You are on page 1of 13

Pengertian Kloning Gen, Manusia Dan Menurut Agama Islam

October 24, 2009 · Posted in Kesehatan

• lowongan kerja
• fotos
• social networking site
• response

Info Terbaru Pengertian Kloning Gen, Manusia Dan Dalam Pandangan Agama

Kloning; pengertian sederhanya adalah cangkok; yaitu penggabungan


unsur-unsur hayati dua atau lebih untuk memperoleh manfaat tertentu. Di
bidang biologi molekuler, pengertian kloning ini sering dikonotasikan
dengan teknologi penggabungan fragment (potongan) DNA, sehingga
pengertiannya identik dengan teknologi rekombinan DNA atau rekayasa
genetik. Namun pengertian di luar itu juga masih tetap digunakan,
misalnya kloning domba dsb, yang merupakan “penggabungan” unsur inti sel dengan sel telur tanpa inti. Dengan demikian teknologi
kloning ini juga termasuk dalam wacana bioteknologi; malah bisa dikatakan sebagai hal yang mendasar untuk bioteknologi.

Teknologi kloning memang memungkinkan untuk dikembangakan ke arah


rekayasa pembuatan jaringan atau organ tertentu. Namun mesti memperhatikan masalah etik (mungkin ada yang punya pandangan
tertentu mengenai etika ini?
Ditinjau dari segi ajaran agama, misalnya?). Mengenai rekayasa darah
untuk keperluan transfusi, meskipun sel darahnya sendiri bisa diusahakan
melalui teknologi kloning (melalui stimulasi hematopoietic progenitors, atau
dari stem cells-nya), namun mesti juga harus memperhatikan komponen-komponen lainnya selain komponen sel-sel darah.

Pengertian kloning:Kloning adalah teknik membuat keturunan derngan kode genetik yang sama dengan induknya, pada manusia
kloning dilakukan dengan mempersiapkan sel telur yang sudah di ambil intinya lalu disatukan dengan sel somatic dari suatu organ
tubu, kemudian hasilnya ditanamkan dalam rahim seperti halnya pada bayi tabung.
Macam-macam teknik pengkloningan: kloning dapat dilakukan terhadap semua makhluk hidup tumbuhan,hewandan manusia.Pada
tumbuhan kloning dapat dilakukan dengan tekhink okulasi,sedangkan pada hewan dan manusia,ada beberapa tekhnik-tekhnik yan
dapat dilakukan, kloning ini dapat berupa kloning embrio dan kloning hewan atau manusia itu sendiri.
kloning terhadap hewan atau tumbuhan jika memiliki daya guna bagi kehidupan manusi maka hukumnya mubah/boleh dalilnya : Q.S.
Al-Baqoroh:29,Q.S. Al-Jatsiyah
berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan beberapa ulama’ dapat di ketahui mafsadat dari kloning lebih banyak daripada
maslahatnya. oleh karna itu,praktek kloning manusia bertentangan dengan hukum islam dengan demikian kloning manusia dalam
islam hukumnya haram.Dalil-dalil keharaman.:Q.S. An-Najm:45-46, Q.S. Al-Qiyamah:37-38,Q.S.Al-Hujurat:13,Q.S.Al-
Ahzab:5,Q.S.Al-Israa’:70,Q.S.At-tiin:4

Hukum Kloning, Tranplantasi Organ, Abortus, dan Bayi Tabung Menurut Islam
2 November 2009 — Abied

Kloning

Kloning adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya pada mahkluk hidup tertentu baik berupa
hewan, tumbuhan, dan manusia, hal ini dapat dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh induknya (sel somatik) dan selanjutnya
ditanamkan pada sel induk (ovum) wanita yang telah dihilangkan inti selnya dengan suatu metode yang mirip dengan proses
pembuahan atau inseminasi buatan. Dengan metode senacam itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara mengambil inti sel dari
seorang perempuan, lalu dengan cairan kimiawi khusus dan kejutan listrik inti sel digabungkan dengan sel telur, setelah
penggabungan ini terjadi maka akan ditransfer ke dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak diri,
berkembang,berdiferensiasi dan berubah menjadi janin yang sempurna. Setelah itu keturunan yang dihasilkan dapat dilahirkan secara
alamiah yang berkode genetik sama dengan induknya.

Kloning embrio terjadi pada sel embrio yang berasal dari rahim istri yang terbentuk dari pertemuan antara sperma suaminya dengan
sel telur istrinya yang telah dihilangkan intinya. Selanjutnya sel-sel embrio itu dapat ditanamkan pada rahim perempuan asing. Bentuk
kloning ini hukumnya haram sebab dalam hal ini terjadi pencampuradukan dan penghilangan nasab (garis katurunan). Tetapi apabila
sel-sel embrio itu ditanamkan pada rahim perempuan pemiliknya maka kloning seperti ini hukumnya mubah.

Kloning manusia dapat berlangsung dengan adanya laki- laki dan perempuan dan prosesnya dengan mengambil sel dari tubuh laki-
laki lalu inti selnya diambil dan kemudian digabungkan dengan sel telur perempuan yang telah dibuang intinya agar dapat
memperbanyak diri, berkembang, berduferensiasi kemudian berkembang menjadi janin dan akhirnya dilahirkan. Klonin yang
dilakukan pada laki-laki maupun perempuan baik yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas keturunan dengan menghasilkan
keturunan yang lebih cerdas, lebih sehat, lebih kuat, dan rupawan maupun untuk meningkatkan jumlah pemduduk maka sungguh akan
menjadi bencana dan biang kerusakan bagi dunia. Kloning ini hukumnya haram menurut hukum Islam dan tidak boleh dilakukan.
Kloning manusia akan menghilangkan garis keturunan, padahal Islam mewajibkan memelihara nasab, diriwayatkan dari Ibnu Abbas
RA, yang mengatakan bahwa Rasulullah telah bersabda :

َ ‫جـَمِعـي‬
‫ن‬ ْ ‫ َفـَعـَلْيِه َلْعـَنُة ال َواْلَمــلئكَــِة َوالنّــاسِ أ‬، ‫غْيَر ُمـَواِلــْيِه‬
َ ‫ َاْو تَـَوّلى‬، ‫غــْيـِر َاِبــْيِه‬
َ ‫ب ِاَلى‬
َ ‫س‬
َ ‫ن انْـَت‬
ِ ‫َم‬

“ Siapa saja yang menghubungkan nkepada orang yang bukan ayahnya, atau seorang budak bertuan kepada selain tuannya, maka akan
mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia. “ ( HR. Ibnu Majah )

Tranplantasi Organ

Yang dimaksud dengan transplantasi organ adalah pemindahan organ tubuh dari satu manusia ke manusia lainnya, seperti jantung,
ginjal, pemindahan tangan dari seseorang pada saat dia hidup atau setelah mati.

Hukum transplantasi organ adalah sebagai berikut :

Transplantasi organ dari donor yang masih hidup

Syara’ membolehkan seseorang pada saat hidupnya dengan suka rela tanpaadanya paksaan siapapun untuk menyumbangkan sebuah
organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, sepert tangan atau ginjal. Ketentuan
ini dikarenakan adanya hak bagi seseorang yang tangannya terpotong, atau tercongkel matanya akibat perbuatan orang lain untuk
mengambil diyat (tebusan), atau memaafkan orang lain yang telah memotong tangannya atau mencongkel matanya. Dalam hal ini
Allah SWT telah membolehkan memberi maaf dalam masalah qishash dan berbagai diyat. Allah berfirman :

‫حَمٌة‬
ْ ‫ن َربـّـُكْم َوَر‬
ْ ‫ف ِم‬
ٌ ‫خـِفي‬
ْ ‫ك تَـ‬
َ ‫ن ذِل‬
ٍ ‫سـا‬
َ ‫حــ‬
ْ ‫ف َوَاَداٌء ِالَـْيــِه بــِإ‬
ِ ‫ع ِبالَمـْعُرْو‬
ٌ ‫ئ َفـاتّـَبـا‬
ٌ ‫شي‬
َْ ‫خـْيِه‬
ِ ‫ن َا‬
ْ ‫ي َلُه ِم‬
َ ‫عـِف‬
ُ ‫ن‬
ْ ‫َفَم‬

“Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat. “ (QS. Al
Baqarah : 178)

Syarat bagi kemubahan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah bahwa organ yang disumbangkan bukan merupakan organ
vital yang menentukan kelangsungan hidup pihak penyumbang, seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal ini dikarrenakan
penyumbang organ tersebut akan mengakibatkan kematian pihak penyumbang, yang berarti telah membunuh dirinya sendiri. Padahal
seseorang tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan suka rela kepada orang lain untuk membunuh dirinya.
Allah SWT berfirman :

‫ســُكْم‬
َ ‫ل تَــقْــتُلُوا َانــْـُف‬
َ ‫َو‬

“ Dan janganlah kalian membunuh diri kalian “. (QS. An Nisa : 29)

ّ ‫حـــ‬
‫ق‬ َ ‫ل بِــاْل‬
ّ ‫س الّـِتى حَــّرَم ال ِا‬
َ ‫ل تَــقْــتُلُوا النّـْف‬
َ ‫َو‬

“ … dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)melainkan dengan suatu sebab yang benar .” (QS.
Al An aam : 151)

Demikian pula laki-laki tidak dibolehkan menyumbangkan kedua testis (zakar) meskipun hal ini tidak menyebabkan kematian sebab
Rasulullah telah melarang pengebirian/ pemotongan testis ( al khisha’ ) yang akan menyebabkan kemandulan. Imam Bukhari
meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Ra, dia berkata:

‫ن َذِلك‬
ْ‫ع‬َ ‫صي ؟ فَــَنـهَـانـَـا‬
ِ ‫خ‬
ْ ‫سـَت‬
ْ ‫ل َن‬
َ ‫ل ال َأ‬
َ ‫سـو‬
ُ ‫ يَـاَر‬: ‫ َفـقـُـْلـنَـا‬، ‫س لَــنَـا ِنسَــاٌء‬
َ ‫ي لَـْيــ‬
ّ ‫ُكـنـا َنـْغــُزْوا َمَع النّـِـب‬.

“ Kami dulu pernah berperang bersama Rasulullah sementara pada kami tidak ada isteri–isteri. Kami berkat :”Wahai Rasulullah
bolehkah kami melakukan pengebirian ?” Maka beliau melarang kami untuk melakukannya,”

Hukum transplantasi dari orang yang telah meninggal

Seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya atau mewasiatkan untuk menyumbangkannya. Karena
seorang dokter tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang telah meninggal dunia untuk ditransplantasikan
kepada orang yang membutuhkan. Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah SWT telah
menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan
pelanggaran terhadap pelanggaran kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran kehormatan orang hidup.Diriwayatkan dari A’isyah
Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫حــّيـا‬
َ ‫سِرِه‬
ْ ‫ت َكَكــ‬
ِ ‫ظــُم الْمَـّيــ‬
ْ ‫ع‬
َ ‫ســَر‬
َ ‫َكـ‬

“Memecahkan tulang mayat itu sama saja dengan memecahkan tulang orang hidup” (HR. Ahmad, Abu dawud, dan Ibnu Hibban)

Tindakan mencongkel mata mayat atau membedah perutnya untuk diambil jantungnya atau ginjalnya atau hatinya untuk
ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang
perbuatan ini. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al-Anshasi RA, dia berkata :

‫ن الـّنْهـِبي َوالُمـَثـّلــِة‬
ِ‫ع‬َ ‫ل ال‬
ُ ‫ســْو‬
ُ ‫نَـَهى َر‬

“ Rasulullah SAW telah melarang ( mengambil ) harta hasil rampasan dan mencincang (mayat musuh ).”(H.R. Bukhari)

Abortus

Abortus/ Aborsi (al-ijhad) merupakan salah satu problema masyarakat Dunia Barat yang muncul akibat kebejatan moral
masyarakatnya, banyaknya kelahiran ilegal karena perbuatan zina yang tak terhitung lagi serta membudayanya pergaulan bebas dilluar
nikah.Banyaknya kelahiran ilegal membuat hampir setengah anak-anak di Barat menjadi anak zina telah mendorong banyak negara
barat untuk menetapkan undang-undang yang membolehkan seorang wanita yang ingin ingin menghentikan kehamilannya terutama
jika terjai karena zina atau pergaulan bebas di luar nikah untuk menggugurkan kandungannya. Ini karena di Dunia Barat pihak ibulah
yang memikul tanggung jawab pendidikan anak-anak yang dilahirkan karena zina dan pergaulan bebas di luar nikah. Demikianlah
realitas kontemporer masyarakat Dunia Barat. Adapun realitas di Dunia Muslim, maka abortus dapat dikatakan masih sedikit terjadi,
dikarenakan sedikitnya zina dan pergaulan bebas di luar nikah. Jika terjadi abortus, maka itu pada umumnya dilakukan sebagai terapi
untuk menyelamatkan jiwa sang ibu.

Al-ijhad (abortus) dalam bahasa Arab artinya pengguguran janin dari rahim. Abortus dapat terjadi dengan sengaja (abortus
provocatus) akibat upaya tertentu dari pihak perempuan dengan meminum obat-obatan tertentu, atau dengan memikul suatu beban
yang berat atau dengan membuat gerakan-gerakan tertentu yang kasar. Termasuk pula di sini abortus akibat permintaan seorang
perempuan kepada seorang dokter untuk Menggugurkan kandungannya. Selain disengaja, ada juga abortus yang terjadi tanpa
disengaja (spontaneus abortus).

Pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari maka hukumnya jaiz dan tidak apa-apa ini disebabkan bahwa apa
yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena masih berada dalam tahapan nutfah (gumpalan darah).

Kapan dibolehkan melakukan abortus ?

Abortus dapat dilakukan baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya. Jika dokter terpercaya menetapkan
bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan membahayakan keselamatan ibu dan bahkan menyebabkan kematian sang ibu dan
janinnya sekaligus maka dalam kondisi ini dibolehkan untuk melakukan abortus dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa
ibu.

Imlash

Imlash adalah pengguguran kandungan dengan melakukan penganiayaan terhadap perempuan, tindakan ini merupakan suatu dosa dan
merupakan tindakan kriminal. Dalam hal ini pelakunya wajib membayar diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan dan
nilainya sebesar sepersepuluh diyat manusia sempurna. Dalam Shahihain terdapat keterangan bahwa Umar bin Khatab RA pernah
meminta pendapat kepada para sahabat mengenai kasus seorang wanita yang gugur kandungannya karena dipukul. Kemudian
Mughirah RA pernah memutuskan masalah seperti ini dengan mewajibkan diyat satu ghurrah, yaitu sorang budak laki-laki atau
perempuan, “Muhammad bin Maslamah memeberikan kesaksian terhadap pemberitaan Mughirah tersebut” (Muttafaq ‘alaih).

Bayi Tabung

Proses pembuahan dengan metode bayi tabung antara sel sperma sel suami dengan sel telur isteri, sesungguhnya merupakan suatu
upaya medis untuk memungkinkan sampainya sel sperma suami ke sel telur isteri. Sel sperma tersebut akn membuahi sel telur bukan
pada tempatnya yang alami, sel telur yang telah dibuahi ini kemudian akan diletakkan pada rahim isteri dengan metode tertentu
sehinnga kehamilan akan terjadi secara alamiah di dalamnya.
Pada dasarnya pembuahan yang alami terjadi dalam rahim melalui cara yang alami pula (hubungan seksual), sesuai dengan fitrah yang
telah di tetapkan oleh Allah untuk manusia. Akan tetapi pembuahan yang alami ini terkadang sulit terwujud, misalnya karena rusaknya
atau tertutupnya saluran indung telur (tuba fallopii) yang membawa sel telur ke rahim, serta tidak dapat diatasi dengan cara membuka
atau mengobatinya. Atau karena sel sperma suami lemah atau tidak mampu menjangkau rahim isteri untuk bertemu dengan sel telur,
serta tidak dapat diatasi dengan cara memperkuat sel sperma tersebut, aatu mengupayakan sampainya sel sperma ke rahim isteri agar
bertemu dengan sel telur di sana. Semua ini akan meniadakan kelahiran dan menghambat suami isteri memperbanyak anak. Padahal
Islam telah menganjurkan dan mendorong hal tersebut dan kaum muslim pun telah disunnahkan melakukannya.Kesulitan tersebut
dapat di atasi dengan suatu upaya medis agar pembuahan antara sel sperma dengan sel telur dapat terjadi di luar tempatnya yang
alami. Setelah sel sperma suami dapat sampai dan membuahi sel telur isteri dalam suatu wadah yang mampunyai kondisi alami rahim,
rahim isteri. Dengan demikian kehamilan alami diharapkan dapat terjadi dan selanjutnya akan dapat dilahirkan bayi secara normal.
Proses seperti ini merupakan uapaya medis untuk mengatasi kesulitan yang ada, dan hukumnya boleh (ja’iz) menurut syara’, sebab
upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berbanyak anak, yang
merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW telah bersabda :

‫ فَــِانـّـي مـُـَكاثـٌر ِبكـُـُم النــِبـيَــاَء يـَـوَم الِقـــيَــاَمــِة‬، ‫جـْوا اْلـــَوُدْوَد الَوُلــْوَد‬


ُ ‫تَـَزّو‬

“ Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur, sebab sesunguhnya aku aku akan berbangga dihadapan nabi
dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad)

Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami hendaknya tidak ditempuh, kecuali setelah tidak
mungkin lagi mengusahakan terjadinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur isterinnya.
Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran tersebut, diisyaratkan sel sperma harus milik suami dan
sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim
isteri. Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim perempuan yang bukan isteri atau apa yang
biasa disebut sebagai ibu pengganti (surrogate mother). Begitu juga haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut
terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya akan diletakkan dalam
rahim isteri, demikian juga haram hukumnya apabila pembuahan yang terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri
meskipun nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Dari ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan dalam hukum Islam, sebab akan
menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan dalam ajaran Islam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah
RA bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ketika turun ayat li’an :

ُ‫حه‬
َ ‫ضـ ـ‬
َ ‫ب ال ـ ِمْن ـُه َوَف‬
َ ‫ج‬َ ‫حــ ـَت‬
ْ ‫ظـُـــر ِاَلْيــ ـِه ِا‬
ُ ‫حجَــَد َولَــَدُه َوُهـَو َيـْنـ‬
َ ‫ل‬
ٍ ‫جــ‬
ُ ‫ وأيّـَمـاَر‬،‫خـَلَهـا ال الجَــّنَة‬
ُ ‫ن َيْد‬
ْ ‫ َوَل‬،‫ئ‬
ٍ ‫شـْي‬
َ ‫ن ال ِفي‬
َ ‫ت ِم‬
ْ ‫س‬
َ ‫س ِمنْـُهْم فَـَلْيـ‬
َ ‫ســًبا َليْــ‬
َ ‫ى َقـْوٍم َن‬
َ ‫عل‬
َ ‫ت‬
ْ ‫خـَل‬
َ ‫أيّـمَـااْمـَرأٍة َأْد‬
‫خــِرين‬ِ ‫ن َوال‬ َ ‫س الّولِــْي‬
ِ ‫ى ُرُؤْو‬ َ ‫عل‬ َ.

“Siapa saja perempuan yang telah memasukkan kepada suatu kaum nasab yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan
mendapat apapun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari
anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu
di ahadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti) (HR. Ibnu Majah)

Tinjauan Umum tentang Poligami


30 Oktober 2009 — Abied

A. Pengertian Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani dari kata poly atau polus yang berarti banyak, dan gamein atau gamos yang berarti kawin
atau perkawinan. Jadi secara bahasa poligami berarti ”suatu perkawinan yang banyak” atau “suatu perkawinan lebih dari seorang”.[1]
Dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat kita sekarang ini,poligami diartikan seorang laki-laki kawin dengan banyak
wanita.

Poligami biasa dibagi atas tiga yakni poliandri, poligini dan group marriage (group family).[2] Poliandri berasal dari bahasa Yunani
Polus=banyak, aner=negative, dan andros=laki-laki.[3] Jadi, poliandri adalah perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari satu
orang laki-laki, sedangkan poligini berasal dari kata polus=banyak dan gune=perempuan. Jadi poligini adalah seorang laki-laki yang
mengambil lebih dari seorang perempuan.[4] Polandri tidak lazim dibicarakan oleh para pakar perkawinan yang lebih banyak
diperbincangkan adalah poligini. Sedangkan group marriage atau group family merupakan gabungan dari poligini dengan poliandri,
misalnya dalam satu rumah ada lima laki-laki dan lima wanita, kemudian bercampur secara bergantian .[5]

Pembagian poligami tersebut diatas adalah ditinjau dari segi antropologi sosial yang ada dalam perkembangannya istilah jarang sekali
digunakan bahkan bisa dikatakan istilah tersebut tidak dipakai lagi dikalangan masyarakat, kecuali dikalangan antropologi saja,
sehingga istilah poligami secara langsung menggantikan istilah poligini dengan pengertian perkawinan antara seorang laki-laki dengan
beberapa perempuan disebut dengan poligami dan kata ini digunakan sebagai lawan dari kata polyandry.[6]

Pada masa ini sudah jarang terjadi pelaksanaan polyandri secara terang-terangan sepengetahuan suami, maka untuk sekarang ini
poligami bisa sebagai lawan kata polyandri dan juga sebagai lawan kata monogami, dalam hal poligami seorang laki-laki memiliki
beberapa istri, mungkin dua, tiga atau empat orang istri, bahkan ada pula yang memiliki dari itu sampai puluhan orang, menurut
Syari’at islam seorang laki-laki merdeka dapat melakukan poligami terbatas maksimal empat orang istri tidak boleh dari itu.[7]
Bahkan saat sekarang ini beberapa Negara, misalnya Turki dan Amerika Serikat juga beberapa Negara Eropa dan Asia, dengan
berbagai pertimbangan melarang poligami atau beristri lebih dari satu istri.

B. Penyebab dan Alasan Poligami.

Seperti kita ketahui bahwa Islam bukanlah agama yang mula-mula mengajarkan poligami. Sewaktu Islam datang, poligami sudah
umum dilakukan orang, bahkan poligami kala itu merupakan poligami dalam bentuknya yang mutlak tanpa batas. Kemudian islam
mencari sintesa atau jalan tengah,yaitu suatu pandangan yang tidak berlebih-lebihan dan tidak pula melampaui batas. Islam tidak
membiarkan poligami dalam bentuk yang mutlak, juga tidak membuangnya sama sekali akan tetapi membatasinya baik secara
kuantitatif maupun secara kualitatif sehingga poligami dengan segala ketentuannya dapat menjadi rahmat kepada setiap manusia.

Akan tetapi islam tetap memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudharat dari pada manfaatnya karena manusia
menurut fitrahnya (Humas Nature) mempunyai watak cemburu, irihati dan suka mengeluh. Watak tersebut akan mudah timbul dengan
kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligami. Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam
kehidupan keluarga baik antara suami dengan istri-istrinya , anak-anak dari istrinya maupun antara istri dengan anaknya masing-
masing.[8]

Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut islam adalah monogami, sebab dengan monogamy akan mudah menetralisasi sifat
cemburu, irihati dan suka mengeluh, dalam kehidupan poligami orang akan mudah terangsang timbulnya perasaan cemburu dan suka
mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan juga dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.
Olehnya itu poligami hanya dibolehkan dalam keadaan darurat.

Sungguh pun demikian Islam membatasi dan tidak melarang poligami disebabkan karena larangan poligami akan menimbulkan
dampak yang cukup batal terhadap kaum wanita. Kehidupan rumah tangga dan masyarakat yang sulit diatasi , satu-satunya cara yang
dapat dilakukan a dalah memperkecil dampak negatif, dengan memberikan berbagai ketentuan.

Dan etika dalam islam yang berkaitan dengan poligami .dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam Qs.Al-Baqarah (2) :185

…‫سَر‬
ْ ‫سَر َول ُيِريُد ِبُكُم اْلُع‬
ْ ‫ل ِبُكُم اْلُي‬
ُّ ‫…ُيِريُد ا‬

Terjemahnya

…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…[9]

Dari ayat di atas diketahui bahwa allah tidak akan melarang sesuatu yang diperlukan dalam keadaan terpaksa atau sesuatu yang
menarik kemaslahatan khusus. Allah tidak akan melarang sesuartu yang merupakn kebutuhan alamiah manusia dan sesuatu
memberikan kesempurnaan akhlak.

Memang tidak diragukan bahwa tidak ada seorang wanitapun rela mengerahkan suaminya untuk dimiliki oleh wanita lain dan
berpendapat bahwa perkawinan dengan banyak istri merupakan penyebab timbulnya kecemburuan. Namun terkadang memang ada
beberapa kondisi/sebab yang dialami seseorang yang terkait dengan kemaslahatan rumah tangganya, sehingga poligami bagi dirinya
tidak bisa diefekkan lagi.

Adapun sebab-sebab poligami adalah sebagai berikut:

a. Beberapa sebab yang ada pada kaum wanita itu sendiri, misalnya sakit keras yang menyebabkan dirinya tidak mampu memenuhi
kewajibannya atau ia mengidap penyakit kronis, atau mandul sehingga menghilangkan sifat keibuannya atau lemah nafsu seks,
panjang masa haid dan nifasnya, atau ia nusyuz terhadap suaminya atau hal lain yang serupa yang membuat seorang suami tidak dapat
bercumbu rayu lebih banyak atau hal lain yang mengurangi keintiman keluarga. Namun, suami rela menerima segalanya dan merasa
keberatan bila menceraikannya, hal demikian dimaksudkan untuk menjaga istrinya dari kehinaan dan ketersia-siaan.

b. Sebab-sebab yang ada pada laki-laki itu sendiri, misalnya seorang yang mempunyai kemauan seksual yang sangat tinggi sehingga
tidak cukup hanya seorang saja, atau ia seorang yang mempunyai keinginan yang sangat besar untuk memperbanyak keturunan dan ia
sanggup dan mampu memenuhi kebutuhan dan pendidikan mereka.

Berkaitan dengan faktor seksual dan diperkenankannya poligami imam Ghazali berpendapat:

“Dari sifat laki-laki ada yang terlalu kuat syahwatnya, tidak cukup baginya seorang isteri. Dikala itu baik sekali bagi laki-laki tadi
beristeri lebih dari satu, bahkan sampai empat. Tetapi itu kalau kiranya Allah mencukupkan rasa cinta dan kasih sayang dalam hatinya
serta tentram jiwa terhadap mereka.”[10]
c. Sebab-sebab yang bersifat sosial,seperti keadaan yang menyebabkan bertambahnya kaum wanita dibanding kaum pria, serta
pertambahan yang tidak berimbang antara keduanya, misalnya adanya pertempuran/perang yang membinasakan banyak pria dan
terdapat suatu interfensi terhadap suatu daerah yang penghuninya lebih banyak lelaki dibanding kaum wanitanya. Ditambah lagi
menghadang kesulitan perjuangan hidup yang meminta korban nyawa, teruatam di lapisan yang melakukan pekerjaan diantara besi
dan api, didasar lautan, ditengah-tengah ombak dan gelombang serta pekerjaan lain yang banyak menimbulkan resiko korban jiwa
bagi laki-laki.

Berdasarkan hal tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa poligami pada dasarnya merupakan kodrati yang dimiliki oleh lelaki yang
keberadaannya sudah ada sejak peradaban manusia sendiri.[11]

d. Adanya peristiwa yang bersifat umum berkaitan dengan masalah Ukhuwah Islamiyah yang mempunyai nilai universal.misalnya
ada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya dengan meninggalnya banyak anak, kemudian dengan pertimbangan sosial dan
melihat kondisi dalam mendidik anak yang perlu tegur seoarng anyah atau kondisi keuangan yang tidak cukup hanya dengan cara
dibantu secara cuma-cuma.[12]

e. Adanya sebab seperti keadaan yang membuat seorang hidup merantau karena pekerjaannya. Dan seringkali dai harus tinggal
beberapa lama didaerah lain., sedangkan ia tidak mampu untuk membawa anak isterinya ketika bertugas atau pergi dan ia khawatir
sesuatu yang dilarang agama.

Dengan melihat keadaan dan kondisi-kondisi tersebut, maka tidak ada jalan bagi suami untuk tidak melakukan poligami agar terhindar
dari hal-hal yang bisa menjerumuskan atau menyalahi segala ketentuan-ketentuan agama, adat dan peraturan perundang-undangan.
Meskipun perkawinan pada dasarnya adalah monogamy tapi dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut
hukum-hukum dan agamanya mengizinjkan seorang suami beristeri lebih dari seorang.

Poligami saat ini masih menjadi pembicaraan hangat disemua kalangan masyarakat dan sempat pul menghebohkan saat yang menjadi
subyek dalam kasus poligami tersebut adalah seorang dai kondang “K.H Abd. Gymnstiar”. Apalagi dengan gencarnya gerakan
feminisme yang mengopinikan bahwa masalah tersebut sebagai bentuk deskriminasi terhadap kaum perempuan. Padahal Islam telah
mengatur masalah poligami ini dengan rinci dan tegas, sebagaimana yang termaktub dalam firman allah QS. An-Nisa (4):3

‫حَدًة‬
ِ ‫خْفُتْم َأل َتْعِدُلوا َفَوا‬
ِ ‫ن‬
ْ ‫ع َفِإ‬
َ ‫ث َوُرَبا‬
َ ‫ساِء َمْثَنى َوُثل‬
َ ‫ن الّن‬
َ ‫ب َلُكْم ِم‬
َ ‫طا‬
َ ‫حوا َما‬
ُ ‫طوا ِفي اْلَيَتاَمى َفاْنِك‬
ُ‫س‬ِ ‫خْفُتْم َأل ُتْق‬
ِ ‫ن‬
ْ ‫…َوِإ‬

Terjemahnya

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya, maka maka
kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka kawinilah seorang saja…[13]

Kaum femenis radikal memandang bahwa kebolehan poligami merupakan deklarasi pemindasan laki-laki atas perempuan yang tiada
akhir. Mereka memudah agama islam yang membolehkan poligami telah bertindak bias gender. Pandangan seperti ini seakan-akan
memperoleh legitimasi dengan adanya praktek-praktek poligami ditengah masyarakt kita yang tidak sesuai dengan tuntunan islam.
Ditambah lagi dengan citra negative ibu tiri, isteri muda, baik melalui film-film maupun cerita –cerita rakyat.

Berbeda dengan pendapat sebelumnya, ada pula yang berpendapat bahwa dilarangnya poligami justru menjadi pemilu dan cenderung
melegitimisikan prostitusi seorang jamah berkomentar: “ Dari pada zina, lebih baik menikah lagi, dong!“.[14] Dan menurut cermat
penulis sendiri, kenapa harus zina, kenapa harus menikah lagi? Kedua persoalan tersebut tidak tepat jika poligami dan zina yang
menjadi solisinya. Yang perlu digali bagaimana ilmu mengatasi persoalan keluarga dan persoalan seks tersebut.

Seorang wanita dengan sifat-sifat kewanitaannya banyak dipengaruhi oleh perassan daripda pertimbangan rasio sehingga bela
ditanyakan mengapa seorang wanita begitu tertarik pada seorang laki-laki sulit sekali dicari sebab-sebab dan motivasinya, kecuali
faktor-faktor kejiwaan yang tumbuh dari sifat-sifat kewanitaan itu, antara lain: karena kekayaan laki-laki itu, pertimbangan keturunan
atau status sosial, pertimbangan kegagalan dan perkembangan agama.

Poligami telah dilakukan orang sebagai suatu turun temurun, maka islam pun mengatur langkah-langkah dalam pelaksanaannya,
sehingga dengan demikian akan dapat dibedakan nafsu jahiliyah yang tidak terikat dengan faedah dan manfaat yang bisa diambil
darinya. Begitu pula di Indonesia langkah-langkah untuk melakukan poligami telah diatur dalam KHI dan beberapa peraturan
perundang-undangan, agar seorang sulami tidak seenaknya melakukan poligami.Al-Qu’an membolehkannya,tapi kebolehan poligami
sebenarnya merupakan rukshah atau keringanan untuk keadaan-keadaan tertentu saja, sebagaiamana yang dipaparkan oleh Yusut
Qardhawi bahwa salah satu contoh keadaan dimana poligami diperbolehkan,yaitu:

“ Ada manusia yang kuat keinginannya untuk mempunyai keturunan, akan tetapi ia dikaruniai rezeki isteri yang tidak beranak
(mandul) karena sakit atau sebab lainnya. Apakah tidak lebih mulia bagi seorang isteri dan lebih utama bagi suami untuk menikah lagi
dengan orang yang disenangi untuk memperoleh keinginan tersebut dengan tetap memelihara isteri yang pertama dan memenuhi hak-
haknya”.[15]
Perkawinan pada asasnya adalah monogami tapi dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan
agamanya mengizinkan seorang suami boleh beristeri lebih dari seorang. Tentang pengecualian tersebut, dalan undang-undang
perkawinan memberi pembatas yang cukup berat, yakni berupa suatu pemenuhan syarat dengan suatu alasan tertentu dan izin
pengadilan seperti dinyatakan dalam pasal 3 dan 5 undang-undang perkawinan.

Adapun alasan yang dapat memungkinkan seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang , dalam undang-undang perkawinan
disebutkan sebagai berikut:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.[16]

Maka boleh dikatakan bahwa masalah poligami inilah salah satu sebab yang mendorong untuk diciptakannya undang-undang
perkawinan diantara sebab-sebab yang lain. Dalam undang-undang perkawinan dicantumkan suatu asas yaitu asas monogamy yang
hanya membolehkan suami mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu,[17] dengan tujuan membentuk keluarga sakinah,
mawaddah, warahmah sesuai yang termaktub dalam perundang-undangan dan kompilasi hukum Islam.

C. Syarat-Syarat poligami

Seperti kita ketahui, Islam bukanlah agama yang mula-mula membolehkan perkawinan poligami, sewaktu Islam datang poligami
sudah umum dilakukan orang bahkan poligami kala itu merupakan poligami dalam bentuk yang mutlak tanpa terbatas, kemudian
Islam mencari sintesa atau jalan tengah yaitu suatu pandangan yang tidak berlebihan dan tidak melampaui batas, Islam tidak
membiarkan poligami dalam bentuknya yang mutlak juga tidak menutup jalannya sama sekali, akan tetapi islam membatasinya baik
secara kuantitatif sehingga poligami dengan segala ketentuannya dapat menjadi rahmat bagi setiap orang dan dapat menjamin
keutuhan rumah tangga dan masyarakat.[18] Oleh karena itu ada beberapa syarat yang harus ditunaikan bagi orang yang berpoligami
yaitu:

1. Dapat berlaku adil

Ketentuan berlaku adil oleh Allah SWT., dalam firmanNya QS. An-Nisa (4): 3 yang berbunyi

…‫حَدًة‬
ِ ‫خْفُتْم َأل َتعِْدُلوا َفَوا‬
ِ ‫ن‬
ْ ‫…َفِإ‬

Terjemahnya:

… jika kamu takut untuk tidak dapat berlaku adil maka satu saja…[19]

Berdasarkan ayat tersebut, dijelaskan bahwa barang siapa yang takut tidak akan dapat berlaku adil maka hendaklah ia kawin dengan
seorang wanita saja. Dan barang siapa yang percaya bahwa dirinya akan mampu mewujudkan keadilan, maka boleh baginya untuk
melakukan poligami.

2. Mampu memberikan nafkah kepada isteri-isteri dan anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggungannya sesuai dengan
kebiasaaan masyarakat.

3. Mampu memelihara isteri-isteri dan anak-anaknya dengan baik. Sebagaimana Allah SWT., berfirman dalam QS. At-Tahrim (66): 6
yang berbunyi:

‫سُكْم َوَأْهِليُكْم َناًرا‬


َ ‫ن َءاَمُنوا ُقوا َأْنُف‬
َ ‫…َياَأّيَها اّلِذي‬

Terjemahnya:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …[20]

Dalam konteks perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana ditetapkan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang
suami yang ingin melakukan poligami adalah:

1. Adanya persetujuan isteri


2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka.[21]

Dengan melihat beberapa syarat poligami tersebut, baik itu syarat dalam konteks Islam maupun dalam undang-undang yang berlaku di
Indonesia, ada semacam usaha agar aktivitas poligami ini diperketat atau dipersempit pada ruang geraknya. Sehingga bagi suami yang
ingin beristeri lebih dari satu perlu memperhatikan hal-hal yang prinsipil dalam mewujudkan suatu perkawinan yang langgeng.
Selanjutnya eksistensi dari syarat-syarat poligami tersebut memberikan suatu indikasi bahwa sesungguhnya poligami bukanlah hal
yang sangat mudah untuk dilakukan, tetapi memerlukan keseriusan dari masing- masing pihak yang sifat dominannya diperuntukkan
kepada kaum laki-laki sebagai pihak yang mengajukan permohonan dan tidak kalah pentingnya karena posisinya sebagai suami
merupakan pengendali utama dalam rumah tangga.

D. Prosedur Pelaksanaan Poligami

Mengenai persyaratan untuk berpoligami bagi seorang pria menurut pasal 3 ayat 2 undang-undang perkawinan adalah harus ada izin
dari pengadilan bila dikehendaki oleh yang bersangkutan, hukum dalam hal ini penjelasan yang diterangkan Al-Qur’an dan
perundang-undangan yang berlaku ada titik persamaan baik penjelasan maupun tujuannya.

Menyangkut prosedur pelaksanakan poligami aturannya dapat dilihat di dalam PP No. 9 tahun 1975 pada pasal 40 dinyatakan bahwa:

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada
pengadilan .

Sedangkan mengenai tugas pengadilan diatur di dalam pasal 41 PP No. 9 tahun 1975 sebagai berikut:

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:

-. Bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

-. Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

-. Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri , baik persetujuan lisan maupun secara tertulis, apabila persetujuan itu merupakan
persetujuan lisan, maka persetujuan itu harus diucapkan di depan siding pengadilan.

c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya, dengan memperhatikan:

I. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara setempat; atau

II. Surat keterangan pajak penghasilan; atau

III. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan;

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau
janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.[22]

Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan pengadilan memanggil para isteri untuk memberikan penjelasan atau kesaksian.
Di dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan diberi waktu selama 30 hari untuk memeriksa permohonan poligami setelah
diajukan oleh suami lengkap dengan persyaratannya.

Apabila diperhatikan Aturan-aturan tersebut, pada prinsipnya mengacu kepada esensi perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan yang Maha Esa atau dalam rumusan kompilasi hukum Islam, Bab
II pasal 3 bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Adapun
perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, tiga atau empat tanpa izin dari pengadilan agama, maka tidak mempunyai kekuatan
hukum.[23] Sehingga izin pengadilan agama tampaknya menjadi sangat menentukan, sehingga di dalam perundang-undangan dan
kompilasi hukum Islam dijelaskan bahwa pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin dari pengadilan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas bahwa seorang suami yang melakukan perkawinandengan isteri kedua, tiga atau empat adalah
tidak mempunyai kekuatan hukum jika tidak mendapat izin dari pengadilan. Dalam hal perkawinan yang tidak disetujui oleh isteri
pertama adalah sah apabila Karena suatu lain hal si isteri atau isteri-isteri tidak mungkin dimintai persetujuannya atau tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam hukum Islam Bab IX pasal 58 ayat (3) berbunyi: persetujuan dimaksud
pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri-isterinya sekurang-kurangnya dua tahun atau
karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim. Dalam kompilasi hukum Islam pada pasal 56 dijelaskan sebagai berikut:

1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.

2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975.[24]

Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuannya, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari seorang berdasarkan atas salah
satu alasan yang diatur dalam kompilasi hukum Islam pasal 55 dan 57, Pengadilan Agama menerapkan pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini isteri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi. Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin Pengadilan tidak
diperoleh, maka menurut keputusan pasal 44 PP No. 9 tahun 1975, pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal
43 PP N0. 9 tahun 1975. Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami seperti telah diuraikan di atas mengikat
semua pihak, pihak yang melangsungkan poligami dan pegawai pencatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan pasal-pasal di atas dikenakan sanksi pidananya.

Dalam operasionalnya, pengaturan ketentuan hukum mengenai poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan
melalui izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan izin isteri atau isteri-isteri, dimaksudkan untuk dapat merealisasikan kemaslahatan
yaitu terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan yang diridhai Allah SWT., dan didasarkan pada cinta dan kasih sayang (mawaddah
warahmah). Pada akhirnya baik menurut hukum Islam maupun menurut Undang-undang perkawinan, menerangkan bahwa
pelaksanaan poligami adalah merupakan tindakan yang hanya diperbolehkan bagi seorang pria yang betul-betul memenuhi persyaratan
yang harus dipenuhi.

[1] Tim Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I (Cet.III ; Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 107

[2] Suaramuslim.net, 21 mei 2007.

[3] Hasan Shadily, Ensiklopedi Nasional (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1984), h. 2376

[4] Ibid

[5] Suaramuslim.net, op. cit.

[6] Lihat Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam ( Cet.I; Surabaya: Usaha Nasional, t.th.), h.13.

[7] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Pebandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Muslim (Cet.II;
Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 80.

[8] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. Ed. I ( Cet II; Jakarta : Kencana, 2006), h. 131

[9] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT Tanjung Mas Inti, 1992), h. 45.

[10] Titik Triwulan dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah ( Cet.I ; Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 60.

[11] Ibid., h. 62.

[12] Anshorie Fahmie. Siapa Bilang Poligami itu Sunnah? ( Cet. I; Bandung: Pustaka IIman, 2007),h. 66.

[13] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya ( Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992), h. 115

[14] Anshorie Fahmie, op. cit., h.51.


[15] Lihat Yusuf Qardhawi” Poligami dalam Islam” dalam Anshorie Fahmie, ibid., h. 177

[16] Undang-Undang Perkawinan ( Cet.I; Bandung: Fokus Media, 2005), h. 2

[17] Musda Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Lembaga Kajian Agama dan Gender, solidaritas Perempuan ( Cet.I; Jakarta:
He Asia Foundation, 1999), h.2

[18] Abdul Tawab Haikal, Poligami dalam Islam dan Monogami Barat (Cet.I;Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 56

[19] Departemen Agama RI. op. cit., h. 115

[20] Ibid., h.951

[21] AmiurNuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Cet.II; Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 164.

[22] Undang-Undang Perkawinan, op. cit., h. 46-47.

[23] Ahmad Rofiq, Hukum Islam diIndonesia ( Cet. VI; Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 173.

[24] Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Aborsi Menurut Hukum Islam


November 3, 2009 indragp2009 Leave a comment Go to comments

Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi
dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat)
bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat
jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.

Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan
alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang
mengalami pertumbuhan.

Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali
dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak
bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang
mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan
dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih

besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah
Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam, halaman 57; Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93;
Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, hal 77-79). Pendapat yang
disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada
kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Masud berkata bahwa Rasulullah
bersabda:Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ?nuthfah?, kemudian
dalam bentuk ?alaqah? selama itu pula, kemudian dalam bentuk ?mudghah? selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.?
[HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi].
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa.
Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman
Allah:Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan
kepadamu.? (Qs. al-Anaam [6]: 151).

Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.?
(Qs. al-Isra` [17]: 31).

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut
syara?).? (Qs. al-Isra` [17]: 33).

Dan bila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.? (Qs. at-Takwiir [81]: 8-9)
Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam
keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.

Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini.
Akan tetapi menurut pendapat Syaikh Abdul Qadim Zallum (1998) dan Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara? yang
lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia
kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum
keharaman aborsi setelah

peniu¬pan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja?
iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam:

Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, halaman 45-56;
Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, halaman 129 ).

Dalil syari yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah hadits Nabi Saw berikut:

Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia
membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu
malaikat itu bertanya (kepada Allah), ?Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan? Maka
Allah kemudian memberi keputusan…? [HR. Muslim dari Ibnu Masud r.a.].

Dalam riwayat lain, Rasul bersabda: (jika nutfah telah lewat) empat puluh malam…?

Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah sete¬lah melewati
40 atau 42 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai
tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan
terhadapnya.Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu
tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah
berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak
laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits
shahih dalam masalah tersebut.

Rasulullah memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan
satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan…? [HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ] (Abdul Qadim
Zallum, 1998).

Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (jaiz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan
bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah),
belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.

Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan ?azl (coitus interruptus) yang
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. ?Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan
perempuan yang digaulinya, sebab ?azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perem¬puan. Tindakan ini akan
mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya
pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.

Rasulullah Saw telah membolehkan azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak
perempuannya, sementara dia tidak mengingin¬kan budak perempuannya hamil. Rasulullah Saw bersabda kepa¬danya: Lakukanlah
azl padanya jika kamu suka! [HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud].

Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter
yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus.
Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan
kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT:

Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.?
(Maidah : 32) .

Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasulullah telah memerintahkan umatnya
untuk berobat. Rasulullah bersabda:Sesungguhnya Allah setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka
berobatlah kalian!? [HR. Ahmad].
Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:

Idza taaradha mafsadatani ruiya azhamuha dhararan birtikabi akhaffihima?Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum,
maka dipilih yang lebih ringan madharatnya.? (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi`Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa?id Al
Fiqhiyah, hal 35).

Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam
hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula
hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun menggugurkan kandungan janin itu
lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan
janin tersebut (Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).

Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada
kehidupan pada kandungan, adalah pendapat yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel
telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel
itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963)
halaman 85 adalah ?sesuatu yang ada

pada organisme hidup.? (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak,
iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel
sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada
kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel

sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya
ada setelah pembuahan.

Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan
sudah adanya kehidupan, adalah pendapat yang lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian
kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma,
berarti tidak ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak demikian. Andaikata katakanlah pendapat itu
diterima, niscaya segala sesuatu aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk azl. Sebab dalam

aktivitas azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum
bertemu). Padahal azl telah dibolehkan oleh Rasulullah Saw. Dengan kata lain, pendapat yang menyatakan haramnya aborsi setelah
pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, akan bertentangan dengan hadits-hadits yang
membolehkan azl.

Kesimpulan

Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun juga problem sosial yang muncul karena manusia mengekor
pada peradaban Barat. Maka pemecahannya haruslah dilakukan secara komprehensif-fundamental-radikal, yang intinya adalah dengan
mencabut sikap taqlid kepada peradaban Barat dengan menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban Barat yang bertentangan
dengan Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang manusiawi dan adil.

Hukum aborsi dalam pandangan Islam menegaskan keharaman aborsi jika umur kehamilannya sudah 4 (empat) bulan, yakni sudah
ditiupkan ruh pada janin. Untuk janin yang berumur di bawah 4 bulan, para ulama telah berbeda pendapat. Jadi ini memang masalah
khilafiyah. Namun menurut pemahaman kami, pendapat yang rajih (kuat) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari,
atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Sedangkan
pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Wallahu alam [M.
Shiddiq al-Jawi]

Referensi

1. Abduh, Ghanim, 1963, Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah, t.p., t.tp

2. Al Baghdadi, Abdurrahman, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Gema Insani Press, Jakarta

3. Hakim, Abdul Hamid,1927, Mabadi`Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawaid Al Fiqhiyah, Sa?adiyah Putera, Jakarta

4. Hasan, M. Ali, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, RajaGrafindo
Persada, Jakarta
5. Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta

6. Uman, Cholil, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Ampel Suci, Surabaya

7. Zallum, Abdul Qadim, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam: Kloning, Transplantasi Organ,
Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, Al-Izzah, Bangil

8. Zuhdi, Masjfuk, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Haji Masagung, Jakarta http://www.hayatulislam.net

You might also like