You are on page 1of 13

TUGAS PSIKOLOGI ORGANISASI

RESUME CHAPTER 11

“Group Processes in Work Organization”

(Introduction to Industrial/Organizational Psychology 5th ed – Ronald


E. Riggio)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Organisasi

Disusun oleh:

Lamia Irhamny

190110080029

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2010
CHAPTER 11

GROUP PROCESSES IN WORK ORGANIZATIONS

DEFINING WORK GROUPS

Group atau kelompok dapat didefinisikan sebagai satu atau lebih individu
yang terlibat dalam interaksi sosial, yang bertujuan untuk meraih tujuan-tujuan
tertentu. Dalam setting kerja, tujuan ini biasanya berkaitan dengan pekerjaannya
sendiri, seperti menghasilkan suatu produk atau jasa.

Roles

Didalam kelompok kerja, individu dapat memiliki berbagai macam peran atau
bentuk-bentuk perilaku yang ditampilkan sesuai dengan harapan dari posisi yang
dimilikinya. Peran kelompok ini penting karena dapat membantu menyiapkan
perencanaan-perencanaan spesifik tentang perilaku yang seharusnya ditampilkan.
Ketika individu memainkan peran tertentu didalam kelompok kerjanya, mereka
biasanya mengetahui tentang tanggung jawab dan apa saja yang dibutuhkan dari
peran tersebut, atau dalam hal ini disebut role expectation.

Sebagaimana kelompok kerja berkembang, individu-individu didalamnya


belajar bertanggung jawab pada aspek-aspek yang berbeda. Dengan kata lain,
anggota di dalam kelompok kerja mulai memainkan peran-peran yang berbeda
didalam kelompok kerjanya. Hal ini disebut dengan role differentiation.

Salah satu peran yang dibedakan secara jelas pada kebanyakan kelompok
kerja adalah peran sebagai pemimpin. Pemimpin dalam kelompok kerja formal atau
departemen memainkan bagian yang penting dalam mengarahkan aktivitas
kelompok, menjadi juru bicara kelompok, dan menentukan arahan tindakan yang
akan diikuti kelompoknya.

Berbagai macam peran biasanya didasarkan pada beberapa faktor, seperti


posisi atau jabatan formal, status dalam kelompok, tugas-tugas yang diberikan
kepada setiap anggota, atau kemampuan-kemampuan tertentu yang dimiliki. Benne
dan Sheats (1948) memberikan tiga kategori mengani rentang peran individu dalam
setting kerja. kategori yang pertama adalah group task roles, yang berkaitan
dengan bagaimana pekerjaan itu dapat diselesaikan. Kategori yang kedua adalah
group building and maintenance roles, yang berkaitan dengan bagaimana
mempertahankan relasi interpersonal diantara anggota kelompok (misalnya, peran
sebagai encourager, harmonizer, dan compromiser). Sedangkan kategori yang
ketiga adalah self-centered roles, dimana anggota lebih mengutamakan
kepentingan dan kepuasan personal dibanding kepentingan dan kepuasan
kelompoknya (misalnya, peran sebagai aggressor, blocker, dan dominator).
Penting untuk diketahui bahwa terkadang individu tidak mengetahui dengan
jelas tentang perannya dan harapan-harapan apa yang dilekatkan pada peran itu
untuk ditampilkan oleh individu yang memiliki peran tersebut. Hal ini dapat
menimbulkan role ambiguity, atau perasaan akan ketidakpastian mengenai
kebutuhan dan peran yang diharapkan dimainkan oleh individu.

Didalam sebuah organisasi, seseorang seringkali diharapkan memainkan


lebih dari satu peran pada waktu yang sama. Peran-peran yang berbeda tersebut
belum tentu konsisten dan sejalan dengan peran-peran lain yang dimiliki. Hal ini
mengarah pada munculnya role conflict.

Norms

Setiap anggota dalam kelompok mungkin memiliki peran yang berbeda-beda,


tetapi bagaimanapun juga semuanya harus menaati aturan-aturan tertentu yang
ada dalam kelompoknya. Norma merupakan aturan-aturan yang diadopsi kelompok,
yang mengindikasikan perilaku apa yang sesuai dan tidak sesuai ditampilkan oleh
anggota kelompok. Norma tersebut biasanya mengenai berbagai macam aktivitas
kerja, meliputi kecepatan dimana individu harus menyelesaikan pekerjaannya,
pakaian yang sopan dan tidak senonoh, dll. Norma bisa bersifat formal dan
informal.

Norma memberikan banyak manfaat dan tujuan penting bagi kelompok.


Tujuan yang paling utama adalah membantu kelompok untuk tetap bertahan.
Adanya norma juga dapat membuat individu lebih berkomitmen dan termotivasi
untuk menampilkan performa kerja yang baik, sehingga produktivitas atau hasilnya
pun aan baik pula. Disamping itu, norma juga dapat membuat individu
menampilkan perilaku kerja yang buruk dan dengan hasil atau produk yang tidak
bagus. Misalnya jika individu tidak menyukai dengan salah satu aturan yang ada
didalam kelompoknya, maka ia cenderung tidak termotivasi dan tidak semangat
dalam melakukan pekerjaannya sehingga produktivitasnya menurun.

Kesimpulannya, baik peran maupun norma keduanya membantu menyediakan


suatu struktur atau rencana untuk perilaku anggota kelompok.

Organizational Socialization: Learning Group Roles and Norms

Organizational socialization merupakan suatu proses dimana pekerja baru


mempelajari peran-peran kelompok dan norma-norma, serta membangun
kemampuan kerja yang spesifik. Dengan kata lain, sosialisasi organisasi ini
menunjukkan bagaimana individu atau pekkerja baru terintegrasi dengan kelompok
kerjanya. Terdapat tiga proses yang penting dalam sosialisasi ini, yaitu (a)
membangun kemampuan dan keahlian kerja yang spesifik, (b) akusisi perilaku yang
sesuai dengan peran, (c) menyesuaikan diri dengan norma dan nilai-nilai kelompok
(Feldman, 1981; Schein, 1968).
Secara spesifik, sosialisasi organisasi ini muncul dalam tiga tahapan. Tahap
yang pertama, yaitu anticipatory socialization. Disini pendatang baru membangun
harapan-harapan yang realistis terhadap pekerjaan dan organisasinya dan
menentukan akan benar-benar sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Tahapan yang kedua adalah accommodation. Pada tahap ini pendatang baru
mempelajari berbagai macam peran yang dimainkan oleh anggota dan belajar
tentang peran spesifik dirinya sendiri didalam kelompoknya. Pada tahap ini mereka
juga mulai membangun relasi interpersonal dengan anggota kelompok yang lain.
Tahap terakhir, yaitu role management. Pada tahap ini pendatang baru melakukan
suatu transisi menjadi anggota biasa atau orang dalam, mulai menguasai tugas dan
peran yang harus ditampilkannya.

BASIC GROUP PROCESSES

1. Conformity

Merupakan proses dimana individu melekatan dan mematuhi norma-norma


kelompok yang ada. Secara umum, konformitas terhadap norma ini sangat
kuat dan membantu mempertahankan keteraturan dan kesatuan dalam
perilaku kelompok. Dalam kenyataannya, tidak semua anggota melakukan
konformitas terhadap norma yang ada. Seringkali individu tidak conform
pada norma kelompok ketika tujuan-tujuan individualnya berbeda atau
bertentangan dengan tujuan kelompoknya. Perlu diketahui juga bahwa
konformitas terkadang dapat meredam inovasi dan kreativitas individu dalam
kelompok (Pech, 2001).

2. Group Cohesiveness

Kohesivitas mengacu kepada derajat sejauh mana ketertarikan diantara


anggota kelompok. Kohesivitas ini layaknya sebuah lem dalam lingkungan
sosial yang membuat individu bergabung bersama didalam kelompok.
Kohesivita ini dapat menjelaskan semangat yang dimiliki kelompok kerja.
secara umum dapat diasumsikan bahwa kelompok yang kohesif cenderung
akan lebih puas dan lebih produktif daripada kelompok yang tidak kohesif
karena mereka berinteraksi lebih banyak , lebih berpartisipasi secara penuh
dalam aktivitas-aktivitas kelompok, dan menerima serta bekerja mengarah
kepada tujuan kelompok (Cartwright, 1968; Hare, 1976).

Karena kohesivitas kelompok secara teoritis berhubungan dengan kepuasan


anggota dan, dibawah kondisi-kondisi tertentu, produktivitas, maka
berdasarkan penelitian diketahui terdapat berbagai macam faktor yang dapat
mempengaruhi kohesivitas ini. Faktor-faktor yang palin penting, antara lain
besarnya kelompok, status anggota yang ekuivalen, stabilitas keanggotaan,
kesamaan anggota, dan adanya keberadaan ancaman atau musuh. Faktor-
faktor tersebut dapat meningkatkan kohesivitas kelompok, dimana hal
tersebut dapat meningkatkan hasil kerja, terutama meningkatnya level
kepuasan anggota, komitmen organisasi, dan mengurangi tingkat
absenteeism dan turnover (Wech, Mossholder, Steel, & Bennett, 1998).

3. Group Efficacy

Merupakan kepercayaan dan keyakinan kelompok bahwa mereka memiliki


kemampuan untuk dapat meraih tujuan-tujuan / hasil yang diharapkan
kelompok atau organisasi. group efficacy ini memberikan dampak positif
terhadap kohesivitas kelompok dan produktivitasnya (Baker, 2001;
Pescosolido, 2003).

4. Cooperation in Work Groups

Kerjasama merupakan hal yang penting untuk efektivitas kelompok kerja dan
organisasi. Akan menjadi sulit ketika kita harus berusaha meraih tujuan-
tujuan kelompok seorang diri. Selama semua pekerja atau anggota kelompok
memiliki tujuan yang sama, maka mereka biasanya melakukan kerjasama
dengan anggota yang lain untuk meraihnya. Pekerja mungkin juga dapat
keluar dari jalurnya untuk saling membantu dengan anggota lain karena
adanya reciprocity rule (Gouldner, 1960). Reciprocity rule ini merupakan
kecenderungan individu untuk memberikan balasan kepada orang lain yang
menolongnya. Dengan kata lain, individu memiliki hutang budi terhadap
orang yang pernah membantunya, dan oleh karenanya individu tersebut
bersedia memberikan bantuan atau balasan kepada orang yang
membantunya tersebut.

Salah satu elemen lain yang dapat membantu meningkatkan kerjasama


diantara anggota kelompok kerja adalah derajat dari task interdependence,
atau derajat sejauh mana performa kerja yang ditampilkan individu atau
anggota dalam kelompok kerja tergantung pada besarnya usaha atau
kemampuan yang dimiliki orang lain (Campion, Medsker, & Higgs, 1993;
Wageman & Baker, 1997). Keberadaan reward dalam organisasi pun dapat
meningkatkan kerjasama anggota kelompok kerja didalamnya. Misalnya,
adanya bonus dan kesempatan untuk dipromosikan kepada posisi atau
jabatan yang lebih tinggi.

Disamping itu, seringkali ada anggota yang menolak untuk bekerja sama dan
fenomena ini sering disebut dengan istilah social loafing didalam organisasi.
Social loving merupakan fenomena dimana individu yang bekerja dalam
kelompok memperlihatkan usaha yang lebih sedikit daripada saat bekerja
seorang diri. Fenomena ini lebih sering muncul pada kelompok yang memiliki
tingkat kohesivitas yang rendah.

5. Competition in Work Groups


Seperti kerjasama, kompetisi merupakan perilaku alami yang biasanya
muncul dalam dinamika suatu kelompok kerja (Tjosvold, 1988). Kompetisi
meruapakan suatu proses dimana individu dalam kelompok saling bersaing
dan berlawanan untuk meraih tujuan-tujuan individual. Suatu kompetisi bisa
menjadi bagian dari strategi untuk meningkatkan motivasi kerja, namun hal
ini juga bisa menurunkan performa kerja bila kompetisi tersebut memiliki
dampak negatif terhadap individu yang bersangkutan. Jadi, dampak
kompetisi ini bisa positif ataupun negatif.

6. Conflict in Work Groups and Organizations

Konflik dalam kelompok kerja dan organisasi meruapakan kondisi dimana


perilaku dari individu cenderung menghalangi proses pencapaian tujuan
individu yang lain (Gray & Starke, 1984). Kunci elemen dari definisi konflik
adalah bahwa pihak yang berkonflik memiliki tujuan-tujuan yang tidak
selaras atau tidak cocok (Tjosvold, 1988). Pada umumnya konflik sering
mengarah kepada dampak negatif, seperti terjadinya permusuhan diantara
pihak yang berseteru. Namun, konflik juga dapat menjadi sesuatu hal yang
konstruktif dan mempengaruhi hasik kerja yang positif. Untuk mengetahui
apakah konflik yang terjadi itu baik atau buruk, maka kita harus melihat pada
konsekuensi yang diperoleh pihak yang berkonflik dan untuk kelompok kerja
atau organisasi secara keseluruhan. Jika konsekuensi yang ada positif untuk
mereka, maka dapat dikatakan bahwa konflik itu baik adanya dan begitu pula
sebaliknya.

Levels of Conflict:

1. Intraindividual conflict

Konflik yang muncul ketika satu individu dihadapkan pada


beberapa set tujuan yang tidak sesuai. Hal ini seringkali muncul
ketika individu mengalami konflik peran. Tujuan dari salah satu
peran yang dimilikinya berlawanan dengan tujuan dari peran lain
yang dimainkannya.

2. Interindividual conflict

Konflik ini muncul diantara dua orang dan bisanya lebih banyak
terjadi dalam kelompok kerja dan organisasi. konflik ini muncul
ketika dua orang berjuang untuk meraih tujuannya masing-masing,
dan juga dengan menghalangi pencapaian atau usaha orang lain
tersebut. Misalnya, dua orang yang akan dipromosikan pada
jabatan yang sama masing-masing akan mencoba mengahalangi
untuk mencapai tujuan dalam rangka mendapatkan promosi itu.

3. Intragroup conflict
Konflik yang muncul ketika individu atau golongan dalam kelompok
mencoba berusaha meraih tujuan yang berlawanan dengan
pencapaian tujuan kelompoknya. Misalnya, seseorang yang
melanggar norma atau aturan kelompoknya dapat menimbilkan
terjadinya konflik didalam kelompok tersebut (Intragroup conflict).

4. Intergroup conflict

Konflik yang terjadi ketika dua kelompok mencoba berusaha


mencapai tujuannya masing-masing. Misalnya, ketika departemen
tertentu diminta untuk mengajukan anggaran biaya tahunan
kepada departemen keuangan dimana permintaan anggaran dari
departemen itu melebihi jumlah yang dianggarkan oleh
departemen keuangan. Hal ini dapat menimbulkan konflik diantara
departemen tersebut.

5. Interorganizational conflict

Konflik yang munculdiantara organisasi yang memiliki tujuan-tujuan


yang tidak sesuai satu sama lain. Level ini sebenarnya diluar
keempat level sebelumnya karena cakupan dari level ini lebih luas,
yaitu konflik diantara lorganisasi.

Sources of Conflict

- Organizational structure (ex: perbedaan status, ketidakadilan


dalam pembagian tugas pada masing-masing posisi dengan level
yang sama, dll).

- Kekurangan sumberdaya yang penting (ex: uang, material,


peralatan, dan persediaan).

- Interdependensi individual dan kelompok.

- Adanya musuh didalam organisasi yang menghalangi usaha


pencapaian tujuan oganisasi.

- Masalah interpersonal (ex: keengganan individu untuk bekerja


bersama karena tidak menyukai salah satu anggota yang ada di
kelompoknya).

- Perbedaan kepribadian dan temperamen antar individu (ex: mudah


tersinggung, tidak mau menghargai pendapat orang lain,
kemampuan regulasi emosi negative yang buruk, dll).

- Usia. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa pekerja yang berusia


lebih muda lebih sering terlibat konflik daripada pekerja dengan
umur yang lebih tua.
Conflict outcomes

Positive outcomes:

- Meningkatkan motivasi dan level energi anggota kelompok untuk


menampilkan performa kerja yang lebih baik.

- Dapat menstimulasi kreativitas dan inovasi (James, Chen, &


Goldberg, 1992).

- Meningkatkan kualitas dalam pembuatan keputusan atau decision


making (Cosier & Dalton, 1990).

- Meningkatkan kepuasan dan komitmen kerja.

Negative outcomes:

- Menurunnya kohesivitas kelompok (ex: absenteeism dan turn over).

- Menurunnya efektivitas performa kelompok ketika konflik yang


terjadi menghalangi proses komunikasi dakam kelompok.

Managing conflict

Konflik harus dikelola agar tetap berada pada level optimal. Jika terlalu
banyak terjadi konflik yang berdampak negatif, maka konflik tersebut tentu
harus segera diselesaikan. Disisi lain, jika level konflik terlalu rendah (ex:
jarang terjadi konflik) maka dibutuhkan stimulasi agar terjadi konflik yang
tentunya dengan tujuan dampak yang positif. Thomas (1976, 1992)
memberikan 5 tahap strategi penyelesaian konflik individual sebagai berikut:

1. Dominating (forcing).

Individu tetap bertahan dalam konflik yang terjadi sampai salah satu
pihak akhirnya mencapai tujuan personalnya. Dapat juga disebut sebagai
strategi win-lose, dimana ada satu pihak yang menang dan pihak yang
kalah.

2. Accommodation.

Strategi penyelesaian konflik dimana seseorang melakukan pengorbanan


untuk mengatasi konflik tersebut. disebut juga sebagai strategi lose-win,
dimana satu pihak mengalah demi menjaga relasi yang terjalin diantara
pihak yang berkonflik.
3. Compromise.

Strategi penyelesaian konflik dimana kedua pihak meyerah akan tujuan-


tujuan mereka masing-masing. Disebut juga sebagai strategi lose-lose,
dimana masing-masing pihak melakukan kompromi dan menghasilkan
keputusan bersama berdasarkan hasil kesepakatan atau kompromi
tersebut.

4. Collaboration.

Strategi penyelesaian konflik dimana kedua pihak bekerja sama untuk


mencapai solusi yang dapat memberikan kepuasan dan keuntungan bagi
kedua belah pihak. Disebut juga sebagai strategi win-win.

5. Avoidance.

Penyelesaian konflik dimana individu melarikan diri atau berusaha


menghindar dari situasi konflik.

Salah satu posisi di dalam organisasi yang dirasa paling membutuhkan


kemampuan pengelolaan konflik adalah posisi manajer atau pemimpin.
Seorang manajer harus memiliki kemampuan untuk menengahi konflik yang
terjadi, seperti kemampuannya dalam berkomunikasi (mempersuasi,
menghimpun Ide-ide, membuat keputusan) dan mengelola apakah didalam
organisasinya dibutuhkan adanya konflik atau tidak.

GROUP DECISION-MAKING PROCESSES

Salah satu proses yang penting dalam kelompok kerja adalah mengenai
pengambilan keputusan kelompok, yang meliputi pembuatan tujuan-tujuan
kelompok, memilih alur tindakan yang harus dilakukan, memilih anggota baru, dan
menentukan standar perilaku yang sesuai. Berikut adalah beberapa strategi
pengambilan kepurusan yang biasanya ada didalam organisasi:

1. Autocratic decision making

Proses dimana pengambilan keputusan dilakukan oleh pemimpin seorang diri


berdasarkan informasi-informasi yang dimilikinya. Keuntungan dari strategi
ini adalah tidak dibutuhkan waktu yang banyak untuk pengambilan
keputusan sehingga dapat menghemat dan tidak membuang-buang waktu.
Akan tetapi. Kualitas pengambilan keputusan dengan strategi ini dapat
dikatakan rendah karena hanya berdasarkan informasi dari pemimpinnya
sendiri. Dalam pelaksanaannya dapat juga dilakukan consultative decision
making dimana dengan tambahan informasi yang diperoleh dari pihak lain
selain pemimpin dapat meningkatkan kualitas dari keputusan yang diambil.

2. Democratic decision making


Merupakan strategi dimana keputusan yang diambil didasarkan pada
pendapat mayoritas anggota yang ada dalam kelompok. Salah satu
keuntungan dari strategi ini yaitu keputusan dibuat dengan landasan
pengetahuan dan informasi yang banyak dan berdasarkan pengalaman serta
pendapat seluruh anggota yang ada dalam kelompok organisasi. Karena
dalam strategi ini setiap anggota dibebaskan untuk berpartisipasi dan
mengeluarkan pendapatnya masing-masing, maka alternatif yang dihasilkan
pun akan banyak dan beragam. Dengan strategi ini semua anggota
cenderung akan menerima dan menjalankan keputusan yang diambil karena
dalam proses pengambilannya melibatkan ide dan pendapat dari keseluruhan
anggota. Salah satu kelemahan strategi ini, yaitu diperlukan waktu yang
lama dalam proses pengambilan keputusannya.

Effectiveness of Group Decision Making

Meskipun pengambilan keputusan kelompok memiliki aspek-aspek yang


positif, tetapi hal ini juga memiliki beberapa kelemahan yang akan disajikan
dalam tabel di bawah ini:

Advantages and Disadvantages of Group Decision Making

Advantages Disadvantages

Works from a broad knowledge base Slow (can be a problem in crisis situation)

Decision is accepted by members Creates intragroup conflict

Decision is highly critiqued Potential for groupthink and group


polarization

Aspects of the problem can be divided Certain members, such as leaders, may
among group members dominate the decision-making process

Meskipun pengambilan keputusan kelompok memiliki kelemahan dan


keterbatasannya sendiri, akan tetapi hal ini memberikan banyak keuntungan
jika dibandingkan dengan pengambilan keputusan secara individual,
terutama dengan pengambilan keputuan secara kelompok dapat
meningkatkan kualitas dari keputusan yang diambil dan meningkatkan
komitmen untuk melaksanakan keputusan tersebut.

Group Decision Making Gone Awry

Dalam prosesnya seringkali terjadi penyimpangan dalam proses pengambilan


keputusan secara kelompok. Para psikolog telah menemukan dua situasi
dimana biasanya keuntungan dari group decision making mungkin tidak
tercapai. Kedua situasi ini, yaitu groupthink dan group polarization.

1. Groupthink

Merupakan sindrom yang muncul dalam pembuatan keputusan kelompok


dalam kohesivitas yang tinggi, dimana norma yang ada didasarkan pada
konsensus awal atau keputusan bersama sebelumnya, dengan demikian
menurunkan efektivitas kemampuan kelompok untuk membuat keputusan
yang kritis dan berkualitas tinggi. Irving Janis (1972) memberikan delapan
symptom atau tanda dari groupthink, sebagai berikut:

The Eight Symptomps of Groupthink

1. Illusion of Pembuatan keputusan secara kelompok dalam


invulnerability kohesivitas yang tinggi dimana anggota melihat
dan menganggap diri/kelompoknya sangat kuat
dan tidak terkalahkan. Ketertarikan dan kesetiaan
mereka pada kelompok mengarahkan mereka
untuk mengabaikan hasil keputusan yang
sebenarnya membahayakan atau tidak bagus.

2. Illusion of morality Anggota percaya akan kebenaran dari moral yang


ada dalam kelompoknya dan keputusan yang
dibuat. Hal ini berkaitan dengan symptom yang
pertama. Dari perasaan “kami-mereka”, anggota
menganggap kelompoknya “baik” sedangkan
lawannya adalah “buruk”.

3. Shared negative Setiap anggota memiliki kepercayaan bersama


stereotypes yang meminimalisasi resiko untuk terlibat dalam
pembuatan keputusan atau cenderung
meremehkan pandangan atau pendapat yang
berlawanan.

4. Collective Anggota menjelaskan atau menyebarluaskan


rationalization berbagai macam informasi negatif yang dapat
mempengaruhi proses pembuatan keputusan.

5. Self-censorship Anggota merepresi keraguan-keraguannya atau


kritikannya tentang keputusan yang dibuat.

6. Illusion of unanimity Anggota dengan keliru percaya bahwa keputusan


itu merupakan sebuah konsensus. Karena
pandangan yang tidak sependapat tidak
mendapatkan tempat dalm proses pembuatan
keputusan, maka diam diasumsikan bahwa
mereka mendukung keputusan yang diambil.

7. Direct conformity Ketika pandangan yang berlawanan atau keraguan


pressure diperlihatkan, maka tekanan digunakan untuk
menyangkal dan memaksa anggota setuju dengan
keputusan yang dibuat.

8. Mindguards Beberapa anggota memainkan peran untuk


melindungi atau mengisolasi kelompok dari
berbagai macam informasi dan pendapat yang
berlawanan dan negatif.

2. Group polarization

Group polarization merupakan kecenderungan kelompok untuk membuat


keputusan yang lebih ekstrim daripada mereka yang membuat keputusan
secara individual (Myers & Lamm, 1976). Terdapat dua pandangan yang
menjelaskan polarisasi kelompok ini. Penjelasan pertama adalah bahwa di
dalam kelompok, individu diberikan arguneb-argumen persuasive oleh
anggota lain yang mendukung sikap positif dan negatif individu terhadap
isu yang terjadi. Setelah mendengar anggota yang lain dalam
kelompoknya berargumentasi tentang keputusan yang kebetulan sama
dengan pendapat salah seorang anggota, maka anggota tersebut menjadi
lebih yakin bahwa pendapatnya itu benar, dan disitulah kecenderungan
kelompok secara keseluruhan menjadi lebih ekstrim dalam pembuatan
keputusannya. Penjelasan yang kedua adalah bahwa individu mengadopsi
nilai-nilai yang ada dalam kelompoknya. Jika kelompoknya memberikan
opini yang positif terhadap isu tertentu, maka individu cenderung
menyetujui dan mengikuti kelompoknya. Individu mungkin mendukung
pandangan-pandangan kelompoknya untuk memperlihatkan bahwa
dirinya menaati dan mendukung nilai-nilai yang ada pada kelompoknya.

TEAMS AND TEAMWORK

Tim terdiri dari pekerja yang saling bergantung dengan kemampuan dan
keterampilan kerja yang saling melengkapi dan mengarah pada tujuan bersama.
Pembentukan suatu tim cocok ketika tugas yang diberikan kompleks, sehingga
membutuhkan individu dengan berbagai macam keahlian dan kompetensi untuk
bekerja bersama. Tim juga cocok untuk tugas pembuatan keputusan yang
kompleks, atau untuk tugas yang membutuhkan inovasi dan kreativitas. Tim juga
cocok ketika situasinya bervariasi dan membutuhkan anggota yang dapat
beradaptasi terhadap perubahan kondisi-kondisi eksternal (Dunphy & Bryant, 1996).
Tim yang efektif harus didukung oleh berbagai macam hal, seperti kepemimpinan
yang efektif, kepercayaan diantara anggotanya, masukan dan arahan dari
organisasi, pelatihan, dan lain-lain. Istilah yang sering muncul dalam organisasi
adalah self-managing work teams, yaitu suatu tim yang memiliki tanggung
jawab penuh akan keseluruhan tugas-tugas yang harus dilakukannya.
Sumber:

Riggio, R.E. (2009). Introduction to Industrial/Organizational Psychology (5th


edition). United States of America, New Jersey: Pearson Education.

You might also like