Professional Documents
Culture Documents
MUNASABAH AL-QUR’AN
Agus Jaya
A. Pendahuluan
Pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar dikarenakan beliau gelisah
oleh kenyataan bahwa dalam pertempuran di Yammah, yaitu ‘perang kemurtadan’
(riddah) banyak penghafal al-Qur’an yang mati terbunuh. Karena mereka adalah
orang-orang yang menyimpan ayat-ayat al-Qur’an dalam hati mereka, Umar khawatir
jika lebih banyak lagi yang gugur, maka ada bagian al-Qur’an yang akan hilang dan
tak tertolong lagi. Abu Bakar menugasi Zaid ibn Tsabit untuk melaksanakan tugas itu
karena ia merupkan mantan juru tulis Nabi Muhammad. Setelah Abu Bakar wafat
penulisan al-Qur’an dilanjutkan oleh sahabat-sahabat Nabi lainnya. (Richard Bell
1998 : 35)
Mengenai tertib surat terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama Salaf,
ada yang mengemukakan pendapat bahwa hal itu tauqifi dari Nabi SAW dan ada juga
yang berpendapat bahwa hal itu berdasarkan ijtihadi para sahabat. (Ibrahim Al Abyari
1993 : 54)
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah
korelasi atau persesuaian kandungan Al-Qur’an kurang mendapat perhatian
mendalam dari para Ulama yang menekuni Ulumul Qur’an. Oleh karena itu makalah
ini berupaya mengetengahkan mengenai munasabah yang mencakup: pengertian
munasabah, sejarah perkembangan munasabah, eksistensi munasabah , macam-
macam munasabah serta urgensi munasabah.
B. Pengertian Munasabah
Menurut bahasa munasabah berarti al-musyâkalah dan al-muqarabah yang
berarti saling munyerupai dan saling mendekati. Dikatakan bahwa si A bermunasabah
dengan B, berarti A mendekati atau menyerupai B.
2
C. Eksistensi Munasabah
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al-Qur’an adalah tauqifi
(tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). (Al-Qattan Terj.Mudzakir, 1992:
141) Mengenai tertib surat-surat Al-Qur’an mayoritas ulama berpendapat bahwa
tertib surat-surat Al-Qur’an sebagaimana yang dijumpai pada mushhaf yang sekarang
adalah tauqifi. Pendapat ini didasarkan atas keadaan Nabi SAW. yang setiap tahun
melakukan mu’aradhah (memperdengarkan bacaannya) kepada Jibril AS. Termasuk
yang diperdengarkan Rasul itu tertib surat-suratnya. Pada mu’aradhah terakhir, Zaid
Ibn Tsabit hadir saat Nabi membacakan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tertib surat
yang sama kepada kita jumpai sekarang.
Adapun sebagian ulama memandang tertib ayat-ayat al-Qur’an masuk dalam
masalah ijtihad. Pendapat ini didasarkan atas beberapa alasan. Pertama mushaf pada
catatan para sahabat tidak sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca al-
Qur’an berbeda dengan tertib surat yang terdapat dalam al-Qur’an. Ketiga adanya
perbedaan pendapat dalam masalah tertib surat al-Qur’an ini menunjukkan tidak
adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang dimaksud. Selain itu ada pula yang
berpendapat bahwa sebagiannya tauqifi dan lainnya ijtihadi. Pendapat ini juga
mengajukan beberapa alasan. Menurut pendapat ini, tidak semua nama surat al-
Qur’an diberikan oleh Allah, tetapi sebagian diberikan oleh Nabi SAW. dan lainnya
diberikan oleh para sahabat. Usman pernah ditanya mengapa surat Al-Baqarah tidak
dimulai dengan basmalah. Ia menjawab bahwa ia melihat isinya sama dengan surat
sebelumnya, surat Al-Anfal. Nabi tidak sempat menjelaskan tempat surat tersebut
sampai wafatnya. Karena itu, saya-kata usman-meletakkannya setelah surat Al-Anfal.
Meski ketiga pendapat diatas memiliki alasan, tetapi alasan-alasan yang
dikemukankan itu tidak semuanya memiliki tingkat keabsahan yang sama. Alasan
pendapat yang mengatakan tertib surat sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat
tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda
dengan tertib mushaf yang sekarang dan adanya cacatan mushaf sahabat yang
berbeda bukanlah riwayat mutawatir. Tertib mushhaf sekarang berdasarkan khabar
5
mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan
mushaf itu hadir bersama Nabi setiap saat turun ayat al-Qur’an. Karena itu,
kemungkinan tidak utuhnya tertib mushaf sahabat sangat besar. Demikian juga alasan
pendapat yang mengatakan sebagian surat tauqifi dan sebagian lainnya ijtihadi tidak
kuat. Keterangan bahwa Nabi tidak sempat menjelaskan letak surat Al-Baraah
sehingga Usman menempatkannya setelah surat Al-Anfal adalah riwayat yang lemah,
baik dari segi sanad maupun matan. Sebab periwayat, Yazid pada sanadnya dinilai
majhul oleh Al-Bukhari dan Ibn Katsir. Dari segi matan juga riwayat ini lemah
karena Nabi wafat tiga tahun setengah setelah turunnya surat Al-Baraah. Tentunya
dalam rentang waktu demikian panjang sulit dibayangkan Nabi tidak sempat
menjelaskan letak sebuah surat, sedangkan Nabi setiap tahun membacakan Al-Qur’an
kepada Jibril. Sementara itu riwayat tentang mu’aradhah Nabi akan bacaanya kepada
Jibril setiap tahun adalah riwayat yang shahih. Karena itu, pendapat mayoritas lebih
kuat dari kedua pendapat lainnya. (Ramli Abdul Wahid 2002 : 92)
Izzudin bin Abdus Salam (577-660 H) yang mewakili sebagian ahli ilmu-ilmu
al-Qur’an masa klasik, Manna’ al-Qathan dan Shugbi as-Sholih yang mewakili ahli
ilmu-ilmu al-Qur’an kontemporer yang tidak menyetujui pemaksaan ilmu
munassabah untuk seluruh ayat-ayat al-Qur’an. Dengan argumentasi karena selain
ayat-ayat al-Qur’an diturunkan dalam rangka menjawab pertanyaan dan kasus yang
berbeda-beda, disamping pewahyuan al-Qur’an itu sendiri yang memakan waktu
lama. Lalu bagaimana merangkai ayat al-Qur’an SWT dengan banyak hal yang
dibicarakan dan juga memerlukan waktu yang tidak sedikit.(Al-Qathan, 1973: 98)
Akan tetapi menurut sebagian ulama tetap berkeyakinan bahwa hubungan al-
Qur’an antara bagian demi bagian dan ayat demi ayat serta surat demi surat pasti
dapat ditelusuri. Karena az-Zarkasyi juga mengatakan bahwa munasabah tergolong
ke dalam yang bersifat rasional dan akan terjangkau oleh akal manakala diserahi
tugas itu. Berbagai hubungan antara pembuka-pembuka surat dan penutup-
penutupnya, demikian pula dengan perujukan kepada makna apa pun yang
menghubungkan antara keduanya; apakah itu berdasar pendekatan ‘am dan khas, aqli
6
maupun hissi dan bahkan hayali serta hubungan-hubungan yang lain-lainnya. Bisa
juga dilakukan dengan pendekatan hubungan saling keterkaitan yang bersifat
penalaran, sebagaimana hubungan sebab-musabbab, illat dan ma’lul, an-nazhirain
dan lain-lain.(Az-Zarkasyi, 1988: 65)
Terlepas dari kontropersi pendapat tentang keberadaan munasabah, ilmu ini
termasuk yang kurang mendapat perhatian dari para mufassir. Buku-buku Ulumul
Qur’an, terutama buku-buku dalam bahasa Indonesia janrang memuat bahasan ini.
Sebab, ilmu munasabah-sebagaimana ditegaskan oleh al-Suyuthi –termasuk ilmu
yang rumit.
D. Macam-macam Munasabah
a. Macam-macam Sifat Munasabah
Ditinjau dari segi sifatnya munasabah atau keadaan persesuaian dan
persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu:
1. Persesuaian yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas,
yaitu persesuaian antara bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain tampak
jelas dan kuat, kerena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali
sehingga tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan
kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi
itu kadang-kadang ayat yang satu itu berupa penguat, penafsir, penyambung,
penjelasan, pengecualian atau pembatasan dari ayat yang lain, sehingga semua
ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, seperti
persambungan antara ayat 1 surah Al-Isra:
Artinya:
“ Maha Suci Allah, yang memperjuangkan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” (al-Isra’: 1)
7
Artinya:
“Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab
Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel.” (al-Isra’ : 2)
Ayat yang pertama berbicara tentang perjalanan isra’ Nabi Muhammad Saw;
sedangkan ayat kedua berbicara tentang penurunan Taurat kepada Musa. Segi
penghubungnya, kata az-Zarkasyi, pada ayat pertama, Allah menampilkan hal yang
ghaib (perjalanan isra’), kemudian diikuti informasi serupa (sama-sama ghaib)
berkenaan dengan hal yang terjadi di masa lampau guna memperkuat kebenaran
mukjizat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang selain Nabi Muhammad Saw
yakni mukjizat nabi Musa As. Jadi, Allah mengibaratkan nabi Muhammad Saw
sebagaimana nabi Musa juga pernah di-isra’kan Allah dari Mesir ke Palestina (al-
Baqarah 49-50, al-Anfal 54, Yunus 90, al-Isra’ 103, as-Syu’ara 65-67), beserta bala
tentaranya dalam suasana yang sangat mencekam dan menakutkan.(Az-Zarkasyi,
1988: 69)
2. Persambungan yang tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh) atau samarnya persesuaian
antara bagian Al-Qur’an dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian
untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat / surah itu berdiri sendiri-
sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang
satu bertentangan dengan yang lain.
Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surah al-Baqarah dengan ayat
190 surah Al-Baqarah. Ayat 189 surah Al-Baqarah tersebut berbunyi:
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan tsabit. Katakan-lah, bulan tsabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah)haji.”
8
Artinya:
“Dan perangilah di jalam Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi)
janganlah kalian melampaui batas.”
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi.”
Awalan surah Al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surah Al-Maidah
yang berbunyi:
Artinya: “Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa ayng ada
didalmnya dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
c. Munasabah terjadi pula antara awal surah dengan akhir surah.
Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surah Qasas. Surah ini dimulai dengan
menceritakan Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang
diperolehnya; kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan dua
orang laki-laki sedang berkelahi.
Allah mengisahkan doa Musa:
Kemudian surah ini diakhiri dengan menghibur Rasul bahwa ia akan keluar
dari Mekah dan dijanjikan akan kembali lagi ke Mekah serta melarangnya menjadi
penolong bagi orang-orang yang kafir:
Faedah dari munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan dua ayat
tersebut sebagai dua hal yang sama (An-Nadziiraini). Ayat 102 surah Ali-
Imran menyeruh bertaqwa dan ayat 103 surah Ali-Imran menyuruh berpegang
teguh kepada agama Allah, dua hal yang sama.
b. Tidak diathafkannya ayat yang satu kepada yang lain, seperti munasabah
antara ayat 11 surah ali-Imran:
Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat yang kedua
(ayat 11 surah Ali-Imran) dengan ayat yang sebelumnya (ayat 10 surah Ali-
Imran), sehingga ayat 11 surah Ali-Imran itu dianggap sebagai bagian
kelanjutan dari ayat 10 surah Ali-Imran.
c. Digabungkannya dua hal yang sama, seperti persambungan antara ayat 5
surah Al-Anfal:
Kedua ayat itu sama-sama menerangkan tentang kebenaran. Ayat 5 surah Al-
Anfal itu menerangkan kebenaran bahwa Nabi diperintah hijrah dan ayat 4
surah Al-Anfal tersebut menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum
mukminin.
12
Artinya : “Kami tidaklah mengutus seseorang nabi pun kepada suatu negeri,
(lalu penduduknya mendustakan nabi itu) melainkan Kami
timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya
mereka tuduk dengan merendahkan diri.”
Artinya : “Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezeki dari Kami yang tiada
habis-habisnya.”
13
Artinya: “Dan Allah menghalau orang-orang kafir yang keadaan mereka penuh
kejengkelan, mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah
menghindarkan orang-orang Mukmin dari perperangan. Dan Allah adalah Maha
Kuasa lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Ahzab 33 : 25)
Ayat ini ditutup dengan kata untuk membuatnya sejenis dengan kata
dalam ayat tersebut.
14
Artinya: “Satu tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka adalah malam. Kami
tanggalkan siang dari malam itu, maka tiba-tiba mereka berada dalam
kegelapan.” (QS. Yasin 36 : 37)
Kandungan ayat ini sebenarnya sudah jelas sampai kata al-du’a (panggilan).
Akan tetapi, untuk lebih mempertajam dan mempertandas makna, ayat itu diberi
sambungan lagi sebagai penjelas tambahan.
E. Urgensi Munasabah
Pengertian tentang munasabah al-Qur’an terutama bagi seorang mufasir
urgen. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui persambungan / hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antara
kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang
lain sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-
Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
Karena itu, Izzuddin Abd. Salam mengatakan bahwa ilmu munasabah itu adalah
ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat
15
yang lain, beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang betul-betul
berkaitan, baik di awal ataupun di akhirnya.(Az-Zarkasyi, 1988: 65)
2. Mempermudah pemahaman al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat Al-
Fatihah yang artinya, “Tujukilah kami kepada jalan yang lurus” disambung
dengan ayat tujuh yang artinya, “Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau anugerahi
nikmat atas mereka. “Antara keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalan
yang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah mendapat nikmat dari
Allah SWT.
3. Menolak tuduhan bahwa susunan al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya muncul
karena penempatan surat al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surat inilah
yang pertama dibaca. Padahal, dalam sejarah, lima ayat dari surat al-‘Alaq
sebagai ayat-ayat pertama turun kepada Nabi SAW. akan tetapi, Nabi menetapkan
letak al-Fatihah di awal Mushhaf yang kemudian disusul dengan surat al-Baqarah.
Setelah didalami, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surat al-Fatihah
mengandung unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat ini termuat doa
manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali
dengan petunjuk al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan uang lurus. Dengan
demikian, surat al-Fatihah merupakan titk bahasan yang akan diprinci pada surat
berikutnya, al-Baqarah. Dengan mengemukakan munasabah tersebut, ternyata
susunan ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an tidak kacau melainkan mengandung
makna yang dalam. (Ramli Abdul Wahid, 2002 :95)
4. Dengan ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-
an bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain,
serta persesuaian ayat / surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebih
menyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu benar-benar wahyu dari
Allah SWT dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW. karena itu, Abdul Djalal
dalam bukunya menambahkan Imam Fakhruddin al-Razi (Abdul Djalal, 2000:
164) mengatakan kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an terletak pada
16
SIMPULAN
Munasabah ialah cabang dari ilmu Ulumul Qur’an yang membahas
persesuaian atau korelasi antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah maupun
surah dengan ayat didalam al-Qur’an.
Terlepas dari kontropersi tentang keberadaan munasabah yang kurang
mendapat perhatian dari para muffasir, penulis sangat tertarik karena mempelajari
munasabah dapat mempermudah memahami dan memaknai hal-hal yang tersirat
didalam al-Qur’an sehingga bagian-bagian dari al-Qur’an nampak saling
17
berhubungan menjadi satu rangkaian yang utuh selain itu juga dapat mempertebal
keyakinan dan keimanan kita akan Kebesaran Illahi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Karim
Izzan, Ahmad 2005. Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas al-
Qur’an. Tafakur, Bandung.
Mudzakir, AZ. 1992. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Lintera Antar Nusa, Jakarta.
Suma, Muhammad Amin 2004. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Pustaka Firdaus, Jakarta.
Wahid, Ramli Abdul 1992. Ulumul Qur’an Edisi Revisi. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
18
Rijal al-Hadits berasal dari bahasa Arab rijal dan al-Hadits. Rijal jamak dari
rajul yang berarti seorang pria. Namun, dalam konteks ilmu hadits lafadz rajul atau
dalam bentuk jamak rijal bermakna seorang tokoh. Kemudian istilah rijal ini
digunakan dalam kajian hadits secra khusus, bahkan terdapat ilmu tersendiri yang
membahasa rijal al-hadits. Oleh karenanya, yang dimaksud dengan Ilmu Rijal al-
Hadits adalh ilmu yang membicarakan perihal tokoh atau orang yang membawa
Menurut Hasbi Ash Shikddieqy, rijalul al-Hadits ialah ilmu yang membahas
para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari perangkat sesudahnya
mengemukakan bahwa ilmu rijal al-hadits merupkan ilmu yang sangat penting.
Dengan suatu alasan bahwa cakupan ilmu hadits meliputi sanad dan matan.
hadits sebagai unsur dari sanad amat menentukan. Tanpa adanya rijal al-hadits maka
tidak terdapat sanad di dalamnya; demikian pula tidak adanya sanad dalam suatu
Ilmu Rijal al-hadits sering pula disebut dengan ilm ǐlm miza al-rijal yang juga
dinyatakan sebagai tonggak ilmu al-Sunnah yang dapat menentukann atau memilih
sutau hadits shahih dan hadits-hadits dlai’f, hadits yang diterima (maqbul) dari hadis
20
yang bertolak (mardud). Oleh karenanya membicarakan tentang nilai kecacatan dan
keadilan seorang rawi (al-jarh wa al ta’dl) hukumnya wajib bagi tipa mukmin,
Dari uraian diatas tampaknya yang menjadi titik persoalan dalam ilmu ini
berpokus pada sejarah kehidupan para tokoh hadits dalam rangkaian sanad, yang
meliputi masa kelahiran dan wafatnya; negeri asal dan negeri tempat pengembara
memperoleh hadits tersebut serta beberapa hal yang dikaitkan dalam periwayatan
hadits lainnya.
Secara umum ilmu rijal al-hadits ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu 'ilm
tarikh al-ruwah sebagai bagian pertama, yaitu ilmu yang mencoba mengenalkan para
rawi hadits dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadits
tersebut. Adapun bagian kedua, yaitu 'ilm al-jarh wa al ta'dil, merupakan ilmu yang
membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya.
penjelasan tentang keadaan para perawi, sejarah kelahiran mereka, wafatnya guru-
penilaian beberapa kritikus rijak al-hadits penilaian positif (ta'dil) maupun penilaian
21
tingkatan penilaian di dalamnya. Adapun ilmu ini menjadi pokus utama telaah rijal
al-hadits. Sebab, upaya mengetahui kualitas para rawi hadits dalam suatu mata rantai
periwayatan (isnad) melalui kritik (naqd) ulama mutlak dilakukan untuk mengetahui
kredibilitas seorang rawi. Dengan ilmu ini pulalah seorang rawi dinyatakan 'adil atau
tidaknya dan dengannya pula seorang rawi dinyatakan dhabith atau tidaknya.
Yang dimaksud syarat rijal hadits adalah syarat bagi rijal hadits yang diterima
periwayatannya atau disebut dengan riwayat yang shahih. Dengan demikian, syarat
rijal hadits tidak dapat dipisahkan dari persyaratan riwayat atau hadits yang shahih.
Ada lima komponen persyaratan suatu hadits dianggap shahih menurut jumhur
ulama, antara lain: Pertama, bersambung sanadnya; Kedua, diriwayatkan oleh orang
yang 'adil; ketiga, diriwayatkan oleh rawi yang dhabith; keempat, terhindar dari
Penialaian dari para kritikus periwayat hadits; 3) penerapan kaedah al-jarh wa al-
ta'dil. Sementara untuk menetapkan seorang rawi itu dhabith dilakukan melalui; 1)
dapat dinyatakan dhabith tetapi bila sering kali maka tidak dapat disebut lagi sebagai
yang meliputi ilmu tarikh al-ruwat dan ilmu al-jarh wa al- ta'dil memiliki
kompetensi yang tinggi untuk menentukan suatu sanad hadits itu berkriteria shahih.
Lebih khusus lagi peran kritikus hadits sebagai penilai para rijal al-hadits sangat
unsur kaedah periwayat 'adil dan dhabith juga memperhatikan pila kritikus hadits.
B. Kritik Rijal
Istilah kritik mengambil makna dari Arab al-naqd yang secara bahasa
secara khusus uang asli dan menyingkirkan uang palsu darinya. Sedangkan naqadtu
sesuatu dan memeriksanya atau menentukan yang baik dan yang rusak dan
seterusnya. Para ulama telah memberikan suatu definisi bagi ilmu naqd al-hadits
sebagai penilaian terhadap seorang rawi dengan sifat-sifat yang mencatat (tajrih) atau
ketentuan-ketentuan yang dapat dipahami dan dimengerti oleh ahlinya dalam rangka
Upaya menilai hadits kemudian disebut dengan istilah kritik hadits yang
mencakup kritik sanad (naqd al-sanad) dan kritik matam (naqd al-matan). Kritik
sanad sering diistilahkan dengan kritik rijal (naqd al-rijal) atau dalam ilmu sejarah
disebut dengan kritik ekstern (naqd al-khariji), sementara kritik matan sering disebut
pula dengan kritik materi (naqd al-nashi) atau kritik intern ((naqd al-dakhili).
yang paling sedehana hingga mencapai tahapan sempurna sebagai bagian dari ilmu
1. Tahap pelacakan akan kepastian suatun khabar (hadits), hal mana proses kritis
ini terjadi pada masa Rasulullah dalam bentuk mempertanyakan suatu khabar
yang mereka peroleh kepada Rasulullah atau kepada mereka yang secara
hadits. Upaya ini dilakukan untuk mengkritisi hadits yang mereka terima dari
seorang sahabat dan untuk dapat diakui sebagai berita yang datang dari
mengoreksi makna matan dan mempertanyakan keberadaan daya hafal rijal (sejak
ini pula dapat dinyatakan sebagai embrio munculnya kritik rijal al-hadits).
24
3. Tahap koreksi makna hadits, hal mana sikap kritis ini sejak masa sahabat.
Khususnya 'Aisyah yang dianggap paling banyak melakukan kritik model ini pada
4. Tahap kritik rawi dari sisi dhabith serta pemeliharaan rawi terhadap
kompleksitas matan, dalam hal ini mencakup kritik terhadap rawi kaitannya
5. Tahap penelitian sifat keadilan seorang rawi, hal ini mencul bersama
timbulnya intrik politik di saat terbunuhnya 'Utsman. Akibat intrik politik yang
masa itu. Pada tahap ini kritik rijal mulai menyusun kaedah jeadilan seorang rawi.
6. tahap pelacakan jalur sanad, upaya kritik melalui pelacakan jalur sanad ini
wilayah serta dari masa sahabat hingga generasi abad ke-3 H. menjadikan jalur
sanad hadits sebagai sesuatu yang harus dalam suatu hidits, tanpanya suatu hadits
tertolak secara tegas. Pada tahap ini kritik rijal memperoleh obyek yang semakin
khusus bagi ulama dalam melakukan kritik terhadap para rawi. Ilmu ini mencapai
25
kelompok pemula dari kalangan kritikus hadits masa Atba' al-Tabi'in seperti
Imam Malik bin Anas, Syu'bah bin al-Hajjaj, Sufyan al-Tsauri dan lainnya. Pada
tahap ini kritik rijal semakin jelas sebagai ilmu tersendiri dalam wacana ilmu
hadits dengan adanya metode serta kaedah yang dibakukan dalam rangka
'ilal al-hadits), di mana ilmu ini saat itu merupakan salah satu cabang ilmu kritik
hadits sebagai sisi lain dari ilmu al-jarh wa al-ta'dil. Ilmu ini ('ilal al-hadits) dalam
penerapannya bisa pada sanad juga pada matan hadits. Seperti pada sanad hadits,
9. Tahap terbaru dari kritik makna hadits, yaitu menolak adanya pertentangan dua
pergeseran huruf ataupun harakat pada teks yang menyebabkan kejanggalan pada
11. Sebagai tahap terakhir kritik hadits adalah penjelasan ataupun perincian terhadap
Adapun perawi yang tidak dikenal (al-Majhul) menurut ahli hadits minimal
untuk menghilangkan “jahalah” (tidak dikenal seorang perawi) adalah adanya dua
orang yang meriwayatkan dari perawi yang bersangkutan, atau lebih. Dengan hal ini
maka hilanglah sebutan “jahalah” terhadap dirinya dan tetaplah sifat adilnya.
ulama tidak bisa dinilai secara tegas diterima atau ditolak riwayatnya, tetapi harus
kepadaku orang yang saya percayai” atau “orang Thiqat” ataupun “orang yang saya
Pertama, penilaian tsiqat seperti itu belum cukup, tanpa menyebutkan nama.
Karena bisa jadi, perawi yang bersangkutan tsiqat menurutnya, tetapi tidak tsiqat
menurut yang lain seandainya ia menyebut nama perawi itu. Bisa jadi pula, ia
termasuk orang yang sendiri dalam menilai tsiqat, sementara yang lain memberikan
jarh terhadap perawi yang bersangkutan. Sehingga penyebutan nama secara jelas akan
menyebutkan nama perawi secara tegas dan menilai tsiqat perawi yang dikritiknya,
Menurut penulis yang benar adalah yang pertama dan dipegang oleh mayoritas
ulama’ hadits.
hadits.
Sedangkan bila seorang perawi yang terkena jarh karena kefasikannya telah
bertaubat dan perilakunya telah kembali baik, serta sifat adilnya diketahui setelah
taubatnya itu, maka setelah itu khabar-khabarnya bisa diterima. Ini bersifat umum
untuk setiap bentuk kemaksiatan kecuali sengaja berdusta atas suatu hadits Nabi
SAW. yang terakhir ini tetap tidak bisa diterima. Yakni khabar dari orang yang
28
Barang siapa yang menekuni bidang ini harus memenui kreteria alim,
bertakwa, wira’I, jujur, tidak terkena jarh, tidak fanatik terhadap sebagian perawi dan
mengerti betul sebab-sebab jarh dan adl. Sedangkan yang tidak memenuhi syarat-
yang mengkhususkan diri di bidang kritik hadits ini, hal ini terjadi kira-kira di
mulai sejak pertengahan abad ke 2 H. dan terus berkembang hingga saat ini.
Dapatlah dikelompokkan para tokoh kritikus hadits ini kepada kelompk zaman
hadits ini berdasarkan tahun wafatnya adalah 'Umar bin al-khathab (23), 'Ubadah
bin al-Shamit (34), 'Ali bin Abi Thalib (40), 'Abd Allah bin Salam (43), 'Aisyah
ummu al-Mu'minin (58), 'Abd Allah bin 'Abbas (68), 'Abd Allah bin 'Umar (73)
2. Pada tingkat Tabi'in, kritikus hadits yang ada pada masa ini adalah al-Hasan al-
Bishri (110), Thawus (106), Ayyub al-Sukhtiyani (131), 'Abd Allah bin 'Aun
3. Pada tingkatan Atba' al-Tabi'in, kritikus hadits yang masyhur masa ini cukup
a. Thabaqat pertama: Di Hijaz terdapat Malik bin Anas (179) dan Sufyan bin
'Uyainah (198); sementara si Iraq terdapat Sufyan al-Tsauri (161), Syu'bah bin
al-Hajjaj (161), Hammad bin Zaid (179), Hammad bin salamah (176);
sedangkan di Syam kita kenal al-Auza'I (157) dan di Mesir terdapat al-Laits
bin Sa'id (175) serta banyak lagi lainnya. Sehingga menurut al-Dzahabi
b. Thabaqat kedua: Di Iraq ada Yahya al-Qathan (198), Waki' bin al-Jarrah
(197), 'abd al-rahman bin Mahdi (198); sementara di Khurasan terdapat 'Abd
Allah bin Mubarak (181); di Syam terdapat Abu Ishaq al-Farazi (186) dan
Abu Mashar 'Abd al-A'la (218); di Mekah terdapat al-Syafi'I (204); dan
kritikus.
c. Thabaqat ketiga: Di Iraq terdapat Yahya bin Masir (23), Ahmad bin Hanbal
(241), 'Ali bin al-Madini (234) dan Muhammad bin 'Abd Allah bin Numair
(234), Abu Bakr bin al-Syaibah (235), Ishaq bin Rahawiyah (238), 'Abd Allah
d. Thabaqat keempat: Di Khurasan terdapat Abu Hatim (277), Abu Zurah (264),
e. Thabaqat kelima; Al-Turmudzi (279), Abu Bakr bin al-Bazzar (292) dan di
g. Thabaqat ketujuh: Abu Ja'far al-Thahawi (321), 'Abd al-Rahman bin Abi
h. Thabaqat kedelapan: Ibn Hibban (Abu Hatin al-Busti) (332), Abu 'Addi
Ahmad al-Hakim al-Kabir (378), Abu Bakr al-Isma'ili al-Jurjani (371), Abu
Khithabi (388).
(409), Abu Bakr al-Barqani (425), Ahmad al-Kalabadzi (398) dan Abu
(403).
m. Thabaqat ketiga belas:Masa ini disebut pula sebagai masa kritikus pasca
tadwin kutub al-Hadits yang induk yaitu ummahat kutub al-Hadits, di antara
tokoh pada masa ini adalah Ahmad al-Baihaqi (458), Ibn 'Abd al-Barr al-
Andalusi (463), Ibn Hazm penyusun al-Ahkam fi Ushul al-Ahkan, Abu al-
n. Thabaqat keempat belas: Abu 'Ali al-Jayani al-Andalusi (298), Ibn Makula
(475).
31
p. Thabaqat keenam belas: al-Qadhi 'Iyadh al-Yahshabi al-Sabuti (544) dan Abu
q. Thabaqat ketujuh belas: Ibn Basykuwal al-Andalusi (578), Abu al-Qasim al-
Suhaili al-Andalusi (581), Abu al-Faraj bin al-Jauzi dari Iraq (597), Abu Bakr
r. Thabaqat keelapan belas: Abu Bakr bin 'Abd Allah bin al-Hasan al-Maliqi
s. Thabaqat kesembilan belas: Ibn al-Qatthan al-Kattami al-Fasi (628), 'Izz al-
u. Thabaqat keduapuluh satu: Yahya al-Nawawi (677), Ibn Daqiq al-'Aid Taqi
v. Thabaqat keduapuluh dua: Yusuf al- Mizi (742), al-Dzahabi Syams al-Din bin
jarh wa al-Ta'dil yang final. Hak ini disebabkan karena telah terhentinya