You are on page 1of 35

Pendahuluan

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa Hidup


dengan
paradigma adalah (linguistik) seperangkat unsur-unsur bahasa paradigma
yang yang sebagian bersifat konstan dan sebagian lain
berubah-ubah. (J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain,
1996).
Bobbi DePorter dan Mike Hernacki (1999) menyatakan
bahwa paradigma adalah seperangkat aturan yang digunakan
untuk mengevaluasi informasi dan menyatukannya ke dalam
hidupnya. Setiap orang memiliki paradigma sendiri
berdasarkan pada pengalaman hidupnya. Hidup dengan satu
paradigma tertentu seperti melihat melalui satu jendela yang
sama. Setiap kali melihat lewat jendela akan memperoleh
pemandangan yang sama. Dalam banyak hal berpikir dengan
suatu paradigma itu lebih baik dari pada tidak memiliki sama
sekali. Tetapi, juga dapat membatasi karena dapat menutupi
peluang-peluang yang mungkin ada. Perubahan paradigma
ibarat menemukan jendela baru. Melalui jendela baru, semua
yang terlihat merupakan sesuatu yang baru atau hal-hal lama
dapat dilihat dengan sudut pandang yang berbeda. Dengan
paradigma baru pola pikir menjadi lebih segar. Jadi, akan lebih
baik lagi bila dimiliki banyak paradigma, banyak jendela,
banyak sudut pandang, banyak perspektif.
Sesungguhnya, di dalam bidang penelitian, memang
tidak ada satu paradigma pun yang diterima oleh semua
peneliti pendidikan. Ada banyak debat yang mereka
kembangkan, misalnya: kuantitaif lawan kualitatif, positivistik
lawan interpretif, objektif lawan subjektif, atau rasionalistik
lawan naturalistik. Namun demikian, kiranya hampir satu
napas apabila kelompok pertama menekankan analisis
kuantitatif dan kelompok kedua menekankan analisis kualitatif.
Hingga tahun delapan-puluh-an, penelitian PMIPA,
seperti juga penelitian di bidang pendidikan yang lain, sangat
kental diwarnai oleh penelitian kuantitatif yang diadopsi dari
penelitian psikologi. Pada akhir tahun 80-an, di beberapa
negara mulai mencoba mengembang penelitian yang berpusat
pada konsepsi siswa tentang berbagai kejadian atau fenomena
alam di sekitarnya yang dikenal dengan istilah penelitian
tentang konsepsi alternatif. Kelompok ini menggunakan
penelitian naturalistis yang dikembangkan oleh para antropolog
dan sosiolog. Penelitian ini sangat berwarna kualitatif.
Belakangan, di awal tahun 90-an, sekelompok peneiliti bidang
pendidikan MIPA mulai mengembangkan penelitian yang
sering digunakan para aktivis LSM, yaitu penelitian yang
memberdayakan subjek yang diteliti-penelitian partisipatif.
Penelitian ini dalam lingkungan pendidikan dikenal sebagai
penelitian tindakan. Berikut disajikan tiga paradigma
penelitian, yaitu: kuantitatif, kualitatif dan partisipatif.

1 Paradigma Penelitian Kuantitatif

1.1 Pandangan dasar


Penelitian kuantitatif dalam pendidikan diwarnai oleh
paham positivisme yang berkembang di negara-negara barat.
Pandangan kelompok ini didasarkan pada anggapan bahwa
pengetahuan ‘positif’ mampu menyelesaikan segalanya.
Mereka berpendapat bahwa hanya dengan pengukuran yang
seksama dan dengan percobaan-percobaan yang cermat, seperti
dalam ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan dapat
ditumbuh-kembangkan Philip C. Candy (1989).
Sebenarnya banyak versi dari paham ini, tetapi ada
sejumlah sifat yang mirip. Di antaranya adalah: (1) komitmen
pada sikap objektif dalam pencarian ‘kebenaran ilmiah’; (2)
Asumsi-asumsi
keyakinan bahwa teori bersifat universal; (3) generalisasi,paradigma
semacam hukum atau teori, tidak terikat pada suatu kontekskuantitatif
tertentu; (4) keyakinan bahwa setiap kejadian/peristiwa selalu
memiliki penyebab; (5) keyajinan bahwa antara kejadian dan
penyebabnya dapat dipisahkan satu sama lain secara diskrit;
(6) pendapat bahwa variabel dapat diidentifikasi dan
didefinisikan; serta hubungan antar variabel dapat dirumuskan
secara matematis.
Peter Reason (1994) menjelaskan bahwa paham
positivisme memisahkan ilmu pengetahuan dari kehidupan
sehari-hari, seperti juga antara peneliti dan subjek yang diteliti.
Menempatkan peneliti di luar subjek yang diteliti, di luar
penomena yang sedang diteliti, merupakan implementasi dari
komitmen terhadap objektivitas. Dengan berdiri di luar, peneliti
diharapkan dapat memperoleh data yang ‘tidak terkontaminasi’
oleh kehadiran dirinya di lingkungan subjek yang berpartisipasi
dalam penelitiannya.
Disebutkan, John Heron (1981) menyatakan bahwa
penempatan peneliti di luar dari penomena yang sedang
dipelajari karena ada anggapan peneliti harus dapat
menunjukkan kehendak yang bebas dan kreatif agar dapat
‘menemukan’ pengetahuan baru. Sedangkan penomena yang
dipelajari tunduk pada hukum sebab-akibat yang harus
ditemukan peneliti.
Penempatan peneliti di luar kejadian yang diteliti
menggiring ke arah pemisahan bagian-bagian dari
keseluruhannya. Para peneliti terdorong untuk menganalisis
fenomena yang diteliti menjadi bagian-bagiannya, mengukur
dan menghitung bagian-bagian ini, dn selanjutnya
menghubung-hubungan bagian-bagian itu dalam bentuk sebab-
akibat. Karena itu, fenomena yang dipelajari diperlakukan
sebagai ‘benda’ walaupun dalam pendidikan benda-benda
(mati) hanya salah satu bagian. Memang, cara berpikir
semacam ini terpengaruh oleh bidang MIPA (bukan PMIPA)
yang menekankan bahwa akal merupakan alat utama bagi
pengetahuan.
Implikasi praktis dari anggapan–anggapan ini, adalah
kesepakatan tentang suatu ‘metode ilmiah’. Metode ilmiah
mencakup keharusan menetapkan hipotesis di awal penelitian,
selalu berusaha se-objektif mungkin, selalu mengambil jarak
dengan yang diteliti, diarahkan untuk menemukan hubungan
sebab-akibat yang invarian, dan berusaha menyederhanakan
hubungan-hubungan itu ke dalam bentuk kuantitatif/matematis.

1.2 Model penelitian kuantitatif


Secara garis besar, model penelitian kuantitatif dapatLangkah-
digambarkan seperti Diagram 1a. (Sutrisno, 1990). Penelitilangkah
penelitian
melihat suatu realitas, suatu penomena. Masalah penelitiankuantitatif
muncul saat mengamati realitas ini. Selanjutnya, peneliti
melakukan proses ‘atomisasi’ masalah, yaitu memilah-milah
variabel-variabel yang ada. Kemudian, dilakukan penelusuran
literatur lanjutan yang lebih intensif dan terarah untuk
menyusun suatu kerangka konsepsional yang menunjukkan
hubungan antar variabel. Proses ini disebut konseptualisasi.
Berdasarkan kerangka konsepsional ini diturunkanlah satu atau
beberapa hipotesis. Agar hipotesis dapat diuji ‘kebenaran’-nya
maka definisi konsepsional masing-masing variabel
dioperasionalkan. Proses ini disebut operasionalisasi.
Berdasarkan pada definisi operasional tersebut, disusun
seperangkat instrumen – alat pengumpul data bagi setiap
variabel. Data diambil dari sampel yang dianggap mewakili
populasi. Proses penentuan besar sampel ini disebut
‘sampling’. Besar sampel ditetapkan di awal penelitian
berdasarkan tingkat signifikansi penolakan hipotesis yang
sesungguhnya benar (alpha = …%), tingkat kekuatan (power)
yaitu tingkat keyakinan bahwa uji statistik yang digunakan
akan menyimpulkan adanya penomena yang sedang diamati
(Cohen, 1969), besar variansi yang diharapkan, dan tentu saja
Atomisasi
masalah;
konseptualisasi;
operasionalisasi;
sampling;
pengukuran; uji
jenis rancangan penelitian yang digunakan Sutrisno, 1992.
hipoteisis;
kesimpulan
Proses pengambilan data ini disebut pengukuran. Data yang
telah terkumpul diolah dan dianalisi dengan rumus-rumus
statistik untuk menguji kebenaran hipotesis yang telah
ditetapkan di awal penelitian. Proses ini disebut ‘testing
hypothesis’. Kesimpulan yang diperoleh berupa pernyataan
menerima atau menolak hipotesis yang telah ditetapkan. Hasil
penelitian ini berupa rumusan-rumusan yang berlaku umum
yang merupakan penjelasan tentang kenyataan yang sedang
dipelajari. Ibarat lukisan sebuah pohon berupa gambaran
pohon secara umum. (Gambar 1)
Peneliti kuantitatif beranggapan bahwa pembaca utama
laporannya adalah komunitas ilmiah sehingga ditekankan
reliabilitas, validitas, dan replikbilitas yang standar karena itu
digunakan prosedur yang sistematis untuk menganalisis data
serta dilakukan triangulasi dengan berbagai metode serta
berbagai perspektif.
Penelitian kuantitatif
Populasi sample
Analisis
Statistis
Pengukuran
Data
Instrumentasi

Hipotesis Uji hipotesis

Atomisasi
Hasil

Riviu Menulis
Literatur Masalah laporan
penelitian Laporan
penelitian

Penjelasan Presentasi/publikasi
Dunia nyata

Diagram 1a: Model penelitian kuantitatif

Berangkat dari dunia nyata, dari keadaan lapangan,


sekolah, peneliti kuantitatif menyusun rumusan masalah yang
akan diselesaikan dengan suatu penelitian. Sudah barang tentu,
agar rumusannya tajam dan sungguh penting, peneliti kuntitatif
melaksanakan studi literature lebih dahulu. Selama proses
studi literature, juga dilakukan proses atomisasi, yaitu suatu
proses menguraikan masalah penelitian itu dalam konteks
kedaan nyata di lapangan dan dalam konteks perkembangan
pengetahuan yang berkaitan dengan masalah yang sedang
digarap itu. Akhir dari proses atomisasi ini dipeolehlah suatu
hipotesis kerja serta bahan untuk mengembangkan alat
pengumpul data (instrumen). Data yang telah terkumpul dari
sample dianalisis secara statitik. Tujuan analisis statistic
adalah menguji ‘kebenaran’ hipotesis yang telah disusun
pada awal penelitian. Langkah akhir dari penelitian berupa
energi.

2/5/2008 leo sutrisno / penelitian kuantitatif / 3


msi untan

Gambar 2.1 : Gambar rumah berpagar dan


bergarasi ini sangat umum ini(bagian tengah), mirip dengan
deskripsi dari temuan penelitian kuantitaf. Gambar itu
diperoleh dengan menyederhanakan bagian-bagainnya.
1.3 Bentuk penelitian kuantitatif
Menurut bentuknya, penelitian kuantitatif dapat
dibedakan menjadi penelitian survai dan penelitian percobaan.
Survai:
1.3.1 Survai Deskriptip
Penelitian survai membahas data yang diperoleh padasederhana;
waktu penelitian sedang dikakukan tanpa ada intervensi darikorelasional;
kohort; kasus
peneliti secara sengaja. Azrul Anwar dan Joedo Prihartonokelola
(1987) membagi penelitian survai menjadi dua jenis, yaitu
penelitian suvai tanpa kelompok pembanding dan panelitian
survai dengan kelompok pembanding. Penelitian survai tanpa
kelompok pembanding dibagi menjadi : deskriptif sederhana
dan deskriptif korelasional. Penelitian survai dengan
kelompok pembanding dibedakan antara kasus kelola dan
kohort.
Penelitian survai deskriptip sederhana meneliti perilaku
satu variabel saja. Misalnya, deskripsi tentang kesulitan siswa
dalam mempelajari tentang persamaan kuadrat; deskripsi
tentang perilaku guru IPA di depan kelas, atau deskripsi tentang
sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika. Dsb.
Apabila yang ditelaah lebih dari satu variabel maka
perubahan perilaku suatu variabel tertentu akan diikuti oleh
perubahan perilaku variabel yang lain. Penelitian survai
deskriptif korelasional menelaah hubungan yang terjadi antar
variabel. Misalnya, penelitian yang membahas berbagai faktor
yang berhubungan dengan hasil belajar fisika, faktor-faktor
yang berkaitan dengan perilaku guru di depan kelas, atau
hubungan antar skor hasil belajar mata pelajaran kelompok
MIPA. Dsb
Penelitian survai dengan kelompok pembading
memiliki dua arah. Arah pertama, melihat penyebab perbedaan
antara kelompok yang satu dan kelompok pembandingnya.
Misalnya, peneliti melihat ada perbedaan hasil belajar
matematika antara siswa laki-laki dan siswa perempuan,
peneliti berusaha menemukan penyebab perbedaan itu.
Penelitian yang diarahkan untuk mencari penyebab perbedaan
disebut penelitian kasus kelola.
Arah kedua, berdasarkan perbedaan yang ada peneliti
mengarahkan perhatiannya pada akibat yang bakal terjadi.
Penelitian yang mencari kemungkian yang akan terjadi sebagai
akibat dari perbedaan yang ada disebut penelitian kohort.
Misalnya, peneliti menemukan perbedaan cara guru fisika
mengajar di dua kelas yang paralel, peneliti mengarahkan
akibat yang mungkin terjadi dari perbedaan itu.

1.3.2 Penelitian percoban


Penelitian percobaan mengolah data yang diperoleh
pada saat penelitian dilakukan dengan satu atau beberapa
variabel yang sengaja diubah-ubah (peneliti mengintervensi
dengan sengaja) dengan tujuan akan dilihat pengaruhnya pada
satu atau beberapa variabel yang lain.
Pada dasarnya, percobaan yang bersifat ilmiah mencoba
mengidentifikasi sesuatu yang menjadi ‘penyebab’ dan
mengevaluasi ‘akibatnya’. Yang dilakukan pada umumnya
adalah membuat perubahan secara sistematis pada satu faktor
atau lebih (disebut variabel bebas) dan mencari perubahan
pada satu atau lebih faktor yang lain (variabel terikat).
Pengelompokkan variabel-variabel menjadi variabel bebas atau
variabel terikat terserah sekehendak si peneliti. Namun, secara
umum semua percobaan mecakup suatu perbandingan nilai-
nilai variabel terikat apabila ada perbedaan nilai pada variabel
lain (variabel bebas ada atau tidak ada).
Ada dua cara yang mendasar dalam melakukanwithin-
percobaan Michael J. mahoney, (1975). Pertama, satu orangsubject
atau beberapa orang yang sama berada dalam suatu keadaandesign;.
(variabel bebas) yang berbeda-beda (waktu) dan dicari apakahbetween-
keadaan yang lain (variabel terikat) berubah atau tidak (within-subjects
design
subject design). Cara kedua adalah membandingkan nilai
variabel terikat pada dua orang / kelompok atau lebih dalam
keadaan satu/beberapa variabel bebas berbeda (between-
subjects design).
Penelitian percobaan, menurut Campbell dan Stanley
(1964) dapat dibedakan menjadi (dalam: Leo Sutrisno, 1992).
pra-percobaan (pre-experiment), percobaan (true experiment),
dan percobaan semu (quasi-experiment).
Dengan menggunakan hurup X sebagai lambangPre-
variabel yang sengaja dicobakan untuk diketahui pengaruhnyaexperimental
pada variabel lain, dan O sebagai lambang hasil pengukurandesigns;
True
pada variabel lain yang akan dipastikan terpengaruh atau tidakexpperimental
oleh kehadiran variabel X, serta R sebagai lambang caradesigns;
quasi-
dan

memilih subjek agar mengikuti salah satu kelompok dalamexperimentl


percobaan bentuk-bentuk penelitian percobaan disajikan sbb. designs.

Pra-percobaan
1. the one-shot case study:

XO

2. the one-group pretest-posttest:

O 1 X O2

3. the static-group comparison:

X O1
- O2

Percobaan
1. the pretest-posttest control group:

R O1 X O2
R O3 - O4
2. the Solomon four-group design :

R O1 X O2
R O3 - O4
R - X O5
R - - O6

3. the posttest-only control group :


R X O1
R - O2

Percobaan semu
1. time series:

O1 O2 O3 O4 O5 X O1 O2 O3 O4 O5

2. the equivalent time-samples design:


X1 O1 X2 O2 X3 O3 X4 O4 X5 O5 X6 O6

3. the non-equivalent control group design, dsb O1 X O2


O3 - O4

Dalam lapangan pendidikan, tampaknya penelitian


percobaan yang sesungguhnya sulit dilaksanakan karena
sekolah tidak dengan mudah menyediakan para siswanya untuk
dipilah-pilah secara random. Yang paling mungkin adalah
kelas dipilih secara ramdom berikut seluruh siswanya. Cara ini
disebut ‘intact group’ (Leo Sutrisno, 1990).

1.4 Kritik terhadap penelitian kuantitatif


Walaupun hingga kini penelitian kuantitatif ini masih
diunggulkan dalam penelitian pendidikan, namun mulai
meningkat kesadaran bahwa penelitian ini tidak dapat
menjawab semua masalah dari pendidikan MIPA (Fensham,
1979).
Selain itu, karena tujuan penelitian kuantitaif ini adalah
menemukan hukum-hukum umum yang dapat digunakan untuk
menjelaskan suatu fenomena atau suatu kejadian maka sering
dirasakan sangat artifisial. Seperti diilustrasikan sebuah gambar
rumah pada Gambar 2.1, yaitu gambar rumah, gambar pohon
pada umumnya, gambar garasi dengan mobilnya dsb. Gambar-
gambar ini bersifat sangat umum sehingga siapa saja, kapan
saja, dimana saja akan dapat menerimanya (Sutrisno, 2001).
Peter Reason (1994) menyatakan karena posisi peneliti
yang mengambil jarak dari subjek yang ‘diteliti’ maka berarti si
peneliti berada di luar yang diteliti. Si peneliti tidak menjadi
satu bagian integral dari yang diteliti. Karena itu, peneliti juga
tidak akan mungkin dapat mengungkap semua yang dipikirkan,
yang dirasakan, dan yang dilakukan oleh subjek yang diteliti.

2. Penelitian kualitatif

2.1 Pandangan dasar


Carr dan Kemmis (1983) menyatakan bahwa kegiatan
interpretif
manusia dan fenomena alam tidak dapat diamati dengan cara
yang sama (metode kuatitatif). Kelompok peneliti yang
mengembangkan penelitian kualitatif beranjak dari penolakan
anggapan yang menyatakan bahwa tingkah laku manusia
tunduk pada suatu hukum yang berlaku umum. Manusia hanya
dapat dimengerti secara individual. Banyak aturan dalam
hidup sehari-hari yang dinyatakan dengan simbol-simbol.
Untuk memahami simbol perlu dilakukan interpretasi-
interpretasi tentang simbol-simbol tersebut. Penelitian yang
dikembangkan untuk memandang manusia secara unik-
individual dengan segala macam simbol dan perikakunya
adalah penelitian kualitatif.
Pada awal tahun delapan puluh-an, ada sekelompok
peneliti pendidikan, pembuat kebijakan, pendidik di AS
mempelajari parameter-parameter yang berkaitan dengan
krisis pendidikan IPA saat itu dan mencari kebijakan-kebijakan
baru yang mungkin dapat diambil berserta implementasinya.
Dua isu nasional yang utama saat itu adalah: kekurangan guru
yang berkualitas dan jumlah materi ajar yang terlalu berat.
Mereka menyadari bahwa model penelitian sebelumnya
(kuantitatif) masih belum memadai untuk memahami yang
lebih baik tentang proses perubahan di sekolah. Mereka,
kemudian mengembangkan penelitian kualitatif yang
mempunyai sasaran menemukan ‘grounded theory’ Barbara
S. Spektor (1984)
Berikut disajikan sejumlah asumsi yang mendasariAsumsi-asumsi
kegiatan paradigma penelitian kualitatif (Candy, 1989). penelitian
Pertama, setiap peristiwa atau tindakan merupakan hasil kualitatif
interaksi dari banyak faktor: kejadian, proses, sebab dan akibat
saling bergantungan satu dengan yang lain. Kedua, dalam
mempelajari tentang manusia, obyetif yang sungguh-sungguh
itu sangat-sangat sukar dicapai, karena makna suatu kejadian
atau peristiwa tergantung pada pengalaman masing-masing
orang termasuk si peneliti sendiri. Ketiga, tujuan dari pencarian
kebenaran (dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk pendidikan)
adalah memahami orang per orang secara unik, bukan
menemukan hukum-hukum yang umum yang dianggap berlaku
untuk semua orang. Keempat, karena dunia, secara
keseluruhan, terdiri atas kenyataan baik yang dapat
diungkapkan maupun yang tidak maka lebih baik dipelajari
secara keseluruhan daripada dipotong-potong menjadi variabel-
variabel bebas dan variabel-variabel terikat. Kelima, pencarian
kebenaran (yang berkaitan dengan manusia) tidak bebas nilai,
dan nilai-nilai yang dibawa peneliti akan berpengaruh pada
kerangka berpikir yang dipergunakan dalam penelitiannya.
Cakupan pencarian kebenaran penelitian kualitatif
Intersubjektivitas
meliputi: intersubjetivitas, motif, dan alasan. Intersubjektivitas , motif, dan
alasan
merujuk pada norma hasil konsensus yang menetapkan apa
yang nyata atau valid di dalam setiap situasi sosial. Motif
merujuk pada kejadian atau keadaan yang menimbulkan
kejadian atau keadaan yang lain (‘karena …’). Dan, alasan
merujuk pada harapan yang belum terpenuhi yang akan
berpengaruh pada tingkah laku selanjutnya (‘demi …’).
Cakupan kerja ini ternyata lebih luas dari pada cakupan kerja
penelitian kuantitatif yang hanya memusatkan penemuan
‘motif’ (penyebab dari …).

2.2 Model penelitian kualitatif


Secara garis besar, model penelitian kualitatif disajikan
dalam Diagram 2.2.
Inti dari aktivitas penelitian kuantitatif adalah menyusun
‘Grounded theory’ ( Spektor, 1984). Setiap sekelompok data
yang terkumpul memberi arah pada setiap langkah berikutnya.
Sebagai puncaknya adalah penyusunan hipotesis yang
‘grounded’ (yang mengakar) di dalam data itu sendiri.
Beberapa hipotesis yang berkaitan satu dengan yang lain akan
menghasilkan suatu teori. Dengan demikian, metode ilmiah
yang digunakan lebih bernuansa penalaran induktif
ketimbang penelitian kuantitatif.
Pencarian
akses,
pengumpulan
data, analisis,
konfirmasi,
laporan
Aktivitas penelitian kuantitatif mencakup: pencarian
akses untuk ‘memasuki’ subjek, pengumpulan data, analisis
data, konfirmasi hasil, dan penulisan laporan naratif (bahkan
mungkin berbentuk cerita).
Sebagai orang baru, ‘memasuki’ suatu: organisasi, atau
sekelompok masyarakat tertentu, bahkan orang perseorangan
sekali pun ternyata tidak mudah. Apalagi, apabila mereka
mengetahui bahwa akan diamati/diteliti. Tidak terkecuali di
dalam bidang pendidikan, walaupun sistem pendidikan di
Indonesia masih lebih bersifat komando dari atas sehingga
akses formal dapat diperoleh dari ‘atas’ namun di tingkat
sekolah tidak dengan serta merta pintu terbuka selebar-lebarnya
untuk keperluan penelitian. Karena itu, kegiatan pencarian
akses untuk dapat ‘bergabung’ dan berperan serta di sekolah
menjadi kegiatan yang tidak boleh dikerjakan sambil lalu.
Setelah memperoleh akses masuk ke sasaran, peneliti
mulai menyusun sejumlah pertanyaan yang diproyeksikan
kelak menjadi masalah yang akan dijawab dalam penelitian.
Telaah literatur dan pengamatan di lapangan yang silih berganti
akan membuat masalah berkembang semakin jelas dan tajam.
Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif berbeda
dengan pengumpulan data dalam penelitian kuantitatif. Jenis
data, sumber, dan cara mengumpulkannya tidak selalu dapat
dirancang sebelumnya seperti pada penelitian kuantitatif.
Bahkan, waktu yang diperlukan pun juga sukar diramalkan
secara tepat.
Pengamatan dilakukan secara bebas tanpa bantuan
checklist atau bentuk yang lain. Setiap kali pengamatan, dicatat
status dari berbagai variabel yang ada, misalnya: keadaan fisik,
waktu, partisipan, tindakan, bahasa, dan sebagainya (Spradley,
1980). Selain pengamatan wawancara sebaiknya juga
dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang apa yang
dipikirkan dan apa yang dirasakan oleh partisipan.
Dalam penelitian kualitatif, pada umumnya, peneliti
sekaligus menjadi instrumen maka reaksi peneliti merupakan
bagian tetap dari data yang terekam dalam wujud bias anatu
pandangan baru dari peneliti. Karena itu akan ditemukan
banyak perbedaan dalam analisis data. (Eisner, 1981).
Perbedaan yang terjadi bukan disebabkan oleh cara
mengumpulkan, jenis dan sifat data yang terkumpul, atau
hubungan antar peneliti dan subjek yang berpatisipasi dalam
penelitian tetapi oleh persepsi peneliti tentang calon pembaca
laporannya, metode untuk mereduksi data, metode untuk
emngolah data, sikap pembaca terhadap konfirmasi temuan,
dan format penyajian dari laporan.
Karena peneliti kulitatif melakukan interpretasi maka
hasil interpretasi tersebut perlu memperoleh konfirmasi dari
sumber data yang bersangkutan. Interpretasi peneliti tidak
boleh mengubah apa yang sesungguhnya dipikirkan, dirasakan,
dan dilakukan oleh subjek yang diamati. Interpretasi peneliti
membuat hal yang ada dalam subjek makin jelas, rinci, dan
sistematis.
Peneliti kualitatif berpandangan bahwa audiensnya tidak
hanya kelompok masyarakat ilmiah. Karena itu, mereka
mencoba mengembangkan suatu tema yang menyatukan unsur-
unsur kejadian yang diamati serta menghasilkan pengalaaman
estetis bagi pembaca. Laporan penelitian kualitatif sering
disebut ‘cerita’ (Smith, 1982). Cerita ini akan meningkatkan
pemahaman pembaca tentang peristiwa, kejadian atau kasus
yang diteliti. Secara analog, laporan penelitian kuantitatif mirip
sebuah gambar sebuah rumah yang khas dan unik. Lihat
Gambar 2.2. Gambar ini unik artinya tidak ada duanya.
Gambaran ini juga khas karena rumah yang seperti itu tidak
akan tersebar di seluruh lokasi. Unik dan khas merupakan salah
satu ciri utama temuan dari penelitian kuantitatif yang memang
tidak mengarah pada penemuan hukum-hukum yang berlaku
umum.
penelitian kualitatif adalah keharusan koherensi dari
interpretasi yang dibuat dan harus ‘lulus’ dari konfirmasi
subjek yang berparitisipasi dalam penelitian. Koherensi disebut
juga kepaduan yang baik dan kompak artinya hubungan timbal
balik yang baik dan jelas antara unsur-unsurnya. (Gorys Keraf,
1980)

Population Qualitative research


sample
analyzing

Data Gathering Verification &


Data clarification
Reshaping &
focusing the problem Generating
hypothesis

Literature Research Writing


conformation
review problem report

Report / story

understanding
Real world Presentation /
5/29/2008 leo sutrisno / penelitian kuantitatif /
publcation 9
msi untan

Diagram 2.2. Model penelitian kualitatif


Qualitative research

5/29/2008 leo sutrisno / penelitian kuantitatif / 7


msi untan

Gambar 2.2 : Gambar rumah yang khas dan unik ini


mirip dengan deskripsi dari temuan penelitian kualitatif

2.3 Bentuk penelitian kualitatif


Ada banyak nama yang digunakan untuk penelitian
kualitatif ini. Di antaranya adalah: naturalistic research,
grounded research, phenomenology, symbolic interactionism,
ethnomethodology, ethnography, anthropological research,
fieldwork, case-study, atau participant observation.
istilah naturalistik (Smith, 1982) merujuk pada pada
pandangan bahwa semua ilmu pengetahuan berkembang
melalui suatu proses alamiah dimana seseorang belajar tentang
struktur yang menggarisbawahi suatu penomena atau kejadian,
dan bagaimana semua itu disusun serta kemudian, berdasarkan
pengetahuan ini, yang bersangkutan melanjutkannya ke arah
yang lebih kuantitatif dengan metodologi yang formal.
Istilah grounded (Spector, 1984) digunakan untuk
menerangkan bahwa pembetukan teori didasarkan (grounded)
pada keadaan data yang tersedia. Jadi, lebih bersifat induktif
daripada deduktif.
Penomenologi merujuk pada metode yang digunakan
yang didasarkan pada anggapan bahwa tingkah laku manusia
merupakan hasil interaksinya dengan dunia sekitarnya. Dasar
teoritis dari penomenologi adalah symbolic interaction, yaitu
suatu cara mengamati tingkah laku seseorang. Untuk
memahami seseorang harus dipahami pula bagaimana orang
yang bersangkutan memandang dunia sekitarnya.
Kata etnograpi dan etnometodologi, penelitian
antropologi (LeCompte, 1982) digunakan untuk menunjukkan
‘objek’ penelitian yang dilakukan yaitu sekelompok etnis
tertentu dalam disiplin ilmu antropologi dan sosiologi.
Case study (Walker,1980) berarti telaah tentang satu
kejadian yang berlangsung sesaat. Sedangkan participant
observation lebih condong pada cara pengumpulan data yaitu
pangamat bergabung menjadi satu dengan yang diamati.
Penelitian semacam ini telah mulai diadopsi dalam
penelitian pendidikan MIPA dalam tiga dasa warsa terakhir ini.
Mengapa penelitian yang menekankan pada subjektivitas, efek
kontekstual, dan mengembangkan kerangka berpikir induktif
ini di dalam pendidikan MIPA diperlukan? Padahal, Para
pemikir, para perngguna, dan para praktisi penidikan MIPA
berlajar dan berkembang dalam iklim ilmiah yang
dikembangkan di dalam MIPA murni, yaitu hypotetiko-
deductive process . Smith, 1982. menyajikan empat alasan.
Pertama, keberadaan teori belajar dan pembelajaran yang Mengapa
penelitian
kuat dalam penididikan MIPA masih dipertanyakan. Para kualitatip
praktisi pendidikan MIPA memang sering beranggapan bahwa diperlukan
dalam PMIPA?
metode ilmiah yang dapat diterapkan di dalam fisika, misalnya,
juga dapat diterapkan di dalam pendidikan fisika. Variabel
diamati dalam keadaan terkontrol. Bukti-bukti yang ditemukan
dapat digunakan untuk menguji hipotesis. Generalisasi dibuat
dan teori dapat direvisi atau dikuatkan. Dan, bahwa setiap
keadaan nyata dapat direduksi menjadi bentuk-bentuk
hubungan yang sederhana dan karena itu juga dapat dipejarau
dengan cara yang sama. Ternyata dalam dinua pendidikan
tidak semua demikian.
Kedua, teknologi pengukuran dalam bidang pendidikan
MIPA masih kurang bila dibandingkan dengan dalam MIPA
sendiri. Di antaranya, banyak konsep di dalam pendidikan
MIPA yang berarti ganda. Misalnya, ‘belajar’ mempunyai
banyak definisi. Peneliti bertitik tolak pada suatu konsep
dengan arti yang sudah tertentu, dan selanjutnya, mencari cara
pengukuran yang menghasilkan indikator numerik yang secara
konseptual dan empiris berhubungan dengan arti dari konsep
tersebut. Sayang, terlalu sering dalam penelitian pendidikan
(termasuk pendidikan MIPA) proses konstruksi ini, memberi
arti dari suatu konsep yang tepat dan jelas, kurang dipikirkan
dengan seksama seperti dalam MIPA. Dalam MIPA metode
pengukuran sangat erat berkaitan dengan teori dan eksperimen.
Misalnnya, ‘arus listrik’ diartikan sebagai jumlah muatan yang
mengalir pada tiap satu satuan luas penampang suatu
konduktor tiap satu satuan waktu. Karena itu, cara mengukur
kuat arus berkaitan dengan jumlah muatan, luas penampang
konduktor, dan juga waktu.
Ketiga, generalisasi yang berlaku di dalam MIPA tidak
serta merta dapat berlaku di dalam pendidikan MIPA. Tujuan
MIPA adalah menemukan hukum-hukum yang berlaku umum
dalam semua keadaan tidak berlaku pada pnedidikan MIPA.
Bahkan, walaupun suatu percobaan dalam pendidikan MIPA
telah dirancang dengan baik dan dikontrol dengan cermat,
ternyata tidak mungkin dilaksanakan replikasinya.
Keempat, penggunaan beberapa perspektif. Dalam
penelitian MPIA dikembangkan penggunaan satu perspektif,
atau satu alat ukur, satu cara mengukur. Sebaliknya, dalam
penelitian pendidikan MIPA disarankan agar menggunakan
berbagai perspektif, berbagai alat ukur, berbagai cara
mengukur karena disadari bahwa setiap perspektif, setiap alat
ukur, setiap cara mengukur selalu mengandung bias tertentu
yang tidak dapat dihindari.

2.4 Kritik terhadap penelitian kualitatif


Smith (1982) menyebutkan logika penemuan yangReliabilitas
digunakanlah yang membedakan penelitian naturalistik daridan validitas
penelitian eksperimen atau penelitian survai, yaitu data datangpenelitian
kualitatif?
yang pertama. Hipotesis atau teori muncul kemudian dari data
yang tersedia. Hipotesis awal, mungkin juga memiliki peran,
tetapi sangat lemah dan siap diubah kemudian. Selain logika
penemuan yang digunakan, penggunakan berbagai alat
pengumpul data yang kurang terstruktur juga menjadi ciri yang
lain yang sering dianggap salah satu kelemahan.
LeCompte dan Goetz (1982) membahas panjang lebar
tentang reliabilitas dan validitas penelitian kualitatif ini.
Reliabilitas suatu penelitian merujuk pada tingkat seberapa
jauh penelitian yang bersangkutan dapat direplikasi. Replikasi
maksudnya, pengulangan penelitian dengan metode yang sama
akan menghasilkan temuan yang sama. Usaha untuk
meningkatkan reliabilitas penelitian kualitatif tidak mudah
karena sejumlah faktor saling kait mengkait, misalnya: sifat
data dan proses penelitiannya, konvensi yang digunakan saat
menyajikan temuan, serta kebiasaan lama peneliti dengan
melakukan penelitian kuantitatif. Reliabilitas merupakan
kelemahan lain dari penelitian kualitatif.
Validitas suatu penelitian merujuk pada tingkat
kesepadanan antara proposisi (penjelasan ilmiah) yang dibuat
dan kenyataan dalam hidup sehari-hari. Ada dua pertanyaan
yang muncul menyangkut validitas penelitian. Pertama, apakah
yang diamati dan diukur si peneliti sungguh-sungguh yang
dipikirkan untuk diamati dan diukur (validitas internal)?
Kedua, apakah proposisi-proposisi, teori, atau hipotesis yang
dibangun peneliti dapat diterapkan pada kelompok lain
(validitas eksternal)?. Validitas internal merupakan titik
kekuatan. Peneliti kualitatif berada di antara subjek yang
diteliti. Karena itu, mempunyai kesempatan untuk mengamati
berulangkali serta memperhalus dan mempertajam interpretasi-
interpretasi yang dibuat. Selain itu, karena penelitian ini
menggunakan informan yang diwawancarai maka
penjelasannya akan lebih sederhana dan lebih konkret, lebih
dekat dengan keadaan nyata. Setting penelitian yang alami dan
peneliti yang emngembangkan self-monitoring di setiap
langkah memungkinkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
dan reevaluasi secara berkelanjutan.
Sebaliknya, validitas eksternalnya sering dianggap ‘sepi’
oleh peneliti kualitatif. Pertama, karena penelitian kualitatif
memusatkan perhatiannya pada satu penomena (sekelompok
kecil orang, atau proses sosial). Kedua, bagi sejumlah peneliti
kualitatif beranggapan bahwa mereka harus meninggalkan
prekonsepsinya sendiri sesaat setelah masuk lapangan, dengan
harapan dapat membuat deskripsi yang lebih akurat, sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya, daripada sudah
menetapkan sekenario sebelumnya.
Penelitian kualitaif ini di dalam pendidikan MIPA mulai
dikembangkan sejak akhir tahun 80-an. Fokus penelitian ini
adalah konsepsi siswa tentang fenomena alam yang sering
diberi label penelitian alternatif (John Head, 1986).
3. Penelitian partisipatif

3.1 Pandangan dasar

Penelitian kualitatif muncul sebagai reaksi penelitian


kuantitif yang berusaha mengambil jarak terhadap subjek
penelitian demi komitmennya terhadap objektivitas ilmu
pengetahuan. Namun, ternyata penelitian kualitatif juga tetap
menekankankan objektivitas dan bebas nilai memalui
pemahamannya tentang apa yang dipikirkan, apa yang
dirasakan dan apa yang dilakukan subjek yang diteliti. Bahkan,
Jennings (1985), menyatakan bahwa sejumlah penelitian
kualitatif merupakan bentuk tersembunyi dari positivisme,
sipeneliti memilih menjadi pengamat pasif dan subjek yang
berpartisipasi pada penelitian berstatus sebagai ‘objek’
penelitian.. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran keterlibatan
aktif peneliti akan berpengaruh pada subjek yang diteliti.
Peter Reason (1994) menyatakan bahwa pandangan
positivisme memang cukup kuat dan efektif dalam mempelajari
suatu penomena yang dapat diperlakukan sebagai ‘benda’,
suatu entitas yang dapat dipisahkan dari keseluruhan. Tetapi
apabila diterapkan pada manusia hasilnya adalah menjauhkan
manusia dari alam semesta. Manusia dibuat menjadi tidak
‘merasakan’ apa yang terjadi di alam sekitarnya. Akibatnya,
manusia kini hanya mempunyai pilihan hidup selamat atau
bunuh diri (Sutrisno, 1995).
Karena itu, sudah saatnya untuk mengganti kerangka
berpikir memisahkan bagian yang satu dari bagian lain atau
dari keseluruhan dengan mengusahakan kebersatuan dengan
sekitar. Dalam penelitian dikembangkan suatu paradigma
ketiga, yaitu penelitian partisipatif. Berikut disajikan sejumlah
pandangan dasar paradigma ini.
Pertama, sebagian besar kegiatan manusia berada di luar
kendali kesadaran dari manusia yang bersangkutan dan Asumsi-
asumsi
penelitian
partisipatif
dikelilingi oleh kondisi sosial yang diluar jangkauan kesadaran
pelaku itu sendiri. Kedua, pejelasan yang berupa interpretasi
sering dirasa bertentangan dengan hukum-hukum sosial,
kepercayaan atau prakteknya dalam hidup sehari-hari. Ada
‘logika keadaan’ yang berbeda dari ‘logika sebab akibat’.
Ketiga, penelitian tidak dapat menghindarkan dari reformulasi
dan resimbolisasi suatu kejadian, sehingga penelitian lebih
merupakan tindakan mengkonstruksi ketimbang menemukan
pengetahuan. Keempat, penggunaan pengetahuan para ahli dan
‘bahasa’ tertentu dalam membuat interpretasi, sering tidak
dapat diakses oleh subjek yang berpartisipasi dalam penelitian.
Kelima, kegiatan penelitian yang ingin ‘membongkar’ tata
aturan sosial, atau oleh ‘endapan kebiasaan masa lalu’ yang
membuat frustrasi sebagian orang, merupakan bagian dari
pemerdekaan manunisa tidak mungkin dilakukan dengan dua
paradigma yang terdahulu.
Penelitian dengan paradigma partisipatif mempunyai
komitmen pada perubahan sosial serta meninggalkan semua
dalih demi netralitas pengetahuan. Penelitian ini mencoba
secara eksplisit mengidetifikasi dan mengkritisi disjungsi,
perbedaan-perbedaan, serta pertentangan-pertentangan dalam
pengalaman hidup manusia. Fokus penelitian dengan
paradigma ini adalah refleksi diri secara kritis dan tindakan
untuk melakukan perubahan. Namun demikian tindakan ini
tidak karena di-‘provokasi’ dari luar secara sengaja (oleh
peneliti) tetapi karena kehendak bebas subjek yang diteliti
untuk terlibat secara aktif untuk mengembangkan diri (Candy,
1994).

3.2 Model penelitian partisipatif


Hasil akhir dari penelitian dengan paradigma partisipatif
adalah subjek yang telah terberdayakan (Sutrisno, 1998) sebab
setiap manusia adalah penentu bagi dirinya sendiri. Setiap
orang adalah entitas spiritual yang fundamental, ia sendiri
berpotensi menjadi penyebab tindakannya sendiri. Salah satu
cara untuk menunjukkan kapasitasnya dan menjadi seorang
manusia sepenuhnya adalah hasil hasil belajar dan
pengembangan diri sendiri (John Heron, 1992). Bagi banyak Ko-subjek dan
ko-peneliti
orang, pengembangan diri sendiri tidak mudah dilakukan.
Mereka perlu dibantu agar mampu menjadi penentu dirinya
sendiri. Karena merupakan pemberdayaan maka kehendak
bebas subjek yang diteliti merupakan hal yang sangat penting.
Agar kehendak bebas ini tetap terjaga, mereka yang
berpartisipasi dalam penelitian diposisikan sebagai ko-subjek
dan sekaligus sebagai ko-peneliti. Sebagai ko-subjek, mereka
melakukan semua kegiatan bersama-sama dengan peneliti.
Sebagai ko-peneliti, mereka bersama-sama dengan peneliti
mencermati, menganilisis, mengambil keputusan, dan membuat
rencana kegiatan dalam setiap langkah yang dilaksanakan
selama penelitian. Posisi semacam ini berbeda dengan
penelitian-penelitian yang lain yang menempatkan peneliti dan
subjek yang berpartisipasi dalam penelitian memiliki tugas
berlainan yang sama sekali berbeda. Peneliti menyumbang
pemikiran yang dilaksanakan dan subjeknya melakukan
kegiatan sesuai dengan yang telah dirancang peneliti.
Peter Reason (1994) menyebutkan paling tidak ada tiga experiential
macam pengetahuan yang dikonstruksi oleh manusia. Pertama knowledge;
practical
adalah experiential knowledge yaitu pengetahuan yang knowledge;
dikonstruksi melalui pertemuan langsung dengan orang lain, di propositional
knowledge
tempat dan / atau benda-benda yang berbeda. Kedua adalah
practical knowledge yaitu pengetahuan yang dikonstruksi
melalui tindakan, melakukan sesuatu. Ketiga adalah
propositional knowledge yaitu pengetahuan yang berbentuk
proposisi-proposisi, atau teori-teori. Di dalam penelitian,
propositional knowledge yang dikonstruksi pada akhir
penelitian harus didasarkan (grounded) pada experiential
knowledge dan pratical knowledge.
Disebutkan bahwa dalam penelitian partisipatif peneliti
dan subjek yang berpartisipasi berhubungan timbal balik
dalam putaran yang terdiri empat fase refleksi dan aksi seperti
yang tersaji pada Diagram 2.3.
Pada fase I, sekolompok orang (sebagai ko-peneliti)
bersama dengan peneliti berkumpul, bersama-sama mencari
aktivitas yang dapat dikerjakan bersama. Setelah setuju untuk
melakukan kegiatan bersama, masing-masing mengungkapkan
sejumlah masalah yang mereka rasakan. Masalah-masalah ini
kemudian dikumpulkan Kemudian, dipilih sejumlah masalah
yang dirasakan sebagai masalah bersama. Selanjutkan masalah-
masalah bersama ini diurutkan menurut skala urgensinya untuk
diselesaiakan bersama-sama secara ilmiah. Fase pertama ini
diakhiri dengan dihasilkannya serangkaian rencana kegiatan
yang rinci dan seksama untuk menyelesaiakan masalah. Dalam
fase ke-1, peneliti membantu dengan pengetahuan yang
dimiliki untuk menganalisis keadaan, merumuskan masalah,
mengurutkan urgensinya, merancang strategi penyelesaiannya,
serta menyusun prosedur kegiatan yang akan dilakukan. Dalam
fase ini pengetahuan proposisional dikenalkan oleh peneliti
kepada ko-peneliti, sekaligus menggali pengetahuan
proposisional anggota ko-peneliti.
Pada fase ke-2, kelompok ko-peneliti ini berubah fungsi
sebagai ko-subjek. Mereka melaksanakan kegiatan sesuai
dengan yang telah dirancang pada fase-1, termasuk mengamati,
mengukur, mencatat proses yang berlangsung serta yang
mereka hasilkan baik secara individual maupun secara
kelompok. Mereka juga mencatat apa yang dapat dilaksanakan
dan apa yang tidak dapat dilakukan di lapangan dari rencana
kegiatan yang telah disusun pada fase ke-1. Mereka
mengembangkan pengetahuan praktis bagaimana melakukan
(atau tidak) tentang sejumlah kegiatan yang telah dirancang
berdasarkan pada pengetahuan proposisional sebelumnya.
Fase ke-3, dapat dipandang sebagai batu uji pencarian
pengetahuan dalam paradigma ini. Ko-subjek sungguh
tenggelam di dalam pengalamannya. Karena mereka
mengalami sendiri maka mereka sampai pada tingkat
keterbukaan pikiran sehingga prekonsepsi-prekonsepsi yang
mereka konstruksi sebelumnya mereka lihat dengan cakrawala
baru. Mungkin pengetahuan mereka menjadi semakin
mendalam, atau pengetahuan sebelumnya yang supervisial
dielaborasi dan dikembangkan. Mungkin, mereka bahkan
meninggalkan sama sekali pengetahuannya dan menggantinya
dengan pengetahuan yang sama sekali baru.
Fase ke-4, setelah ko-peneliti terlibat sebagai ko-subjek,
dengan melibatkan diri dalam kegiatan pengamatan,
pengumpulan data (fase ke-2) dan berbagi pengalaman dengan
sesama teman yang berpartisipasi dalam kegiatan (fase ke-3),
mereka memasuki tahap membahas pertanyaan-pertanyaan dan
masalah-masalah, serta hipotesis-hipotesis yang mereka ajukan
pada tahap ke-1 berdasarkan pengalaman yang diperoleh.
Selanjutnya, mereka akan kembali mengajukan peratnyaan-
pertanyaan baru berserta rancangan penyelesaiannya atau
pertanyaan lama dengan perspektif baru sehingga memerlukan
rancangan penyelesaian dengan sudut pandang yang lain. Pada
tahap ini, dikembangkan lagi pengetahuan proposisional.
Putaran berlangsung lagi seperti putaran pertama dengan fase
ke-1, fase ke-2, fase ke-3 dan kembali ke fase ke-4. Jadi, tahap-
tahap penelitian dengan paradigma ini terdiri atas: aksi
(melakukan tindakan bersama) dan refleksi (berbagi
pengalaman) secara bergantian terus-menerus hingga mereka
menjadi mandiri dalam menyelesaiakan masalah secara ilmiah.
Mereka mampu menggunakan pengetahuan proposisional yang
tersedia sekaligus mereka mampu mengelaborasi lewat
kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Kegiatan semacam ini
memang yang dilakukan oleh para ilmuwan dalam
menyelesaikan masalah-masalah secara ilmiah.
Pengetahuan presentasional Pengetahuan proposional
Penyemaian gagasan

Penyajian data Penyampaian pengetahuan


proposisional
Penyampaian
Penyajian data pengetahuan
ke-2

PROSEDUR
Revisi
Rencana
Endapan
kegiatan dan
Pengalaman ke-2
pelaksanaan

Rencana
Endapan kegiatan dan
Pengalaman ke-1 pelaksanaan
Pengetahuan
5/29/2008 empiris leo sutrisno / penelitian kuantitatif / Pengetahuan praktis
13
msi untan

Diagram 3: Prosedur penelitian paradigma partisipatif

Menurut Peter Reason (1994), kegiatan berawal dari fase


ke-1 pada saat peneliti (fasilitator) menyodorkan proposal
kepada kelompok. Dalam proses selanjutnya proposal tersebut
dipertajam, diperhalus, dan dilengkapi pada fase-fase
berikutnya oleh kelompok itu sendiri. Pada awalnya, mungkin
proposisi-proposisi yang diajukan sangat supervisial, misalnya:
diadopsi dari tempat lain, asumsi-asumsi yang digunakan
hanya diterima begitu saja tanpa kritik sama sekali, merupakan
pendapat / pandangan umum, atau didasarkan atas kebiasaan
saja. Kelompok pun belum terbentuk kecuali mereka sama-
sama berkehendak untuk melakukan kegiatan bersama.
Ada kemungkinan penelitian ini tidak sampai pada ujung
yang sesungguhnya yaitu partisipan menjadi terberdayakan
apabila mereka tidak bereksplorasi cukup dalam atau tidak
berhasil menciptakan suatu ‘ruang yang aman’ bagi mereka
sendiri untuk saling ‘menentang’ satu dengan yang lain secara
kritis tanpa tumbuh rasa permusuhan.

3.3 Bentuk penelitian partisipatif


Penelitian partisipatif dapat dipandang sebagai suatu
proses partisipasi peneliti pada subjek yang sedang
mengeksplorasi sejumlah aspek dari hidupnya yang signifikan
agar lebih memahami dan mentranformasikan tindakannya
sehingga lebih sesuai dengan tujuan. Peter Reason (1994)
membagi tiga bentuk penelitian dengan paradigma partisipatif
ini, yaitu: co-operative experiential niquiry, participatory
action research dan action inquiry.

co-operative experiential inquiry


co-operative experiential inquiry dikembangkan oleh co-operative
John Heron (Lihat Peter Reason, 1994) pada akhir tahun tujuh- experiential
puluhan. Asumsi yang mendasari bentuk penelitian co- inquiry
operative experiential inquiry adalah setiap manusia adalah
self-determining. Manusia mempunyai wewenang untuk
mengelola dirinya sendiri. Perhatian dan penalarannya
menentukan tingkah lakunya. Apabila, penelitian yang
dirancang dan dikerjakan oleh peneliti diterapkan langsung
pada subjek maka subjek tersebut bukan sebagai manusia yang
utuh. Ia lebih mirip sebagai ‘objek’ – manusia yang
di-‘benda’-kan oleh peneliti. Peneliti hanya dapat melakukan
penelitian bersama orang apabila apa yang dirancang dan apa
yang dilakukan di dalam penelitian diarahkan oleh orang itu
sendiri. Jadi seorang peneliti hanya dapat mempelajari manusia
secara penuh apabila ia mengembangkan hubungan yang aktif
antara dirinya dengan subjek yang diteliti sedemikian rupa
sehingga tingkah laku subjek yang sedang diteliti merupakan
perwujudan dari kehendak subjek itu sendiri setelah melewati
suatu proses kerjasama.
Karena itu, subjek yang diteliti dipandang sebagai ko-
peneliti. Mereka, bersama-sama peneliti menetapkan fokus
penelitian, membuat rancangan penelitian, melaksanakannya,
dan menarik kesimpulan. Mereka juga dipandang sebagai ko-
subjek. Mereka, dengan penuh kesadaran, melibatkan diri pada
semua aktivitas yang dilaksanakan selama penelitian.
Dalam penelitian semacam ini sumber pengetahuan
utama adalah pengarahan diri sendiri setiap subjek yang
berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang diteliti untuk
menemukan suatu kebenaran. Bentuk kegiatannya terdiri atas
aksi dan reflesi yang terus menerus. Refleksi diperlukan untuk
mempertajam dan memperkaya pengetahuannya sehingga
dapat lebih kuat mengarahkan aksinya. Mereka akan berputar
dalam siklus: pengetahuan proposisional untuk merancang aksi
yang terarah, pengetahuan praktis untuk memningkatkan
ketrampilan yang akan diendapkan sebagai pengetahuan karena
telah mengalami sendiri dan berbagi pengalaman dengan yang
lain, dan pengetahuan-pengalaman untuk memperkaya
pengetahuan proposisional.

Participatory action research


Participatory action research (PAR) merupakan salah satu Participatory
bentuk penelitian partisipatif yang paling dikenal. Penelitian iniaction research
banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok LSM yang
bertemakan ‘pemberdayaan’. Bentuk penelitian ini disemangati
oleh reformasi pendidikan yang dikembangkan Paulo Freire
(1970) yang sangat perhatian pada kelompok yang
terpinggirkan, kelompok yang teralinisiasi.
Ada dua tujuan penelitian PAR (Peter Reason, 1994),
yaitu: menghasilkan pengetahuan dan tindakan yang langsung
berguna bagi masyarakat dan memberdayakan anggota
masyarakat melalui konstruksi pengetahuannya sendiri dan
menggunakannya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapinya. PAR sangat menekankan kolaborasi dan dialog
untuk menumbuhkan motivasi dan rasa percaya diri, serta
mengembangkan solidaritas masyarakat.
PAR menggunakan berbagai metode dan desain yang
tumbuh dari kebiasaan atau tradisi setempat. Berbagai kegiatan
dilakukan, misalnya: pertemuan, diskusi, pengumpulan data,
melakukan sesuatu bersama-sama dsb. Peneliti berfungsi
sebagai fasilitator bagi subjek yang berpartisipasi dalam PAR.

Action inquiry
Penelitian co-operative inquiry mempunyai tujuanAction inquiry
menumbuhkan kesadaran subjek bahwa yang bersangkutan
mereka sendiri adalah penentu bagi kehidupannya sendiri.
Penelitian PAR mempunyai tujuan memberdayakan subjek
agar dapat menggunakan penegtahuannya sendiri untuk
meningkatkan harkat dan martabat kehidupannya. Penelitian
Action inquiry bertujuan meningkatkan keadilan dan
efektivitas dalam masyarakat.
Masalah yang diperhatikan dalam action inquiry adalah
bagaimana cara mengubah organisasi – organisasi dan
komunitas-komunitas menjadi lebih bersifat kolaboratif,
menjadi komunitas pencari kebenaran yang mampu melakukan
refleksi diri.
Menurut Torbert ada empat wilayah pengalaman manusia
yang perlu dicermati dalam action inquiry yaitu: tujuan,
strategi, pilihan-pilihan yang terbuka, dan dunia luar. Setiap
manusia, secara alamiah, tentu memiliki tujuan-tujuan dalam
hidupnya, termasuk tujuan-tujuan dari waktu ke waktu dan
bahkan juga mungkin ada perubahan urgensi dari tujuan-
tujuan itu. Semua ini perlu dipahami oleh setiap orang. Setelah
mengetahui tujuannya, seseorang perlu memiliki strategi yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi pemecahan
masalah meliputi: pemahaman tentang keadaan yang dihadapi
secara penuh dan sungguh-sungguh, pemahaman jelas tentang
masalah yang akan diselesaikan, pemahaman tentang berbagai
kemungkinan yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi, kemampuan untuk membuat rencana
kegiatan yang perlu dilalui saat menyelesaikan masalahnya,
dan kemampuan untuk mengevaluasi hasil penyelesaian yang
telah dilakukan. (Sutrisno, 1995)
Dalam hidup yang sesungguhnya, manusia dihadapkan
banyak pilihan secara terbuka. Tetapi, tidak banyak orang yang
berani menghadapi pilihan pilihan itu ketimbang yang
menyerahkan pilihan pada orang yang ‘di atas’ agar terhindar
dari tanggung jawab. Pengetahuan tetntang mengelola pilihan
perlu dikembangkan dalam diri setiap orang. Akhirnya, setiap
tindakan yang dilakukan, walaupun dipilih dengan penuh
kesadaran, tetap memiliki akibat baik pada diri sendiri maupun
pada diri orang lain. Konsekuensi akan tindakannya seharusnya
juga diketahui sepenuh hati oleh setiap orang. Dalam posisi
semacam ini action inquiry mengambil tempat.

Critical approach

5/29/2008 leo sutrisno / penelitian kuantitatif / 11


msi untan
3.4 Kritik terhadap penelitian partisipatif
Kritik pertama muncul karena penelitian dengan
paradigma ini masih ‘pendatang baru’ dalam dunia penelitian
maka belum banyak pakarnya. Karena itu, metodologinya
masih kurang terbentuk. Sebagian besar terkesan gado-gado.
Kelemahan kedua muncul dari sifat penelitian yang
berpihak pada yang terpinggirkan. Akibatnya, penelitian
dengan paradigma ini mempunyai beban politis yang
bertentangan dengan sifat kenetralan ilmu pengetahuan.
Menciptakan suatu kelompok yang kohesif dan dinamik
tidak mudah, bahkan juga dirasakan oleh para pakar karena itu,
penelitian ini akan menjadi sangat sukar bagi sebagian orang.
Peter Reason mengingatkan ‘this is no easy way forward’.

Referensi
Azrul Anwar dan Joedo Prihartono, 1987. Penelitian
kedokteran. Jakarta:
Badudu, J.S., dan Sutan Mohammad Zain, 1996. Kamus
umum bahas Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan
Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, 1999. Quantum
Learning, (Cetakan ke-5), Bandung: Kaifa
Candy. Philip C., 1989. Alternative paradigms in educational
research. Australian Educational Research. Vol.16.
No.3. halaman: 1 -11
Carr, W. dan Kemmis, S. 1983. Becoming critical: knowing
through action research. Highton, Vic. : Deakin
University Press
Eisner, E.W. , 1981, On the differences between scientific and
artistic approaches to qualitative research.
Educational Researcher.hal.5-9.
Fensham, P.J., 1979. Science education research: present and
future. Research in Science Education. Vol.9 .
halaman 1-4
Gorys Keraf, 1980, Komposisi: sebuah pengantar
kemahiran bahasa. Ende, Flores: Arnoldus .
Jenning, L.E., 1985. Paradigmatic choices in adult education:
from the emperical to the critical. Australian Journal
of Adult Education vol 25 No,2, halaman 3-7
John Head, 1986. Research into alternative frameworks:
promise and problem. Research in Science &
Technological Education. Vol 4 No.2. halaman: 203-
211
LeCompte, M.D. dan Goetz, J.P., 1982 Problem reliability and
validity in ethnographic research. Review of
Educational Research. Vol 52. No.1, halaman 31-60
Mahoney, Michael, J. 1975. Experiment meethods and
outcome evaluation. Journal of councelling and
clinical Psychology. Vol 46. No. 4, halaman 660-672
Peter Reason, (Editor), 1994.. Participation on human
inquiry. London: Sage,
Rob Walker. 1980. The conduct of educational case studies:
ethics, theory and procedures. Di dalam William
Bryan Dockrell. Dan Hamilton, D.F., 1982.
Rethinking educational research. Kent, UK: Hodder
dan Stoughton.
Smith, Mary Lee, 1982. Benefits of maturalistic methods in
research in science education. Journal of Research in
Science Teachig. Vol. 119, No.8, halaman: 627-638
Spektor, Barbara S., 1984. Qualitative research data analysis
framework generating grounded theory applicable to
the crisis in science education. Journal of Research
in Science Teaching. Vol.21 No.5 halaman 459-467.
Sutrisno, L., 1990. Remediation of weaknesses in physics
concepts. Melbourne, Universitas Monash: disertasi
Sutrisno, L., 1992a. Besar sample. Mimbar Untan tahun 9,
No.11&12
Sutrisno, L., 1992b. Validitas dan rancangan percobaan.
Makalah untuk pelatihan metode penelitian bagi dosen
FKIP UNTAN
Sutrisno, L., 1995a. Hak manusia atas perdamaian. Makalah
umtuk seminar HAM, Untan, Agustus
Sutrisno, L., 1995b. Kelas dengan lab penyelesaian masalah:
Makalah untuk Seminar Nasional MIPA, UGM,
Agustus
Sutrisno, L., 1997. Arah penelitian pendidikan MIPA.
Makalah untuk Seminar nasional hasil-hasil penelitian
kependidikan dan Lokakarya Lembaga-lembaga
penelitian LPTK, IKIP Ujung Pandang
Sutrisno, L., 1998. Penelitian partisipatif: model alternatif
kegiatan tugas akhir mahasiswa penyetaraan S1-
Pendidikan MIPA. FKIP Untan
Sutrisno, L., 2001. Penelitian kuantitatif. Makalah untuk S2
Ilmu-ilmu sosial. Untan

You might also like