghadapi arus balik yang sangat kuat. Bisa jadi hanya
sebuah mimpi.

Akan lebih baik jika ditempuh cara lain, yaitu kembali menanamkan paham guru adalah
sebuah panggilan hidup untuk memanusiakan manusia bukan merobotkan manusia.
Seseorang yang menganggap pekerjaan yang dilakukan merupakan suatu panggilan hidup
tentu ia akan bekerja sebaik mungkin. Berarti juga akan bekerja profesional. Semoga.**

*) Penulis adalah Dosen FKIP Untan

You might also like