You are on page 1of 3

Selasa, 2 Mei 2006

Tut Wuri Handayani


Oleh Dr Leo Sutrisno

KI Hajar Dewantara (1889-1959), Bapak Pendidikan Nasional, pendiri Perguruan Taman


Siswa ini lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai
Hari Pendidikan Nasional. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia
berasal dari lingkungan keluarga kraton. Saat genap berusia 40 tahun ia berganti nama
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar
kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat
dengan rakyat, baik secara fisik maupun hati. Ki Hadjar Dewantara pernah menjabat
sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Pada tanggal 28
April 1959, ia meninggal dunia dan dimakamkan di Yogyakarta.

Tut Wuri Handayani

Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberdayakan), ing
madya mbangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa
sungtuladha (di depan memberi teladan). Ajaran ini menjadi dasar filosofis pendidikan di
Indonesia di awal kemerdekaan. Dalam tulisan ini dikhususnya dalam konteks
pembelajaran di sekolah.

Dalam pembelajaran, seorang guru dapat meposisikan dirinya baik di belakang, di tengah
maupun di depan (pengetahuan) para muridnya. Dalam posisi di belakang, guru
mengajukan berbagai pertanyaan dengan tujuan menggali pengetahuan yang telah
dimiliki murid-muridnya tentang suatu topik yang sedang dipelajari saat itu. Dalam
konteks pendidikan dewasa ini disebut students' preconceptions, students' misconceptions
atau yang bernuansa demokratis disebut student alternative framework. Pengetahuan ini
diperoleh para murid dari berbagai sumber belajar sebelum ia mengikuti pelajaran di
kelas itu. Dalam posisi ini guru menjadi pendengar yang baik sekaligus membantu para
muridnya agar dapat mengungkapkan pendapat / gagasan / jalan pikirannya sendiri
dengan baik. Selanjutnya, pendapat-pendapat ini dipakai sebagai batu loncatan untuk
menuju ke bagian tengah.

Kemudian, guru maju ke tengah-tengah (pemikiran) para muridnya. Dalam posisi ini ia
menciptakan situasi yang memungkinkan para muridnya mengembangkan, memperbaiki,
mempertajam, atau bahkan mungkin mengganti pengetahuan yang telah dimilikinya itu
sehingga diperoleh pengetahuan baru yang lebih masuk akal, lebih jelas, dan lebih
banyak manfaatnya. Guru mungkin mengajukan pertanyaan, atau mungkin mengajukan
gagasan/argumentasi tandingan. Mungkin juga ia mengikuti jalan pikiran siswa sampai
pada suatu kesimpulan yang keliru dsb. Pendek kata, di tengah seorang guru menciptakan
situasi yang membuat siswa berolah pikir secara kritis untuk menelaah buah pikirannya
sendiri atau orang lain. Guru menciptakan situasi agar terjadi perubahan konsepsional
dalam pikiran siswa-siswanya. Yang salah diganti yang benar, yang keliru diperbaiki,
yang kurang tajam dipertajam, yang kurang lengkap dilengkapi, dan yang kurang masuk
akal argumentasinya diperbaiki. Setelah itu, guru berpindah lagi ke depan.

Di bagian depan, seorang guru akan membawa buah pikiran para muridnya itu ke dalam
sistem ilmu pengetahuan yang lebih luas. Ia menempatkan pikiran / gagasan / pendapat
para muridnya dalam cakrawala yang baru, yang lebih luas. Dalam posisi ini ia
membimbing dan memberi teladan. Akhirnya, dengan filosofi semacam ini, siswa
(dengan bantuan guru dan teman-temannya} mengkonstruksi pengetahuannya sendiri di
antara pengetahuan yang telah dikonstruksi oleh banyak orang termasuk oleh para ahli.

Hasilnya dapat kita lihat pada para pribadi sejumlah tokoh tua hasil didikan Taman Siswa
yang sebagian masih hidup dewasa ini. Sekedar contoh, pada suatu pertemuan nasional,
para tokoh tersebut masih 'memilih' bermalam di ruang kelas bersama-sama peserta lain.
Mereka tidak menggunakan 'prinsip umum' yang saat ini dipegang oleh banyak tokoh
nasional, yaitu karena seorang tokoh nasional maka fasilitasnya harus berbeda secara
signifikan dari fasilitas bagi yang bukan tokoh nasional. Mereka sungguh sudah menjadi
manusia yang merdeka.

Absolutistme

Filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara ini dalam perjalanan sejarah pendidikan di


Indonesia tergeser oleh filosofi lain yang datang dari pendidikan di Negara Barat, yaitu
positifvisme. Filosofi ini dibawa oleh para tokoh pendidikan kita yang belajar di Eropa
dan terutama di Amerika di awal 1960-an. Positivisme menjunjung tinggi prinsip
diterminisme. Dalam konteks pendidikan, dipercaya bahwa murid adalah semacam kertas
kosong yang siap diisi. Karena itu, cara pembelajarannya berbentuk 'mengisi botol
kosong'. Guru berada di depan (pengetahuan) siswa. Guru memberikan pengetahuan,
siswa menerima, menghapal, dan memahami semua pengetahuan yang diberikan
gurunya. Dalam situasi semacam ini tidak ada ruang bagi siswa untuk mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Pengatahuan yang dimiliki guru perupakan satu-satunya
pengetahuan yang dianggap benar. Demikian guru juga sesungguhnya, hanya berada di
belakang 'para ahli'. Pengetahuan yang disampaikan para guru kepada muridnya
merupakan pengetahuan yang dikonstruksi oleh para ahli. Dan, ini merupakan satu-
satunya pengetahuan yang secara sah siakui oleh penyelenggara pendidikan. Pengetahuan
para 'ahli' ini dituangkan dalam bentuk buku paket. Satu buku paket untuk seluruh
pelosok Indonesia. Tidak ada buku pelajaran lain yang beredar di tangan para guru.

Hasilnya, semua murid mempunyai 'satu' pengetahuan yang sama dan seragam di seluruh
Indonesia. Sekedar contoh, kasus G30S, semua orang yang belajar PPKn menerima
penjelasan yang sama. Tidak ada pejelasan lain yang dianggab betul kecuali yang dusan
ditetapkan oleh kelompok P4.

Dampak implementasi filsafat positivisme ini adalah faham absolutisme. Hanya ada satu
yang 'benar' dalam ilmu pengetahuan. Penjelasan lain dianggap 'salah'. Yang 'satu' ini
yang berasal dari 'atas', dan petinggi, dari pejabat, dari Jakarta. Sedangkan yang datang
dari tempat lain dianggap salah. Tidak peduli argumentasinya.

Keadaan ini hingga kini masih terasa. Walaupun sudah otonom, yang 'atas' tetap dijadikan
sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan. Apa kata yang 'atas', itulah yang diterima.
Orang menjadi sangat bergantung dengan yang di-'atas'. Orang menjadi tidak merdeka.

Kembali ke Ki Hadjar

Mengingat kenyataan itu, dalam suasana Hari Pendidikan Nasional ini, ada baiknya kita
berpikir kembali untuk menggunakan fisolofi Ki Hadjar Dewantara dan melepaskan
faham diterministis yang dibawa oleh fiolsafat positivisme. Dengan menerapkan ajaran
Ki Hadjar Dewantara kiranya orang Indonesia mendatang akan lebih demokratis, lebih
merdeka dari pada kita saat ini. Semoga!**

*) Penulis adalah Dosen FKIP Untan

You might also like