Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam yang kedua setelah al- Qur'an,
yang di dalamnya terkandung ajaran yang terkait dengan umat zaman Nabi
sampai kepada umat era globalisasi sekarang ini, oleh karena itu perlu bagi umat
manusia untuk memahami, mengkaji teks hadits lebih dalam, baik yang tersurat
maupun yang tersirat, dan mengaflikasikannya dalam kehidupan nyata, serta
mentaatinya, sehingga tercapai kehidupan yang penuh dengan ridho Allah swt.
1
hadits yang diriwayatkan dengan makna yang dimaksud oleh nabi Muhammad
saw, meskipun dari segi redaksi terdapat perubahan. Dan realitanya mayoritas
hadits nabi Muhammad saw diriwayatkan dalam bentuk makna, karena Memang
Rasulullah saw memberikan isyarat bahwa meriwayatkan hadits dengan makna
diperbolehkan.
Walau meriwayatkan hadits dengna ma’na diperbolehkan, namun tetap harus
memenuhi kriteria berikut ;
a. perawi harus paham betul isi dan kandungan hadits dimaksud
b. perawi harus memahami secara luas perbedaan-perbedaan lafadz
sinonim (murodif) dalam bahasa Arab.
c. Perawi tersebut hanya lupa lafadz hadits yang disampaikan Rasulullah
saw sementara maknanya diingat secara persis
d. Muslim
e. Baligh
f. Adil
g. Dhabit (cermat dan kuat)5
Adapun periwayatan hadits yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’
tabi’in dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. periwayatan dengan lafadz (riwayah bi al-lafzi)
2. periwayatan dengan ma’na (riwayat bi al-ma’na)
5
Ensiklopedi Islam , PT Ichtir Baru Van Hoeve, Jakarta. 2003, Cet. 11 Hal. 55
2
Cara
Periwayatan
Hadits
Periwayatan Periwayatan
secara lafadz secara makna
Menyikapi hal diantas sebagian ahli hadits, ahli fiqh, dan ahli ushul
bersikap ketat, mereka mewajibkan periwayatan hadits dengan lafadz dan tidak
memperbolehkan meriwayatkan dengan makna sama sekali. 6
Disisi lain mayoritas ulama cendrung berpendapat bahwa seorang
muhaddits boleh meriwayatkan dengan makna tidak hanya dengan lafadz, hal
inipun tetap mengacu pada persyaratan yang sangat ketat yaitu mampu
memahami bahasa Arab dengan segala seluk beluknya dan mengerti makna-
makna dan kandungan hadits serta memahami kata yang bisa berubah makna
dan kata yang tidak merubahnya, Jika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi
maka seorang muhaddits diperbolehkan untuk meriwayatkan dengan makna.
Karena dengan pemahamannya yang kuat seorang muhaddits bisa menghindari
perubahan makna dan pergeseran hukum-hukum yang terkandung didalamnya. 7
Namun bila seorang perawi tidak mengerti dan tidak memahami kata-kata
yang bisa merubah makna, maka ia tidak diperbolehkan untuk meriwayatkan
6
Ajaj al-Khotib, Assunnah qobla at-Tadwin, Beiru, Dar al-Fikr, 1997, hal 126
7
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama, Cet. 3 hal. 216
3
hdits dengan makna. Para ulama sependapat dalam hal penyampaian sebuah
hadits hendaklah sesuai dengan yang didengarnya, dalam hal ini imam as-Syafi’i
mengatakan ”orang yang meriwayatkan hadits haruslah kukuh agamanya,
mengetahui dengan benar haditsnya, memahami apa yang diriwayatkannyadan
mengerti betul kata-kata yang bisa berubah makna. Disamping itu, ia juga harus
menyampaikan hadits dengan huruf-hurufnya seperti yang ia dengar, tidak
meriwayatkannya dengna makna. Karena bila demikian (bila ia tidak mengerti
kata-kata yang dapat merubah makna) ia akan tidak menyadari barangkali ia
telah merubh yang halal menjadi haram. Jika ia menyampaikan hadits dengan
lafadz akan menutup kemungkinan terjadinya pergeseran pengertian hadits yang
bersangkutan. Perawi juga harus hafal betul seandainya ia akan meriwayatkan
dengna hafalannya dan mengerti betul tulisannya jika ia akan meriwayatkan
dengan tulisannya.8
Jelaslah bahwa orang yang mengerti betul kata-kata yang bisa merubah
makna boleh meriwayatkan hadits dengan makna bila ia tidak ingat redaksinya,
karena ia telah menerima kata dan makna. Namun karena ia tak mampu
menyampaikan keduanya maka bolehlah baginya dalam menyampaikan hadits
untuk memilih salah satu diantara keduanya. Maka tidak ada halangan
meriwayatkan hadits secara makna selama ia aman dari keterpelesetan dan
kekeliruan. Bahkan imam Mawardi mewajibkan seseorang menyampaikan
dengan makna bila ia telah lupa akan lafadznya, karena bila tidak ia sampaikan
maka ia termasuk golongn orang ang menyembunyikan hukum. Kemudian
Beliau berkata ”namun bila ia tidak lupa lafadznya maka tidak boleh baginya
menyampaikan selainnya, karena kalam Nabi saw mengandung fashahah yang
tidak dimiliki oleh kalam lainnya.9 Bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa
periwayatan sebuah hadits dengna makana hanya diperbolehkan bagi ornag-
orang yang benar-benar mengerti, disamping dengan syarat yang
diriwayatkannya bukan kata-kata yang merupakan bacaan ibadah atau
ungkapan-ungkapan nabi saw yang padat makna (jami’)
8
Kutipan Ajjaj dari Arrisalah. Hal. 370-271
9
Kutipan Ajjaj dari Tadrib ar-Rawi, hal 313
4
Pada prakteknya para sahabat dan tabi’in serta ahli-ahli hadits setelah
mereka tidak beralih dari redaksi aslinya kecuali berkenaan dengan keterangan
mengenai keadaan peperangan atau peristiwa tertentu. Para sahabat, tabi’in dan
ahli hadits sesudah mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dan
setelah meriwayatkan sebuah hadits mereka mengatakan : atau seperti yang
disabdakan Nabi (au kama Qola), atau ungkapan sejenis (au nahwa haza) atau
ungkapan yang serupa (au Syibhahu) seperti yang diungkapkan oleh Abdullah
Ibnu Mas’ud, Abu Darda’, Anas Ibn Malik dan lain-lain 10.
Demikian juga sebaliknya para ulama melarang seorang perawi untuk
meriwayatkan hadits secara makna apabila ia tidak ’Alim dan tidak mengetahui
apa maksud maknanya.
Kalangan sahabat Nabi saw sendiri ada yang dikenal dengan sungguh-
sungguh berusaha menghafal hadits secara lafadz, misalnya Abdullah bin Umar
bin al-Khattab. Hal ini memberi petunjuk adanya sabda Nabi yang diriwayatkan
secara lafadz.
Adapun hadits nabi yang tidak berupa sabda, periwayatan yang dilakukan
oleh sahabat sebagai saksi mata berlangsung secara makna (riwayat bi al-
makna), karena hadits yang non sabda ketika disampaikan oleh sahabat maka
rumusan kalimatnya berasal dari sahat itu sendiri bukan dari Nabi Muhammad
saw.
Para sahabat Nabi sendiri umunya memperbolehkan periwayatan hadits
dengna makna, diantara mereka itu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin
Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda’, Abu Hurairoh, Aisyah.
Sebagian kecil saja diantara mereka yang cukup ketat berpegang teguh pada
periwayatan secara lafadz, diantaranya Umar bin Khattab dan Zid bin Arqom,
walaupun demikian mereka tidaklah melarang secara tegas kepada sahabat lain
yang meriwayatkan secara makna. Para sahabat yang sangat ketat dalam
meriwayatkan secara lafadz sangat memahami semikian sulitny auntuk
meriwayatkan seluruh sabda nabi Muhammad saw secara lafadz. 11
10
Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah Qobla at-Tadwin, Beirut, Dar al-Fikr, 1971, hal. 130
11
Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Jakarta, PT Bulan Bintang 1988, hal. 98
5
Urgensi Periwayatan Hadits secara Lafadz dan Makna
a. Secara Lafadz
- Menjaga keotentikan hadits sehingga tidak berubah walapun hanya dalam
bentuk kata.
- Menjaga kebenaran makna sehingga tidak ada perebedaan dari
dikeluarkannya hadits tersebut oleh Rasulullah saw hingga sampai
ketangan para pembaca.
- Membantu menghindari kesalahan dalam menafsirkan hadits
b. Secara Makna
- Membantu mempermudah menyampaikan maksud yang dikehendaki
- Mempermudah menyampaikan nilai-nilai yang terkandung dalam hadits
tanpa harus menghabiskan tenaga, waktu dan biaya untuk menelusuri
terlebih dahulu keotentikan lafadz hadits
- Mempermudah Proses tabligh al hadits kepada orang yang tidak terlalu
memahami bahasa Arab.
- Memudahkan para pelajar hadits terutama pemula untuk memahami
kandungan hadits.
12
ibid.
6
Ulama lainnya yang dikenal sangat ketat berpegang pada periwayatan
secara lafadz ialah : Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qoaim bin
Muhammad, Tsa’lab bin Nahwi dan Abu Bakar are-Razi.
Disisi lain mayoritas ulama hadits memperbolehkan periwayatan hadits
secara makna dengan beberapa ketentuan. Walau ketentuan tersebut cukup
beragam namun ada beberapa ketentuan yang disepakati, yaitu :
a. yang boleh meriwayatkan hadits secara makna hanyalah mereka yang
benarbenar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang dalam. Dengan
demikian periwayatan matan hadits akan terhindar dari kekeliruan.
Misalnya menghalalkan yang haram dan sebaliknya.
b. Periwayatan dengan makna dilakukan karena sangat terpaksa misalnya
karena lupa susunan secara harfiah.
c. Yang diriwayatkan secara makna bukanlah sabda Nabi saw dalam bentuk
bacaan yang sifatnya ta’abbudi, misalnya zikir, do’a, azan, takbir, dan
syahadat serta sabda Nabi dalam bentuk jawami’ al-kalam.
d. Periwayat yang meriwayatkan hadits secara makna atau yang mengalami
keraguan akan susunan matan hadits yang diriwayatkan agar menambah
kata-kata ”au kama qola”, atau ”au nahwa haza”, atau yang semakna
dengannya setelah menyetakan hadits yang bersangkutan.
e. Kebolehan periwayatan hadits secara makna hanya terbatas pada masa
sebelum dibukukannya hadits-hadits secara resmi. Setelah masa
pembukuan hadits (tadwin al-Hadits) dimaksud, maka periwayatan hadits
harus secara lafadz.13
Ketentuan yang terakhir dikemukakan oleh kalangan al-Mmuta’akhirin,
sedang keempat ketentuan yang disebutkan pertama banyak disinggung bik oleh
kalangan ulama al-mutaqoddimin dan al-muta’akhirin.
Adanya berbagai ketentuan tersebut menandakan bahwa periwayatan
hadits secara makna walaupun oleh sebagian besar ulama hadits dibolehkan,
tetapi prakteknya sangatlah selektif karena para perawi tidak begitu saja
diperbolehkan meriwayatkan secara makna akan tetapi mereka diikat oleh
13
ibid.
7
ketentuan-ketentuan yang sangat ketat. Tapi karena ketentuan-ketentuan yang
mengikat para perawi tidaklah berstatus ijma’ maka keragaman susunan redaksi
matan untuk hadits-hadits yang semakna tetap sulit terhindarkan.
Contoh konkrit periwayatan hadits secara makna adalah kejadian seorang
badui yang kencing dalam masjid dan hal itu hanya tejadi sekali, namun dalam
kutub as-sittah kita temukan beberapa riwayat dengan yang dalam redaksinya
terdapat sedikit perbedaan.14
مث دعا بدلو, ال تزرموه: قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم: عن أنس قال: ىف صحيح البخارى.1
15
.من ماء فصب عليه
Dalam shohih Imam Bukhori dari Anas ia berkata bahwa Rasulullah saw
bersabda “Dan janganlah kamu mengusir oang Badui itu, kemudian Rasulullah
meminta seember air, dan air tersebut disiramkan ditempat kencingnya”.
اء66 دعوه و أهرقوا على بوله ذنوبا من م: عن أىب هريرة قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم: وفيه.2
16
.أو سجال من ماء
Demikian juga dari Abi Hurairoh ra, Rasulullah saw bersabda biarkan dia
dan siramlah tempat yang dikencangi a’raby tadi dengan setimba air.
: ال66وه "ق66وه وال تزرم66لم "دع66لى اهلل عليه وس66ول اهلل ص66ال رس66 ق: ال66لم عن أنس ق66حيح مس66 وىف ص.3
17
فلما فرغ دعا بدلو من ماء فصب عليه
Dan pada shohih Imam Muslim diriwayatkan dari Anas ia berkata bahwa
Rasulullah saw bersabda biarkan dia dan janganlah kamu mengusirnya, ketia ia
(a’raby) selesai kencing, Rasulullah meminta seember air lalu Beliau menyirami
tempat nya (tempat kencing a’raby tersebut).
14
Musfir ‘Azmillah ad-Daminy, Maqoyis Naqdi Mutun as-Sunnah, Riyadh, tanpa penerbit dan tt.
hal. 20
15
Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Bari bi syarhi Shohihi al-Bukhori, Kairo, Dar al-Hadits 1998.
Hadits no. 625 jil. 10 hal 542
16
Ibid, Hadits no. 220 Jil. 1 Hal 403
17
Imam Muhyiddin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf an0Nawawi, Shohih Muslim bi Syarhi an-
Nawawi, Kairo, Dar al-Fajr li at-Turats, 1999 Jil. 1 hal. 98
8
رغ66 فلما ف,وه66لم دع66لى اهلل عليه وس66ول اهلل ص66ال رس66 فق,اس66اح به الن66 فص: ال66 وفيه أيضا عن أنس ق.4
18
أمر رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم بذنوب فصب على بوله
Dalam kitab yang sama dari Anas, ia berkata ketika orang-orang berbunyi
(untuk mengusirnya) Rasulullah saw bersabda biarkanlah, ketika ia selesai
kencing Rasulullah saw memerintahkan untuk supaya membawa seember air
dan Beliau menyiramkannya pada air kencingnya (tempat kencingnya).
6.... دعوه, ال يزرموه: قال رسول اهلل صلى اله عليه وسلم: وفيه عن أنس أيضا قال.5
Dalam kitab yang sama dari Anas, ia berkat abahwa Rasulullah saw
bersabda janganlah kalia usir dia dan biarkan ia.
اس إليه66 رع الن66 جد فأس66 ال ىف ناحية املس66 مث مل يلبث أن ب: ال66 رة ق66 عن أىب هري: نن إىب داود66 وىف س.6
جال من6بوا عليه سس66رين ص66وا معس66رين ومل تبعث66 إمنا بعثتم ميس: ال66لم وق66لى اهلل عليه وس66اهم النىب ص66فنه
. وىف سنن الرتمذى عن أىب هريرة فقال النىب صلى اهلل عليه وسلم " أهرقوا عليه سجال من ماء.7
Dalam kitab sunan at-tamizie dari Abu hurairoh ra Rasulullah saw
bersabda dalam hal ini ”siramlah diatasnya dengan setimba air atau seember air.
بوا عليه66وه وص66وه ال يزرم66لم "دع66لى اهلل عليه وس66ال النىب ص66 ق: ال66 عن أنس فق: ائى66نن النس66 وىف س.8
سجال من ماء
18
Ibid, Hal 100
9
Dalam Sunan an-Nasa’i diriwayatkan dari Anas ia berkata Rasululah saw
bersabda, biarkan dia dan siramlah ditempat kencing dengan seember air.
اء66وا من م66وا على بوله دل66وه وأهرق66لم دع6لى اهلل عليه وس66ول اهلل ص66ال رس66رة ق66 وفيه أيضا عن أىب هري.9
Rasulullah kadang menggunakan kata وه66 دع dan pada kesempatan lain Beliau
menggunakan lafadz وه66 ال تزرمatau رزوه66 التatau وه66 دع saja, atau menggabungkan
10
menulisnya, hal ini berarti rawi menukil dari perkataan Nabi Muhammad saw dan
tidak persis redaksinya. Periwayatan hadits pada masa sahabat dan orang-orang
sesudahnya biasa menggunakan makna sehingga harus memunculkan banyak
lafadz yang memiliki kesesuain makna, keadaan seperti ini terjadi secara alami,
walau dalam perjalanan seorang perawi senantiasa memiliki motivasi dan
semangat untuk menyampaikan lafadz hadits Nabi muhammad
Ibnu Umar sangat melarang seseorang meriwayatkan hadits dengan
makna, beliau mengutip hadits nabi Muhammad saw : ”perumpamaan orang
munafik seperti kambing yang duduk bersimpuh diantara dua kambing.
Selanjutnya Ibnu Umar berkata : ”celakalah kamu, janganlah kamu mendustakan
Rasul. Disaat lawin Nabi Muhammad saw jug apernah bersabda : ”orang munafik
itu bagaikan seorang yang sakit kedua belah matanya yang berada dikedua
kambing yang sehat. Ambillah pelajaran dari perubahan dua lafadz ”.....” yang
asal katanya adalah ”...” ini adalah bentuk kedustaa terhadap Rasulullah saw,.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Ali ia berkata ketika Ibnu Umar pernah
mendengar hadits maka Ibnu Umar tidak menambahnya, tidak mengurangi, tidak
melampaui batas dan juga tidak meringkasnya. 19
Syarat yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits :
1. Perawi hendaklah ’Alim (mengetahui lafadznya dan penunjukkan
maknanya)
2. Perawi mengetahui cakupan makna
3. Perawi mengetahui kadar perbedaan diantaranya (makna yang
tercakup hadits)
Mayoritas Ulama berpendapat bahwa boleh meriwayatkan hadits dengan
makna, namun kebolehan tersebut tetap di sertai persyarata-persyatan ketat
yang harus terpenuhi sehingga diharapkan periwayatan it sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh lafadz dari nabi Muhammad saw, dan jika seorang perawi
tidak memahami maksud yang terkandung dalam lafadz sebuah hadits maka
perawi tersebut tidak diperbolehkan untuk meriwayatkan hadits tersebut secara
makna.
19
Musfir ‘Azmillah ad-Daminy, Maqoyisi Naqdi Mutun as-Sunannah, Kairo, Dar al-Waroq. Hal.
21
11
Imam as-Sarahsi berkata bahwa khabar itu adakalanya muhkam
(jelas/sempurna), atau dhomir (bukan makna hakiki), atau musykil (sulit
dipahami), atau musytarak (memiliki makna lebih dari satu) atau mujmal (global),
atau mutasyabih (memiliki kesamaan), atau jawami’ al-kalim (sarat dengan
makna). Bagi seorang perawi boleh meriwayatkan khabar yang muhkam secara
makna dengan syarat bahwa sang perawi tersebut mengetahui aspek-aspek
bahasa. Adapan khabar yang dhomir hanya boleh diriwayatkan secara makna
bagi para perawi yang menguasai bahasa Arab dan memahami syariah. Sedang
khabr musykil dan musytarak tidak boleh diriwayatkan secara makna, karena
keduanya tidak bisa dipahami kecuali dnegan metode takwil, sedangkan takwil
itu sendiri memiliki sumber yang sama dengan qiyas yaitu akal, maka dengan
sendirinya tidak bisa dijadikan hujjah untuk penetapan yang lain. Begitu juga
khabar mutasyabih dan jawami’ al-kalim. Walaupun demukian masih ada
sebagian kecil ulama yang memperbolehjkan periwayatan hadits dengan makna.
12
sebaliknya meriwayatkan hadits dengan makna atau maksud yang ada di dalam
lafadz tanpa mengurangi dan menambahi esensi isi hadits maka dipandang sah
atau benar dan hadits diatas juga menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan
khabar itu adalah mentransfer makna bukan lafadz. Oleh karena itu sering kita
temukan redaksi hadits yang berbeda-beda dengan makna yang sama.
فقال النىب صلى اهلل عليه وسلم إذا أصاب احدكم املعىن فليحدث,مسعناه
Penutup
13
fokus utama bagi ahli hadits hendaklah meriwayatkan sesuai lafadznya, sebagai
upaya penjagaan hadits-hadits Rasulullah saw. Wallahu A’lam.
Daftar Pustaka
al-Asqolani, Ibnu Hajar, Fathul Bari bi syarhi Shohihi al-Bukhori, Kairo, Dar al-
Hadits 1998
14
ad-Daminy, ‘Azmillah, Musfir, Maqoyis Naqdi Mutun as-Sunnah, Riyadh, tanpa
1988
Fadhilah
15