Professional Documents
Culture Documents
Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberdayakan), ing
madya mbangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa
sungtuladha (di depan memberi teladan). Ajaran ini menjadi dasar filosofis pendidikan di
Indonesia di awal kemerdekaan. Dalam tulisan ini dikhususnya dalam konteks
pembelajaran di sekolah.
Dalam pembelajaran, seorang guru dapat meposisikan dirinya baik di belakang, di tengah
maupun di depan (pengetahuan) para muridnya. Dalam posisi di belakang, guru
mengajukan berbagai pertanyaan dengan tujuan menggali pengetahuan yang telah
dimiliki murid-muridnya tentang suatu topik yang sedang dipelajari saat itu. Dalam
konteks pendidikan dewasa ini disebut students' preconceptions, students' misconceptions
atau yang bernuansa demokratis disebut student alternative framework. Pengetahuan ini
diperoleh para murid dari berbagai sumber belajar sebelum ia mengikuti pelajaran di
kelas itu. Dalam posisi ini guru menjadi pendengar yang baik sekaligus membantu para
muridnya agar dapat mengungkapkan pendapat / gagasan / jalan pikirannya sendiri
dengan baik. Selanjutnya, pendapat-pendapat ini dipakai sebagai batu loncatan untuk
menuju ke bagian tengah.
Kemudian, guru maju ke tengah-tengah (pemikiran) para muridnya. Dalam posisi ini ia
menciptakan situasi yang memungkinkan para muridnya mengembangkan, memperbaiki,
mempertajam, atau bahkan mungkin mengganti pengetahuan yang telah dimilikinya itu
sehingga diperoleh pengetahuan baru yang lebih masuk akal, lebih jelas, dan lebih
banyak manfaatnya. Guru mungkin mengajukan pertanyaan, atau mungkin mengajukan
gagasan/argumentasi tandingan. Mungkin juga ia mengikuti jalan pikiran siswa sampai
pada suatu kesimpulan yang keliru dsb. Pendek kata, di tengah seorang guru menciptakan
situasi yang membuat siswa berolah pikir secara kritis untuk menelaah buah pikirannya
sendiri atau orang lain. Guru menciptakan situasi agar terjadi perubahan konsepsional
dalam pikiran siswa-siswanya. Yang salah diganti yang benar, yang keliru diperbaiki,
yang kurang tajam dipertajam, yang kurang lengkap dilengkapi, dan yang kurang masuk
akal argumentasinya diperbaiki. Setelah itu, guru berpindah lagi ke depan.
Di bagian depan, seorang guru akan membawa buah pikiran para muridnya itu ke dalam
sistem ilmu pengetahuan yang lebih luas. Ia menempatkan pikiran / gagasan / pendapat
para muridnya dalam cakrawala yang baru, yang lebih luas. Dalam posisi ini ia
membimbing dan memberi teladan. Akhirnya, dengan filosofi semacam ini, siswa
(dengan bantuan guru dan teman-temannya} mengkonstruksi pengetahuannya sendiri di
antara pengetahuan yang telah dikonstruksi oleh banyak orang termasuk oleh para ahli.
Hasilnya dapat kita lihat pada para pribadi sejumlah tokoh tua hasil didikan Taman Siswa
yang sebagian masih hidup dewasa ini. Sekedar contoh, pada suatu pertemuan nasional,
para tokoh tersebut masih 'memilih' bermalam di ruang kelas bersama-sama peserta lain.
Mereka tidak menggunakan 'prinsip umum' yang saat ini dipegang oleh banyak tokoh
nasional, yaitu karena seorang tokoh nasional maka fasilitasnya harus berbeda secara
signifikan dari fasilitas bagi yang bukan tokoh nasional. Mereka sungguh sudah menjadi
manusia yang merdeka.
Absolutistme
Hasilnya, semua murid mempunyai 'satu' pengetahuan yang sama dan seragam di seluruh
Indonesia. Sekedar contoh, kasus G30S, semua orang yang belajar PPKn menerima
penjelasan yang sama. Tidak ada pejelasan lain yang dianggab betul kecuali yang dusan
ditetapkan oleh kelompok P4.
Dampak implementasi filsafat positivisme ini adalah faham absolutisme. Hanya ada satu
yang 'benar' dalam ilmu pengetahuan. Penjelasan lain dianggap 'salah'. Yang 'satu' ini
yang berasal dari 'atas', dan petinggi, dari pejabat, dari Jakarta. Sedangkan yang datang
dari tempat lain dianggap salah. Tidak peduli argumentasinya.
Keadaan ini hingga kini masih terasa. Walaupun sudah otonom, yang 'atas' tetap dijadikan
sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan. Apa kata yang 'atas', itulah yang diterima.
Orang menjadi sangat bergantung dengan yang di-'atas'. Orang menjadi tidak merdeka.
Kembali ke Ki Hadjar
Mengingat kenyataan itu, dalam suasana Hari Pendidikan Nasional ini, ada baiknya kita
berpikir kembali untuk menggunakan fisolofi Ki Hadjar Dewantara dan melepaskan
faham diterministis yang dibawa oleh fiolsafat positivisme. Dengan menerapkan ajaran
Ki Hadjar Dewantara kiranya orang Indonesia mendatang akan lebih demokratis, lebih
merdeka dari pada kita saat ini. Semoga!**