You are on page 1of 43

Lahirnya Budi Utomo

Mei 20, 2008 oleh sukopramono


Budi Utomo adalah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo pada tanggal 20 Mei
1908. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan
Indonesia.
Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Latar belakang
Budi Utomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo,
Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka memikirkan nasib
bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain
(Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Para
pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan
sendiri dan jabatan. Dalam praktik mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri,
misalnya dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para
penguasa Belanda.
Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa orang-orang lain mendirikan perkumpulan
hanya untuk golongan sendiri dan tidak mau mengajak, bahkan tidak menerima, orang Jawa
sesama penduduk Pulau Jawa untuk menjadi anggota perkumpulan yang eksklusif, seperti Tiong
Hoa Hwee Koan untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda jelas juga tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki
nasib rakyat kecil kaum pribumi, bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini
menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat
merugikan rakyat kecil.
Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa
menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Soetomo untuk mendirikan
sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda, dan Madura yang
diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini
tidak bersifat eksklusif tetapi terbuka untuk siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan, atau
pendidikannya.
Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan
Madura, yang untuk mudahnya disebut saja suku bangsa Jawa. Mereka mengakui bahwa mereka
belum mengetahui nasib, aspirasi, dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa,
terutama Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda
menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie),
tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam,
begitu pula kebudayaannya. Dengan demikian, sekali lagi pada awalnya Budi Utomo memang
memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja karena,
menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan
yang sama.
Sekalipun para pemuda itu merasa tidak tahu banyak tentang nasib, keadaan, sejarah, dan
aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura, mereka tahu bahwa saat itu orang
Manado di Sulawesi mendapat gaji lebih banyak dan diperlakukan lebih baik daripada orang
Jawa. Padahal, dari sisi pendidikan, keduanya berjenjang sama. Itulah sebabnya pemuda
Soetomo dan kawan-kawan tidak mengajak pemuda-pemuda di luar Jawa untuk bekerja sama,
hanya karena khawatir untuk ditolak.
Budi Utomo
Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar
STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan
Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo. Namun, para pemuda juga
menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus
berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa “kaum tua”-lah yang harus
memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan
menggerakkan organisasi itu.
Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi.
Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan “priayi” atau para bangsawan dari
kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden
pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
Perkembangan
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo.
Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia,
dengan terus terang mewujudkan kata “politik” ke dalam tindakan yang nyata. Berkat
pengaruhnyalah pengertian mengenai “tanah air Indonesia” makin lama makin bisa diterima dan
masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama
dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan
terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya “tanah air” (Indonesia) adalah di
atas segala-galanya.
Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu
perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang
Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh,
antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua
orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan
ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang
menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang
Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi
Utomo memang belum berpengalaman.
Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin
dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika
Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan
menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui
penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar
Dewantara) untuk menulis sebuah artikel “Als ik Nederlander was” (Seandainya Saya Seorang
Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda.
Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes
Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi
Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-
orang pribumi.
Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari
pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi dari perjuangan
nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa
“nasionalisme Indonesia” tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan
demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku.
Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi Utomo
hanya mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan
menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian
nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota.
Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam
perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme “Indonesia” ada dan merupakan
unsur yang paling penting.

BUDI UTOMO Dan KEBANGKITAN NASIONAL

Budi Utomo (ejaan Soewandi: Boedi Oetomo) adalah sebuah


organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo pada
tanggal 20 Mei 1908. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal
gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia
walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya
ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa.
Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, diperingati
sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

PERHIMPUNAN INDONESIA (PI) 1925


Posted on December 23, 2008 by dumadia

4 Votes

Berdirinya PI berawal dari didirikannya Indosche Vereniging tahun 1908 di Belanda, iorganisasi
ini bersifat moderat (selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem) sebagai
perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia di Belanda untuk memperbincangkan masalah dan
persoalan tanah air. Pada awalnya Perhimpunan Indonesia merupakan organisasi
sosial.Memasuki tahun 1913, dengan dibuangnya tokoh Indische Partij ke Belanda maka
dibuatlah pokok pemikiran pergerakan yaitu Hindia untuk Hindia yang menjadi nafas baru.
Perkumpulan mahasiswa Indonesia. Iwa Kusumasumantri sebagai ketua menyatakan 3 azaz
pokok Indische Vereeniging yaitu:
1. Indonesia menentukan nasibnya sendiri
2. Kemampuan dan kekuatan sendiri
3. Persatuan dalam menghadapi Belanda
Tahun 1925 Indische Vereeniging berubah menjadi Perhimpunan Indonesia dengan tujuannya
Indonesia merdeka. Banyak kegiatan yang dilakukan oleh aktivis PI Belanda maupun di luar
negeri, diantaranya ikut serta dalam kongres Liaga Demikrasi Perdamaian Internasional tahun
1926 di Paris, dalam kongres itu Mohammad Hatta dengan tegas menyatakan tuntutan akan
kemerdekaan Indonesia. demikian pula pendapat-pendapat mereka banyak disampaikan ke tanah
air. Aksi-aksi yang dilakukan menyebabkan Hatta dkk. dituduh melakukan pemberontakan
terhadap Belanda. Karena dituduh menghasut untuk pemberontakan terhjadap Bealnada maka
tahun 1927 tokoh-tokoh PI diantaranya M. Hatta, Nasir Pamuncak, Abdul Majid Djojonegoro
dan Ali Sastroamijoyo ditangkap dan diadili. Tindakan-tindakan PI dapat dikatakan radikal,
apakah radikal itu? Radikal adalah suatu paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaruan secara keras, mengapa mereka bertindak radikal? Nah, sekarang coba lihatlah gambar
tokoh-tokoh ini, apa pendapat Anda terhadap
tindakan mereka yang radikal?
Tokoh-tokoh perhimpunan Indonesia (dari kiri ke kanan), Guanawan Mangunkusumo, Moh.
Hatta, Iwa Kusumasumantri, Sastro Mulyono, dan Sartono. Menurut pendapat Anda apakah
benar Perhimpunan Indonesia merupakan manifesto pergerakan nasional Indonesia? Apa
alasannya?
Karena status anggota PI sebagai mahasiswa membawa posisi mereka tanpa ikatan sosial politik
tertentu dan tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan kedudukan, sehingga mereka
tidak khawatir dalam bertindak terang-terangan melawan pemerintah Bealnda Organisasi ini juga
membuat lambang untuk Indonesia diantaranya merah putih sebagai bendera. Semenjak
berakhirnya PD I perasaan anti kolonialis dan imperialis di kalangan pimpinan dan anggota PI
semakin menonjol, apalagi setelah ada seruan dari Presiden AS, Woodrow Wilson mengenai hak
untuk menetukan nasib bangsa sendiri. Tahun 1925 PI semakin tegas memasuki kancah politik,
yang juga didorong juga oleh kebangkitan nasionalisme di Asia-Afrika. Disamping itu,
mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia, yang bertanggung jawab kepada rakyat
Indonesia semata-mata, dan hal yang demikian itu hanya bias dicapai oleh rakyat Indonesia
sendiri tanpa mengharapkan bantuan siapapun dan pada prinsipnya menghindarkan perpecahan
demi tercapainya tujuan. Dengan pemikiran yang demikian tegas, wajarlah apabila PI menjadi
satu ancaman terhadap kredibilitas pemerintah Belanda dalam menjalankan kolonialismenya di
Indonesia.
Bagaimana? Sudah lelah? Tentu belum ya, mari kita lanjutkan. Sekarang marilah kita membahas
pergerakan Nasional antara tahun 1926-1939 dimulai dengan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Bermula dari orang Algemenee Studie Club di Bandung tahun 1926, Ir. Sukarno dkk seperti Mr.
Sumaryo, Ali Sastroamijoyo, & Mr. Sartono bermaksud menggalang perjuangan melalui
organisasi yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia. Dalam Azasnya PNI berkeyakinan,
bahwa syarat yang amat penting untuk perbaikan kembali semua susunan pergaulan hidup
Indonesia itu ialah kemerdekaan nasional.Oleh karena itu, maka semua kekuatan haruslah
ditujukan ke arah kemerdekaan nasional.Dengan kemerdekaan nasional rakyat akan dapat
memperbaiki rumah tangganya dengan tanpa gangguan. PNI ingin sekali melihat rakyat
Indonesia bisa mencapai kemerdekaan politik untuk mencapai pemerintahan
nasional, mencapai hak untuk mengadakan Undang-undang sendiri dan mengadakan aturan-
aturan sendiri dalam mengadakan pemerintahan.
Sesudah PKI dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah Hindia Belanda akibat
pemberontakannya tahun 1926-1927, maka dirasakan perlunya wadah untuk menyalurkan hasrat
dan aspirasi rakyat yang tidak mungkin lagi ditampung oleh organisasi-organisasi politik yang
ada pada waktu itu. Sejalan dengan hal tersebut muncul organisasi kebangsaan dengan corak
politik nasionalis murni yaitu PNI yang didirikan tanggal 4 Juli 1927. Kehadiran PNI benar-
benar jadi tantangan pemerintah Hindia Belanda karena organisasi ini benar-benar menunjukkan
perlawanannya.
Dari azaz maupun tujuannya, terlihat bahwa PNI merupakan organisasi politik yang ekstrim dan
radikal yang tentu saja berlawanan dengan keinginan pemerintah Belanda.Oleh karena itu
berkali-kali tokoh-tokohnya diperingatkan agar tidak melakukan kegiatan, terutama yang
berhubungan dengan massa, seperti rapat-rapat umum. Mengapa rapat umum dilarang, karena
biasanya rapat umum menarik ribuan massa untuk berkumpul.Walaupun demikian, semangat
pantang menyerah tokoh PNI tetap berkobar, bahkan pada tanggal 17-18 Desember 1927, PNI
berhasil memelopori terbentuknya organisasi sosial politik se Indonesia dalam bentuk (PPPKI) ,
Permufakatan perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. Kegiatan-kegaitan yang
dilakukan oleh tokoh PNI menyebabkan pemerintah Hindia Belanda kehilangan kesabaran
sehingga melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh PNI, seperti Ir. Soekarno, Maskun,
Supriadinata dan Gatot Mangkupradja.Mereka kemudian diadili dan dimasukkan penjara suka
miskin Bandung.
Organisasi pemuda yang pertama berdiri adalah Trikoro Darmo yang kemudian berubah nama
menjadi Jong Java. Setelah munculnya Jong Java, berdiri organisasi pemuda yang serupa dengan
nama suku atau daerahnya masing- masing, seperti Jong Sumatranen Bod, Jong Celebes, Jong
ambon, dll. Semua organisasi kedaerahan ini punya tujuan yang sama untuk memajukan
Indonesia dan mencapai kemerdekaan. Para pemuda tersebut secara langsung tidak berkiprah
dalam gerakan yang bercorak politik, namun lebih mengarah pada usaha untuk memajukan
kebudayaan daerah masing-masing.
Silakan Anda amati gambar di bawah ini, Apa nama gedung ini sekarang? Ya betul, gedung di
atas adalah tempat diselenggarakannya Kongres Pemuda II, yang sekarang Museum Sumpah
Pemuda. Tentu Anda tahu hasil dari kongres pemuda II ini, bukan? Dalam kongres tercapai suatu
kesepakatan adanya satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa yang merupakan cermin persatuan
dan kesatuan yang dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Pada waktu Kongres Pemuda II
berlangsung, dikibarkan pula bendera merah putih dengan iringan lagu Indonesia Raya karya
W.R. Supratman. Sumpah Pemuda ini merupakan sebuah momentum yang sangat penting karena
sejak saat itu telah timbul suatu perasaan kebangsaan dan perjuangan untuk memperoleh
kemerdekaan semakin nyata. Untuk lebih jelasnya berikut ini dicantumkan hasil Kongres
Pemuda Indonesia II yang disetujui pada tanggal 28 Oktober 1928.
POETOESAN KONGRES
PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA
Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia yang berdasarkan dengan nama Jong Java, Jong
Soematera (Pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekun Jong Islamieten, Jong
Batak Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpunan Pelajar Indonesia.
Membuka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di negeri Djakarta. Sesoedahnya
mendengar segala isi-isi pidato-pidato dan pembicaraan ini. Kerapatan lalu mengambil
kepoetusan:
Pertama:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG
SATOE, TANAH INDONESIA
Kedua:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE
BANGSA INDONESIA
Ketiga:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN
BAHASA INDONESIA
Setelah mendengar poetusan ini, kerapatan mengeloearkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh
segala perkoempulan-perkoempulan kebangsaan Indonesia. Mengeloearkan keyakinan
persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar poetusannya:
KEMAJOEAN SEJARAH BAHASA HOEKUM ADAT
PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN
dan mengeloearkan penghargaan soepaya poetusan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan
dibatjakan dimoeka rapat perkoempulan- perkoempulan. Kongres Pemuda II yang menghasilkan
Sumpah Pemuda tersebut, mendorong organisasi pergerakan nasional yang bersifat politik untuk
kesatuan melawan pemerintah Hindia Belanda. Dengan keyakinan bahwa perjuangan secara
bersama akan lebih mudah untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, maka pada tanggal 17-18
Desember 1927 dibentuklah suatu permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI), yang dipelopori oleh Ir. Sukarno dari PNI. Perhimpunan ini terdiri dari
beberapa organisasi pergerakan nasional seperti PSII, BU, PNI, Pasundan, Jong Sumatranen
Bond, Kaum Betawi dan Kelompok Studi Indonesia.
PPPKI diharapkan mampu mempersatukan dan menjadikan gerakan politik nasional berada
dalam satu koordinasi yang baik. Dalam perkembangan selanjutnya, PPPKI tidak mampu
mewujudkan cita-citanya, hal ini disebabkan adanya pertentangan antara tokoh-tokoh partai yang
tergabung di dalamnya. Tekanan dari pemerintah Hindia Belanda juga menjadi salah satu sebab
semakin menurunnya peran perhimpunan ini dalam pergerakan nasional Indonesia. Upaya untuk
meraih kemerdekaan terus dilakukan, baik melalui perjuangan kooperatif maupun non
kooperatif. Coba Anda pikirkan mengapa hal ini terjadi?
Ya benar, Belanda selalu menutup jalan dan melakukan penekanan terhadap gerakan non
kooperatif sementara terhadap gerakan yang kooperatifpun diwajibkan selalu minta izin apabila
akan mengadakan kegiatan. Hal tersebut membuat kesal para tokoh pergerakan, sehingga melalui
Volksraad (dewan rakyat), partai-partai yang tergabung dalam PPPKI mengeluarkan petisi
tanggal 15 Juli 1936. Petisi yang dikenal sebagai Petisi Sutardjo itu ditanda tangani oleh Sutarjo,
IJ. Kasimo, Sam Ratulangi, Datuk tumenggung dan Kwo Kwat Tiong, berisi usulan kepada
pemerintah Belanda untuk membahas status politik Hindia Belanda 10 tahun mendatang. Coba
Anda pikirkan dan diskusikan apa reaksi Pemerintah Belanda terhadap petisi ini? Benar, sudah
dapat dipastikan bahwa Belanda menolak petisi tersebut. Hal ini tentu membuat para tokoh
pergerakan kecewa. Gagalnya petisi Sutarjo merupakan tantangan bagi para tokoh pergerakan
nasional.
Untuk mengatasi kekecewaan tersebut di atas maka para tokoh pergerakan nasional mendirikan
organisasi baru, yaitu Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tanggal 21 Mei 1939. Gapi
merupakan gabungan dari Parindra (Partai Indonesia raya), Gerakan Indonesia (Gerindo),
Persatuan Minahasa, Partai Islam Indonesia (PII), Partai Katolik Indonesia, Pasundan dan (PSII)
Partai Serikat Islam Indonesia. Langkah yang ditempuh GAPI adalah mengadakan Kongres
Rakyat Indonesia (KRI).Adapun tujuan dari kongres ini adalah “Indonesia Berparlemen”Anda
tentu tahu maksudnya bukan? Ya, GAPI menuntut agar rakyat Indonesia diberikan hak-hak
dalam urusan pemerintahannya sendiri. Keputusan penting lain setelah “Indonesia berparlemen
adalah penetapan merah putih sebagai bendera Indonesia, lagu Indonesia Raya sebagai lagu
kebangsaan dan penggunaan bahasa Indonesia bagi seluruh rakyat di Hindia Belanda. Lalu
bagaimana reaksi pemerintah Hindia Belanda?
Tuntutan GAPI ditanggapi oleh pemerintah Belanda dengan Komisi Visman. Komisi ini
bertujuan untuk menyelidiki keinginan bangsa Indonesia. Ternyata komisi ini bekerja tidak jujur
dan lebih memihak kepada Belanda. Pemerintah Hindia Belanda” hanya berjanji akan
memberikan status dominion kepada Indonesia dikemudian hari”. Nah, demikianlah peranan
organisasi-organisasi pergerakan nasional Indonesia dalam perjuangan memperoleh
kemerdekaan. Apakah ada hal lain yang turut perperan dalam perjuangan tersebut? Tentu
pergerakan Nasional Indonesia tidak terlepas dari peranan pers dan peranan wanita. Pada tahun
1909, E.F.E Douwes Dekker (Danudirja Setya budi) memberikan sebuah uraian awal tentang
pers di Indonesia, bahwa kedudukan pers berbahasa Melayu lebih penting daripada pers
Belanda.Karena dengan berbahasa Melayu simpati dari kalangan pembaca pribumi lebih besar.
Perkembangan pers bumiputera yang berbahasa melayu menimbulkan pemikiran di kalangan
pemerintah kolonial untuk menerbitkan sendiri suratkabar berbahasa Melayu yang cukup besar
dengan sumber-sumber pemberitaan yang baik. Menurut Douwess Dekker secara kronologis
suratkabar berbahasa Melayu yang tertua adalah Bintang Soerabaja (1861) dengan pokok
pemberitaan mengenai usaha menentang pemerintah dan pengaruhnya terhadap orang-orang
Cina di Jawa Timur. Kemudian berikutnya adalah Pewarta Soerabaja (1902) dengan pembacanya
terbanyak dari masyarakat Cina. Salah satu surat kabar yang terpenting adalah Kabar Perniagaan
(1902), ada pula mingguan oposisi Ho-Po. Pelopor Pers Nasional adalah Medan Prijaji yang
dipimpin oleh R.M.Tirtoadisuryo, terbit tahun 1907 sebagai mingguan, dan sejak 1910 menjadi
surat kabar harian. Sementara surat kabar yang membawa suara pemerintah dalam bahasa
melayu adalah Pancaran Warta (1901) dan Bentara Hindia (1901).
Peranan Pers dalam usaha membantu menumbuhkembangkan kesadaran nasional cukup besar
artinya bagi langkah perjuangan rakyat Indonesia menuju kemerdekaan.Ada keterkaitan yang
erat antara pers nasional dengan pergerakan- pergerakan kebangsaan sebagai penerus ide-ide
nasionalisme. Sejalan dengan pergerakan pemuda dalam pergerakan nasional, timbul pula
pergerakan yang dipelopori oleh kaum wanita. Pelopor gerakan kaum wanita adalah RA Kartini
yang menyerukan agar wanita Indonesia diberi pendidikan karena wanita juga memikul tugas
suci.Pendidikan untuk wanita Indonesia adalah untuk mengangkat derajat sosialnya karena
selama ini wanita dianggap rendah oleh bangsa Indonesia. Setelah sebagian wanita Indonesia
mendapatkan pendidikan barat dan bergaul dengan tokoh-tokoh emansipasi Barat
bermunculanlah perkumpulan atau organisasi wanita, diantaranya Putri Mardika, kemudian
sekolah Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika di Bandung pada tahun
1904.Selanjutnya pada tahun 1920 muncul perkumpulan wanita yang bergerak di bidang social
dan kemasyarakatan, seperti De Gorontalo Mohammedaanshe Vrowen Vereeniging di Minahasa
dan wanito Utomo di Yogyakarta. Dalam perkembangan selanjutnya, wanita mulai mendirikan
perkumpulan sendiri untuk memperjuangkan cita-citanya. Organisasi yang terkenal antara lain
Perserikatan Perempuan Indonesia, Istri Sedar, dan Istri Indonesia. Organisasi- organisasi ini
kemudian mengadakan kongres perempuan Indonesia yang menanamkan semangat kebangsaan.
Latar belakang
Budi Utomo lahir dari inspirasi yang dikemukakan oleh Wahidin Soedirohoesodo
disaat beliau sedang berkeliling ke setiap sekolah untuk menyebarkan beasiswa,
salah satunya STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Sejak saat itu,
mahasiswa STOVIA mulai terbuka pikirannya dan mereka mulai mengadakan
pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan STOVIA
oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo,
Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat
buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda),
serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu.
Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya
memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan. Dalam praktik mereka pun tampak
menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya dengan menarik pajak sebanyak-
banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa Belanda.
Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa mereka membutuhkan sebuah
organisasi untuk mewadahi mereka, seperti halnya golongan-golongan lain yang
mendirikan perkumpulan hanya untuk golongan mereka seperti Tiong Hoa Hwee
Koan untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda jelas juga tidak bisa diharapkan mau menolong dan
memperbaiki nasib rakyat kecil kaum pribumi, bahkan sebaliknya, merekalah yang
selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-
peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.
Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil
prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Soetomo
untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang
Jawa, Sunda, dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta
memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif tetapi
terbuka untuk siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan, atau pendidikannya.
Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau
Jawa dan Madura, yang untuk mudahnya disebut saja suku bangsa Jawa. Mereka
mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi, dan keinginan suku-
suku bangsa lain di luar Pulau Jawa, terutama Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Apa
yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut
Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan
nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula
kebudayaannya. Dengan demikian, sekali lagi pada awalnya Budi Utomo memang
memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura
saja karena, menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura
terikat oleh kebudayaan yang sama.
Budi Utomo
Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu
ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa
hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi
Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai
mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena
itu, mereka berpendapat bahwa "kaum tua"-lah yang harus memimpin Budi Utomo,
sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan
organisasi itu.
Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin
organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan "priayi" atau
para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas
Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto
Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
Perkembangan
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran
Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat
properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke
dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah
air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman
orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh
Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka
bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air" (Indonesia)
adalah di atas segala-galanya.
Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai
suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama
Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa
lama, nama itu diubah oleh, antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam,
yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya
tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang
Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang
menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan
orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam
arena politik Budi Utomo memang belum berpengalaman.
Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme
makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat
makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun
kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai
bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi,
misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki
Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was"
(Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran
yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan
dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto
Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi
Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam
pergerakan orang-orang pribumi.
Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan
kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah
manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang
Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "nasionalisme Indonesia" tidaklah
bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian, nasionalisme
terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku.
Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan
bahwa Budi Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat untuk
mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain. Demikian pula
Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi hanya
mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota.
Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak
bahwa dalam perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme
"Indonesia" ada dan merupakan unsur yang paling penting.

Study Club with Mashuri


here,you and I will take a site discussing our problem in Study (^ ;^) don't youwant to come???
Then Let's Study Togheter, Be Try
Friday, March 6, 2009
Sejarah SasIndo PERIODE 1933-1942
1. Lahirnya Majalah Pujangga Baru

Sejak tahun 1920 kita sudah mengenal majalah yang memuat karanagan “sastra
seperti Sri Poestaka (1919-1941). Panji Poestaka (1919-1992) Yong Soematra
(1920-1926). Hinggga awal tahun 1930 an para pengarang untuk menerbitkan
majalah khusus kebudayaan dan kesastraan belum juga terlaksana

Tahun 1930 terbit Majalah Timboel (1930-193 ) mula-mula dalam bahasa Belanda
kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia Sutan Takdir Ali
Syahbana sebagai direktur.

Baru pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Ali Syahbana
berhasil mendirikan Majalah kesastraan dan bahasa serta kebudayaan umum.
Tahun 1935 berubah menjadi menjadi pembawa semangat baru dalam kesastraan,
seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum”. Kemudian tahun 1936 terjadi lagi
pembahasan yaiut bnerbunyi “Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk
membentuk kebudayaan persatuan Indonesia.”

Majalah ini terbit dengan setia meskipun bukan tanpa kesulitan berkat pengorbanan
dan keuletan Sutan Takdir Alisahbana. Kelahiran majalah Poejangga Baru yang
banyak melontarkan gagsan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan bukan berarti
tidak menimbulkan reaksi. Keberaniannya menandakan bahasa Indonesia sekolah
bahasa Melayu menimbulkan berbagai reaksi, sikap ini menimbulkan reaksi dari
para tokoh bahasa yang erat berpegang kepada kemurnian bahasa Melayu tinggi
seperti H. Agus Salim (1884-1954) Sutan Moh. Zain (tahun1887), S.M Latif yang
menggunakan nama samaran Linea Recta dan lain-lain.

2. Tokoh-tokoh Poejangga Baru

Sutan Takdir Alisjahbana

Motor dan penggerak semangat gerakan Pujangga baru ialah Sutan Takdir
Alisyahbana lahir di Natal 1908. Sejak tahun 1929 muncul dipanggung sejarah
dengan roman berjudul Tak Putus Dirundung Malang, roman kedua berjudul Dian
Yang Tak Kunjung Padam (1932) roman ketiga berjudul Layar Terkembang (1936),
adapun roman yang berjudul Anak Perawan Disarang Penyamun (1941) ditulisnya
lebih dahulu dari pada Layar Terkembang dimuat sebagai Feulilleton dan majalah
Pandji Poestaka.

Tiga puluh tahun kemudian Sutan Takdir Alisjahbana menulis roman yang berjudul
Grotta Azzurra (Gua Biru). Layar Terkembang merupakan roman Takdir yang
terpenting., yang terbit pada tahun tiga puluhan merupakan salah satu karya
terpenting pula dari para pujangga baru .Sebagai penulis roman, Takdir terkenal
sebagai penulis esai dan sebagai pembina Bahasa Indonesia. Oleh Ir. S. Udin ia
pernah disebut sebagai “insinyur bahasa Indonesia”.

Atas inisiatif Takdir melalui pujangga baru-lah maka pada tahun 1938 di Solo
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir
pernah menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia ( 1947-
1952 ). Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah
bahasa Indonesia. Tulisan yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan
dengan judul Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia ( 1957 ).

Takdir juga menulis sajak-sajak salah satunya yang mengenangkan pada kematian
isterinya yaitu berjudul Tebaran Mega ( 1936 ).Esai-esai Takdir tentang sastra
banyak juga antara lain “Puisi Indonesia Zaman Baru”. Kesusastraan di zaman
Pembangunan Bangsa (1938), “Kedudukan Perempuan dalam Kesusastraan Timur
Baru (1941)”, dan lain-lain. Ia pun menyusun dua serangkai bungarampai Puisi
Lama (1941).Dan Puisi Baru (1946) dengan kata pengantar yang menekankan
pendapatnya bahwa sastra merupakan pancaran masyarakatnya masing-masing.

Armijn Pane

Organisator pujangga baru adalah Armijn Pane. Tahun 1933 ia bersama Takdir dan
kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah Poedjangga Baroe. Armin
terkenal sebagai pengarang roman Belenggu (1940). Roman ini mendapat reaksi
yang hebat, baik dari yang pro maupun yang kontra terhadapnya.Yang pro
menyokongnya sebagai hasil sastra yang berani dan yang kontra menyebutnya
sebagai sebuah karya cabul yang terlalu banyak melukiskan kehidupan nyata yang
selama itu disembunyikan dibelakang dinding-dinding kesopanan.

Belenggu ialah sebuah roman yang menarik karena yang dilukiskan bukanlah
gerak-gerak lahir tokoh-tokohnya, tetapi gerak-gerak batinnya.

Arminj pane sebagai pengarang dalam roman yang berjudul Belenggu ini tidak
menyelesaikan ceritanya sebagai kebiasaan-kebiasaan para pengarang
sebelumnya, melainkan membiarkannya diselesaikan oleh para pembaca sesuai
dengan angan masing-masing. Sebelum menulis roman Armijn Pane banyak
menulis cerpen, sajak, esai dan sandiwara. Cerpennya “Barang Tiada Berharga”.
Dan sandiwaranya “Lukisan Masa” merupakan prototif buat romannya Belenggu.

Cerpen-cerpennya bersama dengan yang ditulisnya sesudah perang kemudian


dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedang sandiwara-
sandiwaranya dikumpulkan dengan judul Jinak-jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya
dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga
Baroe (1939). Dan sajak-sajaknya tersebar kemudian dikumpulkan juga dan terbit
dibawah judul Gamelan Jiwa (1960). Ia pun banyak pula penulis esai tentang sastra
yang masih tersebar dalam berbagai majalah, belum dibukukan. Dalam bahasa
Belanda, Armijn menulis Kort Overzicht van de moderne Indonesische Literatuur
(1949).

Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangan-
karangannya ia pun lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya
daripada gerak lahirnya. Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan
pengarang lainnya.

Amir Hamzah (1911-1946)

Amir Hamzah termasuk salah satu penyair religius (keagamaan). Ia menulis prosa,
baik berupa esai, kritik maupun sketsa.

Ia adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum di Jawa. Aktif dalam kegiatan-


kegiatan kebangsaan dan bersama Sultan Takdir dan Armijn Pane mendirikan
majalah Pujangga Baru.

Keturunan bangsawan langkat di Sumatra Timur. Ini menghasilkan karya yang tidak
sedikit, diantaranya :

- Sekumpulan sajak berjudul Nyanyi Sunyi (1937)


- Buah Rindu (1941)
- Setanggi Timur (1939)
- Dsb

Ciri khas puisi Amir Hamzah :


1. Ia banyak mempergunakan kata-kata lama yang diambilnya dari khasanah
bahasa melayu dan kawi.
2. Kata-kata yang dijemputnya dari bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa
Melayu, Jawa, Sunda.
Isi sajak Amir Hamzah kebanyakan bernada kerinduan, penuh ratap kesedihan.
Tetapi isi puisinya tidak hanya menimbulkan kesedihan, rasa sunyi dan pasrah diri
tapi ia juga menekankan pada rasional.

J. E. Tatengkeng

J. E. Tatengkeng juga termasuk salah seorang penyair religius sama halnya seperti
Amir Hamzah. Hanya saja yang membedakan adalah Amir beragama Islam
sedangkan J. E. Tangkeng beragama Kristen. Ia juga menulis prosa, baik berupa
esai, kritik maupun sketsa.
Penyair kelahiran Sangihe ini menulis sebuah buku yang berjudul Rindu Dendam.
Puisi pertamanya berjudul Anakku dan masih banyak lagi buah tangannya yang
masih berserakan dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poedjangga
Baroe.
Sajak, kritik-kritik, esai-esainya sangat penting terutama karena sifatnya yang tegas
dan jujur. Bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang baik menurut norma-
norma bahasa Melayu Riau.
Struktur puisinya bebas dari pengaruh pantun dan syair atau bentuk-bentuk puisi
melayu lama lainnya.

Asmara Hadi

DAN PENYAIR-PENYAIR PUJANGGA BARU YANG LAIN

Sesungguhnya banyak penyair yang menulis sajak yang jumlahnya lebih dari cukup
untuk dibukukan. Tetapi tidak mereka lakukan.
Salah seorang diantara mereka adalah Asmara Hadi yang sering mempergunakan
nama samaran H.R. atau Ipih, A. M. Daeng Myala (A.M. Thahir), Mozasa (Muhammad
Zain Saidi) , M.R. Dajoh dan lain-lain.

a. Asmara Hadi

Sajak-sajaknya penuh romantik dan kesedihan dan dalam sebagian sajaknya lagi
terasa semangat perjuangan yang penuh keyakinan. Hal ini di ilhami luka jiwa yang
disebabkan oleh kematian cintanya; seperti pada puisi ‘Kusangka Dulu‘, ‘Kuingat
Padamu’

b. A. M. Thahir (A.M. Dg. Myala)

Sajak-sajaknya dimuat dalam ‘Pandji Poestaka’ majalah Indonesia dan lain-lain.


Pada sajaknya ada kecendrungan kepada pelukisan kehidupan sehari-hari kaum
buruh, misalnya dalam sajaknya yang berjudul ‘Buruh’.

c. M. R. Dajoh

Ia juga menaruh minat pada pelukisan kehidupan si kecil. Karyanya antara lain:
‘Syair Untuk A. S. I. B. (1935) dalam bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan
lagi kedalam bahasa Indonesia.

d. Moehammad Zain Saidi (Mozasa)

Sajak-sajaknya hanya melukiskan kegembiraan menghadapi alam. Sajaknya


sederhana namun didasari rasa cinta yang mesra, seperti dalam puisi yang
berjudul: ‘Dikaki Gunung’.

e. A. Rivai (Yogi)
Pada tahun 1930 ia mengumumkan sekumpulan sajak dengan judul Gubahan dalam
Sri Poestaka. Kumpulan sajaknya yang kedua berjudul ‘Puspa Aneka’ diterbitkanya
sendiri yaitu pada tahun 1931.
Dari sajak-sajaknya akan tampak bahwa ia gemar akan teosofi dan terpengaruh
oleh ajaran Krishnamurti.

Kecuali para penyair yang sudah disebut tadi dalam Poedjangga Baroe kita saksikan
munculnya para penyair seperti Aoh K. Hadimadja, M. Taslim ‘Ali’ Bahrun Rangkuti,
Maria Amin dan lain-lain yang perananya akan lebih penting pada kurun masa yang
lebih kemudian.

3. Para Pengarang Balai Pustaka

a. Nur Sutan Iskandar

Lahir di Maninjau 1893. Ia seorang pengarang Balai Pustaka dalam arti


sesungguhnya.Roman pertamanya berjudul: Apa Dayaku Karena Aku Perempuan
(1922) diterbitkan oleh swasta, yang kedua Cinta yang Membawa Maut (1926),
kemudian bukunya yang menarik adalah Salah Pilih (1928) dan beberapa lagi
adalah: Karena Mertua (1932), Tuba dibalas dengan Susu(1933), Hulu Balang Raja
(1940 yang terpenting merupakan sebuah roman sejarah yang dikerjakan
berdasarkan disertasi H. Kroekampde Westkust en Minang Kabau (1665-1668),
Pantai Minang Kabau 91668 terbit 19310, Katak Hendak Jadi Lembu (1935) yang
berlaku dikalangan priyayi sunda di Sumedang, roman ini gagal diceritakan karena
ia tidak mengenal adat Sunda. Neraka Dunia (1937).
Karangan Nur Sutan Iskandar yang perlu disebut juga disini adalah Pengalaman
Masa Kecil (1949) dan Ujian Masa (1952), yang keduanya merupakan kenangan
otobiografis. Pengalaman masa kecil menarik hati yang melukiskan pengalaman-
pengalaman sampai ia berusia 15 tahun, ketika ia mulai mengajar di sekolah desa
tahun 1908. Ujian Masa lebih merupakan catatan-catatan tentang peristiwa politik
yang terjadi di Indonesia sejak aksi meliter Belanda pertama sampai awal 1948.

b. I Gusti Njoman Panji Tisna

Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat Feodal di Bali.
Roman pertama yang dikarang putera bali dalam bahasa Indonesia. Roman
keduanya adalah Sukreni Gadis Bali (1936) yang melahirkan kehidupan masyarakat
bali yang keras dan kejam, roman ini mendapatkan kritikan yang tidak setuju
kepada beberapa kepercayaan masyarakat Bali.

BEBERAPA PENGARANG LAIN:

Tulis Sutan Sati menerbitkan buku sajak 1928, sebuah roman yang pertama adalah
Sengsara Membawa Nikmat, kemudian menterjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih
(1929) yang ditulis oleh M. Thaib Gelar St Pamuntjak dari bahasa Minangkabau
kebahasa Indonesia.

Dua buah Syair Siti Marhumah yang Saleh (1930) dan Syair Rosina. Paulus Supit
pengarang Menado mengarang roman yang berjudul Kasih Ibu (1932). Aman Dt.
Madjoindo lahir 1896 di Solok terkenal sebagai pengarang anak-anak roman antara
lain berjudul Menebus Dosa (1932) dan Si cebol Rindukan Bulan (1934). Dan
beberapa syair diantaranya: Si Banso, Gul Bakawali. Suman Hasibuan atau Suman
Hs. Lahir di Bengkalis 1904. Terkenal gaya bahasanya yang lincah dan ringan.
Cerita-ceritanya mirip detektif diantaranya Kasih Tak Terlarai(1929), Percobaan
Setia (1931) dan Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Habib St Maharadja
berjudul ‘Nasib’ yang mengisahkan tentang seorang pemuda Minang Kabau yang
mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda.

4. Para Pengarang Wanita

Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak. Pada masa sebelum
perang, yang paling dikenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri.
Keduanya nama samaran Sariamin (lahir di Tulu, sumatera Utara, tahun 1909) yang
menulis dua buah roman dan sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak
Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam
majalah Poedjangga baroe dan Pandji Poestaka.

Pengarang wanita lain yang juga pengarang roman ialah hamidah yang konon
merupakan nama samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang pernah namanya
tercantum sebagai pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman
yang ditulisnya hanya sebuah, berjudul Kehilangan Mestika (1935) yang diceritakan
dalam roman itu ialah kemalangan dan penderitaan pelakunya. Seorang gadis yang
mula-mula kehilangan ayah dan kehilangan kekasih berturut-turut.

Adli Affandi dan Sa’adah Alim (1898-1968) masing-masing menulis sebuah


sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya
(1941). Sa’adah Alim disamping itu juga menulis sejumlah cerpen yang kemudian
dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Ia pun menterjemahkan
Angin Timur Angin Barat buah tangan pengarang wanita berkebangsaan Amerika
yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).

Pada saat menjelang Jepang datang, muncul pula Mario Amin (dilahirkan di
Bengkulu Tahun 1920). Menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi
peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumpulkan
beberapa prosa lirik yang simbolistis.

5. Cerita Pendek
Dalam majalah Pandji Poestaka dan lain-lain tahun kedua puluhan sudah mulai
dimuat kisah-kisah yang sifatnya lelucon-hiburan, seperti Si Kabayan, Si Lebai
malang, Jaka Dolok dan lain-lain.

Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka, cerita-cerita lucu yang ditulis oleh M.
Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, di bukukan dengan
judul Teman Duduk.

M. Kasim ialah seorang guru yang telah menulis sejak tahun 1922, yaitu dengan
romannya yang pertama berjudul Muda Taruna. Pada tahun 1924 ia menang
sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka, dengan naskah
Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak (SI Amin) sebuah cerita kanak-kanak.

Berbagai-bagai saat dalam kehidupan manusia sehari-hari dijadikan bahan tulisan


lucunya: beberapa lelucon lebaran dikumpulkannya dengan judul “Gurau Senda di I
Sawal” dan yang lainnya seperti “ Bual di Kedai Kopi”, “Bertengkar Berisik”, dan
lain-lain.dan hanya “Cara Chicago” lah yang tidak berupa lelucon.

Tidak banyak berbeda dengan cerpen-cerpen M. Kasim ialah cerpen-cerpen Suman


Hs. Kemudian dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana
yang ketika itu menjadi redaktur Balai Pustaka. Kumpulan itu diberi judul Kawan
Bergulat (1938) judul ini tidak banyak beda dengan judul kumpulan Cerpen M.
Kasim: Maksudnya Hendaknya menunjuk isi buku tersebut hanyalah sekedar bahan
bacaan senggang. Tetapi kalau dibandingkan gaya bahasanya, bahasa Suman lebih
jernih. Hanya terasa pada bewberapa ceritanya, Suman memberikan kritik juga
pada sifat-sifat manusia, misalnya dalam “Pandai Jatuh” menyindir orang yang suka
sombong dalam “Fatwa membawa Kecewa” menyindir Orang yang menyebut
dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia
sendiri serakah. Dalam “Kelekar Si Bigor” menyindir orang yang sok sekolah tetapi
akalnya dapat dikalahkan oleh orang yang buta huruf.

Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen, menjadi bahan yang produktif buat Haji
Abdul Karim Amrullah yang lebih dikenal sebagai Hamka (lahir Februari 1908 di
Maninjau). Seperti yang dikumpulkan dalam”Didalam Lembah Kehidupan” (1941).
Berlainan dengan M. Kasim dan Suman Hs. Hamka mempergunakan cerpen bukan
sebagai hiburan tetapi sebagai usaha untuk menggugah rasa sedih para pembaca.
Adapun karya-karya Hamka adalah “kumpulan Air Mata, kesedihan dan rintihan
yang diderita oleh golongan manusia diatas dunia ini dan Inyik Utih”.

Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang dikumpulkan dengan judul Taman
Penghibur Hati (1941) dan yang diberinya keterangan “beberapa cerita pergaulan”
tidak berhasil sebagai cerpen. Ada semacam prasangka dan ketakutan kepada
“Barat” yang menyebabkan pengarangnya mempertahan tradisi dan keras kepala.
Pada kenyataan saat Sa’adah Alim menulis cerpen-cerpen itu sebenarnya kaum
muda sudah menang. Maka prasangka semacam itu terasa aneh. Tetapi kalau
diingat dia berasal dari Minang
Kabau dengan sistem kemasyarakatannya matrilinial maka hal itu dapat dipahami
juga.

Yang menulis cerpen-cerpen yang sungguh dan lebih ditinjau dari segi sastra ialah
Armijn Pane. Cerpennya banyak dimuat dalam majalah poedjangga Baroe.
Diantaranya “Barang Tiada Harga” cerpen ini kemudian menjadi dasar romannya
Belenggu.Dan dalam cerpennya ”Tujuan Hidup” ia melukiskan kesepian hidup
seorang gadis yang menjadi guru yang memilih hidup sendiri. Dalam cerpen “Lupa”
ia melukiskan kehidupan kaum politikus yang karena tak dapat memperjuangkan
cita-cita mereka oleh berbagai tekanan pemerintah lalu menghabiskan waktu
mereka ditempat-tempat maksiat.

Pada masa sesudah perang cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang


ditambah dengan cerpen-cerpen yang ditulisnya kemudian, dikumpulkan dan
diterbitkan dengan judul kisah antara manusia (1953). Kalau “Barang Tiada
Berharga” merupakan prototif bagi roman Belenggu yang ditulis Armijn. Maka kita
pun menemukan prototif Layar Terkembang dalam cerpen “Mega Mendung” yang
ditulis Takdir beberapa waktu sebelum roman itu terbit.Cerpen itu dimuat dalam
majalah Pandji Poestaka.

6. Drama

Dalam bidang penulisan Drama kita hanya menyaksikan beberapa orang saja
pengarang yang rata-rata menulis lebih dari satu drama.

Roestam Effendi menulis drama dalam bahasa Indonesia yang merupakan sebuah
drama sajak Bebasari (1924). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara sudah
Berkata…..(1932) juga Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dimana keduanya
merupakan drama berdasarkan sejarah Jawa.

Sanusi pane menulis kertajaya dan Sandhyakala Ning Majapahit yang diambil dari
sejarah Jawa, drama yang ditulisnya dlam bahasa Belanda juga mempunyai latar
belakang kebesaran sejarah Jawa yaitu Air Langga dan Eenzame Gaoedavlucht.

Kegemaran para pengarang kita pada masa itu melukiasakn kebesaran sejarah,
mungkin disebabkan oleh karena kerinduan akan kebesaran diri sendiri.

Umunya drama-drama itu berbentuk closet drama, yaitu drama untuk dibaca,
bukan untuk dipentaskan. Didalamnya kurang sekali gerak dan aksi ataupun
pertunjukan watak melainkan banyak sekali percakapan. Namun rata-rata drama-
drama tersebut pernah juga di pertunukan diatas panggung. Biasanya apabila ada
kesempatan peringatan-peringatan atau kongers-kongres. Dalam roman Layar
Terkembang, Takdir melukiskan bahwa dalam Kongres perikatan Perkumpulan
Perempuan yang dihadiri oleh Tuti, dipertunjukan drama Sanusi Pane Sandhyakala
ning Majapahit. Kesemapatan itu digunakan Takdir Alisjabana untuk mengkeritik
dan mengemukakan pendapat tentang drama itu melalui tokoh-tokoh romanya.

Sanusi Pane yang mengambil tempat peistiwa terjadinya di India Manusia Baru
(1940), juga merupakan closet drama. Drama ini seperti drama-drama lain sangat
idealistis dan merupakan wadah si pengarang dalam mengemukakan cita-citanya
mengenai Timur dan Barat permainan watak, dramatis dan lukisan-lukisan sisinya
kurang mendapa perhatian.

Armijin Pane banyak menulis drama pada masa sebelum perang. Drama-dramanya
banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup jamanya. Berdasarkan cerpenya
Barang Tiada Berharga” , juga melukiskan kehidupan jamannya sendiri. Akan tetapi
bukan berarti ia tidak menulis drama berdasarkan peristiwa masa silam. Dari roman
I Gusti Njoman Pandji Tisna, ia membuat drama ‘I Swasta setahun di Bedahulu’ dan
berdasarkan sebuah cerita M.A. Salman dalam bahasa Sunda ia pun setting masa
silam.

Setelah perang drama-drama Armijn Pane itu kemudian dikumpulkan dan di


terbitkan dengan jdudul Jinak-jinak Merpati (1953).

Menjelang Jepang datang, terbit pula Balai Pustaka dua buah buku drama tangan
Sa’adah Alim yang berjudul. Pembalasannya (1940) dan buah tangan Adin Affandi.
Yang berjudul Gadis Modern (1941). Keduanya meupakan komedi yang mengejek
orang-orang intelek.

7. Roman-roman dari Medan dan Surabaya

Di luar lingkungan pujangga baru dan Balai Pustaka, ada juga penerbitan-
penerbitan sastra, baik prosa berupa roman maupun puisi berupa kumpulan sajak.
Dlam lapangan penerbitan roman, untuk tidak menyebutnkan peneribitan roman-
roman picisan, kita melihat roman-roman buah tangan hamka yang tadi sudah
pernah kita singgung dalam hubungan penulis cerpen.

Hamka ialah putra Haji Abdul Karim Amrullah, seoran ulama pembaharu Islam yang
terkemuka di Sumatera Barat yang pernah mendapat gelar kehormatan dari
Universitas Al-Zahar di Kairo, Mesir. karena itu, meskuipun Hamka sekolahnya
hanya sampai kelas II Sekolah Dsasar saja, namun ia mendapat pendidikan agama
dan bahasa Arab yang luas dari Sumatra Thawalib, Parabek (Bukittinggi) dan dari
ayahnya. Tahun 1927 Hamka pergi ke Jawa dan belajar lebih lanjut kepada H.O.S.
Tjokroaminoto, seorang pemimpin Islam terkemuka di Surabaya. Tahun 1927 ia
pergi naik haji ke Mekah dan sepulangnya dari sana ia menjadi guru agama di
padang dan turut pula memimpin pergerakan Muahammadijah di sana. Dari sana ia
pindah ke medan dan aktif dalam jurnalistik. Ia menulis roman yang mula-mula
dimuat sebagai feuilleton dalam majalah yang dipimpinnya. Bahwa seorng ulama
menulis roman sangatlah aneh pada saat itu, sehingga timbul heboh. Hal itu
menimbulkan pertikaian di kalangan umat Islam sendiri, ada yang pro dan ada yang
kontra.

Roman Hamka yang petama berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938),


mengishkan cinta tak samapi antara dua kekasih yang terhalang oleh adat. Yang
membedakan roamn ini dengan kebanyakan roaman adat yang lain ialah karena
pengaranya membawa pelakunya ke Mekah dekat Ka’bah. Juga romannya yang
kedua Tenggelamnya kapal van der Wijck (1939) mengisahkan cinta tak sampai
yang dihalangi oleh adat Minagkabau yang terkenal kukuh itu pula. Dalam roman ini
diceritakan tentang Zainuddin seorang anak dari perkawinan cmpuran Minang
dengan Makasar tak berhasil mempersunting gadis idamannya karena rapt nidik-
mamak tdiak setuju dan menganggap Zainuddin tidak sebagai manusia penuh.
Zainuddin kemudian menjadi pengarang dan dalam suatu kecelakaan gadis
kecintaanya meninggal dlam kapal yang ditumpanginya. Roman ini menimbulkan
heboh pada tahun 1962, kerena ada orang yang menyebutnya roman ini sebagai
hasil curian (plagiat). Roman ini disebut sebagai curian dari sebuah karangan
pengarang Perancis Alphonse Karr yang penuh disadur ke dalam Bahasa Arab oleh
Mustaffa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1924) sorang pujangga Arab-Mesir yang sangat
dikagumi Hamka. Karanga Jean Bapitiste Alphonse Karr (1808-1890) yang dlalm
bahsa Perancisnya berjudul Sous les Tilleules (Di bawah naungan pohon Tila) (1832)
Madjulin. Madjdulin ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahsas Indonesia oleh A.S
Alatas berjudul Magdalena (963).

Kecuali kedua roman itu, Hamka pun menulis pula Karena Fitnah (1938), Tuan
Direktur (1939) dan Merantau ke Deli (1939).yang teakhir merupakan suatu kritik
pula terhadap adat Minangkabau yang tidak segan-segan merusak kedamaian
rumah tangga yang bahagia, karena si suami (orang Mingan) belum menikah secara
adat, yaitu menikah dengan seoanrang Minangkabau, sehingga diceraikannyalah
istri asal Jawa yang telah hidup bersama membangun rumah tangga bahagia.

Sehabis perang Hamka sempat menulis cerita. Tahun 1950 ia menulis Menunggu
Beduk Berbunyi dan sebelum itu menulis Dijemput Mamaknya (1948?). riwayat
hidupnya sendiri ditulisnya dalam empat jilid dengan judul Kenang-kenangan Hidup
(1951-1952). Beberapa cerpennya dimasukkan pula ke dalam Di dalam Lembah
Kehidupan.

Pengarang lain di Medan antara lain Matu Mona, namna samaran Hasbullah
Parinduri (lahir tahun 1920 di Medan). Dan ia menulis roman berlatar peristiwa
sejarah, berjudul Zamnan Gemilang (1939). Dan buku-bukunya yang lain adalah Ja
Umenek Jadi-jadian, Rol Pacar Merah Indonesia, Spionage Dienst dan lain-lain
Sebuah roman yang dikarang oleh Iman Supardi berjudul Kintamani (1932) yang
mengisahkan percintaan seorang pelukis Jawa dengan seorang gadis Bali. Ia
seorang wartawan yang aktif di Surabaya.

8. Pengarang Sumatra

Melalui usaha penyairnya sendiri dan penerbit–penerbit swasta kecil-kecilan di


sumatra maka terbit beberapa buah kumpulan sajak yaitu Puspa Aneka buah
tangan Yogi. Ali Hasjmy, Surapaty, Samadi, Bandaharo dan lain-lain.

Hasjmy atau lebih dikenal dengan M. Alie Hajiem (lahir di Seulimeum Aceh tahun
1914) sajak-sajaknya dimuat dalam majalah pujangga baru yaitu “Kisah Seorang
Pengembara” (1936) memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbenmtuk soneta.
Karyanya yang lain “Dewan Sajak” (1940) di bagi dalam 7 bagian yang rata-rata
setiap bagian pengarang mengungkapkan pengalaman-pengalamanya. Kesukaran
keindahan dan kegembiraan namun dengan cara yang datar karena tak ada
penghayatan hingga karya-karya beliau dinilai tidak bermutu tinggi.

Tapi sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari pada karya-karya Hasjmy dan
dinilai kurang meyakinkan. Demikian juga sajak-sajak H.R. Bandaharo (lahir di
Medan 1917) diantaranya “Sarinah dan Aku” (1940). Kemudian sesudah masa
pernag ia aktif dalam lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menerbitkan
beberapa kumpulan sajak diantaranya “Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih
(1957) dan Dari Bumi Merah.

Lebih bernilai unik diperhatikan ialah kumpulan sajak Rifa’i ‘Ali (lahir di
Padangpanjang tahun1909). Beliau
banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan Agama Islam, salah satu sajaknya
berbunyi:

BASMALLAH

Dengan bismillah disambut bidan


Dengan bismillah berkafan badan
Dengan bismillah hidup dan mati
Dengan bismillah diangkat bakti

Selain Rifa’I ‘Ali penyair Islam lain adalah Or. Mandank (lahir di Kotapanjang, Suliki,
1-1-1913). Lewat karyanya Sebab Aku Terdiam … beliau menyindir ulama-ulama
yang banyak memberi fatwa sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan
apa yang difatwakannya. karya-karya Dr.Mandank yang lain ialah Pantun Orang
Muda (1939).

Penyair terpenting yang menerbitkan sajaknya di Medan sebelum perang ialah


Sumadi atau Anwar Rasjid (lahir di Maninjau 18 –11-1918). Kumpulan sajak beliau
yang berjudul Senandung Hidup (1941).
Tak ubahnya dengan para penyair masa itu, Samadi pun bersajak kepada tanah
airnya yang disebutnya dengan “Ibuku” dan sajaknya yang berjudul ‘Angkatan
Baru’ ia sadar sebagai pemuda ia memiliki peranan dan tugas menghadapi hari
siang. Ia memandang dirinya sbagai Pengembara, kelana, Pedang yang mengalami
berbagai kemalangan.

Dasar keagamaan pada penyair ini tidak pernah lepas, ia senantiasa ingat akan
Tuhan, ia sadar dan kian ikhlas berjuang, katanya dalam sajaknya “Jangan Di
kenang”. Sajak-sajaknya yang lain berjudul Aku Kembali Kekasih …….’ Ia
melukiskan pertemuannya kembali dengan Tuhan setelah ia mengembara ke mana-
mana merasa rindu dan “Selalu Sangsi Atas Cintamu”. Ia kemudian sadar, BETAPA
GERANG AKAN JADINYA?, ASAL TAK HINA DISISI TUHAN.

Semua hal yang terkandung dalam puisi itu menyebabkan penyair akhirnya yakin
akan kebenaran jalan yang benar, hidup baginya hanyalah mencari ridho ilahi
semata.

Penyair ini hilang tak berbekas di tengah-tengah pergolakan perang saudara yang
berkecamuk di Sumatera sekitar tahun 1957-1958

Teks Asli Sumpah Pemuda 1928

POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA


Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan
pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Sumatranen
Bond (Pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen Pasoendan, Jong Islamieten
Bond, Jong Bataks, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar
Indonesia;
membuka rapat pada tanggal 27 dan 28 October tahoen 1928 dinegeri Djakarta;
sesoedahnja mendengar pidato-pidato dan pembitjaraan jang diadakan dalam kerapatan tadi;
sesoedahnja menimbang segala isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini;
kerapatan laloe mengambil poetoesan:
PERTAMA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH-DARAH
JANG SATOE, TANAH INDONESIA.
KEDOEA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE,
BANGSA INDONESIA.
KETIGA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA
PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai
oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia;
mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar
persatoeannja:
kemaoean
sejarah
bahasa
hoekoem-adat
pendidikan dan kepandoean;
dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan
dibatjakan dimoeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita.[]

Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 Kongres


Pemuda II - Satu Tanah Air, Bangsa dan Bahasa
Wed, 21/05/2008 - 4:00pm — godam64
Peristiwa sejarah Soempah Pemoeda atau Sumpah Pemuda merupakan suatu pengakuan dari
Pemuda-Pemudi Indonesia yang mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa.
Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 hasil rumusan dari Kerapatan
Pemoeda-Pemoedi atau Kongres Pemuda II Indonesia yang hingga kini setiap tahunnya
diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Kongres Pemuda II dilaksanakan tiga sesi di tiga tempat berbeda oleh organisasi Perhimpunan
Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang beranggotakan pelajar dari seluruh wilayah Indonesia.
Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java, Jong
Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta
pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay
Siang dan Tjoi Djien Kwie.
Isi Dari Sumpah Pemuda Hasil Kongres Pemuda Kedua :
PERTAMA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe,
Tanah Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu,
Tanah Indonesia).
KEDOEA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa
Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia).
KETIGA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa
Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia).
Dalam peristiwa sumpah pemuda yang bersejarah tersebut diperdengarkan lagu kebangsaan
Indonesia untuk yang pertama kali yang diciptakan oleh W.R. Soepratman. Lagu Indonesia Raya
dipublikasikan pertama kali pada tahun 1928 pada media cetak surat kabar Sin Po dengan
mencantumkan teks yang menegaskan bahwa lagu itu adalah lagu kebangsaan. Lagu itu sempat
dilarang oleh pemerintah kolonial hindia belanda, namun para pemuda tetap terus
menyanyikannya.
Apabila kita ingin mengetahui lebih lanjut mengenai banyak hal tentang Sumpah Pemuda kita
bisa menunjungi Museum Sumpah Pemuda yang berada di Gedung Sekretariat PPI Jl. Kramat
Raya 106 Jakarta Pusat. Museum ini memiliki koleksi utama seperti biola asli milik Wage
Rudolf Supratman yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta foto-foto bersejarah
peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menjadi tonggak sejarah pergerakan
pemuda-pemudi Indonesia.

Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa pada tanggal 28 oktober 1928 Bangsa
Indonesia dilahirkan, oleh karena itu seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati
momentum 28 oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia, proses kelahiran Bangsa
Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas
dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudia
mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi Mengangkat Harkat dan
Martabat Hidup Orang Indonesia Asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat
Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus
1945.
Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario,
sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah tersebut awalnya
dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.[1]

Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Isi
• 2 Kongres Pemuda Indonesia
○ 2.1 Kongres Pemuda Indonesia Kedua
• 3 Peserta
• 4 Gedung
• 5 Catatan kaki
• 6 Pranala luar
• 7 Lihat pula

[sunting] Isi
Sumpah Pemuda versi orisinal[2]:
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda versi Ejaan Yang Disempurnakan:
Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
[sunting] Kongres Pemuda Indonesia
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kongres Pemuda

[sunting] Kongres Pemuda Indonesia Kedua


Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar
Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia.
Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali
rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB),
Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo
Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para
pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan
persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan
Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah
pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat
bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara
pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario
menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan
Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional.
Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan
dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman
yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu
tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan
mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan
sebagai Sumpah Setia.
[sunting] Peserta
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada
waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond,
Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir
pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw
Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi
yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong
Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia
mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.

[sunting] Gedung
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Museum Sumpah Pemuda

Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah
rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong [3].
Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan
Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda.
Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan
sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.[4]

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari


Soekarno membaca naskah Proklamasi yang sudah diketik Sajuti Melik dan telah
ditandatangani Soekarno-Hatta

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agustus
2605 menurut tahun Jepang dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Mohammad
Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.

Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Latar belakang
• 2 Peristiwa Rengasdengklok
○ 2.1 Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan
Laksamana Muda Maeda
• 3 Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi
• 4 Isi Teks Proklamasi
○ 4.1 Naskah Otentik
• 5 Peringatan 17 Agustus 1945
○ 5.1 Lomba-lomba tradisional
○ 5.2 Peringatan Detik-detik Proklamasi
• 6 Rujukan
• 7 Lihat pula
• 8 Pranala luar

Latar belakang
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara

Pra-Kolonial (sebelum
1509)

Pra-sejarah

Kerajaan Hindu-Buddha

Kerajaan Islam

Zaman kolonial (1509-


1945)

Era Portugis (1509-1602)

Era VOC (1602-1800)

Era Belanda (1800-1942)

Era Jepang (1942-1945)

Sejarah Republik Indonesia

Proklamasi (17 Agustus


1945)

Masa Transisi (1945-1949)


Era Orde Lama (1950-1959)

Demokrasi Terpimpin (1959-


1966)

Operasi Trikora (1960-1962)

Konfrontasi Indo-Malaya
(1962-1965)

Gerakan 30 September 1965

Era Orde Baru (1966-1998)

Gerakan Mahasiswa 1998

Era Reformasi (1998-


sekarang)

[Sunting]

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh
Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari
kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu
Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau
disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan
tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua
dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat
dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan
kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua
BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu
Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan
akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10
Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah
kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan
menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam,
mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan
dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan
Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap
hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus
menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang
anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.
Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI
saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika
para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak
memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan
proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut
Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan
kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh
mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk
lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya
pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI.
Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk
oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan
pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi
di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda,
di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut
kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab
ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari
Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No
2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi
Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia
makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16
Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat
tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Peristiwa Rengasdengklok
Artikel utama untuk bagian ini adalah: peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya
terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang
tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16
Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain,
mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan
Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini,
mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap
untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan
tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui
untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk
mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs.
Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk
tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang
kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di
Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran
Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan
teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan
Laksamana Muda Maeda
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto,
Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang
(Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Maeda
Tadashi dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan
Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut.
Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima
perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk
mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal
Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir
Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar
dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi
kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda
dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda
mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut
(Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan
Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks
Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura,
Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh
Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro
(Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan
penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia
ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu
hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa
pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni,
Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa
kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan
mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann
Kandeler.[2] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun
berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[3]
(sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional


Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di
ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks
proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks
proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik,
Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu
adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia
itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan
Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan
Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan
disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu
Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu
dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan
pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief
Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang
pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah
Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin
menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan
di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang
dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat
mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan
Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil
keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara
Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah
Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan
di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari
PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil
presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Isi Teks Proklamasi
Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05


Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno/Hatta

Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.
Naskah Otentik

Soekarno membacakan naskah proklamasi di studio RRI pada tahun 1951 (bantuan·info)

Kesulitan memainkan berkas media?

Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh
pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.
Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal² jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, 17-8-'05

Wakil2 bangsa Indonesia.

Peringatan 17 Agustus 1945


Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi
Kemerdekaan ini dengan meriah. Mulai dari lomba panjat pinang, lomba makan kerupuk, sampai
upacara militer di Istana Merdeka, seluruh bagian dari masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara
masing-masing.
Lomba-lomba tradisional
Perlombaan yang seringkali menghiasi dan meramaikan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI
diadakan di kampung-kampung/ pedesaan diikuti oleh warga setempat dan dikoordinir oleh
pengurus kampung/ pemuda desa
• Panjat pinang
• Balap bakiak
• Tarik tambang
• Sepeda lambat
• Makan kerupuk
• Balap karung
• Perang bantal
• Pemecahan balon
• Pengambilan koin dalam terigu
• Lari Kelereng

Peringatan Detik-detik Proklamasi


Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur
Upacara. Peringatan ini biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi. Acara-
acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera Sang Saka
Merah Putih (Bendera Pusaka), pembacaan naskah Proklamasi, dll. Pada sore hari terdapat acara
penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.

Sejarah Proklamasi Kemerdekaan INDONESIA


Posted in the Malaysia Forum
Share

Read

330 Comments

More Malaysia Discussions »


Comments
Showing posts 1 - 20 of330

< prev page

next page >

Go to last page| Jump to page:

Please wait...

ReNO Reply »
|
Jakarta, Report Abuse
Indonesia |

Judge it!
|
#1
Nov 30, 2007

Judged:

1
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota
Hiroshima di Jepang, oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral
semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian BPUPKI
berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan
Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di
atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika
Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat
sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah
timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka
dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan
akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di
Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar
berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para
pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI,
dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar tentang dijatuhkannya bom
atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari
Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu melalui siaran radio
luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di
lingkungan para pemuda terutama para pendukung Syahrir.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat,
Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa
pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada
Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam
beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang
menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah
air dari Dalat, Syahrir mendesak agar Soekarno segera
memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan
di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah
harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam
kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan
kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.
Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal
berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara
Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah
menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk
dicetak dan dibagi-bagikan.
Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan
proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan
darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang
Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak
berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir
menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi
kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.

ReNO Reply »
|
Jakarta,
Indonesia Report Abuse
|

Judge it!
|
#2
Nov 30, 2007

Judged:

1
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara
dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang
telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan
Belanda. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar
kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal
bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak
ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan
darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat
PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah
sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan
kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk
memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka).
Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu,
Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol no. 1. Maeda menyambut
kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di
Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih
menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta
segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada pukul 10 malam 16 Agustus keesokan harinya di
kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah disiapkan Hatta.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan
kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut
Syahrir. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan
karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah
terjadi peristiwa Rengasdengklok.

ReNO Reply »
|
Jakarta,
Indonesia Report Abuse
|

Judge it!
|
#3
Nov 30, 2007

Judged:

1
Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam
gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal
16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota
PETA, dan pemuda lain, mereka menculik Soekarno (bersama Fatmawati
dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya ke
Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa
Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta
tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan
Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap
untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad
Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui
untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka
diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke
Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta
kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para
pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah tiba di Jakarta, mereka langsung menuju ke rumah Laksamana
Maeda di Jl. Imam Bonjol No. 1 (sekarang gedung perpustakaan Nasional-
Depdiknas) yang diperkirakan aman dari Jepang. Sekitar 15 pemuda
menuntut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui
radio, disusul pengambilalihan kekuasaan. Mereka juga menolak rencana
PPKI untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus.

ReNO Reply »
|
Jakarta,
Indonesia Report Abuse
|

Judge it!
|
#4
Nov 30, 2007

Judged:

1
Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Yamamoto dan Laksamana
Maeda
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan
Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto, komandan Angkatan Darat
pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda dengan
sepengetahuan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen
Urusan Umum pemerintahan militer Jepang. Dari komunikasi antara Hatta
dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta
menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak
memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.
Setelah itu mereka bermalam di kediaman Laksamana Maeda (kini Jalan
Imam Bonjol No.1) untuk melakukan rapat untuk menyiapkan teks
Proklamasi. Rapat dihadiri oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo,
Soekarni dan Sajuti Melik. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti
menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada awalnya pembacaan
proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan
keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur
56[2](sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Sebelumnya para pemuda mengusulkan agar naskah proklamasi
menyatakan semua aparat pemerintahan harus dikuasai oleh rakyat dari
pihak asing yang masih menguasainya. Tetapi mayoritas anggota PPKI
menolaknya dan disetujuilah naskah proklamasi seperti adanya hingga
sekarang.
Para pemuda juga menuntut enam pemuda turut menandatangani
proklamasi bersama Soekarno dan Hatta dan bukan para anggota PPKI.
Para pemuda menganggap PPKI mewakili Jepang. Kompromi pun terwujud
dengan membubuhkan anak kalimat ”atas nama Bangsa Indonesia”
Soekarno-Hatta.

ReNO Reply »
|
Jakarta,
Indonesia Report Abuse
|

Judge it!
|
#5
Nov 30, 2007

Judged:

1
Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional dengan


bingkai[3]
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan
teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00
dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di kediaman Soekarno, Jl.
Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Para penyusun teks proklamasi itu adalah
Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks
proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M
Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang
menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik
oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno,
Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar
Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00
dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato
singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit
oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo,
wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia
menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh
seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang
prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang
pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah
Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari
sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu
Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih
disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota
Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena
mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke
Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan
Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat
kepada mereka.[5]

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia


(PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-
Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang
selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah
Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik
(NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk
kemudian.

ReNO Reply »
|
Jakarta,
Indonesia Report Abuse
|

Judge it!
|
#6
Nov 30, 2007

Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari otto
iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil
presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden
akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Isi Teks Proklamasi
Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta

Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala
itu adalah tahun 2605.
Naskah Otentik
Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik),
salah
seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.
Sementara naskah yang sebenarnya hasil gubahan Muh.Hatta,
A.Soebardjo, dan dibantu oleh
Ir.Soekarno sebagai pencatat. Adapun bunyi teks naskah otentik itu
sebagai berikut:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17 - 8 -'45
Wakil2 bangsa Indonesia.

Juli Reply »
|
Jakarta,
Indonesia Report Abuse
|

Judge it!
|
#7
Nov 30, 2007

Tapi perjuangan belum selesai seketika itu..., karena masih banyak


coba'an2 yang di hadapi bangsa Indonesia. yang paling jelas dan hebat
adalah ingin munculnya lagi belanda ke Indonesia. dan mereka di dukung
oleh pasukan2 british dengan Ghurka nya mencoba mendarat di Sura
baya. maka disitulah terjadi pertempuran hebat pada tanggal 10
november karena seorang perwira british yang terbunuh yaitu brgadir
jendarl Mallaby. nah disitulah terlihat jelas betapa bangsa Indonesia
benar2 suatu bangsa yang tidak mau terjual harga dirinya. walaupun
mungkin Indonesia bisa maju jika diperintah oleh bangsa2 asing..., tapi
kita memilih ingin berdikari apapun jadinya.., lebih baik mati daripada di
jajah. lebih baik jadi harimau selamaya walaupun susah, ketimbang jadi
keledai selamanya walaupun hidup senang. Itulah arti daripada suatu
hakekat kemerdeka'an yang sejati...

Reply »
|
Report Abuse
|

Judge it!
|
#8
Dec 1, 2007

Judged:

KowaLsKi
Jakarta, 1
Indonesia Juli wrote:
Tapi perjuangan belum selesai seketika itu..., karena masih banyak
coba'an2 yang di hadapi bangsa Indonesia. yang paling jelas dan hebat
adalah ingin munculnya lagi belanda ke Indonesia. dan mereka di dukung
oleh pasukan2 british dengan Ghurka nya mencoba mendarat di Sura
baya. maka disitulah terjadi pertempuran hebat pada tanggal 10
november karena seorang perwira british yang terbunuh yaitu brgadir
jendarl Mallaby. nah disitulah terlihat jelas betapa bangsa Indonesia
benar2 suatu bangsa yang tidak mau terjual harga dirinya. walaupun
mungkin Indonesia bisa maju jika diperintah oleh bangsa2 asing..., tapi
kita memilih ingin berdikari apapun jadinya.., lebih baik mati daripada di
jajah. lebih baik jadi harimau selamaya walaupun susah, ketimbang jadi
keledai selamanya walaupun hidup senang. Itulah arti daripada suatu
hakekat kemerdeka'an yang sejati...
betul itu...

You might also like