You are on page 1of 21

ISLAM RASIONALITAS

(Telaah Pemikiran Muhammad Abduh)


Oleh : Agus Jaya

Pendahuluan
Agama Islam yang sumber ajarannya al Qur’an dan hadits nabi1 telah berjalan
dalam sejarah yang cukup panjang. Perjalanan sejarah Islam tersebut bisa dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu : priode klasik, priode pertengahan dan priode modern.2
a. Priode Klasik (650-1250 M) bisa dibagi menjadi dua fase yaitu :
- fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M)
- dan fase integrasi (1000-1250 M).
Pada fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan, daerah Islam meluas melalui
Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur.
Pada masa inilah berkembang dan memuncak ilmu pengetahuan, baik dalam bidang
agama maupun dalam bidang non-agama dan juga bidang kebudayaan Islam. Pada
masa inilah lair ulama-ulama besar seperti Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam
Syafi’i dan Imam Ibnu Hanbal. Demikian juga di bidang aqidah dan mistisme serta
filsafat.3
Pada Fase Disintegrasi, keutuhan umat Islam dalam bidang Politik mulai pecah,
kekuasaa khalifah menurun dan akhirnya Baghdad dirampas dan dihancurkan oleh
keberutalan tentara Hulaga pada 1258 M. Dan Khalifah sebagai simbol kekausaan
politikpun sirna.
b. Priode pertengahan (1250-1800 M) juga bisa dibagi menjadi dua fase yaitu :
- fase kemunduran
- fase tiga kerajaan besar

1
Hal ini bisa dlihat dalam hadits Rasulullah saw, beliau bersabda : “aku tinggalkan untukmu dua
perkara, selama kamu berpegang teguh dengan keduanya, maka kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah
dan Sunnah nabi-NYa. Imam Malik, al Muwatho’ Kairo : kitab al Syabab, tt. Hal 560. dan Imam Ahmad bin
Hambal, Musnad Al Imam Ahmad bin Hambal, Beirut : Dar Shodir, tt. Jil. !. hal. 442.
2
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan
Bintang, 1987. cet. V hal. 12.
3
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah dan
Ibadat. Jakarta : Paramadina 2002. hal. 2

1
fase kemunduran ditandai dengan meningkatnya desentralisasi dan disintegrasi.
Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah semakin tampak demikian juga perbedaan antara
Arab dan Persia semakin nyata. Pada saat ini dunia Islam terbagi menjadi dua blok,
yaitu blok Arab dan blok Persia. Demikian pula pada saat ini desakan ditutupnya pintu
Ijtihad dikalangan umat Islam semakin meluas.
Fase tiga kerajaan besar adalah kerajaan Utsmani di Turki, kerajaan Safawi di
Persia dan kerajaan Mughal di India. Pada zaman kemajuan, ketiga kerajaan ini
memiliki kejayaan masing-masing terutama dalam bentuk literatur dan arsitektur.pada
masa kemunduran, kerajaan Utsmani terpukul di Eropa, kerajaan Safawi dihancurkan
oleh serangan-serangan suku bangsa Afghan, sedangkan daerah kekuasaan kerajaan
Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja India. Dan masa ini tampak kekuatan
militer dan kehandalan politik umat Islam menurun jauh.
c. Priode Modern atau disebut juga dengan zaman kebangkitan umat Islam.
Kejatuhan Mesir ketangan Barat menginsyafkan dunia Islam akan kelemahannya
dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah muncul peradaban baru yang lebih
tinggi dan merupakan ancaman bagi umat Islam.
Dalam fase ini telah muncul satu substansi pengetahuan keislaman yang disebut
dengan modernisme Islam.4 Jadi modernisme Islam merupakan gerakan besar untuk
menghentikan degenerasi umat Islam dalam hampir semua segi kehidupan dan untuk
menutup sekurang-kurangnya mempersempit kesenjangan antara Islam dalam teori dan
Islam dalam praktek.5
Salah seorang tokoh modernisme Islam ini adalah Muhammad Abduh yang
mencetuskan ide kepmbali kepada al Qur’an dan Hadits.
Dalam makalah ini penulis membahas Rasionalitas Islam dalam pemikiran
Muhammad Abduh yang dikejewantahkannya melalui ide-ide pembaharuannya yang
revolusioner.

4
modernisme Islam adalah upaya untuk memperbaharui penafsiran, penjabaran, dan cara-cara
pelaksanaan ajaran-ajaran dasar dan petunjuk–petunjuk yang terdapat dalam al Qur’an dan Haits sesuai
dengan perkemabangan situasi dan kondisi masalah yang dihadapi. Lihat Mastuhu dkk. (penyunting),
seminar Identitas IAIN Jakarta, Jakarta : Lembaga Penelitian I|AIN, 1987. hal : 2
5
Amien Rais, “kata pengantar “ dalam Jhon J. Donohue dan Jhon L. Eposito ed, Islam dan
Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-Masalah, Jakarta : Rajawali Pres, 1984. hal xiii.

2
Perjalanan Sejarah Islam

Fase Ekspansi, Integrasi,


Priode Kemajuan (650-1000) dan
Klasik Disintegrasi (1000-1250)

Fase kemunduran dan fase Tiga


Priode
Kerajaan Besar (1250-1800)
Pertengahan
Priode
Modern Zaman Kebangkitan Umat
Islam (1800-sekarang)

Riwayat hidup
Suatu penelusuran yang agak teoritis yang mungkin dapat dianggap tepat untuk
mengetahui riwayat hidup Muhammad Abduh dilakukan oleh Charles C. Adams. Ia
menggunakan pendekatan periodeisasi. Ia membagi riwayat hidup Abduh kepada tiga
periode: periode pertumbuhan; periode pemunculan di depan publik; dan periode berada di
puncak karir.6
Kelemahan pendekatan Adams tentu saja ada, misalnya ia menganggap riwayat
hidup Abduh sudah terpisah-pisah secara ketat antara satu masa dengan masa berikutnya,
padahal menentukan batas masa itu sangatlah riskan karena hidup itu berjalan secara
alamiah bagai air mengalir begitu saja tanpa terputus-putus. Oleh karena itu sulit
membatasi penggalan kehidupan seseorang secara ketat, pasti dan tanpa pengaruh sebelum
dan sesudah masa tertentu. Akan tetapi, karena Adams membuat pembagian periode itu
bukan semata-mata melalui pendekatan kualitatif, juga melalui pendekatan kuantitatif
dengan menetapkan tahun dan peristiwa-peristiwa yang dilalui Abduh, maka cara
pembagian Adams dapat diterima dalam rangka memudahkan pemahaman yang
kontekstual menurut masa, kondisi, tempat dan lingkungan kehidupan seseorang. Uraian
berikut mengikuti pembagian periode menurut Adams tersebut.

6
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (New York: Russell&Russell, 1933), h. 18.

3
A. Periode Pertumbuhan (1849-1877 M)
Di penghujung abad ke-18, yaitu pada tahun 1798 M., Napoleon Bonaparte dari
Prancis, dalam usahanya menyaingi kegiatan ekspansi Inggris ke dunia timur, mengadakan
ekspansi ke Mesir. Napoleon datang ke mesir bukan hanya membawa pasukan militer
dengan persenjataannya yang lebih unggul tetapi juga turut serta dalam ekspedisi itu 500
kaum sipil dan 500 wanita. Di antara kaum sipil tersebut terdapat 167 ahli dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan. Napoleon juga membawa 2 set peralatan percetakan, dengan
huruf Latin, Arab dan Yunani. Ekspedisi itu bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi
juga untuk keperluan ilmiah dan kebudayaan.
Kontak orang Mesir, terutama ulama-ulamanya, dengan kebudayaan yang dibawa
oleh Napoleon itu menimbulkan kesadaran mereka bahwa umat Islam sudah jauh
ketinggalan dari orang Eropa. Setelah berkunjung ke lembaga ilmiah dan laboratorium
Prancis itu, Abdul al-Rahman al-Jabarti, seorang ulama al-Azhar dan seorang penulis
mengatakan bahwa disana dilihatnya benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang
sulit di mengerti oleh akalnya. Begitulah kesan seorang kaum terpelajar Islam zaman itu
terhadap kemajuan yang dicapai Eropa. Ternyaata, keadaan menjadi seratus delapan puluh
derajat berbeda. Kalau diperiode klasik orang Barat terheran-heran melihat kemajuan
kebudayaan dan peradaban Islam, di periode modern justru umat Islam terperanjat dan
terpesona kagum melihat kebudayaan dan kemajuan Barat.
Kesadaran akan kemunduran dan keterbelakangan itu menimbulkan hasrat umat
Islam untuk maju kembali sebagaimana halnya dimasa silam. Gerakan pembaruan pun
timbul di Mesir di pelopori oleh Muhammad Ali, seorang perwira dari Turki yang turut
berperang melawan tentara Prancis. Dalam gerakan pembaruannya ia mengirimkan orang-
orang Mesir untuk belajar di Eropa, terutama ke Paris. Di Kairo sendiri ia dirikan sekolah-
sekolah, seperti sekolah militer pada tahun 1815, sekolah tekhnik (1816), sekolah
kedokteran (1827), sekolah apoteker (1836) dan sekolah penerjemahan (1827).
Sebagai penguasa tunggal Muhammad Ali tidak menghadapi kasukaran-kesukaran
dalam usahanya membawa pembaruan di Mesir terutama dalam bidang pendidikan, militer,
dan ekonomi. Ia adalah seorang raja Absolut yang menguasai sumber kekayaan, terutama
tanah yang ada di negeri itu, pertanian dan perdangangan. Di tingkat daerah, para
pegawainya juga bersikap keras dalam melaksanakan kehendak dan perintahnya. Oleh

4
sebab itu, rakyat merasa tertekan dan tertindas. Guna menghindari kekerasan yang
dijalankan para pengawai Muhammad Ali, rakyat didaerah ada yang terpaksa berpindah-
pindah tempat, suatu keadaan yang mencerminkan suatu keresahan dan ketidakpastian di
kalangan rakyat Mesir.7
Dalam suasana kebudayaan dan perkembangan politik demikianlah Muhammad
Abduh lahir tahun 1266 H, bertepatan dengan 1894 M. Menurut Harun Nasution, kakek
Muhammad Abduh diketahui turut menentang pemerintahan Muhammad Ali. Kenyataan
ini dituduhkan pula kepada Abduh Khoirullah, Ayah Muhammad Abduh. Karena tuduhan
itu ayahnya sempat dipenjara untuk beberapa lama, sebelum ia menetap di al-Gharibiah dan
mengikat tali perkawinan dengan ibu Muhammad Abduh. Ayahnya berasal dari desa
Mahallat Nasr didaerah al-Bahirah, sedangkan ibunya, yang berasal dari desa Hashat
Syabsir di al-Gharibiah, disebut-sebut berasal dari keluarga Utsman, dari Bani ’Adi, salah
satu suku Arab yang terkemuka.8
Ayah Muhammad Abduh bernama Abduh Ibn Hasan Khair Allah. Jadi nama
lengkapnya adalah Muhammad Abduh Ibn Hasan Khair Allah.9 Keluarganya hidup dari
hasil pertanian, namun mempunyai jiwa keagamaan yang teguh, taat, dan berpandangan
terbuka terhadap ilmu pengetahuan. Ayahnya menganjurkan Muhammad Abduh untuk
menuntut ilmu pengetahuan. Masa pendidikan Abduh dimulai dengan pelajaran dasar
membaca dan menulis melalui orang tuanya sendiri. Ia selanjutnya belajar al-Qur’an
kepada seorang hafiz.10 Dalam waktu dua tahun ia sendiri menjadi seorang hafiz pula. 11
Berikutnya ia belajar di Masjid Ahmadi, di Thantha. Metode pengajaran yang
menitikberatkan hafalan tanpa pengertian bagi murid-muridnya di sekolah itu, membuat
Muhammad Abduh merasa tidak puas. Ia kembali ke Mahallat Nashr dan bertekad
melanjutkan usaha orang tuanya di lapangan pertanian. Kala itu ia diperkirakan berusia 16
tahun, di usia itu pula ia menikah.12 Orang tuanya yang mempunyai apresiasi yang
memadai terhadap ilmu pengetahuan tidak setuju dengan tekad Abduh yang hanya ingin
bertani. Orang tuanya memerintahkan Muhammad Abduh untuk kembali belajar di Mesjid
7
Jean and Summone Laconture, Egypt in Tranition, Newyork : Creterion Books, 1958. hal. 52
8
Muhammad Rasyid Ridho, Tarikh Ustadz al Imam as Syaikh Muhammad Abduh, Kairo : Dar al
Iman, 1367 H. Jil. III. Cet. II. Hal. 237
9
Ibid
10
Ibid
11
Ibid
12
, Tahir Al-Tanahi, Ed., Muzakkirat al-Imam Muhammad abduh (Kairo: Dar al-Hilal, t.t.), h. 29

5
Ahmadi di Thantha. Dalam perjalan kembali ke Thantha ia menyimpang ke desa Kanisah
Urin, tempat tinggal kaum kerabat pihak ayahnya. Seorang di antara kerabat ayahnya itu
adalah Syeikh Darwisy Khadr yang sering melawat ke luar Mesir belajar berbagai ilmu
agama Islam, dan pengikut tarikat al-Syaziliah.13 Syeikh Darwisy berhasil membina
kehidupan ruhani dan intelektual Muhammad Abduh. Dengan semangat baru, di tahun
1870 M. Muhammad Abduh kembali ke Thantha, dan enam bulan kemudian ia belajar di
Al-Azhar. Di al-Azhar kekecewaannya seperti sebelumnya di Mesjid Ahmadi, Thantha
kembali terulang. Ia, bahkan mengatakan bahwa metode pengajaran yang verbalis merusak
akal dan daya nalarnya.14 Untung saja di saat ini Muhammad Abduh berjumpa dengan
Jamal al-Din al-Afghani yang kemudian menjadi gurunya, sahabat dan tokoh pembaharu
Islam yang amat terkemuka kala itu. Al-Afghani menjadi tokoh alternatif oleh Muhammad
Abduh dalam memperdalam ilmu pengetahuan, bukan saja yang berhubungan dengan ilmu
agama Islam, tetapi juga ilmu lainnya. Muhammad Abduh, di samping terus belajar di al-
Azhar, walaupun merasa tidak berkenan dengan metode pendidikan dan pengajaran yang
diterapkan, sekan-akan mendapat kepuasan dari al-Afghani yang mengutamakan pengertian
dan diskusi-diskusi dalam lingkaran studi yang diasuh tokoh ini.
Aktivitas Abduh di luar kampus, terutama dalam diskusi bersama lingkaran studi al-
Afghani, bukan saja telah memperluas cakrawala dan kemampuan intelektualitasnya,
bahkan mungkin telah pula menjadi faktor yang mendorongnya menyelesaikan studi
akademiknya di al-Azhar. Pada tahun 1877 M. ia menerima gelar ‘Alim dan berhak
menjadi dosen di Universitas al-Azhar itu.15

B. Periode Pemunculan di Depan Publik.


Periode ini berlangsung antara 1877 sampai 1882, sejak ia menyelesaikan kuliahnya
di al-Alzhar hingga ia diasingkan oleh penguasa Mesir waktu itu ke Beirut karena masalah
politik. Pada dekade 1877-1882 ini Muhammad Abduh berkarir sebagai guru dan penulis.

13
Harun Nasution, Pembaharuan ..., h. 60
14
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan,
Disertasi S.3., Pascasrjana IAIN Jakarta, 1989.
15
Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh (Mesir: al-
Manar, 1931. jil III hal. 239. menurut rektor al Azhar kala itu seandainya al Azhar ada yudisium cum laude
(derajat mumtazah) seharusnya ia memperoleh derajat ujian ilmiah tertinggi itu.

6
Ia mengajar di tiga perguruan tinggi di Mesir : Al-Azhar, Dar al-‘Ulum dan Perguruan
Bahasa Khedewi. Mata kuliah yang diasuhnya meliputi telogi, sejarah, ilmu politik, dan
kesusasteraan Arab. Ia menekankan metode diskusi dan semangat pembaharuan dalam
menghadapi mahasiswanya.16 Muhammad Abduh sangat menekankan pentingnya Bahasa
Arab dengan baik dan ilmu-ilmu Agama Islam secara lebih baik dan juga meluruskan
penyimpangan yang ada. Ia dianggap tidak mendukung pemerintah yang berkerjasama
dengan Inggris. Ia tidak diizinkan lagi mengajar di Dar al-‘Ulum dan Perguruan Bahasa
Khedewi tadi.Pada masa pemerintahan Khedewi Tewfik di Mesir, Abduh dan gurunya al-
Afghani dianggap menjadi biang oposisi. Abduh menjadi tokoh politik yang diganjar
tahanan kota. Al-Afghani juga demikian, bahkan keduanya pernah diusir dari Mesir pada
tahun 1879. Status tahanan di pengasingan Abduh di cabut oleh Perdana Menteri Riad
Pasya setahun kemudian, dan ia dibolehkan kembali ke Kairo, Mesir. Bahkan ia diangkat
menjadi anggota redaksi, kemudian selanjutnya menjadi Pemimpin Redaksi lembaran
negara Al-Waqa’i al-Misriah.17 Posisinya sebagai pemimpin redaksi lembaran negara ini
menambah peluang kritiknya terhadap pemerintah pada berbagai hal: agama, sosial, politik,
dan kebudayaan. Ia seakan-akan melanjutkan semangat nasionalisme yang ditinggalkan al-
Afghani di Mesir. Ketika itu di Mesir muncul politik rasialisme yang berpangkal dari
perbedaan kedudukan dan jabatan antara perwira-perwira Angkatan Bersenajata berasal
dari Turki, mendapat posisi penting, sedangkan mereka yang berasal dari Mesir sendiri
terkucil. Pada saat ini munculllah tokoh Urabi Pasya. Tokoh perwira Mesir ini melakukan
gerakan-gerkan tuntutan pemerintahan yang demokratis, Mesir harus berparlemen. Abduh
sendiri walaupun termasuk golongan nasionalis, tidak sependapat dengan tuntutan itu.
Baginya, rakyat Mesir belum matang untuk hal-hal seperti itu. Bagi Mesir yang penting
siap menjadi negara demokratis dan berparlemen. Suatu pernyataan yang sebenarnya tidak
terlalu berbeda tetapi memberi makna dalam. Artinya, Abduh lebih menekankan
perjuangan bertahap bersifat evolusioner dibandingkan dengan gerakan sporadis yang
revolusioner. Pada saat itu Urabi Pasya yang belakangan ini tampak semakin gencar
melakukan gerakan demokratisasi dan pembebasan itu, sampai ke puncak usaha berujung
kepada pemberontakan. Keadaan ini menjadi runyam. Perlawanan berubah terhadap
kekuasaan Barat Inggris dan hal itu melibatkan Muhammad Abduh. Ia lalu ditangkap
16
Ibid
17
Harun Nasution, Muhammad Abduh ...op. cit., h. 16

7
penguasa, setelah tiga bulan dihukum penjara ia di buang ke luar negeri untuk masa tiga
tahun. Akhir 1882 M Muhammad Abduh menetap di Beirut, kemudian pindah ke Paris,
Prancis setahun kemudian dan bergabung dengan al-Afghani yang sudah lebih dulu berada
di Prancis. Keduanya membangun gerakan dalam satu organisasi yang disebut Al-Urwat
al-Wustqa18 yang menerbitkan media komunikasi cetak yang sama namanya dengan
gerakan itu. Tentang gerakan dan majalah ini di katakan oleh Ahmad Amin, jiwa dan
pemikirannya berasal dari Al-Afghani sedangkan tulisan yang mengungkapkan jiwa dan
pemikiran itu berasal dari Abduh.19 Masa-masa di luar negeri itu bagi Abduh
dipergunakannya untik menulis dan mengunjungi berbagai tempat serta mengajar. Ia
berkunjung ke Inggris, ke Tunis, dan negara lainnya, dan akhir 1884 M ia kembali ke
Beirut. Di sini Ia menghentikan aktifitas politiknya dan banyak mengajar, menulis dan
menerjemahkan kitab-kitab ilmu pengetahuan berbagai bidang ke dalam Bahasa Arab.20 Ia
kembali ke Mesir pada tahun 1888 M. dengan berbagai pengalaman dan tambahan
khazanah intelektual yang luas dan dalam setelah berkunjung ke bebagai tempat dan
orang–orang terkemuka di bidang ilmu pengetahuan. Ia masuk ke babak baru
kehidupannya.

C. Periode di Puncak Karir


Tampaknya, setelah malang melintang dengan pergulatan perjuangan yang terbawa
oleh arus semangat juang revolusioner sahabat dan gurunya al-Afghani, Abduh kembali ke
garis perjuangan yang sebenarnya sudah ia yakini dari dulu paling tepat yaitu garis
perjuangan yang bersifat evolusioner. Ia lebih mementingkan perjuangan mengubah
masyarakat dan menegakkan prinsip-prinsip Islam bukan dengan mengubah struktur
kekuasaan, tetapi dengan pendekatan dari bawah dengan upaya meningkatkan kecerdasan
rakyat. Pendek kata Muhammad Abduh lebih cenderung kepada pendekatan kultural
dibandingkan struktural atau pendekatan kebudayaan dibandingkan politik praktis. Ia ingin
kembali menjadi pengajar di Dar al-Ulum. Hanya, karena kesan keterlibatannya pada
pemberontakan Urabi Pasya dulu, maka Khedewi Tewfik, penguasa Mesir waktu ini tak

18
Ibid
19
Di Beirut ia menyelesaikan bukunya Risalat al-Tauhid, dan menerjemahkan buku al-Raddu ‘ala
al’Dahriyyin, karangan Jamal al-Din al-Afghani. Lihat, Muhammad Rasyid Ridha, op. cit., h. 392 dan 398.
20
Muhammad Abduh..., op.cit., h. 19

8
mengizinkannya. hal itu dapat dimaklumi karena dikhawatirkan semangat mahasiswa akan
dipengaruhinya lagi.21 Muhammad Abduh, lalu ditawarkan oleh Khedewi Tewfik menjadi
hakim di luar kota Kairo. Ia sebenarnya tak begitu tertarik atas tawaran jabatan itu.
Mungkin karena tidak ada pilihan lain, maka tawaran menjadi hakim pada Pengadilan
Negeri itu ia terima juga, mulanya di Benha dan Zagazig. Kemudian Ia menjadi hakim di
Kairo di Pengadilan Negeri Abidin. Pada akhir 1890 M ia diangkat menjadi Penasihat pada
Mahakamah Tinggi. Posisi ini, walaupun pada mulanya tidak begitu berkenan di hatinya,
telah menjadikan Abduh mampu mempergunakan kesempatan untuk menuangkan berbagai
ide pembaruannya. Agaknya, ia sampai ke puncak karirnya. Ia tidak saja melakukan
pembaharuan di bidang peradilan sesuai dengan jabatannyan, tetapi juga di bidang
pendidikan yang menjadi pokok perhatiannya. Ia mewakili pemerintah duduk dalam
Komite Administratif Universitas Al-Azhar pada tahun 1895 M. bersama syeikh atau
profesor-profesor terkemuka lainnya yang banyak melakukkan perbaikan untuk perguruan
tinggi paling terkenal di dunia Islam ketika itu Banyak rencana Abduh yang masih
terbengkalai yang ingin ia lakukan, namun maut merenggutnya pada tanggal 11 Juli 1905
M. dengan didahului oleh sakit beberapa hari. Walaupun Muhammad Abduh telah
meninggal, tetapi pemikiran dan ide-ide pembaruannya tetap bergema di dunia islam,
bukan saja di Mesir dan Timur Tengah, bahkan sampai ke Asia Tenggara. Di batu nisan
beliau tertulis : huwa al hayyu al baqy (dia hidup kekal abadi).22 Beberapa karya tulisnya
yang menonjol adalah Risalah Tauhid, (1897); Islam wa-lnashraniya ma’a al’ilm wa al-
madaniya; Sharh Kitab al-basair al-Nasiriya, tasnif al-Kadi Zain Din (1898). Lalu
kumpulan ceramahnya dan artikel-artikelnya dalam translatasi ke Bahasa Perancis oleh
Muhammad Tal’at Harb Bey (1905) berjudul Europe et al-Islam. Ketika ia bersama-sama
Al-Afghani, Muhammad Abduh sempat menerjemahkan karya tokoh ini dari Bahasa Pesia
ke Bahasa Arab : Risalat al-Radd ‘ala al-dahriyin (1886) dan karya lainya Sharh Nahj al-
balagha dan Sharh Maqamat Badi’ al-zaman al-Hamadhani (1889). Yang lain adalah
Taqrir fi Ishlah al-Mahakim al-Shar’iya (1900).

21
Harun Nasution, Muhammad Abduh..., op.cit., h. 19.
22
Abdul Ghoffar Abdurrahim, Al Imam Muhammad Abduh wa Manhajuhu fi attafsir, Kairo : Dar
al Anshor. 1980. hal. 27

9
Priodesasi
Kehidupan
Muhammad Abduh

Pertumbuhan Puncak Karir


Pemunculan di Depan Publik (1877-1882)
(1849-1877) (1882-wafat)

Pengembaraan keberbagai
Masa Pencarian jati diri daerah dan muncul sebagai Mengubah Masyarakat
melalui pendidikan dan dosen diberbagai dan menegakkan prinsip-
keaktifan dalam media massa universitas dengan prinsip Islam melalaui
berbagai disiplin ilmu jalur evolusioner)
evolusioner)
-

Ide-ide Pembaharuan Muhammad Abduh


Ide-ide pokok pembaharuan yang telah dikemukakan Abduh secara konseptual
dalam tahapan aflikasi di terjemahkan dengan cara yang evolusioner, graduatif (bertahap),
kultural (budaya) serta transformasi mental dalam mewujudkan dasar yang kokoh bagi
perkembangan masyarakat.23 Adapun ide-ide tersebut meliputi :

A. Pembaharuan Pemikiran
Muhammad Abduh berpendapat bahwa sebab-sebab kemunduran umat Islam
adalah faham jumud, keadaan membeku, statis, tak ada perubahan. Umat Islam hanya
berpegang teguh kepada tradisi dan tidak mau menerima hal-hal baru. 24 Muhammad
Abduh, sebagaimana Muhammad Abd al-Wahab dan Jamal al-Din al-Afghani menganggap
bid’ah yang masuk ke ajaran Islam adalah menyesetakan. Oleh karena itu harus dibasmi.
Bagi Muhammad Abduh perubahan itu tidak hanya kembali ke ajaran salaf seperti
dianjurkan Abd al-Wahab, tetapi harus disesuaikan dengan keadaan modern. Bila ibadat
sudah jelas pedomannya di dalam Qur’an dan Hadist, maka soal-soal kemasyarakatan yang
hanya garis besarnya dapat disesuaikan untuk mengikuti perkembangan zaman, umat Islam
23
Harun Nasution, Muhammad Abduh... op. cit., h. 23 . Lihat pula H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers,
Shorter Encyclopaedia of Islam, (New York: Cornell Univ. Press, 1953),h.406
24
------------ Pembaharuan ... op. cit.’ h. 62.

10
tidak boleh taklid. Umat Islam mesti mempergunakan akal dan fikiranhya. Al-Qur’an
sendiri banyak menyatakan pentingnya akal-pikiran itu: seperti afala yatadabbarun, afala
ta’qilun, afala tatafakarun dan sebagainya. Kedudukan akal bagi Abduh sangat tinggi.
Wahyu tidak akan bertentangan dengan akal. Bila zahir ayat bertentangan dengan akal,
maka ayat itu dapat ditafsirkan sesuai dengan prinsip-prinsip akal. Ini berkaitan dengan
dasar-dasar ilmu pengetahuan modern yang banyak berdasarkan hukum alam
(sunnatullah), dan hal itu sesuai dengan prinsip-prinsip Islam seperti disebutkan oleh
Qur’an yang menempatkan posisi akal di tempat paling tinggi.25
Prinsip ini membuat Muhammad Abduh berfaham bahwa manusia mempunyai
kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will dan free act atau qadariah). Bagi
Muhammad Abduh wujud manusia dalam perbuatannya yang bebas itu tetap berdasarkan
ketentuan bahwa kekuasaan Allah tetap berada di tempat paling tinggi. 26 Akal yang
dikaitkan dengan masalah ilmu pengetahuan modern membawa kemajuan tinggi bagi umat
manusia. Di samping itu akal juga harus dikaitkan dengan konsep teologi. Bagi
Muhammad Abduh peranan akal dalam teologi adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya;
2. Mengetahui adanya hidup di akhirat;
3. Mengetahui bahwa kebahagiaan hidup di akhirat bergantung pada mengenal
Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraannya bergantung pada tidak
mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat;
4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan;
5. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan
jahat untuk kebahagiaannya di akhirat;
6. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban itu.27

Dilihat dari sisi menempatkan kekuatan yang tinggi kepada akal dalam teologi,
maka Abduh malah melebihi Mu’tazilah, akan tetapi ia menerima konsepsi manzilat bain
manzilatain (‫ ) منزلة بين منزلتين‬oleh Mu’tazilah. Selanjutnya bila dirinci lebih dalam,
Muhammad Abduh, menempatkan posisi akal jauh lebih tinggi dari Mu’tazilah. Bagi

25
Ibid. h. 65
26
Ibid. h. 66
27
Harun Nasution, Muhammad Abduh... op. cit., h. 53

11
Abduh akal beperan terhadap enam hal di atas. Sementara bagi Mu’tazilah hanya empat
saja peranan akal dalam teologi, yaitu :
1. Mengetahui kewajiban terhadap Tuhan;
2. Mengetahui kebaikan dan kejahatan;
3. Mengetahui kewajiban beruat baik;
4. Mengetahui kewajiban menjauhi perbuatan jahat.28
Penempatan akal di posisi yang penting itu bukan berarti Muhammad Abduh
merendahkan posisi wahyu. Wahyu lebih tinggi lagi daripada akal, karena wahyulah yang
menjelaskan kepada akal bagaimana cara beribadat dan berterimakasih kepada Tuhan.
Wahyu menentukan baik buruknya suatu ketetapan Tuhan melalui suruhan dan
larangannya pada hal-hal yang berlaku saat akal tak mampu memberi kualifikasi terhadap
baik dan buruknya suatu perbuatan. Akal diperkuat pula oleh wahyu melalui sifat sakral
dan kekuatan absolutnya untuk memaksa manusia untuk tunduk kepada hukum dan
peraturan.29
Mengenai ijtihad, Abduh berpendapat bahwa lapangan ijtihad adalah masalah-
masalah kemasyarakatan yang jumlahnya sangat sedikit disinggung di dalam al-Qur’an dan
hadist. Karena itu perlu interpretasi baru untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman. Ijtihad
harus langsung kepada al-Qur’an dan Hadist, karena itu mujtahid haruslah orang-orang
yang mempunyai syarat-syarat yang diperlukan. Orang yang tidak mempunyai syarat itu
harus mengikut kepada pendapat yang ia setujui fahamnya di kalangan mujtahid yang ada.
Bagi Abduh, ijtihad tidak diperlukan untuk lapangan ibadat yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, karena itu tidak diperlukan penyesuaiannya dengan perkembangan
zaman.
Ijtihad hanyalah di lapangan yang berhubungan dengan masalah manusia dengan
manusia.30

B. Pembaharuan Pendidikan
Mengubah pola befikir, berarti harus mengubah kualitas manusia dari bodoh dan
tidak mengetahui apa-apa menjadi pandai dan mengetahui berbagai ilmu pengetahuan

28
Ibid., h. 56-57.
29
Ibid’. h. 67
30
Harun Nasution , Pembaharaun ... op.cit., h.64.

12
agama dalam arti sempit, maupun pengetahuan umum yang luas, ilmu pasti, sosial, sastra,
falsafat, dan ilmu pengetahuan modern lainnya. Abduh melakukan pembaharuan di bidang
pendidikan melalui pemikiran pendidikan dan praktik pendidikan. Pemikiran
pendidikannya tertuang pada tiga bentuk:
1. pentingnya Bahasa Arab
2. pengetahuan agama, sains modern, sejarah dan pengetahuan umum sama-sama
penting
3. metode pengajaran tidak dititik beratkan kepada menghafal dan membaca
komentar-komentar dari teks pelajaran, akan tetapi memahami dan mengerti apa
yang terdapat di dalam ilmu itu dengan penekanan metode diskusi.31
Pemikiran pendidikan itu diterapkan oleh Muhammad Abduh, di masa-masa ia aktif
mengajar di Dar al-Ulum, Al-Azhar, dan Perguruan Tinggi Bahasa Khedewi. Upaya itu
semakin meningkat ketika ia diangkat menjadi anggota Dewan Pimpinan al-Azhar oleh
Khedewi Abbas pada tanggal 15 Januari 1895. Ia duduk di dalam Komite Adiministratis itu
bersama-sama dengan ulama-ulama terkemuka dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan
Hanbali yang sezaman dengannya itu. Ia bahkan menjadi penggerak dari dewan itu.32
Abduh melakukan pembaharuan Al-Azhar antara lain meliputi :
- administrasi
- keuangan
- fasilitas bagi pengajar dan mahasiswa.
Muhammad Abduh memperpanjang masa belajar dan memperpendek masa libur. Ia
mengemukakan betapa pentingnya pelajaran bahasa pada empat tahun pertama sebagai
ganti dari pembacaan hasyiyah (komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar dari teks),
dan pokok-pokok pelajaran diterangkan dengan cara mudah dan dimengerti. Mata pelajaran
umum seperti matematika, aljabar, ilmu ukur, dan ilmu bumi dimasukkannya ke dalam
kurikulum Al-Azhar. Perpustakaan Al-Azhar dilengkapinya. Ia sendiri turut mengajar di
Al-Azhar dalam mata kuliah teologi Islam, logika, retorika dan tafsir.33

31
Ibid, h. 67. lihat juga, H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen dalam Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 1978), h. 70.
32
Harun Nasution, Muhammad Abduh ... op. cit., h. 20
33
Ibid

13
Meskipun upaya pembaruan yang ia lakukan di Al-Azhar mendapat tantangan dari
ulama-ulama tradisional, namun banyak juga yang menerimanya. Cakrawala berfikir umat
Islam telah pula dibukanya, walaupun ia terpaksa mundur dari anggota dewan pimpinan
Al-Azhar, karena khedewi Abbas tidak merestuinya pada tahun 1905 M beberapa bulan
sebelum ia wafat.34

C. Pembaharuan dalam Aflikasi Hukum


Pengangkatan diri Muhammad Abduh sebagai Mufti di tahun 1899 M. memberi
peluang kepadanya untuk melakukan pembaharuan di bidang ini. Ia memperbaiki
pandangan masyarakat dan para mufti itu sendiri, tentang kedudukan mufti yang ditunjuk
negara hanya sebagai penasihat hukum untuk kepentingan negara. Di luar itu, mufti sekan-
akan berlepas diri dari tanggungjawab orang yang mencari kepentingan dan kepastian
hukum.35 Muhammad Abduh senantiasa meluruskan pandangan yang salah. Ia memberi
kesempatan kepada siapapun untuk mendapatkan jasa mufti di bidang hukum, tidak
terbatas untuk kepentingan negara tetapi juga kepentingan masyarakat luas.36
Di dalam memutuskan berbagai perkara pengadilan sejak ia menjadi hakim di
Benha, Zagazig, dan kemudian Kairo sampai ia menjadi Penasihat Mahkamah Tinggi pada
tahun 1890 M. hingga menjadi Mufti 1899 M., ia banyak berpegang kepada keadilan bukan
teks hukum. Di dalam berfatwa ia tidak terikat dengan pendapat ulama-ulama sebelumnya.
Ia sanggup dan berani melakukan ijtihad bebas. Ia pernah menghalalkan sembelihan orang
Nashrani dan Yahudi sebagai ahli kitab bagi umat islam.37 Pada masa ia menjadi mufti,
Muhammad Abduh juga melakukan penataan institusi wakaf. Ia membentuk Majelis
Administrasi Wakaf. Ia duduk sebagai seorang anggotanya. Dari dana wakaf itulah, mesjid-
mesjid diperbaiki termasuk perangkat-perangkat, dari pegawai sampai ke imam dan khatib
mesjid itu.38

D. Pembaharuan Politik

34
Ibid., h. 21
35
Muhammad Rasyid Ridha, op.cit., h. 429
36
Ibid.
37
Harun Nasution, Muhammad Abduh... op. cit h. 19 dan 22
38
Muhammad Rasyid Ridha, op. cit., h. 19 dan 22

14
Sebenarnya, jasa Muhammad Abduh dalam pembaharuan di bidang politik tidaklah
seluas dan sebesar di bidang pemikiran dan lebih-lebih lagi tidak sedalam dan seluas di
bidang pendidikan. Akan tetapi, mengingat dinamika keadaan politik waktu itu, Abduh
juga memberikan sahamnya dalam bidang ini. Pada tahun 1899 M. ia diangkat menjadi
anggota Majelis Syura, semacam dewan legilatif Mesir. Ia aktif di dalam dewan ini. Upaya
Muhammad Abduh adalah mengusahakan kerjasama yang baik antara Majelis Syura dan
pemerintah Mesir. Pada mulanya, Majelis Syura tidak diperhatikan oleh Pemerintah. Akan
tetapi setelah usaha Muhammad Abduh memperlihatkan bahwa kedua lembaga Majelis
Syura dan Pemerintah bertujuan sama untuk kepentingan rakyat Mesir secara keseluruhan,
maka pemerintah mengirimkan rencana-rencanaya untuk dibahas Majelis. Nampaknya,
upaya yang ia lakukan di Majelis itu, juga merupakan kesatuan konsepnya dalam
memajukan rakyat Mesir untuk dapat memasuki kehidupan politik demokratis yang
didasarkan atas musyawarah.39 Jadi secara hakiki tidak terlepas juga dari usahanya dalam
lapangan dalam lapangan pendidikan dalam makna yang lebih luas.

Bagan Ide ranah Pembaharuan Muhammad Abduh

39
Harun Nasution, Muhammad Abduh ... op. cit.

15
Pembaharuan Pembaharuan
Pemikiran Pendidikan

Ide
Pembaharuan
Muhammad
Abduh

Pembaharuan
Pembaruan dalam Aflikasi
Politik Hukum

Pengaruh Ide Pembaharuan Muhammad Abduh


Ide-ide pembaharuan Abduh memberi pengaruh terhadap dunia Islam pada
umumnya, tidak saja di dunia Arab bahkan sampai ke Asia. Pengaruh-pengaruh tersebut
bisa ditemukan di Suriah40, Iran,41 Maroko,42 Turki43 dan dunia Arab serta di Indonesia dan
Malaysia. Penyebaran pengaruh ide tersebut melalui karangan-karangan Muhammad
Abdus sendiri dan karangan murid-muridnya, baik yang berupa buku, majalah maupun
40
pemikiran Muhammad Abduh di Suriah dikembangkan oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridho,
Syakib arsilan, Lihat, Abdul Ghofur Abdur Rahim, Muhammad Abduh … Hal 332
41
Pemikiran Muhammad Abduh dibawa ke Iran oleh Zaka’ullah Mirza Muhammad Husain Khon.
Ibid.
42
Pemikiran Muhammad Abduh dikembangkan di Maroko oleh bdul Qodir dan Jamaludin al
Qosimy
43
Pemikiran Muhammad Abduh dikembangkan oleh Muhammad Syarafuddin, Direktur Ma’had
Islamiyah Kuliah Adab di Universitas Istambul di Turki.

16
tulisan dan artikel.44 Di Indonesia banyak tokoh mengaku telah mendapatkan pemahaman
tentang pembaruan pemikiran Islam dari Abduh. Pada awalnya pemikiran Abduh ini masuk
ke Indonesia melalui Syekh Taher Jalaluddin yang pada sempat belajar di Mesir pada tahun
1892.45 Ketika itu Abduh sedang populer setelah dirinya dibolehkan masuk kembali ke
Mesir dari pengasingannya ke Beirut. Pengaruh Abduh juga dapat dilacak dari beredarnya
majalah Al-Urwat al-Wustqa dan al-Manar di Indonesia dan Malaysia.46 Demikian juga
Abdul Karim Amarullah (ayah Buya HAMKA atau inyiek Rasul) dan Jamil Jambek
(Inyiek Jambek) Bahkan Abdullah Ahmad dan Amarullah pada tahun 1925 setelah
menghadiri konferensi Internasional Islam di Mesir, keduanya dianugrahi gelar Doktor
Honoris Causa dari Al-Azhar. Inyiek Rasul digambarkan oleh Hamka di dalam bukunya
”ayahku” sebagai sosok yang amat keras dengan prinsip keyakinan dan ilmu yang
dimilikinya. Ia sangat menguasai teologi atau ilmu ketuhanan (ilmu tauhid), fikih dan ushul
fikih. Basis jama’ahnya adalah Surau Jembatan Besi di Padang Panjang kemudian
menjelma menjadi madrasah Thawalib.
Kelahiran, gerakan dan kiprah organisasi Muhammadiyah juga dianggap pula
merupakan bagian dari pengaruh Abduh di negeri ini.
Abduh sebagai tokoh pembaharu tidak terlepas dari pengaruh al-Afghani namun
keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar.47 Al-Afghani menghendaki perubahan
ummat melalui perubahan politik revolusioner, sedangkan Abduh melalui kekuatan rakyat
dengan mencerdaskan rakyat melalui pendidikan, dan karena itu bersifat evolusioner .
Pembaharuan-pembaharuan yang diperjuangkan dan dikerjakan di lapangan pemikiran,

44
Harun Nasution, Pembaharuan , op, cit., h.68
45
Hamka, Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, (Jakarta: Tinta Mas, 1961) h.16, Taher
Jalaludidin, di samping belajar di Mekkah pada halaqah imam bermazhab Syafii, juga belajar di Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir. Ilmu agamanya berbasis aqidah dan syara’ yang luas ditambah pula secara spesifik
amat menguasai ilmu falak atau astronomi. Karena selain di Mekkah ia juga belajar di Al-Azhar dan amat
profesional dan ahli ilmu falak, maka kadang-kadang oleh pengagumnya sering dibelakang namanya diberi
tambahan sehingga menjadi Syekh Taher Jalaluddin Azhari al-Falaki.
46
Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997),h. 135.
47
Disamping Muhamad Abduh terpengaruh oleh pemikiran Jamaludin al Afghani ia juga sangat
terpengaruh oleh pola pemikiran Imam al Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim. Lihat, Abdul Ghoffar
Abdr Rahim, Al Imam Muhammad Abduh ..., hal. 28. salah satu bentuk pengaruh pemikiran Imam Ghozali
terhadap Muhammad Abduh adalah pendapat Imam Ghozali yang diamini oleh Muhammad Abduh bahwa :
tafsir naqli (berdasarkan dalil al Qur’an dan hadits) saja tidak cukp untuk menafsirkan al Quran secara tuntas
tapi hendaklah diiringi dengan penggunaan akal dan perkembagan ilmu. demikian juga pendapat Imam
Ghozali bahwa tidak cukup perpegang teguh pada akal semata akan tetapi tetap harus diiringkan antara akal
dan Naqli. lihat Abdul Ghofur Abdur Rahim, Al Imam Muhammad Abduh ..., hal. 42-43

17
pendidikan, politik hukum dan kemasyarakatan merupakan percikan fahamnya, bahwa
kemajuan manusia dalam kehidupannya dapat dicapai melalui kekuatan akal dan penalaran
yang memang sesuai dengan apa yang banyak disitir oleh Quran dan Hadist.

Suria.
Dibawa
oleh
Muhammad
Turki, Rasyid
Ridho, dll Maroko, di
Dibawa
bawa oleh
oleh
Abdul
Muhammad
Qodir, dll
Syarafuddi
n, dll

Muhammad
Abduh,
Iran, (Islam
Rasionalitas Dunia Arab
dibawa masuk melalui
oleh Mirza ) Tulisan dan
Muhammad majalah yang
dibawa
Husain jamaah Haji
Khon, dll

Indonesia, Malaysia,
dibawa Syaikh
dibawa Syaikh
Taher Taher Jalaludin,
Jalaluddin,
tulisan, majalah
K.Dahlan, dll
jamaah Haji, dll

Fokus Pemikiran Muhammad Abduh

Ada dua fokus utama dari pemikiran Syaikh Muhammad ‘Abduh (1849-1905),
tokoh pembaru Mesir, ini.
Pertama, membebaskan umat dari taqlid dengan berupaya memahami agama
langsung dari sumbernya - Al-Quran dan Sunnah - sebagaimana

18
dipahami oleh salaful ummah sebelum berselisih (generasi sahabat dan
tabi’in).
Kedua, memperbaiki gaya bahasa Arab yang sangat bertele-tele yang dipenuhi
oleh kaidah-kaidah kebahasaan yang sulit dimengerti. Kedua fokus
tersebut ditemukan sangat jelas dalam karya-karya ‘Abduh di bidang
tafsir. Bagi ‘Abduh, tafsir harus dapat dimengerti dengan mudah
sehingga dapat menjadi huda (petunjuk) guna meraih kebahagiaan
duniawi dan ukhrawi, sesuai dengan fungsi diturunkannya Al-Quran.
Prinsip-prinsip Muhammad ‘Abduh dalam penafsirannya, antara lain :
- Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
- Menjadikan Al-Quran sebagai sumber kaidah dan hukum, bukan
melegitimasi pandangan mazhab melalui Al-Quran
- Al-Quran berdialog dengan semua generasi
- Tidak merinci ayat-ayat yang sifatnya mubham atau sepintas lalu
- Sangat kritis terhadap riwayat-riwayat baik hadis Nabi Saw. maupun
pendapat beliau dan tabi’in.
Tidak dapat disangkal bahwa Tafsir Juz ‘Amma ini merupakan karya tafsir yang
sangat bermanfaat dan bernilai. Betapa tidak! Muhammad ‘Abduh adalah seorang tokoh
pembaharu serta penafsir Al-Quran dengan ciri dan corak tersendiri yang telah diakui dan
diikuti oleh sekian banyak pemikir dan ulama sesudahnya. Muhammad ‘Abduh telah
berjasa mencerahkan pikiran-pikiran masyarakatnya dan berjasa pula dalam upaya
membela ajaran-ajaran Islam khusunya di kalangan masyarakat Barat yang ketika itu
sangat menyalahpahami ajaran Islam.”48

Penutup
48
M. Quraish Shihab, ”Membumikan” Al-Quran, Jakarta : Mizan, 1992. lihat juga M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Quran, Jakarta : Mizan, 1996.

19
Muhammad Abduh sebagai tokoh pembaharu tidak terlepas dari pengaruh al-
Afghani namun keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar. Al-Afghani menghendaki
perubahan ummat melalui perubahan politik revolusioner, sedangkan Muhammad Abduh
mengadakan perubahan melalui jalur kekuatan rakyat dengan cara mencerdaskan rakyat
melalui pendidikan, dan karena itu bersifat evolusioner. Pembaharuan-pembaharuan yang
diperjuangkan dan dikejawantahkan Oleh Muhammad Abduh berkisar lapangan pemikiran,
pendidikan, politik hukum dan kemasyarakatan merupakan inplikasi dari pola fikirnya yang
mensejajarkan antara al-Qur’an dan hadits sebagai petunjuk ilahiyah dan akal nurani
sebagai anugerah ilahiyah terhadap setiap insan manusia.

Daftar Pustaka

20
Abdullah, Haji, Rahman, Abdul, Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran,
Jakarta: Gema Insani Press, 199
Abdurrahim, Ghoffar, Abdul, Al Imam Muhammad Abduh wa Manhajuhu fi attafsir,
Kairo : Dar al Anshor. 1980.
Adams, C, Charles, Islam and Modernism in Egypt . New York: Russell & Russell, 1933
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi
Perbandingan, Disertasi S.3., Pascasrjana IAIN Jakarta, 1989.
Gibb, H.A.R. dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, (New York: Cornell
Univ. Press, 1953
________ Aliran-Aliran Moderen dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1Hambal, Ahmad,
Imam, Beirut : Dar Shodir, tt
Hamka, Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tinta Mas, 1961
Laconture, Summone, and Jean, Egypt in Tranition, Newyork : Creterion Books, 1958
Malik, Imam, al Muwatho’ Kairo : kitab al Syabab, tt
Mastuhu dkk. (penyunting), seminar Identitas IAIN Jakarta, Jakarta : Lembaga Penelitian I|
AIN, 1987
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta :
Bulan Bintang, 1987
Nawawi, Syauqi, Rif’at, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah
dan Ibadat. Jakarta : Paramadina 2002
Rais, Amien, “kata pengantar “ dalam Jhon J. Donohue dan Jhon L. Eposito ed, Islam dan
Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-Masalah, Jakarta : Rajawali Pres, 1984.
Ridho, Rasyid, Muhammad, Tarikh Ustadz al Imam as Syaikh Muhammad Abduh, Kairo :
Dar al Iman, 1367 H
________ Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh. Mesir: al-Manar, 1931.
Shihab, Quraish, M, ”Membumikan” Al-Quran, Jakarta : Mizan, 1992.
Shihab, M. Quraish Wawasan Al-Quran, Jakarta : Mizan, 1996.
Al-Tanahi, Tahir, Ed., Muzakkirat al-Imam Muhammad abduh . Kairo: Dar al-Hilal, t.t.

21

You might also like